Pusaka Negeri Tayli Jilid 06

Jilid 6

Banyak sekali yang mengherankan pikirannya sehingga ia lupa untuk memberi jawaban.

"Apakah engkau tak menjawab apa yang ku tanyakan ?" wanita itu mengulang pertanyaannya.

"Dengar. "

"Jawablah, apakah betul begitu ?" "Ya, tetapi "

"Tetapi bagaimana ?" "Bagaimana engkau tahu hal itu?"

"Apakah itu sukar ? Apakah kalau engkau bicara dengan orang, tak boleh orang yang berada di dekat situ mendengarkan ?"

“Oh, kiranya wanita itu telah mendengar percakapannya dengan jelita Ki Ing tempo hari. Tetapi mengapa wanita itu menanyakan hal itu ?"

"Mengapa engkau menanyakan soal itu itu ?" serentak Cu Jiang bertanya.

"Jangan hiraukan hal itu. Kutanya lagi, bukankah engkau mengatakan bahwa pemuda baju putih itu terluka dan berada di gunung ?"

"Ya."

"Engkau bohong!" seru wanita itu dengan nada sedingin

es.

"Aku bohong?" "Kini, orang telah menyelidiki sekitar tempat itu sampai seratus Ii, tetapi tak menemukan suatu jejak apa2, engkau telah merangkai suatu cerita bohong,  rupanya  tentu terdapat sesuatu apa2 di situ. Harap engkau berkata sebenarnya!"

"Apa yang kukatakan itu memang sungguh!"

"Jangan pura2. Bahwa engkau sanggup menerima tiga buah pukulan dari Iblis Gila, jelas engkau lebih sakti dari pemuda baju putih Cu Jiang ..."

Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang.

"Engkau tahu. dia bernama Cu Jiang?" serunya dengan

gemetar.

"Tentu saja tahu." "Siapakah engkau ini?"

"Aku yang bertanya kepadamu, lekas jawab!"

"Aku tak mempunyai keterangan lain lagi kecuali seperti itu."

"Kalau begitu engkau memang kepingin mati!"

Cu Jiang mengeluh dalam hati. Adakah dia harus membuka rahasia dirinya sendiri? Tetapi siapakah pendatang itu?

"Apakah hubungan anda dengan Cu Jiang?" akhirnya ia mencari akal untuk menyelidiki.

Rupanya wanita tak dikenal itu marah. Dia melengking tinggi:

"Jangan banyak bicara! Di mana dia?" "Ditengah-tengah gunung Bu leng san." "Bohong!" "Ah, anda terlalu menghina orang."

"Hm, jika engkau tak mau mengatakan sejujurnya, akan kusuruh engkau mati secara perlahan-lahan."

"Apa yang harus kukatakan?"

"Kutanya lagi. Apakah hubungan antara puteri cantik itu dengan pemuda baju putih?"

"Soal itu tak dapat kuberitahukan."

"Apakah engkau benar2 menghendaki supaya aku turun tangan?"

Nada dan irama kata2 wanita itu serentak mengingatkan Cu Jiang pada seseorang.

"Bukankah anda ini Ang Nio-cu? " tiba2 ia berseru. "Hai, mengapa engkau tahu?" wanita itu tersentak kaget.

Cu Jiang sendiri juga ikut terkejut, ia menyadari bahwa pertanyaan itu salah sekali. Dengan begitu tanpa disadari dia telah membuka rahasia dirinya sendiri.

Ang Nio-cu telah membuat makam untuk mengubur jenasah ayah bunda dan kedua adiknya. Budi itu takkan dilupakan Cu Jiang. Seharusnya saat itu dia mengaku saja siapa sesungguhnya dirinya itu.

Tetapi tiba2 ia teringat bahwa bagaimana keadaan wanita itu yang sebenarnya, ia belum tahu. Yang diketahuinya, wanita itu disohorkan dunia persilatan sebagai momok perempuan yang ganas, ia tak tahu bagaimana hubungan Ang Nio cu dengan kedua orang tuanya dahulu semasa kedua orang tuanya itu masih hidup.

Mengingat hal2 itu, diam2 menggigillah hati Cu Jiang. Ia menyadari bahwa apabila sampai menimbulkan kemarahan wanita itu, tentulah wanita itu akan bertindak menghancurkan dirinya.

Mengingat pula bahwa wanita itu telah membuatkan makam untuk kedua orang tuanya, ia duga Ang Nio-cu itu tentu mempunyai maksud baik, jika ia sampai bertengkar dengan Ang Nio-Cu bukankah berarti dia tak ingat pada budi orang yang telah memberi kebaikan kepada kedua orang tuanya?

"Andapun pernah membuatkan makam untuk Seng kiam." akhirnya ia mendapat pikiran dengan mengajukan pertanyaan.

Ternyata Ang Nio-cu memang makin terkejut.

"Engkau tahu juga hal itu. Engkau ini... sebenarnya siapa?"

Sejenak berdiam, akhirnya Cu Jiang menemukan suatu perjanjian.

"Bagaimana kalau kita sama2 membuka rahasia diri kita masing-2 ?"

"Apa yang engkau kehendaki?"

"Anda menerangkan hubungan anda dengan Seng-kiam dan akupun akan menerangkan peristiwa yang sebenarnya kuketahui!"

"Jika aku tak mau mengatakan?" "Kalau begitu kitapun sama2."

"Tetapi jiwamu saat ini berada dalam tanganku!"

"Aku sudah tak menghiraukan lagi soal mati hidup." kata Cu Jiang dengan dingin.

"O, tak ada tanda-2 yang kulihat bahwa engkau memiliki tekad begitu. Apakah engkau hendak mencoba tanganku?" "Ah, masakan aku berani mengatakan begitu, bahkan mendengar nama anda saja aku sudah mengagumi sekali."

Ang Nio-cu terdiam beberapa saat. Kemudian tertawa. "Anggaplah engkau berhasil menawarkan perjanjian tadi.

Kali ini Ang Nio-cu akan melanggar pantangan. Aku hanya mengagumi kepribadian Seng-kiam saja!"

"Tempat persembunyian Seng-kiam tiada orang yang tahu. Bagaimana anda dapat tiba ditempat itu ?"

"Pemuda baju putih itu yang menunjukkan jalan sendiri

!"

"O, anda mengikutinya secara diam2."

"Engkau sudah terlalu banyak bertanya. Sekarang

giliranmu yang harus memberi keterangan."

Terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang dan dengan nada gemetar dia berseru.

"Ijinkan aku bertanya sepatah lagi .. . hanya sepatah saja

. . ."

"Katakan !"

"Siapa pembunuh Seng-kiam sekeluarga?"

"Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang sepele. Dan perlu apa engkau menanyakan hal itu ?"

"Ada sebabnya."

"Tetapi sikapmu terhadap puteri jelita Itu, seharusnya engkau tak mengajukan pertanyaan semacam itu ?"

"Dulu dan sekarang memang lain." "Engkau tidak ketolol-tololan lagi?" "Hai." "Dengarkan. Aku terlambat datang setindak sehingga tak menyaksikan peristiwa itu. Tetapi kelak tentu dapat menyelidiki."

Cu Jiang mengeluh kecewa. Tetapi ucapan Ang Nio-cu yang terakhir yang menyatakan bahwa kelak tentu dapat menyelidiki, menimbulkan rasa terima kasihnya terhadap Ang Nio-cu.

Setelah merenung sejenak, barulah dia berkata pula. "Aku yang jelek ini tak lain adalah pemuda baju putih

Cu Jiang itu sendiri!"

Kejut Ang Nio cu lebih dari disambar petir.

"Apa . . ." serunya gemetar, " engkau .. . engkau ini ... .

Cu Jiang ?"

Dengan mengertak gigi, Cu Jiang berkata dengan nada sedih:

"Ya, memang benar."

"Engkau.... engkau.... meskipun nada suaramu memang mirip tetapi siapakah yang mau percaya "

"Aku sendiri juga   tak   percaya. Tetapi aku harus menerima kenyataan pahit ini!"

"Apakah engkau. menggunakan ilmu merobah muka."

"Tidak!"

"Wajahmu .... kakimu "

"Inilah musuh yang mencelakai diriku sampai begini! " "Ai sungguh menyeramkan sekali."

Sungguh di luar dugaan bahwa seorang momok wanita seperti Ang Nio cu ternyata dapat mengeluarkan kata2 yang begitu penuh rasa kasihan dan simpati. "Benar2 suatu hal yang sukar dipercaya."

Seketika ia teringat akan anggapan "Te-ling-sat Tian Heng.”. kepala dari kawanan Kiu- te-sat yang mengatakan, bahwa apa yang disebut aliran Putih dan Hitam dalam dunia persilatan itu memang sukar ditentukan.

Ada tokoh yang dicap sebagai momok ganas, tetapi dia juga seorang manusia yang mempunyai hati kebaikan, masih ada setitik budi nuraninya yang baik.

Seperti dia sendiri, kelak kalau melakukan pembalasan tentu akan mengadakan pembantaian hebat. Adakah tindakannya itu kelak dapat dianggap sebagai tindakan seorang dari aliran putih ataukah Hitam !

"Aku telah memberi keterangan, apakah anda memerlukan petunjuk lagi?" akhirnya ia berkata kepada Ang Nio-cu itu.

Dengan nada gemetar, Ang Nio-cu meminta penegasan: "Cu Jiang, bagaimana sesungguhnya peristiwa itu

terjadi?"

"Ketika itu aku hendak pulang ke gunung. Kudapati keluargaku sudah dibantai habis-habisan. Tiba2 aku diserang oleh tiga manusia aneh lalu dilempar ke dalam jurang sehingga tubuhku jadi cacad begini."

"Apakah engkau tahu siapa yang melakukan penganiayaan itu?"

"Tidak tahu."

"Bagaimana wajah mereka?"

"Apabila bertemu tentu dapat mengenali." "Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?" Pertanyaan Ang Nio cu itu telah menyadarkan Cu Jiang, dia tahu kalau menderita luka dalam yang parah. Apabila terlambat mendapat pengobatan tentu jiwanya melayang. Tetapi apa daya, tenaganya masih belum pulih dan tenaga dalamnya masih tak dapat dihimpun. Jelas tak mungkin dia akan melakukan pengerahan tenaga-dalam  untuk mengobati lukanya itu.

"Tenaga-murni sukar kuhimpun !" "Begitu parah lukamu itu?" "Kukira aku tentu. "

"Pejamkan mata, jangan sekali-kali engkau mencuri lihat aku. Akan kuperiksa lukamu !"

Berdebar keras hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu tak mau dilihat orang. Ia merangkai kesimpulan bahwa wanita itu tentu tak mengandung maksud buruk kepadanya. Kalau memang hendak membunuhnya tentu saat itu dia dapat melakukannya.

Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Terpaksa ia menurut perintah wanita aneh itu.

"Hm." ia mendesah lalu pejamkan mata.

Sesaat kemudian terasa dari belakangnya berhembus angin lemah dan segera ia rasakan jalan darah tubuhnya digerayangi oleh jari orang.

Beberapa saat kemudian tiba2 Ang Nio-cu mendesis kaget.

"Hai !"

Cu Jiang terkejut dan tanpa disengaja membuka mata. Sesosok bayangan merah cepat menghilang dari pandang matanya. "Hai, mengapa engkau membuka mata?" teriak Ang Nio- cu dari jarak beberapa tombak jauhnya.

"Maaf, aku tak sengaja," Cu Jiang meminta maaf. "Engkau telah terkena pukulan Thian-kong sat dari Iblis

Gila, dan pukulan itu telah menyusup kedalam jalan darah tubuhmu ..."

"Thian-kong-sat?" "Ya."

"Lalu bagaimana?"

"Saat ini aku tak berdaya menolongmu."

Cu Jiang tertawa hambar. "Aku pasrah saja." "Tidak!" teriak Ang Nio-cu.

Cu Jiang terkesiap. Apa maksud kata2 Ang Nio-cu itu? Dia tak tahu bagaimana harus berkata. Sesaat suasanapun hening. Sebenarnya dia tak ingin mendapat bantuan orang tetapi ia merasa ada beberapa hal yang harus ia nyatakan kepada wanita itu.

"Atas budi kebaikan anda yang telah mengubur jenazah ayah bunda dan kedua adikku, sebelum mau mati,  aku tentu akan membalas budi itu, " katanya.

"Hm, siapa yang mengharap belas budi dari engkau," desah wanita itu dengan nada dingin.

"Benar, tetapi kita masing2 mempunyai pendirian dan kepentingan sendiri."

"Engkau tak boleh mati..."

Kembali Cu Jiang tergetar mendengar ucapan itu dan serentak dia cepat menukas: "Aku tak boleh mati?"

"Tidak boleh !" "Kenapa?"

"Akan kubiarkan supaya engkau hidup terus." "Kenapa?"

"Jangan bertanya!"

Cu Jiang tutup mulut tetapi hatinya tetap heran atas tingkah laku momok wanita yang begitu aneh.

Beberapa saat kemudian baru terdengar Ang Nio-cu berkata lagi:

"Saat ini aku hanya dapat menolong untuk sementara waktu, tingkat dapat hidup sampai setengah bulan . . ."

"Setengah bulan?"

"Apakah engkau mempunyai tempat persembunyian. ?" Sejenak merenung. Cu Jiang berkata:

"Ada. Di dasar jurang, bekas tempat persembunyian Kiu- te-sat.".

"Baiklah, engkau tunggu saja di sana sampai setengah bulan."

"Menunggu anda datang lagi"

"Hm, aku hendak meminta obat ke suatu tempat, tetapi. .

."

"Bagaimana?"

"Biar bagaimana juga, aku harus berusaha supaya

engkau hidup."

Hati Cu Jiang tegang sekali.

"Mengapa engkau bersikap begitu kepadaku?" serunya dengan gemetar. "Kelak engkau tentu tahu sendiri. "

"Sebenarnya aku tak berani menerima budi kebaikan anda yang sedemikian besar."

"Tutup mulut! Aku, Ang Nio-cu, akan melakukan apa yang kuinginkan!"

Cu Jiang tertawa getir dan tak bicara apa2 lagi. Ia merenungkan tindakan wanita itu mendirikan makam untuk kedua orang tua dan adiknya. Karena sudah terlanjur menerima budi orang, mengapa ia akan menolak lebih lanjut.

"Pejamkan mata dan ngangakan mulutmu!" tiba2 Ang Nio-cu berseru pula.

Cu Jiang menurut. Baru membuka mulut, beberapa butir pil telah menyusup ke dalam kerongkongan dan turun kedalam perut. Pil berbau harum sekali, entah apa  namanya.

Kemudian ia rasakan beberapa jalan darah pada tubuhnya telah disengat oleh angin dari gerak tutukan jari.

"Sampai jumpa setengah bulan lagi!" Kata2 yang terakhir itu terdengar jauh sekali. Jelas Ang Nio cu sudah lenyap.

Begitu masuk ke dalam perut, pil itu segera memancarkan hawa hangat yang mengembang ke dada lalu mengalir ke seluruh tubuh. Bagian2 yang sakitpun terasa longgar tetapi tenaga murninya masih belum dapat dihimpun.

Cu Jiang bangkit berdiri. Ada suatu perasaan  hampa yang membuatnya terlongong2.

Ia teringat akan peristiwa ketika dibawa Song bun sat turun ke dasar jurang dan akhirnya mendapat saluran tenaga sakti dari ketiga durjana Kiu te sat. Tetapi kini dia kembali lagi seperti orang biasa, orang yang tak memiliki ilmu silat.

Mengingat bahwa kaki kirinya timpang, diam2 ia ngeri juga. Karena tak punya tempat tujuan terpaksa ia kembali ke dalam gua persembunyian Kiu te sat untuk menunggu Ang Nio cu yang akan datang setengah bulan lagi.

"Siapakah sebenarnya Ang Nio cu itu?" Bagaimana wajahnya dan berapa usianya? Mengapa dia tak mau mengunjukkan wajahnya ? Kemanakah dia hendak mencari obat ?

Kesemuanya itu merupakan teka teki dalam pikiran Cu Jiang. Teka teki yang tak dapat dipecahkannya.

Akhirnya ia gelengi kepala dan tersenyum hambar lalu dengan tertatih-tatih ia mulai menuju ke lembah lagi.

"Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar sebuah bentakan bengis.

Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah lalu berputar tubuh.. . Ah. semangatnya serasa terbang ketika melihat sesosok manusia aneh dalam jubah warna putih. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pek-poan koan atau hakim Putih dari Gedung Hitam. Tak jauh dibelakangnya tampak dua orang Pengawal Hitam.

Dengan menyeringai, Hakim Putih itu memandang Cu Jiang lalu berseru sinis:

"Budak buruk, bagus ya, engkau berani mati menjual nama pemilik Piagam Hitam dan memaksa aku supaya melepaskan tawanan penting, sehingga aku harus mempertanggung jawabkan. . ."

Cu Jiang menelan ludah dan membantah: "Apakah Plakat Hitam itu palsu?" "Tidak palsu ! Tetapi pemilik Piagam Hitam tak pernah memberi perintah kepadamu supaya tawanan penting itu ku lepaskan."

"Lalu anda hendak mengapakan diriku ?" "Merobek-robek tubuhmu !"

Cu Jiang menggigit bibir kencang2 dan menyahut: "Silahkan, aku takkan melawan."

Apabila tak terkena pukulan Thian-kong-sat dari Iblis Gila. tentulah Cu Jiang mampu menghadapi hakim Putih dari gerombolan Gedung Hitam.

Tetapi saat itu keadaan dirinya tak lebih dari seorang pemuda biasa yang tak mengerti ilmu silat.

Ah, apabila Ang Nio-cu agak terlambat sedikit perginya atau kalau dia tadi lekas2 turun ke lembah, mungkin akan lain keadaannya.

Hakim Putih melesat maju dan dengan mudah sekali dia sudah dapat mencengkeram tubuh Cu Jiang.

Kecuali meramkan mata menunggu kematian, Cu Jiang tak dapat berbuat apa2 lagi.

Tiba2 salah seorang dari Pengawal Hitam itu berkata kepada Hakim Putih:

"Lapor pada hu-hwat bahwa Bak-hu cu-jin (tuan dari Piagam Hitam) telah memesan kami bahwa kita dilarang mengganggu Jiwa anak ini."

Cu Jiang terkesiap. Diam2 ia merangkai dugaan siapa pemilik Piagam Hitam itu.

Rasanya tak mungkin kalau dia itu si jelita Ki  Ing, karena tampaknya nona Itu tak dapat menguasai kawanan Gedung Hitam. Kebanyakan tentulah ayah atau salah seorang pamannya yang menjadi pemilik Piagam Hitam atau yang dipertuan dari Gedung Hitam.

"Kapan dia mengatakan pesan itu ?" tanya Hakim Putih. "Belum lama ini."

"Karena berani menjual nama pohcu (pemilik Gedung Hitam) maka pohcu amat marah sekali dan memerintahkan aku supaya membawa budak itu menghadap. Bukankah begitu ?"

"Tetapi..."

"Pedomanku hanyalah titah dari pohcu !" "Ya."

Hakim Putih menatap Cu Jiang lalu tertawa mengekeh:

"Budak cacad itu telah punah kepandaiannya, entah siapa yang mencelakainya. Aku juga segan turun tangan !" dia terus mengangkat tubuh Cu Jiang dan dilemparkan kearah sebuah batu besar yang terpisah beberapa tombak jauhnya.

Serasa terbanglah semangat Cu Jiang. Jelas dia tentu hancur lebur apabila membentur batu besar itu. Tetapi dia tak mampu berbuat apa2 lagi

"Ha, ha, ha, ha..."

Serempak Cu Jiang merasa seperti meluncur turun dan disambut dalam tangan orang. Cepat ia berpaling dan melihat wajah seorang Sastrawan pertengahan umur.

"Ih.,.." Hitam Putih mendesah hebat.

Setelah diletakkan di tanah barulah Cu Jiang dapat mengetahui jelas bahwa yang menolong dirinya itu seorang lelaki berdandan seperti seorang sasterawan, usianya diantara empat puluhan tahun. Wajahnya berseri-seri, ramah dan tamah sekali. Tetapi ketika tertumbuk dengan pandang matanya, Cu Jiang terkesiap. Mata sastrawan im memancar tajam sekali, seperti ujung belati yang menusuk ulu hati.

Pada saat Cu Jiang hendak mengucapkan terima kasih tetapi Hakim Putih sudah membuka mulut:

"Lim congkoan, engkau juga datang.   !"

Mendengar nama Lim congkoan, semangat Cu Jiang makin menurun. Jelas pendatang itu sekaum dengan Hakim Putih.

Congkoan adalah kepala pengurus. Sudah  tentu pengurus dari Gedung Hitam.

Kata2 yang sudah di ambang bibir, terpaksa ditelan kembali oleh Cu Jiang.

Sastrawan pertengahan umur yang disebut  Lim congkoan itu segera berkata:

"Karena tokoh dari Sip pat thian-mo telah muncul di tempat ini, kita tak boleh main2."

Hakim Putih menunjuk pada Cu Jiang:

"Budak cacad ini "

"Untung aku cepat datang," tukas Lim congkoan, "Pohcu kita menghendaki tawanan hidup agar dapat ditanya!"

Cu Jiang menahan napas. Kepala dari Gedung Hitam hendak bertanya kepadanya sendiri. Ah, rupanya ia bakal mempunyai kesempatan berhadapan dengan momok misterius dalam dunia persilatan yang amat termasyhur itu.

"Apakah tahu tujuan dari gerombolan Sip-pat-thian-mo yang muncul di sini?" tanya sasterawan pertengahan umur itu pula. Hakim Putih gelengkan kepala. "Tidak."

"Pohcu memberi pesan kepadaku supaya disiarkan kepada anggauta kita. Sedapat mungkin berusaha menghindari jangan sampai bentrok dengan mereka!"

"Oh..."

"Apakah budak ini dapat kubawa?" "Silahkan."

Sasterawan pertengahan umur itu segera mengangkat tubuh Cu Jiang, mengempitnya dan terus dibawa lari.

Cu Jiang tak dapat berbuat apa2 kecuali pasrah nasib. Apakah orang ini hendak membawanya ke hadapan kepala Gedung Hitam?

Kalau benar, ah, sungguh kebetulan sekali, ia tentu mempunyai kesempatan untuk menyelidiki, apakah pembunuh dari orang tuanya itu memang gerombolan Gedung Hitam.

Tetapi ketika teringat bahwa dirinya telah terkena racun pukulan Thian-kong-sat dari si Iblis Gila dan pil pemberian Ang Nio Cu itu hanya dapat mempertahankan jiwanya setengah bulan saja, semangatnyapun dingin pula.

Pikir2, memang sudah nasibnya dia harus mati dan pil dari Ang Nio Cu itu hanya menambah hutang budi pada orang.

Sorenya mereka tiba di sebuah kota kecil. Sasterawan setengah tua melepaskan Cu Jiang dan keduanya segera berjalan masuk kedalam kota.

Sekalipun kota didaerah pegunungan, tetapi cukup ramai perdagangannya. Sasterawan itu mengajak Cu Jiang masuk kedalam sebuah rumah penginapan. Dia suruh jongos membelikan seperangkat pakaian.

Setelah menyuruh Cu Jiang ganti pakaian, keduanya segera menunjukkan perasaan lega. Cu Jiang tampak seperti seorang sastrawan berwajah buruk. Tetapi dia tak peduli. Ia duga sasterawan setengah tua itu tentu akan menghapus perhatian orang.

Memang setiap orang yang berpapasan tentu akan terkejut dan memandang wajah Cu Jiang dengan perasaan seram tetapi pemuda itu kini sudah tak kaget lagi. Dia tenang2 saja.

Setelah keluar dari kota, sastrawan setengah tua itu mengepit tubuh Cu Jiang lagi untuk dibawanya lari.

"Engkoh kecil, siapakah namamu ?" tiba? orang itu bertanya.

Cu Jiang tetap memberi jawaban seperti yang sudah2: "Tiada she tiada nama, cukup panggil si Gok-Jin-Ji saja." "Engkau tidak seperti pemuda desa!"

"Mengapa ?"

"Kulit dan sinar matamu, mengatakan engkau bukan berasal dan keluarga sembarangan. Dan lagi engkau mengerti ilmu silat, cerdas dan memiliki seperangkat bahan tulang yang bagus sekali. Penyamaranmu, hanya dapat mengelabui orang biasa."

"Uh.." Cu Jiang segan membantah,

"Maukah engkau Memberitahukan asal usul dirimu ?" "Maaf. tak dapat."

"Engkau tahu apa yang bakal engkau hadapi dalam perjalanan kali ini ?" "Ah, paling2 mati."

"Engkau congkak sekali tetapi sikapmu itu tak berguna.

Tiada didunia ini orang yang sengaja hendak cari mati !"

Cu Jiang tersenyum getir. Dia hanya dapat hidup setengah bulan, perlu apa2 harus banyak pikiran.

"Mungkin diriku lain," katanya.

Sasterawan setengah tua itu tertawa gelak2: "Apa sebab engkau harus lain ?"

"Aku tak dapat mengatakan."

"Wajahmu tentu tidak begitu buruk sebelumnya." "Tentu."

"Menilik bekas-bekasnya, tentu baru terjadi lebih kurang setahun. "

Cu Jiang tergetar hatinya. Mata sasterawan setengah tua yang bernama Lim congkoan nu sungguh tajam sekali.

"Anggaplah begitu."

"Mengapa engkau kehilangan tenagamu ?" "Belajar silat tidak sempurna."

"Siapa yang melukaimu ?"

Tiba2 Cu Jiang tertarik perhatiannya. "Entah, siapa orang itu."

"Mengapa engkau berada di tengah gunung belantara?" "Mengapa anda bertanya begitu melilit ?"

"Karena ingin tahu sejelas-jelasnya." "Maaf, aku tak dapat menjawab." "Engkoh kecil, kalau dihadapan pohcu engkau bersikap begitu, jelas hendak cari mati . . ."

"Mengapa anda memperhatikan jiwaku?"

"Hm, baiklah. Sampai disini saja pembicaraan kita." Menjelang malam mereka tiba disebuah kota kecil lagi.

Seperti yang lalu, Sasterawan itu melepaskan Cu Jiang lagi berjalan sendiri.

"Malam ini terpaksa kita harus beristirahat dikota ini," katanya.

Mereka masuk kesebuah warung arak dan memesan hidangan. Tetamu2 terkejut melihat wajah Cu Jiang yang buruk.

"Songcu, ci-hwa, kwaci, kacang." tiba2 terdengar orang menjajakan jualannya.

Cu Jiang seperti kenal dengan suara orang itu. Cepat ia berpaling. Seorang wanita gemuk tengah membawa rantang masuk ke dalam warung arak itu.

"Pergi ! Pergi! Kelain tempat saja, Jangan disini!" pemilik warung arak menghalaunya.

Tetapi wanita gemuk itu tak menghiraukan dan tetap berteriak-teriak menjajakan jualannya.

Tiba2 sasterawan setengah tua itu menggapainya . "Hai, penjual liongcu, kemari !"

Wanita gemuk itu deliki mata kepada pemilik warung lalu melangkah ketempat sasterawan setengah tua itu: "Tuan mau beli apa ?"

Ketika melihat wanita penjual itu, serentak tergetarlah hati Cu Jiang. Ia hendak menegurnya tetapi tiba2 tak jadi. Perempuan gemuk itu tak lain adalah pemilik rumah penginapan di Ei-jwan yang karena menolong dirinya, rumah makan itu telah dibakar oleh orang Gedung Hitam.

Ternyata perempuan gemuk itu masih hidup. Tetapi mengapa dia berada di kota situ?

Perempuan itu tentu tak kenal lagi kepadanya karena Cu Jiang yang dulu, jauh berlainan dengan yang sekarang, iapun tak berani menegurnya karena dikuatirkan perempuan itu akan mengenali suaranya. Akibatnya tentu berbahaya sekali.

Sambil menyerahkan sekeping perak hancur Lim congkoan itu berkata: "Ambilkan untuk teman arak!"

"O, tuan tak punya kembalinya."

"Tak usah kembali, ambillah!"

"O, terima kasih. Kupujikan tuan banyak rejeki, panjang umur," kata perempuan gemuk seraya membungkuskan kwaci dan kacang lalu diletakkan di meja.

Hati Cu Jiang tak keruan rasanya. Dialah yang menyebabkan perempuan itu sampai merana dan menjual kacang. Tetapi karena Lim congkoan berada di  situ, terpaksa dia tak berani berkata apa2.

Entah bagaimana, perempuan gemuk itu berpaling ke arah Cu Jiang.

"Aih . . .." ia menjerit kaget sehingga kacang dan kwacinya tumpah keluar. Buru2 dia memberi hormat dan menghaturkan maaf kepada Lim congkoan, lalu membungkukkan lagi.

"Tak apa," kata Lim congkoan, "memang wajah sahabatku ini sering mengejutkan orang !" "Sudahlah, sudahlah," katanya kemudian, "cukup begitu saja."

"Tetapi uang tuan tadi cukup untuk pembeli sepuluh keranjang daganganku . ."

"Telah kukatakan," kata Lim congkoan, "ambillah !"

Kembali wanita gemuk itu menghaturkan terima kasih. "Jika daganganmu ingin maju, engkau harus jualan ke

lain kota yang besar. Di kota pegunungan yang sekecil ini, mana bisa tutup ongkos "

"Tuan, selain cari makan, sebenarnya aku sedang mencari jejak seorang anakku yang hilang."

Cu Jiang terkejut. Ia tahu wanita gemuk itu tak punya anak, bahkan belum bersuami. Tentulah dia hanya cari alasan saja untuk mengetuk rasa kasihan orang.

"Oh, anakmu hilang ?" seru Lim congkoan.

"Benar tuan," kata wanita gemuk. "dia adalah puteraku tunggal."

Melihat perempuan itu berlinang-linang airmata, diam2 Cu Jiang geli. Pandai benar wanita gemuk itu bersandiwara. Jika tahu bahwa pembelinya itu adalah musuhnya, entah bagaimana sikap wanita itu.

Menilik wanita gemuk itu memiliki ilmu silat yang  tinggi, tentulah ada maksudnya dia berjualan kacang itu.

Lim congkoan mencelupkan jari kedalam arak lalu menulis beberapa huruf diatas meja.

Cu Jiang tak memperhatikan tulisan itu.

"Jika begitu engkau tentu orang yang bernasib malang ?" seru Lim congkoan pula. Wajah wanita gemuk itu berobah dan air matanyapun segera bercucuran.

"Dengarkanlah, walaupun aku hidup menderita begini, tetapi aku tak putus asa. Puteraku itu bukan seorang yang berumur pendek, dia tentu masih hidup. Dia. .. apabila sampai . . . tak dapat ku ketemukan orangnya .. . tetapi aku tetap akan mencari tulangnya !"

Rupanya Lim congkoan merasa kasihan. Ia menghela napas:

"Kasihan, semoga Tuhan memberkahi agar kalian mamah dan anak dapat bertemu kembali!"

Diam2 Cu Jiang membatin bahwa Lim cong-koan itu seorang yang baik hati, beda dengan kaum durjana umumnya, Diam2 iapun memuji kepandaian wanita gemuk bermain sandiwara.

Kemudian wanita gemuk itu mohon diri dan menghaturkan terima kasih. Dia terus keluar. Rupanya dia tak mau melanjutkan berjualan lagi.

Sejenak termangu, Lim congkoan berkata pula:

"Engkoh kecil, setelah makan kita lanjutkan perjalanan lagi."

Karena tenaga kepandaiannya punah, maka walaupun dikempit Lim congkoan selama menempuh perjalanan, dia tetap merasa lelah.

"Apakah malam hari juga tetap berjalan?" tanyanya. "Ya."

"Sebenarnya . . ." "Tutup mulutmu!" Terpaksa Cu Jiang tak berani berkata. Setelah makan mereka berangkai lagi. Tiba di luar kota di  tempat  yang sepi, seorang berpakaian hitam menuntun dua ekor kuda menyambutnya.

Cu Jiang heran tetapi Lim congkoan sudah mendahului berkata:

"Terpaksa engkau harus menderita lagi." Dia terus menutuk jalan darah Cu Jiang dan anak muda  itupun segera pingsan. Ketika siuman dan membuka mata, ia merasa dingin sekali dan sekelilingnyapun gelap gulita sampai tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri.

Ketika ia meraba-raba ternyata dirinya berada di atas sebuah lantai batu.

"Tempat apakah ini?" pikirnya, "apakah aku sudah berada di Gedung Hitam. Kalau benar, jelas tempat  ini tentu merupakan suatu kamar tahanan."

Dia terus duduk. Serempak pada saat itu terdengar suara dari Lim congkoan berseru:

"Perhatikan, jawablah pertanyaan pohcu dengan terus terang!"

Tergetar hati Cu Jiang. Ternyata dia memang berada dalam Gedung Hitam. Tetapi mengapa tempatnya begitu gelap sekali.

“Tempat apakah ini?" serunya.

"Tak boleh bertanya! " tukas Lim congkoan.

Menyusul sebuah suara yang menggetarkan hati segera mengumandang: "Siapa namamu?"

Cu Jiang duga yang bertanya itu tentulah kepala dari Gedung Hitam. Setelah meragu sejenak ia menyahut: "Gok-jin-ji !"

"Dari keluarga mana?" "Tak punya keluarga."

"Engkau kenal dengan pemilik Piagam Hitam?"

"Hanya... hanya kenal dengan seorang nona. Entah apakah dia itu pemilik Piagam Hitam."

"Dari mana engkau mendapatkan Piagam Hitam itu ?" "Menerima permintaan tolong orang untuk

menyerahkannya kepada nona itu."

"Siapa yang meminta tolong itu."

"Seorang pemuda yang menderita luka parah." "Siapa namanya ?"

"Entah."

"Apakah bukan seorang pemuda pelajar yang cakap tampangnya?"

Diam2 Cu Jiang tergetar hatinya, namun ia mengiakan. "Apakah keteranganmu itu dengan sejujurnya ?"

"Ya."

"Luka apa yang diderita pemuda pelajar itu?"

"Soal itu . . . tak tahu. Tetapi tubuhnya berlumuran darah, napas terengah seperti tak kuat hidup lagi."

Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bertanya begitu melilit tentang hal itu.

Menilik tempo hari kepala Pengawal Hitam si Mata-sakti Ong Tiong Ki Juga mendesaknya untuk menceritakan tentang kedua orang tuanya, Cu Jiang makin keras dugaannya bahwa yang bertanya kepadanya saat itu, tentulah orang Gedung Hitam juga. Serentak timbullah dendam kesumat hatinya.

"Aku tak boleh mati, aku harus hidup. Aku harus menghimpaskan dendam ini !" hatinya menjerit-jerit.

Tetapi dapatkah dia hidup? Ang Nio Cu sedang berusaha untuk mencarikan obat, tetapi kini dia jatuh  kedalam tangan orang Gedung Hitam lagi. Karena semua kepandaiannya sudah lumpuh, tak mungkin dia dapat lolos.

Tetapi kalau harus mati di tangan orang2 Gedung  Hitam, dia sungguh penasaran sekali !

"Pertanyaan selesai !" tiba2 suara orang yang diduga Cu Jiang sebagai kepala Gedung Hitam itu pun berseru pula.

"Mohon menurunkan perintah bagaimana harus mengurusnya." seru sastrawan setengah tua atau Lim congkoan tadi.

"Dia tahu terlalu banyak, seharusnya..."

Mendengar itu, tiba2 timbul pikiran Cu Jiang, cepat ia berseru menukas:

"Pohcu, aku mempunyai perjanjian dengan pemilik Piagam Hitam itu !"

"Apa ? Engkau mempunyai perjanjian dengan pemilik Piagam Hitam ?"

"Ya."

"Perjanjian apa? "

"Penting sekali, aku harus bertemu dengan dia!"

"Heh, heh, heh ... mungkin engkau harus ingkar janji . .

." "Ah, tiada guna pohcu akan menyusahkan diriku seorang kerucuk yang tak bernama. "

"Jangan banyak mulut!"

Cu Jiang menggigit gigi, serunya: "Pemilik  Piagam Hitam itu baru puas hatinya apabila sudah bertemu lagi dengan aku!"

"Kenapa?"

"Dia hendak menyuruh aku melakukan sebuah urusan. " "Urusan apa?"

"Hendak suruh aku menunjukkan tempat jenasah pemuda pelajar baju putih itu."

"Jenasah? Apakah engkau yakin pemuda itu tentu mati?" "Waktu bertemu, kulihat keadaannya sudah tiada

harapan lagi." "Oh."

Setelah diam beberapa jenak, terdengar ketua Gedung Hitam berseru:

"Untuk sementara, tangguhkan dulu hukuman!" Suasana hening pula.

Cu Jiang menghembus napas longgar. Saat itu hatinya segelap ruangan yang ditempatinya.

Diam2 ia merenungkan letak Gedung Hitam itu. Setelah meninggalkan kedai arak, lalu ditutuk jalan darahnya oleh Lim congkoan, dia memang kehilangan arah.

Tetapi ia menarik kesimpulan bahwa orang yang menyediakan kuda itu berada di sebelah timur kota, tak mungkin akan kembali menuju kearah barat lagi. Perjalanan Cu Jiang itu hanya menuju ketiga arah,  timur, timur laut atau tenggara.

Sejak dalam perjalanan itu hingga sekarang Cu Jiang masih belum merasa lapar. Jelas perjalanan itu tentu tak sampai seratus li. Dengan begitu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tempat yang dia berada sekarang ini tentulah di tengah2 gunung Keng san.

Demikian karena sudah beberapa saat berada di ruang yang gelap itu, samar2 ia dapat melihat keadaan ruangan. Empat penjuru dari ruang itu, terbuat dari dinding batu. Tiada pintu atau jendelanya sehingga tak dapat diketahui saat apakah sekarang itu. entah siang entah malam.

Sekonyong-konyong ia mendengar suara orang mengerang pelahan. Ia terkejut. Masakah dalam ruang yang gelap gulita itu masih terdapat lain orang lagi kecuali dirinya ?

Ia kerahkan pandang matanya untuk meneliti sekeliling tempat itu. Ah, hampir ia menjerit kaget ketika melihat dua sosok hitam menggunduk di ujung ruangan.

Setelah menenangkan perasaannya, barulah pelahan- lahan beringsut mendekati.

Ternyata kedua sosok hitam itu dua orang lelaki yang telentang di tanah. Cu Jiang berjongkok dan menegur mereka:

"Siapakah kalian ini ?"

Sosok tubuh itu tampak bergeliat dan mengerang kesakitan. Nadanya lemah, tentu menderita luka yang parah.

"Siapa engkau ?" orang itu balas bertanya. Cu Jiang tertegun. "Seorang budak tak ternama, disebut Gok-Jin-ji," sahutnya.

"Budak tak ternama tak mungkin kemari. "

"Ah, lebih baik jangan kita berdebat. Siapakah sesungguhnya sahabat ini ?"

"Aku Go-leng-cu !" t

Terkejut Cu Jiang bukan kepalang.

"Apa? Cianpwe ini salah seorang dari bu-lim samcu yang bernama Go leng cu ?" serunya gemetar.

"Benar, sahabat kecil, menilik nada suaramu engkau

tentu masih muda."

"Umurku belum mencapai 20 tahun." "Oh . ."

"Dan yang seorang ini "

"Thian hian-cu !" sahut orang yang kedua,

Cu Jiang makin terperanjat. Paderi dan imam itu merupakan tokoh yang menggetarkan dunia persilatan, baik golongan Hitam maupun Putih.

Mereka berdua itu, berturut-turut hendak mengambilnya sebagai murid. Mau menggemblengnya menjadi seorang jago yang sakti. Tetapi mengapa mereka berdua berada dalam penjara Gedung Hitam?

Iapun masih ingat bahwa Thian-hian cu pernah memberi sebutir pil kepadanya. Ia hendak memberitahukan siapa dirinya tetapi tiba2 pada lain saat, ia batalkan maksud itu. Kalau sampai terdengar orang Gedung Hitam, akibatnya tentu gawat. "Bagaimana cianpwe berdua bisa berada disini?" akhirnya ia mengajukan pertanyaan.

"Tempat apakah ini ?"

"Apa?" Cu Jiang terkejut, "apakah cianpwe tak tahu tempat ini ?"

"Tidak tahu !"

"Tempat ini adalah ruang penjara dari Gedung Hitam !" "Hai. Gedung Hitam . ."

"Maukah cianpwe memberitahu mengapa sampai berada disini ?"

Setelah berdiam diri beberapa jenak, terdengar Go-leng- cu berkata dengan nada gemetar.

"Siau-sicu, apabila engkau dapat keluar dari tempat ini dengan selamat, maukah engkau melakukan sebuah... sebuah hal untukku ?"

"Boleh.... tetapi harapan untuk keluar dengan masih bernyawa, tipis sekali."

"Itu soal lain. Tetapi apakah sicu mau meluluskan permintaanku ?"

"Ya."

"Budha bersifat pemurah. Semoga memberkahi sicu sehingga dapat keluar dari tempat ini tak kurang suatu apa

...."

"Cianpwe menghendaki aku melakukan apa?" tukas Cu Jiang.

"Dengarkan penuturanku secara ringkas." "Silahkan." "Menurut kabar dalam dunia persilatan, aku dengan Thian cu toyu ini, dalam pelawatan ke negeri Tayli, telah berhasil mendapatkan pusaka dari negeri itu yang berupa kitab Giok-kah-kim-keng. . ."

"Giok-kah-kim-keng ?"

"Ya, sebuah kitab pusaka yang berisi ilmu pelajaran sakti."

"Lalu..."

"Padahal tidak. Tetapi kabar2 di dunia persilatan itu begitu gencar dan karena itu kami telah tertimpa bahaya."

"Masakan cianpwe berdua yang berkepandaian begitu sakti sampai "

"Kata Siau-sicu tadi aku mengerti. Yang turun tangan tak lain adalah kepala Gedung Hitam sendiri "

"Begitu hebatkah kepandaian dari kepala Gedung Hitam itu?" Cu Jiang terkejut.

"Sukar diukur tingginya!"

"Apakah cianpwe maju berdua, masih "

"Aku dan Thian-hian cu toyu memang susul menyusul ditangkapnya."

Melihat Thian-hian cu tak bergerak, Cu Jiang bertanya. "Mengapa Thian-hian cu cianpwe tak bergerak?"

"Omitohud!" seru paderi Go-leng cu dengan rawan, "Thian hian toyu segera akan bebas!"

"Thian-hian cianpwe tiada harapan lagi?" "Omitohud!"

"Ini . . . ini " "Tenaga kepandaianku dan Thian hian toyu telah punah dan kini menderita siksa yang menyedihkan sekali . . ."

Dengan mengertak gigi Cu Jiang berseru: "Jika aku tak mati, kelak tentu akan mencuci Gedung Hitam dengan air darah "

Kemudian dengan gemetar Cu Jiang menegaskan pula: "Soal apakah yang cianpwe hendak suruh aku

mengerjakan itu ?"

Terdiam sejenak, Go-leng-cu berkata dengan nada tenang:

"Jika dapat ke luar dengan selamat dari tempat ini, harap kau pergi mencari Gong gong-cu "

"Ketua dari Bu lim Sam cu?"

"Benar. Walaupun kami berdua diagungkan orang sejajar dengan Gong-gong sicu. tetapi dalam hal kepandaian dan siasat, semua itulah jauh sekali dengan Gong-gong sicu. Katakan kepadanya, bahwa karena keliru langkah telah melakukan kesalahan besar. Dan sekarang harus menerima akibatnya."

"Kesalahan apakah yang cianpwe lakukan itu?" "Salah ucap. Gong-gong sicu pernah menasehati "

"Ah, mengapa cianpwe terlalu menyesali diri cianpwe sendiri!"

“Harap dengarkan cerita dulu. Tanpa saling mengajak, aku dan Thian hian toyu, telah menemukan seorang tunas yang mempunyai tulang luar biasa bagusnya. "

"Oh. "

"Seorang pelajar berpakaian putih." Mendengar itu tergetarlah hati Cu Jiang. Bukankah yang dimaksudkan itu dirinya sendiri.

"Seorang pelajar baju putih?" ia menegas. "Ya."

"Siapa namanya?"

"Mungkin sama orangnya dengan yang sicu bicarakan dengan ketua Gedung Hitam tadi."

"Jika demikian pelajar baju putih itu adalah pewaris dari cianpwe berdua?"

"Tidak, dia belum meluluskan. Tetapi bahan tulang dari pemuda itu memang jarang sekali terdapat di dunia. "

"Tetapi dia kemungkinan besar sudah mati." "Tidak!"

"Cianpwe maksudkan..."

"Sedikit-dikit aku mengerti tentang ilmu ramal, Ku lihat muka pemuda itu tidak menunjukkan dia berumur pendek, tentu akan selamat dari bahaya!"

Diam2 Cu Jiang terkejut, Tetapi dia kagum atas ilmu ramal padri itu.

"Apakah cianpwe dapat memastikan?" ia menegas. "Tentu." kata Go-leng-cu, "kaum Budha pantang

berdusta. "

"Cianpwe menghendaki apalagi kecuali pesan itu?" "Supaya Gong-gong sicu berusaha sekuat tenaga untuk

mencari pelajar baju putih itu sampai ketemu, agar soal mula dapat dihimpaskan." "Apakah soal    yang   mula  itu?"   Cu Jiang meminta keterangan.

"Maaf, aku tak dapat mengatakan. Tetapi maukah sicu meluluskan permintaanku itu?"

"Apabila aku dapat melihat sinar matahari lagi, aku bersumpah akan melaksanakan pesan cianpwe."

"Omitohud, lebih dulu aku menghaturkan terima kasih kepada sicu."

"Harap cianpwe jangan mengatakan begitu, anggap saja soal itu soal kecil, hanya saja..."

"Bagaimana?"

Cu Jiang menghela napas, ujarnya: "Dikuatirkan sukar untuk melaksanakan janjiku itu."

“Mendengar nada kata2 kepala Gedung Hitam tadi, rupanya dia membatalkan maksudnya hendak membunuh sicu . . ."

"Bukan itu yang kumaksudkan "

"Lalu apa?"

"Apa yang Sip pat-thian-mo berikan kepadaku "

"Apa? Engkau mengatakan Sip pat-thian-mo "

"Ya, aku telah terkena pukulan Thian-kong-sat dari Iblis Gila dan hanya dapat hidup belasan hari lagi."

"Ah Thian-kong-sat .. . siau-sicu, apabila engkau cepat2 dapat menemukan Gong-gong sicu, dia tentu dapat menolongmu. Bahkan engkau tidak minta tolong, pun dia juga akan menolongmu." Dunia begini luas, bagaimana aku dapat mencarinya? Dan lagi apakah aku mampu keluar dari penjara Gedung Hitam ini, ini, Juga masih tanda tanya . . .

Kemudian cepat ia alihkan pada persoalan lain, tanyanya:

"Aku hendak mohon tanya sebuah hal." "Apa ?"

"Tahukah cianpwe siapa yang menyerahkan Pending Kumala sebagai lambang kepercayaan itu?"

"Soal itu aku tak tahu."

Tiba2 dari ujung ruang terdengar Lim congkoan berseru: "Gok-Jin-Ji, kemarilah!"

Cu Jiang segera menghampiri. Tetapi tak dapat melihat barang seorangpun juga. Suara itu tentu dipancarkan melalui alat istimewa.

"Ada apa ?" seru Cu Jiang. "Aku hendak bertanya kepadamu."

"Apakah keteranganku masih kurang jelas?"

"Tidak. Yang akan kutanyakan saat ini adalah soal pribadi."

"Pribadi?" "Ya."

"Tanyalah."

"Pelajar baju putih itu apakah benar2 mengalami nasib begitu?"

"Benar," sahut Cu Jiang sambil mengertek gigi. "Engkau memastikan dia tentu mati ditengah gunung itu

?"

"Besar kemungkinannya."

"Apakah  pemilik Piagam  Hitam  itu sudah mengadakan

perjanjian dengan  engkau  untuk mencari jenasah pelajar itu

?"

"Ya."

"Apa hubungan antara pemilik Piagam Hitam dengan pelajar baju putih itu ?"

"Entah."

"Sepertinya engkau tidak bicara dengan sungguh2." "Percaya atau tidak, terserah kepadamu"

Setelah diam beberapa saat, kembali Lim congkoan berkata pula.

"Apakah engkau tahu tentang diri pemilik Piagam Hitam itu ?"

Sejenak meragu, Cu Jiang menjawab: "Tidak tahu, apakah anda dapat memberitahu ?"

"Tidak dapat."

"Sungguh tak nyana ucapan anda ini . . "

“Jika bukan karena pemegang Piagam Hitam itu, saat ini engkau sudah mati, tahu !"

"Ya, aku memang sudah menduga begitu."

"Dimana engkau berjanji hendak bertemu dengan Pemilik Piagam Hitam itu ?"

"Ditengah lembah dimana aku telah anda tangkap itu." "Kapan pertemuan itu ?" "Berapa lama aku ditangkap ini ?" "Dua hari."

"Jika begitu masih ada tiga belas  hari. Tetapi mungkin dia akan datang lebih pagi. Kami berjanji akan tunggu dalam setengah bulan lagi."

"Apakah engkau dapat menerangkan lebih jelas tentang keadaan pelajar baju putih itu?"

Cu Jiang mendapat kesan bahwa pihak Gedung Hitam itu menaruh perhatian besar sekali terhadap dirinya.

"Apa yang kuketahui hanya begitu," akhirnya ia menjawab.

"Atas nama peribadi kuminta engkau memberi keterangan tetapi engkau tetap tak mau memberi keterangan."

"Sama saja."

"Kalau kusertakan dengan perjanjian."

Tergerak hati Cu Jiang mendengar kata2 itu. Ia heran mengapa pelajar setengah tua yang disebut sebagai Lim congkoan itu, begitu menaruh perhatian atas dirinya ketika masih belum cacad seperti saat itu ?

Orang itu menjabat sebagai congkoan dari Gedung Hitam, sudah tentu mempunyai hubungan baik dengan kepala Gedung Hitam dan tentu akan membela kepentingan majikannya. Mengapa dia hendak mengajukan perjanjian? Ah, tentulah suatu siasat saja. Pikir Cu Jiang.

Juga ia teringat bahwa betapapun halnya dia tak harus memberitahu tentang keadaan dirinya.

Tetapi karena orang itu sudah bicara, ingin juga ia mengetahui lebih lanjut, apa sebenarnya maksudnya. "Perjanjian bagaimana," serunya. "Apakah engkau mengharap hidup?"

"Sudah tentu, setiap manusia tentu mengharap hidup," teriak Cu Jiang.

"Bagaimana kalau soal itu dijadikan perjanjiannya ?"

Cu Jiang menduga bahwa orang itu hanya mengumbar janji2 manis saja. Sekalipun dengan janji2 yang lebih muluk lagi, tak perlu kiranya dia mempertimbangkannya. Andaikata ia menerima pun orang itu secara diam2 tentu akan mengikuti perjalanannya.

Lain halnya apabila ditengah jalan bertemu dengan Ang Nio Cu, tentulah dapat menolong nya.

"Ah, sayang..." Ia sengaja menghela napas. "Sayang apa ?"

"Aku tak dapat menerima perjanjian itu ?" "Kenapa ?"

"Karena aku tak dapat memutar balikkan kenyataan."

"Gok jin-ji perjanjian itu tidak mengikatmu dan bukan siasat kosong . ."

"Mungkin."

"Pasti, tidak mungkin lagi. Aku akan menjamin demi kehormatan !"

Diam2 Cu Jiang geli. Kehormatannya untuk jaminan?

Anak kecilpun tahu kalau itu hanya membual saja.

"Kuserahkan saja nasibku kepada Thian. Apalagi yang kuketahui memang hanya begitu."

"Apa engkau tak setuju untuk tukar menukar ?" "Tidak setuju."

"Tahukah engkau bahwa setelah engkau dilepas untuk bertemu dengan pemilik Piagam Hitam, orang yang ditugaskan untuk mengikuti jejakmu tak lain aku sendiri ?"

"Oh!"

"Mati hidupmu adalah ditanganku."

Karena   dengan cara halus   gagal, orang itu mulai menggunakan dengan kekerasan. Cu Jiang menghela napas.

"Walaupun aku mempunyai seratus kesempatan untuk hidup, tetapi aku tetap tak mau memenuhi permintaanmu."

"Baik, pembicaraan kita sampai disini dulu. Mudah- mudahan engkau mau mempertimbangkan lagi."

Suara itupun segera lenyap.

Cu Jiang masih duduk bersandar pada dinding ruang. Dendam dan kebencian itu cepat melalu lalang dalam benaknya sehingga darahnya bergelora keras dan hampir saja ia tak dapat menguasai diri.

Dari segala segi kesimpulan, ia mendapat kesan bahwa Gedung Hitam itulah musuhnya. Kini diapun sudah menjadi tawanan musuh. Tenaganya lumpuh. Ia tak berdaya sama sekali.

Harapannya hanya bergantung dengan Ang Nio Cu. Tetapi itupun belum pasti kalau Ang Nio Cu akan berhasil membawa obat untuknya.

Tiba2 Go leng-cu buka suara dari ujung ruang dimuka.

Suaranya masih lemah.

"Siau-sicu siapakah yang bicara tadi ?" "Congkoan dari Gedung Hitam, orang she Lim." "Siau sicu . . . mengapa tak . . . mau menggunakan kesempatan itu ?"

"Siau-sicu, Thian hian toyu sudah bebas."

Cu Jiang terkejut sehingga tubuhnya menggigil. "Thian-hian cianpwe sudah meninggal ?"

"Ya. saat ini."

Walaupun hal itu sudah dapat diduga, tetapi kematian yang begitu menyedihkan dari seorang tokoh yang termasyhur, benar2 menimbulkan kemarahan hati.

Cu Jiang segera berlutut memberi hormat. Karena tempo hari mendiang imam itu pernah menolongnya. Jika tiada pertolongan Thian-hian-cu, kemungkinan dia tentu sudah mati ditangan Hakim Hijau.

Suasana dalam ruang penerangan itu sungguh menyedihkan sekali. Seorang yang sudah setengah mati dan seorang yang sudah mati.

Karena tak dapat menahan kemarahannya, Cu Jiang segera menghantam dinding tembok.

"Mati !" teriaknya kalap.

Teriakannya itu menimbulkan kumandang yang keras. Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan sesaat kemudian dinding tampak merekah sebuah pintu.

Dalam sinar remang2 yang memancar ke bawah, dapatlah Cu Jiang melihat sebuah tangga titian yang menjulang keatas.

Tak lama dua orang Pengawal Hitam turun ke ruang itu. "Kenapa berteriak!" seru salah seorang.

"Ada orang mati !" "Siapa ?" "Imam ini."

Seorang baju hitam itu segera menghampiri dan memeriksa pernapasan Thian-hian-cu. Kemudian berseru dingin:

"Makin lekas mati makin bebas. Perlu apa berteriak- teriak tak keruan ? Go Sam, Lekas lapor pada congkoan !"

Kawannya segera naik keatas dan lama sastrawan setengah tua atau Lim congkoan itupun datang. Setelah memeriksa tubuh Thian-hian-cu, Lim congkoan berkata kepada Go-leng-cu:

"Paderi, engkau tahu sendiri. Jika orang sudah tak bernyawa walaupun mendapat benda pusaka yang bagaimana hebatnya pun tak berguna. Mengapa engkau tak mau menyerahkan kitab pusaka Giok-kah-kim-keng dan segera engkau akan bebas melihat langit yang biru lagi ?"

Dengan lemah Go-leng-cu menghela napas.

"Pinceng telah mengatakan dengan sejujurnya. Bagaimana harus menyerahkan kitab Giok  kah-kim-keng itu ?"

Sasterawan setengah tua atau Lim cong-koan tak mau bicara lebih lanjut.

"Angkut keluar dan kubur !" perintahnya kepada kedua orang baju hitam.

Kedua orang itu segera mengiakan. Yang bernama Go Sam membawa sebuah karung besar. Jenasah Thian-hian- cu segera dimasukkan kedalam karung itu.

Melihat tindakan yang tak kenal perikemanusian itu, Cu Jiang menggeram. "Apakah sama sekali tak disediakan peti mati ?" Go Sam tertawa mengekeh.

"Cui-pat koay, ini saja masih enak. Besok kalau engkau yang mati, karungpun takkan kusediakan."

Kemudian dia terus berkata kepada kawannya:

"The Put Ko, kita isi perut dulu baru nanti bekerja lagi, bagaimana ?"

Yang dipanggil The Put Ko mengiakan.

Demikian keduanya segara keluar lagi dan tinggalkan karung itu didalam ruang.

Tiba2 mata Go-leng cu berkilat-kilat terang dan terus menggeliat duduk.

"Nak, engkau bakal tertolong!"

Cu Jiang terkesiap, serunya : "Bagaimana cianpwee?" "Hud cou benar2 melimpahkan berkah. Thian telah

memberi kesempatan..."

"Aku tak mengerti maksud cianpwe."

"Ini merupakan cara bergulat dengan maut." "Tetapi semua itu tergantung dari keputusanmu "

"Bagaimanakah caranya?" akhirnya Cu Jiang mulai tertarik juga.

"Engkau tukar tempat dengan Thian-hian-cu toyu !"

Cu Jiang terbeliak beberapa saat. Kemudian baru dia dapat mengerti rencana paderi Go-leng-cu itu.

"Maksud cianpwe supaya aku yang masuk kedalam karung itu dan jenazah Thian hian-cianpwe dipindah keluar

?" "Tepat !"

"Tetapi hal itu bukankah berlaku tak hormat  kepada yang mati ?"

"Ah, tak perlu mengurusi soal tata cara begitu. Yang penting engkau dapat lolos dari sini."

Cu Jiang tegang sekali!

"Tetapi bagaimana dapat mengelabuhi mereka?"

"Ruang penjara ini gelap sekali. Pandang matapun tak dapat jelas. Dan merekapun tentu tak mengira bakal terjadi peristiwa semacam begitu. Lekas engkau lepaskan baju dan pakaikan kepada Thian-hian toyu lalu sandarkan dia pada dinding ditempat itu. Mereka tentu akan mengira engkau sebagai Thian-hian cu dan Thian-hian-cu dikira sebagai engkau."

"Ini..."

"Melepaskan kesempatan baik ini. akibatnya tentu sangat disayangkan."

"Tetapi kalau dikubur, tentulah aku tak dapat keluar lagi. Bagaimana cianpwe hendak suruh aku berbuat begitu. . ..

Apakah cianpwe masih punya lain cara lagi ?"

"Kesempatan mati dan hidup sama2 lima puluh persen. Apakah engkau bersedia untuk melakukan cara yang berbahaya itu ?"

"Daripada menunggu mati dijagal, lebih baik aku berjuang menentang maut. Ya, aku bersedia !"

Go-leng-cu mengangguk: "Baik, jangan  membuang waktu yang berharga. Nak, dengarkan "

"Silahkan, cianpwe." "Ketika berkelana ke negeri Thian-tok (India) dahulu pinceng bertemu dengan seorang sakti yang memberi pinceng sebutir pil Kui-si-wan "

"Kui-si-wan ?" Cu Jiang menegas. Kui-si-wan artinya pil Napas-kura2.

"Ya, mungkin engkau belum pernah mendengar. Pil itu tetap kusimpan, belum pernah kugunakan. Apabila minum pil itu akan dapat menutup napas sampai dua belas jam. Sepintas pandang tampak seperti orang mati. Dua belas jam kemudian, akan hidup lagi seperti sediakala "

"O, yang kudengar hanya ilmu Kui-si-tay-hwat (ilmu pernapasan kura2), tetapi belum pernah "

"Sudahlah, waktu amat berharga sekali!" cepat Go leng- cu menukas.

"Tetapi tenagaku sudah punah, kalau sampai dikubur, bagaimana dapat keluar ?"

"Itulah yang kumaksud menempuh bahaya. Menurut perhitunganku, mereka tentu tak membuat  liang  yang dalam untuk menguburmu. Mungkin hanya ditimbuni dengan tanah dan semak. Hal itu tentu mudah engkau dorong keluar. Bahkan kemungkinan mereka mungkin hanya melempar ke semak belantara saja. Itu lebih baik lagi!"

Paderi Go - leng - cu segera mengeluarkan sebutir pil sebesar buah kelengkeng.

"Segala hal itu sudah digariskan kodrat, minumlah!" Gemetar  tangan  Cu  Jiang  ketika  menyambuti  pil  itu.

Kali   ini   dia  benar2  mempertaruhkan  nyawa.   Mati atau

hidup tergantung pada nasib. Kalau orang Gedung Hitam itu mengubur secara sembarangan saja, dia tentu dapat ke luar. Tetapi kalau mereka mengubur dalam tanah yang dalam apalagi kalau ditimbuni batu, tentulah dia mati...

"Pending Kumala hijau bukankah si pemilik Piagam Hitam seperti yang engkau katakan tadi?"

"Ya."

"Oh. apakah engkau bukan..."

"Aku tak dapat memastikan apakah akan dapat bertemu dengan orang yang kumaksudkan itu!" cepat Cu Jiang menukas.

Go leng-cu merenung sejenak lalu berkata pula:

"Pinceng belum pernah mendengar tentang apa yang disebut pemilik Piagam Hitam. "

Tiba2 dari atas terdengar bunyi berderak-derak.

"Jangan bicara, penjaga datang mengantar makanan!" cepat Go leng cu berkata.

Sebuah lubang merekah dan memancarlah sinar remang dari bawah. Dari lubang di atas langit ruangan itu, dapatlah diketahui bahwa dinding tembok langit2 ruangan tebalnya lebih kurang dari satu meter. Sekalipun memiliki kepandaian yang bagaimanapun sakti, tetap tak mungkin mampu menjebolkan penjara itu.

Dan pada saat sinar itu mencurah ke bawah, Cu Jiang menggunakan kesempatan untuk memandang ke arah Go Leng cu. Ah. hampir ia menjerit.

Ternyata keadaan paderi Go leng-cu itu sudah berobah sama sekali. Sepertiga mirip manusia, tujuh bagian seperti setan. Jika tadi tak mengadakan percakapan tentulah dia takkan mengenali lagi paderi itu sebagai Go-leng cu. Memandang ke arah Thian-hian-cu. Cu Jiang makin ngeri lagi.

Imam itu yang termasyhur itu kini sama dengan mayat orang jorok yang terlantar menggeletak di tepi jalan.

Dari jubahnya yang penuh berlumuran darah dapatlah diduga bahwa imam itu tentu menderita siksaan yang luar biasa hebatnya.

Saat itu dari lubang di atas, meluncur sebuah rantang, berisi tiga buah bakpau dan sebotol air.

Go-leng cu mengambil bakpau dan botol berisi air  itu lalu menaruhkan botol kemarin yang sudah kosong, tali lalu ditarik ke atas lagi. Lubang tertutup dan keadaan ruang itu gelap gulita pula.

"Benar-benar sebuah neraka! " teriak Cu Jiang.

Go-leng-cu hanya menghela napas dan menyuruh Cu Jiang makan.

Walaupun dengan menahan perasaan geram, Cu Jiang menurut juga. Diam2 ia berpikir.

Dengan minum pil dari Ang Nio Cu, dia hanya dapat bertahan sampai lima belas hari. Tetapi dia telah membohongi pimpinan Gedung Hitam, mengatakan kalau mempunyai janji dengan pemilik Piagam Hitam.

Nanti apabila ia meninggalkannya, mereka tentu diam- diam akan mengikuti. Dan lekas mengetahui bahwa hal itu hanya bualan kosong yang dibuat2nya, tentulah orang Gedung Hitam akan membunuhnya.

Dari pada mati konyol, lebih baik ia nekad berjudi dengan maut. Apabila berhasil ia tetap hidup. Tetapi apabila gagal dia pasti mati. Tetapi betapapun hal itu masih mengandung suatu kemungkinan untuk dapat hidup. "Baiklah, aku bersedia untuk menghadapi bahaya ini, " akhirnya ia memutuskan.

"Harap jangan lupa pesan pinceng." kata Go leng cu. . "Tentu takkan lupa!" kata Cu Jiang Bahkan saat itu

sebenarnya dia hendak mengaku siapa dirinya tetapi tak jadi. Ia kuatir tembok disitu mempunyai telinga. Kalau sampai terdengar orang, tentu habislah riwayatnya.

"Nak, lekaslah bertindak, " Go leng-cu mendesak.

Cu Jiang segera bekerja. Ia mengeluarkan jenasah Thian hian-cu dari karung, dipindah ke ujung ruang, pakaiannya dibuka dan diganti dengan pakaiannya sendiri. Ia memakai jubah imam itu. Setelah memberi hormat tiga kali, ia kembali ke dekat Go-leng-cu.

"Cianpwe, sudah beres semua! "

"Lekas masuk ke dalam karung, " kata Go-leng-cu. Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu.

"Cianpwe, soal ini kurang pantas "

"Mengapa? " Go leng-cu terkejut.

"Karena masih mempunyai perjanjian dengan pemilik Piagam Hitam, aku masih mempunyai kesempatan hidup. Tetapi cianpwe sendiri tak punya kesempatan apa2 lagi. Seharusnya cianpwelah yang menggantikan tempat Thian- hian cianpwe ini agar dapat lolos dari neraka di sini!"

"Ah, tak mungkin " kata Go leng-cu.

"Mengapa?"

"Kesatu, karena pinceng telah berbuat suatu kesalahan. Tiada muka lagi terhadap sesama ksatrya didunia. Kedua, ilmu kepandaian pinceng sudah punah, menderita siksaan hebat sehingga tak dapat bergerak sama sekali. Ketiga, sebagai salah seorang dari Bu-lim Sam cu, telah kena diperangkap oleh seorang kerucuk, kemana lagi mukaku harus kusembunyikan . . ."

"Apabila cianpwe dapat lolos dari bahaya disini, bukankah cianpwe akan dapat melakukan sesuatu "

"Nak, aku sudah kehabisan hawa dan darah tak

mungkin dapat hidup dua hari lagi!"

"Cianpwe "

"Nak. lekas atau sesal kemudian tiada gunanya !"

Cu Jiang tak dapat berbuat apa2. Serta merta dia berlutut memberi hormat kepada paderi Go-leng-cu.

"Aku akan melakukan perintah cianpwe," katanya dengan nada penuh haru. Lalu cepat dia masuk kedalam karung. Dengan menggunakan sisa tenaganya, Go-leng- cupun segera mengikat lagi itu.

"Nak, minumlah pil itu !" serunya.

Dengan kuatkan hati, Cu Jiangpun terus menelan pil Kui-si-wan itu.

Terdengar pintu berderak derik dan suara langkah orang. Tetapi kesadaran pikiran Cu Jiang makin pudar dan akhirnya tak ingat apa2 lagi.

O000od-wo000O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar