Si Rase Kumala Bab 07 : Mendapat Kawan dan Lawan

7. Mendapat Kawan dan Lawan

Lepas dari kepungan. Siau Ih amat kegirangan. Ditimangnya, bagaimana akan dilakukan dengan kopiah itu. Sekilas dia mendapat pikiran. Cepat dia lari ke muka biara. Begitu tiba di muka pintu, dia enjot tubuhnya ke atas wuwungan serambi. Kopiah pertapaan milik Hian -Long tojin itu, digantungkan di atas papan nama "Ki Kian Siang Ceng Kiong".

Kemudian setelah melayang turun, kain kerudung mukanya dilepas. Memandang ke arah kopiah di atas papan itu, dia tertawa kebangga-banggaan. Sejenak kemudian, barulah dia turun ke bawah gunung.

Hari pun sudah mulai terang tanah. Oleh karena sudah banyak orang jalan jadi dia terpaksa tak mau gunakan gin- kang (ilmu berlari cepat). Namun sekalipun berjalan pelahan- lahan, masih dia lebih cepat dari orang biasa.

Menjelang tengah hari, tibalah dia di kota Li-yang. Kota ini walaupun kecil, tapi merupakan sebuah kota yang penting dimana perdagangan anak negeri amat ramainya. Karena justeru hari pasaran, bukan kepalang ramainya orang hilir mudik.

Karena semalam suntuk tak tidur, Siau Ih merasa lelah dan lapar. Mendongak ke muka, dilihatnya tak jauh dari itu ada sebuah papan nama menonjol dengan empat buah huruf emas yang berbunyi “Cui-hoa-ciu-lou”. Kesanalah sang kaki segera diayun.

Ternyata rumah makan itu amat mentereng sekali. Bagian dapurnya berisik dengan suara orang mencacah daging dan menggoreng masakah. Nyata rumah makan itu laris sekali.

Baru Siau Ih tengah melihat-lihat, seorang jongos sudah menyilahkannya: „Rumah makan ini bersih dan selalu sedia segala macam hidangan yang lezat-lezat. Silahkan tuan duduk di atas loteng, tentu akan puas!"

Dengan tertawa, Siau Ih melangkah masuk. Naik ke atas loteng, disitu ternyata sudah ada belasan tamu duduk. Dia memilih sebuah meja yang dekat jendela.

Jongos segera menanyai akan pesan hidangan apa. „Apa saja asal enak dan cepat selesai!" sahutnya.

Ketika jongos berlalu, Siau Ih merasa kalau para tetamu yang berada disitu tengah memandang kepadanya. Diam-diam dia kebingungan sendiri, jangan-jangan ada sesuatu yang tak beres pada dirinya.

Memandang ke arah pakaiannya sendiri, mau tak mau dia tertawa urung, pikirnya: „Ai, makanya mereka sama memandang aku dengan keheranan, kiranya aku masih mengenakan pakaian ringkas dan memanggul pedang!"

Buru-buru pedang diambil dan ditaruhkan di sisi meja. Tepat pada saat itu terdengarlah suara berisik dan munculnya seorang anak sekolah muda. Wajahnya berseri bersih, bibir merah segar melapis dua baris gigi yang putih, hidung mancung, sepasang alis lengkung menaungi dua buah mata yang memancarkan sinar berkilat-kilat.

Kopiah pelajar yang membungkus kepalanya, dihias dengan mutiara berkilau. Pakaian sutera warna biru muda disulam dengan bunga-bungaan tho. Tangannya mencekal sebuah kipas dari kerangka tulang hitam. Sepintas pandang, Siau Ih dapatkan seorang pribadi yang penuh wibawa pada diri anak muda sekolahan itu.

„Inilah baru boleh dikatakan seorang pria cantik di dunia!" diam-diam Siau Ih memuji dalam hati.

Tanpa disengaja, pelajar cantik itu mengambil tempat duduk persis disebelah muka Siau Ih. Mau tak mau mata Siau Ih memandang beberapa kali kepada pria cantik itu, tapi di luar dugaan, pemuda itupun memandangnya juga.

Ketika mata saling berpandangan, muka Siau Ih terasa panas. Sebaliknya pria cantik itu hanya ganda tersenyum saja. Siau Ih menjadi likat sendiri, mau tak mau dia unjuk tertawa juga. Syukur saat itu jongos sudah datang membawa pesanannya. Inilah suatu kesempatan baik untuk menghindar dari „bentrokan" mata itu. Buru-buru dia tundukkan kepala memandang hidangan.

Oleh karena sang perut sudah me-rintih-rintih, seperti seekor harimau kelaparan mendapat anak kambing, Siau Ih segera gasak hidangannya itu. Dalam sekejap saja, bersihlah sudah hidangan itu disapunya.

Setelah puas makan dan minum, jongos dipanggilnya untuk menghitung rekening, karena dia hendak lekas-lekas berangkat lagi. Tapi ketika meraba baju, astaga ....

sepeserpun tiada terdapat! Saat itu barulah dia teringat bahwa bungkusannya kecil masih ketinggalan dalam taman belakang biara Siang Ceng Kiong.

„Ai, celaka ini. Kalau tahu tak bawa uang, tak nanti aku masuk kesini. Sekarang kecuali mustika kumala, tiada lain bekal berharga, mustika itu akan kuserahkan pada gwakong selaku barang bukti, tak boleh dijadikan barang, cekalan disini

...... Thian-coat-kiam? Ai, itu lebih tak boleh lagi ”

Demikian Siau Ih menjadi kelabakan. Muka merah,  sebentar duduk sebentar berdiri.

Gerak geriknya itu tak luput dari pandangan si jongos yang rupanya sudah kenyang pengalaman akan hal-hal begituan. Berdiri disamping, dia awasi kelakuan anak muda itu dengan senyum ewah.

Siau Ih muring-muring dan sibuk seorang diri, namun tetap dia tak dapat berdaya apa-apa. Saking bingung dan malu, dahinya sampai basah kujup dengan keringat.

„Bung pelajan, rekening hidangan tuan itu, boleh hitung padaku!" sekonyong-konyong pelajar „cantik" itu berseru kepada jongos. Malah dengan kontan, dia sudah merogoh keluar uang lima tail lalu dilemparkan di atas meja, serunya:

„Ni, sisanya boleh kau ambil!" Kerut wajah si jongos yang sudah menampil kekuatiran tadi, segera berobah terang. Dia kerak keruk menghaturkan terima kasih atas keroyalan orang. Rupanya pelajar itu jemu akan tingkah laku dibuat-buat dari si jongos itu, cepat-cepat dia menyuruhnya pergi. 

Dengan wajah kemerah-merahan, Siau Ih menghaturkan penyesalan karena sudah menyibuki pelajar itu.

Namun pelajar cantik itu, cepat-cepat menanggapi: „Empat penjuru lautan, semua adalah saudara. Usah dipikirkan, apalagi diantara kaum perantau, tentu harus tolong menolong!"

Siau Ih yang biasanya pandai bicara, kala itu benar-benar kehabisan kata-kata.

„Siaute bernama Liong Go, mohon tanya siapakah nama terhormat dari hengtay?" kata pelajar cantik itu pula.

Siau Ih pun memperkenalkan dirinya.

Berkata lagi pelajar Liong Go itu: „Menilik membekal pedang, tentulah Siau-heng ini juga kaum persilatan."

Siau Ih menyahut dengan merendah, bahwa pedangnya itu adalah warisan keluarganya untuk sekedar menjaga diri saja.

„Ah, Siau-heng keliwat merendah. Sejak kecil Siaute pun gemar belajar silat. Pedang Siau-heng itu tentulah bukan senjata sembarangan, apakah Siaute boleh meminjam lihat barang sebentar saja?"

Siau Ih menjadi kewalahan. Hati menolak namun mulut berat menyatakan. Sejenak merenung, akhirnya dia menyahut: „Sudah tentu boleh, mari silahkan Liong-heng melihatnya." Thian-coat-kiam segera diangsurkan.

Liong Go menyambuti dengan kedua tangan. Sekali menjentik pelahan-lahan, batang pedang itu berdering nyaring laksana aum naga. Demi dilolos dari kerangkanya, pedang itu memancarkan cahaya bening berkilau-kilauan. Wajah Liong Go mengerut kejut.

„Sudah lama sekali pedang Thian-coat-kiam itu menghilang. Benar tak menyamai kesaktian pedang-pedang Kan-ciang, Bok-ya, Ki-kwat dan Liong-cwan, namun juga sebuah pusaka persilatan yang jarang terdapat. Dengan memiliki pedang pusaka macam begini, ilmu kepandaian saudara tentu amat tinggi. Entah siapakah suhu terhormat dari hengtay itu?"

Ditanya begitu, kembali wajah Siau Ih menjadi merah. Tersipu-sipu dia menyahut: „kepandaian Siaute hanya berasal dari engkong, mana dapat mencapai tingkat tinggi."

Setelah memasukkan pedang ke dalam sarung dan menyerahkan kembali, berkatalah Liong Go: „Kalau begitu, seperti halnya dengan Siaute, pun sejak kecil hanya mendapat pelajaran silat dari engkongku. Dahulu sewaktu engkong masih aktif, kaum persilatan telah memberi gelaran Thiat-san- sian (si Dewa Kipas Besi)."

Siau Ih terbeliak kaget, serunya: „Oh, kiranya Liong-heng ini adalah cucu dari Liong Bu-ki locianpwe, tokoh dari sepuluh Datuk yang bergelar Tui-hun-cap-sa-san (Tigabelas kipas perengut jiwa). Kipas yang Liong-heng bawa itu, tentulah pusaka milik Liong locianpwe dahulu, maaf, Siaute sudah berlaku kurang hormat tadi!"

„Memang benar yang Siau-heng katakan, benda yang Siaute bawa ini adalah kipas tui-hun-san kepunyaan engkong. Dengan dapat mengenal kipas ini, leng-cou (engkongmu) tentulah bukan tokoh sembarangan, tapi entah siapakah namanya yang terhormat?"

Jawab Siau Ih dengan minta maaf: „Waktu turun gunung, engkong pesan agar untuk sementara ini jangan menguwarkan namanya, harap Liong-heng maafkan keadaan Siaute itu." „Kalau begitu, baiklah, Siaute tak menanyakan lagilah. Hanya saja apakah kiranya Siau-heng sudi mengikat persahabatan dengan orang-orang yang lebih rendah?" kata Liong-Go.

„Alangkah bahagia Siaute tadi, pada waktu pertama-tama terjun dalam masyarakat ramai, dapat berjumpa dengan seorang sahabat baik. Kalau tiada Liong-heng, Siaute mungkin akan mendapat malu besar. Untuk itu, lebih dahulu Siaute hendak menghaturkan terima kasih," kata Siau Ih sembari berbangkit lalu membungkuk di hadapan Liong Go.

Sudah tentu Liong Go menjadi tersipu-sipu dan balas memberi hormat. Katanya pula: „Kalau Siau-heng berlaku demikian, Siaute merasa tak enak. Kalau kita berdua memang benar-benar hendak mengikat persahabatan, mengapa tak mengangkat saudara saja, bukanlah hal itu akan lebih merapatkan perhubungan lagi?”

Siau Ih serta merta menyetujui. Menurut perhitungan Liong Go berusia delapanbelas tahun. dan Siau Ih enambelas tahun, jadi Liong Go lah yang menjadi kakak. Hubungan mereka menjadi lebih akrab. Dari pertukaran percakapan, panjang lebar mereka mempersoalkan kesusasteraan dan ilmu silat serta kaum gagah dari dunia persilatan.

Rupanya Liong Go lebih banyak pengalamannya. Boleh dikata seluruh pembicaraan itu diborong olehnya. Siau Ih hanya mendengari saja dengan rasa kesengsam. Saking asyiknya, tahu-tahu hari sudah petang.

„Hiante, karena kelebuh dalam percakapan, sampai lupa diri. Malam ini terpaksa kita makan malam lagi dirumah makan sini," kata Liong Go.

Siau Ih hanya tertawa saja. Begitulah setelah memesan hidangan lagi, keduanya lanjutkan mengobrol. Atas pertanyaan Liong Go, Siau Ih menerangkan kalau belum mendapat penginapan untuk malam itu. Liong Go usulkan lebih baik menginap dihotel sebelah muka sana itu, karena tempatnya bersih. Siau Ihpun tak menolak.

Keesokan harinya setelah sarapan pagi, Liong Go menanyakan kemanakah gerangan Siau Ih hendak pergi.

„Sebenarnya Siaute mendapat perintah pergi ke Tiam-jong- san, tapi karena waktunya masih jauh, jadi lebih dahulu hendak menikmati alam pemandangan di daerah Kanglam," sahut Siau Ih.

„Aku justeru hendak pesiar ke Hangciu, mengapa hiante tak mau ikut kesana, melihat-lihat pemandangan nan indah permai dari telaga Se-ouw, dari itu menuju ke Kiangse lalu Suchwan terus membelok ke Hunlam. Suatu tamasya yang menyengsamkan bukan?"

„Di atas langit terdapat sorgaloka, di atas bumi terdapat Sociu dan Hangciu". Demikian rangkaikan kata-kata para penyair untuk melukiskan keindahan alam daerah Kanglam itu. Sudah tentu Siau Ih ketarik juga.

Setelah membayar rekening hotel, Liong Go membeli dua ekor kuda lalu ajak Siau Ih berangkat. Tak sampai sehari, tibalah mereka di kota Hangciu yang termasyhur.

Hangciu

Pernah menjadi ibukota dari baginda-baginda Go-ong, Gwat-ong, Khi-ong, Bu-ong, Siok-ong dan kerajaan Lam Song. Letaknya disepanjang sungai yang mengalir kelaut, banyak terdapat rawa dan telaga serta bendungan-bendungan air. Tata tenteram kerta raharjo atau rakyat aman sentausa, perdagangan makmur.

Itulah maka mendapat julukan sebagai ''sorga" dipermukaan bumi Disebelah barat kota, terbentanglah telaga Se-ouw yang termasyhur di seluruh negeri. Telaga itu dikelilingi oleh barisan gunung. Alam pemandangannya indah permai. Dari zaman ke zaman merupakan tempat para ulama saleh mencari ketenteraman batin, para pujangga menggali ilham dan tempat rakyat negeri berkreasi (cari hiburan). Hangciu benar-benar merupakan tempat yang romantik.

Liong Go dan Siau Ih lambatkan kudanya. Walaupun matahari musim rontok amat teriknya, namun jalanan-jalanan besar maupun kecil dalam kota itu, rumah-rumah makan dan kedai-kedai minum, penuh sesak orang berhilir mudik. Mereka berdua segera mencari sebuah penginapan.

Setelah membersihkan diri, mereka keluar pesiar. Liong Go ajak Siau Ih ketelaga Se-ouw. Disitu mereka menyewa sebuah perahu.

Ternyata ditengah telaga itu penuh berkeliaran perahu- perahu pesiar. Riang canda gelak tawa, selalu terdengar dari setiap perahu yang diturapangi. Siau Ih yang berhari-hari naik kuda, kini merasa luang bebas. –

Selagi kedua anak muda itu minum-minum sembari menikmati pemandangan telaga, tiba-tiba dari tepi sebelah sana terdengar suara hiruk pikuk. Letakkan cawan arak yang sedianya akan diminum, Siau Ih melongok keluar.

Jauh ditepi telaga sana, tampak ada beberapa lelaki gagah sedang mengepung seorang tua bersama seorang gadis. Di bawah jerit makian orang-orang itu, si pak tua berlutut sembari mengangguk-anggukkan kepala. Sedang gadis itu melindungi ayahnya, dari kemungkinan serangan orang-orang lelaki kasar itu.

Siau Ih menduga tentulah segerombolan kawanan durjana tengah unjuk aksi tengik menganiaya orang, Serentak bangunlah nuraninya. Kala itu Liong Go pun keluar ke geladak. Demi melihat wajah Siau Ih menampil kegusaran, dia buru- buru menanyakan halnya.

„Toako, coba lihat tu!" seru Siau Ih sembari menuding ke tepi telaga. Demi memandang, Liong Go pun mengerutkan alis, ujarnya: „Di bawah sinar matahari yang terang benderang, kawanan bangsat mau jual ketengikannya. Hiante, ayuh kita pergi kesana!"

Tapi ketika diperintah, si tukang perahu tampak pucat dan geleng-gelengkan kepala sembari komat kamit berbicara bahasa daerah itu. Siau Ih tak mengerti tapi ditilik dari gerak geriknya nyata kalau tukang perahu itu jeri terhadap kawanan tukang kepruk itu. 

„Jangan kuatir, kita tentu dapat memberesi mereka," kata Siau Ih menenangkan si tukang perahu, sembari menjanjikan tarnbahan upah.

Akhirnya mau juga si tukang perahu itu. Tiba di tepi telaga, setelah membayar sewa perahu, Liong Go dan Siau Ih cepat menuju ke tempat ramai-ramai itu.

Seorang lelaki tinggi kurus, tampak mencaci si orang tua yang berlutut itu: „Orang tua she Ih, kau punya muka tidak? Karena berhutang pada Teng tongcu, kau seharusnya menerima apa keputusannya. Kini Teng-tongcu tak mau menerima pembayaran uang, melainkan menghendaki anak perempuanmu sebagai gundik. Disamping itu kau akan mendapat hadiah duapuluh bahu sawah. Turut nalar, itu sudah terlampau murah hati, mengapa kau masih main tolak saja? Hari ini adalah hari jatuhnya waktu pembayaran, dari membayar kau malah hendak membawa lari gadismu kelain tempat. Kedosaanmu itu pantas dihukum mati, nah, katakanlah bagaimana kehendakmu?"

Pak tua she Ih itu anggukkan kepala sampai mengenai tanah, lalu meratap: „Anakku itu telah ditundangkan pada lain orang. Untuk kebaikan hati Teng-tongcu, nanti pada lain penjelmaan si tua yang rendah ini baru dapat membalasnya. Tentang hutangku itu, sudilah kiranya para toaya sekalian menyampaikan pada Teng-tongcu agar bermurah hati untuk memberi kelonggaran beberapa hari lagi ” „Heh, heh," tukas si kurus jangkung, „enak saja kau bermain lidah. Sudah jangan banyak kata, kalau benar-benar arak-kebahagiaan tak mau minum dan minta arak-hukuman, jangan salahkan toayamu berhati kejam ya!"

Selagi kawanan tukang kepruk itu berisik menambah keangkeran ancaman si tinggi kurus, Siau Ih sudah lantas melangkah maju. Dengan dua buah jari, dia tepuk bahu si tinggi kurus itu pelahan-lahan, serunya berbisik: „Bunuh orang ganti jiwa, hutang uang bayar uang. Di bawah gemilang matahari, berani mengancam orang sewenang-wenang,  aturan mana itu?”

Si tinggi kurus itu terkejut berpaling. Demi dilihatnya hanya seorang pemuda berumur 16-17 tahun, kecongkakan timbul. Dengan galak, dia memaki: „Bangsat kecil, kau berani usilan, apa mau cari ”

Belum sempat dia lanjutkan kata „mati", plak, pipinya kiri telah ditampar si anak muda. Begitu keras tarnparan itu, sampai dia terhuyung mundur beberapa langkah, mata berkunang kepala pusing tujuh keliling. Separoh pipi kirinya menjadi begap biru dan tergurat dengan 5 buah jari tangan. Melihat itu, kawan-kawan si tinggi kurus segera menyerbu Siau Ih dan Liong Go.

„Toako, rupanya kawanan anjing ini biasa bikin onar. Hari ini Siaute hendak membasminya, supaya rakyat terhindar dari bahaya!" seru Siau Ih.

Belum sempat Liong Go menyahut, kawanan tukang kepruk itu sudah menyerangnya dengan senjata tajam.

„Toako, tolong lindungi ayah dan gadisnya itu, biar Siaute yang menghajar kawanan budak ini!" seru Siau Ih pula.

Liong Go menurut. Dia ajak si pak tua dan gadis untuk minggir disamping, menyaksikan Siau Ih beraksi. Terhadap kawanan tukang kepruk kelas kambing, Siau Ih tak banyak keluarkan tenaga. Dalam beberapa gerakan saja, dapatlah dia menutuk rebah enam orang musuh yang bengis-bengis itu. Setelah itu, dia menghampiri ke tempat orang tua she Ih tadi.

„Kawanan budak hina itu telah cayhe beri sedikit ajaran. Tapi bagaimanapun rasanya lo-jinke (pak tua) tak akan tinggal di kota Hangciu sini. Lebih baik lekas-lekas pergi, sementara waktu mengungsi ke tempat famili dulu ”

Baru berkata sampai disini, Siau Ih berputar ke arah Liong Go dan berseru: „Toako ”

Liong Go sudah dapat menangkap apa yang hendak dikatakan saudaranya angkat itu. Cepat-cepat dia sudah mengambil serangkum perak hancur untuk diberikan kepada orang tua itu, katanya: „Sedikit uang yang sempat kubawa ini, harap Iojinke suka menerimanya untuk ongkos perjalanan!"

Betapa rasa terima kasih orang tua kepada kedua anak muda itu, sukar dilukis. Lengan bercucuran air mata, dia berkata: „Mohon tanya siapa nama inkong berdua ini, agar aku si orang tua dapat ”

„Usah lo-jinke mengatakan begitu. Menolong yang lemah menin das yang lalim, adalah kewajiban setiap orang. Mumpung hari masih terang, lebih baik Lekas-lekas berangkatlah!"

Bersama anak gadisnya, pak tua itu beberapa kali menjura, kemudian berkata dengan nada gemetar: „Karena inkong berdua tak mau memberitahukan nama, aku si orang tuapun tak berani mendesak. Hanya mengenai kawanan tukang kepruk itu, adalah anak buah dari ketua partai Thiat-sian-pang cabang Hangciu yang bernama To-thau-thayswe Teng Hiong. Dia banyak kenalannya dengan kaum pembesar, kejahatannya keliwat takeran. Semua penduduk Hangciu tahu siapa 'raja' yang punya banyak jagoan kepruk itu. Memang Thiat-sian- pang besar sekali pengaruhnya, harap inkong berdua berhati- hati." --0dw0--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar