Pusaka Negeri Tayli Jilid 07

Jilid 7

Entah berapa lama ketika ia sadar, ia rasakan dirinya seperti diseret di tanah yang lekak-lekuk tak rata. Tulang belulangnya serasa copot dari persambungan. Apakah dia hendak dikubur ? Kalau benar, matilah aku. Ternyata pil Kui-si-wan tak dapat bertahan lagi. Saat itu dia sudah sadar. Dia akan dikubur, pasti dia akan dikubur hidup-hidupan.

Teringat akan hal itu, ngerilah hatinya. Dikubur hidup- hidupan merupakan suatu kematian yang paling mengerikan.

Tetapi beberapa saat kemudian, Ia merasa ada suatu kelainan. Yang menyeret tubuhnya itu, sebentar berhenti sebentar berjalan. Dan terdengar juga napas yang terengah- engah. Jelas orang itu bukan seorang persilatan.

Cu Jiang tahankan segala penderitaan. Dia tak berani berkutik. Tak lama kemudian, tubuhnya terasa berhenti diseret. Tetapi sebagai gantinya dia mencium bau yang luar biasa busuknya, bau mayat yang membuat perutnya mual dan muntah. Menyusul seperti ada suatu benda yang merayap di jubahnya. Napasnya mendesas-desis ditelinganya.

Cu Jiang cukup lama tinggal di hutan. Dia faham akan keadaan isi hutan. Serentak timbullah suatu bayang2 yang mengerikan. Dan gemetarlah dia.

Breet. .. terdengar bunyi robekan dan karung itupun jebol. Sebuah kepala serigala yang penuh berbulu, matanya yang berapi-api dan lidah marah yang menjulur panjang, tengah memandang kedalam lubang karung yang telah dirobeknya itu.

"Ah, mati aku sekarang." pikir Cu Jiang Tetapi sudah menjadi naluri setiap mahluk hidup, tentu akan berjuang untuk menghadapi maut. Demikianpun Cu Jiang.

Tiba2 ia teringat akan kutungan pedang Seng kiam yang masih disimpan dalam bajunya. Ya, hanya itu satu-satunya senjata yang dimiliki. Serentak dia mencabut dan disorongkan lewat lubang karung.

Tiba2 serigala itu meraung keras sehingga jantung Cu Jiang hampir copot.

Cu Jiang pejamkan mata. Jika sekali tusuk tak dapat membunuh serigala itu, dia sendirilah yang mati.

Detik2 yang tegang itu segera meledak. Dengan dahsyat, secepat itu Cu Jiang kerahkan segenap sisa tenaganya maka Cu Jiang segera menusuk tenggorokan serigala itu,

Terdengar lolong dahsyat disusul dengan gerakan dari serigala yang meloncat-loncat dan berguling-guling meregang jiwa. Seolah-olah ditempat itu sedang berlangsung pertempuran dahsyat.

Sepeminum teh lamanya barulah suara dahsyat itu mulai reda dan akhirnya tak terdengar lagi.

Cu Jiang menghela napas longgar. Ia tahu bahwa tusukannya telah berhasil. Maka dia lalu melongok keluar dari lubang karung itu Seketika tegaklah bulu romanya.

Seekor serigala yang besarnya sama dengan seekor anak kerbau, rebah terkapar didalam genangan darah. Binatang itu belum mati. Mulutnya menelan tangkai pedang, sedang ujung pedang menembus pada tenggorokannya.

Dua ekor serigala kecil tengah mengerumun di dekatnya dan menjilat2 darah serigala besar itu. Rupanya serigala besar itu seekor serigala jantan. Tak lama lagi yang betina tentu akan datang.

Cu Jiang cepat bekerja. ia membuka tali pengikat karung lalu merangkak ke luar. Ketika melihat suatu mahluk yang aneh, kedua anak serigala itu ngangakan mulut seperti hendak menerkam Cu Jiang.

Cu Jiang segera mencabut pedang dari mulut serigala besar lalu membunuh kedua serigala kecil itu.

Sarang serigala itu dalamnya tiga tombak. Merupakan sebuah gua alam. Di dalamnya penuh tumpukan tulang2 manusia. Bahkan ada yang masih terdapat dagingnya. Baunya jangan ditanya lagi.

Setelah tahu dirinya lolos, orang2 Gedung Hitam tentu akan bertindak mencarinya. Lebih baik dia cepat2 tinggalkan tempat itu.

Ia terus berbangkit dan hendak pergi tetapi  tiba2 matanya melihat sebuah botol kecil di antara tumpukan tulang itu. Cepat ia mengambil dan terus ke luar.

Ternyata tempat di sekeliling situ penuh dengan gunduk2 kuburan yang tak keruan timbunannya. Tentulah mereka korban-2 yang telah dimakan serigala lalu dikubur sekenanya saja.

Ia menyadari bahwa tempat itu masih berada di lingkungan kekuasaan Gedung Hitam. Lebih dulu dia harus lolos dari cengkeraman mereka. Soal menuntut balas, saat itu belum waktunya.

Serentak ia lari dan dalam beberapa kejab ia sudah mencapai sepuluhan li. Letihnya bukan kepalang sehingga kakinya terasa berat sekali.

Tak jauh disebelah muka, dilihatnya sebuah lembah. Rupanya lembah itu jarang didatangi orang. Dengan kuatkan diri, ia lari menuju ke lembah itu. Ia mencari tempat yang rapat lalu berbaring diri. Siang itu, hari kedua siang dari jarak dia lolos,  Kemudian ia mengambil botol kecil tadi. Sehelai kertas yang bertuliskan tiga huruf, melekat pada botol itu. Tiga huruf itu berbunyi Hwe-thian-tan.

Diam2 Cu Jiang merenung. Karena dinamakan Hwe- thian atau kembali dari langit, tentulah pil itu suatu obat yang mujijad. Tetapi dia tak tahu, dapatkah pil itu mengobati luka dari pukulan Thian-kong-sat yang dideritanya.

Ia membuka sumbat dan menuang isinya. Tiga butir pil hijau sebesar Kacang hijau. ia tahu apakah khasiat dari pil itu. Tetapi ia yakin, pil itu tentu obat yang hebat. Tanpa banyak pertimbangan lagi. ia terus menelannya.

Perutnya terdengar berkeruyukan, rasanya panas sekali. Seketika badannya seperti dibakar, urat2 mengkeret. Suatu ciri seperti orang yang terminum racun.

Tiba2 ia muntah darah.

"Ah. mati aku ....!" dia terus terguling-guling di tanah, merangkak-rangkak. Sakitnya sukar dilukiskan.

Akhirnya ia kehabisan tenaga, ia merasa lunglai. Tubuhnya serasa ringan sekali seperti daun bertebaran di udara. Rasa sakitpun hilang.

"Ah, aku tentu segera mati !" ia mengeluh. Dan beberapa saat kemudian dia tak ingat apa2 lagi.

Entah berselang berapa lama, pikirannya mulai sadar lagi. Dia tak merasa sakit lagi bahkan tubuhnya terasa enak sekali. Girangnya bukan kepalang, ia mencoba untuk mengerahkan tenaga-dalam, ah, penuh dan memancar dengan lancar sekali. Ia melonjak bangun. Girangnya melebihi orang yang putus lotre sehingga sampai beberapa jenak ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Jelas pil Hwe-thian-tan itu dapat menghilangkan racun pukulan Thian kong-sat. Sungguh dia tak pernah memimpikan hal itu.

Tentulah pemilik pil Hwe thian-tan itu dilontarkan sebagai makanan serigala tetapi dia masih meninggalkan pil itu sehingga tertolonglah jiwanya.

Teringat akan nasib paderi Go-leng cu. ia berlinang air mata. Tentulah paderi itu telah meninggal.

Tiba2 angin berkesiur dan dua sosok bayangan hitam muncul di sebelah luar.

Itulah Pengawal Hitam, seru Cu Jiang dalam hati. Ia memandang gerak gerik kedua orang itu dengan lekat.

Salah seorang dari dua Pengawal Hitam itu berkata: "Lihatlah ! Benar tidak kataku tadi  supaya masuk ke

dalam lembah . . ."

"Engkau memang serigala! " seru kawannya.

Pengawal Hitam yang pertama tadi segera berseru kepada Cu Jiang:

"Hai, budak jelek, karena engkau minggat, pohcu telah mengerahkan beratus-ratus ko-jiu untuk mencarimu. Hayo, lekas ikut kami!"

Cu Jiang tak mau menjawab. Tetapi diam2 dia sudah bersiap.

"Budak, walaupun dunia ini luas, tetapi jangan harap engkau mampu lolos! " seru pula Pengawal Hitam yang seorang. "Apa yang kalian kehendaki?" seru Cu Jiang dengan dingin.

"Huh, budak cacad, sudah tentu akan membawamu pulang, perlu apa bertanya lagi!"

"Coba saja! "

"Huh, engkau hendak melawan?" habis  berkata Pengawal Hitam terus ulurkan tangan menyambar.

Karena mengira Cu Jiang tentu masih lemas tak bertenaga, maka santai2 saja Pengawal Hitam itu menerkamnya.

Bum, bum terdengar dua buah jeritan ngeri. Pengawal

Hitam yang menerkam itu terpental sampai tiga tombak jauhnya, tulang-tulangnya remuk dan darah berhamburan memerah tanah. Sedang yang seorang menggeletak di tempatnya tak berkutik lagi.

Tenaga Cu Jiang sudah pulih kembali. Karena Pengawal Hitam itu tak bersiap, sudah tentu mereka hancur lebur.

Pengawal Hitam yang menggeletak di tempatnya itu masih dapat merintih-rintih tapi tak dapat berkata apa2.

Cu Jiang menghampiri dan mencengkeram Pengawal Hitam itu, bentaknya:

"Jawab pertanyaanku. Di mana letak Gedung Hitam itu?"

Hidung dan mulut Pengawal Hitam itu masih terus mengalirkan darah. Mukanya berkerenyutan.

Cu Jiang benci sekali. Ia memelintir lengan orang itu lalu mencabut pedangnya.

"Kalau tak mau bilang, akan kuiris-iris tubuhmu! " "Silahkan!" "Engkau tetap tak mau bilang?"

"Tidak! Sekalipun engkau mempunyai sayap, tak mungkin engkau mampu lolos dari cengkeraman gedung kami!"

"Auhhh ..." orang itu menjerit karena dadanya tertembus pedang. Namun dia tetap mengertek gigi dan tak mau bilang.

"Engkau mau bilang atau tidak! " Cu Jiang mengulangi lagi.

Dengan suara menantang Pengawal Hitam itu menjawab. "Tidak!

Krakkk, Cu Jiang memelintir lengan orang itu hingga patah. Orang itu merintih ngeri.

"Hayo, bilang tidak!"

Tubuh Pengawal Hitam itu menggeliat ke atas, Hoak . . muntah darah lalu terkulai.

Cu Jiang terkejut. Ia tak tahu mengapa tiba2 Pengawal Hitam itu mati. Tetapi pada suat itu dia melihat sesosok bayangan muncul dari belakang pohon yang tak jauh jaraknya.

Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Jelas yang muncul itu adalah sasterawan setengah tua atau Lim congkoan dari Gedung Hitam. Apakah dia yang turun tangan membunuh Pengawal Hitam itu?

Tetapi pengawal Hitam itu tetap tak mau mengaku.

Sebenarnya tak perlu dilenyapkan.

Bagaimana cara Lim congkoan membunuh orang itu? Jaraknya jauh, tentu dia menggunakan senjata rahasia. Tetapi senjata rahasia itu sama sekali tak mengeluarkan suara apa2. Lim congkoan tegak di depan Cu Jiang dengan mata berkilat-kilat. Cu Jiang agak gentar juga.

"Ah, tak kira kita akan bertemu di sini." kata Cu Jiang. Lim congkoan tersenyum.

"Sahabat ternyata engkau licin bagai belut!" "Ah, jangan anda memuji."

"Kita dapat membicarakan sesuatu." "Apa yang harus dibicarakan?" "Sudah tentu ada."

Cu Jiang lepaskan tangannya dan mayat Pengawal Hitam itupun melongsor ke tanah.

"Apakah anda yang turun tangan?" tanya Cu Jiang. "Anggap saja begitu."

"Kenapa. . ?"

"Tak perlu engkau bertanya, sudah tentu ada alasannya!" tukas Lim congkoan.

Menggigil hati Cu Jiang. Jika orang itu turun tangan kepadanya, bukankah dia akan mati tanpa mengetahui bahwa orang membunuhnya?

"Kalau mau bicara, silahkan !" katanya.

"Sebenarnya aku ingin mengetahui asal usulmu yang sesungguhnya."

Serentak Cu Jiang menolak. "Ah, maafkan." ia menolak.

Wajah orang itu agak berobah. Beberapa saat kemudian, baru dia berkata pula: "Aku hendak bertanya satu lagi, harap engkau memberi jawaban yang sejujurnya "

"Silahkan. "

"Sebenarnya pelajar baju putih itu sudah mati atau masih hidup?"

"Maaf. tak bita memberi keterangan."

"Sahabat, saat ini engkau sudah berada dalam kekuasaan Gedung Hitam "

"Belum tentu. "

"Asal kulepaskan pertandaan rahasia, sekali pun engkau mempunyai sayap "

Cu Jiang mengertek gigi dan tertawa dingin: "Mengapa engkau tak melepas pertandaan itu?"

Sasterawan setengah tua itu kerutkan alis, sahutnya: "Akan kutukar jiwanya dengan keteranganmu yang

jujur."

Pada saat itu tiba2 sesosok bayangan melayang tiba. Ternyata dia adalah si Mata-sakti Ong Tiong Ki, kepala anak buah Pengawal Hitam.

Melihat kedua mayat Pengawal Hitam, Ong Tiong Ki bertanya:

"Congkoan, apakah budak cacad itu yang membunuh mereka?"

Lim congkoan hanya mendesah.

"Masakan budak itu memiliki kepandaian yang begitu hebat ?" seru Ong Tiong Ki pula.

Lim congkoan balik bertanya dengan nada sinis: "Kalau menurut anggapan Ong thaubak ?"

"Waktu dijebloskan dalam penjara, bukankah kepandaian budak itu sudah punah?"

"Mungkin saat ini dia sudah pulih lagi." "Apakah congkoan tak dapat mencegahnya ?" "Aku datang terlambat."

Mulut Ong Tiong Ki yang runcing berkomat kamit seolah tak percaya akan keterangan Lim congkoan. Setelah berdiam beberapa saat dia berkata.

"Apakah perlu membawanya kehadapan pohcu?"

Tampaknya Ong Tiong Ki sudah mencuri dengar apa pembicaraan Lim congkoan dengan Cu Jiang tadi.

Wajah Lim congkoan bertebaran hawa pembunuhan.

"Ong thaubak menganggap tindakanku ini tak layak ?" "Ah, masakan aku berani mengatakan begitu. Aku hanya

bertanya saja."

"Baik, bawalah dia!"

Ong Tiong Ki segera berjongkok untuk memeriksa mayat kedua Pengawal Hitam.

Tiba2 Lim congkoan mengangkat tangannya dan serentak Ong Tiong Kipun mengerang pelahan. Seperti digambar pasir, tubuhnya rubuh telentang ke belakang.

Dia masih dapat menunjuk pada Lim congkoan dan berseru dengan tersendat-sendat:

"Engkau.... engkau ..."

Tetapi dia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi: Kepalanya terkulai dan nyawanyapun putus. Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Sastrawan setengah tua itu adalah congkoan dari Gedung Hitam tetapi mengapa dia membunuh orangnya sendiri?

Apa yang terjadi tadi, dia sempat melihat juga. Ketika mengangkat tangan, dan tangan Lim congkoan itu segera memancar selarik benang perak yang amat halus sekali dan tak mengeluarkan suara sedikitpun juga.

Jelas benda itu tentu sebuah senjata rahasia. Tetapi senjata rahasia apakah itu ? Atau apakah semacam pukulan tenaga-dalam dari aliran Hitam ?

"Mengapa anda membunuhnya ?" akhirnya karena tak tahan, Cu Jiang bertanya.

"Karena dia sendiri yang cari mati," sahut sasterawan itu dengan nada dingin.

"Apakah anda tak takut melanggar  aturan  Gedung Hitam ?"

"Soal itu tak perlu engkau hiraukan."

"Anda masih akan memberi pesan apa kepadaku ?" "Kuulangi permintaanku yang tadi. Kuharap engkau

suka mengatakan dengan sejujurnya tempat dimana pelajar baju putih itu berada !"

Tiba2 tertarik juga hati Cu Jiang. Setelah merenung sejenak ia bertanya:

"Dalam kedudukan apakah anda ingin mengetahui hal ini ?"

"Pribadi!"

"Apa sebabnya ?"

"Sahabat, jika ingin kubunuhmu, sekali mengangkat tangan saja sudah beres." "Mengapa tak mau terus melakukannya ?"

"Karena aku memerlukan sepatah kata dari mulutmu." "Jika aku tak mau memberikan ?"

"Akan kujadikan engkau kawan mereka bertiga itu !" "Tidak membawa aku kembali ke Gedung Hitam ?"

"Pertanyaanmu itu terlalu berkelebihan. Kulihat engkau bukan orang tolol. Perlukah engkau kubawa kembali ke Gedung Hitam agar urusanku pribadi berantakan?"

Cu Jiang terbelalak. Dia benar2 tak mengerti apa maksud yang sebenarnya dari sasterawan setengah umur itu. Tetapi ada suatu kesan yang dapat ditangkapnya. Bahwa sasterawan yang menjabat sebagai congkoan dari Gedung Hitam itu ternyata tak setia kepada Gedung Hitam.

Jika begitu, mengapa dia mengejar jejak ku begitu mati- matian ? pikirnya.

"Anda hendak membunuh orang untuk melenyapkan mulutnya ?" akhirnya ia bertanya.

"Sudah tentu."

"Lalu apa tujuan anda berbuat begitu ?" "Engkau hanya menjawab, jangan bertanya."

"Kalau begitu, anda tentu punya hubungan baik dengan pelajar baju putih itu ?"

"Ya, memang. Dalam dunia persilatan ini, yang ada hanya dua macam. Jika bukan Budi tentulah Dendam. Tak ada lainnya lagi."

"Sungguh pernyataan yang tepat !"

"Sudahlah, Jangan buang waktu, harap engkau mengatakan sejujurnya." "Anda mengatakan, bahwa keteranganku ini akan mendapat Imbalan aku akan dibebaskan dari kematian ?"

"Benar."

"Apakah anda tak takut kalau ku bocorkan rahasia pembicaraan kita ini ?"

"Tidak. Tak mungkin engkau akan memberitahu kepada pihak Gedung Hitam. Mereka tak mungkin mempercayai engkau."

"Aku sungguh tak mengerti. "

"Apa yang tak mengerti ?"

"Anda adalah congkoan dari Gedung Hitam. "

"Itu persoalan lain !"

"Dapatkah anda memberitahu tentang maksud  anda yang sebenarnya ?"

"Tak perlu!" "Nama anda ?" "Ho Bun Cai !"

Cu Jiang merenung sejenak lalu berkata.

"Aku hanya dapat memberitahu sepatah kata kepada anda, tetapi janganlah anda bertanya lebih lanjut, bersediakah anda menerima syaratku ini ?"

Sasterawan setengah tua itu mengangguk: "Boleh." "Pemuda pelajar baju putih itu belum mati," tiba2 Cu

Jiang berkata.

"Apa ? Dia belum mati ?" "Ya, dia masih hidup." "Jika begitu keteranganmu dulu itu bohong?" "Setengahnya bohong, setengahnya memang sungguh." "Apa maksud perkataanmu itu?"

"Dia menderita luka parah, itu memang sungguh. Tetapi dia mati itu, tidak benar."

"Lalu kemanakah tujuannya ..."

"Tadi anda telah sanggup untuk tidak bertanya lebih lanjut !"

Sasterawan itu menghela napas dan berkata menyerah: "Ya, aku harus menepati janji. Takkan bertanya lebih

lanjut, tetapi "

"Tetapi bagaimana ?"

"Tetapi yang tak menyangkut diri pelajar baju putih itukan boleh ditanyakan ?"

"Itu boleh. Mana yang kuanggap dapat kujawab tentu

kuberi keterangan."

"Perjanjianmu dengan pemilik Piagam Hitam itu mungkin juga hanya karanganmu sendiri saja."

"Juga setengah benar, setengah tidak." "Apa artinya ?"

"Janji itu memang benar ada. Tetapi pihak yang kuajak berjanji itu, belum tentu dia orangnya."

"Pada waktu menunjukkan Piagam Hitam, bukankah tujuanmu supaya engkau hidup ?"

"Wajar kalau setiap orang memburu hidup itu." "Lalu siapa yang engkau ajak berjanji itu?" "Maaf, soal ini tak dapat kuberi jawaban."

"Apakah engkau tetap akan pergi memenuhi janji itu ?" "Mungkin."

"Lebih baik jangan." "Kenapa ?"

"Terus terang kuberitahu kepadamu. Karena  engkau lolos maka pohcu marah sekali dan mengerahkan seluruh ko-jiu dengan perintah harus dapat menangkap engkau. Tempat engkau akan mengadakan pertemuan dengan orang yang engkau janjikan itu, tentu sudah dikepung rapat oleh jago2 Gedung Hitam. Juga semua anak buah Gedung Hitam disebar ke mana-mana untuk memata-matai gerak gerik mu. Selangkahpun engkau sukar hendak bergerak."

Cu Jiang menghela napas. Dan merasa kata2 sasterawan itu memang benar.

"Tetapi tak dapat selamanya aku harus bersembunyi saja!"

"Hal itu lihat suasana dan nasibmu !"

"Bagaimana dengan keadaan imam tua dalam penjara itu?"

"Mati." "Sudah mati ?"

"Pada saat engkau lolos !"

Diam2 hati Cu Jiang seperti disayat sembilu. Dia berdoa dalam hatinya.

"Semoga cianpwe berdua beristirahat dengan tenang di alam baka. Wanpwe bersumpah akan menuntut balas untuk cianpwe berdua " Cu Jiang tak mau bertanya lebih lanjut tentang kedua tokoh Thian-hian-cu dan Go-leng-cu. Mereka toh sudah mati. Ia alihkan pembicaraan.

"Anda hendak memberi petunjuk apa lagi kepadaku ?" tanyanya.

"Pada malam hari engkau harus menuju kearah utara, lebih mudah untuk lolos dari sergapan mereka."

Arah utara itu, berlawanan dengan arah tempat dia berjanji dengan Ang Nio Cu. Walaupun saat itu, tanpa diduga-duga ia dapat menemukan pil Hwe-thian tan sehingga luka dari pukulan Thian-kong-sat telah sembuh.

Tetapi karena dia berjanji dengan Ang Nio Cu. dia tak enak hati kalau tak menetapi janji itu. Bukankah dengan kesungguhan hati Ang Nio Cu hendak mencarikan obat untuk dia ? Kalau dia tak menepati janji, bukankah dia malu terhadap wanita itu?

Dalam pada itu, sasterawan itu telah menghantam tanah sehingga menimbulkan sebuah liang. Mayat ketiga anak buah Gedung Hitam segera ditanam dalam liang itu. Agar tak menimbulkan kecurigaan orang, maka kuburan itu ditimbuni dengan daun dan ranting kering. Kemudian berkata kepada Cu Jiang:

"Sahabat, akan kutepati janjiku untuk membebaskan engkau, sampai jumpa !"

Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu. "Harap anda tunggu sebentar !"

Sasterawan Ho Bun Cai berputar tubuh. "Engkau mau bilang apa lagi ?"

"Aku hendak mengajukan permohonan sedikit." "Soal apa ?"

"Kedua Jenasah dari Bu-lim Sam-cu itu supaya dikubur baik2 dan dibuatkan batu nisan."

"Dikubur sih boleh tetapi batu nisannya tak dapat." "Kenapa ?"

"Engkau harus mengerti bahwa tindakan Gedung Hitam itu tak boleh diketahui orang luar."

Cu Jiang merenung sejenak. "Bagaimana kalau diberi tanda?" "Tanda yang bagaimana ?" "Asal mudah diketahui..."

"Apa maksudmu ?"

"Karena kedua cianpwe itu pernah sama2 sependeritaan dengan aku."

"Baik, akan kuusahakan."

Habis berkata dia terus melesat lenyap.

Cu Jiang beralih tempat duduk. Ia memikirkan diri sasterawan setengah tua yang aneh sepak terjangnya itu. Yang jelas orang itu tak setia kepada Gedung Hitam. Tetapi mengapa dia begitu ngotot hendak mencari Jejak pelajar baju putih yang tak lain adalah dirinya sendiri ?

Menilik ucapannya dan caranya menetapi janji, rupanya orang itu tentu seorang bu-su atau pendekar.

Janji dengan Ang Nio Cu, harus dipenuhi. Tetapi jelas bahwa Gedung Hitam tentu sudah menyiapkan penjagaan ketat disekitar tempat itu. Tokoh2 Gedung Hitam yang memiliki kepandaian seperti sastrawan Ho Bun Cai, tentu tidak sedikit jumlahnya. Kemudian ia memperhitungkan kekuatannya sendiri. Walaupun ilmu tenaga-dalamnya kini sudah mencapai tataran yang tinggi, tetapi dalam ilmu silat jelas dia masih dibawah lawan. Apabila dia sampai tertangkap lagi, kemungkinan besar tak mungkin dia dapat lolos lagi.

Disamping itu masih banyak janji2 yang harus ia penuhi. Pesan Go-leng-cu kepada Gong-gong-cu itu, harus disampaikan.

Gedung Hitam tak dapat diragukan lagi, adalah musuh dari mendiang ayahnya. Tetapi apakah Gedung Hitam itu yang menjadi pembunuhnya, masih perlu diselidiki dulu. Dengan mendapat gangguan dan ancaman dari pihak Gedung Hitam, memang sukar sekali baginya untuk melakukan penyelidikan itu.

Selama itu, ia hanya mendapat sedikit keuntungan bahwa samar2 ia dapat mengetahui letak Gedung Hitam.

Ia merenungkan lebih lanjut dan mendapat kesimpulan bahwa sasterawan Ho Bun Cai itu merupakan suatu jembatan yang berharga untuk menyelidiki  keadaan Gedung Hitam.

Tetapi bagaimana ia harus bertindak untuk mempererat hubungannya dengan sasterawan itu?

Cepat sekali hari berjalan. Saat itu malampun kembali tiba dengan membawa selimut hitam yang menebar di seluas alam.

Lembahpun gelap gulita sehingga tak dapat melihat jari tangannya sendiri. Saat itu Cu Jiang mulai bergerak. Dia lari keluar lembab. Dia bertindak dengan hati2 sekali agar jangan sampai ketahuan oleh orang Gedung Hitam. Ketika terang tanah dia sudah mencapai seratusan li jauhnya, Dan pada waktu melihat kepulan asap dari sebuah perumahan desa, ia mulai tegang.

Ia menyadari bahwa wajahnya yang buruk itu tentu akan menimbulkan rasa kejut dan seram pada orang. Dan karena orang Gedung Hitam sudah mengenal ciri wajahnya yang rusak itu, maka tentulah jejaknya akan cepat diketahui mereka.

Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada malam hari dan pada siang hari, ia beristirahat.

Ia membeli ransum kering di desa itu serta seperangkat pakaian. Pakaiannya yang lalu, dipakaikan pada mayat Thian-hian-cu.

Ia memutuskan tetap akan memenuhi perjanjiannya dengan Ang Nio Cu. Ia tak peduli harus menghadapi bahaya apapun juga.

Ia terus melanjutkan perjalanan dan kurang dua hari dari waktunya, ia sudah tiba di tempat perjanjian.

Cu Jiang mencari sebuah tanah tinggi. Ia mencari tempat persembunyian yang rapat dan dari situ memandang ke seluruh penjuru.

Setelah sampai setengah hari tak melihat sesuatu yang mencurigakan, barulah dengan menutup tubuh pakai daun2, hati2 sekali ia masuk kedalam lembah.

Sepanjang jalan dia tak melihat sesuatu gerakan apa2. Tetapi ia menyadari bahwa orang Gedung Hitam tentu tak mau melepaskannya. Maka makin sunyi suasananya, makin tegang dan menyeramkan.

Tak lama dari sela2 gerumbul pohon, Ia melihat gua rahasia yang menjadi tempat persembunyian kawanan Kiu- te-sat dahulu, sudah tampak disebelah muka.  Dia menunggu dulu sampai beberapa waktu. Setelah tak melihat suatu gerakan apa2, dengan mengambil jalan melingkar ia maju menghampiri.

Apa yang berada disitu, masih tetap serupa dengan  ketika ia tinggalkan tempat itu tempo hari. Bedanya hanyalah, sekarang gua itu menyiarkan bau lembab.

Memandang kearah sembilan buah kursi, timbullah kenangan Cu Jiang pada kesembilan tokoh Kiu-te-sat yang rata2 berwajah seram.

Setelah memeriksa pondok rumah batu itu ia mendapat kesan bahwa keadaannya masih tetap sama seperti dulu. Ia heran. Pada hal tak mungkin Gedung Hitam tak mengirim jago2 yang sakti untuk menjaga tempat itu.

Apakah Gedung Hitam sudah menghentikan pengejarannya ? Ah, tak mungkin. Kemungkinan yang paling mungkin tentulah mereka belum tiba ditempat itu.

Kembali ke ruang muka tiba2 ia teringat akan ruang rahasia dibagian belakang. Bukankah itu tempat persembunyian yang paling bagus ? Dia sudah membekal ransum kering, cukup untuk menunggu sampai beberapa hari.

Segera ia mencari botol dan diisi dengan air bersih kemudian melangkah kebelakang pondok.

Ketika hampir tiba di ruang rahasia itu, kejutnya bukan kepalang.

Enam sosok mayat bergelimpangan ditanah. Menilik pakaiannya jelas mereka tentulah Pengawal Hitam. Dan setelah memeriksa lebih lanjut, pada alis setiap mayat itu terdapat bekas titik merah. "Bekas noda Jari-terbang." teriak Cu Jiang. Dengan begitu Ang Nio Cu sudah datang tentu.

Tetapi menunggu sampai beberapa saat, belum juga terdengar suara Ang Nio Cu.

"Apakah dia pergi lagi ?" pikirnya. Ia ingat dengan jelas bahwa waktu perjanjian itu adalah lima belas hari. Dan saat itu masih kurang dua hari, Tetapi mengapa Ang Nio Cu pergi sebelum bertemu dengan dia ? Taruh kata wanita itu gagal mendapatkan obat, paling tidak tentu harus bertemu muka dan memberi keterangan.

Ia yakin wanita seperti Ang Nio Cu tentu akan pegang janji. Ah, mungkin Ang Nio Cu mengira dia tentu tak datang karena mendapat halangan.

"Ya, memang mungkin begitu," akhirnya Cu Jiang menarik kesimpulan, "karena akulah yang membuat janji kepada Ang Nio Cu akan menunggunya di gua rahasia  situ."

Ia bimbang, menunggu atau pergi. Akhirnya ia memutuskan akan menunggu sampai waktu yang telah dijanjikannya itu.

Dengan keputusan itu, ia lanjutkan langkah ke ruang rahasia di belakang pondok.

"Siapa?" tiba 2 terdengar lengking teguran seorang anak perempuan.

Sudah tentu Cu  Jiang terkejut sekali. Dia mundur beberapa langkah dan dari sinar yang memancar di dalam ruang batu itu, ia melihat sesuatu yang mengejutkan lagi.

Seorang dara baju hijau atau si dara cantik Ho Kiong Hwa itu.

Benar-2 suatu hal yang tak terduga sama sekali. "Engkau adalah..."

Hampir saja mulut Cu Jiang berkata "engkau adalah nona Ho." Tetapi seketika itu ia teringat akan wajahnya yang sudah rusak maka buru2 ia menelannya kembali.

"O, engkau Gok-jin ji" seru Ho Kiong Hwa.  "Ya." Cu Jiang tertegun, "bagaimana nona tahu?"

"Engkau akan menepati janji dengan Ang Nio Cu?" "Ya . . . entah..."

"Masuklah dan tutup pintunya!" seru dara baju hijau Ho Kiong Hwa.

Nada suaranya yang merdu dan wajahnya yang memikat hati benar-2 menggetarkan hati Cu Jiang. Peristiwa nona itu dikejar jago pedang dari Gedung Hitam dahulu, kembali terbayang dikalbunya ....

"Masuklah dan kita omong2 di sini." kembali dara cantik itu berseru pula.

Setelah memeriksa empat penjuru tiada tampak suatu apa, barulah Cu Jiang melangkah masuk dan menutup pintu batu. Seketika ruang itu gelap gulita sekali sehingga tangannya sendiripun tak dapat dilihatnya.

Cu Jiang tetap masih berdiri di ambang pintu. Rasa  heran telah menimbulkan keragu-raguannya sehingga ia hanya tertegun saja.

Beberapa saat kemudian barulah matanya dapat lebih mengenal keadaan ruang yang gelap itu. Dilihatnya mata si dara Ho Kiong Hwa tengah berkilat-kilat memandang kepadanya.

"Siapa nama nona?" Cu Jiang sengaja bersikap seperti belum kenal. "Namaku Ho Kiong Hwa."

"Oh, mengapa nona Ho dapat datang ke mari?" "Duduk dan marilah kita bicara dengan tenang."

Cu Jiang mengiakan lalu duduk. Berkata dara itu dengan nada rawan: "Ketika berada di sekitar gunung ini, aku telah dihadang musuh lagi . . ."

"Apakah orang Gedung Hitam..."

"Ih, bagaimana siauhiap mengetahui ?"

Cu Jiang tersadar kalau kelepasan omong. Cepat dia menyusuli kata:

"Karena melihat mayat2 diluar ruang gua ini tadi maka aku menduga begitu."

"Ai, siauhiap cerdik benar," Ho Kiong Hwa tertawa. "Silahkan nona melanjutkan," kata Cu Jiang walaupun

tergetar perasaannya.

Dara itu hentikan tawa lalu dengan wajah serius berkata: "Ketika aku dikejar orang2 itu hingga terdesak,

untunglah Ang Nio Cu muncul dan menolong aku . . ."

"Bagaimana nona dapat datang ke tempat puncak gunung yang begini sunyi ?"

"Aku bermaksud hendak mencari guru sakti, belajar ilmu silat untuk membalas dendam !"

"Oh," seru Cu Jiang, "lalu bagaimana?"

"Setelah menolong aku, Ang Nio Cu mengatakan bahwa dia sedang menunggu janji dengan seseorang di lembah ini .

. ."

"Oleh karena itu dia membawa nona kemari juga ?" "Ya, begitulah." "Lalu ?"

"Waktu mencari orang yang dijanjikan itu secara tak sengaja dia menemukan gua rahasia ini dan menyembunyikan aku disini."

"Kemudian?"

"Belum orang yang dinantikan itu yang datang tetapi beberapa anak buah Gedung Hitam "

"Lalu dibunuhnya ?" "Benar."

"Lalu kemanakah dia sekarang ?"

"Karena ada suatu keperluan, dia pergi dulu. Tetapi dia meninggalkan pesan kepadaku supaya menunggu seorang yang bernama Gok-jin-ji, yalah siauhiap sendiri."

"O, apakah dia meninggalkan pesan ?" "Ya."

"Apa pesannya ?"

"Sebenarnya dia habis pergi kedaerah Han-tiong mencari seorang tokoh bernama Hwe-thian-jiu Ih Hwa untuk meminta pil mujijad hwe-thian-tan."

"Pil hwe-thian-tan ?" Cu Jiang terkejut.

"Benar. Menurut katanya, hanya dengan pil Itu dapatlah luka yang siauhiap derita disembuhkan, tetapi sayang ..."

"Bagaimana ?"

"Tokoh Ih Hwa itu sedang keluar rumah dan tak jelas kemana tujuannya." Serentak teringatlah Cu Jiang aku peristiwa yang dialami digua sarang serigala itu. Secara tak sengaja dia telah menemukan pil Hwe-thian-tan. Jika begitu bukankah Hwe thian-Jiu Ih Hwa itu sudah mati dibunuh orang Gedung Hitam dan mayatnya dimakan serigala itu ?

Ah, sungguh besar sekali rejekinya. Ternyata Ang Nio Cu juga akan mencari pil itu.

"Lalu bagaimana ?" ia bertanya kelanjutannya. "Dia terpaksa kembali dengan tangan hampa." "Ah."

"Rupanya luka dari pukulan Thian-kong-sat yang siauhiap derita itu sudah sembuh ?"

"Benar, itu hanya secara kebetulan saja dan rupanya memang berkah Thian."

"Bagaimana?"

"Tanpa sengaja aku telah menemukan pil mujijad dan kini sudah sembuh."

"Aih, sungguh luar biasa ! Jika tahu begitu dia tentu tak bingung. "

"Apakah dia bingung ?"

"Sudah tentu," kata Ho Kiong Hwa. "dia mengatakan apabila tidak mendapatkan pil itu, dalam waktu lima belas hari engkau tentu meninggal."

"Aku sungguh berterima kasih sekali atas budi kebaikannya."

"Tetapi mengapa siauhiap tidak menepati permintaannya supaya menunggu di lembah ini ?" "Aku tertimpa bahaya yang tak terduga-duga dan setelah berhasil lolos dari cengkeraman maut, aku datang lagi kemari untuk memenuhi janji."

"Bahaya apakah yang telah siauhiap alami?" Dengan geram Cu Jiang berkata: "Kalau kuceritakan tentu akan menimbulkan kepiluan hati, lebih baik tak kukatakan saja."

"O," Ho Kiong Hwa hanya mendesah tetapi tak mau mendesak lebih jauh.

"Nona menjelajahi gunung dan sungai hanya perlu hendak mencari guru yang sakti ?" Cu Jiang alihkan pembicaraan.

"Ya."

"Apakah sudah berhasil mendapatkan?" "Belum."

"Sebenarnya nona sudah berhadapan dengan guru yang nona idam-idamkan itu mengapa tidak..,.."

"Siapa?"

"Ang Nio Cu !"

"Oh, dia? Dia tak mau menerima murid !" "Mengapa ?"

"Entah."

"Ah, benar. Tahukah nona dimana beberapa  sosok mayat yang berada dalam gua ini ?"

"Telah dibawa keluar dan ditanam oleh Ang Nio Cu." "Apakah dia akan balik kemari lagi ?"

"Ya." "Dia menyembunyikan nona disini dan meninggalkan pesan kepada nona, apakah dia tahu kalau aku pasti datang kemari ?"

"Kurasa begitu. Dia mengatakan, kecuali tertimpa bahaya, siauhiap pasti takkan ingkar janji."

Cu Jiang mengangguk. Diam2 ia tak menduga bahwa Ang Nio Cu begitu mempunyai kepercayaan penuh kepadanya.

"Ang Nio Cu juga meninggalkan barang ini supaya diserahkan kepada siauhiap," tiba-tiba Ho Kiong Hwa berkata pula.

"Barang apa ?"

Ho Kiong Hwa menyulut korek dan seketika teranglah ruang gua itu. Ia mengambil sebuah bungkusan kertas dari bajunya dan diserahkan kepada Cu Jiang.

"Inilah."

Merasa wajahnya buruk, Cu Jiang menundukkan kepala dan berkata pelahan:

"Harap lemparkan kemari."   Sambil   menyulut jelita didekatnya Ho Kiong Hwa tertawa dan berseru:

"Sebagai seorang kelana dalam dunia persilatan, mengapa siauhiap masih malu2 ? Sambutilah !"

Ia terus melemparkan bungkusan kertas itu kepada Cu Jiang.

Sebenarnya bukan itu yang dimaksud Cu Jiang. Dia merasa rendah diri karena menyadari bahwa wajahnya rusak dan menyeramkan, tak sedap dipandang mata. Diam2 Cu Jiang memuji akan kecermatan Ang Nio Cu mempersiapkan rencana, Dalam gua yang gelap itu telah disediakan juga sebuah pelita.

Dengan rasa heran, ia segera membuka bungkusan kertas itu.

Selesai membaca Cu Jiang menjerit dan tubuhnya gemetar keras.

Dalam bungkusan Itu tiada terdapat suatu benda lain kecuali sehelai surat pendek macam karcis. Dan karcis itu adalah karcis yang berisi pesan keluarganya dan yang telah hilang ketika ia taruhkan pada pelana kuda. Kudanya dibunuh orang, barang2 bekalannya tiada yang hilang kecuali karcis itu.

Benar2 ia tak menduga bahwa karcis itu akan jatuh di tangan Ang Nio Cu.

Ketika mengamati karcis itu ternyata terdapat beberapa tambahan tulisan berbunyi:

Pohon kumala dilanda badai kehancuran, bunga cantik bertebaran gugur. Karcis ini menjadi saksi. Jodoh sudah ditentukan Thian.

Membaca itu Cu Jiang terkejut. Baris pertama dari kata2 itu menunjukkan tentang nasib dirinya yang tertimpa kemalangan. Baris kedua yang menyebut tentang bunga cantik itu tentulah menunjuk Ho Kiong Hwa. Jelas  Ang Nio Cu hendak menjodohkan dirinya dengan nona Ho itu

... .

Tanpa disadari ia memandang nona itu sejenak. Ah, merahlah mukanya. Bunga cantik, ya benar, memang Kiong Hwa benar2 bagaikan sekuntum bunga cantik. Tetapi dirinya sendiri? Ah, betapa menyayat hati.  Dia tak lebih hanya seorang mahluk cacad yang wajahnya telah rusak.

Tiba2 Ho Kiong Hwa tertawa riang. "siauhiap, apakah sepucuk surat?"

"Ya."

"Apakah isinya?"

"Tidak apa2, " sahut Cu Jiang.

Hoa Kiong Hwa hentikan tawa dan merentang mata lebar-2, serunya setengah tak percaya:

"Dengan wanti2 Ang Nio Cu pesan kepadaku supaya menunggumu untuk menyerahkan barang itu. Masakan tak ada isinya?"

Pilu hati Cu Jiang. Ia tertawa rawan.

"Nona Ho, isinya tak lain hanya beberapa  pesan pribadi."

"Pesan pribadi? Apakah tak boleh dikatakan kepada lain orang?"

"Tak boleh. " "Tak percaya!"

"Apa? Nona tak percaya?"

"Karena . ... oh Ho Kiong Hwa tundukkan kepala, mukanya tersipu-sipu merah.

"Karena apa?" Cu Jiang tertarik untuk mendesak keterangan.

"Dia memberitahu kepadaku." kata Ho Kiong Hwa, "setelah menyerahkan surat itu kepadamu, engkau tentu akan mengatakan apa2 kepadaku..." Cu Jiang menyadari bahwa dirinya yang sudah cacad begitu rupa masakan sesuai menjadi pasangan nona cantik itu. Dia memang tak menduga bahwa Ang Nio Cu akan mengatur perjodohan itu. Terpaksa dia akan  mengecewakan harapan Ang Nio Cu.

Ia tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Ho Kiong Hwa apabila dia mengemukakan isi surat itu.

"Ah, aku takkan mengatakan apa2, " akhirnya ia kuatkan hati.

Wajah Ho Kiong Hwa menampil keheranan. Ia kerutkan alis dan berkata:

"Apakah sungguh begitu?" "Ya."

"Apakah Ang Nio Cu membohongi aku?"

"Ini . . . . , " Cu Jiang benar2 sulit untuk mengatakan, "dia tak membohongi engkau ..."

"Kalau dia tak bohong dan siauhiap tak mengatakan apa2 kepadaku, aku merasa bingung."

Setelah   merenung   beberapa   jenak,   Cu Jiang tiba2 menggigit jari tengahnya dan menulis di atas karcis itu.

"Engkau mau apa itu?" teriak Ho Kiong Hwa terkejut.

Selesai menulis, Cu Jiang mengangkat muka dan menjawab:

"Ah, tidak apa2."

Seketika wajah Ho Kiong Hwa tampak pucat  dan dengan suara gemetar ia berseru:

"siauhiap, tampaknya engkau terlalu tak menghiraukan aku." Sejenak Cu Jiang memandang pula pada enam huruf yang ditulis dengan darah pada karcis itu, berbunyi.

Burung Hong mana setimpal dengan burung gagak buruk?

kemudian ia berkata dengan nada serius: "Nona Ho, apakah engkau anggap aku layak?" "Layak apa?"

"Layak tak menghiraukan orang ?" "siauhiap, aku ... tak mengerti maksudmu ..."

Cu Jiang membungkus karcis itu lagi lalu diserahkan kepada Kiong Hwa.

"Tolong nona berikan surat ini kepada Ang Nio Cu. Katakan bahwa budi kebaikannya terukir dalam hati sanubariku. Kelak pasti kubalas."

Dengan tak berkedip nona itu memandang Cu Jiang. Dia tak menyambuti bungkusan karcis itu melainkan berseru keras:

"siauhiap, paling tidak engkau harus memberitahu kepadaku apa yang dikatakan Ang Nio Cu dalam surat itu."

Cu jiang tertegun. Beberapa saat kemudian ia lemparkan bungkusan kertas itu kepada Ho Kiong Hwa.

"Nona Ho, silahkan lihat sendiri!"

Habis berkata ia berputar tubuh dan menekan alat rahasia pintu gua.

"siauhiap, apakah maksudmu?" teriak Ho Kiong Hwa dengan gemetar.

Saat itu pintu terbuka. Walaupun dengan hati seperti disayat sembilu, tetapi Cu Jiang keraskan hati dan terus melesat keluar. Dengan langkah yang tertatih-tatih ia segera lari.

Dia terus lari tanpa berpaling kebelakang dan tak berapa lama sudah keluar dari lembah itu.

Ia menghela napas longgar. Wajah Ho Kiong Hwa yang secantik bidadari masih terbayang di pelupuk matanya.

Dia merasa bahwa tindakannya itu paling tepat. Bagaimana ia sampai hati untuk mempersunting bunga yang secantik itu ? Dan lagi itu hanya kemauan Ang Nio  Cu sendiri. Belum tentu Ho Kiong Hwa juga setuju.

Bukankah lebih baik dia sendiri yang menderita daripada harus membuat nona itu ikut menderita ?

Tiba2 di udara terbang melayang seekor burung bangau. Dia terbang seorang diri dan memperdengarkan bunyi berkaok-kaok yang sedih.

Bukankah burung itu seperti dirinya ? Tanpa terasa Cu Jiang mengucurkan air mata.

Beberapa saat ia tertegun. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Setelah itu baru ia melanjutkan perjalanan lagi.

Dia sendiri tak tahu hendak menuju kemana. Pokok asal lari membawa kepiluan hatinya.

Saat itu tak terasa haripun sudah petang. Ia baru mengetahui kalau dirinya masih dalam lingkungan daerah gunung, jauh dari pedesaan dan warung. Akhirnya ia memutuskan untuk bermalam dalam gunung saja.

Memandang ke sekelilingnya, melihat sebuah puncak batu yang tak begitu banyak ditumbuhi gerumbul pohon. Segera ia menuju ke tempat itu.

Puncak itu penuh dengan batu2 besar, merupakan tempat yang gersang dan cocok untuk tempat bermalam. Ia membaringkan diri disebuah batu besar. Pikirannya masih terbayang wajah Ho Kiong Hwa.

Beberapa saat kemudian bayangan Ho Kiong Hwa itu berobah menjadi bayang2 wajah Ki Ing, puteri jelita yang telah memberinya Piagam Hitam. Jelita Ki Ing dan bujangnya yang karena ia bohongi, tentu menuju ke gunung Bu-leng-san untuk mencari pemuda pelajar berbaju putih.

Diam2 Cu Jiang menghela napas rawan.

Tiba2 dari arah samping terdengar sebuah suara parau menegur:

"Hm, budak, mengapa menghela napas tak keruan sehingga mengganggu mimpiku !"

Cu Jiang terkejut sekali. Ia tak mengira di  puncak sesunyi itu terdapat seorang manusia lain. Mengapa dia tak mengetahuinya ?

Serentak ia menggeliat duduk. Di bawah sinar bintang yang remang, ia melihat diatas sebuah batu besar yang terpisah tiga tombak jauhnya, melingkar sesosok bayangan hitam.

Tubuh dan wajahnya tak kelihatan jelas. Hanya menilik suaranya yang parau, dia tentu seorang tua.

"Siapa cianpwe ini ?" seru Cu Jiang.

"Budak kecil, engkau berani mengganggu aku ?" seru bayangan hitam marah.

Cu Jiang tertegun. Dia merasa bertanya dengan sopan mengapa dianggap mengganggu ?

Bayangan hitam itu berkata seorang diri pula: "Di dunia ini benar2 tiada tempat yang tenang. Baru mau tidur saja sudah tidak bisa." Cu Jiang tertawa meringis. Dia duga orang tua itu tentu seorang manusia aneh. Lebih baik tidak usah ia pedulikan saja. Dia segera rebahkan diri lagi.

Beberapa saat kemudian tiba2 orang tua aneh itu buka suara lagi:

"Budak, perangaimu yang aneh itu cocok sekali dengan aku."

Kata2 itu memang kasar  tetapi makin menandakan wataknya yang aneh.

Sebenarnya Cu Jiang seorang pemuda yang berwatak terus terang dan ramah. Dia menyahut dengan tertawa:

"Benarkah ?"

"Budak mengapa engkau tidur di atas gunung begini ?" "Mungkin sama dengan cianpwe."

"Engkau sama dengan aku orang tua ini? Ngaco belo! Bau pupukmu belum hilang, masakah engkau juga jemu pada dunia."

"Hampir begitulah." "Hm, siapa namamu?" "Gok-jin- ji."

"Hai, siapa?" teriak orang tua itu seraya menggeliat duduk.

"Gok-Jin-ji," Cu Jiang mengulangi. Orang tua itu tertawa gelak2.

"Bagus, bagus, kucari-cari ke seluruh pelosok dunia tidak berhasil, kiranya sekarang secara tak terduga-duga bisa bertemu !" Cu Jiang tergetar hatinya. Apakah orang tua aneh itu orang Gedung Hitam yang sedang mencari dirinya? Celaka, keluhnya lalu diam2 dia bersiap-siap.

"Apakah artinya ucapan cianpwe ?" serunya.

"Aku memang justeru hendak mencarimu, budak buruk..."

Tiba2 dalam posisi masih duduk, orang aneh itu melambung ke udara dan melayang ke tempat Cu Jiang.

Cu Jiangpun cepat menghantam dengan kedua tangannya. Tenaga-dalamnya memang hebat sekali dan saat itu dilancarkan dengan penuh. Orang tua aneh itupun melayang balik ke tempatnya semula lagi.

"Hai. budak, mengapa engkau menghantam aku ?" teriak orang tua aneh itu. Saat itu dia berdiri diatas batu.

Saat itu baru Cu Jiang dapat melihat bahwa orang tua aneh itu tingginya hanya satu meter, gemuk seperti bola dan rambutnya yang putih seperti perak, memanjang hingga limbung dengan jenggotnya.

Dia mengenakan baju warna hitam yang memanjang sampai menutupi lutut sehingga tampak tubuhnya makin bundar.

Melihat perawakan orang yang begitu ku koay, hampir Cu Jiang tak dapat menahan geli tetapi dia tak berani lengah. Bahwa hantaman yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga itu ternyata hanya dapat melemparnya kembali ke tempatnya semula tetapi sedikitpun tidak sampai terluka.

Cu Jiang menyadari orang kate itu memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan sekali.

"Apa yang tidak benar?" seru Cu Jiang. "Tak mungkin engkau memiliki tenaga-dalam yang begitu hebat!" "Kenapa ?"

"Tenagamu yang semula, hanya tak ada separuhnya dan sekarang ini!"

Cu Jiang tertegun.

"Dengan dasar apa cianpwe mengatakan begitu ?" Orang tua kate itu mengelus-elus jenggot dan berseru:

"Sudah tentu apa yang kuketahui, habis dengan  dasar apa lagi?"

"Tadi cianpwe mengatakan hendak mencari aku, bukan?"

"Benar."

"Apa maksud cianpwe ?"

"Soal itu nanti dulu, sekarang kita bereskan sebuah persoalan ..."

"Persoalan apa?"

"Mengapa tadi engkau menghantam aku?"

"Karena cianpwe tak memberitahu siapa diri cianpwe ini."

"Aku orang tua yang hidup sudah seratus tahun masakan harus lebih dulu memberi tahu asal usulku kepada seorang anak?"

"Saat ini wanpwe sedang dikejar musuh, maka..."

"Baik, soal itu tak perlu dibicarakan lagi. Tetapi engkau tadi telah mengirim sebuah pukulan kepadaku, bagaimana harus menyelesaikan perhitungannya ?" Cu Jiang tertawa. Dia pikir orang tua itu masih seperti anak kecil. Menilik sikapnya, dia tentu bukan orang Gedung Hitam.

"Lalu bagaimana cara menghitungnya ?" ia berbalik tanya.

Dengan wajah bersungguh, orang tua aneh itu berkata: "Akupun harus mengembalikan sebuah pukulan

kepadamu !"

Cu Jiang pelahan-lahan berbangkit dan bertanya pula: "Tetapi bagaimana cara mengembalikannya itu?" "Bersiaplah untuk menerima !"

"Baik," sahut Cu Jiang. "tetapi apakah cian-pwe akan memukul dari tempat cianpwe semula?"

"Tentu."

"Ah, apakah itu sudah adil?"

"Budak, kata2mu itu menandakan bahwa hatimu jujur, terimalah !"

Habis   berkata   dia   terus   mengendapkan tubuh lalu dorongkan kedua tangannya ke muka.

Walaupun terpisah dua tombak, tetapi Cu Jiang tak berani meremehkan. Dia pusatkan segenap semangatnya untuk menyambut.

Eh, mengapa yang berhembus bukan tenaga pukulan dahsyat melainkan angin yang lembut?

Apakah orang tua itu hendak berolok-olok kepadanya ?

Belum habis rasa herannya, tiba2 angin lembut itu berobah menjadi gelombang tenaga yang dahsyat. Cu Jiang terkejut sekali. Dia hendak menghindar ataupun menangkis, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dia mengempos semangat dan menyambutnya.

Bum....

Dia terpelanting ke belakang dan jatuh dari atas batu, sempoyongan sampai beberapa langkah dan membentur segunduk batu besar. Walaupun tak sampai menderita luka berat tetapi cukuplah membuat kepalanya pusing tujuh keliling ....

Orang tua aneh itu tertawa terbahak-bahak.

"Nah, begitu baru mending. Kalau tidak, aku si orang tua ini tentu jatuh merk."

Cu Jiang tertawa meringis. Setelah menenangkan semangat, dia loncat lagi keatas batu. Dilihatnya orang tua aneh itupun sudah duduk lagi dialas batu:

"Cianpwe, kau sudah selesai ?" "Uh. duduklah !"

Cu Jiang menurut. Duduk berhadapan dengan orang tua itu barulah dia dapat melihat jelas wajahnya. Ternyata orang tua itu berwajah welas asih.

Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua aneh itu mengangguk-angguk.

"Ah, benar2 bahan yang bagus. Siau-lo-ji benar2 bermata jeli sekali."

Cu Jiang heran. Dia tak tahu apa yang dimaksudkan orang tua aneh itu. Hanya mendengar orang tua itu menyebut-nyebut tentang bahan bagus, dia serentak teringat akan hubungannya dengan maksud hendak mengambil murid. Dia benar2 heran, mengapa begitu banyak tokoh2 dalam dunia persilatan yang ingin sekali mengambil dia sebagai murid.

"Apakah wanpwe dapat mengetahui nama locianpwe ?" akhirnya ia bertanya.

Orang tua itu kicupkan kedua matanya lalu mengurut- urut jenggotnya dengan santai.

"Pernah dengar tentang nama Lam-kek-siu ?"

Cu Jiang terperanjat. Lam-kek-siu atau kakek dari Kutub-selatan merupakan seorang tokoh aneh yang berada diluar dunia persilatan. Namanya lebih atas dari Bu-lim Sam-cu.

Ketika ayahnya masih hidup, pernah mengatakan, ingin sekali berjumpa dengan tokoh itu.

Ah, sungguh tak terkira bahwa orang tua pendek yang berada dihadapannya itu tak lain adalah tokoh Lam-kek-siu yang termasyhur itu. Serentak timbullah  rasa mengindahkan kepada kakek Itu.

"Oh, locianpwe ini tokoh Lam-kek-siu yang termasyhur itu ?" tanyanya.

"Ya."

"Maaf, wanpwe telah berlaku kurang hormat "

"Ngaco, aku ai kakek tua ini tak perlu engkau junjung setinggi langit."

"Wanpwe memang berkata dengan kesungguhan hati." "Engkau dari perguruan mana ?"

"Dari keluarga sendiri." "Siapa keluargamu ?" "Ini. maaf, wanpwe sukar mengatakan."

"Tak apa. Engkau tahu mengapa aku kakek tua ini mencarimu?"

"Mohon cianpwe memberi keterangan." "Aku menerima permintaan tolong orang." "Siapa ?"

"Gong-gong-cu!"

"Gong gong-cu ketua dari Bu-lim Sam-cu?" Cu Jiang menegas.

"Sudah tentu, masakan dalam dunia persilatan terdapat dua Gong-gong-cu!"

"Ah, terlalu bagus sekali!" "Terlalu bagus, apa maksudmu?"

Cu Jiang merasa kelepasan omong. Dia belum kenal dengan Gong-gong-cu mengapa tokoh itu minta tolong orang supaya mencarinya? Apakah artinya ?

Tetapi itu memang sungguh kebetulan sekali karena ia hendak menyampaikan pesan dari Go-leng-cu untuk Gong- gong-cu.

"Wanpwe juga menyanggupi permintaan orang untuk mencari Gong-gong cianpwe."

"O, mengapa begitu kebetulan sekali. Siapa yang menyuruhmu ?"

"Go-leng-cu."

"O, si kepala gundul yang menempuh bahaya itu. Soal apa ?"

"Sebuah pesan lisan." "Mengapa kepala gundul itu dapat minta tolong kepadamu?"

"Karena dia . . . senasib dengan wanpwe." "Senasib? Apa maksudmu?"

Cu Jiang lalu menceritakan tentang penjara di bawah tanah dari Gedung Hitam. Tentang nasib yang dialami dari Go leng-cu dan Thian-hian-cu dan tentang sarang serigala yang menjadi kuburan dari tokoh2 persilatan.

Mendengar itu Lam-kek-siu marah. Rambutnya meregang tegak.

"Kalau Gedung Hitam tak dibasmi, dunia persilatan Tiong goan takkan tenang. Budak, engkau benar2 nyawa kembalian dari neraka!"

Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menyahut:

"Selama wanpwe masih bernyawa, tentu akan  membasmi Gedung Hitam!"

"Sungguh berpambek tinggi! Pokoknya, engkau harus lekas2 menemui Gong-gong-cu. . ."

"Tetapi di manakah beliau?"

"Dia hanya mondar-mandir di wilayah Sujwan-Oupak, mencarimu!"

"Bagaimana cara mencarinya?"

"Ini.... karena engkau meloloskan diri dari Gedung Hitam, mereka tentu berusaha keras untuk menangkapnya lagi. Oleh karena itu baiklah engkau jangan unjuk diri. Begini saja, aku mempunyai sebuah benda, pergilah ke markas Kay-pang cabang Kui-cin, tunjukkan benda itu dan suruh pengemis2 itu membantu engkau mencarikan..." Habis berkata Lam-kek-siu mengeluarkan sebuah tiokpay (keping bambu) kecil, diberikan kepada Cu Jiang.

"Inilah pertandaan dari Kay-pang tiang-lo. Dulu seorang sahabat pengemis memberikan kepadaku. Aku sih tak perlu. Sekalian suruh mereka mengembalikan pertandaan itu ke markas besar Kay-pang dan diserahkan kepada tianglo Kay- pang yang bernama Tong Ih Leng bergelar Pengemis- perayu nyawa."

Sambil menyambut Cu Jiang menghaturkan  terima kasih.

"Budak, apabila engkau tidak capek, malam ini engkau berangkatlah . . ."

"Jika begitu wanpwe mohon diri." "Hati2 di jalan !"

Setelah memberi hormat, Cu Jiang lalu turun gunung.

Malam itu juga ia terus menuju ke Kui-ciu, mencari markas partai Kay-pang.

Cu Jiang tetap menggunakan cara yang sama. Kalau siang beristirahat, sembunyi di hutan atau tempat yang sepi, malam baru melanjutkan perjalanan.

Pada malam itu tibalah dia di luar kota Kui-ciu. Dia bersangsi. Saat itu tengah malam, para pengemis tentu sudah pulang kandang. Bagaimana ia hendak mencari markas mereka?

Setelah memikir beberapa saat. ia mendapat akal. Menurut keadaannya markas cabang Kay-pang itu tentu berada di tempat sepi di luar kota. Ah. baiklah ia coba2 mengitari kota, mungkin saja ia dapat menemukannya.

Dalam perjalanan itu tiba2 ia mendengar jeritan minta tolong dari seorang wanita. Cu Jiang berhenti dan memandang ke sekeliling. Rumah2 sudah mati lampunya dan jeritan itu tak kedengaran lagi

Baru dia bersangsi tiba2 jeritan itu terdengar lagi tetapi pelahan dan terputus-putus. Jika tak memiliki pendengaran yang tajam tak mungkin dapat menangkap suara itu.

Kini Cu Jiang dapat mengetahui arahnya. Jelas dari gerumbul hutan yang terpisah beberapa puluh tombak dari tempat ia berdiri.

Tanpa ayal lagi dia terus lari menghampiri. Begitu tiba di hutan itu baru dia dapat melihat di dalam hutan Itu terdapat sebuah rumah pondok yang dilingkari dengan pagar bambu. Lampunya masih menyala. Menilik bangunannya, rumah itu bukan rumah petani melainkan sebuah rumah orang yang memang hendak mengasingkan diri dari pergaulan ramai.

Rumah itu merupakan satu-satunya rumah di hutan itu. Tiada tetangganya lagi. Suara jeritan tadi jelas berasal dari dalam rumah itu.

Cu Jiang segera menghampiri. Begitu dekat ternyata pintu rumah itu terbuka separoh. Dia terus melangkah masuk. Apa yang dilihatnya benar2 mengejutkan sekali.

Di lantai ruang tengah, tampik sesosok mayat yang bergelimangan darah. Korban mengenakan pakaian sebagai seorang bun-in atau sasterawan.

Tiba2 terdengar suara rintihan bercampur isak tangis.

Asalnya dari kamar sebelah.

Cu Jiang segera menghampiri kamar itu dan melongok dari jendela. Apa yang disaksikan dalam kamar itu benar2 membuat darahnya bergolak keras. Nafsu pembunuhan serentak berkobar-kobar. Seorang Pengawal Hitam tengah meringkus  seorang anak berumur lima tahun, melintangkan pedang di leher anak itu. Mukanya tertawa menyeringai sehingga anak itu ketakutan setengah mati.

Di pinggir ranjang berdiri seorang tua berpakaian hitam, umur di antara 50 an tahun, sedang membuka pakaian dan ikat pinggangnya.

Sementara diatas ranjang, rebah seorang wanita muda berumur 20-an tahun dalam keadaan telanjang dan memandang lelaki tua itu dengan penuh dendam.

"Heh, heh, jangan memandang aku begitu rupa. Kalau menghendaki jiwa anakmu, engkau harus mau melayani aku main satu kali," lelaki berpakaian hitam itu tertawa mengekeh.

Bibir wanita itu mengumur darah. Rupanya dia telah menggigit bibirnya sendiri karena dendam kebenciannya yang meluap-luap.

"Dengarkan, aku tak ingin menggunakan kekerasan. Sikapmu begitu itu tak menyenangkan, Jika tidak..." kata lelaki tua itu pula.

Seketika terbayanglah Cu Jiang akan dua buah peristiwa yang lalu. Anak perempuan dari paman Liok yang mati diatas ranjang dengan tubuh telanjang.

Dan jenasah ibunya yang menggeletak diatas batu, juga dalam keadaan tak berpakaian ....

"Tunggulah diluar, nanti kuberi mu bagian," kata lelaki tua itu kepada Pengawal Hitam.

Wajah yang menyeramkan dari Pengawal Hitam itu sejenak menyapu tubuh wanita muda yang rebah di ranjang lalu melangkah keluar. "Jangan mengganggu anakku!" teriak wanita muda itu dengan nada pilu.

Saat itu lelaki tua sudah membuka pakaian dan hanya tinggal celana dalam saja. Dengan tertawa menyeringai dia berkata:

"Asal engkau mau menurut saja dan dapat memuaskan aku, anakmu tentu selamat."

Cu Jiang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia terus menerjang masuk dan tepat kesampokan dengan Pengawal hitam yang membawa anak kecil itu.

"Siapa engkau !" bentak Pengawal Hitam.

Secepat kilat Cu Jiang terus mencengkeram tangan orang itu. Marah sekali Cu Jiang sehingga ia mencengkeram dengan sekuat tenaganya.

"Auh..." Pengawal Hitam menjerit karena tulang pergelangannya pecah dan pedangnyapun jatuh.

"Hai, ada apa itu!" seru lelaki tua dalam kamar.

Pengawal Hitam lepaskan anak kecil lalu menghantam dada Cu Jiang.

Krak.... Cu Jiang menangkis. Pengawal Hitam itu tergetar. Sebelum ia sempat menghantam lagi, Cu Jiang sudah mendahului menghantam kepalanya, prak....

rubuhlah orang itu ke lantai.

"Pek thaubak. budak . . itu ....," sebelum melayang jiwanya, Pengawal Hitam itu sempat berteriak.

"Ho, bagus, kiranya engkau budak!" dengan masih mengenakan celana dalam kepala kelompok atau thaubak orang she Pek itu segera melesat keluar. Dengan berapi-api Cu Jiang memandang orang itu. Wajahnya yang rusak dan memancarkan hawa pembunuhan itu, membuat ngeri Pak Thaubak sehingga menyurut mundur selangkah.

Wanita muda menyambar selimut untuk menutup tubuhnya lalu lari keluar dan membopong anak kecil itu ke sudut.

"Budak buruk, tak kira engkau mengantar jiwa sendiri." seru Pak thaubak menyeringai iblis.

Sepasang bola mata Cu Jiang merah membara dan gerahamnya bergemerutukan. Tanpa berkata apa2, dia terus menghantam.

Pak thaubak menangkis dan tangannya yang lain menyambar. Tetapi alangkah kejutnya ketika tenaga pukulan Cu Jiang itu sedahyat gunung meletus. Krak. Pek

thaubak terpelanting kedalam kamar.

Sebelum dia sempat bergerak, Cu Jiang sudah loncat dan mencengkeram bahunya.

"Auh..." Pek thaubak mengerang kesakitan karena bahunya mengucur darah. Jari2 Cu Jiang telah menembus masuk kedalam dagingnya.

Pek thaubak terbelalak. Dia tak mengira bahwa Cu Jiang memiliki tenaga yang sedemikian sakti.

Cu Jiang tak bicara apa2. Matanya yang merah membara sudah berbicara sendiri.

Pek thaubak nekad. Karena tubuhnya lemas akibat jalan darah pada bahunya dicengkeram, dia mengangkat lutut kaki kanannya dan dibenturkan ke perut Cu Jiang. Cu Jiang sedang dirangsang kemarahan sehingga dia kehilangan kewaspadaan. Dia tak mengira lawan akan menggunakan cara itu.

"Huh.." ia mengerang tertahan dan terjungkal ke belakang. Kalau tak memiliki tenaga-dalam yang tinggi, tentu dia sudah mati saat itu.

Berhasil dengan gerakan lutut, Pek thaubak menyusuli lagi dengan sebuah tendangan.

Tetapi saat itu kesadaran Cu Jiang sudah kembali, ia miringkan tubuh sembari menyambar kaki lawan dan sebelah tangannya bergerak untuk menabas kaki  orang, krak.

Tulang kaki Pek thaubak pecah dan orangnyapun rubuh.

Cu Jiang membarengi menerkam paha orang. "Ha. ha, ha " dia tertawa gelak2.

"Budak engkau berani "

"Akan ku robek-robek tubuhmu, anjing !" teriak Cu Jiang. Krak sekali merentang kedua lengannya terdengar

Pek thaubak meraung ngeri karena tubuhnya sempal dua.

Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melangkah ke luar. Tampak wanita muda tadi dengan memeluk anak kecil tengah menelungkupi mayat lelaki berdandan seperti sasterawan itu, menangis tersedu-sedu.

Sinar lampu yang redup di malam hari, menambah suasana tempat itu makin seram.

Lama sekati baru wanita itu menyadari bahwa di sampingnya terdapat seorang pemuda yang tegak berdiri, Ia mengangkat muka dan terkejut ketika pandang matanya terbentur pada wajah Cu Jiang yang buruk. Tetapi sesaat kemudian wanita itu segera menghaturkan hormat:

"Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap!"

"Ah, tak usah, " kata Cu Jiang dengan nada hambar, "hanya secara kebetulan saja. Apakah yang meninggal itu suami nyonya?"

"Ya memang .... suamiku," kata wanita itu tersendat- sendat.

"Siapakah namanya?"

"Sastrawan- pukulan sakti Kang Giok."

"Ah, bukan seorang yang tak ternama. Bagaimana asal mula peristiwa ini?"

"Silahkan siauhiap melihat di atas meja itu "

Cu Jiang berpaling dan tiba2 menjerit:

"Amanat Maut!"

"Benar, Amanat Maut dari Gedung Hitam."

"Mengapa Gedung Hitam mengirim amanat itu ke mari?"

"Karena kami pernah menerima seorang nona menginap di sini. Dan nona itu adalah orang yang hendak dicari Gedung Hitam."

Cu Jiang terkejut. "Bagaimana nona itu?"

"Seorang dara yang berpakaian hijau." "Dara berpakaian hijau? " ulang Cu Jiang. "Ya. hal itu terjadi lima hari yang lalu " "Apakah dara itu mengakui she apa?" "Dia . . . mengatakan she Ho!"

Cu Jiang tergetar. Sungguh tak kira dalam dunia ini terjadi hal yang aneh. Dulu ketika dia pulang dari berkelana dan menolong nona yang  bernama Ho Kiong Hwa itu, telah menerima Amanat Maut dan Gedung Hitam. Jika tidak wanita gemuk pemilik rumah penginapan yang melindunginya, dia tentu sudah mati.

Tetapi wanita gemuk itu sendiri yang menjadi korban. Rumah makan dan penginapannya dibakar dan wanita gemuk itu jatuh miskin.

Kini Kang Giok yang bergelar Sasterawan-pukulan sakti itupun mati dibunuh orang Gedung Hitam karena menolong Ho Kiong Hwa. Bahkan anak isterinyapun hampir menjadi korban keganasan orang Gedung Hitam.

Tiba2 ia teringat akan dara Ho Kiong Hwa yang tentunya masih berada dalam gua rahasia menunggu Ang Nio Cu. Entah bagaimana keadaan dara itu.

Sesaat iapun teringat akan surat dari Ang Nio Cu yang hendak menjodohkan dia dengan Ho Kiong Hwa. Teringat itu merahlah wajah Cu Jiang.

"Nyonya Kang, baiklah malam ini juga  engkau tinggalkan rumah ini dan pergi sejauh mungkin. Orang Gedung Hitam tentu tak mau melepaskan engkau begitu saja, " katanya.

Wajah nyonya muda itu pucat dan air matanyapun segera berderai-derai ke luar.

"siauhiap, aku hendak mohon tolong sebuah hal..." Cu Jiang tertegun. "Soal apa?"

"Akan kuserahkan anak ini kepada siauhiap." Lalu nyonya?"

"Hendak menyusul suamiku . . ."

Anak itu rupanya agak mengerti maksud ucapan mamahnya. Dia memandang wajah mamahnya lalu memandang Cu Jiang. Dia tahu walaupun berwajah buruk tetapi Cu Jiang berhati baik. Dia tak takut.

"Jangan! " seru Cu Jiang.

"Apakah siauhiap tak meluluskan?"

"Saat ini aku juga orang yang sedang diburu Gedung Hitam." kata Cu Jiang, "dan cara berpikir nyonya itu tak benar. Suami nyonya dibunuh orang, nyonya seharusnya berjuang untuk merawat putera nyonya. Dengan demikian suami nyonya tentu dapat beristirahat dengan meram di alam baka."

Nyonya itu terisak-isak. Anaknyapun ikut menangis.

Adegan itu benar2 menyayat hati Cu Jiang.

"Nyonya Kang, harap lekas berkemas-kemas dan memanfaatkan malam yang gelap ini untuk lolos." sesaat kemudian Cu Jiang memberi peringatan.

Nyonya itu menurut Ia masuk ke dalam kamar.  Tak lama kemudian ke luar dengan sudah berpakaian dan membawa sebuah bungkusan. Ia berjongkok di hadapan Cu Jiang.

"Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap." katanya seraya memberi hormat.

"Ah, tak usah, nyonya," Cu Jiang tersipu-sipu, "Harap lekas bangun."

"Dapatkah siauhiap memberitahu nama siauhiap yang mulia?" serunya berbangkit. "Aku . . . bernama Gok-jin-ji." "Gok-Jin-Ji?"

"Ya."

"Nama gelaran ?" "O, ya."

"Nama yang sebenarnya ?"

"Aku tak punya nama dan she. Hanya nama gelaran itu." "Akan kucatat dalam hati selama-lamanya."

"Lebih baik nyonya segera berangkat. Urusan disini serahkan kepadaku."

"Mayat suamiku ..."

"Aku yang akan menguburnya."

"siauhiap, keluarga Kang akan mengukir budi kebaikan siauhiap itu."

"Ah, tak perlu nyonya mempersoalkan hal sekecil itu.

Silahkan berangkat!"

Dengan masih berat hati, nyonya itu memandang lagi sekeliling rumahnya.

"Mah, kita akan kemana?" seru anak kecil.itu. Air mata nyonya itu tiada putusnya mengalir.

"Nak, dalam dunia yang begini luas, kita tentu dapat mencari tempat tinggal."

"Dan paman buruk !"

"Hui, jangan kurang ajar!" bentak mamahnya. Cu Jiang tertawa. "Paman Buruk memang tepat. Harap nyonya jangan marah kepadanya."

"siauhiap, sampai jumpa lagi," nyonya itu memberi hormat mohon diri.

"Harap nyonya berhati-hati ..."

"Terima kasih !" dengan memondong anaknya nyonya itu segera melangkah keluar dan lenyap dalam kegelapan malam.

Cu Jiang menghela napas. Kemudian ia menuju kebelakang dan membuang liang untuk mengubur Kang Giok. Dibuatkannya juga sebuah nisan dengan  tulisan nama Kang Giok.

Tepat pada saat ia selesai mengurus mayat itu terdengar suara ayam berkokok. Hari segera akan terang tanah.

Ia meletakkan Amanat Maut diatas kuburan lain membakar rumah pondok itu. Maksudnya supaya orang Gedung Hitam tahu bahwa orang yang hendak dibunuhnya itu sudah mati.

Tiba2 ia teringat bahwa nyonya tadi tentu juga seorang wanita persilatan. Jika ia menanyakan letak markas Kay- pang, mungkin tahu. Tetapi ah, dia sudah pergi jauh.

Cu Jiang melanjutkan perjalanan lagi. Saat itu di jalan pun sudah tampak orang berlalu lalang. Ia merenungkan. Apabila jejaknya diketahui Gedung Hitam, tentu akan melibatkan markas Kay-pang.

Akhirnya ia kembali hendak mencari hutan yang sepi.

Tiba2 di tengah jalan ia melihat sebuah kuil besar. Dia gembira Sekali karena tempat semacam kuil, merupakan tempat persembunyian yang bagus. Segera ia lari menghampiri. Tetapi tiba di tempat itu ternyata bukan kuil melainkan sebuah biara yang megah dan besar. Papan nama besar yang tergantung pada pintu bertulis tiga huruf Hian-to- kwan.

Pintu biara itu terbuka tetapi tak kelihatan barang seorang penjaganya.

Cu Jiang mengambil keputusannya. Dari pada mengganggu para imam dalam biara itu, lebih baik ia mencari tempat yang sepi untuk bermalam.

Ia segera masuk. Di belakang pintu terdapat sebuah halaman luas yang penuh ditumbuhi bunga2 indah. Jalan ditengah tengahnya terbuat dari batu putih yang rapi dan bagus.

Di ujung halaman merupakan sebuah ruangan. Di belakang ruang itu tentulah ruang besar. Di kanan kiri terdapat pintu bundar yang disebut Gwat-tong- bun.

Pada ujung timur laut  terdapat sebuah pintu yang tertutup.

Cu Jiang lalu menghampiri pintu itu dan mendorong. Tetapi pintu itu terkancing dari dalam. Terpaksa Cu Jiang loncat dari atas pintu.

Dia menyusur sebuah lorong Jalan. Tiba diujung lorong, terdapat sebuah halaman kecil. Di situ terdapat sebuah pondok papan yang cukup bersih. Tetapi menilik halaman itu penuh ditumbuhi rumput dan semak, jelas pondok itu sudah lama tak dipakai orang.

"Tempat yang bagus! " pikirnya lalu menghampiri.

Tetapi sebelum tiba di pondok harus melalui sebuah pintu halaman. Pintu itu dikunci dengan gembok yang karatan. Cu Jiang tak berani membuka. Iapun melihat bahwa pintu pondok yang terbuat dari kayu dipelitur, Juga dikunci. Setelah memeriksa keadaan disekeliling, Cu Jiang rebahkan diri diatas sebuah bangku batu dibawah tangga bunga. Pikirnya, tempat itu cukup aman, tentu tak diketahui orang dan para imam biara situ.

Karena semalam suntuk hampir tak tidur maka Cu Jiang lelah sekali dan terus jatuh pulas.

Beberapa waktu kemudian ia terjaga oleh suara ribut2. Ternyata saat itu sudah tengah hari. Cepat ia bangun dan pasang telinga.

Suara itu berasal dari luar pintu. "Bu-liang-siu-hud, siao- to tak berani sembarangan masuk !"

"Ngaco!"

"Tempat ini merupakan tempat larangan dalam biara kami. Kecuali kwan-cu, tiada seorangpun boleh masuk."

"Minta mampus?"

"Apakah sicu sama sekali tak mengindahkan peraturan dunia persilatan ?"

"Suruh kunyuk2 kecil itu menyingkir" "Sicu "

Huak ... hoak .... terdengar serentetan orang muntah dan menyusul sosok2 tubuh yang rubuh.

"Dobrak pintu dan ringkus kawanan imam hidung kerbau disini !"

Terdengar bentakan2 keras dan suara rintihan.

Bum... pintu jebol terhantam sebuah pukulan dahsyat.

Beberapa sosok bayangan segera menerobos masuk. Melihat itu Cu Jiang segera loncat bersembunyi dibalik sebuah gunung-gunungan. Dari celah gunungan batu itu ia dapat melihat apa yang terjadi. Seketika meluaplah kemarahannya.

Ternyata yang menerobos masuk itu dua orang  Pengawal Hitam yang menjinjing seorang Imam setengah tua. Dua orang Pengawal Hitam yang lain mengiring dibelakang seorang lelaki tua berpakaian hitam.

Cu Jiang cepat mengenali lelaki tua baju hitam itu sebagai salah seorang thaubak Gedung Hitam yang bernama Kho Kun gelar Bu ceng-thay-swe atau Pangeran- tanpa-kasihan.

"Geledah !" Kho Kun memberi isyarat.

Kedua Pengawal Hitam itu segera maju. Brak, pintu pondok ditendang dan terus menerobos masuk.

Imam yang dikepit itu merah matanya dan meronta sekuat-kuatnya tetapi tak dapat melepaskan diri dari himpitan kedua Pengawal Hitam itu.

"Perbuatan kalian ini tentu takkan dibiarkan kwan-cu." imam itu berteriak-teriak.

O0o0dw0o0O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar