Pusaka Negeri Tayli Jilid 18

Jilid 18

DUA orang lelaki masuk. Seorang sasterawan tua dan seorang tua bungkuk. Keduanya tak lain dari Ki Siau Hong dan Ko Kun, dua dari keempat pengawalnya.

"Silakan duduk, akan kusuruh pelayan menambah gelas, kita minum bersama .. ."

"Tak usah."

Cu Jiang terkejut mendengar nada mereka yang kaku. Kedua orang itu mengambil kursi dan duduk disebelah Cu Jiang.

"Ciangkun, kami hendak bicara dengan sungguh- sungguh !" kata Ki Siau Hong.

"Soal apa ?"

Sejenak memandang kearah wajah membesi dari Ko Kun. Ki Siau Hong berkata dengan tegas. "Ciangkun, maafkan hamba berlaku kurang hormat. Walaupun kedudukan ciangkun lebih tinggi, tetapi kami juga sama2 menjadi menteri dan sama2 mengemban tugas dari Kok-su, agar diam2 membantu ciangkun. Dalam hal ini ciangkun tak berhak membunuh "

"Apa katamu ?" teriak Cu Jiang kaget. "Apakah ciangkun tak tahu?"

"Jangan menyabut ciangkun  !" "Tidak, ini menyangkut urusan dinas."

"Aku benar2 tak mengerti. Katakanlah yang jelas."

Tiba2 Ki Siau Hong berbangkit dan dengan deliki mata berseru dalam nada getar:

"Bagaimana kesaktian ciangkun, kami semua sudah mengetahui, kami bukan tandingan "

Cu Jiang benar2 bingung. Tetapi melihat sikap orang yang begitu serius dan tegang, dia anggap urusan tentu serius sekali. Diapun berbangkit dan berseru:

"Sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"

Ko Kun juga berbangkit dan menyeletuk: "Kenapa ?" "Sia-sia kami antarkan jiwa di Tionggoan, mati tanpa

alasan apa2."

Cu Jiang memandang kedua orang itu dengan tajam lalu berkata dengan sarat : "Aku tak jelas apa yang  kalian katakan "

"Asal ciangkun mengerti sajalah."

"Kalian takut mati. Memang tugas ini penuh mengandung bahaya. Baiklah, kalian boleh pulang." "Sebagai seorang biasa, tak mungkin takut mati. Tetapi mati harus yang jelas dan harus yang berharga." Ki Siau Hong menyelutuk.

"Berharga bagaimana?"

"Kami memberanikan diri hendak mohon tanya kepada ciangkun." kata Ki Siau Hong, "apakah kesalahan  Ong Kian sehingga menimbulkan kemurkaan ciangkun dan ciangkun lalu membunuh nya?"

Mendengar itu gemetarlah Cu Jiang. "Apa katamu?" serunya keras.

"Mohon tanya apa kesalahan Ong Kian sehingga ciangkun menghukumnya mati?"

"Apa? Engkau .... mengatakan aku membunuh Ong Kian?"

"Apakah ciangkun menyangkal?" "Ini . . . ini . . . apa buktinya?"

"Silakan ciangkun lihat ini." Ki Siau Hong mengeluarkan sebuah benda dan menyerahkan kepada Cu Jiang. Tangan Ki Siau Hong  gemetar keras. Sedang Ko Kun yang menyaksikan dari sampingpun juga tegang sekali wajahnya. Dahinya berkerenyutan keras.

Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Ternyata barang itu seperangkat pakaian dan diatasnya tertulis huruf dari darah, berbunyi: "Ciangkunlah yang membunuh aku."

"Tulisan ini adalah tulisan tangan Ong Kian. Pada saat hendak kami kuburkan, baru kami menemukannya."  kata Ki Siau Hong.

Dada Cu Jiang bergolak keras. Dia membuka kedok muka dan menunjukkan wajahnya yang aseli. Tampak kerut wajahnya membesi dan dahinya berkerenyutan, bum .

. . . "

"Siapa yang membunuh Ong Kian?" dia menghantam meja sekeras-kerasnya.

Kedua pengawal itu tergetar dan saling bertukar pandang.

"Ciangkun, ijinkanlah kami pulang lebih dahulu ke Tayli. "

Pikiran Cu Jiang penuh dengan berbagai persoalan. Dia marah dan sedih atas peristiwa itu.

"Dimana Ong Kian dibunuh?" tanyanya. "Diluar kota Hok yang-shia."

"Bagaimana kalian dapat menemukannya?"

"Karena kami mendengar bahwa ciangkun muncul di pintu kota itu maka kamipun buru2 menyusul."

Mendengar itu Cu Jiang tahu bahwa persoalan itu memang tak wajar. Jelas dia tak melalui kota Hok  yang shia. Tetapi sesaat dia tak dapat memberi penjelasan.

"Dan kalian menemukan Ong Kian sudah dibunuh orang?"

"Benar, tubuhnya menderita delapan belas buah tusukan pedang. Bekas luka2 itu menunjukkan kalau dari tusukan pedang kutung milik ciangkun."

"Apakah tulisan darah itu dia yang menulis?" "Ciangkun, sekarang bukan saatnya berdebat . . ." "Kenapa ?"

"Orang luar tentu tak menyebut "ciangkun" kepada ciangkun" Diam2 Cu Jiang mengeluh dalam hati. Peristiwa memang benar2 aneh sekali.

"Ciangkun, kami mohon diri." "Tunggu dulu.."

Wajah kedua orang itu berobah lalu mereka diam2 bersiap-siap.

Cu Jiang menghela napas.

"Atas kematian Ong Kian, aku benar2 sedih sekali. Tetapi aku mengatakan dengan sungguh2. bahwa aku tak membunuhnya. Dan memang tiada alasan untuk membunuhnya. Harap kalian tenang dan marilah kita  bicara dengan baik2."

Dari kerut wajah kedua orang itu, tampak mereka tak mau percaya begitu saja kepada Cu Jiang. Empat huruf yang ditulis dengan darah itu menjadi bukti yang berbicara.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan menerjang masuk dan terus menyerang Cu Jiang. Karena tak menduga dan berlangsung dalam waktu secepat kilat, Ki Siau Hong dan Ko Kun menjerit kaget. Tetapi Cu Jiang lebih cepat reaksinya.

Ia condongkan tubuh dan menyambar pedang yang menyerang nya. Ah. ternyata penyerangnya itu tak lain adalah Song Pak Liang yang menyaru jadi penjual obat tempo hari.

Dengan mata penuh bawa pembunuhan dan tubuh menggigil keras. Song Pek Liang memandang Cu Jiang dengan penuh dendam kebencian.

"Juara Jago pedang, kalau engkau mau bunuh Song Pek Liang, bunuhlah !" serunya penuh dendam sinis. Cu Jiang tahu bahwa orang itu sedang dirangsang dendam kemarahan yang timbul karena salah faham. Percuma kalau mau membunuhnya. Ia dapat memaafkan tindakan orang.

"Song-heng, tenanglah, soal ini tentu akibat salah faham," akhirnya ia turunkan pedang dan berkata dengan ramah.

Tetapi Song Pek Liang tetap penasaran.

"Salah paham? Adakah orang mati itu pada  saat2 terakhir dapat meninggalkan tulisan untuk memfitnah orang?" serunya sinis.

"Memang itu yang menjadi pokok persoalan," kata Cu Jiang dengan menahan perasaan.

"Kami ingin mendengar penjelasan ciangkun." seru Song Pak Liang.

Sejenak menenangkan perasaannya, Cu Jiangpun segera berkata kepada Ko Kun:

"Ko-heng, harap engkau menjaga diluar."

Sejenak memandang kearah kedua rekannya, dengan kepala menunduk Ko Kun segera melangkah keluar.

Setelah itu barulah Cu Jiang berkata dengan tandas: "Dengan   mengesampingkan   peraturan, Kok-su telah

menerima aku sebagai murid. Baginda Tonghongyapun telah berkenan memberikan kitab pusaka sehingga aku berhasil memperoleh ilmu kepandaian.

Tugasku yang utama yalah membereskan kawanan Sip- pat-thian-mo. Dalam rangka melaksanakan tugas itu saudara berempat telah memberi bantuan. Soal Jabatanku sebagai Tin-tian-ciang-kun adalah dikarenakan harus menghadapi tantangan dari putera raja Biauw tempo hari. Dalam hal ini kuharap saudara jangan terlalu menyanjung diriku ... "

"Ucapan baginda itu bukan kata2 kosong. Dan lagi telah disaksikan oleh sekalian menteri, tidak boleh dianggap sepele," kata Song Pak Liang.

Cu Jiang tertawa hambar.

"Saudara Song. baiklah, aku takkan membicarakan soal itu. Mengenal kematian Ong Kian, aku benar2 tak pernah datang ke Hu-yang.. ."

"Lalu bagaimana dengan tulisan darah itu?"

"Marilah kita mempelajarinya dengan tenang, untuk mencari sebabnya."

"Ciangkun, tetapi urusan bukan hanya yang itu saja." "Masih ada yang lain lagi ?" teriak Cu Jiang terkejut. "Apakah aku harus mengatakan satu demi satu ?" "Silakan memberi keterangan."

"Song-heng, kesabaranku ada batasnya. Sekali lagi kuminta engkau bersikap tenang."

Dahi Song Pek Liang berkerenyut.

"Biarlah aku yang mulai bicara," kata Ki Siau Hong, "kantor pengiriman barang Han Tiong dikota Hu-yang pada suata hari telah menerima pekerjaan untuk mengirim barang gelap yang harganya semahal pembelian sebuah kota. Barang itu terdiri dari sebuah barang permainan dari batu permata yang tak ternilai indahnya. Tetapi sebelum sempat berangkat mengirim, kepala perusahaan itu dan seluruh keluarganya besar kecil berjumlah delapan orang, telah mati dibunuh orang.. ."

"Oh..." "Siau-lim Sam-lo Juga dibunuh di Kwiciu." "Siapa lagi ?"

"Ketua partai Heng-san-pay mati dicincang puterinya diperkosa."

"Lalu ?"

"Masih ada lagi, tetapi tak perlu kami terangkan. Pokok, banyak sekali terjadi pembunuhan2 yang amat keji !"

"Semua itu Toan-kiam-jan-Jin yang melakukan?" Cu Jiang mengertek gigi.

"Ciangkun," kata Song Pek Liang dengan nada tergetar, "menurut beritanya memang begitu. Dan banyak sekali saksinya. Kamipun pernah melihat sendiri bukti itu."

"Pernahkah Song heng membayangkan bahwa kemungkinan ada orang yang menyamar sebagai diriku ?"

"Tetapi Ong Kian tak mungkin salah melihat diri ciangkun ?"

"Seratus hari lamanya aku berobat di gunung Busan," kata Cu Jiang, "seturun gunung, aku tak menyamar menjadi Toan-kiam-Jan Jin lagi. "

"Soal itu hanya ciangkun sendiri yang tahu."

Sejenak berpikir, Cu Jiang menatap Ki Siau Hong, serunya.

"Yang menyampaikan berita tentang diri Long sim-mo itu adalah Ki-heng, pada waktu itu bagaimana keadaan diriku?"

"Peristiwa itu terjadi pada waktu ciangkun belum muncul di kota itu," jawab Ki Siau Hong.

"Mengapa waktu itu engkau tak memberitahukan?" "Sudah sebulan lamanya kami mengikuti Long-sim-mo.

Pada waktu itu belum begitu jelas tentang peristiwa itu !"

"Belum ada sebulan aku turun dari gunung Busan. Ang Nio Cu dan- Thian put thou menjadi saksinya . . ."

"Ong Kian terbunuh lima hari yang lalu!"

Mendengar jawaban itu Cu Jiang benar2 tak dapat membantah, ia kerutkan alis tak berkata apa2.

"Ciangkun, kami hendak kembali ke Tayli dulu untuk memberi laporan kepada Kok-su." kata Song Pek Liang,

"Untuk sementara jangan kalian pergi dulu." "Mengapa ?"

"Tunggu sampai peristiwa ini jelas."

"Bagaimana tindakan ciangkun untuk membereskan soal itu ?"

"Mencari orang yang memalsu diriku." "Song-heng menganggap tentu aku sendiri ?"

"Karena bukti memaksa kami tak dapat menduga yang lain,"

"Hm," Cu Jiang menahan kemarahannya, "tindakan musuh itu Jelas mengandung siasat yang licik. Tujuannya tentu hendak membangkitkan kemarahan kaum persilatan terhadap diriku. Tentu musuh takkan berhenti sampai  disitu. Kalau kita menyelidiki dengan sungguh2, pasti akan dapat menemukan jejaknya.”

Agaknya Ki Siau Hong lebih sabar maka dia segera membujuk kawannya. Song Pek Liang.

"Song-heng. karena ciangkun mengatakan begitu, bagaimana kalau kita ikut menyelidiki ?" "Aku tak ingin mengubur tulangku di tanah Tionggoan," sahut Song Pek Liang dengan tegang.

Mendengar sikap Song Pek Liang begitu kukuh,  Cu Jiang mendongkol sekali serunya:

"Kalau aku memang seperti yang kalian duga, perlu apa aku harus berbanyak kata. Bukankah saat ini juga aku dapat membereskan kalian bertiga?"

Kata2 itu penuh mengandung keterbukaan hati dan kemarahan yang tertahan sehingga kedua orang itu terkesiap. Memang benar, jika mau, dengan mudah Cu Jiang tentu dapat membunuh mereka bertiga.

Akhirnya Song Pek Liang agak kendor. Setelah merenung beberapa saat, ia berkata:

"Ciangkun. mudah-mudahan hal itu benar2 suatu kesalahan faham."

"Memang sebenarnya suatu rencana busuk sekali. " "Kira2 siapakah yang melakukan rencana itu?" "Siapa lagi kalau bukan orang Gedung Hitam. " "Lalu bagaimana tindakan kita?"

"Kita berpencar menyelidiki. Hanya apabila kalian menemukan sesuatu, jangan sekali-kali menunjukkan diri biarlah aku yang membereskan sendiri. Karena berani melakukan pemalsuan itu, musuh tentu memiliki kepandaian hebat dan lagi tentu dikawal oleh anak buahnya."

"Baiklah, kami akan mohon diri " "Ei, mengapa tak minum dulu?"

"Lain waktu saja." Ki Siau Hong dan Song Pek Liang segera menghaturkan hormat lalu melangkah keluar. Cu Jiang masih termenung dikursinya. Dia benar2 tak menyangka kalau musuh akan melakukan rencana begitu. Memikirkan peristiwa itu, dia pun tak punya selera makan lagi.

Dia memanggil pelayan, membayar rekening lalu tinggalkan rumah makan itu.

Saat itu jalan sudah ramai. Lampu2 menerangi seluruh jalan, orang tak putus-putusnya berjalan hilir mudik. Ramainya bukan kepalang.

Dengan dandanannya sebagai seorang pedagang Cu Jiang berjalan pelahan-lahan. Tengah dia berjalan, tiba2 dia melihat pertandaan-rahasia yang di tinggalkan oleh Su-tay- ko-jiu.

Semangatnya bangkit serentak. Apakah dalam waktu singkat mereka sudah mendapatkan jejak musuh?

Segera dia menurutkan pertandaan rahasia itu. Akhirnya dia tiba di ujung jalan yang sepi. Seorang sasterawan tua segera menyongsong kedatangannya, memberi hormat.

"Laute." seru sasterawan tua itu. "sungguh beruntung dapat berjumpa. Tampaknya laute berseri-seri tentu mendapat kemajuan dalam kehidupan. Sebaliknya aku ini tetap sasterawan yang tak berguna, nasib buruk . . . .

Sasterawan tua itu tak lain adalah Ki Siau Hong. Dan Cu Jiangpun balas memberi hormat.

"Ki-heng, sudah bertahun-tahun tak berjumpa tetapi sikap Ki-heng masih tetap gagah seperti dulu!"

"Gagah ? Ha, ha, ha, ha aku sih begini rudin."

“Tetapi adakah "

"Tinggal di luar kota, entah apakah laute suka berkunjung kesana?" "Ai, tentu,"

"Baiklah, laute. Mari kita ke sana."

Demikian keduanya segera berjalan menuju keluar kota, Tiba diluar kota yang sepi, barulah Ki Siau Hong berkata.

"Kita bicara di pondok petani itu." "Hm."

Setelah berada digerumbul pohon bambu dibelakang pondok, Cu Jiang terus bertanya:

"Apakah mendapat penemuan?"

"Dikedai minum telah tersiar berita besar," kata Ki Siau Hong dengan semangat.

"Berita besar apa ?"

"Waktu malam terang bulan, dibiara Kang-sin-bio kira2 lima li diluar kota, Toan-kiam-Jan-jin akan menantang ketua Gedung Hitam."

"Bagus! Kiranya kedua manusia itu sama2 muncul!" seru Cu Jiang dengan gembira.

"Ciangkun." kata Ki Siau Hong, "Toan-kiam-jan-Jin dan ketua Gedung Hitam itu merupakan tokoh2 yang paling menonjol dalam dunia persilatan dewasa ini. Kedua belah pihak sama2 memberi pengumuman itu, tentu ada maksudnya. Harus menjaga akal muslihat jahat mereka. Ko Kun dan Song Pek Liang sudah ke tempat itu untuk menyelidiki kebenarannya . . ."

"Sekarang masih kurang berapa hari dari bulan purnama?"

"Tujuh hari." Cu Jiang memperhitungkan waktunya. Perjanjiannya dengan Ang Nio Cu yalah dalam empat puluh hari akan bertemu di kota Hu-yang. Apalagi harus membuang waktu tujuh hari, memang temponya terlalu mendesak sekali. Tetapi peristiwa pertempuran antara Toan-kiam jan-jin dengan ketua Gedung Hitam juga sangat penting. Akhirnya ia memutuskan, akan menunggu pertandingan itu baru kemudian berangkat ke gunung Tay pa san.

"Baiklah, aku akan menunggu selama tujuh hari di kota." "Sebaiknya ciangkun jangan pergi kemana-mana, agar

setiap waktu kita dapat bertemu ... "

"Ya, aku tetap berada di rumah penginapan Gwat-lay tiam. "

Setelah itu mereka berpisah. Semalam ia tak dapat tidur karena memikirkan siapakah orang yang memalsu dirinya itu. Apa maksudnya? Dia menantang ketua Gedung Hitam untuk bertempur di biara Kang sin-bio. Juga perlu diselidiki. Adakah yang bertempur itu benar ketua Gedung Hitam yang aseli atau palsu?

Ayam berkokok, baru Cu Jiang tidur. Ketika bangun haripun sudah siang. Sehabis mandi, dia pesan makanan.

Menunggu, suatu hal yang menyiksa. Apalagi Cu Jiang harus menunggu sampai tujuh hari. Bagaimanakah ia harus melewatkan tempo selama tujuh hari itu ?"

Jika dalam pertempuran pada bulan purnama nanti, ketua Gedung Hitam yang asli benar2 muncul, memang itu akan merupakan suatu kesempatan bagus untuk menuntut balas. Tetapi dia curiga, jangan2 hal itu hanya suatu siasat dari Gedung Hitam saja. Hanya satu hal yang membuatnya girang ialah dengan perkembangan peristiwa yang begitu cepat, dapatlah kesalah-fahaman Ki Siau Hong dan kawannya hilang.

Andaikata ketiga pengawal itu benar2 pulang ke Tayli, entah bagaimana nanti reaksi baginda dan Gong-gong cu terhadap dirinya.

Teringat akan tulisan darah Ong Kian pada bajunya. Cu Jiang heran tetapi masih belum dapat memecahkan rahasia itu. Dengan cara bagaimana mereka dapat membinasakan Ong Kian ? Padahal Ong Kian itu cerdas  dan berkepandaian tinggi, masakan dia tak dapat mengenali Toan-kiam jan-jin itu palsu atau asli.

Kemungkinan satu-satunya ialah, Toan-kiam-jan-jin palsu itu sebenarnya tak mengenal Ong Kian. Karena menilik peristiwa pembunuhan ini seolah-olah Ong  Kian tak diberi kesempatan untuk bicara. Dengan demikian Ong Kian tentu mengira bahwa Toan kiam jan jin itu tentulah dirinya (Cu Jiang). Dan jelas pula bahwa Toan kiam jan jin palsu itu seorang tokoh yang sakti sekali.

Kamar Cu Jiang itu terletak disebelah belakang dari bagian rumah makan. Dan kebetulan merupakan  pertemuan antara dua buah kamar yang gelap dengan dua buah kamar yang diberi penerangan.

Didepannya terdapat sebuah lorong yang  mencapai ujung pekarangan. Bersih dan tenang.

Sekonyong-konyong pintu gang dibuka dan muncullah seorang lelaki.

"Tuan, maaf, hendak mengganggu." "Siapa?"

"Aku, pemilik rumah penginapan." "Ada urusan apa?"

"Hm, hendak berunding dengan tuan." "Masuk..."

Seorang lelaki setengah tua mengenakan pakaian warna biru. masuk kedalam ruangan Cu Jiang. Ia memberi hormat lalu tertawa.

"Tuan. sesungguhnya tak harus aku berkata begini kepada tuan. Tetapi keadaan memaksa."

"Katakanlah !"

"Maaf. bagaimana kalau tuan kami minta pindah ke lain kamar?"

"Apa? Suruh aku pindah ?"

"Ai, ini .... tetapi ruang gudang sebelah barak itu juga bersih dan tenang dan masih terdapat sebuah kamar yang terang serta dua kamar lagi."

"Mengapa aku engkau minta pindah?"

"Maaf, karena tetamu yang hendak menginap di sini." "Tetamu?"

"Ya, tetamu wanita."

"Apa wanita tak dapat tinggal disebelah sana?"

"Maaf, karena tetamu itu rupanya hendak melahirkan, mungkin kurang leluasa maka terpaksa aku minta maaf kepada tuan. Kamar di sebelah luar juga . . ."

Cu Jiang mempertimbangkan. Karena ada tamu wanita yang hendak melahirkan, memang kurang leluasa kalau pakai kamar sebelah luar. Tetapi bagaimana nanti dengan Ki Siau Hong. Bukankah dia sudah berjanji kalau akan tinggal dikamar yang sekarang." "Baik, aku akan pindah." akhirnya ia berkata.

Pemilik rumah penginapan itu serentak menghaturkan hormat:

"Terima kasih atas kemurahan hati tuan. Harap jangan terburu-buru, silakan makan dulu. sebentar mereka tunggu juga tak apa. "

"Hm..." dengus Cu Jiang.

Dia tak membawa barang apa2. Hanya sebuah buntalan dan sebatang pedang kutung. Selesai makan, lebih dulu dia membuat tanda sandi pada ujung pintu kamar itu, setelah itu ia memang pelayan supaya mengantarkan kamar yang disebelah barat.

Tepat pada waktu Ci Jiang pindah kamar, sebuah tandu yang digotong oleh beberapa bujang perempuan turun di ujung pintu gang. Seorang nyonya yang berpakaian mewah turun lalu dengan kepala menunduk masuk ke pintu. Menilik gerak geriknya dia tentu seorang wanita kaya atau isteri dari orang berpangkat.

Cu Jiang tak tahu rombongan wanita itu. Dia memakai sebuah ruangan besar yang terdiri dari tiga kamar.

Tiga hari kemudian, datanglah Ki Siau Hong dengan membawa berita bahwa dari dalam dan luar kota, telah bermunculan banyak sekali orang persilatan. Ada yang tak diketahui asal usulnya. Saat itu kota Ih-shia benar2 menjadi kandang dari harimau dan naga.

Hari keempat dan kelima, yang datang makin banyak. Selama itu Cu Jiang tetap berada di rumah penginapan. Dia tak mau keluar. Hari keenam atau malam purnama kurang sehari, tetap belum mendapat hasil penyelidikan, siapa sesungguhnya Toan kiam-jan jin dan ketua Gedung Hitam itu.

Karena kesal, timbullah keraguan dalam hati Ki Siau Hong, Song Pak Liang dan Ko Kun bahwa sebenarnya tokoh Toan-kiam-jan-jin itu tak lain memang Cu Jiang sendiri.

Cu Jiang sendiri tak kurang gelisahnya. Mengapa sampai sekian lama menyelidiki tetap belum memperoleh hasil suatu apa.

Setelah makan2 dan minum arak untuk menghibur kekecewaan hatinya, Cu Jiang lalu berjalan mondar mandir di sepanjang lorong gang. Dia sedang menimang-nimang bagaimana besok akan bertindak.

Dalam rumah penginapan itu juga banyak tetamu orang persilatan tetapi mereka tak memperhatikan diri Cu Jiang karena menilik pakaiannya Cu Jiang itu lebih menyerupai seorang pedagang daripada seorang persilatan.

Ciri dari orang persilatan adalah sepasang matanya yang berkilat kilat tajam. Tetapi apabila sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu tenaga dalam, dapatlah ia menyembunyikan sinar matanya sehingga tampak seperti orang biasa saja. Demikianlah yang dilakukan Cu Jiang untuk menghapus perhatian orang.

Tiba2 dari balik sebuah jendela diujung gang terdengar suara seorang wanita yang dikenalnya. Cu Jiang terkejut. Tetapi dia pura2 diam saja lalu menyelinap ke arah jendela itu untuk mendengarkan lebih lanjut. Dengan hati2 ia menghampiri jendela dan mengintai melalui celah celahnya. Dari sinar penerangan dalam ruang itu tampak seorang wanita cantik dalam pakaian sutera sehingga dadanya tampak menonjol.

Bukankah itu yang dikatakan rombongan tetamu wanita oleh pemilik rumah penginapan? Mengapa dia tidak akan melahirkan? Hm, jelaslah sekarang.

Karena hendak mengambil muka pada wanita cantik maka pemilik rumah penginapan itu meminta dia pindah lain kamar dengan merangkai alasan kalau wanita itu hendak melahirkan.

Tiba2 wanita yang menghadap ke sebelah sana, berputar tubuh menghadap ke arah Cu Jiang. Melihat wajah wanita itu, hampir saja Cu Jiang berteriak. Untung dia cepat dapat menekan perasaan dan hanya mundur beberapa langkah. Darahnya bergolak keras.

Wanita cantik itu tak lain adalah Tiam Su Nio, ketua dari perkumpulan wanita cabul Hoa-gwat-bun.

Jika musuh lama bertemu, sudah tentu mata menjadi marah. Cu Jiang tak sangka bahwa dia bakal bertemu lagi dengan wanita cabul di situ. Mungkin sudah takdir. Malam ini dia takkan memberi ampun lagi.

Dia kembali ke dalam kamar dan menutup pintu lalu duduk bersemedhi menenangkan pikiran. Jelas bahwa Bu- lim-seng-hud Sebun Ong itu berkomplot dengan ketua Hoa- gwa-bun.

Jika wanita cabul itu berada disini, tentulah Sebun Ong juga berada disini, Jika benar Sebun Ong datang, ah, Allah maha pemurah dan arwah toa-suhengnya memang memberi restu.

Diapun mempertimbangkan untuk segera turun tangan ataukah tunggu setelah Sebun Ong sudah muncul. Tetapi karena menjaga gengsi dan Sebun Ong tak mau datang pada wanita itu, bukankah malam itu dia akan kehilangan kesempatan baik untuk membasmi wanita cabul itu ?

Teringat betapa dulu ia hampir saja mati ditangan wanita cabul itu, mendidihlah darah Cu Jiang. Bunuh saja wanita itu. Akhirnya ia mengambil keputusan.

Tetapi mereka terdiri dari beberapa pengikut. Kalau dibunuh dalam rumah penginapan itu tentu akan menimbulkan kegemparan para tamu lain. Sedang tetamu2 yang menginap disitu kebanyakan orang2 persilatan semua.

Cu Jiang agak bingung memikirkan. Sampai lama belum juga ia menentukan cara yang tepat. Karena kalau ia tetap bertindak dan akhirnya ketahuan siapa dirinya, tentulah kemungkinan dapat mengakibatkan peristiwa besok malam yang lebih penting, karena siapa berani tanggung bahwa di antara tetamu2 yang menginap disitu, tak ada orang2 pihak Gedung Hitam ?

Tiba2 pintu diketuk orang. "Siapa ?"

"Laote, aku."

"O, Ki-heng, silahkan masuk."

Yang datang itu Ki Siau Hong. Setelah duduk berhadapan maka Cu Jiang menanyakan maksud kedatangannya.

"Ah, tidak ada sesuatu yang penting hanya ingin saja." kata Ki Siau Hong lalu tertawa. Kemudian dengan berbisik berkata, "besok malam kalau kedua pihak tak muncul, terpaksa kami akan kembali ke Tayli." Cu Jiang terkesiap, Ia dapat menyelami arti kata2  Ki Siau Hong. Jelas Ki Siau Hong dan kawan-kawannya menyangsikan dirinya. Mereka menduga besok pagi kedua belah pihak tentu takkan muncul karena jejak Cu Jiang sudah ketahuan.

Dengan demikian masih berlaku tuduhan bahwa Cu Jiang yalah Toan kiam-jan jin yang membunuh Ong Kian.

"Ki-heng, kalau kalian memang hendak pulang akupun tak dapat memaksa. Tetapi sebaliknya peristiwa ini dapat dibikin terang dulu. Tetapi kalau memang mereka tak mau muncul karena hendak mengatur siasat, silakan Ki-heng kembali ke Tayli."

"Kami juga mengharap agar peristiwa ini dapat segera dibereskan."

"Apakah ada perkembangan lain ?"

"Tidak ada, kedua pihak sama2 diam. Orang yang ingin menyaksikan pertempuran itu makin lama makin banyak. Bahkan ada yang datang dari tempat yang jauh. Memang kedua tokoh itu sangat menarik perhatian seluruh umat persilatan."

"Apakah sesungguhnya rencana mereka?" "Belum jelas."

"Apakah Ki heng pernah melihat Bu-lim-seng hud Sebun Ong muncul disini. Mestinya dalam peristiwa sebesar  ini dia tentu datang . . ."

"Tidak."

"Aku bahkan menemukan sesuatu." "Apa?" "Yang tukar kamar dengan aku ternyata ketua Hoa-goat- bun Tiam Su Nio."

"Ah, lalu apakah laute akan bertindak?"

"Tentu, tetapi kuatir akan mengejutkan tetamu-tetamu yang lain sehingga mengakibatkan acara besok malam itu."

"Awasi dia, setelah besok malam selesai, baru bertindak." "Yah terpaksa memang harus begitu."

"Aku hendak pamit. Kalau tiada suatu perubahan apa2, maka aku tak datang kemari lagi."

"Baik."

Ki Siau Hong sengaja bicara sekerasnya: "Laute, besok dalam pertemuan partai kita di ruang Tang hun-kheng, harap datang!"

"Tentu," sahut Cu Jiang dengan suara keras juga.

Setelah Ki Siau Hong pergi, Cu Jiang kembali merenung. Yang dia kuatirkan kalau gerombolan Hoa-goat-bun itu sampai lolos lagi. Untuk mencari mereka tentu makan waktu yang lama.

Saat itu sudah menjelang tengah malam. Cu Jiang memadamkan lampu dan membaringkan badannya. Dia memutuskan apabila sampai terjadi keributan, dia hendak tinggalkan rumah penginapan itu dan sembunyi di luar kota hingga sampai besok malam.

Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh, dia melompati tembok dan menyelinap ke ujung halaman. Ruang disitu masih menyala penerangannya sehingga dari tirai jendela ia dapat melihat ketua Hoa goat-bun tidur terlentang di atas ranjang. Tubuhnya yang menarik, tentu menyengsamkan setiap lelaki yang memandangnya. Cu Jiang batuk-2.

"Siapa?" terdengar teguran dari dalam ruang dan pada lain kejap muncullah seorang dara baju biru. Melihat Cu Jiang, dia terkejut.

Menyusul muncul lima orang lelaki dan perempuan. Seorang lelaki setengah umur, maju ke hadapan Cu Jiang, mengawasi lekat2 lalu menegurnya.

"Mengapa sahabat berani sembarangan masuk kemari?" "Aku hendak menemui majikanmu." sahut Cu-Jiang

dingin.

"Majikan kami tak ada, hanya rombongannya yang ada.

Sahabat dari mana?" "Mencari hiburan." "Apa ?"

"Tetamu iseng."

Sekalian anak buah Hoa-goat-bun berobah mukanya dan lelaki itu deliki mata, membentak.

"Disini keluarga pembesar, rasanya engkau memang bosan hidup "

"Keluarga pembesar ? Kapankah kiranya ketuamu yang terhormat itu menjadi keluarga pembesar negeri ?"

Mendengar kata2 "ketua", wajah lelaki itu terperanjat dan berseru dengan menggigil.

"Sahabat, sebutkan dirimu siapa ?" "Apakah kata-kataku tadi tidak benar ?"

"Jika begitu jangan harap engkau dapat pergi dari sini dengan membawa nyawamu." "Apabila bertemu dengan ketuamu, aku dapat memberi penjelasan."

"Tidak !"

"Tidakpun harus bisa !" cepat Cu Jiang gunakan gerak langkah Gang-gong-poh melesat kian kemari lalu gunakan ilmu jari Hui-ci-tiam, sess, sesss, dua orang lelaki dan tiga wanita segera rubuh.

"Ha, ha, ha. sahabat sungguh lihay sekali !" entah kapan tahu2 ketua Hoa goat bun telah muncul dipinggir pintu. Melihat itu mata Cu Jiang berkilat-kilat  memancarkan hawa pembunuhan. Tetapi ketua Hoa-goat-bun tenang saja.

"Bagaimana kita bicara didalam," katanya menggeliat dengan wajah menghormat.

Sedangkan gadis yang seorang lagi melontarkan senyum berani kepada Cu Jiang lalu membuka kain tirai. Gadis itu tak lain adalah Soh-hun-li yang pernah bersama ketua Hoa- goat-bun menyaru sebagai Tiong Hong Hui dan puterinya.

Diam2 Cu Jiang gembira karena sekaligus dia akan dapat membasmi dua ekor rase. Segera ia melangkah masuk, diikuti ketua Hoa-goat-bun. Ia duduk disebuah kursi dan mempersilakan Cu Jiang duduk di kursi yang lain.

Cu Jiang tak mau sungkan lagi terus duduk tak berapa jauh. Bau yang harum bertebaran tetapi hati anak muda itu tetap masuk. Sedang Soh-hun li berdiri di belakang ketua Hoa-goat-bun.

"Malam2 datang kemari tentulah sahabat mempunyai urusan penting?" ketua Hoa goat-bun mulai membuka pembicaraan.

"Ya."

"Tadi sahabat mengatakan hendak cari hiburan." "Hm," Cu Jiang merah mukanya. "Sukalah memberi tahu nama sahabat ini."

"Ini... tak perlu ..."

"O. apakah kita pernah bertemu?" ketua Hoa goat-bun tertawa genit.

"Ya, tidak hanya sekali saja."

Ketua Hoa-goat-bun kerutkan alis, ujarnya: "Kapan dan di mana."

Cu Jiang tak mau banyak berbelit belit. Dia terus langsung berkata:

"Kedatanganku kemari adalah karena atas permintaan seorang sahabat."

"Atas permintaan orang?" ketua Hoa goat-bun mulai agak berobah cahaya mukanya.

"Benar."

"Siapa?"

"Kui jiu sin Jin Bun Yak Ih?"

Ketua Hoa goat bun seperti terpagut ular. Dia melonjak dari kursinya. Wajahnya pucat.

"Engkau mengatakan Ban Yak Ih? " "Benar."

"Lalu dia minta tolong apa saja kepada sahabat?"

"Sebelum kukatakan hal itu, aku hendak mohon tanya sebuah hal."

"Soal apa?" "Dimanakah saat ini sahabatmu yang bernama Bun lim seng hud Sebun Ong itu?"

"Apa? Sahabatku? Engkau salah, aku tak punya hubungan apa2 dengan Sebun Ong."

"Benar?" "Masakan tidak!"

Cu Jiang menggeram. Tetapi diapun tak dapat berbuat apa2 karena ia masih tak mau mengatakan siapa dirinya.

"Baik, kalau anda tak mengaku, tak perlu dibicarakan lagi. "

"Sahabat, sekarang katakanlah, apa permintaan Bun Yak Ih kepadamu?"

"Adakah anda ini hujin (isteri) dari Bun cianpwe?" "Memang pernah menjadi isterinya."

"Dan sekarang tidak lagi?" "Apa katanya?" "Membunuh engkau!"

Wanita itu terkejut tetapi sesaat kemudian tertawa nyaring. Soh-hun-li juga ikut tertawa seperti mendengar sebuah lelucon,

"Tiam Sa Nio, apa yang engkau tertawakan?" tegur Cu Jiang.

Ketua Hoa goatbun hentikan tawanya dan melirik:

"Bun Yak Ih belum meninggal, mengapa urusan suami isteri harus diserahkan kepada lain orang?"

"Mempunyai isteri begitu macam, dia malu bertemu dengan kaum persilatan!" "Kenapa diriku? adakah seorang ketua sebuah perkumpulan itu menghina namanya?"

"Hinaan saja masih belum cukup. " "Lalu bagaimana?"

"Membuat dia tak dapat mengangkat muka untuk selama-lamanya."

"Benar."

"Sahabat, apakah engkau mampu melakukan." "Pasti."

Kembali ketua Hoa-goat-bun itu tertawa. Tiba2 serangkum bau harum bertebar menusuk hidung Cu Jiang. Dia tergetar hatinya dan segera menyadari  bahwa wanita itu tengah melepas siasat busuk... racun.

Tetapi karena dia membekal mustika Thian-Ju-cu maka diapun tak kena apa2.

Melihat pemuda itu tak kurang suatu apa, diam2 ketua Hoa-goat-bun terkejut tetapi ia masih bersikap tenang.

"Sahabat, engkau memang hebat. Adalah kami yang kurang cermat. Karena melakukan permintaan Ban Yak Ih, sebetulnya engkau tentu sudah menyiapkan penolak racun."

"Asal engkau sudah tahulah."

Ketua Hoa-goat-bun itupun berdiri, berjalan dua langkah dan berseru:

"Sahabat, harap menyebut dirimu dulu, maukah ?" "Ah, tak perlu."

"Tidak ! Dapat membunuh ketua Hoa-goat-bun dan sebelumnya memberitahuku dulu, tentu bukan tokoh sembarangan." "Salah ! Aku tak lain hanya seorang kerucuk tak ternama dalam dunia persilatan."

Ketua Hoa-goat-bun terkesiap, tertawa. "Bagaimana engkau hendak turun tangan ?" "Saat ini ditempat ini juga !"

"Waktunya sudah keliwat lama mengapa tak lekas turun tangan ?"

Cu Jiang tertawa dingin. Ia meletakkan buntalannya keatas kursi lalu pelahan-lahan membukanya. Ketua Hoa- goat-bun dan Soh-hun-li heran melihat tingkah laku  pemuda itu.

Setelah lipatan buntalan kain itu dibuka maka tampaklah sebuah kerangka pedang yang bertebar mutiara. Suasana saat itu segera berobah tegang penuh dengan hawa pembunuhan.

Tiba2 Cu Jiang tertegun. Kalau dia mencabut pedang itu, jelas dirinya akan ketahuan. Maka dia harus berhasil untuk membasmi semua gerombolan Hoa-goat-bun. Tak boleh ada seorangpun yang di biarkan hidup.

Dengan tangan kiri memegang kerangka dan tangan kanan memegang tangkai pedang, pelahan-lahan dia berdiri dan berhadapan dengan Tiam Sa Nio.

Tiba2 Soh-bun-li melengking lain secepat kilat menerjang Cu Jiang. Dia mendahului menyerang untuk mengetahui sampai dimana kesaktian anak-muda itu.

Tampak pedang berkilat, terdengar erang pelahan disusul dengan tubuh Soh-hun-li yang rubuh berlumuran darah.

Karena menjaga jangan sampai membuat suara sehingga mengejutkan lain tetamu, maka Cu Jiang bergerak cepat sekali. Yang diarah bagian tenggorokan sehingga Soh hun li tak sempat menjerit lagi.

Tampak wajah ketua Hoa goat bun pucat dan mulutnya segera memekik kaget:

"Toan kim jan jin!"

"Bagus, engkau tentu dapat mati dengan mata meram . ."

Tiba2 tubuh ketua Hoa goat bun bergeliat dan terdengarlah letupan keras disusul dengan gulungan asap yang menebar menggelapkan pandang mata.

"Celaka!" diam2 Cu Jiang mengeluh. Setelah menentukan arah tempat lawan, dia terus menabas tetapi ternyata tempat kosong.

Karena ruang itu tak berapa besar maka kepulan asappun segera memenuhi seluruh ruang sehingga gelap sekali. Cu Jiang terpaksa loncat keluar. Beberapa saat setelah asap menipis, ternyata dalam ruang itu sudah kosong. Tiam Su Nio sudah lolos dari jendela.

Marah Cu Jiang bukan kepalang. Dirinya sudah diketahui tetapi dia tetap belum dapat membasmi wanita itu. Tidakkah hal itu akan menambah kesulitan lagi baginya?

Diam2 dia menyesal mengapa membuang waktu bicara begitu lama. Kalau dia terus turun tangan secepatnya, tentulah wanita itu tak dapat lolos.

Berpaling ke belakang dilihatnya kelima anak buah Tiam Su Nio yang masih tak dapat berkutik.

Mereka banyak melakukan kejahatan, lebih baik dilenyapkan. Dia segera menutuk jalan darah kematian mereka. Untuk mengejar wanita itu tentu sukar dan makan waktu lama. Tiam Su Nio tak mengerti bahwa dia menginap disitu juga dan peristiwa tadi ternyata tak mengejutkan lain tetamu. Maka diapun segera kembali ke kamarnya lagi. Tanpa menyalakan lampu dia terus menutup pintu dan tidur.

Ketika bangun matahari sudah bersinar, ia  tak mendengar suara apa dari sebelah kamar mereka. Dengan begitu peristiwa semalam tentu belum didengar orang lain.

Ketika turun dari pembaringan, hampir dia menjerit. Ketua partai Hoa-goat-but ternyata muncul di atas meja. Waktu dia merentang mata memandangnya ternyata yang berada di meja itu adalah batang kepala Tiam Su Nio.

Cu Jiang cepat menghampiri dan memeriksa kepala manusia itu. Siapakah yang membunuh ketua Hoa-goat- bun. Dan mengapa dikirim kedalam kamarnya? Adakah Ki Siau Hong yang melakukan? Ah, tak mungkin. Gong-gong- cu telah memberi pesan, melarang keempat pengawal itu untuk turun tangan. Lalu siapa?

Mengapa orang itu tahu tentang dirinya lalu membunuh Tiam Su Nio dan mengirim kepalanya kedalam ruang kamarnya.

Sepasang mata wanita itu masih terbelalak dan wajahnya pucat tetapi masih tampak seperti orang hidup.

Tiba2 ia melihat secarik kertas di meja itu Buru2 diambinya. Tulisannya indah dan lemas, tentu tulisan seorang wanita. Bunyinya:

"Tak sengaja bertemu disini. Tahu bahwa anda menghendaki jiwa wanita beracun ini. Maka dengan ini kupersembahkan kepalanya sebagai balas budi anda dahulu kepadaku.

Yin-yin.” Yin-yin ? Siapakah Yin-yin itu ? Dia coba berusaha untuk menggali ingatannya. Ya, ia agaknya kenal dengan nama itu Tang Yin-yin, oh .... dia adalah anak murid dari Bu-san-sin-li itu!

Ya, benar dia telah menolong wanita itu minggat dari cengkeraman Bu-san sin-li.

Ah, sungguh kebetulan sekali peristiwa ini. Tetapi diam2 diapun berdebar. Kiranya dirinya telah diketahui orang. Padahal dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengadakan gerakan apa2 dan menyembunyikan diri.

Kemudian diapun berterima kasih atas bantuan Yin-yin. Dengan terbunuhnya Tiam Su Nio, tentulah dapat dicegah akibat lebih luas dari tindakan Tiam Sunio untuk menyiarkan tentang diri Toan-kiam-Jan Jin.

Tiba2 terdengar langkah kaki orang mendatangi  dan pada lain saat terdengar pintunya diketuk: "Tuan hendak pesan makanan apa?"

"Sejam lagi kirimkan hidangan dan arak. Dobel porsi sekali." kata Cu Jiang.

"Baik."

"Dan juga carikan beberapa helai kertas minyak, beberapa utas tali kecil. Masukkan dalam rekening."

"Baik, tuan."

Setelah pelayan itu pergi, Cu Jiang lalu menaruhkan kepala orang itu diatas ranjang kemudian membersihkan meja. Pada saat itu pelayanpun datang dengan membawa kertas dan tali.

Setelah pelayan pergi, Cu Jiang lalu membungkus kepala Tiam Su Nio itu dengan kertas minyak dan diikat dengan tali lalu dibungkus lagi dengan buntalan kain. Dengan begitu tentu takkan menimbulkan kecurigaan orang.

"Pembunuhan !" tiba2 dari gedung sebelah terdengar orang berteriak dan tak lama ramailah orang mengerumuni.

Cu Jiang tenang2 saja berada dalam kamar. Dia tak mau ikut menonton karena kuatir akan ketahuan dirinya.

Sampai siang masih ramai orang mendatangi rumah penginapan itu. Diantaranya terdapat pembesar daerah yang memeriksa.

Siang itu Song Pek Liang datang membawa berita bahwa di belakang biara Kang sim-bio, didekat tepi sungai telah didirikan sebuah panggung.

Tetapi tak diketahui siapa yang memerintahkan. Pekerja2 yang membangun panggung itu hanya memberi keterangan bahwa mereka menerima pesanan dari seorang lelaki yang tak dikenal.

Dengan tak sabar Cu Jiang menunggu siang berganti malam. Setelah malam baru dia menuju ke tempat itu. Dia telah mempergunakan dandanan sebagai seorang saudagar. Pedang kutung dibawanya sedangkan kepala Tiam-su-nio disimpan dalam kamar dan dikuncinya.

Sepanjang jalan banyak sekali rombongan2 orang persilatan yang berbondong-bondong menuju tempat itu.

Toan-kiam jan-jin menantang ketua Gedung Hitam memang merupakan berita yang paling menggemparkan dalam tahun ini.

Tampak ditempat itu dibangun sebuah panggung setinggi satu tombak, luas dua tombak lebih. Dimuka dan kanan kiri panggung itu dipagari dengan pagar bambu diberi jalan seluas tiga tombak. Orang yang melihat hanya dapat dari luar pagar bambu.

Cu Jiang menyusup diantara penonton. Tak lama Ki  Siau Hong, Song Pek Liang dan Ko Kun bermunculan. Mereka memberi salam melalui kicupan mata.

Dikanan kiri panggung dipasang dua buah obor besar sehingga suasana panggung terang benderang. Di bawah panggung orang penuh sesak seperti melihat pasar malam.

Tetapi sampai lama sekali belum juga tampak acara dimulai, bahkan seorangpun tak muncul diatas panggung. Lama menunggu penonton tak sabar dan mereka bersungut- sungut berisik sekali.

Cu Jiangpun juga gelisah. Kalau kedua orang itu benar2 tak muncul dan hanya suatu siasat, tentulah Ki Siau Hong dan kawan- kawannya makin mencurigai dirinya.

Sampai menjelang tengah malam masih tetap panggung itu kosong melompong, Song Pek Liang menghampiri ke sisi Cu Jiang dan berkata seorang diri:

"Ah, rasanya Toan-kiam jan-Jin malam ini tak berani unjuk muka."

Apa maksud kata2 itu, Cu Jiang sudah  dapat menangkap. Sekonyong-konyong sesosok bayangan manusia melayang ke udara dan melayang turun keatas panggung dengan gerakan yang indah sekali.

Hiruk pikuk para penonton lenyap seketika. Kini mereka mencurah pandang pada pendatang itu.

Cu Jiang terkejut juga. Tetapi ketika ia memandang ke arah panggung ternyata yang muncul itu seorang lelaki muda berumur 30-an tahun, mengenakan pakaian berkabung dan membawa pedang.

Wajah memberingas dan membungkuk tubuh memberi hormat kearah penonton, serunya.

"Aku yang rendah, Ong Cu Bo dari gunung Hong san, sengaja naik ke panggung untuk menantang Toan kiam Jan- Jin!"

Terdengar suara hiruk di bawah panggung. Bahwa ketua Hong-san-pay dibunuh dan puterinya dinodai kehormatannya telah diketahui seluruh dunia persilatan. Maka munculnya Ong Cu Bo tidaklah mengherankan mereka.

Perasaan Cu Jiang benar2 sakit sekali. Orang telah memalsu dirinya dan telah membunuhi beberapa tokoh persilatan yang terkenal. Dengan demikian kaum persilatan tentu membenci kepada Toan-kiam jan jin.

Sedangkan Song Pek Liang hanya tertawa dingin sehingga hati Cu Jiang makin tertusuk.

"Toan-kiam jan-jin, hayo keluarlah! Apa engkau takut mati ! Binatang, mengapa engkau menyembunyikan diri seperti kura-kura "

Geraham Cu Jiang bergemerutuk keras tetapi apa daya? Dia memutuskan, jika tak mampu membekuk orang yang memalsu dirinya itu, untuk selama-lamanya dia tak mau memakai nama Toan-kiam jan-jin lagi. Tetapi bagaimana ia harus menjelaskan kepada Ki Siau Hong bertiga?

Sekonyong-konyong sesosok bayangan mendesak kesamping Cu Jiang bahkan membenturnya lalu berkata : "Bagaimana ini ?" Cu Jiang berpaling. Ternyata disampingnya seorang tua bertubuh pendek dengan sepasang mata yang berkilat-kilat tajam. Siapa lagi kalau bukan si orang aneh Lam kek-soh sahabat kental dari guru Cu Jiang, Gong gong-cu.

Cu Jiang tertawa meringis dan gelengkan kepala: "Tunggu sampai Toan-kiam-jan-Jin muncul di atas

panggung !"

Lam kek-soh mendengus tak berkata apa2. Kembali sesosok tubuh melesat keatas panggung.

"Itu dia!" teriak sekalian orang.

"Hai. bukan dia !" sesaat kemudian seorang lain berseru terkejut.

Ong Cu Bo yang sudah lintangkan pedang tiba2 pun julaikan pedangnya ke bawah lagi.

Yang naik ke panggung itu seorang tua berambut merah, gagah perkasa dengan memegang sebatang tongkat theng- ciang (rotan). Dia memandang kearah sekalian penonton lalu berseru dengan dingin:

"Toan-kiam jan-jin, hendak kucincang tubuhmu. Kini engkau tak berani keluar, terang engkau memang kutu busuk !"

"Cianpwe, siapakah dia ?" tanya Cu Jiang kepada Lam ki-soh.

"Belum pernah melihatnya," Lam-ki-soh gelengkan kepala.

Ong Cu Bo pun memandang orang tua gagah itu dengan tercengang. Tetapi orang tua gagah itu tertawa mengekeh dan berkata seorang diri: "Toan - kiam jan jin mengandalkan ilmu pedangnya untuk berbuat sekehendak hatinya. Sekarang hendak kucincang tubuhnya, kubeset kulitnya. Ternyata malam ini kedua belah pihak sama2 tak muncul. Rupanya ketua Gedung Hitam itu juga bangsa kura2 tua!"

Sudah tentu ucapan itu menimbulkan gelak  tawa sekalian penonton. Sementara Cu Jiang masih belum habis herannya, siapakah gerangan orang tua yang berani menantang Toan-kiam-jan-jin itu? Bahkan berani juga memaki ketua Gedung Hitam sebagai bangsa kura2. Siapakah dia?

Tiba2 melayang pula sesosok bayangan ke belakang kedua orang itu. Tiada seorangpun yang tahu kapan dan bagaimana dia berada di panggung. Seolah-olah dia memang sudah berada disitu.

"Toan kiam jan jin! " terdengar sorak gegap gempita dari sekalian penonton.

Seketika gemetarlah Cu Jiang. Benar, memang yang muncul di atas panggung itu adalah orang yang mirip dirinya waktu masih menjadi Toan kiam jan jin.

Mengenakan baju sasterawan warna biru dan kerudung kepala serta muka warna biru juga. pinggangnya tergantung sebuah kerangka pedang, tangkai pedang berhias mutiara.

Song Pek Liang dan Lam ki soh berpaling ke arah Cu Jiang dan memandangnya dengan heran.

Cu Jiang memandang lekat2 ke panggung. Rupanya Ong Cu Bo dan lelaki tua gagah itu merasa lalu serempak berputar tubuh. Begitu melihat Toan-kiam-jan-jin sudah hadir di situ, mereka berteriak kaget dan bersiap-siap.

Dengan wajah mengerut dendam kemarahan Ong Cu Bo segera menegur: "Apakah anda ini Toan-kiam-jan-jin?" "Benar, siapa engkau?"

"Putera dari ketua Heng san pay, Ong Cu Bo!" "Mau apa engkau?"

"Menagih hutang darah kepada anda."

Cu jiang sudah mulai mengisar langkah tetapi Lam  ki soh cepat membentaknya:

"Peristiwa aneh sekali, jangan sembarangan bergerak!" Cu Jiang terpaksa menurut.

Dengan langkah tertatih tatih pincang, Toan kiam jan jin menghampiri dan berseru:

"Lawanku malam ini adalah ketua Gedung Hitam. Yang lain lainnya tidak sepadan!"

"Cabut pedangmu!" teriak Ong Cu Bo.

"Engkau hendak menjadi orang pertama yang berlumur darah?" seru Toan kiam jan jin.

"Cabut pedangmu!"

"Engkau tak berharga menghadapi aku!"

"Aku hendak mencincang tubuhmu!" Ong Cu Bo terus menyerang.

Sekali bergerak, sudah dapat diketahui seorang jago itu sungguh berisi atau kosong. ilmu pedang dari Jago muda Heng-san-pay itu memang hebat sekali. Juga tenaga dalamnya amat tinggi.

Apalagi dia menyerang dengan penuh dendam kesumat, sudah tentu gerakannya maut sekali. "Huakkkk..." terdengar Jeritan ngeri dan tubuh Ong Cu Bopun terhuyung-huyung dua kali lalu rubuh. Sekalian penonton terlongong menyaksikan permainan ilmu pedang Toan-kiam jan- Jin.

Kecuali Cu Jiang seorang, tak ada lain orang lagi yang dapat melihat bagaimana cara Toan-kiam-Jan jin bergerak tadi.

Diam2 Cu Jiang menyesal. Kalau dia muncul ke atas panggung tentulah dia dapat menyelamatkan jiwa putera dari ketua Heng-san-pay itu.

Kemudian Toan-kiam Jan-jin menghadap lelaki gagah berambut merah, serunya.

"Apa kata anda ?"

Wajah lelaki tua berambut merah itu pucat dan belum beberapa lama tak kedengaran dia membuka suara. Tahu2 dia terus melayang turun ke bawah panggung.

Kini diatas panggung hanya tinggal Toan-kiam Jan-Jin seorang. Suasana penuh diliputi ketegangan yang menyeramkan.

Beratus-ratus jago2 silat yang berkumpul di bawah panggung, tak seorangpun tahu bagaimana gerak pedang Toan-kiam-jan-jin, apa nama jurus ilmu pedang itu, hanya pernah mendengar namanya tetapi belum pernah melihat kenyataannya. Kini apa yang  mereka saksikan, benar2 membuat mereka kesima.

Tetapi dibalik rasa kagum, terpencarlah rasa ngeri dalam hati setiap orang. Karena dengan munculnya seorang tokoh semacam itu, Jelas dunia persilatan akau menjalani hari kiamat. Sementara saat itu Toan kiam jan-jinpun menyimpan pedangnya dan dengan suara tandas berseru:

"Apakah ketua Gedung Hitam benar2 tak mau keluar menyambut tantanganku ?"

Sejak berpuluh tahun tak pernah terdapat manusia yang berani menantang ketua Gedung Hitam, apalagi menantang secara terang-terangan di depan umum.

Setiap jago silat yang berada di tempat itu sangat ingin sekali melihat ketua Gedung Hitam muncul. Mereka ingin tahu bagaimana wujud ketua Gedung Hitam, tokoh yang selama ini merupakan tokoh misterius dalam dunia persilatan.

Sekalian orang menahan napas. Apakah ketua Gedung Hitam berani keluar ? Jelas bahwa tokoh misterius itu tentu sudah berada diantara orang2 yang hadir ditempat itu.

Siapakah sesungguhnya yang lebih Sakti, ketua Gedung Hitam atau Toan-kiam-jan-Jin ?

Malam makin larut. Toan-kiam-jan-Jin masih berdiri tegak diatas panggung, bagaikan seorang malaikat pencabut nyawa. Sayang tak tampak bagaimana wajah yang sebenarnya dibalik kain kerudung yang menutupi mukanya itu.

Sekonyong-konyong dari samping panggung sesosok bayangan melayang keatas panggung. Ternyata seorang tua kurus berjubah hitam. Tangannya membawa sebuah buntalan kain.

Begitu berada dipanggung terus melontarkan  buntalan itu kelantai panggung lalu berdiri dengan mendekap kedua tangan. “Ketua Gedung Hitamkah itu ?" Pikir Cu Jiang. Tetapi ia melihat perawakannya tidak mirip.

Toan-kiam-jan-Jin berputar tubuh dan menghadap orang tua itu menegur dingin:

"Siapakah anda ?"

Walaupun bertubuh kurus tetapi nada suara orang tua itu amat besar dan nyaring.

"Aku pemimpin pengawal pribadi dari ketua Gedung Hitam. Namaku Ki Gai Kah."

Toan-kiam-Jan-Jin tertawa dingin. "Ki Gai Kah, bukankah engkau ini Thian lan pohcu ? Mengapa engkau menjadi anjing penjaga ketua Gedung Hitam?" serunya.

"Peliharalah lidahmu yang baik," Ki Gai Kah mendengus dingin.

"Orang she Ki, perlu apa engkau naik ke panggung.?" "Mewakili pohcu !"

"Yang kutantang bertempur adalah pohcu sendiri." "Pohcu kami akan muncul nanti."

"Kalau begitu perlu apa engkau keluar ?" "Untuk mengadakan pemeriksaan." "Apa ?"

"Memeriksa diri anda yang sebenarnya."

Ucapan itu telah menimbulkan berbagai bisik-bisik dikalangan penonton, Cu Jiang tahu bahwa sebentar lagi bakal terjadi pertunjukan yang menarik.

Mata Toan-kiam-Jan-jin berkilat-kilat memancarkan hawa pembunuhan dan dengan suara gemetar berseru: "Ki Gai Kah, apa maksud omonganmu?"

"Pohcu kami sangsi, apakah anda ini benar Toan-kiam- jan jin yang aseli."

"Ha, ha, ha, apakah perlu harus memalsu diri ?"

"Berhati-hati terhadap orang, memang yang paling baik. Dalam pertemuan besar ini, banyak sekali hal2 yang harus dicurigai."

"Bagaimana kalau engkau menyambuti barang sejurus saja dari pukulan untuk membuktikan palsu atau tidaknya diriku?"

"Tunggu, kita harus bicara yang jelas . . ." "Katakan !"

"Menurut penilaian pohcu kami terhadap perangai Toan- kiam-Jan-jin, ada beberapa hal yang perlu ditanyakan."

"Tanyakanlah !"

"Pertama. Toan-kiam-Jan-jin itu seorang manusia yang suka menyendiri dan angkuh. Tak mungkin mau menantang bertempur diatas panggung terbuka seperti ini. Kedua, sinar mata anda kurang pancaran dendam dan keganasan. Ketiga, perawakan anda juga kurang tinggi sedikit, begitu pula suara anda. Keempat, cara anda mencabut pada pedang tidak sama seperti dulu. Dan  kelima, dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi pada akhir2 ini, jelas Toan-kiam-jan-Jin tak bersangkut ..,."

"Masih ada lagi?! "Rasanya sudah cukup."

Cu Jiang diam2 terkejut. Ia tak mengira ketua Gedung Hitam ternyata memiliki pengetahuan yang cermat terhadap dirinya. Juga sekalian penonton terdengar hiruk pikuk.

Seluruh mata penonton tertumpu pada diri orang yang diduga sebagai Toan-kiam jan Jin palsu itu.

Toan-kiam jan jin yang berada diatas panggung  terdengar mendengus geram.

“Si Gui Kah, aku tak sudi melayani ocehanmu. Yang akan kubunuh yaitu ketua Gedung Hitam. Kalau engkau mau menjual jiwa antiknya, lekas copot nyawamu dan letakkan dipanggung ini!" serunya.

"Nanti dulu." Si Gui Kah memberi isyarat  tangan, "masih ada yang hendak kukatakan."

Tetapi Toan-kiam jan jin sudah mencabut pedang kutungnya dan membentak:

"Jangan banyak mulut, lekas engkau bunuh dirimu . . ." "Apakah  anda  tak ingin melihat dua barang yang berada

dalam  bungkusan  ini."  kata Si  Gui  Kah  seraya menunjuk

pada buntalan yang berada di tengah panggung.

Toan-kiam-jan-jin tampak tertegun. "Apa sih barang itu?" serunya.

"Anda mau melihat?" "Jangan coba main-main . ." "Bukti apa?"

"Bukti dari dirimu."

Sekalian orang yang berada disekeliling gelanggang yang semua dicengkam rasa tegang saat itu berobah heran.

Rupanya Toan-kiam jan-jin juga terkejut. Ia memandang kearah buntelan kain itu. serunya: "Si Gui Kah, engkau hendak coba2 membuka rahasia diriku?"

"Tak perlu aku yang mengatakan, buntalan itu sudah berbicara sendiri."

"Apakah sebenarnya buntalan itu?" "Kepala manusia !"

"Apa? Kepala orang?"

"Benar, memang sebutir kepala orang ?" "Batang kepala siapa ?"

"Batang kepala dari hu-hwat perkumpulan Thong thian- kau cabang kota Siang-yang, yaitu yang bergelar Ang mo- kim-kong!"

Toan kiam-Jan jin terkejut. Tiba2 dia menyahut.

"Hal itu tiada sangkut pautnya dengan diriku ? Dengarkan, kalau malam ini ketua Gedung Hitam tak berani keluar, dalam beberapa hari dia harus membubarkan Gedung Hitam dan seluruh anak buahnya. Sejak itu nama Gedung Hitam hapus dari dunia persilatan! "

Si Gui Kah tertawa gelak2.

"Dengan begitu dalam dunia persilatan hanya ada Thong-thian-kau, bukan?"

Mendengar itu tiba2 Cu Jiang seperti tersadar.

"Hai, kutahu kiranya urusannya begitu." Song Pek Liang yang berada di sampingnya, berkata seorang diri.

Cu Jiang berpaling dan mengangguk.

Sebelum Toan-kiam jan jin sampai menyatakan sesuatu, sekonyong-konyong Si Gui Kah sudah loncat turun dari panggung dan lenyap dibalik kerumunan orang. Toan-kiam jan-jin gemetar karena marah.

"Ketua Gedung Hitam, aku hendak membunuhmu. Di hadapan jago2 dari segenap pelosok dunia persilatan, beranikah engkau naik ke panggung?"

Saat itu hati Cu Jiang sudah tenang. Dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi.

Tiba2 diantara kerumun penonton, terdengar seseorang berseru nyaring.

"Toan kiam jan jin, bukalah buntalan itu!"

Entah karena ingin tahu, entah karena marah dipermainkan orang, Toan kiam jan jin  memang terus mengambil buntalan itu dan membukanya.

"Astaga...!"

Terdengar pekik teriak terkejut dari sekalian penonton. Ternyata isi buntalan itu memang sebutir kepala orang. Kepala dari lelaki tua berambut merah yang barusan naik ke panggung lalu terbirit-birit melarikan diri itu!

Karena memakai kain cadar yang menutup mukanya maka tak dapat diketahui bagaimana perubahan wajah Toan kiam jan jin saat itu. Tetapi dari sorot matanya yang memancarkan cahaya berkilat, jelas dia tentu juga kaget.

Tetapi hanya sebentar dan sorot mata kaget itu segera berganti dengan pancaran sinar pembunuhan yang buas

Karena gemas, dia lalu membanting kepala orang itu ke lantai panggung, bum ....

Terdengar ledakan keras dan disusul asap yang bergulung-gulung dan suara orang menjerit ngeri. Seluruh penonton terkejut dan panik. Mereka tak menduga bahwa kepala manusia itu ternyata berisi bahan peledak. Sebelum orang2 tenang kembali dan asap reda, beberapa sosok bayangan telah berhamburan loncat ke atas panggung. Terdengar beberapa ledakan keras lagi.

Asap hitam membumbung tinggi, keping2 kayu meledak bertebaran dan sekalian penontonpun kacau balau. Mereka berdesak-desak menyingkir ke empat penjuru. Pekik dan erang memenuhi tempat itu.

"Mari kita pergi," Lam-kek soh menggapai kearah Cu Jiang, "tak ada apa apanya lagi disini."

Cu Jiang meragu, ia menyatakan hendak mencari ketua Gedung Hitam.

"Kalau dia berada disini, lawan tentu sudah mencarinya," kata Lam-kek soh.

Untuk menghindarkan kecurigaan orang, Cu Jiang pulang seorang diri. Saat itu sudah tengah malam. Begitu masuk ke kamar, Ki Siau Hongpun sudah mengikuti juga.

Dengan penuh rasa sesal pengawal dari Tayli itu segera menghaturkan maaf.

"Atas nama kawan bertiga, aku menghaturkan maaf atas segala kesalahan terhadap ciangkun." katanya.

"Ah, itu hanya salah faham tak dapat  menyalahkan kamu bertiga, duduklah."

Tanpa memasang lampu, keduanya duduk bercakap- cakap.

"Apakah ciangkun sudah dapat menduga peristiwa itu?" "Ya, siasat dari Thong thian kau."

"Benar. Tahukah ciangkun siapa yang menyaru jadi Toan kiam jan jin itu?"

"Siapa?" Cu Jiang balas bertanya. "Kiu-kio Thian-mo, jago nomor lima dari kawanan Sip pat thian mo. Dia cerdik dan cermat sekali. Jika orang mempunyai tujuh lubang dia memiliki sembilan lubang. Itulah sebabnya dia bergelar kiu-kio atau sembilan lubang

..."

"Oh !"

"Dia adalah kepala dari Thong-thian-kau cabang Siang yang."

"Bagaimana saudara Ki begitu jelas?"

"Sedang lelaki tua berambut merah adalah hu-hwat dari cabang Thian long kau itu. Setelah turun dari panggung dia terus dibekuk orang Gedung Hitam, dipaksa supaya mengaku dan diapun segera menerangkan semua yang telah terjadi .."

"Bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu?"

0dw0

Ki Siau Hong mengisar kursinya ke dekat jendela untuk menjaga apabila ada orang yang mencuri dengar.

"Tujuan Thian thong kau untuk menggunakan siasat itu tidak lain untuk memancing ketua Gedung Hitam dan ciangkun supaya tampil keluar. Karena ciangkun dianggap sebagai musuh mereka yang utama sedang Gedung Hitam merupakan saingan mereka dalam rencana mereka untuk menguasai dunia persilatan."

"Apakah rencana mereka semula menghendaki supaya aku dan ketua Gedung Hitam keluar ke atas panggung?"

"Benar. Mereka sudah mempersiapkan obat peledak di bawah panggung. Asal ciangkun naik ke panggung, mereka segera akan meledakkan panggung " "Ah."

"Karena tak tampak seseorang naik panggung maka mereka lalu memutuskan untuk menampilkan diri sebagai Toan-kiam jan-jin. Agar ketua Gedung Hitam mau keluar. Tetapi ternyata ketua Gedung Hitam memang cerdik dan licin.

Sebelumnya dia sudah menyebar anak buahnya di sekeliling tempat itu untuk mengikuti perkembangan keadaan. Begitu lelaki berambut merah itu loncat turun dari panggung, mereka terus menangkapnya.

Kepala lelaki berambut merah itu dipotong, dibuntal dengan kain, disebelah dalam dari kepala itu diisi dengan bahan peledak lalu diletakkan di panggung.

"Siasat itu sungguh ganas sekali!" seru Cu Jiang.

"Dan rencana kedua. anak buah Gedung Hitam itu telah mendahului untuk menguasai barisan pendam anak buah Thian thong-kau, lalu menyulut api."

"Jika begitu toh telah Kiu-kio Thian-mo sudah mati?" "Tentu. Dia tentu sudah hancur berkeping-keping

bersama beberapa anak buahnya."

Menggigil hati Cu Jiang mendengar penuturan itu. Diam2 ia merasa ngeri membayangkan jika tadi dia tak dapat menguasai diri dan terus loncat keatas panggung, tentulah saat itu dia sudah menjadi mayat yang hangus.

Dari pengalaman itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa hubungan antara Thong-thian-kau dengan Gedung Hitam sudah gawat sekali.

"Apakah saat itu ketua Gedung Hitam berada disitu? tanyanya.

"Jika ada, tentu dia menyamar sehingga sukar dikenali." "Lalu bagaimana akibat dari peristiwa itu?" "Hubungan kedua pihak bagaikan air dan api" "Apakah kalian bertiga tetap hendak pulang ke Tayli?"

"Tidak ! Karena salah faham sudah beres, hamba bertiga tetap akan melakukan titah Kok-su untuk membantu ciangkun. Sungguh beruntung kami mendapat bantuan dari Lam kek-soh..."

"Apa yang terjadi dengan dia ?"

"Adalah karena memandang muka Kok-su maka dia mau membantu kita."

"Lalu bagaimana dengan Ong Kian?"

"Mayatnya telah kami bakar, abunya kelak akan kami bawa pulang dan dikubur dengan upacara yang layak."

Cu Jiang mengangguk.

"Lalu bagaimana langkah engkau selanjutnya ?" tanya Ki Siau Hong.

"Saat ini aku hendak menuju ke gunung Tay-pa-san untuk menemui seorang sakti yang aneh."

"Siapa ?"

"Ih Se lojin." "Untuk apa ?"

"Meminta petunjuk kepadanya tentang ilmu yang dapat untuk menghancurkan Gedung Hitam."

"Oh..."

"Sebelum kemudian aku akan kembali kekota Huyang dan akan bertemu dengan Ang Nio Cu dirumah penginapan Naga Hijau." "Apakah ciangkun masih ada pesan lagi ?" "Tidak."

"Jika begitu hamba hendak mohon diri." "Silakan,"

Ki Siau Hung berbangkit, dengan hati2 ia membuka jendela lalu loncat keluar dan lenyap dalam kegelapan.

Cu Jiang teringat akan batang kepala dari Ciam Su Nio yang masih disembunyikan dibawah ranjang. Pikirnya. Jika wanita itu muncul di situ, tentulah Bu lim-seng hud Sebun Ong juga akan datang.

Mengapa dia tak mau menggunakan batang kepala itu untuk memikat agar Sebun Ong mau unjuk diri ?

"Hem." serunya dalam hati, "aku harus membalaskan sakit hati toa-suheng."

Dia tak jadi tidur. Setelah mengemasi barangnya dan meninggalkan sekeping perak diatas meja, dia lalu menjinjing bungkusan kepala orang itu dan terus loncat keluar.

Saat itu kota sunyi senyap. Kecuali kentongan ronda, seluruh penjuru tak terdengar suara apa2 lagi.

Ia memilih sebuah tiang lentera penerangan jalan lalu memancang kepala orang itu diatas tiang. Setelah itu dia bersembunyi ditempat gelap.

Malam cepat sekali berlalu. Menjelang terang tanah, di jalan mulai muncul orang2 yang gempar melihat kepala orang diatas tiang lampu jalan.

Cu Jiang juga keluar dan berjalan mondar-mandir. Kini makin lama makin banyak orang berkerumun untuk menyaksikan peristiwa itu. Mula2 mereka hiruk pikuk menduga-duga siapa kepala dari wanita secantik itu.

Bagi kaum persilatan, peristiwa itu tidak mengherankan tetapi bagi kaum awam, sudah tentu mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang menggemparkan.

Sekonyong-konyong sesosok tubuh melayang ke udara, melampaui tiang lampu dan pada lain kejap orang itupun sudah lenyap. Cepat sekali gerakannya sehingga orang2 tak sempat untuk berteriak.

Saat itu Cu Jiang berada pada jarak lima enam tombak dari tiang lentera tetapi dia juga tak mampu melihat siapa bayangan orang itu. Cepat ia melesat, loncat ke atas wuwungan rumah dan mengejar.

Lari orang itu memang cepat sekali. Dalam beberapa kejap dia sudah melampaui tembok kota, Cu Jiangpun segera tancap gas, mengejar keluar kota.

Diluar kota, orang makin banyak. Ada yang mau masuk kota dan ada yang keluar dari kota. Cu Jiang gemas sekali. Dia mengingat ingat perawakan, pakaian dan gerak-gerik orang itu. Kemudian dia berhenti di tepi jalan sambil memperhatikan setiap pejalan yang lewat.

Sampai setengah jam menunggu, ia merasa kecewa. Dia tak melihat seorang yang menimbulkan kecurigaan. Akhirnya ia memutuskan, lebih baik tak melanjutkan pengejaran yang sia-sia itu.

Teringat akan waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu, ia harus lekas2 menuju ke Tay pay san. Soal jalanan, ia sih kenal. Tetapi ia tak tahu berapa lama ia dapat kembali dari gunung itu. Ia bergegas mencari tempat yang sepi untuk berganti pakaian, menyamar sebagai seorang pemuda desa. Dengan begitu, dia tentu tak banyak menimbulkan perhatian orang.

Setelah melintasi sungai Han cui, dia lalu mengarahkan perjalanan ke timur laut. Dalam beberapa waktu dia sudah mencapai seratusan li. Menjelang tengah hari, tiba disebuah kota kecil.

Setelah berhenti makan dan membeli bekal rangsum kering, ia melanjutkan perjalanan lagi. Petang hari dia bermalam ditempat seorang penduduk desa. Keesokan harinya dia berangkat dan sorenya dia sudah berada didaerah gunung Tay-hong-san.

Dia hanya menentukan arah tetapi tak mau mengambil jalan di gunung. Dengan begitu memang dia banyak menghemat waktu. Tetapi untuk memotong jalan naik bukit turun lembah, jika tidak memiliki kepandaian silat yang tinggi, tentu sukar.

Pada saat bintang2 muncul di angkasa, dia mendaki sebuah puncak, mencari tempat yang bersih dan duduk menikmati bekal makanannya.

Puncak gunung yang jauh disebelah muka, menggunduk hitam seperti raksasa. Kukuk burung hantu dan lolong serigala, menimbulkan suasana seram.

Tetapi Cu Jiang seorang pemuda yang bernyali  besar. Dia tak gentar. Beberapa saat kemudian terdengar letupan2 keras macam petir. Datangnya dari puncak jauh disebelah muka.

Dia terkejut dan heran. Malam itu bintang  bergemerlapan di angkasa, langit tak mendung tetapi mengapa terdengar suara petir? Tiba2 suara letupan petir itu terdengar lagi. Dia makin heran. dimalam yang terang terdengar petir, sungguh aneh. Lebih aneh lagi ketika ia memperhatikan bahwa walaupun ia dengar suaranya tetapi dia tak melihat pancaran sinar petir.

Pada waktu terdengar bunyi petir yang ketiga  kalinya, Cu Jiang tak dapat menahan keinginan tahunya lagi. Serentak ia lari menuju ketempat itu.

Puncak itu hampir boleh dikata gundul. Hanya ditumbuhi beberapa batang pohon siong saja. Rumput dan semak2 tak ada sama sekali.

Cu Jiang berdiri diatas sebuah batu yang tinggi. Ia memandang kesegenap penjuru tetapi tak melihat barang sesuatu yang menimbulkan keheranan.

"Bu m m m . . . !"

Ledakan keras terdengar, dekat sekali dari tempat Cu Jiang berdiri sehingga pemuda itu melonjak kaget. Menyusur pandang kearah asal suara itu, kejutnya bukan kepalang.

Dibawah dua pohon siong yang saling berhadapan, tampak duduk seorang lelaki dan seorang wanita. Mereka terpisah pada jarak dua tombak. Keduanya saling menjulurkan telapak tangan kemuka.

Jelas mereka sedang melakukan pertempuran mengadu tenaga dalam. Tetapi dengan ilmu apakah yang mereka pancarkan itu sehingga dapat menimbulkan daya tenaga yang sedemikian dahsyatnya?

Siapakah mereka? Mengapa mereka mengadu Ilmu kepandaian pada saat tengah malam buta dan ditempat pegunungan yang sunyi senyap? Ketika memandang dengan seksama, Cu Jiang dapatkan bahwa kedua insan itu sudah sama2 berambut putih. Yang lelaki bertubuh kurus, sepasang matanya cekung kedalam, dahi penuh keriput.

Pada saat Cu Jiang masih melekatkan pandang, tiba2 lelaki tua itu menarik kedua tangannya dan berseru:

"Nenek tua, ada orang yang melanggar larangan!"

Nenek tua itupun menarik pulang tangannya lalu berseru dengan nada dingin: "Seorang lelaki desa."

Cu Jiang terkejut. Kiranya mereka sudah mengetahui kedatangannya. Tetapi apa maksud mereka mengatakan kalau dia melanggar larangan itu?

Kakek tua mendengus.

"Nenek tua, jangan membuang waktu, bereskan lalu kita menyelesaikan urusan yang penting!" serunya.

Nenek itu mengangkat muka memandang Cu Jiang dengan mata berapi-api, serunya.

"Budak kecil, kemari engkau!" Cu Jiang loncat turun dan pelahan-lahan menghampiri. Kira2 terpisah satu tombak dari tempat mereka, dia berhenti.

"Budak kecil, penggallah kepalamu sendiri agar tidak merepotkan aku!" tiba2 nenek tua itu berseru.

Bukan kepalang kejut Cu Jiang.

"Suruh aku bunuh diri sendiri?" serunya. "Mengapa ?" "Engkau berani melanggar larangan!"

"Melanggar larangan? Larangan apa ?"

"Apa engkau tak membuka lebar2 matamu !" Cu Jiang terkesiap lalu mengeliarkan pandang kesekeliling. Saat itu baru dia melihat pada gundukan batu yang terpisah beberapa tombak jauhnya, tertancap sebatang panji berbentuk segi tiga dan berlukiskan sebuah tengkorak putih. Seram tampaknya.

Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita dalam dunia persilatan tentang sepasang iblis besar. Seketika menggigillah hatinya.

"Apakah kalian ini Pek Kut song-sian?" Kakek tua itu tertawa keras.

"Ho, budak, kiranya engkau juga tahu kebesaran nama dari kami berdua suami isteri !"

Cerita dunia persilatan mengenai sepasang suami isteri iblis itu, memang menyeramkan. Mereka gemar membunuh dan setiap membunuh tentu takkan membiarkan mayatnya utuh. Tanda pengenal mereka adalah sebatang panji Tengkorak.

Setiap orang berjumpa dengan panji itu, jangan harap dapat hidup. Tetapi ada keistimewaan Juga. Orang yang melihat panji itu terus melarikan diri, sepasang suami isteri iblis itu tak mau mengejar.

Sudah berpuluh tahun sepasang iblis itu tak muncul dalam dunia persilatan. Kabarnya, mereka sudah dibasmi oleh pendekar dan golongan putih. Tetapi ternyata mereka masih segar bugar dan berada di gunung yang sepi itu.

"Budak kecil, aku tak punya waktu melayani engkau, lekas bereskan dirimu!" teriak nenek Tengkorak.

Cu Jiang menyahut sinis:

"Tetapi aku masih senang hidup, bagaimana?" "Budak, suruh engkau bunuh diri, sudah suatu kemurahan besar bagimu. Kalau sampai aku turun tangan, mayatmu tentu berantakan!"

"Tetapi aku tak minta kemurahan begitu !" Jawab Cu Jiang dengan masih bersikap dingin.

"Hih, malam ini baru yang pertama dalam sepanjang hidupku, ada orang berani bicara begitu kepada  kami berdua suami isteri "

"Akupun juga baru pertama kali ini disuruh orang supaya bunuh diri." sahut Cu Jiang.

"Engkau benar2 tak tahu diri. Kakek tua, bagaimana akan mengurusnya ?"

Kakek Tengkorak bertepuk tangan, serunya: "Ada ! Mengapa tak menjadikan dia benda percobaan diri ilmu pukulan Ngo-lui ciang !"

"O, bagus sekali," sambut nenek Tengkorak dengan  gembira.

Diam2 Cu Jiang menimang. Kiranya saat itu kedua suami isteri iblis sedang melatih Ngo-lui ciang atau pukulan halilintar. itulah sebabnya tadi ia mendengar beberapa letusan seperti petir.

Ilmu pukulan sakti itu sudah lama hilang dari dunia persilatan. Entah dari mana sepasang suami isteri iblis itu dapat menemukan pelajaran ilmu sakti itu.

Diam2 Cu Jiangpun teringat bahwa ada sebuah pukulan dalam kitab Giok-kah-kim-keng yang belum sempat ia gunakan. Ilmu pukulan itu dinamakan Mo-kiat-ciang atau pukulan Angin pusing.

Entah bagaimana kalau ilmu pukulan itu diadu dengan pukulan Ngo-lui-ciang. "Kebetulan sekali," pikir Cu Jiang. "mereka hendak mencoba ilmu pukulan yang sedang dilatih, akupun juga demikian."

Maka dengan tenang2 dia berseru: "Apakah kalian hendak mengadu pukulan dengan aku ?"

Nenek Tengkorak tertawa mengikik. "Benar, pukulan Ngo-lui ciang itu dapat membuat alat pekakas dalam dada orang pecah berantakan tetapi tubuhnya tak kurang suatu apa. Sejak dilatih belum pernah dicobakan pada orang. Budak, sungguh kebetulan sekali engkau datang kemari."

Cu Jiang balas tertawa dingin.

"Oh, itu sungguh kebetulan sekali. Akupun juga berlatih sebuah ilmu pukulan. Lawan yang menerima pukulan itu, apabila dia makin tinggi kepandaiannya, perbawa pukulanku itu akan makin hebat. Sungguh beruntung sekali malam ini aku dapat berjumpa dengan kalian berdua untuk mencoba ilmu baruku itu !"

Sepasang suami isteri iblis itu terkesiap. Mereka tak tahu apakah kata2 pemuda desa itu sesungguhnya  ataukah hanya berolok-olok saja.

Tetapi menilik sikap Cu Jiang yang begitu tenang mereka menduga tentulah pemuda itu memang berisi.

Kakek Tengkorak tertawa mengekeh.

"Nenek, apakah didunia terdapat kebetulan yang begitu aneh ?"

"Kakek, nasib kita berdua sungguh sial," tiba2 nenek Tengkorak berseru.

"Apa maksudmu itu ?"

"Coba engkau ingat2, apakah selama ini terdapat orang yang berani bicara begitu terhadap kita ?" "Rasanya tak ada."

"Tetapi agaknya sekarang ada." "Nenek, apakah budak itu gila?" "Tampaknya tidak."

"Kalau begitu tergolong anak kambing yang baru lahir."

"Bukan, dia tak layak sebagai anak kambing, lebih tepat sebagai anak anjing."

"Ha, ha, setelah mencoba harus membelah dadanya untuk diperiksa, sayang .... aku tak dapat melihat . . ."

"Nenek tua isteriku, akan kuceritakan nanti kepadamu." "Bagus, mari kita mencobanya."

Kedua suami isteri tua itu serempak berdiri. Ternyata tubuh mereka lebih tinggi dari ukuran orang biasa. Belum turun tangan, orang tentu sudah ketakutan setengah mati melihat perwujudan mereka yang menyeramkan.

Cu Jiang segera menghimpun segenap tenaga-dalam ke lengannya. Diam2 Ia merasa gelisah karena belum merasa yakin, mampukah pukulannya nanti menyambut pukulan dari kedua suami isteri iblis itu.

Pek Kong Song sian, merupakan dua momok yang menggetarkan nyali setiap orang persilatan pada masa berpuluh tahun yang lampau.

"Nenek, siap?"

"Ya."

"Eh, budak itu sama sekali tak takut." "Aku tak dapat melihat."

"Hm, memang aneh." "Mulailah!" seru nenek Tengkorak.

"Ya, mari," sahut kakek Tengkorak. Dan kedua suami isteri iblis itu lalu menghantam dari dua arah pada Cu Jiang.

Saat itu Cu Jiangpun serentak menyongsong dengan ilmu pukulan Mo kiat-ciang yang belum pernah digunakan.

Bum . . . bum. . .

Terdengar ledakan sedahsyat gunung rubuh. Batu karang pecah bertebaran, dahan2 pohon siong berhamburan. Sampai mirip gempa yang terjadi di sekeliling tempat itu batu reda.

Sepasang suami isteri iblis itu mundur sampai dua meter dari tempatnya semula.

Tubuh Cu Jiang berguncang-guncang mau rubuh. Darah bergolak keras, matanya berkunang-kunang. Diam2 ia bersyukur dalam hati karena dapat menyambut pukulan Ngo-lui-ciang yang dilepas kedua suami isteri iblis itu.

Menurut penilaian sebenarnya kedua suami isteri Pek Kut song-sian kalah setingkat.

Kejut nenek Tengkorak itu bukan kepalang sehingga matanya mendelik dan mulut melongo.

"Nenek, bagaimanakah ini ?" seru kakek Tengkorak. "Kita kalah."

"Apa? Kalah?"

"Benar."

"Bagaimana mungkin terjadi?"

"Kakek, apakah engkau tak merasakan?" Kelopak mata kakek Tengkorak yang cekung kedalam nampak berkerenyutan beberapa kali. Lama baru dia membuka mulut:

"Ah, tak kira kalau Pak Kut Song-sian hari ini jatuh ditangan seorang anak muda!"

Tiba2 nenek Tengkorak itu deliki mata dengan buas.

Sambil melangkah maju dia membentak. "Budak, beritahukan namamu!"

"Seorang kerucuk, tak pantas menyebut namanya!" sahut Cu Jiang.

"Kecongkakanmu memang boleh sekali." "Ah. jangan memuji."

Nenek itu berpaling kearah suaminya.

"Kakek, jangan melanggar peraturan kita," serunya. "Nenek, jangan melanjutkan latihan Ngo-lui-ciang lagi, "

seru kakek tengkorak. "Kenapa?"

"Karena terhadap seorang budak kecil saja kita tak mampu merubuhkan . . ."

"Kakek, jangan putus asa. Peristiwa ini hanya secara kebetulan saja."

"Lalu bagaimana maksudmu?" "Lenyapkan dia!"

"Oh, terserah kepadamu."

Nenek Tengkorak kebaskan kedua lengan bajunya dan segulung kabut putih segera berhamburan keluar. Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat, berkisar tubuh berganti tempat. Tetapi ruang lingkup kabut itu luas sekali dan cepat sekali bertebaran. Mau tak mau hidung Cu Jiang terhisap bau mayat yang busuk. Diam2 ia terkejut sekali.

"Nenek tua, bagaimana?" seru kakek Tengkorak. "Kakek! Dia ... dia ..."

"Bagaimana?"

"Dia tak takut racun!"

"Tidak mungkin! Dia juga manusia." "Tetapi buktinya dia tak kena apa2."

Kakek tengkorak menggigil dan berseru dengan nada gemetar:

" Apakah dia sudah menguasai ilmu kebal Kimkong put- hoay?"

Wajah yang bengis dari nenek itupun lenyap Seketika berganti dengan kejut ketakutan. "Mungkin saja," serunya gemetar.

"Kuharap kalian berdua jangan suka membunuh orang lagi. Jika tetap melakukan perbuatan begitu, hukum karma tak mungkin kalian hindari lagi." seru Cu Jiang dengan tandas.

"Budak, apakah engkau datang dari luar daerah?" kakek Tengkorak terpaksa bertanya.

"Bagaimana dapat diketahui?"

"Dalam dunia persilatan di Tionggoan tak terdapat  ko Jiu seperti engkau." "Salah !" sahut Cu Jiang "tokoh yang lebih sakti dari diriku banyak sekali di Tionggoan, hanya anda belum pernah bertemu saja."

"Ngaco! Menurut omonganmu, dengan begitu Pak Kong song sian itu tak berharga lagi dalam dunia persilatan!"

"Bukan begitu artinya."

Kakek Tengkorak tak dapat menjawab. Tiba2 nenek Tengkorak menampar dahinya sendiri dan berseru tegang:

"Kakek, dahulu kita pernah belajar ilmu apa itu, sekarang aku mendapat akal . .."

"Akal bulus apa uh ?"

"Bagaimana kalau kita serahkan urusan kita itu kepada engkoh kecil ini?"

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar