Pusaka Negeri Tayli Jilid 17

Jilid 17

Menjelang tengah hari, dia tiba ditempat ketika toa suhengnya, mendiang Ho Bun Cai, tempo hari membawanya masuk ke Gedung Hitam. Ialah sebuah kota kecil dimana dia pernah bertemu dengan wanita gemuk yang ternyata adalah bibinya atau adik dari ayahnya.

Ia segera masuk ke sebuah kedai minum. Kebetulan tempat yang dulu pernah ia duduki, masih kosong. Dia segera duduk disitu.

Seorang pelayan menghampiri, mengawasi Cu Jiang beberapa jenak.

"Mau makan apa ?" tegurnya dengan dingin.

Sudah tentu Cu Jiang marah terhadap tingkah pelayan yang begitu kasar. Dia hendak berbangkit tetapi pada lain saat ia teringat bahwa saat itu dia sedang dalam penyamaran. Terpaksa dia mengekang kemarahannya dan pura2 bersikap ketolol-tololan seperti seorang desa.

"Aku mau minum arak apa?"  katanya. "Ya, mau minum arak apa?" sahut pelayan. "Arak putih saja."

"Hidangannya?" "Apa saja."

Pelayan itu tertawa gelak2. "Bung, kami tak jual hidangan "apa saja " ! "

Cu Jiang tetap menahan kemarahannya dan  berkata pula:

"Seekor ayam, terserah mau dimasak apalah!" "Baik, harap tunggu." kata pelayan terus ngeloyor.

Kedai makan itu termasuk yang paling mewah di kota kecil itu. Orang desa pada umumnya tak berani masuk ke situ dan Cu Jiang termasuk yang paling gengsi.

Beberapa waktu kemudian barulah pelayan membawakan hidangan yang dipesan Cu Jiang. Sambil makan Cu Jiang teringat akan peristiwa dahulu ketika ia bersama toa-suheng Ho Bun Cui yang masih menjabat sebagai congkoan Gedung Hitam.

Saat itu dia masih menganggap Ho Bun Cai sebagai musuh. Kini toa suhengnya itu sudah meninggal, sedang bibinya, si wanita gemuk, berada di negeri Tayli.

Membayangkan hal itu, hatinyapun rawan sehingga selera makannya turut hilang.

Tengah dia melamun tiba2 hidungnya terbaur setiup angin yang harum, ia memandang ke muka dan terkesiap.

Seorang dara yang berpakaian seperti puteri keraton melangkah masuk dengan diiring oleh seorang gadis pelayan. Dara itu tak lain adalah Ki Ing beserta bujang pelayannya.

Pemilik rumah makan gopoh menyambut sendiri dan memberi hormat.

"Ah, sungguh suatu kehormatan besar kami dapat menerima kunjungan siocia. Tetapi maaf, persedian hidangan kami terdiri dari hidangan yang kasar2." Tetapi Ki Ing tak menghiraukan pemilik rumah makan itu. Ia terus berjalan menuju sebuah tempat duduk di dekat jendela.

Melihat itu pemilik rumah makan bergegas membersihkan kursi dengan lengan bajunya.

"Disini mungkin tak sesuai, silakan siocia duduk di dalam." katanya.

"Tak usah, disini sajalah." bujang baju hijau menyahut.

Pemilik rumah makan itu tersipu-sipu mengiakan dengan hormat.

"Siocia minum arak atau dahar nasi?" kembali pemilik rumah makan bertanya.

"Minum arak." Kembali bujang baju hijau yang bernama Siau Hui menyahut.

"Mohon suka memberi pesanan hidangannya." "Beberapa yang enak."

"Baik, baik." pemilik rumah makan itu terus mengundurkan diri.

Ki Ing tak mengacuhkan Cu Jiang. Ia tak menyangka bahwa orang desa yang tengah makan disitu itu adalah Cu Jiang.

Diam2 Cu Jiang memikirkan diri nona itu. Mengapa mereka datang ke kota didaerah gunung yang jelas merupakan wilayah kekuasaan orang Gedung Hitam. Dan mengapa pemilik rumah makan begitu menghormat sekali kepada nona dan bujangnya itu ?

Cu Jiang serentak teringat akan lencana Hek-hu yang pernah diberikan nona itu kepadanya. Dengan lencana itu ternyata Pek poan-koan atau Hakim Putih dari Gedung Hitam tunduk. Dengan begitu nona ini tentu mempunyai hubungan dengan Gedung Hitam. Lalu apakah hubungannya? Siapakah sesungguhnya dara cantik itu?

Walaupun Ki Ing seperti bidadari cantiknya dan bujangnya Siau Hui itu juga cantik, tetapi tetamu2 yang berada di rumah makan itu hanya berani mencuri pandang ke arah mereka. Itupun dilakukan secara diam2. Tak seorangpun berani mengganggunya. Hal ini  makin membuat Cu Jiang heran dan curiga.

Teringat akan tindakan Ki Ing yang telah memberinya lencana Hek hu dan mencari mayat si pelajar baju putih (Cu Jiang), pemuda itu diam2 dapat menilai akan isi hati Ki Ing.

Tetapi dia sudah terikat janji dengan Ang Nio Cu untuk mengawini Ho Kiong Hwa. Dengan demikian sekarang dia sudah beristeri. Ah, biarlah peristiwa yang pernah terjadi antara dia dengan sidara Ki Ing itu merupakan suatu kenangan yang indah saja.

Bukankah pelajar baju putih yang didambakan Ki Ing itu sudah lenyap tak berbekas?

Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melirik ke arah dara itu. Tampak Ki Ing sedang bertopang dagu, termenung-menung Dalam keadaan seperti itu, Ki Ing makin tampak cantik.

Serentak hati Cu Jiangpun bergolak. Buru2 dia menarik pandang matanya tak melihatnya lagi.

Tak lama kemudian pemilik rumah makan mengantarkan sendiri hidangan. Alat2 hidangannya, bagus sekali. Berbeda dengan yang diberikan kepada tetamu lain.

Kedua nona dan bujang itu menikmati hidangan dengan diam. Suasananya tampak rawan. Tiba2 Ki Ing menghela napas panjang. "Siau Hui, apakah engkau rasa pelajar baju putih itu masih hidup di dunia?" tiba2 ia bertanya dengan bisik2.

Seketika darah Cu Jiang mendebur keras dan jantungnya serasa melonjak. Jelas dara cantik itu tetap mengenang dirinya, masih tercengkram merindukan kasihnya.

Serentak ingin dia hendak terbang kesana dan membuka kedok mukanya. Tetapi serentak kesadaran pikirannya mencegah agar dia jangan bertindak begitu.

Untuk menyalurkan luapan perasaannya, ia segera meneguk dua cawan arak. Mabuk, ya, biarlah mabuk akan menghilangkan keresahan pikirannya saat itu.

Ki Ing bicara pelahan sekali. Kecuali orang memiliki tenaga-dalam yang tinggi seperti Cu Jiang memang sukar untuk menangkap pembicaraan mereka.

"Sudah tentu masih hidup," sebut Siau Hui dengan agak geram.

"Bagaimana engkau tahu ?"

"Omongan si Gok-Jin ji itu bohong semua. Menilik tindakannya menggunakan lencana Hek-hu yang siocia  berikan, untuk mendesak Pek hu hwat membebaskan seorang tawanan, tentulah Gok Jin-Ji itu bukan orang sembarangan. Memang tampaknya dia seperti orang yang minta dikasihani tetapi kurasa dia tentu berisi. Kalau tidak bagaimana mungkin dia mampu lolos dari penjara Gedung Hitam. Menurut perasaan hamba, pelajar baju putih itu bukan seorang pemuda yang setia tetapi manusia yang suka mengecewakan hati orang.”

"Engkau lihay sekali Siau Hui." seru Cu Jiang dalam hati. Dia gemetar dan tak dapat bicara. Dia merasa bukan seorang manusia yang suka memainkan hati gadis, tetapi kenyataan memang demikian.

"Hamba rasa siocia menyiksa perasaan siocia sendiri sehingga menderita hatin," kata Siau Hui pula.

"Sudahlah, lalu bagaimana baiknya kalau menurut pandanganmu?" tanya Ki Ing.

"Tetapi aneh sekali, mengapa Gok-jin-ji itu-pun lenyap." "Aku curiga pada Toan-kiam Jan-Jin itu ..."

"Apanya yang siocia curigai ?"

"Jangan2 Toan-kiam-jan-jin itu penyaruan dari Gok Jin ji!"

"Kalau dapat menemukan orang itu lalu bagaimana siocia hendak bertindak ?"

"Akan kulucuti dirinya supaya dapat diketahui wajahnya yang aseli."

"Tidak mudah..." "Kenapa ?"

"Kabarnya Toan-kiam jan-jin itu tinggi sekali ilmu silatnya, Dan orangnya pun angkuh dan dingin sekali.  Sukar untuk dihadapi."

"Kalau tak dapat menyelidiki mati hidup-hidupnya pelajar baju putih, aku tak tenang!"

"Ah, mengapa siocia harus begitu?" "Engkau tak mengerti."

"Siocia, hamba rasa baiklah siocia lupakan saja dia!" "Tidak!" Ki Ing menolak. Cu Jiang mengangkat cawannya lagi tetapi sudah tak Ada araknya. Cepat dia berseru:

"Hai, minta tambah arak lagi!" Pelayan gopoh menghampirinya.

"Hai, bung. jangan berteriak-teriak. Kami sedang menerima tetamu agung!"

"Tambah satu poci besar lagi." Cu Jiang deliki mata kepada pelayan itu.

Pelayan cepat ngeloyor dan datang lagi dengan membawa poci besar.

"Hati-hati, bung, jangan sampai mabuk!" "Apa pedulimu, pokok aku bayar!"

"Ya, sudahlah, engkau minta sampai puas,"  pelayan terus ngeloyor pergi.

Siau Hui memandang kian kemari lalu melanjutkan pembicaraannya tadi.

"Siocia, siocia telah melupakan sebuah soal besar." "Soal besar apa?"

"Apabila asal usul diri pelajar baju putih itu telah dibuktikan dengan betul . . ."

"Aku tak peduli," tukas Ki Ing.

Mendengar percakapan itu kecurigaan Cu Jiang mulai bangkit. “Mengapa mereka hendak mencari tahu asal usul diriku." pikirnya.

Sebenarnya Cu Jiang ingin membuka kedok mukanya dan menjelaskan semua rahasia itu. Tetapi ia teringat bahwa tempat itu merupakan daerah kekuasaan Gedung Hitam. Apabila dia menuruti keinginan hati. mungkin akan menelantarkan urusannya yang penting.

Tiba2 ia mendapat akal. Jika Ki Ing dan bujangnya itu hendak menuju ke Gedung Hitam, bukankah mereka dapat dijadikan penunjuk jalan yang tepat?

Walaupun tindakan itu memang agak kurang layak  tetapi apa boleh buat. Ia harus menggunakan segala macam cara agar dapat melakukan balas dendam.

Saat itu Ki Ing dan bujangnyapun sudah berbangkit dari tempat duduk dan melangkah keluar tanpa membayar rekening apa2. Bahkan pemilik rumah makan itu gopoh mengantarkan sampai ke-pintu. Sikapnya amat menghormat sekali.

Cu Jiangpun segera memanggil pelayan untuk membayar rekening, kemudian bertanya:

"Siapakah kedua nona cantik tadi ?"

"Jangan usil mulut, bung," pelayan deliki mata.

Cu Jiang menyengir. Ia anggap pelayan itu tak layak diajak berbantah. Mungkin dia mengerti tetapi tak berani mengatakan. Diapun segera melangkah keluar.

Tampak Ki Ing dan Siao Hui sudah naik kuda dan berada jauh diujung jalan. Terpaksa Cu Jiang menyusul dengan berjalan kaki.

Tak berapa lama dia sudah keluar dari kota itu. Tetapi ia merasa ada sesuatu yang tak benar. Ternyata kedua nona majikan dan bujang itu tidak menuju kearah gunung tetapi mengambil jalan yang keluar dari gunung. Cu Jiang kecele.

Beberapa saat ia tertegun. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah menyusul kedua nona itu. Tujuannya ke tempat itu adalah hendak mengobrak-abrik Gedung Hitam, menghimpaskan dendam darah keluarganya. Kalau gagal membuntuti kedua nona itu. dia harus cari jalan lain.

Ia memandang bayangan kedua nona majikan dan bujang itu lenyap di ujung jalan. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam hati Cu Jiang.

Sekonyong-konyong seorang lelaki tua muncul dari muka dan berjalan lewat disampingnya. Lelaki itu berpakaian seperti seorang sasterawan miskin. Bajunya dari kain kasar, kotor dan berlubang. Kopiahnyapun sudah butut.

Melihat dandanan dan gerak langkah orang itu tahulah Cu Jiang kalau dia itu Ki Siau Hong salah seorang dari Su- toa-ko-Jiu atau empat Jago sakti yang mengawal Cu Jiang.

Munculnya Ki Siau Hong ditempat itu, tentu ada sesuatu. Cu Jiang pun terbatuk-batuk lalu mengucapkan kata2 sandi:

"Burung alap2 walaupun sakti, tetapi tak menang melawan gadis merah."

Mendengar itu Ki Siau Hong cepat berpaling dan berbalik tubuh.

"O, kiranya ciangkun, hamba sampai tak mengenali." bisiknya.

"Jangan menggunakan sebutan begitu."

"Baik, siau hengte (kakak) gelisah mencari lo-te (adik).

Entah kemana saja lote selama ini." "Terserang penyakit ringan, lalu berobat !" "Ah. tidak menjadi soal bukan ?"

"Ya, tidak apa2. Lalu hendak cari apa?" "Aku sedang mengikuti majikan kemari!" "Siapa ?"

"Majikan ketiga. Long-sim "

Cu Jiang terkejut sekati. Tokoh nomor tiga dari kawanan Sip pat thian-mo yakni Long-sim mo, mengapa datang ke gunung situ ?

"Apa tujuannya datang kemari ?" "Belum jelas."

"Lalu dia dimana ?"

"Sedang beristirahat di tepi jalan sebelah muka." "Bagaimana rupanya?"

"Seperti seorang dusun yang tua."

"O. tahu. Aku segera menemuinya !" habis beristirahat Cu Jiang terus lari menuju ke depan. Melintasi lereng gunung, ia melihat Ki Ing dan Siau Hui masih menyusur jalan.

Setelah terpisah pada jarak sepuluhan tombak, Cu Jiang mulai menimang-nimang. Adakah ia akan melampaui kedua nona itu untuk mencari Long-sim-mo atau...

Tiba2 terdengar suara orang memaki: "Apa engkau tak punya mata ?"

Itulah suara Siau Hui. Cu Jiang memandang kearah mereka. Ternyata seorang tua baju hitam sambil memikul sebuah kotak kayu, berdiri menghadang didepan kuda kedua nona itu.

Seketika terkejutlah Cu Jiang, Jelas orang lelaki seperti penjual itu adalah Long-sim-mo atau Iblis-berhati Serigala. Mengapa dia menghadang jalan kedua nona itu ? Cepat Cu Jiang gunakan gerak langkah Gong gong-poh untuk menyelinap masuk kedalam sebuah hutan ditepi jalan. Dia bersembunyi disitu.

Penjual itu bertubuh tinggi besar, gagah perkasa, tulang mukanya menonjol malang, mata memancarkan sinar berkilat-kilat. Dia tertawa galak2.

"Apakah kalian tak mau melihat barang baik?" serunya. "Enyahlah !" teriak Siau Hui.

"Aku membawa bermacam-macam dagangan, pupur, gincu, minyak wangi, bedak, jarum sulam segala ukuran, handuk dan macam2 model sepatu. Apakah nona tidak memerlukan?"

Siau Hui mendengus dingin.

"Hm, tak usah pura2. Bilang siapa engkau ini!"

Lelaki tua itu tertawa seram. Ho Ho, kalau menilik nada ucapanmu, engkau tentu orang persilatan. "

"Anggap saja begitu."

"Dan siocia ini tentu juga bukan siocia biasa?" "Apa maksudmu? "

"Kuminta nona berdua suka ikut aku!" "Buat apa?"

"Tidak apa2. Karena sahabatku tak mau mengunjuk diri maka kuminta tolong nona berdua suka menjadi petunjuk jalan. "

"Siapa sahabatmu itu? "

"Disini tak leluasa bicara, mari kita pergi cari lain tempat." "Hai, jangan engkau cari penyakit! " teriak Siau Hui.

"Heh, heh, heh, heh," lelaki tua itu tertawa mengekeh, "belum tentu begitu."

"Harap anda suka memberitahu nama anda dulu."  saat itu baru Ki Ing kedengaran membuka mulut.

"Kerucuk tak ternama, rasanya lebih baik tak perlu memberitahu namanya."

"Lebih baik anda lekas lanjutkan perjalanan sendiri!" "Kenapa?"

"Kalau anda memang masih ingin hidup, lebih baik anda lekas pergi."

"Pergi sih boleh saja tetapi harus bersama kalian berdua!" "Engkau cari mati?"

"Ih, jangan nona begitu galak, nanti tak bisa mendapat mertua. "

Merah pipi Ki Ing. segera ia memberi perintah: "Siau Hui, kerjai dia!"

Siau Hui mengiakan. Dia ayun tubuhnya ke udara lalu berjumpalitan dan menukik turun dalam gerak yang indah sekali.

"Ah, terhadap nona yang begini cantik, aku siorang tua ini benar2 tak sampai hati turun tangan! " seru orang tua itu seraya menampar dengan tangan kanan.

Wut...

Segulung tenaga yang dahsyat melanda ke arah Siau Hui sehingga Siau Hui mendesuh kejut dan serentak dengan bunyi yang keras, tubuh Siau Huipun mendesus ke belakang sampai tiga tombak gantinya. Tetapi dengan cepat, Siau Huipun melenting bangun. Dia memang tak menderita luka apa2, tetapi wajahnya tampak pucat lesi.

"O, anda menghina aku," seru Ki Ing seraya loncat turun dari kudanya.

Lelaki tua itu turunkan pikulannya. Kedua tangan mendorong ke muka dan seketika terdengarlah jeritan ngeri. Ke-dua ekor kuda dari Ki Ing dan Siau Hui  rubuh menggelepar di tanah, putus nyawanya

Melihat itu diam2 Cu Jiang terkejut. Ilmu tenaga-dalam dari iblis itu benar2 telah mencapai tataran yang tinggi sekali.

Wajah si cantik Ki Ing berobah membesi dan sepasang matanyapun memancarkan kilat pembunuhan.

"Tikus, engkau berani menghina aku!" teriaknya seraya tebarkan jari tangannya untuk menyerang orang desa itu.

Namun walaupun menghadapi jurus serangan yang luar biasa ganas dan dahsyat, lelaki desa itu tak gentar, ia menggurat-guratkan kedua tangannya dan lekas  serangan Ki Ing yang dahsyat itupun terhapus seketika.

"Kalau ayahnya hebat, puterinyapun jempol. Cukup menggairahkan seranganmu, sayang masih  kurang mantap!"

Ki Ing hentikan serangannya dan berseru: "Harap anda memberitahukan diri anda!"

"Telah kukatakan." sahut lelaki tua itu dengan tak acuh, "disini bukan tempat yang sesuai. Kita cari lain tempat."

Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa agaknya iblis Long sim mo itu tahu akan asal usul Ki Ing. Itulah  sebabnya maka dia mengatakan "ayah lihay, puterinya tentu jempol". Lalu siapakah ayah dari Ki Ing itu? Apakah pemilik dari lencana Hek-hu itu?

Sekonyong-konyong terdengar derap  kuda mencongklang gemuruh dan pada lain kejap muncul delapan penunggang kuda baju hitam. Yang tiga orang, berjajar lurus. Jelas mereka itu kawanan Pengawal Hitam.

"Lekas kemarilah," bisik penjual itu seraya loncat masuk ke dalam hutan di tepi jalan.

Aneh dikata. Entah bagaimana Ki Ing dan Siau Huipun segera ikut menyusup ke dalam hutan itu.

Cu Jiang terkejut. Hendak memainkan siasat apakah iblis Long sim-mo itu?

Setelah masuk ke dalam hutan. Long-sim mo tidak melanjutkan langkah masuk lebih dalam. Ki Ing dan Siau Hui tegak termangu-mangu di samping iblis itu. Mereka sama membisu Wajahnya tegang sekali seperti melihat hantu.

Tempat ketiga orang itu bersembunyi hanya terpisah tiga tombak dari tempat Cu Jiang. Cu Jiang terpaksa menahan napas dan tak berani bergerak.

Pada saat ketiga orang itu masak ke dalam hutan, empat orang penunggang kuda pun tiba. Salah seorang berbaju hitam itu lalu mengangkat tangan ke atas dan keempat penunggang kuda serempak berhenti.

"Hai, celaka, inilah kuda tunggangan milik siocia .. ." teriak orang baju hitam itu.

Mendengar Itu Cu Jiang segera menyadari. Ki Ing itu tak lain adalah puteri dari ketua Gedung Hitam. Memang waktu itu Ki Ing hanya memberitahukan nama tanpa menyebut shenya karena kata she akan menyangkut nama ayahnya.

Begitu pula lencana Hek hu yang diberikannya itu banyak berpengaruh terhadap lingkungan anak buah Gedung Hitam. Lain2 orang persilatan tak kenal.

Ah, dia ternyata puteri dari musuhnya yang paling dibenci. Sesaat Cu Jiang tertegun dalam kelongongan yang menghanyutkan segera ia berpikirnya.

Iblis Long sim-mo dengan menyaru sebagai orang desa hendak mencari ketua Gedung Hitam tentulah mempunyai rencana.

Keempat penunggang kuda itupun loncat turun dan memencar ke sekitar tempat itu.

"Ji Bing, lekas lepaskan pertandaan untuk memberitahu kepada pohcu !" seru Pengawal Hitam yang tua.

"Baik," salah seorang menyahut lalu mengambil panah berapi dan pelana kuda.

"Ha, ha, ha, ha . . ." tiba2 terdengar suara orang tertawa gelak2 dan seram, seorang lelaki desa tua muncul dan menghampiri mereka.

"Berhenti." teriak orang tua baju hitam, "ko-jiu dari manakah anda ini ?"

Namun lelaki desa itu tetap berjalan seraya menyahut: "Apa-apaan sih segala macam ko-jiu ? Seorang penjaja

barang2 yang menjual segala macam jarum dan alat2 kecantikan wanita, sedang lewat digunung ini."

Orang tua baju hitam mendengus dingin: "Hm, sahabat, beritahukan namamu!" Lebih kurang empat tombak dari tempat kawanan baju hitam itu, barulah si penjual berhenti. Memandang kearah Pengawal Hitam yang sedang memegang panah berapi, dia berseru: "Tak perlu begitu !"

"Jadi peristiwa disini engkau yang melakukan ?" seru orang tua baju hitam pula.

"Peristiwa apa ?"

"Engkau mengapakan kedua nona itu?"

"O, tidak kuapa-apakan, masih tetap seperti sediakala."

Tiga orang Pengawal Hitam serentak melolos pedang dan berpencar mengepung penjual tua itu. Tetapi penjual barang2 itu tenang2 saja.

"Sahabat, tahukah engkau siapa nona yang seperti puteri keraton itu ?"

"Apakah bukan puteri dari Gedung Hitam?"

"Kalau sudah dapat menduganya, jelas engkau memang sengaja . . ."

"Anggap saja begitu !" "Apa maksudmu ?"

"Tak perlu bertanya. Percuma saja kalian tahu. Kalian berempat tinggal saja disini."

"Maju !" serentak orang tua baju hitam itu berteriak marah.

Tiga batang pedang segera berhamburan melayang dari tiga Jurusan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang. Tetapi waktu penjual itu kebaskan lengan bajunya, ketiga pedang itupun tersiak semua. Suatu peristiwa aneh telah terjadi. Ketiga Pengawal Hitam itu tidak menyerang lagi. Pedang mereka terkulai dan orangnyapun tegak seperti palang.

Orang tua baju hitam terbelalak lain membentak sekeras- kerasnya:

"Engkau pakai racun..." baru dia berkata begitu tiba2 diapun tertegun diam.

Cu Jiang terkejut sekali. Kiranya Long-sin-mo dapat menguasai Ki Ing dan Siau Hui kemudian keempat anak buah Gedung Hitam itu bukan dengan ilmu sihir tetapi dengan kekuatan racun. Jelas suatu jenis racun yang luar biasa, tidak bersuara dan tidak berwujud, tetapi tahu2 orang telah kehilangan kesadaran dirinya.

Tiba2 dia mendengar suara orang tertahan berturut-turut. Ternyata keempat anak buah Gedung Hitam itu telah dibantai Long-sim-mo. Iblis itu mencakar hancur batok kepala mereka. Menilik caranya yang ganas itu, tepatlah kalau dia dijuluki sebagai Long-sim-mo atau Iblis-berhati- serigala.

Setelah membunuh keempat orang itu, Long-Sim-mo masuk kedalam hutan lagi. Sambil memandang Siau Hui, dia bergumam:

"Kalau kubawa, sebenarnya memang merepotkan. Tetapi kalau kuhancurkan, juga sayang sekali. Jarang sekali bisa mendapatkan Cewek2 seperti mereka berdua. Kalau kubuang bukankah suatu kehilangan besar? Hm, biarlah kunikmati dulu baru nanti melanjutkan perjalanan lagi."

Habis berkata dia terus menggapai: "Mari jalan lagi !"

Entah bagaimana kedua nona itu amat mendengar kata sekali, Disuruh jalan terus jalan. Mengikuti Long sim-mo masuk lebih dalam kedalam hutan. Timbul pertentangan hatin Cu Jiang. Haruskah ia menolong kedua nona itu. Tetapi Ki Ing adalah puteri dari musuh besarnya. Ah, seorang lelaki harus dapat menarik garis antara budi dan dendam. Dia pernah menerima kebaikan dari nona itu.

Dan bagaimanapun juga, dia masih dapat merasakan curahan hati Ki Ing. Dan lagi Long-sim-mo itu juga salah seorang musuh yang dibasmi. Tentu takkan dilepaskan begini saja.

Setelah mengambil keputusan, diapun segera mengikuti jejak mereka. Kira2 satu li jauhnya, jalanan mulai sukar dilalui. Long sin-mo berhenti di sebuah tempat. Dia menarik Siau Hui ke bawah pohon.

"Kalau engkau dapat melayani dengan baik, aku tentu akan membawamu dalam perjalanan," katanya dengan mata memancarkan nafsu binatang yang menyala-nyala.

Dia menerkam lengan Siau Hui, sedang sebelah tangannya mengelus-elus pipi dara itu.

"Heh, heh, manis, mari kita menikmati kesenangan yang memuaskan!" ia tertawa mengekeh. Namun Siau Hui tetap tertegun seperti patung. Demikian pula Ki Ing yang berada disebelah, juga tak mengadakan reaksi suatu apa.

Melihat itu seketika terbayanglah ingatan Cu Jiang akan peristiwa yang lampau dimana mamahnya,  anak perempuan dari paman Liok telah diperkosa. Seketika meluapkan hawa pembunuhan. Serentak dia membuka kopiah lalu mengenakan kerudung muka dan mengenakan pakaian sebagai pelajar.

Saat itu Long-sim-mo memondong Siau Hui diletakkan di atas tumpukan daun kering.

"Lekas buka pakaianmu, bukalah..." Siau Hui memang benar2 kehilangan kesadarannya. Dia menurut saja perintah orang dan mulai membuka sabuknya. Long-sim mo menunggu dengan tertawa menyeringai.

Pada saat itu Cu Jiangpun melesat muncul. Memang tak kecewa Long sim-mo menjadi anggauta Sip-pat thian-mo. Cepat dia berputar tubuh dan tertegun ketika melihat Cu Jiang.

"Engkau mau cari mati? " bentaknya.

Cu Jiang hanya memandang tajam2 dan tidak menyahut.

Rupanya Long sim mo seperti teringat sesuatu.

"Ho, apakah engkau ini bukan Toan kiam jan jin itu?" bentaknya.

"Benar, memang aku." sahut Cu Jiang dengan nada dingin.

Long sim mo menyurut mundur selangkah. Dahinya berkerunyutan hawa pembunuhan yang seram.

"Bagus, budak, memang aku hendak mencarimu!" serunya gemetar.

"Long sim mo, saat kematianmu sudah tiba!"

"Akan kucincang tubuhmu untuk membalas dendam saudara-saudaraku."

"Huh, mampukah engkau?"

"tring,” pedang kutungpun serentak dicabutnya.

Tanpa tampak bergerak tahu2 tubuh Long sim mo sudah melayang ke muka Cu Jiang dan terus kebutkan kedua lengan bajunya.

Cu Jiang rasakan hidungnya terbaur hawa harum sehingga kepalanya agak pening tetapi pada lain kejap sudah segar lagi. Dia tahu bahwa Long sim mo mulai menebarkan racun wangi tetapi karena dia menyimpan mustika Thian ju cu pemberian dari Busan sinli, maka diapun kebal terhadap segala racun. Tetapi saat itu dia pura2 terhuyung agar dikira terkena racun.

Benar juga, Long sim mo segera tebarkan jari tangannya dan maju menerkam. Saat itu tak disia-siakan oleh Cu Jiang. Sekali membabatkan pedang, huakkkk terdengar

jeritan ngeri dari mulut Long sim mo. Lengan kiri iblis itu telah kutung dan jatuh di tanah, darah menyembur seperti air mancur.

Tetapi iblis itu memang luar biasa. Walaupun menderita luka parah tetapi dia tetap gesit. Selekas kehilangan lengannya, dia terus enjot tubuhnya loncat ke belakang dan melarikan diri.

"Berhenti! " tetapi baru dia hendak lari Cu Jiang sudah melesat dan menghadang di depannya. Sudah tentu kejut iblis itu bukan kepalang. Namun dia masih berusaha untuk bersikap tenang.

"Budak kecil, engkau berani mengganggu aku? " serunya dengan garang.

"Benar, aku hendak membunuhmu!" sahut Cu Jiang dingin.

Saat itu Long-sim-mo sudah menutuk lengannya untuk menghentikan pendarahan. Ia mundur beberapa langkah dan membentak:

"Engkau tidak takut racun?"

"Racun? Huh, apa racun itu? Bukankah hanya mainan orang persilatan saja?"

"Budak, engkau sebenarnya siapa?" "Toan-kiam jan-jin, menerima perintah dari suhuku guna membereskan kawanan Sip pat-thian mo!"

"Siapa suhumu?" "Gong-gong cu, tahu?"

"Engkau .. engkau murid Gong-gong-cu ..."

"Serahkan jiwamu!" Cu Jiang ayunkan pedang dan terdengar lagi jeritan ngeri dari Long-sim-mo  disusul dengan tubuhnya yang rubuh dalam genangan darah.

Setelah membereskan iblis itu, Cu Jiang berputar tubuh. Seketika darahnya mendebur keras sekali. Buru2 dia berbalik diri lagi.

Ternyata saat itu Siau Hui sudah membuka seluruh pakaiannya sehingga menimbulkan pemandangan yang mengerikan hati Cu Jiang.

Pemuda itu pejamkan mata. Setelah berhasil menenangkan gejolak darahnya, dia tidak berani berbalik tabuh lagi melainkan terus menghampiri ke tempat Ki Ing.

Menghadapi dara yang menjadi puteri musuh besarnya, Cu Jiang benar2 kehilangan faham. Dia mengeluh mengapa nasib telah menggariskan keadaan yang sedemikian kejamnya. Antara suara hati dengan tugas.

Tetapi bagaimanapun halnya, dia telah bertunangan dengan Ho Kiong Hwa. Dengan demikian segala pertalian hati yang tak dikehendaki akan putus itu tetap putus juga.

Ki Ing memandangnya dengan terlongong-longong. Wajahnya tak menampilkan suatu reaksi apa2. Sikapnya yang ceria pun tak tampak sama sekali.

Cu Jiang mengambil mustika Thian-Ju-cu dan diserahkan kepada dara itu. "Kulumlah dalam mulut!"

Ki Ing menyambuti dan terus memasukkannya ke mulut. Beberapa saat kemudian tampak matanya mulai bersinar. Sikapnya yang kakupun mulai bersemangat lagi.

Melihat itu Cu Jiang memerintahkan supaya si dara memuntahkan mustika dalam mulutnya.

Ki Ing membuka mulut hendak berkata dan meluncurlah mustika itu keluar. Cu Jiang cepat menyambutinya, menyurut mundur beberapa langkah untuk melihat bagaimana perkembangan dara itu.

Tak berapa lama wajah Ki Ing tampak mengerut rasa heran dan kejut.

"Siapakah anda?" akhirnya ia berseru.

Sebelum Cu Jiang menyahut, pandang mata Ki Ingpun sudah terbentur pada Siau Hui yang telanjang bulat. Serentak berobahlah cahaya wajah dara itu:

"Binatang, aku hendak membunuhmu !" teriaknya seraya menyerang Cu Jiang dengan jurus maut.

Cu Jiang beringsut dengan gerak langkah Gong-pong- poh-hwat. Diam2 Cu Jiang memuji ilmu kepandaian yang dimiliki Ki Ing memang hebat sekali.

Serangannya luput, Ki Ing cepat mengganti Jurus. Setelah memperhatikan arah tempat Cu Jiang dia tentu tebarkan lengan bajunya. Dari jarinya mendesis angin yang gencar kearah Cu Jiang.

Itulah ilmu Lau-hoa-hud-hian-jiu atau Tamparan jalan- darah yang sudah Jarang terdapat dalam dunia persilatan.

Ci Jiang menghindar dan berseru: "Nona, harap tahan dulu." "Aku harus menghancurkan tubuhmu !" teriak Ki Ing dengan menyala-nyala kemarahannya.

"Seharusnya nona bertanya dulu tentang peristiwa ini." "Perlu apa harus bertanya lagi, bukti sudah jelas didepan

mata."

"Apakah nona tak dapat mengingat lagi peristiwa yang terjadi beberapa saat tadi ! Cobalah lihat, mayat siapa yang menggeletak ditanah itu?"

Ki Ing memandang kearah mayat Long-sim-long dan seketika dia seperti teringat sesuatu.

"Apakah penjual tua itu anda yang membunuhnya ?" serunya.

"Ya."

"Oh. kalau begitu aku..."

"Dia bukan seorang penjual biasa melainkan Iblis ketiga dari Sip-pat-thian mo yang bergelar Long-sim-mo !"

"Hai, Long-sim-mo? Siau Hui . . ."

"Kalau terlambat sedikit aku muncul, entah bagaimana keadaannya."

Ki Ing merah wajahnya.

"Siau Hui, mengapa tak lekas berpakaian ?" ia meneriaki bujangnya.

Tetapi Siau Hui hanya memandang nona majikannya lalu mengenakan pakaiannya lagi. Tetapi gerakannya lambat sekali.

"Nona berdua telah terkena racun penghilang kesadaran dari Long-sim mo. Racun dalam tubuh nona sudah hilang tetapi dia belum." "O, benar," teriak Ki Ing terkejut, "mustika yang engkau bawa tadi, apakah bukan ..."

"Bukan, itu mustika untuk menghilangkan racun !"

"Jika begitu, andalah yang menolong kami berdua. Aa, aku bersikap kurang pantas, harap anda memaafkan dan terima kasih."

"Tak usah."

"Tolong tanya anda . . ."

"Mengapa tidak menolong dia dulu ?" Merah muka Ki Ing, serunya:

"Kalau begitu terpaksa akan merepotkan anda sekali lagi."

Cu Jiang segera menyerahkan mustika Thian-ju cu dengan pesan agar Siau Hui mengulum dimulut.

Pada saat Ki Ing mengobati Siau Hui, Cu Jiang yang berdiri dibelakang mereka masih sibuk menimang-nimang. Apakah ia akan menanyakan tentang letak Gedung Hitam kepada Ki Ing. Demikian juga tentang asal usul ketua Gedung Hitam itu?

Tetapi teringat akan curahan kasih serta budi  pertolongan dara itu, Cu Jiang bersangsi. Budi dan dendam harus dipisahkan agar dia tidak mengecewakan diri sebagai seorang persilatan.

Saat itu Ki Ing dan Siau Huipun sudah menghampiri dan menyerahkan mustika Thian-Ju-cu serta tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Cu Jiang.

Tiba2 Siau Hui berteriak: "Siocia, dia " "Dia kenapa ?" Ki Ing kerutkan alis. "Dia adalah Toan-kiam-jan-jin."

"Ah !" Ki Ing berteriak kaget dan terus menyurut mundur tiga langkah, memandang dengan penuh kejut kepada Cu Jiang. katanya, "Apakah anda benar Toan kiam-jan-jin ?"

"Benar," sahut Cu Jiang.

"Kali ini kami berdua keluar dari rumah pun perlu hendak mencari..." tiba2 dara itu merasa kelepasan bicara dan berhenti. Tetapi apa maksudnya sudah jelas.

"Nona meninggalkan Gedung Hitam secara diam2, apakah karena diriku ?" cepat Cu Jiang menyambung.

"Apakah anda sudah tahu asal usul diriku?" "Ya."

Tiba2 wajah Ki Ing tampak muram. "Tetapi anda tetap menolong kami berdua !"

"Itu lain soal."

"Apakah anda mempunyai dendam permusuhan hebat terhadap keluargaku ?"

"Memang benar seperti yang nona katakan."

Wajah dara itu menampilkan kedukaan, katanya dengan rawan:

"Sampai kapankah bunuh membunuh itu akan berakhir?" "Sampai yang harus mati itu sudah mati." sahut Cu Jiang

dengan nada dingin.

"Mengerikan sekali!"

"Kurasa tak tepat kalau aku membicarakan soal itu dengan nona." Mendengar itu Ki Ing tundukkan kepala. Beberapa saat kemudian dia baru mengangkat muka.

"Aku hendak minta tanya sebuah hal kepada anda." "Silahkan."

"Apakah Gok Jin-Ji seperguruan dengan anda?"

Cu Jiang tak mengira kalau Ki Ing akan mengajukan pertanyaan begitu. Dia tergetar hatinya.

"Aku tak kenal dengan Gok jin-Ji," setelah merenung beberapa jenak akhirnya ia menjawab.

"Benarkah itu?" Ki Ing kerutkan alis.

"Tentu," Jawab Cu Jiang. "dalam dunia persilatan manakah terdapat seorang tokoh yang bernama Gok-jin-ji?"

Sejenak Ki Ing keliarkan pandang kontak Siau Hui, lalu bertanya pula:

"Aku hendak bertanya lagi tentang seseorang !" "Siapa ?"

"Pelajar baju putih !"

Lagi2 hati Cu Jiang mendebur keras. Tetapi dengan nada dingin dan hambar ia menjawab.

"Siapakah dia?"

Wajah Ki Ing makin tegang dan matanyapun bersinar. Kemudian menggigit lidah seperti telah mengambil keputusan penting. Lalu dengan suara yang sarat ia berkata:

"Mungkin dia adalah putera tunggal dari Dewa pedang Cu Beng Ko."

"Oh." Cu Jiang pura2 terkejut, "mungkin saja! Apakah nona belum merasa pasti ?" "Hampir dapat memastikan." "Siapa namanya?"

"Cu... Jiang."

Sengaja Ki Ing menyuarakan nama itu dengan panjang sambil memperhatikan wajah Cu Jiang. Dia ingin melihat bagaimana reaksi pemuda itu. Tetapi karena Cu Jiang mengenakan kain kerudung muka maka Ki Ingpun hanya dapat melihat sinar mata pemuda itu yang berkilat-kilat memancarkan dendam kebencian. Namun buat Ki Ing hal itu sudah cukup menjadi bukti bagi Ki Ing.

Memang karena masih berdarah panas, Cu Jiang sukar untuk menyembunyikan luapan perasaannya sehingga terpancar dari sinar matanya.

"Apakah hubungan nona dengan dia ?" tanya Cu Jiang. "Harap anda menjawab dulu, kenal atau tidak

kepadanya?"

Untuk menghindari desakan si nona dan sekalian hendak mengetahui apa maksud tujuan nona itu, maka Cu Jiangpun menjawab:

"Memang pernah bertemu beberapa kali." "Tentu tidak hanya itu saja ?"

"Terserah nona percaya atau tidak."

"Baik, untuk sementara aku percaya. Lalu di mana dia sekarang ?"

"Dunia begini luas, sukar mengatakan."

Ki Ing menggigit bibirnya lagi, lalu berkata dengan nada gemetar:

"Apakah anda tak mau memberitahu ?" "Tetapi nona belum mengatakan pertanyaannya," sahut Cu Jiang.

Tiba2 Siau Hui menyelutuk:

"Terus terang saja, siocia kami memang menaruh hati kepadanya ..."

Merah muka Ki Ing. Dia buru2 tundukkan kepala.

Dengan kuatkan hati, Cu Jiang berkata: "Lebih baik  nona hentikan pemikiran itu..."

Ki Ing merentang kedua matanya.

"Apa maksud kata-katamu ?" serunya membelalak.

Cu Jiang berusaha untuk menekan perasaannya dan berkata dengan nada tenang.

"Seharusnya nona tahu sendiri." "Aku tak mengerti !"

"Ah, nona terlalu mendesak."

"Mengapa tak anda katakan yang terang ?"

"Tak perlu kukatakan tentulah nona sudah menyadari sendiri."

Wajah Ki  Ing berobah   pucat   dan   berseru dengan gemetar:

"Anda maksudkan permusuhan antara kedua belah pihak?"

"Benar."

"Dendam itu mudah dinyatakan, sukar dihapus. Kurasa

...."

"Dendam itu memang tak dapat dihapus!" Wajah Ki Ing makin tak sedap dipandang dan terhuyung mundur selangkah. Ditatapnya Cu Jiang dengan tajam.

"Sukalah anda memberitahu jejak pelajar baju putih itu..!" serunya.

"Aku tak dapat memberitahukan."

"Harap anda suka membuka penutup muka anda." "Nona, tahukah nona bahwa soal itu tak dapat

kulakukan?"

"Kalau kukatakan . . ." "Mengatakan apa?"

"Bahwa anda inilah pelajar baju putih itu!"

Gemetar tubuh Cu Jiang. Kemudian dia tertawa nyaring sampai lama. Setelah berhenti tertawa baru dia berseru:

"Bagaimana tiba2 nona timbul anggapan begituan ?" "Tidak aneh."

"Lalu?"

"Maukah anda membuka penutup muka anda?" "Tidak dapat !"

Tiba2 Siau Hui menyelutuk.

"Kalau aku jadi pelajar baju putih itu, aku takkan menyembunyikan diri dengan mengatakan kalau sudah mati. Budi atau dendam, harus ada suatu penyelesaian yang jelas!"

Diam2 Cu Jiang mengakui bahwa omongan bujang itu memang tepat sekali. Seharusnya ada penyelesaian.

Dia teringat ketika hendak memasuki gunung, apabila tidak mendapat pertolongan nona dan bujangnya itu jelas dia tentu mati ditangan musuh. Dan waktu turun gunung, apabila tidak mendapat pemberian lencana Hek hu, juga sukar untuk lolos dengan selamat.

oee-dw-eeo

Tetapi dendam berdarah dari keluarga, harus dihimpaskan. Jika tidak membunuh Ki Ing dan Siau Hui, itupun sudah termasuk membalas budi kebaikan keduanya.

Demikian pikiran Cu Jiang menimang-nimang suatu penyelesaian dan akhirnya ia memutuskan bahwa penyelesaian itu baiklah ditangguhkan sampai terdapat suatu kesempatan yang baik di kemudian hari.

Setelah mengambil keputusan dia segera memberi hormat:

"Maaf, aku hendak mohon diri!"

"Tunggu dulu!" Ki Ing berteriak dan melesat menghadang.

"Nona masih hendak memberi pesan apa?" seru  Cu Jiang.

Sepasang biji mata dara cantik itu merah membara dan berseru dengan penuh dendam.

"Engkau sungguh kejam sekali!" "Ah, nona salah duga."

"Pelajar baju putih, Gok jin-ji, Toan-kiam-jan jin, semua adalah satu orang yalah engkau sendiri!"

"Ha, ha, ha, ha..."

"Tak ada yang harus ditertawakan. Mari kita bicara dengan sesungguhnya." "Apa lagi yang harus dibicarakan?"

"Engkau benar2 seorang manusia yang tak punya perasaan hati."

Sebenarnya dalam hati Cu Jiang tergerak akan pernyataan Ki Ing yang begitu tulus mencintainya. Tetapi bagaimanapun, dia harus teguhkan hati untuk melakukan balas dendam.

Dia akan membasmi ketua Gedung Hitam. Jika dia berhati lemah, akibatnya tentu celaka. Maka sengaja dia berkata dengan dingin:

"Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah insan yang anda impikan itu."

Bercucuran air mata Ki Ing mendengar kata itu, serunya setengah meratap:

"Aku bukan akan mengemis cintamu, hanya . . ."

Sampai  disitu Ki Ing tak melanjutkan kata-katanya. "Aku melakukan pertolongan hanya sekedar memenuhi

kewajiban sebagai seorang persilatan. Kalau tidak..." "Kalau tidak, bagaimana?"

"Tiada alasan mengapa aku harus menolong."

"Toan kiam jan jin," teriak Ki Ing dengan menggigit bibirnya, "tak peduli siapa sesungguhnya dirimu itu. Kita tak mempersoalkan hal2 yang lain hanya aku hendak bertanya kepadamu. Apakah tujuanmu datang kemari karena hendak menuntut balas.?"

"Benar, apakah nona sudah puas?"

"Engkau tahu apa akibat dari tindakanmu itu?" "Nona sendiri menganggap bagaimana?" "Akibatnya tentulah   pertumpahan darah, kematian, entah fihak yang mana. "

"Benar, memang demikianlah yang akan ku lakukan." "Engkau tahu siapa diriku tetapi engkau tak mau

membunuh bahkan menolong, mengapa?"

"Seorang persilatan tahu bagaimana harus bertindak dan bagaimana tidak harus bertindak. Lain kali mungkin saja !"

"Mengapa tidak sekarang ?"

"Itu menyalahi pendirianku semula !"

"Sampai berapa jauh engkau hendak membalas dendam nanti?"

Dengan mata berkilat-kilat memancar api, berkatalah Cu Jiang penuh kemantapan:

"Gedung Hitam akan kucuci dengan darah."

Menggigil tubuh Ki Ing mendengar ucapan dendam kesumat anak muda itu. Ia menyurut mundur dan berseru:

"Kalau sebelum dapat melaksanakan tujuanmu engkau keburu meninggal, lalu bagaimana ?"

"Itu terserah pada nasib," sahut Cu Jiang tanpa ragu2. "Nasib   itu   ditanganmu   sendiri.   Pada   detik2 dimana

engkau akan menentukan pilihan, mengapa engkau tak mau

merubah nasib ?"

"Nona tak perlu berkering lidah untuk mempengaruhi aku !"

"Engkau senang pertumpahan darah ?"

"Dalam dunia persilatan Gedung Hitam sudah termasyhur sebagai sumber kejahatan, pertumpahan darah dan pembunuhan. Setiap orang persilatan yang mempunyai rasa kesatryaan, tentu akan membencinya. Mengapa nona menuduh aku senang menumpahkan darah?"

"Yang hendak engkau tuntut itu pembalasan dendam peribadi atau untuk kepentingan umum?"

"Kedua- duanya."

"Tak dapat dihentikan?"

"Tidak mungkin bisa!" habis berkata Cu Jiang terus gunakan tata - langkah Gong - gong poh-hwat menyelinap lenyap.

Ki Ing menghela napas panjang.

"Ah, jika tahu begini, mengapa kita dulu berjumpa ?" Siau Hui menghampiri.

"Siocia, apakah engkau sudah menyadari?" "Tidak !"

"Apakah siocia menganggap memang dia orangnya ?" "Benar."

"Jika begitu mari kita pulang, rasanya tiada gunanya kita keluar rumah."

"Tidak !"

"Apakah siocia masih . . ."

"Kurasa tak perlu aku hidup di dunia ini!" Mendengar itu Siau Hui terkejut sekali.

"Mengapa siocia berkata begitu ?" serunya  dengan cemas, "Satu sama lain tak terikat suatu pertalian hubungan yang akrab, tetapi hanya..."

"Engkau tak mengerti." Saat itu Cu Jiang belum berapa jauh. Dia tengah ganti pakaiannya penyamaran lagi. Sudah tentu dia dapat mendengar pembicaraan kedua nona itu. Tetapi soal itu tak dapat menggoyahkan pendiriannya untuk menuntut balas.

Sekonyong-konyong empat sosok bayangan menyiak ranting dan semak, menerobos kedalam hutan. Melihat Ki Ing dengan Siau Hui, mereka terkejut dan gopoh memberi hormat.

"Atas titah pohcu, mohon siocia suka pulang ke gedung," salah seorang berseru.

Ki Ing deliki mata.

"Aku tidak pulang, pergilah kalian !"

Keempat orang itu adalah Pengawal Gedung Hitam. Orang yang berbicara tadi memberi hormat lagi  dan berseru:

"Siocia, kami mendapat perintah dari ayahanda siocia .." "Enyah !" bentak Ki Ing.

Tepat pada saat itu sebuah suara terdengar menyambuti:

"Moay-moay, toako datang menjemputmu !" dan serentak muncullah seorang pemuda dalam pakaian seorang bu-su warna kuning emas.

Siau Hui cepat menggamit ujung baju nona majikannya namun Ki Ing tetap bersikap manja, serunya:

"Toako, aku tak ingin pulang."

"Engkau hendak kemana?" sambil berkata pemuda itu menghampiri maju.

"Dalam gedung terlalu sempit perasaanku. Aku hendak keluar mencari hiburan." Di tempatnya, Cu Jiang diam2 gembira karena putera dari ketua Gedung Hitam muncul disitu.

Pemuda baju kuning emas itu tertawa:

"Ah, moay-moay, engkau tak tahu keadaan..." "Mengapa tak tahu ?"

"Saat ini waktu apa?" "Hampir petang hari."

"Bukan itu yang ku maksudkan !" kata pemuda itu pula "saat ini merupakan saat2 yang gawat bagi gedung kita. Thong-thian-kau tetap akan berusaha untuk merebut kedudukan kita dari dunia persilatan. Anak buah kita banyak yang sudah menjadi korban. Sedang diluaran bertambah lagi dengan munculnya Toan-kiam-Jan jin . .. hai, siapakah yang mati itu ?"

"Salah seorang dari kawanan Sip-pat thian-mo yang bergelar Long sim-mo !"

Seketika wajah pemuda itu berobah. "Long-sim-mo ?" ia mengulang,

"Benar."

"Ah, kiranya lawan sudah berani menyusup masuk kedalam pusat daerah kita. Mungkin beberapa korban yang berada di jalan sebelah luar hutan itu dia yang membunuhnya."

"Siapa lagi kalau bukan dia !" "Moay moay yang membunuhnya ?"

Agak ragu Ki Ing hendak menjawab tetapi akhirnya ia berkata:

"Hampir saja aku terkena tangan beracunnya." "Lalu siapa yang membunuhnya ?" "Toan kiam-jan jin!"

"Toan-kiam jan jin ?" pemuda baju kuning emas itu berteriak kaget, wajah berubah dan mundur selangkah lalu berseru. "kalau begitu dia tentu juga sudah menyusup kemari."

"Itu sudah dapat diduga,"

"Tetapi mengapa tak ada laporan dari para penjaga ?" “Dengan kepandaiannya yang tinggi rasanya para

penjaga itu tentu sukar untuk mengetahui jejaknya." "Mengapa dia membunuh Long-sim-mo ?" "Menolong aku dan Siau Hui."

"Dia tahu siapa dirimu?" "Tidak tahu."

"Apa saja yang kamu bicarakan."

"Tidak ada pembicaraan apa2. Dia dingin sekali. Muncul dan lenyap secara tiba2"

Pemuda itu berpaling kearah keempat Pengawal Hitam, serunya:

"Lekas kalian kembali ke gedung dan beritahu bahwa Toan-kiam-jin Jin sudah masuk kedaerah ini. Perkuat penjagaan!"

Keempat Pengawal Hitam itu mengiakan lalu melesat pergi. Cu Jiangpun segera melesat keluar hutan. Dari Jarak beberapa tombak, ia lepaskan tutukan-dari Jarak Jauh. Seorang Pengawal Hitam itu mendengus dan rubuh.

Ketiga kawannya kaget. Tanpa sebab mengapa kawannya itu mendadak rubuh. Setelah saling bertukar pandang, mereka bertiga terus lari. Cu Jiang melepaskan tutukan - Jari lagi dan seorang Pengawal Hitam rubuh lagi.

Yang dua orang makin ketakutan sehingga kakinya lunglai.

Seorang lelaki desa muncul dari gerumbul pohon. Melihat itu kedua Pengawal Hitam segera mengangkat pedang dan berseru:

"Hei, sahabat darimana ?"

"Mengambil nyawa." Baru berkata begitu, lelaki desa itu sudah melambung dan hantamkan kedua tangannya. Tak sempat lagi kedua pengawal Hitam itu menggerakkan pedangnya, tubuh mereka mencelat membentur pohon.

Terdengar erang tertahan mereka. Cu Jiang menyusuli dengan dua buah tutukan jari dan melayanglah jiwa kedua orang itu.

Setelah membunuh empat orang Pengawal Hitam dia masih belum puas. Dia lari kembali ke tempatnya tadi.

Tiba2 dia melihat Ki Ing dan Siau Hui lari menuju ke arahnya. Buru2 dia bersembunyi ke pinggir. Setelah ketiga orang itu lewat diam2 dia mengikutinya.

Saat itu timbul berbagai pertimbangan dalam hati Cu Jiang. Apakah dia harus membunuh putera dari ketua Gedung Hitam saat itu atau tidak.

Akhirnya ia memutuskan, untuk sementara dia takkan membunuhnya melainkan akan menggunakannya sebagai penunjuk jalan.

Sekeluar dari hutan mereka tiba di jalan besar. Karena takut akan diketahui mereka, Cu Jiang bersembunyi dengan hati2. Tiba di puncak gunung, matahari sudah condong ke barat. Ki Ing bertiga masuk lagi ke rumah makan tadi. Jelas rumah makan itu tentu mempunyai hubungan dengan Gedung Hitam. Ki Ing tak mau minum arak juga tak mau bicara. Dia hanya makan dengan gegas. Pemilik rumah makan melayani sendiri dengan sikap yang menghormat.

Cu Jiang yang juga masuk ke rumah makan itu, mendahului keluar dan menunggu di luar kota. Tak berapa lama tiga ekor penunggang kuda mencongklang keluar dari kota itu.

Haripun mulai malam. Malam di pegunungan lebih pagi datangnya dari di kota. Cu Jiang lalu gunakan ilmu meringan-tubuh untuk menyusul.

Setelah melintasi beberapa puncak, tampak sebuah biara kecil disebelah depan. Mereka bertiga hentikan kuda dan pemuda baju kuning emas itu bersuit. Sesosok bayangan muncul dari tempat gelap.

"Menghaturkan hormat kehadapan sau-pohcu!"

"Ya. Bawa perintahku, sampaikan kepada mereka agar penjagaan lebih diperlipat gandakan !"

"Baik." kata orang itu terus mengundurkan diri.

"Moay moay, mari kita masuk kedalam bersama, aku hendak bicara tentang sedikit soal kepadamu."

"Bicara sambil berjalan apakah tidak leluasa?"

"Tidak. Itu penting sekali tak boleh didengar orang lain." "Nanti kalau pulang ke gedung kita bicarakan lagi." "Juga kurang leluasa kalau bicara di gedung."

"Ah, jangan koko jual rahasia. Kitakan engkoh adik, masakan tak bisa omong2 dalam rumah . . ." "Nanti engkau tentu tahu sendiri." habis berkata dia berpaling kepada Siau Hui, "pulanglah dulu untuk memberi laporan. Siocia segera akan menyusul, agar pohcu dan hujin (nyonya majikan) tidak gelisah."

"Baik," Siau Hui terus mencongklangkan kudanya.

Diam2 Cu Jiang bingung. Akan mengikuti Siau Hui atau tetap mengikuti gerak-gerik kedua engkoh dan adik perempuannya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap mengikuti Ki Ing saja. Betapapun ia ingin juga mendengar apa yang akan dibicarakan kedua saudara itu.

Ki Ing dan engkohnya menuju ke biara kecil. Dalam pada itu Cu Jiangpun menyadari bahwa saat itu dia berada di daerah yang gawat. Penjagaan didaerah itu tentu sangat ketat. Maka dia harus berhati-hati sekali.  Sepanjang berjalan mengikuti kedua engkoh adik itu, dia selalu menggunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat.

Seorang thaubak atau kepala kelompok segera muncul menyambut kedatangan Ki Ing dan engkohnya. Setelah turun, keduanya menyerahkan kuda-kudanya kepada thaubak itu.

"Suruh anak buah dalam biara keluar semua. Walaupun terjadi apa saja, mereka dilarang masuk ke dalam biara," pemuda baju kuning emas itu memberi perintah.

Thaubak mengiakan lalu membunyikan pertandaan rahasia, setelah itu dia masuk kedalam hutan disamping biara.

Seperti bayangan setan, Cu Jiang menyelinap masuk ke biara itu. Biara itu tak berapa besar? Kecuali pintu besar, didalamnya hanya terdapat tiga buah ruang. Ruang muka merupakan ruang besar, sedang dua ruang yang lain tampak gelap. Tak ada penerangannya dan sunyi senyap. "Lekas bilanglah, koko," rupanya Ki Ing tak sabar. "Kita masuk ke ruangan," sahut engkohnya.

Setelah masuk kedalam ruang gelap itu, pemuda baju kuning emas itu duduk diatas sebuah kursi bundar kemudian mempersilahkan Ki Ing duduk di kursi yang di sebelah muka.

Dengan ragu2, duduklah Ki Ing. Tetapi sekonyong- konyong dia menjerit terus rubuh ke lantai.

Dari sela2 dinding disebelah luar ruang itu, Cu Jiang mengintai kedalam. Walaupun gelap sekali tetapi berkat matanya yang tajam dapatlah ia melihat keadaan dalam ruang itu.

Pada saat Ki Ing duduk, cepat sekali pemuda itu sudah menutuk Jalan darah nona itu.

Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Mengapa tiba2 pemuda itu menutuk Ki Ing. Bukankah keduanya engkoh dan adik ?

Karena jalan darahnya tertutuk, Ki Ing masih dapat bicara tapi tak dapat berkutik.

"Koko," serunya gemetar. "apakah artinya ini?"

Pemuda baju kuning emas itu tertawa riang: "Moay- moay, aku cinta padamu."

Seketika mendidihlah darah Cu Jiang. Hampir dia tak percaya akan pendengarannya. Bukankah pemuda itu engkoh dari Ki Ing? Mengapa dia mengucapkan kata2 begitu.

"Apa katamu ?" teriak Ki Ing tak kalah kejutnya.

Pemuda itu cepat mendekap pipi Ki Ing dan berkata dengan bisik-bisik. "Aku cinta padamu, aku akan memiliki engkau selama- lamanya."

"Apa engkau gila!" teriak Ki Ing. "Tidak, aku tidak gila."

"Lalu mengapa engkau berkata begitu ?"

"Karena aku cinta kepadamu. Bukan sehari dua hari tetapi sudah bertahun-tahun, kutunggu sampai engkau dewasa ..."

"Engkau . . . engkau ... benar2 sudah gila . . . " "Aku tetap waras."

"Engkau mau apa?"

"Adik yang baik, kawinlah dengan aku . .." "Engkau . . . engkau ..." Ki Ing bercucuran airmata.

Tetapi pemuda baju kuning emas itu malah tertawa gembira.

"Moay-moay, saat ini marilah kita jadikan hari baik kita itu ... "

"Engkau . . . berani?"

"Aku cinta kepadamu, takkan kubiarkan engkau jatuh ke tangan lain orang."

"Engkau manusia atau binatang?" "Sudah tentu aku seorang manusia."

"Aah, kalau ayah dan mamah tahu, engkau tentu dibunuh!"

"Jangan kuatir, mereka takkan melakukan itu." Mendengar pembicaraan itu seketika meluaplah kemarahan Cu Jiang. Benar-2 dia tak menduga bahwa di dunia terdapat manusia yang lebih rendah martabatnya dari binatang. Pada saat ia hendak bertindak . . .

"Sebenarnya engkau bukan adikku!" tiba2 terdengar pemuda itu berkata.

Cu Jiang tertegun dan hentikan langkah.

Ki Ingpun seperti disambar kilat kejutnya. "Aku bukan adikmu?" serunya gemetar.

"Bukan !" "Engkau ngaco!"

"Kalau tak percaya tanyakanlah pada mamahmu!.." "Mamahku ? Apakah mamahku bukan mamah mu?" "Bukan !"

"Mamahku sudah lama meninggal dan aku ikut ayah." "Engkau hanya ngaco belo "

"Dengar! Ini bukan ngaco belo, tetapi memang sungguh. Waktu engkau masih kecil, engkau datang ke gedung bersama mamahmu."

"Benarkah itu?" "Aku bersumpah."

"Lalu siapa ayahku ?" "Tanya pada mamahmu." "Ah !"

Ki Ing benar2 terpagut rasa kejut yang tak terhingga ketika mendengar asal-usul dirinya. Bahwa menurut keterangan pemuda yang dianggap sebagai engkohnya sendiri, ternyata antara dirinya dengan engkohnya itu ternyata bukan saudara.

Engkohnya itu adalah anak dari ketua Gedung Hitam dengan mamah yang lain. Dan ia sendiri adalah anak dari mamahnya yang berasal dari papahnya yang sudah meninggal.

Jelasnya ketua Gedang Hitam itu seorang duda dengan seorang anak, menikah dengan seorang Janda yang juga sudah membawa anak.

"Lepaskan aku." teriak Ki Ing setelah menyadari keadaan saat itu.

"Moay moay, engkau tentu tahu bahwa permintaanmu tentu tak dapat kulakukan," sahut pemuda baju kuning emas.

Ki Ing menjerit kalap. "Bunuhlah aku !"

Tetapi pemuda itu tak menghiraukan. Dia alihkan tangan mulai membuka pakaian Ki Ing seraya berbisik:

"Moay-moay, apakah aku sampai hati membunuhmu?" "Sekalipun kelak aku jadi setan, aku tetap takkan

mengampuni mu."

"Moay-moay, sejak kecil kita bermain-main bersama dan sama2 berangkat dewasa."

"Huh!"

"Moay-moay.."

Rasa malu, marah gugup dan geregetan meluap dari dada Ki Ing. Ia menguak memuntahkan darah segar lalu pingsan .... Saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi. Cepat ia melesat keluar...

Tetapi hampir berbareng dengan langkahnya itu, dalam ruang itu terdengar suara orang mengerang. Cu Jiang hentikan gerakannya. Tampak pemuda baju kuning emas Itu menggelepar di tanah. Ternyata punggungnya telah tertancap sebatang pedang pendek yang menyusup masuk hingga tinggal tangkai saja yang kelihatan.

Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Pembunuhnya itu cepat dan lipat sekali gerakannya. Tetapi siapakah gerangan  orang itu ? Kecuali ketua Gedung Hitam, siapakah yang memiliki keberanian untuk membunuh siau-pohcu?

Kalau bukan ketua Gedung Hitam tetapi orang luar, mengapa sama sekali tak terdengar suaranya memasuki ruang itu?

Jelas tadi pemuda itu telah memerintahkan kepada semua anak buah Gedung Hitam yang berada dalam kamar keluar semua. Dengan begitu tak mungkin terdapat orang yang bersembunyi dalam ruang itu.

Karena tak dapat memecahkan pertanyaan itu, Cu Jiang mementang mata dan memandang tajam ke sekeliling ruang itu. Tetapi dia tak melihat suatu apa.

"Sahabat dari manakah yang telah turun tangan ini, harap suka unjuk diri," akhirnya ia berseru.

Tetapi sampai diulang beberapa kali tetap tiada jawaban. Dengan perangainya yang keras kepala, bukan mundur  tetapi kebalikannya Cu Jiang malah ingin mengetahui peristiwa aneh itu. Cepat ia melesat masuk.

Tiba2 terpencarlah sepercik penerangan dan seketika ruang itu telah terang benderang. Cu Jiang terkejut, mundur tiga langkah. Entah kapan datangnya, ternyata di muka arca dalam ruang itu telah berdiri seorang wanita pertengahan umur yang cantik.

Sedang di atas meja terletak sebutir mutiara besar.

Mutiara itulah yang memancarkan sinar penerangan.

Wanita itu memiliki kecantikan yang cemerlang sekali sehingga orang takut untuk menatapnya.

Dahulu ketika masih muda, tentulah dia merupakan seorang Jelita yang jarang terdapat tandingannya.

"Adakah wanita cantik Itu yang membunuh  pemuda atau siau-pohcu itu ?"

Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang, berkatalah wanita itu dengan lembut:

"Dari manakah sahabat ini ?"

"Berburu dan kesasar tiba disini," sahut Cu Jiang. "Berburu orang atau berburu binatang ?"

Cu Jiang tertegun,

"Sudah tentu berburu binatang, masakan berburu manusia ?"

"Tetapi di gunung ini tiada jenis binatang yang berharga diburu."

"Baru pertama kali ini aku datang kemari."

"Sahabat, didepan area sang Buddha, Jangan menyulut dupa palsu. Gunung ini merupakan daerah pangkalan Gedung Hitam yang penting. Penuh dengan penjagaan sehingga burungpun sukar terbang melintasi gunung ini. Aku sungguh kagum atas nyali dan kepandaianmu . . ."

"Rasanya tak perlu kujelaskan lagi," kata Cu Jiang. Wanita itu tertawa, ujarnya: "Mengingat-ingat kau hendak menolong puteriku tadi, akupun takkan bertanya lebih lanjut tentang asal-usulmu ..."

Cu Jiang terperanjat. Ia tak menyangka bahwa wanita cantik itu adalah isteri dari ketua Gedung Hitam.

"Adakah nyonya yang membunuh sau pohcu tadi ?" serunya agak heran.

"Benar, karena dia sendiri yang cari mati," Menilik nada ucapan wanita itu, apa yang diceritakan pemuda baju kuning emas Kepada Ki Ing tadi memang benar. Rupanya antara nyonya itu dengan si pemuda, tak ada hubungan darah apa2.

"Kuperingatkan kepadamu!" kata wanita itu pula. "lekaslah engkau tinggalkan gunung ini. Engkau dapat datang tentu mampu pergi juga."

Apa boleh buat, Cu jiang terpaksa tak mau  bertindak dulu sebelum ia mengetahui jelas siapa dan bagaimana keadaan ketua Gedung Hitam itu.

Serentak ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih atas nasehat wanita itu. Kemudian dia berputar tubuh dan melesat keluar dengan tata-langkah Gong gong-poh- hwat. Tetapi cepat ia membiluk lalu dengan hati2 menyelundup masuk lagi.

Dilihatnya wanita cantik dan Ki Ing berdiri berhadapan. Air mata. Ki Ing bercucuran dan mulutnya mengertek lagi.

"Ma, engkau sudah lama berada dalam biara ini, tetapi mengapa engkau membiarkan saja binatang ini . . ."

"Anakku, serigala yang berhati buas, sudah lama kuperhatikan. Tak kira dia berani bernyali besar. Beruntung ditengah jalan aku bertemu dengan Siau Hui. Dia mengatakan bahwa engkau diajaknya kedalam biara ini. Aku seperti mencium gelagat tak baik dan bergegas datang kemari. Aku masih menunggu kalau2 dia sadar dan dapat menghentikan perbuatannya yang gila itu tetapi ternyata tidak. Maka akupun terpaksa turun tangan membunuhnya."

"Apakah keterangannya itu benar semua?" "Ini hanya sebagian yang benar."

"Bagaimana jelasnya?"

"Dia memang ikut ayahnya tetapi engkau adalah anak kandungku."

"Ayah ?"

"Nak, perlu apa engkau tanyakan? Kabarnya Toan-kiam jan-jin pernah menolongmu dari tangan Long-sim-mo ?"

"Ya."

"Apa engkau tak dapat mengenali dirinya?" Sejenak wanita itu merenung lalu berkata : "Nak, mari kita pulang."

"Mayat itu ?"

"Kita bawa pulang. Jangan sampai diketahui anak- buahnya, habis berkata dia terus menarik kain tirai dimuka arca, dibungkusnya tubuh sau-pohcu lalu dijinjingnya, setelah menyimpan mutiara, ia segera mengajak Ki Ing pergi.”

Keduanya naik kuda dan tinggalkan biara itu. Diam2 Cu Jiang tetap mengikuti. Lebih kurang sepuluhan li, haripun sudah terang tanah. Disebelah muka penuh dengan Jajaran puncak gunung, setelah melintasi jalan-setapak pada dua buah puncak, kedua ibu dan puterinya itu masuk kedalam lembah dan lenyap.

Cu Jiang terkejut sekati. Jaraknya dengan ke dua orang itu hanya sepuluhan tombak. Dia dapat melihat bayangan kedua ibu dan puterinya itu. Tetapi mengapa tiba2 mereka lenyap ?

Cepat ia mengejar akan tetapi tetap tak mendapatkan kedua wanita itu. Tampak disebelah muka karang gunung yang berbentuk menonjol dan menurun kebawah, Jalan bersilang selisih ruwet sekali. Sejenak Cu jiang berhenti. Ia teruskan pengejarannya atau berhenti disitu saja.

Beberapa saat kemudian ia memutuskan akan melanjutkan langkahnya mengejar mereka, ia memutuskan untuk mengambil jalan yang agak besar Tetapi setelah lari sekian saat, ternyata dia kembali lagi ditempat semula tadi.

Saat itu baru ia menyadari kalau dirinya sedang terkurung dalam sebuah barisan yang aneh. Pada hal dia tak mengerti sama sekali akan ilmu barisan yang aneh2. Kalau dia nekad melanjutkan lari menyusuri jalan2 hal itu tentu sia2 saja. hanya membuang tenaga. Bahkan kemungkinan akan diketahui musuh. Akhirnya ia memutuskan mencari sebuah tempat untuk beristirahat.

Ia merenung memikirkan keadaan yang dihadapi  saat itu, Bertahun-tahun Gedung Hitam dapat menjaga rahasianya sehingga tak dapat diketahui oleh orang persilatan, ternyata memang memiliki keistimewaan. Sebelumnya dia tak sampai berpikir begitu. Lalu bagaimana langkahnya sekarang?

Diam2 ia menyesal mengapa ketika di negeri Tayli dulu, dia tak mau belajar tentang ilmu barisan kepada gurunya?

Mungkin saat itu jejaknya sudah diketahui musuh. Terlambat, ia mengeluh. Kalau tadi dia terus bertindak tegas untuk menangkap kedua wanita itu dan menyuruh mereka menunjukkan jalan mungkin lain keadaannya. Tiba2 terdengar derap langkah orang berjalan dari arah gua. Tidak hanya seorang tetapi beberapa, Cu Jiang mulai tegang.

Saat itu kiranya sudah fajar hari tetapi keadaan di tempat itu masih tetap remang. Seketika timbul suatu pikiran. Benar, kalau mereka datang, asal dia dapat menangkap salah seorang dan memaksanya untuk menunjukkan jalan, tentulah dia dapat lolos dari tempat itu.

Tetapi tindakan itu tentu akan menimbulkan suara berisik. Kemungkinan akan mengundang kedatangan beberapa bala bantuan mereka. Padahal Gedung Hitam mempunyai banyak sekali jago2 ko-jiu yang sakti.

Tak berapa lama langkah kaki orang itu berhenti tak berapa jauh, ditengah barisan. Kalau ia diam saja, tentulah mereka takkan melihat, Setelah menentukan siasat, dia segera berteriak.

"Setan keparat, masakan orang berburu engkau sesatkan begini ?"

Tetapi tetap ada tiada penyahutan, kembali ia mengulang:

"Biar, masakah setelah hari terang toaya tak dapat keluar dari sini!"

"Ha, ha, ha, ha . ..." tiba2 tiga sosok bayangan manusia muncul di muka. Dua orang berpakaian ringkas dan  seorang berpakaian hitam, umurnya diantara tiga-puluh tahun.

Cu Jiang segera dapat mengenali bahwa yang berpakaian hitam itu tentu seorang thaubak (Kepala kelompok). Mereka tentu sedang bertugas menjaga barisan. Cu Jiang pura2 melonjak kaget dan berseru kepada mereka:

"Tuan-tuan sekalian, tempat apakah ini ?"

Lelaki berpakaian hitam itu memandang Co Jiang dengan tajam.

"Engkau tak tahu tempat apa ini ?" tegurnya  dengan nada dingin.

"Kalau aku tahu takkan kemari !"

"Tetapi bagaimana engkau masuk kesini ?"

"Mengejar binatang yang hendak kuburu dan akhirnya tersesat disini."

"Ngaco ! Jelas engkau tentu seorang persilatan . , . . " "Heh, heh, aku sebenarnya bukan orang persilatan tetapi

aku pun pernah berlatih beberapa gerakan silat."

"Hm, tiga puluh li sekeliling tempat ini, burungpun tak dapat masuk. Sahabat, engkau hebat juga !"

"Tuan tuan. aku benar2 seorang baik2. Sudah beberapa keturunan aku mencari nafkah sebagai pemburu."

Lelaki berpakaian hitam itu tiba2 melangkah maju, menebarkan kelima jari tangannya dan secepat kilat menerkam pergelangan tangan Cu Jiang. Cu Jiang memang sudah siap. Ia sengaja tak mau melawan.

"Aduh !" ia pura2 menjerit kesakitan dan terus berjongkok.

"Bawa dia !" perintah lelaki baju hitam itu. Kedua anak buahnya segera menyeret Cu Jiang.

Diam2 Cu Jiang gembira. Dengan membiarkan dirinya diseret begitu, bukankah suatu cara yang mudah untuk dapat masuk kedalam Gedung Hitam. Namun ia pura2 menjerit-jerit.

"Hai, apa-apaan kalian ini? Kalian bukan pembesar negeri juga bukan penguasa..."

"Bungkam mulutnya !" teriak lelaki baju hitam itu.

Hanya dalam beberapa kejap, cuaca sudah terang benderang lagi. Kiranya mereka sudah keluar dari barisan dan saat itu haripun sudah terang.

Dengan menyeret Cu Jiang kedua anak buah Gedung Hitam itu berlari. Diam2 Cu Jiang memperhatikan tempat2 yang dilalui. Kiranya dia dibawa kembali kearah biara kecil yang didatanginya semalam.

"Hai. tuan2 hendak membawa aku ke mana ?" teriak Cu Jiang. Sebenarnya mudah sekali dia membunuh ketiga orang itu tetapi ia memutuskan untuk tetap bersikap pura2. Ia hendak melihat lebih jauh apa yang akan dilakukan ketiga orang itu.

Sepeminum teh lamanya, tibalah mereka dimuka biara kecil. Kedua anak buah itu berhenti didepan pintu biara sedang lelaki baju hitam terus melangkah masuk kedalam biara. Tak berapa lama terdengar orang berseru memberi perintah.

"Bawa masuk !"

Suara orang itu menyengat telinga. Bukan seperti suara orang laki tetapi Juga bukan suara orang perempuan.

Kedua anak buah itu segera menyeret Cu Jiang masuk kedalam biara. Sunyi senyap tiada orangnya. Dan salah seorang dari kedua anak buah itupun segera berseru. "Orangnya sudah kami bawa!" Sejenak bertukar pandang, kedua anak buah itu segera melangkah kedalam ruang besar. Tetapi tiba dipintu, keduanya menjerit kaget dan tegak seperti patung.

Cu Jiang merentang mata memandang kedalam ruang besarku. Seketika bulu kuduknyapun ikut meregang dan semangatnya terasa terbang.

Ternyata dalam ruang besar itu telah berjajar lebih dari lima puluh sosok mayat manusia. Dijajar rapi sekali! Juga lelaki baju hitam yang baru masuk tadi, pun ikut terbujur dalam jajaran mayat itu.

"Huak, huak..." tiba2 kedua anak buah itu menjerit dan rubuh ke lantai. Sementara karena dilepas, Cu  Jiang terhuyung-huyung hampir jatuh.

Kini di hadapannya telah muncul dua  orang wanita muda berpakaian warna merah. Mereka memandang Cu Jiang lalu tersenyum.

Saat itu baru Cu Jiang menyadari. Kiranya Ang Nio Cu juga ada disitu. Dan semuanya itu adalah perbuatannya.

Kedua manusia baju merah itu menyeret mayat kedua anak buah Gedung Hitam dan dijajarkan pada jajaran yang lain.

Cu Jiang cepat melesat masuk, serunya: "Toaci, engkau juga datang kemari?"

Sesosok bayangan merah darah, melesat keluar dari belakang arca.

"Ai, siaute, aku memang lebih dulu dari engkau. "

"Oh, taci sudah lebih dulu datang? Mendapat penemuan apa saja?"

"Lekas kita tinggalkan gunung ini! " "Kenapa?"

"Bukankah engkau terjebak dalam barisan? Itulah yang akan menjadi soal "

"Soal?"

"Benar. Gedung Hitam itu terletak di tengah barisan Apakah engkau tahu akan ilmu barisan?"

"Ti dak. "

"Itulah makanya engkau terperangkap."

"Mengapa toaci tak mau membiarkan salah seorang dan mereka hidup untuk kita korek keterangan?"

"Soal itu tak perlu engkau ingatkan. Apa yang harus dikerjakan tentu kulakukan. Tetapi mereka lebih suka mati daripada membuka mulut. Dan sesungguhnya, kecuali beberapa tokoh yang mempunyai kedudukan, para thaubak dan anak buah itu memang tak mengerti keadaan markas mereka.

Barisan itu dijaga sendiri oleh orang kepercayaan ketua Gedung Hitam. Tanpa ijin, siapapun tak boleh masuk ke markas. Berani melanggar tentu dihukum mati."

Tiba2 Cu Jiang membanting-banting kaki.

"Celaka, aku telah melepaskan kesempatan yang baik!" serunya.

"Kesempatan apa ?"

"Sebenarnya aku sedang mengikuti jejak isteri ketua Gedung Hitam dan puterinya. Kalau tahu begini, lebih baik mereka kutangkap saja .. "

"Percuma." "Kenapa ?" "Engkau tetap tak dapat pergi dari tempat itu, Begitu masuk kedalam barisan, engkau tentu kehilangan faham. Bentuk luarnya, barisan itu menyerupai barisan Kiu-kiong- pat-kwa. Tetapi dalamnya merupakan barisan Bi-hun-toa- tin (barisan besar Penyesat nyawa). Aku sendiri pernah menyusup masuk jauh ke dalam. Andaikata tak lekas2 menyadari gelagat, mungkin aku tentu sudah terperangkap didalamnya."

"Karena sudah tahu akan nama barisannya, toaci tentu..."

"Yang kuketahui hanya kulit luarnya saja. Tetapi bagaimana perobahan2 didalamnya, hanya lawan yang tahu. Juga belum diketahui apakah di luar barisan itu masih terdapat lain batuan bay-Taok (barisan pendam).

Taruh kata engkau dapat menangkap seorang lawan yang berkedudukan penting, pun begitu masuk kedalam barisan Bi-hun tin, pikiranmu akan kacau dan tentu tertangkap. Bukankah itu akan sia2 saja?"

"Lalu bagaimana langkah kita sekarang ?" "Mencari seseorang."

"Siapa ?"

"Seorang aneh yang sudah lama mengasingkan diri dari dunia persilatan, bergelar Ih-se lojin..."

“Ih-se lojin ?" Cu Jiang mengulang heran. "Ya, pernah dengar ?" tanya Ang Nio Cu. "Belum."

“Gelarnya Ih-se lojin, siorang tua yang meninggalkan keduniawian, sudah tentu tak mau campur dengan manusia lagi. Perangainya aneh, tak kalah dengan tabib Kai-Jiu-sin- jin itu." "Perlu apa mencarinya ?"

"Dalam dunia persilatan Jaman ini, kecuali dia seorang yang mahir akan segala ilmu barisan aneh, masih ada seorang lagi yakni Gong-gong cu . . ."

"O, mencarinya unjuk memecahkan barisan di Gedung Hitam ?"

"Benar, minta petunjuknya.” "Dimana tempat kediamannya ?"

"Ada dua buah jalan yang dapat kita telusuri. Menurut kabar, ada orang yang pernah melihatnya berada di gunung Tay-pa-san. Dan yang kuketahui, dia tinggal di gunung Bok-nia. Kedua gunung itu Jaraknya amat jauh sekali. Satu di utara, satu di selatan. Kita berpencar mencarinya. Kita tentukan kapan bertemu lagi. Bagaimana pendapatmu?"

Sesaat meragu, Cu Jiang menyahut: "Mengapa kita tak nantikan kesempatan lain lagi."

"Siaute," kata Ang Nio Cu dengan lembut, "rasanya hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan. Menunggu kesempatan, tiada kepastian waktunya. Dan lagi setiap waktu tentu terjadi perobahan yang sukar diduga. Mencari orang tua itu dan meminta petunjuknya cara memecahkan barisan, merupakan cara penyelesaian yang terbaik."

"Baik, aku menurut saja." "Bagus, adikku."

Cu Jiang merah mukanya lalu menanyakan Ang Nio Cu hendak menuju ke gunung mana.

"Aku lebih paham keadaan gunung Bok nia. Engkau yang pergi ke gunung Tay-pa-san. Empat-puluh hari kita bertemu di rumah penginapan Naga-hijau dikota Tongyang- shia."

"Baik, tetapi bagaimana ciri2 dari Ie-se lojin itu?"

"Ih. benar. Hampir saja aku lupa memberitahukan. Orang itu selalu mengenakan jubah warna kuning telur, tidak memakai kain kepala juga tidak bersepatu. Diantara kedua alisnya terdapat sebuah tahi lalat merah. Kalau bertemu tentu mudah mengenalinya ..."

Tiba2 dari arah jauh terdengar suara burung hantu. Dan Ang Nio cepat segera memberi isyarat tangan:

"Ada orang datang, kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini. Siaute, hati-hatilah dalam perjalanan !"

"Sampai Jumpa, toaci," kata Cu Jiang. Sekali bergerak dia sudah melesat keluar dan lenyap.

Suara burung hantu Itu memang dari anak  buah  Ang Nio Cu. Sekeluar dari biara, Cu Jiang melihat  segerombolan bayangan manusia yang berlari mendatangi dari arah jauh. Empat penjuru biara itu sunyi senyap.

Semua penjaga tempat itu sudah dibereskan Ang Nio Cu, Kawanan pendatang itu tentulah penjaga2 yang akan mengganti giliran.

Ia menuju keutara. Satu-satunya jalan singkat mencapai gunung Tay-soat san harus mengitari gunung Tay-hong-san. Kesanalah dia menuju.

Hari itu dia tiba di kota Ih-shia, sebuah kota bandar yang ramai. Bagian hulu terdapat kota Siang-yang dan bagian muara kota An-liok. Setelah melintas sungai Han cui. gunung Tay-hong-san sudah tak berapa jauh lagi.

Selama dalam perjalanan itu Cu Jiang tetap memakai kedok muka. Hanya pakaiannya berganti seperti seorang pedagang. Dia menginap di rumah penginapan Gwa lay ti tua.

Dia memesan beberapa hidangan dan arak. Tengah dia hendak menikmati hidangan, tiba2 pintu kamarnya dibuka orang.

"Jangan berisik, kalau keperluan nanti kupanggil," seru Cu Jiang mengkal. ia kira tentu pelayan.

"Ki Siau Hong, Ko Kun!" terdengar suara orang diluar. "Oh, silakan masuk."

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar