Pukulan Hitam Jilid 03

Jilid ke 3

SEORANG nona tegak berseri-seri sepasang bola matanya berkilat-kilat genit. Tangannya memegang sebuah botol berisi darah.

Cian Hong terkesiap ia bersangsi apakah botol yang dipegang sinona itu benar berisi darah Thian-lian-hiat-lok yang dimaksud sitabib Kang-ou-long-tiong.

Cian Hong maju menghampiri, ujarnya: “Benar, memang botol itulah yang hendak kucari.”

“Kau menghendakinya?” tanya sinona.

“Darah rusa itulah yang seorang lo-cianpwe menyuruh aku mengambil kemari. Harap nona suka berikan.”

Gadis itu mengerat kata-kata Thian-hong dengan derai tertawa melengking “Cian-pwe atau wan-pwekah, aku tak peduli. Benda yang berada ditanganku, akulah yang memutuskan!” serunya.

“Bagaimana maksud nona?”

“Asal kau mau melakukan sebuah pekerjaan untukku, segera benda ini kuberikan padamu!”

“Pekerjaan apa?” Wajah gadis genit itu kemerah-merahan. Sepasang matanya berkeliaran kocak dan meluncurlah ucapan bernada cabul: “Pekerjaan yang enak dan nikmat...” Sama sekali Cian Hong tak menyangka bahwa kata-kata mesum semacam itu keluar dari mulut sigadis.

Merah padamlah wajah Cian Hong. Seketika meluaplah amarahnya.

“Aku seorang jantan. Jangan harap aku mau melakukan pekerjaan sehina itu!” serunya.

Seketika wajah sigadispun berubah bengis.

Senyum tawanya yang berseri-seri lenyap laksana dilanda prahara kemarahan. Air mukanya membengis.

“Apa? Kau menolak ajakanku?” lengkingnya. “Ya, aku tak sudi melakukan perbuatan zinah!”

“Zinah? Kau katakan hal itu berzinah? Ha, ha, kau benar-benar seorang pemuda yang tak kenal dunia. Bukankah alam ini terdiri dari siang dan malam, manusia terdiri laki perempuan? Pergabungan antara laki dan perempuan adalah sudah menjadi kodrat alam. Mengapa kau mengatakan hal itu perbuatan hina?”

Jawaban sigadis yang demikian lancar dan penuh alasan tepat, membuat Cian Hong meringis.

“Jangan mau menang sendiri... !” satu-satunya jawaban Cian Hong hanya begitu.

“Sudahlah, kau mau melakukan atau tidak!” “Tidak!”

Gadis itu mengacungkan botol berisi darah, serunya: “Kau menghendaki barang ini atau tidak?” Cian Hong deliki mata, berseru: “Itu memang milikku, kau harus mengembalikan kepadaku.” “Benar barangmu tetapi berada ditanganku!” “Lalu?”

“Harus mendengar perintahku!”

“Tetapi bagaimanapun juga aku harus merebutnya kembali!” “Uh, apa kau mampu?”

Cian Hong memandang botol yang dipegang sinona dengan seksama. Diam-diam ia merencanakan cara untuk merebutnya.

Sinona acuh tak acuh. Sedikitpun ia tak kuatir orang akan merampas botolnya. Malah ia tertawa selepas-lepasnya.

“Tahukah kau, aku siapa?” serunya.

“Perlu apa aku harus tahu?” balas Cian Hong. Penyahutan itu membuat sinona terkesiap. Pada lain kejap berserulah ia dengan bangga: “Aku ini Siau-hun-li...!”

Siau-hun-li artinya Nona-perayu-sukma. Merayu sukma atau melipur lara sama dengan memuaskan kehausan nafsu pria.

Cian Hong terhenyak kaget. Ia menyurut mundur dua langkah.

Dipandangnya nona cabul itu dengan tajam.

Sekalipun belum lama mengembara didunia persilatan, tetapi ia pernah dengar juga tentang nama Sian-hun-li. Menurut cerita orang, Siau-hun-li itu seorang wanita yang luar biasa cantiknya tetapi luar biasa pula nafsu sexnya. Tak pernah Siau-hun-li puas dengan seorang pria. Setiap berjumpa dengan pria cakap, tentu dirayunya supaya melayani kehausannya yang tak kunjung padam itu. Apabila sudah bosan atau lelaki itu berani menolak, tentu akan dibunuh. Benar-benar seorang ular cantik, habis menghisap sampai puas lalu dibunuhnya. Setitikpun Cian Hong tak menyangka bahwa nona yang tampaknya masih seperti seorang dara jelita itu ternyata Siau hun li yang termasyhur. Keringat dingin membasahi tubuh Cian Hong. Hatinya tergetar, “Siau-hun-li?” ulangnya dengan gemetar. “Benar! Mau meluluskan permintaan, semua urusanmu tentu beres. Tetapi kalau menolak, nyawamu tentu amblas!”

Cian Hong mengerenyutkan gigi kencang-kencang.

“Tidak! Aku tak mau melakukan perbuatan terhina itu!” serunya tegas.

Siau-hun-li mendengus dingin. Tiba-tiba tubuhnya tampak bergerak. Sebelum Cian Hong dapat membayangkan apa yang akan terjadi, tiba-tiba nona itu sudah melesat dan mencengkeram siku lengan Cian Hong yang kanan.

“Mau menurut atau tidak!” hardik Siau-hun-li. “Tidak!” Siau-hun-li memelintir kencang.

Cian Hong tak dapat berkutik. Ia gemetar, keringat berhamburan didahinya. Sakitnya sampai menusuk ketulang-tulang...

“Apakah kau masih berkeras kepala?” tegur Siau-hun-li dengan dingin.

Dengan kerutkan gigi Cian Hong tetap membangkang, “Biarpun mati aku tetap tak mau!” Geram sekali Siau-hun-li melihat kebandelan pemuda itu. Diangkatnya tangan kiri dan dengan suara makin membengis ia mengancam: “Kalau tetap membandel tentu kuremuk kepalamu!”

Cian Hong deliki mata. Ditatapnya Siau-hun-li dengan marah. Tiba-tiba ia katupkan mata: “Bunuhlah!” Pemuda itu tegak berdiri sambil busungkan dada menantang kematian. Sikapnya tenang sekali. Sedikitpun ia tak gentar. Tetapi sampai beberapa saat, tamparan Siau-hun-li tak kunjung tiba. Heran, pikir Cian Hong. Dan ia pun membuka mata. Sekonyong-konyong ia seperti didorong oleh sebuah gelombang tenaga kuat hingga terpental sampai 5-6 langkah...

“Minggat!” teriak Siau hun-li dengan geram. Cian Hong tertegun, ia benar-benar tercengang dengan apa yang diderita saat itu.

Wajah Siau-hun-li membeku dan dengan nada sedingin es, ia berseru: “Sebelum pikiranku berubah, lekaslah kau enyah dari sini. Kalau tidak, hm, jika nafsuku membunuh setiap saat timbul, jangan harap kau mampu lolos!”

Cian Hong berputar diri dan ayunkan langkah. Sekonyong- konyong ia berputar tubuh dan melayang kehadapan Siau-hun-li.

“Kau mau mati?” teriak Siau-hun-li marah. “Aku hendak minta kembali darah rusa!”

“Kau tetap hendak mengambilnya?” “Ya.”

“Kau tak sayang jiwamu?”

“Walaupun jiwa melayang, aku rela. Karena aku sudah menyanggupi kepada seorang lo-cianpwe untuk mendapatkan darah Cian-lian-lok itu. Jika sampai gagal, bukan saja kutelan lagi ludahku, pun lo-cianpwe itu pasti melayang jiwanya!”

“Kau percaya mampu mengambilnya?” ejek Siau-hun-li.

“Mampu atau tidak mampu hanya tergantung pada takdir. Tetapi usaha untuk mengambil adalah kewajiban manusia. Aku akan menunaikan kewajiban sebagai manusia dan taat pada kehendak takdir!” Sesaat berubahlah seri wajah Siau-hun-li. Sebentar bengis sebentar terang. Dipandangnya Cian Hong sampai lama. Dan pada lain saat suara helaan napas menghambur dari mulutnya.

“Baik!” serunya tawar.

Ia mengangsurkan botol berisi darah rusa, serunya pula: “Ambillah ini! Tetapi ingat, jika lain kali bertemu dengan aku tandanya kau sudah tak berhak lagi hidup didunia!”

Saking kagetnya Cian Hong mundur dua langkah.

Sampai lama ia tak percaya apa yang dilihat dan didengarnya saat itu.

Seorang iblis wanita yang termasyhur ganas, mengapa begitu gampang melepaskan korbannya? Bukan saja tidak dibunuh malah barang berharga darah Cian-lian-lok diserahkan kembali dengan mentah-mentah...

“Apa kau edan? Jika tak lekas menerima hingga aku sampai merubah keputusan, menyesalpun tak kan berguna nanti!” Siau- hun-li berkata pula.

Cian Hong gelagapan. Tersipu-sipu ia maju menyambuti, ujarnya serta merta: “Atas budi nona yang besar ini, aku takkan lupa selama-lamanya!”

“Siapa butuh terima kasihmu? Sekali lagi ingatlah baik-baik. Apabila kelak kau bertemu aku lagi... hm, kau takkan melihat matahari. Maka jagalah dirimu baik-baik, jangan sampai bertemu aku. !”

“Budi dan dendam selalu kuingat dan tentu kubalas,” sahut Cian Hong.

“Mengapa tak lekas enyah, heh. ” “Terima kasih, aku mohon diri!” serentak Cian Hong berputar tubuh terus lari sekencang-kencangnya. Namun dalam hati ia masih memikiri nona yang misterius itu. Seorang nona yang sukar diduga hatinya. Gerak geriknya selalu menimbulkan keheranan orang. Tiba-tiba ia hentikan larinya dan mendengus kaget. Kiranya ia sudah tiba ditempat sitabib menunggu tadi. Tetapi aneh, tak seorangpun yang berada disitu. Empat penjuru diperhatikan, Kang- ou-long-tiong tak tampak bayangannya.

Ketika diteliti lebih lanjut, ia menemukan noda darah berceceran ditanah. Jelas bahwa telah terjadi pertempuran berdarah ditempat itu. Tetapi aneh, mengapa disekeliling tempat itu tak terdapat barang sesosok mayat orang.

Kemanakah gerangan lenyapnya Su-hay Mo-ong dan Ceng-thian It-kiau? Siapakah yang terbunuh dan terluka? Cian Hong benar- benar heran....

Tetapi pada lain saat segera ia teringat akan sitabib Kang-ou- long-tiong. Apakah tabib itu juga tertimpah sesuatu.

Dengan keras-kerasnya Cian Hong berteriak, “Locianpwe, lo- cianpwe ”

Empat penjuru menggema kumandang teriakannya, namun tiada suatu penyahutan apa-apa. Hati Cian Hong mendebur berat. Tegang meregang sekali.

“Lo... cian... pwe !” ia mengulangi teriakannya.

Sengaja ia perpanjang setiap patah kata teriakannya agar terdengar oleh yang bersangkutan. Tetapi lagi-lagi hanya keheningan yang diperolehnya. Empat penjuru sunyi, hanya angin malam yang berhembus menampar dirinya. Sunyi senyap diempat keliling penjuru. Tiba-tiba ia mendengar suara lemah yang terbawa angin dari belakang : “Ko... Cian... hong...”

Cepat Cian Hong berputar diri tetapi ah. sama sekali tak tampak

barang seorangpun jua. Hanya keresek daun alang-alang tertiup angin saling bergesekan satu sama lain.

Seketika berdirilah bulu roma Cian Hong. Tubuhnyapun menggigil.

“Ko Cian Hong!” tiba-tiba suara lemah itu terdengar pula. Cian Hong benar-benar gemetar sekali.

“Setan!” seketika timbullah kesimpulan dalam hatinya. Tak mungkin manusia yang mengucapkan karena jelas sudah diteliti dengan seksama bahwa disekeliling penjuru tak tampak barang sesosok bayangan manusia.

Kesimpulan itu membangkit keputusannya untuk melarikan diri. Segera kakinya mulai bergerak untuk melarikan tubuh. Tetapi sekonyong-konyong terdengar pula suara orang memanggilnya: “Ko Cian Hong, aku disini!”

Kali ini ia dapat menemukan arah tepat datangnya suara itu. Ya, suara itu berasal dari semak gerumbul rumput disebelah sana. Buru-buru ia lari menghampiri gerumbul rumput. Ah, benarlah. Disitu terdapat seorang bermandi darah tengik menggeletak ditanah.

“Lo-cianpwe, kau ” buru-buru ia berseru. Tak salah lagi, orang

itu adalah Kang-ou-long-tiong. Keadaan sitabib menyedihkan sekali. Napasnya memburu lemah sekali. Jenggotnya tampak berguncang-guncang, tetapi tak sepatahpun terdengar meluncur dari mulutnya.

“Lo-cianpwe, siapakah yang menganiaya kau?” serunya. Dengan paksakan diri, tabib itu berusaha untuk menjawab: “Darah Cian-lian-lok, apakah kau sudah mendapatkannya?”

“Sudah,” Cian Hong mengiakan. Buru-buru ia memberikan botol. Tetapi diluar dugaan, sitabib menolak.

“Simpanlah baik-baik, aku sudah tak ada harapan,” kata sitabib. “Lo-cianpwe, siapakah yang melukaimu.

“Katakanlah, aku yang akan menuntutkan balas!” Kang-ou-long- tiong menghela napas: “Tidak...”

Tiba-tiba ia membuka mata lebar-lebar, serunya: “Apakah kau sudah menikah?”

“Belum.”

“Aku mempunyai seorang anak perempuan. Hoa Ling-ling namanya. Kuharap kau suka melindunginya.”

“Lo-cianpwe ”

“Ini permintaanku yang terakhir kalinya. Kuharap kau jangan menolak. Dan darah Cian-lian-lok itu kau minumlah sendiri, tentu bermanfaat sekali bagimu. Agar dalam meyakinkan ilmu silat, kau bisa lebih maju dan mudah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa.”

Cian Hong berkeras hendak menyerahkan botol darah kepada sitabib.

“Minumlah lo-cianpwe, penyakitmu tentu sembuh.” “Tidak, aku benar-benar sudah tiada harapan lagi ”

“Mengapa?”

“Aku terkena pukulan Thjit-im-tok-hiat-ciang.” “Thjit-im-tok-hiat-ciang...” Cian Hong mengulang. Tiba-tiba matanya terbelalak. Dilihatnya mulut sitabib berlumuran darah hitam. Jiwanya sudah melayang...

Cian Hong mempunyai kesan mendalam kepada tabib yang baik hati yang telah menolong jiwanya. Rasa berhutang budi yang tak terhingga menyebabkan Cian Hong mengucurkan airmata menyaksikan kematian Kang-ou-long-tiong yang sedemikian mengenaskan itu...

Ditanamnya jenazah sitabib dengan baik. Pada makamnya dibuatnya sebuah batu nisan yang bertuliskan nama sitabib “Kang- ou-long-tiong Hoa-Ya-bok”. Dan dibawahnya ditulis “dipersembah- kan oleh Ko Cian Hong.”

Setelah puas menumpah kesedihannya, Cian Hongpun tinggalkan hutan Cek lim yang penuh peristiwa itu. Hanya berlainan dengan beberapa waktu tadi, saat itu ia membawa sebotol darah Cian-lian hiat-lok.

Sekalipun Kang ou-long-tiong sudah memberikan barang berharga itu kepadanya namun ia tak mau meminumnya.

Ia berjalan tetapi tak tahu kemana langkah harus dituju. Akhirnya ia memutuskan untuk menjenguk Malaekat-elmaut digua. Ia hendak melaporkan bahwa Sin-ciu it kiam sudah meninggal karena menderita penyakit aneh.

Dia masih harus mengerjakan perintah Malaekat-elmaut untuk membunuh dua orang lagi dan barulah ia akan menerima ilmu Pukulan Hitam sepenuhnya dari Malaekat-elmaut. Cian Hong kencangkan larinya. Akhirnya setelah menempuh perjalanan sehari semalam, tibalah ia di gua seram tempat kediaman tokoh aneh Malaekat-elmaut.

Dengan berjungkat-jungkat melangkah ia kedalam gua yang pekat lembab itu. Untung ia sudah beberapa kali masuk kesitu sehingga cukup faham keadaan dalamnya.

Sekonyong-konyong serangkum hawa dingin mencengkam tulang membaur dirinya. Ia terkejut dan mundur beberapa langkah.

Dipandangnya bagian dalam gua itu sampai beberapa saat. Ia kuatir kalau-kalau ada seseorang yang menamparnya. Tetapi sama sekali tak terdengar gerak-gerik suatu apa “Adakah Malaekat- elmaut tertimpa bahaya?” ia mulai membayangkan kemungkinan- kemungkinan yang tak diingini. Ah, jika hal itu benar, ia putus asa. Apa guna ia membunuh beberapa jiwa kalau akhirnya toh ia bakal tak menerima ilmu Pukulan Hitam dari Malaekat-elmaut?

Tetapi siapakah gerangan yang mampu mengalahkan Malaekat- elmaut yang sedemikian saktinya?

Tepat pada saat ia menimang-nimang, tiba-tiba didengarnya sebuah suara bernada berat. “Siapakah yang berada diluar itu?”

Tergeraklah semangat Cian Hong mendengar suara itu. Dengan menengadahkan kepala, ia berjalan masuk sembari menyahut: “Setan tua, akulah!”

Suara itu makin lemah suaranya: “Setan cilik, kukira kau sudah mati!”

Tiba didalam Cian Hong terkesiap. Dilihatnya Malaekat-elmaut menderita luka parah. Dia duduk disudut gua. Semangatnya tampak lesu sekali.

“Setan tua, apakah kau terluka?” seru Cian Hong. “Jangan banyak tanya?” bentak Malaekat-elmaut dengan wajah membengis, “Apakah kau sudah dapat membunuh Sin ciu-it-kiam?”

“Tentu saja sudah!”

Mata Malaekat-elmaut yang tinggal sebelah itu berkilat-kilat memandang wajah Cian Hong. Serunya dengan nada tak percaya: “Benarkah kau sudah membunuhnya?”

Cian Hong tertegun sejenak. Tetapi pada lain kejap segera ia balas bertanya: “Apakah aku bohong?”

“Mengapa begitu lama kau pergi?” “Mencari orang!”

Malaekat-elmaut tampak merenung sampai beberapa waktu. Keadaan dalam gua diliputi oleh suasana keheningan. Jelas diperhatikan Cian Hong bahwa cahaya muka Malaekat-elmaut itu banyak sekali perubahannya dengan ketika ia tinggalkan. Jelas bahwa tokoh itu tentu menderita kehabisan hawa dalam tubuhnya.

“Setan tua, apakah ada orang yang memasuki gua ini?” tanya Cian Hong.

“Bagaimana kau tahu?” “Aku...”

Baru Cian Hong hendak memberi keterangan, Malaekat-elmaut yang merasa terlalu mencurigai orang, segera menukasnya: “Jangan banyak omong dan tak usah banyak tanya. Orang ke 4 yang harus kau bunuh ialah musuh yang telah memotong pahaku kanan...”

“Siapa?”

“Kang-ou long-tiong Hoa Ya-bok!”

“Hoa Ya-bok?” Cian Hong mengulang kaget. “Ya! Hm, apakah tak boleh membunuhnya?” “Masakan Hoa cianpwe melakukan perbuatan sekejam itu?” teriak Cian Hong setengah tak percaya. Benar-benar ia tak percaya bahwa seorang tabib yang begitu baik hati telah melakukan hal-hal yang tak berperikemanusiaan.

“Apa katamu? Hoa Ya-bok tak mungkin melakukan kekejaman begitu?” Malaekat-elmaut sengit, “Walaupun sudah berpuluh-puluh tahun berselang, tetapi peristiwa itu masih melekat dibenakku!”

“Aku tak percaya Hoa cianpwe melakukan hal itu!” Cian Hong tetap menyanggah.

“Kau kenal padanya?” tegas-tegas. “Tentu!”

“Kau mau membunuhnya atau tidak?”

“Tidak!” Cian Hong tegas-tegas menolak, “aku tak mau berlaku kurang ajar terhadap seorang cianpwe yang berbudi!”

“Ha ha ha...” tiba-tiba Malaekat-elmaut tertawa gelak-gelak.

Nadanya bagai burung hantu mengukuh ditengah malam. Gua seolah-olah tergetar. Dipandangnya Cian Hong lekat-lekat. Tiba- tiba ia berhenti tertawa dan berkata dengan dingin : “Jika kau tak mau, akupun tak dapat memaksamu.”

“Tentu,” sahut Cian Hong angkuh.

“Kau telah membunuhkan 3 orang musuhku. Aku pun harus menepati janjiku. Akan kuberimu 3 buah ilmu sakti. Bilanglah, apa yang hendak kau minta?”

Cian Hong tundukkan kepala tak menyahut. Sebenarnya ia tak tahu ilmu apa yang harus dimintanya. Ia anggap hanya ilmu Pukulan-hitam yang paling jempol sendiri. Lain-Lain ilmu ia tak sudi. “Katakan kau minta pelajaran ilmu apa, aku tentu memberimu kecuali Pukulan-hitam!”

Cian Hong tergetar hatinya. Kurang ajar, setan tua benar-benar pandai mengili hatiku, pikir Cian Hong.

“Kalau Kang-ou-long-tiong sudah meninggal, bukankah dia sudah dibebaskan?” serunya.

Dahi Malaekat-elmaut menggerenyut keras.

Mata-matanya melotot: “Kau katakan Kang-ou long-tiong sudah mati?”

Cian Hong mengangguk.

Wajah Malaekat-elmaut tampak tegang. Sebentar pucat sebentar merah. Hatinya girang dan geram, ia memandang jauh kemuka. Beberapa saat kemudian ia menundukkan kepala merenung. Beberapa jenak kemudian ia menghela napas panjang....

“Karena dia sudah mati, jika kau mau membunuh musuhku yang penghabisan, musuh yang memotong kakiku kiri, tetap akan kuberimu ilmu Pukulan-hitam!”

“Siapakah musuhmu yang kelima itu?” seru Cian Hong dengan girang.

“Yang ini jauh lebih lihay dari keempat musuhku yang sudah mati itu. Namanya termasyhur sampai diseberang lautan. Bukan saja memiliki kesaktian yang hebat pun seorang iblis yang julig penuh tipu muslihat licin ”

“Siapakah dia? Kubersumpah akan membunuhnya!” seru Cian Hong.

“Jangan gegabah dulu. Dia bukan tonggak yang mudah ditebang sekehendak hatimu. Kalau kau tak hati-hati, mungkin kau akan celaka sendiri,” seru Malaekat-elmaut. “Eh,  apakah  2  Pukulan-hitam-untuk  membunuh-seorang  tak dapat digunakan terhadapnya?”

“Sukar kukatakan karena kepandaianmu masih kurang sempurna!”

“Jadi aku tak dapat menang darinya?”

“Bukan begitu maksudku. Jika kau mau berlaku cermat dan hati- hati, masih ada harapan untuk berhasil.”

Semangat Cian Hong terbangkit, keangkuhannya menggelora: “Aku rela mengorbankan jiwa untuk melaksanakan perintahmu!”

“Benarkah kau mau menjual jiwa untukku?” Malaekat-elmaut menegas.

“Tentu! Demi untuk mencapai tujuanku belajar ilmu Pukulan- hitam!” sahut Cian Hong.

“Bagus, benar-benar murid yang baik,” Malaekat-elmaut mengangguk. Kemudian ia suruh Cian Hong datang kepadanya.

Cian Hong menghampiri dan ulurkan tangannya kanan. Malaekat-elmautpun mencekal pergelangan tangan anak itu dan mulai menyalurkan tenaga Pukulan hitam.

Tetapi kali ini berbeda dengan yang sudah-sudah. Cian Hong rasakan jalan-darah vital (utama) didadanya terasa lapang sekali. Serangkum hawa panas menyalur kedalam tubuhnya sehingga seluruh tubuhnya seperti dibakar.

Sekonyong-konyong Malaekat-elmaut ayunkan tangan menampar Cian Hong. Karena saat itu Cian Hong pejamkan mata dan tak menduga sama sekali, ia terpental jatuh disudut gua. Buru- buru ia membuka mata dan memandang kearah Malaekat-elmaut.

Ah, tokoh aneh itu sedang muntah darah. Dan ketika mengawasi lengannya sendiri, didapatinya lengannya kanan berwarna hitam legam dan berkilat-kilat, ia terkejut. Selama mendapat penyaluran ilmu Pukulan-hitam dari Malaekat-elmaut, belum pernah lengannya sehitam saat itu.

Cian Hong berbangkit bangun. Hai, ia rasakan tubuhnya ringan sekali dan hawa dalam tubuh melancar longgar sekali. Ia menghampiri Malaekat-elmaut.

“Setan cilik, apa yang berada dalam sakumu?” tegur Malaekat- elmaut dengan geram.

Cian Hong tertegun. Diambilnya botol berisi darah rusa, ujarnya: “Cian lian-hiat-lok...”

Seketika wajah Malaekat-elmaut berubah pucat ujarnya dengan semangat lesu: “Ah, mungkin sudah kehendak takdir. ”

“Apa?” seru Cian Hong.

“Hm, karena kau mengantongi darah Cian-lian hiat-lok, sebuah benda yang menjadi pemunah tenaga lima Pukulan-hitam, maka ketika kusalurkan tenaga Pukulan-hitam tadi, tenagaku itu seperti tersedot keluar sampai habis. Buyung, sekarang kau sudah memperoleh semua tenaga Pukulan-hitam. Lihatlah tanganku ini!”

Malaekat-elmaut mengacungkan tangannya kanan. Ah, benarlah. Memang tangan kanan tokoh itu sudah tak memancarkan sinar hitam lagi.

Cian Hong tercengang-cengang. Entah merasa girang atau harus bersedih. Sampai beberapa saat ia tak dapat bicara.

“Pergilah!” kata Malaekat-elmaut dengan nada putus asa. “Apa? Kau mengusir aku?” seru Cian Hong.

“Tujuanmu sudah tercapai. Perlu apa kau berada disini?”

“Tetapi kau belum mengatakan siapa musuhmu yang nomer lima itu!” Kali ini giliran Malaekat-elmaut yang terkejut. “Oh, kau masih mau melakukan perintahku?” serunya kaget.

Cian Hong terbeliak.

“Mengapa tidak?” serunya, “kaulah yang telah memberi ilmu kesaktian padaku. Akupun harus melaksanakan janjiku untuk membalaskan sakit hatimu. Masakan setelah tujuanku tercapai aku lantas melupakan janji?”

Terharu sekali Malaekat-elmaut mendengar penyahutan si anak muda. Serunya: “Seumur hidup baru sekali ini aku berjumpa dengan seorang anak yang berbudi tinggi...”

“Bukan begitu?” sahut Cian Hong, “kau memperlakukan dengan baik. Walaupun sikapnya dingin dan bengis tetapi kau mempercayakan harapanmu kepadaku. Masakan aku sampai hati membuat kecewa hati lo-cianpwe?”

Malaekat-elmaut benar-benar tersentuh sanubarinya. Sampai beberapa saat ia tak dapat bicara karena dicengkam rasa haru yang tak terhingga besarnya. “Kemarilah,” katanya kemudian.

Cian Hong tertegun. Setelah memandang Malaekat-elmaut beberapa saat iapun melangkah maju.

Cret... tiba-tiba dengan kecepatan yang tak diduga-duga Malaekat-elmaut menyambar pergelangan tangan Cian Hong. Cian Hong terkejut tapi terlambat, ia tak berkutik...

“Lekas minum darah Cian-lok hiat-lok!” bentak Malaekat- elmaut.

“Mau apa kau?” Cian Hong kaget. Diam-diam ia bersiap-siap, “Minum dulu baru nanti kuberitahu!”

Cian Hong terpaksa menurut. Diambilnya botol. Sekali teguk ia habiskan darah Cian-lian-hiat-lok. Rasanya manis sekali. Beberapa saat kemudian ia rasakan tubuhnya panas sekali.

Melihat itu Malaekat-elmaut segera memerintah: “Lekas salurkan tenaga-dalammu untuk menghisap darah rusa itu. Akan kubantumu dengan penyaluran hawa-murniku. Akan kujadikan kau seorang tunas persilatan yang belum pernah terdapat selama seratus tahun ini!”

Kejut Cian Hong bukan kepalang. Dengan terbata-bata ia berkata: “Ah, tak usah! Bukankah nanti lo-cianpwe akan...”

“Aku sudah cacad, tak berguna lagi. Dan musuhku yang kelima itu benar-benar seorang durjana sakti. Dengan kepandaian yang kaumiliki, jangan harap kau mampu mengalahkan,” kata Malaekat- elmaut dengan nada bengis. “Jangan menolak perintahku ini. Lekas salurkan tenaga-dalammu kalau tidak apabila tenaga-murni itu sampai tak mendapat saluran layak, jiwa kita berdua tentu berbahaya!”

Dalam pada berkata-kata itu, Malaekat-elmaut pun sudah mulai menyalurkan hawa-murninya ketubuh Cian Hong. Cian Hong terpaksa melakukan perintah aneh itu.

Berselang sepeminum teh lamanya, Malaekat-elmautpun lepaskan tangannya. Ketika melihat Cian Hong masih duduk menyalurkan tenaga-dalam, diam-diam Malaekat-elmaut puas. Sekilas senyum menyungging dibibirnya.

Tiba-tiba Cian Hong loncat bangun. Ia menjura dihadapan Malaekat-elmaut: “Guru, terimalah hormat murid!”

Cian Hong menjalankan hormat sebagai murid terhadap gurunya. Malaekat-elmaut menghela napas.

“Sebenarnya aku telah bersumpah tak menerima murid. Ah, tak nyana dalam sisa hidupku yang tak berapa lama ini, diluar keinginanku, aku menerima kau sebagai murid. Ah, memang manusia didunia ini tidak sejahat yang kubayangkan!”

“Guru, apakah kau masih mempunyai ganjalan dalam hati?” seru Cian Hong.

Malaekat-elmaut menghela napas, ujarnya: “Termasuk kau, aku dahulu telah menerima 4 orang murid. Tetapi murid yang tiga dulu itu membuat aku kecewa. Murid yang kedua dan ketiga telah kubunuh sendiri...”

“Suhu...” seru Cian Hong.

“Harapanku satu-satunya kutumpahkan pada toa-su-hengmu (kakak seperguruan yang tertua). Tetapi murid yang murtad itu telah kuusir dari perguruan. Tak perlu kau akui dia sebagai toa suheng lagi.”

Cian Hong mengangguk. Hatinya ikut bersedih atas kekecewaan gurunya.

Berkata Malaekat-elmaut pula: “Murid murtad itu telah berhianat. Ketika aku dikepung musuh bukan membela aku tetapi sebaliknya malah ikut ambil bagian musuh-musuhku menyiksa diriku. Mengutungi lenganku, mengorek biji mataku, memotong kakiku kanan, mematahkan kakiku kiri. Setelah aku dicacah-cacah tak keruan, dia mencuri kitabku!”

“Kitab? Kitab apa?”

“Salah sebuah dari 3-kitab pusaka didunia ialah kitab Pukulan- hitam. Benar, ya, kau harus berdaya untuk merebut kembali kitab itu. Lenyapkanlah murid murtad yang berhati anjing itu!”

“Siapakah namanya?” tanya Cian Hong.

“Hek-sim-jin Thia Tat-hu!” Hek-sim-jin artinya Manusia berhati hitam. “Baik guru. Tentu akan kuhancurkan manusia yang tak kenal budi itu!” sahut Cian Hong dengan geram. “Kelak kau harus mempelajari Song-chiu-hek-ciang (Pukulan-hitam dengan dua belah tangan). Untuk itu perlulah kau berusaha untuk mendapatkan kitab Pukulan-hitam itu. Tetapi ingatlah. Karena memiliki kitab pusaka itu belasan tahun lamanya, murid murtad itu tentu sudah memperoleh kesaktian yang hebat. Kau harus hati-hati manghadapinya!”

“Murid akan melakukan pesan guru sebaik-baiknya,” Cian Hong memberikan janji.

“Ya, didalam menghadapi apa saja, berlakulah waspada dan hati- hati,” kata Malaekat-elmaut pula.

“Guru, siapakah musuh guru yang kelima itu?”

Malaekat-elmaut termenung sesaat, ujarnya kemudian: “Musuhku yang nomor lima itu ialah Tang-bun Kui si Sik-long (serigala kaum perempuan). Dia selalu melalap wanita-wanita cantik untuk dihisap hawa Im guna memperkuat hawa Yang-nya. Kepandaiannya telah mencapai tingkat yang sukar ditandingi.”

Mendengar itu berubahlah wajah Cian Hong. “Murid bersumpah tentu akan melenyapkan durjana itu!” serunya dengan tegas.

“Mudah-mudahanan kau berhasil nak agar aku dapat mati dengan meram dialam baka,” kata Malaekat-elmaut.

“Tetapi mengapa guru sampai dikeroyok orang?” Cian Hong ingin mengetahui sebabnya.

Wajah Malaekat-elmaut meredup, ujarnya: “Ceritanya panjang,” ia berhenti sejenak menghela napas, “pernahkah kau mendengar tentang ujar-ujar orang tua yang mengatakan bahwa aku tak bersalah, tetapi harta pusakaku yang menimbulkan kesalahan?”

Cian Hong mengiakan. Kata Malaekat-elmaut pula: “Adalah karena aku memiliki kitab pusaka maka sampai menimbulkan nafsu jahat orang-orang yang berhati serigala itu. Pada saat aku tengah bersemedhi, tiba-tiba mereka turun tangan.”

Cian Hong kerutkan gigi kencang. Matanya berapi-api menghambur kemarahan.

Malaekat-elmaut menghela napas: “Mereka berlima menyerang berbareng. Adalah karena aku tak bersiap sama sekali maka aku sampai menderita kekalahan!”

“Tetapi mereka tak membunuh guru?” tanya Cian Hong.

“Karena mereka tak berhasil mendapatkan kitab pusaka itu. Biar mati aku tetap tak mau mengatakan tempat penyimpanan kitab itu. Mereka marah dan gemas sekali. Kaki tanganku dibuntungi semua.” Malaekat-elmaut berhenti sejenak memandang muka Cian Hong.

“Kemudian aku melenyapkan diri bersembunyi dalam gua terpencil ini. Siang malam kucurahkan seluruh perhatianku meyakinkan ilmu Pukulan-hitam tanpa berhasil.”

“Syukurlah murid telah menerima warisan pelajaran guru. Murid berjanji tentu akan membasmi durjana itu!” tertariklah hati Cian Hong mendengar penuturan kisah-hidup Malaekat-elmaut yang menyedihkan.

“Muridku, jangan menyombongkan diri, jangan suka memandang rendah lawan. Ingatlah, yang kuat masih ada yang melebihi kuat lagi!” Malaekat-elmaut kembali memberi wejangan.

“Murid ingat baik-baik,” kata Cian Hong. Tiba-tiba matanya memandang tubuh gurunya, katanya: “apakah guru ijinkan murid bertanya sebuah hal lagi?”

“Apa? Silahkan bertanya!”

“Guru, bukankah saat ini guru sedang menderita luka parah?” Tiba-tiba mata Malaekat-elmaut berkilat-kilat memancarkan api sehingga Cian Hong tergetar juga hatinya. Buru-buru ia hentikan ucapan yang hendak diutarakan, ia tundukkan kepala berdiam diri.

Wajah Malaekat-elmaut penuh dengan berbagai kerut perubahan. Banyak nian getaran-getaran hati yang membayangkan peristiwa lampau.

“Benar, memang aku menderita luka,” katanya beberapa jenak kemudian.

Cian Hong terkejut. Siapakah gerangan tokoh yang mampu mengalahkan Malaekat-elmaut? Bukankah tokoh itu seorang yang sakti sekali...!

Sampai beberapa saat Cian Hong terlongong-longong.

“Memang suatu hal yang tak kuduga-duga,” kata Malaekat- elmaut.

“Tak terduga-duga?” ulang Cian Hong.

Cian Hong terkejut. Hampir ia tak percaya akan keterangan Malaekat-elmaut. Seorang tokoh yang begitu termasyhur dapat dilukai oleh seorang dara. Ah, mustahil....

“Kau tak percaya?” kata Malaekat-elmaut; “Aku percaya penuh pada guru. Tetapi hal itu benar-benar tak mungkin!” jawab Cian Hong.

Malaekat-elmaut menghela napas: “Tetapi memang sebuah kenyataan!”

“Benar-benar hal yang tak terduga-duga.”

“Tetapi bukan itu yang akan membuatmu heran.” “Eh, apakah dara itu mempunyai 3 kepala 6 tangan?” “Ah, tak sengeri itu. Tetapi sepasang matanya ”

“Buta?” tukas Cian Hong. “Bagaimana kau tahu?” Malaekat-elmaut heran. “Hai apakah benar dia?” tergetar hati Cian Hong membayangkan sidara jelita yang buta matanya. Dara yang diberikan nama Giok-lo-sat.

Cian Hong berdebar-debar.

“Kau kenal padanya?” seru Malaekat-elmaut pula. “Ya,” Cian Hong mengangguk. “Siapakah dia?” Cian Hong tertegun, sahutnya: “Giok-lo-sat!” “Giok-lo-sat? Apakah itu namanya aseli?”

“Ini...” Cian Hong tergugu diam. Ia baru saja berkenalan dengan jelita buta itu. Siapakah namanya yang aseli, ia tak tahu. Ia hanya tahu sidara memakai nama Giok-lo-sat. Nama yang diberikan atas permintaan dara itu sendiri.

Malaekat-elmaut tertawa mendesis: “Giok-lo-sat mungkin nama itu nama gelaran yang dipilihnya!”

Cian Hong tersipu-sipu tundukkan kepala. “Guru, nama Giok-lo- sat itu murid yang memberikan kepadanya!”

“O, kau yang memberikan?” seru Malaekat-elmaut agak kaget. Cian Hong gelisah sekali. Dia ingin mati saja.

Bukankah karena memberikan nama Giok-lo-sat itu maka sidara itu mencari Malaekat-elmaut? Bukankah dara itu menyatakan bahwa agar nama Giok-lo-sat menggetarkan dunia persilatan maka dara itu hendak membunuh Malaekat-elmaut.

“Guru, murid bersalah pedamu,” akhirnya Cian Hong berkata penuh sesal. Serta merta ia jatuhkan diri berlutut dihadapan Malaekat-elmaut.

Malaekat-elmaut kaget. Buru-buru ia berseru: “Lekas bangun!

Katakanlah apa yang hendak kau utarakan!” Cian Hong tetap berlutut. Ujarnya: “Dara buta itu karena mendapat nama Giok-lo-sat maka ia lantas mau cari gara-gara agar namanya terangkat didunia persilatan. Dia sengaja mencari guru untuk mengadu kepandaian. Dengan begitu secara tak langsung akulah yang mencelakai guru.”

“Kau salah terka!” seru Malaekat-elmaut.

Cian Hong mengangkat muka memandang gurunya.

Mata Malaekat-elmaut berkilat-kilat. Sikapnya aneh sekali. “Bangunlah, nanti kuceritakan,” seru Malaekat-elmaut.

Setelah Cian Hong bangun, Malaekat-elmaut berkata pula: “Kau kira dara itu benar-benar hanya untuk mengangkat nama lalu mencari aku?”

“Dia mengatakan begitu,” sahut Cian Hong. “Dalam laut dapat diukur, hati manusia sukar diduga. Mengapa kau mudah percaya ucapannya? Yang nyata ia berbuat begitu karena mempunyai tujuan sendiri.”

“Tujuan?” Cian Hong heran.

“Ya. Kalau hanya untuk cari kemasyhuran maka tak nanti seseorang menganiaya lain orang dengan sewenang-wenangnya. Kuduga dia berbuat begitu karena untuk mencari kitab ilmu Pukulan-hitam!”

Kembali Cian Hong terbeliak kaget. Ia tertarik benar dengan keterangan gurunya.

Belum Malaekat-elmaut melanjutkan kupasannya, sekonyong- konyong dari arah belakang terdengar suara orang berseru dengan nada dingin: “Setan tua, dugaanmu memang tepat!”

Cian Hong buru-buru berpaling. Ah.... tak jauh dibelakangnya tampak sesosok tubuh langsing dari seorang dara jelita. Siapa lagi kalau bukan si-dara buta! Dara itu tertawa gemerincing. Cian Hong gelisah... Sampai beberapa jenak, ia tegak tak bergerak.

“Bagus kebenaran kau datang,” seru Malaekat-elmaut, “katakanlah gurumu!”

Walaupun sepasang matanya buta tetapi dara itu bergerak secara wajar dan leluasa. Tak ubah dengan seorang yang melek. Dengan mengulum senyum berseri-seri ia maju menghampiri.

“Perlu apa? Aku ialah aku, apa hubungannya dengan guruku?” katanya pelahan.

“Kau sendiri siapa?” seru Malaekat-elmaut.

“Giok-lo-sat. Bukankah sudah kukatakan kepadamu?” “Aku hendak mengetahui namamu aseli!”

“Nama hanya sebuah tanda saja. Masakan ada yang aseli ada yang palsu!” lengking sidara.

Malaekat-elmaut deliki mata. Ia batuk-batuk sejenak, ujarnya; ”Lalu apa maksudmu sebenarnya datang kemari?”

“Maksud sebenarnya? Aku tak mengerti kata-katamu,” Giok-lo- sat gelengkan kepala dengan gerak gerik yang nakal.

Melihat tingkah laku sidara yang mengolok Malaekat-elmaut, panaslah darah Cian Hong. Serentak ia loncat kehadapan sidara.

“Apa kau yang melukai guruku?” serunya geram.

Giok-lo-sat terkesiap, serunya: “Eh, apakah dia gurumu?” “Jawab dulu pertanyaanku tadi!” kata Cian Hong dengan tegas. Giok-lo-sat tertawa datar.

“Ih, mengapa kau galak sekali?” tegurnya.

Cian Hong tersipu-sipu. Kemarahannya menurun. Malu ia ditegur demikian. “Jawablah! Apakah benar dia gurumu?” sidara mengulangi pertanyaannya pula.

“Ya,” sahut Cian Hong. Sesaat telingapun kemerah-merahan.

Katanya pula: “Benarkah kau yang melukai guruku?”

“Melukainya? Eh, benar!” seru sidara. “Kau jahat!”

“Tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Demi jangan sampai mengecewakan jerih payahmu memberikan nama Giok-lo-sat padaku, aku harus memperkenalkan nama itu kepada dunia persilatan. Maka terpaksa aku harus mengorbankan gurumu dulu...”

Dara itu berhenti sejenak lalu katanya pula: “Dan lagi kau tidak memberitahukan padaku bahwa dia gurumu. Andaikata aku tahu tak nanti aku mengganggunya!”

Cian Hong tercekat mendengar penyelasan sidara.

Diam-diam ia mengakui kebenarannya. Dipandangnya dara itu dengan dingin.

Giok-lo-sat tiba-tiba alihkan pembicaraannya kepada Malaekat- elmaut: “Dalam pertandingan kemarin, sebenarnya aku tak dapat memenangkan kau. Apakah kau sendiri yang menderita luka? Huh akupun juga mendapat luka-dalam hingga menghabiskan waktu setengah hari baru kudapat menyalurkan kembali jalan darahku. Sekarang aku bersedia menerima sebuah pukulanmu.”

Tenang dan wajar sekali sidara berkata-kata. Kebalikannya Malaekat-elmaut malah yang tertegun beberapa jenak.

Dalam pertempuran, Malaekat-elmaut dapatkan kepandaian sidara itu berimbang. Dan yang mengherankan dalam waktu setengah hari saja dara itu sudah sembuh dari lukanya. Benar ia tak mengerti... Walaupun untuk beberapa pertimbangan, Malaekat-elmaut belum mau gunakan tenaga pukulan penuh, tetapi ditilik dari usianya yang masih begitu muda belia sudah memiliki kesaktian yang sedemikian itu, benar-benar sukar dipercaya. Dara itu dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh termasyhur didunia persilatan.

Beberapa saat kemudian barulah Malaekat-elmaut berseru : “Jika kau tetap tak mau mengatakan dirimu demi menjaga kedudukanku, aku enggan berkelahi dengan kau!”

Sepasang pipi Giok-lo-sat kemerah-merahan. Serunya geram : “baik, kalau kau hendak menjaga gengsimu, biarlah aku yang mulai memukulmu dulu!”

Sidara menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan melesat seraya ayunkan tangannya. Serangkum tenaga dahsyat berhambur melanda Malaekat-elmaut...

Melihat kedahsyatan sidara menyerang, Cian Hong terkejut sekali. Desss... terdengar letupan keras. Tempat dimana Malaekat- elmaut duduk mengepul debu tebal. Tubuh Malaekat-elmaut terbungkus debu. Beberapa saat barulah tampak lagi.

Malaekat-elmaut tetap duduk ditempatnya.

Giok-lo-sat menyusuli lagi sebuah pukulan. Kali ini lebih dahsyat dari yang tadi. Dan debu yang ditimbulkan pukulanpun lebih tebal dari yang tadi. Tubuh Malaekat-elmaut seolah-olah hilang terbungkus debu....

Cian Hong kebat kebit hatinya. Dengan menahan napas ia menunggu hasil pertempuran dahsyat itu. Debu bertebaran lenyap, Malaekat-elmaut tampak masih duduk ditempatnya....

Tiba-tiba Giok-lo-sat melengking dan melontarkan sebuah pukulan dahsyat lagi. Tepat pada saat Giok-lo-sat menghantam, Cian Hongpun menjerit. Hati anak muda itu pilu sekali demi dilihatnya mulut Malaekat-elmaut mengucurkan darah.

Tanpa berayal lagi, Cian Hongpun segera loncat diudara dan ayunkan sebuah pukulan kearah Giok-lo-sat.

Gerakan tak terduga-duga itu menimbulkan akibat yang tak terduga-duga pula. Giok-lo-sat serasa diterjang oleh serangkum tenaga dahsyat sehingga diluar kehendaknya ia terpental mundur dua langkah.

Tetapi sebaliknya Cian Hongpun menderita lebih hebat lagi. Ia rasakan tenaga pukulan sidara itu lunak seperti kapas. Tetapi seketika itu juga ia rasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Bluk, jatuh ia terduduk ditanah...

Malaekat-elmaut terkejut: “Muridku, apakah kau terluka?”

Cian Hong gelengkan kepala. Tetapi ketika ia hendak bangun ah... tenaganya lemah lunglai sekali hingga tak dapat digerakkan.

Giok-lo-sat tak menyangka sama sekali bahwa Cian Hong bakal turut campur. Lebih tak diduganya lagi bahwa pemuda itu memiliki tenaga pukulan yang sedemikian dahsyatnya. Bukan saja mampu menerima pukulannya, bahkan dapat juga balas memukulnya sampai tersurut dua langkah....

Penilaian Giok-lo-sat hanya berdasarkan apa yang diketahuinya. Tetapi ia tak mengetahui bagaimana keadaan Cian Hong yang sebenarnya.

Malaekat-elmaut geleng-geleng kepala menghela napas: “Tak dapat menyesalkan kau!”

Cian Hong tak mengerti apa yang dimasudkan gurunya. Ia duduk termangu-mangu. Sampai beberapa saat tak dapat bicara apa-apa.

Tiba-tiba Giok-lo-sat menghampiri, ujarnya: “Ayo, kita lanjutkan lagi?” Segera dara buta itu mengangkat tinjunya hendak dipukulkan. “Tak usah berkelahi lagi!” buru-buru Malaekat-elmaut

mencegahnya.

“Eh, bukankah belum ada yang kalah dan menang?”

“Aku sudah cukup merasakan pukulanmu Bian-kut-hong!” Ketika  mendengar  Malaekat-elmaut  mengucapkan  kata Bian-

kut-hong  (angin-pelemas-tulang),  pucatlah  wajah  Giok-lo-sat, ia

menyurut mundur tiga langkah. Ia tegak terlongong-longong...

Sabenarnya Malaekat-elmaut hanya menduga-duga saja. Siapa tahu dugaannya itu membuat sidara terbeliak kesima.

“Oh, kiranya kau juga muridnya!” seru Malaekat-elmaut pula. Sengaja ia tak mau menyebut nama tokoh yang dianggap sebagai guru sidara itu.

Giok-lo-sat makin tercengang. Beberapa saat lamanya barulah ia berkata: “Siapa? Aku murid siapa?”

“Dikolong jagad siapa lagi orang kedua yang memiliki ilmu pukulan Bian-kut-hong?” dengan cerdik Malaekat-elmaut mengatur kata-katanya untuk menghindar menyebut nama yang tepat.

“Maksudmu aku tak layak memiliki pukulan Bian kut hong?” Giok-lo-sat menegasi.

“Tidak. Maksudku hendak mengatakan kau tentu muridnya!” jawab Malaekat-elmaut.

“Dia? Siapakah dia itu?” lengking Giok-lo-sat.

“Kau toh tahu sendiri mengapa harus suruh aku mengatakan?” Malaekat-elmaut tetap berusaha menghindari.

Tetapi Giok lo-sat yang cerdik segera mencium bau. “Aku tak tahu!” lengkingnya. Malaekat-elmaut tertegun. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi kemacetan itu.

Untung saat itu Cian Hong sudah berdiri. Dengan perlahan-lahan ia menghampiri kehadapan Giok-lo-sat terus hendak menamparnya. Tetapi kedua bahunya serasa linu dan tak bertenaga. Ah, lemas sekali.....

Cian Hong kerutkan gerahamnya. Dipandangnya dara itu dengan berapi-api, seolah-olah hendak ditelannya.

“Kau seorang dara iblis ” serunya geram.

Jarang benar ia memaki-maki orang. Maka tak dapatlah ia menumpahkan kemarahannya dengan makian.

Giok-lo-sat tertawa hambar. “Aku tak sengaja. ” serunya.

“Hm, pada suatu hari aku tentu akan menagih hutang ini dengan bunganya,” dengus Cian Hong. Kemarahannya tampak benar tetapi Giok-lo-sat acuh tak acuh. Ia mengeluarkan sebutir pil warna hitam.

“Apapun yang terjadi besok, aku tak peduli,” ujarnya, “tetapi karena kau sekarang terluka maka minumlah pil ini.”

“Tidak perlu!” seru Cian Hong dengan getas.

“Kepala batu bukan sikap yang baik,” kata Giok-lo-sat, “ketahuilah bahwa didunia hanya pil ini saja yang mampu menyembuhkan lukamu.”

“Biar mati aku tak sudi menerima pemberianmu!”

Cian Hong tetap berkeras kepala. “O, kau kelewat keras kepala!” “Pada suatu hari aku tentu akan menyuruhmu merssakan derita

seperti aku saat ini.”

“Soal besok kita bicara besok. Baiklah kau minum dulu pil ini,” bujuk Giok-lo-sat. “Jangan berpura-pura seperti tiba-tiba menangisi kucing!” teriak Cian Hong.

Selagi kedua anakmuda itu berbantah, diam-diam Malaekat- elmaut mengawasi pil ditangan Giok-lo-sat. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba wajahnya berseri girang.

“Muridku, terimalah pemberiannya,” serunya pelahan kepada Cian Hong.

“Apa?” Cian Hong terkejut. Mata membelalak lebar, “Guru...” “Jangan  banyak  curiga!”  seru  Malaekat  elmaut.  “Tidak guru!

Bukannya curiga tetapi memang aku tak sudi menerimanya!” sahut

Cian Hong.

“Tetapi tanpa pil itu kau akan cacad seumur hidup!” Cian Hong terkejut, menyurut mundur.

“Masakan begitu hebat?”

“Memang benar seperti yang gurumu katakan,” sidara menyelutuk.

“Jangan banyak mulut!” bentak Cian Hong. Malaekat-elmaut geleng-geleng kepala melihat kekerasan, hati muridnya. Namun ia tahu bagaimana akibat luka yang diderita Cian Hong.

“Sudahlah, terima saja,” bujuknya, seorang lelaki harus berani mengalah diwaktu harus mengalah dan keras diwaktu harus keras!”

Cian Hong tertegun mendengar ucapan itu. Tak tahu ia bagaimana harus bertindak. Ia percaya, Malaekat-elmaut tak nanti menganjurkan begitu, andaikata tak mengetahui apa jadinya ia nanti. Sekilas timbullah rasa cemas dalam hati Cian Hong.

Giok-lo-sat tertawa melengking. “Masakan kau tak mau melakukan perintah gurumu?” Cian Hong memandang Malaekat-elmaut dengan sorot meminta agar dia jangan dipaksa menerima pemberian Giok-lo-sat.

“Biarlah kali ini kau korbankan perasaanmu,” rupanya Malaekat- elmaut tahu apa yang tersembul dalam sorot mata muridnya.

Walaupun dalam hati kecilnya segan menerima pemberian sidara, namun ia sungkan juga membantah perintah gurunya.

Ia maju menghampiri untuk menyambuti pil dari tangan Giok- lo-sat. Tetapi baru tangannya mengulur sekonyong-konyong tubuh Giok-lo-sat melesat beberapa tombak jauhnya.

Cian Hong melonjak kaget!

“Aku memikirkan dirimu,” seru Giok-losat dengan dingin. Wajahnya membeku, sikapnya tawar. Ujarnya: “dengan itikad baik kuberikan pil padamu tetapi rupanya kau berlaku macam anjing menggigit dewa Lu Tong-pin. Tak mengerti kebaikan orang. Kau sengaja jual mahal. Hm, sekarang jangan harap kau bisa mendapatkan pil itu. Aku telah merubah putusanku takkan memberikan pil itu kepadamu!”

Cian Hong tersipu-sipu malu. Seketika merah padamlah wajahnya, ia marah sekali.

“Kau, kau, kau tak mau memberi... akupun tak kepingin...” serunya tersekat-sekat karena menahan amarah.

Habis berkata anakmuda itu terus berputar diri dan melangkah pergi.

Giok-lo-sat tertawa dingin: “Apakah aku yang memberi harus merintih-rintih supaya kau suka menerimanya?”

Cian Hong berpaling, serunya : “Akupun tak kepingin pada pilmu. Aku tak percaya bahwa tanpa pilmu aku bakal menjadi orang cacad!” “Kalau kau menganggap begitu, cobalah saja nanti.”

“Sekalipun mati, tak nanti aku minta pertolonganmu!” sahut Cian Hong.

Tiba-tiba telinga Cian Hong mendenging-denging seperti terngiang-ngiang nyamuk. “Muridku, jangan berkeras kepala. Kau harus mendapatkan obat pil itu!”

Jelas bahwa yang mengiangkan ilmu Menyusup-suara itu tentulah Malaekat-elmaut. Ia berpaling memandang kearah gurunya. Tetapi hatinya angkuh sekali. Tetap ia tak mau meminta pada Giok-lo-sat.

“Kalau menuruti kemarahan sesaat, kau tentu akan menyesal selama-lamanya. Janganlah berkeras kepala!” kembali terdengar kata-kata seperti nyamuk mengiang-ngiang.

Tiba-tiba Cian Hong melihat Giok-lo-sat melesat keluar kemulut gua, pada lain jenak bayangan dara itupun lenyap.

Cian Hong termangu-mangu. Ia kehilangan faham. Mengejar atau tidak. Adalah karena tak dapat memutuskan, maka sampai beberapa saat ia tegak termangu-mangu.

“Muridku, adakah kau dapat melaksanakan harapanku untuk menumpas musuh-musuhku hanya tergantung pada sikapmu saat ini. Jika kau tak mau mengejar dara itu, sejak saat ini putuslah hubungan kita sebagai murid dan guru!”

Malaekat-elmaut mengucapkan kata-katanya dengan nada tegas dan bengis. Cian Hong gelisah sekali.

Tetapi saat itu ia tak dapat berpikir lama. Ia harus mengambil putusan dengan cepat....

“Baik, akan kukejar!” akhirnya meluncurlah keputusan dari mulut Cian Hong. Serentak Cian Hong berbalik diri dan menghadap kearah Malaekat-elmaut. Setelah memberi hormat iapun bergegas- gegas melesat keluar gua....

“Memandang kemuka tampak bayangan Giok-lo-sat meluncur bagaikan gulungan asap. Makin lama makin jauh. Ilmu meringankan tubuh sidara itu benar-benar mentakjubkan sekali.

Segera Cian Hong bersiap. Setelah menahan napas maka larilah ia sekuat-kuatnya. Sekonyong-konyong beberapa sosok bayangan hitam berkelebatan dan dihadapannya muncul beberapa.., setan! Mahluk-mahluk yang rambutnya gimbal tak keruan. Lidahnya yang merah darah menjulur kebawah sampai keperut.

Cian Hong tersentak kaget, pikirnya: “Eh, aneh benar. Mengapa disiang hari muncul setan-setan.”

Ia mendongak mengawasi cakrawala. Saat itu hari sudah menjelang magrib. Matahari mulai masuk keperaduan. Empat penjuru terselimut oleh sinar remang-remang kabut.

Mahluk-mahluk aneh itu mirip dengan tengkorak hidup. Mereka berjalan menghampiri Cian Hong.

“Benarkah ini yang dikatakan setan?” batin Cian Hong.

Setan lidah panjang itu makin mendekati. Dan karena gentar, Cian Hong mundur beberapa langkah.

Dipandangnya kawanan setan itu dengan seksama. Mereka terus maju menghampiri...

“Hai, kalian manusia atau setan?” teriaknya. Ucapan itu hanya untuk meneguhkan nyali. Karena sambil berteriak, Cian Hongpun mundur lagi beberapa langkah.

Kawanan setan itu seperti tak mengacuhkan. Mereka tetap melangkah maju. Melihat itu marahlah Cian Hong. Segera ia gerakkan kedua tinjunya. Dengan sekuat-kuatnya ia menghantam. Angin menderu hebat. Serangkum tenaga dahsyat menghambur. Tetapi barisan setan lidah panjang itu tak kurang suatu apa. Mereka tetap melangkah maju. Lidah mereka yang panjang bergeliatan kian kemari. Benar-benar menyeramkan sekali.

Melihat itu Cian Hong terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

Dia mundur sampai kesebatang pohon besar.

“Hai. jangan berpura-pura jadi setan. Kalau jantan, tunjukkan mukamu!” setelah pulih dari kejutnya Cian Hong berseru nyaring.

Kawanan setan itu bercuit-cuit riuh. Mereka ulurkan tulang- tulang tangannya macam cakar, mengarah Cian Hong. Mau tak mau ngeri juga Cian Hong. Ia tak tahu apakah setan-setan itu benar setan atau hanya setan jejadian.

Kawanan setan itu berhamburan mencengkeram. Terpaksa Cian Hong menghindar kesamping lalu menghantam lagi. Pukulan kali ini dilancarkan dengan tenaga penuh. Dahsyatnya dapat menumbangkan pohon.

Tetapi anehnya, kawanan setan lidah panjang itu bandel sekali.

Seolah-olah tak merasakan apa-apa.

Pukulan Cian Hong tak membawa akibat suatu apa.

Cian Hong benar-benar terkejut sekali. Kaki tangannya serasa lentur tak bertenaga lagi. Sekonyong-konyong setan lidah panjang itu loncat menerkam, Cian Hong masih dapat menghindar.

Saat itu bayangan-bayangan putih berkelebatan. Debu dan pasir- pasir berhamburan. Setan-setan meringkik-ringkik gempar. Tiba- tiba  terdengar  Cian  Hong  menjerit  ngeri.  Tubuhnya  melambung bagai  sebuah  bola.  Terlempar  sampai  10-an  tombak  dan  jatuh kedalam semak. Matanya berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling. Dia segera hendak bangun tetapi gagal. Ia menggeletak lagi. Saat itu ia benar-benar putus asa. Mata sukar dibuka.

Tiba-tiba telinganya terngiang derai tertawa. Nadanya bergemerincing bagai mutiara ditumpahkan dalam tampi.

“Hi, ketawa itu seperti tak asing bagiku,” ia gelagapan dan dipusatkan seluruh pikirannya untuk mendengarkannya. Aneh, suara tertawa itu jauh-jauh dekat, seperti beralun-alun diudara sukar diduga arahnya.

Pada saat ia curahkan perhatian mendengari, suara tertawa itu terdengar jauh. Tetapi apabila ia lepaskan pendengarannya, suara tertawa itupun dekat sekali dengan telinganya.

Cian Hong diam-diam mengadakan penilaian. “Nadanya seperti seorang wanita, tetapi siapakah gerangan dia?” sekilas benaknya terisi oleh bayang-bayang sesosok tubuh langsing, tetapi ia tak berani memastikan, benar atau bukan. Lalu lain sosok bayangan langsing melintas pula. Ah, ia tetap bersangsi.

Jelas sebagai tertawa wanita. Jauh tetapi dekat. Dekat tetapi jauh. Ingin ia hendak meretang mata melihat siapakah yang menertawakannya. Tetapi matanya terasa berat sekali. Betapapun ia rentang sekuat-kuatnya namun tak dapat mata dibuka.

Sekonyong-konyong serangkum bau wangi membaur kehidung terus menyusup kedalam uluhati. Seketika kesadaran pikirannya melayang lenyap. Dan tak tahulah ia apa yang terjadi selanjutnya.

Ketika tersadar, ia dapatkan sekelilingnya gelap gelita. Tiba-tiba terdengar suara mendengung-dengung.

Cepat-cepat ia loncat bangun, auh.....dahinya membenjul dan jatuhlah ia lagi. Ia heran dan memeriksa apa yang menyebabkan. Hai, ternyata ia dikurung dalam sebuah peti besi! Tetapi mengapa ia seperti dikocok kian kemari dan suara bergerodakan tak henti- hentinya mengiang. Dengan tenang ia memperhatikan apa yang terjadi sebenarnya. Wahai, ternyata ia berada dalam sebuah peti besi yang dibawa sebuah gerobak. Karena jalanan tak rata maka peti bergoncangan kian kemari. Terpaksa Cian Hong hanya dapat menghela napas dan membaringkan diri lagi.

Tiba-tiba diluar didengarnya suara orang bercakap-cakap dengan berbisik : “Jun-lan, tahukah kau apa sebab nona menangkap budak lelaki itu?”

Cian Hong tergetar. Dia tahu yang dimaksudkan sebagai budak lelaki itu tentulah dirinya. Ia marah tetapi apa daya.

Orang yang dipanggil “Jun-lan” itu menyahut: “Jiu-kiok, masakan kau tak tahu?” “Kalau tahu masakan bertanya.

“Kau tahu berapa umur nona tahun ini?” tanya yang dipanggil Jun-lan.

“Apa hubungannya dengan hal itu?” Jiu-kiok balas bertanya, Jun- lan tertawa mengikik, serunya: “Erat sekali hubungannya.”

“Bukankah nona baru berusia 18 tahun?” kata Jiu kiok. “Apakah umur 18 tahun masih kecil?” lengking Jun-lan.

Kini  baru  Jiu-kiok  seperti  disadarkan,  serunya  :  “Uh,  usia  18 tahun memang tidak kecil lagi!”

“Benar!”

Dari lubang kecil yang terdapat pada dinding peti besi, dapatlah Cian Hong mendengarkan percakapan itu.

Seketika keringat hangat mengucur ditubuhnya. Samar-samar ia dapat menangkap maksud pambicaraan kedua anak perempuan itu.

“Loya baru beberapa hari meninggal, mengapa nona malah berbuat yang tidak-tidak?” tanya Jun-lan pula. “Eh, apakah kau percaya loya (majikan tua) benar-benar meninggal?” balas Jiu-kiok.

Jun-lan terkejut: “Apa? Apakah loya belum meninggal? Apakah ada orang mati yang pura-pura?”

“Sungguh-sungguh dan pura-pura, pura-pura dan sungguh...”

Jiu-kiok berhenti sejenak, katanya pula: “Hal itu, kita hanya sebagai bujang tak perlu mengurusi agar jangan bikin kacau. Setiap saat mungkin keadaan berubah. Hai, sampai dimanakah kita sekarang?”

Kembali Cian Hong merenungkan pembicaraan itu. Diam-diam ia makin memperhatikan mereka.

“Sudab lewat gunung Mo-san, segera kita akan sampai!” sahut Jun-lan.

“Mo-san? Sebelum matahari terbenam kita akan sampai!” seru Jiu-kiok.

“Ya, mudah-mudahanan.”

“Tetapi gerobak harus kita larikan lebih cepat. Kalau tidak, tentu takkan tercapai. Sekali nona marah-marah, siapa yang berani mencegahnya?”

Cian Hong heran. Selama ini tak pernah ia mendengar tentang gunung Mo-san. Tak tahu ia sudah berapa lama berada dalam gerobak dan hendak dibawa kemana.

Kedua bujang perempuan itupun diam. Cian Hong merasa sesak dadanya. Kalau dapat ia hendak menjebol kurungan besi itu untuk menghirup udara segar.

Keinginan itu makin membesar dan serentak ia ayunkan tinjunya menghantam dinding peti. Bunnng.... peti berguncang- guncang keras, tetapi tak apa-apa. Cian Hong terperanjat. Pada lain saat ia geram, putus asa. Kedua matanya berlinang-linang....

Ternyata ia sudah kerahkan seluruh tenaganya memukul, tetapi apa yang didapatinya ternyata ia tak memiliki tenaga-dalam lagi. Pukulannya kini seperti pukulan orang biasa yang tak memiliki ilmu silat.

Pukulan dalam peti besi itu, membuat kedua bujang terkejut. “Eh, apakah budak dalam peti ini sudah tersadar?” seru Jiu-kiok.

Kata-kata bujang itu benar-benar kasar. Ia mempersamakan seorang pemuda gagah macam Cian Hong hanya seperti seorang kacung saja.

“Hai, budak dalam peti, apa kau sudah mampus?” seru Jiu-kiok kepada Cian Hong.

Cian Hong diam saja.

“Hai, apakah kau tuli?” Jiu-kiok ulangi seruannya lagi. “Tidak! Aku masih hidup!” sahut Cian Hong dengan geram.

“Mengapa kau tak menjawab panggilanku?” “Perlu apa aku harus menjawab?”

“Baik, kalau kau tak mau menjawab, cobalah siapa yang lebih tahan,” habis berkata itu Jiu-kiok tak mau mengganggunya lagi. Entah apa yang dikatakan. Yang kedengarannya ia hanya menggerutu panjang pendek....

“Hai, apakah masih ada orang diluar?” beberapa saat kemudian karena kesesakan, Cian Hong berseru.

Tetapi tiada penyahutan sama sekali.

“Apakah kalian mampus semua...,” Cian Hong berseru sekuat- kuatnya. Sekonyong-konyong terasa goncangan berat sehingga kepala pening mata berkunang-kunang dan terdengarlah sibujang Jiu-kiok berseru: “ Budak, berbaringlah saja. Kalau ribut-ribut terus, awas, tahu rasa sendiri nanti!”

“Nona, tolong tanya. Kemanakah kau hendak membawa aku?” menggunakan kesempatan itu Cian Hongpun segera berseru dengan bisik-bisik.

“Tak perlu kau tahu. Nanti pada waktunya kau tentu tahu sendiri,” sahut sibujang. “Siapakah namamu?”

“Aku Jiu-kiok.”

Siapakah yang kau maksudkan dengan 'nona' itu? Maukah kau memberitahu?” kata Cian Hong.

Jiu-kiok tertegun. Beberapa jenak baru ia menyahut: “Tak usah kau banyak tanya. Tanyapun tak ada gunanya. Tidur saja nanti tentu tahu sendiri!”

“Nona, nona...” Cian Hong makin gugup. Tetapi hanya mendapat sambutan tertawa dari kedua bujang itu. Mereka tak mau mengacuhkan. Cian Hong hampir meledak dadanya. Ia marah dan geram sekali. Tetapi tak dapat berbuat suatu apa.

Entah berapa lama gerobak itu melanjutkan perjalanan. Tiba- tiba berhenti. Cian Hong tegang. Dengan penuh perhatian ia pasang telinga. Terdengar suara musik menggema, mengiang-ngiang ditelinga Cian Hong. Hatinya gelisah tak keruan, dan entah bagaimana ia merasa lemas. Terpaksa ia berbaring.

Beberapa saat kemudian terdengar derap kaki hilir mudik. Cian Hong rasakan peti seperti diangkat, digotong menyusur sebuah lorong panjang. Lalu diletakkan ditanah lagi.

Berbagai perasaan mencengkam hati Cian Hong. Marah, geram, sedih dan putus asa. Apa yang dialami benar-benar membingungkan. Tengkorak-tengkorak jejadian yang menerkamnya, peti besi yang mengurungnya dan gerobak yang mengangkutnya. Ah, siapakah gerangan yang merencanakan penangkapan dirinya itu. Kalau nanti berhadapan dengan manusia jahat itu, ingin ia meremuk-remuk kepalanya.

Apabila membayangkan pada orang yang menyiksanya, seketika menyalalah kemarahannya dan dengan kedua tangannya segera ia menghantam peti kurungannya. Bung, bung, bung....

“Apakah kau bosan hidup?” beberapa saat kemudian terdengar orang menegurnya.

Sebenarnya Cian Hong kuatir kalau tiada orang yang mengurusnya. Demi mendengar suara orang, ia malah girang.

“Siapakah kau?” serunya dari lubang hawa. “Mengapa kau pelupa benar?”

“O, kau Jiu-kiok.”

“Ya, benar. Jangan bikin ribut, akan kutinggal dulu sebentar!” “Hai,  jangan,  jangan...  keluarkan   aku  dululah!”   Cian  Hong

terkejut    dan    memekik-mekik    gugup.    Tetapi    Jiu-kiok    tak

mempedulikan. Pendengaran Cian Hong tajam sekali. Ia tak mendengar derap kaki sinona.

“Hm, apa dia bersembunyi disamping sengaja mau menggoda aku?” pikirnya. Dengan sekuat-kuatnya ia berseru lagi: “Nona Jiu kiok, Jiu... kiok ”

Tetapi sampai tenggorokan serasa pecah, tiada terdengar penyahutan apa-apa. Huh.... karena mengkalnya ia jatuhkan diri dengan lemas.

Beberapa saat kemudian, terdengar pula suara bujang Jiu-kiok mengiang: “Heh, mengapa kau berubah jinak?” Cian Hong tertegun, serunya: “Apakah kau tadi pergi?” “Mengapa?”

“Kukira kau tidak pergi.”

“Mengapa? Aku tadi mengurus sedikit pekerjaan. Kau tak percaya padaku?”

“Ya, aku agak sangsi.” “Mengapa?”

“Kau tentu tak pergi. Aku tak mendengar derap kakimu sama sekali. Aku lebih percaya telingaku dari keteranganmu!” Cian Hong ngotot tetapi Jiu-kiok hanya tertawa mengikik.

“Huh, mengapa kau tertawa? Apakah telingaku rusak?” Cian Hong terkejut.

“Tidak, telingamu memang tajam.” “Ho, jadi kau membohong?”

“Tidak.”

“Lalu...” tak tahu Cian Hong hendak mengatakan apa lagi. “Pernahkah kau melihat setan?” tiba-tiba Jiu kiok bertanya.

Tersirap darah Cian Hong ketika mendengar kata-kata tentang setan. Walaupun ia telah ditangkap oleh kawanan yang menyerupai bangsa setan, tetapi seumur hidup tak pernah ia melihat setan. Dan memang ia tak percaya didunia terdapat bangsa iblis dan setan.

“Setan? Ya, memang aku pernah mendengar tetapi aku tak percaya tentang hal itu,” sahutnya setelah berpikir sejenak.

“Bagus, cukuplah kalau sudah pernah mendengar ceritanya. Dan apakah pernah juga kau mendengar cerita bahwa bangsa setan itu kalau berjalan kakinya tak menginjak tanah?” tanya Jiu-kiok.

“Ya, memang ceritanya begitu. Tetapi apa perlunya kau menanyakan hal itu?” Cian Hong heran. “Tentu ada keperluannya, “Jiu kiok merenung sejenak, katanya pula: “karena aku ini juga bangsa setan perempuan!”

Keterangan bujang itu daripada menggetarkan nyali Cian Hong kebalikannya malah menimbulkan sambutan yang tak terduga. Cian Hong tertawa terbahak-bahak sampai lama sekali.

Jiu-kiok terkesiap, serunya: “Kenapa....?” “Aku tak percaya ”

sahut Cian Hong, “eh, siapakah namamu?”

“Jiu-kiok. Bukankah tadi telah kukatakan?”

“Ya. Namamu Jiu kiok yang berarti bunga Seruni dimusim rontok itu cukup mengatakan bagaimana orangnya. Aku tak percaya bahwa kau bangsa makhluk halus!”

“Oh, kau bersangsi hanya karena namaku itu? Sebenarnya Jiu kiok itu nama yang kupakai sewaktu aku masih jadi manusia biasa. Setelah meninggal dunia karena dalam Neraka sini banyak jumlahnya setan-setan perempuan maka untuk tanda pengenal diri, aku tetap memakai nama itu!”

Agak menggigil hati Cian Hong mendengar keterangan itu. Ujarnya: “Kalau begitu, apakah kau ini benar-benar bangsa setan?”

“Perlu apa aku harus membohongimu?” balas Jiu-kiok, “dan lagi aku pun segera akan membebaskan kau. Kau nanti dapat membuktikan benar tidaknya keteranganku itu.”

Mendengar akan dibebaskan, bukan kepalang girang Cian Hong, serunya: “Lekaslah bebaskan aku!”

“Jangan terburu nafsu,” kata Jiu-kiok. Cian Hong tak mau berkata-kata lagi. Ia duduk menunggu Jiu-kiok membuka peti kurungan. Tetapi sampai sekian lama belum juga terdengar suatu gerakan apa-apa.

“Nona Jiu-kiok, lekaslah buka peti ini!” serunya tak sabar. “Keluarlah, aku toh sudah membukakan!”

Apa? Aku tak mendengar suara apa-apa!” Cian Hong berseru heran.

“Ingat aku ini setan perempuan. Bangsa setan mempunyai kesaktian yang luar biasa!”

ooOOoo

Cian Hong termangu. Ia tak percaya. Namun dicobanya juga untuk mendorong tutup peti. Ah, peti terbuka seketika.

Tetapi ketika memandang ke sekeliling, ia terkejut lagi, serunya: “Nona Jiu-kiok, kau berada dimana?”

Terdengar suara tertawa mengikik dari seorang anak perempuan: “Aku berada dibelakangmu!”

Cian Hong berpaling. Saking kagetnya hampir saja ia jatuh kedalam peti lagi. Ia mengusap dahinya yang penuh keringat dingin.

Kira-kira setombak jauhnya, tampak sesosok tubuh langsing. Tetapi yang tampak itu bukan berwujud seorang melainkan hanya seperti bayangan yang bergoyang-goyang dalam permukaan air. Yang jelas hanyalah nona itu berpakaian warna hitam, rambutnya terurai memanjang sampai ke bahu. Bagaimana air mukanya sama sekali tak jelas...

“Bagaimana? Apakah kau masih tak percaya keteranganku?” seru Jiu-kiok.

Cian Hong tabahkan nyalinya. Ia loncat keluar dari peti. Dipandangnya dengan seksama, amboi... kaki nona itu benar-benar tak menginjak tanah. Serasa terbang semangat Cian Hong menyaksikan pemandangan itu. Ia tegak seperti patung sampai beberapa saat.

“Ah, tak perlu takut,” Jiu-kiok tertawa, “bangsa setanpun bukan makhluk yang jahat. Bukankah didunia banyak terdapat manusia- sia yang berhati jahat melebihi bangsa setan?”

Ucapan bujang itu banyak membantu memulihkan semangat Cian Hong. Ia membulatkan tekad: “Untung tak dapat diraih, celaka tak dapat dihindari. Asal aku selalu waspada, tak nanti dia begitu mudah hendak mancelakai diriku.”

“Apakah namanya tempat ini?” serunya memberanikan diri. “Lihatlah sendiri, apakah disini mirip dengan tempat setan atau

tidak?” Jiu-kiok balas bertanya.

Cian Hong memandang kesekeliling. Dilihatnya empat penjuru berdinding batu karang yang berwarna hijau kehitam-hitaman. Dipuncak karang tergantung dua buah lentera warna kuning. Entah bagaimana caranya lentera itu dipasang. Kesan yang didapat Cian Hong cukup menyeramkan.

Namun tak mau ia mengunjuk kelemahan. Dengan menggarangkan semangat, ia melangkah maju dua langkah dan berseru. “Memang tempat ini cukup menyeramkan dan aneh. Tetapi menurut penilaian tetap seperti suasana didunia.”

“Benarkah?”

“Aku mempunyai perasaan begini. Jika tempat ini disebut tempat bangsa setan maka jarak perbedaannya hanya sedikit. Ya, hampir sama!”

Walaupun mulut mengatakan begitu namun dalam hati Cian Hong gemetar tak keruan.

“Tetapi kukira hatimu tak mengatakan begitu!” “Ah, tak peduli bagaimana tolonglah kau beritahukan tempat apa ini namanya?” “Nanti kau tentu tahu sendiri!” sahut Jiu-kiok. Tiba-tiba ia ulurkan tangan mengambil lentera kuning. “Ikutlah aku, Nona hendak melihatmu!”

“Nona...?”

“Sudahlah, jangan banyak tanya. Ikut aku saja,” tukas Jiu-kiok. Mereka menyusur sebuah lorong kecil yang gelap dan panjang.

Cian Hong tetap mengikuti dibelakang bujang itu. Diperhatikannya

setiap tempat yang dilalui. Lebih-lebih perhentiannya tertumpah pada tumit nona itu. Benarkah tumit nona itu tak menginjak tanah seperti bangsa setan? Atau apakah nona itu hanya menggunakan ilmu kesaktian saja.

Tetapi apa yang didapatinya, membuatnya putus asa. Selama berjalan itu benar-benar tumit Jiu-kiok tak menginjak tanah. Tumitnya mengapung diatas terpisah Kira-kira tiga dim dari tanah.

Hati pemuda itu makin gemetar.

“Sudah sampai, masuklah sendiri!” tiba-tiba Jiu-kiok berkata. Cian  Hong  berhadapan  dengan  sebuah  gua  batu  yang gelap.

Diluar gua itu penuh ditempeli mutiara-mutiara gemerlapan. Indah

dan menyilaukan, mirip dengan kamar seorang gadis orang kaya.

Cian Hong tertegun, serunya. “Tempat apakah ini?” Tiba-tiba Jiu-kiok meniup padam lenteranya dan berkata dengan dingin : “Apakah kau tak dapat masuk dan melihat sendiri?”

Ucapan bujang itu mengandung pengaruh ajaib.

Diluar kehendaknya, Cian Hongpun melangkah masuk. Tetapi baru saja sang kaki maju setengah langkah hampir ia menyurut kembali.....

Mengapa? Apakah ia melihat momok atau setan belang yang menyeramkan? Tidak! Tetapi karena hidungnya terbaur oleh serangkum hawa harum. Hawa harum yang biasanya dibaurkan oleh gadis-gadis remaja. Ia memandang lagi dengan seksama. Ah, tak salah. Memang yang dimasukinya itu benar-benar sebuah kamar seorang gadis.

Tiba-tiba tubuh Cian Hong serasa didorong dari belakang. Ia terhuyung-huyung kedalam kamar. Segera matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang mengejutkan!

Dalam tebaran sehelai sutera putih, berdirilah bayang-bayang seorang gadis cantik. Ia tampak bergerak-gerak dengan gaya lemah gemulai.

Cian Hong terlongong-longong seperti patung.

Tiba-tiba dari sekuntum bibir merah gadis itu merekah kata- kata: “Apakah kau yang bernama Ko Cian Hong?” Merdu juga nada pertanyaan itu. Namun wajah Cian Hong malah pucat, keringat dingin menghambur keluar, ia tak percaya tentang bangsa setan. Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar-benar tak dapat disangkalnya.

“Mengapa kau tak menjawab pertanyaanku?” gadis cantik itu mengulangi kata-katanya.

Adalah saking kejutnya maka Cian Hong sampai lupa memberi jawaban. Dia benar-benar tak berani mempercayai mata dan telinganya sendiri.

“Kau... kau... kau ini insan manusia atau... setan?” serunya tergugu.

“Seharusnya kau menjawab pertanyaanku dulu!” sahut sigadis. “Baik. Aku memang Ko Cian Hong dan siapakah kau? Apakah

kau benar bangsa setan?” Gadis berselubung sutera putih itu tiba-tiba tertawa gemerincing. Nadanya macam bunga-bunga mekar menyambut embun pagi. Merdu, merayu, menyengsamkan sekali...

“Kau benar, memang aku bangsa setan!” serunya. Seketika menggigillah Cian Hong. Tetapi ia berusaha sekeras-kerasnya untuk menindas perasaan takutnya.

“Kau berada dimana, mengapa tak mau menampakkan diri?” serunya.

“Aku? Aku berada seribu li dari sini.”

“Aku tak percaya,” dengus Cian Hong, “kalau berada pada jarak seribu li jauhnya mengapa bayanganmu tampak dalam sutera putih? Apakah kau bukannya mengolok aku?”

“Ingatlah, bangsa setan itu mempunyai kepandaian yang ajaib!” “Lalu apakah nama tempat ini?”

“Neraka!” tiba-tiba suara gadis itu berubah sedingin es. “Neraka?” Cian Hong terkejut.

“Ya, neraka!” sahut gadis dalam bayangan itu dengan tegas. “Kalau begitu aku sudah mati?”

“Tidak! Kau belum mati, kau masih hidup!”

Cian Hong termangu. Sekilas bayangan yang ngeri mencengkam sanubarinya. Dipandangnya gulungan sutera putih yang membungkus bayangan tubuh langsing itu.

“Apa kau takut?” seru gadis itu.

“Takut? Aku seorang anak laki. Tiada barang didunia yang dapat menakutkan hatiku!” sahut Cian Hong.

“Juga terhadap bangsa setan?”

“Setan? Aku tak percaya didunia terdapat setan!” “Akulah bangsa setan. Kalau kau tak percaya. silahkan membuktikan!”

Gemetar hati Cian Hong mendengar ucapan yang bersungguh- sungguh dari gadis bayangan itu. Tetapi karena ia hendak membuktikan apakah benar-benar didunia ini ada setan atau tidak, iapun melangkah maju tiga tindak.

“Majulah lagi!” gadis bayangan itu tertawa dingin. Cian Hong tertegun beberapa jenak. Tiba-tiba ia maju dua langkah lagi dan dengan gerakan secepat kilat, ia menerkam gulungan sutera putih itu.

Sret, sret Cian Hong terkejut. Ia dapat menerkam sutera, tetapi

hanya sutera kosong melompong. Bayangan gadis itu lenyap.

“Aku dibelakangmu!” tiba-tiba terdengar suara sigadis mengejeknya.

Tubuh Cian Hong menggigil makin keras. Keringat dinginpun mengucur makin deras. Dengan lemas ia berputar diri. Ia terhuyung-huyung gemetar hampir jatuh.

“Eh, bukankah kau mengatakan tak takut pada setan?” seru sigadis.

Memang bukan tak ada alasan Cian Hong hampir semaput itu. Ia kaget, ya kaget sekali ketika menyaksikan pemandangan yang serupa dengan yang dilihatnya tadi. Gadis itu seperti terbungkus dalam segulung sutera putih.

“Kau.... kau ini apa benar-benar setan?” serunya tergagap.

“Hm.....” dengus gadis itu. Suaranya seperti menghambur dari arah utara.

“Tempat apakah ini?” tanya Cian Hong pula. Sebuah kata-kata bernada dingin tiba-tiba meluncur dari gadis bayangan: “Neraka!” “Neraka?” seru Cian Hong lemah lemas. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan serentak berseru tegang: “Neraka?

“Apakah bukan Neraka-19-lapis?”

Pertanyaan itu membuat gadis bayangan tergetar. “Kau siapa?” serunya dengan gugup.

“Aku orang she Ko, Ko Cian Hong. Mengapa?” Ketegangan gadis bayangan itu rupanya agak reda.

Serunya:  “Disini  bukan  Neraka-19  lapis  tetapi  Neraka  lapis kesatu!”

“Neraka-satu-lapis?” “Benar.”

Cian Hong makin ngeri. Tetapi dalam keadaan terpepet (terdesak), orang tentu nekad. Demikian Cian Hong. Dalam keadaan seperti saat itu, semangatnya berontak. Dia tenang-tenang saja menunggu apa yang akan terjadi.

Setelah sekian lama memandang sutera putih tanpa memperoleh suatu kesimpulan, bertanyalah ia dengan nada putus asa: “Apa maksudmu membawa aku kemari?”

“O, benarlah. Hampir saja kulupa...” bayang-bayang tubuh langsing yang terselubung kain sutera putih itu tampak bergeliat pelahan, serunya: “Berapakah umurmu sekarang?”

“Aku? Entahlah!”

“Hi, hi,” bayangan nona itu tertawa mengikik, “tak apalah kalau kau tak mau mengatakan. Kulihat umurmu tentu tak lebih dari 18- an tahun. Tahukah kau berapa umurku? Cobalah terka!”

Cian Hong tertawa menyeringai: “Masakan aku tahu berapa umurmu.” “Terkalah!” “Tidak bisa!” Bayangan  nona  cantik  itu  tertawa  dan  berkata  dengan  lemah lembut: “Tahun ini umurku baru 18 tahun. Eh, masih ada sebuah pertanyaanku   lagi.   Kau   harus   menyawab   dengan   sebenarnya. Apakah kau sudah beristeri? Jangan bohong!”

“Beristeri?”

Cian Hong tak pernah memikirkan soal itu. Ia agak terkejut mendengar pertanyaan sinona.

“Ya, beristeri. Masakan kau tak tahu?” seru sinona.

“Kau anggap aku sebuah tonggak?” Cian Hong balas berseru. “Lalu kau sudah menikah atau belum?” sinona mengulang

pertanyaannya.

“Bagaimana juga aku tak suka menjawab pertanyaanmu itu? “Tak mengapa. Akupun hendak mengurusmu menurut sikap

yang kau unjukkan. Pertanyaanmupun aku tak dapat menjawab!”

Cian Hong merenung sejenak, lalu berseru. “Aku belum menikah!”

“Apa kau tak ingin menikah?”

Soal pernikahan adalah suatu hal yang bahagia dalam lamunan pemuda-pemuda yang tengah menjenjang kedalam dewasa. Begitu pula Cian Hong. Sesuai dengan kewajaran usia dewasa, Cian Hongpun tak terhindar dari impian-impian muluk itu. Diapun menginginkan dapat mempersuntingkan gadis yang diidamkan. Soalnya sang waktu belum tiba.

Tetapi sekalipun hatinya sudah bersemi angan-angan begitu, mulutnya malu mengatakan.

“Jangan malu,” kata sinona lebih jauh, “seorang pemuda akhirnyapun tentu akan mencari pasangannya. Ini sudah kodrat alam!” “Aku tak tahu mengapa kau tanyakan hal-hal yang tak ada sangkut pautnya dengan persoalanku,” seru Cian Hong.

“Sudah tentu erat sekali hubungannya. Aku menginginkan kita dapat menikah.”

Pucat seketika wajah Cian Hong. Saking kagetnya ia sampai terhuyung mundur dua langkah.

“Kau...?” serunya seperti melihat hantu disiang hari. “Ya.” “Kau setan atau manusia?”

“Setan...” sahut nona itu dengan wajar.

“Mana setan dapat menikah dengan manusia?” “Tidak dapat!”

“Kalau begitu, kau hanya berkhayal. Kau setan dan aku manusia. Setan dan manusia tak dapat menikah. Mengapa kau mengajukan kata-kata tadi?”

Nona bayangan itu tiba-tiba tertawa melengking: “Kau memang tolol!”

“Aku tolol?”

“Benar! Memang setan dan manusia tak dapat menikah. Tetapi andaikata kaupun menjadi setan, bukankah kita dapat menikah?”

Enak sekali nona itu mengucap. Tetapi bagi Cian Hong yang mendengarkan, kata-kata itu penuh dengan keseraman. Jantung Cian Hong berdebar keras. Wajahnya makin pucat.

“Kau mau membunuh aku?” tanya Cian Hong. “Hanya dengan jalan itu barulah kita dapat menikah.” “Kalau aku tak mau?”

“Masakan kau dapat membawa kemauamnu sendiri!”

“Kau jauh dari sini, bagaimana kau hendak membunuh aku?” “Jangan lupa!” seru bayangan itu, “bangsa setan mempunyai kepandaian yang melebihi orang biasa. Janganlah coba-coba melawan atau kau nanti bakal menderita sendiri!”

“Aku tak percaya!” “Coba sajalah!”

Tiba-tiba Cian Hong menerkam gulungan sutera putih dengan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya. Tiba-tiba ia menjerit kaget. Ketika tangannya hampir menyentuh sutera, serangkum hawa keras melandanya. Cian Hong terkejut dan menyurut mundur. Dengan terlongong-longong ia memandang gulungan sutera itu.

“Salahmu sendiri mengapa tak mau mendengar kata-kataku!” seru nona dalam gulungan sutera putih.

“Hm!” dengus Cian Hong. Pada lain saat ia maju lagi dan lepaskan sebuah Pukulan-hitam.

Serangkum uap hitam berhamburan dan serentak terdengar sinona bayangan melengking: “Kembalilah!”

Seketika Cian Hong rasakan dirinya dilanda oleh serangkum hawa yang dingin sehingga menyusup sampai ketulang-tulang. Bluk, ia terjungkir balik dan terduduk ditanah.

“Kau belum menyerah?” tegur sinona misterius. Cian Hong diam saja.

“Kau mengaku kalah? Hi, hi... bangunlah!” seru sinona.

Dengan berapi-api dipandangnya nona itu. Sampai beberapa saat Cian Hong tak bergerak. Tiba-tiba tangannya menekan tanah. Ia hendak berdiri. Uh.. ia jatuh lagi. Tulang belulangnya serasa lunglai. Cian Hong terkejut. Benaknya penuh dengan berbagai pertanyaan. Tiba-tiba teringat sesuatu dalam pikirannya. Ia tundukkan kepala menghela napas.

Sekonyong-konyong nona bayangan itu seperti orang kaget: “Hai kiranya kau terkena pukulan Bian-kut-hong. Kedua kakimu sudah lumpuh, ah...! Kalau begitu mati jauh lebih baik dari hidup. Cobalah kau pikir yang tenang. Jika mati dan tinggal di Neraka sini, kau akan menikah dengan aku. Bukankah jauh lebih bahagia?”

Kini Cian Hong baru menginsyafi kelihayan sidara buta Giok-lo- sat. Kebenciannya terhadap dara itu merasuk kedalam sumsum. Pikirnya: “Ha, pada suatu hari aku pasti akan menghajar anak buta itu sampai setengah mati!”

“Bagaimana, apa kau sudah memikir jelas?” seru sigadis setan lagi.

“Jangan mimpi! Sekalipun aku menderita pukulan Bian-kut- hong sehingga kakiku lumpuh begini, tetapi aku percaya tentu akan sembuh lagi. Tetapi jika aku mati aku tak dapat menyelesaikan urusanku. Apalagi mati hanya supaya menikah denganmu, sungguh tak berharga sekali!”

Nona bayangan itu tertawa dingin: “Kau masih berharap dapat sembuh dari kelumpuhanmu? Jangan mimpi!”

“Apa?” Cian Hong menjerit kaget, “apakah kakiku ini tiada obatnya lagi?”

“Dibawah kolong jagad, kecuali aku dan orang yang melukaimu, tiada seorangpun mampu menolongmu. Sekalipun dewa turun dari langit, jangan harap dapat menyembuhkan kakimu. Tetapi jika kau hendak minta tolong padaku, kau harus meluluskan syaratku lebih dulu!”

“Tetapi aku tak ingin menikanh dengan setan!” seru Cian Hong. Tiba-tiba nada nona bayangan itu berubah ramah: “Kau tak mau menikah dengan aku? Hm, kelak kau pasti menyesal sendiri.”

“Tidak nanti aku menyesal!” sahut Cian Hong serentak. “Baik, akan kuobati kakimu...”

“Tanpa syarat?” “Tak perlu.” “Menikah.”

“Bukan....” nona bayangan itu meragu, serunya: “Apakah kau murid si Malaekat-elmaut?” Cian Hong mengiakan.

“Berikan kitab pukulan Hitam dan kakimu tentu kusembuhkan.” “Kitab ilmu Pukulan Hitam ”

(Bersambung) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar