Si Rase Kumala Bab 01 : Fitnah Berdarah

1. Fitnah Berdarah

Hoasan di sebelah barat, Hengsan di sebelah timur, Hengsan di sebelah selatan dan Hengsan di sebelah tengah, merupakan Ngo-gak atau lima buah gunung yang termasyhur di Tiongkok, (note: Hengsan-Hengsan itu ejaan sama, huruf berlainan). “Di dunia ada tiga puncak yang sukar didaki", demikian seorang penyair ahala Tong menulis. Kiranya yang dimaksudkan itu ialah Tiau-yang-nia, Lian-hoa-nia dan Lok- gan-nia, tiga buah puncak dari pegunungan Hoasan yang teramat curam serta berbahaya.

Cerita ini terjadi pada musim rontok, dimana daerah-daerah di propinsi Tiongkok utara, sudah dilanda hawa dingin. Pohon- pohon layu, daun-daun berguguran. Angin barat mulai menyanyi gemuruh. Suasana malam di pertengahan bulan sembilan itu, gelap pekat sekali. Hanya beberapa bintang yang menghias cakrawala pada malam nan panjang itu .........

Tak jauh dari kaki puncak Lok-gan-nia, terdapat sebuah biara tua, walaupun karena tuanya, bangunan itu sudah banyak yang rusak namun dari kejauhan wajah biara itu masih memantulkan perbawa kemegahannya pada masa yang lampau. Dalam malam nan pekat itu, suasana di biara itu makin sunyi kelam, yang terdengar hanya desiran daun pohon-pohon pek yang di sekeliling biara yang berguguran ditiup sang angin. Suasana disitu makin menyeramkan.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak ada sesosok bayangan hitam lari seperti terbang menuju ke biara tua itu. Dalam beberapa kejap saja, bayangan hitam itu sudah tiba di luar tembok biara. Kiranya dia itu seorang pemuda berusia lebih kurang duapuluh tujuh tahun, mengenakan pakaian ringkas warna hitam, menyanggul sebatang pedang di belakang bahunya. Perawakannya tegap besar.

Dia berhenti di muka biara dan memandang ke dalam. Demi tampak dalam biara itu gelap gulita tiada penerangannya sama sekali, hatinya tercekat. Merenungkan sejenak, dia membungkukkan tubuh menghadap pintu, lalu berseru: „Tecu Siau Hong yang berdosa, menerima titah untuk menghadap insu."

Tecu artinya murid, in-su ialah guru yang berbudi. Baru seruan itu diucapkan, sekonyong-konyong lampu lentera dalam biara itu dinyalakan. Menyusul dari dalam biara itu terdengar seorang tua berseru nyaring: „Kiranya kau masih taat pada perguruan, masuklah!”

Siau Hong benarkan dugaannya bahwa sang suhu sudah disitu. Buru-buru dia menyahut dengan hormatnya: „Tecu menurut perintah!"

Setelah membetulkan pakaian, dia melangkah masuk. Ruangan dalam biara itu ternyata penuh daun-daun kering berserakan di lantai. Disana sini menunjukkan suasana tak terpelihara dan banyak kerusakan. Satu-satunya yang masih baik keadaannya ialah di bagian ruangan tengah. Disitu terdapat sepetik penerangan yang remang-remang.

Tampak oleh Siau Hong, di ruangan tengah itu terdapat sebuah meja sembahyangan yang besar. Meja itu, catnya sudah banyak yang tetel (hilang). Di atas meja ditaruh sebuah pelita minyak. Tertiup oleh angin malam, api pelita itu padam- padam menyala. Suasana disitu terasa menyeramkan sekali.

Di depan meja tampak duduk bersila seorang tojin tua yang bertubuh kurus dan pendek. Sepasang matanya dikatupkan ke bawah. Melihat sang suhu, Siau Hong bergegas-gegas masuk lalu berlutut. Dengan kepala menunduk, dia berdatang sembah: „Dengan hormat tecu datang menghadap insu."

Sepasang alis tojin itu agak dijungkatkan, sepasang matanya berkilat dan kedengaran mulutnya berkata pelahan:

„Jadi kau masih mengakui insumu ini?”

„Insu .....,” tersipu-sipu Siu Hong menjawab dengan nada getar.

„Siau Hong, angkatlah kepalamu!" kata tojin tua itu.

Siau Hong menurut. Baru dia gerakkan kepala, “trang” ......

sebuah  badik  dan  sepucuk  sampul  surat,  melayang  jatuh dihadapannya. Melihat itu wajah pemuda itu berobah seketika. Kembali dia tundukkan kepala.

„Kau tahu kedosaanmu?” seru tojin itu dengan tertawa dingin.

Siau Hong mendongak, menatap wajah suhunya yang keren. Sahutnya dengan nada tergetar: „Sejak tecu menjalankan titah insu untuk berkelana di dunia persilatan selama lima tahun, rasanya tecu tak melakukan sesuatu hal yang melanggar larangan perguruan. Bulan yang lalu setelah menerima ceng-hu-leng (“Pertandaan kupu hijau", untuk meminta pertanggungan jawab sesuatu kesalahan), tecu renungkan bolak balik tanpa mengerti apa kesalahan tecu itu. Kini insu menjatuhkan dakwaan ‘dosa tak berampun' kepada diri tecu, makin kacaulah perasaan tecu. Mohon insu sudi menjelaskannya."

Tojin tua itu mendengus, tukasnya: „Hem, benar-benar tak menginsyafi. Jawablah pertanyaanku ini, setiap anak murid kita yang berbuat zinah, apakah hukumannya?”

„Berharakiri membelek dada, selaku menghaturkan terima kasih kepada perguruan," sahut Siau Hong.

„Bagus! Lebih dahulu bacalah surat itu!” kata si tojin.

Siau Hong memungut sampul surat itu, lalu membacanya.

Habis membaca, dia kucurkan keringat dingin.

“Siapakah yang melakukan fitnah sedemikian kejinya ini. Memutar balikkan kenyataan dan mendakwa aku sebagai seorang yang berlumuran dosa tak berampun?” diam-diam Siau Hong membatin. Teringat dia akan watak pribadi suhunya yang keras terhadap setiap kejahatan. Menilik suhunya begitu cenderung percaya pada fitnahan itu, bergidiklah Siau Hong.

Tapi baru dia hendak buka mulut membela diri, suhunya sudah mendahului: „Sekarang apa kau sudah mengetahui kedosaanmu?" „Insu, surat itu sengaya hendak memfitnah tecu, memutar balikkan kenyataan, putih dikatakan hitam. Dan lagi surat itu tentu bukan Shin-tok locianpwe yang menulis, karena ”

„Diam! Bagaimana kau dapat memastikan surat ini bukan ditulis Shin-tok Kek, hem, dalam keadaan begitu rupa, kau masih hendak membersihkan diri. Benar dengan Giok-hou Shin-tok Kek aku digolongkan dalam daftar sepuluh Datuk persilatan, tapi selama ini aku tak pernah berhubungan dengan dia. Jika harus menunggu sampai dia datang sendiri meminta pertanggungan jawab ke biara Siang Ceng Kiong sini, dimanakah mukaku hendak kusembunyikan?"

Tojin tua itu berhenti sejenak, lalu berseru pula: „Siau Hong, pantangan dari Siang Ceng Kiong kita sangat keras. Terhadap siapapun murid yang melanggar, tiada pengecualiannya. Meskipun kau adalah murid kesayanganku yang kuwarisi seluruh kepandaianku, tapi dalam hal ini, akupun tak dapat memberi ampun padamu. Oleh karena kau sudah mengetahui sendiri apa hukuman menurut perguruan kita, rasanya tentu tahulah sudah bagaimana kau harus bertindak. Nah, kau habisi jiwamu sendirilah!"

Melihat suhunya dirangsang hawa amarah, Siau Hong insyaf segala pembelaan tentu tak berguna. Akhirnya berkatalah dia dengan rawan: „Sejak tecu tinggalkan perguruan selama lima tahun, tecu merasa yakin tak pernah berbuat sesuatu hal pelanggaran besar. Sekalipun ada kesalahan, tapi bukan dosa tak berampun. Dua bulan yang lampau, dua kali tecu naik gunung tetapi insu kebetulan sedang berkelana, jadi tak dapat menjumpai ”

„Kini insu ternyata percaya penuh bunyi surat itu, walaupun tecu tak berani membantah, tapi dalam sanubari, tecu tetap menolak tuduhan itu. Tecu telah menerima budi besar dari insu, apa yang insu titahkan, tecu tak berani ingkar. Tecu sedia bunuh diri, hanya saja tecu berharap semoga dikemudian hari, dosa yang dituduhkan kepada tecu itu dapat dibersihkan, sehingga nama tecu dapat direhabilitasi (dikembalikan) pula. Dengan begitu, dapatlah tecu meram di alam baka. Untuk budi besar yang insu limpahkan itu, kelak dipenjelmaan lagi, barulah tecu dapat membalasnya!"

Ucapan itu ditutup dengan menyambarnya badik di atas lantai dan secepat kilat, “cret ” badik itu tertanam di dada

Siau Hong. Darah menyembur, tubuh terkapar!

Berbareng dengan rubuhnya tubuh pemuda itu, si tojin tua berputar tubuh. Rupanya diapun tak tega melihat murid kesayangannya mengakhiri hidupnya secara begitu mengenaskan!

Tiba-tiba dari jauh di luar biara sana, terdengar kumandang tertawa memanjang macam naga meringkik. Mendengar itu, si tojin tua berobah wajahnya, ya, hanya dalam berapa kejapan mata saja, suara tertawa itu sudah berada di luar biara. Dan pada lain kejap lagi, seorang tua bertubuh gemuk pendek dan berwajah merah muncul di ruangan tengah itu bersama seorang nona yang mengenakan baju warna merah.

Demi melihat tubuh Siau Hong terkapar di lantai, menjeritlah nona itu, terus lari menubruknya. Si orang tua gemuk pendek banting-banting kaki menghela napas:

„Terlambat setindak ”

Sewaktu tojin kate itu terkejut melihat kedatangan tamu- tamu yang tak diundang itu, si orang tua gemuk tertawa keras dan menegurnya: „Ay-kui, sudah beberapa tahun kita tak berjumpa, tak kunyana temperaturmu (hawa panas), masih seperti dulu. Mengapa kau tinggalkan biara Siang Ceng Kiong yang megah dan mengadakan persidangan di biara rusak semacam ini? Sebenamya, kesemuanya itu omong kosong belaka. Aku hanya hendak bertanya sepatah padamu, bukankah anak itu kau yang mendesaknya supaya bunuh diri?" Sepasang alis si tojin kate berjungkat. Ujarnya: „Bok loji, aku tengah menjalankan peraturan kaumku, mengadakan pembersihan perguruanku, apa sangkut pautnya dengan kau? Akupun hendak balas bertanya padamu, siapakah anak perempuan itu?”

Si orang tua gemuk tertawa terbahak-bahak, sahutnya dengan sinis: „Hebat sekali rasanya peraturan dan pembersihan yang kau lakukan itu, ha? Aku Siau-sian-ong Bok Tong memang suka usil, ini diketahui oleh orang sejagat. Coba katakan, apa dosa anak itu hingga kau paksa supaya bunuh diri!"

Tojin tua yang dipanggil Ay-kui (setan cebol) oleh si orang tua gemuk yang bergelar Siau-sian-ong atau Dewa Tertawa itu, menyahut dengan dingin: „Dia melakukan zinah, tidakkah selayaknya dihukum mati!"

Si Dewa Tertawa Bok Tong tersenyum: „Hem, kiranya begitu!" Secepat itu, wajahnya berobah sungguh-sungguh, katanya pula: „Apa kau mempunyai bukti?”

Si tojin pendekpun tak kurang marahnya, lantang-lantang dia menghardik: „Aku mengurus anak perguruanku sendiri, apa sangkutannya denganmu? Datang-datang kau lantas marah-marah, aturan mana itu? Kalau tak mengingat kita bersama dijajarkan dalam sepuluh Datuk, malam ini aku tentu minta keadilan padamu?”

Kemudian menunjuk ke arah si nona baju merah yang menelungkupi tubuh Siau Hong dengan menangis terlara-lara, bertanya pula dia: „Bok loji, siapakah budak perempuan itu?"

Si Dewa Tertawa tertawa: „Sudah tentu aku tak berhak mencampuri urusan rumah tangga perguruanmu. Jangankan kau bunuh seorang, sekalipun kau sembelih sepuluh-duapuluh anak muridmu, akupun tak peduli. Tentang pernyataanmu untuk minta keadilan padaku, memang aku sudah jemu hidup begini lama, maka alangkah bahagianya kalau aku dapat bertemu dengan seorang tojin berilmu yang dapat menyempurnakan jiwaku, hanya saja ”

Berkata sampai disini, dia terhenti sejenak, lalu kembali tertawa keras: „Ay-kui, sudahlah jangan omongkan yang tidak-tidak. Bukankah kautanyakan anak perempuan itu? Dia adalah anak pungutku puteri si Rase Kumala (Giok-hou) Shin- tok Kek yang bernama Shin-tok Lan. Karena dialah maka kudatang dari ribuan li akan meminta keadilan padamu. Nah, kini janganlah salahkan lohu kalau usilan!”

Mendengar itu si tojin pendek terkejut dan marah. Namun si Dewa Tertawa tak menghiraukannya, dia melangkah menghampiri kedekat si Lan. Dibelai-belainya rambut nona baju merah itu, katanya: „A Lan, orang yang sudah mati takkan hidup lagi, menangispun tiada berguna. Malam ini aku si tua bangka ini tentu akan minta peradilan pada setan pendek itu."

Sampai pada saat itu, si tojin pendek tak dapat menguasai dirinya lagi. Tertawalah dia dengan sinis: „Bok loji, apa kau kira akupun tak layak minta keadilan padamu?"

Memandang ke arah si nona baju merah dengan perasaan menghina, tojin pendek itu berkata pula: „Ia puterinya si Rase Kumala, itu sungguh kebenaran sekali. Jangan membabi buta lemparkan tuduhan padaku dulu, tapi lihatlah surat ini, kemudian baru nanti akan kuminta pertanggungan jawabnya Shin-tok Lan yang telah memikat muridku!"

Sekarang giliran si Dewa Tertawa Bok Tong yang terkesiap. Melihat kesungguhan wajah tojin pendek itu, tentulah ada bukti yang kuat. Benar ketua Siang Ceng Kiong itu pemarah dan berhati tinggi (angkuh), tapi pribadinya amat keras terhadap kejahatan, baginya putih tetap dikatakan putih, hitam ya hitam. Kalau tiada memegang bukti, tak nanti dia seyakin itu. Berpaling ke belakang, Bok Tong melihat si Lan masih menangisi jenazah Siau Hong, tanpa mempedulikan percakapan kedua tokoh itu. „Shin-tok Lan lurus perangai dan Siau Hong seorang murid terkemuka dari perguruan terkenal. Sepintas tinjau, keduanya tentu tak mungkin berbuat sesuatu yang melanggar kesusilaan. Tapi apabila seorang pemuda itu galang-gulung dengan seorang pemudi, kemungkinan pelanggaran itu memang mungkin terjadi. Menilik anak perempuan itu begitu mendukai kematian Siau Hong, kecenderungan tuduhan itu bukan tak mungkin. Ah, kalau benar demikian halnya, bagaimana tindakanku nanti ?”

Demikian Bok Tong menimang-nimang dalam hati. Tapi pada lain kilas, dia berpikir: „Ah, sekalipun benar begitu, toh Shin-tok si rase tua itu sebelumnya sudah merestui perkawinan itu. Jadi kalau terjadi pelanggaran itu, sekalipun Siau Hong harus mendapat hukuman tapi tak seharusnya dihukum mati. Ah, mengapa perlu jeri terhadap setan cebol ini!"

Dengan kesimpulan itu, si Dewa Tertawa menjemput surat dari sisi tubuh Siau Hong, lalu dibacanya:

Dihaturkan kepada yth.,

Goan Goan Totiang

di biara Siang Ceng Kiong Dengan hormat,

Lama nian aku mengagumi kebesaran nama totiang dan kediaman totiang di gunung Mosan yang terkenal keindahan alamnya. Sayang sang waktu belum mengizinkan.

Ada suatu hal yang perlu kumohon perhatian dari totiang. Pada musim semi yang lalu ketika siao-li (anak perempuanku) Shin-tok Lan berkelana di dunia persilatan, secara tak terduga telah berkenalan dengan murid totiang yang bernama Siau Hong. Lekas sekali keduanya makin erat hubungannya, saling membantu saling tukar menukar ilmu silat. Tapi ternyata Siau Hong itu berhati culas. Menggunai kesempatan yang tak terduga, dia telah berani berbuat sesuatu yang hina, sehingga kesucian siao-li tercemar. Ini suatu perbuatan zinah yang membangkitkan kemarahan umum.

Demi menjaga nama baik perguruan totiang, maka telah kukirim seorang anak murid untuk menghukum siao-li. Dalam pada itu, mengingat totiang seorang ulama yang memegang teguh kesucian dan peraturan perguruan, maka dengan ini mengharap dengan hormat agar menjatuhkan hukuman kepada Siau Hong.

Kubersedia menantikan kabar baik totiang dalam waktu tiga bulan. Apabila belum menerima kabar apa-apa, maaf, aku terpaksa akan membikin kunjungan pribadi kepada totiang, untuk mohon keadilan.

Sekian terhiring doa selamat dan hormat.

Pemilik gubuk Kiam-jui-suan dari lembah Liu-hun-kiap gunung Tiam-jong-san.

Waktu membaca jantung Bok Tong serasa mendebur keras bahna saking kejutnya. Akhirnya dia menghela napas longgar. Surat disimpan ke dalam baju, lalu katanya: „Kukira sebuah bukti apa, sehingga telah menggoncangkan seorang datuk persilatan seperti Goan Goan totiang yang dengan tak menghiraukan jarak ribuan telah perlukan datang ke biara tua sini untuk mengadakan persidangan. Ay-kui, kecuali surat ini, apakah masih ada bukti lain?"

“It-ceng, ji-to, sam-siancu, Giok-hou, Song-sat, Siau-sian- ong''. Demikian orang persilatan menggelari nama dari ke sepuluh Datuk itu. Artinya ialah: seorang paderi, dua orang tojin (imam), tiga dewa, si Rase Kumala, sepasang iblis dan si Dewa Tertawa.

Goan Goan totiang yang digolongkan dari ji-to (2 orang tojin) itu, tampak membesi wajahnya demi ditertawai oleh si Dewa Tertawa. „Apakah surat itu belum cukup menjadi bukti?" serunya dengan nada berat.

Tertawa si Dewa Tertawa atau Siau-sian-ong: „Fui! Kecewalah kau seorang setan pendek yang tak kenal malu. Siapakah yang mengatakan kau seorang alim ulama yang taat bersembahyang dan tak pernah limbung pikiranmu? Tidakkah kau pernah melihat seekor babi berjalan? Walaupun tak pernah berhubungan dengan setan tua she Shin-tok itu, sedikitnya kau mempunyai telinga untuk sekurang-kurangnya mendengar juga akan wataknya yang serba sederhana, aneh dan tenang sabar. Tidak seperti dirimu, seorang yang mudah marah-marah. Kecewa kiranya kau hidup sampai sekian tua, tapi ternyata mudah percaya akan sebuah surat palsu sehingga mengorbankan seorang murid. Sudah begitu, kau masih berani jual lagak mau memarahi orang. Huh, kalau malam ini kau tak memberi keadilan padaku, jangan harap dapat keluar dari biara rusak ini!"

Mendengar itu bukan kepalang kejut Goan Goan totiang. Tersipu-sipu dia menegas: „Bok loji, benarkah ucapanmu itu?”

„Masakan lohu sudi membohongimu!" sahut Bok Tong.

„Kalau begitu, coba kau terangkan ciri-ciri kepalsuan surat itu!"

Si Dewa Tertawa sejenak sapukan matanya ke arah Goan Goan  totiang,  kemudian  dengan  wajah  keren  dia berkata:

„Ketahuilah, sepanjang hidupnya Shin-tok si lokoay itu, seorang pemuja seni keindahan. Dia seorang ahli penyair, ahli musik, main catur, menulis dan melukis. Dalam bidang-bidang kesenian itu, dia mahir semuanya. Baik ilmu sastera dan ilmu silat, dia seorang gene (bakat) yang cemerlang. Pengetahuannya amat luas, otaknya sangat tajam. Oleh karena itulah maka kaum persilatan menggelarinya dengan julukan Giok-hou (Rase Kumala). Sebuah julukan yang mengunjukkan kekaguman dan pemujaan. Berpuluh tahun lamanya dia begitu gandrung dengan gelaran itu. Baik menulis surat maupun meninggalkan alamat nama dimanapun, selalu dia memberi sebuah simbol yang berupa lukisan seekor rase terbang berwarna putih perak.”

„Tapi coba kauperiksa surat tadi. Disitu hanya dibubuhi tiga buah huruf nama Shin-tok Kek. Ini berlawanan dengan kebiasaannya. Demikian alasanku yang pertama. Dan yang kedua kalinya. Selama menulis, Shin-tok lokoay tentu menggunakan huruf bentuk aliran ahala Song, kurus namun kuat. Tetapi huruf-huruf dalam surat ini, menggunakan bentuk aliran ahala Gui. Benar guratannya cukup gagah, tapi yang terang, bukanlah buah tangan si lokoay she Shin-tok itu.”

„Pribadi lokoay itu dingin, tinggi hati. Angkuhnya bukan kepalang. Kalau benar Siau Hong gunakan tipu muslihat mencemarkan anak gadisnya yang tunggal itu, masakan dia begitu sungkan mau memberi tempo tiga bulan padamu? Mungkin siang-siang Siang Ceng Kiong sudah akan ludas sampai ayam dan anjingnya semua. Inilah alasan yang ketiga.”

„Nah, dengan tiga faktor itu, cukuplah membuktikan surat itu palsu adanya. Disamping itu, seorang jumawa macam si lokoay Shin-tok, ternyata penuju kepada murid kesayanganmu itu. Terhadap pribadi dan ilmu silat Siau Hong, dia memberi pujian tinggi dan menilainya sebagai seorang tunas muda yang berbakat. Tiga bulan yang lalu, dia memberi restu puterinya diperisteri Siau Hong, Sebuah mainan kumala milik Siau Hong, diambilnya selaku panjar pertunangan, kemudian disuruhnya kedua calon pasangan itu menuju ke Mosan guna meminta persetujuanmu. Turut keterangan si Lan, dua kali Siau Hong pulang ke Mosan, tapi tak berhasil menemuimu karena kau sedang keluar pintu. Jadi tak dapatlah  dia memberi laporan kepadamu.”

„Duapuluh hari yang lalu, secara kebetulan dari mulut seorang penjahat aku memperoleh keterangan, bahwa ada seseorang hendak mencelakai kedua anak muda itu secara menggelap. Walaupun lika-likunya belum jelas, tapi pertama, budak perempuan itu adalah anak pungutku, kedua, memang aku si tua bangka ini suka usilan mengurus perkara. Maka akupun tak segan-segan lagi mencari mereka. Tiga hari kemudian, baru kujumpai mereka diperbatasan Kansu. Tapi kala itu karena menerima lencana Ceng-hu-leng, Siau Hong sudah bergegas menuju ke Hoasan sini. Mendengar itu,  segera kuajak si Lan menyusul. Tapi cialat ternyata

sudah terlambatlah. Kaulah seorang setan cebol yang senantiasa menuruti nafsu sendiri, sehingga menghancurkan sebuah mahligai perjodohhan yang bahagia!"

Bok Tong mengakhiri penuturan dan dampratannya itu dengan sebuah helaan napas panjang ...... Goan Goan Cu tegak membisu, rupanya sang nurani berkabut sesal. Namun wataknya yang keras itu, melarang mulutnya mengakui kesalahannya. Dengan wajah muram, dia mondar-mandir sembari tundukkan kepala. Sejenak kemudian .........

Tiba-tiba dilihatnya Siau-sian-ong Bok Tong yang berdiri di pinggir itu, memandangnya dengan senyum sinis, seolah-olah mengejeknya. Seketika bangkitlah hawa amarahnya!

„Bok loji, taruh kata apa yang kau beberkan tadi benar semuanya, tapi masih hendak kutanya padamu, apakah mereka berdua itu, seperti apa yang dikatakan surat itu, sudah melakukan perbuatan yang terlarang?" serentak dia ajukan pertanyaan. Suatu pertanyaan yang membuat si Dewa Tertawa pusing tujuh keliling.

“Ah, bagaimana harus kujawab pertanyaan itu,” dia mengeluh dalam hati. Tanpa terasa, dia melirik ke arah Shin- tok Lan, lalu menundukkan kepala.

„Bok loji, kiranya kau tak dapat menjawab hal itu!" Goan Goan Cu tertawa dingin.

Seketika wajah seperti bulan purnama dari Dewa Tertawa itu, merah padam. Tiba-tiba dia mendongak dan tertawa keras. Serunya: „Ay-kui, kalau kau mengira aku bungkam dalam seribu bahasa, itu salah besar. Seorang anak muda yang sudah mendapat izin pernikahan dari orang tuanya, mungkin ada kalanya tak dapat mengendalikan diri. Tapi hal itu hanyalah soal formalitas (peresmian) belaka, sekali-kali tak dapat dikatakan melanggar susila, lebih tak dapat dituduh berzinah pula. Apalagi mereka tidak ”

„Bagaimana kauyakin kalau tidak? Hem, dengan mengingat pertunangan tanpa meminta persetujuan pihak guru, dalam perguruan kami sudah berarti dosa. Kalau bukan kawanan tua bangka yang enggan mati seperti kamu yang berdiri di belakangnya, dia tentu tak sebesar itu nyalinya!"

Goan Goan berhenti sejenak, lalu menyambungnya lagi:

„Bok loji, kau telah mencampuri urusan dalam Siang Ceng Kiong, apa katamu selanyutnya?”

Amarah Goan Goan makin membara, nadanya makin keras. Mukanya yang kurus berobah-robah wamanya. Kuning menjadi putih, lalu kereng gelap.

Diam-diam Bok Tong mengeluh. Melihat naga-naganya, sukarlah urusan malam ini diselesaikan secara damai. Tapi diapun seorang jago tua yang masih suka turuti hawa nafsu. Sekalipun suasana menjadi genting, namun sedapat mungkin dia tetap berlaku tenang.

Menatap ke arah wajah Goan Goan Cu, dia tertawa mengikik: „Ay-kui, untuk minta aku membayar keadilan, mudah sekali. Kecuali terhadap diri Siau Hong calon anak menantuku yang gagal itu, akupun berhak mencampuri urusan orang-orang yang suka jual kejumawaan.”

Bahwa setelah sadar dirinya tertipu surat kaleng sehingga keliru membunuh murid kesayangannya, Goan Goan Cu sudah penuh sesal. Kini tambahan lagi didamprat dengan tertawa oleh si Dewa Tertawa, darahnya naik. Untuk ejekan yang terakhir dari Bok Tong itu, tak dapat dia kendalikan diri. ---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar