Pukulan Hitam Jilid 05

Jilid ke 5

PERNAH apa kau dengan Wi Co-jiu?” orang tua berambut panjang mengulang pertanyaan.

Cian Hong marah sekali karena nama gurunya dipanggil dengan nada muak. Tetapi karena dalam keadaan tertutuk, ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya mendengus geram.

“Apa kau murid si Wi Co-jiu?” orangtua berambut panjang menegas dengan wajah agak berobah.

“Harap kau sungkan sedikit kepada guruku!” teriak Cian Hong. Dengan sendirinya permintaan itu mengandung jawaban kepada siorangtua.

“Sekonyong-konyong orangtua itu mengangkat tangan dan menampar keudara. Tenaga tamparannya telah membuat tubuh Cian Hong mencelat beberapa meter ke belakang. Bluk, ia terjatuh dengan mata berkunang-kunang. Masih ia tak dapat berkutik.

“Kalau berani, ayo bukalah jalan darahku. Kita bertempur sampai 300 jurus. Meskipun kalah, tetapi aku puas mati!” Cian Hong menantang.

Orangtua berambut panjang menggeram: “Terhadap manusia yang tak kenal budi, perlu apa harus pakai cara-cara ksatria?”

“Kau maki aku manusia tak kenal budi? Kepada siapa aku berhutang budi? Tuduhan itu benar-benar...” “Kelewat pantas, bukan? Pemuda semacam kau yang mengandalkan Ilmu Pukulan Hitam suka memperkosa wanita dan membunuh rakyat, siapapun berhak membunuhmu!” damprat siorang tua aneh.

Bukan main marah Cian Hong mendengar makian serupa itu, teriaknya: “jangan menghina orang sekehendak hatimu karena kau seorang tokoh angkatan tua!”

Orangtua itu terkesiap, tegurnya: “Hm, tahukah kau siapa aku ini?”

“Aku tak peduli siapa kau!” teriak Cian Hong.

“Ho, makanya kau berani bersikap congkak karena tak tahu aku ini siapa!”

“Apa gunanya tahu dirimu?”

“Jika kenal siapa diriku, kau tentu rela menerima hukuman,” kata siorang aneh. Tiba-tiba ia bertanya dengan nada agak ramah: “Eh, kau murid Wi Co jiu yang keberapa?”

“Apa perlu kujawab pertanyaanmu itu?” Cian Hong mendengus dingin.

“Menilik umurmu yang begitu muda, kau tentu bukan si Thia Tat-bu. Dengan begitu kau tentu murid yang kedua atau ketiga!” kata siorangtua.

“Aku murid satu-satunya dari guruku!” teriak Cian Hong. “Tidak! Wi Co-jiu mempunyai 3 anak murid.”

“Hm, mereka bertiga murid murtad dan telah diusir oleh guruku. Selain Thia Tat-bu, yang dua telah dibunuh guru. Sekarang akulah muridnya yang tunggal, salahkah keterangan ini?”

“Apa? Wi Co-jiu menerima murid baru lagi?” Orangtua itu berseru kaget. Dengan terheran-heran Cian Hong berbangkit. “Oh, aku telah salah sangka kepadamu,” kata orangtua aneh agak menyesal.

Cian Hong tegak dengan angkuh. Matanya masih mendendam permusuhan kepada siorang tua.

“Kau tahu aku ini siapa!” siorang tua delik mata. Cian Hong tak mau menyahut.

“Mayat-iblis, pernahkah gurumu menyebut-nyebut nama itu?” seru siorangtua pula.

Kejut Cian Hong bukan kepalang. Serentak ia jatuhkan diri berlutut dihadapan orangtua berambut panjang itu: “Supeh, maafkan kekhilafanku.”

Kiranya orangtua yang bergetar Mayat hidup itu adalah kakak seperguruan dari Wi Co jiu si Malaekat-elmaut. Berpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan golongan Hitam maupun Putih rontok nyalinya karena ilmu pukulan satu jurus dari Mayat-iblis, menyapu semua jago-jago sakti. Sekali pukul, lawan tentu hancur...

Mayat-iblis tersenyum: “Tidak tahu tidak salah. Dahulu gurumu kecewa menerima ketiga murid murtad itu. Sungguh tak terduga dalam hari-hari terakhir ia beruntung mendapatkan seorang murid baik seperti kau. Ia tentu terhibur.”

Lebih jauh Mayat-iblis menanyakan perihal keadaan Malaekat- elmaut yang terakhir ini. Dengan terus terang Cian Hong menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.

“Yang membuat suhu berduka ialah karena kitab Pukulan Hitam dibawa lari Thia Tat-bu,” Cian Hong mengakhiri keterangannya.

Mayat-iblis menghela napas: “Dahulu kakek gurumu telah membagikan 3 kitab ajaib kepada kami bertiga suheng, sute dan sumoy. Sayang aku dan sute tak dapat menjaga kitab itu dengan baik.” “O, jadi aku mempunyai seorang sukoh?” Cian Hong terkejut.

Sukoh artinya bibi guru.

Mayat-ibils mengangguk. Keningnya agak mengerut tetapi tak mengatakan apa-apa.

“Mengapa suhu tak pernah mengatakan hal itu?” tanya Cian Hong.

Mayat-iblis seperti berkata seorang diri: “Sudah tentu sute dapat melupakannya...”. Tiba-tiba ia menyahut pertanyaan Cian Hong: “Sukohmu digelari orang sebagai Kui-bo...”

Cian Hong hendak buka suara tetapi dicegah Mayat-iblis: “Dan kaupun sebaiknya melupakan bibi gurumu itu. Anggaplah seperti tak pernah adanya!”

Melihat kerut wajah Mayat-iblis, tak beranilah Cian Hong berbanyak tanya. Hanya dalam hati ia heran mengapa suhu dan supehnya begitu benci kepada sukohnya.

“Apakah kau suka menerima sejurus pelajaran dari supehmu ini?” tiba-tiba Mayat-iblis bertanya.

“Sudah tentu aku tak berani menampik budi kebaikan supeh!” serentak Cian Hong menyahut.

Mayat-iblis menghela napas: “Ah, tetapi kau harus bersedia melakukan sebuah permintaanku!”

Sahut Cian Hong dengan tegas: “Sekalipun supeh tak memberi pelajaran, tetapi aku tetap akan melakukan perintah supeh!”

“Ah, tetapi tak mudah.”

“Sekalipan terjun kelautan api, tak nanti aku menolak!”

“Benar-benar hatiku legah mempunyai seorang murid keponakan seperti kau,” Mayat-iblis memuji. Katanya pula: “Beberapa tahun yang lalu orang itu telah kuberinya setengah jurus ilmu pukulan sakti...”

“Hanya setengah jurus?” Cian Hong menegas.

“Ya, memang baru setengah jurus namun dalam waktu 3 tahun sejak ia keluar kedunia persilatan, ia sudah diagungkan orang sebagai Pukulan-nomor-satu didunia!”

Ah, hanya setengah jurus dan sudah menjagoi dunia persilatan.

Betapa hebatnya kalau orang memiliki sampai satu jurus penuh!

“Seharusnya orang itu ingat budi supeh!”

“Tidak sama sekali!” Mayat iblis menggeram,” bukan saja tak ingat budi pun menodai nama gurunya. Dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang dimilikinya itu ia malang melintang melakukan kejahatan didunia persilatan. Banyak orang-orang gagah yang berbudi menjadi korban keganasannya!”

“Benar-benar manusia keji!” seru Cian Hong. “Oleh karena itu dia harus kulenyapkan!” “Membunuhnya?” seru Cian Hong.

“Ya, dengan sejurus pukulan sakti!” sahut Mayat iblis. ”Pukulan-sakti bagaimana? Cian Hong menegas.

“Pukulan itu disebut aji Pelebur Bumi-Langit (Gui-thian-kwan- te). Dia hanya kuajarkan setengah jurus. Sekarang akan kuberimu seluruh jurus!”

Cian Hong kejut-kejut girang. Segera ia menghaturkan terima kasih. Lebih dulu Mayat-iblis memberinya hafalan-hafalan secara lisan. Setengah jam saja Cian Hong sudah dapat menghafalkan nama dan gerakan pukulan itu secara lisan.

“Sekarang mulai gerakan,” kata Mayat-iblis. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dijulurkan lurus kemuka. Tampaknya biasa saja, tak ada yang mengherankan. “Eh, mengapa begitu sederhana saja,” batin Cian Hong.

Tiba-tiba gerakan Mayat iblis itu menimbulkan suara gemuruh laksana kilat menyambar-nyambar. Dan tangannya berobah menjadi puluhan tangan yang sekaligus menyerang 9 jalan darah maut ditubuh manusia. Dahsyatnya bagai gelombang 7 samudra mendampar. Tak dapat dihentikan, tak dapat ditahan lagi. Ilmu pukulan Pelebur-bumi-langit itu benar-benar tak memberi kesempatan lawan untuk menghindar lagi.

Diam-diam Cian Hong tak habis kagumnya.

“Ayo, sekarang tirukanlah!” perintah Mayat-iblis. Cian Hong menurut. Pertama kali bergerak memang tenaganya tak sedahsyat paman gurunya. Tetapi gerakannya sudah memadai. Ia terpaksa tinggal dimakam itu sampai beberapa hari. Pada hari ketiga ia sudah dapat menjalankan jurus pukulan Pelebur-bumi-Langit itu dengan bagus. Yang kurang hanya kesempurnaannya.

“Setelah keluar dari makam ini, yangan lupa akan tugasmu!” pesan Mayat iblis.

Dengan khidmat Cian Hong menghaturkan terima kasih dan bersumpah akan melaksanakan perintah paman gurunya. Begitulah atas petunjuk Mayat-iblis, cepat sekali Cian Hong sudah dapat keluar dari makam rahasia itu.

Selama 3 hari mencurahkan seluruh pikiran dan perhatiannya mempelajari pukulan sejurus yang sakti itu, Cian Hong tak mempunyai waktu untuk memikirkan lain-lain urusan lagi.

Tetapi setelah berada diluar makam, kembali benaknya terselimut berbagai pertanyaan yang belum dapat diketahui. Apakah tujuan mamahnya meminta Kitab Kuning dari Mayat-iblis? Apa gunanya Kitab Kuning itu? Siapakah Toan Bok-co itu? Mengapa orang itu bersama-sama dengan ibunya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengeram dibenaknya. Nanti setelah ia pulang kegunung, barulah kesemuanya itu dapat terpecahkan. Ya, ia harus lekas-lekas pulang mendapatkan mamahnya.

Begitu mengambil putusan, Cian Hongpun segera lari secepatnya. Tetapi baru ia gerakkan tubuh, belasan sosok bayangan melesat menghadang dimukanya, Cian Hong tertegun.

Seru pemimpin kawanan penghadang itu: “Hai, budak!

Bukankah kau baru keluar dari makam itu?”

“Benar!” sahut Cian Hong.

Orang itu tertawa mengekeh: “Kau adalah orang pertama yang dapat keluar masih hidup dari makam itu,” ia berhenti sebentar lalu ulurkan tangannya: “berikan kitab itu kepadaku!”

“Kitab? Kitab apa?” seru Cian Hong. “Budak, jangan pura-pura berlagak pilon!”

Sebenarnya saat itu Cian Hong sudah mengerti apa yang dimaksud oleh orang, namun sengaja ia mengejek: “Kitab? Oh, tak mudah mendapatkan kitab itu, kawan!”

“Mengapa tak mudah? Keluarkan dan berikan kitab itu padaku!” Cian Hong masukkan tangannya kanan kedalam baju, serunya:

“Ambillah!”

Orang itu tak menyadari apa yang dibalik ucapan Cian Hong. Segera ia maju menghampiri. Sekonyong-konyong Cian Hong ulurkan tangannya kanan tadi dan didorongkan lurus kemuka. Karena tak berjaga, orang itupun terlempar sampai 4-5 tombak jauhnya, bum.... ia terbanting ditanah. Kawan-kawannya lari menghampiri dan mengangkatnya bangun. “Hai, kamu murid siapa?” teriak Cian Hong. Melihat sekali pukul saja pemimpin rombongan jatuh tersungkur, kini mereka tak berani memandang rendah pada Cian Hong.

“Kau tanyakan pemimpin kami?” sahut salah seorang. “Ya, siapa?”

“Su-hay-mo-ong!”

Mendengar itu marahlah Cian Hong: “Ho, jadi kalian ini anak buah Su-hay-mo-ong? Jangan harap kalian mendapat ampun!”

“Jika kau tetap tak mau menyerahkan kitab itu...”

“Mau meminta kitab?” dengus Cian Hong, “ambillah ke istana raja Akhirat!”. Disapunya kawanan anak buah Su-hay-mo-ong itu dengan berapi-api, serunya: “Majulah kalian semua agar menghemat tempoku.”

“Congkak benar kau, budak!” seru orang itu, kemudian ia mengajak kawan-kawannya, “saudara-saudara, kita hajar budak sombong itu!”

Belasan anak buah Su-hay-mo-ong serempak loncat menerjang Cian Hong. Melihat itu timbullah pikiran Cian Hong untuk mencobakan kesaktian pukulan Pelebur-bumi-langit.

Sekonyong-konyong ia berteriak keras, tangan kanan dilempangkan kemuka dan berhamburanlah puluhan pukulan melanda mereka. Jerit pekikan memekak telinga, darah bercampur keratan daging berhamburan. Dari belasan orang yang maju mengeroyok Cian Hong itu hanya satu yang agak jauh dibelakang yang menderita luka ringan. Yang lain-lain merintih-rintih kesakitan...

“Lekas enyah!” bentak Cian Hong. Kawanan anakbuah Su-hay- mo-ong seperti anjing mengepit ekor, segera memondong pemimpinnya yang terluka tadi, melarikan diri. “Kawanan anjing itu tentu akan kuhancurkan satu demi satu!” dengus Cian Hong.

“Ah, tuan sungguh ganas!” tiba-tiba dari arah belakang terdengar orang menggumam.

Cian Hong terkejut dan cepat berputar diri. Kiranya pada jarak 20-an tombak, tampak seorang berpakaian warna kelabu memakai kain  kerudung  muka.  “Hm,  caramu  main  menyelubungi  muka, tentulah bukan orang baik-baik,” damprat Cian Hong.

Orang itu tertawa gelak-gelak: “Orang baik-baik? Apakah tandanya?”

“Siapa kau?” bentak Cian Hong.

Orang berpakaian kelabu itu lepaskan tertawa memanjang. Nadanya nyaring berpengaruh. Mengunjukkan bahwa ia memiliki tenaga-dalam yang tinggi.

“Kita tak kenal mengenal, mengapa kita harus bermusuhan? Cukup asal kau tahu aku dan aku tahu kau, sudahlah. Nama hanya suatu tanda pengenal saja. Hari ini aku dapat bernama Li sam dan besok dapat berganti Li Si.”

Terhadap ocehan orang yang sedemikian anehnya itu, tak dapat seketika Cian Hong memberi sanggahan. Selang beberapa jenak kemudian baru ia dapat berkata: “Kau kawan atau lawan?”

“Bukan kawan bukan lawan, seperti kawan seperti lawan. Kawan atau lawan, hanya tergantung dari anggapan saudara sendiri. Sekarang begini, tetapi belum tentu kelakpun begini,” sahut orang itu dengan kata-kata kiasan yang sukar dirabah maksudnya.

Cian Hong tertawa hambar: “Tetapi sekurang-kurangnya kau harus menunjukkan dirimu yang sebenarnya.

Orang baju kelabu itu gelengkan kepala. “Apa perlunya? Perhatikanlah kain kelabu yang menjadi kerudung mukaku ini. Anggaplah itu sebagai wajahku. Orang dapat mengandung hal-hal yang sukar diutarakan, begitupun aku. Kupercaya kau tentu takkan memaksa hal-hal yang tak ingin kukatakan. Sebagaimana juga kaupun tak ingin orang memaksa kau mengatakan hal yang tak ingin kau katakan!”

Terhadap kata-kata yang sukar dimengerti dari orang itu, Cian Hong tak dapat berbuat suatu apa. Hanya ia mendapat kesan bahwa orang berbaju kelabu itu tentulah bukan orang sembarangan. Serentak ia berjaga-jaga dan tak mau melayani lebih lanjut.

“Berkumpul bagi tebaran mega, berpisahlah juga mengikuti hembusan. Maaf, aku mohon diri,” katanya seraya memberi hormat. Sekali loncat ia sudah melesat 7-8 tombak jauhnya.

“Tungga dulu, saudara!” tiba-tiba orang berbaju kelabu itu berseru.

“Apa?” Cian Hong terpaksa hentikan langkah.

“Ijinkan aku bertanya sepatah kata kepadamu!” kata orang itu dengan penuh rahasia.

“Silahkan!”

“Apakah saudara kenal akan seorang tokoh persilatan yang bernama Wi Co-jiu?”

Mendengar pertanyaan itu Cian Hong terkesiap. Ia anggap tentu ada sesuatu pada orang itu. Ia maju menghampiri dan berseru: “Itulah guruku!”

Kini giliran siorang berbaju kelabu yang terkesiap: “O, kaulah yang bernama Ko Cian Hong?”

“Benar, apa ada kabar dari guruku?”

“Ah...” orang itu menghela napas panjang. Helaan napas itu bagaikan sebuah palu godam menimpa kepala Cian Hong. Ia seperti mendapat firasat kurang baik. “Bagaimana dengan suhuku?” tegurnya.

“Meninggal...” seru orang itu dengan nada lemah. Bagaikan mendengar halilintar memekik ditengah hari bolong, kepala Cian Hong seraya berputar. Seperti orang kalap ia segera melesat mencengkeram tangan orang itu: “Apa katamu?”

“Gurumu telah meninggal!” “Bagaimana meninggalnya?”

“Mati ditangan senjata rahasia orang!” “Senjata rahasia? Senjata rahasia siapa?”

“Turut pemeriksaanku tubuhnya tertancap sebatang piau hitam. Tangkai piau itu terukir dua buah huruf Kui-piau (piau Hantu). Mungkin piau itulah yang mencabut nyawanya!”

“Bagaimana kau dapat mengetahui?” tanya Cian Hong.

“Secara kebetulan saja aku lewat dan mengetahui peristiwa itu.” “Siapakah pemilik piau Hantu itu?” tanya Cian Hong pula. “Ini... ini...,” orang baju kelabu itu tersekat-sekat.

“Bilanglah!” Cian Hong deliki mata.

“Hal ini tak berani kukatakan,” orang berbaju kelabu sengaja merabah dadanya. Ujarnya lebih lanjut: “Dia adalah seorang durjana ganas. Kukuatir begitu kukatakan, dadaku akan tertancap piau hitam itu!”

“Hm, kiranya kau seorang persilatan penakut!”

Orang itu tertawa menyeringai: “Mungkin tidak demikian. Hanya karena untuk menjaga diri dari kemungkinan yang tak diharapkan.”

“Jika kuharuskan kau mengatakan hal itu?” Orang itu terkesiap: “Ah, sungguh tak berarti kalau kau hendak menggunakan paksaan kepadaku.”

Cian Hong mendengus dingin: “Demi membalaskan sakit hati guruku, terpaksa aku harus bertindak demikian,” ia menyelinap kemuka.

Orang itu meloncat mundur.

“Kui-piau adalah senjata rahasia yang diketahui oleh semua orang persilatan. Asal kau menanyakan pada setiap orang persilatan tentu akan tahu. Mengapa kau hendak memaksa aku sehingga merusak hubungan kita?”

Mengingat bahwa orang itu telah memberi jasa memberitakan peristiwa itu, Cian Hong tak mau keliwat mendesaknya. Dan orang itupun segera pergi.

Kini tertinggal Cian Hong seorang diri. Dia tegak termenung- menung. Airmatanya bercucuran. Ia tak nyana bahwa setelah berpisah hanya beberapa hari saja, gurunya telah binasa dibawah piau hitam....

“Kui piau!” Cian Hong menggertakkan geraham.

Menilik gerakan orang berbaju kelabu itu, tentulah memiliki kepandaian tinggi. Tetapi toh dia gentar juga untuk mengatakan nama pemilik piau itu. Jelaslah sudah bahwa pemilik piau itu tentu seorang momo yang hebat.

Cian Hong segera tinggalkan kuburan itu. Ia memutuskan untuk pulang menemui ibunya. Setelah menempuh perjalanan sehari semalam, akhirnya tibalah ia digoha tempat suhunya. Begitu diburu nafsunya sehingga ingin sekali ia segera terbang kedalam goha.

Ia faham keadaan tempat itu. Setelah membiluk sebuah tikungan segera ia berteriak: “Suhu!”

Yang terdengar hanya jawaban dari suaranya sendiri sebagai kumandang yang terpantul. Dan begitu tiba digoha segera hidungnya ditampar oleh bau yang busuk. Dan ketika memandang kedalam goha, hampir saja ia pingsan, Malaekat-elmaut Wi Co-jiu menggeletak dalam genangan darah... Mungkin karena sudah beberapa hari, mayatnyapun membusuk.

Cian Hong menangis gerung-gerung. Suaranya menggetarkan dinding karang. Tiba-tiba ia berbangkit, menyapu airmata dan merabah dada gurunya. Dicabutnya sebilah belati pendek yang berkilat-kilat tajam. Panjangnya hanya 3 dim.

Ketika darah yang melumur belati itu dipesutnya, tampak 3 buah huruf ‘Pedang-sambar-nyawa' atau Tui-hun-kiam.

Cian Hong terlongong-longong sambil mengingau: “Pedang Sambar-nyawa... pedang Sambar-nyawa... Piau Hantu...”

Jelas bahwa senjata pembunuh suhunya itu sebatang belati tetapi mengapa siorang baju kelabu mengatakan sebuah piau (paser)?

Pedang Sambar-nyawa dan Piau Hantu! Suhunya terbunuh pedang Sambar-nyawa atau Piau Hantu?

Andaikata pemberitaan siorang baju kelabu itu palsu, apakah maksudnya ia membuat laporan palsu itu? Bukankah ia tak kenal dengan orang itu? Apa perlunya orang itu membohongnya?

Tetapi apabila orang itu memberi laporan benar, mengapa yang tertanam didada suhunya pedang Sambar-nyawa dan bukan Piau Hantu? Cian Hong benar-benar bingung memikirkan!

Sekonyong-konyong terdengar lengking tertawa nyaring dan ketika Cian Hong berputar tubuh, ah. dara baju putih yang buta

matanya itu sudah tegak dihadapannya. Ya, dara buta yang diberinya nama sebagai Giok-lo-sat!

Cian Hong terkejut.

Walaupun matanya buta tetapi rupanya dara itu seperti dapat melihat apa yang terjadi disekelilingnya situ. Ia menghela napas rawan: “Ah, tak kira dia sudah mati, sayang, sayang!”

Walaupun mulut menyatakan sayang, tetapi nadanya tawar- tawar saja. Seolah-olah tak menyesal atas hilang nyawa seseorang.

Cian Hong masih mendendam karena derita yang diperolehnya dari pukulan Bian-kut-hong sidara. Adalah karena pukulan itu hingga ia sampai menderita siksaan dilembah Yu-leng koh.

“Bukan urusanmu, enyahlah!” bentaknya.

Dara itu terkesiap. Tiba-tiba ia tertawa hambar. Cian Hong melengos untuk menghindari tertawa sidara.

“Sudah tentu kematiannya ada hubungannya denganku,” seru sidara.

“Apa hubungannya?”

“Aku kehilangan seorang lawan bertempur. Lama sudah aku tiba didaerah Tiong-goan, tetapi belum juga aku bertemu dengan seorang lawan yang setanding. Benar-benar aku kecewa!”

“Kau mengoceh tak karuan!” Cian Hong menyentilnya.

Sahut sidara dengan nada manja: “Aku bersikap baik kepadamu, tetapi kebalikannya kau sebengis itu sikapmu kepadaku!” ia menghela napas rawan, katanya dengan suara tersedu: “Ah, hati lelaki memang sekeras besi!” Sebenarnya muak sudah Cian Hong mendengar ocehan tak karuan dari sidara. Tetapi sedu sedan dara itu mengacaukan pikiran Cian Hong.

“Melihat naga-naganya, gelaranku Giok-lo-sat harus dicarikan tanding lagi!”

“Carilah kalau kau merasa paling sakti sendiri,” seru Cian Hong sengit, “itu sipemilik Neraka-19-lapis!”

“Pemilik  Neraka-19-lapis?  Tentu  saja  aku mampu  agar  jangan mensia-siakan jerih payahmu memberi nama padaku!” seru sidara serentak.   Ia   tertawa   riang,   seriang   burung-burung   berkicau dimusim semi.

Tergetarlah hati Cian Hong. Serentak darahnya menggelora. Buru-buru ia menarik napas menyalurkan peredaran darah. Tetapi akibatnya lebih runyam lagi.

Obat bius bubuk Bi-hun-san yang ditaburkan Lak-chiu-sik-kui yang lalu, kembali bekerja. Seketika berkobarlah nafsunya. Dara buta yang cantik itu membakar hatinya.

Cian Hong tak dapat menguasai dirinya lagi. Sekali loncat sagera didekapnya dara itu erat-erat....

“Ah, tak nyana seorang pemuda gagah seperti kau ternyata hanya bangsa begajulan belaka!” Giok-lo-sat tertawa dingin.

Cian Hong terkesiap. Tetapi racun Bi-hun-san telah menguasai tubuhnya. Darah membinal laksana gelombang mendampar. Hanya sekejap ia tertegun lalu merangsang makin hebat dan dipeluknya dara itu sekencang-kencangnya.

Plek Giok-lo-sat menamparnya. Lima buah telapak jari segera

membekas dipipi Cian Hong. Ujung mulutnya mengucur darah. Namun Cian Hong tetap memeluknya erat-erat. “Kau tak mau melepaskan?” bentak sidara dengan bengis.

Wajahnyapun berobah seketika.

Cian Hong memandang dara itu lekat-lekat. Tiba-tiba sidara menggeliat, melepaskan diri dari pelukan Cian Hong dan hantamkan siku lengannya kedada sipemuda.

Mata Cian Hong hanya terbungkus gelora nafsunya. Sama sekali ia tak melihat serangan sidara. Bluk... ia terhuyung-huyung kebelakang sampai 7-8 langkah. Huak mulut muntah darah dan

tubuhnya terkapar di tanah.

Giok-lo-sat terkejut sendiri. Ia loncat ketempat Cian Hong menggeletak. Diperiksanya nadi pergelangan tangan pemuda itu. Tiba-tiba ia terkesiap. Diperhatikan denyut nadi Cian Hong.....

“Oh, kiranya kau terkena racun Bi hun-san. Aku salah terka,” katanya seraya mengambil sebutir pil dan dimasukkan kemulut Cian Hong. Dan iapun duduk ditanah untuk mengurut-urut urat Cian Hong.

Selang beberapa saat kemudian wajah Cian Hong-pun mulai merah, sinar berapi-api dari kedua matanyapun lenyap. Ketika mendapatkan Giok-lo sat sedang mengurut tubuhnya, ia berterima kasih. Kini Cian Hong mempunyai pandangan lain terhadap dara itu.

Pertama kali berjumpa, Cian Hong tertarik akan kecantikan dara buta itu. Kemudian ia marah karena dara itu ganas, keras kepala dan semau gue sendiri. Tetapi kini Cian Hong baru mengetahui dalam sifat-sifat yang menjengkelkan itu terkandung hati nurani yang baik.

Setelah Cian Hong tersadar, Giok-lo satpun berbangkit. “Terima kasih,” kata Cian Hong. “Apakah cukup hanya dengan sepatah kata terima kasih saja?” dengus Giok lo sat.

Cian Hong tertegun. Tak tahu ia bagaimana harus menjawab. “Jika    pikiranku    tak    sadar    dan    aku    lengah,   bukankah

kehormatanku hancur ditanganmu, huh! Bagi seorang wanita, yang

paling berharga adalah kesuciannya; Walaupun kau memperlakukan baik sekali tetapi aku pasti kecewa apabila kehormatanku kau hancurkan!”

Merah padam muka Cian Hong mendengar kata Giok-lo-sat. Tak dapat ia menjawab apa-apa. “Pemuda semacam kau, selanjutnya takkan kuhiraukan lagi,” dengus Giok Lo-sat. Ia berputar tubuh terus pergi.

“Nona, nona...” seru Cian Hong.

Giok-lotat berpaling dan mendampratnya: “Jenazah gurumu tak kau urus mengapa kau panggil-panggil aku?”. Dan ia terus melangkah keluar goha.

Cian Hong tersadar. Segera ia membiarkan dara itu pergi.

Digalinya sebuah liang untuk mengubur gurunya.

“Suhu, murid tentu akan membalaskan sakit hatimu,” katanya sebelum meninggalkan goha. Dengan membawa pedang Sambar- nyawa ia keluar goha.

Kini ia hendak pulang mendapatkan ibunya untuk menyelesaikan soal Kitab Kuning.

Tiba dilereng bukit, tampaklah sudah pondok kediamannya. Pintu tertutup, didorongnya dan sekonyong-konyong ia disambar oleh serangkum tenaga pukulan. Dengan kaget Cian Hong loncat mundur. Menyusul sesosok bayangan melesat seraya membentak: “Siapa!” Cian  Hong  tertegun.  Yang  muncul  itu  ternyata  seorang  gadis berusia lebih kurang 18 tahun. Wajahnya cantik, berpakaian warna ungu.

“Ini rumahku, kau...” Cian Hong tersekat ketika melihat tangan gadis itu mencekal sebatang belati yang masih berlamuran darah. Berobahlah seketika wajah Cian Hong. Cepat ia melangkah masuk. Dan apa yang disaksikan dalam pondok, benar-benar membuat darahnya tersirap....

Ibunya menggeletak dengan dada berlubang tetapi senjata yang dibuat menusuk sudah tak ada. Cian Hong tahu apa yang telah terjadi. Dengan mata berapi-api ia melangkah kemuka sinona dan menghantamnya.

Rupanya melihat sikap Cian Hong yang beringas, nona baju ungu itu sudah siap-siap, ia cepat-cepat loncat mundur.

Pukulan pertama luput, Cian Hong hendak menyusuli sebuah pukulan lagi.

“Apa kau gila?” teriak nona baju ungu.

“Tak usah pura-pura!” bentak Cian Hong. Dan serentak ia lancarkan pukulan lagi.

Dengan lincah sekali nona baju ungu itu menghindar kita kemari. Melibat itu memuncaklah kemarahan Cian Hong. Segera ia lempangkan tangannya kanan kemuka, serunya: “Terimalah pukulan Pelebur-bumi-langit ini!”

Seketika berhamburan puluhan tangan menghantam ke 9 jalan darah sinona....

Pukulan Pelebur-bumi-langit adalah buah ciptaan Mayat-iblis yang memakan waktu sampai setengah umurnya... Digodok dari segala macam ilmu pukulan sakti dan diperas menjadi sebuah pukulan satu jurus saja. Dan Cian Hong telah melancarkan dengan tenaga penuh.

Berobahlah wajah sinona seketika. Tetapi ia tak kecewa menjadi murid seorang sakti. Dengan menggertak gigi ia membiarkan kedua pahanya dan melindungi bagian dadanya. Kemudian ia loncat menghindar. Tetapi terlambat. Terdengar jeritan kesakitan dan tubuh sinona bagaikan layang-layang putus tali melayang jatuh ketanah. Nona itu muntah darah beberapa kali. Dan pedang Tui-hun kiampun terlepas dari tangannya.

Cian Hong melesat menyambar pedang itu. Kemudian ia memadukan dengan pedang pandak yang tertanam ditubuh gurunya (Malaekat-elmaut). Ah ternyata sama dan serupa. Sepasang pedang Sambar-Nyawa.

Pedang Sambar nyawa ternyata telah merenggut jiwa dua orang tokoh sakti. Dan kedua orang itu mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cian Hong. Yang seorang gurunya, yang seorang ibunya.

Cian Hong hangus oleh dendam kemarahan berapi-api. Ia segara mengangkat tinju hendak dihantamkan kepada nona itu. Nona itu memandang Cian Hong dengan penuh kemarahan dan penasaran.

Cian Hong tergetar hatinya. Entah bagaimana ia hentikan tangannya dan membentak: “Siapa kau?”

Nona baju ungu itu masih menggeletak ditanah. Sahutnya dingin: “Tak perlu kau hiraukan diriku siapa? Mengapa kau sangat ganas sekali, menggunakan pukulan ganas kepadaku?”

“Akan kubunuhmu!” teriak Cian Hong. “Membunuh aku?”

“Masakan aku tak berani membunuhmu?” Wajah sigadis yang memantulkan permusuhan, tiba-tiba agak tenang, ia tak menghiraukan soal mati lagi. Bahkan ia tertawa dingin: “Siapa kau? Mengapa kau gemar membunuh orang?”

“Kau membunuh mamahku, aku hendak menuntut balas. ”

“Aku membunuh mamahmu?” nona itu melengking kaget, “siapa kau? Dan siapa mamahmu? Aku tak kenal padamu, perlu apa kubunuh mamahmu?”

“Selain mamah, kaupun membunuh guruku juga. Mati masih enak bagimu, aku hendak menyuruhmu mati perlahan-lahan agar dapat merasakan siksaan!”

Sinona baju ungu terkesiap: “Kau seorang iblis!”

Cian Hong menatapnya dengan penuh dendam: “Kau memetik buah perbuatanmu sendiri!”

“Aku tak membunuh orang !” teriak sidara.

“Hm, mamahku Hoa Sian-lan telah kau bunuh begitu pula guruku Wi Co jiu. ”

“Oh, Allah! Fitnah keji!” jerit sinona.

“Fitnah? Bukti telah nyata, kau masih menyangkal?” “Tetapi aku tidak membunuh, sungguh tidak!”

Cian Hong membentaknya: “Kau membunuh dengan pedang Sambar-nyawa.”

“Salah, kau salah sangka!” teriak sinona, “aku menerima perintah suhuku untuk menjenguk Hoa lo-cianpwe. Tetapi kudapatinya Hoa lo-cianpwe sudah menggeletak dengan tubuh berlumuran darah. Dadanya tertancap sebatang pedang pandak. Baru kucabut hendak kuperiksa, kau sudah datang dan memukul aku. ” “Jangan menyangkal!” Cian Hong menyeringai. “Kau harus percaya padaku.... Semutpun aku tak tega membunuh jangan lagi jiwa manusia yang tak bermusuhan padaku!”

Melihat nona itu bicara dengan sungguh-sungguh, tergeraklah hati Cian Hong, tanyanya. “Siapakah gurumu?”

“Guruku bernama Toan Bu yang digelari orang sebagai Kang ou yau-li!”

Kang-ou-yau-li artinya Wanita-jelek dari dunia persilatan. “Dan kau?” tanya Cian Hong.

Sinona merenung sejenak, ujarnya: “Aku Hoa Ling-ling!” “Apa?” Cian Hong berteriak kaget. “Hoa Ling-ling!” “Hoa Ling-ling? Kau kau Hoa Ling-ling!”

“Masakan nama saja harus kupalsukan?” nona itu menggeram. “Bukankah ayahmu Kang ou long-tiong Hoa Ya-bok?”

“Ya.”

Serentak menunduklah Cian Hong dengan penyesalan yang tak terhingga besarnya. Karena diamuk kemarahan tanpa banyak pikirnya ia telah melakukan tindakan yang salah. Tak tahu bagaimana kelak ia hendak menebus dosanya itu.

Hoa Ling-Ling kerutkan kening: “Kakiku kiri tak dapat tertolong lagi!”

Cian Hong seperti disayat lagi.”

Hoa Ling-Ling gelengkan kepala. Sahutnya dengan rawan: “Cacad!”

“Maafkan aku, nona. Aku bersalah padamu dan lebih bersalah lagi terhadap ayahmu. ” “Apa?” Hoa Ling-ling membuka mata, “apakah ayahku sudah meninggal?”

Dengan berduka Cian Hong mengangguk. Sekonyong-konyong Hoa Ling Ling meronta dari tangan Cian Hong dan terus hendak lari. Ah. ia tak teringat bahwa kakinya kiri telah cacad. Baru dua

tiga langkah, ia jatuh lagi. Dan menangislah nona itu dengan tersedu-sedan.

Alangkah sedih hati Cian Hong. Rasanya ia ingin menangis karena sesalnya.

Beberapa saat kemudian Hoa Ling-ling bangkit berdiri dengan sebelah kaki: “Ah, mungkin kesemuanya ini memang sudah takdir. Tak dapat menyalahkan kau!”

“Nona Hoa, kuharap kau suka menghukum aku!” seru Cian Hong dengan duka.

“Kau hendak meminta aku bagaimana?”

“Aku hendak mati dihadapanmu untuk menebus dosa. Apa artinya aku hidup menyandang kedukaan?” tiba-tiba ia mengangkat tinjunya hendak dihantamkan keatas kepalanya sendiri.

Ling-ling loncat mencekal tangan Cian Hong, serunya: “Kau pengecut! Apakah mati dapat menyelesaikan persoalan? Kau masih mempunyai dendam sedalam lautan, bagaimana kau enak-enak bunuh diri hendak menghindari tanggung jawab? Mengapa kau tak mau melaksanakan kewajibanmu sebagai anak orang?”

“Nona Hoa. ” Cian Hong tersekat penuh sesal.

“Keraskan hatimu dan selesaikanlah tugasmu!” Tergerak hati Cian Hong mendengar kata-kata yang perwira dari nona itu. Serentak ia menyahut, “Baik, akan kulaksanakan sebaik-baiknya. Dendam darah. pedang Sambar-nyawa” Kemudian kedua orang itu mengubur jenazah Kang-ou-bi-jin dilereng bukit. Lama keduanya termenung-menung mengucapkan janji dihadapan makam wanita bernasib malang itu.

Saat itu matahari mulai merayap turun dibalik bukit. Burung- burung gagak terbang kian kemari sambil bergaok-gaok riuh. Burung-burung itu seolah-olah ikut berduka cita atas kematian Kang-ou-bi-jin.

Setelah 3 hari menggadangi kuburan Kang-ou-bi-jin, akhirnya Cian Hong dan Hoa Ling-ling segera tinggalkan goha itu. Ketika melihat sinona berjalan pincang, hati Cian Hong seperti tersayat.

“Nona Hoa, aku sungguh berdosa kepadamu,” katanya penuh sesal.

“Ini sudah takdir. Siapapun tak dapat mencegahnya. Apalagi ibumu dan suhuku erat sekali hubungannya. Duapuluh tahun yang lalu, mereka berdua digelari sebagai Kang-ou song-coat ”

“Apakah Kang-ou-song-coat itu?” Cian Hong tertarik mendengar cerita tentang Ibunya.

Sebenarnya dua serangkai Kang-ou song-coat (Sepasang wanita perkasa  didunia  persilatan)  itu,  pada  20  tahun  berselang  telah diketahui oleh setiap orang persilatan. Adalah setelah Kang ou-bi- jin  mendapat  malapetaka.  Ia  tak  mau  mengungkap  peristiwa  itu lagi.  Tak  pernah  ia  menceritakan  riwayat  hidupnya  kepada  sang putera (Cian Hong).

Yang dikata Kang-ou song-coat itu, pertama merupakan sebuah pujian terhadap wajah kedua wanita itu. Ibumu luar biasa cantiknya tetapi suhuku luar biasa jeleknya. Dan kedua kalinya, kepandaian silat dari keduanya merupakan kekaguman dunia persilatan. Mereka benar-benar sakti.”

“Tentulah suhumu dan ibuku rukun sekali?” seru Cian Hong. “Tentu saja. Mereka rukun melebihi saudara kandung. Adalah karena disuruh suhu maka aku menjenguk ibumu.”

“Apakah sudah lama mereka tak berhubungan?” “Hm, lebih dari 10 tahun!”

“Dan selama itu mamah telah tertimpah malapetaka...”

Hoa Ling-ling menghela napas: “Siapakah yang mencelakainya?”

“Ah, meskipun sudah terdapat bukti kedua pedang Sambar- nyawa ini, tetapi masih sukar diketahui siapa pemiliknya,” kata Cian Hong kecewa.

“Tetapi sesudah mempunyai bukti, tentulah bisa diusut,” kata Ling-ling.

Demikian mereka bercakap-cakap dalam perjalanan. Kemudian Ling-ling bertanya pula: “Siapakah yang membunuh ayahku?”

“Ayahmu telah binasa karena pukulan Chit-im-tok-hiat ciang,” sahut Cian Hong, lalu menuturkan kematian tabib Kang-ou-long- tiong tempo hari.

“Siapakah yang memiliki ilmu Chit-im tok-hiat-ciang” tanya sinona pula. Chit Im-tok hiat-cang artinya pukulan Darah beracun- 7 macam-hawa negatip.

Cian Hong gelengkan kepala: “itupun aku tak tahu. Tetapi akan kuselidiki sampai jelas!”

“Terima kasih!”

Saat itu mereka tiba dipersimpangan jalan. Dan Ling-ling menyatakan hendak kembali ketempat gurunya. “Tetapi kemana kau hendak pergi?” tanyanya.

Cian Hong memandang kearah cakrawala. Awan berarak-arak tak berkeputusan. Sahutnya: “Kini aku laksana awan yang tiada bertujuan tertentu. Hendak kuselidiki siapa pemilik pedang Sambar nyawa dan juga akan kutinjau tingkah laku Thian-he-te-it-ciang (Pukulan nomer satu-didunia)!”

“Apakah kau bermusuhan dengan Thian-he-te-it-ciang?” tanya ling-ling.

“Tidak!”

“Lalu mengapa kau hendak mencarnya? Dia memiliki pukulan yang tiada tandingannya. Berhati-hatilah jika berhadapan dengannya!”

“Aku dapat mengatasi,” sahut Cian Hong.

“Nah, sampai disini kita berpisah,” kata Ling-ling seraya berpisah jalan. Baru beberapa langkah iapun berpaling pula, serunya: “Tiada pertemuan yang tak berakhir perpisahan. Tetapi entah apakah kita dapat bertemu lagi kelak?”

“Tentu!” sahut Cian Hong, “Mudah-mudahan! Sampai ketemu engkoh Ko!” dalam mengucap kata-kata yang terakhir itu merahlah pipi Ling-ling. Secepat angin iapun melesat pergi.

Cian-hong termangu-mangu. Tak tahu ia perasaan apa yang terkandung dalam hatinya kepada gadis itu. Kasihankah atau cinta? Tetapi betapapun hal itu, bayangan nona itu telah menyusup kedalam lubuk hatinya.....

Cian Hong menuju ke Lok yang. Disepanjang jalan ia menyirapi berita tentang Thian-he-te-it-ciang. Tingkah laku dan sepak terjang orang itu telah menimbulkan kebencian umum dikalangan orang persilatan.

Si Kiok-ciang, murid Mayat iblis yang murtad, dengan ilmu pukulan sakti Pelebur-bumi langit yang hanya separoh jurus itu, telah berhasil merubuhkan jago-jago silai sakti sehingga digelari sebagai Thian-he te it ciang atau Pukulan-nomor-satu-didunia. Tampaknya ia bersikap sebagai seorang pendekar yang perwira, tetapi sebenarnya ia seorang durjana ganas yang tak segan melakukan segala kejahatan apapun juga.

Thian-he-te-it-Ciang tinggal diluar kota Lok-yang. Setiap orang persilatan yang datang dikota Lok-yang, jika tidak berkunjung padanya memberi hadiah, tentu akan dibunuh. Begitu pula senang mengadu domba antara partai persilatan yang satu dengan yang lain. Setelah mereka saling berhantam, dialah yang akan mengambil keuntungan.

Demikian keterangan-keterangan yang dikumpulkan Cian Hong tentang tepak terjang orang she Si selama ini. Ia memutuskan untuk menyelidiki ke Lok-yang. Apabila benar seperti yang dituturkan orang, ia akan melenyapkan manusia itu sesuai dengan pesan paman gurunya Mayat-iblis.

Saat itu ia hampir tiba di Lok-yang. Tiba-tiba disebelah muka tampak debu mengepul dan derap kuda mendatangi. Dua ekor kuda mencongklang kencang. Pcnunggangnya mengenakan pakaian ringkas (pakaian yang biasa dikenakan orang persilatan). Sekejap saja mereka sudah lari disisi Cian Hong. Rupanya mereka terburu- buru sekali.

Sedemikian tebal debu yang dihamburkan kedua kuda itu hingga kepala dan tubuh Cian Hong serasa terbenam debu. Cian Hong mendongkol sekali. Ketika ia hendak mendamprat, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara roda kereta berderak-derak. Ternyata sebuah kereta bercat kuning emas dihela 4 ekor kuda tengah meluncur kedalam kota Lok-yang. Kereta itu dihias mewah sekali.

Cepat sekali kereta mewah itu lewat disisi Cian Hong. Karena tak ingin cari perkara, Cian Hong hendak menyingkir kesamping saja. Tetapi baru ia hendak melangkah, tiba-tiba terdengar bunyi cambuk menderanya. “Bangsat, apakah matamu buta?” bentak sikusir dengan kasar.

Marahlah Cian Hong. Sebenarnya ia menyingkir, tetapi kata-kata sikusir yang terlalu kasar itu memanaskan hatinya. Ia tak mau menyingkir. Begitu cambuk melayang, cepat disambarnya: “jangan sombong!”

Kusir bukan orang lemah tetapi mana ia dapat menahan tarikan Cian Hong. Buru-buru ia lepaskan cambuk agar jangan terjatuh.

Tar. menjeritlah kusir itu. Pipinya dihadiahi cambuk oleh Cian

Hong. Jeritan kusir itu mengejutkan penumpangnya. Kain penutup tersingkap dan tersembullah seorang gadis berwajah buruk. Nona itu marah, tetapi ketika melihat Cian Hong, lenyaplah kerut wajahnya.

“Hai, mengapa kau hendak melindas orang!” bukan menegur Cian Hong, kebalikannya nona itu malah mendamprat kusirnya sendiri.

Cian Hong tertegun. Kiranya nona berwajah buruk itu bukan lain ialah Hay-gwa it-kiau. Tiba-tiba nona berwajah buruk itu memberi hormat kepada Cian Hong. “Aha, kiranya kau. Seorang ksatrya takkan mendendam pada siau-jin (orang rendah). Harap kau suka memaafkan!”

Terpaksa Cian Hong mengucapkan kata-kata merendah kepada nona itu.

“Hendak kemanakah anda ini?” tanya Hay-gwa-it-kiau.

Terhadap nona berwajah buruk itu, Cian Hong masih belum mengetahui jelas pendiriannya. Sebentar nona itu bersikap bermusuhan tetapi sebentar bersahabat.

“Aku hendak menuju ke Lok-yang,” Cian Hong tak mau banyak bercakap dengan nona itu. Seolah-olah sudah tahu, berserulah Hay-gwa-it-kiau: “O, kiranya kau juga hendak menghadiri upacara perkawinan...” tiba-tiba ia berhenti seperti teringat sesuatu. Katanya pula: “Kalau begitu kita nanti ketemu dalam perjamuan lagi!”

Sebenarnya Cian Hong tak mengerti apa yang dimaksud sinona dengan perjamuan pernikahan itu; Tetapi melihat nona itu hendak berlalu, iapun segera mengembalikan cambuk kepada kusir.

Roda kereta mulai menggelinding dan Cian Hong tegak termangu-mangu mengawali kepulan debu yang dihamburkan kereta. Pikirannya sekalut kepulan debu itu....

Perkawinan? Siapakah yang menikah? Mengapa banyak sekali tokoh-tokoh persilatan yang akan menghadir perjamuan itu?

Tetapi tujuan Cian Hong hanya hendak menyelidiki Thian he-te- it-ciang Si Kok-ciang. Dan bukan hendak menghadiri perjamuan nikah seperti yang dikatakan Hay-gwa-it-kiau.

Cian Hong terlongong-longong.

Tiba-tiba terdengar desir angin meniup.

“Hai, jangan main sembunyi. !” sekonyong-konyong Cian Hong

berputar tubuh membentak.

Ah, kiranya sibaju kelabu yang mukanya bertutup kain kerudung tengah berada beberapa tombak disebelah muka. Orang itu terbatuk-batuk.

“Ini jalan besar, mengapa kau anggap aku main sembunyi?” sahut orang itu.

Cian Hong tertawa dingin: “Siapakah saudara ini?” Orang itu gelengkan kepala. “Siapakah anda?” Cian Hong mengulangi pertanyaannya. “Baju Kelabu.”

“Baju Kelabu?” ulang Cian Hong. Orang itupun tertawa lepas.

Cian Hong curiga, ia meminta supaya orang itu membuka kerudung mukanya.

“Ini kebebasanku sendiri,” orang itu tertawa. “Bebas? Hm, kulihat gerak gerikmu selalu misterius, tentu tak sewajarnya. Jika kau tak mau membuka kain kerudungmu, terpaksa akulah yang akan membukanya!”

“Kau mau menggunakan kekerasan?” “Kalau terpaksa!”

“Apakah kau yakin mampu?”

“Cobalah lihat!” Cian Hong menutup kata-katanya dengan maju menyambar kain yang menutup muka orang itu. Tetapi ah. hanya

angin yang disambarnya. Orang itupun sudah melesat lenyap.

Menilik gerakannya, Cian Hong menduga bahwa orang itu tentu bukan tokoh sembarangan. Tetapi mengapa ia menutupi wajahnya dengan kain kerudung? Apakah ia.... tiba-tiba Cian Hong teringat akan diri mamahnya sendiri. Sejak wajahnya dirusak orang, ibunya itupun mengenakan kain penutup muka. Tidakkah demikian halnya dengan orang yang dihadapannya itu? Seketika timbullah rasa simpati Cian Hong.

Tetapi pada lain saat pikirannyapun teringat. Beberapa hari yang lalu ketika dimakam orang itu menyampaikan kabar tentang kematian Malaekat-elmaut yang dibunuh orang dengan senjata piau. Dan memang benarlah gurunya (Malaekat-elmaut) mati dibunuh. Hanya saja bukan dengan senjata Kui-piau melainkan dengan pedang Sambar-nyawa.

Ah, orang berbaju kelabu itu tentu mempunyai banyak rahasia. Cepat Cian Hong melesat kearah orang itu lagi dan menyambar kain kerudungnya. Tetapi orang itu gesit sekali. Kini dibawah terik matahari, tampaklah dua sosok tubuh berkelebatan sambar menyambar dengan cepatnya.

Tiba-tiba orang itu melesat belasan tombak dan mendampratnya: “Hai, budak! Kau benar-benar manusia tak kenal budi!”

Cian Hong tertawa, teriaknya : “budi apa yang kau berikan kepadaku?”

“Jika tak kuberitahukan tentang kematian gurumu, masakan kau sempat menjenguk dan mengurus mayatnya!” seru orang itu.

“Benarkah suhuku mati karena Kui-piau?”

“Kau tak percaya? Bukankah telah kau tanam jenazahnya dan bahkan sudah kau dirikan batu nisan untuknya, mengapa kau tak melihat piau yang tertanam didadanya?” seru orang itu.

Cian Hong benar-benar terbeliak mendengar kata orang itu. “Ah, ternyata dia selalu mengikuti jejakku,” pikirnya terkejut.

Tetapi ia tahu sendiri bahwa luka didada suhunya bukan karena piau tetapi ditusuk pedang.

“Gerak gerikmu serba misterius, kata-katamu penuh rahasia.

Aku tak dapat mempercayai kau!” serunya.

“Apakah dia sudah mengetahui?” diam-diam orang berbaju kelabu itu terkesiap dalam hati.

Tetapi ia bersikap tenang-tenang saja : “Sekalipun saat ini belum waktunya kubicara dengan wajah terbuka, tetapi tindakanku selalu terang setiap patah kataku tiada yang bohong. Tetapi kau masih kurang percaya!”

“Percaya? Jika katamu itu dapat dipercaya, dunia ini memang sudah gila,” Cian Hong tertawa dingin.

Hati orang berkerudung muka itu bergolak namun ia berlaku setenang mungkin. “Apakah kau merasa ada sesuatu yang tidak wajar dalam kata-kataku tadi?”

“Tentu!”

“Masa!”

“Ada buktinya!” “Coba katakan!”

Berseru Cian-hong dengan sengit: “Guruku tidak binasa karena Kui-piau!”

Kata-kata Cian Hong bagaikan sebuah palu menggodam kepala si Baju-kelabu. Walaupun wajahnya tak kelihatan karena tertutup kain kerudung, tetapi dari pakaiannya yang tergetar, dapatlah diduga bagaimana kejutnya!

Sampai beberapa saat barulah ia dapat berkata hambar: “Kau masih muda tetapi pandai sekali berbohong!”

Tahu sudah ia bahwa Cian Hong sebenarnya berkata sesungguhnya namun sebagai seorang yang masak pengalaman, si Baju-kelabu sengaja mengatakan demikian. Ia mempunyai rencana.

“Memang orang yang pandai berbohong selalu tak percaya akan keterangan orang lain!” sindir Cian Hong.

“Kalau begitu kau tak bohong?”

Cian Hong segera mengeluarkan pedang Sambar-nyawa yang masih disimpannya: “Suhuku binasa karena pedang ini!”

“Pedang Sambar-nyawa?” si Baju-kelabu terbeliak kaget. “Ya, pedang ini menancap didada suhuku!”

Si Baju-kelabu mengerut kening, serunya mantap: “Jika kukatakan bahwa aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa yang tertancap didada Malaekat-elmaut itu senjata piau, apakah kau percaya?”

“Aku hanya percaya pada mataku sendiri!” Tergetar kedua bahu si Baju-kelabu mendengar penyahutan Cian Hong yang sinis, serunya tak puas: “Kalau begitu aku tak dapat berbuat apa-apa lagi!”

“Tetapi dimanakah tempat tinggalmu?” suara Cian Hong agak keras.

“Kuberitahukan padamu dengan itikad baik, kau tak percaya. Sekarang kau hendak menanyakan tempat tinggalku. Apakah tidak penasaran?” balas si Baju-kelabu.

“Karena aku tak percaya!”

“Terserah. Aku tak dapat memaksamu!”

“Tetapi aku ingin tahu siapa pemlik Kui-piau itu!”

“Betapapun aku tak ingin menanam permusuhan tanpa sebab apa-apa...” si Baju-kelabu berhenti sejenak, keluhnya dengan tandas: “Apalagi kau toh tak percaya padaku!”

“Aku hendak mohon petunjuk padamu,” kata Cian Hong. “Silahkan.”

Sambil kibas-kibaskan pedang Sambar-nyawa, berserulah Cian Hong: “Milik siapakah senjata ini?”

Tiba-tiba si Baju-kelabu tertawa gelak-gelak. Nadanya nyaring dan tajam sampai menusuk ketelinga. Selang beberapa jenak kemudian barulah ia berkata: “Kata-katamu itu bernada kecurigaan. Jika kuberitahu padamu, dapatkah kau mempercayai aku?” Cian Hong termenung sejenak, ujarnya: “Aku dapat mempertimbangkan sendiri.”

Si Baju-kelabu tertawa mengekeh: “Tetapi aku tak senang dicurigai orang terus menerus!”

Cian Hong tertegun. Ia tak dapat berkata apa-apa. Si Baju-kelabu berjalan beberapa langkah lagi, serunya: “Aku hendak pergi, sampai jumpa lagi dimedan perjamuan!”

Pada waktu mengucap kata-kata yang terakhir itu dia sudah melesat berpuluh tombak jauhnya.

Cian Hong masih tegak termangu. Kepergian si-Baju-kelabu segera berganti dengan persoalan baru, perjamuan kawin.

Pertama adalah gadis berwajah buruk Hay-gwa-it-kiau yang mengira ia menghadiri pesta pernikahan. Sekarang si Baju-kelabu. Kedua orang itu senada menganggap ia (Cian Hong) tentu hadir dalam perjamuan itu. Dan memang hari itu didapatnya jalan besar penuh dengan orang-orang dan kendaraan. Kebanyakan mereka adalah orang-orang persilatan.

“Apakah orang-orang itu akan hadir pada pesta pernikahan?” tanyanya dalam hati.

“Tetapi siapakah yang akan menikah?”

Tiba-tiba dihapuskannya persoalan yang tak ada kepentingan dengan dirinya itu. “Persetan siapa yang akan menikah, bukan urusanku. Pokok aku harus melaksanakan tugasku!” akhirnya ia memutuskan.

Segera ia lanjutkan perjalanan ke Lok-yang.

Begitu masuk kota, agar tak menimbulkan kecurigaan orang, ia tak mau gunakan ilmu lari-cepat lagi dan berjalan biasa saja. Baru pertama kali itu mengunjungi kota Lok-yang. Walaupun ia sudah mendapat keterangan bahwa Si Kiok ciang tinggal ditepi kota, tetapi ia tak tahu jelas letaknya.

Tiba-tiba dari sebuah muka muncul seorang tua berjubah hitam, Tiga untai jenggotnya yang putih menjulai sampai kedada, Orangtua itu mencekal sebuah bendera kecil.

Cian Hong melirik. Pada bendera kecil itu tertulis 4 buah huruf berbunyi Tio Sam mulut besi. Ah, kiranya seorang tukang nujum. Tetapi Cian Hong mempunyai pendapat lain. Bahwa seorang tukang nujum yang membuka praktek dikota Lok-yang tentulah mengetahui tempat tinggal seorang jago tingkat atas macam Si Kiok-ciang.

Segera dihampirinya tukang nujum tua itu. Tetapi belum ia membuka mulut, situkang nujum sudah mendahului: “Saudara, kulihat wajahmu terang, alismu bagus. Keningmu menonjol dan hidung menjulang. Jika belajar sastera kau tentu dapat menjadi sasterawan ternama. Belajar silat tentu menjadi panglima... Ha, ha.... masih pula...”

Tanpa diminta tukang nujum itu mengoceh panjang lebar.

“Aku hendak mohon tanya pada paman,” buru-buru Cian Hong memberi hormat.

“Tiba-tiba tukang nujum tua itu mengangkat benderanya dan tertawa meloroh, “Aku Tio Sam si Mulut-besi, jika sampai meleset, jangan kau bayar!”

Cian Hong tertawa: “Aku hanya hendak bertanya tentang seseorang.”

Mendengar bukan soal penujuman, tukang nujum itu menyahut dingin: “Siapa?” “Dimana tempat tinggal Si Kiok-ciang?” “Perlu apa kau tanya dia? Apakah hendak menghadiri pesta pernikahan?”

“O, kiranya pernikahan itu dari keluarga Si, maka tak heran banyak orang persilatan yang datang ke kota ini. Tetapi siapakah yang akan dinikahkan Si Kiok-ciang itu? kata Cian Hong lalu menggumam seorang diri: “Aku masih tak mau menghadiri perjamuan itu hanya hendak bertemu sebentar dengan Si Kiok- ciang!”

Sahut situkang nujum dengan hambar: “Kau masih muda tetapi tak tahu adat kesopanan. Berkali-kali enak saja kau menyebut nama Si Kiok-ciang, Si Kiok-ciang. Apakah kau tak tahu bahwa dia bergelar Thian-he-te it-ciang yang perkasa?”

Tak kalah garangnya Cian Hong menjawab: “Yang kuhormati hanya ksatrya perwira. Terhadap jagoan-jagoan yang menindas kaum lemah, tak kupandang mata sama sekali!”

“Kau amat sombong, mungkin sukar keluar dari kota Lok-yang ini,” tukang nujum menyesali.

“Sayang aku tak dapat merobah perangaiku yang tak mau tunduk pada segala kekerasan sewenang-wenang,” sahut Cian Hong.

“Eh, apakah kau hendak menempurnya?” tanya si tukang nujum. “Begitulah maksudku!”

Jawaban itu membuat mata situkang nujum terbeliak. Dipandangnya Cian-hong tajam-tajam. Selang beberapa saat barulah ia berkata: “Melihat tampang mukamu kau bukan tergolong orang yang pendek umur, tetapi mengapa kau hendak mengantar kematian?”

“Belum tentulah!”

“Si Kiok-ciang adalah jago nomor satu didunia!” “Kutahu sudah. Kuminta tuan suka menunjukkan jalan ketempat tinggalnya saja.”

Tukang nujum itu gelengkan kepala menghela napas panjang: “Kau sendiri yang hendak mengantar kematian. Jangan nanti sesalkan aku!”

“Sudah tentu, harap tuan jangan kuatir,” sahut Cian Hong dengan angkuh, “kalau aku sampai binasa ditangan Si Kiok ciang, bukanlah kesalahan siapa-apa melainkan kesalahanku sendiri yang tak becus belajar silat. Sekali-kali takkan merembet tuan!”

“Kalau begitu terserah,” kata situkang nujum yang segera memberitahukan letak kediaman Si Kok-ciang.

Setelah menghaturkan terima kasih, Cian-hong segera berlalu.

Si Kiok-Ciang tinggal disebelah timur kota. Sebuah gedung besar yang mewah. Diam-diam Cian Hong muak akan kegarangan orang. Didepan pintu gerbang banyak sekali kereta dan kuda berdatangan. Tampaklah kesibukan yang luar biasa seperti lazimnya orang yang tengah menyelenggarakan peradatan kawin. Didepan pinta terdapat tempat penerimaan barang hadiah. Setiap tetamu datang tentu akan menyerahkan bingkisan, baru masuk. Apabila tidak membawa barang hadiah, tentu dilarang masuk oleh 4 pengawal yang bertugas disitu.

Timbul pikiran Cian Hong: “Mumpung Si Kiok-ciang punya kerja, mengapa aku tak masuk untuk melihat bagaimana orangnya?”

“Tetapi ah, rupanya kalau tak membawa bingkisan tentu dilarang masuk. Dan aku tak punya apa,” pada lain kilas ia agak bingung. Kemudian ia nekad. Bagaimanapun juga jika mereka berani menghalangi aku, tentu akan kuberi hajaran!” Segera ia melangkah menghampiri pintu. “Apabila hendak hadir, harap menyerahkan bingkisan pemberian selamat,” segera salah seorang pengawal membentak.

“Jika tidak membawa?” Cian-hong menegas.

“Silahkan enyah. Jika mau unjuk kepandaian disini bukan tempat yang seru.!”

Wut tanpa banyak bicara Cian Hong segera ajunkan tinjunya.

Tetapi sekonyong-konyong dari belakang terdengar suara orang berseru sambil tertawa: “Tuan, inilah barang bingkisanmu!”

Cian Hong terkejut dan berpaling. Ah, si-tukang nujum tadi...

Belum sempat Cian-hong membuka mulut, tukang nujum itu sudah gunakan ilmu Menyusup suara membisiknya: “saat ini bukan saat berkeras. Kita berikan bingkisan dan masuk melihat bagaimana keadaan dalam perjamuan nanti!”

Cian Hong terkejut. Kiranya tukang nujum itu seorang sakti yang tersembunyi. Ia malu mengapa ia tak dapat mengetahuinya. Segera ia menyambuti bungkusan yang diberikan situkang nujum lalu diterimakan pada pengawal.

Tetapi pengawal itu mendengus. Bungkusan diberikan kepada yang bertugas menerima bingkisan tetapi ia tetap tak memberi jalan Cian Hong.

Diantara petugas yang menerima bingkisan, terdapat seorang tua yang berumur 70-an tahun. Dialah yang membuka bungkusan dari Cian Hong. Ketika bungkusan terbuka, bukan kepalang kejut orangtua itu.....

Bahkan Cian-hong sendiripun terbelalak kaget melihat isi bingkisan itu. Belum sempat ia bertanya pada situkang nujum, orang itupun sudah mendahului gunakan ilmu Menyusup suara lagi: “Tenang dan jangan gugup. Tak nanti kubuat-mu kecewa. ” ooOOoo

Kiranya isi bungkusan itu bukanlah barang bingkisan, melainkan sebatang pedang pendak yang berkilau-kilauan cahayanya....

Petugas tua itu terbeliak!

Kebalikannya situkang nujum malah tertawa: “Pedang pandak ini, tidakkah cukup berharga?”

Petugas tua membalikkan batang pedang. Ketika matanya tertumbuk tiga buah huruf Pedang sambar-nyawa tertera pada batang pedang, seketika berobahlah wajah petugas itu dengan seri kegirangan.

“Cukup, cukup, cukup. Silahkan tuan berdua masuk!” serunya tersipu-sipu.

Tukang nujum tertawa lepas. Ia berpaling kepada Cian Hong: “Tuan, marilah kita lihat-lihat kedalam!”

Cian Hong merogoh kedalam baju. Astaga. dua batang pedang

Sambar-nyawa yang disimpannya itu ternyata hanya tinggal sebatang saja. Jelas tentu dicuri oleh situkang nujum. Ia hendak menegur tetapi karena sikap tukang nujum yang begitu merendahkan diri menyebutnya sebagai 'tuan' sungkan juga Cian Hong mendampratnya.

Tetapi pedang ini merupakan barang bukti untuk penyelidikan. Bagaimana semudah itu akan diserahkan pada orang? Karena masih tercengang-cengang, ia sampai tak menghiraukan ajakan situkang nujum. Buru-buru situkang nujum gunakan ilmu Menyusup-suara: “Mengapa kau masih termangu-mangu? Sudahlah jangan bimbang, tentu takkan mengecewakan hatimu!”

Cian-hong gelagapan. Ia merasa banyak curiga pada orang. Sikap begitu sukar untuk melakukan usaha besar. Apalagi tukang nujum itu tentu mengandung maksud tertentu. Mengapa ia tak mau membuktikan dulu dan buru-buru menaruh kecurigaan?

Secepat menghilangkan keraguan, secepat itu pula kakinya melangkah kedalam. Tiba-tiba matanya silau oleh pemandangan yang terdapat dalam gedung.

Warna warni lampu menerangi ruangan. Lantai beralas permadani merah, tiang-tiang dibalut kain hijau. Tamu-tamu luar biasa banyaknya. Pelayan-pelayan pada berpakaian merah, sibuk mondar mandir tak henti-hentinya. Benar-benar sebuah perjamuan yang mewah sekali.

Situkang nujum bersama Cian Hong mengambil tempat duduk disebuah meja yang masih kosong.

Kawanan gadis pelayan cepat sekali melayani hidangan.

Dalam kesempatan ini segera Cian Hong bertanya kepada situkang nujum: “Lo-sianseng, apakah maksud tindakanmu ini?”

Wajah situkang nujum berobah serius: “Kita dalam kedudukan sebagai tuan dan budak, mengapa kau panggil aku sianseng (tuan)? Apabila didengar orang, sandiwara kita ini tentu akan macet!”

“Kau menjadikan aku. ”

“Hamba bernama Tio sam, panggillah saja dengan nama itu!” tukas situkang nujum.

Cian Hong tak dapat berbuat apa-apa menghadapi situkang nujum. Apa boleh buat, ditempat dan saat seperti itu terpaksa ia menurut. Namun pikirannya tetap teringat pedang hambar-nyawa. “Pedang itu.....” belum selesaikan ia hendak berkata, situkang nujum sudah mendorong meja dan berbangkit: “Tunggulah disini dulu, aku hendak pergi sebentar,” katanya seraya terus menyusup kedalam lautan tetamu.

Cian Hong benar-benar heran. Tak tahu ia apa kehendak situkang nujum. Bahkan siapa yang akan melangsungkan perkawinan, iapun tak tahu. Hanya yang diketahuinya, menilik sekian banyak tetamu yang hadir, jelas mengunjuk betapa pengaruh Thian-he-te-it-ciang Si Kiok ciang didunia persilatan.

Duduk seorang diri mau tak mau Cian Hong iseng-iseng memandang para tetamu yang duduk di kanan kirinya. Dari sikap dan kata-kata mereka yang kasar dan terus terang, jelaslah bahwa mereka itu orang-orang persilatan dari berbagai golongan. Tiba- tiba seorang tetamu muncul dari rombongan hadirin dan menuju ketempat Cian Hong.

Cian Hong terkejut. Ia mengeluh dalam hati: “Celaka, kalau sampai dilihat olehnya!”

Kiranya yang datang itu adalah siwanita cabul Siau-hun-li atau Peraju-sukma. Waktu Cian Hong hendak berbangkit, Peraju-sukma sudah mendahului berseru: “Jangan pergi, kutemani kau bercakap- cakap!”. Dan duduklah wanita itu dikursi sebelah mukanya.

Sebagai seorang lelaki sudah tentu Cian Hong malu dianggap penakut, ia segera duduk tetapi tak mau ia mengajak wanita itu bicara. Ia menyambuti kwaci dan enak-enak menyisilnya. Perayu- sukma tak diacuhkan.

Selang sekian saat, tak tahan lagi rupanya Peraju-sukma diperlakukan begitu dingin, tegurnya: “O, kiranya kau seorang dingin!”

“Kalau seorang dingin tentu tak barguna bagimu,” dengus Cian Hong. “Tetapi aku ingin bersahabat padamu, mengapa sedikitpun kau tak merasa?” Peraju-sukma tertawa: “Apalagi tempo hari aku telah memberi ampun padamu.” Melihat wanita itu mengulum senyum genit, diam-diam Cian Hong bersiap-siap : “Aku harus hati-hati terhadap wanita ini agar jangan sampai masuk kedalam perangkapnya.”

“Terima kasih atas kebaikanmu tempo bari itu,” ujarnya. “Hanya terima kasih saja?”

“Tentu!”

“Tak memadai!”

Cian-hong teringat dikala mengambil darah Cian-lian-lok tempo hari, ia banyak mendapat kesulitan dari wanita itu. Bahwa sekarang ia mau menghaturkan terima kasih, adalah sudah suatu sikap yang mengalah. Tetapi rupanya wanita itu masih kurang terima.

“Lalu bagaimana kehendakmu?” tanyanya.

“Siau-hun-li si Peraju-sukma tertawa mencibir: “Masakan aku tak sungkan untuk mengatakan?”

“Tak apalah!”

“Dalam kesempatan hari sebaik ini, kitapun bersama-sama mencicipi kebahagiaan....!” kata Peraju sukma dengan tenang. Seolah-olah kata-kata yang penuh cumbu raju cabul itu biasa saja diucapkannya.

Marah Cian Hong bukan kepalang, bentaknya: “Aku bukan bangsa manusia yang serendah itu. Kau harus mengerti!”

“Aduh! Antara suami isteri masakan banyak peradatan.”

“Hm, tebal benar kulit mukamu !” damprat Cian Hong “Maksudku hanya mencari kebahagiaan manusia hidup.  ” tiba-tiba

mata Siau-hun-li terbeliak dan bergegas-gegas ia bangkit: “Tengah malam nanti kita bertemu dihutan Hek-lim. Jika kau tak datang, aku tak sudi menolongmu lagi apabila kau mendapat bahaya!”. Ia terus menyelinap masuk diantara rombongan tetamu.

Pada lain saat tiba-tiba situkang nujum muncul kembali.

“Eh, kemana saja kau?” tegur Cian Hong. “Mengurus kerjaan penting!” sahut orang itu dengan kepala menengadah.

“Urusan apa-apa”

Tukang nujum itu tersenyum. Dari dalam jubahnya ia mengeluarkan sebuah bungkusan dan diserahkan kepada Cian Hong, bisiknya: “Benda kembali pada pemiliknya, harap simpan baik!”

Ketika menerima dan merasakan bungkusan itu berat, tahulah Cian Hong barang apa yang diterimanya itu. Diam-diam ia heran- heran kagum: “Pak tua ini benar-benar lihay dapat mencuri kembali pedang Sambar-nyawa.”

“Tiba-tiba terdengar genderang bertalu riuh dan serempak diiring suara tetabuhan musik.

“Tandu temanten datang!” “Temanten perempuan datang!” Demikian terdengar suara orang berteriak.

“Tahukah kau siapa yang menikah?” tanya Cian Hong kepada Tio Sam situkang nujum.

“Putera Si Kiok-ciang!” sahut Tio Sam dengan hambar.

Terdengar letupan mercon memekik telinga. Gadis-gadis pelayan segera menyingkirkan hidangan kwaci dan buah semangka dan mengganti dengan hidangan masakan. Arak tak henti-hentinya dituang kedalam gelas tetamu-tetamu.

Tio Sam mengangkat cawan arak, serunya: “Sementara minum sampai mabuk!” Setelah meneguk tiga cawan, Cian Hong tak kuat lagi.

Tiba-tiba terdengar suara pengacara melantang nyaring. Dan muncullah seorang lelaki berumur 60-an tahun dalam pakaian mewah. Ia melangkah ketengah medan perjamuan dengan sikap yang angkuh.

“Terima kasih banyak-banyak atas budi kecintaan saudara- saudara yang telah sudi meluangkan waktu menghadiri pesta perjamuan pernikahan puteraku!” Ia batuk-batuk sejenak lalu katanya pula: “Sekarang hendak kusuruh kedua mempelai itu menghaturkan hormat kepada saudara-saudara!”

“Apakah itu bukan Si Kiok-ciang?” tanya Cian Hong dengan berbisik.

Rupanya Tio Sam sudah mabuk. Tanpa mengangkat kepala, ia menyahut: “Siapa lagi kalau bukan dia!”

Suara tepuk tangan menyambut ucapan tuan rumah bergemuruh memenuhi ruangan. Kemudian musikpun menggemakan lagu-lagu merdu.

Karena ingin tahu siapakah putera Si Kiok-ciang, Cian Hong pun memandang kemuka. Ah, kejutnya bukan kepalang. Kiranya mempelai laki adalah Si Ciau-hun dan mempelai perempuan sidara Yap Siu-lan.

Tiba-tiba mata mempelai lelaki tertumbuk kearah Cian-hong. Dan gemetarlah tubuh mempelai itu. Sekonyong-konyong mempelai laki itu lari kearah tempat Cian Hong.

“Hai bangsat, kau berani datang minum arak disini!” teriaknya seraya lontarkan pukulan.

Cian Hong terkejut. Dalam keadaan diserang begitu mendadak dan dahsyat tiada lain pilihan lagi baginya kecuali balas memukul. Karena untuk menghindar tak mungkin dan jika tak menghindar tentu menderita.

“Belum kau tanjakan hitam putihnya sudah memukul. Jangan salahkan aku!” serunya seraya menyongsong tangannya lurus kemuka.

Bum terdengar letupan dari dua pukulan saling beradu. Ciau-

hun rasakan kedua lengannya kesemutan den tubuhpun terhujung beberapa langkah kebelakang. Kekalahan itu membuatnya merah padam. Malunya bukan kepalang.

“Bangsat, kau tentu kubunuh!” teriaknya dengan marah. Ia maju menyerang lagi sampai 7-8 jurus.

Dengan sabar Cian Hong hanya menangkis. Tetapi makin lama makin marahlah ia. Ia dorongkan tangannya.

Karena beberapa kali serangannya tak berhasil, Ciau-hun marah dan berteriak seperti babi hendak disembelih.

Para tetamu yang tak mengerti sebab-sebab kekalapan mempelai lelaki, terkejut heran. Dalam pada itu diam-diam merekapun memuji ketangkasan Cian-hong.

Sekonyong-konyong tuan rumah Si Kiok-ciang melesat menghadang puteranya dan mendamprat: “Hari ini adalah hari baikmu, mengapa kau tak menghormati tetamu?”

“Yah. ” melihat sang ayah muncul, Ciau-hun segera menuding

pada Cian Hong: “Dia seorang bangsat!”

“Bangsat? Bangsat apa?” Si Kiok-ciang terbeliak.

Seru Ciau-hun dengan gemetar: “Dia pernah meraju Siu-lan dan sekarang berani datang menghadiri pesta perkawinanku. Jelas dia tak memandang mata sama sekali kepada ayah” Keterangan itu mendapat sambutan gemuruh dari para tetamu.

Ada sementara tetamu yang memaki Cian Hong.

Memang Si Kiok-ciang turun tangan untuk membantu puteranya. Mendengar pembakaran Ciau-hun dan kata-kata tetamu yang bersikap membelanya, bergolak juga hati Si Kok ciang.

“Hun-ji, benarkah itu?”

“Aku tahu dengan mata kepala sendiri, mana anak berani bohong!” buru-buru Ciau-hun menjawab.

Seketika berobahlah wajah Si Kiok-ciang. Wajahnya merah padam terbakar api kemarahan hebat, serunya: “Lenyapkan dulu orang itu lalu bunuh bangsat itu!”

Si Kiok-ciang melangkah kehadapan Siu-lan calon menantunya: “Huh, kau masih punya muka pada sekalian tetamu? Lekas ambil putusan sendiri! Rumah keluarga Si tak mengijinkan diinjak perempuan semacam kau!”

“Tidak yah! Jangan salah paham. Aku rela mati tetapi tetap tak dapat mencuci noda kehormatan Ko sauhiap yang telah tercemar!”

“Perempuan hina, jangan membela bangsat itu!” bentak Si Kiok- ciang, “Hm, percuma budi yang telah kuberikan pada kalian ayah dan anak1”

“Sekali-kali kami takkan melupakan budi. Pada suatu hari tentu akan kami balas,” sahut Siu-lan.

“Aku tak sudi mengharap balasanmu!” bentak Si Kiok-ciang pula, “yang nyata kau telah melumuri mukaku dengan najis. Ayo, lekas habisi jiwamu sendiri!”

Mendengar itu gemetarlah Siu-lan. Air matanya membanjir turun. “Hm, kalau masih berayal, terpaksa aku akan turun tangan,” Si Kiok-ciang mendesak.

Siu-lan menangis tersedu.

“Jangan jual tangis! Lekas lakukan perintahku atau tiada ampun lagi bagimu!” seru Si Kiok-ciang seraya mendorong tubuh menantunya.

Melihat itu tak kuat lagi Cian Hong menahan diri. Segera ia hendak bertindak memberi pertolongan pada Siu-lan. Tetapi situkang ramal cepat mencegah.

“Jangan bertindak gegabah. Tak berguna saat ini kau turun tangan!”

“Cian-hong heran. Bukankah nona itu terancam jiwanya, mengapa tak boleh ditolong?

Sekonyong-konyong terdengar seruan nyaring: “Si-jin-ong, berlakulah murah!”

Si kiok-ciang hentikan tangannya dan berpaling. Ah, ternyata muncullah seorang tua yakni Yap Ceng, ayah mempelai perempuan.

“Hm, siapakah jin-ong (besan)mu? Aku hendak membatalkan perkawinan ini!”

Dingin-dingin saja wajah Yap Ceng mendengar pernyataan itu.

Sedikitpun ia tak kaget.

“Apakah kesalahan Siu-lan?” tanyanya. “Hm, dia tak tak dapat memegang teguh kehormatannya dan mencemarkan nama kita,” sahut Si Kiok-ciang.

“Benarkah itu?”

“Hun-ji telah melihat dengan mata kepala sendiri dan sibajul buntungpun berada disini. ” Si Kiok-ciang menunjuk Cian Hong: “Salahku sendiri mengapa dahulu aku menolong kalian berdua ayah dan anak!”

Yap  Ceng  melirik  kearah  Cian  Hong.  Dingin-dingin  saja  ia menjawab:  “Budi  pada  10  tahun  yang  lalu  tak  pernah  sesaatpun kami lupakan. Pada suatu hari pasti akan kami balas!” Ia berpaling kepada  anak  perempuannya:  “Karena  urusan  jadi  begini  rupa, baiklah kita pulang saja!”

Dan terus saja orangtua itu menggandeng Siu lan melangkah keluar.

Si Kiok-ciang loncat menghadangnya: “Enak sekali kalian hendak pergi!”

“Anakku bejat, hendak kubawa pulang kuberi hajaran!”

“Hm, dia sudah menikah dengan keluarga Si. Kalau matipun akan jadi setan keluarga Si. Bagaimana hendak kaubawa pergi?” seru Si Kiok-ciang.

“Mengapa tidak? Bukankah tadi dia belum menjalankan upacara sembahyang pada bumi dan langit? Jadi dia baru dalam tingkat pertunangan saja, belum menjadi suami isteri resmi. Kau membenarkan puteramu dan memutuskan perkawinan ini, apa salahnya akan kubawanya pulang?”

Si Kiok-ciang tak dapat menyahut. Karena malu ia segera mengangkat tinjunya Yap Ceng dingin-dingin saja mendengus: “Hm, kau diagungkan dunia persilatan sebagai Thian he-te-it ciang. Dan aku seorang tua yang tak mengerti silat. Mudah sekali ibarat orang membalikkan telapak tangannya jika kau hendak membunuh aku. Tetapi bukankah namamu akan cemar ditertawakan orang? Harap pikir yang panjang!” Ucapan orangtua itu menyentuh hati Si Kiok-ciang. Iapun menyurut kesamping tiga langkah untuk memberi jalan. Dan berjalanlah pak tua Yap Ceng bersama anaknya Yap Siau lan.

Kini kamarahan Si Kiok-ciang beralih dilimpahkan pada Cian Hong.

“Kita pergi juga!” bisik Cian Hong kepada situkang ramal tua. Tetapi ketika ia hendak ajunkan langkah, Si Kiok-ciang membentak.

“Mau kemana kau, budak binal!”

“Aku bebas pergi kemanapun. Siapa yang berhak merintangi aku?” Cian-hong menggeram. “Cobalah saja kalau kau mampu, bajul buntung!” ejek Si Kiok-ciang.

“Kau membela anakmu. Setiap kali mengucap tentu memaki aku bajul buntung. Apakah kau tak membayangkan bahwa hal itu akan mengakibatkan hancurnya gelarmu Pukulan-nomor-satu-didunia!”

“Jangan banyak cingcong, budak!” bentak Si Kiok-ciang.

“Aku banyak cingcong? Mengapa kau tak mau menanyakan keterangan yang jelas?”

“Bukti sudah jelas, perlu apa harus diselidiki lagi?”

“Tindakanmu yang membabi buta, mengecewakan gelaranmu sebagai Pukulan-nomer-satu-didunia! Kabar yang mengatakan kau banyak membunuhi jago-jago golongan Hitam dan Putih, kiranya tak salah!”

Merah padam seketika wajah jago nomor satu didunia itu. “Rupanya kau mengoceh tak keruan, budak hina!” bentaknya marah.

“Hm, kau tak merasa bahwa sepak terjangmu beberapa tahun ini menimbulkan kemarahan kaum persilatan?” Karena malu, Si Kiok-ciang tak mau mundur setapak, serunya: “Andaikata benar, kaupun tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku!”

Kata-kata itu berarti suatu pengakuan. Dan timbullah keputusan Cian-hong untuk melenyapkan benggolan ini.

“Hari ini aku hendak menjatuhkan kau dibawah telapak tanganku!” serunya.

“Kau menantang adu pukulan? Hm, rupanya kau memang hendak cari mati!”

“Siapa yang bakal mati nanti, belumlah ketahuan. Jangan keburu menepuk dada berkokok dulu!” seru Cian Hong.

“Jago nomor satu didunia akan jatuh ditangan-mu? Ho, ho, sungguh lucu sekali!”

“Memang aku hendak meminta kehadiran sekalian jago-jago dari seluruh penjuru untuk menyaksikan kejatuhanmu...” seru Cian Hong dan dengan nada yang penuh kecongkakan ia berseru mantap: “Dan hanya dengan sebuah jurus pukulan saja, kau tentu akan remuk!”

“Satu jurus? Eh, rupanya pikirannya tidak beres!”

“Aku bukan orang edan dan bukan mimpi! Buktikanlah sendiri!” seru Cian Hong.

“Silahkan!”

Cian Hong segera bersiap. Kedua tangannya dilempangkan kemuka dada. Melihat itu Si Kiok-ciang agak terkejut. Buru-buru ia bersiap-siap. Walaupun selama ini Si Kiok-ciang belum pernah mendapat tanding, tetapi entah bagaimana ia tak berani memandang rendah pada pemuda yang dihadapannya saat itu.

Berpuluh-puluh pasang mata tetamu terpaku tegang.  

Dua jago berhadapan saling tantang menantang. Yang satu tokoh silat yang digelari sebagai Thian-he-te-it-ciang atau pukulan nomor satu didunia. Lawannya seorang pemuda tak terkenal yang berani sesumbar akan menjatuhkan Si Kiok ciang dalam satu jurus saja. 

Tegang meregang, napas sekalian tetamupun serasa berhenti.

Setelah pasang kuda-kuda, mulailah Cian-hong gerakkan kedua tangannya mendorong kemuka. Dan Si Kiok-ciangpun bergerak untuk menyongsongnya.

Sekalian tetamu dalam pesta perjamuan kawin saat itu adalah tokoh-tokoh persilatan pesta perjamuan kawin saat itu adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Mereka jelas menyaksikan bahwa gerakan ilmu pukulan dari kedua orang itu hampir sama. Suatu hal yang mengejutkan hati sekalian orang. Namun mereka tak berani buka suara.

Ketika menyaksikan bagaimana gerakan sipemuda melancarkan serangannya, tergetarlah hati Si Kiok-ciang.

Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak penuh kecemasan: “Loya, loya, celakalah!”

Si Kiok ciang terkejut dan hentikan tangannya.

Yang muncul dan berteriak itu seorang bujang perempuan. “Mengapa?” serunya.

Wajah bujang perempuan itu pucat lesi dan dengan suara gemetaran ia berseru: “Nyonyah. nyonyah dibunuh orang!”

Seketika gemparlah sekalian hadirin. Mereka yang bermula terkejut menyaksikan pertempuran tuanrumah lawan seorang pemuda tak dikenal, tiba-tiba beralih hiruk pikuk mendengar berita yang mengejutkan itu Melihat tuan rumah hentikan pukulannya, Cian-hongpun tak mau menyerang. Tampak sepasang mata Si Kiok- ciang berapi-api.

“Kapan peristiwa itu terjadi?” serunya.

Sahut bujang perempuan: “Beberapa hari ini nyonya sibuk sekali mengurus persiapan pernikahan kongcu. Tadi pagi ketika keatas, beliau merasa kurang enak badan dan kembali masuk kekamar. Beliau pesan jangan diganggu, sampai nanti setelah upacara perkawinan mulai, barulah boleh dibangunkan. Tetapi ketika tadi hamba membangunkan, ternyata nyonyah sudah meninggal!”

“Berapa lama ia mati?”

“Kira-kira tiga jam yang lalu!”

“Tiga jam...” Si Kiok-Ciang mengulang. Tiba-tiba ia bertanya pula: “Terluka dibagian mana?”

“Dibagian dada!” sahut bujang perempuan dengan gemetar. “Dengan senjata apa?” “Sebatang pedang pandak!” “Mana

pedang itu?”

“Hamba tak berani mencabut, masih tertanam didada nyonyah!”

Si Kiok-Ciang menggerung keras. Segera ia menuju kedalam kamar isterinya.

Ruang perjamuan menjadi kacau. Tuan rumah dan puteranya masuk kedalam, tetamupun hiruk pikuk membicarakan peristiwa pembunuhan yang hebat ini.

Cian Hong barpaling dan bertanya kepada situkang ramal tua: “Tahukah kau siapa pembunuhnya?”

Tukang ramal tua itu kerutkan dahi, ujarnya: “Pembunuhan ini hebat benar. Tetapi samar-samar dapatlah kuduga. Peristiwa itu pelik sekali. Salah urus mungkin akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Peristiwa ini dapat menjadi alamat akan timbulnya banjir darah didunia persilatan!”

Cian Hong terlongong-longong.

Sekonyong-konyong Si Kiok-ciang lari tergopoh-gopoh keluar.

Tangannya mencekal sebatang pedang pandak yang masih berlumuran darah. Bersama dia ikut orang tua berbaju biru yang bertugas menerima bingkisan dan para tetamu yang datang. Beberapa saat orang tua itu tampak berbisik-bisik kepada Si Kiok ciang.

Si Kiok-ciang segera melangkah kehadapan Cian Hong. Cian Hong tersentak kaget demi melihat pedang yang berada ditangan tuan rumah.

“Hai, apakah itu bukan pedang Sambar-nyawa?” pikirnya. “Budak, apakah kau bukan orang she Ko?” tiba-tiba Si Kiok-ciang

menegurnya.

Pertanyaan sekasar itu menimbulkan kemarahan Cian Hong.

Sahutnya tak kurang getas: “Benar!”

Dan berkatalah siorangtua baju biru kepada Si Kiok-ciang: “Memang benar dia!”

Sambil menunjukkan pedang Sambar-nyawa, Si Kiok-ciang berseru: “Kau tentu tak asing dengan pedang ini!”

Karena memang pedang itu diberikan siorangtua tukang ramal kepada orangtua baju biru, tak dapatlah Cian Hong menyangkal.

“Tahupun tidak mengherankan!” sahutnya.

“Tidak heran! Tidak heran!” ulang Si Kiok-Ciang dengan penuh kemarahan. Mukanya segera mengembangkan hawa pembunuhan.

“Budak hina she Ko, kau benar-benar ganas!” dampratnya. “Ganas?” Cian Hong terbeliak kaget. “Jangan pura-pura pilon!” bentak Si Kiok-ciang, “seorang lelaki kalau sudah berani berbuat tentu berani bertanggung jawab. Karena nyata kau tak memandang mata kepadaku, maka hari ini aku hendak minta pelajaran ilmumu yang sakti itu!”

“Aku tak membunuhnya!” Cian Hong berteriak kaget.

“Dengan bukti pedang ini, hai budak kina, siapapun tentu percaya kaulah pembunuh isteriku. ”

Si Kiok-ciang berpaling kepada para tetamu, serunya: “Apakah saudara-saudara menganggap kata-kataku itu salah?”

Seketika hiruk pikuklah sekalian tetamu membenarkan ucapan tuan rumah.

Pucatlah seketika wajah Cian Hong. Dipandangnya orangtua tukang ramal itu.

“Apakah kau masih menyangkal lagi?” tegur Si Kiok-ciang.  “Aku tak membunuhnya!” teriak Cian Hong. “Apakah dihadapan

sekalian tokoh-tokoh silat disini, kau berani kugeledah?”

“Perlu apa?” teriak Cian Hong.

“Untuk menentukan kau bersalah atau tidak. Jika aku tak dapat menemukan pedang semacam ini dibadanmu, segera aku akan bunuh diri selaku menebus dosa kepadamu!”

Pucatlah Cian Hong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar