Pusaka Negeri Tayli Jilid 01

Jilid 1 

Gunung Jong san terkenal sebagai gunung batu marmar yang indah. Luarnya meliputi beratus-ratus li.

Puncak gunung yang terletak diwilayah Hun-lam itu, sepanjang tahun tertutup kabut. Di musim dingin, kabut itu menjadi gumpalan salju putih. Puncak yang tertutup salju abadi. Demikian orang menjulukinya, karena sepanjang tahun salju itu tak pernah cair.

Negeri Tayli terletak di tengah-tengah pegunungan itu. Karena letaknya itu maka negeri Tay-li memiliki keindahan alam yang tiada taranya.

Negeri yang kecil mungil itu, memiliki kebudayaan tersendiri. Istana, bangunan dan peradabannya masih murni. Tetapi sekalipun begitu, tak terhindar juga dari beberapa pengaruh kebudayaan luar juga.

Pendiri dari kerajaan Tayli, seorang marga Toan, bergelar Toan Hong-ya. Dia mengangkat diri sebagai raja yang dipertuan dari negeri Tayli.

Pada masa tahun ketiga berdirinya kerajaan Tayli, Sippat-thian mo atau Delapan-belas iblis-langit dari daerah Tionggoan serempak menuju ke gunung Jong san. Tujuan mereka hendak mencari dua buah mustika pusaka kerajaan Tayli.

Kim-cu-giok-pay atau Ikat-pinggang bertabur ratna mutu manikam. Dan kitab Giok-Ka-kim-keng atau Kitab-emas dalam kotak kumala, Kedua benda itu merupakan pusaka negeri Tayli yang termasyhur dalam dunia persilatan sebagai benda yang tak ternilai harganya. Kitab Giok-ka-kim-keng sebuah kitab pusaka kuno yang berisi ilmu pelajaran silat sakti. Barang siapa yang mendapatkannya, tentu akan dapat menjagoi dunia persilatan.

Baginda Toan Hong-ya juga gemar ilmu silat. Dalam kerajaannya. ia mempunyai pengawal2 yang berbakat dan berkepandaian tinggi.

Setiap kaum persilatan, se dunia persilatan menitikkan air liur mendengar nama kitab Giok-ka-kim-keng, namun apabila membayangkan jago2 sakti Tayli, nyali merekapun menyurut, tiada seorangpun yang berani  coba2 mengunjungi daerah selatan itu.

Sip-pat-thian-mo atau iblis langit, termasyhur sebagai tokoh dunia persilatan di Tiong goan, tiada seorang jago persilatanpun yang tak gemetar mendengar nama mereka. Merekapun mendengar akan kitab Giok ka-kim-keng itu  dan berniat untuk memilikinya dan pergi ke negeri Tayli.

Namun selama berpuluh tahun lamanya, tiada seorangpun yang mengetahui jejak mereka, seolah-olah lenyap begitu saja.

Beberapa tahun kemudian nampak seorang padri dan seorang imam memberanikan diri menuju ke negeri Tayli, mereka tidak masuk kedalam kota kerajaan melainkan langsung menuju ke gunung Jong-san.

Dalam semalaman mereka mendaki, pada hari itu, mereka tiba di bawah sebuah jajaran batu dan kedua padri itu saling tukar pandang.

Mata si paderi itu berkilat-kilat memandang pada jajaran batu. Lama sekali ia dalam keadaan seperti orang merenung. "Benar!" tiba2 ia bertepuk tangan lalu tertawa gembira, "Kim-toh-tin yang dirobah dari barisan Pat-tin-tho ciptaan Cukat Su-hou!"

Kim-toh-tin artinya barisan Kunci emas.

"Gong-gong-cu menganggap tempat ini sebagai ujung dunia. . ." kata paderi itu pula.

"Apakah kemungkinan kitab Giok-ka-kim-keng ini berada di dalamnya?" tanya imam tua.

"Pasti begitu," sahut si paderi, " hayo kita serbu saja ke dalam!"

Dengan kepandaiannya yang tinggi, kedua paderi dan imam itu mulai menyerbu dari dua arah. Mereka menghancurkan jajaran batu2 itu kemudian dengan tertawa gembira keduanya masuk kedalam gua.

Tiba di mulut gua, imam tua berkata:

"Hud heng, barisan batu telah kita bobol, tetapi apakah  di dalam gua masih terdapat rintangan lagi?"

Baru ia berkata begitu, tiba2 dari dalam gua terdengar letusan dahsyat. Menyusul belasan sosok bayangan manusia berhamburan keluar.

Kejut kedua paderi dan imam itu bukan kepalang. Mahluk2 yang keluar dari gua itu benar2 mengerikan sekali.

Tubuh mereka rata2 tak utuh lagi. Wajahnya menyeramkan, rambut dan jenggotnya terurai memanjang. Tiga bagian menyerupai manusia, tujuh bagian seperti setan.

Paderi dan imam tua itu terlongong-longong. . . .

Manusia2 mengerikan itu berjumlah delapan belas orang. Mereka mengepung kedua paderi dan imam itu di tengah. Kemudian salah seorang dari kawanan  manusia mengerikan itu tertawa gelak-gelak dan berseru:

"Bagaimana kalau kita bagi keuntungan?" Seorang manusia mengerikan yang lain berteriak keras mencegah:

"Jangan! Jika bukan mereka berdua yang membobolkan barisan, tentulah kita seumur hidup takkan melihat sinar matahari lagi. sekali ini kita beri ampun mereka!"

"Kalau begitu kita pergi saja." "Ya, hayo pergi !"

Terdengar suara hiruk pikuk dan ke delapan belas manusia mengerikan itupun segera lari seperti terbang.

Setelah mereka lenyap barulah si imam tua berkata: "Hud-heng, mereka tentulah Sip-pat-thian-mo yang

termasyhur itu!"

"Omitohud." seru paderi itu, "to-heng, kita telah menempuh bencana besar ..."

Tepat pada saat itu seorang tua berambut putih bergegas- gegas lari mendatangi. Serentak dia banting2 kaki.

"Thian-hiancu, Go-leng-cu, karena nafsu kalian yang temaha, kalian telah menimbulkan bencana besar dalam dunia persilatan, ah, takdir.."

Kedua paderi dan imam itu termenung diam.

"Bu-lim Sam-cu jika tak berusaha untuk mencegah bencana ini, harus menebus dosa dengan membunuh diri" seru orang tua berambut putih yang baru datang itu.

Imam tua mengangkat muka dan berseru: "Gong-gongcu mengapa engkau tak lebih dulu memberi tahu  bahwa tempat ini menjadi tempat penjara bagi kawanan Sip-pat- thian-mo?" Orang tua berambut putih itu menyahut dengan nyaring:

"Jika memberi tanda dengan terang2an, bukankah anak buah Sip pat thian mo akan mengobrak abrik kerajaan Tayli?"

Tiba2 setiap gelombang badai melanda. Dari udara segera berhamburan salju. Dalam waktu sekejap saja. tempat dan sekeliling ketiga orang itu berdiri telah tertutup salju.

Demikian pula mereka bertiga.

-®®®0dw0®®®-

Setiap musim semi tiba, alam pemandangan di wilayah Kanglam sangat indah. Burung2 berkicau, bunga2 bermekaran, rumput2 menghijau.

Ketika matahari menjulang sepenggalah tingginya, di jalan besar yang merentang antara wilayah Sujwan Hopak, seekor kuda tegar tengah mencongklang pesat.

Penunggang kuda itu seorang pelajar baju putih, wajah berseri-seri, bibir merah, alisnya yang lebat menjulang hingga ke pelipis. Cakap dan gagah sekali. Disamping pelana kuda, terselip sebatang pedang yang  berwarna legam.

Tiba2 pelajar pemuda itu bersenandung: Indah nian wilayah Kanglam.

Alamnya nan selalu meriah

bunga2 bermekaran merah menyala. Air bengawan hijau ke biru2an Mengetuk hati selalu terkenang..." Sehabis bersenandung, ia berkata seorang diri pula: "Ah, perjalanan harus berganti dengan kendaraan air, betapa hati merasa sayang tetapi kuatir ayabunda gelisah menanti. . ."

"Aha, sungguh romantis anda ini? Apakah habis pesiar di daerah Kanglam?"

Tiba2 seorang berseru dalam nada parau. Pelajar itu kerutkan alis dan hentikan kuda nya. Ia berpaling.

"Totiang seorang imam, mengapa tak tahu diri?" serunya agak kurang senang.

Ternyata yang berseru dan belakang itu seorang imam tua yang jubahnya tak keruan tetapi mukanya bersih.

Sambil mengurut-urut jenggot, imam tua itu tertawa mengikik:

"Anda seorang pemuda yang gagah perkasa, bagaimana aku tak mengetahui?"

Pelajar itu tertawa angkuh.

"Sudah tiga hari lamanya totiang terus menerus membuntuti aku. Apakah maksud totiang?"

Imam tua itu mengangguk.

"Bertemu itu tandanya berjodoh. Marilah kita berbicara soal jodoh itu..."

Dengan tertawa dingin pemuda itu menukas:

"Aku tak mengerti soal jodoh, silahkan totiang melanjutkan perjalanan."

"Mengapa anda menolak orang yang datang dari seribu li jauhnya?" seru imam itu.

"O. apakah totiang memang mengikuti perjalananku?" balas pelajar itu. "Karena pinto tak mau melewatkan "jodoh" itu begitu saja."

Tampaknya kuda pelajar itu tak sabar lagi. Berulang kali kuda itu melonjak-lonjak seperti minta kepada tuannya supaya berjalan lagi.

Imam itu melesat ke hadapan pemuda pelajar yang saat itu tengah mengemasi duduknya dengan tegak. Ketika memandang imam itu ia berseru:

"O, kiranya totiang itu Thian-hian-cu totiang dari tiga serangkai Bu-lim sam-cu ..."

"Ha, ha, ha, ha!" ia itu tertawa, "tajam benar penglihatanmu, anak muda. Ya, aku memang Thian-hian- cu."

"Totiang hendak memberi petunjuk apa kepadaku?" "Engkau belum menghayati apa yang kukatakan tentu

kata "jodoh" tadi."

"Maafkan kebodohanku. Aku memang tak mengerti maksud totiang !"

"Apakah engkau pura2 tak mengerti?"

Wajah yang cakap dan pelajar itu   agak berubah cahayanya. .

"Mengapa totiang hendak main teka-teki kepadaku?" serunya.

Thian-hian-cu kerutkan alis.

"Anak muda . . . engkau memiliki dasar kepandaian ilmu silat yang bagus . . ."

"Ah apa artinya ilmu silat cakar kucing semacam yang kumiliki itu." sahut pelajar dengan nada hambar. "boleh tahu siapa namamu?" "Aku she Cu nama Jiang." "Nama perguruan?"

"Ini . . . maaf tak dapat memberitahukan." Thian-hian-cu kerutkan dahi merenung sejenak lalu berkata. "Ada sesuatu yang hendak kukatakan kepadamu "

"Silahkan," kata Cu Jiang.

"Dengan bakat yang engkau miliki itu, apabila mendapat petunjuk yang hebat, tentu akan memperoleh hasil yang luar biasa."

Cu Jiang tersenyum.

"Aku mengerti maksud totiang." "Mengerti bagaimana?"

"Apa yang totiang katakan "berjodoh" itu kemungkinan bukan jodoh. Karena aku tak menginginkan hati yang luar biasa. Sampai jumpa lagi!"

Habis berkata ia terus memacu kudanya berjalan perlahan-lahan.

Imam Thian hian-cu tertegun. Sambil memandang bayangan pemuda itu ia berkata seorang diri:

"Siapakah pemuda yang begitu jumawa itu? Pada umumnya, setiap orang persilatan yang mendapat rejeki memperoleh petunjuk dari salah seorang Bu lim Sam cu, tentu akan girang setengah mati. Tetapi dia sedikitpun tak tertarik. Sejenak berhenti dia berkata, lagi: "Tetapi soal itu menyangkut masalah besar, kalau kesempatan ini terlepas kemanakah aku harus mencari lagi? Bila perlu terpaksa aku harus membuang gengsi!" Sekali kebutkan lengan jubah, tubuh imam itupun segera meluncur bagai air mengalir deras, mengejar pemuda tadi.

Walaupun tak berpaling tetapi Cu Jiang dapat merasa bahwa imam itu mengejarnya. Ia segera mengeprak kuda dan mencongklangkannya dengan pesat menuju ke arah matahari terbenam.

Melintasi sebuah hutan, barulah terdapat tempat menginap.

Tetapi tiba di muka hutan, kudanya berhenti dan meringkik sekeras-kerasnya seraya mengangkat kaki depan tinggi2 ke atas: Binatang itu tak mau memasuki hutan.

Cu Jiang hampir kewalahan. Ia heran. Ketika memandang ke sekeliling, wajahnya serentak berobah.

Tampak ditengah jalan yang merentang ketengah hutan itu terkapar tujuh delapan sosok mayat yang memenuhi jalanan.

Cu Jiang loncat turun, mengelus-elus kepala kudanya kemudian melangkah pelahan-lahan ke muka, menghampiri tumpukan mayat itu.

Ternyata mayat2 itu terdiri dari orang persilatan semua. Senjata mereka masih terselip di tubuh masing2 seperti belum digunakan. Tetapi mereka sudah mati.

Dengan begitu jelaslah bahwa musuhnya tentu seorang yang berilmu tinggi sekali.

Ketika memeriksa dengan seksama, ternyata wajah mereka menunjukkan ketenangan, seperti orang yang sedang tidur nyenyak. Juga tiada bekas2 luka pada tubuh mereka. Hanya pada alis mereka terdapat bekas noda warna ungu sebesar kedele. "Jari-terbang." serentak pelajar itu berteriak kaget, "apakah dia . . . Ang Nio-cu!"

Memeriksa ke sekeliling, ternyata dia dapat menemukan tanda ciri pengenal dari Ang Nio-cu. Pada sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan tergantung sehelai kain mantel wanita berwarna merah. Warna yang menyolok mata sekali.

Segera teringat dalam perjalanan pesiar ke daerah Kanglam kali ini, ketika berada di menara Lui-hong-tha telaga Se-ou, Iapun mengalami peristiwa pembunuhan ngeri semacam itu.

Ang Nio cu adalah seorang Iblis atau momok wanita dalam dunia persilatan yang paling ditakuti oleh orang persilatan, baik dari golongan Putih maupun Hitam.

Tetapi sejauh itu, tiada seorang persilatan pun yang pernah melihat bagaimana wajah wanita itu.

Menurut kabar, dia adalah ahli waris dari perguruan Hiat-ing-bun atau perguruan Bayangan darah.

Setelah tertegun beberapa saat. Cu Jing pun naik kuda, mengitari tumpukan mayat ia terus menyusup ke dalam hutan.

Tiba2 dari arah bagian dalam dari hutan itu berkumandang tertiup angin suara tertawa yang dingin. Hanya suaranya, tetapi tiada tampak orangnya.

Cu Jiang tergetar. Ia menyadari bahwa melintasi tempat yang terdapat tanda pengenal dari Ang Nio-cu, merupakan pelanggaran besar.

Tetapi pelajar yang masih berdarah panas itu tak peduli. Dia tak mau kembali lagi. Tiba2 terdengar suara orang berseru: "Berani melanggar tanda pengenalku ini, rasanya baru engkau yang pertama!"

Walaupun nadanya dingin dan bengis tetapi kumandangnya melengking nyaring. Cu Jiang menduga orang itu tentulah masih muda juga. Cu Jiang hentikan kuda dan berseru: "Apakah anda ini yang bergelar Ang Nio- cu?"

"Benar."

"Aku tergesa-gesa menempuh perjalanan, tolong berikan kelonggaran sekali saja," kata Cu Jiang.

"Tidak ada pengecualian!" Dalam berkata-kata itu diam2 Cu Jiang memperhatikan arah suara itu. Tetapi, arahnya sukar di duga, seperti dari jauh tetapipun seperti dekat.

Akhirnya ia mengertek gigi, berseru:

"Lalu bagaimana maksud anda?" "Tinggalkan jiwamu!"

"Jika aku menolak?"

"Tak ada jawaban semacam itu."

Cu Jiang loncat turun dari kudanya dan berseru dengan angkuh.

"Aku tak mau kembali lagi!"

"Memang kalau mau kembalipun sudah terlambat!"  "Jika anda meminta nyawaku, silahkan ke mari

mengambilnya."

Cu Jiang terus siap sedia. Sekalipun begitu hatinya kebat kebit tak keruan. Ia menyadari telah naik diatas punggung macan. Daripada turun di makan binatang itu lebih baik ia bulatkan tekad untuk menghadapinya. Tapi sampai beberapa saat belum juga terjadi apa2. Cu Jiang heran. Pikirnya: "Bagaimana kah sebenarnya wujud momok wanita itu? Dia hendak menggunakan cara apa untuk membunuh aku? Pertempuran nanti tentu mengerikan sekali."

Sejenak ia melirik pada pedang pusaka yang terselip di pelana kuda, diam2 wajahnya membesi.

Tiba2 terdengar suara Ang Nio-cu yang melengking dingin itu pula:

"Anak kambing memang tak takut pada harimau!" "Jangan terkebur!" sahut Cu Jiang dengan angkuh.

"Apakah engkau tak tahu bahwa barang siapa yang bersalah kepadaku temu takkan terhindar dari kematian?" seru Ang Nio cu pula.

"Aku tak menghiraukan soal begitu."

"Ah, engkau benar2 keras kepala seperti pelajar kutu buku yang tolol. .. Hm, apakah engkau tak tahu akan arti Hidup dan Mati itu?"

"Sebagai seorang persilatan, mengapa harus memperhitungkan soal mati dan hidup?" balas Cu Jiang.

"Hai, nada bicaramu sok jagoan sekali!"

"Ang Niocu, jangan terlalu menghina kepadaku!"  seru Cu Jiang.

"Ha, ha, ha, ha "

Terdengar momok yang disebut Ang Nio-cu itu tertawa nyaring.

Cu Jiang meluap amarahnya. Dia masih muda, darahnya masih panas. "Ang Nio-cu, jangan sembunyikan kepala unjukkan ekor, Kalau memang hendak mengambil jiwaku, silahkan keluarlah!" ia menantang.

"Engkoh kecil, rupanya engkau sudah bosan hidup? Aha, sudah berapa tahunkah engkau makan nasi?" diluar dugaan, momok Ang Nio-cu itu masih menggodanya.

"Huh . ." Cu Jiang mendesah.

"Siapa namamu?" seru Ang Nio-cu pula. "Tak perlu memberitahu kepadamu!"

"Namamu Cu Jiang, benar kan?" Cu Jiang terkejut. "Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya lagi!"

Baru Cu Jiang menjawab begitu tiba2 terdengar derap kuda mencongklang jauh. Tiga ekor kuda lari membinal menerobos ke dalam hutan situ.

Cu Jiang berpaling. Ia terkejut. Siapakah ke tiga penunggang kuda yang berani melanggar tanda pengenal Ang Nio cu itu? Adakah mereka juga tak takut terhadap Ang Nio-cu si momok wanita itu?

Tepat pada saat itu ketiga penunggang kuda itupun tiba dihadapannya. Mereka berhenti dengan mendadak sehingga menimbulkan debu tebal yang melumuri pakaian Cu Jiang sampai berobah kelabu warnanya.

Cu Jiang deliki mata ke arah ketiga penunggang  kuda itu. Mereka terdiri dari orang tua berbaju hitam yang berwajah seram. Mata mereka mencurah ke arah Cu Jiang.

Salah seorang yang memelihara jenggot kambing segera berseru dengan nada tak enak di dengar:

"Hai, budak, apakah engkau melihat seorang budak perempuan lalu di tempat ini?" "Ha, lihat, engkau belum, minta maaf atas perbuatanmu mengotori pakaianku begini rupa!" sahut Cu Jiang.

"Apa? Ha, ha, ha, ha . . ." ketiga orang tua itu tertawa keras.

"Ini bukan lelucon!" bentak Cu Jiang marah.

Salah seorang yang pipinya terdapat bekas luka tergurat golok dan sikapnya seperti seorang banci, berseru:

"Kunyuk kecil, sikapmu seperti seorang yang berbakat bagus tetapi engkau begitu tolol!"

Habis berkata ia tertawa gelak2.

Merah muka Gu Jiang mendengar kata2 si banci itu, bentaknya keras2:

"Anda seorang tua, mengapa anda berbicara  tanpa aturan sedikitpun juga?"

"Tata cara ? tata cara apa ?"

"Silahkan pikir sendiri !" sahut Cu Jiang.

"Ha, ha. engkoh kecil, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi !"

"Aku tak ingin menjawab !"

"Ho, budak, rupanya engkau bosan hidup..ya?" "Kenapa ?"

"Tahukah engkau siapa aku ini ?" "Tidak tahu dan tak ingin tahu."

"Tak ingin tahupun tetap kuberitahu. Pernah dengar nama Tiga harimau-Sujwan ?"

Sujwan nama sebuah propinsi. Diam2 Cu Jiang terkejut. Tak disangkanya bahwa orang tua itu ternyata salah seorang momok golongan hitam yang termasyhur sebagai Tiga-harimau Sujwan.

Ketiga momok itu memang sakti tetapi ganasnya bukan kepalang, Biasanya mereka selalu muncul bertiga, bertempur bertiga. Setiap kaum  persilatan mengatakan, lebih suka bertemu dengan bangsa setan seribu, daripada dengan Tiga-harimau-Sujwan."

Tetapi Cu Jiang masih muda. Darahnya masih panas.

Apalagi dia penasaran karena diperlakukan remeh.

Dia tak mempedulikan siapa orang tua itu. Seketika ia berseru nyaring:

"Aha, sudah lama aku mendengar nama kalian yang mengerikan!"

Orang tua jenggot kambing tadi tertawa seram:

"Budak, engkau berteriak tak tahu mati, berani ngoceh sembarangan saja. Bagiku lebih mudah membunuh seorang manusia daripada seekor semut. Apakah engkau sungguh2 sudah bosan hidup ?"

Orang tua bermata segi-tiga yang lainnya, ikut bersuara.

Suaranya nyaring seperti genderang ditabuh:

"Toako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Mari kita lekas lanjutkan perjalanan, jangan sampai  budak perempuan itu lolos .. ."

"Perlu turun tangan ?"

"Tak usah, biarkan dia menyelesaikan dirinya sendiri." Lelaki tua yang wajahnya berhias bekas guratan golok,

memandang Cu Jiang, serunya:

"Budak, engkau dengar tidak?" "Apa ?" sahut Cu Jiang.

"Lekas engkau bunuh diri sendiri !" "Bunuh diri ? Mengapa ?"

"Kami bertiga tak pernah turun tangan terhadap bangsa budak kecil!"

Dada Cu Jiang serasa meledak.

Tiba2 terdengar setiap suara tawa dingin. Datangnya dari bagian dalam hutan.

Orang tua berjenggot kambing tertawa mengekeh:

"Ho, budak kecil, makanya engkau begitu berani mati, kiranya engkau mempunyai tiang andalan."

"Hai, sahabat yang bersembunyi didalam hutan, silahkan keluar!" teriak lelaki tua bermata segitiga.

Tetapi tiada penyahutan dari dalam hutan.

"Kalau keluar, kalian tentu mampus !" tiba2 Cu Jiang mencemooh.

"Sungguh besar sekali mulutmu ! Siapakah yang berada dalam hutan itu?"

"Ang Nio cu !" sahut Cu Jiang.

"Hai!" serempak Tiga-harimau-Sujwan itu berteriak kaget, "apa katamu ?"

"Ang Nio cu !" Cu Jiang mengulang.

Ketiga momok itu saling bertukar pandang. Tampaknya mereka siap hendak kabur.

"Tunggu dulu!" tiba2 orang tua bermuka bekas luka golok berseru, "budak itu mungkin hanya mengacau saja. Mengapa tak kelihatan pertandaannya ?" Kedua kawannya celingukan kesana kemari.  Tiba2 wajah si jenggot kambing berobah lesu. Menunjuk pada sebatang pohon dia berteriak:

"Hayo, cepat kita pergi !"

Habis berkata si jenggot kambing terus loncat keatas  kuda dan melarikannya. Kedua kawannya terpaksa mengikuti juga.

Kiranya si jenggot kambing tadi telah melihat mantel merah yang tersangkut pada cabang sebatang pohon.

Cu Jiang tak mau cari perkara. Dia biarkan saja ke tiga momok itu melarikan diri. Diam2 dia heran mengapa sampai saat itu Ang Nio-cu belum juga menampakkan diri.

Terdengar derap kuda ketiga durjana diri Su-jwan itu telah mencapai berpuluh-puluh tombak jauhnya.

"Aaah .... ahhh . . . aah..."

Terdengar tiga buah jeritan ngeri. Cu Jiang terkejut. Cepat ia menceplak kudanya dan mencongklang ke muka. Tak berapa lama ia terkesiap.

Tiga-harimau Sujwan, telah terkapar malang melintang menjadi mayat di tanah. Pada dahi mereka terdapat sebintik pekat warna ungu. Ah, merekapun telah mati dibawah ilmu Hui ci atau Jari-terbang dari Ang Nio-cu.

Cu Jiang turun dari kudanya. Memang sikapnya tampak tenang tetapi sesungguhnya hatinya berdebar keras. Ia menyadari bahwa situasi yang dihadapi saat itu sangat berbahaya.

Tiga - harimau Sujwan yang termasyhur dan berilmu tinggi, dalam waktu singkat saja sudah hancur. Kepandaian Ang Nio-cu benar2 menakjubkan sekali ! Tetapi Cu Jiang tak mempunyai pikiran untuk melarikan diri. Dia tak takut mati. Hanya apabila dia sampai mati, dia membayangkan betapa hancur hati kedua orang tuanya nanti.

Dia sudah berjanji kepada orang tuanya akan pulang menurut waktu yang dijanjikannya. Apabila dia sampai tak pulang, betapa bingung perasaan ke dua orang tuanya nanti?

Memikirkan keadaan orang tuanya, dia segera mengambil kertas dan pena dari tas bukunya yang  ditaruh di pelana kuda. Segera ia menulis:

"Ayah bunda yang tercinta,

Tak disangka sangka dalam perjalanan pulang anak telah menderita halangan. Anak belum tahu dapatkah anak menghadapi halangan itu dengan selamat. Sebenarnya anak merasa tak berbakti karena tak mau menghindari halangan itu. Tetapi mengingat, anak ini keturunan keluarga ksatria, maka anakpun tak mau bersikap pengecut dan akan menghadapinya dengan sekuat tenaga.

Apabila dalam tiga hari anak belum pulang, berarti  anak sudah terkubur dalam sebuah hutan belantara. Mohon ampun atas kesalahan anak yang tak berbakti.

Cu Jiang.

Setelah selesai ia membacanya sekali lagi. Serentak terbayanglah akan wajah kedua orang tuanya yang begitu mencintainya. Tak terasa hatinya seperti disayat sembilu. Tetapi apa daya?

Segera ia melipat surat itu lalu dimasukkan dalam tas bukunya. Ia mencabut pedang pusakanya, mengelus-elus kepala kuda dan berkata: "Hijau, untuk sementara terpaksa kita harus berpisah.

Pulanglah lebih dulu! "

Kuda yang diberi nama Hijau itu rupanya dapat mengerti maksud tuannya. Setelah meringkik pelahan, ia mengucapkan kepalanya ke tubuh Cu Jiang.

Melihat kesetian kuda itu berlinang-linanglah airmata Cu Jiang. Tetapi dia harus keraskan hatinya.

"Pergilah! " ia menepuk kepala kuda itu dan membentaknya.

Kuda itu meringkik lalu mencongklang pergi.

Setelah kuda itu lenyap dari pandangan, barulah Cu Jiang menghela napas longgar, seolah perasaannya telan terlepas dari himpitan batu besar.

Serentak ia menghapus segala macam keresahan dan mulai mencurahkan pikirannya untuk mengadu kepandaian dengan Ang Nio cu. Ia menyadari bahwa dirinya jelas bukan tandingan dari Ang Nio-cu. Maka ia memutuskan untuk menggunakan siasat main kucing-kucingan.

Matahari mulai condong ke barat. Hutan yang pada tengah hari tak tertembus sinar matahari, saat itu makin gelap suasananya.

Setelah menenangkan pikiran maka berseru dia dengan nyaring:

"Ang Nio-cu, mari kita selesaikan urusan kita ini! "

Dari dalam hutan terdengar suara penyahutan Ang Nio- cu:

"Cu Jiang, sia2 saja engkau suruh kuda mengundang  bala bantuan ..." "Huh. aku orang she Cu, tak pernah berbuat semacam itu!"

"O, kalau begitu engkau mengirim berita kecelakaan?" "Ang Nio-cu, hari sudah gelap. Rasanya tak perlu

membicarakan hal2 yang tiada sangkut paut dengan urusan ini!"

"Ih, mengapa engkau begitu terburu-buru hendak pulang ke akhirat? " seru Ang Nio-cu.

"Jangan tekebur dulu. Kan belum diketahui siapa yang akan kalah dan menang, " sahut Cu Jiang.

"Oh" seru Ang Nio-cu, "cobalah engkau tanya pada dirimu sendiri. Adakah engkau lebih sakti dari Tiga- harimau-Sujwan atau Delapan tikus Holam?"

Saat itu barulah Cu Jiang menyadari bahwa orang pertama kali dilihatnya mayat2 yang malang lintang dalam hutan itu tak lain adalah Delapan-tikus-Holam. Juga kedelapan tikus dari propinsi Holam itu merupakan kawanan tokoh2 Hitam yang terkenal sekali.

Dalam waktu yang sangat singkat, Ang Nio-cu telah membunuh kawanan tokoh hitam yang ternama.

"Ang Nio-cu, harimau adalah harimau, tikus juga tikus. Tetapi lainlah halnya dengan diriku Cu Jiang. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi!"

"Apakah engkau sudah benar-benar ikhlas mati?" "Unjukkanlah dirimu! " seru Cu Jiang.

Ang Nio-cu tertawa gelak2. "Engkau tak layak melihat diriku!"

Y+++‡dYw‡+++Y Hukum rimba.

Cu Jiang mendengus geram.

"Apakah engkau tak berani keluar untuk mengambil jiwaku?"

"Kurobah keputusanku..."

"Engkau .... engkau hendak merobah keputusanmu?" teriak Cu Jiang terkejut.

"Hm "

"Keputusan apa?"

"Aku tak jadi membunuh engkau !"

Ucapan Ang Nio-cu itu benar2 di luar dugaan Cu Jiang sehingga pemuda itu terlongong-longong.

Mengapa momok wanita itu tidak jadi membunuhnya?

Apa sebabnya?

"Mengapa engkau tak jadi membunuh aku?" akhirnya ia berseru.

Tetapi hutan sunyi senyap. Ang Nio-cu tak menjawab.

Cu Jiang seperti berada dalam lingkupan kabut. Dia tak mengerti tindakan Ang Nio-cu yang aneh itu. Tetapi betapapun, ia girang sekali karena terhindar dari pertempuran maut.

Kini pikirannyapun mulai menimang-nimang, adakah dia harus lekas melanjutkan perjalanan mengejar kudanya si Hijau atau berjalan seenaknya saja. Tetapi rasanya dia harus cepat2 pulang karena apabila membaca surat yang dibawa si Hijau, kedua orang tuanya tentu gelisah sekali. Setelah mengambil keputusan, segera ia enjot kakinya untuk berlari kencang. Namun dia juga masih berjaga-jaga menghadapi serangan tak terduga-duga dari Ang Nio-cu.

Tetapi sehingga keluar dari hutan, tetap ia tak mengalami gangguan apa2. Saat itu barulah ia benar2 menghela napas lega Namun iapun tetap tak mengerti mengapa tiba-tiba Ang Nio cu merobah keputusannya itu.

Agar dapat mengejar si Hijau, ia tak berani berayal lagi. Dengan menggunakan ilmu lari cepat, ia teras meluncur d sepanjang jalan.

Tetapi betapapun ia berusaha, tetap ia tak dapat mengejar lari si Hijau. Kuda itu memang bukan sembarang kuda tetapi seekor kuda istimewa.

Ketika senja tiba, hitung2 dia sudah berlari berpuluh- puluh li tetapi tetap tak dapat melihat bayangan si Hijau. Akhirnya ia lambatkan lari. Tetapi saat itu iapun terkesiap. Rupanya dia tersesat jalan. Disebelah muka tampak Jajaran batu karang gunung yang berserakan tinggi rendah.

Diam2 ia mengeluh. Terpaksa ia harus menempuh perjalanan sepanjang malam. Kemudian ia mendaki karang yang penuh ditumbuhi pohon siong.

Saat itu rembulan mulai muncul. Tetapi tempat ia berjalan itu, tertutup oleh kabut tipis.

Tiba2 ia mendengar suara ringkik kuda. Ia tak asing dengan suara ringkikan itu. Menurut arah suara itu, segera itu, segera ia menyerbunya.

Ah….

Ia terkesiap. Ternyata kudanya si Hijau tertambat pada sebatang pohon siong. Hm, aneh benar. Mengapa si Hijau tertambat di situ ? Adakah seseorang sengaja hendak mempermainkannya? Ataukah si Hijau itu telah tertangkap oleh pencuri kuda dan diikat di pohon itu ?

Segera ia menghampiri kuda itu. Ternyata barang2 yang berada di pelana kuda, tak ada yang hilang. Hanya surat yang ditulisnya secara terburu-buru itu yang hilang. Padahal surat itu ditujukan kepada orang tuanya. Cu Jiang benar2 tak habis herannya.

Setelah merenungkan peristiwa itu, ia menarik kesimpulan bahwa memang ada orang yang sengaja menambatkan si Hijau di situ dan orang itu memperhitungkan bahwa dia tentu akan lewat di  tempat itu.

Siapakah orang itu? Apa maksudnya mengambil surat?

Cu Jiang makin puyeng. Benar2 ia tak dapat memecahkan teka teki itu. Aneh... benar2 aneh sekali. Katanya dalam hati seraya geleng2 kepala.

Pada saat ia hendak melepas tali pengikat si Hijau sekonyong-konyong ia mendengar suara orang membentak keras2. Kemudian dari arah karang pohon siong jauh di sebelah muka, terdengar suara seorang gadis berseru dengan nada gemetar:

"Apakah kalian benar2 hendak membunuh habis- habisan? Dulu aku tiada mempunyai dendam dengan kalian, sekarangpun tidak bermusuhan. . ."

Seorang lelaki bernada kasar, berseru:

"Kami hanya menjalankan perintah saja, bocah ayu, tak perlu engkau banyak bicara!"

Mendengar itu Cu Jiang kerutkan alis lalu loncat menerjang kearah suara itu. Dalam hutan dia melihat empat lelaki menghunus pedang sedang mengepung seorang dara.

Dara itu berpakaian warna hijau, tangannya membawa sebuah bungkusan kain. Umurnya di sekitar dua-puluhan tahun. Ditingkah cahaya rembulan, tampak gadis itu berwajah amat cantik sekali, Ia terpesona. Jarang dia bersua dengan gadis yang memiliki kecantikan sedemikian cemerlang.

Saat itu tampak wajah si nona menampil ketakutan dan airmatanya berlinang linang.

Cu Jiang menghampiri. Sampai mencapai jarak dua tombak dari nona itu, tetap keempat lelaki bersenjata pedang itu masih belum mengetahui.

Ketika melihat gadis itu berpakaian warna hijau seketika Cu Jiang teringat akan Tiga-harimau-Sujwan yang bertanya kepadanya tentang diri seorang gadis baju hijau. Kemungkinan besar tentu si jelita ini yang dimaksudkan ketiga momok dari Sujwan itu.

"Mau kemana engkau, nona cantik ?" seru keempat lelaki itu.

Dengan nada teriba-iba. si jelita baju hijau berkata: "Silahkan kalian melanjutkan perjalanan, lepaskan aku,

berbuatlah dharma kebaikan untuk penitisan kalian yang akan datang..."

Salah seorang dari keempat lelaki itu tertawa mengekeh: "Heh, heh, penitisan yang akan datang? Apa itu?

Manisku, biarlah kami yang menggendong mu menempuh perjalanan!"

Ucapan yang cabul itu membangkitkan kemarahan Cu Jiang. Salah seorang yang bernada nyaring, tiba2 berteriak: "Hai, kawan2, tadi kuda itu bernama . .. "

Lelaki yang cabul tadi menukas:

"Persetan, siapa yang suruh dia berani menyiram air dikepala pangeran, berani mencampuri urusan kita.

Cu Jiang tak dapat menabas diri. Dia tertawa dingin: "Justeru aku memang hendak bertanya kepada kalian !"

"Hai, siapa itu !" serempak keempat orang berteriak seraya berbalik tubuh. Serta melihat seorang yang tampan dan gagah, mereka terkejut.

"Kongcu, tolonglah aku !" serentak si jelita berteriak minta tolong kepada Cu Jiang. Cu Jiang mengerling. Pandang matanya tertumbuk pada pandang mata jelita itu. Seketika tersiraplah darahnya. Seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa dengan pandang mata meminta pertolongan.

"Gadis ini benar-2 cantik sekali," pikirnya, "selama aku berkelana di Kanglam, entah sudah berapa ratus  gadis cantik yang pernah kujumpai. Tetapi yang secantik gadis ini baru pertama kali ini aku bertemu."

Salah seorang dari keempat lelaki yang membawa pedang itu, rupanya yang menjadi pemimpinnya, mengawasi lekat pada Cu Jiang.

"Engkoh kecil." sesaat kemudian dia berseru, "apakah engkau benar2 hendak turut campur urusan kami ini ?"

"Pasti!" sahut Cu Jiang dengan nada tegas. "Mengapa engkau menyiksa dirimu ..." "Apa maksudmu ?" tukas Cu Jiang. "Menilik sikapmu, engkau tentu bukan pemuda sembarangan. Usiamupun belum berapa banyak. Bukankah sayang kalau engkau sampai mati ?"

Meledaklah tawa Cu Jiang karena kemarahannya: "Kebalikannya, apakah kalian juga tak sayang kalau

sampai mati?"

Keempat lelaki itu mengerut dahi. Wajah mereka sarat dan matanya memancarkan sinar pembunuhan.

Pemimpin dari keempat lelaki itu segera berseru:

"Budak, ini berarti engkau hendak cari mati sendiri." "Apakah anda sekalian hendak bertekad mati ?"

walaupun marah tetapi Cu Jiang masih dapat mengendalikan diri.

"Lalu bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu ?" "Lanjutkan saja perjalananmu !"

"Lalu gadis ini ?" "Tinggalkan saja !"

"Ha, ha, ha, ha !" orang itu tertawa mencemooh, "budak, kata-katamu lebih merdu dari orang menyanyi."

"Aku sebenarnya tak ingin membunuh orang."

"Bau pupuk kepalamu masih belum kering tetapi mulutmu sudah sedemikian besar. Tahukah engkau siapa kami berempat ini ?"

"Tak lebih dari kawanan tikus belaka !"

Mendengar Jawaban Cu Jiang, seketika meluaplah kemarahan keempat orang itu. Orang yang nada suaranya kasar tadi segera getarkan pedangnya dan berseru: "Budak, pernahkah engkau mendengar nama Gedung Hitam ?"

Terkejut Cu Jiang mendengar nama itu. ."Apakah kalian ini orang dari Gedung Hitam?"

Gedung Hitam merupakan sebuah perkumpulan rahasia dalam dunia persilatan. Pengaruh partai Gedung Hitam itu meliputi daerah Kanglam dan Kangpak. Mereka membasmi kaum persilatan yang bukan golongannya. Setiap orang persilatan tentu akan gemetar mendengar nama Gedung Hitam itu.

Tetapi di manakah letak markas Gedung Hitam itu dan siapakah pemimpinnya, selama puluhan tahun tiada seorangpun yang tahu.

"Ah, rupanya engkau sudah terlambat." seru lelaki yang menjadi pemimpin kawan-kawannya itu.

Serentak Cu Jiang teringat akan pesan ayahnya  ketika dia hendak berangkat berkelana. Ayahnya pesan, selama berkelana di dunia persilatan itu jangan sekali-kali cari perkara dengan orang-orang Gedung Hitam. Berbahaya sekali tentu celaka.

Tetapi apa mau dikata lagi. Saat itu dia sudah terlanjur berhadapan dengan empat anggauta Gedung Hitam. Sekalipun dia hendak menghindar, tentulah mereka tak mau melepaskannya.

Seketika bangkitlah semangat Cu Jiang Sebagai putera seorang ksatria, bagaimana dia mau ber peluk tangan mengawasi seorang gadis lemah yang hendak diganggu oleh kawanan anggauta Gedung Hitam?

Seketika timbullah semangat kegagahan Cu Jiang.

Serunya dengan nada datar: "Apakah kesalahan nona itu kepada kalian?"

"Tiada seorangpun yang berani menanyakan urusan pihak Gedung Hitam! " sahut pemimpin ke empat orang  itu.

"Tetapi kalau aku berkeras hendak bertanya?"

"Heh, heh, kematian sudah di depan mata, mengapa engkau masih banyak tingkah." orang itu tertawa seram.

"Kongcu, jika engkau tak mau menolong, aku tentu celaka di tangan mereka." kembali jelita Itu  berteriak dengan nada beriba.

Cu Jiang berpaling memandangnya. Seketika bulatlah tekadnya. Keadilan dalam dunia persilatan tak boleh diinjak-injak. Dia harus turut campur tangan dalam urusan itu.

Tetapi tiba2 iapun ingin mengetahui, mengapa gadis cantik itu sampai dikejar-kejar orang Gedung Hitam?

Kemudian Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa kawanan Delapan-tikus-Holam dan Tiga harimau-Sujwan yang telah dibunuh Ang Nio cu itu kiranya juga anggauta dari Gedung Hitam.

"Mengapa nona sampai berurusan dengan mereka?" akhirnya ia meminta keterangan kepada jelita itu.

Dengan nada rawan jelita baju hijau itu berkata: "Delapan jiwa dalam keluargaku telah dibunuh semua,

hanya tinggal aku seorang. Tetapi mereka tetap tak mau melepaskan aku!"

"Apa sebabnya?" tanya Cu Jiang.

"Karena pemimpin Gedung Hitam itu tertarik pada wajahku!" "Harus dibasmi!" Cu Jiang mendengus geram.

"Budak, jangan berkentut busuk!" teriak pemimpin kawanan lelaki itu seraya terus menusuk Cu Jiang.

Ilmu pedang orang itu memang bukan olah2. Aneh dan ganas sekali. Sekaligus ujung pedang berhamburan mengarah kelima buah jalan darah di tubuh Cu Jiang. Gerakan pedangpun menimbulkan desis angin yang tajam sekali.

Dengan tenang Cu Jiang bergerak ke samping untuk menghindar.

"Bagus, budak, kiranya engkau mempunyai modal juga maka engkau begitu jumawa!" seru orang itu. Dan mereka berempat segera berpencar di empat penjuru untuk mengepung Cu Jiang.

"Apakah kalian hendak memaksa aku harus turun tangan? "seru Cu Jiang.

"Serahkan jiwamu!" teriak lelaki yang bersuara kasar. Ia terus menusukkan pedang ke dada Cu Jiang. Sementara ketiga kawannya juga serempak menyerang dari tiga arah.

Tring, iring, tring

Terdengar serentetan dering senjata yang menusuk telinga dan seketika gerakan pedang keempat orang itu berhenti, orangnyapun masing2 mundur sampai dua tiga langkah.

Tampak Cu Jiang sedang memegang pedang pusakanya yang berwarna hitam legam. Mencabut dan membabatkan pedangnya, dilakukan dengan kecepatan yang amat tinggi sekali. Seolah-olah pedang itu sudah melekat pada tangannya. Tetapi hal itu hanya penundaan sementara. Tak ada anggauta Gedung Hitam yang tak ganas. Sudah tentu mereka tak mau menerima begitu saja akan kekalahan itu.

Serempak mereka berempat menggembor dan menerjang lagi. Mereka melancarkan jurus2 serangan yang buas, seolah ingin lekas2 membelah pemuda itu.

Melihat tingkah mereka, berkobarlah kemarahan Cu Jiang. Dengan mendengus, ia taburkan pedangnya pula.

"Huak..."

Terdengar jeritan ngeri menguak suasana. Lelaki yang tadi buka suara besar itu rubuh, tubuhnya mandi darah.

Ketiga kawannya serentak tertegun.

"Aku dipaksanya untuk membunuh!" kata Cu Jiang pula. "Aih . . . !" tiba2 gadis jelita tadi menjerit kaget.

Ketiga anggauta Gedung Hitam segera membungkukkan tubuh dan terus mengundurkan diri.

Cu Jiang cepat berpaling. Tampak, entah kapan, di tempat itu telah bertambah dengan kemunculan sesosok bayangan raksasa. Ketika mengawasi dengan lekat, bulu roma Cu Jiang meregang tegak dan menahan napas.

Bayangan raksasa yang ditingkah sinar rembulan itu sepintas menyerupai bangsa setan gunung. Memakai topi hijau dan jubahnyapun berwarna hijau.

Tangannya memegang sekeping papan. Matanya menonjol ke luar, hidung melesak. Mengerikan mata memandangnya. Sepintas menyerupai seorang menteri kerajaan yang berpangkat sebagai hakim.

Dengan mata yang berkilat-kilat memancar cahaya hijau, orang itu memandang Cu Jiang. Siapakah orang itu? Dan gerak geriknya ketika dia muncul tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, jelas  dia tentu memiliki ilmu yang sakti.

Cu Jiang paksakan diri untuk menegur:

"Kojiu dari manakah anda ini ?"

"Hakim baju hijau dari Gedung Hitam!" sahut orang tinggi besar itu dengan nada macam guntur yang memekikkan telinga.

Cu Jiang belum pernah mendengar tentang diri Liok- poan-koan atau Hakim Baju hijau. Tetapi karena dia menjabat pelindung hukum dari Gedung Hitam, tentulah ilmu kepandaiannya tinggi sekali.

"O, Hakim baju hijau," tanpa disadari Cu Jiang mengulang nama itu.

Tetapi orang itu tak menghiraukan Cu Jiang. Dia mengalihkan pandang matanya kearah gadis jelita.  Beberapa jenak kemudian baru dia berkata:

"O, benar2 memikat hati!" Kemudian dia beralih memandang Cu Jiang lalu membentaknya: "Budak, tahukah engkau bagaimana cara engkau akan mati?"

Cu Jiang mengertek gigi.

"Mati dengan cara bagaimana?" serunya. "Tubuhmu akan kusempal-sempal hidup-hidupan !" "Ah, masakan begitu mudah!"

"Belum   pernah aku meninggalkan mayat korbanku masih utuh !"

Cu Jiang menggenggam pedangnya makin kencang.

Kemudian dengan besarkan nyali, berseru: "Soal itu harus dilihat kenyataannya !"

Liok-poan-koan atau Hakim baju hijau mengeliarkan biji matanya beberapa kali. Kemudian tertawa seram.

"Budak, aneh, tiba2 saja aku ingin bermurah hati, tak sampai hati untuk turun tangan..."

"Mengapa ?" seru Cu Jiang.

"Karena tulang-tulangmu bagus sekali, sebuah bahan istimewa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan!"

Lalu ?"

"Jika engkau masih ingin hidup, masih terbuka sebuah jalan "

"Jalan yang bagaimana ?" tukas Cu Jiang. "Menjadi muridku!"

Tak tahan Cu Jiang untuk tidak tertawa. Serentak dia berseru:

"Anda berpikir terlalu muluk !"

Mendengar jawaban itu mata Liok-poan-koen segera menghambur sinar hijau.

"Apa katamu? Engkau menolak?" teriaknya marah  sekali.

"Ya,"

"Coba ulangi lagi kalau berani!" "Aku tidak mau! "

"Huh..." kerongkongan Liok-poan-koan menelan ludahnya. Kemudian ia menyusupkan Papan-besi ke pinggangnya lalu berseru:

"Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu!" Serempak dengan kata2, tangannya yang segede kipas bertebar dan kelima jarinya yang menyerupai cakar2 besi segera menerkam Cu Jiang.

Walaupun tahu bahwa dirinya bukan lawan orang itu tetapi dalam keadaan terdesak seperti saat itu, tiada lain pilihan bagi Cu Jiang kecuali harus melawan. Dia babatkan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Ujung pedang berhamburan bagai hujan mencurah deras ke arah tiga belas buah jalan darah di tubuh lawan.

Jurus permainan pedang itu benar2 mengejutkan sekali. "Ahhh !"

Entah dengan gerak bagaimana, tahu2 Cu Jiang rasakan tangannya yang memegang pedang itu tergetar. Bukan saja seluruh gerakan pedangnya terhalang, pun dia juga harus menyurut mundur tiga langkah. Dan tanpa disadari dia menjerit kaget.

Liok-poan-koan tak mau mengejar melainkan hentikan serangannya. Rupanya dia merasa sayang.

Liok-poan-koan si manusia aneh itu tertawa aneh, serunya:

"Budak, selama ini aku membunuh erang seperti membunuh nyamuk saja. Tapi hari ini, kuadakan pengecualian. Sekali lagi jawablah. Engkau mau atau tidak menjadi muridku?"

Cu Jiang deliki mata dan menyahut dengan seram: "Tidak bisa!"

Tangan Liok-poan koan yang diangkat ke-atas. diturunkan pula. Kemudian berseru marah:

"Kunyuk kecil, jika aku sengaja tak memberi kelonggaran, tak mungkin engkau mampu menerima sebuah seranganku saja. Ketahuilah, jika engkau dapat mewarisi kepandaianku, dalam dunia persilatan tiada yang dapat melawanmu !"

"Tidak bisa !"

"Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu !" seru Liok- poan koan seraya ulurkan tangan mencengkeram.

Ternyata Cu Jiang sudah tak berdaya lagi. Tenaganya habis. Untuk mengangkat pedang saja dia sudah tak mampu. Maka dia hanya pejamkan mata menunggu kematian.

Dalam detik2 malaekat Elmaut hendak merenggut jiwa Cu Jiang, sekonyong-konyong terdengar sebuah suara nyaring berseru.

"Liok poan-koan, biarlah pinto yang mewakilinya menerima seranganmu!"

Serempak muncullah seorang imam tua yang kain kepalanya tak keruan.

Cu Jiang terbeliak. Ternyata imam tua itu tak lain adalah Imam yang bertemu padanya di tengah jalan dan berkeras hendak mengambilnya sebagai murid. Dia adalah Thian- hian-cu, salah seorang dari Tiga-serangkai-imam dalam dunia persilatan.

Cu Jiang timbul pula semangatnya. Liok-poan-koan menarik tangannya dan tertawa gelak:

"Imam Jembel. tak kira kalau engkau masih  berani keluar gunung. Apakah engkau hendak mengantar jiwamu kemari ?"

Thian-hian-cu melemparkan sebutir pil kepada si jelita yang tak berapa jauh dari tempatnya seraya berkata  pelahan: "Suruh dia lekas minum lalu lanjutkan perjalanan lagi, jangan lupa!"

Setelah memberi pesan dia terus melangkah ke muka dan memberi anggukan kepala kepada Liok-poan-koan: "Ah, sudah lama kita tak berjumpa !"

Tetapi Liok-poan-koan membentaknya: "Imam busuk, jangan banyak bicara, lekas serahkan jiwamu !"

Segera dia lepaskan sebuah hantaman.

Thian hian-cu pun cepat2 mengangkat tangannya untuk menyongsong. Bum . . . terdengar letupan dahsyat. Batu dan pasir berhamburan, ranting dan rumput2 bertebaran. Kedua bayangan itupun segera berpencar lagi.

Ternyata kekuatan keduanya berimbang.

Sesaat kemudian keduanya lalu maju lagi. Saat itu cuacapun mulai gelap. Malam tiba. Rembulan dan bintang tak tampak di cakrawala.

Setelah menerima pil, si jelita tadi segera menghampiri Cu Jiang. Dengan tangannya yang putih mulus, ia menyusupkan pil itu ke mulut Cu Jiang.

Cu Jiang mengangakan mulut hendak berkata apa2, tetapi si jelita sudah mendahului untuk menyusupkan pil ke dalam mulutnya.

Ketiga lelaki membawa pedang tadi, rupanya hendak mencari kesempatan. Mereka memberi isyarat mata lalu tiba2 mereka serentak menyerang maju.

"Hm, cari mampus lu!" Terdengar ketiga orang itu menjerit ngeri dan rubuh di tanah. Ternyata yang turun tangan adalah Thian-hian-cu.

Walaupun sedang bertempur dengan Liok-poan-koan tetapi Thian-hiancu masih sempat untuk menghantam ketiga lelaki berpedang itu. Suatu bukti yang jelas bahwa nama Bu-lim sam-cu atau Tiga-serangkai-imam dunia persilatan, memang tak bernama kosong.

Hantaman dari Thian hian-cu yang merubuhkan ketiga lelaki bersenjata pedang itu masih membaurkan angin yang melanda ke Cu Jiang sehingga anak muda itu sampai terhuyung. Melihat itu si jelita buru2 memegangnya agar jangan sampai jatuh. Dengan demikian kedua muda mudi itu telah bersentuhan tubuh.

Seketika hidung Cu Jiang terbaur oleh bau yang harum sedap dari tubuh dan napas si jelita.

Cu Jiang tersirap, mukanya ter-sipu2 merah. Melihat itu si jelitapun segera lepaskan tangannya dan dengan ke malu2an, ia bertanya:

"Kongcu, apakah engkau dapat berjalan?"

Cu Jiang seperti di ingatkan akan keadaan yang dihadapinya saat itu. serentak ia melakukan pernapasan dan ternyata tenaganya sudah pulih separoh.

Ia tahu bahwa pil pemberian Thian-hian-cu itu memang hebat sekali. Serentak timbullah keperwiraan hatinya. Dia tak mau melarikan diri. Setelah Thian hian-cu selamat, baru dia akan pergi.

Tetapi pada lain saat, ia menyadari. Sekali pun  tenaganya sudah sembuh sama sekali, diapun tetap tak dapat membantu Thian-hian-cu. Ia bingung dan tak tahu bagaimana harus mengambil keputusan.

"Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini," si jelita mendesaknya.

Nadanya selembut sutera, kumandangnya semerdu burung kenari. Telinga Cu Jiang seperti mendengar nyanyian yang mengikat jiwa. Terutama ketika jelita itu mengucapkan kata2 kita. Ah, semangat Cu Jiang seperti me-layang2.

Walaupun mereka berdua baru saja berkenalan dan belum mengetahui siapa diri masing2 yang sesungguhnya, tetapi keadaan telah mempersatukan mereka dalam nasib yang sama.

Dan keadaan itulah yang menyebabkan mereka menghilangkan segala rasa kikuk dan malu satu sama lain. Keduanya seperti kawan lama yang mesra.

Di tingkah cahaya rembulan, Cu Jiang sempat pula memperhatikan betapa sorot mata si jelita itu memancarkan rasa bersyukur, harapan dan percikan perasaan hati yang tersembunyi.

Dalam pada itu, ketiga lelaki bersenjata pedang telah duduk di tanah untuk menyembuhkan lukanya.

Sementara Thian-hian-cupun masih melanjutkan pertempuran maut dengan Liok-poan-koan. Hanya tampaknya Thian-hian-cu lebih di atas angin.

Sejenak memandang ke arah gelanggang pertempuran berkatalah Cu Jiang kepada si jelita:

"Nona, bagaimana kalau engkau berangkat dulu?" "Mengapa?" tanya si jelita.

"Aku tak dapat meninggalkan imam itu .. ."

"Tetapi kongcu, imam itulah yang memberi pesan kepadamu."

"Tetapi .... sebagai seorang ksatrya.. ." "Kongcu, maaf kalau aku lancang bicara. Tetapi apabila kongcu tetap berada di sini, imam itu akan  bertambah beban pikiran. Luka mu "

Merah muka Cu Jiang. "Nona, mungkin kita tak satu jalan."

Wajah si jelita tampak sedih, ujarnya:

"Kongcu, karena engkau sudah mengulurkan budi pertolongan kepadaku, tentulah kongcu tak tega kalau aku sampai jatuh ke tangan orang2 jahat itu, bukan?"

Cu Jiang terkesiap, ia serba salah. Tiba2 Thian-hian-cu berteriak:

"Hai, budak, kasak kusuk apa lagi itu? Kalau mau bermesra-mesraan, pindahlah ke lain tempat. Jangan di sini. Celaka kalau sampai datang poan-koan (hakim) yang lain lagi!"

Cu Jiang terbeliak. Diam2 dia mengakui ucapan imam itu memang benar. Jika muncul jago ko-jiu dari Gedung Hitam lagi, menilik si jelita itu seperti orang yang tak mengerti ilmu silat, bukankah dirinya akan celaka.

Perangai Cu Jiang yang angkuh, saat itu harus mengendap. Ia harus mengalah. Maka berserulah ia kepada Thian-hian-cu:

"Cian pwe, budi pertolonganmu itu kelak pasti akan kubalas!"

Dia terus berputar tubuh dan mengajak si jelita berlalu dari situ. Keduanya menuju ke dalam hutan.

"Kongcu, mengapa balik ke sana lagi? " tegur si jelita.

Cu Jiang hentikan langkah dan menjawab: "Kudaku masih berada di bawah karang." "Oh..."

"Apakah nona pernah belajar silat?"

"Ah, hanya gerakan seperti orang menari-nari saja, masakan dapat digunakan untuk melindungi diri. Mohon tanya siapakah nama kongcu?"

"Namaku Cu Jiang."

"O, aku . . . namaku Ho Kiong Hwa! " Kiong Hwa artinya Bunga istana. Ah, memang wajahnya benar2 secantik bunga istana.

"Nama yang indah!: tanpa disadari Cu Jiang berseru memuji. Kemudian ia tersipu-sipu sendiri karena tak dapat mengendalikan perasaannya.

Ho Kiong Hwa tertawa gembira: "Ah, kongcu terlalu memuji. "

Dalam bercakap-cakap itu mereka tiba di tempat kuda Hijau ditambatkan. Tetapi seketika itu mata Cu jiang melotot dan wajahnya merah padam. Dadanya hampir meledak karena diluap kemarahan yang besar.

Kuda Hijau, kuda kesayangannya, saat itu terkapar di tanah, kepalanya hancur, darah bercucuran ke luar.

Antara Cu Jiang dengan kuda kesayangannya itu telah terjalin suatu hubungan yang mesra. Melihat kudanya dalam keadaan begitu mengenaskan, diapun mengucurkan airmata.

"Ai, temuan Liok poan-koan itu yang melakukan." seru Ho Kiong Hwa.

"Bagaimana nona tahu?" "Yang dapat menghancurkan kepala kuda tanpa menimbulkan suara, siapa lagi kalau bukan makhluk aneh itu."

"Nona benar." tukas Cu Jiang dengan geram.  "Pada suatu hari aku tentu akan memperlakukan dia seperti apa yang dilakukan terhadap kudaku ini. Kepalanya akan kuhancurkan juga! "

"Kongcu, bagaimana kita sekarang?" "Terpaksa harus berjalan kaki. "

"Cu kongcu, demi menolong diriku, engkau, banyak mengalami kesukaran apalagi engkau harus menderita kesedihan karena kehilangan kuda kesayanganmu. Hal ini benar2..."

"Nona Ho. sungguh menyesal. Karena kepandaianku yang dangkal maka aku sampai mengalami penderitaan ini!"

"Ah. kalau kongcu mengatakan begitu, hatiku makin berat."

Di sebelah sana pertempuran masih berlangsung seru. Suasana sunyi di pegunungan tersibak oleh hiruk pikuk pertempuran maut itu.

"Kita tinggalkan tempat ini dulu baru nanti kita berunding lagi."

"Terserah bagaimana kongcu hendak mengatur, aku hanya menurut saja."

Dari pelana kudanya, Cu Jiang mengambil beberapa benda yang penting lalu disisipkan dalam bajunya. Yang lain2 ia tinggalkan di situ.

Setelah berjalan menyusuri pegunungan karang itu, mereka lalu lanjutkan berjalan dengan cepat. Malam itu rembulan bersinar indah. Tetapi Cu Jiang tak mempunyai hati untuk menikmati keindahan malam itu. Belum pernah ia mengalami penderitaan yang begitu berat dan begitu menyedihkan. Sifat kegagahannya pun seolah pudar.

Demikian keduanya menyusur di sepanjang jalan kecil dilereng gunung. Jauh disebelah muka tampak jalan yang lebih lebar.

Tiba2 Cu Jiang berhenti. "Nona Ho, kita terpaksa harus berpisah !"

Si jelita memandang Cu Jiang dengan rawan, serunya: "Berpisah ?"

Cu Jiang terkesiap.

"Akhirnya kita tak dapat terus menerus bersama-sama

...."

Ho Kiong Hwa tersenyum:

"Tetapi aku ingin terus begini !"

Percik harapan yang tertumpah pada kata2 itu. sudah tentu Cu Jiang dapat menerima. Tetapi dia selalu memikiri rumah dan ingin pulang.

Kedua orang tuanya karena menyingkir dari dendam permusuhan maka mengasingkan diri ditempat yang tersembunyi, agar jangan diketahui orang. Seingatnya, karena tempat tinggalnya diketahui orang, maka ayahnya telah berpindah tempat sampai empat kali.

Dia harus mentaati pesan ayahnya, supaya jangan sembarangan menceritakan tentang dirinya dan tempat tinggalnya. Ho Kiong Hwa, sinona jelita itu belum jelas asal usulnya. "Mudah jatuh pada kecantikan wanita, bukan laku seorang ksatrya." Demikian ajaran ayahnya.

Maka ia teguhkan hatinya dan berkata: "Nona Ho, kelak kita tentu berjumpa lagi"

Wajah si jelita kembali mengerut kesedihan. Kemudian berkata dengan rawan:

"Cu kongcu, aku sudah sebatang kara, tiada punya rumah, tiada sanak keluarga. Entah bagaimana jadinya dengan diriku dalam pengembaraanku di dunia persilatan itu. Menilik sikap dan peribadi kongcu, kongcu tentu putera seorang keluarga yang ternama. Apakah kongcu sudi melimpahkan budi untuk menerima diriku sebagai bujang pelayan . . ."

Cu Jiang gelengkan kepala pelahan.

"Nona Ho, aku sendiri dari keluarga miskin." "Ah, tak percaya."

"Terserah pada nona."

"Apakah kongcu tak kasihan padaku?"

"Nona Ho, apabila aku mengandung hati begitu, mengapa aku harus berjerih payah mengikat permusuhan dengan fihak Gedung Hitam. . ."

"Maafkan kongcu, aku kelepasan omong!"

"Ah, janganlah nona berkata begitu," sahut Cu Jiang. "Budi pertolongan kongcu, kelak tentu akan kubalas."

"Ah, jangan nona berkata begitu. Apa yang kulakukan  itu tak berarti apa2."

"Meskipun kongcu tak mengharap balas, tetapi aku tentu selalu mengingat budi pertolongan kongcu." "Sebenarnya aku sangat memikirkan keadaan nona tetapi aku tak berdaya hendak membantu nona, kudoakan Thian selalu memberkahi nona."

"Terima kasih, kongcu."

"Harap nona suka menjaga diri baik2." "Harap kongcu juga baik2 menjaga diri." "Semoga kelak kita akan berjumpa lagi."

"Pasti . . ." Cu Jiang memberi hormat. Dengan keraskan hati, ia terus lari menuruni gunung. Ada sesuatu yang membuat hatinya menderita tetapi sukar untuk diucapkan.

Setelah tiba di jalan besar, ia terus menuju ke arah selatan. Pada hari ketiga, sampailah ia di kota Li-jwan. Setelah itu akan mencapai daerah gunung Bu-teng-san yang tak jauh dari tempat tinggalnya

Ia segera menuju ke rumah makan yang menjadi langganannya apabila dia tiba di kota itu.

Pemilik rumah makan itu seorang nyonya bertubuh gemuk. Ia menyambut kedatangan Cu Jiang dengan gembira. Sambil bertepuk tangan dia berseru:

"Ai, Kongcu. sudah setengah tahun, kita tak bertemu.

Silahkan masuk! Mana kudanya?"

"Aku jalan kaki saja," Cu Jiang tertawa.

"Ah, kongcu tentu letih, silahkan beristirahat di ruang kebun belakang!"

"Toa-Nio, aku hanya singgah makan saja terus akan melanjutkan perjalanan lagi."

"Sudah lama tak  bertemu  mengapa  begitu  terburu- buru " Cu Jiang hanya tertawa dan terus masuk ke ruang belakang.

Di belakang terdapat tiga buah halaman. Yang satu terang dan yang dua gelap. Di tengah halaman di tumbuhi dengan bunga2an dan di hias dengan batu. Suasananya sunyi tenang.

Cu Jiang menuju ke ruang yang di tengah. Tak berapa lama pelayan mengantar minuman, buah2an dan handuk panas.

"Apakah kongcu hendak minum arak?" "Ya, sedikit saja."

"Pakai sayur apa?"

"Biasa saja yang sering kumakan."

Jongos segera ke luar, Cu Jiang duduk merenungkan semua pengalaman selama dalam perjalanannya. Ang Nio- cu, Liok-poan-koan, si jelita Ho Kiong Hwa, Thian-hian-cu.

. .

Juga tentang suratnya yang hilang di pelana kuda. Dia heran memikirkan hal itu. Mengapa bukan uang atau perak yang di bekalnya yang hilang tetapi surat itu? Bukankah surat itu hanya sekedar memberitahu kepada kedua orang tuanya tentang keadaan dirinya waktu itu? Apa guna orang itu mengambilnya?

Dan pula, mengapa kuda si Hijau sampai tertambat pada pohon siong itu?

Setelah melalu lalang dalam lamunan, akhirnya pikirannya teringat kembali kepada si jelita Ho Kiong Hwa. seorang nona yang cantik luar biasa tetapi menderita nasib yang malang. Membayangkan betapa dalam waktu sesingkat itu ada suatu perasaan yang menjalin hatinya dengan si jelita, merahlah muka Cu Jiang.

Diam2 dia menyesal mengapa sekali sudah menolong nona itu, ia tak mau menolong sampai akhir, membawanya ke rumah makan di situ? Tetapi ketika teringat bahwa rumah makan itu penuh di kunjungi dengan tetamu2 yang pergi datang, padahal si jelita itu sedang diburu oleh orang2 Gedung Hitam, bukankah rumah makan itu akan terlibat?

Tiba2 pelayan muncul dengan membawa hidangan yang di pesannya. Kemudian pelayan itu keluar lagi.

Kini Cu Jiang duduk minum seorang diri. Pikirannya masih tertuju pada si jelita.

Ho Kiong Hwa benar2 seperti yang terlukis dalam suratan nasib: "Wanita cantik kebanyakan tentu bernasib malang . . ."

Sekonyong-konyong tirai pintu tersiak dan muncullah seorang lelaki berpakaian biru di pinggir pintu. Dia melangkah masuk tertawa sinis kepada Cu Jiang.

"Mau apa engkau !" bentak Cu Jiang.

Lelaki itu lemparkan sebuah benda lalu berbalik tubuh dan melangkah keluar.

Cu Jiang menyambuti benda itu dengan sumpitnya lalu berteriak: "Berhenti!"

Tetapi orang itu sudah menerobos keluar dan menghilang. Cu Jiang terpaksa tak dapat mengejar. Dia rasakan benda yang disumpitnya itu cukup berat. Ketika diamatinya ternyata sebuah thiat pay atau papan besi warna hitam, bagian tengahnya terdapat sebuah huruf yang menonjol dan berbunyi MATI. 00oodYwoo00
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar