Pusaka Negeri Tayli Jilid 03

Jilid 3

Entah berapa lama Cu Jiang pingsan tak ingat diri itu. Apa yang disaksikan saat itu telah menghancurkan hatinya. Pandang matanya berbinar-binar. Dunia ini serasa gelap baginya. Dan dia tak ingat apa2 lagi.

Ketika sadar, dengan lesu dia duduk memandang ke muka. Empat sosok mayat yang terbentang di hadapannya itu, membuat hatinya hancur berantakan.

Keguncangan besar telah menimbulkan penderitaan hebat dalam sanubarinya sehingga ia tak dapat menangis melainkan mengucurkan airmata saja.

Ayah, ibu, adik lelaki dan adik perempuannya telah mati dibunuh musuh. Tangan ayahnya masih mencekal pedang Seng-kiam, sekujur tubuhnya penuh luka2 sehingga menyerupai manusia darah.

Adik lelaki dan adik perempuannya juga mengenaskan keadaannya. Kaki dan tangan mereka lenyap. Sedang mamahnya lebih ngeri lagi keadaannya. Telanjang, tangan dan kakinya diikat pada empat buah tiang. Jelas mamahnya itupun telah dirusak kehormatannya sebelum dibunuh. Nasibnya seperti Siau Hui, anak perempuan dari bujang Liok.

Oh, dunia ....

Adakah dunia ini terdapat perbuatan yang lebih keji dari itu? Cu Jiang seperti orang gila. Semangatnya seperti terbang dari dalam tubuhnya. Hatinya seperti dicacah-cacah melihat adegan saat itu.

Tak tahu dia apakah dia masih pantas hidup di dunia ini?

Adakah dia masih berhak disebut manusia lagi?

Kedukaan yang hebat telah menghancurkan kesadaran pikirannya. Tiba2 ia tertawa keras. Nadanya macam burung hantu mengutuk di tengah kuburan. Kumandangnya memenuhi empat penjuru lembah.

Beberapa saat kemudian ia berhenti tertawa. Suasanapun kembali diliputi hawa pembunuhan yang sunyi.

Sepasang biji mata Cu Jiang seperti pecah dan mengucurkan airmata darah. Wajahnya pucat lesi seperti mayat.

Dia berdiri, sempoyongan. Mencabut pedang terus hendak di tikam ke dadanya....

"Uh. . ." tiba2 ia menjerit kaget ketika dadanya terkena ujung pedang. Sakit. Dan serentak ia tersadar dan kelimbungannya.

"Tidak! Aku tak boleh mati! Pengecut kalau aku bunuh diri. Itu hanya menghindari tanggung jawab saja!"

Dan pedangnyapun terkulai.

Tiba2 terdengar suara orang berseru seram dan sinis: "Hm, siapa bilang engkau tak boleh mati? Engkau, budak

kecil, harus mati juga, ha, ha, ha "

Cu Jiang cepat berputar tubuh. Tiga tombak jauhnya, entah kapan, telah muncul tiga manusia aneh. Mereka bertubuh tinggi besar semua. Yang berdiri di tengah, akhirnya mempunyai benjolan daging besar. Sedang yang berdiri di sebelah kiri wajahnya pucat seperti mayat hidup. Yang sebelah kanan, berwajah menyeramkan. Mukanya penuh brewok, giginya merongos, matanya cekung ke dalam dan berkilat2 menakutkan. Hidungnya bengkok seperti paruh burung kakak tua.

Orang yang berwajah pucat seperti mayatpun berseru dengan suara seram:

"Ah, tidak sia2 kita menunggu. Akhirnya kita memperoleh kelinci kecil ini, Lekas bereskan saja. Membabat rumput harus mencabut sampai akarnya!"

"Membabat rumput tidak mencabut akarnya, begitu musim semi tiba, tentu akan tumbuh lagi." si hidung bengkok menyambuti.

Lelaki yang dahinya tumbuh benjolan daging, tertawa mengekeh:

"Soal ini memang telah di duga lotoa. lekas kerjain saja dan lekas kita pergi!"

Darah Cu Jiang saat itu serasa beku. Matanya merekah mengucurkan darah. Dadanya hampir meledak karena di luap dendam kemarahan yang hebat. Dengan kalap ia segera menerjang.

Uh . . . ternyata Ketiga manusia aneh itu sudah terpencar dalam tiga tempat.

"Ha, ha, ha. ha "

"Heh, heh, heh, heh "

"Huh, hun, huh, huh "

Tiga macam nada tawa yang menyeramkan berhamburan menusuk telinga Cu Jiang.

Tetapi saat itu Cu Jiang sudah tak menghiraukan segala apa. Adakah kepandaiannya kalah dengan lawan, dia tak ambil pusing lagi. Dia ingin benar mencincang ketiga manusia aneh itu.

"Sebutkan nama kalian!" teriaknya dengan kalap.

Lelaki yang dahinya tumbuh daging benjolan, berseru seram:

"Engkau belum pantas menanyakan diri kami!" "Kawanan anjing Gedung Hitam?"

"Anak jadah!" lelaki berwajah pucat meraung marah.

Mengangkat tangan terus menghantam.

Kedua kawannyapun hampir berbareng, juga menghantam. Tiga gelombang angin pukulan yang dahsyat segera melanda Cu Jiang.

Anak muda itu hampir tak sempat lagi menangkis ataupun menghindar. Tubuhnya segera mencelat ke udara dan melayang ke bawah lembah. Pedangnyapun terlepas jatuh.

"Mudah sekali, ha, ha, ha, ha ... "

"Heh, heh, heh, heh "

"Huh, huh, huh, huh "

Ketiga manusia aneh itupun segera lari pergi. Dan lembah sunyi senyap seperti semula.

Cu Jiang memiliki dasar latihan silat yang cukup kokoh. Ketika terlempar ke udara, ia menyadari kalau dirinya akan jatuh ke dasar lembah. Tentu tulang belulangnya akan hancur berantakan.

Segera dia mengempos semangat dan meringankan tubuh, dengan sekuat tenaga ia bergeliatan ke dinding lembah. Tetapi pukulan ketiga manusia aneh itu terlalu sakti sekali. Angin pukulan mereka menderu tubuh Gu Jiang terpisah jauh dari dinding lembah. Dan dinding lembah itupun licin sekali, tak mungkin ia dapat hinggap di situ.

Memang dengan mengerahkan tenaga tadi, Cu Jiang berhasil mendekati dinding lembah, tetapi ia terkejut dan mengeluh. Begitu menyentuh dinding lembah, tubuhnya malah meluncur deras ke bawah...

"Habis sekarang riwayatku ..." diam2 ia mengeluh dalam hati.

Mungkin hanya ingatan itu yang masih sempat singgah dalam benaknya. Setelah itu ia terus dicengkam oleh rasa ngeri membayangkan kematian.

Duk....

Terasa tubuhnya bergetar keras. Kemudian dia tak ingat apa2 lagi.

Gelap sudah dunia ini.

Rasa kesedihan, nafsu hendak membalas dendam, tak dapat dirasakan lagi.

Adakah kematian itu sesuatu yang sedap dan nikmat?

Bukankah mati itu sudah terbebas dari segala derita hatin dan derita hidup?

Ada kalanya orang ingin mati tetapi tidak mati. Tetapi orang yang takut mati bahkan malah dikejar kematian.

-ooo0d-w0ooo-

Pada tanah karang di puncak lembah, tampak sesosok bayangan merah sedang berjalan mondar-mandir. Sebentar- sebentar kedengaran menghela napas. Mantel warna merah yang tersangkut pada lehernya, ber kibar2 tertiup angin sehingga tampak tubuhnya yang langsing itu makin tambah gemulai.

Siapakah dia?

Di ujung tanah lapang dekat pada hutan, tampak segunduk kuburan yang baru. Sedang batu nisan yang tertulis di situ, berbunyi:

Tempat peristirahatan yang terakhir dari Dewa-pedang Cu Beng Ko, isteri dan putera puterinya.

Persembahan: Ang Nio Cu.

Walaupun saat itu sudah senja hari tetapi sosok  bayangan merah itu masih berada di tempat itu. Mulutnya berkemak kemik:

"Sebenarnya nasibnya tidak harus berumur pendek, tetapi . . . "

Malampun menebarkan kabut hitam. Bumi hitam kelam dan gunung2 bagaikan gunduk2 raksasa hitam.

Entah kapan, bayangan merah itupun lenyap. Siapakah dia?

Siapakah yang tertanam dalam makam itu? Benarkah Giok-siu-lo Lamkiong Hau, isteri dan kedua putera puterinya?

Dan pada batu nisan itu tertera nama Ang Nio Cu yang mempersembahkan. Adakah Ang Nio Cu yang mengubur dan membuatkan batu nisan itu?

Mengapa?

Apakah hubungan Ang Nio Cu dengan Lam kiong Hau? Adakah Ang Nio Cu yang membunuh mereka lalu timbul perasaan menyesal dan mengubur jenasah korbannya itu?

Ah, sungguh misterius sekali.

Suatu aliran hawa panas yang menyengat tubuh, telah membuat Cu Jiang tersadar. Ia membuka mata dan ah . . . ternyata dia berada dalam sebuah gua.

Di dekatnya terdapat setumpuk kayu yang tengah menyala. Suatu perapian. Asap putih yang mengepul ke atas, membuat puncak langit gua putih.

Lama baru Cu Jiang pulih kesadaran pikirannya. "Apakah tidak mati?" ia mulai heran.

"Tidak, engkau masih hidup!" tiba2 sebuah suara parau terdengar menyahut.

Cu Jiang terkejut dan mengangkat kepala, ia hendak bangkit ....

"Jangan bergerak!" suara parau dari seorang tua itu berseru mencegah.

"Aduh," Cu jiang mengerang kesakitan ketika tubuhnya bergerak. Ia rubuh kembali.

Ia keliarkan pandang ke dalam guha itu tetapi tak  melihat barang seorang manusiapun. Kemanakah orang tua yang bicara tadi?

Ia berpikir kemungkinan orang itu tentu berada di ujung sebelah belakang tempat ia berbaring. Dan suara itu di pantulkan dapat kumandang dalam guha sehingga sukar baginya untuk menentukan arahnya. Jatuh ke dalam dasar jurang yang begitu curam, tentulah tubuh akan hancur lebur. Tetapi ternyata ia masih hidup. Benarkah itu? Ia hampir tak percaya pada dirinya sendiri.

Jiwa manusia memang aneh. Kadang lemah tetapi kadang ulet sekali.

"Apakah locianpwe yang menolong jiwaku?" serunya. "Bukan, jiwamu memang belum di takdirkan hilang.

Engkau jatuh di rumpun rotan mencelat ke atas, baru jatuh ke tanah. Jika tidak begitu, meskipun tubuhmu dari besi, tetap akan hancur lebur."

Saat itu Cu Jiang jelas memperhatikan bahwa orang yang bicara itu berada di belakangnya. Tetapi sayang dia tak dapat berputar tubuh.

"Budi kebaikan locianpwe menolong jiwa ku, pasti takkan kulupakan seumur hidup . . ."

"Budak, kau hanya karena jodoh saja." "Mohon tanya siapakah nama locianpwe?"

"Ini . . . sudah lama aku membuang namaku. Panggil saja Ko-tiong-jin!"

"O . . . " seru Cu Jiang.

Ko-tiong-jin artinya Orang-dari-lembah. "Engkau ini bagaimana sih?"

Peristiwa ngeri yang di alaminya ketika di atas lembah, sejenak terbayang dalam benak Cu Jiang. Ia mengerang lalu muntah darah.

"Budak, engkau tak mati itu sudah merupakan kejadian yang ajaib. Jangan engkau mengeluarkan kemarahan atau luka-dalam tubuhnya akan merekah lagi dan kalau terjadi begitu, dewapun tak mampu menolong jiwamu lagi." Cu Jiang mengucurkan airmata campur darah. Lama sekali baru dia dapat terbebas dari kedukaan.

"Buyung, siapakah namamu?" "Wanpwe bernama Cu Jiang." "Murid perguruan mana?"

"Dari keluarga sendiri. Ayahku bernama Cu Beng Ko . .

."

"Engkau . . . putera dari Dewa-pedang?" "Ya. Apakah locianpwe kenal padanya?"

"Berpuluh tahun yang lalu pernah bertemu satu kali.

Engkau mengatakan mendiang ayah tadi, apakah dia. . ."

Cu Jiang pejamkan mata. Hatinya bergolak2. Kemudian baru berkata:

"Ayah, ibu dan adik perempuan serta adik laki2, terpaksa harus menyingkir ke puncak lembah untuk menghindari musuh..."

"Oh, makanya tiap kali aku melihat sosok2 bayangan berkelebatan di puncak lembah ini. Kiranya keluargamu menjadi tetanggaku. Hayo ceritakan lagi..."

"Ketika pulang dari berkelana, keluargaku satu rumah semua telah di bunuh mati secara mengerikan. Bahkan aku sendiripun telah di hantam pembunuh itu hingga terlempar kebawah jurang ini."

"Siapakah musuh itu?" "Soal itu wanpwe tak tahu."

"Tapi menghantam engkau jatuh ke sini?"

"Tiga   manusia   aneh   yang   tak   diketahui namanya.

Kesaktiannya luar biasa sekali ..." "Bagaimana ujudnya?"

"Yang seorang, dahinya tumbuh benjolan daging. Yang kedua, wajahnya pucat seperti mayat. Dan yang ketiga, bibirnya sumbing sehingga giginya tampak  menonjol keluar, mukanya penuh brewok..."

"Hah. . . apa senjata mereka?" "Tangan kosong!"

"Hanya tiga orang saja ?"

"Rasanya tentu masih ada lagi tetapi yang muncul hanya tiga orang itu."

"Bukankah perawakannya tinggi besar?" "Benar..."

"Rasanya mirip dengan Sip-pat thian-mo..." "Sip pat-thian-mo?" Cu Jiang berteriak kaget. "Hanya dugaan, tetapi tak mungkin." "Mengapa?"

"Sudah berpuluh-tahun kedelapan belas momok dunia itu menghilang dari dunia persilatan. Dan  menilik umurnya, tak mungkin mereka mempunyai permusuhan dengan orang tuamu."

"Aku bersumpah hendak menuntut balas!" "Buyung, jangan bersedih, mungkin. "

"Mungkin bagaimana. "

Ko-tiong-jin atau Orang tua-dari-lembah menghela napas dan berkata pelahan-lahan: "Cu Jiang, engkau harus tabah untuk menghadapi ketentuan nasib yang menimpa pada diri mu. Nasib yang malang. . ."

Cu Jiang tergetar, serunya: "Nasib malang bagaimana?" Ko-tiong-jin merenung dan menimang2 bagaimana dia harus memberi keterangan kepada anak muda itu. Sampai lama baru dia berkata:

"Sungguh suatu nasib yang luar biasa bahwa engkau tak sampai mati. . ."

"Wanpwe takkan melupakan budi pertolongan locianpwe," tukas Cu Jiang.

"Cu Jiang, dengarkanlah. Kini engkau menjadi seorang pemuda cacat!"

Mendengar itu seketika Cu Jiang terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat. Cacat!

Suatu nasib yang mengerikan, lebih malang dari yang malang. Segala harapan dan cita2nya akan lenyap bagai awan di hembus angin. Menuntut balas dan segala macam sumpah, pun akan ikut amblas.

"Thian sungguh tak adil. Malaekat sungguh jahat.

Mengapa aku tak mati saja!" serentak dia berteriak kalap.

Ko tiong-jin menghela napas.

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga tetapi hanya dapat menyelamatkan jiwamu, tak dapat menolong engkau dari derita cacat!"

Air mata darah bercucuran dari mata Cu Jiang, Dengan suara beriba2 ia berseru:

"Locianpwe, apakah aku masih berharga untuk hidup?" "Mengapa tidak? Adakah engkau begitu memandang enteng pada jiwamu? Nasibku jauh lebih mengerikan dari engkau tetapi aku tetap bertahan hidup," sahut Ko-tiong-jin.

"Tetapi aku sudah cacat, tidakkah lebih baik mati daripada hidup?"

"Ilmu kepandaian masih tetap ada." "O. tenagaku masih?"

"Ya."

"Lalu bagai mana cacat tubuhku ini?"

"Tidak lututmu sebelah kanan hancur. Walaupun dapat kusambung tetapi sekarang lebih pendek sedikit dari semula..."

Mendengar itu timbullah harapan Cu Jiang serunya: "Apakah hanya cacat begitu?"

"Masih ada lagi "

"Apa?"

"Engkau telah kehilangan wajahmu yang tampan." "Hai mukaku?"

"Hm, wajahmu penuh dengan bekas2 noda hitam!"

Tanpa disadari Cu Jiang terus merabah air-mukanya. Memang kini kulit mukanya tidak sehalus yang lalu melainkan terdapat bintik2 yang kasar. Separoh muka bagian kiri, penuh dengan noda2 bekas luka. Sedang sebagian dari tulang pipi sebelah kanan melesak. Hanya kedua matanya yang masih utuh tak kurang suatu apa.

Tiba2 dia tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan dan kehampaan. "Muka tampan atau buruk, aku tak memikirkan! " serunya.

"Bagus, buyung. Engkau harus dapat menerima apa saja, penderitaan maupun kegembiraan. Barang siapa dapat kuat menerima coba derita yang orang biasanya tak dapat menerima, barulah dia akan menjadi manusia unggul dari manusia lainnya."

"Saat ini aku masih belum dapat bergerak."

"Engkau telah pingsan selama delapan hari delapan malam! "

"Hah?"

"Benar, " kata Ko-tiong-jin, "untung aku mengerti sedikit tentang ilmu pengobatan dan beruntung dapat menyembuhkan lukamu.

"Locianpwe seperti melahirkan aku..."

"Sudahlah, jangan membicarakan soal itu. Telah kupetik beberapa ramuan daun obat dan kujadikan pil. Setelah minum, besok pagi engkau tentu dapat bangun. Sekarang, beristirahatlah dulu, besok kita sambung bicara lagi."

Plak .... sebutir pil melayang jatuh ke samping kepala Cu Jiang.

Diam2 Cu Jiang heran. Kalau sudah mau menolong dirinya mengapa orang aneh yang menyebut dirinya dengan nama Ko tiong-jin itu tak mau unjuk diri?

Ia tak mau mengambil pil itu, melainkan bertanya: "Locianpwe, dapatkah aku melihat wajah locianpwe? " "Minum obat dulu, jangan bicara yang tak berguna!" "Tetapi aku tetap merasa " "Engkau curiga?"

"Ah, tidak, locianpwe. Hanya ingin mengenangkan wajah penolongku yang budiman itu. "

"Lekas minum obat itu dulu! "

Cu Jiang terpaksa menurut. Ia mengambil  bungkusan dan membukanya. Isinya sepuluh butir pil sebesar buah kelengkeng. Sebutir demi sebutir dia terus menelannya. Ia tak peduli bagaimana pahit rasanya.

"Buyung, di sisi bantalmu telah tersedia air."

Cu Jiang berpaling. Memang di sisi bantalnya terdapat semangkuk air. Iapun mengambil dan meminum untuk pengantar pil.

Beberapa saat kemudian, ia rasakan segumpal hawa panas mulai meluap dari perut terus ke dada, kemudian pelahan lahan mengalir ke kaki dan lengan. Makin lama makin hebat sehingga tubuhnya terasa seperti digodok.

Keringatpun bercucuran deras seperti hujan.  Dan terakhir pikirannya mulai limbung, gelap dan tak ingat apa2 lagi ....

Ketika membuka mata ia tak merasa sakit lagi. Tak tahu ia berapa lama telah pingsan tadi.

Perapian di samping tempat tidurnyapun telah ditambah pula dengan kayu yang baru. Asap  berkemelut menyesakkan napas.

Ia mencoba untuk duduk dan ternyata tak apa2. Tetapi ketika berdiri, tubuhnya agak sempoyongan dan hampir rubuh ke dalam unggun api.

Saat itu baru dia menghayati betapa penderitaan seorang yang cacad itu. Kakinya sebelah kiri bukan saja lebih pendek, pun sukar untuk dijulur-turutkan, kaku sekali. Betapa sedih hati Cu Jiang, sukar dilukiskan lagi

Tetapi hal itu suatu kenyataan. Tak mungkin dapat ia tolak. Bahwa jatuh dari atas jurang yang sedemikian tinggi tidak sampai mati memang sudah merupakan suatu kemujijadan. Kalau hanya cacad tubuh dan wajahnya, tentu sudah sewajarnya.

Segera ia alihkan pikirannya. Ia ingin melihat siapakah yang telah menolong jiwanya itu.

Memandang ke muka, ia melihat pintu gua pada jarak lima tombak jauhnya. Di sebelah luar gua, berkabut tebal sehingga tak kelihatan apa2.

Memandang ke sebelah dalam gua itu, ternyata di  sebelah dalam masih terdapat sebuah gua lagi.

Ia tak berani sembarangan masuk tetapi lebih dulu ia berseru dengan nada hormat:

"Locianpwe !"

"Bagaimana keadaanmu sekarang ini?" tiba2 terdengar Ko tiong-jin menyahut.

"Obat pemberian lo cianpwe memang mustajab sekali.

Kini aku sudah sembuh. "

"Bagus. Apa engkau hendak bicara kepadaku? " "Aku hendak menghadap locianpwe. "

"Engkau .... apa sungguh harus bertemu muka dengan aku? "

"Benar, locianpwe."

"Sudah lebih dari sepuluh tahun lamanya aku tak pernah melihat wajah manusia lain. " "Aku hendak menghaturkan terima kasih yang setulus hati kehadapan locianpwe"

Sampai beberapa jenak tak terdengar suara apa2 dari Ko- tiong-jin. Rupanya dia tengah merenung.

"Baiklah," akhirnya ia berkata, "kululuskan engkau melihat wajahku. Mungkin ada manfaatnya bagimu. Masuklah!"

Berdebar-debar Cu Jiang ketika dengan langkah yang terseok-seok masuk kegua bagian dalam.

Gua itu diterangi dengan penerangan yang redup. Pertama yang dilihatnya, yalah sebuah meja dan sebuah kursi terbuat dari pokok kayu yang dibelah. Bentuknya kasar.

Diatas meja buatan Ko-tiong-Jin itu penuh dengan buah- buahan. Bahan makanan yang menjadi ransum orang itu.

Disebelah dalam tampak sebuah tempat tidur yang beralas tumpukan rumput kering.

Dan ketika pandang mata Cu Jiang berkeliar lebih lanjut, hai

Menjeritlah mulut pemuda itu dengan serentak. Dia gemetar. Jantungnya serasa copot. Benar2 dia tak menyangga sama sekali, bahwa perwujudan dari Ko-tiong jin itu sedemikian rupa.

Diatas tempat tidur yang berada didinding gua, duduklah seorang mahluk yang aneh. Tubuhnya penuh dengan bulu, kumis dan Jenggotnya melingkar-lingkar lebat. Matanya hanya satu dan memancarkan sinar yang berapi-api. Pakaiannya compang camping, hampir tidak menyerupai pakaian lagi. Bagian bawah dari pakaiannya amblong karena kedua kakinya hilang. Ko-tiong-jin tertawa gelak2.

"Buyung, engkau masih jauh lebih baik dari diriku, bukan ?"

Sesaat Cu Jiang tersadar akan dirinya. Buru2 ia berlutut dan menghaturkan hormat.

"Harap locianpwe memaafkan karena wanpwe kurang tata."

"Bangun dan duduklah di kursi!"

Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang duduk di kursi yang terbuat dan belahan pokok pohon. Sesaat tak tahulah bagaimana ia hendak bicara.

"Makanlah buah-buahan Itu untuk pengisi perut," seru Ko-tiong-jin pula.

Seperti diingatkan, Cu Jiang baru teringat bahwa perutnya memang lapar sehingga pandang matanya berbinar-binar. Tanpa sungkan lagi ia terus mengambil dan memakannya. Diantaranya terdapat buah yang sebenar mangkok. Ketika digigit, mengucurkan air yang banyak dan manis. Ia belum pernah makan buah semacam itu.

"Lo cianpwe, buah apakah ini ?"

"Namanya buah tasusu, dapat menambah tenaga. Jarang terdapat dalam dunia. Tetapi didasar lembah ini banyak sekali."

"Buah tasusu?"

"Ya," kata Ko-tiong-jin, "selama pingsan delapan hari delapan malam, hanya dengan sari air buah itu, dengan cepat engkau dapat pulih lagi tenagamu."

"O."

"Bagaimana kesanmu setelah melihat wajah ku ini ?" "Lo cianpwe tentu menderita suatu peristiwa yang amat menyedihkan sekali."

Ko-tiong-jin menengadahkan kepala dan tertawa gelak2. "Musibah yang menimpa diriku itu tak kalah mengerikan

dari penderitaanmu."

"Maukah locianpwe menceritakan kepadaku."

"Ah, hidupku yang sekarang ini sudah habis. Tak perlu ku uraikan peristiwa itu."

Keduanya lalu diam. Hanya dalam hati masing2 yang masih bicara. Setelah makan tiga biji  buah tasusu, rasa panas pada tubuh Cu Jiang hilang. Semangatnya mulai agak segar lagi. Tetapi apabila teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya, ia hendak menangis tetapi airmatanya sudah kering.

Lebih dulu Ko-tiong-Jin yang memecah keheningan suasana, katanya:

"Buyung, besok pagi2, keluarlah engkau dari lembah !"

Tergetar hati Cu Jiang seketika. Pertama, berat rasanya atas budi pertolongan orang tua itu. Dan kedua, ia merasa kasihan sekali atas nasib yang diderita Ko-tiong-jin.

"Dan locianpwe sendiri ?"

"Akan layu bersama rumput2 disini."

"Aku akan menemani locianpwe disini sampai akhir hayat locianpwe."

"Ha, ha, ha, ha!" Ko tiong-Jin tertawa, "nak, kesungguhan hatimu memang mengesankan. Tetapi aku sudah tak mempunyai selera lagi terhadap manusia hidup. Hanya. "

"Hanya apa, locianpwe?" "Masih mempunyai sebuah keinginan yang belum terlaksana. Tetapi keinginan itu juga sukar untuk dilaksanakan. Tetapi . . . tetapi . . . ah, perasaanku sudah mati. jiwaku masih hidup, belum dapat meninggalkan ragaku yang sudah tak keruan ini. Apa boleh buat!"

Sebutir airmata menitik dari ujung pelupuk orang tua itu. "Dapatkah aku membantu lo cianpwe?" tanya Cu Jiang

dengan sungguh2. “Tidak !"

"Mengapa locianpwe harus menderita sendiri?"

"Nasib menentukan begitu. Tidak mau menderita lalu mau apa?"

"Bukankah tadi lo cianpwe mengatakan masih mempunyai suatu masalah yang belum terselesaikan?"

"Sampai pada saat itu, tidak selesaipun sudah selesai sendiri."

"Silahkan locianpwe memberi pesan kepadaku, agar aku dapat membantu untuk menyelesaikannya."

"Tak usah."

"Dengan sungguh hati aku. . ."

"Tetapi aku tak mau menerima budimu." "Mengapa lo cianpwe memiliki pikiran begitu?"

"Memang watakku tak senang menerima budi orang."

"Jika begitu aku yang telah menerima pertolongan locianpwe, akan tak punya kesempatan lagi untuk membalas budi locianpwe itu?"

"Nak, bersiap2lah besok engkau akan tinggalkan tempat ini." "Jika lo cianpwe tak memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi, seumur hidup aku pasti menderita hatin."

"Nak, kesungguhan hatimu itu, sudah lebih dari cukup . .

."

Cu Jiang jatuhkan diri berlutut seraya berkata dengan

tegang:

"Apabila locianpwe tak mau meluluskan, akupun takkan berbangkit."

Butir airmata yang tertahan di ujung pelupuk Ko-tiong- jin akhirnya menitik keluar juga.

"Bangunlah ..." serunya. "Locianpwe meluluskan?"

"Ah, nak, kululuskan engkau. Tetapi aku masih meminta kepadamu agar jangan menganggap itu sebagai batas budi kepadaku. Ikutilah garis takdir, berhasil atau gagal tak usah engkau hiraukan . . ."

"Baiklah, locianpwe . . . , " kata Cu Jiang seraya berbangkit dan duduk di kursi pula.

Mata yang tinggal sebuah dari Ko-tiong-jin tampak berkaca2 memancar sinar sedih dan marah. Beberapa saat kemudian baru dia berkata:

"Aku hendak minta kepadamu melakukan sebuah hal ..." "Harap locianpwe segera memberitahu." kata Cu Jiang

dengan sigap.

Agaknya tegang sekali hati orang tua itu sehingga napasnya ter-sengal2. Setelah menenangkan diri beberapa saat, ia berkata: "Soal ini merupakan soal yang terkandung dalam hatiku. Karena soal itulah maka aku tetap bertahan hidup walaupun sudah bukan layak di sebut manusia lagi..."

"Wanpwe akan ingat dengan sungguh2."

"Tahukah engkau apa sebab aku sampai menjadi cacat begini rupa?"

"Mohon locianpwe suka memberitahu."

"Aku dicelakai oleh seorang sahabat yang dekat hubungannya dengan aku ..."

"Sahabat yang paling dekat?"

"Benar. Seorang kawan akrab yang pura2 bersikap taat dan baik."

"Siapa?"

"Sebun Ong yang bergelar Bu-lim-seng-hud."

Cu Jiang melonjak kaget. Bu-lim-seng-hud atau Buddha- hidup dunia-persilatan Sebun Ong termasyhur dalam dunia persilatan. Di kalangan aliran Pek-to (putih) dia termasuk tokoh yang terkemuka.

Tokoh itu seorang penegak keadilan, menjunjung kebenaran dan pembasmi kejahatan. Semasa hidupnya, mendiang ayah Cu Jiang pernah memuji tokoh itu. Tetapi tadi Ko-tiong-jin menyebutnya sebagai kawannya yang akrab dan mencelakai dirinya.

Cu Jiang benar2 heran.

"Locianpwe mengatakan Sebun Ong?" ia menegas pula. "Engkau tak percaya?"

"Bukan tak percaya, melainkan. . ." "Terpengaruh oleh namanya yang termasyhur?" "Memang namanya terkenal sebagai tokoh yang baik."

"Itulah mengapa kukatakan dia seorang manusia jahat yang pura2 bersikap baik."

"Apakah locianpwe kenal baik sekali dengan dia?" "Ya."

"Jika demikian tentulah locianpwe juga seorang tokoh yang termasyhur dalam dunia persilatan?"

"Ah, tak perlu dikata lagi. Engkau bantu aku mencarikan seseorang ..."

"Siapa?"

Tiba2 nada suara Ko-tiong-jin berobah bengis sekali, serunya:

"Ho-hou Tio Hong Hui!"

"Ratu kembang Tio Hong Hui . . ." "Hm."

"Wanita cantik nomor satu dalam dunia persilatan itu?" "Benar."

"Dia mempunyai dendam permusuhan dengan locianpwe?"

"Dia adalah isteriku."

"Jika begitu," seru Cu Jiang dengan nada tergetar, "locianpwe ini tentulah tokoh pendekar-besar dari Tionggoan Cukat Ong yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada beberapa puluh tahun yang lampau!"

"Benar. Engkau tak kecewa sebagai putera dari Dewa- pedang, pengetahuanmu luas benar." Hati Cu Jiang tegang sekali. Ia tak menyangka bahwa seorang pendekar besar bakal menderita nasib begitu mengenaskan.

"Locianpwe hendak mencari Tio cianpwe..."

"Jangan menyebutnya cianpwe. Wanita itu tak layak mendapat kehormatan disebut cianpwe!" teriak Ko-tiong-jin dengan bengis.

Cu Jiang terkesiap.

"Aku tak mengerti persoalannya."

Mata Ko-tiong-jin bersinar tajam, memancarkan dendam yang menyala-nyala. Dengan mengerut geraham  dia berkata pula:

"Dengarkan. Delapan belas tahun yang lalu, aku dan Sebun Ong bersama-sama menemui seorang gadis. Tetapi akhirnya gadis itu memilih aku. Setelah itu akupun hentikan petualanganku dalam dunia persilatan. Aku menikah dan menuntut penghidupan yang tenang."

"Se-bun Ong masih bersikap baik. Tampaknya dia tak sakit hati dan hubungan kita masih seperti sediakala dan akupun tak mengandung kecurigaan apa2 kepadanya. Bahkan aku memuji peribadinya."

"Apakah gadis itu bukan Ratu kembang Tio Hong Hui ?" karena tak dapat menahan diri, Cu Jiangpun menyeletuk.

"Ya, memang dia. Tahun kedua dari pernikahanku, dia telah melahirkan seorang bayi perempuan yang kucintai bagaikan mutiara..."

"Ah," desuh Cu Jiang.

"Tahun ketiga, anak perempuanku itu genap berusia setahun. Ketika itu aku sedang mencari daun obat ke pegunungan. Tak kusangka sangka Sebun Ong menyusul. Dengan terus terang dia mengaku bahwa dia tak dapat melupakan rasa cintanya terhadap Tio Hong Hui. Dan bahkan diapun mengaku bahwa dia telah melakukan perbuatan terlarang dengan Tio Hong Hui."

"Apakah locianpwe percaya ?"

"Sudah tentu tidak percaya. Tetapi dia dapat mengunjukkan bukti."

"Bukti?"

"Benar. Sebuah bungkusan Ho-pau (kantong uang) yang selalu berada ditubuh wanita hina itu. Sebun Ong menerangkan bahwa Tio Hong Hui tak senang pada diriku karena aku tak suka bercumbu rayu, tidak mempunyai  selera untuk mengadakan hubungan kelamin, hanya mencurahkan waktu dan perhatian untuk belajar silat.

Memang benar, aku memang begitu dan terpaksa mau tak mau harus percaya keterangannya "

"Lalu?"

"Sebun Ong mengakui kesalahannya dan menyatakan penyesalannya yang tak terhingga karena telah berbuat yang hina, menghianati kawan sendiri. Dia minta supaya aku membunuhnya "

"Oh. "

"Saat itu tergerak hatiku. Aku menghela napas dan mengatakan bahwa memang nasibku yang jelek. Aku akan mengasingkan diri jauh dari dunia keramaian."

"Lalu ?"

"Ah, tak kusangka sama sekali bahwa Sebun Ong itu seorang binatang yang berjiwa manusia. Seorang manusia yang berhati binatang. Pada saat aku tak berjaga jaga, tiba2 dia menyerang aku. Setelah aku rubuh, dengan buas ia menghancurkan sebelah mataku. Karena dia menyerang cepat dan dahsyat, aku tak sempat membalas. Kepandaiannya memang lebih tinggi dari aku apalagi dia menggunakan pedang memapas kedua kakiku lalu menendang tubuhku kedalam jurang ini . .."

"Jahanam !" teriak Cu Jiang serentak. Ko tiong-jin mengertak gigi. "Adalah karena belum ditakdirkan mati, tubuhku tersangkut pada gerumbul rotan sehingga tubuhku tak hancur. Dan ternyata tumbuh-tumbuhan dalam dasar jurang ini merupakan daun2 obat yang mujarab sehingga selamatlah jiwaku. Begitulah kisah hidupku mengapa aku berada disini. ."

"Bukankah locianpwe suruh aku mencari Tio Hong Hui .

. ."

"Dia adalah biang keladinya. Bunuhlah dia!"

"Baik, aku tentu akan melakukan pesan locianpwe! " "Masih ada sebuah lagi. Apabila bertemu dengan anak

perempuanku, lindungilah dirinya. Kini dia tentu sudah berumur 17 tahun . . ."

"Semua pesan lo cianpwe pasti akan kulakukan! "

"Ah. sekarang aku baru dapat mati dengan meram. Ini memang kehendak Yang Kuasa. Di dasar jurang  yang begini dalam, ternyata engkau datang. Apa yang semula tak pernah kuharapkan, kini ternyata akan terlaksana ..."

"Sebaiknya locianpwe tinggalkan tempat ini nanti akan kuusahakan tempat tingaal yang sesuai untuk locianpwe. Begitu pula setelah bertemu dengan puteri locianpwe, tentu akan kuajak datang agar merawat locianpwe..."

"Tidak, buyung, aku tak mau bertemu muka dengan manusia lain lagi?" "Termasuk puteri lo cianpwe?" "Kenapa?"

"Aku tak mau menyiksa batinnya ..."

"Tetapi walaupun locianpwe cacat, semangat locianpwe masih penuh . . . " Ko-tiong-jin tertawa hambar.

"Batin dan raga telah hancur. Hanya mengandalkan obat. Memang obat dapat menolong jiwa tetapi tidak dapat menyambung umur. Aku pernah belajar soal ilmu obat2an maka tahu jelas tentang hal itu."

Mendengar itu ber-linang2lah airmata Cu Jiang. "Jika locianpwe menginginkan begitu. "

"Sudahlah, jangan banyak omong. Tubuhku sudah tak utuh dan hatiku ingin sekali agar wanita hina itu mati, baru aku dapat mati dengan meram. Tetapi baik atau buruk, anak itu dia yang melahirkan. Cinta ayah kepada anak dan cinta ibu kepada anak, sama2. Bagaimana aku dapat bertemu muka dengan anak perempuanku itu?"

Mendengar itu barulah Cu Jiang tahu alasan yang sebenarnya dari Ko-tiong-jin. Sebagai seorang pemuda yang cerdas, cepatlah Cu Jiang dapat menyadari hal itu. Dia tak mau memaksakan hal2 yang tak di inginkan orang tua itu.

Diam2 ia memutuskan. Kelak apabila berhasil menemukan puteri Ko tiong-jin, dia akan mengajaknya berunding lagi.

"Siapa nama puteri locianpwe itu?" tanyanya.

"Waktu kecil kuberi nama Beng Cu. Tetapi dia ikut ibunya yang hina, namanya tentu berganti."

"Lalu cara bagaimana aku dapat mengenalinya?" "Apabila bertemu dengan wanita yang cabul, tentu dapat diketahuinya."

"Baik. "

"Dua buah benda ini akan kuberikan kepadamu ..." kata Ko-tiong jin lalu mengambil sebuah kantong uang dan sebuah kantong kecil, diberikan kepada Cu Jiang.

"Kantong uang ini adalah lima belas tahun yang lalu dibawa Sebun Ong sebagai bukti tentang penyelewengan Tio Hong Hui. Untung sampai sekarang masih kusimpan. Apabila bertemu dengan perempuan hina Tio Hong Hui itu, serahkanlah kantong itu. Tak perlu engkau turun tangan . .

."

"Tak perlu turun tangan?" ulang Cu Jiang heran.

"Dalam kantong uang itu berisi benda yang amat beracun sekali. Barang siapa menyentuhnya tentu mati. Di dunia tak ada obatnya lagi. Racun itu hasil buatanku selama bersusah payah mempelajari sampai sepuluh tahun. Ingat, jangan sekalikah engkau membuka kantong itu."

Gemetar Cu Jiang mendengar pesan itu. "Di dalamnya berisi racun ganas?"

"Dengan begitu sama artinya akulah yang turun tangan membunuhnya sendiri."

"Dan kantong kecil ini?"

"Apabila bertemu dengan anak perempuanku, serahkan kantong kecil itu. Katakan, di dalamnya terdapat pesanku .

. ."

Cu Jiang menyambuti dengan kedua tangan. Ia masih ngeri membayangkan kantong uang itu. "Juga kantong kecil, jangan engkau buka. Kecuali anak perempuanku, jangan sampai kantong kecil itu jatuh ke tangan orang lain!"

"Baik, aku ingat semua pesan locianpwe."

"Nak, apakah permintaanku itu terlalu berlebihan?"

"Ah, mengapa locianpwe mengatakan begitu, "  cepat2 Cu Jiang berseru, "jiwaku ini adalah locianpwe yang memberi. Soal begini saja tentu tak berarti bagiku."

"Beristirahatlah di gua luar. Hari segera terang tanah dan engkau dapat ke luar dari jurang ini."

"Apakah terdapat jalan yang tembus keluar."

"Ada. Kuketemukan jalan itu setahun yang lalu ketika aku mencari daun obat. Menuruni jurang ini kira2 lima li jauhnya, akan tiba di sebuah aliran air yang melintas gunung. Karena saat ini sedang musim kering, airnya tentu juga kering dan dapat di gunakan orang untuk melintasi gunung."

"Oh."

"Pergilah!"

Serentak Cu Jiang menghaturkan hormat yang penuh khidmat dan haru. Kemudian ia menuju ke gua luar. Api unggun hanya tinggal sedikit. Dia menambah kayu bakar lalu duduk bersandar pada dinding gua.

Pikirannyapun mulai melalu lalang memikirkan berbagai peristiwa. Musuh yang membunuh ayah bunda, adik lelaki dan adik perempuannya. Dan terutama jenasah ibunya  yang telanjang, benar-benar meledakkan dadanya.

Ia ingin menangis, meraung, menjerit dan ngamuk agar dapat melampiaskan dendam hatinya. Di amuk dendam kemarahan itu, ia tak dapat tidur. Ia mencabuti rambut kepalanya Segenggam demi segenggam di lemparnya dalam api yang menyala. Dengan perbuatan itu agaknya ia dapat meredakan kedukaan dan dendam hatinya.

Tetesan darah mengucur turun dari mukanya tetapi dia tak merasakannya.

Api di perapian pun padam. Angin berhembus dingin dari luar, menyusup kedalam gua Namun dia tetap duduk bersandar pada dinding gua. sedikitpun tak bergerak.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam, menerjang masuk dari luar gua. Cu Jiang terbelalak kaget dan cepat ayunkan tangannya.

"Jangan!" tiba2 terdengar suara bentakan Dan nada suaranya adalah nada Ko-tiong-jin.

Mendengar itu cepat Cu Jiang menghentikan tangannya. Memandang dengan teliti gunduk bayangan hitam itu, ia baru mengetahui kalau seekor kera besar yang membawa buah-buahan. Kera itu menyeringaikan mulut, memperlihatkan giginya yang tajam dan memandang Cu Jiang dengan marah.

Saat itu Ko-tiong Jin sudah melayang ke samping Cu Jiang lalu menggapaikan tangannya:

"Toa Hek. kemarilah. Ini kawan sendiri."

Rupanya kera besar itu mengerti bahasa manusia. Dengan langkah pelahan-lahan ia berdiri dihadapan Ko tiong-Jin. Beberapa jenak memandang tajam kepada Cu Jiang lalu melangkah masuk ke gua dalam.

"Itulah kera hitam yang kupelihara," kata Ko tiong-jin "sifatnya yang buas masih belum hilang sama sekali. Dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Jago silat yang  tidak tinggi kepandaiannya tentu sukar mendekatinya. Dia mempunyai rasa setia kepada tuannya."

Cu Jiang mengangguk.

Setelah beberapa kali memandang ke luar gua, Ko-tiong- jin berkata pula:

"Nak, sekarang engkau boleh berangkat!"

Berat rasa hati Cu Jiang untuk berpisah dengan orang tua yang bernasib malang itu. Walaupun hanya berkumpul dalam waktu yang singkat, tetapi ia menganggap orang tua itu sebagai seorang cianpwe yang baik budi. Juga ia merasa kasihan serta simpati atas keadaan diderita olehnya,  seorang yang pernah harum namanya dalam dunia

Cu Jiang tak pernah melupakan budi pertolongan Ko- tiong-jin yang telah menyelamatkan jiwanya dari kematian.

Tahu bahwa saat itu ia akan berpisah, Cu Jiang tak dapat berkata apa2. Hanya wajahnya amat berduka dan airmatanya berlinang-linang.

Ko-Tiong jin tertawa gelak2.

"Nak, perjalanan hidupmu masih panjang.  Penuh dengan kepahitan dan derita. Engkau harus berlatih meneguhkan batinmu."

Airmata Cu Jiang bercucuran deras.

"Terima kasih locianpwe." Katanya dengan suara parau dicengkam keharuan.

"Bagaimana rencanamu setelah keluar dari lembah ini ?" "Mencari jejak musuh."

"Dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini ?" Ko-tiong-jin menegas. Semangat Cu Jiang segera menurun. Memang ia menyadari bahwa dengan kepandaiannya saat itu, tak mungkin dia hendak melakukan pembalasan. Ibarat hanya seperti telur beradu dengan ujung tanduk.

Sedang mendiang ayahnya yang begitu sakti pun akhirnya dapat dicelakai orang, apalagi dirinya yang terpaut jauh sekali dari ayahnya.

Cu Jiang menundukkan kepala. Ko tiong-jin bergeliat dan menepuk bahu anak muda itu, serunya:

"Nak, jangan putus asa. Manusia wajib berusaha. Adalah karena aku merasa kepandaianku masih kalah dengan mendiang ayahmu maka aku tak dapat membantu apa2 kepadamu. Tetapi aku hendak menghaturkan sebuah kata nasehat padamu "untuk melakukan pembalasan, sampai tiga tahun pun belum terlambat". Carilah seorang guru kenamaan untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi, barulah nanti engkau lakukan pembalasan itu. Tetapi guru yang

sakti itu memang sukar ditemukan. Kesemuanya itu tergantung pada jodoh dan rejekimu!"

Cu Jiang mengangguk dalam2.

"Akan kuukir dalam sanubariku semua pesan locianpwe."

"Jika mendiang ayahmu yang begitu sakti dalam ilmu pedang dapat dicelakai musuh, Jelas bahwa musuhmu itu tentu bukan tokoh sembarangan. Engkau harus berhati-hati, jangan sampai mengalami kehancuran yang sia2. "

"Baik."

"Walaupun tiada hubungan dengan mendiang ayahmu, tetapi aku sekaum dengan dia. Dan aku mengagumi peribadinya. Ayahmu mengalami bencana dan aku mendapat musibah begini, bukan disebabkan karena perjuangan kami membela kebenaran dan keadilan tetapi memang karena suatu peristiwa yang  menyedihkan sekali..."

"Aku kurang jelas akan maksud locianpwe." kata Cu Jiang.

"Sewaktu masih hidup, pernahkah ayahmu menceritakan tentang musuhnya ?"

"Tak pernah."

"Jika begitu, tentu sukar engkau melakukan penyelidikan."

"Pada waktu itu aku melihat beberapa hal yang dapat kujadikan pegangan untuk mencari jejak si pembunuh.  Pada saat itu kutemukan dua buah kutungan jari, sebuah lengan. Dengan bukti itulah akan kucari musuh itu. "

"Oh..."

"Dan masih ada lagi "

"Apa? "

"Orang Gedung Hitam ketika menyelidiki asal usul  diriku pernah berusaha menekan aku supaya memberitahukan tempat ayahku. Itulah sebabnya maka keras dugaanku bahwa orang Gedung Hitamlah yang melakukan pembunuhan itu "

"Gedung Hitam? Aku tak pernah mendengar nama itu! " "Gerombolan Gedung Hitam mengacau dunia

persilatan, kemungkinan terjadi pada waktu locianpwe mendapat musibah "

"Ya, mungkin begitu. Bagaimana gerombolan itu?" "Begitu  muncul  mereka melakukan  pembunuhan besar-

besaran    di    kalangan    kaum    persilatan,    seluruh dunia persilatan di Tionggoan diancam oleh bayang2 kecemasan dan kegelisahan!"

"Siapakah pemimpin mereka?" "Tak seorangpun yang tahu!"

"Oh, dunia persilatan memang banyak sekali urusannya. Aliran Ceng-pay dan Shia-pay, timbul tenggelam silih berganti. Demikian kehidupan dunia persilatan dari masa  ke masa. Tetapi ada sebuah dalih yang menjadi kenyataan bahwa Kejahatan itu akhirnya harus menyerah pada Kebaikan. Golongan Shia-pay tentu kalah dengan golongan Ceng-pay!"

"Benar."

"Nak, engkau memiliki kecerdasan dan bakat yang bagus sekali. Mungkin dalam dunia persilatan jarang terdapat orang yang bertulang sebagus engkau. Sayang engkau menderita musibah sedemikian menyedihkan, sebelah kakimu cacad. Hal itu mungkin akan  mempengaruhi kemajuan dari latihan ilmu silatmu. Tetapi jangan kecewa. Semua itu sudah digariskan Thian. Jangan putus asa dan teruskanlah usahamu dengan hati lapang!"

"Baik, lo cianpwe."

"Nah, sekarang engkau boleh berangkat."

Dengan rasa yang berat, Cu Jiang berbangkit lalu memberi hormat:

"Selamat tinggal, locianpwe. Mudah-mudahan kita akan lekas berjumpa kembali."

"Ya, ya, mudah-mudahan aku masih hidup sampai waktu itu. Per. gilah! "

"Harap locianpwe baik2 menjaga diri. " "Dan lagi "

"Oh, apakah lo cianpwe hendak memberi pesan lagi?" "Dua  buah  hal yang perlu kupesan kepadamu.  Pertama,

sembunyikan    dirimu    jangan    engkau   mengatakan  asal

usulmu. Demi menjaga tindakan musuh yang hendak membasmi seluruh keluargamu. Kedua, apabila Thian mengabulkan harapanku dan engkau berhasil menemukan anak perempuanku itu, jangan mengatakan kalau aku masih hidup. Katakan saja . . . aku sudah berada di alam baka      "

Dalam mengatakan ucapan yang terakhir itu, suara Ko- tiong jin agak sember. Air matanyapun berlinang-linang.

Cu Jiangpun ikut terharu sekali.

"Akan kuingat semua pesan locianpwe itu."

Ia terus berbangkit, memandang sejenak kepada Ko- tiong-jin lalu dengan langkah tertatih-tatih ia melangkah ke luar.

Suasana di luar guha masih gelap tertutup kabut pagi sehingga ia tak dapat melihat jelas keadaan di sekeliling. Cu Jiang menuruni lembah. Dicobanya untuk menggunakan ilmu meringankan tubuh. Tetapi karena kakinya cacad, ia tak leluasa berlari. Dengan tertatih-tatih dia berlari, hanya lebih cepat sedikit dari orang biasa.

Teringat akan keadaan itu, kemarahannya memuncak lagi.

Dengan susah payah barulah ia berhasil keluar dari barisan karang tajam dan tiba di saluran air seperti yang dikatakan Ko-tiong jin.

Saluran air itu terletak di bawah batu karang, berasal dari sebuah gua. Karena musim panas, saluran air itupun hanya sedikit airnya. Kalau musim hujan, tentu tak mungkin orang dapat menggunakannya untuk berjalan menembus gua.

Cu Jiang segera merangkak masuk ke dalam terowongan gua itu. Sekonyong-konyong ia berteriak kaget sekali.

Dia terlongong-longong di tepi kubangan air yang merupakan sebuah telaga kecil.

Di permukaan air ia melihat sesosok bayangan yang mengerikan sekali. Rambut terurai kusut, wajahnya penuh dengan noda hitam, pakaian compang camping penuh berlumuran bintik2 percikan darah. Siapapun tentu akan ketakutan apabila melihat bayangan itu.

Cu Jiang tenangkan semangatnya. Memandang keempat penjuru. Tetapi tak tampak barang seorang manusia lainnya. Kembali memandang ke permukaan air, ia masih melihat bayangan yang mengerikan itu.

Tiba2 ia tersadar dan serentak lemas lunglailah kakinya.

Ia terkulai duduk di tanah lalu ia berteriak kalap: "Inilah aku! Ya, aku sendiri, Cu Jiang!"

Habis berteriak kalang kabut, ia tertawa seram. Nadanya penuh dendam dan kedukaan. Air matanya bercucuran.

Untuk pertama kali di permukaan air itu ia dapat melihat roman mukanya. Dan raut mukanya itu ternyata jauh lebih mengerikan dari apa yang di bayangkan.

Adakah manusia seperti diriku sekarang ini layak bertemu muka dengan orang?

Ia bertanya dan bertanya pada dirinya sendiri. Sebagai jawaban, meluaplah dendam kebenciannya. Seluruh pikiran, semangat dan raganya, terbakar hangus oleh dendam kesumat. Dia tak suka kepada segala apa di dunia ini lagi. Dia benci pada dunia. Dendam kesumat telah menghancur leburkan hati nuraninya.

Dendam kesumat, seolah telah menyebabkan jiwanya meninggalkan raga.

Dendam kesumat telah membuat dirinya menjadi manusia yang berobah wataknya. Ia merasa langit telah berubah, bumi berganti dan dirinyapun juga berobah.

"Cu Jiang yang sekarang, bukan Cu Jiang yang dulu lagi," ia meratap dan memberingas.

Akhirnya ia bangkit, meraung raung seperti seekor binatang buas dan dengan langkah terhuyung-huyung ia melintasi terowongan itu, menurutkan aliran air. Beberapa tombak jauhnya, keadaannya gelap sekali sehingga tak dapat melihat tangannya sendiri. Namun ia tetap kalap. Dengan jatuh bangun ia terus lari.

Tubuh Cu Jiang berlumuran darah akibat terbentur dengan dinding terowongan gunung.

Tetapi dia telah mati rasa. Dia tak memikirkan rasa sakit lagi. Hanya lari, ya, lari terus sejauh kakinya masih kuat...

Tiba2 disebelah muka merekah penerangan. Ternyata telah tiba disebuah lorong atau jalanan lembah. Karena kehabisan tenaga dia jatuh di saluran air, napasnya tersengal-sengal keras.

Hampa. Hampa diluar hampa didalam. Pikirannya sehampa langit yang luas.

Tak lama kemudian sang surya mulai memancarkan sinarnya ke penjuru lembah. Awanpun berarak-arak di puncak lembah.

Tanpa terasa karena merendam diri di saluran air, noda darah pada lukanya tercuci bersih, tetapi sebagai gantinya luka itupun memberinya rasa sakit. Dan rasa sakit itu pelahan-lahan menyadarkan pikirannya lagi. Dia segera meninggalkan saluran air. Sinar mentari pagi menghangatkan pula tubuhnya. Pelahan-lahan semangatnyapun segar kembali.

Peristiwa berdarah dalam rumah tangganya kembali terlintas dalam benaknya ....

Paman Liok, Siau Hiang anak perempuan satu-satunya dari paman Liok, bibi Liok . .. ayahnya, mamah, adik perempuan .... mereka telah dibunuh secara kejam oleh musuhnya.

Darah mereka telah menumpah. Darah mereka hanya tinggal dalam dirinya. Dia adalah satu-satunya darah mereka yang masih hidup. Jika dia mati, habislah semuanya.

Tidak !

"Aku tak boleh mati!" Jika aku mati dendam darah itu pasti tak dapat kubalas." kata hatinya. Dam bulatlah sudah keputusannya. Dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian kedua orang tua, adiknya dan kedua bujang Liok serta anaknya itu.

Setelah semangat hidupnya bangkit, dia segera menuju ke arah yang dikehendakinya. Sejam kemudian tibalah dia di tempat pondok paman Liok.

Memandang pondok ditengah hutan belantara yang sunyi senyap itu, dia menghela napas.

"Ah, yang mati, sudah mati. Tetapi yang hidup ini ?"

Dia melangkah masuk kedalam pondok. Dihadapan abu ketiga anak beranak itu. dia tegak berdoa. Setelah itu ia segera melintasi hutan dan menuju ke tempat tinggal ayah bundanya.

Pondok dan segala isi rumah masih sama seperti beberapa hari yang lalu. Hanya ia terkejut ketika melihat sebuah makam. Segera ia menghampiri makam itu.

"Hai, siapakah yang membuat makam ini?"

"Ang Nio cu!" ia berteriak kaget setelah membaca tulisan pada batu nisan itu.

"Mengapa Ang Nio-cu datang kemari? Dan mengapa dia mendirikan makam untuk ayah bundaku ?" keheranan Cu Jiang makin menjadi2.

Ang Nio cu, momok wanita yang  membunuh jiwa manusia seperti membunuh nyamuk, mengapa mau mendirikan makam untuk ayah bunda Cu Jiang.

Aneh! Benar2 aneh. Cu Jiang tertegun dalam kehilangan faham.

Ketika melintasi hutan dan melihat pertandaan dari Ang Nio cu, ia segera mendengar suara momok wanita itu mengancam hendak membunuhnya. Tetapi tiba2 wanita itu merobah keputusannya. Adakah Ang Nio-cu memang mengikuti jejaknya hingga tiba di situ? Jika benar, apakah dia mengetahui tentang peristiwa yang terjadi di sini?

Cu Jiang benar2 bingung.

Dia berlutut dan menelungkupi makam. Ketika tersadar, matahari sudah terbenam. Malam itu dia tidur di makam orang tuanya.

Keesokan harinya, ia berlutut pula di depan nisan makam dan berdoa: "Ayah, mah, adikku berdua. Aku bersumpah akan membalaskan dendam berdarah ini. Sejak saat ini aku tak mau mengucurkan air mata lagi."

Habis bersembahyang, dia berbangkit. Tak berapa jauh dari tempatnya, ia melihat sebatang pedang yang kutung berkilau-kilauan tertimpa sinar matahari. Dikenalinya pedang itu adalah milik ayahnya. Dihampirinya pedang itu lalu di bungkusnya dengan robekan lengan baju dan di simpannya dalam dada bajunya.

Pedangnya sendiri tiga hari yang lalu telah hilang ketika dia di tendang jatuh ke dasar jurang oleh ketiga mahluk aneh itu.

Setelah itu ia kembali berlutut di depan makam dan menghaturkan hormat yang penghabisan kali. Kemudian ia berbangkit dan menuju ke pondok kediamannya.

Dia mencari lemari untuk berganti pakaian. Dengan mengenakan pakaian dari kain kasar dan caping, kini dia berobah menjadi seorang manusia baru. Orang tentu tak kenal lagi bahwa dia adalah Cu Jiang, putera dari Dewa- pedang Cu Beng Ko yang termasyhur.

Selesai berpakaian ia mengambil cermin. Ah, ternyata dia sendiripun tak kenal dengan dirinya yang baru itu.

Dia tak mau bersedih lagi. Yang ada dalam hatinya hanyalah "dendam kesumat". Dia telah bersumpah di hadapan makam kedua ayah-bundanya bahwa sejak saat itu dia tak mau mengucurkan airmata lagi.

Setelah mengemasi bekal yang perlu, dia segera tinggalkan rumah yang penuh kenangan pahit itu.

Racun yang tersimpan dalam kantong pemberian Ko- tiong-jin, memberi peringatan kepadanya. Bahwa untuk membalas dendam, tak mungkin dengan mengandalkan ilmu kepandaian tetapi harus dengan akal. Tak peduli apapun caranya yang penting dendam itu cepat terhimpas.

Soal mencari guru sakti dan  berguru menuntut ilmu kepandaian yang sakti, memang hanya tergantung dari jodoh tetapi tak dapat diharapkan dengan pasti.  Kemanakah dia harus mencari guru sakti ? Dan sampai berapa tinggikah ukuran ilmu-silat yang sakti itu? Jika musuhnya itu benar pemimpin Gedung Hitam, siapakah tokoh dalam dunia persilatan yang mampu melebihi kesaktiannya? Karena jika ada tokoh yang lebih unggul dari pemimpin gerombolan Gedung Hitam, tak mungkin gerombolan Gedung Hitam dapat merajalela dalam dunia persilatan.

Demikian untuk belajar silat hingga mencapai tataran yang tinggi, bukan suatu pekerjaan yang dapat dilakukan dalam setahun dua tahun, tetapi harus bertahun-tahun bahkan belasan tahun. Lalu kapankah dendam itu akan dapat terbalas?

Akhirnya tibalah Cu Jiang di sebuah kota kecil. Dia agak takut. Dia kuatir orang akan takut melihat wajahnya. Pun juga hal itu dapat mengundang peristiwa-peristiwa yang sangat tak diharapkan.

Tetapi dia tak dapat terus menerus mengasingkan diri dan tak mau bertemu orang. Untuk membalas sakit hati ia harus melakukan penyelidikan dan hal itu berarti bahwa ia harus bertemu dan bergaul dengan orang.

Akhirnya ia keraskan hati dan berjalan tertatih-tatih ke arah kota itu.

"Hai..." tiba2 seorang perempuan menjerit, menutupi muka dan lari ketakutan ketika melihat wajah Cu Jiang. Cu Jiang hentikan langkah. Betapa sedih rasa hatinya saat itu, sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dulu setiap mata gadis tentu akan berusaha untuk selalu memandangnya. Tetapi kini mereka tentu akan membuang muka.

Dendam kesumat makin tebal dalam sanubarinya. Beberapa waktu kemudian baru ia timbul keberaniannya untuk melanjutkan masuk ke dalam kota.

Sepanjang jalan banyak orang yang menjerit dan berteriak kaget. Ada yang menghindar, ada pula yang mengikuti untuk melihatnya lebih jelas. Bahkan anak2 yang nakal melemparinya batu.

Ingin sekali dia membunuh mereka. Tetapi mereka rakyat yang tak berdosa dan diapun tak mungkin dapat membunuh habis mereka. Maka ditekannya perasaannya. Dengan sabar ia berjalan.

Pada saat ia masuk yang pertama kali ke dalam sebuah rumah makan, jongos segera deliki mata dan membentaknya:

"Hai, berhenti . . . mau apa engkau!"

Darah Cu Jiang meluap, namun dengan mengertek gigi ia balas bertanya:

"Apa perlunya kalian membuka pintu?"

"Di sini rumah makan, sudah tentu kami  menjual makanan dan minuman."

"Kalau begitu setiap orangpun berhak membeli di sini." "Carilah lain rumah makan saja!"

"Apa maksudmu?" "Dikuatirkan tetamu yang makan di sini akan muntah melihat engkau."

Hawa pembunuhan serentak meluap sehingga sepasang mata Cu Jiang berkilat-kilat memancarkan api, ketika memandang jongos itu.

Jongos itu ketakutan dan menyurut mundur, seorang lelaki pertengahan umur segera melangkah maju. Rupanya dia pemilik rumah makan itu. Dia berhenti dihadapan Cu Jiang dan mengawasinya dengan alis berkerut.

"Apa engkau orang dari desa ?"

Memang pakaian dari kain kasar yang dikenakan Cu Jiang saat itu, biasanya dipakai orang desa.

"Jangan urusi aku orang desa atau orang kota. Aku bisa membayar apa yang kumakan dan minum. Apakah tidak boleh ?"

"Silakan engkau cari lain rumah makan saja." "Tidak ! Aku hendak makan disini."

Lelaki pertengahan umur itu deliki mata lalu membentak:

"Manusia cacat, disini bukan tempatmu main gila !" Ribut2 itu telah mengundang perhatian tetamu2 lain.

Mereka serempak datang melihat. Begitu melihat wajah Cu Jiang, berobahlah cahaya muka mereka. Ada yang muak, ada pula yang kasihan.

"Engkau menghina aku orang cacat?" teriak Cu Jiang. "Apa salah? Apakah engkau ini lelaki yang tampan ?"

Kata2 pemilik rumah makan itu menimbulkan gelak tawa dari sekalian tetamu. Kata2 itu benar2 telah menikam perasaan hati Cu Jiang. Dia tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dangau deliki mata ia membentak:

"Apakah engkau pemilik rumah makan ini?" "Ya."

"Rumah makan yang engkau usahakan ini menjual makanan kepada orang atau tidak ?"

"Ya, tetapi tidak kepadamu."

Saat itu diluar rumah makan telah banyak orang yang iseng melihat ribut2 itu. Mereka juga ikut memperbincangkan wajah Cu Jiang.

"Apa engkau tak menyesal ?" Cu Jiang menegas geram. "Orang cacat, enyahlah, jangan membuat naik darahku !"

bentak pemilik itu.

Wajah Cu Jiang yang seram makin mengerikan ketika memancarkan hawa pembunuhan. Dengan mendengus dia menggeram.

"Hm, engkau sendiri yang minta mati !" Secepat kilat tangan kanannya menyambar. Walaupun kaki yang kiri cacat, tetapi tenaga kepandaian Cu Jiang masih tetap tak hilang.

Sambarannya itu hebat sekali, tak sembarang jago silat dapat menghindari.

"Auh...!" pemilik rumah makan itu menjerit ngeri ketika tubuhnya diangkat seperti anak kecil. Kelima jari Cu Jiang menyusup kedalam daging tubuhnya sehingga darah bercucuran deras. Sekalian orang menjerit kaget. Mereka tak kira bahwa orang desa yang berwajah buruk dan cacat kakinya itu ternyata memiliki kepandaian yang sedemikian hebat.

Jongos segera mengajak kawan-kawannya untuk menyerbu. Ada yang membawa pentung, serok api dan pisau.

"Aduh .. . aduh” Cu Jiang mengangkat tubuh pemilik rumah makan yang diayun-ayunkan sebagai senjata. Kawanan jongos itu tak berani turun tangan dan mereka sendirilah yang mundur karena terbentur dengan senjata istimewa dari Cu Jiang.

"Tuan, ampunilah jiwaku. Aku punya biji mata tetapi tak dapat melihat gunung Thaysan !" pemilik rumah makan menjerit jerit minta ampun.

"Sahabat, jangan !" tiba2 terdengar suara yang menggetarkan telinga Cu Jiang.

Mengangkat muka memandang kedepan, Cu Jiang melihat seorang tua berjenggot putih dan pakaian putih, tengah melangkah masuk. Sikapnya amat berwibawa sekali.

"Lotiang, kojiu dari mana ?" tegur Cu Jiang dengan masih marah.

Dengan pelahan tetapi penuh kekuatan, orang tua berjenggot putih itu menyahut:

"Dengan ilmu kepandaian sahabat yang begitu hebat, masakah sembabat hendak menuruti nafsu kepada penduduk biasa ?"

Mendengar itu Cu Jiang terkesiap. "Aku seorang cacat yang hina!" Orang tua jenggot putih itu tertawa gelak-gelak:

"Mengapa sahabat merendah diri. Lepaskanlah dia !" "Apakah lotiang hendak memintakan ampun untuknya?" "Bila sahabat suka memberi muka kepadaku, akan kusuruh mereka segera mempersiapkan hidangan untuk menghaturkan maaf."

"Ya, aku akan menghaturkan maaf!" teriak pemilik rumah makan yang seperti ayam hendak disembelih.

Cu Jiang lepaskan cengkeramannya, bluk . . pemilik rumah makan itu jatuh ke lantai dan merintih-rintih kesakitan.

Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang, orang tua jenggot putih itu mengangguk, katanya:

"Sahabat, maukah engkau menemani aku minum arak?" Cu Jiang sudah mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tua yang bukan sembarangan. Serentak ia mengangguk:

"Biarlah aku yang mengundang lotiang!"

Orang tua jenggot putih itu segera menarik tangan Cu Jiang diajak masuk ke dalam. Dia memilih sebuah tempat di ujung ruang yang sepi.

Setelah ditolong oleh jongos, pemilik rumah makanpun berteriak-teriak:

"Lekas siapkan hidangan . . . menghaturkan maaf."

Dengan wajah cemberut, jongospun segera menyiapkan hidangan. Tetamu2pun kembali ke tempat duduknya lagi. Hanya pandang mereka senantiasa mencurah ke arah Cu Jiang.

Setelah duduk, Cu Jiang segera bertanya nama orang tua itu.

"Aku orang she Gong." "Gong?" "Ya Apakah engkau belum pernah mendengar she itu?" "Baru pertama kali ini."

"Dan siapakah namamu?"

Cu Jiang teringat akan pesan Ko-tiong-jin agar jangan membuka rahasia dirinya. Maka ia segera memberi keterangan:

"Karena sejak kecil menderita nasib yang malang dan terlunta lunta, she-ku sudah tak pernah kupakai lagi. Yang hanya menyebutku sebagai Gok ji. "

"Gok-ji?" ulang orang tua berjenggot putih.  Gok-ji artinya Anak sengsara. "Ah, Gok-ji memang suatu nama yang istimewa dan dalam sekali artinya."

Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 orang tua itu. Ia tahu bahwa orang tua itu tentu seorang yang aneh juga.

Saat itu jongos datang membawa hidangan makanan dan arak. Kedua orang itupun segera makan.

Entah apa yang sedang dipikir orang tua itu. Diam2 Cu Jiang merasa heran akan kemunculan orang tua itu yang secara tiba2- Dia tak tahu siapa sebenarnya orang tua itu dan apa tujuannya. Jika dia seorang musuh, baiklah ia berhati-hati menghadapinya.

Takaran minum orang tua itu hebat benar. Setiap habis dia tentu mengisi lagi cawannya dan terus diteguknya sehingga poci arak yang dibawakan jongos itu habis isinya.

Diam2 Cu Jiang semakin waspada. Setelah meneguk secawan, ia minta maaf dan mulai makan nasi. Tetapi orang tua itu terus saja minum arak. Delapan poci yang dibawa si jongos berturut-turut, telah diludaskan semua. Sekalian tetamu leletkan lidah karena heran. Setelah kenyang. Cu Jiang letakkan mangkuknya demikian pula orang tua itu.

"Mari kita pergi!" kata orang tua itu.

Cu Jiang terbeliak, serunya: "Pergi? Ke mana? "

Rupanya dengan mengucapkan ajakannya tadi, orang tua itu sudah berbangkit dan terus ngeloyor. Ia berpaling, sahutnya:

"Pindah ke lain tempat!"

Cu Jiang makin tergetar hatinya. Dia belum tahu asal- usul orang tua itu dan baru saja ia mengenalnya di rumah makan situ.

Orang tua itu hanya menyebutkan orang she Gong,  tetapi tak mengatakan siapa namanya. Pada hal dalam dunia ini, tak ada orang yang menggunakan she Gong.

"Aneh, mengapa dia mengajak aku pindah ke tempat lain? Untuk apa? Bercakap-cakap? Apa yang  dipercakapkan? Aku tak kenal kepadanya, " diam2 Cu Jiang membatin. Kemudian ia merangkai dugaan andaikata orang tua itu tertarik perhatiannya kepada dirinya? Ah tak mungkin. Dia membantah pikirannya sendiri. Masakan pemuda berwajah seperti dirinya, dapat menarik perhatian orang.

"Adakah dia bermaksud jahat?" pikirnya pula. Tetapi dia membantah lagi, "Ah, tak mungkin. Bukankah dia sudah berganti wajah? Tak mungkin orang akan mengenali bahwa aku adalah pemuda Cu Jiang yang tampan dulu. "

Saat itu orang tua sudah tiba di ambang pintu. Akhirnya timbullah pikiran Cu Jiang untuk mengetahui siapakah orang tua itu dan apakah maksudnya mengajak dia. Dia serentak berbangkit, mengambil sekeping hancuran perak dan diletakkan di atas meja sebagai pembayarannya.

"Tidak usah, tuan. Majikan kami mengatakan memang sengaja hendak menghidangkan makanan dan arak selaku permohonan maaf kepada tuan, " jongos bergegas menghampiri.

Cu Jiang deliki mata. "Tak perlu ! "

Dia terus melangkah menyusul si orang tua. Keduanya melangkah ke luar. Sepanjang jalan, setiap orang yang melihat Cu Jiang tentu terkejut ngeri.

Sampai di sebuah tempat sepi di luar kota, Cu Jiang hentikan langkah dan berseru:

"Apakah yang lotiang hendak katakan kepadaku?"

Orang tua itupun berhenti, berpaling dan tegak berhadapan dengan Cu Jiang.

"Sahabat, apakah engkau benar bernama Gok ji?" "Benar. Mengapa lotiang bertanya begitu?"

"Dengan tujuan apa sahabat merusakkan tubuhmu sendiri?" tanya si orang tua.

"Aku tak mengerti."

"Pada jaman dahulu, Ong Cu telah mengutungi lengannya sendiri kemudian pura2 menyerah pada bangsa Kim. Tujuannya tak lain ialah hendak membebaskan Liok Ban Liong, putera dari menteri negeri Kim yang setia tetapi terkena fitnah. Ong Cupun menggunakan nama Gok-jin. Apakah sahabat juga hendak mencontoh cerita itu ?"

Mendengar itu Cu Jiang tertawa gelak2. "Sungguh kebetulan sekali. Itu hanya kebetulan saja sama. Lotiang terlalu jauh membuat penilaian."

"Katakan hal itu memang secara kebetulan sama," kata orang tua Itu dengan nada tegang, "tetapi kata2 sahabat itu tidak sungguh2, mudah sekali diketahui. . ."

"Bagaimana lotiang mudah mengetahuinya?"

"Kesatu, pakaianmu dengan tindakan kata-katamu tidak sepadan. Kedua, sinar matamu juga berkilat kilat tajam, menandakan ada sesuatu yang terkandung dalam hatimu. Ketiga, gerakan tanganmu tadi bukan main hebatnya. Bagi orang yang ahli, jelas tentu mengetahui bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat yang hebat, Keempat, melihat tingkah lakumu, jelas baru saja. Entah karena apa, tetapi yang jelas bukan pembawaan sejak kecil. Dan tak mungkin sejak kecil engkau diberi nama Gok-ji. Bagaimana pendapatmu, salahkah penilaianku ini?"

Karena isi hatinya di buka, keringat dingin pun bercucuran membasahi tubuh Cu Jiang. Tajam sekali pandang mata orang tua itu sehingga sekali lihat dia sudah dapat mengetahui tentang diri nya.

"Ah, kalau musuh juga dapat menilai begitu, tentu sukarlah aku menyembunyikan diriku," diam-diam ia mengeluh.

Seketika timbul keinginannya untuk mengetahui siapa sesungguhnya orang tua itu.

"Kalau menurut pendapat lo-tiang sendiri, bagaimana?" ia balas bertanya.

"Sahabat tentu berasal dari keluarga yang ternama dan sahabatpun mempunyai bahan tulang yang bagus sekali. Sebab apa sahabat menyembunyikan muka sahabat yang sesungguhnya?" kata orang tua itu pula. "Apakah aku boleh menyangkal pandangan lo-tiang?"

"Aku tak bermaksud menyelidiki urusan peribadi orang Benar atau salah dugaanku tadi, bukan soal yang penting bagiku."

"Tetapi lotiang memanggil aku kemari, tentu akan memberi suatu petunjuk, bukan?"

"Tentu."

"Silahkan lotiang memberitahu."

"Aku hendak mencari seorang pewaris yang lain dari yang lain . . ."

"Lotiang menjatuhkan pilihan padaku?" "Benar."

Cu Jiang tertawa keras. "Mengapa lotiang memilih diriku seorang yang cacat begini?"

"Aku tertarik sekali dengan bahan tulangmu!" Seketika teringatlah Cu Jiang akan paderi Thian-hian-cu dan imam Go-leng-cu yang juga ingin mengambil murid kepadanya dengan alasan begitu juga.

"Apakah lotiang hendak menjadikan diriku seorang jago yang mampu menandingi selaksa orang?"

"Ada kemungkinan begitu." Cu jiang terkejut. Jika demikian tentu orang tua itu seorang yang sakti sekali.

"Sahabat, apakah engkau tak pernah mendengar bahwa warna hijau itu berasal dari biru dan lebih tua dari biru . . ."

Memang dalam hati Cu Jiang sudah memutuskan untuk mencari jalan melaksanakan pembalasan dendam keluarganya. Sudah tentu tidak begitu mudah dia terpikat oleh kata2 dari seorang yang belum dikenalnya. Serentak ia memberi hormat dan berkata: "Ai, aku tak berharga buat lotiang. Terima kasih sekali atas perhatian lotiang!"

Seketika berobah cahaya wajah orang tua itu, serunya: "Janganlah sahabat melewatkan kesempatan yang jarang

terdapat ini."

Tanpa ragu Cu Jiang menjawab: "Seorang cacat seperti diriku, bagaimana berani memiliki harapan besar. Maafkanlah apabila aku tak dapat memenuhi harapan lotiang."

Habis berkata ia segera melangkah pergi. Orang tua itu mengejarnya. "Apakah sahabat menganggap aku membual? Ingin bukti ?"

Makin orang itu penasaran, makin Cu Jiang ingin lekas2 menghindarkan diri.

"Ah, tak usah," katanya menjawab pertanyaan orang tua yang hendak mengunjukkan bukti.

Orang tua itu menghela napas dan berkata seorang diri: "Bahan yang bagus memang sukar diperoleh. Tak

berjodoh memang menjengkelkan."

Namun walaupun mendengar, Cu Jiang tetap lanjutkan langkah. Dia sudah mempunyai ketetapan takkan mengunjukkan jejak dirinya agar jangan diketahui musuh.

Diam2 ia geli terhadap orang tua itu. Ia heran mengapa banyak sekali orang yang ingin mengangkatnya sebagai murid.

Kalau dulu dia memang mungkin tertarik. Tetapi sekarang, cita2nya tak banyak lagi. Dia sudah putus asa, sudah dapat melakukan pembalasan kepada musuhnya.

Ooood£woooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar