Si Rase Kumala Bab 02 : Pertempuran Dua Datuk Persilatan

2. Pertempuran Dua Datuk Persilatan

„Bok loji, kau keliwat menghina!" bentaknya dengan menggerung. “Wut,” dia jotos dada Bok Tong.

Tahu karena malu orang lantas marah-marah, si Dewa Tertawa gerakan tangan menangkis, seraya berseru setengah mengejek: „Bagus!"

Begitu angin pukulan lawan hampir mengenai tubuh, Bok Tong angkat kaki kirinya ke atas. Dengan berdiri pada kakinya kanan, dia berputar-putar macam daun teratai tertiup angin. Secepat pukulan orang lalu di sisinya, dia kibaskan lengan baju kiri dalam gerak hun-hoa-hud-liu (bunga berhamburan, batang liu bergoyang). Cepat laksana kilat, dia sambar jalan darah meh-bun-hiat lawan.

Sebelum Goan Goan Cu sempat merobah serangannya, laksana burung elang menyambar anak ayam, tangan kanan merangkul pinggang Shin-tok Lan. Sekali tubuh bergerak, Dewa Tertawa itu sudah menerbangkan anak dara itu keluar ruangan.

Shin-tok Lan ternyata sudah seperti patung tanpa jiwa. Ia tak tahu sama sekali akan kegentingan kedua tokoh datuk itu.

“Ah, cinta itu memang dapat membutakan orang.” Demikian pikir Bok Tong.

Ditepuknya pelahan-lahan bahu nona itu, katanya „Lan, setan kate itu sukar dihadapi. Kuatkanlah semangatmu dan bersembunyi di belakang, agar jangan sampai kesasar terluka!"

Dengan berlinang-linang air mata, Shin-tok Lan mengawasi si Dewa Tertawa sembari mengangguk-angguk. Tapi entah dia mendengar tidak kata-kata Bok Tong itu. Saat itu Goan Goan Cu sudah mengejar keluar. Wajahnya membesi, rambut janggutnya menjulai tegak, pertanda kemarahannya yang meluap-luap. Berdiri di atas tangga ruangan, dia menatap Bok Tong dan tertawa dingin beberapa kali.

„Bok loji, kau kira dapat melarikan diri, hem, tidaklah semudah itu?”

Siau-sian-ong tertawa gelak-gelak, sahutnya: „seumur hidup, lohu tak dapat menulis kata-kata “lari". Mari, marilah, ruangan dalam amat sempit, lohu akan menemanimu bermain-main disini, agar kau si setan kate ini dapat mati dengan meram.”

Tanpa menyahut, Goan Goan Cu melambung setombak tingginya, dua buah lengan dipentang ke atas, dalam gerak kim-tiau-can-ki (burung alap-alap pentang sayap), dia menyerang ke bawah. Serangkum angin keras, menyerbu atas kepala Bok Tong.

Kuatir kalau Shin-tok Lan terluka, buru-buru dia dorong nona itu mundur, kemudian dengan gerak oh-gan-kiau-hun atau rebah melihat awan, setengah mendongak ke atas, dia miringkan tubuhnya ke samping. Sebuah jurus yang indah, dan lihay, hingga dengan mudahnya serangan Goan Goan Cu tadi dapat dielakkan.

Dua kali serangannya dapat dihindari, marah Goan Goan Cu meluap-luap. Begitu turun ke bumi, sepasang lengan dijulurkan lurus ke muka dalam jurus keng-thau-liat-an (ombak dahsyat mendampar tepi). Angin yang mengandung tenaga macam barisan gunung rubuh ke laut, menyambar ke arah Siau-sian-ong.

Dewa Tertawa ini tetap berseri wajahnya. Kaki kiri agak dilintang dalam kuda-kuda to-jay-chit-sing-poh, lengan baju dikibaskan terbalik, dua buah tangannya gemuk kemerah- merahan, didorongkan ke muka dada. Nyata dia hendak menyambut kekerasan dengan kekerasan juga.

Keduanya adalah dua datuk dari zaman itu. Mereka sama- sama tergolong dalam sepuluh Datuk. Jadi bagaimana kesaktian mereka, kiranya tak perlu komentar panjang lebar lagi. Cukuplah dikatakan hebat, dahsyat, menggemparkan!

Sewaktu rumput-rumput yang kena terbabat sambaran angin pukulan mereka itu sama berhamburan terbang kemana-mana, dua-duanya ternyata sama mundur dua langkah. Si Dewa Tertawa wajahnya memerah darah, rambut kepalanya yang sudah putih, sama menjingkrak.

Sedang wajah Goan Goan Cu berwarna kelabu besi, sikapnya keren sekali. Mereka berdua terpisah dua tombak, tegak membisu saling berpandangan. Dua-duanya sama menginsyafi, bahwa lawannya ternyata memang tak bernama kosong. .

Sejenak kemudian, tiba-tiba Siau-sian-ong tertawa keras, serunya: „Ay-kui, kalau belum menguji kepandaian tentu belum ada penyelesaian. Nah, kaupun harus menerima pukulan satu kali!"

Mulut berkata, tangan menghantam. Serangkum angin panas segera menyerang Goan Goan Cu.

Tojin inipun tak mau unjuk kelemahan. Kaki kiri agak mundur setengah langkah, kedua tangan dibalikkan ke muka untuk mengadu kekerasan. Kembali terdengar suara tamparan yang dahsyat.

Kedua bahu Siau-sian-ong bergoyang-goyang, tubuhnya menyurut ke belakang sampai dua langkah.

Sedangkan Goan Goan Cu, ternyata tersurut sampai tiga langkah. Dalam suatu pertandingan para tokoh ternama, terpaut seinci dua saja, sudah dapat diketahui menang kalahnya. Jadi menurut ukuran, Goan Goan Cu harus mengaku kalah unggul.

Saat itu wajahnya yang kurus tirus, menjadi merah padam. Sepasang matanya memancarkan sinar api. Sekonyong- konyong tojin ini menggerung keras. Melangkah maju, sepasang tangan dipecah, dengan gerak song-yang-hing-chiu (sepasang matahari memencar tangan), dia merangsang jalan darah ki-bun-hiat Bok Tong.

Walaupun sudah unggul, namun Bok Tong cukup menginsyafi bahwa serangan Goan Goan Cu yang dilancarkan dengan penuh kemarahan itu, hebatnya bukan kepalang. Serangan kalap yang dilakukan oleh seorang tokoh dari sepuluh Datuk, dapat dibayangkan kedahsyatannya. Diapun tak berani lengah. Begitu tubuh setengah diputar ke belakang, lebih dahulu dia kirim dorongan tangan kiri ke arah Shin-tok Lan. Begitu nona itu terdorong mundur sampai dua tombak lebih, baru dia berjumpalitan mundur untuk menghindari serangan lawan.

Goan Goan Cu tertawa dingin. Bagaikan bayangan dia membayangi maju.

„Mau lari kemana kau!" bentaknya dengan keren. Tangan kanan dihantamkan ke muka, sambaran anginnya dibuat mencegat Bok Tong yang hendak lari mundur. Dalam pada itu, tangan kiri digerakkan dalam jurus oh-liong-tham-cu (naga hitam merebut mustika), mencengkeram jalan darah yu-kian- hiat.

Terperanjat juga Bok Tong melihat gaya serangan Goan Goan Cu yang sedemikian dahsyatnya itu. Kalau tak berusaha, tentu dia akan mati berdiri. Secepat otaknya bekerja, tiba-tiba dia berhenti tegak. Dengan begitu dapatlah secara indah dan mengagumkan, dia biarkan rangsangan lawan lewat di sisi bahunya. Bagi tokoh persilatan kelas berat, menang kalahnya bertanding, hanya berlangsung dalam beberapa detik saja. Cara menghindar dari Siau-sian-ong Bok Tong itu, luar biasa berbahayanya. Serambut saja dia kurang tepat bergerak kalau tak binasa tentu akan terluka berat. Benar-benar ajaib dan mengherankan, sehingga seorang tokoh Goan Goan Cu  sampai terkesiap dibuatnya.

Adalah diwaktu lawan tertegun, bukannya mundur sebaliknya si Dewa Tertawa malah maju. kedua lengan disorongkan ke muka, jari dan kepalan digunakan menyerang. Sekali gus dia lancarkan tiga buah serangan.

Dirangsang secara begitu, Goan Goan Cu terpaksa mundur dua langkah.

Mendapat hati, Bok Tong tak mau sia-siakan kesempatan, cepat dia gunakan ilmu simpanannya tun-yang-cap-pwe-ciap (delapanbelas buah pembuka hawa yang murni) untuk memburu Goan Goan Cu.

Goan Goan Cu pun segera gunakan ilmunya yang sudah termasyhur di kolong persilatan yakni sam-im-coat-hu-ciang, untuk menghadapi lawan. Sam-im-coat-hu-ciang artinya ilmu pukulan "tiga pukulan hawa negatif pemusna”. Keduanya sama meyakinkan ilmunya selama berpuluh tahun. Tun-yang- cap-pwe-ciap, sifatnya keras macam hawa positif. Sedang sam-im-coat-hu-ciang berkadar lunak lemas macam kapas.

Dua-duanya dapat menguasai permainannya sedemikian rupa, hingga seolah-olah orang dan gerakannya menunggal jadi satu. Yang tampak hanya berkelebat bayangan kelabu  dan kuning dengan sebentar-sebentar kedengaran suara tamparan keras yang memecah telinga. Setiap gerak, setiap jurus, mengandung angin hawa kong-gi. Ruangan depan yang sekian besamya itu, seolah-olah dilingkungi oleh sambaran angin pukulan mereka. Dalam biara tua di atas pegunungan Hoa-san yang sunyi senyap itu, terjadi pertempuran dahsyat yang jarang terjadi di dunia persilatan. Dalam sesingkat waktu saja, pertempuran itu sudah berlangsung lebih dari seratus jurus.

Selagi kedua datuk itu bertempur mati-matian saling keluarkan keyakinannya selama berpuluh tahun itu, sekonyong-konyong terdengar tembok rubuh yang gempar. Api muncrat, disusul dengan sebuah jeritan yang menyeramkan.

Kedua tokoh yang sedang bertempur itu kaget tak terkira. Tanpa ajak-ajakan, mereka sama loncat keluar jendela: Ternyata mereka dapatkan bahwa ruangan dalam tempat Goan Goan Cu mengadili muridnya tadi, karena temboknya sudah banyak yang pecah, tak kuat menahan deru sambaran angin yang terbit dari hantaman kedua tokoh itu. Ruangan itu kini ambruk seluruhnya, dan mayat Siau Hong pun teruruk di bawahnya. Jeritan seram tadi, keluar dari mulut Shin-tok Lan.

Saat itu Shin-tok Lan laksana seorang gila, tangisnya mengiang-ngiang „engkoh Hong, engkoh Hong”. Luapan hatinya yang hancur berkeping-keping, membuat tubuhnya gemetar terhuyung-huyung. Tanpa menghiraukan segala apa, nona yang bemasib malang itu segera lari menuju ketumpukan puing, lalu jatuhkan diri, menelungkupi dan menangis tersedu-sedan.

Suasana yang penuh hawa pembunuhan tadi, seketika sirap berganti dengan suasana sayu yang merawankan. Tiada tahan lagi si Dewa Tertawa menahan haru napasnya.

“Mengapa nasib yang menyedihkan, menimpa diri nona yang baik itu? Mana ia dapat menahan kedukaan yang sehebat itu, ah, lohu tak boleh membawa kemauan sendiri!” pikirnya.

Kuatir Shin-tok Lan akan menderita goncangan bathin yang hebat, maka Bok Tong segera loncat menghampiri. Masih terpisah beberapa meter jauhnya, dia gerakkan jarinya menusuk. Tenaga tusukan dari jauh itu, cukup membuat si nona rubuh.

Setelah itu Siau-sian-ong berputar tubuh menghadap ke arah Goan Goan Cu, serunya: „Ay-kui, rupanya perhitungan malam ini belum dapat dibereskan. Si Lan menanggung derita hebat, agar jangan melukai hawa murninya, perlulah harus lekas-lekas ditolong. Dalam hal ini karena aku si tua bangka sudah campur tangan, jadi tentu akan bertanggung jawab penuh. Tentang soal apakah kesalahan Siau Hong layak mendapat hukuman sekejam itu, dan siapakah yang mengirim surat fitnah berdarah itu, kelak aku tentu menyelidiki sampai terang. Dengan begitu kiranya tentu dapat membuat seorang setan kate seperti kau ini akan mengakui ketololanmu. Matahari tetap akan bersinar, kalau kita berdua tua bangka ini masih sama hidup, lohu tentu akan mengunyungi Siang Ceng Kiong untuk membereskan semua persoalan ini!"

Tanpa menunggu jawaban Goan Goan Cu, tubuh Shin-tok Lan dikepitnya. Sekali bergerak tubuh orang tua gemuk itu sudah melambung dua tombak tingginya, disitu dia berputaran, lalu bagaikan seekor burung garuda terbang, dia sudah melayang keluar dari biara rusak itu. Suara tertawa keras macam naga mengaum, terdengar dari arah luar, makin lama makin jauh dan pada lain saat sirap lenyap.

Kini yang tertinggal hanya si tojin pendek Goan Goan Cu. Ditabur oleh angin malam nan dingin, matanya terpaku memandang ke arah tumpukan puing yang menguruk jenazah Siau Hong.

Pikiran melayang, hati berkabut sesal ..........

Dinihari di awal musim panas. Bulan dan bintang di cakrawala mulai menjuram. Barisan gunung yang merupakan tapal batas antara propinsi Siamsay selatan - Kansu - Suchan, mulai menampilkan puncak-puncaknya dari selimut awan malam. Awan yang beterbaran itu, dihias dengan latar belakang langit yang berwarna keperak-perakan, membuat pemandangan alam pegunungan dikala menjelang pagi itu, sebuah panorama yang indah menyengsamkan.

Permukaan puncaknya yang mulai menghijau, bergariskan saluran-saluran air dan bertaburkan karang-karang yang beraneka bentuknya. Hari makin terang, fajar mulai menyingsing. Di dataran luas pada sebuah puncak yang menjulang tinggi, tampak ada seorang anak lelaki berumur tigabelas-empatbelas tahun, sedang bergerak kian kemari. Rupanya dia tengah berlatih suatu ilmu silat yang tinggi.

Jejaka tanggung itu berwajah putih, gigi rata bertutupkan sepasang bibir yang merah segar. Menurut ukuran, dia tergolong seorang pemuda yang cakap. Hanya sayang ada cirinya sedikit, yakni sepasang alisnya yang tebal jengat itu, memancarkan hawa pembunuhan.

Setelah sekian lama berputar-putar, dia berhenti merenung, sebentar mengerut, sebentar berseri girang. Seolah-olah pelajarannya itu amat tinggi dan sulit, hingga dia harus peras otak memecahkannya. Pada lain saat, sekonyong-konyong dia bergerak lagi, kali ini bahkan lebih cepat dari tadi. Yang kelihatan hanyalah sesosok bayangan warna hijau berputar- putar mengelilingi tanah seluas dua tombak.

Berbareng itu, wajahnyapun berseri kegirang-girangan. Kiranya sudah berhari-hari dan bermalam-malam dia putar otak memecahkan pelajaran itu, namun belum dapat menyingkap rahasia dari gerakan ajaib itu. Bahwa pada saat itu, akhirnya dapat juga dia menembus tabir rahasia itu, sudah tentu dia girang setengah mati.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang ketawa. Cepat si pemuda kecil itu hentikan gerakannya dan berpaling ke belakang. Pada dahan sebuah pohon sepuluhan tombak jauhnya, berbaring seorang tua bertubuh gemuk pendek, wajah merah rambut putih menguban. Orang tua itu mengulum senyum, mengangguk-angguk kepada pemuda kecil itu. Rupanya dia memuji hasil anak itu.

Melihat orang tua itu berlaku begitu, merahlah muka si anak.

Serentak mulutnya berteriak: „Yah, kau .......” dan secepat itu dia sudah loncat ke tempat si orang tua.

Pak tua gemuk mendongak tertawa terkial-kial. Desis anginnya sampai merontokkan daun-daun di sekitarnya, burung-burung sama terkejut beterbangan. Sesaat kemudian tiba-tiba lengan baju orang tua itu dikebutkan dan

„terbanglah" dia ke arah pohon lain. Caranya dia bergerak, tak ubah seperti seekor burung.

„Yah, kau mau lari? Akan kukejar sampai dapat!" seru si jejaka tanggung sembari ayun tubuh loncat ke dahan tempat si orang tua tidur tadi. Dari itu, dengan gunakan gerak it-ho- jong-thian atau burung bangau menobros langit, dia melambung sampai tiga tombak lalu melayang turun di tengah-tengah rimba itu. Suatu loncat indah yang mengagumkan dan jatuhnyapun tak mengeluarkan suara sedikitpun juga.

Kini keduanya saling kejar, menyusup rimba pohon yang lebat, daun dan dahan yang malang melintang, ada kalanya loncat naik ada kalanya melayang turun, kejar mengejar mati- matian. Sampai sepenanak nasi lamanya, sekalipun sudah tumplek seluruh kepandaiannya namun anak itu tetap tak dapat mencandak. Jarak mereka senantiasa tetap pada tiga- empat langkah.

Selagi anak itu gemas-gemas bingung, tiba-tiba dilihatnya gerakan pak tua itu agak diperlambat. Wah, girangnya bukan kepalang. Sekali tancap gas, dia loncat berlari dan “plak”, dipeluknyalah erat-erat pinggang pak tua gemuk itu.

„Yah, aku dapat menangkapmu!" serunya. Tapi di luar dugaan, ketika tangan anak itu hampir dapat memeluk pinggang, tiba-tiba semak-semak daun yang diinjak kaki pak tua itu, entah apa sebabnya, merekah sendiri dan meluncurlah tubuhnya ke bawah. Kembali anak itu menangkap angin! Masih anak itu tak terima. Dilihatnya “lubang" pada semak daun yang diterbitkan oleh semburan napas pak tua tadi, masih belum menutup. “Wut”, loncatlah anak itu ke bawah menyusulnya!

Jatuh ke dalam hutan, dilihatnya sekeliling itu sunyi senyap. Bayangan si pak tua, seolah-olah ditelan hilang. Mau tak mau, anak itu kewalahan juga.

„Yah, yah, kau berada dimana? Aku tak mengejarmu lagilah!"

Baru seruan itu dicanangkan, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh dari seorang tua: „Buyung, ayahmu kan di sini!”

Menurut arah suara itu, astaga, kiranya pak tua itu berdiri di sebelah luar hutan dan tengah bersenyum melambaikan tangan. Bagai anak kijang menyongsong induknya, sekali dua berloncat, anak itu memburu keluar dan jatuhkan diri ke dalam pelukan si pak tua. 

Dengan mesranya pak tua itu memeluk si bocah. Dilihatnya baju hijau anak itu banyak yang robek berlubang kecantol ranting.

„Sebuah baju utuh, kau bikin berlubang seribu ya!" ujarnya.

Anak itu kusap-kusapkan kepalanya ke dada pak tua. Dengan malu dan aleman dia menyahut: „Biarlah, siapa suruh ayah mencuri lihat aku berlatih tadi. Nah, ayah ku denda mengganti sebuah baju baru dan mendongengkan sebuah cerita!" „Ini kan namanya dunia terbalik. Belum lagi kumenghukummu, kau sudah mendenda ayah!" damprat pak tua sembari tertawa.

Si anak menarik baju ayahnya, sikapnya amat manja sekali. Pak tua hanya ganda tertawa, serunya: „Sudah begini besar, masih aleman, ai, semua-semuanya adalah salahku sendiri terlalu memanjakanmu!''

Mendengar itu si anak terus angkat kepala yang disusupkan dalam dada pak tua tadi, serunya dengan girang: „Kalau begitu ayah harus dihukum. Siapa suruh kau memanjakan sampai merusak diriku ini?"

Dibantah begitu, pak tua makin mengikik tertawa.

„Setan cilik seperti kau ini memang tajam benar lidahmu, sampai yang menjadi bapak tak menang berbantah!"

„Jadi kau meluluskan bukan? Mengganti baju baru dan bercerita!" seru si anak sambil tertawa riang.

„Ya, ayah meluluskan!"

Si bocah bertepuk tangan, serunya menegas: „Apa sungguh, tidak bohong?"

„Selamanya belum pernah ayah membohongi kau. Tapi, tahukah kau apa sebabnya hari ini ayah begini gembira?”

Pemuda kecil itu menggeleng.

„Ayah gembira karena melihat kau memperoleh kemajuan pesat itu," menerangkan pak tua sembari tertawa, „ketahuilah, apa yang kuajarkan padamu sepuluh hari yang lalu itu ialah ilmu 'ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh', sebuah ilmu sakti yang lama lenyap dari dunia persilatan. Memang tampaknya sederhana sekali, tetapi apabila sudah diyakinkan mendalam, keindahannya sukar dijajaki, perobahannya tiada batasnya. Kalau sudah dapat mempelajari inti rahasianya, sekalipun bertanding dengan jago lihay, tetap takkan sampai kalah. Apalagi kalau dapat mengimbangkan gerakan itu dengan permainan pukulan dan pedang, tentu akan lebih dahsyat lagi. Benar-benar tak kusangka, dalam waktu sesingkat itu, ternyata kau dapat menyingkap tabir rahasia ilmu itu. Ini menandakan kau seorang anak yang berbakat dan cerdas

..........”

Tiba-tiba nada pak tua berobah sungguh-sungguh, katanya pula: „Ih-ji, ingatlah, memang hal yang menggembirakan bahwa seseorang itu memiliki kecerdasan cemerlang, tapi kalau kemauannya tak keras, pun tentu mudah menyeleweng dan kesasar kelumpur kejahatan. Dengan begitu, kecerdasan itu bahkan akan menjadi alat pendorong untuk menjerumuskan kau ke dalam jurang kemusnaan. Mengertikah kau akan maksud ucapanku ini?"

Pemuda kecil yang dipanggil Ih-ji itu terkesiap. Wajahnya yang berseri girang tadi, berobah keren seketika.

„Yah, aku mengerti. Tapi kuminta kau legakan hatimu, kelak tentu Ih-ji takkan mengecewakan harapanmu!" sahutnya dengan lantang.

„Bagus, sepatah katamu itu, cukup menggembirakan hatiku selama beberapa hari ini," kata pak tua dengan tertawa. Memang boleh dikata, pak tua gemuk itu selalu tak pernah lupa untuk tertawa.

Dalam pada bercakap-cakap itu, mereka berdua sudah mengitari hutan dan berjalan menuju kesebuah rumah kayu. Rumah itu seluruhnya terbuat dari bahan kayu. Sekalipun sederhana dan kasar, namun cukup kuat dan bersih.

Tiba di muka rumah, pak tua hentikan langkahnya. Mengawasi kepada anaknya, berkatalah dia: „Sebelum kubercerita nanti, lebih dahulu aku hendak mengujimu, berapa jauhkah kemajuanmu dalam ilmu lwekang. Kalau hasilnya memuaskan hatiku, nanti ayah akan menuturkan sebuah  cerita menurut permintaanmu!" „Yah, aku ingin mendengar cerita dalam dunia persilatan yang paling menarik sendiri," kata Ih-ji.

Pak tua mengiakan: „Baik, kululuskan. Nah, sekarang gunakanlah kian-gun-sin-kang, tangan kiri memukul dengan tenaga lunak dan tangan kanan menghantam dengan tenaga keras. Yang harus kau pukul ialah batu besar yang terpisah sepuluh langkah dari sini itu!"

Ih-ji menghampiri batu dan berhenti pada jarak sepuluh langkah. Sejenak mengerahkan semangatnya, tangannya yang kiri segera memukul pelahan-lahan, kemudian tangan kanan dibalikkan mendatar ke muka dada dan “wut”, menghantamlah dia sekuat-kuatnya. Hasilnya, sebelah kiri batu itu "dicap" sebuah telapak tangan sementara beberapa tonjolan di sebelah kanan batu itu, hancur lebur beterbangan.

Pak tua tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya.

„Benar tenaga pukulan itu masih belum sempurna, tapi tujuh bagian sudah berhasil. Mengingat baru dalam beberapa tahun saja mempelajari, hasil yang kau capai itu sudah bolehlah. Nah, kau lulus ' dalam ujian kali ini, sekarang aku hendak bercerita!"

Saking girangnya, Ih-ji sampai lompat berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Cepat-cepat dia lari ke muka jendela. Sebuah papan batu, diangkatnya untuk duduk pak tua, sedang dia sendiri mandah duduk di tanah menelungkupi haribaan (pangkuan) ayahnya itu, Sepasang matanya yang besar dan bercahaya, menatap kewajah pak tua.

Melihat wajah yang cakap dan sikap wajar kekanak-anakan itu, makin besar rasa sayang pak tua itu kepada sang putera. Dengan mesranya dibelai-belai rambut anak itu. Kemudian mulailah dia bercerita.

„Berpuluh tahun yang lampau, semua perguruan dan partai dunia persilatan, rukun dan damai. Masing-masing ayem tenteram tinggal di tempatnya untuk meyakinkan ilmu silatnya. Pada suatu ketika, diadakanlah pertemuan besar dalam kalangan mereka. Benar dalam pertemuan itu dapat lebih mengeratkan persahabatan dan berlangsung dengan ramah tamah, tapi tak urung disitu timbullah suatu urusan kecil yang tak menyenangkan. Tapi karena urusan itu sepele saja, jadi ibarat suatu alun kecil beriak dalam samudera besar, sebentar saja siraplah sudah.

Demikian sampai berpuluh tahun, dunia persilatan aman tenteram. Kala itu, di samping beberapa partai besar seperti Go-bi-pay, Siao-lim-pay, Kun-lun-Pay dan Kong-tong-pay serta Bu-tong-pay, masih ada lagi sepuluh orang sakti yang aneh tabiatnya. Bukan hanya dalam perangai saja kesepuluh tokoh itu aneh, pun dalam ilmu silat, mereka amat sakti dan masing- masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Kesaktian kesepuluh tokoh itu, konon katanya di atas dari pemimpin- pemimpin partai besar itu ”

Ih-ji menyelutuk: „Yah, siapakah kesepuluh tokoh aneh itu?"

Melihat nafsu ingin buru-buru tahu dari anak itu, tertawalah pak. tua itu, dampratnya: „Kunjuk kecil, jangan keburu nafsu, masakan ayah tak mau menceritakan padamu nanti!"

„Yah, lekas katakanlah!" seru Ih-ji. Pak tua mengangguk.

„Kesepuluh tokoh aneh itu ialah seorang paderi, dua tosu tua, tiga saudara perawan tua, sepasang suami isteri, seorang pelajar, dan seorang tua sebatang kara," katanya pula.

„Mereka ialah Beng Keng Siangjin dari gunung Thian-bok- san timur, Kho Goan-thong dari biara Li Cu Kiong di pulau Peng-to laut Tang-hay; Goan Goan Cinjin dari biara Siang Ceng Kiong di gunung Mosan; Tiga taci beradik dari biara Peh Hoa Kiong di gunung Lou-hu-san, suami isteri Li Hau bergelar Sat-sin-kun dari lembah Ceng-lin-ko, Shin-tok Kek, gelar Rase Kumala dari lembah Liu-hun-hiap gunung Tiam-jong-san, dan si Dewa Tertawa yang lupa akan she dan namanya yang aseli. Kesepuluh tokoh itu, diagungkan sebagai sepuluh Datuk Persilatan. Mulut orang iseng, merangkai nama mereka menjadi: it-ceng, ji-to, sam-siancu, giok hou, song sat, Siau- sian-ong.

Enambelas tahun yang lalu, tokoh-tokoh partai persilatan sama menganggap bahwa peyakinan ilmu mereka sudah matang. Untuk mengetahui sampai dimana tinggi rendah ilmunya itu, mereka menyuruh anak muridnya keluar mengembara untuk mencari pengalaman dan pengetahuan. Maksud sih baik, tapi kenyataan malah menimbulkan onar yang berlarut-larut sampai duapuluhan tahun belum saja selesai."

--ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar