Pukulan Hitam Jilid 10 (Tamat)

Jilid ke 10

CIAN HONG hendak menyerang tetapi Giok-lo-sat mendorongnya: “Hm, kau bukan tandinganku... Jika kau menghendaki mustika itu, harus meluluskan sebuah syarat!”

“Syarat apa?”

Tiba-tiba wajah Giok-lo-sat merah. Ia melangkah beberapa langkah kemuka. Mulutnya hendak berkata-kata tetapi tak jadi. Beberapa saat kemudian ia menghela napas.

“Ah, kau... kau tak mengerti?”

“Nona tak mengatakan, bagaimana aku mengerti?”

Kembali Giok-lo-sat menghela napas kecewa. Tiba-tiba ia berganti nada: “Jika kau dapat menyembuhkan mataku, segera mustika ini kuserahkan padamu!”

Cian Hong kerutkan dahi.

“Tempo hari nona pernah mengatakan, hanya kalau mendapatkan sepasang biji mata burung garuda Thian-eng, barulah mata nona dapat disembuhkan. Tetapi dimanakah terdapat burung itu? Apalagi jiwaku hanya tinggal beberapa jam saja,” serunya.

Kata giok-lo-sat: “Jika tak dapat mencari Thian-eng asal dapat mencari seseorang pun boleh juga!”

“Siapa? Siapkah yang mempunyai kepandaian mengobati mata nona?” Cian Hong berseru gegas. Jawab Giok-lo-sat dengan tawar: “Pernahkah kau mendengar tentang sepasang durjana Hek-sim-song-ciat?”

Cian Hong tergetar hatinya. “Kau maksudkan sitabib Hek-sim Hoa To?”

Giok lo-sat mengangguk: “Kabarnya Hek-sim Hoa To mempunyai kepandaian yang sakti. Dapat menghidupkan lagi orang yang sudah meregang jiwa. Kukira dia tentu mampu menyembuhkan mataku. Apalagi mataku ini bukan buta sejak lahir. Hanya karena berduka dan terlalu banyak mengucurkan airmata...”. tiba-tiba ia berhenti. Rupanya ia merasa bicara terlalu jauh.

Cian Hong tertarik oleh nasib malang yang menimpa nona itu.

Seketika timbullah pula rasa kasihannya.

“Penderitaan nona memang membuat orang ikut perihatin...” “Siapa mengharap kasihanmu!” tiba-tiba  Giok-lo-sat memutus,

“jika  kau  tak  mampu  mencari  Hek-sim  Hoa  To,  jangan   harap

mendapat mustika Giok-cu!”

Cian Hong gugup, serunya: “Aku bersumpah tentu mencari obat untuk nona. Tetapi aku sendiri terancam maut. Mohon nona suka memberi pinjam mustika itu...”

Giok lo sat tertawa dingin: “Kau kira aku bocah kecil? Apabila Giok-cu berada ditanganmu, masakan aku masih dapat mengharap kau bakal mencarikan tabib Hek-sim Hoa To itu?”

Cian Hong terkesiap. “Mengapa nona mengukur diriku dengan ukuran seorang siau jin (orang rendah)?”

“Huh, huh, huh, ya kau memang seorang ksatrya dan aku seorang siaujin. Sudahlah tak usah kau minta pinjam padaku,” Giok-lo sat melengking marah. Tahu kalau kesalahan bicara, Cian Hong tergagap-gagap hendak memberi penjelasan. Tetapi makin gugup makin tak dapat ia mengeluarkan kata-kata.

“Tak peduli seorang ksatrya atau seorang rendah, jika menginginkan mustika itu kau harus mencari tabib Hek-sim. Kalau tidak, jangan harap lagi!”

Habis berkata nona buta itu segera melangkah pergi. Cian Hong tersipu-sipu bingung. Ketika hendak memanggil tiba-tiba terdengar seseorang berseru lantang: “Nona berhenti dulu!”

Cian Hong terbeliak. Seorang tua berbaju kelabu muncul dari balik sebatang pohon. Kejut Cian Hong tak terkira ketika dikenalinya orangtua itu bukan lain ialah Yap Ceng.

Giok-lo-sat berhenti tetapi tanpa berpaling kepala ia berseru: “Siapa kau? Mengapa kau mencegah aku?”

Yap Ceng menyahut dengan tenang: “Bukankah nona hendak mencari aku?”

“Kau siapa? Mengapa aku hendak mencarimu?” seru Giok-lo-sat.

“Aku si orangtua ini adalah Yap Ceng, nama yang kupakai beberapa tahun terakhir ini. Dengan maksud dimulainya suatu penghidupan baru. Tetapi dahulu aku mempunyai sebuah gelaran yang cukup sedap didengar, tetapi juga menggetarkan hati.”

Serempak berputarlah Giok-lo-sat, tegurnya: “siapakah ini, hai?”

Masih tenang-tenang sekali Yap Ceng menyahut: “Perangai nona kelewat manja. Jika menurut watakku tempo dulu, dikuatirkan ”

Saat itu Cian Hong segera menghampiri Yap Ceng dan memberi hormat: “Mungkin kalau tak salah cianpwe ini ialah Hek sim Hoa To?” Mendengar itu terkesiaplah Giok-lo-sat. “Benarkah kau Hek-sim Hoa To?” serunya tegang. Dengan nada bersungguh, Yap Ceng menjawab: “Kalau nona suka membayar dengan mustika Giok-cu, aku percaya tentu dapat mengobati matamu!”

Mendengar orangtua itu juga memburu Giok-cu, guguplah Cian Hong. Buru-buru ia hendak mencegah tetapi didahului Giok lo-sat: “Benarkah kau ini Hek-sim Hoa To?”

“Soal itu tak perlu kiranya nona mengurus panjang lebar!” sahut Yap Ceng.

Giok-lo sat menyingkap rambutnya yang terkulai dibahu, ujarnya, “Tetapi aku percaya kau untuk sekali ini!”

Ia mengeluarkan mustika sebesar biji kelengkeng dan diserahkan pada Yap Ceng. Cian Hong tegang sekali. Tetapi Yap Ceng rupanya tak menghiraukan. Malah mustika itu diberikan padanya seperti tak terjadi sesuatu.

Cian Hong makin kaget. Tak berani ia buru-buru menerimanya. “Cianpwe, apa artinya ini?

Jawab Yap Ceng dengan sarat: “Lekas kulum mustika itu kedalam mulutmu dan segera salurkan napasmu!”

Cian Hong tegang sekali. Perintah orangtua yang penuh wibawa itu membuatnya tak dapat menolak. Segera mustika itu dikulumnya dan iapun duduk bersila menyalurkan peredaran darah untuk mengeluarkan racun yang terbenam dalam tubuhnya.

Kemudian Yap Cengpun berpaling kepada Giok-lo-sat, serunya: “Marilah mulai kuobati mata nona!” Giok lo sat mengangguk.

Yap Ceng menyinggungkan lengan baju dan dengan gerakan yang cepat, ia tusukkan telunjuk jarinya kepada Giok-lo sat. Begitu nona itu rubuh terus disambuti dan diletakkan dibawah sebatang pohon rindang. Tabib itu dengan lihaynya segera mulai bekerja.

Cepat sekali laksana ular memagut jari orangtua itu menutuki 39 jalan darah Giok lo sat. Kemudian mengambil sebotol obat cair diteteskan kemata sinona.

Dalam pada itu keadaan Cian Hongpun mengalami saat-saat yang kritis (tegang). Dahinya mengucurkan keringat deras. Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia berdiri dan muntahkan Giok- cu. Segera ia menghampiri ketempat Yap Ceng. Tampak orangtua misterius itu tegak dengan mendekap tangan.

“Budi pertolongan lo-cianpwe ini takkan kulupakan selama- lamanya,” katanya menghaturkan terima kasih.

“Tak perlu berterima kasih, lekas berikan mustika itu kepadaku!” sahut Yap Ceng. Setelah menerima mustika dari Cian Hong, Yap Ceng berkata pula: “Belasan tahun yang lalu aku pernah terkena racun dari Hek-sim tok ong. Untung aku ditolong Si Kiok-ciang. Demi untuk membinasakan Hek-sim-tok-ong, terpaksa mengambil mustika Giok cu ini!”

Yap Ceng memandang Giok-lo-sat, ujarnya: “Kuobati mata nona itu adalah karena memandang muka ayahnya!”

Sampai saat itu Cian Hong belum jelas akan asal usul sinona buta Giok lo sat. Mendengar keterangan Yap Ceng, ia menanyakan lebih lanjut: “Siapakah ayahya?”

Sahut Yap Ceng singkat: “Tang hay ki-hiap.” Tiba-tiba orang tua aneh itu melesat beberapa tombak jauhnya: “Rawatlah dia baik- baik. Dia seorang dara yang bernasib malang!”. Tahu-tahu orangtua aneh itu melesat jauh....

Cian Hong terkejut tetapi orangtua itu sudah lenyap. Kini ia alihkan perhatiannya kepada Giok lo sat, Dilihatnya wajah nona itu mengulum senyum berseri. Dalam keadaan demikian, nona ini semakin tampak cantik sekali.

Pikiran Cian Hong melayang jauh. Tanpa disadari ia menyingkap rambut sinona yang menutup mukanya.

Tiba-tiba Giok-lo-sat membuka mata. Sepasang matanya memancarkan sinar berkilat memandang Cian Hong. “Kau siapa?” tiba-tiba nona itu berseru kaget.

Cian Hongpun kaget juga. Cepat-cepat ia menarik kembali tangannya dan wajahnyapun merah. Ia menyurut mundur, mulutnya tergagap-gagap tak dapat bicara.

Giok-lo-sat bangun. “Apakah kau ini Ko sau-hiap?” serunya dengan nada yang jauh lebih lunak dan lembut.

“Begitulah,” Cian Hong segera memberi hormat, “kuhaturkan selamat atas kesembuhan nona!”

Giok lo-sat memandang kian kemari, tanyanya “Hek-sim Hoa To?”

“Sudah pergi!”

“Pergi? Mengapa tak tunggu sampai mataku sudah sembuh baru pergi? Apakah dia yakin mataku sudah pasti sembuh?” seru Giok- lo-sat.

“Dia mempunyai keyakinan begitu!”

“O, makanya digelari sebagai tabib Hoa To yang hidup lagi!” kata Giok-lo sat.

Hoa To adalah seorang tabib sakti yang hidup dijaman Sam Kok. Tabib itulah yang pernah melakukan operasi tangan seorang pahlawan (Kwan Kong) yang terkena panah beracun.

Dalam pada bercakap-cakap itu Cian Hong tak berkedip memandang wajah sinona. Nona yang beberapa saat berselang masih buta, kini telah memiliki sepasang gundu mata yang memancarkan sorot bening. Wajah cantik dari Giok-lo-sat makin bertambah cantik ketika memiliki sepasang mata yang indah. Dara itu bagaikan sekuntum bunga mawar berseri dihari pagi....

Namun Cian Hong masih belum tahu jelas asal usul dara itu. Tak dapat lagi ia menahan diri, tanyanya: “Bolehkah aku mengetahui nama nona yang sebenarnya?”

Giok lo-sat tertawa riang: “Bukankah kau telah memberikan nama Giok lo sat kepadaku? Panggillah dengan nama itu saja. Nama toh hanya suatu tanda, mengapa kau begitu mementingkan?”

Cian-hoog tertawa hambar: “Nama Giok-lo-sat itu sebenarnya bukan kehendakku yang sesungguhnya. ”

“Tidak, nama itu memang bagus. Aku suka sekali.” “Tetapi nama Lo-sat itu tak sesuai, “seru Cian Hong.

Tiba-tiba wajah Giok-lo-sat mengerut: “Asal aku dapat bertindak sebagai Lo-sat, itulah cukup!”

Diam-diam Cian Hong bergidik melihat pendirian nona yang penuh berangan-angan pembunuhan itu; Tak berani ia mengungkit soal nama lagi dan segera ajukan pertanyaan: “Dimanakah rumah nona?”

Giok-lo sat berkata dengan tawar: “Jauh sekali.” Kembali hati Cian Hong bergetar. Teringat ia akan ucapan Yap Ceng tadi bahwa ayah Giok-to sat itu ialah Tang-hay ki hiap atau pendekar aneh dari laut Tang hay. Benarkah itu?

“Apakah ayah nona bukan tokoh Tang-hay-ki-hiap?” segera hal itu ditanyakan juga.

Mendengar itu serentak berobahlah wajah Giok-lo-sat. Sorot matanya yang bening segera berobah rawan. Cian Hong tertegun.

“Bagaimana kau mengetahui?” tanya Giok-lo-sat. Suatu pertanyaan yang mengandung nada pengakuan atas pertanyaan Cian Hong tadi.

Cian Hong terkejut, serunya: “Kalau begitu Pek Hay-cu itu adalah ibumu?”

“Jangan menyebut namanya! sekonyong-konyong Giok-lo-sat membentaknya. Wajahnya penuh kerut-kerut pembunuhan.

Cian Hong kaget dan menyurut dua langkah. Dipandangnya nona ini lekat-lekat.

Tiba-tiba mata Giok-lo-sat mengicup dan pada lain kejapan berubah menyesal, malu. Tersipu-sipu ia menundukkan kepala. Dengan mata pelahan ia berkata seorang diri: “Aku, aku tak sepadan mencintaimu.”

Cian Hong tersirap kaget. Dendam asmara yang terpendam dalam kalbunya serentak bergelora. Ia maju mencekal kedua lengan nona itu, serunya mesra: “Apakah kau juga mencintai aku? Ketahuilah, pertama kali berjumpa padamu, diam-diam aku sudah mencintaimu. Tetapi aku merasa rendah diri tak berani mengutarakan isi hatiku...”

“Tetapi aku tak sesuai, tak sesuai menerima cintamu. Memang

sewaktu aku masih buta, mendengar suaramu saja aku sudah jatuh hati. Tetapi kau begitu keras kepala, angkuh sehingga setiap kali aku terpaksa membikin susah padamu!”

Dua insan yang sebenarnya saling cinta ternyata selama itu tak berani menumpahkan isi hatinya. Suatu hal yang menyedihkan.

“Tetapi sekarang kita sudah mengetahui isi hati kita masing- masing, kita dapat saling mencintai dengan sepenuh hati!” kata Cian Hong. Tiba-tiba mata Giok-lo-sat membelalak, sahutnya dingin: “Tidak, kita sukar saling mencintai!”

“Mengapa?” Cian Hong terbeliak. “Kelak kau tentu mengetahui sendiri!”

“Tidak, aku menghendaki keteranganmu sekarang!” Dipandangnya anakmuda itu dengan penuh kemesraan, ujarnya:

“Cian  Hong  ijinkanlah  aku  memanggilmu  dengan  sebutan  itu.

Kutahu kaupun mencintai aku, hatiku puas sudah. Tak berani aku melangkah lebih jauh untuk mendapat cintamu itu!”

“Tidak! Tidak! Tidak! Aku cinta padamu!” seru Cian Hong. “Tetapi aku adalah puteri dari Pek Hay-cu,” Giok-lo sat

gelengkan kepala.

Cian Hong tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata sinona itu: “Apa halangannya? Seseorang tentu mempunyai ibu!”

Airmata Giok-lo-sat bercucuran: “Tetapi dia berlainan dengan wanita lain!”

“Tidak!” bantah Cian Hong, “ibu-ibu didunia ini mempunyai sifat-sifat kebesaran yang sama!”

“Dia tak berharga menerima pujianmu. ”

Tiba-tiba Giok-lo-sat berhenti berkata. Ia merasa keliwat garis, buru-buru ia beralih: “Kelak bila sudah mengetahui, kau tentu dapat memaklumi sendiri!”

“Tidak, aku tetap cinta padamu. Apapun yang terjadi tak nanti dapat menghalangi cintaku padamu!” Cian Hong memberi pernyataan tegas. Diusapnya mata sidara dengan ujung bajunya.

Giok-lo sat menghela napas rawan: “Tetapi aku tak dapat, tak mungkin ” Mulailah timbul keheranan Cian Hong terhadap Pik kuy-cu, ibu Giok-lo-sat itu. Ia duga tentu terjadi sesuatu diantara ibu dan puterinya. Tetapi ia tak mengerti bagaimana persoalannya.

Tiba-tiba Giok-lo-sat mendorong tubuh Cian Hong serunya: “Aku harus pergi atau aku nanti akan menderita kedukaan lebih besar.”

“Cintaku padamu takkan luntur walaupun oleh gangguan apa saja!” seru Cian Hong.

Sahut Gok-lo-sat penuh keheranan: “Kata-katamu itu akan kuukir dalam hatiku. Jika lain kali kudengar kau masih mau menyatakan begitu, kita nanti mempunyai harapan untuk menikah!”

“Pendirianku pasti teguh, sekarang, kelak dan selama-lamanya!” seru Cian Hong dengan tegas.

“Jangan keburu mengucapkan ikrar dulu atau kelak kau akan menyesal. Selamat tinggal!” sambil melambaikan tangan, melangkahlah dara itu dengan kaki sarat. Beberapa saat kemudian ia lenyap diantara kabut pagi Cian Hong terlongong-longong seperti kehilangan sesuatu. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan membentak: “Hai, siapakah yang berada diatas pohon itu?”

Sesosok tubuh melayang turun dari atas pohon.

Bukan kepalang kejut Cian Hong ketika mengetahui bahwa yang muncul itu adalah Tio sam Mulut-besi.

Teringat bahwa gerak geriknya dengan Giok-lo-sat tadi tentu diketahui Tio Sam, merahlah muka Cian Hong.

Rupanya Tio Sam tahu juga akan perasaan si-anakmuda, buru- buru ia berkata: “Siau-cujin, aku Tio Sam!”

“Apa?” Kau memanggil aku siau-cujin?” teriak Cian Hong kaget.

Siau-cujin artinya majikan kecil. “Benar, aku memang bujang ayahmu.”

“Kau tadi melihat aku dengan Giok-lo-sat?” tanya Cian Hong dengan likat.

Tio Sam mengangguk.

Cian Hong tahu bahwa bujang itu mempunyai pengalaman luas didunia persilatan. Mungkin ia dapat mengorek keterangan tentang diri Giok-lo-sat. “Kenalkah kau dengan Giok-lo-sat?” tanyanya.

Tio Sam balas bertanya: “Kau tahu dia anak dari Pik Hay-cu?” “Tahu!”

“Kau tahu orang apa Pik Hay-cu itu?”

Dari mulut Kui-mo tempo hari aku pernah mendengar sedikit tentang wanita itu, katanya: “Pik Hay-cu adalah puteri dari Bu Yu lojin, isteri dari Tang-hay-ki-hiap. Menurut ceritanya pada duapuluh tahun yang lalu, Pik-hay-cu tinggalkan pulau kediamannya dan kemudian tak jelas jejaknya.”

“Kau hanya tahu riwayatnya, tetapi tak tahu keadaannya, setelah ia menghilang dari pergaulan ramai.”

Cian Hong mengangguk.

“Kau sangat mencintai Giok-lo-sat?” tanya Tio Sam.

“Benar, cinta itu sudah bersemi semenjak lama sekali,” sahut Cian Hong.

Tio Sam menghela napas: “Ah, seharusnya kau segera menarik kembali cintamu itu!”

Cian Hong lototkan mata: “Tidak, cinta itu tak bersyarat.

Walaupun apa yang terjadi, aku tetap mencintainya!”

“Siau-cujin, hal itu benar-benar suatu percintaan yang menyedihkan!” “Menyedihkan?”

Berkata Tio Sam dengan pelahan: “Apabila sudah kau ketahui riwayat Pik Hay cu setelah mengembara, kau tentu takkan mencintai Giok-lo sat lagi... tahukah kau apa sebab Pik Hay-cu meninggalkan pulau Sian-li ki?”

Pulau Sian li-ki itu sebuah pulau yang indah subur. Suatu tempat yang menyenangkan. Ya, mengapa Pik Hay cu meninggal pulau indah itu dan berkecimpung dalam masyarakat yang kotor?

Bertanya Cian Hong dengan heran: “Mengapa? Aku tak tahu!” Tio Sam menghela napas panjang.

“Lebih baik kau jangan tahulah!” “Mengapa?” tanya Cian Hong.

Tio sam sejenak merenung, ujarnya: “Agak dalam hatimu masih terhuni impian yang indah!”

“Tidak, aku inqin mengetahui!” seru Cian Hong dengan mantap.

Tio Sam memandang anakmuda itu dengan tajam. Akhirnya ia memutuskan memberi penjelasan.

“Pik-Hay-cu tak betah tinggal dipulau yang tenteram. Rupanya ia bosan dengan kehidupan sesunyi itu. Dan yang lebih celaka lagi ialah ternyata wanita itu tak puas dengan suaminya Tang-hay-ki- hiap. Tang-hay-ki-hiap seorang lelaki yang mengutamakan keperwiraan ”

Cian Hong heran, tanyanya: “Seorang lelaki perwira toh seorang suami yang baik, mengapa Pik Hay cu masih kurang puas?”

Tio Sam merenung sejenak lalu berkata dengan tak malu-malu: “Dengan lain perkataan, Pik Hay-cu itu seorang wanita yang besar nafsunya. Seorang wanita yang tak puas dengan suami yang kurang perangsang!”

“Ngaco!” bentak Cian Hong.

“Ini memang suatu kenyataan. Jika kau tak senang mendengarkan, tak perlu kulanjutkan cerita ini lebih lanjut!” jawab Tio Sam.

Cian Hong gugup dan mendesak: “Ya, ya, teruskanlah ceritamu!

Dari pulaunya Pik Hay-cu menuju kemana?”

“Kedaratan Tiong-goan!” “Lalu?”

Tio Sam tak segera menyahuti tetapi melanjutkan ceriteranya secara teratur: “Daratan Tiong-goan merupakan sebuah negeri yang kaya makmur. Pik Hay-cu tersengsem melihat keindahan Tiong-guan. Apalagi seorang wanita semacam ia. Dengan mudah ia terpikat oleh peristiwa yang tak senonoh. Apalagi ia seorang wanita yang berkepandaian tinggi dan juga membawa. kitab Bu-ji-thian-

su milik ayahnya. ”

“Hih, apakah kitab itu kemudian hilang?” tak dapat lagi Cian Hong mengendalikan keinginannya tahu. “Telah kukatakan Pik Hay-cu itu seorang wanita yang bernafsu besar. Setelah didaratan Tiong-goan ia makin binal, ia mempersolek diri makin menyala. Disana sini ia memuaskan nafsunya dengan lelaki. Dan yang paling tak dapat dimaafkan, dia pun berhubungan juga dengan Sik-long si Serigala-paras-cantik ”

“Sik-long sudah lama mati dibawah Pukulan Hitam!” seru Cian Hong.

Tio Sam gelengkan kepala: “Tidak semudah itu tuan. Selain berilmu tinggi, Sik-long juga seorang manusia yang memiliki kecerdasan lebih. Dia pandai mengatur siasat tipu. Dia tidak mati!” Cian Hong benar-benar tak percaya. Namun ia tak mau menanyakan. Berkata Tio Sam lebih lanjut: “Setelah berhubungan dengan Sik-long, atas anjurannya, mulailah Pik Hay cu merencanakan untuk mendirikan sebuah partai persilatan yang menggetarkan dunia persilatan. Tetapi pendirian itu tak semudah yang dimimpikan. Banyaklah musuh-musuh yang tangguh. Akhirnya Pik Hay-cu mengganas anak buah Te-gak-bun.

Pada saat itu Ko Ko-hong baru menjadi mempelai baru dengan Tiang li Hoa Siao-lan puteri jelita dari ketua partai Thian-tong-bun (Nirwana). Dan setelah menikah, Ko Ko-hongpun menerima jabatan sebagai ketua Te gak bun. Melihat wajah tuan Ko, terpincutlah hati Pik Hay-cu. Dengan berbagai siasat dicobanya untuk memikat tetapi tuan Ko, seorang lelaki yang berhati teguh. Tak sedikitpun hatinya goyah menerima bujukan ular cantik itu.

Pik Hay-cu minta bantuan Sik-long, Sik-long sedang mempersiapkan suatu ramuan obat yang disebut Kiong-sin-tan (pil pemikat). Diam-diam obat itu diselundupkan kedalam makanan tuan Ko...”

“Apakah pil itu? Bagaimana gunanya?” tanya Cian Hong.

“Pil Kiong-sin-tan merupakan obat bius penghilang ingatan yang ganas. Barang siapa memakannya, ia tentu akan kehilangan kesadaran pikirannya dan menurut saja yang diperintahkan Sik- long!”

Mata Cian Hong berkilat-kilat sinar pembunuhan. “Tuan Ko dikuasai mereka dan dijebloskan dalam penjara dibawah tanah,” kata Tio Sam lebih lanjut.

“Pik Hay-cu dan Sik-long lalu mengadakan pembersihan. Banyak anakbuah Te-gak-bun yang dibunuh. Aku dan nyonya Ko berhasil lolos tetapi ditengah jalan kami tercerai berai.” “Apakah  ayah  sekarang  ini  masih  dikurung  dalam  penjara Neraka-19-lapis?” teriak Cian Hong dengan marah.

“Hm,” Tio Sam menggeram, “tiga bulan setelah dimasukkan dalam penjara, Pik Hay-cu mulai melaksanakan hasratnya. Karena dalam keadaan tak sadar, tuan Ko menuruti rayuan wanita itu. Kemudian hal itu diketahui Sik-long. Dia marah dan memaksa tuan Ko berganti nama lalu menyuruhnya berguru pada Hantu-mayat (Si-sin). Setelah tiba saatnya, Sik-long mengatur penyergapan pada Hantu-mayat dan pada saat Hantu-mayat dalam bahaya, tuan Ko diam-diam mencuri kitab ilmu Pukulan Hitam dan membawanya lari. ”

Cian Hong tersentak kaget sekali.

“Ayah berganti nama apa?” serunya tegang. “Hek-sim jin.... Thia Tat-hu. “

Seketika gemetarlah tubuh Cian Hong. Wajahnya pucat lesi! “Kemudian puteri Pik Hay-cu yang bernama Giok-lo-sat menuju

ke Tiong-goan mencari ibunya. Tetapi ketika mendengar perbuatan

mamahnya yang senista itu, dara itu malu dan gusar sekali. Ia bersumpah untuk membunuh semua orang yang pernah berzinah dengan Pik Hay-cu!”

“Oh, maka ia telah membunuh sekian banyak jiwa!” seru Cian Hong.

Tio Sam menghela napas, ujarnya: “Tak diketahui dari mana nona itu dapat memiliki Ba kim benda yang paling beracun didunia. Suatu senjata yang menambah keganasannya. Dan tadi tuan Ko pun berjumpa dengan Giok-lo-sat.

Wajah Cian Hong makin pucat. Dadanya sesak sekali.

Kata Tio Sam lebih jauh: “Meskipun telah meyakinkan ilmu Pukulan Hitam, tetapi ilmu mempunyai ciri yang istimewa. Seorang yang sudah mempelajari ilmu itu harus lebih dulu menyalurkan tenaga-dalamnya kepada orang kedua. Setelah itu barulah ia dapat mengembangkan tenaga-dalam Pukulan Hitam dengan sempurna, Giok-lo sat kedua matanya buta, ia tak merasa terkena pancaran ilmu Pukulan Hitam. Karena itu maka kalahlah tuan Ko dan terkena racun Bak-kim. ”

Cian Hong terhuyung-huyung gemetar. Kepalanya serasa dihantam palu besi.

“Dimanakah ayah sekarang ini?” serunya. “Setelah terkena racun Bak-kim, tuan Ko malah mendapat keuntungan yang tak terduga. Pengaruh pil Kiong-sim-tan (pelenyap jiwa), hilang terkena Bak- kim. Dan pulihlah kesadarannya. Dia menyadari kesalahannnya selama ini. Tetapi karena ia tak menginsyafi bahwa kesadarannya itu karena terkena racun Bak kim, maka ia tak menyalurkan sebagaimana mestinya agar dapat mengusir daya khasiat racun Kiong-sim-tan. Racun Bak-kim menjalar kekepala dan jalan darah ditubuh, kini jiwa tuan Ko dalam bahaya.”

“Bawa aku kesana!” serentak Cian Hong mencengkeram bahu bujang itu.

“Aduh, siau-cujin, lepaskanlah!” Tio Sam menjerit kesakitan.

Cian Hong melepaskan cengkeramannya tetapi keringat berkerumun didahi. Ia gelisah sekali memikirkan keadaan ayahnya. Walaupun sejak kecil tak pernah melihat wajah ayahnya tetapi hubungan darah antara ayah dan anak, tak dapat dihapus. Cian Hong gugup sekali ketika mendengar ayahnya terkena racun Bak- kim.

“Mari!” Tio Sam segera melangkah pergi, Cian Hongpun mengikuti. Dengan ilmu lari cepat dalam sekejab saja kedua orang itu sudah melintasi sebuah rimba dan langsung menuju ketebing karang. Tak berapa lama tibalah keduanya disebuah gua karang.

Ketika Tio Sam berhenti, Cian Hongpun lambatkan langkah. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan. Cepat sekali Cian Hong menerobos masuk ke dalam gua. Juga Tio Sam tegang sekali. Suara rintihan itu adalah suara Ko Ko-hong.

Setelah membiluk sebuah tikungan, tibalah Cian Hong disebuah ruang. Diatas sebuah tempat tidur batu terdapat seorang sasterawan setengah tua sedang rebah.

Cian Hong pernah berjumpa dengan orang itu yani seorang berkerudung muka yang mengenakan baju warna kelabu. Orang yang mengaku dirinya Hek-sim-jin Thia-Tat-hu.

Serta merta Cian Hong segera berlutut didepan ranjang batu itu: “Yah, yah, aku adalah Ko Cian Hong, puteramu...”

Ikatan batin antara ayah dan anak membuat Cian Hong menangis tersedu-sedu. Tampak Ko Ko-hong kicupkan mata. Dengan sorot mata yang suram dipandangnya anakmuda itu. Tangannya gemetar menarik tubuh puteranya: “Kau Hong-ji. ah,

anak kasihan ”

“Yah, aku benar Hong-ji!”

“Ah, dapat melihatmu sekali saja, puaslah hatiku. ” tiba-tiba Ko

Ko-hong berganti nada: “Mamahmu?”

“Mamah?” Cian Hong mengedipkan mata. Air-mata membanjir deras.

“Bagaimana? Apakah mamahmu mengalami nasib malang?” Ko Ko-hong mulai tegang.

Cian Hong mengangguk. “Siapa yang membunuhnya?” Ibu Cian Hong atau Kang-ou-bi-jin binasa dibawah pedang Tui- hun-kiam (Sambar-nyawa) milik Ko Ko-hong. Sukarlah bagi Cian Hong untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

“Hong-ji, siapakah yang membunuh ibumu?” Ko Ko-hong mengulang pertanyaannya lagi.

Dengan terkait-kait Cian Hong berkata, “Pedang Sambar... nyawa...”

Jantung Ko Ko-hong seperti dipalu. Ia katupkan matanya dan berdiam diri. Sampai lama baru ia meluncurkan beberapa patah kata: “Keji sekali!”

Tiba-tiba Ko Ko-hong membuka mata lagi dan memandang Cian Hong: “Hong-ji, apakah kau mencurigai ayah yang membunuh mamahmu?”

“Tidak...”

Ko Ko-hong menghela napas rawan, ujarnya: “Itu benar-benar suatu siasat licik yang disebut Bi-jin-ke!”

Bi-jin-ke artinya siasat mencari umpan wanita cantik. Suatu perkawinan politik atau siasat untuk menguasai musuh dengan ikatan perkawinan.

“Lagi-lagi tingkah laku Pik Hay-cu!” Cian Hong menggeram.

Ko Ko-hong gelengkan kepala: “Bukan, Pik Hay-cu hanya alat, dia dikuasai oleh seseorang.”

“Siapakah biang keladinya itu?” “Sik long!”

“Dia?” teriak Cian Hong dengan gigi gemerutuk. “Apakah dia belum mati?”

“Belum,” kata Ko Ko-hong, “aku termakan pil Kong-sim-tan buatannya sehingga hilang kesadaran pikiranku dan melakukan kejahatan-kejahatan. Dan kuajarkan juga kepadanya ilmu pedang Tui-hun-kiam. Hm, sungguh tak nyana dia menggunakan ilmu itu untuk membunuh Sian-Lan, keji, keji!”

Serentak Cian Hongpun mengucapkan sumpah: “Anak bersumpah pasti akan mencuci bersih dendam sakit hati itu!”

Kulit maka Ko Ko hong sudah mulai menebar warna hitam, dengan nada lemah ia berkata: “Ah, aku sudah tak ada harapan. Setelah terkena racun Bak-kim anak Perempuan itu. Memang pengaruh Kiong-sim-tan dapat dibuyarkan tetapi akupun tak terluput dari kematian. Sebelum mati, aku harus memberitahukan kepadamu tentang siasat-siasat keji yang mereka persiapkan...”

“Siapakah, yah” Cian Hong terkejut. “Sik long, Pik Hay-cu dan Tok-ho-cui!”

“Mereka tergolong durjana-durjana besar!” Cian Hong berseru kaget.

Ko Ko-hong menjelaskan: “Tetapi yang menjadi biangkeladi utama ialah Sik-long. Dialah yang menguasai Pik Hay-cu dan Tok- ho-cui!”

Cian Hong diam-diam heran mengapa Pik Hay cu dan Tok-ho- cui (Air beracun) dapat dikuasai Sik long. Padahal kedua tokoh itu memiliki kepandaian sakti.

Rupanya Ko Ko-hong mengerti juga keheranan puteranya. Sebelum Cian Hong bertanya, ia sudah mendahului berkata: “Kepandaian Pik Hay cu dan Tok-ho-cui itu jauh lebih tinggi dari Sik-long. Tetapi mengapa kedua wanita itu dapat dikuasai Sik-long? Hal itu tak lain karena kedua wanita itu merupakan wanita cabul yang besar sekali nafsunya!”

“Wanita cabul? Apakah mereka mengumbar nafsunya?” “Benar,” sebut Ko Ko-kong, “Sik-long mahir sekali dalam ilmu menggauli wanita. Pik Hay-cu dan Tok-ho-cui mendapat kepuasan dan rela menurut perintahnya!”

Tiba-tiba Cian Hong teringat sesuatu, tanyanya: “Yah, siapakah wanita yang disebut Tok-ho-cui itu?”

“Dia?”

Cian Hong memperhatikan kerut dahi ayahnya menampil kesakitan yaag hebat. Beberapa saat kemudian baru Ko Ko-hong membuka mulut: “Berbicara tentang Tok-ho-cui sebenarnya masih ada sangkut pautnya dengan ayahmu. Masa itu ayahmu baru mengembangkan pengasuh partai Te-gak-bun didunia persilatan. Tiba-tiba muncullah wanita Tok-ho-cui itu tetapi kuhalaunya pergi. Dia sakit hati dan pergi membawa dendam kesumat. Kemudian ia dapat menguasai partai Thian tong-bun. Sejak itu Thian-tong bun berbalik arah, bersikap memusuhi Te-gak-bun.”

Kini Cian Hong makin jelas. Memang waktu berada didalam Neraka-dua-lapis, orangtua yang dijebloskan disitu pernah mengatakan bahwa Tok-ho-cui itu merupakan wanita kedua yang menguasai Te-gak-bun.

Betapa besarlah pengarah cinta terhadap seseorang!

Cian Hong mengeluarkan piagam Te-gak leng. “Yah, Te-gak-leng sudah berada dltangan anak!” katanya.

Wajah Ko Ko-hong menampil seri kegirangan, ujarnya: “Kau harus baik-baik menyimpan benda itu dan usahakanlah sekuat- kuatnya untuk membangun partai Te-gak-bun...”. dipegangnya tangan sang putera dengan erat.

Beberapa saat kemudian kedengaran Ko Ko-hong berkata dengan pelahan: “Aku harus menyalurkan tenaga-dalam Pukulan Hitam kepadamu. Kalau tidak, kau tentu tak dapat menandingi kesaktian ketiga iblis laknat itu.”

Cian Hong terkejut. Dengan cara itu ayahnya tentu kehabisan tenaga. Tetapi sebelum ia dapat menolak, tiba-tiba kedua tangan ayahnya sudah melekat di jalan darah Ki-bun-hiatnya: “Lekaslah lakukan pernapasan dan sedotlah hawa murni!”

Seketika Cian Hong rasakan serangkum hawa panas menghambur ketubuhnya. Terpaksa ia menurut perintah ayahnya.

Dikala ayah dan puteranya sedang menyalurkan tenaga-dalam Pukulan Hitam, diluar gua Tio Sam sedang mondar mandir menjaga gua itu. Tiba-tiba sesosok bayangan putih muncul berlari-larian menuju gua situ. Tio Sam tegang dan bersiap-siap dengan pengerahan tenaga-dalam.

Cepat sekali bayangan putih sudah tiba dimuka gua serempak dengan seruan menegur: “Tio Sam, masih kenal dengan orang lama?”

Tio Sam terbelalak kaget. Memandang kemuka dilihat seorang wanita pertengahan umur tegak berdiri. Girangnya bukan kepalang setelah tahu siapa wanita itu.

“O, kiranya nona Kiok!” serunya.

Memang yang muncul itu bukan lain ialah Hoa Sian-kiok, adik dari Hoa Sian-lan. Wanita itu berkata: “Syukur kau tak lupa padaku!”

“Ah, sudah  berselang 20  tahun, rambut  kitapun sudah  putih,” sahut Tio-sam.

Sian-kiok menghambur helaan napas, kemudian bertanya: “Kudengar cihu (kakak ipar) terkena racun Bak-kim, benarkah itu?”

Tio Sam mengiakan. “Dimana dia sekarang?”

Tio Sam menunjuk kedalam gua: “Didalam!” “Antarkan aku kesana,” kata Sian-kiok.

Tio Sam segera membawa wanita itu masuk kedalam gua. Didalam gua tampak Cian Hong sedang duduk dengan meramkan mata. Sedangkan Ko Ko-hong menggeletak lunglai dipembaringan batu.

Rupanya masih tajam juga pendengaran Ko Ko-hong. Ketika mendengar langkah orang masuk, segera ia menegur: “Siapa?”

Nadanya terdengar lemah. Segera Hoa Sian-kiok tahu bahwa keadaan kakak iparnya sudah payah sekali.

Hidung Sian-kiok segera lembab dengan getaran isak. Segera ia lari kehadapan Ko Ko-hong : “Cihu, apakah kau ingat Sian-kiok?”

Tergetar tubuh Ko Ko-hong mendengar ucapan itu.

Kedua mata membelalak, serunya gemetar: “Benarkah kau, kau... Sian-kiok?”

Sian-kiok mencucurkan airmata, menyahut dengan iba: “Cihu, ah, tidak! Ijinkanlah aku memanggilmu dengan sebutan engkoh Ko- hong!”

Ko Ko-hong menghela napas: “Ah, duapuluh tahun telah lampau dan kita telah sama-sama menjunjung uban. Sian-kiok maafkanlah aku. Selama duapuluh tahun itu aku benar-benar tenggelam dalam lembah kemasygulan...”

“Tidak, pilihanmu sudah tepat, Taci dapat memberimu kebahagiaan...”

“Sian-kiok,” buru-buru Ko hong alihkan kata-kata, “apakah senang hidupmu selama ini? Sudah berapa anakmu sekarang?” Hati Sian-kiok seperti disayat sembilu, sahutnya penuh rawan: “Tidak, aku masih sendirian ”

Hati Ko-hongpun seperti ditusuk belati. Darah bercucuran dalam hatinya.

“Sian-kiok, mengapa kau rela menyiksa diri begitu hebat? serunya.

“Dalam hidupku, gerbang hatiku hanya pernah terketuk olehmu. Kaulah pria satu-satunya yang membekas kenangan disanubariku. Kenangan itu takkan hilang selama-lamanya. Takkan lapuk sepanjang masa. ”

“Ah, Sian kiok, aku benar-benar menyiksa kau.”

“Tidak, engkoh Ko hong. Kutahu kaupun mencintai aku. Tetapi kau lebih cinta pada taci. Tacipun cinta sekali padamu. Aku rela mengorbanku diriku sendiri.”

“Tetapi ” tiba-tiba wajah Ko Ko-hong berobah hitam.

Tak dapat ia melanjutkan kata-katanya lagi. Hanya sepasang matanya tetap melekat pada wajah adik iparnya. Hoa Sian-kiok yang pernah dicintainya itu....

“Engkoh Ko-hong ” Sian-kiok segera memeluk Ko Ko-hong.

Tiba-tiba kedua mata Ko Ko-hong memejam dan putuslah jiwanya. Hoa Sian kiok menjerit. Ia menangis seperti orang kalap.....

Tak berapa lama Cian Hongpun selesai menjalankan penyaluran tenaga-murni Pukulan Hitam yang diterima dari ayahnya. Serentak ia berbangkit. Demi melihat ayahnya meninggal, iapun menangis seperti anak kecil....

Mendengar suara ribut-ribut didalam gua, Tio Sam segera menerobos masuk. Apa yang disaksikan dalam ruang gua, membuatnya menangis juga. Seketika ruang gua diliputi oleh lengking tangis yang menyayat hati....

Beberapa saat kemudian Hoa Sian-kiok mengusap airmata dan berbangkit.

“Walaupun kita tangisi yang mati takkan hidup lagi. Kita sudah cukup menumpahkan kedukaan. Masih ada lain urusan yang lebih penting yang menjadi beban kita,” katanya kepada Cian Hong.

Mendengar kata-kata bibinya, Cian Hong berhenti menangis.

Tanyanya: “Urusan apa?”

Sahut Sian-kiok: “Ikut aku, nanti kau tentu tahu sendiri. Waktu tak mengijinkan kita banyak bicara. Atau kalau terlambat pasti akan menimbulkan bencana dendam kesumat yang besar!”

Cian Hong memandang kearah jenazah ayahnya, serunya: “Bagaimana dengan jenazah ayah?”

Siaa-kiok merenung sejenak: “Suruh Tio Sam mengurusnya. !”

Cepat sekali Sian-kiok sudah menyambar tangan kemenakannya terus diajak lari keluar dari gua.

Mereka berlari-larian menuju ketimur.

Cian Hong tak tahu apa maksud bibinya dan kemana ia hendak diajak. Tetapi ia percaya bahwa bibinya tentu akan membantu kepentingannya.

Hoa Sian-kiok tak mau menerangkan api-api kepada Cian Hong. Rupanya ia sedang bergegas-gegas menuju kesuatu tempat. Menilik sikapnya, tentu mengenai suatu peristiwa yang penting sekali.

Setelah kedua orang itu pergi, guapun kembali sunyi senyap. Hanya tinggal Tio Sam seorang yang diserahi mengurus jenazah Ko Ko-hong. Ko Ko-hong yang kini menggeletak tak bernyawa itu sebenarnya ketua dari Te gak bun. Seorang lelaki cakap dan sakti tetapi akhirnya harus mengalami nasib yang sedemikian mengenaskan.

Namun walaupun bagaimana juga, dalam detik-detik kematiannya ia masih sempat bertemu dengan puteranya, menuturkan riwayatnya selama ini dan meninggalkan seluruh tenaga-dalam ilmu Pukulan Hitam.

Dihadapan ayahnya, Cian Hong telah mengucapkan janjinya hendak menuntut balas pada Sik-long.

Dua  buah  puncak  yang  menjulang  menyusup  kedalam  mega, dikelilingi oleh hutan belantara yang lebat dan dijaluri oleh sebuah lembah   yang   memanjang   dan   berlingkar-lingkar   macam   ular. Dihuni oleh khewan galak yang selalu siap menerkam setiap insan manusia yang datang. Seram, seram sekalilah keadaan markas Te- gak-bun yang disebut Neraka-19-lapis.

Pada ujung lembah terdapat sebuah tanah yang luas, penuh dengan rumah-rumah gubuk yang dibangun pada dinding gunung.

Saat itu disebuah puncak karang yang tinggi tampak tegak seorang wanita yang berpakaian indah. Dia tegak menyongsong hembusan angin. Pakaiannya berkibar-kibar tertiup angin. Matanya memandang kemulut lembah seolah-olah sedang menunggu kedatangan seseorang.

Rupanya ia tampak tak sabar lagi karena sudah terlalu lama menunggu.

“Tok-ho-cui, jika hari ini kau tak berani datang kelembah Te- gak-ko, aku Pik Hay-cu pasti akan mencarimu di Thian-tong-bun! Akan kuhancurkan sarangmu!” serunya menggeram. Secercah angin meniup rambutnya. Dan Pik Hay cu rupanya tak marah dengan angin jail itu. Dikemasi rambutnya supaya rapi lagi. Dia memang seorang wanita yang menjunjung kerapian. Ia gemar bersolek karena menurut anggapannya seorang wanita harus memelihara wajahnya agar menarik.

Walaupun sebenarnya ia tak terlalu cantik, tetapi berkat kesukaannya merawat diri, sehingga kekurangan-angan diwajahnya itu dapat ditebus. Apalagi ia mempersolek tubuhnya dengan pakaian-pakaian yang indah, wajahnyapun makin menarik.

Lembah Te-gak-koh tetap sunyi senyap. Tak seorangpun yang tampak kecuali dia seorang. Sedemikian sunyi senyapnya sehingga daun-daun kering yang gugur ketanahpun dapat didengar.

Pik Hay-cu kerutkan alis, serunya geram: “ Aku Pik Hay-cu jika mendapatkan seorang pria, tentu kumiliki sendiri. Siapa sudi membaginya kepadamu, Tok-ho-cui! Jika kau tak datang, aku tetap akan mencarimu juga!”

Tiba-tiba pikirannya terlintas akan seorang lelaki yang bertubuh tinggi kekar. Pik Hay-cu mengingau seorang diri: “ Sik long, ah, kau Sik-long! Namamu sungguh sesuai... Hanya kaulah yang dapat memuaskan keinginanku .... Apa itu si Sam tian-bin, siang-siang sudah kulempar lelaki itu. Hanya kau Sik-long satu-satunya lelaki yang menjadi idam-idamanku. Kalau saat ini kutempur Tok-ho-cui adalah semata-mata karena kau ”

Teringat ia akan kenikmatan yang diberikan oleh Sik-long yang pandai melayani keinginannya, makin gemaslah Pik Hay-cu terhadap Tok-ho-cui yang hendak merebut lelaki itu.

Tiba-tiba ia teringat pada pulau Sian-li-ki, pada suaminya Tang- hay ki-hiap dan puterinya....

“Ah, anak itu kini tentu sudah remaja. dahulu ketika kutinggal

dia  baru  berumur  setengah  tahun...” Hanya  sekejab ia  merintih tetapi secepat kilat ia sudah menghapus segala kenangan kepada pulau Sian-li-ki dan penghuninya.

Tiba-tiba ia mendengar daun-daun pohon bergoyang. Cepat ia lontarkan pandangannya memperhatikan dan seketika terkejutlah ia.

“Hai, siapa itu?” serunya.

Memang saat itu ditengah-tengah lembah menerobos sesosok bayangan putih.

“Hai, siapakah yang berani mati masuk ke Neraka-19 lapis sini?

Sungguh mau cari mati!” teriak Pik-Hay-cu dengan murka.

Sosok putih itu makin lama makin membesar.

Diam-diam Pik Hay-cu terkejut: “Melihat ilmunya meringankan tubuh, orang itu tentu berkepandain tinggi. Tak boleh dipandang ringan.”

Cepat sekali bayangan putih itu menerobos kedalam lembah. Seorang nona cantik yang berpakaian serba putih tetapi wajahnya dingin dan sayu.

Nona itu gesit sekali. Tiba-tiba seorang wanita berpakaian indah melesat menghadangnya.

Nona  cantik itu  cepat berputar  tubuh dan hendak  membentak tetapi didahului siwanita setengah umur: “Budak perempuan dari mana berani mati masuk kedalam Neraka-19-lapis sini!”

Nona itu kicupkan ekor matanya dan balas menegur: “Lekas suruh ketuamu keluar!”

“Ketua? Siapa yang kau maksudkan?” wanita itu balas bertanya. “Seorang wanita yang memakai she Pik!”

Mendengar itu siwanita tertawa nyaring. Dia sendiri sebenarnya Pik Hay-cu. “Pik Hay-cu?” serunya.

Nona itu marah sekali: “Sudah tahu mengapa masih bertanya lagi?” bentaknya.

Sahut Pik Hay-cu: “Ketua kami tak mudah menerima orang luar. Tetapi apa maksudmu mencarinya? Jika kau mau menjelaskan dengan terus terang, mungkin aku dapat membantumu!”

“Hm, meskipun kau tak mau menyampaikan akupun dapat masuk mencarinya sendiri!” sinona menggeram. Habis berkata ia terus berkisar dan loncat melesat....

Gerakan nona itu cepat sekali tetapi Pik Hay-cu pun lebih cepat. Dengan sebuah ayunan tubuh, Pik Hay-cu sudah dapat menghadang dimuka nona itu.

Melihat gerakan orang sedemikian hebatnya, mau tak mau nona itu terkesiap juga. Tetapi nona itu seorang nona yang keras kepala. Dia membantah dan lepaskan tamparan.

“Bagus!” seru Pik Hay-cu demi menyaksikan pukulan nona itu mengandung tenaga dalam yang besar. Segera ia menangkis.

Nona itu terkejut sekali, ia tersurut mundur dua langkah.

Wajahnya agak pucat dan tegak termangu-mangu...

Pik Hay-cu tertawa melengking: “Nona kecil katakanlah baik- baik mungkin masih ada harapan kau bertemu dengan ketua kami. Tetapi jika menggunakan kekerasan, mungkin kau bakal mengalami kesulitan!”

Nadanya yang penuh ejekan itu memuakkan hati sinona. Tetapi nona itupun menginsyafi bahwa ia kalah sakti, ia kerutkan alis dan tegak mematung.

Pik Hay-cu memandangnya lekat-lekat. Tiba-tiba ia bertanya: “Nona siapakah namamu?” Nona itu tetap diam.

“Eh, mengapa kau diam saja?” Pik Hay-cu mengulangi pertanyaannya.

“Giok-lo sat!” akhirnya nona itu menyahut dengan tawar.

Pik Hay-cu terkesiap, ujarnya: “Giok-lo-sat, Giok-lo-sat ....

agaknya tak pernah terdengar nama semacam itu. ”

“Belum lama dari seberang lautan, apalagi seorang yang tak ternama, sudah tentu tak pernah dikenal orang!” sahut Giok-lo-sat.

“Apa? Kau berasal dari seberang lautan?” Pik hay-cu berseru kaget.

Giok-lo-sat kisarkan kepala dan menyahut dingin: “Orang dari seberang lautan toh juga manusia. Mengapa kau harus merasa kaget?”

Tetapi diam-diam Pik Hay-cu kucurkan keringat dingin.

Hatinya berdebar keras. Diam-diam ia membatin: “Seberang lautan, jangan-angan pulau Sian-li-ki. Apakah anak ini ”

memikirkan sampai disitu darah Pik Hay-cu menyalur kencang.

Dipandangnya Giok-lo-sat dengan lekat. Dan makin pucatlah wajahnya. Nona itu mempunyai kecantikan yang gilang-gemilang. Alis dan mulutnya menyerupai dirinya....

“Apakah kau berasal dari pulau Sian-li-ki di seberang lautan?” akhirnya ia menegas.

Kali ini Giok-lo-aat yang terkesiap. “Mengapa kau tahu?” serunya.

Penyahutan itu berarti suatu pengakuan. Seketika Pik Hay-cu rasakan kepalanya seperti disambar petir. Tetapi secepat itu segera ia membentaknya dengan murka: “Mengapa kau datang kedaratan Tiong-goan?” “Mencari orang!” jawab Giok-lo-sat.

“Mencari ibumu?” Pik Hay-cu makin maju dalam menyelidiki nona itu.

“Tidak! Dia tak berharga menjadi ibuku!” diluar dugaan Giok-lo- sat memberi penyahutan yang muak.

Pik Hay-cu tertawa hambar: “Lalu siapakah yang hendak kau cari?”

Hati Giok-lo-sat pedih sekali. Sahutnya: “Kedatanganku hanya hendak memintanya...” sudah belasan tahun ayahku menderita sakit karena kepergian ibuku itu. Ayah terbaring ditempat tidur, siang malam mengerang kesakitan...” tiba-tiba ia berganti nada. Tegurnya: “Siapakah kau?”

Pik Hay-cu berputar tubuh, dengusnya: “Pik Hay-cu!”

Mendengar itu gemetarlah tubuh Giok-lo-sat. “Mah...” serunya tegang.

Serempak Pik Hay-cu berputar menghadapi Giok-lo-sat lagi. Wajahnya dingin sekali. Bentaknya: “enyahlah, aku Pik Hay-cu tak mempunyai anak!” Kembali Giok-lo-sat menggigil dan menyurut mundur beberapa langkah. Darahnya bergolak keras, dan penuh sesak sehingga beberapa saat tak dapat bicara sepatahpun juga.

Pik Hay cu menuding hidung Giok-lo sat: “Pulanglah kepulau kosong itu. Bilang pada ayahmu, jangan mengharap-harap yang tak mungkin lagi. Suruh dia lenyapkan harapannya. Mengharap Pik Hay-cu pulang hanya dapat terlaksana apabila matahari terbit dari setelah barat, hm...”

Airmata Giok-lo-sat bercucuran deras, serunya: “Kau... kau... begini kejam...” Pik Hay-cu tertawa dingin: “Kejam? Dialah yang lebih kejam. Dia hendak mengurung aku dalam pulau yang sepi. Hidup secara begitu tawar, akan memperpendek umurku saja. ”

Dengan masih mengulum isak, berkatalah Giok-lo-sat: “Tetapi kau harus mengingat bahwa dia sudah payah sekali sakitnya!”

“Bah, dia seorang lelaki yang tak berguna!” Gemetarlah Giok-lo- sat.

Kata Pik Hay-cu pula: “Hidup bersama dengan ayahmu, bagaikan melewati kehidupan hampa. Tiada kebahagiaan sama sekali, tak dapat memuaskan keinginanku!”

Giok-lo-sat tersipu-sipu tundukkan kepala serunya: “Harap jangan mengucapkan kata-kata begitu!”

“Hm, kau tak suka mendengarkan? Lekaslah tinggalkan lembah ini!” seru Giok-lo-sat. Sedikitpun tiada rasa keibuan. Tiada kasih sayang.

“Mah.    ketika  kau  tinggalkan pulau Sian-li-ki, aku masih bayi.

Setelah aku dewasa dan mengerti urusan dunia, tiap hari aku mengharap-harap kedatanganmu saja. Tiap pagi dan sore aku berdiri ditepi pesisir, kuarahkan pandanganku kedaratan Tiong- goan. Tetapi dari hari ke hari, tiada juga kudengar sebertik beritamu. Kusertai doa harapanku itu dengan cucuran air mata. Tahun berganti tahun, genaplah sudah l0 tahun lamanya aku menangis sehingga mataku sampai buta. Tetapi    tetapi kau tetap

tak kunjung pulang. Penyakit ayah makin hari makin berat. Aku bingung dan nekad. Tanpa menghiraukan suatu apa, segera kupergi ke Tiong-goan. Tetapi, tetapi saat ini... “. nada Giok-lo sat makin lama makin keras dan tajam. Tetapi dikal a mencapai klimaksnya, tiba-tiba ia berhenti. Ia menyadari berhadapan dengan orangtuanya. Tak mau ia mengucapkan kata-kata yang tajam! Tetapi kata-kata itu sudah membuat Pik Hay-cu marah sekali, bentaknya: “Kau, kau, kau Giok lo-sat. Giok-lo sat yang dalam waktu terakhir ini membunuh berpuluh tokoh-tokoh persilatan dan menggetarkan dunia persilatan... Oh, kutahu tindakanmu

membunuh-bunuhi mereka itu dikarenakan diriku. ”

“Mah. ” Giok-lo sat terisak.

Plak sekonyong-konyong Pik Hay-cu menampar muka Giok lo-

sat dua kali, bentaknya: “Enyah, lekas enyah dari sini. Memandang hubungan ibu dan anak, kali ini kuampuni jiwamu!”

Giok-lo-sat tak marah mendapat tamparan itu. Bahkan dengan merintih ia meminta lagi: “Mah, harap suka pulang menjenguk ayah. ”

“Hm, dia sudah kehilangan harga sebagai seorang lelaki. Jangan mengharap lagi aku pulang kepulau kosong itu!” tukas Pik Hay-cu.

“Tetapi ”

Pik Hay-cu ayunkan tangannya: “ Jika masih membangkang dan tak enyah, jangan harap kau dapat berjalan!”

Pukulan Pik Hay cu itu menimbulkan angin dahsyat. Giok-lo-sat tak sempat menghindar lagi. Seketika ia rasakan dadanya seperti pecah darah bergolak-golak hebat dan meluncurlah darah dari mulutnya.

Giok-lo-sat mengusap darah dimulutnya dengan lengan baju. Serunya: “Kau... kau memutuskan tali ikatan kasih dengan ayah!”

Pik Hay cu makin marah, serunya: “Ketahuilah, aku tak dapat hidup tanpa lelaki. Pun daratan Tiong-goan itu jauh lebih kaya daripada pulau Sian li ki!”

Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring memecah angkasa. Pik Hay cu tertegun, ia memandang keudara, serunya: “Tok-ho-cui datang!” Seketika wajah Pik Hay-cu mengembang hawa pembunuhan. Ketika Giok-lo-sat berpaling arah, tampak sebuah tandu dihias indah meluncur ditengah lembah. Suitan nyaring itu berasal dari tandu itu Cepat sekali tandu itu sudah tiba dimuka Pik Hay-cu dan serempak dengan itu keluarlah seorang wanita tua.

“Hm, tidaklah mengherankan kalau Sik-long kena dirayunya....

Tok-ho-cui sudah berumur 70-an tetapi tampaknya masih seperti wanita berumur 30-an tahun. Wajah dan suaranya masih tampak seperti wanita muda,” diam-diam Pik Hay-cu menimang.

Saat itu Tok-ho-cuipun sudah manghampiri, ujarnya: “Pik Hay cu, hari ini kita mengadu mati atau hidup!”

“Tok-ho-cui, jika kau masih ingin hidup lepaskanlah Sik-long!” teriak Pik Hay-cu.

“Hm, suruh lepaskan Sik-long berarti membunuhku. Sehari tanpa dia aku tak dapat hidup. Pik Hay-cu, didunia toh banyak lelaki, mengapa kau berkeras menghendaki Sik-long saja? Pilihlah lain orang, tetapi jangan Sik-long. Dia adalah milikku!”

“Mengapa tak kau saja yang mencari lain lelaki? Mengapa kau suruh aku?” balas Pik Hay-cu.

“Hm, kalau begitu kita harus menentukan siapa yang berhak atas Sik-long!”

Dari perdebatan itu tahulah Giok-lo-sat bahwa ibunya dan wanita pesolek itu tengah memperebutkan Sik-long. Bukan main malu Giok-lo-sat.

“Mah, marilah kita pulang kepulau Sian-li-ki yang indah!” akhirnya Giok-lo-sat membujuk ibunya.

Tiba-tiba Pik Hay cu ayunkan tangannya: “Enyahlah!” Serangkum angin dahsyat menerjang Giok-lo-sat. Nona itu terhuyung-huyung sampai beberapa belas langkah dan muntah darah.

Tok ho cui mendengus dingin: “Pik-Hay-cu, betapa ganas hatimu...”

“Tutup mulutmu!” bentak Pik-Hay-cu, “aku kepingin menerima pelayaran ilmu yang kau dapatkan dari Kitab Kuning!”

“Aku pun juga ingin berkenalan dengan gerakan Sian-li ki-poh yang termasyhur. ”

Sekejab saja terdengarlah deru angin menderu-deru dahsyat. Tetapi Giok lo-sat benar-benar hancur hatinya. Tanpa berpaling kearah pertempuran, ia segera ayunkan langkah tinggalkan lembah Te-gak-koh. Dia benar-benar muak dan malu terhadap perbuatan ibunya. Benar-benar seorang wanita yang sudah hilang harga dirinya. Seorang ibu yang sudah hilang keibuannya. Huak ia

muntah darah, sekujur pakaiannya berlumuran darah....

“Mati, ya hanya kematianlah yang dapat mencuci kenistaanku.....” terlintas pikiran pendek pada benak Giok-lo-sat. Dan serempak dengan itu teringatlah ia akan benda Bak-kim yang beracun. Cepat benda itu dimasukkan kedalam mulutnya: “Mati, mati adalah bebas dari penderitaan ”

Dengan tenang nona itu ayunkan langkah sambil menunggu kedatangan malaikat maut.

Tiba-tiba disebelah muka melesat dua sosok bayangan yang dengan cepat sekali sudah tiba dihadapannya.

“Ah, Giok-lo sat!” salah seorang dari pendatang itu berseru kaget. Sebenarnya Giok lo sat sudah jemu bertemu orang. Tetapi demi mengenal nada suara orang itu tahulah ia siapa yang datang, ia terhenti dan tegak sandarkan diri dibatu karang.

Kiranya yang datang itu adalah Ko Cian Hong dan Hoa Sian-kiok. “Nona...” Cian Hong menghampiri dan tak lanjutkan tegurannya

ketika melihat nona itu pejamkan mata.

“Apakah nona dari lembah Te-gak-koh?” srru Hoa sian-kiok. Tanpa membuka mata, Giok-lo-sat hanya mengangguk.

“Apakah kau mengetahui Tok-ho cui sudah masuk kedalam lembah?” tanya Hoa Sian-kiok pula.

“Ya,” sahut Giok-lo sat ringkas.

Hoa Sian kiok makin gugup, tanyanya: “Bukankah dia bertempur dengan Pik Hay cu?”

Tergetar hati Giok-lo sat. Setiap pertanyaan yang menyangkut diri ibunya, ia pasti merasa. sebagai seorang anak yang ibunya berkelakuan nista, Giok lo sat selalu menanggung rasa malu.

“Mati, ya hanya kematianlah yang akan dapat melenyapkan penderitaan batinku ini... pikirnya.

Melihat nona itu diam saja, Hoa Sian-kiok menegurnya pula: “Nona, apakah kau melihatnya... “

Belum lagi Hoa Sian kiok melanjutkan kata-katanya tiba-tiba Cian Hong berteriak: “Nona.... ah.... kau ”

Melihat pipi Giok-lo sat berwarna hitam, cepat-cepat Cian Hong menamparnya dan menghamburlah Bak kim keluar.

“Mengapa kau melakukan itu, oh, Giok-lo-sat ” serta merta Cian

Hong memeluk tubuh nona itu erat-erat: “Aku,  aku  cinta  padamu. ” Ucapan itu bagai kilat menyambar kepala Giok-lo-sat. Nona itu terkesiap dan membuka mata. Tetapi sudah terlambat. Ulu hatinya terasa sakit sekali dan kembali ia pejamkan mata....

“Sudah terlambat “ bisiknya.

“Tidak, tidak! Akan kucari Giok cu untuk mengobati racun ditubuhmu!” kata Cian Hong dengan bersemangat.

Giok lo sat tersenyum rawan: “Percuma, aku dapat mati ditanganmu sudah merupakan kebahagiaan. Kukira kau tak cinta padaku. Bahwa ternyata kau cinta padaku, sudah suatu berkah. Mengapa aku takut pada kematian?”

Cian Hong bingung. Dipeluk nona itu makin kencang dan diciumnya dengan penuh kemesraan: “Giok lo sat, aku cinta padamu. ”

Giok-lo-sat menyungging senyum kebahagiaan. Pada lain saat, jiwanyapun melayang. Nona itu mati dengan tersenyum bahagia karena mati dalam pelukan pemuda yang dikasihinya....

Cian Hong seperti orang gila. Dipeluk dan diciumi dara cantik itu. Air matanya bercucuran mencurah diwajah sidara....

Melihat itu Hoa Sian-kiok menghiburinya: “Cian Hong, janganlah kau kelewat berduka. Kau harus menerima nasib dengan dada lapang. Betapapun ia merasa bahagia karena mati dalam pelukanmu. ”

Kemudian ia alihkan pembicaraan: “Kita harus lekas-lekas ketempat pertempuran itu. Terlambat sedikit saja tipu muslihat Sik long tentu berhasil. Kitab Kuning dan kitab Bu-ji-thian-keng tentu jatuh ketangan manusia durjana itu. Dan habislah sudah riwayat dunia persilatan.”

Cian Hong menyadari pentingnya urusan itu. Setelah meletakkan jenazah Giok-lo-sat dalam semak-semak yang rindang, segera ia mengikuti bibinya.

Lembah Te-gak-bun sedang berlangsung suatu pertempuran dahsyat antara dua wanita yang diadu domba oleh Sik-long. Apabila Sik-long berhasil melaksanakan rencananya, dunia persilatan tentu akan berada dalam cengkeramannya...

ooOOoo

Pertempuran antara Pik Hay-cu lawan Tok-ho-cui benar-benar merupakan peristiwa besar yang jarang terjadi didunia persilatan. Karena pertempuran itu berlangsung dilembah Te-gak-bun yang sepi, tak seorangpun yang menyaksikan. Tetapi diluar pengetahuan kedua wanita yang sedang adu jiwa itu, diam-diam sepasang mata yang bersembunyi diantara semak-semak, mengikuti pertempuran itu dengan tersenyum girang.

Tok-ho-cui mengeluarkan ilmu sakti dari Kitab Kuning. Pik Hay- cu mengeluarkan ilmu aneh Sian-li-ki-poh. Kedua-duanya merupakan ilmu yang jarang terdapat didunia persilatan.

Dimana dua buah aliran ilmu sakti beradu maka panjang dan dahsyatlah jalannya pertempuran.

Duaratus jurus telah berlangsung. Masing-masing telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi sampai saat itu belum juga tampak kesudahannya.

Mereka makin kalap. Duaratus jurus kembali berlalu. Kedua wanita itu seolah-olah bergabung jadi satu, sukar dibedakan mana Pik Hay-cu mana Tok-ho-cui.

Tiba-tiba dari segerombol semak-semak muncul seorang berbaju kelabu dan mengenakan kerudung muka. Kerudung muka tiba-tiba disingkapnya dan dengan tertawa menyeringai, ia berjalan menghampiri ketempat pertempuran.

“Kalian boleh berhenti dulu,” serunya. Mendengar itu Pik Hay- cu dan Tok-ho cui segera menarik pulang serangannya dan masing- masing mundur dua langkah.

Kedua wanita itu memandang orang itu dengan penuh kemesraan. Orang itu yang bukan lain ialah Sik long menengadah tertawa nyaring.

“Jika kalian ingin hidup, harus segera menyerahkan kitab pusaka!”

Tok ho tui terkesiap: “Kitab Kuning?”

Pik Hay-cu juga terkejut, serunya: “Kitab Bu-ji-thian-keng?”

Sik-long menjawab penuh kesinisan: “Ya! Kalau tidak, sekali kugerakkan jari, jangan harap kalian mampu hidup lagi!”

Memang benar, To-ho-cui dan Pik Hay-cu sudah kehabisan tenaga. Apabila Sik-long menghajarnya, mereka pasti remuk.

Kedua wanita itu serempak berseru: “Sik-long bukankah kau cinta padaku?”

Sih long tertawa gelak-gelak.

“Fui! Jika aku Sik long cinta pada wanita masakan sudi mencintai seorang janda layu dan seorang nenek kempot semacam kalian? Terus terang, yang kucintai ialah kitab pusakamu itu!”

Kedua wanita itu terbeliak.

Kata Sik-long lebih lanjut: “Terus terang kuberitahukan pada kalian. Pertempuran yang kalian lakukan tadi adalah siasatku juga. Memang aku sengaja membakar hati kalian supaya saling iri. Kuatur sedemikian rupa supaya kalian saling cakar-cakaran...”

Betapa marah kedua wanita itu sukar dilukiskan. Serempak Pik Hay-cu dan Tok-ho-cui lepaskan pukulan tetapi dengan sekali dorong, Sik-long telah membuat mereka tersurut sampai dua tiga langkah.

“Lekas berikan kitab itu. !” bentaknya.

Dorongan itu membuat Tok ho-cui dan Pik Hay-cu jatuh terduduk. Buru-buru mereka bersemedhi hendak menyalurkan napas. Begitu tenaganya pulih, mereka hendak menghajar Sik-long!

Tetapi mereka tadi benar-benar telah menghabiskan tenaganya. Tenaganya itu tak mungkin dapat pulih dalam waktu yang singkat.

Sik long sirase licik, dapat menangkap isi hati kedua wanita itu. Serunya mengejek: “Belasan tahun kutekan derita kenistaan, hanialah untuk mengharap-harap saat seperti ini. Lekas serahkan kitab pusaka itu dan memandang sekelumit hubungan yang pernah kita jalin, aku dapat memberi kelonggaran untuk membiarkan mayat kalian utuh!”

Tok-ho-cui dan Pik Hay-cu tundukkan mata. Keduanya diam saja dan terus menyalurkan napas.

Sik-long tertawa iblis: “Ho, jangan harap kalian mampu memulihkan tenaga lagi. Sebelum rencanamu berhasil, akan kusuruh menikmati dulu suguhanku ini!

Sik-long menutup kata-katanya dengan loncat kehadapan Tok- ho-cui. Ia totok jalan darah didada wanita tua itu dan tertawa seram: “Tok-ho-cui, bagaimana rasanya?”

Dahi Tok-ho-cui bercucuran keringat. Wajahnya pucat lesi. “Serahkan kitab Kuning itu!” bentak Sik-long. Tok-ho-cui tetap

membisu.

Sik long geram sekali. Segera ia ulurkan tangan hendak merogoh kebaju Tok-ho-cui. Tok-ho-cui terhuyung-huyung berbangkit. Dia mengeluarkan sebuab kitab kecil berwarna kuning. Sebelum Sik- long mengerti apa maksudnya, sekonyong-konyong terdengar suara kertas dirobek-robek. Tok-ho-cui telah merobek-robek kitab itu menjadi beberapa keping dan ditaburkan keudara....

Bukan main kaget dan gusarnya Sik-long. Dengan wajah sengeri iblis ia loncat maju dan menghantam, Tok-ho-cui tak sempat menghindar lagi. Dadanya terpukul dan bagaikan sebuah layang- layang putus tali, tubuhnya melayang sampai beberapa tombak. Bum wanita itu terbanting ditanah. Mulutnya menyembur darah

segar.

Masih Sik-long belum puas. Ia loncat lagi dan menyusuli sebuah tendangan dahsyat. Tanpa dapat sesambat, Tok-ho-cui terkapar ditanah. Jiwanya melayang.....

Sik-long seorang manusia serigala yang buas.

Pada saat Sik-long sedang mengerjai Tok ho-cui, Pik Hay-cupun berusaha keras untuk menyalurkan jalan darahnya. Tetapi karena tenaga-dalamnya benar-benar terperas dalam pertempuran dengan Tok-ho-cui tadi, dalam waktu yang sesingkat dikehendaki, ia gagal untuk mencapai pemulihan tenaga itu.

Sik-longpun loncat kehadapannya.

“Pik Hay-cu, mengingat hubungan kita selama ini, baiklah kau serahkan kitab itu dengan baik-baik, Marilah kita bersama-sama memimpin partai Thian-tong-bun dan Te-gak-bun untuk menguasai dunia persilatan!” kata Sik-long.

Pik Hay-cu kerutkan alis, sahutnya: “Jangan mimpi kau!”

“Apakah kau benar-benar tak tahu gelagat?” bentak Sik-long dengan gusar.

“Hm, apakah setelah kuserahkan kitab Bu-ji-thian-keng kau nanti mau mengampuni jiwaku? Hebat benar siasatmu sehingga tak kusangka bahwa pertempuranku dengan Tok-ho-cui itu kau yang mengatur. Kalau tidak, ha, mungkin salah satu diantara kami tentu cukup untuk menghancurkan tubuhmu!”

“Memang benar,” sahut Sik-long, “tetapi kesemuanya itu sudah terlambat sekarang!”

Pik Hay-cu tertawa dingin “Belum tentu. Asal tak kuserahkan kitab itu kaupun tentu tak berani membunuhku!”

“Hm, belum tentu,” dengus Sik-long, “jika kau dan Tok-ho-cui sudah mati, Ko Ko-hongpun sudah kukuasai dengan pil Kiong sim- tan. Walaupun aku tak berhasil mendapatkan ketiga kitab pusaka itu, tetapi kitab itupun tak ada lagi didunia. Aku cukup kuat untuk menguasai dunia persilatan, ha, ha... ha, ha.... Pik Hay-cu. kau

harus menginsyafi hal itu... heh, heh. ”

Pik Hay-cu gemetar, ia berbangkit. Tiba-tiba dari luar lembah tampak dua sosok bayangan lari menyusup kedalam. Seketika berobahlah wajah Sik-long. Tak tahu siapakah kedua orang yang lari mendatangi itu. Apabila mereka kawan Pik Hay-cu, ah, runyam sekali.

Untuk menjaga suatu perobahan yang tak menguntungkan, Sik- long segera bertindak. Dilontarkannya sebuah pukulan dahsyat!

Dipihak Pik Hay-cu, karena munculnya dua sosok bayangan, walaupun belum diketahui siapa, tetapi ia mulai merangkum harapan. Seketika semangatnya timbul. Ditangkisnya pukulan Sik- long. Ah... seketika mengeluhlah mulutnya. Ternyata gerakan tangannya itu tak bertenaga sama sekali. Tenaga-dalamnya sudah habis diperas dalam pertempuran dengan Tok-ho cui. Saat itu arus tenaga pukulan Sik-long melandanya. Dess Pik Hay-cu terdampar

mundur beberapa langkah. Darahnya bergolak-golak dan jatuhlah ia ketanah lagi.

Sik-long loncat menghampiri. Dicengkeramnya tubuh Pik Hay

cu. “Kau hendak mengambil  kitab Bu ji-thian-keng? Ha, ha. jauh

hari setelah selesai mempelajari kitab itu segera kuhancurkan ” Pik

Hay-cu tertawa mengejek.

Bukan main marah Sik-long. Ia tertipu mentah-mentah. Seketika dihantamnya kepala Pik Hay-cu. Pik Hay-cu menjerit ngeri, kepalanya remuk dan menggeleparlah wanita yang besar nafsunya itu ketanah.

Demikian tamatlah riwayat seorang wanita yang lari meninggalkan suami dan anak hanya karena hendak memburu kesenangan, mengumbar nafsu. Dengan matinya wanita itu habislah juga sebuah ajaran ilmu silat yang jarang terdapat didunia persilatan.

Sik-long tegak berdiri dengan tegang. Ia masih marah atas hasil rencananya. Baik Tok-ho-cui maupun Pik Hay-cu telah menolak untuk menyerahkan Kitab Kuning dan kitab Bu-ji-thian-keng, dua diantara tiga buah kitab pusaka didunia persilatan.

Saat itu muncullah dua sosok bayangan tadi. Sik-long memperhatikan kedua orang itu. Seketika berubahlah wajahnya. Ia banting-banting kaki dan buru-buru hendak ngacir pergi.

“Hai, Sik-long, jangan harap kau dapat lolos!”

tiba-tiba salah seorang dari pendatang itu berteriak.

Sesosok bayangan berkelebat dan Cian Hong sudah menghadang dihadapan Sik-long. Memang yang datang itu Cian Hong dengan bibinya Hoa Sian kiok. “Hm, kiranya orang berbaju kelabu dan berkerudung muka itu kau sendiri, hai jahanam!” teriak Cian Hong dengan geram.

“Benar!” sahut Sik-long dengan ringkas.

“Kaukah yang membunuh ibuku Hoa Sian-lan?: tanya Cian Hong pula. “Dia mati dibawah pedang Sambar-nyawa!” bantah Sik-long. “Sik-long, jangan mengira kau sendiri yang pintar,” dengus Cian

Hong, “memang benar pedang Sambar-nyawa itu senjata ayahku.

Tetapi Ilmu pedang ayah telah kau paksanya supaya mengajarkan padamu. Hm, apa kau masih menyangkal?”

Sik-long terdiam beberapa saat. Ia mengangkat kepala berseru: “Kau pintar juga!”

“Dengan begitu gurukupun mati ditanganmu!” “Hantu-mayat?” ulang Sik-long.

“Hm...”

“Benar, jika tak kubunuh dia tentu dia membunuhku.”

“Tetapi mengapa itu waktu kau sengaja memberitahukan aku bahwa guruku mati karena senjata rahasia Kui-piau?”

Sik-long tertawa dingin: “Itu siasat cuci tangan namanya.” “Kau...”

“Tetapi siasatku itu akhirnya bocor juga. Walaupun sebenarnya Hantu mayat itu kubunuh dengan pedang Sambar-nyawa, tetapi diam-diam kuganti dengan senjata Kui-piau. Siapa tahu, pemilik piau itu yani Kui-bo telah mengejar jejakku. Diambilnya piau Kui- piau dan ditinggalnya pedang Sambar-nyawa...”

“Tanganmu berlumuran darah. Hari ini merupakan hari kiamatmu!” teriak Hoa Sian-kiok dengan murka.

“Belum tentu!” “Cobalah saja!”

Sebelum Hoa Sian-kiok bertindak, Cian Hong sudah mendahului melangkah maju, serunya: “Bibi, ijinkanlah aku yang menghabisi jiwanya!” Sebelum menunggu penyahutan, Cian Hong sudah lepaskan serangan. Kedua tinjunya didorongkan kemuka kearah dada Sik- long.

Sik-long tertawa mengejek. Tetapi karena melihat gerakan anakmuda cepat sekali dan penuh hamburan tenaga-dalam dahsyat, cepat-cepat iapun menyongsong dengan pukulan juga.

Darrr.... terdengar letupan keras dari dua buah pukulan yang dahsyat. Debu berhamburan memenuhi udara.

Tiba-tiba Sik-long ayunkan tangannya. Tiga batang pedang Sambar-nyawa serempak ditimpukkan kearah Cian Hong.

Tetapi dengan tamparan kedua tangannya, Cian Hong membuat ketiga pedang pandak itu terpental jatuh.

Demikian kedua musuh bebuyutan itu saling berhantam sengit sekali. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah melangsungkan 60-an jurus. Walaupun begitu, belum juga tampak siapa kalah siapa menang.

Rupanya Sik-long sudah menginsyafi gawatnya suasana saat itu. Ia melihat gelagatnya tak baik. Diam-diam ia merencanakan untuk lolos.

Tiba-tiba ia membuat gerakan mengayunkan tangan seraya berseru: “Lihat piau!”

Cian Hong terkejut. Buru-buru ia loncat menghindar kesamping. Tetapi ah, tiada suara aum terdengar diudara, tiada benda berkilat menyambar. Keparat benar Sik-long. Demikian Cian Hong mengumpat caci ketika tahu dirinya ditipu.

Dan saat itu Sik-long sudah melesat belasan tombak jauhnya ....

Tetapi Cian Hong sudah mengambil putusan untuk melenyapkan musuh besarnya itu. Ia ayunkan tubuh melesat kemuka. Sik-long tercekat melihat gerakan anak muda yang sedemikian gesitnya. Dan lebih celaka pula ketika tahu-tahu Hoa Sian kiok menghadang di tengah jalan. Nyali Sik-long makin runtuh.

Namun Sik-long bukan si Serigala-wanita kalau menghadapi ancaman begitu ia sudah kuncup. Dengan buas, ia lepaskan sebuah pukulan dahsyat.

Cian Hong murka. Dengan menggembor sedahsyat guntur, ia lontarkan Pukulan Hitam!

Seketika Sik long melihat segumpal sinar hitam melandanya. Pandangannya menjadi gelap. Tak dapat ia melihat disekelilingnya lagi. Berobahlah wajah durjana itu pucat seperti mayat. Serempak dengan itu dadanya seperti dihantam palu godam. Duk tak dapat

ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi. Bagaikan sebuah layang-layang putus tali, melayanglah tubuhnya keudara. Bum....

“Hari ini kau harus menghadap raja Akhirat!” teriak Cian Hong. Pada saat Sik-long jatuh terhampar ketanah, saat itupun Cian Hong sudah loncat dan menyusuli pula sebuah hantaman maut.

Pyur.....tubuh Sik-long hancur berantakan menjadi sewalang- walang.

Demikian kemarahan seorang pemuda yang dirangsang dendam kesumat!

Demikian nasib seorang durjana yang hidupnya penuh berlumuran darah. Membunuh, memfitnah, merusak wanita, telah menjadi darah daging hidup Sik-long; Ambisi seorang yang ingin menguasai dunia persilatan, telah menjadikan Sik-long seorang serigala yang buas. Sebenarnya dia seorang bakat yang hebat. Tetapi karena bakat itu disalahkan pada maksud tujuan yang jahat, akhirnya ia harus menebus dosa. Mayatnya tiada tempat berkubur.

Hukum Karma selalu menuntut setiap perbuatan yang manusia lakukan..... “Cian Hong, hari ini benar-benar merupakan hari yang bahagia bagimu. Kau berhasil menumpas musuh-musuhmu, manusia- manusia durjana yang mengotori dunia!”

Hoa Sian-kiok menghampiri keponakannya dengan tersenyum girang.

Hanya sekilas wajah Cian Hong berseri terang karena pada lain saat ia teringat akan nasib kedua orangtuanya yang sudah tiada itu. Sejak kecil mula baru sebesar itu ia melihat wajah ayahnya. Dan pertemuan dengan ayahnya itu merupakan pertemuan yang pertama dan terakhir. Betapa ia pilu mengenangkan peristiwa itu...

Tiba-tiba Hoa Sian-kiok mengeluarkan sebuah lencana dan diberikan kepada Cian Hong.

“Inilah lencana lambang kepemimpinan partai Thian-tong bun. Terimalah dan peganglah pimpinan partai itu...” kata Hoa Sian- kiok.

Cian Hong tergagap: “Tidak...”

“Penyerahan ini tak dapat kau tolak. Hidup matinya partai Thian-tong-bun terletak pada kesanggupanmu saat ini. Kau harus terima, Hong-ji...”

Melihat kesungguhan sang bibi, terpaksa Cian Hong menerimanya juga.

“Dan bagaimana dengan bibi sendiri?” tanyanya.

Hoa Sian-kiok termenung beberapa saat. “Aku... aku...” ia menengadah memandang ke angkasa raya. Awan berarak-arak bagaikan bayang-bayang kenangan dalam benak wanita yang dihempas badai asmara. Hancur berkeping-keping lebur dalam kehampaan hidup. “Minyak dan pelita, kitab dan kesunyian akan menemani sisa hidupku,” bisik Hoa Sian-kiok dengan suara lemah. Airmatanya bercucuran membasahi celah pipinya.

Hoa Sian-kiok hendak menghabiskan sisa hidupnya menjadi rahib. Dia tetap setia cinta kepada kakak iparnya Ko Ko hong (ayah Cian Hong). Dia tetap hidup dalam keperawanan suci. Dia hendak mengabdikan diri kepada kesucian dan kesempurnaan hidup.

“Nak, selamat tinggal...” akhirnya Hoa Sian-kiok mengucap kata- kata perpisahan dengan anak keponakannya.

Cian Hong termangu-mangu memandang bayangan sang bibi yang berjalan dengan langkah pelahan-lahan itu. Ucapan perpisahan Hoa Sian kiok tak disahut. Cian Hongpun seperti seorang yang kehilangan semangat.....

Lama, lama sekali baru Cian Hong tampak beringsut. Dia melangkah keluar dari lembah neraka itu. Apa yang diketemukan yang pertama-tama ialah jenazah Giok-lo-sat.

Cian Hong terlongong-longong memandang mayat dara ayu itu.

Pikirannya jauh melayang-layang....

Angin pegunungan menghembus, meniup baju pemuda yang kehilangan segala-galanya itu. Airmatanya mencucur deras jatuh membasahi tubuh Giok-lo-sat.....

Cian Hong seperti hidup didunia lain. Hidup dalam dunia kehampaan, lautan penderitaan yang tiada ujung dan akhir....

Tiba-tiba ia mengeluarkan dua buah lencana dari bajunya. Yang satu lencana tanda ketua partai Te-gak-bun. Yang satu lencana tanda kepemimpinan partai Thian-tong-bun.

Sekali remas kedua buah benda itu hancur lebur....

Sekonyong-konyong sesosok bayangan melesat datang. Tetapi Cian Hong tak menghiraukan. Dia masih mengepal sekuat-kuatnya kedua lencana itu.

“Engkoh Hong! Engkoh Hong dimana kau...! tiba-tiba bayangan yang mendatangi itu berteriak memanggil-manggil namanya.

Namun Cian Hong tak menghiraukan. Ia tetap menundukkan kepala.

Teriakan itu berkumandang menggema keseluruh lembah. “Engkoh Hong, engkoh Hong, dimana kau... !”

Cian Hong menebarkan genggaman tangannya. Kedua lencana Te-gak-bun dan Thian-tong-Bun itu berhamburan menjadi bubukan, bertebaran keangkasa, melayang-layang kesegenap ujung lembah....

Tiba-tiba Cian Hong menengadahkan kepala dan tertawa gelak- gelak. Sebuah tertawa yang panjang dan nyaring. Penuh dengan nada kerawanan, kedukaan dan penderitaan. Penuh dengan alunan getar penderitaan dan kehampaan...

“Engkoh Hong... Engkoh Hong.... dimana kau ” samar-samar

suara itu masih mengiang-ngiang memenuhi lembah.

Angin meniup... Tawa mengaum... Seruan melengking...

Memang dunia itu penuh dengan peristiwa yang beraneka ragam. Kehidupan penuh dengan kedukaan, penderitaan, kebencian, kecintaan, kasih sayang, kejahatan dan kebaikan.

Roda penghidupan berputar dengan membawa umat manusia kedalam Karma-hidup menurut yang dikehendaki manusia itu sendiri...

.:: TAMAT ::. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Sayang endingnya mereres penasaran