Pusaka Negeri Tayli Jilid 21

Jilid 21

Gemetar tubuh Cu Jiang sehingga dia sempoyongan mundur sampai tiga langkah, serunya:

"Tali pernikahan bukan seperti mainan kanak-kanak.

Dan taci sendiri yang telah menjodohkan, mengapa . . ."

"Karena dia sudah tak bermuka lagi bertemu dengan engkau!"

"Aku benar2 tak mengerti."

Dengan nada rawan. Ang Nio Cu berkata. "Sekarang dia merasa seperti bunga layu yang telah gugur tercampak dilumpur!"

Cu Jiang terlongong-longong sampai beberapa saat.

Lama sekali baru dia dapat berkata: "Ini . . . ini bagaimana terjadi ?"

"Dia telah dinodai Hong gwat-mo dengan cara kekerasan. "

Saat itu Cu Jiang rasakan dirinya seperti disambar petir. Dia tegak mematung, hatinya hancur berkeping-keping. Beberapa waktu kemudian tiba2 dia tertawa nyaring. Nadanya penuh menghambur kedukaan dan dendam kesumat. "Adik ku. ini memang sudah takdir," setelah Cu Jiang berhenti tertawa, barulah Ang Nio Cu menghiburnya.

Pukulan batin yang diderita Cu Jiang saat itu tak kalah dengan ketika melihat kedua orang tuanya mati terbunuh dahulu. Dia rasakan bumi serasa berputar cepat, tubuh terhuyung-huyung hingga mau jatuh. Mulutnya tak henti- hentinya mengigau:

"Takdir! Nasib! Apakah ini yang disebut nasib?" tiba2 dia terus lari.

"Adik Wan, tunggu dulu" teriak Ang Nio Cu, tetapi Cu Jiang sudah tak menghiraukan lagi. Dia lari seperti orang kalap. Dalam sekejap saja dia sudah mencapai delapan li. Sebuah gedung besar tampak menyembul ditengah gerumbul pohon.

Sekeliling penjuru merupakan sawah ladang yang tak terurus dan beberapa rumah petani. Dia tak sangsi lagi bahwa gedung besar itu tentu markas cabang Keng-ciu.

Dia segera melangkah dengan kaki sarat menuju ke gedung itu. Tiba di tepi hutan, terdengar bentakan orang yang menyuruhnya berhenti. Dua orang bu-su (orang persilatan) berpakaian ringkas warna biru, menghadang jalan.

Cu Jiang dengan mata menyala-nyala memandang kedua orang itu.

"Cari mati. berhenti!" teriak kedua busu itu.

Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan dan tetap melangkah maju. Kedua penjaga itupun segera mencabut pedang dan menyongsong. Tiba2 Cu Jiang dorongkan  kedua tangannya. Seketika segulung angin dahsyat berhamburan melanda ke muka. Huak, huak, sebelum sempat bergerak kedua penjaga itu sudah muntah darah dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Cu Jiang tak menghiraukan mereka, terus lanjutkan langkah.

Rupanya dia sudah hangus terbakar oleh bara dendam yang menyala-nyala.

Bagi seorang lelaki, tunangan atau isteri dinodai orang, merupakan hinaan yang tak dapat ditahan lagi.

Tujuh delapan sosok tubuh manusia berhamburan lari menghampiri. Salah seorang berteriak:

"Siapa kau yang berani mati masuk kedalam markas? " Cu  Jiang  tak  mau  menjawab  Dengan  menirukan gaya

Toan-kiam  jan-jin,  dia   berjalan  dengan  kaki  terpincang-

pincang.

Kedelapan orang itu segera menyerbu. Tetapi kepandaian mereka kalah dengan kawanan Pengawal Hitam dari Gedung Hitam.

Terdengar jerit menguak beberapa kali dan dari delapan orang itu, yang lima sudah rubuh mandi darah.

Sambil mencekal pedang kutung yang masih berlumuran darah, Cu Jiang terus melangkah maju.

"Toan- kiam-jan jin!" sisa ketiga orang yang masih hidup itu serempak menjerit keras dan terus lari masuk kedalam.

Setelah melintas jalan dari papan batu tampaklah sebuah gedung bertingkat yang dipagari dengan pagar tembok. Sepasang pintu besar berbentuk huruf pai, tampak terpentang lebar. Tetapi di dalamnya tak tampak barang seorangpun juga. Tentulah kedelapan orang tadi bertugas menjaga pintu besar itu. Terdengar gemuruh derap kaki berlari mendatangi dan pada lain saat muncul belasan busu. Yang di muka sendiri seorang lelaki tua brewok, tangannya mencekal sebatang golok kui thau-to (golok kepala setan) bergigi tebal. Alisnya lebat, mata bundar dan wajahnya menyeramkan sekali.

Orang itu menerobos ke luar pintu sedang  di belakangnya berjajar belasan anak buahnya.

Cu Jiang hentikan langkah, memandang lelaki tua itu dengan menyala-nyala. Lelaki tua itupun balas menatap Cu Jiang lalu menyeringai:

"Toan-kiam-jan-jin, perkumpulan kami memang justeru hendak mencari engkau..."

"Tak perlu dicari, " sahut Cu Jiang dengan nada dingin, "aku tentu akan datang sendiri."

"Perlu apa engkau datang kemari?" "Membikin perhitungan!" "Perhitungan apa?"

"Darah !" "Aku "

"Siapa nama anda?"

"Song Piu, menjabat sebagai penilik." "Menyingkirlah! "

"Engkau kira engkau boleh bertindak semaumu sendiri?"

"Aku tak punya waktu meladeni engkau!" Cu Jiang menutup kata-katanya dengan taburkan pedang kutung. Lelaki tua itupun mengangkat golok kui-thau-tonya tetapi belum sempat ia memainkannya, mulutnya sudah menguak darah dan tubuh terkulai rubuh, goloknya terlempar sampai beberapa meter memancarkan letikan bunga api.

Kawanan anak buah itu serasa melayang semangatnya, mereka cepat menyiak ke samping, Cu Jiang melangkah masuk. Di halaman yang merupakan sebuah lapangan, tampak kosong melompong. Sepanjang tepi lapangan berjajar-jajar perumahan.

Tampak orang2 sibuk lari kian kemari. Ada yang meniup terompet pertandaan bahaya. Tetapi Cu Jiang mengangkat kepala ayunkan langkah menuju ke bangunan gedung di tengah.

Sepanjang jalan tiada yang menghalangi. Tiba di muka gedung besar, berpuluh-puluh busu dari kedua samping gedung berhamburan muncul sembari lepaskan senjata rahasia.

Untuk menghadapi hujan taburan senjata rahasia itu, Cu Jiang gunakan tata langkah Gong gong poh-hwat.

Dan kelompok busu itu bergabung untuk menghadang tetapi Cu Jiang masih mampu menyelinap kian kemari. Yang terdengar hanya jerit pekik ngeri, darah muncrat dan pedang2 yang berhamburan melayang.

Setelah itu tubuh2 kawanan busu yang malang melintang menggeletak tumpang tindih. Berpuluh busu itu tak seorangpun yang masih hidup.

Tampak pula gelombang kedua dari puluhan busu yang berlari larian datang tetapi mereka berhenti pada jarak lima tombak. Suasana dalam gedung markas itu tampak tegang sekali.

Menunggu sampai beberapa waktu tetap tak melihat kedua iblis itu muncul, diam2 Cu Jiang menimang. Markas itu luas sekali, kalau kedua Iblis itu sengaja bersembunyi, tentu akan memakan waktu untuk mencari mereka.

Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan siasat, mendesak mereka supaya munculkan diri.

Dia mundur ke tempat serambi. Setelah menyarungkan pedang, dia lalu kerahkan tenaga dan  menghantam sebatang tiang besar, bum . . . tiang berkisar tempat dan rubuhlah wuwungan rumah menimbulkan suara yang gemuruh sekali.

"Tua bangka Hong-gwat, Jika engkau tetap tak berani keluar, sarangmu ini akan kuhancurkan dan kubasmi semua anak buahmu!" teriaknya nyaring.

Tetapi tetap tiada penyahutan sama sekali. Karena tak sabar, Cu Jiang kembali menghantam sebuah tiang di sebelah kiri, bum .... para2 rumah bagian tengah berhamburan roboh.

"Hayo, Thian-kau, Hong-gwat, apakah kalian benar2 tak berani unjuk muka? " teriak Cu Jiang lagi. Namun tetap tiada jawaban suatu apa.

Karena marah, Cu Jiang terus lari  menghampiri kawanan busu yang berjajar-jajar di tempat jauh itu.

Kembali terdengar jeritan ngeri. Cu Jiang benar2 seperti harimau lapar yang menerkami kawanan kambing. Kawanan busu itu memang berkepandaian tinggi tetapi berhadapan dengan Cu Jiang mereka tak ubah sebagai kawanan ayam yang menjadi bulan2an serangan burung elang.

"Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang menggeledek. Cu Jiang berhenti. Mayat2 berserakan memenuhi tempat itu. Yang masih hidup hanya beberapa orang saja. Dua lelaki bertubuh tinggi besar muncul. Ke duanya tak lain adalah Hong-gwat mo dan Thian kau mo. Keduanya diiring oleh tujuh orang anak buah yang mempunyai kedudukan tinggi.

"Iblis tua, sudah berapa banyak gadis2 suci yang telah engkau celakai?" teriak Cu Jiang.

"Budak kecil, kalau engkau tanyakan hal itu, aku sudah tak ingat lagi !"

"Kalau peristiwa kemarin itu, apa engkau tidak ingat lagi."

"Bagaimana ?"

"Engkau harus membayar sampai seratus kali lipat." "Bagai mana cara membayarnya ?"

"Aku akan mencuci markas ini dengan darah!"

Mendengar itu menggigil hati sekalian orang yang berada di tempat itu.

"Toan-kiam-jan-jin, mulutmu memang besar sekali. Engkaulah yang harus membayar semua perbuatanmu disini." tiba2 Thian-kau-mo membentak keras2.

"Serbu!" Hong-gwat-mopun segera memberi perintah. Kedua iblis Itu terus berkisar memecah diri dan menyerang dari kanan kiri. Ketujuh jago yang di belakang merekapun segera berpencar mengepung.

Terdengar letupan dari pukulan yang beradu. Tubuh Cu Jiang terhuyung tetapi kedua iblis itupun menyurut mundur selangkah. Pada saat itu barisan ketujuh jago serempak menyerang dengan senjata pedang.

Cu Jiang mencekal pedang kutung lalu memutarnya, tring, tring, tring seorang Jago tua rubuh dan enam orang mundur. Kedua iblis segera melemparkan pukulan dahsyat untuk menutup lubang yang bobol itu.

Menilik cara mereka bertempur, jelas kalau sudah diatur lebih dulu.

Pedang hanya dapat digunakan untuk jarak dekat. Kalau mengandalkan hawa-sakti yang dipancarkan pada gerakan pedang, sukar untuk melukai kedua iblis itu.

Menghadap pukulan yang mampu menghancurkan karang dan kedua iblis itu, memang tak menguntungkan Cu Jiang. Hawa pedang terdampar dan Cu Jiang sendiripun terpaksa harus sempoyongan. Dalam kesempatan itu, keenam jago segera menerjang dengan pedangnya.

Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat. sambil pancarkan tenaga-penuh pada gerak pedang kutung, ia berlincahan menghindar dan menabas.

Hiiak, huat ,.. kembali tiga orang lawan terkapar ditanah. Tetapi pukulan sedahsyat bumi terbelah segera melandanya. Cu Jiang mundur sampai tiga empat langkah, Darahnya bergolak-golak keras.

Setelah empat dari tujuh jago2 anak buah kedua iblis itu terbasmi, kini hanya tinggal tiga orang. Dan ketiga jago itu memang tak mampu menyelonong melakukan serangan lagi.

Sejenak mengurusi pernapasan, kini Cu Jiang pun maju menyerang Thian kau-mo. Serangan kali ini dilancarkan dengan sepenuh tenaga dan harus dapat  merobohkan lawan.

Iblis Thian-kau-mo memekik ngeri, tubuhnya terhuyung- huyung lalu rubuh. Melihat gelagat tak baik, iblis Hong gwat-mo berputar tubuh terus melarikan diri. Tetapi Cu Jiang lebih cepat untuk menghadang. "Anjing tua, akan hendak mencincang tubuhmu menjadi bakso !"

Hong-gwat mo membentak dan menghantam dengan kedua tangannya terus melenting ke samping. Pukulan iblis itu memang istimewa. Anginnya tidak berhembus lurus melainkan berputar-putar seperti angin lesus. Ia terkejut dan tak sempat lagi untuk menghindar.

Dalam keadaan yang genting, ia masih dapat melontarkan pedang kutung kearah Hong-gwat-mo yang saat itu sudah loncat keatas wuwungan rumah.

"Uh..." iblis itu menjerit dan meluncur jatuh. Cu Jiang yang berhasil membebaskan diri dari libatan angin lesus terus menyusuli dengan sebuah hantaman dahsyat, bummm

. . Tubuh Hong gwat-mo yang hampir tiba di tanah, mental lagi sampai dua tombak jauhnya. Rusuk kirinya berhias pedang kutung yang menyusup sampai ke tangkainya. Iblis itu masih meregang-regang nyawa.

"Anjing tua." Cu Jiang loncat menghampiri "ketahuilah, nona yang engkau cemarkan kesuciannya semalam itu adalah calon istriku."

Sepasang mata iblis itu membeliak dan mulutnya hanya menganga tak dapat bicara lagi.

Setelah mencabut pedangnya. Cu Jiang berkata pula: "Anjing tua, engkau harus membayar hutangmu !"

Cu Jiang benar2 sudah kehilangan diri. dia marah sekali atas peristiwa yang telan diderita Ho Kiong Hwa. Maka dilampiaskan dendam kemarahannya itu dengan mencincang tubuh Iblis itu.

Setelah itu ia menyulut api dan membakar markas gerombolan iblis2 terkutuk itu. Kemudian ia kembali ke biara tua untuk menemui Ang Nio Cu. Sesosok tubuh langsing tengah tegak memandang mentari pagi yang baru timbul di ufuk timur. Rupanya semangat dan perhatian orang itu seperti tercurah sepenuhnya sehingga ia tak tahu kalau Cu Jiang sudah berada di belakangnya.

Cu Jiang menduga tentulah Ang Nio Cu itu sangat berduka sekali atas peristiwa yang menimpa diri Ho Kiong Hwa.

"Taci, aku sudah kembali," akhirnya ia berseru.

"Ih ..." Ang Nio Cu menghela napas dan pelahan-lahan berputar tubuh.

Cu Jiang tak berani beradu pandang dengan  Ang Nio Cu. Ia merasa sinar mata nona itu benar2 menghancurkan hati.

"Adik." akhirnya beberapa saat kemudian Ang Nio Cu berkata dengan suara rawan. "semula dunia ini terasa indah sekali, siapa tahu ternyata hanya impian di musim semi."

"Taci."

"Sejak dahulu kala, wanita cantik tentu bernasib jelek.

Kiong Hwa memang kasihan sekali."

"Nasib telah menggariskan jalan hidup yang kejam terhadap dirinya."

"Adik. bagaimana hasilmu ke markas iblis itu ?"

"Kedua iblis   itu sudah kucincang dan markasnya kubakar!"

"Terima kasih engkau telah membalaskan sakit hati Kiong Hwa."

"Ah, mengapa taci mengatakan begitu. Sudah tentu hal itu merupakan kewajibanku!" "Adik .. . apakah engkau dapat mengijinkan dia bersemayam dalam hatimu untuk selama lamanya ?"

Sepasang mata Cu Jiang memancar terang dan dengan nada bersungguh dia berkata. "Taci, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu."

"Apa ?"

"Apakah hubungan taci dengan Ho Kiong Hwa?" Ang Nio Cu tercengang.

"Sudah tentu amat erat sekali, hampir seperti diriku sendiri."

"Ah, dalam hubungan apakah itu?"

"Adik, hal itu kelak akan kuterangkan lagi kepadamu." Cu Jiang tak berani mendesak lebih lanjut.

"Taci. tolong kasih tahu dimana beradanya Ho Kiong Hwa saat ini "

"Buat apa?"

"Aku   harus    mencarinya." "Engkau masih mau mencarinya?"

"Kenapa taci heran? Bukankah dia itu isteriku? Tali hubungan itu tentu tak dapat diputuskan selama-lamanya."

"Adik, dia sudah bukan isterimu lagi. Tali pernikahan itu sudah putus."

"Tidak! Aku tidak setuju! Aku tetap akan menjadi suami isteri untuk selama-lamanya dengan dia. Tak ada alasan mengapa aku harus membuangnya. Apakah itu kesalahannya? Tidak, dia tak bersalah, dia mendapat kecelakaan " "Adik," kata Ang Nio Cu dengan gemetar. "dia bukan lagi sesuci dia yang dulu, dia laksana permata yang sudah pecah . . ."

"Apakah dia merasa rendah diri begitu? Tidak! Yang ternoda hanya tubuhnya tetapi jiwanya masih tetap suci bersih. Kuanggap dia tak beda dengan dulu. Yang berbeda hanya dia mempunyai penderitaan hatin tetapi kini musuhnya sudah terbunuh. Tak perlu dipikirkan lagi. Yang lampau biarlah lalu ..."

"Adik, kata-katamu itu ... tentu akan menghiburnya sampai mati."

"Taci, dimanakah tempatnya?"

"Tak perlu engkau mencarinya. Dia sudah menentukan keputusan. Jika engkau mencarinya, hanya  akan menambah derita hatinya saja."

"Taci, kumohon engkau ..."

"Tetapi akupun tak tahu ke mana perginya. Dia hanya mengatakan bahwa sejak saat ini dunia sudah tak ada lagi manusia yang bernama Ho Kiong Hwa . . ."

"Ah, tentulah taci tak mau memberitahu kepadaku!" "Adik yang baik, sudahlah, lupakan saja dia!"

"Tidak! Tak mungkin aku melupakannya!" teriak Cu Jiang dengan kalap, "aku tak dapat melupakannya, tidak dapat melupakannya!"

Nadanya amat tegas bagaikan paku menancap di kayu. Betapapun dingin atau keras hati  seseorang tentu akan trenyuh juga mendengar ucapan itu.

Ang Nio Cu menghela napas: "Adik, mari kita ke gunung Keng-san." Cu Jiang mengangguk: "Baik, apabila urusanku sudah selesai, ke ujung duniapun aku tetap akan mencarinya!"

"Ah, cintamu itu hanya tinggal kenangan belaka." "Tidak, cinta itu tetap akan kulanjutkan sampai kapan

pun juga."

"Adik, kita berpencar saja dan ketemu lagi di mulut gunung Keng-san."

"Apakah tidak baik bersama-sama saja?" "Kurang leluasa. "

"Setelah memasuki gunung, kita akan menyerang secara terang-terangan atau..."

"Secara terang-terangan saja tak perlu pakai tedeng aling2."

"Baik."

"Silakan berangkat dulu, aku hendak tinggal disini beberapa jenak lagi. Tiga tetua angkatan terdahulu, bertahun-tahun mengikuti aku. Sekarang mereka telah tiada, sudah selayaknya kalau aku tinggal beberapa waktu lagi untuk mengenang mereka "

Cu Jiang terharu. Perpisahan memang merupakan peristiwa yang mengharukan hati. Baik pisah  hidup maupun karena meninggal.

"Taci, dari sini aku akan melalui Tang yang, Wan-an lalu menuju ke Keng-san. Kita bertemu didesa gunung itu."

Ang Nio Cu mengiakan dan Cu Jiangpun segera minta diri. Dia pergi dengan membawa hati yang hancur sehingga lupa makan dan lupa segala. Hari itu dia hanya mampu mencapai jarak sepuluhan li. Disebelah muka tampak sebuah bukit tanah merah. Ketika ia melintasi jalan yang membelah tengah2 bukit itu, tiba2 dari jauh terdengar suara harpa. Dia terkejut dan sadar dari lamunannya. Ia memasang telinga dan memperhatikan bahwa suara harpa itu berasal dari arah kanan tak jauh dari bukit itu.

Harpa itu aneh sekali suaranya. Nadanya seperti orang yang baru belajar, menusuk telinga menyebabkan  hati kacau dan perasaan tak keruan.

Memandang ke muka, tak berapa jauh ia melihat gulungan asap mengepul dari arah bukit itu. Sejenak berhenti, Cu Jiang melanjutkan langkah lagi. Tiba2 suara harpa itu berobah, nadanya penuh dengan hawa pembunuhan sehingga perasaan Cu Jiang tak enak dan darah dalam tubuhnyapun ikut bergolak. Dia terkejut dan hentikan langkah. Suara harpa itu memang menimbulkan kecurigaan.

Sesaat kemudian timbulkan keinginannya untuk mengetahui. Setelah menenangkan semangat dan perasaan, dia segera menuju ke arah kepulan asap. Tiba2 harpa berhenti.

Melintasi sebuah gundukan tinggi, pemandangan di sebelah muka membuatnya terkejut. Tampak api unggun yang berasal dari tiga batu yang dijajar, di atas batu itu digantung sebuah kuali besar yang airnya mendidih. Asap dan uap air mendidih itu bergulung-gulung campur jadi satu.

Disamping api unggun itu duduk seorang nenek tua baju kuning. Wajahnya seperti burung dara, rambutnya yang putih sudah banyak yang rontok. Dia tengah mendekap sebuah harpa. Matanya memejam, diam tak berkutik.

Dengan rasa heran Cu Jiang menghampiri. Ia melihat jelas tubuh nenek itu menyerupai pohon jeruk yang layu, sepasang tangannya seperti cakar burung, kuku panjang dan runcing, kulitnya mengeriput. Sukar menentukan usianya.

Entah apa yang sedang dilakukan nenek itu tetapi didengar dari petikan harpa tadi tentulah nenek itu seorang persilatan.

Karena sampai beberapa jenak nenek itu tetap tak bergerak, Cu Jiangpun tak sabar, tegurnya:

"Pohpoh, apakah yang sedang engkau lakukan?"

Kelopak mata nenek agak terbuka dan dari celah selaput matanya memancar sinar yang membuat Cu Jiang terkejut sekali. Sinar mata nenek itu jelas menunjukkan seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi.

"Siapa engkau?" seru nenek itu.

"Orang2 menyebut diriku sebagai Toan-kiam-jan-jin." "O, Toan-kiam . . . jan-jin!"

"Pohpoh, menggodok kuali besar . . ." "Menggodok orang!"

Cu Jiang melonjak kaget: "Apa? Menggodok orang?"

Nenek itu membuka kelopak mata dan menyahut dingin: "Benar, menggodok orang!"

"Buat apa?" "Dimakan."

Cu Jiang mendelik, serunya: "Ah, mengapa nenek bergurau?"

Nenek itupun deliki mata dan napasnya memburu keras, serunya: "Sudah hidup seabad, perlu apa aku bergurau dengan seorang bocah yang belum tulang bau susu ibunya seperti engkau!" Cu Jiang menyurut mundur selangkah. Memandang kuali besar dan berseru penuh keheranan: "Pohpoh memasak orang untuk dimakan?"

"Ya."

"Siapa yang pohpoh masak itu?" "Dia datang sendiri."

Hampir Cu Jiang tak percaya pendengarannya. Belum pernah ia mendengar orang yang memasak makanan dari tubuh orang. Jika nenek itu seorang gila, ah, tentu berbahaya sekali bagi keselamatan dunia persilatan. Tetapi mengapa dia belum pernah mendengar dalam dunia persilatan terdapat tokoh yang suka makan orang?"

"Siapa nama pohpoh yang mulia?" tanyanya. "Pertandaanku yalah harpa."

Cu Jiang tertegun lagi. Dia belum pernah mendengar tokoh persilatan yang memakai ciri pertandaan harpa.

"Maafkan pengetahuanku yang sempit sehingga tak mengetahui diri pohpoh."

"Ya, sudahlah."

"Mengapa tak tampak orang yang datang mengantar diri?"

"Sudah datang." "Di mana?"

"Engkau!"

Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya sehingga dia menyurut selangkah lalu berteriak:

"Aku ?" Tiba2 nenek itu berdiri dan memandang Cu  Jiang dengan mata menyala: "Benar !"

"Pohpoh sudah memperhitungkan bahwa aku tentu datang kemari ataukah karena melihat aku datang lalu hendak menggodok diriku?"

"Aku memang sengaja menungguimu."

Cu Jiang menggigil, serunya: "Pohpoh memang sengaja menunggu kedatanganku?"

"Ya, benar!"

"Tetapi kitakan belum pernah kenal?"

"Siapa bilang? Engkau telah berhutang banyak sekali peristiwa berdarah, harus membayar."

"Ini bagaimana jelasnya?"

"Engkau akan masuk ke dalam kuali itu sendiri atau perlu aku harus turun tangan?"

"Apakah omongan pohpoh ini sungguh2?" "Mengapa tidak?"

Serentak bergeloralah darah Cu Jiang. Hawa pembunuhan merangsang dadanya.

"Harap memberitahu siapa pohpoh ini?" teriaknya. "Sudah kukatakan, pertandaan diriku ialah harpa, kalau

engkau tak tahu. Jangan banyak omong lagi!" "Aku berhutang darah apa kepada pohpoh?"

"Bagaimana nasib dari kawanan Sip-pat-thian-mo itu?"

Seketika sadarlah Cu Jiang. Ia tertawa nyaring: "Oh, kiranya engkau salah seorang komplotan kawanan iblis itu. Bagus, aku gembira dapat membasmi seorang kutu penyakit

. . . . "

Nenek itu mendengus: "Asal sudah tahu saja, agar kalau mati jangan engkau menjadi setan penasaran !"

Tiba2 Cu Jiang teringat akan kata2 suhunya bahwa dibelakang kawanan Sip pat-thian-mo itu, masih terdapat beberapa iblis tua. mungkin sudah mati. Tetapi kalau mereka masih hidup, tentu sukar dihadapi.

Ia duga, nenek ini tentulah salah seorang dari iblis tua yang berdiri dibelakang Sip pat-thian-mo.

Teringat akan hal itu. Cu Jiang berseru dingin : "Sebagai tokoh dibelakang Sip-pat-thian-mo, sudah lama aku mengagumi pohpoh !"

Menuding pada kuali yang mendidih, nenek itu berseru seram: "Bocah, engkau turun sendiri, tentu lebih nyaman. Kalau suruh aku turun tangan, engkau tentu mati secara pelahan !"

Cu Jiang mengertek gigi, serunya: "Mungkin  akulah yang hendak meminta engkau terjun kedalam kuali itu !"

"Mana orang2 ini !" teriak nenek itu dan serentak dua sosok bayangan muncul dari balik gunduk bukit disebelah. Cepat sekali mereka sudah melesat tiba.

Dua orang lelaki bertubuh kekar dengan wajah menyeramkan. Yang satu memanggul tiga batang kayu, yang satu membawa tali.

Tanpa bicara apa2 mereka terus mengikat ketiga batang kayu itu dalam bentuk segi tiga, lalu dipasang diatas kuali dan diberi gantungan tali. Setelah itu  keduanyapun mundur. Menunjuk pada tiang segi-tiga, si nenek berseru pula: "Bocah, engkau hendak kugantung diatas tiang itu lalu pelahan-lahan kuturunkan kedalam kuali. Nah. engkau dapat merasakan sendiri betapa rasanya kalau digodok dengan pelahan-lahan itu!"

Cu Jiang mendengus dingin: "Asal engkau mampu melakukan, akupun tak menghiraukan harus mati dengan cara apa saja !"

"Bagus, nyalimu sungguh besar." seru nenek itu. "aku tak dapat menemukan cara lain lagi, bagaimana harus menyuruhmu mati secara lebih menderita lagi . . ."

"Nenek tua, kata-katamu itu terlalu pagi engkau  ucapkan. Nanti saja apabila engkau sudah berhasil meringkus aku, barulah engkau boleh bergembira!"

"Bocah edan, rupanya aku terpaksa harus turun tangan . .

."

"Silakan !"

Cu Jiang mencabut pedang kutung dan pasang kuda2. Ia

percaya nenek itu tentu lebih lihay dari gerombolan Sip-pat- thian-mo. Dia tak berani memandang sepele.  Dia pancarkan tenaga penuh hingga pedang itu memancarkan hawa yang menyeramkan.

Nenek itupun harus melintangkan harpa, matanya memancarkan sinar pembunuhan yang buas.

Suasana tempat itu sunyi senyap. Keduanya sama2 maju dua langkah dan mencapai jarak yang dapat dilakukan pertempuran.

Cu Jiang telah mempersatukan semangat, pikiran, tenaga dan pedang menjadi satu. Baru sekali itu dia benar2 harus menumpahkan seluruh semangatnya untuk menghadapi musuh.

Mungkin nenek itu terlalu memandang rendah lawan atau mungkin dia terlalu membanggakan diri. Setelah merenung diapun mendesuh lalu menghantamkan harpanya dari samping. Gerakannya tampak biasa2 saja tetapi sebenarnya mengandung perubahan2 yang sukar  diduga dan ditaksir.

Cu Jiangpun ayunkan pedang untuk melawan keras dengan keras. Tring .., keduanya menyurut mundur selangkah.

Saat itu Cu Jiang baru mengetahui bahwa harpa nenek itu terbuat daripada baja murni. Diam2 dia terkejut. Tenaga yang terpancar dari harpa itu sedahsyat gunung rubuh sehingga tangan Cu Jiang kesemutan.

Diam2 ia terkejut dan mengagumi nenek itu. Yang mampu menerima Jurus Thian-te kau thay, barulah nenek itu saja.

Nenek itu juga mengetahui kesaktian Cu Jiang. Diapun terkejut tetapi cepat dia sudah tenang kembali.

"Hait.... !" terdengar lengking dan gemboran ketika kedua senjata beradu lagi. Kali ini Cu Jiang yang melancarkan serangan. Setelah itu keduanya menyurut mundur lagi.

Tetapi keadaannya agak berbeda. Baju nenek itu dari bahu sampai keujung lengan telah rompal sehingga lengannya yang kurus kering tampak tergurat dengan goresan pedang yang memanjang.

Kali ini nenek itu benar2 marah bukan  kepalang sehingga rambutnya sama tegak berdiri. Wajahnya yang penuh keriput itu makin menyeramkan. Harpa bergetar- getar mendengung.

Cu Jiang meningkatkan kewaspadaannya.

Kembali terdengar pekik dan gemboran ketika keduanya berhantam lagi. Bayangan harpa menggunduk seperti gunung, sinar pedang bertebaran seperti awan. tring, tring . .

Sejurus, dua jurus, tiga jurus. Ternyata tenaga kepandaian keduanya hampir berimbang. Dalam pertempuran maut itu, keduanya telah menghamburkan tenaga dalam yang menakjubkan. Tiada ampun lagi dalam pertempuran itu kecuali salah seorang roboh.

Tring terdengar dering keras sekali disusul oleh erang

tertahan. Cu Jiang sempoyongan sampai lima enam langkah baru dapat berdiri tegak.

Kain kerudung mukanya hampir separoh telah basah dengan darah. Pedang kutung menjulai kebawah dan napasnya tersengal-sengal keras.

Nenek itu juga tersurut mundur sampai dua meter, mulut menyembur darah dan harpapun jatuh ke tanah. Keadaannya lebih mengerikan. Kedua lelaki kekar tadi hanya terlongong-longong kaget.

Cu Jiang cepat2 mengatur pernapasannya. Beberapa saat kemudian dia sudah dapat bergerak, mengangkat pedang dan menghampiri ke tempat nenek itu.

"Nenek, ambillah harpamu agar engkau dapat menyerah dengan hati puas," serunya.

Wajah si nenek yang penuh keriput tampak berkerenyutan. Dia melangkah maju memungut harpa lalu mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tetap berapi- api memandang Cu Jiang, "Toan kiam jan-jin, engkau satu-satunya musuh tangguh yang pernah kujumpai seumur hidup. Beranikah engkau mendengar petikan harpaku?"

"Silakan! "sahut Cu Jiang dengan angkuh. Si nenek terus duduk bersila dan melintangkan harpa dipangkuan. Matanya menunduk dan jari jarinya yang menyerupai cakar burung itupun mulai meraba senar harpa, trung

Bagaikan suitan nyaring yang berasal dari langit.  Seketika gundahlah hati Cu Jiang. Buru2 dia menenangkan pikiran dan mengarahkan tenaga-murni untuk melawan.

Tring, tring, trung. trung . . . . Makin lama harpa makin deras. Nadanya mengandung kumandang rintihan  setan. Cu Jiang menggerenyet gigi, mengeraskan semangat untuk menahan darah yang bergolak keras.

Suara Harpa makin deras dan riuh. Bagai langit berputar, bumi bergetar dan badai prahara mengamuk, gelombang tam menghempas dahsyat. Dunia seakan kiamat ....

Seperminum teh lamanya, sekonyong-konyong suara harpa itu berhenti. Cu Jiang rasakan tenggorokannya manis- anyir, ia muntahkan segumpal darah segar. Bajunya basah kuyup dengan keringat.

Brungng .... harpa nenek itu tiba2 jatuh ke tanah.

Mulutnya mengalir darah dan sinar matanya pun redup.

Setelah mengusap darah di mulut, Cu Jiang melangkah ke tempat nenek itu, serunya:

"Pohpoh, engkau ingin mati dengan pedang ini atau turun mencebur ke dalam kuali itu sendiri?"

Nenek itu meraung-raung. "Budak, engkau menang, hayo bunuhlah aku." Sejenak Cu Jiang memandang ke arah kuali yang masih mendidih itu. Dilihatnya kedua lelaki gagah tadi sudah terkapar tak bernyawa. Jelas mereka mati karena suara harpa maut tadi.

Memandang kembali ke arah nenek, Cu Jiang berkata. "Pohpoh, kalau menggodokmu itu kelewat tak berperi

kemanusian. Lebih baik kuantar dengan pedang saja!"

"Bunuhlah! Jangan . . . banyak omong!"

Cu Jiangpun segera mengayunkan pedang dan nenek itu pejamkan mata menunggu maut.

Tetapi pada saat pedang hampir mendarat di leher si nenek, tiba2 Cu Jiang menghentikannya. Melihat rambut yang sudah putih dan banyak yang rontok di kepala si nenek, hati Cu Jiang tak tega.

Seorang nenek yang sudah begitu tua renta, masih dapat hidup berapa tahun lagi?

"Mengapa tak lekas turun tangan? Engkau hendak mengapakan diriku?" seru si nenek.

Cu Jiang menarik pedangnya dan berseru dingin: "Engkau sudah di tepi lubang kubur. Aku tak tega membunuhmu, kali ini kuampuni jiwamu . . ."

"Tutup mulutmu! Aku tak sudi menerima ampunmu!" "Tidak,   aku   sudah   terlanjur   berkata,   takkan kutarik

kembali.   Kalau  mau  mati,   silahkan  engkau  bunuh   diri

sendiri !"

"Jahanam ..."

"Hanya satu hal yang pasti akan kulakukan. Yaitu ilmu kepandaian yang membuat engkau melakukan kejahatan itu harus kulenyapkan..." "Engkau berani?"

Sebagai jawaban Cu Jiang acungkan jarinya untuk menotok. Nenek itu mengerang ngeri dan berguling-guling ke tanah.

"Pohpoh, sekarang engkau boleh tenang2 melewatkan sisa hidupmu!"

Nenek itu menggeliat duduk dan bergumam dengan sedih:

"Sungguh tak kira, aku Harpa penyambar nyawa, yang begitu ditakuti dunia, sekarang harus hancur di tangan seorang bocah yang tak ternama "

Mendengar kata2 itu terkejutlah Cu Jiang. Nama Harpa- penyambar nyawa itu rasanya dia pernah mendengar tetapi ia lupa entah di mana.

Ah, benar. teringat dahulu mendiang ayahnya pernah menceritakan bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat sepasang iblis besar yakni Harpa-sambar nyawa dan Genderang-pelelap-jiwa. Kedua iblis itulah yang menghabiskan jago2 dari lima partai persilatan besar.

Cu Jiang benar2 tak menduga bahwa nenek yang dihadapannya itu tak lain adalah Toh Hun pi-peh atau nenek Harpa-penyambar nyawa. Nenek itu tentu sudah berumur 100 tahun lebih. Apakah Jui-beng-to itu Genderang pelelap nyawa itu, apakah masih hidup dalam dunia?

"O, kiranya engkau tak lain adalah Toh-hun-pi peh yang melakukan kejahatan setinggi gunung. Sebenarnya kalau kubunuh mati itu sudah jauh lebih murah menilik dosamu. Tetapi biarlah kali ini kuampuni asal engkau masih dapat hidup untuk menebus dosamu." seru Cu Jiang. "Budak hina, sungguh tak kukira siapa manusia dalam dunia persilatan yang mampu mengajarkan ilmu kesaktian begitu hebat kepadamu ..."

"Kalau tak dapat menduga, ya sudahlah !"

"Jangan bermulut besar ! Kelak pasti akan  terdapat seseorang yang akan membereskan Jiwamu !"

"O. si Jui-beng-ko itu ?" "Benar."

"Jangan kuatir, kalau dia tak bertemu aku, aku akan mencarinya."

"Engkau .. . mengapa bermusuhan dengan Sip pat thian- mo?"

"Untuk memulihkan kesejahteraan dunia persilatan." "Aku  tak  punya  waktu,  sampai  jumpa !"  habis berkata

Cu  Jiang  terus  melanjutkan  perjalanan.  Diam2  dia masih

merata terkejut. Kiranya gerombolan Sip- pat thian mo itu adalah murid2 dari sepasang iblis Toh hun-pi-peh dan Jui- beng-ko. Jika kedua momok itu berada disitu, tak mungkin dia mampu mengalahkan mereka.

Setelah dapat melakukan pembalasan di gunung Keng- san lalu menghancurkan markas Thong-thian kau di kota Pek te-shia, tugasnya yang penting telah selesai. Sisanya dia dapat mempergunakan untuk jejak calon isterinya  Ho Kiong Hwa.

Diapun juga terkenang kepada si dara baju hijau Ki Ing atau tepatnya bernama Cukat Bengcu. Diam2 ia heran atas kesalahan faham dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok atau ayah dari nona itu yang mengira bahwa yang mencelakai dirinya adalah si Buddha - hidup - Sebun Ong. Padahal jelas isteri dari Cukat Giok itu kini telah diperisteri oleh ketua Gedung Hitam. Dalam peristiwa itu tentu terjadi sesuatu yang masih gelap.

Saat itu haripun sudah mulai gelap. Tiba2 ia mendengar jeritan nyaring yang mengerikan memecahkan kesunyian malam. Cu Jiang terkejut dan cepat2 lari menuju ke arah tempat itu.

Ia tiba di sebuah anak sungai di tengah hutan. Di seberang anak sungai itu tampak sebuah pemandangan yang membuatnya marah sekali. Wanita gemuk atau Poan toanio beserta dua anggauta pengawal Su-tay-kojiu yakni Ki Siau Hong dan Ko kun sedang dikepung oleh kawanan orang yang tak dikenal. Sedang puteri dari Tayli tak tampak bayangannya. Di tengah gelanggang pertempuran itu sudah rebah empat orang baju busu.

Dalam pertempuran itu ada sebuah pemandangan yang menyebabkan darah Cu Jiang naik seketika. Dalam lingkaran kepungan orang2 itu, Poan toanio bertiga telah bertempur dengan Ratu- bunga Tio Hong Hui dan putrinya, dibantu oleh dua orang lelaki tua baju hitam. Dengan demikian jelas bahwa gerombolan yang mengepung itu tentulah dari pihak Gedung Hitam.

Cu Jiang serentak hendak muncul tetapi tiba2 ia mendapat pikiran dan menahan diri. Dia hendak memperhatikan keadaan di seberang itu dengan lebih jelas lagi. Yang menjadi pemikirannya, mengapa puteri tak berada dengan Poan toanio ?

Di belakang tepi anak sungai itu terdapat sebuah gerumbul hutan pohon yang melingkari tiga buah rumah pondok. Rumah itu memancarkan penerangan.

Saat itu bintang2 bermunculan di angkasa sehingga pertempuran itu dapat dilihat jelas. Sesaat terdengar Ratu bunga Tio Hong Hui tersenyum. "Putri negeri Tayli berkunjung ke Tionggoan, masa kami dari pihak Gedung Hitam tak menyambutnya." serunya.

"Jika kalian berani mengganggu kongcu, kelak tentu  akan menerima pembalasan yang mengerikan." seru Poan toanio.

Mendengar itu tercekatlah hati Cu Jiang. Dengan begitu jelas puteri telah jatuh di tangan musuh. Kedua pengawal dari Tayli, Ki Siau Hong dan Ko Kun, telah mendapat perintah agar merahasiakan diri. Tetapi karena saat itu mereka terang2 muncul dan bertempur dengan musuh, tentulah karena keadaan sudah gawat sekali.

"Cu Heng ih, karena engkau mempunyai rejeki besar dan banyak pengalaman, tentulah diangkat menjadi inang besar di negeri Tayli," seru Tio Hong Hui lagi.

"Tio Hong Hui." teriak Poan toanio, "hendak kalian mengapakan kongcu kami?"

"Tidak apa2," sahut Tio Hong Hui tenang2, "pihak kami hanya ingin menjamunya sebagai tetamu agung. Asal raja Toan Hong ya mau memberikan kitab Giok-kah kim-keng, setiap saat kongcu boleh kembali ke negeri Tayli!"

"Engkau ngimpi!"

"Bukan, aku tidak bermimpi tetapi itu memang kenyataan."

"Engkau kira Tayli mau tunduk pada tuntutanmu itu?" "Demi keselamatan kongcu, lebih baik kita tak saling

merusak persahabatan."

"Engkau kira mampu melakukan hal itu?" "Kukira bisa."

"Engkau mengira Tayli tak mempunyai jago?" "Cu Heng Ih, meskipun engkau mengatakan  begitu, tetapi aku tak dapat merobah apa yang telah kukatakan. Kedua sahabatmu itu boleh kembali ke Tayli untuk menghaturkan laporan tetapi engkau .... harus tetap tinggal di sini."

"Apa?"

"Anak keponakanmu si Toan kiam jan jin itu apabila tahu kalau engkau bertamu di gedung kami tentu akan datang, ha, ha, ha "

"Tio Hong Hui, jangan buru2 bergiring dulu. Apakah engkau yakin dapat menjamin dirimu bakal pulang dengan selamat?"

"Tentu !"

"Engkau mempunyai keyakinan begitu?"

"Tentu saja karena saat ini mungkin kongcu  sudah berada di Gedung Hitam!"

Mendengar itu serasa terbanglah semangat Cu Jiang. Ternyata kongcu sudah ditawan oleh orang2  Gedung Hitam untuk dijadikan sandera. Dia harus bertindak. Kalau terlambat dan sampai terjadi sesuatu dengan diri kongcu, bagaimana kelak dia harus memberi pertanggungan jawab di hadapan baginda Toan Hong-ya?

Wajah Poan toanio berobah seketika.

"Kalian berdua tentu sudah jelas." seru Tio Hong Hui kepada Ki Siau Hong dan Ko Kun. Kami minta agar kongcu ditukar dengan kitab Giok kah kim keng. Silakan kalian pergi dan kami pujikan supaya selamat tiba di negeri Tayli!"

Dengan mengertek gigi Ki Siau Hong berseru: "Hujin, kelak engkau pasti menyesal." "Ah takkan begitu, " Tio Hong Hui tersenyum. "Hujin, tunggu dan lihatlah saja nanti," seru Ko Kun

"Ya, kami tentu akan menunggu kabar baik dari kalian." Tio Hong Hui berseru lagi.

"Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau." tiba2 Poan toanio berteriak kalap dan terus maju menyerang. Tetapi salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera songsongkan tangan dan Tio Hong Hui pun menyurut mundur.

Poan toanio bertempur seru melawan lelaki tua baju hitam itu. Diam2 Cu Jiang terkejut dan kagum  menyaksikan kepandaian dari wanita gemuk yang menjadi bibinya itu. Baru kali itu ia mengetahui kepandaian dari bibinya

"Bukan urusan kalian, silakan pergi!" seru Tio Hong Hui kepada kedua pengawal dari Tayli.

Tampak wajah Ki Ing yang berada di samping, mengerut tak puas atas sikap mamanya.

Melihat itu Cu Jiang tak dapat bersabar lebih lama. Setelah dia ayunkan tubuh melayang melewati anak sungai kecil itu. Selekas menginjak tepi, dia ayunkan lagi kaki untuk melayang kedalam kepungan.

"Hai siapa itu ?"

"Huak..." lelaki tua yang bertempur melawan Poan Toanio. serentak roboh dan di gelanggang pertempuran telah bertambah dengan seorang bertutup muka dan mencekal pedang kutung.

"Toan kiam-Janjin !" serempak terdengar pekik kejutan.

Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun berobah girang bukan kepalang. Wajah Tio Hong Hui berobah wajahnya. Ki Ing kerutkan alis. Sekalian anak buah Gedung Hitam yang berada di tempat itupun pucat.

0oodwoo0

Cu Jiang langsung menghampiri ke hadapan Tio Hong Hui dan berseru dengan dingin:

"Nyonya Gedung Hitam, selamat bertemu lagi." Tio Hong Hui menyurut mundur dua langkah.

"Toan kiam-jan-Jin. engkau benar2 panjang umur!" serunya.

"Kalau aku tak panjang umur. habis siapa yang akan membereskan kalian kawanan kurcaci ini semua?" seru Cu Jiang.

"Apa kehendakmu ?"

"Tidak menghendaki apa2. Lebih dulu bebaskan dulu puteri ?"

"Kalau tidak?"

"Semua orang-orangmu yang berada di tempat ini pasti tak ada satupun yang hidup!"

"Rupanya engkau juga mempunyai hubungan dengan negeri Tayli ?"

"Sudahlah. Jangan banyak bicara !"

"Kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam, bagaimana ?" "Sederhana sekali. Akan kurebut kembali puteri itu dan

nyawaku sebagai tebusannya !" "Apakah semudah itu ?" Cu Jiang berpaling kearah bibinya: "Toanio, kapan kongcu dilarikan ?"

"Kemarin pagi."

"Saudara Song Pek Liang Juga sudah mengejar ke sana. Di sepanjang Jalan tentu dia meninggalkan jejak pengenal." kata Ki Siau Hong.

Cu Jiang menimang-nimang. Dia dapat mencapai markas Gedung Hitam di gunung Keng-san dalam satu hari. Maka ia mengangguk, serunya:

"Toanio. Ki-heng dan Ko-heng, bersiaplah untuk membantai kawanan anjing2 ini !"

Habis berkata. Cu Jiang melirik kearah Ki Ing dengan pandang meminta maaf. Kemudian berkata bengis kepada Tio Hong Hui:

"Apakah aku harus menyebutmu sebagai  nyonya Gedung Hitam atau nyonya Cukat ?"

Mendengar itu seketika wajah Tio Hong Hui pucat lesi. Ki Ing pun terkejut memandang pada pelajar baju putih yang pernah mencuri hatinya itu.

Cu Jiang tertawa dingin, Katanya pula: "Tio Hong Hui, karena hendak mencari engkau, beberapa kali aku hampir kehilangan nyawa!"

"Engkau .. . hendak mencari aku !" "Benar."

"Perlu apa?"

"Heh, heh, aku melakukan permintaan orang untuk menyerahkan barang kepadamu!"

"Barang apa ?" Tio Hong Hui makin tegang. "Kalau sudah melihat engkau tentu tahu sendiri," sahut Cu Jiang, lalu mengambil dompet titipan dari Ko-tiong-jin atau Orang-dari lembah yaitu Tiong-goan thayhiap atau pendekar besar dari Tionggoan, Cukat Giok.

Dia menjepit benda itu dengan kedua jari tangan kirinya, serunya:

"Kenalkah engkau akan benda ini ?"

Gemetar tubuh Tio Hong Hui dan wajahnya makin pucat. Dia berpaling kepada puterinya "Nak, masuklah kedalam pondok itu!"

"Mengapa?" Ki Ing terkejut.

"Turutilah kata-kataku. Keadaan sudah sangat genting, aku tak menghendaki engkau terlibat dalam bahaya !"

"Apakah begitu?"

"Anakku, apa maksudmu ?" "Aku tetap akan tinggal disini."

"Kusuruh engkau tinggalkan tempat ini." "Tidak !" sahut Ki Ing dengan mantap. "Puteri nyonya seharusnya hadir disini."

"Engkau hendak menjadikannya sandera dan hendak menukar dengan puteri Tayli itu?"

"Nyonya, engkau tentu tahu bahwa aku tak akan berbuat begitu."

"Budak perempuan, mengapa engkau masih tak mau pergi !" teriak Tio Hong Hui.

"Tak mau !"

"Nyonya, biarlah dia hadir disini. " kata Cu Jiang. "Toan-kiam-jan-Jin baiklah, engkau hendak mengatakan apa ?"

"Silakan nyonya mengatakan dulu kenal atau tidak dengan benda ini ?"

"Kenal!"

"Bagus," Cu Jiang mengangguk, "suami nyonya Cukat tayhiap, minta tolong kepadaku untuk menyerahkan benda ini kepadamu !"

"Apa maksudnya ?" "Serahkan kemari!"

"Tunggu dulu, aku hendak bertanya *"

"Soal apa?"

"Bukanlah nyonya telah bersatu hati dengan Buddha- hidup Sebun Ong ? Mengapa nyonya menjadi isteri dari ketua Gedung Hitam?"

Wajah Ki Ing mulai bergolak dan sepasang matanya  yang indah, mulut membulat.

Tio Hong Hui mulai berkeringat.

"Engkau tak perlu mengurus soal itu !" teriaknya melengking.

"Kalau nyonya tak mau menerangkan, terpaksa aku harus mencari lain bukti!"

"Apalagi kata Cukat Giok ?"

"Dia sudah tak dapat hidup lama lagi di dunia ini. Hanya satu satunya yang masih menjadi ganjalan hatinya yalah tentang benda ini."

"Serahkan kepadaku !" teriak Tio Hong Hui. Cu Jiangpun terus melontarkan dan Tio Hong Hui menyambutinya. Tubuhnya gemetar tak berkata apa-apa.

"Apakah nyonya tak mau membuka dan memeriksa isinya ?" seru Cu Jiang.

Tio Hong Hui memandang dengan penuh dendam kebencian kepada Cu Jiang lalu membuka bungkusan itu dengan jarinya:

"Apakah isinya ?"

“Persembahan dari suami nyonya!"

"Apa ?" baru berkata begitu, wajah Tio Hong Huipun berobah seketika dan cepat melemparkan bungkusan itu, serunya: "Ra...cun..."

Dia terus rubuh terkulai di tanah. Sekalian orang menjerit kaget. Dan Ki Ingpun terus hendak lari menubruk mamanya.

Tio Hong Hui bergeliatan, meregang-regang. Menderita kesakitan yang hebat. Mulutnya tak henti-hentinya merintih dan mengerang-erang.

"Toan-kiam-jan-jin, engkau sungguh keji, menggunakan cara yang begitu biadab!" tiba2 lelaki baju hitam tadi membentak.

"Huak .,.." terdengar jeritan ngeri dan lelaki tua itu pun rubuh mandi darah.

Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun tertampak ikut turun tangan. Karena Cu Jiang berada disitu sudah tentu kawanan anak buah Gedung Hitam  itu pecah nyalinya. Mereka lari tunggang langgang.

Yang kepandaian rendah, harus meninggalkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa. Cu Jiang tegak di samping Ki Ing yang menangisi mamanya. Dia sedang merenungkan cara bagaimana hendak memberi penjelasan kepada nona itu.

Tiba2 Poan toanio melesat dan terus menyambar Ki Ing: "Ia dapat dijadikan penukar kongcu !"

"Toanio, lepaskanlah!" seru Cu Jiang. "Mengapa?" Poan toanio terkejut.

"Jangan menjadikannya barang penukar kong-cu!" "Kenapa tidak?"

"Aku pernah menerima budi pertolongannya menyelamatkan jiwaku, " sahut Cu Jiang.

"Menarik garis tajam antara budi dan dendam memang benar. Tetapi keadaan kongcu saat ini "

"Sukalah toanio lepaskan dia lebih dulu. " "Keselamatan kongcu?"

"Aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk menolongnya."

Mendengar janji itu terpaksa Poan toanio mau melepaskan Ki Ing.

Jelita itu tidak menangis. Tak mengucurkan setetes air matapun juga. Wajahnya merah biru dan tiba2 dia meraung kalap: "Engkau telah membunuh mamaku!" terus menyerang Cu Jiang.

Pemuda itu menghindar dengan gerak langkah Gong gong-poh hwat, sembari berseru:

"Nona, dengar dulu, aku hendak bicara ..”

Tetapi Ki Ing kalap. Dia menyerang makin hebat dan melancarkan jurus2 maut. Karena berulang kali berseru memberi peringatan tetap tak digubris, akhirnya Cu Jiang balas menyerang, mencengkeram lengan si nona seraya berseru:

"Dengarkan dulu aku hendak menceritakan tentang peristiwa itu..."

"Tak perlu, engkau telah membunuh mamaku!" teriak Ki Ing.

"Nona, aku hanya melaksanakan permintaan dari . . ." "Tutup mulutmu ? Aku dapat menandingi engkau,

bunuh sajalah aku !"

"Tiada alasan aku harus membunuhmu . . ."

"Jika engkau tak mau membunuh aku, aku bersumpah pada suatu hari tentu akan membunuhmu !"

"Dengarkan dulu keteranganku . . “

Ternyata Tio Hoag Hui masih belum mati. Tiba2 dengan terputus-putus dia berseru:

"Anakku ... kemarilah ..."

"Lepaskan !" teriak Ki Ing dengan mata melotot. Tertegun oleh sikap yang begitu berani dari si nona, Cu Jiangpun melepaskannya. Nona itu menubruk dan memeluk mamanya lalu mengangkatnya terus dibawa pergi

....

"Dengarkan dulu," cepat Cu Jiang melesat menghadang, "aku harus memberitahu kepadamu bahwa engkau ini sebenarnya berasal. ..”

"Enyah!!"

"Engkau harus mendengarkan keteranganku !" "Tidak!!" Wajah Tio Hong Hui saat itu sudah berobah kehitam- hitaman. Dengan terengah-engah wanita itu berkata

"Toan-kiam .... jan-jin tujuanmu ... telah tercapai .. . aku

. . , segera mati ... dia . . memang anak kandungku., . biarlah aku dan anakku ... . pada saat terakhir . ..." sampai disitu ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena nyawanya putus.

Cu Jiang terlongong. Sementara Ki Ing terus  memondong tubuhnya dibawa lari.

"Sausu, engkau membiarkan dia lari?" seru Ki Siau Hong.

Cu Jiang menghela napas: " Biarlah mereka ibu dan anak dapat bersama dalam saat2 terakhir!"

" Apakah itu bukan budi pekerti seorang perempuan?" "Aku mempunyai pertimbangan sendiri." Cu Jiang deliki

mata membentak marah.

"Jika kongcu sampai terjadi apa2, bagaimana kami atau menghadap baginda dan Koksu?" Ko Kun menyeletuk.

"Kalian boleh membawa batang kepalaku!" sahut Cu Jiang getas.

Mendengar penyahutan dan sikap Cu Jiang, kedua pengawal dan Tayli itu leletkan lidah dan tak berani berkata apa2 lagi.

"Nak, jangan membawa adatmu sendiri," seru Poan toanio pula.

Cu Jiang terdiam sejenak lalu berkata:

"Sekarang juga aku hendak mengejar kongcu, toanio dan kedua saudara itu boleh mengikuti secara diam2. Setelah berhasil merebut kongcu, aku segera akan kembali. Karena saudara berdua dan saudara Song Pek Liang sudah mengunjuk diri, dan gerombolan Sip pat-thian mo pun sudah tinggal separoh kurang. tak menguatirkan. Setelah kubebaskan kongcu, kalian boleh mengantarkannya ke Tayli."

Ki Siau Hong dan Ko Cun hanya mementang mata tak menyahut.

"Toanio," kata Cu Jiang dengan nada menyesal, "kuharap toanio bersama kedua saudara itu lebih dulu berangkat. Aku hendak mengejar Tio Hong Hui dengan puterinya itu, demi untuk menyelesaikan urusan yang orang minta tolong kepadaku!"

"Nak, aku benar2 tak mengerti."

Terpaksa Cu Jiang menceritakan peristiwa dahulu ketika dia dilempar musuh kebawah jurang, telah ditolong oleh Ko-tiong Jin, Ternyata Ko-tiong-jin itu tak lain adalah Tionggoan-tayhiap Cukat Giok yang kemudian minta tolong kepadanya untuk mencari isteri dan putrinya.

"Tio Hong Hui dan nona itu tak lain adalah isteri dan puteri dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok." kata Cu Jiang.

"Oh," Poan toanio mendesuh kejut, "kiranya demikianlah peristiwa itu."

"Toanio, aku segera akan mengejar jejak nona Beng Cu." seru Cu Jiang terus melesat keluar dari pondok.

Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun pun segara tinggalkan tempat itu.

Cu Jiang terkejut ketika memandang ke empat penjuru tak tampak barang seorangpun juga.

Ia masih mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kantong kain dari Cukat Giok kepada puterinya. Begitu pula ia merasa wajib harus menerangkan asal usul diri Ki Ing agar nona itu tidak salah paham.

Lari sampai empat lima li, tetap ia kehilangan jejak  Ki Ing yang membawa mamanya itu. Tak mungkin nona itu mampu lari sejauh itu. Mungkin karena malam gelap, nona itu bersembunyi. Kalau dia harus balik kembali untuk mencari disekeliling tempat itu, tentu akan menunda rencananya untuk membebaskan puteri Tayli.

"Ah, mungkin mereka telah dibawa olah anak buah Gedung Hitam," akhirnya ia menarik kesimpulan lain. Yang jelas Tio Hong Hui tentu sudah mati. Jika demikian tentulah arah larinya nona itu juga menuju ke Gedung Hitam.

Sekali dayung dua tepian. Pikir Cu Jiang. Dan diapun harus memenuhi janji dengan Ang Nio Cu  untuk bertemu di Gedung Hitam. Demikian setelah menimang-nimang, akhirnya ia hentikan pengejarannya dan terus menuju ke jalan besar yang mencapai ke arah Gedung Hitam.

Menjelang terang tanah dia sudah mencapai seratusan li. Dia berhenti makan disebuah warung ditepi jalan. Dan dia melihat tanda rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang.

Setelah makan, cepat2 dia melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak menghiraukan pakaiannya yang berlumur percikan darah. Sepanjang jalan dia menurutkan tanda2 rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang. Sebelum tiba di kota Tong- yang, dia mengambil jalan kecil yang menuju ke kota Wasan.

Pada hari ketiga, tiba2 tanda rahasia itu tak tampak lagi. Dia heran dan kaget. Apakah dia yang kehilangan  jejak atau memang Song Pek Liang yang mendapat bahaya ? Dia kembali ke tempat tanda rahasia yang terakhir dan berusaha untuk menyelidiki sekitar tempat itu tetapi hasilnya nihil.

Dia bingung juga. Putusnya tanda rahasia itu hanya dapat terjadi dalam dua Kemungkinan. Pertama, memang jejak pemburuan itu hanya sampai ditempat situ. Orang yang dikejar, berhenti disekitar tempat itu. Hanya letaknya yang belum diketahui benar2.

Kedua, Song Pek Liang tertimpah bahaya sehingga tak sempat meninggalkan tanda rahasia. Dan kemungkinan kedua itu memang besar kemungkinannya. Karena kalau hanya kehilangan jejak yang dikejar, tentulah Song Pek Liang masih sempat meninggalkan pertandaan rahasia.

Setelah menimang-nimang, akhirnya Cu Jiang memutuskan untuk menyelidiki sekeliling tempat itu sampai beberapa li. Jika tak berhasil, barulah dia akan menuju ke gunung Kengsan.

Sejam lamanya dia menyelidiki sampai seluas lima li dari tempat tanda rahasia itu, tetap dia tak berhasil menemukan sesuatu. Dia bingung dan kecewa.

Jika kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam untuk menekan baginda Tayli supaya menebus dengan kitab pusaka Giok kah-kim keng, itu memang dapat dimaklumi. Gedung Hitam sudah lama sekali menginginkan kitab itu.

Diam2 Cu Jiang heran mengapa suhunya. Gong-gong-cu mengijinkan kongcu pesiar ke daerah Tiong-goan padahal tindakan itu berbahaya sekali bagi keselamatan kongcu.

Tetapi semuanya telah berlangsung. Tak ada lain pilihan kecuali harus berusaha untuk mendapatkan kongcu kembali. Jika dia hendak menghadang kawanan anak buah Gedung Hitam yang membawa kongcu itu, dia harus merahasiakan diri.

Jika tidak, maka musuh tentu dapat mengetahuinya. Ah. sayang mengapa tempo hari dia tak mau meminta beberapa kedok muka dari si pencuri sakti Thian-put thau.

Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan masuk ke kota kecil disebelah muka. Dia hendak menyaru dan membeli perlengkapan sebagai seorang pemburu. Mungkin kalau ia bertindak hati2 musuh tentu sukar mengetahui.

Segera ia lari. Beberapa waktu kemudian tiba2 ia menemukan pertandaan rahasia lagi dari Song Pek Liang. Tanda rahasia itu menyatakan bahwa Song Pek Liang telah dikepung olah jago2 sakti dari pihak Gedung Hitam.

Melihat tanda rahasia itu. jelas Song Pek Liang telah membuatnya dalam keadaan terburu-buru sekali. Tetapi dia tak memberi keterangan suatu apa tentang diri kongcu.

Sekarang dia harus menolong Song Pek Liang lebih dulu baru nanti meminta keterangan tentang beradanya kongcu.

Disebelah depan tampak jalan besar. Terdapat beberapa rumah petani. Sebelah kanan jalan terbentang tanah ladang dan disebelah kiri sebuah hutan.

Cu Jiang tujukan langkah ke hutan itu. Kalau  tak berhasil menemukan apa2, barulah dia akan kembali lagi menyusur jalan besar.

Setelah menjelajahi hutan dan tak menemukan apa2, dia terus hendak keluar lagi. Tiba2 ia melihat diatas tanah bukit yang tak jauh dari hutan itu seperti tampak berkelebat beberapa bayangan. Serentak timbullah semangatnya dan terus saja dia melesat ketempat itu. Tiba di tepi hutan, terpaksa ia harus menghela napas panjang. Ternyata bayang2 itu bukan sosok manusia melainkan batang pohon yang ditancapkan di punggung bukit. Diatas dahan itu terpancang sehelai baju yang berkibar2 dihembus angin.

Memandang dengan seksama, dilihatnya batang dahan itu masih digantungi lagi dengan sebuah peti obat. Sudah tentu dia terkejut sekali. Bukankah peti obat itu milik Song Pek Liang ketika dia menyaru menjadi penjual obat tempo hari ? Ah, jelas Song Pek Liang tentu menderita bahaya.

Ia mengeliarkan pandang ke sekeliling dan kejutnya makin hebat lagi. Tak berada jauh dari dahan itu. sebutir kepala manusia menggeletak di tanah. Darah Cu Jiang mendidih seketika.

Song Pek Liang telah dibunuh musuh secara mengerikan sekali. Dia dikubur berdiri sampai sebatas leher sehingga kepalanya saja yang kelihatan di permukaan tanah.

"Bajingan2 itu harus kuhancur-leburkan semua!" teriak Cu Jiang.

Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bentakan yang gemuruh. Asalnya diperkirakan seperti di sebelah kanan bukit itu. Segera dia lari ke tempat itu.

Ternyata dugaannya memang benar. Di tempat itu sedang berlangsung pertempuran yang seru. Dan yang bertempur itu tak lain adalah Ang Nio Cu bersama Thian- put thou. Ang Nio Cu berhadapan dengan seorang lelaki tua kurus berjubah kuning emas. Ang Nio Cu menggunakan pedang yang Cu Jiang berikan sebagai tanda perjodohan kepada Ho Kiong Hwa yang lalu.

Baru pertama kali itu Cu Jiang melihat Ang Nio Cu bertempur dengan menggunakan senjata. Dan dilihatnya pula bahwa ilmu-pedang nona itu, mempunyai corak gaya permainan yang istimewa.

Lawannya, lelaki tua berjubah kening emas, juga menggunakan pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Keduanya bertempur dengan seru sehingga sukar dibedakan satu sama lain.

Sedang Thian-put-thou seorang diri menghadapi empat orang Pengawal Hitam dan seorang lelaki pertengahan umur yang mengenakan pakaian seperti seorang thaubak (kepala regu).

Keadaan Thian-put-thou memang kurang menguntungkan. Dia hanya mengandalkan kelincahan ilmu meringankan tubuh untuk menghindari serangan lawan.

Sementara ditanah tampak berserakan tujuh sosok  mayat. Lima diantaranya adalah kawanan  Pengawal Hitam. Jelas rombongan anak buah Gedung Hitam itu tentulah yang membunuh Song Pek Liang. Mungkin juga yang membawa kongcu.

Cu Jiang tak menduga bahwa Ang Nio Cu dan Thian put-thou akan muncul disitu dan bertempur dengan musuh. Maka diapun terus melayang ke gelanggang dan...

Huak. . . huak . .. terdengar beberapa jeritan ngeri yang menyeramkan dan kedua belah pihak yang bertempur itu terkejut dan serempak berhenti

Kelima orang yang menjadi lawan Thian-put thou, sudah ada tiga yang menggeletak, diantaranya yalah lelaki setengah tua yang berpakaian sebagai thaubak.

"Adik kecil, bagus, engkau datang !" seru pencuri sakti Thian put-thou.

"Adik Jiang !" seru Ang Nio Cu. "Toan-kiam-Jan-jin !" teriak lelaki tua yang mengenakan jubah kuning emas dengan wajahnya pun serentak berobah kaget. Sedang kedua Pengawal Hitam tampak pucat pasi.

Cu Jiang tak mau berkata apa2 terus berputar tubuh, mencabut pedang dan menyerang. Kedua Pengawal Hitam itu menjerit dan rubuh. Lalu menyerang lelaki tua berjubah emas untuk menggantikan Ang Nio Cu.

"Adik Jiang, dia adalah wakil ketua dari Gedung Hitam." seru Ang Nio Cu.

Lelaki tua berjubah kuning emas itu cepat melesat melarikan diri.

"Hai, mau lari ke mana engkau!" teriak Cu Jiang yang dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat sudah menghadangnya dan terus menghantam.

Rupanya lelaki tua yang menjadi wakil ketua Gedung Hitam itu sudah tak menghiraukan soal gengsi lagi. Dengan gerak Keledai malas menggelinding-ke tanah, dan menyambitkan senjata rahasia kearah Cu Jiang.

Serangan itu benar2 tak pernah di duga Cu Jiang. Hantamannya tadi bahkan malah membantu lawan untuk berguling ke tanah dan setelah melepaskan senjata rahasia, terus menyelinap lenyap kedalam hutan.

Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak loncat mengejar. Cu Jiangpun marah dan terus menyerbu kedalam hutan. Tetapi dalam beberapa kejab itu. ternyata lawan sudah menghilang. Sesaat mereka bertiga berjumpa dalam hutan, ketiganya-pun tertawa kecut.

Sambil banting2 kaki, Cu Jiang uring2an: "Aku harus dapat mengejar orang itu . ." "Menolong orang lebih penting," Thian-put-thou mencegah.

"Mereka telah menculik puteri Tayli "

"Kutahu," Thian-put-thou mengangguk, "saat ini mungkin sudah berada di Gedung Hitam "

"Mengapa begitu cepat?"

"Setiap pos, mereka berganti kuda, sudah tentu bisa cepat."

"Bagaimana lo-koko tahu?"

"Karena mendengar mereka secara tak sengaja telah bercakap-cakap membocorkan hal itu."

"Lalu bagaimana tindakan kita ?" "Kita berunding lagi."

"Kalian berdua mengapa dapat bersama "

"Bertemu di tengah jalan."

Cu Jiang berpaling kepada Ang Nio Cu: "Apakah taci juga mengambil jalan pendek. "

"Ah, kita tolong orang dulu " kata Ang Nio Cu.

Mendengar itu Cu Jiang gelagapan. Ia baru teringat tentang Song Pek Liang yang dikubur begitu kejam. Entah dia masih hidup atau sudah mati. Cepat dia melesat dan mengajak kedua orang itu

"Tunggu dulu, tak perlu terburu-buru !" seru Thian-put- thou.

"Lo koko kenapa?!" Cu Jiang hentikan langkah.

"Itu sebuah jebakan, khusus menunggu engkau, maka jangan gegabah !" "Jebakan ?"

"Apakan engkau tak memperhatikan mengapa lawan sengaja menunjukkan pertandaan itu secara menyolok sekali. Tak lain hanya untuk memikat engkau. Untung belum menolongnya, kalau tidak engkau tentu  sudah hancur lebur!"

Mendengar itu berdetaklah hati Cu Jiang. "Apakah mereka memasang obat peledak?" tanyanya.

"Ya !"

"Keparat !"

"Mari kita ke sana."

“Apakah Song Pek Liang masih hidup!" "Mungkin belum mati."

Ketiga orang itu menuju ke tepi hutan dibawah bukit. Memandang kepada kepala Song Pek Liang yang menonjol di atas tanah, dada Cu Jiang serasa meledak.

Thian put-thou garuk2 telinga dan mukanya dan bersungut-sungut. "Harus mencari akal untuk menghilangkan obat peledak itu."

"Bagaimana caranya ?" tanya Cu Jiang.

"Jika salah menyentuh bahan itu, akibatnya sukar dilukiskan. Yang menjadi kesulitan, kita tak mengetahui dimana letak mereka memendam obat pasang itu."

"Oh, tentu tak jauh dari tempat orang yang dikubur itu. Mereka tentu memperhitungkan, begitu adik Jiang melihat kawannya dikubur hidup-hidupan tentu akan buru2 menolongnya. Begitu mengejar kesitu, tentu segera akan meledak," tiba2 Ang Nio Cu menyelutuk. Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih: "Sayang orang yang dikubur itu jalan darahnya telah ditutuk sehingga tak dapat bicara. Kalau tidak, dia tentu dapat memberi tahu."

"Apakah dia masih dapat ditolong ?" tanya Cu Jiang harap2 cemas.

"Tentu saja masih, asal dapat menyingkirkan bahan peledak itu."

"Aneh, mengapa musuh dapat mengetahui diri saudara Song "

"Kudengar semua itu hasil tindakan mereka untuk menekan si puteri manis itu sehingga rombongan pengawal dari Tayli dan bahkan dirimu telah diketahui semua oleh musuh."

Cu Jiang tertawa hambar.

"Tak apa, kita dapat membuat serangan secara terang- terangan," serunya.

"Tetapi engkau tentu tak sampai berpikir, bahwa apabila peristiwa itu tersiar keluar, tentu akan menimbulkan banyak kesulitan kepada kerajaan Tayli."

"Tetapi tiada lain jalan lagi. Setelah dapat membebaskan kongcu, aku segera hendak mengantarkannya kembali ke Tayli."

"Itu memang benar."

"Sekarang apa daya kita untuk menolong Song Pak Liang ?" gumam Cu Jiang dan ketika memandang kearah Song Pek Liang, dilihatnya mata pengawal dari Tayli itu sudah mengatup rapat. Cu Jiang serentak berseru meneriaki:

"Saudara Pek Liang!" Rupanya pendengaran Song Pek Liang masih belum hilang. Dia membuka mata. Sudah tentu Cu Jiang gembira sekali karena hal itu menandakan bahwa dia masih hidup. Bibir Song Pak Liang bergerak-gerak seperti hendak omong tetapi tak dapat mengeluarkan suara.

Tiba2 Cu Jiang mendapat akal, serunya gembira: "Aku menemukan akal!"

Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak lompat menghampiri: "Bagaimana ?"

"Pandangan Pek Liang masih belum beku," kata Cu Jiang. "hanya tak dapat berkata, dia menggunakan kerling mata untuk menyampaikan maksud hatinya . . ."

"Saudara Pak Liang, apakah engkau dapat mendengar omonganku ? Jika dapat, harap engkau kicupkan mata !" seru Cu Jiang.

Eh, ternyata Pek Liang mengicupkan mata. Sudah tentu Cu Jiang bertiga gembira sekali.

"Saudara Peh Liang, aku hendak bertanya. Jika engkau mengiakan, tolong kicupkan mata. Apakah jalan darahmu tertutuk?" seru Cu Jiang.

Pek Liang kicupkan mata. "Engkau terluka ?"

Kembali Pek Liang kicupkan mata.

Cu Jiang mengangguk lalu bertanya pula.

"Apakah mereka memasang obat peledak disamping tempatmu?"

Lagi2 Pek Liang kicupkan mata. "Sekarang kami hendak mencari tempat obat peledak itu. Apakah obat itu berada dalam lingkungan satu meter di sekelilingmu ?"

Pek Liang diam saja. "Dua meter ?"

Tetap diam.

"Tiga meter ? ... Empat ... Lima meter ? Satu tombak ?" Namun Pek Liang tak memberi reaksi apa2.

"Apakah berada pada tubuhmu ?" akhirnya Cu Jiang mendesak.

Pek Liang mengangguk.

Cu Jiang berpaling kepada Thian put thou tanyanya: "Lo-koko, obat itu ada pada tubuhnya, bagaimana ?"

"Hanya dengan cara perlahan-lahan kita menggali untuk mengeluarkan tubuhnya tetapi hal itu memang  mengandung bahaya besar. Salah-salah obat meledak dan tubuh hancur berkeping2."

Sejenak merenung Cu Jiang bertanya lagi:

"Saudara Pek Liang, kami hendak menyingkirkan obat peledak itu. Lalu dari mana kita harus mulai bertindak? Dari muka ?"

"Dari belakang ?" "Dari sebelah kiri ?"

Setelah berulang kali diam, akhirnya Pek Liang kicupkan mata, menyatakan bahwa penggalian itu harus dilakukan dari sebelah kiri.

Cu Jiang segera minta Thian-put-thou dan Ang Nio Cu supaya mundur karena ia hendak bertindak. "Tidak," sahut Thian-put thou."seharusnya aku yang turun tangan."

"Tetapi lo-koko mengapa hendak menempuh bahaya." "Adik kecil, tugasmu yang penting belum selesai. Musuh

besarmu belum dibalas dan engkau masih muda belia. Hari depanmu masih gemilang. Sedangkan aku sudah seperti pohon tua yang mendekati lapuk. Kalau harus mati itu sudah wajar, tak ada yang perlu disalahkan. Tetapi itupun hanya suatu kemungkinan karena belum tentu aku mati."

"Tidak, lo-koko ! Ini urusanku ..." "Urusanmu apakah bukan urusanku Juga ?"

Cu Jiang tergerak hatinya. Ia terbaru mendengar pernyataan lo-koko atau engkohnya yang tua itu.

"Lo koko, kecintaanmu terhadap diriku, sampai  mati pun takkan kulupakan. Tetapi dalam urusan ini, biarlah aku saja yang turun tangan, harap kalian mundur "

"Tidak!" wajah Thian-put-thou berobah sarat, "bagaimanapun aku takkan menurut perintahmu !"

"Jika demikian biarlah aku saja agar kalian tidak saling berebut." tiba2 Ang Nio Cu menyeletuk.

"Tidak layak !" seru Cu Jiang terkesiap. "Mengapa ?"

"Bagaimanapun alasan taci. tetapi engkau tak boleh menerjang bahaya itu. Dan lagi penerus dari perguruan Hiat ing bun terletak pada diri taci "

"Seorang ksatrya rela mati untuk orang yang akrab hubungannya dengan dia. Tak perlu harus memikirkan segala alasan itu. Dan terus terang, aku sudah jemu dengan kehidupan ini. Kalau bisa melakukan sesuatu yang membahagiakan orang, hatiku sangat gembira . . ."

"Taci ..."

"Adik Jiang, tetapi ini bukan perjalanan menuju ke kematian!" kata Ang Nio Cu.

Tetapi Cu Jiang tak mau berbantah lagi. Sekonyong- konyong tubuhnya melayang ke samping Song Pek Liang. Sudah tentu Ang Nio Cu dan Thian-put-thou terkejut sekali namun sudah tak keburu untuk mencegah.

"Hati-hati!" mereka hanya dapat memberi peringatan. "Ya, tahu. Harap kalian beristirahat ke dalam hutan."

sahut Cu Jiang.

Tampak wajah Song Pek Liang merah padam. Karena tubuh tertanam di tanah, darah tak dapat mengalir lancar sehingga terhenti di muka. Apabila tak lekas ditolong tentu mati. DI samping itu rupanya Song Pek Liang tak menghendaki Cu Jiang bertindak begitu. Sedikit kurang hati2, tentu akan menyentuh obat pasang dan keduanya temu akan hancur lebur.

"Song-heng, jangan cemas, aku akan bertindak dengan hati2." seru Cu Jiang lalu mencabut pedang kutung dan mulai menggali. Diam2 sebenarnya hati Cu Jiang juga kebal kebit.

Dia tahu bahwa saat itu sedang menghadapi maut. Tak berapa lama pakaiannyapun basah kuyup dengan keringat. Napas memburu keras.

Ang Nio Cu dan Thian-put-thou yang berada di hutan juga tak kurang tegangnya.

Pelahan-lahan sudah tampak bahu dan rusuk kiri dari Song Pek Liang. Cu Jiang berhenti menggali. "Song heng, di mana obat itu letaknya ? Dibawah pinggangmu ?

"Kaki ? Paha ? Pantat.. ?"

Tetapi Song Pek Liang tetap pejamkan mata tak menyahut. Sudah tentu Cu Jiang gugup. Terang kalau Song Pek Liang itu pingsan. Cepat ia lanjutkan penggaliannya dengan hati2. Akhirnya sampai ke perut.

Tiba2 ia mendapat pikiran. Ia hentikan penggalian lagi. Pikirnya, ia hendak membuka Jalan darah Song Pek Liang yang tertutuk itu agar dapat ditanya keterangan. Ia segera meraba-raba tubuh Song Pek Liang tetapi tak berhasil menamakan bagian yang tertutuk. Ia menyadari bahwa musuh mempunyai ilmu tutuk yang istimewa. Terpaksa ia hentikan usahanya.

Saat itu ia mulai menggali lagi dan ketegangannyapun makin memuncak. Mati atau hidup hanya tergantung dari detik2 yang menentukan.

"Adik kecil, bagaimana, keadaannya ?" teriak Thian-put- thou.

"Dia pingsan," Cu Jiang membesut keringat. "Engkau menemukan apa saja?"

"Tidak menemukan apa2."

"Peti obat atau barang sejenis itu ?" "Tidak!"

"Engkau turun kemari, biar aku yang mengganti. Aku lebih ahli dalam soal itu "

"Tidak !" Cu Jiang menolak.

Thian-put-thou dan Ang Nio Cu serempak ayunkan tubuh melayang ke tempat Cu Jiang. "Apa maksud kalian ? Apakah hendak bersama-sama mati?" tegur Cu Jiang dengan tegang.

"Engkau dan Ang Nio Cu cepat menyingkir, aku yang menyelesaikannya !" kata Thian-put-thou dengan serius.

"Tidak !"

Sekonyong-konyong dari gunduk atas bukit itu terdengar suara tertawa dingin. Ketiga orang itu terkejut. Memandang kearah suara tawa itu, tampak wakil ketua Gedung Hitam sedang tegak berdiri dengan mencekal seutas tali.

Cu Jiang mendengus geram. Pada saat dia hendak bergerak tiba2 wakil ketua Gedung Hitam Itu membentak: "Jangan bergerak!"

"Apa engkau hendak mengantar Jiwa?" teriak Cu Jiang marah.

Wakil ketua Gedung Hitam itu tertawa mengekeh seraya menggerak-gerakkan tali, serunya:

"Tali ini bersambung dengan sumbu obat peledak. Sekali kutarik, kalian bertiga tentu hancur lebar!"

Cu Jiang bertiga menelan ludah. Jarak wakil ketua Gedung Hitam dengan tempat mereka terpisah dua puluhan tombak. Betapapun hebat ilmu ginkang seseorang, tetapi tetap masih kalah cepat dengan gerakan menarik tali itu.

Cu Jiang rasakan dadanya seperti meledak. Dengan ilmu langkah Gong gong-poh mungkin dia masih dapat terhindar dari bahaya kehancuran. Tetapi Ang Nio Cu dan Thian put- thou tentu hancur.

Tak ada lain daya dari ketiga orang itu kecuali saling bertukar pandang.

"Li Ing Bo, apa maksudmu? " teriak Thian-put-thou. Ternyata wakil ketua itu bernama Li Ing Bo. Dia membalas dengan tawa gelak2, serunya:

"Kalian bertiga hendak kuantar naik ke akhirat!"

"Adik kecil, dengan kepandaianmu, mungkin engkau dapat menghindar dan tempat ini . . . ," bisik Thian put thou.

"Lo koko menganggap aku ini orang apa?" Cu Jiang memberingas.

"Bukan begitu maksudku," kata Thian put thou, " perlu apa kita bertiga harus mati? Bukankah masih ada seorang yang kelak dapat membalaskan dendam darah ini?"

"Aku tak mau!"

"Adik kecil, saat ini bukan saat main keras kerasan kepala . . . .

"Tidak! Kecuali kita bertiga sama2 ke luar!" "Tak mungkin!"

"Taci tentu dapat keluar juga," kata Cu Jiang  kepada Ang Nio Cu.

"Hm, apakah lo kokomu ini juga tak mampu ?" dengus Ang Nio Cu

"Kalau kita bergerak keluar dan lingkungan tempat ini, mungkin dapat selamat. Tetapi bagaimana dengan jiwa saudara Pek Liang "

"Kecuali menemaninya mati, memang sudah tak ada lain jalan lagi." kata Ang Nio Cu.

"Kalian hendak memberi pesan terakhir apa saja ?" seru Li Ing Bo dengan keras. "Orang she Li," teriak Cu Jiang dengan keras, "kalau aku tak mati, kelak tentu akan kuratakan Gedung Hitam dan takkan kutinggalkan seorangpun bahkan anjing dan ayam pun akan kubunuh semua !"

“Heh, heh, heh, sayang engkau sudah mati dulu !"

Cu Jiang kebingungan faham. Tiba2 Thian put-thou berkata dengan segera. "Kita tak boleh menunggu kematian dengan cara begini. Harus lekas mengambil putusan !"

Tiba2 saat itu sesosok bayangan muncul disamping Li Ing Bo. Hai jelas si Jelita Ki Ing, puteri dari Tay hiap-tiong- goan Cukat Giok yang belum tahu asal usul dirinya dan mengira kalau ketua Gedung Hitam itu ayahnya.

"Susiok, berikan tali itu kepadaku !" tiba2 si Jelita berkata kepada Li Ing Bo. Dengan menyebut Li Ing Bo sebagai susiok atau paman guru, mungkin Li Ing Bo ini juga adalah seorang murid dari Sam Bok thian cun.

"Budak, lekas engkau menyingkir !" bentak Li Ing Bo. "Tidak, aku hendak membalas dendam mamaku." "Apakah kalau aku bukankah sama saja..."

"Aku hendak menghancurkan Toan-kiam-jan-jin dengan tanganku sendiri ..."

Merah mata Cu Jiang mendengar itu. Tak tahu dia bagaimana caranya untuk memberi penjelasan kepada nona itu. Jika benar2 nona itu turun tangan, ah, akibatnya tentu mengerikan.

"Nona Ki Ing engkau bukan "

"Tutup mulutmu Toan kiam-Jan Jin ! Rasanya tak puas hatiku kalau tak menghancurkan engkau dengan tanganku sendiri !" Mendengar itu akhirnya mau juga Li Ing Bo memberikan tali kepada Ki Ing.

"Sayang tali itu terpendam dibawah tanah. Jika tidak begitu, kita dapat memutuskannya," bisik Ang Nio Cu.

"Budak, mengapa tak lekas engkau tarik tali itu !" seru Li Ing Bo.

Cu Jiang terkejut dan serentak dia hendak berteriak lagi memberi penjelasan kepada Ki Ing. Tetapi sekonyong- konyong nona itu lemparkan tali dan berseru gopoh: "Lekas kalian lari !"

Sudah tentu Cu Jiang bertiga terlongong-longong menyaksikan perbuatan yang tak terduga-duga itu. Adalah Cu Jiang yang lebih dulu menyadari hal itu. Serentak dia ayunkan tubuhnya seraya meneriaki kedua kawannya : "Lekas lari !"

Sesaat ketiga orang itu melesat pergi terdengarlah suara orang menguak yang mengerikan sekali. Kemudian disusul dengan ledakan yang dahsyat. Tanah dan keping2 batu muncrat berhamburan ke udara.

Bahan peledak itu telah meledak.

Sebenarnya Cu Jiang terus hendak enjot tubuh ke tempat Li Ing Bo tetapi ledakan Itu telah membuatnya tertegun di tempat. Sebuah pemandangan yang mengerikan serentak menusuk hatinya.

Ki Ing mati dan Pek Liangpun hancur lebur. Tetapi pada lain saat. Cu Jiang dapat melepaskan pikirannya dari peristiwa itu dan cepat melambung ke atas bukit. Dia hendak menghancurkan Li Ing Bo. Tetapi wakil ketua dari Gedung Hitam itu sudah lenyap. Yang tampak hanya si Jelita Ki Ing, menggeletak di tanah, mata dan hidungnya mengucurkan darah.

Cu Jiang cepat lari menghampiri. Dilihatnya wajah nona itu pucat seperti kertas, sinar matanya redup dan layu. Tetapi napasnya belum putus. Jelita itu memandang Cu Jiang, dari sudut bibirnya merekah senyum.

"Nona Beng Cu, Jangan kuatir, engkau tentu tertolong !" "Apakah masih dapat ditolong ?" seru Thian-put thou

gugup.

Ang Nio Cu memeriksa seluruh jalan darah tubuh nona itu. Lama baru dia berkata dengan nada tegang: "Dia menderita luka-dalam yang parah sekali, tetapi denyut jantungnya masih baik, Dia terkena pukulan ganas yang istimewa. Aku tak dapat menolongnya."

"Dia telah menyelamatkan kita bertiga, tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja!" seru Cu Jiang.

Thian-put-thou mengeluarkan beberapa butir pil dan diberikan kepada Ang Nio Cu: "Untuk mempertahankan jiwanya, baru nanti kita berusaha untuk mengobati."

Ang Nio Cu pun lalu menyusupkan pil itu ke dalam mulut Ki Ing.

"Ah, kenapa dia harus bertindak begitu ?" Thian-put-thou menghela napas.

"Mungkin tak dapat melupakan rasa asmaranya terhadap adik Jiang." kata Ang Nio Cu.

Cu Jiang tertegun, memandangnya. Kemudian menengadah memandang kearah bukit, Ditempat Song Pek Liang dikubur hidup hidup tadi, terbukalah sebuah lubang seluas dua tiga tombak. Sedih hati Cu Jiang sehingga ia menitikkan airmata. Diantara empat pengawal dari Tayli yang diperintah Gong- gong-cu untuk mengikutinya ke Tionggoan, dua orang yaitu Ong Kian dan Song Pak Liang telah mati. Bahkan kematian Song Pek Liang itu sangat mengerikan.

Cu Jiang serentak melesat ke tempat bekas ledakan itu tetapi tubuh Song Pek Liang sudah hancur lebur tak dapat dikumpulkan lagi. Setelah berdoa memanjatkan  arwah Song Pek Liang agar mendapat tempat yang layak di nirwana, Cu Jiang kembali ke tempat Ki Ing.

"Adik Jiang, satu-satunya yang dapat menolong nona ini ialah Kui jiu-sin-Jin di gunung Busan.”

Cu Jiang mengangguk.

"Kecuali engkau sendiri, lain orang tak mungkin diijinkan masuk ke lembah Mo jin-koh," kata Ang Nio Cu pula.

"Baik, akulah yang akan kesana."

"Benar, memang kecuali engkau tak ada lain orang yang mampu melindungi nona itu. Dia harus beristirahat. Kalau sampai terganggu dan menderita goncangan hati, dia tentu binasa. Aku akan menemanimu kesana," kata Thian put- thou.

Kepada Ang Nio Cu, Cu Jiang mengatakan bahwa apabila membawa Ki Ing ke Bu-san, perjalanan ke Keng san tentu tertunda.

"Sudah tentu menolong jiwa orang lebih penting." sambut Ang Nio Cu.

"Perjalanan ke Bu-san ini paling tidak tentu memakan waktu setengah bulan. ai..."

"Aku ikut dan Ciok cianpwe tak perlu capek2 kesana." "Celaka!" teriak Thian-put-thou, "kalau nganggur aku tentu angot penyakitku, Lebih baik aku saja yang menemani adik kecil ke sana !"

"Dia seorang gadis, kalian kaum lelaki bagaimana akan merawatnya di sepanjang jalan nanti ?"

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar