Si Rase Kumala Bab 08 : Benggolan Thiat-sian-pang

8. Benggolan Thiat-sian-pang

Siau Ih menyatakan terima kasih atas peringatan orang tua itu. Setelah didesak Liong Go, barulah orang tua itu menghaturkan terima kasih lalu ajak gadisnya pergi.

„Toako, rasanya masih enak kalau kawanan budak itu hanya diberi hajaran begitu, Siaute hendak menambahnya lagi." kata Siau Ih. Dan sebelum Liong Go sempat mencegah, dia sudah menghampiri ke enam orang tadi.

„Blak, blak,” demikian kakinya memberi persen dupakan untuk membuka jalan darah yang tertutuk, maka bangunlah ke enam jagoan itu. Namun baru saja mereka hendak melarikan diri, Siau Ih sudah membentaknya „berhenti!".

Tidak begitu keras bentakan Siau Ih itu, namun semangat mereka sudah copot dan berhentilah mereka terpaku di tanah.

„Mau ngacir? Hem, mana di dunia ada barang yang begitu enak. Turut kejahatanmu tadi, hukuman sudah jauh dari murah. Tapi karena hari ini Siauya sedang bermurah hati, maka tak mau menjatuhkan hukuman berat. Yang kuminta hanya kalian berenam harus motong kuping kirimu sendiri, selanjutnya harus bersumpah takkan melakukan kejahatan lagi, barulah boleh pergi. Kalau tidak, hem, jangan salahkan aku berlaku kejam!"

Biasanya keenam jagoan itu amat galak, berlagak tuan besar sudah menjadi air mandinya (kebiasaan buruk). Mendengar perintah anak muda itu, mata mereka mendelik gusar.

„Hoo, apakah sauya perlu turun tangan sendiri?" Siau Ih tertawa dingin. Sepasang alisnya yang luar biasa  itu, mengerut sehingga membuat keenam orang itu mengkirik. Menolak tidak dapat, menurutpun berat. Keenam orang itu seperti orang gagu yang menelan getah, menderita tapi sukar mengatakan.

Akhirnya salah seorang yang rupanya menjadi pemimpin, menyahut dengan suara keras: „Benar toaya hari ini kalah, tapi Thiat-sian-pang pun bukan sebuah partai yang gampang dihina. Saudara-saudara, ayuh kita potong kuping sendiri!"

Habis berseru, dia segera memungut badiknya yang jatuh di tanah. lalu “cris,” diperungnyalah (dipotong) telinganya kiri sendiri. Kelima kawannya juga lantas meniru. Saat itu berserakanlah enam buah daun telinga dengan darahnya memerah di tanah. Walaupun wajah pucat, keringat dingin mengucur, namun keenam orang itu tetap tak mau sesambat.

Diam-diam Siau Ih terkejut melihat kekerasan, hati mereka, namun pada lahirnya dia tetap bersikap dingin. ujarnya:

„Kalau tak terima, boleh cari padaku, ayuh lekas enyah!"

Memandang sejenak dengan dendamnya, sembari mendekap telinga keenam jagoan itu ngelojor pergi. Tak kurang dari duaratusan orang yang melihat kejadian itu dari kejauhan, sama bersorak memuji.

Siau Ih menanyakan Liong Go bagaimana dengan caranya dia memberi pelajaran pada keenam jagoan tadi.

,,Benar dapat menggembirakan hati orang-orang, tapi agak terlalu kejam!" sahut Liong Go.

„Dahulu sewaktu Tui-hun-cap-sa-san malang melintang di dunia persilatan, rasanya tak semurah hati seperti toako sekarang. Turut pendapat Siau-te, hukuman itu sudah terlalu murah bagi mereka!" bantah Siau Ih dengan tertawa.

Liong Go hanya menggeleng. Karena gangguan itu, kegembiraan pesiar merekapun agak berkurang, maka mereka lalu pulang ke hotel. „Mungkin karena baru-baru terjun di dunia persilatan, hiante tentu tak begitu jelas akan keadaannya. Thiat-sian- pang itu adalah sebuah partai yang baru beberapa tahun ini mengangkat diri. Pangcunya bernama Sut Cu-bing gelar Seng- si-poan (hakim yang memutuskan mati hidup). Kecuali memiliki ilmu tinggi, diapun mempunyai kecerdasan yang cemerlang, orangnya amat ambisius (kemaruk). Dengan bayaran dan hadiah bagaimana pun besarnya, dia tak sayang mengeluarkan asal dapat membeli tenaga-naga kosen. Maka banyaklah benggolan-benggolan dan durjana-durjana yang sudah lama mengasingkan diri, semua masuk ke dalam partainya. Oleh karena itu, Thiat-sian-pang mempunyai jagoan-jagoan yang sakti. Tindakan hiante tadi, berarti sudah mengikat permusuhan dengan mereka, dan untuk itu tentu bakal menjumpai beberapa kesukaran," kata Liong  Go sewaktu berada di hotel.

Siau Ih hanya ganda tertawa, sanggahnya: „Turut ucapan toako itu, habis siapakah yang berani membasmi perbuatan jahat semacam itu?"

„Bukannya aku takut urusan, tapi karena mereka itu gemar melakukan pembalasan dendam, baik secara terang maupun gelap, maka selanjutnya, kita harus selalu berhati-hati,” kata Liong Go.

Baru mereka tengah bercakap-cakap itu, masuklah jongos dengan wajah ketakutan sembari memberikan sepucuk surat kepada Siau Ih. Setelah diongos pergi dan Siau Ih membukanya, ternyata surat itu berbunyi seperti berikut:

„Atas pengajaran tadi siang, kami membilang banyak  terima kasih. Tengah malam nanti, kami nantikan kedatangan saudara di makam Gak-ong.

Sekian maaf dan sampai ketemu.” „Ini sungguh kebetulan sekali. Harap toako suka membantu Siaute membasmi malapetaka rakyat," kata Siau Ih sembari serahkan surat itu kepada Liong Go.

Habis membaca, Liong Go memberi nasehat: „Benar kemungkinan besar kita tentu menang tapi janganlah kita dimabuk kegirangan."

Sore itu setelah makan, mereka sama duduk bersemadhi memelihara semangat. Begitu kentongan dipukul duabelas kali, Siau Ih dengan membekal pedangnya dan Liong Go masih dalam dandanan seperti siang tadi, segera keluar menuju ke belakang. Setelah melompati tembok belakang, mereka lalu gunakan ilmu berlari cepat menuju kemakam Gak- ong.

Dalam tengah malam seperti kala itu, jalan-jalan pun sudah sepi orang. Dengan "terbang" di atas rumah demi rumah, tak berapa lama kemudian tibalah sudah keduanya dimakam itu.

Makam itu adalah tempat kuburan dari Gak Hui, seorang jenderal besar dari kerajaan Lam Song. Letaknya di puncak Ki- he-nia, bangunannya amat megah sekali. Di depan makam ditanami pohon-pohon siong-pik. Oleh orang-orang zaman belakangan, pohon-pohon itu disebut khing-tiong-pik atau pohon pik patriot. Pohonnya menjulang tinggi, daunnya amat rindang.

Di muka makam Gak-ong yang sunyi senyap itu, muncullah empat orang dengan pakaian ringkas. Mereka tengah berunding. Kata salah seorang: „Sekarang sudah pukul duabelas, jangan-jangan bangsat kecil itu diam-diam melarikan diri, ah, tentu berabe untuk mencarinya!”

„Kami berdua sudah lama berada disini, sesalilah dirimu sendiri yang punya mata tapi tak dapat melihat!" serempak terdengar sebuah suara menyahut dengan tiba-tiba.

Kejut ke empat orang tadi tak terkira. Memandang ke arah suara tadi, sekonyong-konyong terdengar suara “bret,” dan dari sebatang pohon pek tua yang tinggi, melayanglah dua sosok tubuh turun kehadapan mereka.

Berbareng pada saat itu, di bagian belakang makam yang berbentuk oval itu, muncul sebuah bayangan. Dengan hati- hati orang itu menyembunyikan diri dan mengawasi kesebelah muka dengan penuh perhatian.

Dua sosok tubuh yang melayang dari atas pohon pek itu ialah Siau Ih dan Liong Go. Gerak melayang turun keduanya yang begitu indah dan tenang, belum-belum sudah membuat bercekat ke empat orang tadi. Kini mereka sudah saling berhadapan. Keadaan hening sejenak.

Sekonyong-konyong pecahlah sebuah ketawa yang nyaring memanjang. Salah seorang dari keempat orang tadi, tampak tampil ke muka Siau Ih berdua. Orang itu bertubuh kekar, mata bundar beralis tebal, pada dahinya tumbuh sebuah tahi- lalat. Usianya lebih kurang empatpuluh tahun.

„Kalian berdua bukankah bocah yang mengadu biru cari urusan siang tadi?" tegurnya dengan suara menggeledek.

Melihat sikapnya yang garang, Siau Ih menduga tentulah orang itu si To-thau-thayswe Teng Hiong, itu tongcu Thiat- sian-pang (partai kawat besi) cabang Hangciu. Anak muda itu hanya tertawa dingin, sahutnya: „Tentunya kau ialah To-thau- thay-swe Teng Hiong itu. Tengah malam mengundang sauya kemari, mau ada urusan apa?”

Memang orang itu bukan lain Teng Hiong adanya. Demi melihat sikap jumawa dari Siau Ih, amarahnya meluap-luap. Bentaknya dengan murka: „Kau dan aku tiada saling bermusuhan, tapi mengapa kau berlaku kejam kepada anak murid partai kami?”

Kembali Siau Ih tertawa mengejek.

„Umat dunia mengurus urusan dunia, adalah sudah jamak. Untuk perbuatanmu dan kawan-kawan itu, mati adalah hukuman yang setimpal. Apa yang kulakukan siang tadi hanyalah hukuman enteng, sudah keliwat murah, masakah kau tak terima?"

Karena marahnya, Teng Hiong berjingkrak-jingkrak seperti katak loncat. Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang melengking nyaring: „Teng-tongcu, banyak bicara buang waktu saja. Masakah dua anak yang masih berbau tetek itu dapat berbuat apa, ringkus dulu baru didamprat lagi!"

Nadanya seperti anak bayi, tapi mengandung keseraman. Kumandangnya sampai lama masih terdengar di udara. Semua orang yang berada dihalaman makam itu, menjadi merinding (berdiri bulu tengkuknya).

Liong Go yang sejak tiba di lapangan itu belum buka suara, kini memandang ke arah suara itu. Ternyata orang yang bersuara seram itu, hanyalah seorang tua yang berwajah pucat, kurus kering dan mengenakan baju kuning.

Di belakang pundaknya menggantung sepasang senjata yang berkilau-kilauan hitam. Bentuknya aneh, gaetan bukan gaetan, pedang bukan pedang. Tegak berdiri di tempat, orang tua itu tersenyum dingin, wajahnya menampil hawa pembunuhan.

Melihat dia, Liong Go terperanjat. Sekilas teringatlah dia akan seseorang, pikirnya: „Apakah dia benar-benar muncul lagi di dunia persilatan, kalau benar dianya ”

Melangkah ke muka, dia memberi hormat, serunya:

„Apakah yang berseru tadi bukannya Jin-mo Kiau Hoan?”

Sepasang mata si orang tua kurus yang setengah dibuka setengah meram itu, tiba-tiba dibeliakkan. Dengan sinar berkilat-kilat dia menatap Liong Go. Hanya bahunya saja yang tampak agak bergerak dan tahu-tahu dia sudah ‘terbang’. melalui Teng Hiong. „Buyung, mengapa kau ketahui nama lohu?" serunya dengan lantang.

Bahwa perkiraannya betul, telah membuat Liong Go terkesiap. Menyahut dia dengan tertawa: „Kiau Hoan, masih kenalkan kau pada benda ini?'' Berbareng itu, Liong Go sudah mengeluarkan kipasnya.

Menatap sejenak, wajah Kiau Hoan berobah, kakinyapun mundur selangkah. „Pernah apakah kau dengan Liong Bu-ki?”

„Itulah engkongku!" sahut Liong Go.

Wajah perok (pucat kurus) Kiau Hoan, menunduk. Kemudian tertawa dengan seramnya: „Penasaran harus dilampiaskan pada biangkeladinya. Namun sejak lohu menerima 'hadiah' sebuah kipasan dari engkongmu pada duapuluh tahun berselang, sedetikpun lohu tak pernah melupakan. Meskipun tak beruntung mencari dapat Liong Bu- ki, tetapi dengan cucunya, boleh jugalah lohu melampiaskan dendam itu!"

Liong Go balas tertawa, sahutnya: „Dengan kejahatanmu pada masa itu, mati adalah bagianmu yang pantas. Tapi karena sayang akan bakatmu, engkong hanya membikin cacad dirimu saja menjadi seorang yang ludas kepandaian. Bahwasanya kau beruntung mendapat jodoh orang sakti sehingga dapat berlatih silat lagi, seharusnya kau harus perbarui cara hidupmu, dari kegelapan menuju ke jalan terang. Tapi ternyata kau masih belum insyaf dan mau menjadi kaki tangan Thiat-sian-pang. Perbuatanmu itu pantas dikutuk dan jangan kira aku tak dapat menggoreng dirimu seperti yang dilakukan engkong tempo dulu!"

Mendengar itu, si Jin-mo atau Manusia Iblis Kiau Hoan menjadi merah padam. Dia tertawa melengking: „Buyung, kau sungguh berlidah tajam, tapi biarlah lohu tak mengurusi hal itu. Kini kalau kau sanggup menerima sepuluh jurus seranganku, lohu akan lepas tangan dari urusan ini. Tapi kalau tidak, hutang lama itu terpaksa kaupun harus ikut membayarnya!"

„Ha, ha ......” Liong Go terbahak-bahak: „Jangankan sepuluh, seratus juruspun aku bersedia menyambutnya!"

Jin-mopun tertawa iblis, katanya kepada Teng Hiong:

„Malam ini justeru kebetulan sekali dapat kesempatan untuk melampiaskan dendam lama. Tapi entah apakah Teng-tongcu suka memberi ketika lebih dahulu pada lohu?”

Teng Hiong ter-sipu-sipu memberi hormat, jawabnya.

„Peraturan dari Hok-siu-tong mengatakan, apabila pangcu datang berkunjung, tecu harus menurut perintah." Habis berkata, dengan hormat sekali Teng Hiong mundur.

„Buyung, lebih baik urusan kita ini lekas-lekas dibereskan!" seru Kiau Hoan.

Dari sang engkong, Liong Go pernah diceritakan tentang kesaktian Kiau Hoan itu dan keganasannya malang melintang di dunia persilatan. Oleh sebab itulah maka dia mendapat julukan Jin-mo si Manusia Iblis. Duapuluh tahun berselang kalangan persilatan geger dengan kekejaman Manusia Iblis itu.

Disitulah dirangsang kemarahan, Tui-hun-san Liong Bu Ki melumpuhkannya menjadi seorang invalid. Tak nyana durjana itu dapat meyakinkan ilmu silat lagi dan begitu muncul di dunia persilatan lantas menggabung dalam Thiat-san-pang dengan menduduki pangkat sebagai hu-hwat atau pelaksana undang-undang.

Jin-mo itu seorang manusia yang licik dengan kejamnya. Bahwa seorang manusia iblis itu sumbar-sumbar hanya akan mengujinya (Liong Go) dalam sepuluh jurus terang tentu memiliki kepandaian yang sakti.

Diam-diam Liong Go sangsi, apakah dia dapat bertahan nanti. Karena sangsi, dia menjadi agak tegang. Namun karena urusan sudah sampai sedemikian rupa, tiada lain jalan kecuali harus menghadapinya dengan seluruh kepandaian.

Sambil merapikan pakaiannya, berkatalah Liong Go kepada Siau Ih: „Harap hiante melihat disamping saja, biar kulayani sepuluh jurus serangan iblis tua itu!"

Mendengar nada Liong Go agak gentar, tahulah Siau Ih apa yang dikandung dalam hati saudara angkatnya itu. Dengan tertawa dia menyahut: „Sejak dahulu, golongan iblis itu tentu tak dapat memenangkan golongan suci. Harap toako lapangkan dada, Siaute akan mengawasi disamping."

Liong Go hanya tersenyum, mengipas-ngipaskan Tui-hun- san, dengan tenang dia melangkah ke dalam gelanggang.

Melihat ketenangan anak muda itu, terutama sinar matanya yang berapi-api, tak urung Kiau Hoan terperanjat juga. Apalagi dia pernah merasakan betapa kehebatan kipas tui-hun-cap-sa- san itu, maka diapun tak berani memandang rendah lagi kepada si anak muda. Begitu tubuh agak dimiringkan, maka senjata aneh yang menggemblok di belakang punggungnya itu sudah beralih ke dalam tangan.

Melihat itu, tertawalah Liong Go dengan jumawa: „Malam ini Tui-hun-san akan bertemu kembali dengan oh-kim-cat, sungguh suatu pertemuan yang menggembirakan. Setan tua, lekaslah menyerang lebih dulu!"

Diiring dengan tertawa dingin, tanpa tampak mengadakan gerakan apa-apa, tahu-tahu tubuh si Manusia Iblis sudah maju. Tangan kiri menampar ke atas sampai menerbitkan suara keras, lalu oh-kim-cat berputar-putar menusuk.

Untuk itu Liong Go gunakan gerak ing-loh-han-tong (bayangan jatuh diempang dingin), miring ke samping. Begitu menghindar tusukan, tubuhnya memanjang memuka, dengan gerak khong-jiok-thi-leng (burung gereja kibaskan sayap), dia balas menutuk ulu hati orang dengan kipasnya. Kiau Hoan mundur sembari tertawa iblis dan tahu-tahu sudah merobah kuda-kuda kakinya. Lalu dalam gerak setengah menutuk setengah menabas, oh-kim-cat menyerang pula dengan tenaga kong-gi penuh. Sederhana saja tampaknya serangan itu, namun gerak perobahannya sukar diduga. Liong Go seolah-olah dikepung dalam sinar oh-kim- cat. Kemana dia hendak menyingkir, senjata cat yang terbuat dari emas hitam itu selalu membayanginya.

Tapi sebagai ahliwaris dari Tui-hun-cap-sa-san Liong Bu-ki yang pernah menggegerkan dunia persilatan, Liong Go pun ketahui akan serangan itu. Tak mau dia menghindar kemana- mana, cukup hanya mendongakkan separoh tubuhnya ke belakang, lalu dengan menurutkan posisi tubuhnya itu kipas dikebutkan terbuka, untuk dalam gerak hui-oh-bu-hwat (anai terbang ke arah api) menampar oh-kim-cat dari samping.

Di dunia persilatan terdapat sebuah pepatah: „Kalau seorang ahli bergerak, segera dapat diketahui isi kosongnya". Begitulah berlaku pada pertempuran Liong Go - Kiau Hoan.

Walaupun hanya dua gebrak saja, tahulah si Manusia Iblis Kiau Hoan bahwa anak muda lawannya itu benar-benar sudah mewarisi seluruh kepandaian engkongnya. Disamping dapat mengambil putusan secara cepat tepat, pun permainan kipas pemuda itu sudah mencapai kesempurnaan. Diam-diam Kiau Hoan gelisah.

„Sudah terlanjur kukatakan, dalam sepuluh jurus tentu dapat mengalahkannya. Kalau sampai meleset, kemana hendak kutaruh mukaku dihadapan Teng Hiong dan kawan- kawan itu?" pikirnya. Dirangsang oleh nafsu menjaga gengsinya, nafsu-bunuhnya berkobar-kobar. Sekonyong- konyong bersuit keras, dia loncat mundur setombak jauhnya.

Melihat itu, Liong Go hanya ganda tertawa saja: „Setan tua. bukannya maju menyerang malah loncat mundur itu bagaimana? Takutkah?" Kata-katanya itu dibarengi dengan gerak liong-heng-it-si atau naga bergerak melempeng lurus, tubuhnya maju menutukkan kipasnya ke arah tenggorokan lawan.

„Buyung, ini kau cari mati namanya!" Kiau Hoan menyambutnya dengan lengking tertawa tajam. Sepasang cat dipindah ke tangan kiri, begitu sepasang lutut ditekuk, dia melambung ke atas. Sebelum Liong Go sempat menangkis, jari kanan Kiau Hoan laksana cakar besi sudah menampar kipas, sementara sepasang kim-cat di tangan kiri dibabatkan ke pinggang orang.

Mimpipun tidak Liong Go, bahwa gerakan lawan sedemikian luar biasanya. Ketika insaf ada ancaman, ternyata sudah kasip. Batang kipas yang dicekal di tangan kanan serasa tergentar keras, sehingga hampir saja kipas itu terlepas jatuh, dalam pada itu pinggangnya terasa disambar angin keras.

Dalam kejutnya, dia cepat tarik pulang kipasnya, kemudian dengan tangan kiri dia tolak sepasang kim-cat. Menyusul sang kaki berputar dalam gerak liu-si-ing-hong dan dia menyurut mundur beberapa langkah.

Gesit sekalipun Liong Go berusaha menghindar, namun tak urung pakaian suteranya terpapas rowak sampai beberapa centi panjangnya. Keringat dingin mengucur, wajah merah padam. Siau Ih yang berdiri mengawasi disamping jantungnya sudah serasa mau loncat keluar .........

Sebaliknya disana Kiau Hoan pun menampilkan rasa kejut- kejut kagum yang tak tertara. Pada lain saat, dia kedengaran tertawa seram lalu berseru dengan nyaring lengking: „Buyung, dengan dapat lolos dari seranganku tadi, bolehlah dianggap lihay juga kau ini. Nah, sekarang sambutilah seranganku yang nomor empat ini!"

Suara masih berkumandang, orangnyapun sudah melesat tiba. Tinju kanan mendorong lurus ke muka membawa tenaga tekanan laksana gunung roboh menindih dada, sepasang kim- cat dilayangkan ke bawah dalam gerak to-ceng-kim-ciong (menghantamkan jungkir lonceng emas), mengancam keperut Liong Go .........

--0dw0--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar