Pusaka Negeri Tayli Jilid 16

Jilid 16

SAAT itu, dia akan mematuhi nasehat Thian put thou. Dia takkan membiarkan musuh musuhnya itu sampai lolos.

Serentak ia menggembor dan terus menyerang. Antara mencabut pedang dan menyerang itu hampir terjadi pada waktu yang serempak. Keempat lelaki tua bertubuh tinggi besar itu benar2 tak mempunyai kesempatan lagi untuk bergerak. "Huak " terdengar jeritan ngeri disusul dengan darah yang muncrat ke empat penjuru. Si tua pendek itu lengan putus kepalanya terbang lalu rubuh seketika.

Ketiga lelaki bertubuh tinggi besar meraung dan serempak menghantam. Cu Jiang menahan dengan pedang kutungnya.

Ketika angin pukulan dan pancaran hawa pedang saling beradu, terdengarlah letupan yang keras. Cu Jiang masih juga tegak berdiri di tempatnya, tetapi ketiga lelaki tinggi besar itu terdorong mundur selangkah.

Kerut wajahnyapun berobah, matanya memberingas buas. Sementara kelima Pengawal Hitam yang berada di luar gelanggangpun sudah pucat mukanya.

"Masih ingat akan peristiwa berdarah di gunung Bu leng san dulu?" seru Cu Jiang.

Ketiga lelaki tinggi besar itu menggigil. Salah seorang berteriak.

"Siapakah engkau ini sesungguhnya ?"

"Pelajar baju putih yang pernah kalian hantam sehingga terlempar ke dasar jurang dulu !"

"Engkau pelajar baju putih itu ?" ketiga lelaki tinggi besar itupun serempak menjerit kaget.

"Siapa diriku sudah kuterangkan." Kata Cu Jiang. "kalau kalian mati tentu sudah tak penasaran. Kuharap kelak kalau kalian menitis jadi manusia, supaya jangan lagi tersesat ke jalan yang gelap..."

"Serbu !" serempak ketiga lelaki tinggi besar itupun, maju menyerang.. Sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik jeritan ngeri. Salah seorang dari ketiga lelaki tinggi besar itu rubuh ke tanah.

Cu Jiang juga menderita bahunya berguncang-guncang keras karena dilanda angin pukulan ketiga lawannya. Tetapi dia tak mau memberi ampun lagi. Ia taburkan pedangnya kepada lawan yang berada di sebelah kanan.

Dia menyerang dengan penuh dendam kesumat dan menggunakan seluruh tenaganya. Jurus Thian-te-kau-thay atau ilmu pedang Langit-bumi-terangkap, dilancarkan dengan hebat.

"Huaakk"

Terdengar pula jeritan ngeri dan lelaki tua yang berada disebelah kanan, tanpa sempat mengeluarkan suara terus rubuh bermandi darah.

Melihat gelagat berbahaya, lelaki yang disebelah kiri terus loncat mundur dan melarikan diri.

"Hai, hendak lari kemana engkau !" teriak Cu  Jiang seraya loncat menaburkan pedang. Tubuh lelaki baju hitam itupun terhuyung jatuh terduduk, tubuhnya berkubang darah segar.

Melihat peristiwa sengeri itu, kelima Pengawal Baju Hitam pecah nyalinya. Mereka serempak lari.

Karena kakinya sudah sembuh maka Cu Jiang dapat bergerak dengan leluasa sekali. Percuma saja kelima Pengawal Hitam itu akan melarikan diri. Susul menyusul terdengar jeritan ngeri dari tubuh2 yang rubuh dan terpental sampai dua tiga tombak.

Cu Jiang hentikan kejaran dan kembali  ketempat keempat lelaki tua tadi. Dan empat orang yang mati tiga dan yang terluka satu. Memang Cu Jiang sengaja hendak menyisakan seorang untuk ditanya keterangan.

Menghampiri ketempat orang tua yang tak dapat berdiri itu, Cu Jiangpun membentaknya:

"Kuharap engkau mau menjawab dengan terus terang beberapa patah pertanyaanku ini!"

Lelaki tua itu mengangkat muka dan memandang Cu Jiang dengan deliki mata, serunya:

"Apakah engkau benar pelajar baju putih dulu ?" "Benar, putera dari Dewa-pedang !"

"Engkau tidak mati ?"

"Anggaplah belum ditakdirkan mati! Karena kalau aku mati, keadilan dan kebenaran, dalam dunia persilatan tentu akan hancur lebur ditangan manusia2 seperti engkau !"

"Bagus . . . budak kecil, aku menyerah, lekas bunuhlah aku ..."

"Tidak seenak itu !"

"Lalu engkau hendak mengapakan aku ?" "Beritahu namamu lebih dulu!"

"Ya, tak apa. Aku dan kawan-kawanku itu adalah pengawal dan istimewa dari Gedung Hitam . . ."

"Pengawal Istimewa ?" "Ya."

"Siapakah yang menjadi biang keladi dari peristiwa berdarah di gunung Bu-leng-san dahulu. Berapa orang yang ikut dalam peristiwa itu ?"

"Engkau kira aku mau memberitahu ?" "Tentu !"

"Engkau mimpi . . ."

"Yang ngimpi mungkin engkau !" tiba2 Cu Jiang jentikkan jari, menutuk jalan darah orang itu. Dia meraung keras, wajahnya pucat lesi.

"Sekarang engkau mau memberi keterangan atau tidak. Tak mungkin engkau akan bunuh diri," kata Cu Jiang dengan bengis.

Tetapi lelaki tua itu rupanya memang nekad, teriaknya kalap:

"Walaupun engkau siksa aku dengan cara apa saja, akhirnya akupun toh akan mati. Tetapi ketahuilah, budak kecil, engkaupun takkan hidup lama didunia. Gedung Hitam pasti akan membereskan engkau . . ."

"Kehancuran Gedung Hitam sudah di depan mata!" "Budak,   engkau  ngimpi.  Gedung   Hitam   itu  sekokoh

gunung baja, penuh dengan jago2 sakti. Dengan

mengandalkan "

"Jangan banyak mulut, lekas jawab pertanyaanku !" bentak Cu Jiang.

"Tidak !"

"Engkau menginginkan mati dengan dikerat sepotong- sepotong ?"

"Terserah!"

Cu Jiang ulurkan tangan kiri lalu mencengkeram bahu orang, diangkat dan dibentak. "Engkau mau bilang atau tidak !" Walaupun Menghadapi kematian tetapi wajah orang tua itu tetap tak berobah. Dia mengertek gigi dan menjawab tandas.

"Tidak !"

Cu Jiang marah sekali, Ia keraskan cengkeramannya sehingga daging orang itu remuk. Tetapi lelaki tua itu tetap tak mengerang, melainkan hanya deliki mata.

Cu Jiang geregetan sekali. Ia mencabut pedang kutung dan berseru:

"Apakah engkau benar2 tak mau bilang?" "Tidak !"

Cu Jiang mendengus geram. Ia tusukkan pedangnya pelahan-lahan menembus tulang bahu orang itu. Orang itu mengerang ngeri. Mukanya tak ubah seperti binatang buas yang sedang menderita.

"Bilang atau tidak ?"

Cu Jiang memutar pedangnya. Betapapun kuatnya orang tua itu tetapi setelah ilmu kepandaiannya dihancurkan, dia tentu tak tahan lagi menderita siksaan yang sedemikian hebat.

"Bunuh.... bunuhlah .... aku !"

"Tidak seenak itu!" "E.... uh auh "

Percuma engkau mengerang dan merintih.

“Aku akan menyuruhmu mati secara perlahan, seiris demi seiris, akan kusayati tubuhmu."

Karena menahan kesakitan yang tak tertahan, mata orang tua itu sampai melotot ke luar. "Bilang," bentak Cu Jiang. "siapa saja yang ikut pada peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san dahulu. Apa maksud mereka? biang keladinya jelas tentu ketua Gedung Hitam, majikan kalian itu!"

Namun orang tua itu tetap mengatupkan mulut kencang2 dan tak mau berkata apa2.

Akhirnya Cu Jiang memutuskan percuma saja ia menekan orang itu. Hanya membuang waktu saja. Karena jelas musuh utamanya adalah ketua Gedung Hitam. Sekali ia putar pedang, tubuh orang itu pun terbelah menjadi beberapa potong.

Setelah membasmi anak buah Gedung Hitam itu semua, ia berdiri tegak dan acungkan pedang lurus ke muka seraya memanjatkan doa:

"Ayah dan mamah yang berada di alam baka, harap menyaksikan anak akan mulai melakukan pembalasan!"

Setelah memasukkan pedang, ia menengadah memandang matahari. Saat itu matahari sudah mulai condong ke barat. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan agar besok pagi sudah keluar dari gunung.

Tetapi pada saat ia berputar tubuh, tiba2 terdengar sebuah suara melengking:

"Ih, puas ya melakukan pembunuhan?"

Cu Jiang segera dapat mengenali suara itu sebagai Ang Nio Cu Cepat dia berputar menghadap kearah pendatang itu.

"Mengapa anda masih belum meninggalkan gunung Bu- san ini?" "Tentu saja aku tak mau bekerja kepalang tanggung, setelah menyerahkan engkau kepada Kui jin-sin jin terus angkat kaki begitu saja!"

"Anda tentu menunggu sampai tiga bulan?"

"Hm, kiranya engkau dapat menghitung waktu dengan tepat!"

Tak tahu Cu Jiang bagaimana hendak menyatakan rasa terima kasihnya kepada wanita itu.

"Budi anda sampai akhir hayatku kiranya masih belum dapat kuhimpaskan." katanya dengan nada gemetar.

Ang Nio Cu tertawa.

"Tak ada orang yang mengharap pembalasan budi darimu. Dan tak perlu mengucapkan tentang budi pertolongan segala. Asal kelak engkau mencintai isterimu Ho Kiong Hwa, berarti engkau sudah membalas budi kepadaku. Dapatkah engkau melakukan hal itu?"

Tergerak hati Cu Jiang mengapa Ang Nio Cu begitu memperhatikan sekali si dara baju hijau Ho Kiong Hwa. Apa hubungan kedua wanita itu?

Ia termenung-menung memikirkan. Bahwa kali ini andaikata dia tak mendapat obat dan mati karena racun itu, bukankah Ho Kiong Hwa menjadi seorang janda yang belum dinikah.

Diam2 ia menggigil dan serentak menyahut. "Tentu!" "Kuhaturkan selamat atas pulihnya kembali kakimu yang

pincang dan wajahmu yang cacad."

"Oh apakah anda tahu?" "Anak dari makhluk aneh itu yang mengatakan. Kalau tidak masakan aku bersabar menunggu sampai  seratus hari."

"Oh, lalu lo-koko . . ."

"Dia juga masih berada di gunung ini menunggu engkau!"

"Di mana dia sekarang?"

"Di gua hati puncak Sin li hong."

"Jika begitu, aku harus menemuinya." teriak Cu Jiang. "Tunggu dulu!"

"Anda mau menugaskan apa lagi? "

"Jika mayat2 ini tidak disingkirkan, tentu akan memberi akibat yang hebat kepada si mahluk tua apabila dia menerima pembalasan . . ."

"Ah, benar. Aku hampir melupakan hal itu. Akan kusingkirkan mereka ..."

"Tak usah. biar kusuruh anak buahku yang mengurus mereka."

"Ah, mana aku berani membikin repot..."

"Tak usah mengatakan begitu. Tetapi bolehkah aku melihat wajahmu yang sekarang?"

Walaupun bertukar pembicaraan tetapi saat itu Ang-Nio Cu tidak menunjukkan diri dan bersembunyi di balik  sebuah batu pada jarak tiga tombak dari tempat Cu Jiang.

"Mengapa tak boleh." seru Cu Jiang terus membuka kerudung mukanya.

"Aa, sungguh tak bernama kosong mahluk aneh itu digelari sebagai Kui-jiu-sin jin. Dia seperti dewa yang dapat merobah kodrat alam. Benar2 wajahmu sama seperti dulu sebelum rusak! " Ang Nio Cu berteriak terkejut.

Cu Jiangpun menutup kembali kain kerudung. Lalu ia meluapkan kata2 yang sudah lama tersimpan dalam sanubarinya:

"Apakah aku boleh melihat wajah anda?" Rupanya Ang Nio Cu sudah menduga hal itu. "Tidak bisa." serunya cepat.

"Ini . . . apakah adil?"

"Harap engkau bersabar. Kelak pada suatu hari engkau pasti tahu. Sekarang belum waktunya."

"Mengapa?"

"Sudah tentu aku mempunyai kesulitanku sendiri." "Baiklah, sekarang tak perlu dibicarakan. Tetapi aku

hendak mohon tanya sebuah hal..."

"Silahkan bilang. "

"Apakah hubungan anda dengan Ho Kiong Hwa?" "Hem." Ang Nio Cu mendehem lalu merenung.

Beberapa  saat   kemudian   baru   berkata  lagi,  "erat  sekali

hubungannya tetapi belum waktunya memberitahu kepadamu."

"Di manakah dia sekarang?"

"Engkau hendak bertemu kepadanya?" Merah wajah Cu Jiang.

"Atas bantuan anda untuk merangkapkan  perjodohan ini, aku . . . seharusnya menanyakan tentang keadaannya . .

." Ang Nio Cu tertawa.

"Rupanya sekarang baru engkau memperhatikan dirinya?"

"Aku..." suara Cu Jiang tersendat-sendat, “sekalipun . . memperhatikan juga ..."

"Dia sehat tak kurang suatu apa." tukas Ang Nio Cu. "harap engkau jangan kuatir. Meski-pun dia bertubuh lemah tetapi berbudi luhur. Dia tak seperti muda-mudi yang selalu ingin bercumbu rayu. Saat ini diapun tak mengharap bertemu dengan engkau. Silakan engkau melanjutkan apa saja yang menjadi tujuanmu."

"Aku berterima kasih atas pengertiannya." "Tak usah."

"Masih ada sebuah hal lagi yang rasanya kurang layak

...."

"Kalau tahu kurang layak, mengapa hendak engkau katakan!"

"Karena terpaksa . . ." "Katakanlah !"

"Kepada anda aku harus menggunakan sebutan apa yang sesuai ?"

"Oh, engkau maksudkan hal itu .. . Ai, menyebut anda, apakah tidak sesuai ?"

"Kurang tepat dan tak sesuai!" "Kalau begitu, panggil saja toa-ci !"

"Toaci !" Cu Jiang diam2 terkejut. Dengan begitu tentulah Ang Nio Cu itu masih muda.

"Bagaimana ? Apakah kurang tepat ?" "Bagus sekali!"

"Dan akupun memanggil sebagai siaute:" “Terserah saja kepada toaci."

"Ha. ha, ha, ha " Ang Nio Cu tertawa gembira. Cu Jiang memperhatikan bahwa nada tawa Ang Nio Cu itu lebih cerah dan bening dari apabila dia berkata-kata. Dengan begitu jelas pada waktu berbicara, Ang Nio Cu tentu menggunakan tenaga-dalam untuk merobah nada suaranya.

Suara itu jelas bukan suaranya yang aseli. Dengan begitu dapatlah Cu Jiang menduga bahwa sebenarnya Ang Nio Cu masih seorang nona muda.

"Kabarnya toaci adalah murid pewaris dari perguruan Hiat-ing-bun ?"

"Soal itu aku tak menyangkal."

"Hiat ing-bun merupakan perguruan yang paling rahasia dalam dunia persilatan di daerah Tiong goan.  Selama ini tak pernah ikut serta dalam pergerakan apa saja dari partai2 persilatan. Maka tentu ada sebabnya toaci bergerak melawan kekuatan Gedung Hitam."

"Tentu! Orang tidak mengganggu aku. aku pun takkan mengganggu orang. Demikian pendirian perguruan kami . .

."

"Lalu apa sebabnya toaci sampai bertindak melawan Gedung Hitam ?"

Tiba2 nada suara Ang Nio Cu  berobah sember dan rawan.

"Ketua perguruan kami yang dulu bersama dua orang murid, telah dicelakai oleh ketua Gedung Hitam  maka akupun hendak menuntut balas !" "Jika begitu toaci mempunyai dendam permusuhan yang sama seperti aku."

"Soal itu sudah kuketahui ketika engkau bertukar jawab dengan pengawal istimewa Gedung Hitam tadi !"

"Apakah toaci pernah tahu  bagaimana wajah yang sesungguhnya dari ketua Gedung Hitam?"

"Tidak tahu. Durjana itu memang hebat sekali. Tidak mudah untuk mengetahui wajahnya yang aseli."

"Setelah turun dari gunung ini, aku terus hendak menuju ke Gedung Hitam."

"Engkau tahu dimana letak Gedung Hitam?"

"Kudengar terletak di tengah gunung Keng-san, tentu tak sukar untuk mencarinya."

"Ditengah gunung Keng san ?" "Ya."

"Tak mungkin engkau dapat mencarinya!" "Kenapa?"

"Kepergianmu ini tentu sudah diketahui musuh dan merekapun tentu sudah bersiap-siap menghadapi engkau!"

"Ya, benar."

"Lebih baik serahkan pekerjaan itu kepadaku saja." "Tetapi toaci tak tahu jelas keadaan dan letak markas

mereka yang tepat. Keng-san itu amat luas sekali, tentu memakan waktu lama sekali untuk mencarinya. Aku akan menempuh perjalanan pada waktu malam dan kalau siang beristirahat. Juga penyelidikan akan kulakukan secara rahasia."

"Baiklah, aku akan membantumu secara bersembunyi. " "Jika begitu aku ingin menemui lo-koko lebih dulu. "

"Silahkan. Urusan di sini akan kusuruh orang ku mengurusnya."

"Terima kasih atas bantuan toaci. "

Setelah kakinya sembuh maka Cu Jiangpun dapat melakukan gerakan yang sebelumnya dia tak mampu karena terhalang kakinya yang pincang. Sekali ayunkan tubuh, dia terus meluncur dan lenyap dalam hutan.

Naik ke puncak Sin li hong, haripun sudah malam. Bulan pudar, bintangpun samar. Sekeliling penjuru hanya gunduk2 puncak. Cu Jiang diam2 mengingat-ingat Ketika  lo koko membawanya ke sebuah gua di gunung Bu-san.

Tetapi saat itu dia sedang terluka parah, ingatannya tak terang sehingga tak dapat mengingat jelas letak gua itu.

Berbagai peristiwa terkenang dalam benaknya. Terutama pengalaman yang diperolehnya di gunung Bu-san itu. Kemudian diapun teringat bahwa diantara keanehan yang aneh itu. tentang pertunangannya dengan Ho Kiong Hwa. Ia sudah bertunangan tetapi ia tak merasakan hal itu.

Pikirannya tertumpah ruah pada dendam, kewajiban untuk menuntut balas atas kematian ayah bundanya.

Ah, apabila toa suhengnya Ho Bun Cai masih hidup dan menjabat congkoan dalam Gedung Hitam, dia tentu akan mendapat bantuan berharga untuk menyingkap tabir rahasia dari ketua Gedung Hitam dan komplotannya.

Yang membunuh Ho Bun Cai adalah Buddha-hidup Sebun Ong. Apa tujuannya?

Dia heran mengapa seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti toa suheng Ho Bun Cai, sampai tak dapat membela diri atau lolos dan harus menderita luka parah yang menyebabkan harus menemukan kematian yang begitu mengenaskan ?

Dendam kebenciannya terhadap Sebun Ong tak kalah hebatnya terhadap ketua Gedung Hitam. Sungguh tak kira bahwa ksatrya yang diagungkan sebagai Buddha hidup dalam dunia persilatan itu ternyata seorang durjana besar. Seekor harimau yang berselimut kulit domba.

Tengah dia melamun, tiba2 terdengar suara tawa yang parau.

"Lo-koko !" serentak Cu Jiang berseru girang. Thian put thou loncat ke hadapan Cu Jiang.

"Adik kecil, siang malam aku berada di puncak untuk menunggu. Akhirnya engkau datang juga."

"Lo koko, aku sungguh berterima kasih . . ."

"Ai, kebetulan aku sedang memanggang dua ekor ayam hutan dan mempunyai sebotol arak. Hayo, kita makan minum untuk menghangatkan badan . . ."

Mendengar itu seketika timbullah rasa lapar Cu Jiang. Dia segera mengikuti Thian-put-thou lari turun gunung.  Tak berapa lama mereka tiba di gua tempat mereka berhenti dulu.

Dua ekor ayam sedang terpanggang di unggun api, menyiarkan bau yang menggelitik perut. Setelah menambah kayu bakar, hawa dalam gua itupun terang dan hangat.

Cu Jiang mengatakan bahwa dia lupa dan tak dapat menemukan gua itu sehingga tadi dia berdiri termenung- menung di puncak.

Thian-put-thou tertawa lalu mengambil dua buah mangkuk dan guci arak. "Adik kecil, hayo engkau seekor aku  seekor,  kita ganyang sampai habis!"

"Dari mana lo-koko memperoleh arak?" Cu Jiang terkejut.

"Ini harus berterima kasih kepada Ang Nio Cu. Dialah yang mengirim," Thian put-thou tertawa.

"Ah," kata Cu Jiang lalu membuka kain penutup mukanya.

"Hai...!" Thian-put-thou melonjak kaget dan menjerit sehingga arak dalam mangkukpun tertumpah.

Cu Jiang juga ikut kaget tetapi cepat dia segera menyadari hal itu,

"Lo koko, wajahku sudah pulih kembali seperti dulu!" segera dia memberi penjelasan.

Thian put-thou menatap wajah Cu Jiang sampai beberapa saat.

"Ho, si Pencuri-tua ini sudah hidup sampai begini tua tetapi belum pernah mendengar peristiwa seaneh ini. Wajah yang rusak dapat diperbaiki dan pulih lagi. Kui Jiu sin-Jin benar2 manusia hebat sekali. Hayo, minumlah tiga cawan yang kuhaturkan untuk memberi selamat kepadamu !"

"Lo koko, silakan duduk saja" Cu Jiang tertawa geli melihat tingkah Thian put-thou yang bertubuh kecil pendek dan berloncatan seperti seekor kera.

Demikian keduanya lalu duduk dan menikmati arak. Baru pertama kali itu Cu  Jiang meneguk arak keras. Kemudian mereka mengganyang ayam panggang.

Selama makan dan minum itu Cu Jiang menuturkan tentang pengobatan yang dilakukan Kui-jiu-sin-Jin kepadanya. Thian-put-thou tak habis herannya. Sekonyong-konyong mereka mendengar suara harpa berkumandang dari kejauhan.

"Aneh, di tengah malam pada tempat yang begini sepi mengapa terdapat orang yang memetik harpa," kata  Cu Jiang.

Tetapi Thian-put-thou tak menyahut. Rupanya semangatnya sedang terpikat oleh irama harpa itu.

Cu Jiang juga begitu. Dia rasakan semangatnya melayang-layang dan hidungnyapun mulai basah.

Tiba2 Thian-put-thou menutup telinganya dan berseru: "Celaka, harpa iblis!"

Mendengar itu Cu Jiang tersentak kaget dan semangatnya yang melayang itupun sadar kembali. "Apa? Harpa iblis?" teriaknya.

Thian-put-thou melepaskan tangannya.

"Itulah irama harpa iblis dari Bu san sin li." serunya. "Apa? Bu-san sin-li?"

"Engkau tak pernah mendengar namanya?" Cu Jiang tertawa nyaring.

"Apakah lo-koko hendak bercerita tentang dongeng raja jin bertemu dengan bidadari dari gunung Bu-san "

"Sin-li itu bukan bidadari dalam dongeng yang itu! " "Lalu apa? " Cu Jiang kerutkan alis.

Wajah Thian-put-thou mengerut tegang dan tangannyapun menutup telinganya lagi.

"Kalau bidadari itu masih hidup, umurnya tentu sudah lebih dari seratus tahun. Barang siapa mendengar suara harpanya, pasti akan mati. Adik kecil, ilmu tenaga- dalammu memang hebat sehingga tak merasa apa2. Tetapi aku lo koko ini ... . tak kuat bertahan diri "

Habis berkata dia terus pejamkan mata mengerahkan tenaga murni untuk menahan daya-kesaktian suara harpa.

Saat itu suara harpa deras seperti kuda besi mencongklang di medan peperangan. Penuh dengan hawa pembunuhan. Cu Jiangpun merasa berdebar hatinya, darahnya mulai bergolak. Dia terkejut lalu buru2 tenangkan semangat. Diam2 ia ingin mengetahui siapa gerangan wanita yang disebut Bu-san-sin-li itu.

Serentak dia keluar dari gua. Sejenak mendengarkan, ia merasa bahwa suara harpa itu seperti berasal dari puncak tempat dia mencari Thian-put-thou tadi.

Harpa melengking nyaring macam ujung pisau yang menusuk ulu.hati. Karena menderita debar yang  keras terpaksa Cu Jiang mendekap telinganya.

Berapa saat kemudian suara harpa itu lenyap. Cu Jiangpun segera lari menuju ke puncak. Tetapi apa yang disaksikan di situ, benar2 mengejutkan hati.

Belasan sosok mayat malang melintang di tanah dengan mulut, hidung, mata, telinga berlumuran darah. Jelas mayat itu tentu mati karena suara harpa tadi.

Menilik pakaiannya, mereka adalah anak buah Gedung Hitam untuk membantu rombongan anak buahnya yang lebih dulu masuk ke dalam lembah itu.

Dengan begitu jelas sudah, bahwa anak buah Gedung Hitam banyak sekali yang dikirim ke lembah Mo jin-koh.

Pada saat itu tiba2 tampak sosok bayangan yang bergerak. Ternyata dua lelaki tua tengah berbangkit berdiri dari tanah. Cu Jiang terkejut. Jika kedua orang itu tak mati terserang suara harpa, tentulah mereka memiliki kepandaian yang sakti. Kedua orang itupun melihatnya.

"Sahabat dari mana ini? " tegur orang itu.

"Apakah kalian ini dari Gedung Hitam?" Cu Jiang balas bertanya.

"Benar," sahut yang seorang, "sahabat dari mana? " "Hm, aku mempunyai peraturan! "

"Peraturan apa?"

"Begitu memberitahu namaku tentu akan mengalirkan darah! "

"Ha, ha. ha, budak kecil, siapakah engkau  ini sebenarnya? "

"Toan-kiam jan-jin!" baru mengucap begitu Cu Jiang terkejut sendiri karena teringat bahwa saat itu dia tak mengenakan kerudung muka. Adalah karena  bernafsu sekali untuk membasmi setiap anak buah Gedung Hitam maka dia sampai lupa.

Kedua orang itu terkejut dan menyurut mundur dua langkah seraya berteriak:

"Toan-kiam-jan jin?"

Cu Jiang melesat ke hadapan mereka berdua. Dalam cuaca malam yang gelap gulita, sepasang matanya tampak berkilat-kilat seperti harimau melihat korban.

"Lekas cabut pedang dan bertempur!"

Kedua lelaki tua harus segera mencabut pedang mereka. "Toan-kiam jan jin, tentunya engkau mempunyai alasan

untuk bertempur ini! " seru salah seorang dari lelaki tua itu. "Tentu saja!" "Apa alasanmu?"

"Membalas dendam berdarah!" "Dendam berdarah yang mana? "

"Aku adalah putera dari Dewa Pedang Cu Beng Ko, mengerti?" seru Cu Jiang seraya sudah mempersiapkan pedang.

Kedua orang itu menyurut selangkah lagi.

"Engkau .... anak dari Dewa-pedang?" seru salah seorang.

"Ya."

Sekilas sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik teriakan ngeri. Sebelum kedua orang itu sempat bergerak, mereka sudah rubuh di tanah.

Cu Jiang masukkan pedangnya dan memandang ke sekeliling. Tetapi tiada terdengar suara apa2.

"Apakah Bu san-sin-li sudah pergi? Sebatang harpa dapat membunuh sekian banyak jiwa . . ." pikirnya.

"Toan-kiam-jan-jin, Sin-li mengundangmu!" tiba2 terdengar lengking suara wanita.

Cu Jiang terkejut dan memandang ke arah tempat suara itu. Seorang dara baju hijau tampak berdiri tiga tombak jauhnya.

"Apa? Sin li mengundang aku?" "Ya."

"Hendak memberi petunjuk apa?" "Silahkan ikut aku." Karena heran dan ingin tahu, Cu Jiangpun segera ayunkan langkah mengikuti dara itu. setelah melintasi sebuah hutan yang gelap gulita mereka tiba di sebuah tempat yang penuh dengan batu2 aneh.

"Harap berhenti dulu." tiba2 dara itu berpaling.

Kemudian dia terus menyusup lenyap ke hutan batu itu.

"Apakah engkau yang bernama Toan kiam jan jin?" tiba2 terdengar suara seorang wanita dari balik batu. Merdu dan lembut sekali nada suaranya, seperti mengandung daya pikat yang kuat.

"Siapakah wanita itu? Menurut keterangan lo-koko, Bu- san-sin li itu sudah berumur seratusan tahun. Tak mungkin memiliki nada suara yang  begitu merdu. Apabila dia menggunakan ilmu tenaga dalam, paling2 hanya mampu memperbesar atau memperkecil nadanya saja tetapi tak dapat mengubah kelembutan dan kemerduannya."

"Ya," sahutnya.

"Tetapi engkau tidak cacad," kembali suara yang merdu memikat itu terdengar pula.

Cu Jiang terperangah. Dia tergesa-gesa ke luar tanpa memakai kerudung muka dan berjalan dengan tegak, sehingga tidak sesuai lagi sebagai Jan jin atau manusia invalid.

"Mungkin tetapipun belum tentu !" sahutnya. "Apa artinya ?"

"Itu soal peribadi, harap jangan mendesak lebih lanjut." "Engkau congkak, ya ?"

"Tidak." "Tenaga-dalam dan ilmu pedangmu, hebat sekali. Engkau benar2 seorang tunas yang sukar didapat keduanya

. . ."

"Ah, harap jangan memuji."

"Dibawah alunan suara harpa dalam lagu Panggilan- Jiwa engkau masih dapat bergerak dengan leluasa, sungguh baru pertama kali ini aku bertemu."

Cu Jiang terkejut. Menilik kata-katanya wanita itu tentulah Bu-san sin-li, Seorang wanita yang berumur seratusan tahun tetapi dapat melantangkan nada suara seperti seorang dara, sungguh hebat bukan kepalang.

Lagu Panggilan-Jiwa ? Uh, betapa seram nama lagu itu. "Adakah anda ini Bu-san-sianli ?" akhirnya Cu Jiang

serunya.

"Benar, pengetahuanmu luas sehingga kenal  juga namaku sebuah nama yang sudah lama hilang dalam dunia persilatan."

"Apakah maksud anda memanggil aku ?"

"Sebenarnya aku sudah mengasingkan diri dari dunia ramai. Tetapi sungguh menjengkelkan orang2 yang datang mengganggu ketenanganku itu. Karena jengkel aku sampai memetik harpa lagi. Tak kukira kalau dapat menarik perhatianmu seorang jago muda. Engkau tidak terkecoh dengan suara harpa itu maka kuundang engkau datang kemari."

"Apakah hanya begitu maksud anda ?"

"Ha. ha, ha, ha . . . ." terdengar wanita itu tertawa gemerincing bagai untaian mutiara tertumpah di pinggang kumala. Menusuk telinga tetapi memikat hati.

Cu Jiang buru2 tenangkan pikiran. "Harap anda segera mengatakan apa yang anda hendak pesan kepadaku," katanya.

"Tunggu dulu. Apakah engkau mau mendengarkan sebuah lagu Selendang-pelangi lebih dulu?"

Tergerak hati Cu Jiang. Ia tahu  wanita itu hendak menguji kepandaiannya. Hal itu tak beda seperti bertanding dengan tangan, hanya caranya berlainan.

Menurut keterangan lo-koko, jelas wanita tokoh sembarangan. Dengan kata2 itu Sin-li hendak menantangnya. Ah, mengapa dia harus mengunjuk kelemahan. Biar dia terima tantangan itu sekalian untuk menguji sampai di mana tingkat kepandaiannya yang dimiliki saat itu.

"Sayang aku tak mengerti seni musik! " sahutnya.

Kembali Bu-san-sin li menghambur tawa yang mengikat jiwa.

"Kecuali engkau seorang tolol, tentulah engkau mengerti tentang seni suara. Paling tidak engkau tentu dapat menikmatinya."

"Yah, kalau begitu, aku menurut saja." "Jangan berdiri, duduklah yang santai."

"Hm," Cu Jiang terus duduk bersila di atas sebuah batu. Dia tahu bahwa ujian yang akan dihadapinya itu bukan olah-olah hebatnya.

Tung . . . tung . . . tung .

Tiga dentang suara yang nyaring bergemerincing. Setelah itu tak kedengaran suara apa2 lagi. Sampai lama baru terdengar suara yang halus dan lembut berkumandang. Terasa bagai sekawan bidadari yang melayang turun dari langit. Pelahan-lahan suara harpa itu makin deras dan cepat. Dan dalam perasaan Cu Jiang seolah dia melihat sekelompok bidadari dalam pakaian warna-warni macam warna pelangi mulai menari-nari sehingga pandang mata menjadi kabur dan silau.

Di luar kesadaran, tiba-tiba Cu Jiang berdiri dan bergerak gerak menari menurut urutan irama lagu itu. Uh tiba tiba dia tergelincir jatuh ke bawah dan kesadaran pikirannyapun pulih kembali.

"Berbahaya." serentak dia duduk lagi diatas batu. Menghening semangat dan cipta mengumpulkan perhatian dan pikiran. Dan lenyaplah bayang2 itu. Tetapi suara harpa itu masih tetap melengking-lengking.

Tetapi saat itu dia sudah tak terpikat oleh suara harpa Itu lagi.

Memang indah merdu nian suara harpa itu Cu Jiang hanya merasakan tetapi tak terpikat apa-apa.

Ilmu tenaga dalam Kim-kong-sin-kang  yang dipelajarinya telah memberikan dia kekuatan yang hebat sehingga mampu menolak segala gangguan dari luar.

Suara harpa tiba2 berobah menjadi lunak bagaikan suara dara2 yang tengah mendambakan musim semi atau seorang isteri yang tengah mengharapkan suaminya pulang.

Hati Cu Jiang kembali tak tenang. Tetapi cepat ia menyadari maka buru2 ia gunakan tenaga-dalam untuk menolaknya.

Begitu irama harpa itu berobah-robah, lagu demi lagu berganti dan kepala serta dahi Cu Jiang pun mulai bercucuran keringat.

Taaanngg..... Tiba2 harpa berhenti dan terdengarlah Bu-san sin-li berteriak:

"Hebat sungguh tenagamu sehingga mampu mendengarkan lagu Selendang pelangi sampai habis !"

Cu Jiang tertawa gelak2 lalu berbangkit.

"Sin li sungguh pandai bermain harpa !" serunya memuji. "Ah, tak nyana hari ini aku bertemu dengan seorang ahli

musik "

"Ah, mana aku patut disebut ahli. Kepandaianku cetek, sama sekali hampir tak mengerti keindahan seni musik. "

"Jangan merendahkan diri." "Memang benar."

"Apakah anda mau mengunjungi ke istana kami?"

Tergerak hati Cu Jiang. Dalam keinginan tahu, dia terus menyambut undangan itu dengan serentak.

"Harap Pengawal Hijau menunjukkan jalan!" seru Bu san sin li dan dara baju hijau itu segera muncul lalu menggapai kepada Cu Jiang:

"Sauhiap, harap ikut aku."

“Mungkin dara baju hijau itu adalah Pengawal Hijau yang dimaksud Bu san sin li"

Cu Jiangpun ikut di belakang dara itu.  Mereka menuju ke barisan batu. Walaupun tampaknya tidak teratur tetapi sebenarnya merupakan barisan aneh. Cu-Jiang tahu akan hal itu.

Setelah belok kian kemari, mereka tiba di muka sebuah gua. Pada puncak gua terdapat tiga buah ukiran huruf berbunyi: Sin-li-kiong atau Istana Sin-li. Di mulut pintu gua tampak empat dara baju hijau tegak berjajar pada kedua samping. Diantara senyum memikat dan mata penuh pesona tengah memandang Cu Jiang. Tetapi anak muda itu tak balas memandang mereka melainkan terus mengikuti si dara baju hijau masuk ke dalam gua.

Gua itu bersih dan datar, Puncak langit gua berhias mutiara yang memancarkan sinar terang benderang,  berjalan lebih kurang lima puluh tombak, pemandangan tampak makin terang.

Tampak beberapa ruang yang semua terbuat daripada batu kumala putih. Sayup2 terdengar suara harpa dan tawa. Burung2 seriti beterbangan kian kemari. Benar2 merupakan sebuah kerajaan yang indah.

Cu Jiang terkejut. Tak kira kalau ditempat alam pegunungan yang begitu sepi, ternyata terdapat sebuah tempat yang begitu indah. Bau harum yang bertebaran dibawa angin, benar2 menyegarkan semangat.

Setelah melalui beberapa bangunan, tampak sebuah ruang besar yang gilang gemilang. Di muka ruang itu penuh berhias dengan pohon bunga dan jalan yang terbuat dan batu putih.

"Harap tunggu sebentar." setelah tiba di muka ruang, tiba-tiba dara baju hijau itu berseru dengan hormat kepada Cu Jiang.

Kemudian dia membungkuk tubuh dan berteriak menghadap ruang.

"Tetamu sudah tiba, sedang menunggu di luar ruang.”

Dari dalam ruang terdengar suara seorang dara menyahut: "Silakan tetamu masuk !"

Dara baju hijau berpaling, tersenyum kepada Cu Jiang: "Silakan."

Cu Jiang segera ayunkan langkah. Tetapi alangkah kejutnya ketika kakinya seperti berat pada saat ia memandang kearah ruang. Kejutnya bukan kepalang.

Di tengah ruang tampak dua orang dara cantik yang  tegak berdiri di kanan kiri mengapit seorang gadis cantik berpakaian seperti puteri keraton.

Apakah dia itu Bu-san-sin-li ? Apakah dia yang dianggap sebagai Sin-li yang berumur seratusan tahun ?

Apakah dia Sin-li yang memikat hati orang itu? "Mengapa tidak masuk ?" terdengar sebuah suara yang

penuh pesona.

Cu Jiang seperti kehilangan semangat. Ia segera menyadari kalau dirinya telah terlongong2 karena kagum akan kecantikan Sin-li itu.

Diam2 merahlah wajah Cu Jiang. Melangkah ke muka lagi dia berhenti kira2 empat lima langkah dari tempat wanita itu lalu memberi hormat:

"Terimalah hormatku "

"Ah, tak usah banyak peradatan, silakan duduk." kata wanita itu.

Ketika Cu Jiang mengangkat muka dan pandang matanya beradu dengan mata wanita itu, dia terkejut sekali. Betapa bola mata wanita itu tampak bersinar-sinar penuh mengandung daya pesona. Bola mata yang sedemikian, bagaimana layak mau jadi milik seorang wanita yang berumur seratusan tahun? Dara baju putih itu mengisar sebuah kursi dari samping dan mempersilahkan Cu Jiang duduk. Cu Jiangpun duduk disebelah bawah.

"Toan kiam jan-jin," seru Bu-san-sin-li. “tentunya engkau mempunyai nama yang aseli."

"Tentu."

"Siapakah namamu itu ?"

"Maaf, belum dapat kuberitahukan."

"Kalau aku tetap menghendaki tahu supaya engkau memberi tahu ?"

Cu Jiang agak tertegun lalu menjawab: "Siapapun tiada hak untuk memaksa orang harus mau mengatakan hal yang dia tak suka bilang."

"Engkau congkak benar !" "Ah, tidak !"

"Apa maksud kedatanganmu ke gunung ini ?" "Minta obat."

"Apa sudah mendapat." "Ya."

"Menilik ilmu pedangmu yang hebat, engkau tentu pernah berguru atau bertemu dengan sesuatu yang luar biasa."

"Ya, aku tak-menyangkal." "Engkau kira aku berwajah jelek ?"

Cu Jiang terbelalak mendengar pertanyaan itu. Tetapi diapun dapat menyahuti: "Cantik dan Jelek hanya perasaan orang yang memandangnya. Jelek atau cantik itu hanya lahiriah, sama sekali tak mewakili buruk atau baiknya hati. Sekalipun cantik seperti Se Si jaman dulu, tetapi kalau hatinya seperti ular berbisa, apa gunanya ?"

"Hebat, hebat, sungguh suatu uraian yang hebat!"

"Sin li memanggil aku kemari, sebenarnya apakah yang Sin-li kehendaki?"

Bu-san-sin li tertawa.

"Yang datang itu sebagai tetamu, ijinkan aku mengunjukkan sikap dan penyambutan sebagai tuan rumah

!" habis berkata dia terus bertepuk tangan tiga kali.

Karena sudah terlanjur berada disitu, Cu-Jiangpun terpaksa harus menunggu lebih lanjut.

Tetapi bagaimana dengan lo-koko. Karena dia pergi dan tak balik, tentulah lo-koko itu akan bingung mencarinya.

Tak berselang berapa lama, sekelompok dara baju hijau muncul dan mempersiapkan hidangan pada kedua lorong besar itu. Setelah mereka mundur maka beberapa dara baju hijau muncul lagi dengan membawa hidangan.

"Ah, betapa mewah Bu-san-sin li hendak mengadakan penyambutan ini. Dia benar2 menikmati kehidupan yang mewah." pikir Cu Jiang.

Paling akhir, dua orang dara baju putih keluar dengan membawa poci perak. Keduanya berdiri setengah  berlutut di tepi meja.

Sambil berbangkit Bu-san-sin-li mempersilakan Cu Jiang duduk ke ruang perjamuan. Kedua duduk persis saling berhadapan. Cu Jiang sempat memperhatikan peralatan makan yang tersedia di meja perjamuan itu.

Cawan dari kumala hijau, sumpit seperti dari gading, makanan bersih dan beraneka warna.

Dara baju putih menuang arak. Setiup hawa harum berhamburan menebar ruang.

Tiba2 Bu-san-sin-li mengusapkan lengan bajunya kewajahnya dan seketika itu mata Cu Jiang-pun silau.

"Aahhh," mulut pemuda itu mendesah kecil.

Bu-san sin-li yang tampak mengerikan dengan kedok muka yang buruk, begitu kedok muka diusap diusap maka tampaklah sebuah wajah seorang nona Jelita yang cantik sekali.

Sedemikian cantik nona yang umurnya baru dua- puluhan tahun itu sehingga Cu Jiang terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat.

Apakah dia menggunakan ilmu sihir?

Tetapi cepat Cu Jiang menyadari bahwa Bu-san-sin li itu memang memakai kedok muka. Oleh karena itu baik kulit maupun nada suaranya memang tak menyerupai seorang wanita tua. Dan wajah yang tampak saat itu tentulah wajahnya yang asli.

Tetapi mengapa lo-koko mengatakan bahwa  umur wanita itu sudah mencapai seratusan tahun. Tidakkah Sin-li yang dihadapinya itu seorang nona yang berumur dua- puluhan tahun lebih ?

Bu-san-sin-li tertawa merdu. "Kaget ?" Cu Jiang merah mukanya. "Ya, memang tak menduga sama sekali."

"Demi menyambut kehadiran seorang tetamu terhormat, akupun mengunjukkan wajahku yang aseli."

"Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian Sinli yang begitu tinggi!"

"Benarkah?"

"Aku hendak mohon bertanya." "Silakan."

"Kabarnya Sinli sudah terkenal sejak dahulu ..." "Siapa yang bilang?"

"Seorang cianpwe."

"Omongan orang bagaimana dapat dipercaya? Mari, kita minum habis arak ini." kata Sin li terus mengangkat cawan.

Karena jawaban Sin-li itu menyimpang dari pertanyaan maka tahulah Cu  Jiang bahwa Sin-li tentu tak mau menerangkan sebenarnya. Diapun lantas mengangkat cawan dan menghaturkan terima kasih kepada Sin-li.

Harum dan lezat sekali arak itu. Cu Jiang tak tahu nama arak itu.

"Di pegunungan belantara sesunyi ini, tak ada hidangan yang lezat dapat kuhaturkan. Mari kita minum arak lagi."

"Ah. Sin-li terlalu merendah diri. Kulihat hidangan semua terdiri dari hidangan kelas satu yang mahal. Kecuali di istana dan di rumah pangeran2, rasanya jarang orang menghadapi hidangan semacam ini."

"Marilah, kita minum lagi . . ."

Setelah beberapa kali meneguk arak, Cu Jiang pun bertanya pula: "Apabila Sin-li hendak memberi pesan, harap mengatakan. Maaf, aku tak dapat lama2 mengganggu waktu Sin-li."

"Sejak seratus tahun ini, hanya lima orang yang pernah diundang ke Sin li kiong !"

"Jika begitu sudah seharusnya aku merasa bangga karena mendapat kehormatan besar !"

"Apakah engkau merasa rendah memasuki tempat ini ?" "Sama sekali aku tak punya perasaan seperti itu."

"Lalu mengapa hendak buru2 meninggalkan tempat ini?"

"Karena aku masih mempunyai urusan penting yang harus kuselesaikan, Dan lagi ada seorang kawan yang menunggu aku."

"Baiklah, sekarang mari kita bicara dengan serius." "Silahkan."

"Kuminta engkau mengobati seseorang !"

"Tetapi aku sama sekali tak mengerti ilmu pengobatan," Cu Jiang terkejut. "kedatanganku ke Bu-san ini juga bermaksud berobat. Kui-Jiu-sin-Jin juga tinggal didaerah ini, mengapa Sin-li tak mau minta pertolongannya ?"

Sin-li gelengkan kepala. "Makhluk tua itu tiada gunanya!" Cu Jiang tertawa.

"Kui-jiu-sin Jin Bun Jok Ih, dapat mengobati segala penyakit. Kepandaiannya seperti dewa masakan dia tak berguna. Aku. . ." tiba2 Cu Jiang hentikan kata-katanya:

"Memang benar." kata Sin li. "tetapi harus dilihat dulu siapa yang sakit." "Apa maksud Sin-li ?"

Bu-san-sin li kerutkan alis, katanya:

"Penyakit yang menyerang orang itu bukan penyakit biasa melainkan penyakit hati. Diseluruh penjuru dunia mungkin sukar mencari orang yang dapat mengobatinya. Tetapi engkau, Toan-kiam-Jan jin adalah tabib yang tepat untuk mengobatinya "

"Aku ?" Cu Jiang terkejut.

"Ya. Penyakitnya itu penyakit linglung. Jika engkau mau turun tangan tentu dapat menyembuhkannya."

"Ah, harap Sinli Jangan bergurau."

"Pernahkah engkau mendengar nama seorang pendekar yang bergelar Coat-ceng-kiam-khek?"

Cu Jiang terkesiap, merenung. Coat-ceng-kiam-khek artinya Pendekar pedang Patah-hati.

"Ya," ia mengangguk, "memang pada waktu kecil, mendiang ayahku pernah menyebut nama orang itu. Pendekar Patah-hati merupakan cianpwe yang sakti pada beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan sebatang pedang dia telah malang melintang dalam dunia persilatan. Setiap lawan tentu tak kuat menghadapi dua jurus serangannya. Tetapi sudah lama sekali beliau menghilang dari dunia persilatan. Entah mengapa tiba2 Sin-li mengatakan tentang dirinya?"

"Dia masih hidup! " "Ah. "

"Dan berada di istana sini!" Kejut Cu Jiang bukan kepalang. "Benarkah itu?" serunya. "Dialah yang kukatakan penderita penyakit linglung itu!"

"Oh ..... " Cu Jiang mendesuh, " tetapi aku benar2 tak mengerti ilmu pengobatan."

"Engkau bisa!"

"Ah, Sin-li berolok-olok. "

"Tidak, aku memang bersungguh-sungguh." "Ini "

"Terus terang kuberitahu kepadamu, Coat-ceng kiam- khek itu adalah suamiku."

Untuk yang kesekian kalinya Cu Jiang seperti dipagut ular kejutnya. Benar2 ia seperti orang bermimpi. Pendekar Patah-hati itu menurut umurnya tentu sudah seratusan tahun.

Menurut keterangan mendiang ayah Cu Jiang, waktu Pendekar Patah-hati muncul di dunia persilatan ayah dari Cu Jiang itu masih belum belajar silat. Sedang Bu-san-sin-li itu tampaknya begitu muda, belum ada tiga puluh tahun umurnya. Mengapa menjadi isteri dari Pendekar Patah- hati?

"Aku benar2 semakin bingung, " katanya. Bu-san-sin li tertawa, katanya:

"Suamiku itu adalah si Pedang gila "

"Pedang-gila?"

"Benar, karena mempelajari ilmu pedang, dia sampai jadi gila dan dari gila menjadi linglung."

"Aih."

"Selama lima tahun dia berkelana di wilayah Kanglam dan Kangpak dan selama itu belum pernah berjumpa dengan lawan yang mampu menandinginya. Oleh karena itu dia masygul dan berobah perangainya "

"Aneh sekali. Kalau tak mendapat lawan berarti ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat sempurna. Seharusnya gembira mengapa malah kecewa?"

"Soal2 dalam dunia ini memang ada kalanya tak dapat dipikir dengan nalar sehat. Bermula karena kuatir kalah dengan orang, giat dan tekun belajar. Setelah mencapai kepandaian yang tinggi lalu tak mendapat lawan dan kecewa, sedih, masygul "

"Apakah selama berpuluh tahun itu benar2 tak mendapat lawan?"

"Ya, memang tak ada."

"Misalnya seorang tokoh yang bergelar Dewa-pedang Cu Hong Ko itu?" sengaja Cu Jiang mengajukan pertanyaan.

Sin-li tertawa tawar. "Mendiang ayahmu, bukan?"

Cu Jiang meringis dan merahlah wajahnya. Kiranya waktu dia berbicara dengan kedua Pengawal Hitam tadi, diam2 Bu-san-sin-li telah mendengarkan. Terpaksa ia mengiakan.

"Aku hendak berkata terus terang, harap engkau jangan kecewa. Ayahmu belum dapat menjadi tandingannya!  " kata Bu-san-sin-li.

o0-dw-0o

Mau tak mau Cu Jiang tersinggung juga perasaannya. Ayahnya telah digelari kaum persilatan sebagai Dewa- pedang. Kalau dia tak mampu menerima dua jurus serangan pedang dari Pendekar Patah hati, bukankah gelar ayahnya itu hanya sebuah nama kosong belaka?

"Apakah sinli anda sudah pernah bertempur dengan mendiang ayahku?" akhirnya ia berseru dengan nada serius.

"Belum,"

"Lalu dari sudut manakah Sin-li mengadakan penilaian tadi?"

"Sudah tentu ada alasannya. Masakan aku hanya omong sembarangan saja."

"Mohon Sin-li suka memberi keterangan."

"Ai, agaknya harus dimulai dari permulaan," kata Bu san sin-li, “suamiku hanya lima tahun lamanya malang melintang di dunia persilatan. setelah itu lalu kukurung dia di istana ini. Tak kuijinkan dia muncul di dunia perbuatan lagi.

"Kenapa?"

"Selama bertahun2 tak ada lawan yang mampu menerima dua buah jurus ilmu pedangnya, kuibaratkan sebagai pohon. Makin tinggi pohon itu tentu makin sering dilanda badai. Makin termasyhur makin terancam. Musuh yang terang mudah dihadapi tetapi musuh yang gelap sukar dijaga. Sesungguhnya dia hanya tergila-gila pada ilmu pedang, sama sekali bukan karena hendak mengajar nama .

.. ."

"Hm, tetapi adakah suami Sin-li itu menurut saja?" "Sudah tentu tidak," sahut Bu-san-sin-li "aku mempunyai

cara tersendiri. Setiap tahun kusuruh seorang murid untuk turun gunung dan menyelidiki apakah saat itu di dunia persilatan terdapat seorang Jago pedang baru. Jika ada, maka suamiku tentu akan muncul untuk menantangnya . “ "Apakah selama bertahun-tahun demikian ?" "Ya."

"Kalau begitu tentu tak terhindar akan berhadapan dengan mendiang ayahku?"

"Belasan tahun tahun yang lalu, ayahmu sudah mengangkat nama. Namanya termasyhur di seluruh Tionggoan. Pada tahun itu akupun mengutus seorang anak murid. Kebetulan melihat ayahmu sedang memuji kepandaian dengan seseorang. Dalam sepuluh jurus, ayahmu dapat mengalahkan orang itu. Kemudiam anak murid yang kuutus itu segera mencari orang yang dikalahkan ayahmu dan mendatanginya. Dalam delapan jurus, anak muridku dapat mengalahkannya. Dari hal ini engkau tentu jadi jelas."

Tergetar hati Cu Jiang, pikirnya: "Jika ayah dapat mengalah dalam sepuluh jurus tetapi murid yang diutusnya itu mampu mengalahkah dalam delapan jurus: jelas jauh sekali perbedaannya . . ."

Tetapi segera Cu Jiang teringat bahwa jika tidak sangat terpaksa memang mendiang ayahnya tak mau mengeluarkan jurus It kiam tui hun yang diandalkannya itu.

"Masih meragukan, " serunya. Wajah Busan sinli berobah, serunya:

"Apa maksudmu?"

"Mendiang ayahku masih tak mau mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya. "

"Bagaimana engkau tahu?"

"Setelah menciptakan sebuah ilmu pedang sakti, jika tak terpaksa ayah tak mau menggunakannya. " "Ketahuilah, bahwa selama melancarkan sepuluh jurus serangan itu, masakan ayahmu tak menggunakannya?"

"Menurut dugaan memang tidak,” jawab Cu Jiang, "karena setiap kali jurus itu digunakan tentu lawan terluka atau binasa. Dan pula ayah mengingat karena pertempuran itu hanya semacam menguji kepandaian bukan suatu pertempuran antara musuh. Tentu ayah tak mau menggunakan jurus maut itu."

Bu san sin li mengangguk.

"Mungkin engkau benar," katanya, "mari, kita minum lagi." Habis berkata dia terus mengangkat cawan dan saling beradu cawan dengan Cu Jiang.

Beberapa saat kemudian kembali Bu-san-sin li berkata serius:

"Kalau menurut keteranganmu tadi, bukankah penilaianku pada waktu dulu itu salah ?"

"Mungkin."

"Apakah engkau juga mampu menggunakan Jurus ilmu pedang sakti ciptaan ayahmu itu ?"

"Dapat."

"Bagaimana tingkat penguasaanmu kalau di banding dengan ayahmu dulu ?"

"Aku berlatih dengan susah payah."

"Ketika tadi ia membunuh kedua lelaki tua baju  hitam itu apakah juga menggunakan jurus ilmu pedang itu."

"Bukan."

"Hm, maka kuduga ilmu kepandaianmu bukan berasal dari dunia persilatan Tionggoan tetapi dari suatu sumber yang aneh " "Ya, kutahu," tiba2 wajah Cu Jiang terkesiap menyadari sesuatu.

"Apa yang engkau ketahui ?"

"Sin li meminta aku mengobati penyakit suami Sin-li, bukankah tak lain dan bertanding ilmu pedang ?"

"Tepat," seru Bu-san sin-li, "inilah maksudku mengundang engkau ke dalam keraton sini."

"Lalu bagaimana yang harus kulakukan?"

"Tundukkan dia agar nafsunya untuk mencari orang yang dapat mengalahkan dirinya, dapat padam."

Darah muda Cu Jiangpun serentak berkobar. Demi menjaga nama baik ayahnya, dia harus meluluskan permintaan Bu san sin li.

"Apakah aku mampu?" tanyanya. "Mungkin mampu, tetapi . . ." "Apakah masih ada petunjuk lagi?"

"Akan kuterangkan lebih dulu kepadamu. Kalau engkau sanggup, terserah apa saja yang hendak engkau lakukan. "

"Apa maksud Sin-li?"

"Selama berpuluh tahun menyembunyikan diri, perangai suamiku berobah aneh sekali. Begitu turun tangan mungkin dia tak peduli lagi siapa musuhnya . . ."

"Apakah harus sampai berdarah?"

"Mungkin begitu. Kalau engkau tak sanggup  menghadapi bahaya, silahkan pergi."

Cu Jiang tertawa nyaring. "Bukan soal menghadapi bahaya tetapi soal pertempuran itu. Aku yang berlumur darah atau suami anda."

Wajah Bu san sin li mengerut.

"Aku hendak mengajukan permohonan yang kurang layak. "

"Apakah itu?"

"Kalau ilmu pedangmu memang lebih tinggi dari suamiku, harap membatasi diri untuk menutuknya saja."

Permintaan itu memang kurang layak dan lebih banyak dipengaruhi dengan kepentingan peribadi. Cu Jiang tertawa hambar:

"Kalau suami Sin li lebih sakti, aku tetap harus berlumuran darah?"

Merah muka Bu san-sin-li.

"Itulah sebabnya maka lebih dulu kukatakan bahwa permohonanku itu kurang layak. Tetapi, aku tentu akan berusaha untuk menghentikan adegan-adegan yang mengerikan itu."

"Baik." sahut Cu Jiang dengan wajah serius, "kuterima permintaan Sin-li."

Bu san-sin-li mengangkat cawan arak dan berseru: "Lebih dulu kuhaturkan arak terima kasih kepadamu."

Setelah minum, Cu Jiangpun tinggalkan tempat perjamuan itu dan duduk kembali di tempat semula. Demikianpun Bu-san-sin li. Beberapa dayang baju hijau lalu membenahi meja perjamuan.

Bu-san sin-li membisiki beberapa patah kata kepada dayang yang berada di sampingnya dan dayang itupun lalu bergegas ke luar. Tak berapa lama dia kembali lagi dan memberi laporan kepada Bu san-sin-li bahwa semua telah dipersiapkan.

Dari luar tiba2 tampak penerangan yang terang sekali. Dua orang dara membawa galang yang ujungnya diberi mutiara cemerlang tegak di ujung ruang.

"Cu sauhiap, apakah sudah siap ?" tegur Bu-san-sin-li. "Aku tak mempunyai persiapan apa2." kata Cu Jiang. "Baik, Jika begitu silahkan menuju keluar ruang !"

Sepanjang lorong serambi telah disediakan  tempat duduk. Cu Jiang dan Bu-san-sin-li lalu duduk di kursi yang sudah disediakan.

Sesungguhnya Cu Jiang merasa tak enak hati. Demi menegakkan keharuman nama mendiang ayahnya,  dia telah menerima adu ilmu pedang dengan syarat yang aneh itu.

Pendekar Patah-hati itu seorang tokoh aneh pada Jaman seratusan tahun yang lalu. Dapatkah ia menghadapinya nanti, sama sekali belum diketahuinya.

Begitu pintu disudut terbuka maka muncullah seorang jago pedang pertengahan umur dengan mengenakan pakaian yang gemilang.

Kecuali kerut wajahnya agak gelap, semangat dan tampangnya menunjukkan bahwa dia seorang pria yang cakap.

Cu Jiang benar2 heran tak mengerti, inikah yang disebut Pendekar Patah Hati itu? Apakah dia sudah berumur seratusan tahun ?

Pada saat Cu Jiang sedang mengambang renungan, jago pedang setengah tua itupun pelahan-lahan melangkah ke tanah lapang yang berada di muka ruang. Cu Jiang mengalihkan pandang matanya kearah Bu-san- sin-li.

"Dialah suamiku, silakan turun ke lapangan" suaranya agak tegang.

Setelah memberi hormat, Cu Jiangpun segera menuju ke tanah lapang. Ia tak sempat lagi untuk melontarkan pertanyaan2 yang terkandung dalam hatinya.

Saat itu si jago pedangpun sudah tiba di tengah dari persilangan jalan dari taman bunga yang berbentuk bundar. Dengan pandang berkilat-kilat tajam ia menatap Cu Jiang. Tetapi anak muda itu tenang2 saja melanjutkan langkah dan tegak di hadapannya.

"Beritahukan namamu!" sampai beberapa lama baru Cu Jiang membuka mulut. Nadanya dingin sekali.

"Putera tunggal dari Dewa Pedang yang bernama Cu Jiang." Sahut Cu Jiang dengan nada yang tak kalah dingin.

"Ha, ha, ha, ha! Dewa-Pedang, berani  benar menganggap diri sebagai Dewa !"

"Itu kaum persilatan yang memberikan nama Gelar bukan suatu kebanggaan !"

"Tetapi apakah pedang itu mempunyai Dewa?"

"Ilmu sastra setara dengan ilmu silat, berbeda tetap sama. Beberapa tokoh jaman dulu yang disanjung sebagai dewa, tentu takkan mengecewakan namanya."

"Tetapi sudah berpuluh tahun aku tak bertemu dengan lawan yang mampu mengalahkan, lalu bagaimana katamu?"

"Dalam dunia ini banyak tunas2 berbakat dan manusia2 yang luar biasa. Soalnya hanya belum dapat berjumpa dengan mereka saja." "Apakah engkau merasa bangga sebagai putera Dewa- pedang?"

"Ah, tidak. Aku hanya sekedar melakukan sesuatu yang tidak mengecewakan harapan orang tuaku."

"Lalu engkau bersedia hendak mengukur kepandaian denganku?"

"Hanya sekedar tukar menukar pengetahuan saja." "Berapa umurmu?"

"Dua puluh."

"Tahu berapa umurku ?"

"Kemampuan tak menghiraukan soal umur2"

"Kalau begitu aku tak berguna hidup seratusan tahun ?" "Aku tak bermaksud mengatakan begitu."

"Kalau engkau menyandang nama tanpa kenyataan, tahukah engkau bagaimana akibatnya."

"Aku tak meresahkan soal mati atau hidup." "Belum sampai pada tingkat itu."

"Lalu bagaimana?"

"Aku hendak membasmi semua jago2 pedang ternama dalam dunia ini."

Cu Jiang mendengus. "Hm, Janganlah anda kelewat bernafsu besar!"

Sijago pedang setengah tua   itupun   mendesus dan memandang Cu Jiang tajam2.

"Takkan kubiarkan kawanan berandal tak berguna itu menggunakan keluhuran nama Dewa." "Lalu apa tujuan anda belajar ilmu pedang ?" "Mengembangkan ilmu pedang."

"Tetapi dengan cita2 hendak membunuh semua jago pedang di dunia ini, apakah tidak menghancurkan kemajuan ilmu pedang?"

"Ngaco!"

"Aku berkata secara wajar."

"Hm, kalau engkau hanya bernama kosong tak ada buktinya, engkaulah yang pertama akan mati!"

"Kalau aku berhasil dapat menerima beberapa jurus ilmu pedang anda ?"

"Sejak saat ini nama Pendekar Patah - hati akan hapus dari dunia persilatan !"

Rupanya Jago pedang itu terpengaruh oleh emosi. Cu Jiangpun tertawa hambar.

"Ah, tak perlu harus begitu. Sesungguhnya dalam dunia ini tiada terdapat jago pedang yang tak ada tandingannya. Ilmu silat itu tiada batasnya. Jika anda memang tidak mengejar nama dan tidak memburu keuntungan melainkan hanya bertujuan hendak memajukan ilmu pedang, mengapa harus mempertaruhkan kehormatan nama?"

"Huh, engkau belum layak memberi nasehat kepadaku !"

Cu Jiang hendak berkata tetapi tak jadi. Berdebat dengan seorang yang dirangsang emosi tiada gunanya.

"Bagaimana kalau sekarang kita segera mulai?" serunya.

Dan Cu Jiang mencabut pedang kutung.

"Hai. engkau menggunakan pedang kutung?" Pendekar Patah-hati berteriak kaget. "Ya"

"Engkau berani memandang rendah aku?" "Memang inilah senjata yang kupakai!"

"Apa engkau tahu bahwa, panjang pendeknya senjata itu akan menentukan kemenangan ?"

"Tahu."

"Disini kita menyediakan pedang, engkau boleh tukar mana yang engkau sukai."

"Tak usah !"

Sejenak Pendekar Patah-hati merenung lalu pelahan- lahan menghunus pedang, serunya.

"Kalau begitu, bersiaplah menyambut seranganku." "Lebih dulu aku hendak berkata."

"Silakan."

"Entah menang entah kalah, mati atau hidup, aku hanya melakukan serangan satu jurus saja, takkan sampai dua jurus..."

"Ha ha, bagus, bagus! Jika kesaktianmu sebesar mulutmu yang sombong itu, hari ini aku benar2 bertemu dengan seorang jago pedang yang sejati!"

"Dan..." kata Cu Jiang pula, "sejurus permainan pedang yang kulakukan nanti adalah ajaran dari almarhum ayahku. Hal ini perlu kukatakan lebih dulu. "

"Ho, rupanya engkau mabuk dengan nama gelar Dewa pedang dari ayahmu?"

"Menjadi anak orang harus melanjutkan cita2 ayahnya." "Ha, ha, ha, hi, sungguh   besar sekali nyali mu.

Bersiaplah!" "Silakan."

Keduanya segera pasang kuda2, saling berpandangan dengan penuh perhatian. Suasana hening sunyi tetapi penuh ketegangan.

Berpuluh dara baju hijau dan putih tegak ber jajar2 di sekeliling tepi lapangan. Satupun tak ada lelaki. Tentulah kawanan dara itu tak mau melewatkan kesempatan untuk menyaksikan pertandingan in pedang yang jarang terdapat dalam dunia persilatan seperti itu.

Cu Jiang telah menghimpun dan memusatkan segenap semangat perhatiannya. Seolah-olah dirinya sudah menunggal dengan pedang.

Pendekar Patah-hati juga seperti patung. Matanya tak berkedip sama sekali.

Dua buah hawa pedang yang seram mulai bertebaran membawa bayang2 maut. Bu-san-sin-li segera berbangkit dan berdiri di titian. Dia tampak tegang sekali.

Memang dapat dimengerti. Cu Jiang adalah orang yang diundangnya sedang yang menjadi lawan adalah suaminya sendiri. Mungkin pertandingan itu akan berakhir dengan suatu kesedihan.

"Benarkah tindakanku ini?" ia bertanya dalam hati. Tetapi keadaan sudah seperti itu, sukar untuk dibatalkan lagi.

Detik demi detik berjalan tegang. Kedua belah pihak sama2 menyadari bahwa kali ini mereka  berhadapan dengan lawan yang paling berat yang pernah dihadapinya. Mati hidup, menang dan kalah, hanya tergantung pada perobahan setiap saat.

Setengah jam, lalu satu jam telah berlalu. Bagi yang bertempur, setengah dan satu jam, seperti tak terbuang sia sia. Tetapi bagi yang melihat, mereka merasa menunggu satu tahun lamanya!

Ketegangan suasana menyebabkan orang sampai tak berani bernapas. Bagaimana nanti akhir pertempuran itu tiada seorang yang dapat membayangkan.

Cuacapun makin terang. Bintang2 mulai pudar sinarnya. "Hait hait..."

Tiba2 dua buah suara gemboran keras memecah kesunyian. Entah siapa yang bergerak lebih dulu. Yang tampak hanya sinar pedang memancar lalu padam lagi. Tampak orang merapat lalu berpencar lagi.

Pertarungan antara dua buah pedang yang berdering nyaring, benar2 merontokkan hati orang. Sinar pedang berhamburan memenuhi sekeliling, daun dan ranting berguguran dan kawanan dara yang menyaksikan disekeliling tepi lapangan itupun pucat seketika.

Bu-san-sin-li menutup mukanya dengan ujung lengan baju. Ia tak berani melihat akhir pertempuran itu.

Tampak pedang Patah-hati berkerenyutan wajahnya. Pedangnya ditekan ke tanah untuk menyanggah tubuhnya yang bergemetar keras.

Sedangkan Cu Jiang masih memegang pedang yang terangkat keatas. Pedang miring tetapi tak sampai jatuh. Wajahnya membesi.

Beberapa waktu kemudian tiba2 Pendekar Patah-hati memekik keras: "Aku kalah. kalah sejurus . . ." kemudian dia tertawa nyaring. Nadanya panjang menggemuruh bagai ombak menyapu.

Bu-san-sin li membuka ujung lengan bajunya dan menghela napas panjang.

Cu Jiang pelahan-lahan menyarungkan pula pedang kutungnya. Walaupun sikapnya tampak tenang tetapi sesungguhnya hatinya berguncang keras.

Kemenangan yang direbutnya itu benar2 tak mudah. Hanya karena ia memiliki tenaga dalam yang hebat berkat mendapat rejeki luar biasa mempelajari kitab pusaka negeri Tayli, maka dapatlah ia memenangkan sebuah gerak dalam jurus permainannya.

Memang apa yang digunakan Cu Jiang saat itu bukan ilmu pedang Thian-te kau thay yang terdapat dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng dari negeri Tayli.

Apabila Cu Jiang menggunakan jurus Thian-te-kau thay dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, pendekar Patah- hati tentu bukan hanya kalah satu jurus tetapi pasti akan mengalami akibat yang mengerikan yaitu kalau tidak mati tentu terluka parah.

Tetapi demi menjaga martabat nama Dewa-pedang dari mendiang ayahnya, Cu Jiang tetap memakai jurus It-kiam- tui-hun. Memang berbahaya tetapi dia sudah memperhitungkan akibatnya.

"Ah, anda mengalah," seru anak muda itu dengan nada dingin.

Pendekar Patah-hati memegang pedang dengan tangan kiri lalu tangan kanannya menekuk. trang . . . pedang kutung menjadi dua. Sekalian orang yang berada di gelanggang pertempuran itu seketika pucat wajahnya.

Diam2 Cu Jiangpun menyesal. Dia mengakui pendekar Patah hati itu memang seorang jago pedang yang sukar dicari tandingnya. Jika dirinya tak mendapatkan sesuatu rejeki yang luar biasa, tak mungkin dia mampu mengalahkan jago pedang itu.

Setelah melemparkan kutungan pedang ke tanah, pendekar Patah hati tertawa nyaring.

"Sejak saat ini aku takkan membicarakan ilmu pedang lagi. Toan kiam jan-jin, sejak seratus tahun ini, engkaulah sesungguhnya jago pedang nomor satu dalam dunia persilatan!" serunya.

Ia berputar tubuh lalu berjalan pelahan-lahan dan lenyap di ujung pintu.

"Oh, terima kasih Bumi dan Langit, inilah penyelesaian yang menggembirakan sekali." terdengar Bu-san-sin li berseru dengan tegang.

Cu Jiang berputar tubuh menghadap ke arah Sin-li, serunya:

"Maaf atas kekurang-ajaranku!"

"Penyakit suamiku sudah sembuh sama sekali. Sungguh aku berterima kasih kepadamu." seru Sin-li.

"Ah, janganlah Sin-li mengucap begitu." "Cu sauhiap, apakah permintaanmu?"

"Tak ada, hanya akan mohon diri." Cu Jiang tertawa hambar.

"Apa tidak ada lain lagi?" "Tidak .... kecuali .... ada sedikit pertanyaan  yang hendak kumohonkan penjelasan Sin-li."

"Katakan."

"Menurut kata orang, Sin li sudah berusia seratusan tahun . . ."

Bu san sin li tertawa cerah.

"Semua penghuni dalam keraton ini, tak ada yang umurnya kurang dari lima puluh."

"Ah, bagaimana mungkin? " Cu Jiang terkejut.

"Ini suatu rahasia," kata Bu san sin li dengan wajah bersungguh, "harap setelah meninggalkan tempat ini, Cu sauhiap suka menyimpan rahasia."

"Baik."

"Istana Sin li kiong itu menembus sampai ke pusar gunung. Di situ mengeluarkan suatu sumber air Giok ciok leng lu (susu dari batu kumala). Semua penghuni istana itu minum susu itu dapat ternyata dapat membuat kita awet muda."

Cu Jiang terkejut.

"Jika begitu bukankah usianya akan abadi bersama dengan bumi dan langit." serunya. Bu san sin li tertawa.

"Mustika langit dan bumi memang mampu menentang takdir alam. Dapat membuat wajah takkan tua  selama- lamanya. Tetapi umur manusia tetap terbatas. Mana mampu menyamai bumi dan langit. Paling2 hanya lebih lama dari manusia kebanyakan. "

Memandang ke arah kawanan gadis2 cantik yang berseliweran itu, timbullah rasa heran dalam hati Cu Jiang. Masakan dara2 yang muda belia itu ternyata sudah berumur lima puluh tahun lebih. Apabila tidak mendengar keterangan dari Sin li sendiri, sudah tentu dia takkan percaya!

Dunia yang seluas ini ternyata memang penuh dengan segala macam keanehan.

"Ya, itu memang benar," akhirnya dia mengangguk membenarkan keterangan Sin li.

Saat itu cuaca sudah terang. Dia dapat memperhatikan bahwa istana Sinlikiong itu terletak di tengah cekung perut gunung. Empat kelilingnya merupakan dinding karang yang curam. Sedang istana itu menempati sebuah dataran seluas satu bahu lebih. Sungguh merupakan sebuah gua langit yang istimewa.

Lembah Mo jin koh tempat tabib sakti Kui Jiu sin jin merupakan sebuah taman firdaus atau tempat kediaman dewa. Tetapi kalau dibanding dengan istana Sin li kiong masih tetap kalah.

Bu san sin li berbisik-bisik memberi pesan kepada gadis  di belakangnya dan gadis itupun segera mengundurkan diri.

Cu Jiang teringat akan Thian put thou dan Ang Nio Cu. Dia ingin lekas2 menemui mereka maka diapun segera pamit.

"Harap tunggu sebentar." kata Sin li.

"Apakah Sin li masih mempunyai pesan lagi?" "Ya, sedikit."

"Harap suka memberitahu."

"Engkau dapat masuk ke dalam istana dan membantu urusanku, jelas hal itu merupakan suatu jodoh. Ada sebuah barang yang hendak kuberikan kepadamu sebagai kenang- kenangan." "Oh, ini aku tak berani menerima, terima kasih. "

"Tunggu, sebentar lagi tentu datang."

Tak berapa saat gadis itupun muncul dengan membawa sebuah kotak emas. Dengan kedua tangan dia menghaturkan kotak itu kepada Bu san sin li.

Setelah menerima kotak, Bu san sin lipun ayunkan langkah turun ke titian menghampiri ke tempat Cu Jiang, membuka kotak emas itu.

"Ini sebuah mustika Thian ju cu, mustika yang mempunyai khasiat memunahkan racun. Jika engkau bawa, engkau bebas dari terkena segala macam racun.  Dan apabila bertemu dengan orang yang terkena racun, asal engkau tempelkan pada mulutnya dalam sekejap saja tentu racun itu akan tawar. Akan kuberikan kepada sauhiap sebagai tanda kenang2an dari istana Sin li kiong."

Melihat mustika Thianjucu itu hanya sebesar buah kelengkeng dan berwarna putih kemilau, Cu Jiang tak berani memandang remeh.

"Ah, bagaimana aku layak menerima pemberian yang begini berharga. "

"Tak perlu siauhiap sungkan. Mustika itu tentu berguna sekali dalam perkelanaanmu di dunia persilatan."

"Jika begitu, akupun menurut perintah Sinli." "Silakan menyimpannya."

Cu Jiang mengambilnya dengan jari lalu disimpan dalam baju. Ia menghaturkan terima kasih dan terus pamit.

"Jika engkau memang hendak tergesa-gesa, silakan," kata Sin-li lalu berpaling seraya memberi perintah kepada gadis yang memegang kipas, "antarkan Cu sauhiap keluar." Gadis itu segera serahkan kipas kepada seorang gadis lain lalu berpaling kepada Cu Jiang, "Silakan ikut aku."

Setelah memberi hormat lagi kepada Sin-li, Cu Jiang lalu mengikuti gadis itu melangkah keluar seperempat jam kemudian barulah mereka keluar dari barisan batu.

"Cu sauhiap, harap suka membawa aku," tiba2 gadis itu berkata.

Sudah tentu Cu Jiang terkejut. "Apa? Membawamu pergi?" serunya. Gadis itu menghela napas sedih dan mengiakan.

"Apakah engkau tak kembali ke dalam istana?"

"Tidak, aku sudah jemu dengan kehidupan dalam neraka itu."

"Tempat dewa yang tiada taranya di dunia, dapat membuat orang awet muda, masakan engkau katakan sebagai neraka?"

"Berbulan-bulan, bertahun-tahun hidup didalam perut gunung yang tak kena sinar matahari, apakah bukan neraka namanya?"

"Apakah masih kurang baik?"

"Manusia," kata gadis itu, "harus menuntut kehidupan sebagai layaknya manusia. Walaupun tetap awet muda tetapi tak mungkin lari dari kematian. Mengapa tidak hidup wajar menurut kodrat alam sebagaimana lazimnya manusia?"

Rupanya Cu Jiang dapat mengerti isi hati gadis itu. ia mengangguk.

"Jika begitu, apakah kawan-kawanmu yang berada di istana itu hanya lahirnya saja tampak bahagia?" "Ya."

"Kalau memang begitu, mengapa tak tinggalkan tempat itu saja ?"

"Tak mungkin dapat." "Kenapa?"

"Kami telah dipaksa untuk menelan pil beracun. Tiap 3 hari sekali, kami harus menelan obat penawar racun itu. Jika kami tinggalkan tempat itu dalam tiga hari pasti mati!"

Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Dia tak menyangka bahwa Bu san-sin li yang tampaknya seperti seorang dewi, ternyata menggunakan cara sekejam  itu untuk menekan anak-buahnya.

"Kalau engkau pergi, bukankah engkau akan mati?" "Bukankah Sin li telah memberikan Thian-ju cu yang

dapat menawarkan racun itu ?"

"Oh kiranya engkau mengincar benda itu.”

"Mohon sauhiap sudi meminjamkan untuk menolong jiwaku," nona itu setengah mengharap.

"Ini . . ."

"Apakah sauhiap menolak?"

"Tetapi bukankah hal itu bertentangan dengan Sin-li ?

Mustika ini dia yang memberi !"

"Dayang2 dalam istana berjumlah puluhan, bukan hanya aku seorang."

"Tetapi tindakanmu menyalahi kebaikan Sin-li."

Dengan berlinang-linang airmata, nona itu memandang Cu Jiang, "Kalau memang demikian nasibku." katanya dengan sedih. "lebih aku mati asal mati di luar."

Habis berkata dia terus lari. Cu Jiang terkejut dan cepat mengejarnya.

"Sudahlah, ambil saja benda ini." katanya seraya menyerahkan mustika Thian-ju-cu itu.

Bercucuran air mata nona itu ketika memandang Cu Jiang.

"Budi sauhiap, sungguh tak dapat kubalas," katanya lalu menyambuti mustika itu terus dikulum kedalam mulut. Beberapa waktu kemudian ia muntahkan mutiara itu lagi. wajahnya tampak ceria dan berlinang-linang airmata kegirangan. Ia mengembalikan mutiara itu kepada Cu Jiang lagi.

"Namaku Tang Yin Yin. berasal dari daerah Han. Lima puluh tahun yang  lalu aku telah diculik dan dibawa kedalam istana "

"Lima puluh tahun yang lalu?" "Ya."

"Lalu sekarang engkau "

"Enam puluh delapan tahun." "Enam puluh  delapan?" "Ya."

"Ah, sungguh sukar dipercaya."

"Apakah sauhiap mengira kehidupan dalam istana itu bahagia ?"

"Ai, sungguh sukar dipercaya." "Apakah sauhiap masih mengira kehidupan dalam istana Sin li-kiong itu menyenangkan."

"O, tidak! Apakah engkau tetap hendak kembali ke daerah Han?"

Tang Yin Yin tertawa getir.

"Tidak. Ketika meninggalkan rumah, aku masih muda belia dan kini sudah menjadi seorang wanita berumur lebih dari setengah abad. Banyak orang yang sudah tak kenal lagi siapa diriku. Bahkan keluargaku tentu sudah banyak yang mati. Dengan wajahku seperti sekarang ini, orang tentu gempar. Dan juga Sinli tentu akan memerintahkan orang untuk mengejar aku, maka . . ."

"Bagaimana?"

"Walaupun wajahku masih cantik tetapi umurku sudah tua, sukar untuk diterima sebagai budak atau pelayan demi untuk membalas budi sauhiap. Maka aku hendak mohon diri, kelak apabila masih ada rejeki tentu dapat berjumpa lagi."

"Baik, silakan pergi agar jangan diketahui orang Sin li- kiong."

Sehabis menghaturkan terima kasih dan hormat, wanita itu terus melesat lenyap dari pandangan.

Cu Jiang masih tertegun. Peristiwa yang di alami malam itu, sungguh seperti impian. Menilik gerakan Tang Yin Yin tadi, sudah jelas dia memiliki ilmu kepandaian setingkat dengan jago kelas satu dalam dunia persilatan.

Kini wanita itu sudah bebas dari penghidupan seperti neraka. Tetapi bagaimana dengan kawanan nona yang masih berada di Sin li-kiong itu? "Hai, adik kecil, kukira engkau mendapat kesulitan, ah. membuat bingung hatiku saja!" seru Thian-put-thou yang berlarian menyongsong kedatangan Cu Jiang.

Cu Jiang amat bersyukur sekali. Manusia thian-put-thou yang tak peduli segala apa di dunia, bahkan apabila langit ambruk diapun takkan mempedulikan, ternyata begitu menaruh perhatian besar kepada dirinya.

"Lo-koko, maafkan aku," serunya. "Apa yang terjadi ?"

"Aku memburu suara harpa itu."

"Hm, sungguh besar sekali nyalimu. Lalu bagaimana hasilnya?"

Cu Jiang tak dapat membohongi lo-kokonya itu tetapi diapun harus menepati janji kepada Bu-san-sin-li  untuk tidak menyiarkan rahasia Sin-li-kiong.

"Lo-koko, semalam aku memang bertemu dengan peristiwa yang luar biasa," akhirnya ia berkata. "tetapi aku sudah berjanji kepada orang itu untuk tidak memberitahukan kepada lain orang."

"O, kalau begitu, akupun takkan bertanya lagi." kata Thian put-thou.

"Apakah semalam lo koko tidak tidur ?" "Engkau kira aku dapat tidur pulas?" "Ah, kalau begitu aku yang salah."

"Sudahlah, mari kita kembali ke gua  untuk menghabiskan makanan. Setelah itu baru kita turun gunung." Selama kembali kedalam gua merekapun masing2 habiskan sisa arak dan makanan setelah itu turun gunung. Cu Jiang masih mengenakan kerudung penutup muka.

Keluar dari daerah Busan, haripun sudah petang.

Perkampungan masih jauh.

"Lo-koko, kita cari tempat beristirahat atau lanjutkan perjalanan pada malam hari ?" tanya Cu Jiang.

"Jalan terus."

"O, benar Lo-koko, tolong pinjam kedok muka itu lagi." "Apa engkau masih mau menyamar ?"

"Ya, kalau tidak jejak kita tentu akan diketahui musuh."

"Disebelah muka sana terdapat perumahan orang, kita siapkan perbekalan."

Setelah lari beberapa saat mereka memang melihat beberapa perumahan orang. Thian-put-thou hentikan langkah.

"Tunggu dulu, aku hendak pinjam beberapa barang." "Apa lo-koko kenal dengan mereka?"

"Hi, hi, dengan siapa saja aku tentu kenal." Cu Jiang tersadar, serunya : "O, mencuri ?"

"Katakan pinjam, jangan pakai istilah mencuri, kurang sedap didengar."

Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir diapun sudah melesat pergi. Tiba2 dari sebuah perumahan itu terdengar suara anjing menyalak. Tetapi hanya sebentar terus sepi lagi. Dan beberapa saat kemudian Thian-put-thou sudah kembali dengan tertawa mengikik seraya membawa sebuah bungkusan.

"Hasil ?" Cu Jiang menegur tertawa.

"Adik kecil, untuk seperangkat pakaian baru ini akupun telah meletakkan setahil perak sebagai gantinya, adil bukan?"

"Terlalu banyak," seru Cu Jiang.

"Hayo, lekas engkau ganti pakaian," Thian-put-thou membuka bungkusan. Isinya seperangkat baju pendek warna biru, sepasang sepatu yang butut dan sebuah topi yang berlubang. Diapun mengeluarkan kedok muka dan diberikan kepada Cu Jiang.

Dalam pakaian Itu Cu Jiang berobah menjadi seorang pemuda desa. Pedang kutungnya dibungkus dengan bajunya sendiri dan dipanggul dibahu belakang. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan lagi.

"Lo-koko, apakah Ang Nio Cu masih berada digunung itu ?"

"Entah."

"Sejak turun gunung kita tak pernah..."

"Sudah kutinggalkan tulisan pada batu di luar gua." "Ah lo-koko sungguh cermat."

"Apa langkah pertama yang harus kita lakukan sekarang?"

"Cari ketua Gedung Hitam untuk membuat perhitungan!" sahut Cu Jiang.

"Tidak mudah untuk mencarinya " "Kalau tak sampai berjumpa dengan anak buah Gedung Hitam, kita masih punya cara lagi."

"Apakah bersama-sama berjalan dengan engkau, aku tidak mengganggu?"

"Tidak," sahut Cu Jiang. "dengan pengalaman lo-koko yang luas, sungguh suatu bantuan yang amat berharga sekali kepadaku. Tetapi hal ini menyangkut musuh keluargaku, aku hendak menyelesaikannya seorang diri. Harap lo-koko jangan salah mengerti,"

"Baik, kalau begitu kita bercerai saja." "Maaf, lo-koko, ini sungguh terpaksa sekali." "Kutahu."

"Apakah lo koko tahu letak markas besar dari perkumpulan Hoa-gwat bun ?"

"Itu merupakan suatu rahasia penting dari mereka. Aku belum pernah dengar."

“Jadi untuk mencari ketua Hoa-goat-bun, hanya secara untung-untungan saja ?"

"Tidak sukar." jawab Thian-put-thou, "anak murid mereka kebanyakan berada ditempat pelesiran. Dapat diselidiki jejaknya."

"Dan Bu-lim seng-hud Sebun Ong itu?"

"Tempat tinggal orang itu tak tentu, tak pernah terdengar orang menceritakan tentang rumah-tangganya."

Demikian mereka berpisah dan beberapa hari kemudian tibalah Cu Jiang di jalan besar yang menuju ke kota Kengso. Dalam dandanan seperti seorang pemuda dekil, tak seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya. Tak ada yang menyangka bahwa dia adalah Toan-kiam Jan Jin yang termasyhur itu.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar