Pukulan Hitam Jilid 08

Jilid ke 8

TAK USAH terburu-buru,” kata Kui-bo, “setelah kuselesaikan ceritaku tentang Pek Hay-cu, tentu akan kuberitahukan tentang caranya itu.”

Diluar pintu Cian Hong diam-diam mendongkol. Apa hubungannya Pek Hay-cu dengan rahasia kitab itu? Iapun ingin sekali lekas-lekas mengetahui isi kitab Bu-ji-thian-keng!

“Pek Hay-cu tinggalkan suami dan anaknya. Ia menuju kedaratan Tiong-goan. Disitu ia berjumpa dan jatuh cinta pada pendekar muda yang kala itu namanya sangat harum didunia persilatan.”

“Siapakah nama pendekar muda itu?” kembali Hay-gwa-it-kiau menyelutuk.

Sahut Kui-bo dengan hambar: “Pelajar-seribu-muka Ko Ko- hong!”

Hampir saja Cian Hong berteriak ketika mendengar nama ayahnya disebut-sebut Kui-bo. Benar-benar ia tak sangka bahwa Pek Hay-cu akan jatuh cinta ayahnya!

“Bukankah Pek Hay-cu sudah bersuami?” seru Hay-gwa-it-kiau yang tak kurang kejutnya.

“Bukan hanya Pek-Hay-cu yang bersuami, tetapi Ko Ko-hong itupun sudah menikah dengan Kang-ou-bi-jin Hoa Sian-lan. Tetapi hal itu bukan halangan, Pek Hay-cu tetap merayu Ko Ko hong!” “Bagaimana sambutan Ko Ko hong?”

“Dia seorang jantan perwira. Dia berusaha keras untuk menghindari wanita itu!”

“Lalu?”

“Kemudian, kemudian bagaimana aku sendiripun tak tahu!” sahut Kui-bo.

Cian Hong putus asa. Tanpa sengaja ia dapat mencuri dengar tentang sekelumit riwayat ayahnya.

Bukan kepalang gembiranya. Tetapi sayang, cerita itu tiada kelanjutannya....

Rupanya Su-hay-mo-ong tak sabar lagi, serunya: “Kui-bo, lebih baik lekas kita mulai merundingkan pembicaraan.”

Kui-bo deliki mata: “Sebelum kuungkapkan caranya menimbulkan tulisan dalam kitab Bu-ji-thian-keng itu, aku mempunyai sebuah syarat!”

“Syarat? Syarat bagaimana?”

“Sebelum mengambil kitab itu, kuharap kitab itu jangan diperlihatkan diluar!”

“Ini.... ini. ”

“Siangkwan Yap, jika kau tak setuju, akupun tak dapat memaksa!”

Su-hay-mo-ong benar-benar tak berdaja, katanya: “Baiklah, kitab ini akan kutaruh dalam tiang penglari rumah!”

“Ya,” sahut Kui-bo. Kemudian ia memandang kesekeliling sudut. Setelah tiada tampak barang seorang manusia, barulah ia legah. Kemudian berkatalah ia: “Untuk menimbulkan lagi tulisan dalam kitab Bu-ji thian keng, harus menggunakan Hujan darah.” Sama sekali tak mereka sangka, bahwa rahasia itu ternyata didengar oleh orang ketiga yakni Cian Hong.

“Hujan-darah? Dimana bisa mendapat hujan itu?” seru Su-hay mo-ong.

“Partai Thian-tong-bun memiliki dua botol air Hujan-darah. Dalam setengah jam setelah kitab itu direndam dengan air Hujan- darah, maka tulisannya akan timbul lagi!”

Sekonyong-konyong Su-hay-mo ong mengambil Bu-ji-thian- keng dan tertawa gelak-gelak. Tetapi secepat itu juga Kui-bopun loncat mencengkeram pergelangan tangan Hay-gwa-it-kiau.

“Hm, Siangkwan Yap, jika kau mau ugal-ugalan, seketika juga akan kuputuskan jiwa anakmu!” serunya geram.

Su-hay-mo-ong mengatupkan mulut lalu berbatuk-batuk: “Jangan salah faham Kui bo. Setelah kitab ini kusimpan baik-baik barulah kita pergi ke Thian-tong-bun meminta Hujan darah dan bersama-sama mempelajari isi kitab itu!”

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah ayunan keatas tiang penglari. Setelah menyimpan kitab ia lalu melayang turun lagi. Kui- bopun melepaskan cengkeramannya pada tangan Hay-gwa-it-kiau.

“Jangan coba-coba ganti haluan, aku bukan wanita yang mudah dipermainkan. Ayo, jalan!” serunya.

Saat itu hujanpun reda. Cian Hong buru-buru loncat keatas wuwungan dan bersembunyi dibalik puncak rumah. Setelah Su-hay mo-ong, Hay-gwa-it-kiau dan Kui-bo mengunci pintu, merekapun menuju ke barat. Dalam beberapa kejab ketiga orang itu tak tampak lagi bayangannya.

Cian Hong melayang turun. Saat itu cuaca bersih.

Pemandangan sehabis turun hujan amat mengesankan. Hutan seolah-olah segar bermandikan air. Timbul pikiran Cian Hong. Mengapa ia tak mengambil kitab Bu ji-thian-keng itu? Bukankah kitab itu termasuk salah satu dari tiga kitab pusaka didunia? Apabila ia berhasil mendapatkan air Hujan darah lalu mampelajari kitab Bu-ji-thian-keng, bukankah akan memiliki kepandaian sakti yang dapat digunakannya menumpas durjana-durjana didunia persilatan.

Karena pintu terkunci, ia ambil jalan membongkar jendela lalu menyusup kedalam rumah.

Kemudian ia loncat keatas tiang penglari. Ah, kitab Ba-ji-thian- keng! Walaupun sudah tahu, tetapi masih juga hati Cian Hong tegang.

“Keterangan Kui-bo tadi tentu tak bohong”, katanya setelah membolak-balikkan lembaran kitab ternyata hanya kertas kosong semua.

Ia keluar dari rumah. Mulailah ia mengatur rencana. Pertama- tama ia harus mencari air Hujan darah agar dapat mempelajari isi kitab. Ya, air Hujan-darah.

“Menurut keterangan Kui-bo, partai Thhan-tong bun menyimpan dua botol Hujan-darah. Dan wanita setengah tua yang kujumpai dalam biara tadi adalah ketua Thian-tong-bun. Mengapa aku tak kembali ke biara lagi untuk menemuinya?” tiba-tiba ia mendapat pikiran.

Segera ia ayunkan langkah menuju kebiara. Dalam waktu yang singkat, tampaklah mercu biara itu menjulang kelangit. Cian Hong cepatkan larinya. Tetapi ketika tiba dimuka biara, ia terkesiap.

Dari piatu sampai kedalam ruang, tiada tampak seorang manusiapun juga. Dan ketika ia melangkah masuk, keadaan dalam biara itu porak poranda. Dalam pemeriksaan lebih jauh, Cian Hong mendapat kesan bahwa ruang biara itu bekas dibuat ajang pertempuran hebat. Tiang dan lantai masih terdapat bekas ceceran darah. Memang tak diketemukasn mayat, tetapi menilik hebatnya kerusakan disitu jalan pertempuran itu tentu memakan korban jiwa. Mungkin korban sudah diangkut pergi oleh kawannya.

Kemanakah gerangan perginya orang-orang Thian-tong-bun? Ketika menghampiri meja sembahyang tiba-tiba Cian Hong dikejutkan oleh bentakan orang: “Hm, budak liar dari mana berani mengganggu tempat ini!”

Kejut Cian Hong bukan kepalang. Buru-buru ia berpaling dan tampaklah seorang lelaki setengah tua dalam dandanan sebagai seorang sastrawan, tegak berdiri dengan wajah dingin.

Diam-diam Cian Hong terkesiap. Sama sekali ia tak mendengar langkah orang itu mendatangi tetapi tahu-tahu sudah berada dibelakangnya. Jelas orang itu tentu hebat sekali kepandaiannya.

Pelahan-lahan sastrawan itu menegur: “Apakah kau sisa-sisa orang Thian-tong bun?”

Cian Hong tertegun, ia menggeleng.

“Kalau bukan orang Thian-tong bun mengapa datang kemari?

Apakah itu bukan kebohongan?” seru sastrawan dengan dingin.

Melihat sikap dan nada orang begitu dingin timbullah kemengkalan hati Cian Hong, serunya: “Mengapa aku tak boleh datang kebiara ini?”

Tetapi sastrawan itu tenang-tenang saja, serunya: “Ho, kiranya kau bala bantuan yang didatangkan Thian tong-bun. Tetapi umurmu masih muda, apakah tak sayang kalau kepalamu sampai terpisah dari badanmu?”

Sebenarnya Cian Hong hendak menyangkal bahwa ia orang Thian tong-bun, tetapi demi melihat sikap orang yang congkak, ia menjawab: “Rusa mati ditangan siapa, belumlah diketahui pasti!” “Berani menyelundup menyelidiki, tentulah bukan orang yang tak bernama!” seru sasterawan itu.

Jawab Cian Hong dengan garang: “Aku orang she Ko nama Cian Hong!”

Didalam sikapnya yang angkuh, samar-samar tampak wajah sasterawan itu mengerut heran. Dan berkatalah ia seorang diri dengan nada pelahan: “Ko Cian Hong, Ko Cian Hong, rasanya dimana aku pernah mendengar nama itu?”

“Apakah aku boleh mendapat tahu nama tuan yang terhormat?” tanya Cian Hong.

“Aku?” sasterawan itu menengadahkan muka dan katanya seperti orang limbung: “Siapakah aku? Siapakah sebenarnya namaku ini?”

Melihat sikap orang yang ketolol-tololan itu Cian Hong bukan tertawa melainkan lebih banyak merasa kasihan.

Setelah termenung beberapa saat, sasterawan itu berkata pula: “O, benar! Aku jatuh...”. tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Tubuhnya gemetar. Dipandangnya Cian Hong dengan lekat: “Budak, kau hendak mencelakai aku!”. Seruan itu diserempaki dengan sebuah tamparan yang mengeluarkan desis angin tajam.

Karena tak menyangka-nyangka bakal menerima serangan itu, Cian Hong terpaksa loncat mundur.

“Tuan tak tahu peraturan!”

“Kau hendak menipu aku!” teriak sasterawan.

Tiba-tiba ia menerjang lagi. Cian Hong kaget. Kecuali cepat pun gerakan sasterawan itu dahsyat sekali. Seketika berhamburan bayang-bayang pukulan. Untung sebelum menyerang, sasterawan itu tertegun seperti bersangsi. Beberapa kejab ketegunannya itu, cukup mengurangkan kedahsyatan serangannya hingga dengan walaupun susah namun dapat juga Cian Hong menghindari.

Karena serangannya luput, sasterawan marah sekali. Serunya: “Bagus, budak ternyata kau lihay juga!” Ia julurkan lengan kanannya menyerang Cian Hong.

Cian Hong menangkis. Tetapi betapalah kejut ketika merasakan tenaga sasterawan itu luar biasa hebatnya. Dalam kegugupan, Cian Hong segera kerahkan ilmu Pukulan Hitam. Ia menyerang dengan jurus Membuka langit-menutup bumi.

Seketika melancarlah sinar hitam kearah sasterawan. Sasterawan itu terkejut tetapi cepat sekali ia sudah bersikap dingin seperti semula, serunya: “Pukulan Hitan, bagus!”

Kedua tangannya diayunkan keudara. Serangkain pukulan dahsyat melanda Cian Hong. Pucat seketika Cian Hong ketika menyaksikan warna yang memancar dalam pukulan sasterawan itu...

“Pukulan Hitam! Kau... kau..” serunya tergagap kaget. Tetapi tak sempat ia menyelesaikan ucapan, dadanya terasa terbentur oleh sebuah batu besar. Cian Hong terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Huak setelah muntah darah barulah ia dapat berdiri

tegak.

Sasterawan itu maju menghampiri, dipandangnya anakmuda itu dengan tertegun. Karena tulang-tulangnya serasa patah, Cian Hong hanya dapat balas memandang orang itu dengan geram.

Sekonyong-konyong sasterawan itu bersuit nyaring lalu melesat pergi. Dan setelah beberapa saat kemudian barulah Cian Hong dapat menggeliat duduk. Ia mulai menjalankan pernapasan untuk menyalurkan peredaran darahnya. Tiba-tiba sesosok bayangan kelabu menerobos masuk kedalam biara. Mukanya ditutup dengan kain warna kelabu. Ketika melihat Cian Hong, orang itupun segera menghampiri.

Karena sedang memusatkan seluruh pikiran untuk mengobati lukanya, terpaksa Cian Hong tak menghiraukan. Karena jika sedikit saja pikirannya terganggu, darahnya akan membinal dan jiwanya berbahaya.

Saat itu orang berselubung muka sudah tiba dihadapan Cian Hong. Ketika dilihatnya ubun-ubun kepala Cian Hong mengeluarkan hawa asap, tahulah ia bahwa anakmuda itu sedang menjalankan peredaran darah.

Tiba-tiba orang itu tertawa sinis: “Hari ini kau tentu mati!. tenaga-dalam dikerahkan ketangan kanan dan mulailah diangkat keatas perlahan-lahan....

Sekonyong-konyong Cian Hong bangun berdiri dan orang itupun cepat-cepat menarik turun tangannya.

“Eh, kita bertemu lagi,” serunya.

Tenyata Cian Hong tak mengetahui bahwa ia baru saja terlolos dari lubang jarum. Terlambat sedikit saja ia bangun, jiwanya tentu hancur.

Teguran orang itu disambutnya dengan tertawa ramah : “Ya, beruntung sekali! Dan rasanya sudah tiba saatnya saudara suka mengunjukkan wajah saudara!”

Orang berselubung kain kelabu itu gelengkan kepala : “Belum waktunya!”

“Ah, itu hanya alasan saudara sendiri!”

“Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, mengapa hendak memaksa lain orang?” balas orang itu. “Tetapi gerak gerik saudara menimbulkan kecurigaan orang,” sahut Cian Hong.

Orang itu sengaja melepaskan sebuah helaan napas yang panjang, ujarnya: “Hal itu karena kau tak mengerti pendirianku saja. Misalnya saat ini. Andaikata aku hendak membunuhmu, bukankah semudah orang membalikkan telapak tangannya?”

Diam-diam Cian Hong menimang. Memang apa yang dikatakan orang berselubung muka itu benar. Seketika ia bersyukur dan menaruh kepercayaan pada orang itu. “Bagaimanakeh kehendak saudara?” serunya. “Sang waktu tentu akan mengetahui hati orang.

Kelak kaupun tentu akan mengerti diriku.    eh, melihat tadi kau

menjalankan peredaran derah, rupanya kau menderita luka. Siapakah yang melukaimu?”

Cian Hong menduga orang itu mempunyai pengalaman luas, mungkin tahu tentang diri sasterawan yang melukainya itu. Maka segera ia menuturkan apa yang telah dialaminya tadi.

“Aku menaruh kecurigaan jangan-jangan orang itu si Hek-sim- jin Thia Tat-hun! “katanya.

Orang berselubung itu mengusap-usap tinjunya, “Hm, selain Thia Tat hu, siapakah yang memiliki ilmu Pukulan Hitam?”

Cian Hong menggeram: “Hm, kiranya dia. Sungguh ganas sekali!” ia melesat pergi.

“Hai, hendak kemana kau!” seru orang berselubung.

“Hendak menumpas murid yang berkhianat!” sahut Cian Hong. “Ah, kau terlalu merangsang!”

“Merangsang?”

“Coba tanya pada dirimu sendiri, adakah kau sanggup melawannya?” Cian Hong tertegun mendapat pertanyaan itu. Ia kerutkan dahi. “Apakah kau bermaksud hendak merebut Kitab Pukulan Hitam?”

seru orang itu pula.

“Kitab pusaka milik perguruan, harus kurebut kembali!”

“Dalam mencapai sesuatu tujuan, jika tenaga tak mampu, haruslah kita gunakan akal kepandaian!” kata orang berselubung itu.

“Caranya?” Cian Hong agak heran.

“Akan kuajarkan padamu sebuah siasat tetapi entah kau percaya atau tidak!”

“Jika saudara benar-benar hendak membantu tujuan-ku menuntut balas, mengapa aku tak percaya?”

“Baik, kita harus mengatur siasat yang rapi,” kata orang berselubung, “tahukah kau bahwa Thia Tat-hu itu mempunyai seorang sahabat yang karib.”

“Aku kurang jelas,” sahut Cian Hong.

“Thia Tat-hu mempunyai hubungan erat dengan bengcu dari partai Thian tong-bun. Jika kau dapat menundukkan bengcu Thian- tong-bun, berarti dapat menguasai Thia Tat-hu!”

“Tetapi bagaimana cara untuk menundukkan beng-cu itu?” seru Cian Hong.

Orang berselubung kerutkan kening. Rupanya ia telah siap dengan rencana muslihat.

“Aku mempunyai sebuah rencana!” serunya. “Harap saudara katakan!”

Diam-diam orang berselubung itu menggeram buas. Pikirannya, jika saat itu ia tak dapat membinasakan Cian Hong, tentu kelak sukar mendapat kesempatan baik lagi. Diam-diam ia telah mempersiapkan siasat.

“Rencana itu tak boleh kukatakan keras. Ingat, dinding mempunyai telinga. Silahkan kau mendekat!” serunya. Ia telah memutuskan, begitu dekat, segera ia hendak menutuk anakmuda itu.

Cian Hong melangkah maju.....

Orang berselubung itu tegang sekali. Begitu dekat. segera ia hendak menutuk rubuh Cian Hong. Detik-detik itu serasa menegangkan sekali.

Sekonyong-konyong terdengar kesiur angin dan sesosok tubuh melesat kedalam. Orang berselubung itu terkejut. Buru-buru ia batalkan rencana dan berseru: “Beng-cu Thian-tong-bun datang. aku tak mau menemuinya...”. habis berkata ia segera loncat kebagian belakang biara. Masih ia meninggalkan pintu: “Jangan sekali-kali mengatakan tentang diriku!”

Yang muncul memang bengcu wanita dari partai Thian tong- bun. Sejenak memandang kesekeliling penjuru, bengcu wanita itu agak terkesiap.

“Hanya kau seorang diri disini?” tegurnya.

“Ya” sahut Cian Hong dengan dingin. Rupanya ia terpengaruh oleh pesan orang berselubung muka tadi.

“Sudah berapa lama kau disini?” tanya bengcu pula. “Sepenyulut dupa!” sahut Cian Hong, “Tak berjumpa lain

orang?” Cian Hong mengangguk : “Tidak, hanya aku sendiri.”

Sejenak bengcu wanita itu mondar mandir lalu berkata: “Jika tiada urusan penting, sebaiknya kau lekas tinggalkan tempat ini.”. tiba-tiba ia sendiri segera melesat keluar biara.

Teringat akan air Hujan-darah, Cian Hong segera memburunya: “Harap berhenti dulu!”

“Ada apa?” bengcu wanitapun berhenti.

Serta merta Cian Hong membungkuk memberi hormat: “Aku hendak mencarimu.”

Tiba-tiba wajah bengcu itu berobah dingin, serunya: “Mengapa hendak mencari aku?”

“Aku hendak mohon pinjam sebotol air Hujan-darah!”

Bengcu itu tertawa dingin: “Hm, kiranya kau juga sekaum dengan mereka. Aku salah sangka kau ini orang baik!”

Diluar dugaan, tiba-tiba bengcu itu menggerakkan tubuh dan tahu-tahu menyerang.

Cian Hong menyurut mundur dua langkah. Ia terkejut mendapatkan tenaga pukulan wanita itu bukan olah-olah hebatnya.

“Rupanya kau masih suka sewenang-wenang!” serunya. Dengan masih lanjutkan serangannya, bengcu wanita itu mendamprat: “Terhadap cecunguk persilatan macam dirimu, perlu apa aku harus pakai peradatan lagi!” Sambil menahan dengan kedua tangannya, Cian Hong loncat mundur, serunya: “Boleh atau tidak itu terserah padamu, tak perlu kau mengucap kata-kata yang menusuk hati orang!”

“Sudah melukai anakbuahku, masih mau pinjam barangku!” “Sama sekali tidak!” Cian Hong menyangkal keras.

“Tidak?” dengus bengcu wanita. “Ketika aku datang kemari, tak seorangpun anakbuahmu yang kujumpai. Mengapa kau tuduh aku melukai anakbuahmu?”

“Kau bukan sekaum dengan Kui-bo dan Su-hay-mo-ong?” seru bengcu wanita.

Cian Hong sadar bahwa telah terjadi salah faham. Kiranya Kui bo dan Su-hay-mo-ong dengan Hay-gwa-it kiau datang kebiara minta Hujan-darah pada bengcu Thian-tong-bun. Rupanya bengcu menolak dan terjadilah pertempuran, banyak anakbuah Thian- tong-bun yang terluka.

“Aku tak sudi berkawan dengan mereka!” Cian Hong memberi penegasan.

Benycu wanita terkesiap. Tegurnya: “Lalu perlu apa kau hendak pinjam air Hujan-darah?”

Cian Hong tertegun. Tak seorangpun yang tahu bahwa dia telah berhasil mendapatkan kitab Bu-ji-thian-keng. Jika hal itu ia katakan, ia kuatir bengcu wanita itu akan timbul nafsu untuk merebut.

“Maafkan, aku tak dapat mengatakan hal itu,” akhirnya ia menyahut.

“Mengapa sukar mengatakan? Ah tak mungkin!” “Apa maksudmu?” seru Cian Hong.

“Masih perlu kujelaskan?” balas Bengcu. “Aku sungguh-sungguh tak mengerti!”

Kata bengcu Thian-tong-bun dengan nada sarat: “Bukankah untuk Bu ji-thian keng?” Berobahlah seketika wajah Cian Hong: “Bagaimana kau tahu?”

“Masakan tak tahu? Ah, mungkin Su-hay-mo ong menyuruh kau meminta Hujan-darah padaku. Hal itu berarti kau menjadi kaki tangannya!” Sahut Cian Hong tegas: “Masakan aku sudi diperalat orang!” “Hm, bohong!”

“Aku telah mengatakan sejujurnya. Terserah penerimaanmu!” “Lalu apa gunanya kau hendak meminjam air Hujan-darah itu?”

bengcu Thian-tong-bun mendesak pula.

“Tepat seperti yang kau katakan, memang untuk kepentingan Bu ci thian-keng!” akhirnya Cian Hong memberi jawaban seadanya.

“Tepatlah!”

“Terus terang saja kitab itu berada padaku!” kembali Cian Hong memberi keterangan. Secara blak-blakan ia menuturkan peristiwa yang dialaminya dalam pondok.

“Benarkah itu?” masih Bengcu Thian-tong bun meminta penegasan.

Untuk menguatkan keterangannya, Cian Hong segera hendak mengeluarkan kitab. Tetapi sekonyong-konyong kedua saudara Toan menerobos masuk. Bergegas-gegas kedua saudara itu menghadap bengcu. Wajah mereka tampak gugup sekali. Terang tentu mempunyai urusan penting.

“Apa yang kalian ketemukan?” tanya bengcu. Jawab Toan Bok- yu: “Bengcu, perkembangan tidak menguntungkan...” ia berhenti sejenak melirik Cian Hong. Agaknya ia bersangsi. “Tak apa, katakanlah!”

“Duabelas anakbuah kita mati secara mengenaskan!” kata Toan Bok yu.

Tubuh bengcu wanita itu agak bergetar: “Su-hay-mo-ong, tulang belulangmu tentu akan kuhancur leburkan ”

“Bengcu!” tiba-tiba Toan Bok-co menyelutuk. “Mengapa?” “Keduabelas anakmurid kita itu bukan mati ditangan Su-hay mo- ong!” seru Toan Bok-co.

Bengcu Thian-tong-bun terbeliak kaget, terusnya: “Kalau bukan dia, siapakah yang membunuh anak-anak kita?”

Toan Bok-co menggeliatkan mata seolah-olah tak berani menceritakan.

“Lekas bilang!” bentak bengcu Thian-tong-bun dengan keras. “Anakbuah kita mati dibawah pedang Sambar-nyawa!” kata

Toan Bok-co agak gemetar.

Bengcu wanita ini tersurut mundur sampai tiga langkah, ujarnya, “Pedang Sambar-nyawa?”

“Tidak mungkin!”

“Tetapi buktinya ada!” sahut Toan Bok yo seraya mengeluarkan seikat  pedang  pandak.  Diam-diam  Cian  Hong  menghitung.  Ah, jumlahnya   12   batang.   Kemunculan   pedang   Sambar-nyawa   itu menggelisahkan pikiran Cian Hong.

Kang-ou  bi-jin  dan  Malaekat-elmaut  berturut-turut  mati  oleh pedang  Sambar-nyawa.  Dan  kini  pedang  itu  mengganas  lagi  12 orang anakbuah partai Thian-tong-bun. Pada hal pedang Sambar nyawa  itu  dikenal  orang  sebagai  senjata  milik  ayahnya  (Pelajar seribu-wajah),  bagaimana  nanti  ia  hendak  menjelaskan  hal  itu kepada     bengcu     Thian-tong-bun?     Diam-diam     Cian     Hong mengucurkan keringat dingin...

Berkata bengcu Thian-tong-bun dengan pelahan-lahan : “Pedang Sambar-nyawa adalah milik Ko Ko-hong dia, dia tak seharusnya

membunuh orang Thian-tong-bun! Ah, sekalipun dia masih membenci diriku. ”

“Ko Ko-hong seorang manusia yang lupa budi, mengapa bengcu masih membelanya!” seru Toan Bok-yu. “Tutup mulutmu!” tiba- tiba Cian Hong membentaknya, “jika berani menghina ayahku, jangan tanya dosa!”

Toan Bok yu tertawa dingin. “Dua belas jiwa boleh juga mendapat rente (riba) pada dirimu!” Mencabut pedang, dia terus menyerang Cian Hong.

Cian Hong sudah pernah menjajal ilmu pedang Toan Bok-yu. Dengan tertawa dingin ia menggeliat, tetapi secepat itu Toan Bok- copun menyerang dari sebelah kiri. Kedua saudara itu selalu menyerang dengan berbareng. Ilmu pedang mereka yang disebut Thian te tong kiam memang bukan olah-olah hebatnya.

Tetapi Cian Hongpun bukan pemuda sembarangan. Walaupun ia melayani dengan pukulan, tetapi dahsyatnya tak dibawah senjata pedang.

Kedua saudara Toan menyerang dengan cepat. Pedang berhamburan membayangi gerak gerik lawan. Seolah-olah Cian Hong tak diberi kesempatan membela diri.

“Ilmu pedang lihay!” teriak Cian Hong seraya lepaskan pukulan Membuka langit-menutup-bumi. Jurus yang dahsyat dari ilmu Pukulan Hitam. Seketika segumpal sinar hitam melanda dan tahu- tahu_kedua saudara Toan itu terpental beberapa belas langkah. Dari wajah mereka yang lesu terang kalau menderita luka parah.

“Hanya sedikit pengajaran!” dengus Cian Hong. Tiba-tiba Toan Bok-yu menghadap siwanita, serunya: “Bengcu, budak ini adalah anak dari Ko Ko-hong, harap bengcu perintahkan supaya ditangkap!”

Diluar dugaan bengcu Thian-tong bun itu menyahut: “Kukira Ko Kuhong takkan membunuh orang kita!”

Wajah Toan Bok-yu berobah: “Bukti sudah nyata, mengapa bengcu masih tak percaya?” “Kukira ada sesuatu dibalik hal itu,” tetap bengcu wanita itu memberi penegasan.

Toan Bok-yo tertawa sinis: “Tindakan bengcu membela musuh itu apakah takkan dipersalahkan Thay siang?”

“Kau hendak mengancam aku?” bengcu Thian-tong-bun membentak.

Toan Bok-yu menyahut dingin: “Bengcu tak bertindak apa-apa melihat aku dikalahkan musuh. Apakah sikap bengcu itu tak menimbulkan keheranan?”

Marah sekali bengcu wanita itu: “Kau tak memandang mata sama sekali terhadap atasanmu. Bagaimana hukumannya!”

Toan Bok-yu tetap membantah: “Tetapi tindakan bengcu membela musuh itu cenderung pada sifat-sifat kepenghianatan!”

“Tutup mulutmu!” bentak bengcu Thian-tong-bun. Tetapi kedua saudara Toan itu rupanya tak gentar.

Serempak mereka berseru: “Silahkan kau mengukuhi kekuatan sebagai bengcu, tetapi kami akan pulang melaporkan Thay-siang!”. tanpa mengucap kata-kata pamit, kedua orang itu segera melesat keluar.

Dada bengcu wanita itu berontak keras. Rupanya ia gusar sekali. Segera ia bergerak menyusul tetapi baru beberapa langkah ia berhenti lagi. Rupanya ia batalkan maksudnya hendak membunuh kedua saudara Toan yang liar itu.

Cian Hong mempunyai kesan bahwa anakbuah Thian-tong-bun itu memang kurang disiplin. Antara orang bawahan dan pemimpinnya tidak ada tata tertib mengindahkan. Tetapi karena hal itu bukan urusannya iapun tinggal diam saja. Hanya diam-diam ia berterima kasih kepada bengcu wanita yang membela diri ayahnya Pelajar-seribu-muka. Ia menjurah memberi hormat, “Atas pembelaan bengcu terhadap diri ayahku, kuhaturkan banyak terima kasih!”

Bengcu wanita itu hanya mendengus dingin: “Benarkah ayahmu ditawan dalam Neraka-19 lapis.”

“Ya.”

“Masih hidup atau mati?”

“Mati hidupnya tak kuketahui.”

“Mengapa ibumu tak berusaha untuk menolong.”

Mendengar bengcu Thian-tong-bun menyebut ibunya, rawanlah hati Cian Hong. Ia berlinang-linang air mata dan menghela napas panjang.

“Mengapa kau tampak bersedih?” tegur bengcu itu pula. “Ibu telah mengalami nasib yang mengenaskan!”

sahut Cian Hong dengan terhiba-hiba.

Gemetarlah tubuh bengcu wanita itu, serunya: “Apa? Ibumu sudah meninggal?”

Cian Hong tundukkan kepala. Airmatanya bercucuran.

“Siapakah yang membunuh?” tanya bengcu itu dengan nada rawan.

Teringat akan kematian ibunya karena pedang Sambar-nyawa, dendam Cian Hong membara. Tetapi jika menilik bahwa pedang Sambar-nyawa itu adalah senjata ayahnya, ia menjadi bingung. Mungkinkah ayahnya membunuh ibunya? Ah.....

Karena sampai sekian jenak Cian Hong tak menyahut, bengcu Thian-tong-bun buru-buru menyusuli pertanyaan lagi: “Eh, mengapa kau tak menjawab?” “Ibu mati dibunuh dengan pedang Sambar-nyawa!” akhirnya Cian Hong memberi penyahutan.

Kejut ketua Thian-tong-bun bukan alang kepalang sehingga tubuhnya sampai tergetar.

“Dibunuh pedang Sambar-nyawa?” serunya menegas.

Ia termangu-mangu sampai sekian lama baru kemudian berkata lagi: “Tahukah kau bahwa pedang Sambar-nyawa itu milik ayahmu?”

Cian Hong mengiakan: “Ya, aku tahu. Aku percaya ayah tentu tak membunuh ibu. Namun bukti pedang itu, benar-benar membingungkan pikiranku!”

Cian Hong termenung beberapa saat. Katanya pula: “Selain ayah siapakah tokoh persilatan yang menggunakan pedang Sambar- nyawa?”

Bengcu Thian-tong-bun gelengkan kepala: “Tak ada orang kedua lagi!”

“Ah, bagaimana mungkin?” seru Cian Hong. Ia makin bingung. “Tidak   mungkin....   tidak   mungkin....”   tiba-tiba   bengcu itu

mengerut,  ,tetapi  dia  akhirnya  mati  di  bawah  pedang  Sambar-

nyawa.... Ah, Tuhan, mengapa kau menggariskan nasib begini celaka!”

“Cianpwe, siapakah nama cianpwe?” karena tergerak oleh sikap orang yang ikut berduka atas nasib malang kedua orangtuanya, Cian Hong bertanya.

“Kau ingin mengetahui?” balas bengcu itu. Cian Hong mengiakan. Tiba-tiba bengcu dari Thian-tong-bun itu berkata dengan nada rawan : “Cobalah kau pandang yang cermat, siapakah aku ini!”

Habis berkata bengcu itu sekonyong-konyong mengusap wajahnya. Dan tersingkaplah, kain selubung hitam yang selama ini menutupi mukanya.

Ketika memandang, serasa terbanglah semangat Cian Hong saat itu. Ia terlongong-longong seperti patung. Sampai beberapa saat tak dapat bicara.

“Kau, kau ma.....!” akhirnya menjeritlah Cian Hong. Dihadapannya tampak seorang wanita cantik. Wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Kang-ou-bi-jin!

“Bukan, aku bukan mamahmu!” sahut bengcu itu. Cian Hong terlongong.

“Aku bibimu Hoa Sian-kiok!” kata bengcu wanita itu pula.

“Oh...” dengus Cian Hong legah. Kini barulah ia tahu mengapa wajah bengcu itu mirip sekali dengan ibunya. Kiranya bengcu Thian-tong-bun adik ibu Cian Hong.

“Bi, mamah meninggal secara mengenaskan...” kata Cian Hong dengan sedu.

“Aku percaya cihu (kakak ipar) tentu tak membunuh taci,” kata Hoa Sian-kiok dengan tegas.

Cian Hong mengambil pedang Sambar-nyawa dari bajunya.

Katanya dengan duka: “Tetapi pedang ini, bagaimana jelasnya?”

Hoa Sian-kiok menyambuti pedang itu. Diperiksanya sampai beberapa lama.

“Benar, pedang ini memang dahulu digunakan oleh ayahmu. Tetapi menilik betapa mesra kasih ayahmu dan ibumu, tak mungkin dia akan membunuh isterinya!” kata Hoa Sian-kiok. Remuk redam hati Cian Hong saat itu. Pikirannya kalut tak karuan. Ibunya mati secara mengenaskan dan ada tanda-tanda bahwa pembunuhnya adalah ayahnya sendiri!

“Jangan bersedih!” Hoa Sian-kiok menghiburnya, “kita harus mencari cihu!”

Cian  Hong  menghela  napas  kecewa:  “Tetapi  ayah  ditawan  di Neraka 19 lapis!”

“Dapatkah berita itu dipercaya penuh?” seru Hoa Sian kiok, “Ibu sendiri yang mengatakan hal itu kepadaku,” jawab Cian Hong.

“Kalau begitu, kita harus kesana!” tiba-tiba Hoa Sian-kiok berhenti. Katanya pula: “ Hai, bukankah kau mencari aku karena perlu dengan air Hujan darah?”

“Benar,” Cian Hong mengiakan.

“Perlu apa dengan air itu?” Cian Hong tertegun.

“Apakah kau mendapatkan kitab Bu-ji-thian-keng?” tiba-tiba Hoa Sian kiok menyelutuk.

Kembali Cian Hong terkesiap.

“Jangan heran,” Hoa-Sian-kiok tertawa, “kitab yang hilang tulisannya itu kalau direndam dengan air Hujan-darah tentu akan timbul lagi. Hal itu merupakan rahasia umum dikalangan persilatan!”

Karena mendapat keterangan, tak beranilah Cian Hong mengelabuhi lagi. Segera ia mengeluarkan Bu-ji-thian keng: “Kudapat kitab ini tanpa sengaja.”

Hoa Sian-kiok tak mau bertanya melilit, serunya: “Kau bisa memperoleh kitab itu, adalah suatu karunia Tuhan. Jika bisa mempelajari isinya, tentu dapat menguasai dunia persilatan dan tentu dapat melampiaskan dendam sakit hatimu.” “Dalam hal itu kuminta bantuan bibi.”

Hoa Sian kiok kerutkan alis seperti ada sesuatu yang membuatnya resah.

“Bibi, apakah kau mempunyai kesulitan?” Cian Hong terkejut. “Air Hujan-darah itu tak berada padaku,” kata Hoa Sian-kiok. “Kalau begitu. ”

“Walaupun aku menjabat sebagai bengcu Thian-tong-bun, tetapi Thian-tong-bun masih mempunyai seorang Thay-siang bengcu (pemimpin tertinggi); Air Hujan-darah itu berada padanya”! kata Hoa Sian kiok pula.

“Ah, agak sulit ini,” keluh Cian Hong.

“Apalagi kedua saudara Toan itu marah kepadaku karena aku membela ayahmu. Tentulah mereka mengadu biru dihadapan Thay- siang! Kedudukanku tentu sulit!”

“Siapakah Thay-siang bengcu itu?” tanya Cian Hong.

Rupanya Hoa Slan-kiok sukar untuk menerangkan ujarnya: “Karena larangan partai, tak dapat kuberitahukan padamu!”

Tiba-tiba Hoa Sian-kiok menyusuli kata-katanya: “Tetapi walaupun bagaimana, akan kuusahakan agar air Hujan-darah itu dapat kuperoleh!” “Terima kasih bibi!”

“Mari ikut aku kemarkas besar Thian-tong-bun!” kata Hoa Sian- kiok kepada keponakannya.

Demikian keduanya segera tinggalkan biara. Dalam tiga hari kemudian, tibalah mereka dihutan yang terletak disebelah luar markas Thian-tong-bun.

Tiba-tiba ketika tiba disebuah ujung jalan mereka melihat sesosok bayangan orang, Hoa Sian-kiok terkejut. Ia hentikan larinya. “Cian Hong, lekas kau menyusup kedalam hutan.

Untuk sementara kau harus bersembunyi!” katanya. “Cian Hong heran. Ketika ia hendak meminta keterangan, Hoa Sian-kiok membentaknya: “Lekas!

Jangan sampai rencana kita kocar kacir.”

Melihat bibinya begitu tegang, Cian Hongpun segera melakukan perintahnya. Cepat-cepat ia melesat dan bersembunyi kedalam hutan. Dari balik gerumbul pohon, ia mengintai keluar.

Ternyata yang datang itu bukan hanya seorang, melainkan serombongan 8 orang mengangkut sebuah tandu. Mereka berlari- lari memanggul tandu itu. Dibeklakang tandu diiring 8 orang dayang-dayang perempuan. Cepat sekali tandu itu tiba dihadapan Hoa Sian-kiok.

Hoa Sian-kiok tersipu-sipu memberi hormat. “Hamba menghaturkan hormat kepada Thay-siang.”

Tandu itu sebuah tandu yang diukir lambang-lambang warna warni yang indah.

“Hoa Sian-kiok, apakah kau mengandung pikiran hendak berkhianat pada Thian-toog-bun?” orang yang berada dalam tandu tak muncul melainkan suaranya yang kedengaran melantang tajam. Cian Hong terkejut. Dari nada orang itu jelaslah bahwa Thay siang partai Thian-tong-bun itu juga seorang wanita. Tetapi siapkah gerangan wanita yang sedemikian saktinya? Bukan Thay-siang atau Pemimpn tertinggi dari partai Thian tong-bun itu. tentu seorang yang berkepandaian sakti sekali.

Hoa Sim kiok kedengaran menyahut: “Harap Thay-siang suka mempertimbangkan bahwa setelah menerima budi diangkat sebagai bengcu, masakan hamba hendak berangan-angan menjadi penghianat?” Kedengaran pula suara dari dalam tandu: “Jelas hatimu sudah bercabang, mengapa masih menyangkal?”

Dengan serta merta Hoa Sian kiok segera berseru: “Hamba telah banyak menerima budi. ”

“Hm, duabelas murid Thian-tong-bun mati dibawah pedang Sambernyawa dari Ko Ko-hong, mengapa kau tak mencurigai Ko Ko-hong kebalikannya malah membelanya?”

Hoa Sian-kiok tundukkan kepala: “Hamba justeru hendak mengejar jejak Ko Ko-hong!”

“Hm, mengejar? Perlu apa kau mengejar?” “Hendak hamba tangkap!”

“Fui! Tangkap? Kedua saudara Toan hendak menangkap anak dari Ko Ko-hong saja, kau tak mau membantu. Apakah sebabnya?” seru suara dari dalam tandu dengan sinis.

Wajah Hoa Sian-kiok agak berobah, tetapi cepat ia berlaku tenang kembali dan berkatalah ia dengan pelahan: “Kedua saudara Toan itu sama sekali tak mau mengindahkan orang atasannya. Sikapnya congkak gemar mengadu domba. Harap Thay-siang jangan percaya omongan mereka!”

Dari dalam tandu terdengar dua buah dengusan menggeram. Buru-buru   Hoa   Sian-kiok   berkata   pula:   “Kematian   ke   12

anakbuah kita itu sama sekali tiada sangkut pautnya dengan putera

Ko Ko-hong. Apalagi kedua saudara Toan itu mengeroyok pemuda itu. Apabila hamba dalam kedudukan sebagai bengcu turun tangan membantu, bukankah akan menjadi buah tertawaan orang persilatan? Bukankah orang akan mengatakan bahwa partai Thian- tong-bun tak mampu menundukkan seorang anakmuda saja dan perlu main keroyok? Tidakkah sukar bagi partai kita untuk menancap kaki di dunia persilatan?” “Tajam benar mulutmu!” bentak Thay-siang, “Hoa Sian-kiok, camkanlah dalam benakmu. Kalau aku mampu membantumu merebut kedudukan bengcu dari partai Thian-tong-bun, tentu akupun mampu untuk melenyapkan kau dari dunia persilatan!”

Gemetar tubuh Hoa Sian-kiok mendengar ancaman tajam dari thay siang. Serunya: “Hamba tentu setia, harap thay-siang jangan bersangsi!”

“Setia tak mendua hati?” dengus thay-siang, “kau kira aku tak tahu isi hatimu?”

Hoa Sian-kiok tertegun. Ia menunduk.

“Kutahu hatimu tak dapat melupakan Ko Ko-hong!” kata thay- siang pula.

“Thay-siang, sama sekali hamba tak mengandung perasaan begitu!” sangkal Hoa Sian-kiok.

“Tak mungkin kau dapat mengelabuhi aku!” “Tidak...”

“Memang hati wanita sehalus itu. Sekali mencintai seorang pria, maka tak dapatlah ia melupakannya seumur hidup. ”

“Thay-siang, jangan membicarakan hal itu,” seru Sian-kiok dengan mata berlinang.

“Tetapi didunia tiada pria yang baik!” seru thay-siang dengan geram.

“Thay siang!”

““Kau tak mau mengingat atau memang tak berani mengenangkan kembali. Betapa pada permulaannya kau mencintainya setengah mati. Namun Ko Ko-hong tak menghiraukan kau dan tetap mencintai ta-cimu Hoa Sian-lan. Bahkan lelaki itupun sampai hati juga hendak membunuhmu.” “Thay-siang, peristiwa yang lampau itu ternyata hanya suatu kesalahan faham saja!”

“Salah faham?” seru thay siang mengejek, “mereka berdua telah membujukmu supaya ikut kesebuah karang buntu. Apa maksud mereka kalau tidak akan melemparkan mayatmu kebawah jurang. Jika saat itu aku tak muncul, apakah kau masih dapat melihat sinar matahari sampai sekarang?”

Hoa Sian-kiok menggeleng: “Hari itu sebenarnya kami bertiga sedang berburu. Pada saat mereka berdua gerakan tangan, kudengar dibelakangku ada suara berisik. Kemungkinan tentu kelinci hutan. Dan binatang itulah yang hendak dipukul oleh mereka berdua!”

“Kau masih percaya mati-matian kepada mereka?” seru thay- siang dengan nada kurang senang.

Mata Hoa Sian-kiok merentang lebar: “Menurut penilaian, tiada alasan untuk menuduh taci hendak membunuh aku!”

“Mengapa?”

“Kami taci beradik sejak kecil saling menyayang, makan, tidur dan bermain selalu berdua. Taci cinta sekali kepadaku, masakan ia tega hendak membunuh aku?”

Pembicaraan antara Hoa Sian-kiok dan thay-siang yang berada dalam tandu, didengar jelas oleh Cian Hong. Ia terkejut, “Oh, kiranya bibipun mencintai ayahku. Rupanya thay siang itu memang menjalankan siasat adu domba untuk memecah belah mamah dengan bibi, “kata Cian Hong dalam hati.

Kedengaran thay-siang itu mendengus dingin: “Tahukah kau hal apa didunia ini yang membuat orang kalap?”

Hoa Sian-kiok terkesiap tak dapat menyahut sampai beberapa jenak. “Ketahuilah bahwa Cinta itu bersifat koukati (egois). Takkan membagikan pada orang kedua, sekalipun orang kedua itu adalah adik atau saudaranya kandung sendiri, orang yang dilanda racun Cinta tentu akan tegah membunuh siapapun juga, sahabat atau keluarganya!” seru thay-siang.

“Apakah sedemikian dahsyat pengaruh cinta itu?” seru Hoa Siao- kiok.

“Tidak hanya sampai disitu saja bahkan apa bila perlu, duniapun akan dihancurkan juga. ” sahut tkah-siang. Dan dengan nada yang

mengunjuk kemarahan hebat, berserulah ia: “Biang keladi dari kehancuran hati wanita itu adalah kaum pria maka aku bersumpah tentu akan membasmi tiap orang lelaki!”

Bukan main kejut Cian Hong mendengar pernyataan ngeri dari thay-siang itu.

Namun tenang-tenang saja Hoa Sian-kiok menyahut: “Dahulu memang aku mempunyai anggapan bahwa kaum pria itu bukan manusia baik semua. Tetapi sekarang aku mempunyai pandangan lain... Ah, tak seharusnya aku mengenangkan Ko Ko-hong lagi ”

“Bukankah dahulunya dia juga cinta sekali padamu? Adalah karena melihat tacimu maka berobahlah hatinya!” Thai-siang menyelutuk.

Hoa Sian-kiok tengadahkan kepala memandang kelangit: “Tidak, Ko Ko-kong hanya mengunjuk sikap persahabatan. Dia menganggap diriku sebagai adik iparnya. Cintanya hanya tertumpah pada taci seorang!”

Thay-siang tertawa menghina: “sesungguhnya dia hanya mempermainkan kau sajalah!”

“Ko Ko-hong bukan seorang lelaki sembarangan. Dia setia mencintai taci. Sayang saat itu umurku masih kecil maka penerimaanku keliru. Kuanggap sikapnya yang begitu baik itu sebagai tanda dia cinta padaku. Ag, aku memang salah faham!” bantah Hoa Sian kiok.

“Ngaco!” bentak thay-siang, “semua lelaki didunia ini patut dibunuh!”

Diam-diam timbul reaksi penasaran dalam hati Cian Hong terhadap thay-siang itu.

Kata thay-siang itu lebih jauh: “Lelaki paling tak mengerti apakah cinta itu. Pada waktu kau mencintainya, dia tentu menganggap dirinya paling cakap paling berharga dan diapun lalu bersikap jual mahal. Tetapi apabila kau tinggalkan dia pergi, dia tentu akan mati-matian merintih menyatakan cinta padamu. Jangun sekali-kali kau termakan bujuk rayuan. Apalagi kau tak dapat memegang gengsimu, sekali tergelincir dalam cumbu rayuan lelaki, sesal kemudian tiada berguna!”

Walaupun dalam hatinya Hoa Sian kiok tak setuju dengan pernyataan thay-siang namun tak berani ia membantah. Kata-kata yang sudah-sudah disiapkan dibibir tak jadi dinyatakan.

Tiba-tiba thay siang bertanya: “Apakah keperluanmu kembali kemarkas ini?”

“Hamba hendak...” tiba-tiba Hoa Sian-kiok meragu. Apabila ia menceritakan sejujurnya, thay-siang tentu akan mengurus kitab Bu- ji-thian keng.

“Katakanlah, apa tujuanmu?” desak thay-siang. “Akan menjenguk kesehatan thay-siang.”

“Tutup mulutmu!” bentak thay-siang dengan murka, gerak gerikmu tak mungkin terlepas dari mataku. Terus terang saja bukankah kedatanganmu kesini hendak minta air Hujan darah padaku?” Hoa Sian-kiok gemetar.

“Ya...” akhirnya ia menyahut agak getar.

Thay-siang tertawa dingin, ujarnya: “Perlu apa kau dengan air Hujan-darah itu? Apakah kau sudah mendapatkan kitab Bu-ji-thian- keng?”

Sedemikian hebat rasa kejut yang diderita Cian Hong saat itu sehingga tubuhnya gemetar dan diluar kesadarannya telah menimbulkan suara kresekan dari daun-daun yang tersentuh badannya. Ia makin kaget karena kuatir getaran daun itu akan diketahui thay-siang.

Hoa Sian-kiok hendak menyahut tetapi tiba-tiba thay-siang sudah mendahului: “Ho, kiranya begitu!”. dan sekonyong-konyong ia tertawa nyaring.

Suara tertawa yang dilambari dengan tenaga dalam itu, melengking tajam menembus sampai kelangit. Dan bergetarlah daun-daun diseluruh hutan....

Hoa Sian-kiok terkesiap. Tah tahu ia apa maksud thay-iang. Tetapi yang jelas, jantungnya bergoncang hebat terlanda oleh suara tertawa itu. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan.

Cian Hong bersembunyi dibalik gerumbul pohon. Karena daun- daunnya rontok, persembunyiannyapun tak dapat dipertahankan lagi. Buru-buru ia beringsut kelain gerumbul untuk berpindah tempat.

Tetapi suara tertawa thay-siang itu masih tetap melengking dahsyat, tinggi rendah bagai gelombang mendampar. Dan daun- daunpun berguguran laksana hujan mencurah. Hampir separoh dari pohon dihutan itu rontok daunnya. Sekeliling sisi Cian Hong penuh berserakan daun-daun. Jika thay-siang melanjutkan tertawanya, Cian Hong tentu tak dapat bersembunyi lagi. Ha, ha... hi, hi, hi... ha. ha. ha....

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tertawa menyambut: “Ho, ho, ho... hu, hu, hu. Dua buah tertawa saling beradu, berebut

tindas menindas. Bagaikan dua buah pedang saling beradu. Udara seolah-olah berisik dengan halilintar menyambar-nyambar...

Tak berapa lama tertawa thay-siangpun makin lama makin rendah. Suara pendatang itu makin lama makin menguasai udara.

Tiba-tiba thay-siang hentikan tertawanya. Dengan suara lemah pelahan ia berseru: “Lam... Lam-mo ”

Dari seruan thay-siang jelaslah bahwa Lam-mo atau Iblis-selatan itu tentulah seorang durjana yang menggetarkan dunia persilatan.

“Lam-mo? Siapakah Lam-mo?” berulang-ulang Cian Hong bertanya dalam hati ketika menyaksikan pertandingan tertawa yang menggemparkan itu.

Tiba-tiba thay-siang berseru: “Hai, budak yang bersembunyi dipohon, hari ini kau mendapat kemurahan!”

“Ikut aku pulang!” kata thay-siang kepada Hoa-Sian-kiok. Dan segera ia perintahkan tandu berjalan pula.

Sejenak Hoa Sian-kiok memandang kearah tempat persembunyian Cian Hong. Dengan menahan kedukaan, ia segera menyusul thay-siang.

Cian Hong termangu-mangu sampai beberapa saat.

Tiba-tiba ia terkesiap sendiri, batinnya: “Ho, kiranya that-siang bengcu sudah mengetahui tempat persembunyianku. Lalu mengeluarkan ilmu tertawa untuk merontokkan daun-daun. Dengan begitu supaya sampai persembunyianku kelihatan!”

Diam-diam ia bersyukur bahwa di saat-saat yang genting, muncul seorang luar biasa yang dapat menandingi tertawa thay siang. Orang itu tentu memiliki kepandaian yang amat sakti. Tetapi siapakah gerangan orang itu?

“Lam-mo, siapakah Lam-mo?” berulang-ulang mulut Cian Hong mengiggau seorang diri.

Kemudian pikirannya beralih pada Hoa Sian kiok. Ia duga bibinya itu tentu akan mendapat hukuman dari thay-siang. Apa daya untuk menolongnya? Akhirrya ia memutuskan, malam nanti akan menyelidiki kemarkas Thian-tong-bun.

Segera ia duduk menyalurkan napas dibawah pohon. Sehari itu ia gunakan untuk memulihkan tenaga, menyegarkan semangat, ia sadar Thian-tong bun penuh dengan harimau buas.

Tak terasa malampun tiba dan Cian Hong segera berkemas.

Langit tiada bulan, hanya disinari beberapa bintang.

Cian Hong segera menuju ke Thian-tong-bun.

Markas besar Thian-tong bun laksana terbungkus sutera hitam. Bayang-bayang pohon disekeliling markas itu, tampak berjajar-jajar seperti barisan pengawal yang angker...

Tiba-tiba muncul sesosok bayangan. Bayangan itu lari cepat menuju kesebelah timur. Dalam kegelapan malam, hanya gedung sebelah timur dari markas itu yang tampak menjulang paling tinggi.

Cepat bayangan itu tiba dipuncak gedung itu dan kedengaran ia berkata seorang diri: “Dimanakah tempat bibi?”

Kiranya bayangan itu bukan lain Cian Hong yang malam-malam itu masuk kedalam markas Thian-tong-bun. Tetapi ia tak dapat menemukan pintu markas maka terpaksa menyelundup dengan jalan loncat keatas gedung. Gedung itu cukup perkasa dan luas sekali. Tetapi anehnya tiada penerangan sama sekali. Cian Hong menggelantungkan diri pada tiang rusuk lalu julaikan kepalanya kebawah wuwungan. Tiba-tiba ia melihat sebilah papan tembaga melekat diatas pohon. Papan itu tertulis: Bi-hun-kiong atau istana Ling-lung!

Cian Hong tertawa dingin: “Hm, Bi-hun-kiong memang bisa menyesatkan pikiran orang, tetapi jangan harap bisa menghilangkan pikiranku!”

Dasar anak muda, darahnya memang panas.

Dengan penasaran ia loncat turun dan mendorong pintu. Ternyata pintu terbuat dari pada besi. Tetapi anehnya sekali dorong, pintu besi itupun terbuka. Cian Hong menyurut kaget sendiri!

Dalam ruangan gedung Bi hun-kiong itu sunyi senyap, kosong melompong.

“Ah, jika tak berani masuk kedalam sarang harimau, bagaimana aku bisa mendapatkan anak harimau...” akhirnya Cian Hong bulatkan tekadnya. Dan dengan semangat berkobar-kobar ia melangkah masuk.

Sekonyong-konyong serangkum angin dingin meniup kearahnya. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan tetapi tak urung tubuhnya agak menggigil juga. Setelah tenang, ia lanjutkan langkahnya pula.

Ia menghadapi sebuah lorong panjang. Untuk menjaga sesuatu yang tak diinginkan, ia lindungkan kedua tangannya kedada. Tiba diujung lorong, ia berhadapan dengan sebuah ruang yang luas. Ia berhenti sejenak menimang.

Tiba-tiba terdengarlah bunyi-bunyian musik. Merdu sekali iramanya tetapi segera ia merasakan sesuatu yang tak wajar pada nyanyiannya. Nyanyiannya penuh bernada perangsang kecabulan. Cian Hong buru-buru kerahkan semangat untuk menenangkan diri.

Cian Hong jalan berjingkat-jingkat menghampiri. Sekonyong- konyong ruangan gelap itu memancar terang benderang seperti disiang hari. Seluruh ruang ternyata berhias lampu.

Dan serempak dengan itu terdengar suara bersenandung kecil. Dua rombongan gadis berpakaian putih muncul. Usianya rata-rata diantara 28-an tahun cantik-cantik dan tubuhnya yang berselimut pakaian tipis, tampak mempesonakan!

Belum selesai Cian Hong memperhatikan, tiba-tiba lampu-lampu berobah beraneka warna. Putih, merah, kuning, hijau, biru dan wungu. Suasana ruangan berobah menggairahkan.

Dua romhongan gadis penari itu perlahan-lahan mulai bergoyang kibul dan menari-nari menghampiri Cian Hong. Bau harum semerbak menampar hidung, telingapun dilengkingi suara nyanyian-nyanyian cabul. Betapa teguh iman seorang lelaki, tentu akan goyang juga melihat pemandangan yang sedemikian memesonakan itu...

Apalagi Cian Hong yang masih muda. Betapapun keras ia hendak menahan diri, namun mau tak mau darahnyapun bergolak.

Rombongan gadis-gadis penari itu menari-nari mengitari Cian Hong. Tiba-tiba gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya (semacam tari strip-tease). Darah Cian Hong makin mendidih, dadanya berombak keras. Genting meruncing laksana gunung berapi yang akan meletus....

“Cian Hong, kerahkan semangatmu, jangan sampai terlimbung oleh gadis siluman itu!” Cian Hong seperti terguyur air dingin. Dan herannya, dalam pandangannya saat itu gadis-gadis penari itu walaupun setengah telanjang tetapi tak memancarkan daya penarik lagi....

Cian Hong, turut perintah bibi. Lekas kau keluar dari Bi hun- kiong ini atau kau nanti akan makin terjerumus lebih hebat. Ruang ini baru ruang pertama yang disebut “Tari cabul” tiba-tiba Cian

Hong dikejutkan pula oleh suara kecil macam ngiang nyamuk yang melengking dltelinganya.

“Ha, Ruang Tari-cabul sudah sedemikian lihaynya, ruang kedua tentu lebih hebat lagi!” dia Cian Hong membatin.

Memang yang mengisiki dengan ilmu Menyusup-suara itu ialah Hoa Sian-kiok, bibi Cian Hong sendiri. Kata Hoa Sian-kiok pula: “Gunakan ilmu Ayam menerobos-fajar untuk menerobos keluar dari kawanan gadis itu. ”

Cian Hongpun segera enjot tuhuhnya melayang lewat diatas barisan gadis-gadis penari.

“Gunakan jurus Naga-meringkik marah!” kembali Hoa Sian-kiok menyusupkan suara. Dan seketika itu juga Cian Hongpun bersuit nyaring sekali. Nyanyian kawanan gadis penari yang penuh bernada kecabulan, pecah berantakan....

Cian Hong melakukan petunjuk bibinya. Ia menuju kemulut lorong. Kawanan gadis penari berhamburan mengejarnya!

“Jurus Memanggul-bintang!”

Cian Hong ayunkan tangannya menghantam kawanan gadis penari itu lalu teruskan lari keluar.

“Lari ketimur dan tunggu aka dibawah pohon besar!” kembali Hoa Sian-kiok melengkingkan Ilmu Menyusup-suara.

Cian Hong tak berani berayal. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ia lari kejurusan timur. Entah berapa jauhnya tiba-tiba ia melihat sebatang pohon besar menjulang tinggi. Segera ia menyelinap kesitu. Tetapi serempak dengan itu sesosok bayanganpun melesat.

“Bibi!” Cian Hong berseru terkejut.

Memang yang datang itu Hoa Sian-kiok. Wajah wanita itu tampak pucat lesi dan dengan suara getar ia berseru: “Kau terlalu gegabah sekali. Kau kira Thian-tong-bun mudah dimasuki?”

“Maaf, bibi, tetapi aku memikirkan keselamatanmu!” sahut Cian Hong.

“Tidak... “ Hoa Sian-kiok segera mengeluarkan sebuah botol dan diberikan kepada Cian Hong. “Inilah air hujan-darah. Tak mudah kuambilnya, bawalah!”

Begitu  menyambuti,  Cian  Hong  hendak  mengucap  sesuatu, tetapi  cepat  dicegah  bibinya:  “Sudahlah,  jangan  banyak  bicara!”. Menunjuk  pada  botol  Hujan-darah,  Hoa  Sian-kiok  berkata  lebih jauh. “Kau pasti dapat  menggunakan sebaik-baiknya. Setelah kau berhasil mempelajari isi kitab Bu-ji-thian-keng barulah kau boleh menyerbu kedalam Neraka 19 lapis.”

Tiba-tiba dari jauh terdengar suitan bernada kemarahan. Wajah Hoa Sian-kiok berobah tegang, serunya: “Thay-siang telah mengetahui kau dapat lolos dan saat ini mengerahkan orangnya mengejar. Lekas pergi atau kalau terlambat sedikit saja, kau pasti celaka!” 

“Tetapi kau bagaimana, bi?” seru Cian Hong.

Hoa Sian-kiok dorongkan tangannya. “Aku tak jadi apa, pergilah lekas!”

Dengan menahan air mata Cian Hong terpaksa angkat kaki. Suitan itu makin lama makin dekat. Buru-buru Cian Hong cepatkan larinya. Setelah beberapa lama berlari, ketika dibelakang tak tampak orang mengejar, barulah Cian Hong berhenti. Saat itu terdengar ayam berkokok menyambut datangnya pagi.

“Hai, apabila sudah dapat kupelajari ilmu dalam Bu-ji-thian- keng, pasti akan kusapu bersih durjana-durjana itu!” geramnya dalam hati.

Kini kitab pusaka dan hujan darah telah diperolehnya. Soalnya hanya tunggu cari tempat yang sunyi untuk segera mulai mempelajarinya. Ia segera menuju kesebuah hutan. Dipilihnya sebuah tempat yang sunyi, sebuah gua yang tak mungkin diketahui orang lalu mulailah ia bersiap. Sesuai dengan petunjuk Kui-bo, kitab Bu-ji-thian-keng segera direndam dengan air Hujan-darah. Dalam pada menunggu saat-saat kitab itu akan timbul tulisannya, pikiran Cian Hong melayang.

Mengenangkan bagaimana nanti setelah dapat mempelajari ilmu kesaktian segera ia hendak menumpas kawanan durjana, menolong ayahnya, ia tertawa riang. Kira-kira sepeminum teh lamanya ia berpendapat, kitab itu tentu sudah timbul tulisannya. Segera diambilnya kitab itu dan hatinyapun tegang sekali. Dengan tangan gemetar mulailah ia membuka lembaran halaman kitab itu. Amboi.... halaman kitab itu tetap kosong melompong. Tak sebuah hurufpun yang tampak.

Cian Hong termangu kaget: “air Hujan-darah terang bibi yang memberi padaku sendiri. Tak mungkin palsu!”

Kini dugaan Cian Hong jatuh pada kitab itu. Kalau air Hujan- darah tidak palsu, tentulah kitab Bu-ji-thian-keng itu yang palsu!

Tetapi ketika merenungkan betapa tegang sikap Su-hay-mo-ong ketika menyimpan kitab itu, kecurigaan Cian Hong agak berkurang. Mungkinkah kitab itu memang palsu? Mengapa kitab itu tetap tak kelihatan hurufnya? Cian Hong terbengong-bengong. Beberapa saat kemudian barulah ia sadar: “Mungkin kurang lama merendamnya!”

Kembali direndamnya kitab itu dalam air Hujan-darah. Tetapi saat itu Cian Hong tak dapat berlaku tenang lagi. Hatinya berdebar keras. Tak dapat ia membayangkan bagaimana andaikata itu benar- benar palsu.

Sejam kemudian, Cian Hong tak dapat menahan diri lagi. Segera diambilnya kitab itu dan dibukanya.

Seketika ia melongo.... Bu-ji-thian-keng tetap hanya lembaran kertas putih belaka.

“Aku tertipu....” akhirnya ia menghela napas. Tetapi siapakah gerangan yang memasang siasat ini. Pikirannya melayang pada Su- hay mo-ong dan anaknya (Hay-gwa-it-kiau). Mungkin pula saat Su- hay-mo-ong menyembunyikan kitab ditiang penglari, ditukarnya kitab itu dengan yang palsu. Kemudian ia menerima tawaran Kui- bo.

“Ah, tetapi kalau melihat nada sikap Su-hay mo-ong yang begitu bersungguh-sungguh, rasanya tak mungkin kalau palsu,” pada lain kejab Cian Hong membantah dugaannya sendiri.

Sesaat bingung Cian Hong memikirkan kejadian yang aneh itu. Sekali lagi ia coba membuat analisa. Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mungkin Su-hay-mo-ong memang telah mendapat kitab yang palsu. Jadi bukan dia yang memalsukan. Atau memang kitab peninggalan dari Bu Yu lojin itu sengaja dibuat dua macam agar orang persilatan saling berebut dan cakar-cakaran.

“Kalau benar begitu, rencana itu keji sekali...” kata Cian Hong. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pekikan dan dering senjata.

Cepat ia melangkah keluar. Di luar hutan tampak tiga orang sedang

bertempur. “Siangkwan Yap, jangan keliwat menghina orang!” seru sebuah nada perempuan yang parau, Cepat Cian Hong bersembunyi dibalik sebuah pohon besar untuk melihat apa yang mereka pertengkarkan. Dilihatnya Su-hay mo-ong dan puterinya sedang menyerang hebat pada Kui bo. Namun wanita tua itu tak gentar. Kedua tangannya yang kurus runcing macam cakar burung, tampak berlingkar- lingkar dengan cepat sekali.

Tiba-tiba Su-hay-mo-ong mengirim sebuah tendangan: “Kui-bo, kau ganas benar!”

Kui-bo menghindar kesamping seraya balas memukul Hay-gwa- it-kiau: “Kalau kau tak mau bicara jelas, bagaimana tahu?”

Cian Hong heran mengapa ketiga orang yang telah bersepakat mencari air Hujan darah itu, mendadak saling berhantam sendiri. Pikirnya: “Rupanya Su-hay-mo onglah yang mencari Kui-bo!”

Terdengar Su-hay-mo-ong tertawa dingin: “Kau sudah tahu mengapa pura-pura bertanya lagi!”

Kui-bo melengking: “Aku toh bukan cacing dalam perutmu, bagaimana aku bisa tahu isi hatimu?”

Hay-gwa it kiau menyurut mundur. Katanya kepada sang ayah: “Yah, tak apalah. Jelaskan padanya agar ia jangan jadi setan penasaran kalau nanti mati!”

“Tutup mulutmu, budak hina!” bentak Kui-bo.

Su hay-mo ong menarik pukulannya: “Karena kau berlagak pura-pura, akan kuterangkan sekali lagi, tak jadi apa. ” ditatapnya

wanita itu dengan mata membara, serunya: “Apakah kau masih ingat perjanjian dalam pondok?”

Kui bo kerutkan matanya kedalam. Tiba-tiba ia memancarkan sinar kemarahan: “Kau menyesal?” “Jawab pertanyaanku dulu! bentak Su-hay-mo ong. “Mengapa tak ingat!” sahut Kui-bo, “tetapi mengapa diam-diam kau menyelundup kemarkas Thian-tong-bun untuk mencari air Hujan-darah?”

“Bagaimana isi perjanjian kita?” seru Su-hay-mo-ong. “Bersama-sama mempelajari isi kitab Bu-ji-thian-keng!”

Su-hay-mo-ong tertawa nyaring: “Tetapi mengapa kau hendak mengangkangi kitab itu sendiri?”

Berobahlah wajah Kui bo macam setan menyeringai: “Kapan aku hendak mengangkang?”

“Kui-bo, jangan berlagak pilon!”

“Siangkwan Yap, omonglah yang terang!” balas Kui-bo.

Su-hay-mo-ong tertawa mengekeh: “Kau sendirilah yang menawarkan kerja sama kepadaku. Tetapi ternyata hatimu berduri. Begitu tinggalkan pondok, diam-diam kau menyelinap kembali untuk mengambil kitab itu!”

Rambut wanita iblis itu menjigrak. Kemarahannya meluap-luap: “Siangkwan Yap, kau memfitnah orang semaumu!”

“Bukti sudah nyata, mengapa kau masih menyangkal?” Hay gwa- it-kiau menyelutuk.

Kui-bo pentangkan mata, “Kau menuduh aku mencuri kitab itu?

Apakah kau melihat sendiri?”

“Hm, berani berbuat mengapa takut mengaku?

Kecewa kau digelari sebagai tokoh terkemuka kalau perbuatanmu plintat plintut seperti tikus busuk!” dengus su-hay- mo-ong.

Marah Kui-bo bukan kepalang, serunya: “ngaco bela!”. Serentak ia beranjak melontarkan pukulan.

Su-hay-mo-ong loncat mundur. “Bu-ji-thian-keng hilang...” Kui-bo loncat mundur. “Hilang?” serunya terkejut, “Perlu apa aku bohong!”

Kui-bo terlongong-longong. Jika kitab Bu-ji-thian-keng hilang, perlu apa mencari air Hujan-darah?

Tetapi pada lain kilas ia curiga. “Ah, jangan-jangan...! Siangkwan Yap hanya mengingusi aku!”

Teringat ia bahwa tempat penyimpanan kitab itu hanya diketahui mereka bertiga. Mengapa bisa hilang? “Siangkwan Yap, kau serigala buas!” tiba-tiba berserulah ia setelah menyadari persoalannya.

“Aku, aku ganas?” mata Su-hay-mo ong membelalak.

Seru Kui-bo dengan garang: “Kalian ayah dan anak, sengaja mengambil kitab itu tetapi menuduh aku yang mencuri. Benar- benar tipu muslihat yang keji. Kau kira aku seorang anak kecil yang dapat kau kelabuhi begitu saja?”

“Apa buktinya?” wajah Su-hay-mo-ong membesi.

“Perlu apa kau kembali kedalam pondok lagi? tegur Kui-bo dengan tajam. “Karena tak tega. ”

“Yang tahu penyimpanan kitab itu hanya kita bertiga. Perlu apa kau tak tega? Terang kalian ayah dan anak sudah merencanakan penipuan!” Kui-bo menutup kata-katanya dengan ayunkan tangannya. “Terimalah ini!”

Cepat sekali Kui-bo sudah lancarkan 3 jurus serangan kilat. Su- hay-mo-ong menghindar mundur.

Dahinya mengucurkan keringat dingin.

“Enyah!” melihat ayahnya diserang, Hay-gwa-it-kiau angkat tangannya mengancam. Tetapi Kui-bo malah marah sekali. Secepat berputar tubuh ia tamparkan tangannya. Hay-gwa-it-kiau terhuyung mundur dua langkah. Wajahnya pucat lesi. Melihat itu buru-buru Su-hay-mo-ong loncat menabas agar tekanan tenaga kepada puterinya menjadi berkurang.

Kui-bo bersuit nyaring. Ia tumpahkan kemarahannya kepada Su- hay-mo-ong. Seketika pecahlah pertempuran dahsyat dalam hutan situ.

“Hm, silahkan kalian saling bunuh,” diam-diam Cian Hong bersyukur dalam hati. Dilihatnya langit cerah. Seketika timbullah hasratnya untuk menyelidiki ke Neraka-dua-lapis lagi. Cepat ia ayunkan tubuh loncat beberapa tombak jauhnya. Samar-samar ia masih mendengar deru angin pertempuran.

Diam-diam ia tertawa geli.

Pada malam yang senyap itu dilembah dimana terdapat bangunan apa yang disebut Neraka-dua-lapis tampak sesosok bayangan manyelinap masuk. Dia adalah jago muda kita, Ko Cian Hong.

Dengan membekal dendam kemarahan, pemuda itu pertaruhkan segenap jiwanya menyelundup kedalam Neraka-dua-lapis. Kali ini ia harus mendapat keterangan tentang letak Neraka-19 lapis!

Tiba-tiba ia tersirap kaget. Ketika menerobos masuk kemulut lembah, tampak mayat berserakan disepanjang jalan. Dan saat itu terdengar suara pekik jeritan dari pembunuhan.

“Hm, kali ini Sin-ciu-giam-ong tentu ketemu musuh tangguh!” diam-diam ia membatin. Cepat ia berlari menuju kegua tempat bangunan Neraka-dua-lapis. Ternyata Neraka-dua-lapis itu dibangun dilamping gunung. Dari sebelah depan, orang takkan mengetahui sampai dimana liku-liku bangunan sebelah dalamnya yang berbahaya itu.

Cian Hong menerobos masuk.

Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh sambaran angin yang melanda dadanya. Cepat ia memberi reaksi mendorongkan sebuah pukulan keras.

“Aduh. ” terdengar jerit mengaduh dan jatuhnya sesosok tubuh.

Ketika memeriksa, Cian Hong dapatkan penyerangnya itu seorang anakbuah Neraka dua-lapis yang berwujut seperti setan kecil.

Tiba-tiba ia mendengar deru angin bertaburan tajam.

Datangnya dari arah luar. Ia duga tentu terjadi pertempuran seru. Cepat ia loncat keluar gua. Dan dugaannya ternyata benar.

Seorang wanita muda yang berwajah buruk sedang melancarkan serangan dahsyat kepada Yu-leng-li-kui. Tampak nona yang pernah merayu Cian Hong itu tak berdaya menghadapi serangan siwanita buruk. Serangan wanita buruk ini laksana jaring menebar, Yu leng li kui bingung. Pada lain kejab Yu-leng-li-kui menjerit ngeri dan rubuh dengan batok berhamburan......

Cian Hong gelagapan. Ia menyesal mengapa tak lekas-lekas memberi pertolongan pada Yu leng-li kui yang pernah menolongnya. Dan kedua kali memang ia tercengeng menyaksikan kepandaian wanita buruk yang bukan olah-olah hebatnya itu.

Setelah tersadar, barulah ia berteriak marah: “Ganas sekali!”

Sahut wanita buruk itu dingin: “Untuk setan-setan macam begini, tindakanku itu masih murah!”

Teringat akan pertolongan Yu-leng-Li-kui, Cian Hong hendak menuntut balas atas kematian nona itu, serunya: “Kau keterlaluan sekali!” “Siapa kau? Apa hubunganmu dengan dia?” wanita berwajah buruk itu mulai sengit.

Cian Hong kerutkan kening: “Manusia didunia wajib mengurus urusan dunia. Perlu apa kau tanyakan diriku?”

“Kau hendak menceburkan diri dalam air keruh?” teriak wanita itu dengan marah.

Cian Hong juga tak mau unjuk kelemahan: “Anggaplah begitu!” “Kalau begitu terimalah seranganku ini!” segera wanita buruk

itu ayunkan tangan menampar.

Cian Hong dapatkan gerakan wanita buruk itu biasa saja, tak ada tanda-tanda yang luar biasa. Tetapi ketika Cian Hong menghindar, secepat kilat serangan itu sudah memburunya.

Kejut Cian Hong bukan kepalang. Cepat ia gunakan jurus Membelah-langit-menutup-bumi untuk membalas. Jurus Membelah-langit-menutup-bumi adalah ilmu pukulan yang tiada taranya. Debu bergulung-gulung menutupi kedua orang itu. Dan ketika reda, tampak wajah Cian Hong dan wanita buruk itu pucat lesi. Dahi mereka mengucur keringat dingin.

Setelah saling tukar pandangan, Cian Hong dan wanita buruk muka itu segera beranjak maju lagi. Mereka hendak mengadu pukulan lagi.

Pada saat-saat yang tegang itu tiba-tiba sesosok bayangan kecil berlari-lari mendatangi, “ Suhu! Ko Sauhiap. !” Wanita berwajah

buruk itu tertegun kaget. Dan Cian Hongpun berpaling. Kiranya yang datang itu Hoa Ling-ling. Heran ia mengapa nona itu memanggil siwanita buruk dengan sebutan 'suhu' “Apakah wanita buruk ini yang disebut Kang-ou-jau-li?” diam-diam ia menimang.

“Nona Hoa....” serunya memberi salam. Rupanya nona itu mengetahui bahwa sekitar tempat disitu habis dibuat perang tanding, serunya: “Ko Sauhiap. apakah kau habis bertempur deagan suhu?”

Cian Hong hanya mengangguk.

Tiba-tiba berkatalah wanita berwajah buruk itu dengan nada lapang: “Ah, tak kiranya kau Ko Cian Hong. Hari ini tak terduga- duga bisa berjumpa dengan putera dari kawanku. Menilik kepandaianmu yang begitu sakti, arwah ibumu tentu legah. ”

Cian Hong tersipu-sipu memberi hormat: “Toan cian pwe, harap maafkan kekurang-ajaranku tadi!”

Kang ou jiu li atau Wanita-buruk-didunia-persilatan Toan Bu- kian tertawa: “Tidak tahu berarti tidak salah!”

Masih Cian Hong tak mengerti apa sebab Kang-ou-jau-li membunuh Yu-leng-li kui tadi, tanyanya: “Mengapa cainpwe membunuhnya?”

“Kau tahu siapakah perempuan itu?” Hoa Ling-Ling menyelutuk.

Cian Hong gelengkan kapala menyahut: “Yang kuketahui dia adalah Yu leng-li-kui.”

Hoa Ling-ling mendengus: “Dia adalah puteri dari Sin ciu-giam ong yang bernama Kang Boan-ci!”

Kini baru jelaslah Cian Hong siapa Yu-leng-li-kui itu; Namun ia masih bertanya pula: “Nona Hoa mempunyai dendam permusuhan apa dengan dia?”

Hoa Ling-ling mengertak gigi: “Ayahku mati ditangan ayahnya dengan pukulan Khit-im-tok-hiat-ciang!”

Seketika teringatlah Cian Hong betapa mengenaskan kematian yang diderita oleh tabib Kang-ou-long-tiong tempo hari.

“Apakah Sin-ciu-giam-ong sudah terbunuh?” serunya. “Belum, karena dapat meloloskan diri!” sebut Hoa Ling-ling. Kang-ou-jau-li ikut berseru: “Keadaan dalam Neraka dua-lapis ini telah kuselidiki semua. Disitu terdapat tiga buah jalan dibawah tanah. Entah apakah Ko sauhiap suka memberi bantuan?”

“Justeru kedatanganku kemari adalah hendak melaksanakn perintah mendiang guruku Wi Co-jiu untuk menumpas Sin-cui giam-ong. Apapun yang cianpwe hendak perintahkan tentu akan kulakukan dengan sepenuh tenaga!”

Kang-ou-jau-li tertawa: “Bagus kali ini jangan harap Sin-ciu giam-ong dapat melarikan diri lagi!”. Ia segera suruh kedua anakmuda itu mengikutinya. Sekali berayun, wanita sakti itu sudah melesat belasan tombak. Cian Hong dan Ling-ling mengikutinya. Mereka tiba disebuah gua besar. Sekali tekankan tangannya pada batu itu tampaklah tiga buah batu: “Ling ling menyusup terowongan sebelah kanan, aku dari terowongan tengah dan Ko sauhiap mengejar dari terowongan sebelah kiri.

Tetapi harus hati-hati menghadapi pukulan Khit-im-tok-hut- ciangnya!”

Cian Hong mengiakan. Sekali bergerak ia melesat kedalam terowongan gua disebelah kanan. Dibagian dalam luas sekali tetapi gelap gulita sehingga tak dapat ia melihat jari-jari tangannya sendiri. Bau anyir terbawa angin dingin, membaur perjalanannya. Untung Cian Hong berkat tenaga dalam yang tinggi, memiliki mata yang tajam. Sekalipun begitu tak berani ia lengah. Sepasang tangan siap dilambari tenaga dalam, setiap saat dapat segera digunakan apabila menghadapi bahaya.

Selangkah demi selangkah Cian Hong berjalan. Setiap melangkah, kakinya tentu berdebar keras. Namun sampai beberapa saat, belum juga ia tiba diujung ruangan.

Sekonyong-konyong terdengar angin berkesiur keras. Cepat-cepat Cian Hong loncat keatas. Sesosok bayangan melesat disampingnya. Cepat ia berpaling tetapi secepat itu juga bayangan itu sudah lenyap. Kejut Cian Hong bukan kepalang. Tengah ia dirundung keheranan, tiba-tiba didengarnya suara rintihan lemah. Cian Hong mendengarkan dengan seksama. Setelah menentukan arahnya, segera ia menghampiri.

Kiranya disamping lorong terowongan itu terdapat sebuah penjara dibawah tanah. Pintunya terbuka dan jelaslah bahwa rintihan lemah itu berasal dari sebelah dalam.

Cepat Cian Hong melangkah masuk. Matanya segera menyaksikan seorang tua berambut putih tidur telentang ditanah. Napasnya memburu terengah-engah.

Buru-buru Cian Hong ulurkan tangannya untuk menyanggapi kepala orangtua itu.

Setelah agak reda napasnya, orang tua itu bertanya: “Kau... kau siapa?”

“Aku orang she Ko nama Cian Hong!”

Kerut wajah kedukaan orangtua itu tiba-tiba lenyap berganti dengan seri kegirangan: “Ah, kiranya Tuhan maha pemurah. Sebelum mati, aku masih dapat melihat wajahmu...”

Serentak teringatlah Cian Hong akan cerita orang tua yang dijumpainya ketika berada dalam penjara Neraka-dua-lapis.

“Apakah lo-cianpwe bukan orangtua yang bercerita padaku tempo hari...”

“Benar memang ceritaku itu belum selesai.

Mumpung masih dapat bernapas, hendak kulanjutkan ceritaku...” Melihat keadaan orangtua itu menderita luka dalam yang amat parah sekali, mungkin pusat tenaga murninya sudah hancur, buru- buru Cian Hong mencegahnya: “Cianpwe, kau terluka parah...”

“Tak apa-apa,” orangtua itu goyangkan tangannya, “karena mungkin sudah tiada kesempatan lagi...,” ia berhenti sejenak merenung. Katanya pula: Tempohari ceritaku sampai pada sianakmuda mencari makam seorang wanita, bukan?” tanyanya.

Cian Hong mengiakan.

Orang tua itu melanjutkan pula; “Hati pemuda itu hancur lebur. Ketika ia sedang menumpahkan kedukaannya didepan makam, tiba-tiba muncullah seorang wanita. Ah, ternyata gadis kedua itu yang datang...”

Gadis itu tertawa: “Orangnya sudah mati, sia-sia mencurahkan kasih. Apa guna kau mencintainya mati-matian!”

Wajah anakmuda itu mengerut gelap: “Walaupun sudah meninggal, tetapi hati kami berdua telah sejalan jadi satu. Biarlah orangnya sudah tak ada namun cintaku tetap kupersembahkan padanya. Apakah tidak boleh?”

Jelita kedua yang cintanya tak terbalas itu tertawa nyaring: “Cintamu setengah mati itu, apakah dapat diketahui arwahnya dialam baka?”

“Dia tentu tahu!” sahut sipemuda dengan yakin.

Makin keras gadis itu tertawa: “Tidak cinta pada orang hidup tetapi mencintai orang mati. Ha, ha, benar-benar manusia yang tergoblok didunia!”

Wajah pemuda itu mengerut serius: “Harap nona jangan sembarangan mencela orang. Begitu cinta yang murni itu bukan cinta jasmaniah dimana harus terikat oleh perkawinan. Tetapi cinta suci yang tak luntur. Nona seorang jelita yang sukar dicari keduanya. Tetapi sayang lebih dulu aku berjumpa dengannya. Lebih dulu cintaku telah kuberikan kepadanya. Tak mungkin kupindahkan kepada lain orang lagi. Tak mungkin cintaku berobah!”

“Tetapi dia sudah mati!” teriak gadis itu.

“Biarpun sudah meninggal, tetap aku mencintainya!

Hatikupun turut terkubur bersama jasadnya. Tak dapat aku mencintai lain wanita lagi. Harap nona jangan mengganggu aku saja!”

Gadis cantik itu hendak buka suara lagi tetapi tiba-tiba dari belakang makam terdengar suara tertawa ringan. Bukan kepalang kejut pemuda dan gadis itu. Dan ketika berpaling kejut mereka makin membesar.

Dari belakang makam muncullah seorang gadis yang cantik sekali. Hai. seketika pemuda dan nona tadi menyurut mundur!

Kiranya gadis yang muncul dari balik makam itu adalah gadis pertama yang dicari sipemuda. Girang pemuda itu bukan kepalang: “Nona, kau, kau tidak meninggal?”

Mata dara jelita itu menatapnya dengan curahan asmara: , Tuan, cintamu telah membangkitkan hatiku yang sudah mati. Lautan nuraniku bergolak-golak. Pandanganku terhadap manusiapun berobah!”

“Jadi nona menerima cintaku?” seru sipemuda. Dengan tersipu- sipu merah jelita itu mengangguk.

Tetapi tiba-tiba gadis kedua yang kecele itu, berkobarlah amarahnya.

“Cinta lawannya benci. Aku benci kalian dan bersumpah akan membalas dendam pada kalian!” serunya dengan penuh kemurkaan. Sekali loncat nona itu melesat pergi.

Pemudi dan dara cantik itu hendak mencegah tetapi gadis yang patah hati itu sudah lari jauh. Walaupun kedua muda mudi akhirnya menikah, tetapi masih getun akan kepergian gadis kedua yang membawa dendam kebencian itu. ”

Cian Hong tertarik oleh cerita kisah asmara itu.

Terutama kemantapan sipemuda yang setya pada cinta. Namun terhadap kepatahan hati yang membenam gadis kedua dalam lautan dendam sakit hati itu, Cian Hong menaruh simpati (kasihan) juga.

Siapakah pemuda cakap itu? Siapakah dara jelita itu?

Dan siapakah gadis cantik kedua itu?

Ingin benar Cian Hong mengetahui siapakah mereka itu. Dipandangnya orangtua itu dengan lekat. “Cianpwe, pemuda cakap yang kau ceritakan itu tentulah kau sendiri, bukan?” tiba-tiba ia bertanya setelah tiba pada kesimpulan.

Orangtua menggeleng: “Bukan, bukan aku. ”

“Lalu siapa?” desak Cian Hong. “Dia majikanku, Ko Siu-thian ”

“Ko Siu-thian kakekku?” Cian Hong menjerit seketika.

Orangtua itu menghela napas kecil: “Benar, memang kakekmu sendiri atau pewaris ke 7 dari partai Te-gak-bun (NERAKA)!”

Cian Hong seperti disengat lebah kejutnya.

Walaupun pernah juga ia mendengar cerita ayahnya bahwa kakeknya itu juga seorang tokoh utama dunia persilatan, tetapi tak pernah ayahnya mengatakan kakeknya itu ketua angkatan ke 7 dari partai Te-gak-bun. Lalu siapakah ketua partai Neraka yang sekarang ini? Tiba-tiba Cian Hong berjengat. Jika kakeknya menjadi ketua angkatan ke 7, bukankah ayahnya (Ko Ko-hong) itu ketua ke 8 dari Te-gak-bun? Seketika Cian Hong kucurkan keringat dingin...

Tetapi  kalau  benar  demikian,  mengapa  ayahnya  dijebloskan dalam Neraka-19-lapis? Seperti terbentur dinding batu, Cian Hong puyeng otaknya.

Segera ia hendak menanyakan hal itu kepada siorang tua, tetapi orangtua itu rupanya sudah mengetahui dan cepat mendahuluinya: “Dara jelita yang telah berhasil merebut cinta kakekmu itu adalah nenekmu sendiri Siau-sian-li...”

“Dan siapakah gadis cantik yang patah hati itu?” seru Cian Hong. “Dia adalah wanita yang menggoncangkan dunia persilatan

dengan kepandaiannya yang sakti yakni Tok-ho cui...!”

Tok-ho cui artinya Air-berbisa.

“Lalu siapakah yang menjabat sebagai ketua Te-gak-bun yang sekarang ini?” tanya Cian Hong.

Orangtua itu gelengkan kepala.

“Ini masih merupakan teka-teki. Tetapi menurut penilaianku kemungkinan adalah Tok-ho-cui sendiri. Karena selain dia, dunia persilatan tak ada lagi wanita yang berilmu sakti!”

ooOOoo

Tek-ho-cui wanita malang yang patah hati, adalah seorang cianpwe yang seangkatan dengan kakek Cian Hong atau Ko Siu thian. Jika benar wanita yang merebut pimpinan partai Te-gak-bun, benar-benar sebuah peristiwa yang menggemparkan! Cian Hong kerutkan dahi. Benar-benar ia gelisah resah.

Tak mengerti akan liku-liku kisah asmara orangtua yang bercerita kepadanya itu juga dijebloskan dalam penjara Neraka disitu.

“Cianpwe, mengapa kau dipenjarakan disini?” akhirnya ia letuskan pertanyaan.

Wajah orangtua itu makin pucat. Tenaga-dalamnya makin lemah. Dengan suara lemah ia berkata: “Hal ini harus diceritakan dari bermula ayahmu telah menjalin pernikahan dengan puteri ketua partai Thian-tong-bun (Nirwana). Tetapi hanya setahun kemudian, dalam partai Te-gak-bun terjadi perobahan besar. Tanpa sebab alasan sesuatu apa, tahu-tahu aku dijebloskan dalam penjara ini!”

“Sin-ciu-it-kiam mencari cianpwe tentu ada sebabnya?” tanya Cian Hong pula.

Dengan nada yang makin lemah, orang tua itu menyahut tersekat-sekat: “Adalah karena hal itu maka aku berdaya sekuat- kuatnya untuk mempertahankan nyawaku. Dan harapanku ini ternyata terkabul setelah hari ini aku bertemu dengan putera keturunan majikan...” berhenti sejenak ia menuding kearah tembok sebelah timur.

“Dalam dinding tembok itu terdapat benda Piagam kekuasaan ketua Te-gak-bun ialah Te... gak... leng.... Terimalah kedudukan sebagai ketua... angkatan.... ke.... sem.... bi.. lan...” tiba-tiba kepala orangtua itu merunduk kebawah dan putuslah jiwanya!

Cian Hong terkejut. Buru-buru ia merabah dada orang tua itu, ah. ternyata napasnya sudah berhenti. Seketika menangislah Cian

Hong tersedu-sedu seperti anak kecil. Dia benar-benar terharu atas kesetyaan bujang tua itu. Rasa kagum dan haru menimbulkan suatu penghargaan yang dicurahkan dalam rasa kedukaan.... Kini Cian Hong sudah jelas bahwa kematian bujang itu adalah akibat dari perbuatan Sin-ciu it-kiam. Sin ciu-it-kiamlah yang menekan kematian itu. Ya, tujuan Sin ciu it-kiam jelas untuk mendapatkan piagam kekuasaan lambang pimpinan partai Te-gak bun!

Setelah puas menumpahkan airmata, Cian Hong menghampiri dinding tembok. Sekali dorong, tembok berhamburan jatuh. Dua tiga kali pukulan, meluncur keluarlah sebuah benda hitam.

Segera diambilnya benda itu. Setelah diperiksa, benarlah terdapat ukiran tiga buah huruf yang berbunyi Te-gak-leng. Girang Cian Hong bukan kepalang!

Dengan mendapatkan piagam kekuasaan, ia percaya tentu dapat menyapu bersih keruwetan-keruwetan dalam partai Te-gak-bun.

Ia akan membebaskan ayahnya Ko Ko-hong. Ia akan menumpas Sin-ciu-it-kiam yang menjadi pembunuh bujang tua itu. Ia akan menyingkap tabir tokoh misterieus yang manjadi biang keladi dari kekacauan dalam Te-gak-bun.

Tok-ho-cui, ya, apakah benar wanita itu yang mengaduk-aduk Te gak bun seperti yang diceritakan bujang tua tadi?

Banyak nian rencana-rencana yang beramuk dalam pikiran Cian Hong. Dadanya penuh sesak dan darah menggelora keras.

Cian Hong mulai bertindak....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar