Pusaka Negeri Tayli Jilid 19

Jilid 19

Tergerak hati Cu Jiang ketika mendengar sebutan kepada dirinya yang semula "budak kecil" menjadi "engkoh kecil". Diam2 ia menduga-duga, hendak berbuat apakah kedua suami isteri iblis ini kepadanya ?

"Bagus! itu tepat sekali!" seru kakek Tengkorak seraya bertepuk tangan.

Kemudian nenek Tengkorak berkata kepada Cu Jiang: "Sahabat, ada sebuah urusan yang hendak minta

bantuanmu .. ."

"Suruh membunuh orang?" tegur Co Jiang. "Hampir seperti itu " "Pek Kut tong-sian hendak membunuh orang lain menggunakan algojo, sungguh ganjil sekali berita ini !"

"Sahabat, engkau menerima?"

"Coba terangkan dulu bagaimana urusannya.”

"Kami berdua suami isteri mempunyai musuh.  Tetapi dia selalu menyembunyikan diri tak akan muncul. Kami berlatih pukulan Lima-petir ini, tujuannya yalah hendak menghancurkan gua si kura2 tua. Dari pukulan mu yang engkau tunjukkan tadi apabila engkau mau membantu, urusan ini tentu berhasil."

"Siapakah musuhmu ?"

"Seorang makhluk tua yang aneh. Dia telah menawan putera tunggal kami."

"O, kalian hendak menolong putera?" "Benar."

"Ah, tak kira dalam dunia ini terdapat manusia yang berani menculik putera dari Pek Kut song sian, Bagaimana peristiwa itu dapat terjadi ?"

"Sahabat, lebih baik engkau tak perlu mengusut asal usul peristiwa itu."

Diam2 Cu Jiang geli. Tentulah mengenai hal2 yang tak boleh diketahui orang, mungkin yang membuat malu kepada kedua suami isteri itu, maka keduanya tak mau menerangkan.

"Lalu dengan alasan apa aku akan membantu anda berdua?" tanyanya.

"Ada imbalannya." seru kakek Tengkorak. "Ada imbalannya ? Imbalan apa ?" "Tentu !"

"Apa imbalannya?"

Sejenak memandang kepada isterinya, kakek Tengkorak merenung beberapa saat.

"Sebuah kitab pusaka!" katanya kemudian.

"Kitab pusaka mengenai ilmu apa saja?" Cu Jiang mulai tertarik.

"Cara memecahkan ilmu barisan aneh." "Pemecahan ilmu barisan ?" Cu Jiang terkejut.

"Hm, kitab itu berisi rahasia dan segala macam ilmu barisan dari jaman dahulu sampai sekarang. Disebut Ki- bun-cong-thai."

Terkejut hati Cu Jiang, Ia ke gunung Tay-pa-san mencari tokoh aneh Ie Se lojin, tujuannya juga minta petunjuk tentang ilmu barisan. Tetapi kemungkinan akan mendapat hasil tipis sekali.

Sekarang dia secara tak sengaja telah bertemu dengan sepasang suami isteri iblis yang memiliki simpanan kitab pusaka tentang ilmu barisan. Jika berhasil mendapatkan kitab pusaka itu, tak perlu lagi kiranya dia harus ke Tay-pa- san.

Tetapi siapakah musuh mereka ? Jika sepasang tokoh seperti Pek Kut song-sian tak mampu mengalahkan dan rela menyerahkan kitab pusaka yang tak ternilai harganya sebagai imbalan untuk bantuan itu, tentulah musuh mereka tokoh yang luar biasa.

"Siapakah musuh anda?" akhirnya ia meminta keterangan.

"Sahabat, soal itu jangan engkau tanyakan." "Lalu bagaimana caraku memberi bantuan ?"

"Cukup meminjam tenaga pukulanmu untuk menghancurkan kunci dari sebuah barisan. Cukup begitu saja."

"Tak perlu membunuh orangnya?" "Jika engkau tak mau, tak perlu begitu."

"Baik, aku menerima tawaran ini. Lalu kapan dan dimana akan memulainya?"

"Tempatnya di gunung Tong-pek-san. Kalau terus menerus menempuh perjalanan dalam tiga hari tentu sudah tiba disana."

"Dan kitab itu kapan akan diserahkan ?" "Setelah urusan selesai."

"Apakah aku boleh melihatnya ?" Sejenak merenung kakek Tengkorak mengiakan. Dia mengambil keluar sejilid kitab yang dibungkus dengan sutera dari dalam bajunya. Kulit kitab itu sudah kuno sekali. Dia melemparkan kepada Cu Jiang.

"Kakek !" nenek Tengkorak menjerit kaget.

Cu Jiang tahu bahwa nenek itu tentu kuatir kalau dia akan menghancurkan kitab itu.

"Takut kalau kuhancurkan?" serunya mengejek.

Kedua iblis itu diam. Membalik lembaran pertama. Cu Jiang melihat beberapa huruf kuno yang berbunyi Ki bun- ceng-ciat oleh Gak Bu cu orang dari Gui.

Ah, memang benar sebuah kitab kuno ditulis oleh Gak Bu cu dari negeri Gui pada jaman Jun Jiu. Membuka lembaran selanjutnya, memang terdapat beberapa gambaran. Setelah itu ia lemparkan kembali kepada kakek Tengkorak dan berseru:

"Baik, aku menerima tawaran anda!"

"Mari kita berangkat sekarang," kata kakek Tengkorak itu.

Demikian mereka bertiga dengan gunakan ilmu lari cepat segera berangkat menuju ke gunung Tong-pek san. Ringkasnya, mereka telah tiba disebuah lembah yang terletak dibelakang gunung Tong pik-san.

Lebih kurang setengah li memasuki lembah, mereka berhadapan dengan sepasang puncak yang tegak menjulang tinggi tetapi merapat satu sama lain sehingga jalannyapun sempit sekali, hanya selebar dua tiga tombak.

Ditengah jalan sempit itu tegak tiga gunduk batu karang yang aneh bentuknya. Setiap batu karang besarnya sepemeluk dua orang, sehingga menyumbat jalan.

"Sudah sampai," seru kakek Tengkorak.

Sejenak mengeliarkan pandang ke sekeliling Cu Jiang menegasi apakah benar tempat itu.

"Ya, memang disini."

"Batu itu aneh sekali bentuknya, " kata Cu Jiang.

"Itulah pintu barisan.” sahut kakek Tengkorak, "kalau batu itu tak dihancurkan, tak mungkin masuk kedalam barisan."

"Apakah musuh anda berada dalam barisan itu?" "Ya."

"Itukah sebabnya maka anda berdua lalu berlatih ilmu pukulan Lima petir?" "Benar."

"Apakah selama ini anda tak pernah memikirkan untuk menggunakan bahan peledak, atau . ."

"Tidak bisa." "Kenapa?"

"Puteraku itu ditawan tak berada jauh dari pintu barisan. Kalau diledakkan sudah tentu puteraku yang akan hancur lebih dulu."

"Oh, begitu hebat akal orang itu!"

"Ketiga gunduk batu itu harus serempak sekaligus dihancurkan kalau tidak keadaan barisan tentu berobah."

"Barisan apakah itu namanya?" "Hian li ki bun!"

"Apakah akan dimulai sekarang?" "Ya."

"Apakah tak perlu memanggil orang itu lebih dulu?" "Percuma, dia akan pura2 tuli."

"Setelah menghancurkan pintu barisan?"

"Aku dan isteriku cukup untuk menghadapinya. " "Mari!"

"Tunggu dulu." teriak kakek Tengkorak, "kami berdua harus melepaskan pukulan dari jarak dua tombak. Dalam lingkaran dua tombak, tak boleh orang mendekati. Sahabat, engkau menghancurkan batu yang tengah, aku berdua akan menghancurkan batu yang kanan dan kiri. Ingat, ini bukan bermain-main, harus menggunakan sepenuh tenaga!"

"Baik, " sahut Cu Jiang. Mereka bertiga lalu mundur kira2 dua tombak dan lalu mulai menghimpun tenaga-dalam menyalurkan kearah tangan.

Tiba2 kakek Tengkorak mengembor dan serempak mereka bertiga melontarkan hantaman. Tiga gulung tenaga pukulan yang dahsyat segera menerjang, bum, bum, bum

....

Terdengar tiga kali suara ledakan yang dahsyat, ketiga batu itu pecah berhamburan. Tiba2 kedua Pek Kut Song- sian itu melesat masuk kedalam lembah.

"Tahan dulu!" teriak Cu Jiang seraya loncat mengejar, "bagaimana pertanggungan jawab ucapan anda itu?"

Kakek Tengkorak tertawa. "Pertanggungan jawab bagaimana?" "Soal Ki-bun ceng-ciat."

"Setelah selesai akan kuberikan kepadamu "

"Sebelumnya, bagaimana janjimu?" "Budak, engkau tunggu saja."

Mendengar itu marah Cu Jiang bukan kepalang.

"Kuhancurkan kalian setan busuk!" bentaknya seraya mengangkat kedua tangan. Tetapi secepat itu Pak Kut Song sian sudah melesat lenyap.

Cu Jiang penasaran. Ia terus mengejar. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia memandang kemuka. Ternyata keadaannya sudah bukan jalanan lembah seperti tadi.

Serentak ia tersadar bahwa dirinya telah terlibat dalam sebuah barisan aneh. Setelah pintu barisan pecah, kedua iblis itu dapat masuk dengan leluasa. Walaupun barisan belum pecah tetapi karena kedua iblis itu mempunyai kitab Ki-bun-cong-ciat, mereka tentu dapat memasuki dengan lancar.

Tetapi dia sendiri sekarang terkurung dalam barisan itu, Ah, benar2 ia tak menyangka kalau akan terjebak dalam tipu muslihat yang busuk.

Kanan kiri merupakan batu yang menonjol dan sebelah muka hanya hutan batu semua. Bahkan arahpun Cu Jiang tak dapat mengenal lagi.

Cu Jiang pernah terkurung dalam barisan di Gedung Hitam sehingga ia tak mampu keluar. Maka saat itu dia tak mau sembarangan bergerak dan tenangkan diri.

Dia marah dan penasaran tetapi diam2 dia pun geli menertawakan dirinya sendiri. Bukankah sepasang suami isteri Pek Kut song sian itu sudah terkenal sebagai momok yang jahat dalam dunia persilatan?

Mengapa ia masih mau percaya pada omongan mereka?

Bukankah itu kebodohannya sendiri?

Iapun segera membayangkan bahwa tokoh yang menjadi musuh kedua suami isteri itu tentulah tokoh golongan Ceng-pay (Putih). Mengapa ia menyanggupi membantu kedua suami isteri untuk melawan tokoh itu?

Makin merenung makin geram. Makin memikirkan makin penasaran sekali.

Siapakah sesungguhnya tokoh yang berada dalam lembah Itu?

Entah sampai berapa lama Cu Jiang masih tercengkram dalam kebimbangan itu. Tiba2 ia rasakan pinggangnya kesemutan dan terus rubuh.

Seorang lelaki tua kurus, dengan wajah murka tegak dihadapannya dan tahu2 menjinjing tubuh Cu Jiang terus dibawa lari. tak berapa lama, cuaca terang dan keduanya sudah berada diluar gua.

Lelaki tua itu melemparkan tubuh Cu Jiang ke tanah. Dia tegak bersidekap tangan. Matanya berkilat-kilat memancarkan kemerahan.

Pikir Cu Jiang, adakah dia berhadapan dengan tokoh dalam lembah itu? Dengan susah payah ia mengangkat muka.

Ia sempat melihat lelaki tua itu berwajah terang, bukan dari golongan Sia-pay atau jahat. Diam2 Cu Jiang kerahkan tenaga dalam, ah, jalan darahnya sudah terbuka...

Tiga sosok bayangan berkelebat melesat keluar  dari mulut tempat itu. Yang dua jelas kedua suami isteri Pek Kut song sian, sedang yang seorang lelaki muda berwajah seram. Tentulah putera dari kedua suami istri iblis itu.

"Berhenti !" teriak orang tua itu.

Ketiga orang itupun serempak berhenti. Kakek Tengkorak tertawa congkak.

"Oh, mahluk tua, kukira engkau sudah ngacir pergi?" "Tinggalkan kitab Ki-bun-congciat!" seru orang tua itu

pula.

"Mau apa engkau ?"

"Jika sembarangan akan kubunuhnya!" "Siapa yang hendak engkau bunuh ?"

"Kawanmu ini." seru orang tua itu menuding pada Cu Jiang.

Nenek Tengkorak berpaling kearah suaminya. "Pak tua, sungguh kebetulan sekali hal ini. Kalau budak itu tak dilenyapkan, kelak tentu menimbulkan bahaya..." "Ya, biarlah mahluk tua itu membunuhnya."

"Masih belum meyakinkan. Lebih baik kita saksikan dia membunuhnya."

Orang tua itu tertegun mendengar percakapan kedua suami isteri iblis. Tetapi pada lain saat ia seperti menyadari sesuatu.

"Jangan main gila, jika tak mau memberikan kitab Ki- bun-cong-ciat itu, lebih dulu akan kubunuhnya." serunya.

Kakek Tengkorak mengangkat bahu. "Silakan turun tangan..." Tampak lelaki muda kerutkan alis dan bertanya.

"Yah, siapakah dia ?"

"Ha, ha, na,  anakku, Jika tidak dia yang membantu menghancurkan pintu barisan, engkau tentu belum dapat keluar .

"O, kalau begitu kita harus menolongnya." "Tidak perlu !"

"Kenapa ?"

"Dia seorang yang berbahaya."

Orang tua dari lembah itu menukas: "Apakah kalian memperalat dia ?"

Dalam kegirangan, nenek Tengkorak telah kelepasan bicara. Ia menyahut serentak:

"Ya, memang begitu, lekas engkau bunuh dia !"

Orang tua dari lembah itu menggigil karena marahnya. Tiba2 lelaki muda itu ayunkan tubuh ke muka Cu Jiang, serunya: "Dalam beberapa hari ini aku hampir mati karena terkurung. Sekarang biarlah kuhibur tangan ku yang gatal ini."

Dia berhadapan dengan orang tua dari lembah, sementara Cu Jiang berada di tengah2 mereka berdua.

Orang tua itupun juga melangkah maju.

"Membantu orang jahat, juga bukan manusia baik, bunuhlah!" serunya kepada lelaki muda.

Lelaki muda atau putra dari kedua suami isteri Pek Kut song sian, tertawa mengekeh:

"Begitu baru kata2 yang tepat!" habis berkata ia mengangkat tangan dan diayunkan kearah kepala Cu Jiang.

Bum ....

Terdengar lengking jeritan ngeri dan sesosok tubuh yang mencelat ke atas sampai beberapa tombak. Tubuhnya menghambur hujan darah.

Kedua suami isteri iblis menjerit kaget dan cepat melesat kearah tubuh itu. Ternyata yang mencelat ke udara itu tubuh lelaki muda, anak dari sepasang suami isteri iblis. Sedang Cu Jiang berbangkit pelahan-lahan.

Orang tua dari lembah itu terlongong-longong. Pemuda desa itu jelas telah ditutuk jalan darahnya dan tak berkutik. Mengapa dalam waktu sekejab saja dia sudah dapat membebaskan diri.

Nenek Tengkorak memondong tubuh lelaki muda dan menjerit kalap:

"Pak tua, dia mati !"

"Mati ?" teriak kakek Tengkorak. "Hancur leburkan bangsat kecil itu " "Baik!" seru kakek Tengkorak terus loncat kemuka Cu Jiang. Ia memandang pemuda itu dengan wajah memberingas seram.

Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu. Ia terus membuka buntalan kain dan mengambil pedang kutung. Tangan kiri memegang sarung pedang, tangan kanan pedang kutung, lalu berseru dingin.

"Iblis tua. lekas serahkan kitab Ki-bun ceng-ciat dan akan kuampuni jiwamu !"

"Bangsat, belum puas hatiku kalau belum meremukkan tulangmu !" teriak kakek Tengkorak seraya ayunkan sepasang tangannya, menghantam kepala dan menusuk dada Cu Jiang.

Cu Juang keluarkan gerak langkah Gong-gong poh untuk menghindar seraya berseru:

"Kuberimu kemurahan satu kali!"

Kakek Tengkorak cepat menarik tangan dan berputar kearah Cu Jiang.

"Bangsat kecil, aku harus membunuhmu." Cu Jiang mendengus, sahutnya:

"Selama ini kejahatan anda sudah melewati batas, entah sudah berapa banyak jiwa yang mati ditangan anda. Maka kalau hari ini anda harus mati, sudah selayaknya, bahkan masih murah."

Cu Jiang melintangkan pedang kutung.

“Pedang kutung !" kakek Tengkorak itu berteriak gentar. "Apakah dia tokoh Toan-kiam-Jan-Jin yang akhir2 ini

menghebohkan dunia persilatan?" seru nenek Tengkorak.

"Benar, memang aku," sahut Cu Jiang. Wajah orang tua dari lembah itupun tampak berobah cahayanya. Dia Juga tahu akan nama besar dari Toan- kiam-Jan jin.

Kakek Tengkorak tebarkan jubah dan dari lengan Jubahnya meluncur sebuah benda aneh. Benda itu tak lain adalah dua batang tulang lengan. Sebelah tangan kanan dan kiri masing2 mencekal tulang itu, dia berseru:

"Toan-kiam-Jan-Jin, engkau harus mengganti jiwa puteraku !"

Cu Jiang bingung. Apakah daya khasiat dari sepasang tulang belulang?

Tiba2 orang tua dari lembah mundur tiga langkah seraya berseru ngeri.

"Pek-kut-cau-bon !"

Cu Jiang tak mengerti apa arti kata2 itu tetapi ia menduga tentulah merupakan benda yang amat beracun.

“Jangan memberi kesempatan bergerak kepada lawan.” Kata2 itu cepat mengiang dalam telinga Cu Jiang.

"Mundur, Jangan coba menangkis tulang." berteriak orang tua dari lembah. Dan dia sendiripun turut loncat mundur sejauh tiga tombak.

Cu Jiang juga mengadakan reaksi yang cepat. Selekas memindah pedang ke tangan kiri, dia terus melepaskan hantaman sembari terus loncat mundur setombak jauhnya.

Ternyata tindakan Cu Jiang itu berhasil. Sebelum kakek Tengkorak sempat melancarkan serangan, tubuhnya sudah terpental mundur sampai lima langkah. Melihat itu Cu Jiang tak mau memberi kesempatan lagi. Dia lepaskan hantaman yang kedua .... Kali ini Kakek Tengkorakpun memutar tubuh untuk menyambut pukulan itu.

"Lekas mundur!" teriak orang tua dari lembah pula. Bang…!!

Terdengar letupan keras ketika Cu Jiang tepat sudah loncat mundur beberapa tombak. Seketika dari udara seperti muncrat berhamburan air hitam seluas dua tombak.

Dan selekas jatuh ketanah maka terdengarlah bunyi mendesis-desis di susul dengan asap hitam yang bergulang- gulung membumbung.

Ketika memandang dengan seksama, kejut Cu Jiang bukan kepalang. Ternyata rumput2 ditanah itu hangus semua, bahkan sampai tanahnyapun ikut berwarna hitam. Batu yang dekat tempat itupun penuh berhias lubang2.

Benar2 sejenis racun yang maha hebat. Jika batupun sampai berlubang, tidakkah tubuh manusia apabila terkena tentu akan hancur lebur ?

Cu Jiang cepat memeriksa pakaiannya. Ternyata celananya juga penuh dengan lubang kecil-kecil.

Melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa. kejut kakek Tengkorak itu bukan alang kepalang. Tetapi bukannya jera. dia malah kalap. Dengan memekik sekeras-kerasnya dia terus loncat menerjang. Tetapi serempak dengan itu. Cu Jiangpun sudah membabatkan pedangnya.

"Auahhh..."

Terdengar lengking jeritan ngeri yang berkumandang memenuhi angkasa. Kakek Tengkorak rubuh, kepala terpisah menggelinding sampai beberapa langkah dari tubuhnya. Cu Jiang menghela napas. Ia berpaling tetapi ternyata nenek Tengkorak sudah lenyap entah kemana.

"Engkau sudah terkena racun penghancur tulang !" seru orang tua dari lembah dengan nada getar.

Cu Jiang terkejut. Saat itu dia memang merasakan, beberapa bagian dari tubuhnya terasa panas  seperti terbakar. Hampir ia tak dapat menahan rasa sakitnya. Buru2 ia membuka bajunya dan memeriksa. Badannya terdapat tujuh delapan buah gunduk hitam sebesar buah kelengkeng.

"Barang siapa tercemar racun itu, tentu segera akan luluh jadi cairan air. engkau . . . bagaimana?"

Cu Jiang teringat akan mustika Thian-ju cu. Segera ia mengambil dan menempelkan pada noda2 hitam itu. Aneh tetapi nyata, noda2 hitam pada kulitnya itu segera hilang demikian rasa sakitnya.

Setelah tahu dirinya tak kurang suatu apa, dia terus berjongkok untuk mengambil kitab Ki-bun-ceng ciat dari tubuh kakek Tengkorak. Kemudian dia mengangkat muka memandang kearah orang tua dari lembah.

Sejak tadi dia memang belum sempat memperhatikan wajah orang tua dari lembah itu. Kini begitu memandangnya, dia terlongong-longong kaget.

Orang tua itu mengenakan jubah yang menutup tubuh sampai kebatas lutut. Kepala gundul, tidak memakai sepatu. Ditengah alisnya terdapat sebuah tahi-lalat merah.

Tidakkah orang itu yang dikatakan Ang Nio Cu sebagai Ih Se lojin?

Ah, Cu Jiang menghela napas. Jika dia benar2 menuju  ke gunung Tay-pa san yang jauh, tentulah akan sia2 saja karena tokoh yang hendak dicari itu ternyata berada di gunung Tong-pek-san.

Peristiwa dengan Pek Kut song sian itu ternyata membawa rejeki. Dan jelas Ang Nio Cu tentu membuang tenaga sia2.

Mata orang tua itu memandang lekat2 pada kitab yang dipegang Cu Jiang lalu berkata dengan nada sarat:

"Toan kiam jan jin, apakah engkau pernah melihat kitab pusaka itu?"

Cu Jiang terkejut.

"Apakah kitab ini milik cianpwe?" "Benar."

"Bagaimana dapat jatuh ditangan kedua suami isteri iblis itu?"

"Dia merebut dari seorang muridku yang celaka." "Oh."

"Karena hendak merebut kembali kitab itu aku terpaksa menggunakan siasat menculik anak lelakinya agar kita dapat tukar menukar . . ."

"Oh, kiranya begitu. "

"Engkau . . . mempunyai kemampuan untuk terhindar dari racun?"

Cu Jiang tertawa. Tanpa menjawab pertanyaan itu ia menyerahkan kitab Ki bun ceng ciat.

"Karena milik lo cianpwe, harap suka menerimanya," kata Cu Jiang.

Orang tua dari lembah itu terbeliak. Dia tak mau cepat2 menerima, melainkan kerutkan alisnya yang putih. "Lapang sekali hatimu. Setitikpun engkau tak mempunyai keinginan untuk memiliki kitab pusaka yang jarang terdapat dalam dunia."

"Karena kitab ini memang bukan milikku." "Engkau hendak mengajukan perjanjian apa?" "Perjanjian?" Cu Jiang terbeliak.

"Ya, aku tak mau menerima dengan cuma2."

Seketika itu timbullah rasa kagum dalam hati Cu Jiang. Walaupun memang aneh sikap orang tua itu tetapi tindakan itu memang patut dihargai.

"Tak ada perjanjian apa2," serunya.

"Baik, tetapi aku akan mencatat budimu ini," kata orang tua dari lembah seraya menyambuti kitab.

"Mohon tanya, siapakah gelaran yang mulia dari cianpwe?"

"Ah, sudah lama tak kupakai nama gelaranku." "Bukankah gelaran yang mulia dari cianpwe itu Ih Se

lojin?"

"Ho, engkau bagaimana dapat mengetahui?"

"Jika begitu lo cianpwe memang benar Ih Se lojin?" "Anggap saja engkau berkata benar. "

"Wanpwe justeru hendak mohon bertemu." "Hah, engkau hendak mencari aku?"

"Ya. Sebenarnya wanpwe hendak menuju ke Tay-pa-san mencari locianpwe. Tak terduga wan pwe tertipu oleh Pek Kut song sian tetapi justeru malah dapat bertemu dengan lo cianpwe." Tiba2 nada Ih Se lojin berobah dingin:

"Perlu apa engkau hendak mencari aku?"

Saat itu bukan kepalang gembira Cu Jiang, namun ia tetap bersikap tenang.

"Akan mohon petunjuk pada lo cianpwe. " "Soal apa?"

"Mohon petunjuk cara memecahkan sebuah barisan." "Tidak bisa."

"Apakah lo cianpwe tak mau memberi petunjuk?"

"Aku sudah mengikrarkan sumpah, tak mau berhubungan dengan manusia di dunia lagi."

Sebagai seorang ksatrya, dengan tulus Cu Jiang menyerahkan kembali kitab pusaka yang sehebat itu. Tak terduga Ih Se lojin masih bersikap begitu ketus.

"Apakah tak dapat memberi kelonggaran?" tanyanya dengan marah.

"Tidak bisa! "

"Kalau tadi wanpwe tak menyerahkan kembali kitab pusaka itu dan wanpwe terus mempelajarinya sendiri, bagaimanakah kesudahannya?"

"Itu persoalan lain lagi."

"Apakah lo cianpwe tetap mengukuhi pendirian itu ?" "Tentu, tetapi.. ."

"Tetapi bagaimana ?"

"Jika hal itu engkau anggap sebagai perjanjian dari tindakanmu menyerahkan kitab pusaka kepadaku tadi, aku memang tak dapat berkata apa2. Karena seumur hidup aku tak mau menerima budi orang. Begini sajalah, bagaimana kalau permintaanmu itu kau anggap sebagai syarat dari penyerahan kitab itu ?"

"Tidak!" sahut Cu Jiang dengan angkuh, "ucapan seorang lelaki harus ditepati. Aku sudah mengatakan kalau penyerahan kitab itu tanpa suatu syarat apa, masakan aku hendak menjilat ludahku lagi ?"

"Hii, watakmu hampir sama dengan aku "

"Ah, lo cianpwe memuji."

"Akupun juga begitu. Apa yang telah kukatakan, takkan kulanggar."

"Dalam keadaan bagaimana cianpwe dapat memberi kelonggaran?"

"Tak ada kemungkinannya:"

"Kalau kuminta cianpwe supaya mengajukan syarat supaya cianpwe dapat memberi kelonggaran ?"

"Juga tidak mungkin, kecuali "

"Kecuali bagaimana?"

"Mengandalkan ilmu kepandaianmu !"

Cu Jiang terpaksa menyeringai. Rasanya tiada manusia yang lebih nyentrik wataknya dari orang tua ini. Itulah sebabnya maka Ang Nio Cu mengatakan bahwa Ih Se lojin itu lebih nyentrik lagi dari tabib Kui jiu sinjin.

"Maksud lo cianpwe agar aku mengeluarkan ilmu kepandaian silat?" ia menegas.

"Benar." Sahut Ih Se lojin dengan nada bengis,  "pada saat aku sudah tak dapat melawan lagi, barulah aku dapat memberi kelonggaran. Kuanggap hal itu tidak melanggar sumpahku." "Apakah itu satu-satunya jalan?" "Tidak ada lainnya lagi."

"Jika begitu terpaksa aku hendak mencoba." "Hm, kuharap ilmu kepandaianmu tidak tinggi."

"Lo cianpwe," seru Cu Jiang. "maaf jika aku hendak mengucapkan kata2 yang sombong. Sejak turun dari perguruan, selama ini aku belum pernah bertemu lawan yang dapat lolos dari pedang kutungku itu !"

"Engkau terlalu mengandalkan dirimu!"

"Ah, tidak, tetapi kenyataan memang begitu."

"Ilmu silat itu bukan hanya dari satu sumber. Tidak bisa karena memiliki sebuah aliran lalu sudah berbangga diri. . ."

"Bukan maksudku hendak membanggakan diri." "Kalau begitu, engkau boleh mulai."

"Sebenarnya aku tak ingin berlaku kurang hormat terhadap cianpwe."

"Jika begitu. silahkan engkau pergi saja."

Cu Jiang merasa bahwa berputar-putar lidah tiada gunanya. Jelas orang tua itu tak mau merobah pendiriannya. Pelahan-lahan ia maju ke hadapan orang tua itu.

"Maaf, wanpwe terpaksa berlaku kurang hormat," serunya.

"Mulailah!" "Harap hati-hati !"

Dalam berkata-kata itu Cu Jiangpun sudah mencabut pedang kutung dan terus menyerang. Dia hanya gunakan setengah bagian dari tenaga dalamnya karena ia anggap orang tua itu bukan musuh melainkan hanya menguji saja. Sekalipun begitu jurus Thian-te-kau thay yang dimalukan itu menghamburkan sinar pedang yang dahsyat.

Tetapi apa yang didapatinya, sungguh diluar dugaan. Baru dia melancarkan jurus serangannya, bayangan orang tua itupun sudah lenyap.

Terpaksa setengah jalan ia hentikan serangannya. Dilihatnya Ih Se lojin tegak disebelah kanan lebih kurang dua meter jauhnya. wajahnya mengulum tawa.

Cu Jiang merah mukanya. Ia menyerang lagi dengan delapan bagian tenaganya. Namun hasilnya tetap serupa. Ih Se lojin bagaikan sesosok bayangan setan yang menghilang dan pindah tempat.

Diam2 Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa Ih Se lojin menggunakan gerakan yang mirip dengan gerak- langkah Gong gong-poh hwat.

Setelah merenung, Cu Jiang diam2 mengangguk.

"Kalau sampai serangan yang ketiga masih gagal, engkau harus pergi." seru Ih Se lojin tertawa gembira.

"Baik, Jika kali ini masih gagal, aku segera tinggalkan tempat ini." sahut Cu Jiang dengan nada tandas.

"Bagus,.

"Harap locianpwe hati-hati..." pedang kutung segera ditaburkan.

Ih Se lojin masih tetap menggunakan gerak-langkah semula. Secepat terayun tubuh, dia sudah lenyap, Tetapi ternyata serangan Cu Jiang itu hanya suatu gerak menggertak saja. Dia tetap mengikutkan pandang mata pada orang tua itu. Sesaat Ih Se lojin melesat pergi, diapun cepat melesat mengikutinya.

Sampai delapan kali Ih Se lojin melesat untuk menghindar tetapi Cu Jiang dengan gerak-langkah Gong- gong-poh-hwat tetap dapat membayanginya. Bahkan dia lebih cepat bergerak diri orang tua itu.

Pada saat gerakan Ih Se lojin agak kendor, tahu2 ujung pedang kutung sudah melekat pada dadanya.

"Lo cianpwe, maaf, aku berlaku kurang hormat!" pada lain saat terdengar Cu Jiang berseru.

Sepasang mata Ih Se lojin melotot.

"Engkau menggunakan gerak langkah apa?" serunya dengan nada gemetar.

"Hanya langkah kucing menangkap tikus yang tak berarti dan tak berharga dikatakan."

"Bilang!"

"Harap lo cianpwe suka melaksanakan janji."

"Katakan dulu, gerak langkah apa yang engkau lakukan tadi?"

Karena terus menerus didesak, akhirnya Cu Jiang mengaku:

"Gong gong-poh hwat."

"Hai, Gong-gong-poh-hwat?" - teriak Ih Se lojin terkejut. "Benar."

"Gong-gong . . . Gong gong .... apakah engkau murid pewaris dari Nyo Wi itu?"

Diam2 Cu Jiang terkejut. Jarang sekali orang persilatan yang kenal akan riwayat Gong-gong-cu. Tetapi orang tua itu dapat menyebut nama aseli dari Gong-gong-cu. Apakah dia sahabat baik dan suhuku, pikir Cu Jiang.

"Apakah lo cianpwe kenal akan suhuku? " akhirnya ia bertanya.

"Apakah engkau benar2 murid dari Nyo Wi?" "Benar."

"Dan kau datang kepadaku untuk meminta petunjuk tentang ilmu barisan?"

"Benar."

Seketika berobah cahaya muka Ih Se lojin. "Enyah!" teriak dengan bengis.

Cu Jiang tertegun. Adakah orang tua itu mempunyai dendam permusuhan dengan gurunya?

"Lekas engkau pergi dari sini!" bentak Ih Se lojin pula. "Apa artinya ini?" seru Cu Jiang dengan nada dingin. "Kusuruh engkau pergi!"

"Baik, tetapi harus ada alasannya."

"Tidak ada! Lekas engkau enyah dan tanyakan sendiri pada Nyo Wi! "

"Apakah locianpwe mempunyai ganjelan terhadap suhuku?"

"Engkau tidak berhak tanya. Selanjutnya kalau engkau berani menginjak tempat ini lagi, aku tentu akan membunuhmu!"

Saat itu makin keras dugaan Cu jiang bahwa Ih Se lojin tentu mempunyai ganjelan hati terhadap suhunya, Ia tahan kemarahannya. "Tetapi tidakkah lo cianpwe merasa karena tidak menetapi janji?" serunya.

Ih Lo lojin tertawa dingin.

"Tindakanku Ini sudah cukup baik, " sahutnya. "Jika tidak?"

"Aku..." kata2 selanjutnya tak diucapkan lagi. Ih Se lojin menyadari bahwa pemuda yang berdiri dihadapannya lebih tinggi kepandaiannya dari dia.

Cu Jiang sendiri juga kehilangan faham.  Untuk mendapat petunjuk dari orang tua aneh itu, jelas tak mungkin lagi. Tetapi barisan dalam Gedung Hitam harus dihancurkan. Apabila ia mengirim orang untuk meminta petunjuk pada guru di Tayli, tentu memakan waktu lama.

Apabila dia merebut saja kitab pusaka dari tangan Ih Se lojin, juga tidak enak. Ah, tetapi apa daya kecuali harus menggunakan kekerasan. Bukankah orang tua itu juga menghendaki cara begitu...

"Locianpwe. kita tak perlu panjang lebat bicara. tekadku datang kemari, kalau tak mendapat apa yang kuinginkan, aku takkan kembali."

"Engkau bermimpi."

"Jangan salahkan kalau aku terpaksa berani berlaku kurang adat."

"Mau pakai kekerasan? Ha, ha, ha . . ." tiba2 Ih Se lojin melesat dan terus lenyap kedalam mulut lembah.

Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Orang tua itu cepat sekali gerakannya, tak mungkin dia dapat menahan. Padahal lembah itu disusun dalam bentuk barisan aneh. Dia tadi sudah merasakan tak dapat keluar. Lalu bagaimana? Dia tegak termangu-mangu di tempat itu. Mayat kakek Tengkorak yang tiada kepalanya, masih membujur di tanah.

Dia tersenyum tawar. Belum setengah hari saja dia sudah mengalami peristiwa yang tak terduga duga. Jika bermula dia mengira beruntung karena dapat bertemu dengan Ih Se lojin, ternyata keberuntungan itu cepat lenyap seperti awan terhembus angin.

Jika dia teras tinggalkan tempat itu, sebenarnya dia masih penasaran. Tetapi akan kemanakah ia ayunkan langkahnya?

Menilik gerak gerik langkah yang dimiliki Ih Se lojin, kecuali suhunya Gong gong cu, rasanya dalam dunia persilatan tak ada yang menandingi lagi.

Tetapi apakah yang terjadi diantara suhunya dengan Ih Se lojin? Menilik betapa geram sikap Ih Se lojin terhadap Gong gong-cu, tentulah dia mempunyai dendam yang hebat.

Tiba2 sesosok bayangan meluncur datang. Ketika memandangnya, girang Cu Jiang bukan kepalang. Ternyata pendatang itu tak lain adalah sahabat baik dari gurunya yakni Lam ki soh. Dia benar-tak menyangka kalau tokoh itu datang ke gunung Tong peksan juga. Cepat ia maju menyambut dan memberi hormat:

"Cianpwe, terimalah hormat wanpwe."

"Hai, mengapa disini?" ternyata Lam ki sok juga terkejut. Cu Jiang lalu menuturkan peristiwa yang dialami disitu.

Lam-ki-soh mengangguk-angguk.

"O, kukira engkau sudah menuju ke Tay-pa-san." "Lalu maksud kedatangan cianpwe kemari?" "Kalau tidak untuk kepentinganmu, apalagi!" sahut Lam- ki-soh.

"Urusan wanpwe?" Cu Jiang heran.

"Waktu mendengar cerita dari Ki Sau Hong, aku segera mengejarmu, Kalau sebelumnya engkau memberitahukan maksudmu kepadaku, aku tentu dapat membawamu menemui Ih Se lojin itu kemari."

"Apakah, cianpwe memang sudah tahu kalau dia diam disini?"

"Tidak tahu," sahut Lam ki soh, "baru akhir2 ini setelah menerima berita dari suhumu di Tayli, baru kuketahui hal itu . .. karena tak dapat mengejarmu, maka kuputuskan untuk datang sendirian kemari. Tak kira kalau engkau sudah bertemu dengan dia, sungguh kebetulan sekali .. ."

"Suhu mengirim berita?"

"Hm, dia minta aku menguruskan sebuah urusan untuknya."

"Urusan apa ?" "Dengan Ih Se lojin"

Cu Jiang tertarik hatinya, Dia lalu menceritakan pengalamannya dengan Ih Se lojin. Begitu dia mengaku bahwa Gong gong cu itu suhunya, kontan Ih Se lojin membuat reaksi keras.

"Sesungguhnya apa saja yang telah terjadi antara suhu dengan Ih Se lojin?" tanyanya.

Lam-ki-soh tersenyum misterius, katanya:

"Nanti engkau pasti tahu sendiri, mari kita menemuinya

..." "Jalanan lembah ditutup dengan barisan yang  aneh," kata Cu Jiang.

"Ya, tahu, kupanggilnya supaya keluar. " "Dia belum tentu mau keluar ..."

"Ah, ikuti aku saja.! "

Keduanya menuju ke batu yang dihancurkan Cu Jiang tadi. Batu itu merupakan pintu barisan. Lam-ki-soh kerahkan tenaga-dalam lalu berseru sekeras-kerasnya:

"Co King Yap, Gong cu-wi datang menemuimu!"

Tetapi tiga kali dia mengulang seruannya, tetap tak ada penyahutan. Saat itu Cu Jiang baru tahu bahwa nama asli dan Lam-ki-soh itu Gong cu wi dan nama dari Im Se lojin itu Co Keng Yap.

Beberapa saat kemudian, Lam ki soh berseru pula: "Orang she Co, apakah engkau benar tak memandang

muka kepada aku orang she Gong ini?"

Namun tetap tiada jawaban. Lam ki soh berpaling kepada Cu Jiang, tertawa:

"Aku hendak memaki-makinya!"

Dia berbatuk-batuk untuk membasahi kerongkongan lalu menggembor sekuat tenaganya.

"Hai, Co keng Yan, apa sih engkau ini, berani memandang hina orang. Apakah engkau minta aku masuk untuk meringkusmu!?"

Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan Ih Se lojinpun muncul keluar dari barisan. Sejenak memandang dingin kepada Cu Jiang dia terus membentak Lam ki soh: "Hai, orang she Gong, jangan berteriak teriak seperti orang gila! "

Lam ki soh tertawa gelak2.

"Loheng, engkau dan aku segera akan masuk kedalam kuburan, mengapa watakmu masih begitu berangasan?"

"Mau apa engkau kemari?" tegur Ih Se lojin dingin. "Sudah tentu ada urusan, masa kalau tak ada urusan aku

datang kemari? Engkau kira aku senang gentayangan naik gunung seperti ini?"

"Aku orang she Co sudah tak mau mengurusi urusan manusia di dunia lagi!"

"Urusanmu sendiri engkau mau menanyakan  atau tidak?"

"Urusanku sendiri?"

Lam-ki-soh berpaling ke arah Cu Jiang dan menggapainya:

"Nak, mari, haturkan hormat kepada toa-supeh !"

Cu Jiang termenung seketika. Mengapa Lam ki-soh mengatakan Ih Se lojin itu sebagai toa supehnya (paman guru). Ia teringat tatkala upacara pengangkatan guru. Gong- gong-cu pernah mengatakan bahwa Cu Jiang itu termasuk murid angkatan pertama. Apakah artinya itu.

"Orang she Gong, jangan soal itu...." tiba2 Ih Se lojin deliki mata.

Tetapi Lam-ki-soh seperti tak mengacuhkan berseru kepada Cu Jiang:

"Budak kecil, engkau dengar atau  tidak omonganku tadi?" Lam-ki-soh merupakan sahabat baik dari suhunya, seorang tokoh yang termasyhur, tentu tak mau omong sembarangan. Kata-katanya itu tentu ada dasarnya maka segera Cu Jiangpun membungkuk tubuh dihadapan Ih Se lojin.

"Menghaturkan hormat kepada toa-supeh !"

Sepasang alis Ih Se lojin tegak keatas. Jelas dia sedang marah besar. Cepat dia berputar tubuh kearah Lam-ki soh dan berteriak keras2.

"Gong Cu-wi, enyah dari hadapanku !" Cu Jiang meringis, mukanya merah.

"Co Keng Yap, engkau benar2 bukan manusia!" Lam ki- soh balas berseru marah.

Tetapi Ih Se lojin tak mengacuhkan. Berputar tubuh dia terus ayunkan langkah....

"Berhenti !" bentak Lam-ki-soh dengan marah. "aku hanya akan mengatakan sepatah kata saja."

Entah bagaimana, Ih Se lojin pun berhenti dan berbalik tubuh, serunya: "Bilanglah !"

Lam-ki-soh tenangkan kemarahannya lalu berkata pelahan-lahan:

"Jika tak menyanggupi permintaan orang, tak mungkin aku sudi bicara dengan bahasa manusia pada kerbau. Dengarkan ! Dibawah arca kakek guru perguruanmu, terdapat sebuah benda. Lihatlah sendiri. Kutunggu engkau setengah Jam. Cukup pergilah !"

Ih Se lojin terbeliak tercengang-cengang memandang Lam-ki soh. Tanpa berkata apa2, dia terus berputar tubuh dan masuk kedalam lembah. "Cianpwe, apakah artinya ini semua ?" Cu Jiang tak dapat menahan keheranannya.

"Dia memang toa-supehmu !"

"Hal ini .. . tak pernah suhu menceritakan.."

"Sudah tentu dia tak menceritakan. Soal itu menyangkut urusan perguruannya belum dibereskan, suhumu tak diakui oleh perguruan."

Cu Jiang makin tertarik, serunya: "Dapatkah cianpwe memberi keterangan?"

Sambil mengajak Cu Jiang duduk pada segunduk batu didekat situ. Lam-ki-soh mulai melanjutkan ceritanya lagi.

"Suhumu mengirim berita kepadaku agar aku menyelesaikan urusan itu . .."

"Mohon cianpwe suka menerangkan sejelasnya." "Sebenarnya suhumu itu saudara seperguruan dengan si

tua kepala batu itu. Mereka berguru pada Bu Ya Siangjin. Karena Cu Keng Yang lebih dulu yang menjadi murid, maka suhumu yang masuk belakangan menyebutnya sebagai suheng.."

"Oh, maka gerak tubuhnya mirip sekali. Walaupun suhumu mengadakan beberapa perobahan tetapi sumber dasarnya tetap tak meninggalkan perguruan."

"Lalu ?"

"Suhumu berbudi luhur, memiliki bakat yang bagus, oleh karena itu paling disayang oleh gurunya. Sudah  tentu hal itu menimbulkan rasa iri dan benci dalam hati supehmu. Dia tak akur dengan suhumu . . ."

"Oh!" "Kala itu kakek gurumu mempunyai rencana untuk menyerahkan kedudukan ketua perguruan kepada gurumu .

. ."

"Mendudukkan yang pertama dan mengangkat murid yang kedua, apakah hal itu tidak bertentangan dengan peraturan dunia persilatan ?"

"Itu hanya suatu peraturan saja. Setiap partai perguruan mempunyai peraturan sendiri tidak harus mengangkat murid yang pertama. Seorang calon pengganti ketua harus dinilai dari perbawa, peribadi dan tingkah laku serta ilmu kepandaian .... Apabila semua2 itu sudah dipenuhi barulah dapat diangkat sebagai pewaris ketua."

"Tetapi apakah nama dari perguruan kami?" "Thay hi bun !"

"Thay hi bun ? Rasanya belum pernah mendengar nama itu.. ."

"Ya, memang. Thay-hi-bun itu sebuah  perguruan rahasia, tidak ikut dalam kancah dunia persilatan dan tidak menghimpun pergolakan dunia. "

"Lalu seterusnya ?"

“Pusaka dari perguruan Thay hi-bun itu merupakan sebuah kitab pusaka yang disebut Thay-hi keng- Kecuali ketua, lain2 murid tak boleh mempelajari isinya. Kakek gurumu telah menyerahkan kitab itu kepada suhumu. Dengan begitu berarti secara diam2 dia telah memberi isyarat bahwa kelak suhumulah yang akan diangkat sebagai penggantinya."

"Lalu mengapa "

“Setelah mengetahui hal itu, supehmu menuduh kakek gurumu berat sebelah. Dan sejak itu dia makin membenci sekali kepada suhumu. Tetapi hanya karena penyerahan kitab itu belum cukup sebagai hak untuk mengganti kedudukan ketua."

"Makanya bukan begitu cara pengupasannya. Manusia bukan dewa, iri dan marah merupakan sifat kelemahan setiap orang. Sebenarnya supehmu itu, kecuali wataknya yang keras dan aneh, dalam segala hal dia berimbang dengan suhumu."

"Kemudian lalu?"

"Akhirnya kedua saudara seperguruan itu bertempur. Suhumu berhasil melukai suhengnya. Dia bersalah karena tak mau mendengar nasehat gurunya. Dia melanggar peraturan perguruan dan harus diusir dari perguruan dan untuk selama-lamanya tak diakui sebagai murid Thay-hi bun . . ."

"Ah . . ."

Tepat pada saat itu muncullah Cu Keng Yap dengan wajah yang muram durja. Setelah beberapa saat memandangnya, baru Lam-ki-soh bertanya: "Bagaimana?"

Wajah Ih Se lojin berkerenyutan sampai beberapa saat, baru kemudian berkata dengan nada tegang:

"Silahkan masuk !" "Bersama dengan anak ini ?"

Ih Se lojin mengangguk. Dia yang  berjalan sebagai penunjuk jalan dimuka. Diam2 Lam-ki-soh menyeringaikan wajah kepada Cu Jiang. Geli. Cu Jiang hanya mengikuti saja.

Setengah li kemudian, tibalah mereka dimuka sebuah gedung yang indah. Empat orang lelaki yang berumur sekitar 30 an tahun, sudah siap disitu untuk menyambut. Dengan hati tak keruan rasanya, Cu Jiang ikut masuk. Setelah Lam ki-soh dipersilakan duduk, dia tetap berdiri disampingnya. Keempat lelaki yang dimuka pintu tadi tak ikut masuk.

Ih Se lojin menghela napas pajang.

"Karena salah langkah telah mengakibatkan dendam kebencian yang mengerikan." ujarnya.

Berkata Lam ki soh dengan wajah serius:

"Ciang-bun-jin, peristiwa itu sudah lama lampau, Bahwa sekarang hal itu dapat dihapus, benar2 merupakan kebahagian dalam perguruanmu. Tak perlu engkau sesali lagi . . ."

"Tidak, kedudukan ciang-bun-jin ini, akan kuberikan kepada sute . . ."

"Engkau salah, itu bukan maksud Nyo Wi."

"Apakah aku masih mempunyai muka untuk menduduki jabatan ini."

"Co toako, engkau adalah ketua yang diangkat atas titah ketua yang telah lalu. Sudah tentu pengangkatan itu resmi dan sah."

"Tidak, memang kesalahanku sehingga ketua yang terdahulu salah angkat . . ."

"Sutemu kini sudah menjabat kok-su di negeri Tay-li, tentu takkan kembali ke Tionggoan lagi."

"Aku akan kedaerah selatan untuk menemui dan menghaturkan maaf kepadanya."

"Tak perlu," kata Lam-ki soh, "maksudnya apabila anak ini dapat diterima kedalam perguruan, maka diapun tak ada maksud lainnya lagi." "Sute rela menderita diusir dari perguruan, sungguh suatu penderitaan yang menusuk hatiku selama-lamanya. Segala itu adalah terjadi karena perbuatanku. Jika aku tak diberi kesempatan untuk menghaturkan maaf, bagaimana kelak aku dapat bertemu dengan arwah kakek guru di alam baka."

"Penderitaan yang dialami saudara Nyo selama ini, hanyalah berdasar karena menghormat saudara tua maka dia rela menggunakan cara itu. Maka apabila kali ini kembali menduduki jabatan ketua lagi, tentulah perasaannya tersinggung. Maka dalam hal itu tak perlu dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang ini ialah untuk menerima anak itu masuk kedalam perguruan.”

Habis berkata dia berpaling kepada Cu Jiang.

"Buka kedok mukamu dan berilah hormat  kepada ketua!"

Hati Cu Jiang tegang sekali. Saat itu dia sudah dapat merangkai suatu dugaan. Segera ia melakukan perintah, membuka kedok mukanya.

Melihat wajah Cu Jiang, Ih Se lojin mendesah kaget. Cu Jiang membereskan pakaiannya. Pada saat  dia hendak menghaturkan hormat...

"Tunggu!" tiba2 Ih Se lojin mengangkat tangan mencegahnya.

Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah.

"Kalian masuk kemari." seru Ih se lojin kepada keempat penjaga. Mereka berempat masuk dan setelah memberi hormat kepada Ih Se lojin mereka tegak berjajar disamping. Saat itu Lam ki-soh pun memberi kicupan mata kepada Cu Jiang dan anak itupun segera melangkah kehadapan Ih Se lojin lalu berlutut menghaturkan hormat.

"Murid Cu Jiang, mohon menghadap ciang-bun supeh!" "Bangun," seru Ih Se lojin, "kenalkan dengan keempat

suhengmu!"

Cu Jiang bangun. Secara berturut-turut Ih Se lojin lalu memperkenalkan:

"Itulah ji suhengmu yang bernama Ko Kun, sam-suheng Siong Ci Beng, si-suheng Gak Ong dan ngo suheng Ih Kim Gan!"

Cu Jiang memberi hormat kepada keempat suheng itu. Tetapi terhadap toa-suhengnya, ia mempunyai kesangsian. Mengapa yang ada hanya keempat suheng? Ke manakah toa-suheng atau suheng yang pertama?

Setelah memberi hormat, Cu Jiang kembali ketempatnya semula. Keempat suheng itu agaknya terkejut dan  heran atas pertemuan yang tiba2 itu.

"Toa-suhengmu yang bernama Go Wi Jin, pada sepuluh tahun yang lalu terpaksa pulang ke desanya untuk merawat mamahnya yang sudah tua. Dia hanya pada musim rontok datang sekali kemari, Besok kalau ada kesempatan tentu ku perkenalkan engkau dengan dia, " kata Ih Se lojin pula.

Kemudian kepada keempat muridnya, dia memperkenalkan Cu Jiang sebagai murid dari paman guru (susiok) Nyo Wi. Kemudian dia memerintahkan supaya malam itu diadakan perjamuan untuk merayakan persatuan kembali dari perguruannya.

Cu Jiang tak mengira bahwa ia akan mengalami peristiwa semacam itu. Kini dia tahu lebih jelas tentang asal-usul suhunya, Gong-gong-cu yang selama ini selalu dirahasiakan.

Setelah keempat murid itu mengundurkan diri maka Ih Se Lojin berkata pula kepada Cu Jiang.

"Pada waktu suhumu diusir dari perguruan sucou (kakek guru) lupa untuk meminta kembali kitab Thay hi keng. Sucoumu mengira kitab itu tentu dibawa pergi  suhumu yang setelah meninggalkan perguruan terus lenyap tak diketahui rimbanya. Dua tahun kemudian, sucou-mu telah meninggal dunia. Dan tiga tahun kemudian dalam dunia persilatan telah muncul tiga tokoh yang disebut Bu lim Sam cu. Tetapi ku tak tahu bahwa diantara ketiga tokoh yang bernama Gong gong-cu itu ternyata adalah suhumu. Baru tahun yang lalu, toa-suhengmu datang membawa berita kalau Gong-gong-cu itu adalah paman gurunya, Nyo Wi, yang telah diusir dari perguruan itu.Sebenarnya aku hendak mencarinya untuk meminta kembali kitab Thay-hi-keng itu, tetapi masih belum sempat. Ai, tak kira ..."

Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Dia tak membawa kitab pusaka Thay-hi-keng  dan menyembunyikan kitab itu dibawah arca cousu. Disamping itu dia telah meletakkan sepucuk surat, ambil dan bacalah sendiri!" ia mengeluarkan sehelai kertas dan diserahkan kepada Cu Jiang.

Serentak Cu Jiang maju menyambut. Surat itu berbunyi: Dihaturkan toa-suheng,

Kedudukan ketua, seharusnya diserahkan kepada toa-suheng. Tetapi perintah suhu tak dapat kubantah. Maka terpaksa kuambil siasat supaya aku dikeluarkan dari perguruan. Mohon setelah membaca surat ini, toa-suheng sudi memohon ampun atas segala kesalahan dan terima kasih atas semua budi kebaikannya. Setelah toa-suheng menerima kedudukan ketua, aku tentu akan pulang ke gunung untuk mohon hukuman. Nyo Wi."

Tak terlukiskan perasaan Cu Jiang saat itu. Dia benar2 sangat mengagumi dan menghormat sekali akan kepribadian suhunya. Kemudian ia menyerahkan kembali surat itu seraya mengatakan bahwa selama ini suhunya tak pernah bercerita apa2 tentang hal itu.

"Jika suhumu tak mau datang kemari untuk menerima jabatan ketua, aku benar2 tak punya muka untuk menghadap arwah para sucou. . ." kata Ih Se lojin.

Sebagai angkatan yang lebih muda. sudah tentu Cu Jiang tak dapat memberi tanggapan ini ituu apa tentang urusan dalam perguruan. Dia diam saja.

"Dia takkan meluluskan," kata Lam-ki-soh dengan nada tandas, "Jika engkau tetap memaksa dia supaya menerima berarti engkau menutup pintu agar dia tak datang ke  gunung sini lagi”

Beberapa saat kemudian murid kedua Ko Kun menghadap untuk menyampaikan laporan bahwa hidangan sudah siap. Maka Cu Jiangpun diajak Ih Se lojin masuk. Setelah menghadap arca dari kakek guru. mereka kembali lagi ke ruang.

"Engkau mengatakan hendak meminta petunjuk untuk memecahkan barisan apakah itu?" tanya Ih Se lojin.

Dengan mata merah penuh dendam kemarahan, berkatalah Cu Jiang:

"Tentang gerombolan Gedung Hitam yang banyak mencelakai dunia persilatan, apakah supeh sudah mendapat berita yang lengkap ?"

"Hai," desuh Ih Se lojin. "Dan ketua Gedung Hitam itu adalah musuh besar dari keluarga murid."

"Ah, asal usul dirimu ..."

"Almarhum ayah murid adalah Cu Beng Ko." "O, engkau putera dari Dewa-pedang ?"

"Engkau mencari guru dengan sudah mempunyai bekal kepandaian ?"

"Ya."

"Ah, makanya ilmu pedangmu .. ." "Tetapi itu bukan ajaran Keluargaku."

"Apa ? Bukan ilmu warisan keluargamu ? Tetapi Jelas ilmu pedang yang engkau gunakan itu bukan dari  perguruan ku."

d00w

Dengan terus terang Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia mendapatkan ilmu pedang itu.

"Luar biasa," seru Ih Se lojin, "kelak engkau tentu mampu mempelajari kitab pusaka Thay hi-keng itu. Dengan menggubahnya sendiri, pastilah kelak ilmu silat perguruan kita akan cemerlang dalam dunia persilatan."

"Terima kasih, supeh."

"Bagaimana persoalanmu dengan Gedung Hitam ?" "Selama    ini    tiada    seorang   persilatan   yang mampu

menyelidiki markas  besar  Gedung  Hitam di  gunung Keng-

san karena markas besar itu dibentuk dalam barisan yang aneh." "Barisan apa ?"

"Menurut keterangan seorang sahabat, barisan itu dibentak antara gabungan barisan Kiu-kiong pat kwa dengan ti-hun-im."

"Mestinya itu barisan Thay ho-tin .. ." "Thay-ho tin ?" Cu Jiang menegas.

"Ya, kalau menurut keterangan, barisan itu mestinya disebut Thay-ho-tin. Tetapi barisan Thay-ho-tin itu merupakan salah satu barisan dari tiga barisan besar yang terdapat dalam kitab pusaka Ki-bun-ceng ciat. Mengapa dia bisa menyusun barisan itu?"

Tiba2 Cu Jiang teringat.

"Kitab Ki-bun-ceng ciat diwaktu hilang dan jatuh ke tangan Pek kut song-sian...?"

"Tidak mungkin, kedua iblis itu singkat sekali waktunya mendapatkan kitab pusaka itu, hanya dalam seratus hari."

"Mohon tanya, bagaimana kitab itu bisa hilang ?"

"Gara2 sam-suhengmu yang mempelajari kitab itu. Tidak seharusnya waktu keluar lembah, dia membawa kitab itu sehingga ketahuan kedua iblis dan direbutnya. Untung anak dari suami isteri iblis itu dapat kutawan sebagai sandera."

"Ya, murid telah mengetahui."

"Tetapi apakah benar barisan di markas Gedung Hitam itu merupakan Thay-ho-tin. Jika tidak, tentulah akan membuang waktu sia-sia." kata Lam-ki soh yang sejak tadi diam saja.

Ih Se lojin kerutkan dahi. "Jika kusuruh murid untuk memeriksa, berarti akan mencampuri urusan dunia persilatan. Suatu hal yang bertentangan dengan pendirian perguruan ku," katanya.

"Tetapi sekarang saja Cu Jiang sudah masuk menjadi murid Thay-hi bun. Apakah hal itu berarti dia tak boleh melakukan gerakan apa2."

"Itu lain lagi persoalannya, pertama, karena dia mampunyai dendam berdarah untuk keluarganya. Dan kedua, dia telah mendapat perintah dari suhunya "

"Kalian telah bersumpah untuk mengasingkan diri tak mau mencampuri urusan dunia, adakah dalam soal budi dendam dari murid. Juga tak mau memberi bantuan?" tegur Lam-ki-soh.

"Peristiwa budi dendam yang menyangkut dirinya  dahulu sebelum masuk kedalam perguruan, perguruan kami takkan mengurus."

Kuatir kedua tokoh tua itu akan terlibat dalam perdebatan yang sengit, buru2 Cu Jiang berkata:

"Supeh, murid hanya mohon petunjuk bagaimana cara untuk memecahkan barisan Thay-ho-tin saja. Jika tak berhasil, kelak murid akan menghadap kemari lagi untuk mohon petunjuk."

"Kalau begitu sih boleh," kata Ih Se lojin "tetapi ingat, selama engkau bergerak di dunia persilatan tak boleh engkau mengaku sebagai murid perguruan Thay-hi-bun !"

"Murid akan ingat baik"

"Masih ada satu lagi. Jika benar barisan itu barisan Thay- ho-tin, engkau harus menyelidiki siapakah yang membuatnya."

"Baik." Sementara itu kelima murid Ih Se lojin, masuk dengan melaporkan bahwa hidangan dan arak sudah siap semua.

Sembari berbangkit, Ih Se lojin mengajak Lam-ki-soh makan bersama. Tetapi tokoh itu menolak dan mengatakan dia cukup akan makan bekalnya sendiri.

"Gong-heng, menganggap aku orang she Co ini benar seorang manusia yang tak kenal perasaan?"

"Ai, hanya bergurau saja. Kan merepotkan saudara. "

Demikian mereka lalu bersama-sama duduk di meja dan menikmati hidangan malam. Selesai makan haripun sudah malam. Ih Se lojin lalu membuat sebuah lukisan peta dan diserahkan kepada Cu Jiang dengan memberi penjelasan2 seperlunya. Juga mengenai barisan dalam lembah itu, Ih Se lojinpun memberitahu kepada Cu Jiang.

Keesokan harinya, Cu Jiang bersama Lam-ki-soh pamit. Dengan masih mengenakan kedok muka, Cu Jiang keluar dari lembah itu. Setelah tiba di kaki gunung Tong-pik-san, Cu Jiang berpisah dengan Lam-ki-soh.

Jika menuju ke Hu-yang untuk menemui Ang Nio Cu, di perhitungkan waktunya masih belum tiba, mungkin Ang Nio Cu tentu belum kembali.

Apabila dia bertindak sendiri untuk menggempur Gedung Hitam, dia merasa telah melanggar janji dengan Ang Nio Cu. Ah, akhirnya ia memutuskan, baiklah ia pelahan-lahan menuju Huyang agar waktunya menunggu disana tak usah terlalu lama.

Demikianlah dengan cara santai itu, setengah bulan kemudian barulah dia tiba di kota Huyang. Terpaut dengan waktu berangkat ke gunung Tay-pa san sudah hampir satu bulan. Menurut perjanjian dengan Ang Nio Cu, ia lalu mencari dan menginap di hotel Naga Hijau, sebuah hotel besar yang terletak dipusat kota.

Untuk tidak menarik perhatian orang. Cu Jiang menyamar jadi seorang anak sekolah. Tetapi menunggu sampai tiga hari belum juga Ang Nio Cu muncul. Dia mulai gelisah. Menurut perhitungan waktunya, seharusnya Ang Nio Cu sudah datang.

Karena tak dapat menemui Ih Se lojin, seharusnya Ang Nio Cu cepat kembali ke Huyang. Saat itu sudah menjelang keempat puluh hari, mengapa dia belum muncul juga?

Seorang diri dia menikmati arak dalam kamar. Pikirannya melayang-layang. Kalau sampai hari yang keempat puluh, Ang Nio Cu tetap belum muncul, terpaksa dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia harus menggempur Gedung Hitam sendiri.

Sekonyong-konyong dari arah luar kamar terdengar suara wanita bersungut-sungut:

"Dia sudah mengatakan dalam empat puluh hari lagi akan datang ke rumah penginapanmu ini . . ."

"Eh. siapakah sesungguhnya yang nona hendak cari itu?" kata jongos hotel.

"Bukanlah sudah kukatakan kalau aku hendak mencari seorang anak keponakanku yang jauh?"

"Nona, tetapi dia tentu mempunyai nama, kalau engkau hanya bersungut-sungut dan marah2, tentu akan mengganggu lain2 tamu. . ."

Cu Jiang terkesiap. Cepat ia beranjak dan mengintai kearah luar Di halaman tampak seorang wanita tengah memandang kian kemari sedang seorang jongos menyeringai di sampingnya. Wanita itu tergolong sudah pertengahan umur, karena mengenakan baju merah maka cepat Cu Jiang dapat mengenalinya sebagai salah seorang dari Empat wanita baju merah yang menjadi pengawal Ang Nio Cu.

"Aku disini, " seru Cu Jiang.

Nona itu deliki mata kepada si jongos: "Tuh,  apa bukan?"

"O, Allah, mengapa nyonya tadi2 tak bilang kalau tuan muda itu?" seru jongos. Namun nyonya itu tak mengacuhkannya dan terus masuk ke dalam kamar Cu Jiang.

"Silahkan duduk toanio." Kata Cu Jiang.

"Jangan memanggil begitu, namaku Soh Tan Hong." "O, Soh toanio."

Jongos datang membawa minuman lalu menanyakan Cu Jiang mau pesan apa lagi.

"Bawakan bebek panggang dan arak wangi," kata Cu Jiang.

Setelah jongos keluar, Cu Jiang menuangkan arak ke cawan dan mulai menanyakan tentang Ang Nio Cu.

"Dia tak dapat datang memenuhi janji dan memerintahkan aku kemari . . ."

"Mengapa dia tak dapat datang?"

"Dia menderita luka parah, jiwanya terancam . . ."

Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Seketika wajahnyapun berobah.

"Dimana dia sekarang?" serunya gemetar. "Di sebuah biara tua diluar kota Keng-ciu." "Dimana dia menderita luka?"

"Waktu di belakang puncak Kiu-kiongsan!" "Siapa yang mencelakainya?"

"Entah. Mungkinkah Ih Se lojin?" "Tidak mungkin! "

"Bagaimana sauhiap memastikan begitu?"

"Karena aku sudah dapat menemukan Ih Se lojin itu." "Di gunung Tay pa-san?"

"Hm," Cu Jiang hanya sembarangan mendengus karena dia tak mau sembarangan memberitahukan tempat perguruannya. "bagaimana lukanya?"

"Menderita luka dalam yang parah sekali, sehingga tak sadarkan diri. Waktu kutinggalkan sudah lima  hari lamanya, entah..." ia tak dapat melanjutkan kata2 karena tersendat isak air matanya.

"Toanio, silahkan makan dulu, nanti kita segera berangkat."

"Aku . . . tak dapat makan."

"Tetapi engkau harus makan agar tenagamu tak lemas.

Mari minum dulu..." "Tidak."

Begitulah keduanya terus makan. Cu Jiang sendiri juga tak ada selera makan. Setelah membereskan rekening, dia bersama Soh Tan Hong terus tinggalkan Hu yang.

Karena siang malam menempuh perjalanan, pada hari keempat pagi mereka tiba di kota Keng-ciu. Soh Tan Hong membawanya menuju ke sebuah biara bobrok yang terletak tujuh delapan li dari kota. "Mengapa tak memilih tempat yang layak?" tegur Cu Jiang ketika menyaksikan alam sekeliling tempat itu sunyi senyap.

Soh Tan Hong tertawa hambar.

"Majikan kami banyak musuh, dan lagi dalam keadaan luka parah, dia tak dapat membuat gerakan yang menimbulkan perhatian orang."

"Oh, begitu." Kata Cu Jiang.

Keadaan biara tua memang mengenaskan sekali. Dindingnya banyak yang gompal dan rumput tumbuh liar tak dirawat. Biara itu sendiri amat besar, dulu tentu merupakan tempat ziarah yang ramai.

Memasuki ruang kedua, muncul seorang wanita lain lagi. "Bagaimana dengan majikan?" tegur Soh Tan Hong

kepada kawannya itu.

Wanita itu menghela napas panjang: "kita harus bersyukur kepada Langit dan Bumi bahwa majikan tak sampai terancam malapetaka. Tetapi dia masih memerlukan istirahat untuk memulangkan tenaga . . ."

Apa sudah mau makan?" "Hanya sedikit." "Bicara?"

"Secara memaksakan diri."

Kemudian wanita itu berkata kepada Cu  Jiang. "Sungguh  tepat  kedatangan  sauhiap  ini.  Waktu  sadar,

pertama   yang   disebut   oleh   majikan   kami  ialah  nama

siauhiap."

"Apakah aku boleh menengoknya?" "Tentu saja boleh, silahkan."

Melintasi halaman yang penuh ditumbuhi rumput liar, mereka tiba di muka sebuah ruang yang bersih. Dan wanita yang menjadi penunjuk jalan itu berseru nyaring:

"Cu sauhiap hendak menghadap majikan!"

"Lekas silahkan masuk." terdengar suara wanita menyahut dari dalam.

Cu Jiang amat tegang. Mengikuti kedua wanita itu masuk, ia melihat sebuah ranjang kayu yang diberi alas dengan rumput jerami dan diatasnya rebah tubuh dari tokoh misterius dalam dunia persilatan yakni Ang Nio Cu. Dia masih mengenakan kain kerudung muka.

"Toaci, aku datang menjengukmu," seru Cu Jiang dengan nada tegang.

Sepasang mata Ang Nio Cu berkaca-kaca, dengan suara lemah ia menyahut:

"Ah, adik, membikin repot engkau saja." "Taci, bagaimana dengan lukamu?" "Rasanya tentu mati."

"Sudah minum obat?"

"Aku hanya mengandalkan tenaga dalam untuk menyembuhkan, mungkin masih perlu waktu setengah bulan lagi untuk beristirahat."

"Apakah yang dapat kulakukan?"

"Tak usah, aku dapat mengatasi sendiri. Adik, bagaimana hasilmu ke gunung Tay pa san?"

"Beruntung tak sampai mengecewakan perintah taci." "Engkau dapat menemui Ih Se lojin." "Ya !"

"Dia mau memberi petunjuk kepadamu cara memecahkan barisan?"

"Ya."

"Ah."

"Taci, bagaimana engkau sampai terluka?" "Biar... Go Kiau yang memberitahu kepadamu."

Wanita yang menjaga di samping, mengangkat sebuah meja kaki tiga.

"Harap Cu siauhiap duduk, aku akan bercerita pelahan- lahan."

Cu Jiangpun duduk.

Wanita yang bernama Go Kiau itupun mulai menutur: "Aku dan Soh suci bertiga mengikuti... majikan kami tiba

di   belakang   gunung  Bok-tok-san.   Tujuan   kami pertama

yang mencapai lembah Ki lin koh yang berada di belakang puncak gunung Kiu kiong san. Karena Ih Se lojin pernah muncul disitu. Kami sangka dia tentulah penghuni lembah itu. Tiba di mulut lembah, majikan memerintahkan kami supaya menunggu di luar dan dia terus masuk ke dalam lembah..."

Cu Jiang mengangguk.

"Lebih kurang seperminum teh lamanya, majikan keluar dari lembah membawa luka. Dia suruh kami cepat2 membawanya pergi dari tempat itu, dan beberapa saat kemudian diapun pingsan tak sadarkan diri lagi..."

"He, lalu..." "Kamipun segera meninggalkan mulut lembah masuk ke dalam daerah pedalaman untuk mencari persembunyian. Kami bertiga berusaha menyalurkan telaga dalam dan setengah hari kemudian barulah majikan kami siuman.

Dia terus menitahkan supaya diantar ke Hu yang. Kami berusaha menggunakan kendaraan darat dan air. tetapi sampai ditempat ini keadaan majikan sudah tak kuat lagi. Terpaksa menggunakan biara tua ini untuk  tempat meneduh dan menyuruh Soh suci memberitahu Cu sauhiap..."

"Apa hanya begitu ?"

"Masih ada lagi. Setelah keadaan majikan agak tenang, dia mengatakan bahwa ketika di lembah Ko Min ton, yang menyerangnya adalah seorang lelaki tua aneh yang pada tengah dahinya tumbuh sebuah tahi lalat. Tak diketahui nama dan asal usulnya. Begitu bertemu terus menyerang. Hanya dalam lima gebrak, majikan sudah terluka parah dan meloloskan diri. Untung masih dapat lolos, kalau tidak, malah bagaimana jadinya..."

Cu Jiang berpaling kearah Ang Nio Cu. "Taci, apakah engkau dapat menduga siapa orang tua itu ?"

Ang Nio Cu pejamkan mata, ujarnya.

"Tak dapat kuketahui asal usulnya. Yang jelas ilmu kepandaian teramat sakti. lebih tinggi dari ketua Gedung Hitam."

Sejenak berdiam diri Cu Jiang berkata. "Taci, engkau perlu harus beristirahat." "Ya, paling sedikit setengah bulan."

"O itu lebih baik. . ." "Mengapa lebih baik?" "Aku hendak menuju ke Kiu-Kiong-san " "Mengapa ?"

"Taci, dendam darah kita itu, harus kutagih kepada mereka."

"Ah, adik Jiang, sudahlah, tak usah kita bicarakan lagi," seru Ang Nio Cu.

"Tidak! Betapapun aku harus dapat melihat siapa sebenarnya orang itu ! Masakan dunia memperkenankan manusia yang lebih buas dari binatang, setiap  bertemu orang tentu membunuhnya."

"Apakah engkau benar2 hendak kesana ?"

"Tentu, setelah aku kembali dari sana, luka tacipun tentu sudah baik."

"Hati-hatilah."

"Harap jangan kuatir, aku dapat membawa diri dan kuharap taci dapat menjaga diri baik-baik agar lekas sembuh. Sekarang aku mohon diri. ."

"Sekali-kali jangan kau memandang rendah pada lawan.

Bertindaklah menurut gelagat." "Baiklah."

"Akan kusuruh menyediakan makanan dan arak.

Beristirahatlah dan besok engkau boleh berangkat." "Tak usah."

"Adik Jiang . .. engkau harus meluluskan pesanku tadi untuk berhati-hati... jangan membuat hatiku cemas. Engkau harus mengetahui bahwa masih ada sebuah kebahagian hidup seseorang yang diserahkan kepadamu..." Cu Jiang tergetar perasaannya. Secara resmi ia telah menjadi suami isteri dengan Ho Kiong Hwa tetapi tak pernah ia memikirkan diri nona itu...

"Taci, aku akan melakukan segala pesanmu." "Bagus."

"Sekarang aku mohon diri."

"Baik2 engkau menjaga diri, adik Jiang."

Sedemikian akrab bahkan mesrah Ang Nio Cu bersikap terhadap Cu Jiang. Seolah-olah seperti seorang taci terhadap adik kandungnya.

Dengan perasaan gembira dan berterima kasih, Cu Jiang keluar dari biara itu. Saat itu masih siang, ia tak mau masuk ke kota lagi melainkan terus melanjutkan perjalanan.

Agar tidak putus hubungan dengan rombongan Ki Siau Hong, disepanjang jalan ia selalu meninggalkan tanda rahasia.

Ketika tiba di lembah Ki lin koh gunung Kiu Kiong san, Cu Jiang berganti menyaru sebagai tokoh Toan kiam jan jin lagi. Ia sengaja berjalan dengan langkah pincang dan pinggang menyelip pedang kutung bertebar mutiara.

Lebih kurang empat puluh tombak memasuki lembah tiba2 ia melihat sebuah ciok pay atau papan batu yang bertulis empat buah huruf yang besar, berbunyi:

"Masuk lembah pasti mati."

Cu Jiang tertawa dingin, Brak, ia menghantam hancur papan batu itu. Kemudian ia melanjutkan langkah. Jalanannya berbahaya sekali, penuh karang dan batu2 aneh yang malang melintang, Sepintas memang tampak seperti seekor kilin yang muncul. Diantara batu2 yang aneh bentuknya itu, terdapat pula tulang belulang yang menyeramkan pandangan mata. Tentulah tulang2 itu berasal dan orang yang berani memasuki tempat itu.

Dari kesan itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang berada dalam lembah tentu seorang manusia yang ganas.

Krak, krak, setiap langkah Cu Jiang menimbulkan bunyi yang menyeramkan karena kakinya menginjak hancur tulang2 manusia.

Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan tahu2 seseorang telah menghadang jalan. Cu Jiang hentikan langkah Memandang kemuka, terpaku ia terkesiap. Yang muncul di muka itu seorang manusia yang menyeramkan, lebih tepat dikatakan makhluk yang aneh.

Matanya hanya satu, punggung bungkuk menjungkai keatas, bibir sumbing sehingga giginya yang besar2 menonjol keluar. Rambut kaku dan tangan mencekal sebatang Joan pian atau ruyung lemas.

Mahluk seram itu memalingkan kepala memandang Cu Jiang sejenak lalu tertawa aneh:

"Hai, bocah cilik, engkau berani menghancurkan papan larangan di mulut lembah itu? siapakah engkau bagaimana nanti engkau harus mati ?"

"Coba saja katakan, bagaimana cara kematian yang  harus kuterima ?" Cu Jiang menyahut sinis.

"Lebih dulu akan kubeset urat2 mu lalu kulitmu, setelah itu engkau akan kurendam dalam air garam, nah,  coba bayangkan bagaimana rasanya nanti ?"

"Bagus, bagus, sungguh nikmat sekali. Tetapi  asal engkau mampu melakukan !" Sring.... ruyungpun segera menggeletar di udara dan secepat kilat menyambar.

"Aku hendak bertemu dengan yang menjadi pemilik ini," seru Cu Jiang.

Makhluk aneh itu tertawa lagi. Nadanya jauh lebih menyeramkan dari serigala melolong.

"Jangan mimpi !"

"Kalau tak salah beberapa waktu yang lalu disini kedatangan seorang wanita yang mukanya memakai kerudung. Apakah kalian yang melukainya ?" seru  Cu Jiang.

"Dia belum mati ?"

"Tak mungkin dia akan mati !" "Ah ah. engkau komplotannya ?"

"Ya, memang, aku memang khusus datang kemari hendak membuat perhitungan."

"Heh. heh, bagus, bagus. Sungguh tak pernah kuduga kalau ada orang yang berani datang kemari hendak membuat perhitungan."

"Jangan heran, yang lebih bagus lagi akan terjadi nanti !"

"Budak kecil, aku tak punya waktu adu lidah dengan engkau," habis berkata dia terus ayunkan cambuk joan-pian nya.

Cu Jiang menghindar hilang. Manusia aneh itu menjerit kaget dan cepat menarik pulang cambuknya.

"Hai, budak kecil, engkau hebat sekali!"

Setelah mengambil arah, dia segera ayunkan lagi cambuknya, tar, tar . . . . seketika bayangan cambuk itu mengembang seperti selembar layar hitam yang melingkupi seluas dua tombak.

Cu Jiang tetap gunakan gerak langkah Gong gong poh- hwat untuk menghilang lenyap.

"Rupanya aku terpaksa harus membunuhmu lebih dulu!"

Dua kali serangan cambuk ruyungnya luput, rambut manusia aneh itu meregang tegak. Matanya yang bundar kecil seperti mata ular, berkeliaran buas. Mulut menganga sehingga gigi-giginya yang panjang tampak membersit- bersit.

Cu Jiang mencabut pedang kutung.

"Engkau Toan kiam jan jin ?" teriak orang aneh itu. "Benar !"

"Bagus! Tak kira kalau engkau mengantarkan jiwamu kemari sendiri . ." kata2 itu ditutup dengan ayunan cambuk yang menimbulkan bunyi menggeletar sekeras-kerasnya menyambar.

Tetapi Cu Jiang sudah siap. Ia memutar pedang. Tiba2 ia rasakan tangannya kesemutan dan tahu2 pedang kutung telah terlilit cambuk.

"Heh, heh, heh, heh . . ." terdengar manusia aneh itu tertawa mengekeh dan Cu Jiang serentak merasakan dari ujung cambuk orang itu telah memancar aliran tenaga- dalam yang keras.

Cepat anak muda itu mengerahkan tenaga dalam untuk mencekal pedangnya erat2. Lalu mulai balas mendesak.

Ternyata tenaga-dalam orang aneh itu bukan main hebatnya sehingga ia masih mengimbangi Cu Jiang. Pada saat Cu Jiang mengerahkan segenap tenaga dalamnya, tampak biji mata orang aneh itu seperti melotot keluar, urat2 dahinya melingkar-lingkar dan keringat bercucuran sebesar kedele. Tetapi dia tetap ngotot untuk bertahan.

Tenaga dalam yang dimiliki Cu Jiang sudah menjadi tataran hampir sempurna. Dengan begitu dapat diduga betapa hebat tenaga dalam dari manusia aneh yang mampu bertahan terhadap serangan Cu Jiang. Jelas dia lebih unggul dari kawanan Sip pat Thian-mo.

Tetapi betapapun toh daya pertahanan manusia aneh itu bobol juga. Dengan aliran tenaga-dalam yang dahsyat dan tak henti-hentinya seperti ombak mendampar, akhirnya Cu Jiang mengerahkan seluruh tenaga dan tiba2 mengibaskan pedangnya.

Hai terdengar orang tertahan dan cambuk ruyung dari manusia aneh itu terlepas, kaki terhuyung tiga langkah ke belakang, mulutnya mengucur dua tetes darah.

Cu Jiang mengentak jatuh batang ruyung lalu melesat maju. tak mau kasih kesempatan kepada musuh, demikian terlintas kata2 itu dalam benaknya.

Huakkk... terdengar jerit ngeri, tubuh manusia aneh itu bergemetaran, dadanya berlumur darah merah.

Tetapi pada saat itu, orang anehpun sempat menghantam Cu Jiang sehingga anak muda itu terpental selangkah ke belakang.

Cu Jiang benar2 heran tak terkira, mengapa jurus ilmu pedang Thian-te kay thay tak berhasil merobohkan lawan.

Tiba2 orang aneh itu berputar tubuh terus lari masuk kedalam lembah.

"Hai, berhenti dahulu!" teriak Cu Jiang seraya mengacungkan pedang kutung ke atas kepala. Gigi orang aneh itu terdengar berkemerutukan. Tiba2 dia ngangakan mulut dan beberapa benda mirip bintang segera menyembur keluar.

Cu Jiang cepat menghindar tetapi betapapun, tetap dia kalah cepat dengan semburan yang tak terduga-duga itu. Jaraknya begitu dekat dan senjata rahasia itu disemburkan dengan mulut.

Lengan dan bahunya telah termakan beberapa  biji senjata rahasia itu. Untung tak mengenai jalan darah penting. Kalau sampai terkena pada bagian jalan darah penting, dia tentu mati.

"Huakkkk..."

Terdengar pekik ngeri menembus udara. Tubuh orang aneh itu telah terbabat kutung menjadi dua oleh pedang Cu Jiang.

Sebelum kumandang jeritan ngeri itu lenyap tiba2 terdengar suara mengembor keras.

"Hai, manusia liar dari mana yang berani membunuh anak buahku yang bertugas menjaga mulut lembah !"

Selesai kata2, orangnyapun sudah muncul. Seorang laki2 tua berambut putih tetapi tubuh masih segar kekar.

Cu Jiang terperanjat. Ketika memandang, ia memperhatikan pada tengah2 dahi orang tua itu terdapat sebuah tahi lalat yang besar seperti mata.

Diam2 Cu Jiang girang. Inilah orang yang dikehendakinya. Pemilik lembah yang telah melukai Ang Nio Cu itu, pikirnya. Yang dibunuhnya tadi hanyalah anak buah, dan Kalau anak buah saja sudah begitu hebat kepandaiannya, majikannya tentu lebih dahsyat lagi, Mau tak mau Cu Jiang tergetar juga hatinya. Orang tua pendatang yang dahinya seperti mempunyai sebuah mulut lagi (tahi lalat besar), tampak memandang kearah mayat manusia aneh tadi. Tubuhnya yang tinggi besar tampak gemetar. Tentulah dia sangat marah sekali.

Cu Jiang mencekal pedangnya erat2, siap menghadapi segala kemungkinan. Sesaat orang tua itu mengangkat muka, sepasang matanya berkilat2 tajam memandang kearah Cu Jiang.

Cu Jiang merasa seperti dipancari sinar tajam yang membuat bulu2 tubuhnya meremang tegang.

"Engkau Toan-kiam-jan Jin?"

Cu Jiang terkejut mendengar pertanyaan itu. Sekati membuka mulut, orang itu sudah mengenal dirinya. Diam2 Cu Jiang menyadari bahwa ciri2 dirinya sebagai pemuda pincang dengan pedang kutung ternyata sudah termasyhur dan dikenal oleh setiap orang persilatan.

"Ya !" sahutnya ringkas.

"Heh, heh, budak kecil, engkau bakal mati tak berkubur!" "Siapakah nama anda ?"

"Aku Sam Bok thian-cun!"

Cu Jiang tertegun. Dia tak pernah mendengar nama tokoh persilatan semacam itu. Tetapi ia percaya, orang itu tentu seorang tokoh angkatan tua yang ternama.

"Belum lama ini apakah anda melukai seorang  nona yang makanya memakai kain cadar ?" serunya pula.

"Melukai ? Apakah dia tak mati ?" Sam Bok thian-cun atau Malaikat bermata-tiga mengulang. Dan kata2 itu tepat seperti yang diucapkan manusia aneh tadi. Setiap orang yang diserang, tentu mati. Aneh  sekali kalau hanya menderita luka dan tak sampai mati. Suatu hal yang menunjukkan betapa ganas dan buas mereka.

"Apakah tentu harus mati ?" ulang Cu Jiang.

"Yang berharga untuk menerima serangan tanganku, tidak banyak jumlahnya. Tetapi tak pernah ada yang hidup."

"Tetapi kali ini memang suatu pengecualian!" sambut Cu Jiang.

"Toan-kiam-jan-Jin, bagaimana asal usul dirimu ?" "Tak perlu bertanya, aku takkan memberitahu! "

"Tak kubiarkan engkau menurut sekehendakmu sendiri.

Aku harus menyelidiki sampai jelas !" "Untuk apa ?"

"Mencabut rumput harus sampai pada akarnya !" nada Sam bok thian cun sangat menyerampak sekali.

Cu Jiang mendengus dingin:

"Sam Bok thian-cun, tak usah banyak bicara yang tak berguna, Anda harus membayar semua perbuatan anda selama ini."

"Membayar? Ha, ha,  rasanya dalam dunia ini hanya engkau seorang yang berani menagih pembayaran kepadaku."

"Anda heran ?" "Heran sekali !"

"Akupun baru pertama kali ini mendengar ucapan yang begitu tekebur seperti anda."

"Ho, apakah arti budak semacam engkau ini." "Dan engkau sendiri juga makhluk macam apa?" balas Cu Jiang.

"Ha, ha. entah bagaimana harus kucincang tubuhmu supaya hatiku puas nanti..."

"Sama-sama, bung !" sahut Cu Jiang.

"Budak, Jika engkau bukan Toan-kiam Jan jin, tak nanti aku mau banyak bicara."

"Oh, terima kasih."

Sepasang mata Sam Bok thiancun membara merah sehingga wajahnya makin menyeramkan. Ke  dua tangannya pelahan-lahan mulai diangkat...

Tiba2 Cu Jiang menyarungkan pedangnya.

"Pukulan harus disambut dengan pukulan. Biar engkau mati dengan puas!" serunya dengan nada beku.

Sam Bok thiancun tertawa menyeringai. "Hebat engkau !" serunya.

Seiring dengan bentakan yang dahsyat, serentak keduanya mengayunkan kedua tangan, bum . . terdengar letupan keras yang- menggetarkan seluruh lembah.  Batu dan pasir beterbangan ke udara.

Cu Jiang mundur tiga langkah. Darahnya serasa bergolak-golak keras. Tetapi Sam  Bok thian cun juga tersurut ke belakang tiga empat langkah. Rambutnya awut- awutan.

Ke-dua2nya tak membuka mulut tetapi hati masing2 sudah tahu bahwa kali itu mereka benar2 bertemu dengan lawan yang tak boleh dianggap enteng.

Cara mereka berhantam tadi yalah keras lawan keras. Tak memakai gerak jurus ilmu silat apa2, melainkan secara jujur beradu kerasnya tulang dan tingginya tenaga. Siapa yang lemah tentu binasa.

Setelah sama2 memulangkan napas, merekapun mulai bergerak kembali ketempatnya semula tadi.

Tangan mulai di angkat, tenaga dihimpun dan hampir serempak mereka mengayunkan lagi tangannya.

Buuummm.....

Terdengar ledakan hebat lagi dan keping2 hancuran karang, yang mencurah dari udara seperti hujan.

Kali ini keduanya terpental ke belakang sampai tujuh delapan langkah. Napas mereka memburu keras seperti kerbau habis bekerja.

Hampir sepeminum teh lamanya baru mereka bergerak maju ke tempatnya tadi. Saat itu merupakan babak penentuan mati atau hidup. Keduanya sama2 mengerahkan seluruh tenaga-dalam lalu mengayunkan tenaganya untuk babak yang ketiga.

Kali ini yang terhebat sendiri. Hamburan karang dan debu serta ranting2 dan daun bertebaran memenuhi lembah sehingga suasana amat gelap.

Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah, rubuhlah Cu Jiang ke tanah. Segumpal darah meluap kearah tenggorokan tetapi ia paksakan diri untuk menelannya kembali. Tulang belulangnya seperti remuk.

Pandang matanya berkunang-kunang. hawa murni tubuhnya sudah habis. Kali ini tamatlah riwayatku, pikirnya.

Beberapa saat setelah suasana tenang dan terang, dia melihat Sam Bok thiancun juga jatuh terduduk ditanah. Rambutnya yang putih berwarna merah dan tubuhnya menggigil keras.

"Dia terluka lebih hebat dari aku," kata Cu Jiang dalam hati.

Sekarang ia harus cepat bertindak untuk mendahului lawan. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dialah  yang akan menang.

Cu Jiang segera melakukan ilmu pernapasan menurut ajaran dalam kitab Giok-kah-kim-keng.

Sudah tentu Sam Bok thiancun juga tak  tinggal diam. Dia juga mempunyai rencana seperti yang diangankan Cu Jiang.

Beberapa waktu kemudian Cu Jiang mulai berbangkit. Dia tak mau memberi kesempatan sampai lawan dapat memulihkan tenaganya.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar