Pukulan Hitam Jilid 04

Jilid ke 4

YA, kitab Pukulan Hitam. Salah sebuah kitab dari Tiga Pusaka dalam dunia!” sahut nona bayangan.

“Kitab itu tak ada padaku,” kata Cian Hong dengan nada kecewa.

“Ha, kau membohongi aku.”

“Tidak, aku tidak membohongimu. Bagaimana rupa kitab itu aku belum melihatnya sama sekali!”

Melihat sipemuda menjawab dengan sikap dan nada bersungguh, agaknya nona bayangan itu percaya juga. Ia termenung beberapa jenak seperti bersangsi mengambil putusan.

“Kalau begitu serahkan saja jiwamu!” katanya beberapa saat kemudian.

“Menyerahkan jiwa? Jiwa apa yang harus kuserahkan?” “Serahkan jiwa berarti menikah dengan aku.”

Cian Hong mendengus muak: “Hm, menikah dengan kau berarti mati, tidak menikahpun mati. Serupa harus mati lebih baik aku berjuang dulu mempertahankan jiwaku. Kunasehati, jangan kau mengganggu aku.”

Memang beralasan sekali Cian Hong berkata itu, tetapi sinona bayangan hanya tertawa dingin, serunya, “Kau salah!”

“Salah?” “Dua macam kematian itu berbeda satu sama lain.” “Berbeda? Apakah setelah mati itu nanti akan tidak sama?”

“Benar, jika kau menikah denganku, kau hanya mati sampai di Neraka lapis kesatu. Kau hanya menjadi apa yang dikata Ing-cu-kui (setan bayangan). Masih agak dekat dengan dunia manusia.”

Kata-kata nona bayangan itu benar-benar mistik (gaib) dan aneh sekali. Cian Hong tak pernah mendengar hal itu.

“Lalu kalau aku tak mau menikah dengan kau dan tak dapat memberikan kitab Pukulan hitam padamu bagaimana?”

Tiba-tiba nona bayangan itu berobah bernada bengis : “Hm, kematian macam begitu, sungguh ngeri sekali.” Terlintas suatu bayang-bayang ngeri dibenak Cian Hong.

Seketika tubuhnya menggigil keras dan tanpa disadari ia berseru: “Ngeri!”

“Kematian   macam   begitu   akan   menjebloskan   kau   kedalam Neraka  19-lapis.  Kau  akan  menjadi  apa  yang  disebut  Moay-kui (setan gentayangan). Menderita selama-lamanya!”

Makin lelap hati Cian Hong seolah-olah tenggelam dalam samudera yang tiada ketahuan dasarnya, hampa segala-galanya.

“Neraka  19-lapis?  Kau  mengatakan  Neraka-19-lapis?”  serunya dengan bersungguh-sungguh.

“Ih, kau takut? Sekarangpun masih belum terlambat!”

“Bukan begitu. Yang kumaksudkan, dimanakah Neraka-19-lapis itu?” seru Cian Hong.

Tiba-tiba gadis bayangan itu tertawa mengikik. Nadanya benar- benar menyeramkan sekali.

Cian Hong serasa dilingkungi oleh gerombolan hantu-hantu. Setelah suara tertawa berhenti, barulah ia merasa longgar ketegangannya. Dipandangnya nona bayangan itu dengan terlongong-longong.

“Kau ingin tahu?” tanya bayangan itu dengan nada berat. “Ya!”

“Jika kau tiba ditempat itu, tentulah kau akan mengetahui sendiri!”

“Apakah kau pernah kesana?” tanya Cian Hong pula.

Gadis bayangan itu berhenti sejenak, ujarnya: “Aku seorang setan yang luar biasa. Kemana tempat pun aku sudah pernah mendatangi.”

“Dimanakah letak Neraka-19-lapis itu,” seru Cian Hong tegang sekali.

“Eh, mengapa kau tegang sekali?”

“Aku hendak minta tolong kau tentang seseorang.

“Siapa?  Apakah  dia  berada  di  Neraka  19-lapis?”  Cian  Hong mengiakan.

“Siapa?” tanya gadis bayangan.

“Cian bin-su-seng.... Ko Ko-hong!” Mendengar nama Cian-bin- su-seng (Pelajar seribu-muka), rupanya gadis bayangan itu tertegun.

Sampai beberapa lama ia berdiam diri... “Tak tahu,” akhirnya ia menyahut.

Cian Hong kecewa. Namun tak mau melepaskan kesempatan sebaik itu mencari tahu tempat beradanya sang ayah. Terpaksa ia tebalkan muka untuk bertanya lagi: “Apakah kau benar-benar tak tahu?” “Masakan aku bohong, hanya...” rupanya gadis bayangan itu merasa telah kelepasan omong. Buru-buru ia alihkan pembicaraan: “Apakah hubunganmu dengan Cian-bin-su-seng?”

Terlintas sesuatu pada benak Cian Hong. Ia memutuskan lebih baik jangan membuka rahasia dulu. “Sukar untuk kukatakan sekarang. Kecuali kau mau mengatakan tempatnya, barulah nanti kupertimbangkan,” katanya.

“Tetapi aku memang tak tahu sungguh-sungguh!” sahut sigadis bayangan.

Namun Cian Hong telah mengetahui bahwa gadis bayangan itu telah menyembunyikan sesuatu. Sikapnya mencurigakan.

“Dapatkah  kau  memberitahukan  dimana  letak  Neraka-19-lapis itu saja?” dicobanya sekali lagi untuk mengorek keterangan sigadis.

“Apa perlumu?”

“Aku hendak kesana!” sahut Cian Hong.

“Hm, kau mau cari mati? Manusia dan setan, lain dunianya. Mana kau mau seenakmu sendiri berjalan-jalan ke Neraka?” seru sigadis.

“Kukira tak sesukar itu!” sahut Cian Hong. “Mengapa?”

“Karena  aku  toh  dapat  masuk  ke  Neraka  lapis  kesatu.  Hal  itu membuktikan bahwa Neraka menerima  juga kunjungan manusia. Dan apa bedanya dengan Neraka-19-lapis itu?”

Kali ini sigadis bayangan tak dapat menyahut. Dan Cian Hong tak mau lepaskan kesempatan. Ia terus mendesak: “Kuharap kau suka memberitahukan letak Neraka-19-lapis itu dan aku pasti berterima kasih padamu selama-lamanya!”

“Tidak, tidak! Janganlah kau kesana. Sekali kau kesana tentu takkan kembaii selama-lamanya!” “Tak usah kau pedulikan nasibku. Aku hanya minta tolong kau memberitahukan tempat itu saja!”

“Tidak semudah itu!” tiba-tiba sigadis bayangan menyahut getas.

Cian Hong kewalahan. Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Serunya: “jika  kau mau  memberitahukan  tempat Neraka-19-lapis  itu,  akan kupertimbangkan dua buah syarat yang kau ajukan tadi!”

“Oh, kau mau menikah dengan aku?” seru si-nona penuh harap. “Bukan ”

“Lalu. ” gadis bayangan itu terkejut.

“Aku akan berusaha untuk mencarikan kitab Pukulan Hitam bagimu!”

Rupanya nona bayangan itu merenung. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata: “Baik, tetapi setelah menyerahkan kitab itu barulah kuberitahukan tempatnya!”

“Tetapi sekarang kitab itu tak ada padaku!” “Kalau begitu tak usah kita bicarakan lagi.”

Kembali Cian Hong kecewa. Tetapi ia tak mau melepaskan kesempatan mencari tahu tempat beradanya sang ayah.

“Sekalipun sekarang tak ada, tetapi aku tentu dapat mencarikan kitab itu untukmu,” katanya sambil menghela napas.

“Andaikata kau tak berhasil mendapatkannya?”

Kata-kata itu amat menusuk hati Cian Hong. Namun tak dapat ia menyawab apa-apa.

“Janganlah kau menciptakan tipu muslihat,” seru sigadis bayangan pula.

Cian Hong berdiam beberapa saat. Tiba-tiba, ia tertawa rawan: “Aku minta tempo setahun untuk mencari kitab itu. Jika gagal, aku pasti akan kembali lagi kesini dan menikah dengan kau.” “Benarkah itu?”

“Tentu! Seorang laki-laki tentu akan memegang teguh perkataannya!”

“Kau tak menipu aku?”

Cian Hong tertawa getir, serunya: “Aku orang she Ko, tak nanti melanggar kepercayaan orang!”

“Baik!” seru sigadis bayangan dengan nada girang, “kau boleh pergi. Dalam waktu setahun jika kau tak dapat mencari kitab itu, kuharap kau segera kembali kemari.”

Cian Hong girang. Segera ia hendak berbangkit tetapi ah... kembali ia terduduk lagi. Sakitnya bukan kepalang.

Gadis bayangan itu tertawa mengikik: “Ih, tetapi tubuhmu telah terkena pukulan Bian-kut hong. Sekalipun kulepaskan, tetapi percuma saja kau.”

Cian Hong berseru dengan gugup: “Kalau berbuat baik, berbuatlah sampai akhir. Obatilah lukaku, kelak tentu kubalas semua budimu!”

Terbangkitlah pula kemarahan Cian Hong kepada sidara buta Giok-lo-sat yang telah menganiaya dirinya. Ia benci setengah mati kepada dara itu “Baik, pejamkan matamu!” beberapa saat kemudian gadis bayangan itu bersuara.

Cian Hong tertegun. Ia duga orang tentu hendak mencelakainya. Selagi ia meramkan mata, tentu akan dibunuhnya. Ia penasaran. Tetapi memikir lebih jauh lagi. Bukankah sejak ditangkap, ia selalu menjadi bulan-bulanan permainan orang? Jika gadis bayangan itu bermaksud membunuhnya, bukankah sejak tadi sudah akan melakukan?

Akhirnya iapun meramkan mata juga.... Sekonyong-konyong ia rasakan dua rangkum hawa dingin menyambar kedua lututnya, menyusup sampai ketulang.

Dingin sekali sehingga ia harus kerutkan gigi menahan. “Ah, mengapa aku tak membuka mata untuk melihat bagaimana perwujudan nona itu sebenarnya!” tiba-tiba ia mendapat pikiran.

Tetapi baru ia hendak melaksanakan angan-angannya tiba-tiba telinganya terngiang suara tajam: “Jangan sekali-kali membuka mata atau segera kuhancurkan batok kepalamu!”

Cian Hong mengkerat nyalinya. Segera ia batalkan niatnya membuka mata. Dan sebagai gantinya ia merintih-rintih kesakitan. Kedua tulang lututnya seperti ditusuk pedang sakitnya. Karena menahan sakit, dahinya sampai basah keringat.

Beberapa saat kemudian, rasa sakitpun hilang. Dan terdengar suara gadis itu memberi perintah: “Sudahlah, sekarang kau boleh buka mata!”

Cian Hong membuka mata. Ah, dihadapannya masih tertampak bayangan sutera putih. Cepat-cepat ia hendak loncat bangun ah....

ia jatuh lagi. Ternyata kedua kakinya masih lemah lunglai. Bukan kepalang marahnya kepada gadis bayangan yang disangka menipunya itu.

Diluar dugaan gadis bayangan itu tertawa ringan: “Aku toh belum menyuruh kau berdiri, mengapa kau lancang ”

“Bukankah kau mengatakan sudah selesai?” seru Cian Hong penasaran.

“Selesai memang sudah selesai, tetapi belum kusuruh kau berdiri.”

Cian Hong mendelu sekali.

“Makanlah sebutir pil yang berada dihadapan-mu itu,” seru sigadis pula. Cian Hong bersangsi sejenak. Rupanya gadis itu tahu apa yang dipikirkan.

“Jika aku mau membunuhmu, bukankah semudah membalikkan telapak tanganku?” seru sigadis.

Cian Hong segera menjemput pil itu terus ditelannya. Seketika dadanya panas, tubuh menggigil. Terkejutlah ia. Wajahnya pucat.

“Lekas kerahkan hawa-murni agar pil itu berkembang dayanya” pesan gadis bayangan.

Cian Hong melakukan apa yang diperintah gadis itu. Ia berhasil menyalurkan hawa panas kedalam jalur peredaran darahnya. Benarlah tak berselang berapa lama, hawa panas itupun hilang. Tetapi saat itu tubuhnya mandi keringat. Wajahnya berseri merah bagai mentari pagi.

Tiba-tiba gadis bayangan itu berseru: “Usahamu berhasil, sekarang cobalah kau berdiri!”

Cian Hong masih agak meragu. Tak berani ia buru-buru bangun. Kedua tangan ditekankan ketanah untuk mengangkat tubuhnya pelahan-lahan... Setelah dua kali percobaan itu memberi hasil barulah ia percaya dan berdiri.

Memberi hormat dengan menjurah kepada gadis bayangan itu ia menghaturkan terima kasihnya.

“Tak perlu berterima kasih padaku. Yang kuharapkan, setahun kemudian kau kembali dan menikah dengan aku!”

“Ini... tetapi aku tentu bisa mendapatkan kitab Pukulan Hitam” sahut Cian Hong.

“Ah... mungkin kau gagal!”

Cian Hong tertegun kemudian berseru lantang: “Tidak, tidak!

Aku tentu takkan ” Gadis bayangan menukasnya dengan tertawa melengking. Namun Cian Hong pantang putus asa, serunya: “Apabila setahun kemudian aku berhasil mendapatkan kitab itu, bagaimanakah caranya mengirimkan kemari?”

Gadis bayangan itu hentikan tertawanya: “Kirim saja kelembah Yu-leng-koh!”

“Yu leng-koh?” Cian Hong mengulang. Yu-leng-koh artinya lembah Sukma-gentayangan.

“Ya, tetapi harapanmu itu tipis sekali. Dan andai kata kau gagal mendapatkan kitab itu, kaupun harus datang kelembah Yu-leng- koh sini menemui aku!”

“Tetapi bagaimana aku mencari nona? Bagaimana aku harus menyebut nona?”

“Ah, tak usah!”

“Jika kau tak mau memberitahukan, kelak bagaimana aku dapat mencarimu?”

Gadis bayangan itu tundukkan kepala merenung. Tiba-tiba ia berkata: “Cari saja pada Yu-leng-li-kui.”

“Yu-leng-li-kui?” Cian Hong terbelalak. Kata-kata itu berarti setan perempuan lembah Yu-leng. Diam-diam Cian Hong menghafal nama itu. Hatinya serasa menggigil seram. Peristiwa aneh yang dialami saat itu, benar-benar mengherankan.

“Sudahlah, kau boleh tinggalkan tempat ini,” tiba-tiba gadis bayangan itu berseru.

“Pergi? Bagaimanakah caranya aku pergi?”

“Pejamkan matamu. Nanti kuantar kau keluar!” Cian Hong memandang gadis dalam sutera putih dengan rasa was-was. Ia masih belum percaya penuh bahwa gadis bayangan itu takkan mencelakainya. Tetapi jika tak menurut perintahnya, ia tentu tak mampu keluar dari lembah misterius itu. Tak ada lain pilihan lagi dan iapun segera pejamkan mata.

Sekonyong-konyong serangkum hawa dingin menyerang jalan darah dilambungnya.

“Celaka, aku termakan tipunya. Terang aku tentu mati. Yu-leng- li-kui keparat...” baru pikirannya merangsang begitu, sekonyong- konyong ia dilelap oleh kehampaan dan pingsanlah ia.

Entah berselang beberapa lama ia tak sadarkan diri itu, ketika membuka mata ia dapatkan dirinya berada disebuah hutan belantara. Angin dingin membuatnya tersadar. Cepat ia loncat bangun. Amboi.... apa yang disebut Neraka-lapis-pertama tadi hilang tak berbekas.

Omong kosong kalau orang menceritakan tentang setan. Dan apa yang disebut Neraka hanyalah khayalan belaka. Tetapi apa yang dialami Cian Hong selama hampir setengah hari tadi, benar-benar membuatnya tak habis memikirkan. Benar-benar ia tak dapat memecahkan apa yang sebenarnya dialaminya tadi.

Setan... Neraka.... Gadis dalam selubung sutera putih... ah, pusing benaknya memikirkan kesemuanya itu. Jelas ia menyerang gadis bayangan dalam selubung sutera tadi dengan ilmu Pukulan- hitam yang dahsyat, tetapi sedikitpun gadis itu tak terluka.

Apakah kesemuanya tadi benar-benar terjadi? Benar-benar suatu kenyataan tentang setan dan neraka.

Kalau demikian naga-naganya, apakah tadi ia berkelana ke Neraka? Tetapi bukankah ia seorang manusia, apakah badan wadag (kasar) dapat berjalan-jalan ke Neraka? Ah ”

Tiba-tiba sebuah jeritan minta tolong dari seorang anak perempuan memecahkan lamunannya: “Tolong... Tolong...! Tolonnnggg !”

Cian Hong seperti terpagut ular. Serentak ia loncat bangun dan setelah menentukan arah timbulnya jeritan, segera ia lari menghampiri. Dalam sekejab mata saja ia sudah mendekati tempat itu. Bagaikan seekor burung elang, ia melambung keudara dan menukik turun ketempat itu. Dan apa yang disaksikan disitu, benar- benar menghanguskan hatinya.

Seorang lelaki buas tengah meruda-paksa (memperkosa) seorang dara. Pakaian dara itu telah dirobeknya, hanya tinggal sehelai pakaian dalam yang tipis.

Lelaki buas itu macam singa kelaparan hendak menelan korbannya seekor anak domba. Cian Hong tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Ia ayunkan tangan kanan menghantam punggung silelaki buas. Rupanya karena tengah dihanyutkan oleh nafsunya yang berkobar-kobar, lelaki itu tak merasakan apa-apa lagi. Duk.... ia menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai beberapa meter jauhnya!

Sidara tersipu-sipu malu dalam keadaan begitu. Segera ia mengenakan pakaiannya. Dalam pada itu lelaki buas tadipun loncat bangun. Demi mengetahui yang mengganggu kesenangannya itu hanya seorang kacung kecil, marahnya bukan kepalang.

“Hai, siapa kau budak keparat? Kau berani mengganggu kesenangan tuanmu!” serunya bengis.

“Bajingan, kau hendak merusak kehormatan seorang gadis baik- baik, masih berani berlagak garang seperti tuan besar!” damprat Cian Hong,

“Siapa yang berani mempedulikan keinginan tuan besarmu? Anjing kecil, rupanya kau belum kenal siapa tuanmu ini maka kau berani mati!” “Aku tak peduli kau siapa. Bagiku kau adalah seorang bangsat perusak wanita!” seru Cian Hong.

“Heh, heh, kalau begitu kau memang minta mati!” lelaki itu tertawa mengekeh.

“Mati? Uh, tidak gampang, bung!” ejek Cian Hong. “Kau tahu siapa aku?”

“Kentut! Masakan aku sudi menyelidiki siapa rupamu baru aku berani bertindak!”

Lelaki itu menyeringai dan menghambur tertawa congkak. Saat itu dengan basah air mata, sidara menghampiri kesamping Cian Hong. Dengan nada rawan ia berkata: “Siang-keng (tuan penolong), terima kasih atas keberanianmu menolong seorang anak perempuan yang lemah. Tetapi harap siangkong lekas tinggalkan tempat ini saja!”

Cian Hong terkesiap, serunya: “Mengapa nona mengatakan begitu?”

Dara itu menangis sesenggukan. Bibirnya bergetar-getar hendak berkata tetapi tak jadi.

“Nona, apapun yang akan terjadi akulah yang akan melindungi dirimu. Harap kau jangan kuatir!” kata Cian Hong.

“Tetapi siangkong, dia...”

“Dia bagaimana?” tukas Cian Hong.

Wajah dara itu berobah pucat dan dengan nada gemetar berkata: “Dia adalah durjana yang termasyur suka menjagal manusia. Ilmu silatnya sakti sekali!”

Cian Hong hanya mendengus. Dipandangnya lelaki itu sejenak lalu berpaling pula kepada sidara: “Siapakah dia? Bagaimana keganasannya?” “Lak-khiu-sik-kui!”

“Lak-khiu-sik-kui?” Cian Hong mengulang.

“Ya, lebih baik siangkong pergi sajalah. Aku tak tega melihat siangkong menderita karena membela aku!” pinta sigadis itu pula.

Tiba-tiba Cian Hong mendorong gadis itu kesamping lalu melangkah kehadapan Lak-khiu-sik-kui atau Tangan-telengas- perusak-wanita. Cian Hong menengadah keatas dan menghambur tertawa panjang. Nadanya bagai gelombang guruh menggema diangkasa.

Sengaja ia mempertunjukkan agar dara itu jangan terlalu cemas dan agar lelaki itu tergetar nyalinya. Ia hendak menggertak supaya orang itu ngacir. Tetapi diluar dugaan ternyata Lak-khiu-sik-kui seorang durjana pemetik bunga (perusak wanita) yang sudah bangkotan. Selain berilmu silat tinggi dia juga mempunyai tulang punggung (backing) yang kuat.

Gertakan Cian Hong disambut dengan tertawa hina: “Anjing kecil, kematian sudah didepan mata mengapa kau masih tertawa- tawa?”

“Kutertawakan dirimu yang punya mata tetapi tak dapat melihat kedatangan Dewa Pencabut-nyawa!”

“Oho, kaukah dewa Pencabut-nyawa itu?”

“Apakah ada orang kedua yang kau lihat disini?”

“Kurang ajar, katakan namamu, Tuan besar Jui tak mau membunuh kawanan tikus budak yang tak bernama!” seru Lak- khiu-sik-kui.

Cian Hong panas benar mendengar kata-kata yang sombong itu. Segera ia melangkah maju: “Berdirilah yang tegak supaya jangan rubuh apabila kusebut namaku!” “Kentut!”

“Aku Ko Cian Hong.”

Sebagai mendengar ledakan halilintar berbunyi di tengah hari, maka pecahlah nyali Lak-khiu-sik-kui yang garang itu. Tiba-tiba ia loncat dan lari ngaprit. Tetapi Cian Hong yang sudah siap menjaga, sudah cepat loncat menghadangnya.

“Hm kau mau lari?” tegurnya.

Karena terdesak tiba-tiba Lak-khiu-sik-kui membentak: “Bangsat, kau berani memalsu nama orang.”

“Aku memang Ko Cian Hong!” Lak-khiu-sit kui pucat wajahnya.

“Kau, kau, kau... benar Ko Cian Hong yang membunuh Bu ceng- mo-ong dengan Pukulan Hitam tempo hari?” seru Lak-khiu-sik-kui.

“Siapa lagi kalau bukan aku!” sahut Cian Hong. Pucat lesi wajah Lak-khiu-sik-kui. Tubuhnya gemetaran, sampai beberapa saat ia tak dapat bicara.

Kebalikannya dara tadi berseri girang.

“Lak-khiu sik-kui, hari ini kau naas sekali!” seru Cian Hong.

Lak-khiu-sik-kui berusaha keras untuk menekan kegoncangan hatinya, serunya: “yang naas belum tentu aku...” tiba-tiba ia menyerang mencengkeram muka Cian Hong.

Serangan tak terduga-duga itu dilancarkan dengan seluruh tenaga. Pikirnya, sekali bergerak dapat menghancurkan anak muda itu lebih dulu. Cian Hong terkejut juga melihat kecepatan tangan orang. Tetapi untung ia tak gugup. Ia tendang perut orang.

Diluar dugaan, Lak-khiu-sik-kui nekat sekali. Dia tahu apa yang akan terjadi akibat tendangan Cian Hong, tetapi ia tetap kalap. Ia maju terus untuk melaksanakan cengkeramannya; Begitu hampir mendekati muka, tiba-tiba ia robah cengkeraman menjadi sebuah tinju yang dihantamkan kedada.

Cian Hong terkejut melihat kenekadan orang.

Cepat ia kerahkan tenaga-dalam kedadanya. Auh... terdengar jeritan ngeri dari mulut Lak-khiu-sik-kui, disusul dengan tubuhnya melayang sampai 6-7 tombak jauhnya...

Cian Hong juga tergetar dan terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Lak-khiu-sik-kui lebih parah lukanya namun dengan keraskan hati ia loncat bangun dan terus melarikan diri.

Cian Hong gemas sekali melihat keganasan orang. Sekali loncat ia menghadangnya lagi: “Mau lari kemana kau!”

Lak-khiu-sik-kui bagai rusa yang dikepung orang.

Ia nekad dan kalap menghantam penghadangnya. Cian Hong terpaksa menyisih kesamping. Kesempatan itu digunakan Lak-khiu- sik-kui untuk menyelinap lolos; Ia sudah tak mempunyai nyali berkelahi lagi.

Tetapi Cian Hong lebih gesit. Baru Lak khiu-sik-kui menyelinap kesamping, Cian Hong sudah loncat mencegat dimukanya. Sebuah pukulan yang keras dilontarkan, hek... Lak-khiu-sik kui menelan napas, matanya berkunang-kunang dan huak... ia muntah darah dan rubuh terkapar ditanah!

Cian Hong maju dua langkah. Tinju diangkat. “Siangkong, jangan bunuh dia!” tiba-tiba sidara berteriak mencegah.

Cian Hong tertegun. Dilihatnya dara itu gemetar ketakutan. “Mengapa kau mintakan ampun untuknya?” “Bukan!” seru sidara.

“Lalu mengapa kau cegah aku?”

Dara itu berlinang-linang airmata. Dua butir air-mata menetes dari kelopak matanya.

“Dia hendak merusak kehormatanku. Mengapa aku kasihan padanya? Tetapi setelah siangkong membunuhnya, akibatnya tentu hebat. Mungkin siangkong akan terancam bahaya kematian juga. Bagaimana ku rela kalau siangkong sampai menderita karenanya?” sahut sidara.

“Mengapa takut membunuh manusia ini? Bagaimana aku bisa terancam?” Cian Hong heran.

Dia sih tak perlu dikuatirkan. Tetapi gurunya adalah durjana nomor satu didunia!” seru sinona. “Siapakah gurunya?”

“Sik-long!”

“Sik-long?” Cian Hong mengulang kaget seraya memandang dara itu lekat-lekat. Sik-long artinya si Serigala-haus-wanita.

Dara itu tergetar menyurut dua langkah. Ia mengangguk. Sekonyong-konyong Cian Hong loncat ketempat Lak-khiu-sik-kui dan ayunkan tinjunya. Tubuhnya terlempar beberapa tombak jauhnya, terkapar mandi darah.

Sidara terlongong-longong pucat.

Rupanya Cian Hong masih belum puas. Dihampirinya Lak-khiu- sik-kui lagi dan dibentaknya: “Benarkah Sik-long itu gurumu?”

Lak-khiu-sik-kui mengira pemuda itu jeri terhadap gurunya. Maka dengan suara yang sengaja digarangkan ia berseru: “Benar, jika kau takut...” “Tutup mulutmu!” diluar dugaan Cian Hong membentaknya, “dimana gurumu sekarang ini?”

Terbang semangat Lak-khiu-sik-kui. Nyalinya pecah melihat kebengisan pemuda itu.

“Apa perlunya kau menanyakan guruku?” serunya gemetar. “Bilang dimana tempat tinggal Sik-long!”

Lak-khiu-sik-kui kerutkan gigi: “Aku tidak tahu!” “Ho, kau tak mau mengatakan?”

“Kau mau apa?”

Seketika merahlah mata Cian Hong. Ia kerahkan lwekang kelengannya kanan. Lengannya berobah hitam berkilat.

“Apakah kau benar-benar tak mau mengatakan? Jangan kau menyesal nanti!” serunya.

Serasa terhenti darah Lak-khiu sik-kui ketika melihat lengan sianak muda berobah hitam. Ia tahu apa artinya itu. Namun sebagai seorang benggolan ternama, ia tetap membandel.

“Sekali tak mau mengatakan tetap tak mengatakan!” serunya. “Kalau begitu kau memang ingin menikmati bagaimana rasanya

daging hangus!” serentak Cian Hong mencengkeram lengan Lak-

khiu-sik-kui.

“Auh. ” Lak-khiu-sik-kui menyerit. Tangannya serasa terbakar.

Dahinya penuh berhamburan keringat berbutir-butir. Kulit lengannya gosong.

“Ayo, mau bilang atau tidak?” hardik Cian Hong dengan bengis. Lak-khiu-sik-kui kertek gigi, berseru: “Bunuhlah aku!”

Cian Hong marah sekali. Ditambahinya pula saluran lwekang ketangannya Lak-khiu-sik-kui makin setengah mati. “Tidak mudah kalau hendak minta mati, bung. Ajo, katakan dimana Sik-long Tang-Bun-kui!” Cian Hong ulangi ancamannya pula.

Tiba-tiba Lak-khiu-sik-kui merentang mata. Ditatapnya wajah sidara dengan penuh dendam, serunya: “Siu-lan, jika aku sampai mati ditangan budak ini, kau harus ingat akan pembalasan suhuku nanti, heh, heh. ”

Dara itu ternyata Yap Siu-lan. Serta mendengar ancaman Lak- khiu-sik-kui, gemetarlah tubuhnya, wajah pucat lesi. Ia hendak berkata tetapi tak jadi karena tersela kucuran airmatanya...

Tiba-tiba Cian Hong berpaling: “Apakah nona hendak minta kulepaskan manusia ini karena takut akan pembalasannya?”

“Dia dan gurunya bersimaharaja. Ganas dan kejam sekali. Jika muridnya dibunuhnya, gurunya tentu akan ngamuk ”

“Apakah kalau dia dilepas, nona merasa aman?” tanya Cian Hong.

Dara itu terkesiap. Tak tahu ia hendak menjawab.

Kata Cian Hong pula: “Sebenarnya kalau melepaskan dia, berarti seperti melepas harimau kembali ke sarangnya. Akibat dibelakangnya hari jauh lebih ngeri. Harap nona jangan kuatir. Aku telah bertekad hendak melenyapkan kejahatan. Bukan melainkan dia saja, gurunya pun juga akan kubasmi!”

Tampaknya Siu-lan masih sangsi, masih takut pada pengaruh gerombolan Sik-long, serunya: “Bagaimana hendak mengurusnya, terserah pada tuan saja. Aku hanya menurut!”

Cian Hong mengangguk. Dibentaknya Lak-khiu-sik kui: “Kematian sudah didepan matamu, masih kau berani menggertak seorang dara. Sungguh tak malu. Jika kau tetap tak mau mengatakan tempat Sik-long, jangan tanya dosa lagi!” Rupanya Lak khiu-sik kui sudah bertekad mati. Dia tetap membisu.

Melihat itu marahlah Cian Hong. Segera ia kerahkan tenaga dalam Pukulan Hitam. Lak-khiu-sik kui menjerit ngeri. Tak tahan lagi ia akan siksaan yang dideritanya.

“Ya, ya.... aku mengatakan ”

“Hm, aku tak percaya kau bertulang besi!”

Cian Hong longgarkan tekanannya. Dan Lak-khiu-sit-kuipun menghela napas legah.

“Guruku berada dilembah Yu-leng koh!” ujarnya. “Yu-leng koh?” seru Cian Hong.

Lak-khiu-sik-kui mengiakan.

“Kau tak menipu aku!” Cian Hong menegas dan menatap dengan berapi-api hingga Lak-khiu sik kui mengkeret nyalinya. Diam-diam ia merancang dalam hati: “Satu-satunya pembalasanku hanya membohonginya....

“Masakan aku membohongimu!” serunya dengan berlaku setenang mungkin.

“Jika kau berani bohong, hm!” Cian Hong menggeram.

Diam-diam Lak-khiu-sik-kui memeras otak untuk mencari jalan mencelakai pemuda itu. Pikirnya: “Dihadapanku hanya jalan kematian. Aku harus berdaya untuk menembus jalan maut itu. Hm, mengapa tak kulancarkan asap San hun-hiang!”

Timbulnya rencana itu membangkitkan semangatnya. Sekonyong-konyong ia loncat bangun dan taburkan bubuk San- hun-hiang atau Dupa Polelap jiwa. Bubuk kecil-kecil sekali dan tak mengeluarkan bau apa-apa. Sukar dilihat dan dihindari. Tetapi demi lihat orang menamparknn tangan, Cian Hong marah sekali. Seketika ia lontarkan pukulan. Cahaya hitam berkilau dan terbanglah tubuh Lak-khiu-sik-kui beberapa tombak jauhnya.  Bum ia terhampar ditanah, kepala pecah benak berhamburan dan

melayanglah jiwanya.

Tetapi Cian Hongpun telah menyedot hamburan bubuk San hun- hiang, tetapi ia tak menyadari. Melihat Lak-khiu-sik-kui binasa, ia menghela napas longgar.

Sidara Siu-lan maju kehadapannya menghaturkan terima kasih. Cian Hong suruh nona itu jangan memakai banyak peradatan. Siu- lan tegak berdiri memandang wajah sipemuda sampai beberapa saat.

“Maaf, aku hendak melanyutkan perjalanan lagi,” tersipu-sipu Cian Hong minta diri. Segera ia berputar tubuh hendak berlalu.

Siu-lan menyadari kesalahannya. Rupanya pemuda itu jengah karena dipandangnya begitu lekat. Buru-buru ia berseru: “Tuan hendak kemana?”

“Aku hendak kelembah Yu-leng-kok mencari Sik-long!” “Mengapa?”

“Aku telah menerima permintaan seseorang untuk membunuhnya!”

“Tuan,” kata Siu-lan, “apakah tuan tak merasakan perobahan apa-apa pada tubuhmu?”

Cian Hong terkejut. Buru-buru ia kerahkan tenaga-dalam. Hai...

ketika menjalankan peredaran darah, dirasakannya tenaga- murninya membuyar kemana-mana. Tubuhnya serasa lemas sekali.

Cian Hong terkejut sekali, wajahnya berobah seketika: “Bagaimana nona mengetahui!” serunya heran. “Tuan terkena bubuk San-hun-hiang!”

“San-hun-hiang?” Cian Hong tergetar hatinya. Ia loncat ketempat Lak-khiu-sik-kui dan menggeledah tubuh orang itu. Tetapi dengan kecewa ia berbangkit lagi! Sebuah helaan napas panjang dihamburkan...

Tiba-tiba Siu-lan tertawa mengikik: “Ah, janganlah tuan menghela napas. Aku tahu cara mengobati bius San-hun-hiang itu!”

Girang Cian Hong bukan kepalang: “Bagaimana obatnya?”  “Asal makan Swat-lian-cu tentu hilang daya San-hun-hiang itu!” “Apa itu Swat-lian-cu? Dimana tumbuhnya?”

“Tanaman  Swat-lian-cu  tiap  10  tahun  berbunga  dan  10  tahun kemudian  berbuah.  Tumbuhnya  dipuncak  Pek-thau-nia  digunung Thian-san  yang tertutup salju. Jika memang ada rejeki tentu bisa mendapatkan bunga teratai salju itu!”

Cian Hong terkesiap.

“Gunung Pak-thian-san jauh sekali, tak kurang dari 3000 li jauhnya. Tentu memakan waktu lama sekali. Terang tak ada harapan karena saat ini juga tubuhku makin lemah lunglai. Ah, bagaimana ini?”

“Kau benar tuan,” seru sidara, “memang sukar melaksanakan hal itu!”

Dara itu termenung beberapa saat. Lama baru ia berkata pula: “Oh, aku teringat masih ada sebuah cara pertolongan lagi!”

“Katakanlah!” seru Cian Hong tegang.

Dipandangnya nona itu dengan pandang penuh harap.

Tertumbuknya sang mata kepada wajah sidara yang bersemu merah kesipu-sipuan itu, menimbulkan kesan yang sedap. Seketika memancarlah darah Cian Hong lebih keras, menyesakkan dada dan meremas-remas seluruh tubuhnya.

Ia melangkah maju setindak lagi, serunya: “Harap nona mengatakan!”

Siu-lan mengangkat kepalanya. Ketika pandangannya tertumbuk akan tatapan Cian Hong, kembali dara itu tersipu-sipu menunduk lagi. Kata-kata yang sudah siap diluncurkan terpaksa ditelannya kembali.

“Nona, bagaimanakah caranya mengobati?” Cian Hong makin tegang.

Siu-lan memberanikan diri berkata: “Jika kukatakan, apakah tuan takkan menertawakan?”

“Silahkan mengatakan, masakan kutertawai?”

“Caranya...” baru sidara mengucap sepatah kata, selembar mukanya merah kemalu-maluan.

Cian Hong makin tak mengerti. “Silahkan mengatakan!” Didesak terus, Siu-lan mengeraskan hatinya: “Bubuk San-hun-

hiang membuyarkan pemusatan hawa Im dan Yang dipusar perut.

Untuk menyatukan hawa Im dan Yang itu, ada dua cara. Makan teratai salju Swat-lian cu atau terangkapnya hawa laki dan perempuan...” wajah Siu-lan merah membara.

Cian Hong segera tahu apa yang dimaksudkan. Iapun tersipu- sipu merah wajahnya, serunya: “Ini, bagaimana mungkin ”

Tetapi sekalipun mulutnya menolak, namun kakinya melangkah maju dua tindak lagi dan tiba-tiba ia mencekal tangan sidara: “Siu- lan, Siu-lan ” berbisik dengan terengah tegang. Bukan main kejut Siu-lan. Ia ketakutan melihat pancaran mata sipemuda yang berapi-api. Segera ia meronta dan menyurut mundur dua langkah: “Tu.... tuan.... jangan ”

Tetapi Cian Hong saat itu sudah dikuasai oleh pengaruh San- hun-hiang. Tubuhnya seperti dibakar, darahnya mencar deras. Dipeluknya pula Siu-lan erat-erat. Siu-lan meronta sekuat-kuatnya, namun sia-sia. Kedua lengan Cian Hong yang kuat laksana terkaman harimau. Siu-lan menangis....

Sekonyong-konyong terdengar suara bentak menggeledek dibarengi dengan setiup angin dahsyat. Cian Hong dan Siu-lan mencelat beberapa tombak jauhnya....

Cian Hong lepaskan pelukannya. Cepat ia loncat bangun. Tetapi sebelum kakinya berdiri tegak ditanah, sebuah angin prahara yang hebat melandanya pula. Cian Hong menyongsong dengan pukulan, tetapi amboi.... segera ia tercekat. Ia menyadari bahwa tenaga- murni sudah lenyap.

Hek.... ia terhuyung-huyung kebelakang sampai 7-8 langkah. Pucatlah wajah Cian Hong. Memandang kemuka, dilihatnya seorang pemuda baju biru muncul dihadapannya. Pemuda itu tengah mengangkat tangannya lagi. Dari pancaran matanya yang berapi- api, pemuda itu seolah-olah memandang Cian Hong sebagai seorang musuh besar. Dan pukulan yang dilontarkan itupun bukan main ganasnya. Cian Hong serasa terbang semangatnya. Ia sudah putus asa....

Dalam saat-saat seperti telur diujung tanduk itu sekonyong- konyong Sui-lan loncat ketengah dan menangkis pukulan pemuda pendatang itu. Sui-lan terhuyung-huyung kebelakang. Tetapi ia dapat menyelamatkan Cian Hong.

Rupanya pemuda baju biru masih penasaran sekali. Ia mengangkat tinjunya kanan dan dihantamkan kedada Cian Hong. “Tio In, berhenti!” Sui-lan membentak.

Pemuda baju biru gemetar tubuhnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan loncat mundur.

“Bagus benar perbuatanmu, Sui-lan!” serunya dengan marah. Ucapan tajam dari pemuda itu laksana sembilu menyayat hati

Cian Hong. Nafsunya yang berkobar-kobar tadi pun reda seketika.

Dengan bercucuran air mata, Sui-lan berseru: “Tio In, kau tak seharusnya menuduh aku sehina itu! Kau salah faham ”

“Salah faham? Hm, aku masih percaya penuh pada kedua mataku!”

“Tak nyana kau ”

“Akupun lebih-lebih tak nyana kau bakal melakukan perbuatan sehina itu,” tukas sipemuda dengan sinis.

“Tio In, kau harus percaya padaku,” seru Siu lan setengah meratap.

“Perempuan busuk, jangan panggil namaku lagi,” bentak pemuda yang disebut Tio In.

“Ah, Tio In. Seharusnya kau teringat betapa besar kasihku kepadamu. Aku takkan menghianati cintaku kepadamu. Tak nanti hatiku berobah. Apalagi kita kan sudah bertunangan ”

“Jangan bermadu dimulut, jangan coba merayu aku lagi. Aku sudah mengetahui perbuatanmu yang binal” bentak Tio In.

Dua butir airmata bercucuran disela pelupuk Siu-lan. Serunya dengan penuh kemesraan: “Tio In, aku adalah bakal isterimu. !”

“Bakal isteriku? Ha, ha, ha, ha.... Jangan melamun kau... ha, ha...

ha, ha...” “Tio In ” Tiba-tiba dahi pemuda itu mengerut bengis, serunya: “Akan kuputuskan tali pertunangan kita!” “Memutuskan tali pertunangan?”

“Ya, sejak saat ini janganlah kau mengaku diriku sebagai calon suamimu. Terhadap perempuan hina semacam kau, tak nanti aku sudi memperisteri lagi!”

Siu-lan menjerit. Airmatanya membanjir. Kata tunangannya itu merupakan halilintar menyambar di tengah hari. Bluk, seketika terjatuhlah ia duduk ditanah...

Melihat kejadian itu, segera Cian Hong melangkah kehadapan pemuda baju biru, serunya: “Saudara salah faham,” ujarnya.

Melihat Cian Hong, kebencian pemuda baju biru berkobar.

Wajahnya mengerut bengis, nafsu membunuh menyala keras.

“Tutup mulutmu, anjing!” bentaknya dengan marah.

Cian Hong menerima hinaan itu dengan sabar, ujarnya pula: “Kuharap jangan saudara hanya menuruti kepanasan hati saja karena hal itu akan membawa kemenyesalan dibelakang hari!”

“Ha, bangsat hina. Kau masih berani memberi penyelasan kepadaku? Benar-benar tak punya muka!”

“Harap saudara bicara yang sopan sedikit,” Cian Hong tahankan kesabarannya.

“Huh, perlu apa aku harus pakai kesopanan terhadap binatang seperti kalian...”

Hampir meledaklah dada Cian Hong karena tak kuat lagi menahan kemarahannya. Namun ia berusaha keras untuk menekannya.

“Mungkin kau akan menyesal nanti,” katanya dengan sabar. “Kentut, menyesal atau tidak, apa pedulimu!” “Aku berkata dengan itikad baik,” kata Cian Hong.

“Itikad baik? Cis, ucapan seorang bangsat beritikad baik? Ha, ha... pecahlah tertawa pemuda baju biru itu. Tertawa yang penuh mengandung kemarahan dan kemuakan.

“Kalau kau bertingkah berandalan, terpaksa akan kuhajar mulutmu!” akhirnya Cian Hong tak kuat lagi menahan kemarahannya.

“Aku tetap akan tertawa terus karena akan kucabut nyawamu!” seru sipemuda.

Setelah puas menghamburkan tertawa tiba-tiba pemuda baju biru itu ayunkan tinjunya kanan menampar Cian Hong.

Rasa mara marah telah menggelorakan darah Cian Hong. Tanpa disadari, racun San-hun-hiang tertindas.

Segera ia angkat tangan kiri balas menyongsong.

Seketika amblaslah angin pukulannya kental dan bahkan dirinya disambar oleh satu aliran tenaga yang hebat sekali. Pemuda baju biru itupun tak kuat mempertahankan kedudukannya. Ia terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang....

Termangu-mangu pemuda baju biru memandang lawannya. Tak habis herannya ia memandang Cian Hong. “Ah, bukankah itu tadi dapat kupukul mencelat. Mengapa tiba-tiba ia mempunyai tenaga pukulan yang sedemikian saktinya? Heran benar. ” pikirnya.

Tetapi ia masih penasaran. Serentak ia memukul lagi dengan kedua tangannya. Cian Hongpun menangkis.

Krakkk terdengar jeritan ngeri dari mulut sipemuda baju biru

dibarengi dengan rubuhnya sang tubuh ketanah. Cian Hong loncat menghampiri hendak menyusuli pukulan lagi. Tetapi secepat itu Siu lan menghadangnya: “Harap tuan memberi ampun!”

Cian Hong tertegun. Ketika berpaling memandang sidara, hatinya kembali bergolak. Buru-buru ia tundukkan kepala, dan berlalu.

Siu-lan mengangkat pemuda baju biru, tegurnya mesra: “Tio In, apakah kau terluka berat?”

Plak, sekonyong-konyong Tio In menampar kepala Siu-lan: “Perempuan hina, enyah! Jangan sentuh aku!”

“Ah, janganlah kau begitu keras!”

“Kaulah yang menghianati aku dulu. Sekarang ikatan kita sudah bebas. Silahkan kau berfoya-foya dengan jantung hatimu sibajul tadi, ha, ha, ha...”

Mendapat hinaan terus menerus dari kekasihnya, akhirnya berserulah Siu-lan dengan geram: “Si Tio In, aku dapat membencimu seumur hidup!”

“Membenci aku? Sudah tentulah, karena aku dapat mengganggu kesenanganmu!”

“Jangan menghina aku begitu rupa!” “Kalau menghina kau mau apa?”

“Baik, ingatlah. Aku dapat membalas dendam padamu.”

“Aku siap menunggu pembalasanmu, perempuan hina!” habis berkata pemuda baju biru itupun segera melangkah pergi dengan tindakan berat.

Cian Hong menghampirinya dan berseru: “Apakah saudara benar-benar tak mempercayai omonganku?” “Didunia tiada terdapat lelaki yang mau mengaku mempermainkan wanita!” sahut Tio In.

“Kau kelewat menghina orang!”

“Perbuatanmu lebih hina dari hinaanku,” sahut Tio In.

Gemetar tubuh Cian Hong mendengar kata-kata yang menusuk itu. Segera ia mengangkat tinjunya hendak menghajar pemuda itu. Tetapi kembali Siu-lan mencekal lengannya: “Tuan, maafkanlah kekhilafannya!”

Cian Hong menghela napas panjang untuk melonggarkan kesesakan dadanya.

Pemuda baju biru itu menggerenyutkan geraham berseru geram: “Pada suatu hari aku tentu membasmi kalian!” Sekali ayunkan tubuh ia loncat menghilang.

Cian Hong masih termangu-mangu. Hatinya penuh keresahan. Siu-lanpun tak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu malampun makin dingin.

“Karena menolong diriku, tuan sampai mengalami cerca hinaan orang. Aku sungguh menyesal sekali,” kata Siu-lan sesaat kemudian.

Cian Hong memandangnya. Tak tahu ia bagaimana hendak menjawab. Kata Siu-lan pula dengan rawan: “Dan tuanpun terkena racun San-hun-hiang. Kecuali dengan buah teratai salju, sukar ditolong. Akulah yang menyebabkan penderitaan tuan...”

“Tak usah nona memikirkan hal itu. Mati hidup ditangan Yang Kuasa!” Cian Hong menghiburnya.

“Tetapi....” airmata Siu lan membanjir sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Beberapa saat Cian Hong tak dapat berkata apa-apa. Akhirnya ia dapat juga mengucapkan beberapa patah kata agar nona itu jangan bersedih.

“Ah, walaupun kehormatanku tercemar, tak jadi soal. Tetapi nama tuan terhina, aku lebih baik mati saja!” tiba-tiba Siu lan benturkan kepalanya kebatang pohon dibelakangnya.

Cian Hong kaget dan cepat menyambar tubuh nona itu: “Dengan bunuh diri, bukankah nona tak mempunyai kesempatan untuk membersihkan diri lagi?”

“Kehormatanku tak penting,” kata Siu-lan. Yang kusesalkan ialah tak dapat mengobati racun dalam tubuh tuan itu!”

“Hal itu tak perlu nona resahkan...”

“Ah, apakah tuan sungguh mencegah aku bunuh diri?” “Apakah nona tak percaya padaku?”

“Bukan begitu maksudku.” “Lain...”

“Kalau tuan memang bersungguh-sungguh, maukah tuan meluluskan sebuah permintaanku?”

“Apa?”

“Harap meluluskan dulu, baru kukatakan.”

Cian Hong terkesiap: “Asal beralasan, tentu kululuskan.”

“Kalau begitu harap tuan jangan memaki aku tak punya malu!” “Tentulah, masakan aku berani memaki nona.”

Selembar wajah Siu-lan merah. Sekonyong-konyong ia menutuk jalan darah Oh-hiat (pembisu) dipinggan Cian Hong. Karena tak menduga dan jaraknya dekat sekali, rubuhlah Cian Hong. Diam- diam ia memaki nona itu. Karena tak dapat bicara, ia melampiaskan kamarahannya dengan pandangan mata. Dipandangnya nona itu dengan penuh kebencian.

“Harap maafkan tuan. Aku terpaksa melakukan hal ini,” kata Siu- lan dengan penuh maaf.

Cian Hong yang tak dapat berkata apa-apa hanya dapat memaki dalam hati: “Huh, perempuan hina yang tak tahu membalas budi!”

Kata Siu-lan dengan nada rawan pula: “Tunanganku telah mendepak aku karena salah faham. Dan kehormatankupun telah tercemar. Untuk apakah aku harus hidup didunia lagi? Tetapi sebelum aku mati, aku rela menyerahkan diriku kepadamu agar dapat menghilangkan racun dalam tubuhmu. Aku hendak membalas budi tuan.”

“Tidak, tidak, tidak, jangan begitu, jangan begitu, Tak boleh nona berbuat begitu...” Cian Hong menjerit dalam hati.

Siu lan kerutkan kening demi melihat kerenyut muka Cian Hong menampilkan kemarahan. “Jangan tuan menganggap diriku sebagai perempuan hina tak tahu malu. Aku melakukan hal ini karena terpaksa!” katanya.

Tanpa ragu-ragu lagi Siu-lan terus melolos pakaiannya. Cian Hong menjerit dalam hati: “Jangan, jangan lakukan hal itu!”

Tetapi Siu-lan sudah maju menghampiri. Darah Cian Hong mendebur keras sekali. Buru-buru ia pejamkan kedua matanya...

Siu-lan tak peduli lagi. Demi untuk menolong jiwa orang yang pernah menyelamatkan kehormatan, ia tak malu lagi untuk memberikan kesuciannya. Pada saat ia hendak menanggalkan kain penutup tubuhnya yang terakhir, sekonyong-konyong setiup tenaga kuat mendampar dan mementalkan nona itu sampai 4-5 tombak.

Siu-lan menjerit ngeri. Dengan cepat ia loncat bangun. Tetapi demi mengetahui siapa pendatang itu, ia segera lari sekencang- kencangnya. Cian Hong membuka mata. Dilihatnya bayangan nona itu lari kemati-matian. Sebagai gantinya tampak seorang lelaki tua bertubuh kurus kering tegak berdiri disebelah timur. Rupanya orang tua itu tengah mengawasi mayat Lak-khiu sik-kui.

Tahulah Cian Hong bahwa Siu-lan tentu dikejutkan oleh munculnya orang tua kurus itu.

Berselang beberapa saat kemudian, orang tua kurus itu berputar tubuh. Dipandangnya Cian Hong dengan tajam. Kemudian orangtua itu mengangkat tangannya kanan. Dengan sebuah jari ia bergerak- gerak membuka jalan darah Cian Hong yang tertutuk.

Cian Hong loncat bangun dan menghaturkan terima kasih: “Terima kasih atas pertolongan paman....” ia tak lanjutkan kata- katanya karena terkesiap melihat orangtua kurus itu memandangnya dengan berapi-api.

“Siapakah yang membunuh orang itu?” seru orangtua dalam nada dingin.

Cian Hong tahu yang dimaksud ialah Lak-khiu sik-kui, jawabnya: “Aku!”

“Mengapa kau membunuhnya?” tegur orang tua itu masih dengan pandangan mata yang berkilat-kilat tajam.

“Dia gemar merusak kehormatan wanita, membunuh dan membakar rumah penduduk. Terpaksa kubunuhnya,” jawab Cian Hong.

“Tahukah kau siapa dia?”

“Tahu. Dia adalah Lak-khiu-sik-kui Jui Liat!” “Tahukah kau siapa gurunya?”

“Apakah bukan Sik-long Tang-bun-kui?” “Sudah tahu gurunya mengapa kau berani membunuhnya?” “Sik-long juga seorang durjana yang gemar merusak kaum wanita, membunuh dan. merampok. Dia pun harus dibasmi!” sahut Cian Hong.

“Kau kenal Sik long?” tanya orangtua kurus. “Tidak!”

“Akulah Tang-bun-kui,” diluar dugaan orangtua kurus itu berkata, “bujang, kau bermata tetapi tak dapat melihat gunung Thay san. Karena berani membunuh muridku, maka kematianmu sudah pasti hari ini!”

Cian Hong terkejut, serunya: “Tang-bun kui, aku justeru hendak membunuhmu!”. Ucapan itu ditutup dengan menghantamkan kedua tangannya kedada Tan bun-kui Sik-long.

Hanya sekali bergerak, Sik-long sudah menghindari serangan Cian Hong dan secepat itu pula mengirimkan pukulan balasan sebanyak 3 kali.

Cian Hong terpesona melihat ketangkasan orang. Terpaksa ia mundur 3 tombak. Setelah mengerahkan seluruh tenaganya, segera ia berseru: “Tang-bun-kui, terimalah pukulan Hitam ini!”

Secercah sinar hitam berkelebat menyambar Sik-long. Bukan kepalang kejut Sik long. Nyalinya pecah.

Kesan kegagahan Malaekat-elmaut berpuluh-puluh tahun yang lalu masih tetap menggetarkan hatinya. Belum sempat Sik long memikirkan bagaimana harus menghadapi, tiba-tiba sinar hitam itu sudah melandanya. Terdengar jeritan ngeri dan rubuhlah tubuh Sik long....

Cian Hong menghampiri. Melihat Sik-long binasa, Cian Hong menghembuskan napas longgar.

Saat itu matahari magrib memancarkan sinar keemasan. Diufuk barat bagaikan tersembur jalur-jalur emas. Tiba-tiba ia terkejut sekali. Di kucak-kucaknya sang mata bebarapa kali. Tetapi mengawasi lagi dengan seksama ternyata memang sungguh-sungguh. Tubuhnya menggigil, wajahnya berobah seketika....

ooOOoo

“Apakah ini bukan impian?” serunya seorang diri. Namun jelas bahwa jauh disebelah muka terkilas sebidang tanah kuburan yang luas. Dari puncak makam memancar gumpal-gumpal sinar kehijau- hijauan macam phosporus.

Yang mengherankan bukanlah karena kuburan itu memancar sinar hijau, tetapi karena sinar hijau itu berbeda dengan warna hijau yang kebanyakan. Mirip dengan gulung-gulung roda api. Diam-diam dihitunglah roda api itu. Ternyata tak kurang dari 9 gunung jumlahnya.

Malam makin pekat. Beberapa saat kemudian roda roda api itupun lenyap.

“Mungkin ini tipu muslihat penjahat-penjahat persilatan untuk menakut-nakuti orang,” pikir Cian Hong, “tetapi aku sudah menguasai ilmu Pukulan Hitam, lebih baik aku pulang menjumpai ibu.”

Memang bagi Cian Hong yang pertama-tama harus dikerjakan ialah menemui mamahnya. Banyak hal yang perlu ia tanyakan pada Kang-ou-bi-jin. Mengapa ayahnya, Cian bin-su-seng, dipenjarakan sampai  belasan  tahun  di  Neraka-19-lapis?  Dan  mengapa  wajah ibunya  yang  cantik  menjadi  rusak  tak  keruan?  Siapakah  yang merusakkannya... Persoalan aneh itu memenuhi ruang benaknya. Rasa ingin tahu mendorong kakinya berlari secepat angin. Ia berputar tubuh terus meloncat. Tetapi pada waktu ia berloncat-loncatan, ia melirik pula ketanah kuburan dan mendeburlah darahnya dengan keras. Rasa kejutnya melayangkan tubuhnya loncat kedalam sebuah gerumbul semak...

Hati Cian Hong mendebur keras. Walaupun malam gelap namun samar-samar ia dapat melihat munculnya 3 sosok bayangan dari kuburan tadi. Gerakan ketiga orang itu gesit sekali. Dalam beberapa kejap mereka lewat ditempat persembunyiannya.

Amboi... diantara ketiga orang itu ternyata terdapat Kang-ou-bi- jin, ibunya sendiri! Sekalipun karena gelap ia tak berani memastikan wanita itu ibunya sendiri, tetapi dari gerak cara wanita itu berloncatan, ia tak asing lagi.

Kedua kawan wanita itu, yang satu seorang lelaki tinggi besar dan yang seorang bertubuh kekar gagah. Punggungnya menyanggul pedang. Dari gerak geriknya jelas mereka itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

Ketiga orang itu menghampiri ketempat kuburan yang mengeluarkan asap hijau tadi dan berhenti disitu.

Karena jaraknya jauh, Cian Hong tak dapat mendengar jelas apa yang dibicarakan mereka. Hanya yang dilihatnya, Kang-ou-bi-jin menunjuk makam itu dan mengucap beberapa patah kata.

“Mengapa mamah datang kemari?” demikian Cian Hong bertanya dalam hati.

Dan kedua orang lelaki itu tampaknya tunduk sekali kepada Kang-ou-bi-jin. Siapakah gerangan kedua lelaki gagah itu? Demikian Cian Hong tak habis mengerti. “Sejak mengasingkan diri digubuk terpencil, mamah jarang sekali menampakkan diri. Kecuali tempo hari kedatangan Uh-hoa- kiam, tiada lagi orang persilatan yang mengunjunginya!” Cian Hong masih terus melamun. Namun ia makin bingung. Dipandangnya lagi wanita itu dengan saksama, ah, benarlah. Itulah mamahnya Kang-ou-bi-jin.

Tampak lelaki bersanggul pedang itu menganggukkan kepala, mengiakan kata-kata Kang-ou-bi-jin. Kuburan yang dihadapi ketiga orang itu merupakan sebuah makam besar yang indah bangunannya. Sekelilingnya penuh dengan patung-patung dan pohon-pohon.

Sekonyong-konyong salah seorang pengawal Kang-ou-bi jin maju menghampiri sebuah patung dan menghantamnya. Bum... patung itupun rubuh.

Cian Hong heran, pikirnya: “Menilik kerasnya pukulan orang itu tetapi patung hanya rubuh dan tidak hancur, terang kalau patung itu tentu terbuat dari batu istimewa!”

Lelaki itu melambaikan tangan kepada Kang-ou-bi-jin dan lelaki yang satunya. Keduanya segera loncat menghampiri ternyata bekas tempat patung itu sebuah lubang rahasia yang cukup besar dimasuki orang.

Jelas bahwa kuburan itu bukan kuburan biasa. “Apakah kuburan itu mempunyai ruang dibawah tanah? Kalau tidak mengapa patung itu merupakan penutup sebuah terowongan? Kalau begitu kuburan itu. ,” ia bergidik, “dihuni orang?”

Walaupun hanya lamunan tetapi beralasan juga. Hanya yang tak masuk akal, masakan didalam kuburan dihuni orang!

Dilihatnya ketiga orang itu agak bersangsi tetapi akhirnya wanita yang diduga Kang-ou-bi-jin itupun segera menerobos kedalam liang terowongan. Sejenak tertegun, kedua lelaki itupun ikut masuk. Setelah mereka bilang, barulah Cian Hong loncat keluar. Sekonyong-konyong arca yang rubuh tadi berbangkit lagi ketempatnya sehingga lubang tertutup pula.

Kini perhatian Cian Hong tertarik akan kejadian-kejadian yang mengherankan dikuburan itu. Dan ia hendak mengetahui apakah wanita tadi benar ibunya atau bukan.

Cepat ia lari menghampiri patung. Malam pekat, tiada rembulan dan bintang. Hanya kesiur angin malam yang menambah kesunyian dan keseraman tempat pekuburan. Dengan memberanikan diri Cian Hong merabah batu nisan kuburan, ihhh... buru-buru ia tarik kembali tangannya, Batu nisan dingin sekali. Sedemikian dingin hingga tubuhnya menggigil.

Diawasinya batu nisan itu. Disitu tertulis beberapa patah huruf yang berbunyi: “Banyak manusia tetapi jarang yang tahu diri. Didunia persilatan hanya aku yang menjagoi.”

“Congkak benar!” diam-diam Cian Hong memaki dalam hati. Timbul seketika keberatannya: “Siapakah yang membangun kuburan besar ini? Dan siapakah yang menghuni dalam kuburan ini?”

Pertanyaan itu tak dapat dijawabnya. Kembali ia teringat akan ketiga orang yang masuk kedalam terowongan tadi. Diantaranya yang wanita mirip benar dengan ibunya.

“Baik kutunggu mereka keluar atau ikut masuk saja?” pikirnya. Rasa ingin tahu rupanya lebih menguasai pikirannya. “Mengapa aku tak masuk saja? Mungkin aku dapat menambah pengalaman!”

Dengan keputusan itu segera ia melangkah ketempat arca tadi. Dengan sekuat tenaga ia menampar arca itu. Ia yakin arca itu tentu rubuh. Tetapi apa yang didapatinya, benar-benar membuatnya melongo. Bukan saja arca itu tak rubuh, tetapi sedikitpun tak bergoyang sama sekali. Aneh, benar-benar aneh sekali. Bukankah tadi silelaki bersanggul pedang dapat menghantam rubuh arca itu? Ia yakin tenaga pukulannya tentu lebih kuat dari pukulan lelaki itu. Tetapi mengapa arca tak bergeming sama sekali?

Ia penasaran. Sebuah pukulan dilancarksn lagi. Tetapi ah....

hasilnya tetap nihil. Sedikitpun arca itu tak bergeming.

Cian Hong tertegun. Terlintas sesuatu dalam benaknya. Ia menghampiri lain arca dan menamparnya.

Ah... patung itupun rubuh dan terbukalah sebuah liang terowongan!

Tampak oleh Cian Hong bahwa lubang itu gelap sekali. Samar- samar seperti terdapat tangga menurun. Tetapi tak dapat dilihat berapa dalam dasarnya.

Cian   Hong   meragu   sebentar,   kemudian  ia   tetap   menuruni tangga. Sampai pada anak tangga yang ke 17, sampailah ia ditempat yang terang. Disebelah muka terbentang sebuah lorong. Setelah ia menyusur  lorong  kembali  ia  tiba  ditempat  gelap  lagi.  Dengan mengandalkan ketajaman matanya dapatlah Cian Hong mengetahui bahwa kini ia terhadang oleh sebuah pintu besi. Sekeliling tempat terasa dingin sekali.

Cian Hong merabah pintu besi. Tiba-tiba didengarnya suara pembicaraan orang. Dari nadanya mereka itu terdiri dari tiga orang. Cian Hong pasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Bengcu, benarkah setan tua itu berada dalam kuburan ini?” terdengar sebuah suara nyaring.

Cian Hong menduga bahwa yang menyebut ‘beng-cu’ (ketua), tentu salah satu dari kedua orang lelaki. Tetapi siapakah yang dipanggil sebagai bengcu itu?

Mereka hanya 3 orang. Apakah yang disebut bengcu itu bukan wanita yang mirip ibuku tadi?” demikian Cian Hong menimang- nimang dalam hati.

Dan ternyata dugaannya itu memang benar. “Toan Bok co, perhitungan thay-siang tentu tak salah,” sahut yang dipanggil bengcu.

Mendengar nada suara orang itu, gemetarlah Cian Hong. Jelas, itulah suara ibunya. Didunia memang bisa terdapat orang-orang yang serupa wajahnya, tetapi tak nanti ada yang kembar nada suaranya. Ya, tidak mungkin!

Kata-kata 'bengcu, ’thaysiang' dan ’Toan Bok-co' itu asing bagi telinga Cian Hong. Sejauh ingatannya, belum pernah ia tahu ibunya mempunyai hubungan dengan orang luar. Terutama dengan orang- orang yang mempunyai nama begitu.

Cian Hong seperti dalam kabut kegelapan!

Kata orang yang disebut Toan Bok-co: “Memang dugaan thay siang tak salah. Tetapi kitapun telah menyelidiki segenap ujung dan seluruh sudut kuburan ini. Kecuali hanya gunduk-gunduk tanah yang seram, tak ada barang sesosok bayangan manusiapun juga. Inilah yang membuat kita ragu-ragu!”

Wanita yang dipanggil bengcu itu tertawa dingin: “Kau kira kita sudah menjelajahi seluruh sudut kuburan besar ini? Ketahuilah bahwa setan itu seorang sakti yang luar biasa. Baik kepandaian silat maupun kecerdasannya hebat sekali. Turut pendapatku, kita baru seperseratus bagian menjelajahi kuburan ini!”

Mendengar itu lelaki yang satunya berkata;”Kalau begitu, betapakah besarnya bangunan makam ini!” Wanita itu berseru : “Toan Bok-co, kata-katamu ’betapakah besarnya bangunan ini’ masih belum cukup untuk menggambarkan luas kuburan ini yang sesungguhnya!”

“Benarkah begitu?” Toan Bok-co terkejut.

“Kau anggap bagaimana nilainya Swat-kong itu?” wanita yang disebut bengcu balas bertanya.

Jawab Toan Bok-co : “Swat-kong hanya sebuah benda yang terdapat dalam dongeng. Konon benda itulah yang menciptakan Pulau Es dikutub utara. Untuk mengambil segumpal kecil dari benda itu, sukar-sukarnya bukan main!”

Swat-kong artinya baja salju. Toan Bok copun menambahkan : “Kabarnya Swat-kong masih mempunyai lain khasiat lagi. Dapat menghisap segala macam racun yang menyerang tubuh manusia!”

“Bagaimana kalau Swat-kong yang berumur ribuan tahun?” tanya bengcu wanita.

“Lebih-lebih benda semacam itu, sukarnya bukan buatan. Jika bisa mendapat sekeping saja, dipakai sebagai alas tidur akan dapat membantu peredaran darah orang. Dapat pula digunakan untuk mengebali berbagai jenis penyakit, menambah panjang umur. Bagi kaum persilatan benda itu dapat menambah tenaga-dalam dan luar!”

Mendengar pembicaraan itu, Cian Hong tercengang. Ia tak mengira bahwa didunia terdapat benda yang sedemikian hebat khasiatnya. Tetapi yang menjadi pemikirannya, siapakah Wanita yang dipanggil sebagai bengcu itu? Mengapa ia menanyakan hal itu?”

Terdengar wanita itu berkata pula: “Jika kukatakan bahwa arca- arca yang dipasang disekeliling makam itu terbuat dari Swat-kong, apakah kalian percaya?” Sampai beberapa saat tak terdengar jawaban. Akhirnya barulah Toan-bok-co yang berkata: “Ah, tidak mungkin!”

“Tetapi memang benar Swat-kong!” kata beng-cu dengan tandas, “bahkan yang mungkin kalian tak menduga ialah bahwa arca itu bukan saja terbuat dari pada Swat-kong seribu tahun, pun bahkan Swat-kong dari puluhan ribu tahun usianya!”

“Ribuan tahun?”

Bengcu tertawa: “Batu nisan makam ini, terbuat daripada Swat- kong puluhan ribu tahun!”

Cian Hong tertegun. Kini ia baru menyadari: “Ah, makanya batu nisan itu dingin seperti es!”

“Hebat!” teriak Toan Bok-co, “bangunan makam ini benar-benar luar  biasa  hebatnya.  Tetapi  setan  tua  itu  sudah  20-an  tahun mengundurkan  diri  dari  dunia  persilatan.  Masakan  dia  masih hidup.”

“Mungkin juga,” kata bengcu, “tetapi yang penting ialah kitabnya. Jika kitab itu tak dapat kita rebut darinya, percuma saja!”

Kembali Cian Hong melongo. “Kitab? Kitab apa?” serunya dalam hati.

Kata yang bernama Toan Bok-co pula: “Kitab harus kita dapatkan. Tetapi apakah bengcu yakin tentu dapat merebut kitab dari setan tua itu?”

Yang dipanggil bengcu kedengaran tertawa riang, serunya: “Jika tidak yakin, masakah aku dapat menjadi bengcu kalian?”

“Bengcu sakti dan cerdas, hamba taat!” seru Toan Bok-co.

Setelah pembicaraan itu sampai lama Cian Hong tak mendengar mereka berkata-kata lagi. Hanya kedengaran derap kaki makin lama makin jauh. Cian Hong duga mereka tentu pergi kelain tempat. Cian Hong berusaha mendebur pintu besi dan ah. pintu itupun

terbuka. Karena terkejut, Cian  Hong sampai menyurut  mundur....

Tiba-tiba dari dalam pintu besi itu memancarkan sinar berkilat- kilat. Itulah senjata rahasia. Cepat-cepat Cian Hong menghindar kebawah. Sinngg senjata rahasia meluncur lewat disisinya.

“Berbahaya!” ia kucurkan keringat dingin. Kini ia tak berani lagi memandang rendah keadaan dimakam situ. Setelah menunggu beberapa saat tak ada reaksi apa-apa lagi, barulah ia berani berbangkit dan melangkah masuk.

Begitu masuk ia hampir berteriak kaget. Matanya tertumbuk oleh sinar berkilat-kilat yang menyilaukan mata.

Hampir-hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu.

Ruangan didalam pintu besi itu ternyata sebuah ruangan penuh dengan emas Intan dan barang-barang berharga. Nilainya sukar diperkirakan. Asal dapat mengambil beberapa butir mutiara saja, tentu takkan habis dimakan seumur hidup.

Seketika timbul nafsu keserakahan Cian Hong. Ia maju menghampiri dan mengambil sebutir mutiara yang besar. Tetapi secepat itu ia tarik pulang tangannya pula: “Ah, tak boleh aku mengambil benda yang menjadi milik lain orang!”

Dan tanpa menghiraukan segala kemewahan yang disekelilingnya, segera ia melanjutkan langkahnya. Kini ia melintasi sebuah lorong panjang. Tiba-tiba hidungnya tersampok semacam bau harum. Bau harum itu menimbulkan rasa sedap ditubuhnya, menjalar kebenaknya. Ia mempunyai perasaan hampa terhadap segala benda didunia. Tak kepingin lagi ia akan segala nama, pangkat dan kekayaan.

Tiba diujung lorong, tibalah ia disebuah kamar yang mewah sekali. Sebuah kamar yang menyerupai kamar istana. Ranjang dan kasur bersulamkan benang-benang emas yang indah Di empat sudut diterangi oleh untaian mutiara-mutiara cemerlang. Benar- benar Cian Hong merasa seperti berada di Keindraan tempat para dewa-dewa.

Yang menyirapkan darah Cian Hong ialah pemandangan yang dihadapi saat itu. Diatas ranjang yang mewah itu terbarinq seorang wanita cantik dalam pakaian yang tipis. Tubuhnya yang segar tampak jelas. Sicantik mengulum senyum dalam dekapan selimutnya yang halus.

Tersirap wajah Cian Hong melihatnya. Pikirnya: “Wanita ini tentu lama sekali dalam kesepian. Senyumnya yang penuh arti itu, menyambut gembira kedatanganku. Ah, baiklah kuhiburnya.”

Tetapi bersamaan dengan itu, kesadaran pikirannya timbul serempak: “Tidak, tidak! Wanita itu berbahaya, apalagi berwajah cantik. Kasian dan rasa sayang harus dibedakan. Tak boleh aku terpikat olehnya.

Terbitlah  pertentangan  hebat  dalam  hati  pemuda  itu.  Antara keinginan dan kesadaran. Tiba-tiba benaknya terlintas oleh bayang- bayang   seorang   wanita   yang   membentaknya   dengan   bengis: “Ayahmu  Cian-bin-su-seng,  telah  disiksa  dalam  Neraka  19-lapis selama belasan tahun. Dendam darah itu harus kau tebus. Mengapa kau begitu mudah terpikat oleh wajah cantik?”

Ya, itulah nada pesan ibunya, Kang-ou-bi-jin yang masih mengiang-ngiang ditelinganya. Tergetar seketika hati Cian Hong dan tersadarlah ia dari lamunan. “Memalukan!” diam-diam ia menyesali dirinya. Kesadaran pikiran Cian Hong disusul oleh terangnya penglihatan matanya. Kiranya wanita cantik yang terbaring diatas ranjang itu, bukan manusia melainkan batu pualam putih yang dipahat. Berkat seni pahat yang tinggi, patung pualam itu benar-benar menyerupai manusia hidup.....  

Cian Hong tinggalkan kamar yang indah mewah dan kembali ia menyusur sebuah lorong. Walaupun hanya lorong jalanan saja, namun penuh dihias dengan ratna mutu manikam yang luar biasa indahnya.

Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh suara parau dari seorang tua.

“Kau sudah rela menghadiahkan, mengapa balik kembali!” kata suara itu. Jelas bahwa kata-kata itu tak ditujukan pada dirinya (Cian Hong).

Setelah tertegun sejenak, Cian Hong hendak melanjutkan langkahnya.

“Jika kau temaha dan menjengkelkan, jangan persalahkan aku tak kenal kasihan!” kembali suara parau orang tua itu terdengar. Rupanya ia marah.

Cian Hong terpaksa hentikan langkah-langkah. Ia duga orangtua itu tentu salah sangka kepada dirinya.

“Aku Ko Cian Hong, tak sengaja datang kemari...”

“O, kau juga orang she Ko?” belum Cian Hong selesai bicara, siorangtua sudah menukasnya.

“Ya, memang aku she Ko dan bernama Cian Hong!” Cian Hong mengiakan.

“Kau telah melalui Ruang Harta dan Ruang Kecantikan?” seru orang tua itu pula.

Cian Hong tertegun, ujarnya: “Aku masuk dari lubang dibawah arca. Beberapa kali aku tiba ditempat tempat yang aneh dan berbahaya. Apa maksud lo-cianpwe dengan kata-kata Ruang Harta dan Ruang Kecantikan itu?”

“Didalam Ruang Harta, ratna mutu manikam berlimpah ruah. Tetapi penuh berlumuran racun ganas. Apabila kau rakus dan mengambil permata-tama itu, belum kau berjalan lima langkah saja, tubuhmu tentu akan luluh menjadi air busuk...”

Serasa melayanglah semangat Cian Hong mendengar keterangan itu. Ia bersyukur bahwa tadi ia tak jadi mengambil permata.

Kata orangtua itu pula: “Ruang Kecantikan itu penuh berselubung obat-obat bius yang harum dan wanita-wanita cantik yang telanjang. Ruangannya indah mewah sekali. Apabila orang tak kuat imannya dan tak dapat mengendalikan nafsu, sekali ia menjamah wanita palsu yang berbaring diranjang itu, seketika ia pasti ditabur oleh ribuan batang anak panah beracun...”

Cian Hong mengucurkan keringat dingin. “Benarkah kau tak menghiraukan harta dan tak mengacuhkan wanita cantik?” seru orangtua itu pula.

Dengan bangga Cian Hong menyahut: “Walaupun aku bukan seorang nabi, tetapi kutahu juga tentang ajaran-ajaran orangtua bahwa mengambil barang milik orang adalah perbuatan haram. Bahwa terpikat oleh paras cantik adalah orang yang beriman tipis. Asal mempunyai kesadaran, tentu mudah melintasi kedua ruang itu. Dalam hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dipuja puji!”

“Garang benar kau, buyung!”

“Tetapi memang kenyataan begitulah.”

“Ketahuilah bahwa selama beberapa belas tahun, entah berapa jumlahnya orang yang memasuki makam ini. Tetapi sampai detik ini, belum pernah terdapat orang yang mampu melintasi kedua ruangan itu!” kata siorang tua.

“Benarkah itu?” Cian Hong setengah kurang percaya.

“Jika tidak kandas dalam Ruang Harta, mereka tentu hancur dalam Ruang Kecantikan! Begitu melihat harta karun yang sedemikian hebatnya, tergeraklah keinginan mereka. Sekali menjamah permata-permata itu, tubuh mereka segera hancur luluh menjadi cairan air busuk.”

“Tiada seorangpun yang mampu melintasinya?” Cian Hong menegas.

“Hm, tiada seorang yang mampu menginjakkan kakinya sampai di Ruang Kecantikan!”

“Tetapi pada umumnya kaum persilatan menganggap sepi akan segala harta kekayaan. Kumohon lo-cianpwe jangan kelewat memuji diriku!”

Orangtua itu tertawa terkial-kial serunya: “Buyung, meskipun orang persilatan tak memandang harta, tetapi terhadap sesuatu mustika persilatan, mereka tentu tak mau melepaskannya!”

“Apakah didalam Ruang Harta itu, selain harta permata masih terdapat permata pusaka?” seru Cian Hong.

“Ada sebutir mutiara dan sekeping mas hitam!”

“Apa gunanya mutiara dan mas hitam itu?” teriak Cian Hong. “Mutiara dapat memunahkan segala racun di dunia dan mas

hitam adalah benda yang paling beracun didunia!”

“Sungguh berbahaya!” batin Cian Hong, “untung aku tak mengerti tentang mutiara dan mas hitam. Coba tidak begitu tentu kuambil benda itu!” Sekalipun begitu, berkatalah Cian Hong dengan tenang: “Benarkah sejak berpuluh tahun tak ada seorangpun yang dapat mengambil harta kekayaan itu?”

Siorangtua bermenung sejenak lalu berkata: “Sejak berpuluh tahun ini hanya ada seorang gagah yang berhati keras dapat mengambil harta itu!”

“Ah, dia tentu seorang ksatrya gagah!” seru Cian Hong. “Benar!”

“Tetapi dapatkah ia melintasi Ruang Kecantikan?”

“Sekiranya dia mampu melalui Ruang itu, tentu komentarku berbeda!”

Diam-diam Cian Hong membatin: “Ah, kiranya orang tua ini seorang sakti yang luar biasa. Dia putus asa karena tak mendapatkan manusia yang tak kepincut harta terpikat wajah cantik. Maka ia bersembunyi dalam makam ini.”

“Kalau begitu dia tentu mati dibawah hujan anak panah?” tandasnya.

“Tidak...”

“Lalu...?” Cian Hong heran.

“Pertama melintasi Ruang Harta, orang itu memang lulus ujian. Dengan angkuh ia lewat terus. Tetapi ketika menyusuri lorong, lama kelamaan timbullah sesal dalam hatinya. Ia anggap harta kekayaan memang tak begitu penting tetapi kedua mustika mutiara dan mas hitam itu, adalah pusaka yang jarang terdapat didunia persilatan. Betapalah sayangnya kalau tak diambil. Timbulnya pikiran itu mendorong ia kembali ke Ruang Harta lagi...”

“Berhasilkah ia mendapatkan mutiara dan mas hitam itu?” tanya Cian Hong. “Kalau berhasil mendapatkan mana dia masih dapat hidup?” kata siorangtua, “ketika masuk ke Ruang Harta, dipandangnya mutiara dan mas hitam itu sampai lama. Dalam batinnya terbit pertentangan hebat. Antara hati temaha dan kesadaran. Akhirnya Kesadaran dapat menindas Temaha. Sekalipun demikian ia kucurkan keringat dingin juga...”

“Lalu?”

“Dia menyadari bahwa temaha akan harta kekayaan adalah sifat manusia yang tidak baik. Dan ia urungkan niatnya serta melangkah keluar lagi.”

“Dia benar-benar seorang yang tinggi kesadarannya!”

Orangtua berdiam diri sampai beberapa jenak, ujarnya: “Masuklah kemari, buyung! Aku hendak melampiaskan nazarku?”

“Nazar?”

“Ya, aku mengikrarkan sumpah. Barang siapa yang mampu melewati kedua Ruang itu akan kuberinya pelajaran sebuah ilmu silat yang sakti!”

“Telah kukatakan,” kata Cian Hong, “bahwa aku tak sengaja masuk kemari. Bahwa aku berhasil dapat melintasi kedua ruang itu, hanyalah karena aku tak mau mengganggu barang-barang disini yang bukan milikku. Bagaimana aku berani meminta ajaran pada lo-cianpwe?”

“Bukankah kau sengaja datang kemari?” tanya siorang tua. “Tidak! Aku tak mempunyai ingatan untuk meminta pelajaran

ilmu silat!”

Orangtua itu merenung lagi, katanya kemudian : “Bagaimanapun juga kau adalah satu-satunya orang yang tahu akan isi hatiku. Masuklah dan mari omong-omong dengan aku disini!” Cian Hong kepingin juga melihat siapakah orang tua itu. Segera ia melangkah masuk. Setelah membiluk sebuah tikungan, ia tiba disebuah ruang yang terang benderang.

Sebuah pemandangan yang mengejutkan membuat Cian Hong terurap darahnya. Ternyata dalam ruang itu terdapat sebuah peti mati dari batu. Disisi peti-mati batu itu duduk seorangtua yang berpakaian jubah kelabu. Rambutnya terurai panjang. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan sinar dingin, sinarnya lebih terang dari lilin.

Orangtua itu menyapukan matanya kepada Cian Hong, ujarnya : “Buyung, kau ternyata seorang pemuda gagah, seorang bakat yang bertulang bagus!”

Tersipu-sipu Cian Hong memberi hormat: “Ah, lo-cianpwe keliwat memuji!”

“Benarkah kau orang she Ko?” tanya siorangtua. Sahut Cian Hong dengan bersungguh: “She adalah warisan dari leluhur, mengapa aku harus memalsukan?” Orangtua itu tertawa mengekeh: “Jangan naik pitamlah, buyung. Adanya kutanyakan she-mu itu, karena selama hidup aku tak pernah melepas budi pada orang. Dan tak pernah menerima budi orang. Tetapi kira-kira pada

20  tahun  berselang,  aku  pernah  menerima  budi  kebaikan  dari seorang  she  Ko.  Dan  baru  saja  tadi  kubalas  budinya  itu.  Maka terhadap  orang  yang  bershe-Ko  aku  selalu  memberi  perhatian istimewa!”

“Siapakah orang itu? Sebelumnya aku perlu menghaturkan terima kasih atas perhatian lo-cianpwe terhadap kaum keturunan Ko.”

“Ko Ko-hong! seorang gagah yang berbudi luhur!” Betapa bangga Cian Hong karena ayahnya mendapat pujian sedemikian rupa oleh siorang tua sakti. Tiba-tiba orangtua berambut panjang itu mengerlip mata, serunya: “Buyung, pernah apa kau dengan Ko Ko-hong?”

“Dia adalah ayahku!” sahut Cian Hong.

Kini orangtua itu agak jelas, ujarnya : “Oh, tak heran kalau kau tak mau menerima pelajaran dari aku. Kiranya dengan mendukung budi ayahmu yang dilimpahkan padaku, kau hendak meminta kitab dari aku. Hm, sayang kau terlambat selangkah!”

Cian Hong tak mengerti apa yang dimaksud oleh orangtua itu. Kebalikannya karena melihat pemuda itu diam saja, siorangtua mengira kalau dia (Cian Hong) penasaran.

“Seperti telah kukatakan tadi, seumur hidup aku tak mau berhutang budi pada orang,” kata orangtua itu pula, “walaupun Ko Ko-hong telah memberi budi besar kepadaku, tetapi akupun telah membalasnya dengan sebuah penghargaan yang hebat. Budi telah terbalas, janganlah kau menggunakan budi ayahmu itu untuk meminta apa-apa lagi dari aku!”

Cian Hong kerutkan alis: “Lo-cianpwe salah duga. Telah kukatakan. Kedatanganku kemari sama sekali tak kusengaja, apalagi hendak menggunakan jasa ayah untuk meminta balasan pada lo-cianpwe.”

“Kata-katamu seolah-olah bersungguh-sungguh!” seru orang tua berambut panjang.

Cian Hong berpikir sejenak, ujarnya; ”Kalau kedatanganku ini dikatakan sengajapun tak ada hubungannya dengan lo-cianpwe. Aku hanya mengikuti jejak orang dan kesalahan masuk dimakam ini.”

“Mengikuti jejak?”

Cian Hong mengiakan. “Mengikuti siapa?” “Pada waktu lewat didaerah ini, tiba-tiba kulihat dua orang lelaki dan seorang wanita muncul. Wanita itu mirip benar dengan  ibuku. ”

“Jangan ngoceh tak keruan!” orangtua menukas marah,” wanita muda itu memang benar ibumu Kang-ou-bi-jin Hoa Sian-lan!”

Cian Hong tak percaya: “Ah, tak mungkin!”

“Mengapa tak mungkin? Dia sendiri yang mengaku sebagai isteri Ko Koh-hong yang bernama Kang-ou-bi-jin Hoa Sian-lan. Dan dengan menggunakan budi Ko Koh-hong yang diberikan kepadaku, Hoa Sian-lan telah meminta Kitab Kuning dari aku!”

“Benarkah itu?” Cian Hong terkejut. “Perlu apa aku bohong padamu!”

“Tetapi mamah tak nanti berbuat begitu, ya, tak nanti. Mah,

mengapa kau menggunakan jasa ayah untuk meminta Kitab Kuning?” ia memprotes dalam hati.

Tetapi ia tak dapat membela ibunya. Tak dapat ya memberi alasan untuk membela ibunya.

Cian Hong menyesal mengapa tadi ketika masih diluar makam ia tak segera muncul menemui ibunya. Mungkin ia dapat mencegah niat sang ibu.

Ah, kini ibunya telah menjadi seorang yang rendah budi. Sebagai seorang anak sudah tentu ia bersedih.

“Lo-cianpwe, benarkah ibuku dengan kedua lelaki itu datang kemari?” masih ia meminta penegasan.

“Masakan ibumu itu palsu? Mereka bertiga belum lama tinggalkan tempat ini!”

“Tetapi mengapa mereka tak melalui kedua Ruang Harta dan Ruang kecantikan?” Tiba-tiba orang tua itu deliki mata: “Tempat ini mencapai luar makam, bukan hanya terdapat sebuah lorong tetapi masih ada lain jalanan lagi. Tetapi mereka telah berada dalam genggamanku!”

Kini barulah Cian Hong mengerti mengapa ketiga orang siang- siang telah pergi dan tak pernah dijumpainya lagi.

“Biar bagaimanapun juga, kau telah mampu melewati kedua ruangan itu. Aku tetap hendak melaksanakan nazar memberimu sejurus ilmu silat sakti. Sekalipun kau terlambat dan Kitab Kuning itu sudah diambil orang, tetapi percayalah, Ilmu ajaran yang kuberikan padamu itu cukup membuatmu menjuarai kolong langit!”

“Aku meresa tak punya jasa, tak mau aku menerima pahala. Tak berani aku menerima pelajaran dari lo-cianpwe....” Cian Hong menghela napas. “Mengenai ibuku, sebagai anaknya, akan berusaha menasehati mamah supaya mengembalikan kitab itu kepada lo- cianpwe!”

“Sikapmu yang perwira itu menunjukkan bahwa kau mawarisi sifat-sifat ayahmu!”

“Aku mohon diri,” serentak Cian Hong memberi hormat dan terus hendak melangkah pergi.

Sekonyong-konyong ia merasa tubuhnya seperti tersedot oleh serangkum tenaga kuat hingga ia tersurut dua langkah.

“Tunggu dulu!” seru siorangtua.

Cian Hong berbalik tubuh, serunya: “Apakah lo-ciapwe hendak memberi pesan lagi?”

Mata siorangtua yang berkilat-kilat tajam menatap Cian Hong, serunya: “Aku hendak memberi sejurus ilmu sakti!”

“Tidak, lo-cianpwe,” Cian Hong tetap menolak, “telah kukatakan tadi, aku tak berjasa maka tak pantas diberi balas!” “Tetapi aku tak menghendaki ikrarku rusak di tanganmu. Berapa tahun ini, orang-orang persilatan berusaha sekuat-kuatnya untuk meminta pelajaran ilmu sakti dari aku, tetapi tak kululuskan. Kini kau malah menolaknya. Kukira kau tentu tak mengetahui betapa kelihayan ilmu kesaktian yang hendak kuberikan padamu itu!”

Kata Cian Hong tawar-tawar: “Betapapun saktinya, aku tetap tak menginginkan!”

Tiba-tiba mata siorangtua berkilat bengis, serunya, “Kalau begitu kau minta mati. Lain jalan tak ada lagi!”

“Belum tentu!” sahut Cian Hong dengan garang. “Coba sajalah,” jawab siorangtua,” sebelum kau menerima pelajaranku, tak mungkin kau mampu keluar dari ruangan ini.”

“Lihatlah, aku hendak keluar!”

Cian Hong laksana seekor anak kambing yang tak takut harimau. Ia berputar tubuh terus melangkah ke pintu. Tetapi baru kakinya hendak melangkah keluar, tenaga ajaib tadi menyapu ujung kakinya. Buru-buru ia hendak tarik pulang sang kaki. Tetapi tak urung terdampar juga. Tubuhnya bergoyang-goyang hampir jatuh.

Cian Hong marah sekali. Segera ia menghantam sekuatnya. Siorang tua dengan tenang kebutkan lengan baju dan tenaga pukulan Cian Hongpun sirna. Bahkan masih terasa kesiur rembesan tenaga kebutan siorang tua itu menampar kedada Cian Hong. Ia terdorong mundur sampai 7-8 langkah...

Cian Hong malu. Malu membuatnya gusar. Ia dorongkan tangannya menyerang siorangtua.

“Buyung, kau mau mengajak berkelahi dengan aku? Ah, masih terlalu pagi, budak...” siorang tua tersenyum. Dan diangkatnya sang lengan pelahan-lahan untuk menampar.

Uh, uh... Cian Hong terhuyung-huyung mau jatuh. Menderita hinaan semacam itu, tak dapat Cian Hong mengendalikan diri lagi, geramnya dalam hati : “Tua bangka, kau cari sakit sendiri. Jangan sesalkan aku kalau kugunakan Pukulan Hitam!”

Serentak ia loncat maju dan ayunkan tangan kiri.

Sesaat berkilatlah secercah sinar hitam menyambar dada orangtua itu.

Siorang tua terkejut. Cepat ia balikkan lengannya kanan dan dengan sebuah jarinya ia menutuk kemuka. Itulah yang disebut ilmu tutukan Kek-gong-kiam-hoat (menutuk dari jarak jauh).

Dua buah aliran angin tajam memancar dan terbelahlah gelombang Pukulan Hitam, terus melanda kedua lutut Cian Hong...

Bukan kepalang kejut Cian Hong. Cepat-cepat ia hendak loncat mundur tetapi terlambat. Jalan darah Kiok-cwan pada kedua lututnya kesemutan dan jatuhlah ia terduduk ditanah.

“Pernah apa kau dengan Wi Co jiu?” bentak siorang tua.

Malu dan marah Cian Hong bukan buatan. Tetapi apa daya, ia tak dapat berkutik lagi.

Dipandangnya orang tua aneh itu dengan tatapan berapi-api penuh dendam kemarahan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar