Pukulan Hitam Jilid 01

Jilid ke 1

LANGIT LAZUARDI yang terang cerah tiba-tiba diganggu oleh tebaran awan yang ingin menonjolkan diri. Tetapi hal itu tak mengurangi kemeriahan gedung Bu-ceng-poh yang tengah

menyelenggarakan pesta besar. Pesta untuk merayakan hari jadi yang ke 70 dari pemilik Bu-ceng-poh.

Tiba-tiba seorang pemuda muncul dimuka pintu Bu ceng-poh. Seorang pemuda yang berpakaian compang camping dan ketolol- tololan sikapnya. Kedua tangannya disembunyikan dalam lengan bajunya. Tak ada sesuatu yang luar biasa pada diri pemuda itu kecuali sepasang matanya yang memancarkan sinar berapi-api....

Lama juga ia menunggu didepan pintu barulah seorang bujang tua muncul dan menyapanya: “Kalau saudara hendak memberi selamat pada poh-cu (majikan), silahkan masuk!”

Pemuda itu merenung sejenak lalu balas bertanya: “Apakah disini Bu ceng-poh?”

“Didunia masakan terdapat dua buah Bu-ceng poh?” sahut bujang tua.

“Kalau begitu kepala Bu-ceng-poh ini tentu Bu-ceng-mo-ong Leng-hou Ciu?” “Budak hina, kau masih muda, bicaralah dengan sopan santun!” bentak bujang itu.

“Hm...” sipemuda mendengus.

“Kalau kau mau unjuk ugal-ugalan di Bu-ceng-poh, disinilah tempatnya untuk membereskan.”

Pemuda tolol kerutkan alis, bentaknya: “Jangan banyak mulut!

Lekas suruh Bu-ceng-mo-ong keluar menerima kematian!”

Wajah orangtua jenggot pendek itu segera berubah gelap: “Keparat, kau sungguh sudah bosan hidup!” serunya seraya mendorong dengan sepasang tangan. Segulung angin kuat segera melanda pemuda itu.

Dingin saja sambutan sipemuda. Ia tak menangkis maupun menghindar. Baru pada saat deru pukulan tiba, ia gerakkan kedua lengan bajunya. Tenaga pukulan bujang tua itu terpental balik kepada pengirimnya. Dia hendak menghindar tetapi sudah kasip.

Dadanya serasa disambar geledek. Tubuh terhuyung-huyung kebelakang sampai beberapa tindak dan mulut menyembur darah segar!

“Kalau kau tak mau memanggilnya keluar, terpaksa akan kubunuhnya dihadapan para tetamu!” seru sipemuda seraya melangkah masuk.

Para tetamu yang terdiri dari berbagai tokoh dari segenap penjuru, tak menghiraukan kedatangan pemuda itu.

“Berhenti!” tiba-tiba terdengar lengking suara seorang gadis.

Sipemuda berhenti sebentar, tetapi segera ia teruskan langkahnya pula. Sejenakpun tak mau ia berpaling melihat penegurnya tadi. Baru beberapa langkah kembali suara melengking yang merdu itu terdengar menegurnya pula: “Saudara datang hendak menghaturkan selamat, mengapa tak pakai aturan sama sekali!”

Kali ini tergeraklah perhatian sipemuda. Ia berhenti dan setengah memutar tubuh memandang kebelakang.

Demi pandangannya tertumbuk dengan si penegur, batinnya mendebur keras. Buru-buru ia berpaling ke muka lagi. Kiranya kurang lebih 9 tombak dari tempat ia berdiri, tampak seorang dara yang teramat cantik tegak berdiri memandangnya.

Pemuda itu merasa seperti kena pesona. Tak kuasa ia beradu pandang dengan sinar mata dara jelita.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh ngiang pesan seorang tua yang menjuruhnya ia datang ke Bu-ceng-poh: “setan cilik, pergilah bunuh Bu-ceng-mo-ong, aku...”

Pesona yang mencengkam hati sipemuda bagaikan awan buyar tertiup angin. Ia gelagapan seperti diguyur air dingin. Buru-buru ia teruskan langkahnya lagi.

Sidara tercengang. Pada lain saat ketika ia tersadar, sipemuda itu sudah melangkah masuk kedalam ruangan besar. Dara itu bergegas-gegas memburunya.

Mata sipemuda berkeliaran memandang ke segenap penjuru. Karena sedang sibuk bercakap-cakap dan bersenda gurau menikmati hidangan, tetamu-tetamu itu tak memperhatikan kemunculan pemuda yang tak dikenal itu.

Pemuda itu langsung menuju kepada seorang lelaki tua yang duduk dikursi tuan rumah, tegurnya: “Apakah tuan ini Bu-ceng-mo- ong Leng-hou Ciu?” Lelaki tua berbaju biru itu tersentak kaget, karena ia tak tahu akan kehadiran pemuda yang tak dikenalnya itu. Sebagai seorang momok yang termasyhur ganas, ia heran dan kaget mengapa sampai tak mengetahui hal itu.

“Siapakah saudara?” orang tua itu balas bertanya seraya memandang tajam.

“Jawab dulu pertanyaanku tadi !”

Saat itu semua tetamu yang terdiri dari kaum persilatan berbagai penjuru, telah mengetahui juga keributan itu. Serempak mereka berdiri.

“Jika seorang tokoh macam Leng-hou lo-cian-pwe tak mengenal, mengapa masih berlagak congkak?” seru salah seorang hadirin.

Orangtua baju biru tetap bersabar, tegurnya: “Perlu apa saudara hendak mencariku? Sebutkan namamu, jangan main sembunyikan diri!”

Namun pemuda itu tak menggubris, serunya? “Bu-ceng-mo-ong, hari apakah saat ini!”

“Semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 70!”

“Salah!” tukas pemuda itu, “Hari ini adalah hari ajalmu!”

Bukan main marah orangtua baju biru itu. Segera ia bersuit perlahan. Berpuluh lelaki gagah dengan pakaian ringkas segera mengepung pemuda itu. Malah beberapa tetamu yang sudah setengah mabuk, memandang pemuda itu dengan mata melotot. Mereka siap menghajarnya setiap saat.

Pemuda itu tak mengacuhkan sedikitpun juga. Serunya dengan dingin : “Kematian sudah tiba dihadapanmu, mengapa kau masih menyuruh orang-orang yang tak berdosa menjual jiwa untukmu?”

“Tutup mulutmu, anjing!” bentak siorangtua baju biru, “biarpun kau mempunyai sayap, jangan harap kau mampu lolos dari Bu- ceng-poh sini!”

“Benarkah?” ejek sipemuda. “Lekas katakan nama gurumu!”

“Aku yang berbuat, aku sendiri yang bertanggung jawab, tak sangkut paut dengan guruku!” sahut si pemuda.

“Kalau begitu sebutkan namamu!”

Angkuh dan congkak sekali sikap pemuda itu. Sekalipun orang gagah tak puas dan hendak menghajarnya. Suasana tegang sekali.

Pun saking marahnya orangtua baju biru itu gemetar, bentaknya: “Aku tak mau membunuh budak yang tak bernama! Lekas beritahukan namamu atau pulang saja minta susu pada ibumu!”

Pemuda itu kibarkan mata memandang kesekeliling. Sekonyong- konyong karena tak dapat menahan kemarahannya, sekalian jago- jago serempak menghamburkan pukulan kepada pemuda itu. Hebatnya bukan kepalang.

Pemuda itu terkejut. Buru-buru ia tarik tangan kirinya dari lengan baju lalu ditamparkan. Sekalian jago-jago tersentak. Tenaga pukulan mereka terhalau oleh tamparan pemuda itu.

“Hebat sekali tenagamu, budak!” seru siorang tua baju biru, “tetapi mengapa kau tak berani menyebut dirimu!” Dengus sipemuda: “akan kuperlihatkan padamu sebuah benda.

Segera kau tentu kenal siapa diriku ini!”

“Benda apa?”

Tangan kanan pemuda itu bergerak-gerak dalam lengan baju, seperti ia hendak mengeluarkan suatu pusaka. Semua mata hadirin ditujukan pada tangan pemuda itu.

Tiba-tiba tangan kanan pemuda itu tersembul keluar dari lengan bajunya. Astaga, sebuah lengan tangan yang hitam warnanya.

“Wahai, Malaekat-elmaut!” sekalian tetamu memekik kaget.

Orangtua yang menjadi tuan rumah itupun menyurut mundur dua langkah. Wajahnya pucat pasi memantul sinar suram putus asa. Tiba-tiba suatu lamunan ngeri melintas dalam benaknya. Kembali ia terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Pun sekalian tetamu yang terdiri dari kaum persilatan sama mundur seperti melihat hantu disiang hati. Sebagian besar menggunakan kesempatan untuk nyelonong lolos.

Namun orangtua baju biru itu tak mau kehilangan harga diri sebagai seorang tokoh persilatan ternama. Serunya dengan garang: “Apakah kau murid dari Malaekat-elmaut?”

“Bukan!” sahut sipemuda.

“Bohong! Habis apa maksudmu datang kemari?” “Mengambil jiwamu!”

“Mengapa?”

“Membalas dendam mengorek biji mata!”

“Mengorek biji mata? Biji mata siapa? Si Malaikat Elmaut?” “Mungkin!” seru sipemuda pah-poh sambil julurkan tangannya yang hitam kemuka. Segumpal sinar hitam segera menghambur kearah situan rumah. Orang tua itu rasakan seperti dilanda oleh ribuan pukulan hitam yang mencengkeramnya. Cepat ia menghantam, tetapi ah... pukulannya itu seperti kecemplung dalam tempat yang kosong melompong. Buyar lenyap!

Pada saat tangan hitam sipemuda menjamah dada orang, terdengarlah orangtua itu menjerit ngeri. Dia mencelat terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Mulutnya muntah-muntah darah hitam dan putuslah jiwanya seketika...

Sipemuda menyaksikan adegan itu dengan dingin-dingin saja. Setelah melihat siorang tua benar-benar sudah mati, barulah ia masukkan tangannya kedalam lengan bajunya lagi.

Sekonyong-konyong sesosok tubuh menerobos masuk kedalam ruangan. Demi melihat siorang tua baju biru terkapar dilantai, pecahlah tangis orang itu.....

Sipemuda tak dikenal terbalik kaget sekali. Kiranya yang masuk itu adalah sidara cantik yang dijumpainya diluar tadi.

Dara itu memeluk tubuh siorang tua dan menangis tersedu sedan. Tiba-tiba ia berdiri. Dengan mata masih berlinang-linang ia segera menghampiri kemuka sipemuda.

Pemuda itu mau tak mau menyurut mundur demi menghadapi wajah sidara yang sedemikian membeku Plak... plak  tiba-tiba dara

itu menampar pipi sipemuda. Pemuda itu tak mau menghindar atau menangkis. Ia kasihkan mulutnya ditampar sampai berdarah! Hebat sekali tamparan dara itu. Sebenarnya sipemuda mengancing mulutnya  rapat-rapat  untuk  menahan  jangan  darahnya muntah keluar. Beberapa saat kemudian ia muntahkan dua buah giginya yang rontok.

Sidara menatapnya lekat-lekat, serunya dingin: “Enyah kau!

Pada suatu hari aku tentu membalas sakit hati ini!”

Pada pertama kali melihat pemuda itu, sidara memperoleh kesan aneh. Pemuda itu walaupun tampaknya ketolol-tololan acuh tak acuh, tapi sikapnya congkak sekali. Diluar dugaan dara itu malah mempunyai kesan baik. Ia kagum dan suka kepada jenis pria macam begitu!

Tetapi pertemuannya yang kedua kali, telah merobah semua pandangannya. Ternyata pemuda itu seorang pembunuh yang berhati dingin. Bahkan yang mendapat korban itu adalah ayah sidara sendiri. Hebat...!

Pemuda itu segera putar diri dan berjalan keluar dari ruangan. Tak seorangpun dari sekalian tetamu-tetamu jago-jago persilatan itu yang berani menghalangi sipemuda. Dengan lenggangnya pemuda itu melangkah keluar.

Ruang perjamuan yang megah meriah, kini berobah menjadi sebuah medan yang penuh diliputi kesunyian dan kesedihan serta helaan napas...

Ketika pemuda itu tiba disebuah hutan, haripun sudah petang. Angkasa penuh bertaburan bintang-bintang gemerlap. Entah berapa lama lagi ia berjalan, ketika melihat sebuah gua batu, iapun segera memasukinya. Ternyata didalam gua itu terdapat penghuni. Ini dapat ditandai dengan sinar api yang menerangi ruang gua.

Diatas sebuah bale-bale batu yang terletak diujung ruang, duduk seorang tua berambut dan berjenggot putih. Jubahnya menjuntai ketanah tetapi kedua kakinya tak tampak. Ah, ternyata orangtua itu seorang manusia yang tak utuh tubuhnya. Matanya yang kanan complong (hilang), lengan kirinya hilang dan kedua kakinya buntung...

Begitu si anak muda masuk, orangtua aneh itu segera menegurnya : “Hai, setan cilik, apakah Bu-ceng-mo-ong sudah kau bunuh?”

Sambil melangkah masuk. anakmuda itu menyahut: “Sudah!” “Perlihatkan tangan kananmu!” perintah orangtua aneh itu

dengan nada dingin.

Anak muda itu segera ulurkan tangan kanan kemuka. Siorang aneh tertawa gelak-gelak dan sianakmuda tercengang. Kiranya tangan kanannya itu sudah pulih seperti tangan kirinya. Tidak berwarna hitam lagi tetapi putih.

Siorangtua aneh tertawa nyaring: “Setan cilik, kau minta ajaran ilmu apa?”

“Kasihlah ajar ilmu Pukulan Hitam (Hek Ciang) padaku!” “Tidak!   Telah   kukatakan   sebelumnya,   kecuali   kau   sudah

membunuh  semua  musuhku,  tak   usah  kau  minta   tentu   akan

kuajarkan padamu ilmu itu!”

Orang aneh itu berhenti sejenak, serunya pula: “Hai, setan cilik, coba kau hitung, masih berapa banyakkah musuh-musuhku itu!”

Jelas diketahui oleh sipemuda bahwa orang aneh itu tak punya lengan kiri, telinga kanan dan dua kaki. Serentak ia mendengus: “Setan tua, lenganmu hilang satu, telingamu terpapas satu, kakimu buntung dan pahamu kutung. Apakah kau hendak suruh aku membunuh 4 orang lagi?” “Tak ada lain pilihan lagi katakanlah, kau hendak minta ajaran

ilmu apa saja. Jika kau bisa mendapat satu saja dari ilmuku, tanggung kau tentu dapat menjagoi dunia, perlu apa kau hanya mau belajar Pukulan Hitam saja?” orang aneh itu ulurkan tangannya kanan. Dibawah cahaya api, tampak lengannya berwarna hitam mulus seperti arang.

“Tetapi musuhku itu adalah jago nomor satu di dunia!” sipemuda menghela napas.

“Hai, setan cilik, siapakah namamu?”

“Setan tua, perlu apa kau tanyakan? Kau memberi ajaran ilmu padaku dan aku melaksanakan perintahmu membunuh orang. Bukankah itu suatu cara jual beli yang adil? Aku tak bertanya namamu, perlu apa kau menanyakan namaku? Eh, ya, bukankah kau bernama Malaekat Elmaut?”

Seketika wajah orang aneh itu berobah, bentaknya: “Setan cilik, siapa yang memberitahukan padamu!”

“Bu-ceng-mo-ong!”

“Selanjutnya tak boleh kau menyebut nama Malaekat Elmaut itu lagi, atau segera kubunuhmu!”

Pemuda itu menggigil, tak berani lagi ia memandang simanusia aneh.

“Kau sudah membunuh Bu-ceng-mo-ong, nah, kau hendak minta ajaran ilmu apa, lekas katakan! Tak nanti aku ingkar janji!”

“Aku hanya ingin belajar pukulan hitam saja. Lainnya aku tak kepingin!”

“Pukulan-hitam? Kalau ingin belajar Pukulan-Hitam harus membunuh 4 orang lagi!” Pemuda ketololan itu tergetar hatinya. Sebenarnya ia seorang pemuda baik hati. Jika bukan karena mengandung cita-cita membalas sakit hati, tak nanti ia sudi meluluskan syarat sigila itu.

Masih terngiang rasanya jerit ratapan sidara cantik yang menangisi mayat ayahnya. Betapa kejam ia memisahkan seorang anak dengan ayahnya. Betapa jahat perbuatannya membunuh seorang yang tak salah tak dosa kepadanya. Beberapa saat bayang- bayang ngeri itu terlintas dalam benaknya.

“Tidak!” tiba-tiba ia menyahut getas, “aku tak sudi jadi algojomu lagi!”

“Baik”, sahut orang aneh itu dengan dingin, “kalau begitu aku hanya akan mengajar ilmu lweekang yang disebut Kiu-coan-gi kang untuk membalas jasamu membunuh Bu-ceng-mo-ong! Setelah itu silahkan kau pergi!”

“Aku tak sudi belajar Kiu-coan-gi-kangmu!” dengan geram pemuda tolol itu segera melangkah keluar. Siorang anehpun tak mau mencegah.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu balik lagi.

“Ho, ho,” siorang aneh tertawa meloroh, “kutahu kau tentu kembali lagi. Dengan memiliki ilmu Kiu-coan-gi-kang saja, cukuplah kau sejajar dengan tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan sekarang ini!”

“Aku tak kepingin...”, tukas si pemuda tolol. Tetapi lain saat ia segera berseru dengan geram: “Katakan, siapa orang kedua yang harus kubunuh! Aku bersedia memenuhi syaratmu membunuh 4 orang lagi!”

“Karena kau tetap ingin belajar Pukulan-hitam?” “Tentu! Setan tua, jangan banyak omong! Siapakah calon korban yang kedua itu?” tukas sipemuda.

Orang itu mengangkat tangannya sebelah kanan.

Ia merabah-rabah telinganya kanan yang sudah hilang. Serunya penuh geram: “Dia adalah orang yang telah memotong daun telingaku ini yakni Bok-tiong-long-cu Tang-hun Ka!”

“Bok-tiong-long-cu Tang-hun Ka?” menegas sipemuda.

“Ya, lekas duduk. Segera akan kusalurkan tenaga murniku untuk menurunkan ilmu Pukulan-hitam pembunuh-seorang-jiwa!”

“Setan tua,” seru sipemuda dengan sorot mata meratap, “jangan menyiksa diriku. Sebutkan saja keempat orang musuhmu itu dan terus ajarkan Pukulan-hitam padaku. Kubersumpah tentu akan membunuh musuhmu itu semua!”

“Tidak!” seru siorang tua aneh. “Hanya sejurus Pukulan- membunuh-seorang saja yang dapat kuajarkan padamu. Setelah Bok-tiong-long-cu kaubunuh, ilmu Pukulan hitampun segera lenyap lagi. Kau harus datang kemari menerima perintahku. Setelah kau selesai membunuh musuh-musuhku tentu akan kuajarkan padamu semua jurus Pukulan hitam. Lekas kemari kau, setan cilik!”

Sipemuda tolol segera menghampiri. Orang tua aneh itupun ulurkan tangannya kanan yang berwarna hitam, mencekal tangan kanan sipemuda.

Segera pemuda tolol itu rasakan bahunya kanan kesemutan. Suatu aliran tenaga aneh mengalir kelengannya. Aliran itu panas sekali. Lengan sipemuda seperti dibakar...

“Sudah, pergilah!” beberapa saat kemudian siorang tua aneh berseru. Ketika menarik lengannya, sipemuda dapatkan tangannya berobah menjadi hitam seperti tangan siorang tua aneh.

Dengan geram pemuda itu melangkah keluar. “Ingat, bunuhlah Bok-tiong-long cu!” siorang tua aneh memberi peringatan. Namun pemuda itu sudah lenyap dalam kegelapan malam.

ooOOoo

Suasana seram. Hawa pembunuhan menyelimuti sebuah pekuburan tua yang terletak didaerah gunung situ. Suara gemerincing senjata beradu, memecah kesunyian malam. Benar, memang ditanah lapang pekuburan itu tengah berkumpul berpuluh jago-jago persilatan. Mereka sedang mengadu jiwa. Rupanya ada sesuatu yang diperebutkan.

Salah seorang jago yang bernama Te Bok gelar sasterawan awet muda, tengah mengangkat sebuah peti besi kecil dan tertawa dingin. “Ayo, siapa yang tak takut mati, boleh coba merebut benda ini...” belum habis ia berseru, seorang paderi tampil melantang: “Kutu buku, jangan bermulut besar! Goan Thong hendak menjajalmu!”

Paderi itu bermuka persegi, bertelinga besar dan bertubuh gemuk. Dari bajunya yang tersingkap, tampak dadanya besimbar bulu. Suaranyapun keras seperti geledek. Ia menutup kata-katanya dengan dorongkan sepasang tinjunya yang sebesar mangkuk...

Put-lo-su seng atau Sasterawan awet-muda bergeliatan mengingsut seraya balas menampar dengan tangan kanannya.

Tar. terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan beradu.

Sasterawan-awet-muda dan paderi gemuk sama-sama tersurut mundur dua langkah. Wajah mereka pucat lesi.... Belum Sasterawan-awet-muda berdiri tegak, tiba-tiba sebuah angin tajam mendesing dibelakangnya. Ia tahu dirinya dibokong dari belakang. Dalam posisi seperti saat itu tiada lain jalan baginya kecuali harus menjorok kemuka sekali. Tetapi karena ia berbuat begitu, peti besi yang dicekalnyapun terlepas...

Setelah terhindar dari serangan gelap, Sasterawan-awet muda menghambur makian.”Menyerang dari belakang. adalah pengecut! Sungguh kecewa kau menjadi putera dari Thian-te-coat-kiam!”

Kiranya yang menyerang dari belakang itu seorang pemuda berpakaian mentereng. Sepasang alisnya yang memanjang makin memperindah wajahnya yang cakap. Hanya sayang gundu matanya mengandung sinar kekejaman.

Dalam pada menghambur makian itu, Sasterawan-awet muda segera bergerak menyambar peti besi yang menggeletak ditanah. Cepat sekali ia bergerak tetapi tak kurang cepatnya pula beberapa sosok tubuh berhamburan melandanya!

Sasterawan-awet-muda terkejut dan menyurut mundur, ia tegak termangu-mangu.

Paderi gemuk Goan Thong, pemuda ganteng dan berpuluh- puluh jago-jago silat dari golongan Hitam maupun Putih tengah mengepung peti besi itu. Masing-masing berjaga-jaga dengan tegang. Asal ada orang yang berani mengambil, tentu akan diserang berpuluh jago sakti.

Sesaat suasana menjadi tegang regang. Tak seorangpun yang berani bergerak. Hening lelap bagaikan kuburan mati.

Tiba-tiba terdengar lengking melantang memecah ketegangan : “Hai, siapakah diantara kalian yang bernama Bok tiong-long-cu?” Seorang pemuda yang gagah tetapi ke tolol-tololan sikapnya muncul. Sepasang alisnya mengerut mengandung hawa pembunuhan.

Seorang tua kurus kering dalam jubah hitam tampil dari rombongan jago-jago itu.

“Apakah kau bukan pemuda yang beberapa hari yang lalu membunuh Bu ceng-mo-ong dengan Pukulan-hitam?” serunya.

“Siapakah saudara? Apa hubunganmu dengan peristiwa itu?” sahut sipemuda.

Wajah si orang tua kurus membesi.

“Aku Ko Tiok lojin adalah sahabat karib dari Bu-ceng-mo-ong. Jika benar kau yang membunuh sahabatku itu, heh heh... jangan harap kau dapat tinggalkan tempat ini!”

“O, kau hendak membalaskan sakit hati Bu-ceng-mo-ong? Boleh saja, aku setiap saat bersedia melayanimu!” sahut sipemuda dengan congkak.

Ko Tiok lojin taburkan lengan jubahnya. Sebuah pukulan dilayangkan kepada pemuda itu.

Tenang-tenang saja pemuda tolol itu memandang. Perlahan- lahan ia mengangkat tangan kiri untuk menyongsong. Uh....

seketika Ko Tiok lojin rasakan dadanya tertindih tembok raksasa. Jantungnya meletup-letup dan tubuhpun terhuyung-huyung mundur beberapa langkah lalu jatuh terduduk. Sampai beberapa saat ia tak dapat bangun...

Sepasang alis pemuda itu menjungkat. Mata bersinar membara. Dengan geram disapunya wajah sekalian orang yang berada disitu. Tiba-tiba ia menghela napas dan melangkah pergi... Belum berapa lama ia berjalan. Sekonyong-konyong dari lamping gunung tampak sesosok bayangan hitam berlari-larian menuju kearahnya!

Cepat sekali bayangan itu sudah tiba dimuka sipemuda. Seorang wanita tua berambut putih muncul dalam pakaian hitam...

ooOOoo

Wanita tua memandang sipemuda dengan tajam. Ditelusuri ujung kaki pemuda itu sampai keatas kepalanya.

“Hai, buyung, tunjukkan tanganmu kanan!” sesaat kemudian wanita itu melengking.

“Kalau aku tak mau?” jawab sipemuda dengan acuh tak acuh. “Kau harus memikul akibatnya sendiri...”

“Tak percaya! Masakan kau mampu memaksaku!”

Rambut putih wanita itu bergoncangan. Wajahnya menampilkan sinar ambisi yang besar. Ia julurkan tangannya kanan. Dengan jari telunjuk ia membuat gurat-guratan dari jarak jauh kearah lengan baju sipemuda. Ret, ret... lengan baju sipemuda robek dan tampaklah lengannya yang kanan. Hai, lengan hitam...

Sekalian jago-jago yang melihat peristiwa itu menjerit tertahan.

Wajah mereka pucat seketika...

Mata wanita tua itu berapi-api melekat pada sipemuda: “Kau murid dari Malaekat-elmaut?”

“Bukan!” “Pembohong! Dikolong jagad hanya Malaekat-elmaut itu yang memiliki ilmu Pukulan-hitam. Siapa namamu?”

“Aku tak punya nama, juga bukan murid dari Malaekat-elmaut!” sahut sipemuda.

“Hm, bagaimanapun halnya kau harus memberitahukan dimana tempat Malaekat-elmaut!” seru wanita tua.

“Tidak tahu!”

“Hm, kau bukan tandinganku,” gumam siwanita tua, “kasih tau dengan baik-baik agar kau terhindar dari siksaan.”

Sipemuda tolol mengacungkan tangannya kanan, berseru: “Jika kau berani kurang ajar kepadaku, jangan salahkan aku kalau gunakan Pukulan-hitam!”

Sedikitpun wanita tua itu tak jeri. Bahkan ia malah maju menghampiri dan menantang: “Cobalah kau pukul aku!”

Melihat keberanian siwanita tua dan mengingat bahwa Pukulan hitam yang dimiliki hanya dapat digunakan satu kali saja, jika ia sembarangan menggunakan kepada wanita itu bagaimana ia dapat melaksanakan tugas membunuh Bok tiong long-cu nanti?

Ia terpaku seperti patung.

“Huh, kutahu kau tentu tak berani ejek siwanita tua.

Pemuda tolol itu terkesiap kaget. Pikirnya: “Apakah ia tahu bahwa lenganku itu hanya dapat dipergunakan membunuh seorang saja. ”

Ditatapnya wanita tua itu dengan penuh keheranan.

“Malaekat-elmaut tentu sudah memesanmu,” kata wanita tua seenaknya, “supaya jangan kurang ajar kepadaku. ” Wanita tua itu memandang jauh kemuka.

Mulutnya mengingau seorang diri: “Ah, sungguh tak terduga dia masih teringat padaku!”

Keriput dahi wanita itu menggerenyah girang. Tiba-tiba ia berpaling kepada sipemuda tolol, serunya: “Gurumu itu, apakah pernah menceritakan kepadamu tentang diriku. Ya, benar, memang aku yang dipanggil Ceng-Thian-it ki (wanita kasih). Tentu kau sudah pernah mendengar nama itu!”

Diluar dugaan pemuda tolol gelengkan kepala.

Wajahnya tawar-tawar saja dan sepatahpun tak menjawab.

Ceng-thian-it ki agak kecewa, serunya”Hai apakah gurumu tak pernah bercerita?”

“Aku tak mengerti apa yang kau katakan!”

“Tak peduli kau mengerti atau tidak, ayo lekas katakan dimana tempat tinggal si Malaekat-elmaut!” bentak wanita kasih.

“Apa yang harus kukatakan padamu?” seru pemuda tolol, “terus terang saja aku tak dapat memberitahukan hal itu!”

“Jangan bersikap kekanak-kanakan buyung!” tegur Ceng thian- it ki, “asal kau mau memberitahukan tempat tinggal si Malaekat- elmaut, peti besi yang berisi Kitab-tanpa-tulisan itu tentu kurebutkan untukmu!”

Kini barulah sipemuda tahu apa yang terkandung dalam kotak besi yang diperebutkan sekalian jago-jago silat. Sebuah kitab yang tiada tulisannya. Ah, apa guna sebuah kitab yang tiada tulisannya?

“Aku tak mengharap benda yang bukan menjadi hak milikku!” sahutnya. “Apa?” seru Ceng-thian-it-ki dengan kaget, “kau tak ingin memiliki Kitab-tanpa-tulisan?”

Ceng-thian-it-ki benar-benar heran melihat sikap si-pemuda yang dianggap begitu tolol tetapi angkuh. Baru sekali itu ia berhadapan dengan pemuda seaneh itu.

Sebenarnya penolakan sipemuda tolol itu bukan karena kitab itu milik lain orang melainkan karena ia tak tahu apa gunanya Kitab- tanpa-tulisan itu.

Beberapa saat kemudian Ceng-thian-it ki berseru geram: “Persetan kau mau atau tidak dengan Kitab-tanpa-tulisan, tetapi kau harus memberitahukan tempat tinggal si Malaekat-elmaut!”

“Aku tiada tempo omong-omong dengan kau!” teriak sipemuda seraya terus melangkah pergi.

Ceng thian-it ki mengangkat tangannya kanan. Kelima jarinya yang runcing tajam seperti cakar garuda segera digeliat-geliatkan macam burung mencakar-cakar diudara: “Budak, kembalilah!”

Seketika punggung sipemuda itu seperti ditarik balik oleh sebuah tangan-penyedot sehingga mau tak mau harus tersurut mundur beberapa langkah.

“Kau mau mengatakan atau tidak!” bentak wanita Ceng-thian-it- ki dengan bengis.

“Sampai matipun aku tak mau bilang!” sahut sipemuda tak gentar.

Ceng-thian-it-ki berkaok-kaok seperti kerbau disembelih. Sekali tangannya didorongkan, ia membentak: “Enyah kau!” Tubuh sipemuda bagaikan sebuah layang-layang putus tali, melayang sampai 6 tombak jauhnya. Setelah terhuyung-huyung barulah ia dapat berdiri tegak pula.

“Pulang beritahukan pada si Malaekat-elmaut, Ceng thian-it ki Bu Peng ki pada satu hari pasti dapat mencarinya!”

Pemuda tolol benar-benar terpesona melihat kesaktian wanita tua itu. Setelah memandang tajam-tajam beberapa jenak, segera ia melangkah pergi.

Jelaslah didengarnya dari arah belakang terdengar pula letupan pukulan beradu dan gemercing senjata tajam serta pekik bentakan dari jago-jago persilatan yang bertempur memperebutkan peti besi, namun pemuda itu tak mau menghiraukan, ia lari sekencang- kencangnya. Setelah terpisah jauh dari medan pertempuran, barulah ia mengeluarkan sehelai baju warna kelabu. Ia mengganti bajunya yang telah hilang bagian lengannya tadi.

Ketika melanjutkan perjalanan, ia tertegun. Dari jauh terdengar suara tetabuhan sedih tengah mendatangi. Segera ia menyongsong.

Suatu rerotan panjang macam orang sedang pawai, tampak berjalan perlahan-lahan. Ah,ternyata sebuah rerotan orang yang sedang mengantar jenazah. yang paling menarik perhatian pemuda tolol itu ialah seorang dara baju hitam yang berjalan menggelandoti peti mati seraya tak henti-hentinya menangis tersedu-sedan.

Mau tak mau hati pemuda itu ikut rawan juga.

Pikirnya, “Pernah apakah orang yang mati itu dengan dara baju hitam itu? Mengapa ia begitu bersedih sekali?”

Saat itu rerotan jenazah berjalan lewat disisinya. Diluar kesadarannya, pemuda tolol itupun ikut menggabungkan diri dalam rerotan lalon. Selama berjalan itu sipemuda mempunyai kesempatan untuk memperhatikan orang-orang yang ikut dalam penguburan itu. Ah, ternyata orang-orang itu lain dengan orang biasa. Mata mereka memancarkan sinar tajam. Ada yang mengenakan pakaian ringkas. Ada yang berpakaian seperti orang biasa tetapi dalam bajunya menyelip senjata.

“Ah, jenazah ini tentulah seorang tokoh persilatan yang ternama,” diam-diam pemuda itu menimang dalam hati.

Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara berisik dari pekik bentakan orang. Wahai, kiranya rerotan layon itu tiba lagi dilereng gunung dimana jago-jago silat sedang berebut sebuah peti besi yang kecil. Hanya bedanya saat itu sudah ada beberapa orang yang bergelimpangan rubuh ditanah. Mereka tentu kurban-kurban dari rebutan peti besi yang berisi Kitab-tanpa-tulisan.

Yang menjadi keheranan sipemuda ialah bahwasanya saat itu wanita Ceng-thian-it-ki tak tampak berada ditempat itu lagi. Rupanya tentu sudah pergi.

Saat itu peti besi berisi Kitab-tanpa tulisan (Bu-ji-thian-su) berada ditangan seorang paderi tua yang alisnya sudah putih. Paderi itu mengenakan jubah warna merah. Dari delapan penjuru berpuluh-puluh jago silat berjalan perlahan-lahan menghampiri paderi itu. Tegang-regang, genting meruncing...

Rombongan pengantar jenazah harus melalui lapangan tempat mereka bertempur. Pada saat tokoh-tokoh persilatan itu sudah siap hendak menghantam paderi tua, sekonyong-konyong sidara berseru hambar: “Harap tuan-tuan jangan berkelahi dulu dan silahkan memberi jalan!”

Perlahan kedengarannya sidara mengucapkan kata-katanya tetapi telinga sekalian orang seperti terngiang letupan keras sehingga mereka sama terkesiap memandang pada sidara baju hitam. Entah karena kaget akan suara sidara yang sedemikian hebat atau karena menghormat rerotan layon, berpuluh-puluh jago silat itu segera mengurut mundur beberapa langkah.

Paderi tua yang memegang kotak besipun ikut menyingkir hendak memberi jalan.

“Bok Gwan taysu maukah kau memberikan kotak itu kepadaku?” sekonyong-konyong sidara baju hitam berseru pelahan.

Empuk dan merdu sekali udara mengucapkan kata-katanya. Tiada kata-kata yang memaksa atau menekan orang, tetapi sebuah permintaan yang sukar ditolak. Dan anehnya paderi tua yang sudah putih alisnya itu serta merta segera menyerahkan kotak kepada sidara.

Setelah menerima kotak besi sidara segera memberi perintah kepada rombongannya untuk melanjutkan perjalanan pula.

Heran entah karena hendak memburu kotak besi atau karena

hendak menyatakan ikut berduka cita, sekalian tokoh-tokoh persilatan yang memperebutkan kotak-besi itu pun segera ikut menggabungkan diri dalam rerotan layon.

Pemuda tolol tak habis herannya. Siapakah rombongan pengantar layon yang misterius itu? Ia hendak mencari keterangan tetapi ketika melihat wajah orang-orang yang mengantar layon itu dingin-dingin dan serius, tak mau ia bertanya. Pemuda tolol itu hanya tampaknya saja tolol tetapi sebenarnya ia seorang pemuda yang berhati tinggi dan keras kepala.

Dua jam kemudian tibalah mereka disebuah lembah yang sempit dan panjang. Agak lama juga mereka menyusur lembah itu. Begitu keluar dari lembah, mereka tiba disebuah padang rumput yang luas. Rombongan itu berhenti diujung timur padang rumput. Disini sudah disiapkan sebuah liang yang besar. Peti matipun segera dimasukkan kedalam liang diantar dengan isak tangis yang menyayat hati dari sidara baju hitam. Mau tak mau sekalian orang ikut mengucurkan airmata juga.

Sipemuda tolol melihat kesemuanya itu dengan wajah dingin- dingin saja.

“Kau benar-benar seorang yang berhati dingin. Ikut aku, maukah?” sekonyong-konyong telinga pemuda itu dikejutkan oleh

sebuah ngiang suara yang nyaring.

Pemuda tolol menyurut kaget. Ah, sidara baju hitam tengah menghampiri kepadanya. Saat itu barulah ia dapat melihat jelas bagaimana air-muka gadis itu. Seorang gadis yang berwajah... buruk, tetapi mempunyai daya tarik yang sukar dielakkan!

Gadis itu membawa dua buah benda. Tangan kiri mencekal kotak-besi berisi kitab. Tangan kanan mencekal sebuah galah

bambu panjang. Ia berjalan perlahan-lahan. Setiap satu langkah, ia menggurat sebuah lingkaran ditanah.

Pemuda tolol sebenarnya tak mau mengikuti tetapi diluar kesadarannya sang kaki melangkah mengikutinya juga. Lingkaran yang dibuat dara itu makin lama makin rapat jaraknya. Pun galah makin mendalam masuknya ketanah, sehingga menghamburkan debu dan pasir.

Makin aneh tingkah laku sidara makin besar keheranan sipemuda tolol. Namun dia tak mau bertanya dan hanya mengikutinya saja.

Serentak dara itu berhenti dengan serempak.

Tegurnya, “Kau tentu heran akan tingkah lakuku bukan?” Walaupun  heran  tetapi sipemuda  tolol tetap menyahut dingin-

dingin:  “Nona  tentu  bukan orang sembarangan. Apa  yang   nona

lakukan tentu sukar diduga orang!”

“Jangan takut akan gerak gerikku. Apa yang kugurat ditanah itu hanya merupakan sebuah barisan!”

“Aku seorang tolol,” sahut sipemuda, “tak mengerti barisan apa yang nona buat itu!”

“Aku membuat lingkaran yang bertalian satu sama lain. Untuk sementara kunamakan barisan Lingkaran-berantai. Mungkin kau tak menyadari bahwa barisan Lingkaran-berantai itu sebenarnya demi menjaga keselamatanmu!”

“Ini... benar-benar aku tak mengerti maksud nona!” “Bukankah kau ini murid si Malaekat-elmaut?” Sidara belas bertanya. “Bukan...”

“Ah, jangan kau menyangkal. Tak peduli bagaimana, kau tentu mempunyai hubungan dengan Malaekat-elmaut. Dan keluarmu kedunia persilatan kali ini bukankah dengan tugas membalaskan sakit hati si Malaekat-elmaut kepada musuh-musuhnya pada puluhan tahun yang lalu? Bukankah kau hendak membunuh Bok- tiong-long-cu Tang-hun Ka?”

Pemula tolol terkesiap heran.

Dara baju hitam menunjuk pada beberapa tokoh baju kelabu yang berada diluar barisan, serunya: “Rombongan orang baju kelabu itu adalah anak-buah Bok-tiong-long cu! Mereka sedang siap-siap hendak membunuhmu!”

Mata sipemuda bergemerlapan api kemarahan. “Bagus!” serunya, “dicari kemana-mana tak ketemu ternyata sudah didepan mata. Justeru aku kuatir tak dapat mencari anak buah Bok-tiong- long-cu. Jika kubunuh anak buahnya, masakan pemimpinnya tak muncul?”

Ia segera melangkah kepada rombongan baju kelabu.

“Nanti dulu,” tiba-tiba sidara mencegahnya, “kau pintar tetapi sering keblinger. Ketahuilah, yang baik tentu takkan datang. yang datang tentulah yang tidak baik!”

“Apa artinya?” seru sipemuda.

“Ketahuilah bahwa Bok-tiong-long-cu itu seorang tokoh yang pandai dan sakti. Dengan mengirim rombongan anak buahnya, dia tentu sudah mempunyai rencana bagus. Tak nanti dia begitu mudah kaubunuh seperti halnya Bu-ceng-mo-ong tempo hari!”

Pemuda tolol berbalik tubuh dan menghampiri sidara, serunya: “Maaf ketololanku, nona. Tetapi bolehkah aku bertanya sepatah kata kepadamu?”

“Bukankah kau hendak menanyakan jenazah siapakah yang dikubur tadi?”

Pemuda tolol terkesiap. “Benar!” “Dia bernama Ting Kay-ih gelar Sin-ciu-it-kiam,” sahut sidara. “Ayah nona?”

“Bukan, hanya ayah angkat!”

“Ah, mengapa dia meninggal dunia?”

“Terserang penyakit aneh yang tak dapat diobati lagi!” “Penyakit aneh?” tegas sipemuda.

“Ya, benar! Sebuah penyakit yang luar biasa anehnya!” “Dapatkah nona memberi   penjelasan   sedikit?” Dara itu

merenung sejenak. Ia  menyusun  pula  rambutnya  yang kusut lalu

berkata: “Tiga hari yang lalu, dia mendengar sebuah berita lalu bersedih dan meninggal!”

“Berita? Berita apa yang sedemikian mengejutkan beliau?” “Ah, tak perlu kuceritakan!”

“Kalau nona tak mau mengatakan akupun tak berani mendesak,” kata sipemuda dengan nada agak kecewa.

“Hi, hi,” tiba-tiba dara itu tertawa mengikik, “aku hanya berolok- olok kepadamu tetapi rupanya kau lantas naik pitam. Sebenarnya peristiwa itu mempunyai hubungan dengan kau juga!”

“Dengan aku?” sipemuda terkejut heran.

“Tak lain karena mendengar berita tentang binasanya Bu-ceng- mo-ong akibat menderita Pukulan hitam itu. Beliau cemas dan meninggal...”

“Kalau begitu, akulah yang berdosa kepada ayah nona,” kata sipemuda dengan nada menyesal, “tetapi apakah hubungan hal ini dengan beliau?”

“Entahlah, aku tak tahu...” Belum sidara selesai berkata, pemuda tolol sudah menjerit kaget. Ternyata rombongan jago-jago silat yang bermula berada diluar lingkaran, saat itu semua sama menyerbu masuk dan menghampiri kepada kedua anakmuda itu. Pemuda tolol menjadi tegang.

“Tak usah takut,” kata sidara sambil tertawa tenang, “tak nanti mereka dapat menerobos masuk kesini!”

Pemuda tolol tersipu-sipu malu. Memandang kemuka, benarlah. Rombongan jago-jago silat itu memang hanya lewat disisi mereka tetapi tak dapat menerjang.

Diam-diam pemuda tolol itu kagum.

“Dapatkah kau memberitahukan siapa namamu?” tanya udara.

“Ini... maaf, belum dapat!” sahut sipemuda. “Manusia adalah makhluk yang mempunyai peraturan tinggi. Hampir setengah hari kita bergaul, masakan sedikitpun kita tak punya... hm, baiklah kalau begitu. Akupun sukar meminta...”

Ucapan sidara penuh dengan kerawanan. Sikapnya patut dikasihani. Tiba-tiba ia membuka mulut pula: “Jika kuminta tolong kau melakukan sebuah hal yang sepele, maukah kau meluluskan?”

Pemuda tolol diliputi rasa sungkan dan sesal, sahutnya: “Entah urusan apa, silahkan nona mengatakan. Jika tenagaku mampu tentu dengan senang hati kulakukan!”

“Ah, hanya suatu pekerjaan yang mudah sekali!” “Katakanlah!”

Dara itu mengacungkan kotak besi, serunya: “Harap suka membukakan kotak besi ini!” Pemuda tolol menyambut kotak ujarnya: “Mengerjakan begini, bukan termasuk menolong!” Tiba-tiba ia mendapat pikiran, tanyanya: “Tolong tanya, nona. Bukankah yang berada dalam kotak besi ini Kitab-tanpa-tulisan?”

Seketika berobahlah wajah sidara. Tetapi pada lain kejap ia tenang kembali. Katanya tawar: “Benar, bagaimana kau tahu?”

“Sebenarnya akupun hanya mendengarkan keterangan dari Ceng-thian-it-ki saja,” kata sipemuda seraya siapkan tangan kiri untuk menghantam kotak-besi. Terdengar berderak suara kotak terbuka dan apa yang diduga tadi memang benar. Didalam kotak kecil itu terdapat sebuah buku kecil tipis.

“Mengapa kitab yang begini kecil harus dimasukkan dalam kotak besi?” tanya sipemuda dengan heran. Dalam pada itu tangannya kananpun sudah menyemput kitab itu dan diserahkan kepada sidara.

“Harap nona suka menyimpan Kitab-tanpa-tulisan ini!” katanya. “Kau sungguh baik...” sidara memuji seraya menyambuti. Tetapi

tiba-tiba ia meminta lagi: “Tolong kau buntalkan sekalian!”

Sipemuda tak dapat berbuat apa-apa kecuali melakukan perintah. Dibungkusnya kitab itu dengan sapu tangan lalu diberikan pula kepada sidara.

Menyambuti kitab, wajah sidara berseri girang. Dengan langkah lemah gemulai iapun segera berputar diri dan melangkah pergi.

Sipemuda hanya mengantarkan langkah sidara dengan pandangan yang berkesan. Ketika ia juga akan tinggalkan tempat itu, kejutnya bukan kepalang...

Nun tak jauh dihadapannya terbentang serentang samudera besar dengan ombaknya yang setinggi rumah. Ia tertegun. Memandang kesekeliling penjuru barulah ia tersadar. Kiranya saat itu ia tengah berdiri disebuah pulau terpencil yang dikelilingi empat penjuru lautan.

Bersamaan dengan itu tersadarlah ia akan apa yang telah terjadi. Kiranya ia telah termakan tipu sidara, masuk kedalam barisan Lingkaran-berantai. Untuk menerobos keluar, ah betapa sukarnya.

Teringat hal itu, diam-diam pemuda itu mengeriput sesal. Sesal bercampur putus asa. Tengah ia terlongong-longong tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang membentaknya: “Hai, budak liar, lekas beritahukan namamu!”

Cepat sekali pemuda itu tersentak seraya berputar diri. Ah, 4 orang lelaki berpakaian warna kelabu tengah berdiri tak jauh dari tempatnya dengan mata berapi-api. Salah seorang karena pemuda itu tak lekas menyahut, segera membentak pula dengan marah: “Bagus, budak, apakah kau tak mendengar?”

Pemuda tolol hanya picingkan mata menyahut: “Bertanya nama orang apakah dengan cara sekasar begitu?”

“Apakah perlu harus minta maaf kepadamu?” teriak orang berpakaian kelabu itu: “Hai, budak, bukankah kau murid Malaekat- elmaut?”

“Kalau benar bagaimana, kalau bukan lalu bagaimana?” sipemuda balas bertanya.

“Kalau benar, tuanmu segera akan mengambil nyawamu!” “Jangan kalian bermulut besar,” jawab sipemuda tolol. “Lekas

pulang dan suruh Bok-tiong-long-cu saja yang keluar. Lambat atau

cepat aku tentu mencabut nyawanya.” Berobahlah seketika wajah keempat orang baju kelabu. Seru mereka dengan seram, “Jelas bahwa kau ini memang murid yang diutus oleh si Malaekat-elmaut...”

“Untuk mengambil nyawa Bok-tiong-long-cu...” baru sipemuda belum menyelesaikan kata-katanya, keempat orang baju kelabu itu serempak menghantamnya. Empat buah pukulan dahsyat telah menimbulkan deru angin laksana prahara melanda.

Pemuda tolol itu tenang-tenang saja. Ia menyongsong dengan tangan kiri. Aneh, deru 4 penjuru angin dahsyat itu segera reda dan tertampar balik kepada pemiliknya. Tubuh keempat orang berpakaian kelabu itu terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah.

Pemuda tolol itu juga menderita. Wajahnya pucat dan tubuhnya bergoyang-goyangan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk memperkokoh keseimbangan tunuhnya.

Masih keempat lelaki berpakaian kelabu itu penasaran.

Serempak mereka maju lagi dan lontarkan pukulan.

Sekonyong-konyong, serangkum angin puyuh melanda. Kawanan jago baju kelabu itu terpental mundur beberapa langkah. Juga pemuda tolol itupun terhuyung-huyung kebelakang Dadanya seraya meledak. Huak.... ia muntahkan segumpal darah segar....

“Hm apakah aku termakan racun orang?” pemuda itu heran dalam hati.

Tetapi ia tak sempat memikir lebih lama karena saat itu ke 4 lelaki baju kelabu sudah melayang turun dari udara dan menghantam kepalanya. Datangnya serangan itu cepat dan secara tak terduga-duga sehingga si-pemuda tak sampai mengetahui. Tetapi aneh. Entah siapa yang melakukan, keempat penyerang itupun terpental mundur. Mereka merasa seperti didera angin yang kuat. Sedemikian kuat tenaga yang dihambur angin itu sehingga 3 dari ke 4 lelaki baju kelabu terjungkal rubuh...

Jago baju kelabu yang masih kuat berdiri, marahnya bukan kepalang. Dengan mata berapi-api ia mencari siapa penyerang mereka. Ah...

“Hai, Dewi-es Leng Ho im....!” ia memekik kaget. Saat itu sipemuda tololpun sudah berputar diri.

Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah puteri dari Bu ceng- mo ong, sidara yang cantik jelita, hatinya tergetar sekali.

“O, kau nona. ”

Dingin laksana gumpalan es digunung kutub, menyahut dara cantik itu: “Walaupun teraling gunung terpisah lautan, akhirnya dapat kuketemukan juga.”

Kata-kata itu ditutup dengan sebuah gerakan tangan.

Sinar berkelebat, deru angin mendesis tajam dan dada pemuda tolol itupun terancam pukulan maut.

Pemuda tolol terkejut. Ia mengangkat lengannya kiri. Maksudnya hendak menangkis. Tetapi bukan main kejutnya ketika ia rasakan ulu hatinya sakit sehingga tubuh menggigil. Terpaksa ia tarik pulang tangannya kiri. Justeru saat itu pukulan Dewi es telah tiba. Wut bagaikan layang-layang putus, tubuh pemuda itu melayang

sampai berpuluh tombak jauhnya.

“Ih. ” Dewi es berjengit kaget sendiri, ia tak kira kalau pemuda

yang keras kepala dan pernah membunuh ayahnya itu ternyata hanya seperti sebuah patung. Keheranannya itu baru terjawab ketika dilihatnya pemuda itu muntah darah beberapa kali. “Hai, kau terkena racun dari Kitab-tanpa-tulisan.” Pemuda itupun terkejut juga. Pikirnya: “Ah, kiranya Kitab-tanpa-tulisan itu ditabur racun maka dimasukkan dalam kotak-besi. Celaka, aku termakan tipu dara baju hitam itu!”

“Hm tak perlu kuturun tangan sendiri, dalam waktu 8 hari lagi, kau tentu sudah binasa!” tiba-tiba kedengaran suara Dewi es berseru.

Habis berkata Dewi-es segera pergi. Tetapi baru beberapa langkah ia berhenti lagi, merenung beberapa jenak lalu melanjutkan langkahnya lagi...

Betapa pedih hati sipemuda tolol saat itu. Sampai beberapa saat barulah ia bergeliat bangun. Tiba-tiba seorang jago baju kelabu menghampiri dan menghantamnya. Pemuda tolol itu sudah hambar hatinya. Bukannya menangkis atau menghindar, sebaliknya ia hanya meramkan mata menunggu kematian.

Tetapi sampai lama ia tak merasa apa-apa. Buru-buru ia membuka mata. Dilihatnya jago baju kelabu itu tegang sekali wajahnya dan berkaok-kaok seperti orang kalap. “Aku, aku, aku... aku telah telah kehilangan tenaga... sama seperti orang biasa... ah Dewi-es, kau sungguh kejam...”

Ia melonjak-lonjak seperti orang gila dan lari kabur.

Pemuda tolol terkesiap. Tetapi ia hanya mendengus dan lanjutkan langkahnya.

Saat itu ia sudah keluar dari Lingkaran-berantai.

Sekeliling penjuru merupakan hutan belantara. Angin menderu, suasana rawan. Pemuda itupun merasa gundah sekali. Cakrawala mulai mengembang gumpalan awan hitam, pertanda hujan akan turun. Pemuda itu makin tegang.

“Bakal turun hujan!” pikirnya. Ia segera kencangkan larinya tetapi aneh... dadanya serta merakah, sakitnya bukan kepalang sehingga tak dapat ia lari cepat.

Apa yang diduganya memang benar. Sebelum mendapat tempat meneduh, ditengah jalan hujanpun turun dengan derasnya. Pemuda itu basah kuyup. Bergegas-gegas ia hendak mencari tempat meneduh. Ah... rupanya jauh disebelah muka seperti tampak sebuah biara.

Ia kuatkan hati menahan sakit. Dengan paksakan diri ia lari menuju kebiara tersebut. Dalam beberapa kejap, tibalah ia dibiara itu. Ah, ternyata sebuah biara rusak. Tiada seorang paderi yang menjaga. Ketika melangkah kedalam ruang tengah, ia menjerit tertahan :...

Dibawah kaki arca yang dipuja dalam biara itu, tampak seorang jembel tengah tidur mendengkur.

Karena atap bocor, tubuh orang jembel itu basah dengan air.

Tetapi dia tetap tidur seperti orang mati.

Kasihan juga pemuda itu melihat sijembel. Dihampirinya orang itu. Pikirnya hendak dibangunkan.

“Ah, dia sedang tidur pulas sekali. Kalau kubangunkan mungkin akan mengganggu tidurnya,” tiba-tiba ia menimang. Tak jadi ia membangunkan melainkan membuka bajunya lalu ditutupkan ketubuh sijembel supaya jangan kedinginan.

Sekonyong-konyong jembel itu membuka mata dan tertawa gelak-gelak. “Aku Kang-ou-long-tiong, hari ini benar-benar baru berjumpa dengan seorang anak yang baik hati!” Pemuda tolol membungkuk memberi hormat: “Harap suka maafkan karena aku mengganggu tidur lo-cianpwe!”

Mata sijembel menatap lengan kanan pemuda itu, Seketika berobahlah wajahnya. Serentak ia terbangkit: “Kau murid si Malaekat-elmaut?” serunya bengis.

“Tidak! Bukan!” sahut sipemuda tolol.

“Jangan bohong!” bentak sijembel, “Ah... belasan tahun telah lampau. Kutahu Malaekat-elmaut itu tentu melaksanakan perkataannya.”

Kepala pemuda tolol itu basah kuyup tertimpah hujan. Dia diam saja “Namaku Hoa Ya-bok bergelar Kang-ou-long-tiong. Mau bunuh aku, lekas! Aku tak takut mati!” seru jembel itu dengan nada getar.

Pemuda jembel tolol terbeliak kaget.

“Lo-cianpwe,” sahutnya, “kita tak saling kenal. Mengapa aku harus membunuh lo-cianpwe?”

“Kentut busuk,” seru jembel itu dengan sinis, “aku tak percaya apabila Malaekat-elmnaut menurunkan Pukulan-hitam padamu tanpa menyuruhmu membunuh orang?”

Terpaksa sipemuda memberi keterangan : “Benar. Tetapi dengan sejujurnya kukatakan bahwa aku sama sekali bukan murid si Malaekat-elmaut. Memang aku telah mendapat perintah dari Malaekat-elmaut untuk membunuh Bok-tiong-long cu Tang Bun ka, bukannya lo-cianpwe!”

“Benar, benar. Setelah Bok tiong-long-cu, Bu-ceng-mo-ong, tentu giliranku...”

“Tidak, lo-cianpwe, bukan kau!” Melihat kesungguhan kata-kata sipemuda, agak percayalah sijembel. Ujarnya meragu : “Ah, apakah Malaekat-elmaut lupa padaku?”. Ia mengangkat kepalanya memandang sipemuda tolol dengan tajam. Sekonyong-konyong ia terkesiap kaget dan maju mendekati sipemuda. Dipandangnya pemuda itu sampai sekian lama. Kemudian ia menghela napas: “Ah, rupanya kau telah keracunan...”

“Benar, aku memang terkena racun dari Kitab-tanpa-tulisan.

Dalam waktu 3 hari pasti mati,” sahut sipemuda.

“Kau tak takut?”

Dengan nada garang, pemuda itu menyahut: “Seorang anak lelaki, mengapa gembira karena hidup, susah karena mati? Apakah yang harus kutakutkan!”

“Untung kau berjumpa dengan aku,” kata jembel itu.

“Apakah lo-cianpwe dapat mengobati racun dalam tubuhku ini?” “Mengapa tidak!” sahut Kang-ou-long-tiong,” masakan gelar

Kang-ou-long-liong itu hanya sekedar gelar kosong saja?”

Kang-ou-long-tiong artinya pengembara dalam dunia persilatan. Dalam pada berkata-kata itu iapun mengeluarkan sebutir pil putih dari bajunya dan diberikan kepada sipemuda. “Makanlah pil ini dan duduklah yang baik. Aku hendak memberi saluran tenaga murni ketubuhmu untuk menghalau racun!”

Serta merta sipemuda segera menelan pil itu. Beberapa detik saja ia sudah rasakan sakitnya berkurang. Kemudian ia duduk dilantai.

Saat itu awan hitam mulai menyurut. Hujanpun makin reda. Sepasang tangan Kang-ou-long-tiong dilekatkan kepunggung sipemuda. “Tariklah napas keperut. Jangan sekali-kali bicara. Kalau kau tak menurut, bukan hanya ilmumu yang punah, pun jiwaku turut terancam.”

Pemuda itu duduk tegak dan lakukan apa yang diperintahkan. Ia rasakan punggungnya seperti dipalu.

Sakitnya sampai menembus keulu hati. Tiba-tiba mulutnya terasa manis-manis amis. Huak... pada lain saat ia tak dapat menahan luapan darah yang menyembur dari mulutnya....

Kang-ou-long-tiong tak henti-hentinya mengurut punggung pemuda itu. Beberapa kali sipemuda muntahkan darah yang berwarna hitam sehingga lantai bergenangan darah.

Tiba-tiba Kang-ou-long-tiong berbangkit: “Sudah, racun sudah hilang!”

Pemuda itu masih lelah. Namun semangatnya sudah banyak segar. Perlahan-lahan ia berbangkit: “Lo-cian-pwe, aku tak dapat berdiri!”

Kang-ou-long-tiong kerutkan dahi. Dijamahnya tubuh pemuda itu. Ia menghela napas: “Ah, racun terlalu dalam sekali merasuk kedalam tubuhmu. Banyak darah yang kau muntahkan, mungkin jiwamu terancam Ah, percuma ku-buang-buang tenaga murni!”

“Apa? Aku tiada harapan tertolong?” pemuda tolol terkejut. “Masakan aku bohong!”

“Ah, jika tahu begitu perlu apa harus diobat?”

Kang-ou-long-tiong tundukkan kepala seraya berjalan mondar mandir. Rupanya dia sedang mengasah otak. Sampai beberapa saat belum juga ia mendapat akal. Lewat beberapa saat kemudian barulah Kang-ou-long-tiong berseru girang: “Jangan kuatir, aku dapat akal. Selain tertolong kaupun akan tambah tenaga!”

“Caranya?”

“Darahku akan kusalurkan ketubuhmu?”

“Lo cianpwe, kau sungguh baik sekali,” seru sipemuda dengan terharu. Matanya berlinang-linang. “Tetapi ingat, diwaktu sedang melakukan perpindahan darah itu walaupun melihat apa-apa saja jangan sekalikah bicara!” kata Kang ou-long-tiong dengan bengis.

Cepat ia mencekal siku lengan sipemuda dan secepat kilat Kang- ou-long tiong itu menggigit jari kelingkingnya sendiri. Setelah darah mengucur deras, cepat-cepat ia tusukkan kedalam jalan darah si pemuda Tengah keduanya melakukan pemindahan darah (tranfusi), tiba-tiba muncul dua orang lelaki. Menyusul seorang tua yang bertubuh kurus kering dan berwajah kuning kumal, pun ikut masuk. Wajahnya mirip setan yang seram Langsung orangtua kurus itu menghampiri ketempat Kang-ou-long-tiong dan pemuda tolol “Saudara Hoa, lama benar kita tak berjumpa. Ah, kiranya kau masih segar bugar!”

Kang-ou-long-tiong membuka mata dan memberinya sebuah senyuman. Tiba-tiba mata sipit dari orangtua kurus itu menghambur kelengan kanan sipemuda...

“Kelinci liar, kiranya kau murid si Malaekat-elmaut!” serunya.

Terdengar hati sipemuda tolol. Dingin-dingin dia menatap setan kurus itu. Sepatahpun ia tak mengucap.

Situa kurus tertawa mengekeh, “heh, heh, bukankah kau hendak membunuh Bok-tiong-long cu? Aku inilah orangnya. Ayo, ingin kurasakan bagaimana lihaynya Pukulan Hitam itu!” Pemuda tolol tetap diam saja.

Heran sikurus yang ternyata Bok-tiong-long-cu Tang Bun-ka itu melihatnya. Mengapa Kang-ou-long-tiong dan pemuda itu diam saja. Dipandangnya dengan seksama. Ah... kiranya Kang-ou-long- tiong tengah memberi saluran darah kepada sipemuda. Pemuda itu tentu murid Malaekat-elmaut yang disuruh membunuhnya (Tang Bun ka). Seketika meluaplah kemarahan orangtua kurus itu.

“Saudara Hoa, apakah kau lupa akan peristiwa belasan tahun yang lalu? Malaekat-elmaut sudah bersumpah akan mengirim muridnya untuk menuntut balas. Tetapi mengapa kau malah memberinya darah? Apakah kau hendak cari mati sendiri?”

Kang-ou-long-tiong tertawa dingin. Sepatahpun ia tak menyahut.

Bok-tiong long-cu makin marah: “Karena saudara Hoa tak menghiraukan peringatanku, jangan sesalkan aku bertindak tak kenal budi.”

Kata-kata itu ditutup dengan sebuah tamparan yang penuh mengandung lwekang hebat. Saat itu sebenarnya pemindahan darah sudah hampir selesai. Kang-ou long-tiong kerahkan 7 bagian tenaganya untuk menyongsong. Darrr, terdengar letupan keras ketika dua tenaga pukulan saling berbentur.

Wajah sipemuda sudah bersemu merah segar. Mendapat tangkisan itu, Bok-tiong-long-cu makin meluap kemarahannya. Kini ia memukul dengan kedua tangannya...

Secepat kilat Kang-ou-long-liong mengambil selempat koyok (obat lekat) dan ditempelkan kesiku lengan sipemuda. Karena serangan Bok-tiong long-cu datangnya begitu cepat, tak sempat lagi sipemuda untuk berdiri menangkis. Dengan masih duduk terpaksa ia tamparkan tangannya kanan. Wut... berhamburanlah beratus sinar hitam yang mirip hujan kapas menabur pukulan Bok-tiong- long-cu...

Seketika Bok-tiong-long-cu rasakan matanya gelap, dada seraya pecah dan terjungkallah ia kebelakang.

Tubuhnya tak berkutik, jiwanyapun melayang...

Ketika sipemuda loncat bangun menghampiri ternyata Bok- tiong-long-cu sudah mati. Melihat ini, kedua pengawalnya segera loncat melarikan diri...

Pemuda itu geram melihat perbuatan keji Bok-tiong long-cu, ia gerakkan kedua tanganya menampar.

Terdengar jeritan ngeri dan kedua pengawal Bok-tiong-long-cu itupun rubuh tak bernyawa.

Sementara itu Kang-ou-long-tiong pun sudah bangun dan menghampiri sipemuda. Ujarnya dengan lemah : “Adalah karena hendak menolongmu maka kutangkis pukulan Tang Bun ka tadi. Dengan begitu aku kehilangan tenaga-murni dan darah. Mungkin aku tiada harapan hidup lagi!”

“Apakah tiada obatnya lagi?”

“Ada sih ada, tetapi sukarnya bukan alang kepalang. Harus mendapat darah dari Cian lian-lok (rusa yang berumur seribu tahun) barulah jiwaku tertolong!” sahut Kang-ou-long-tiong dengan putus asa. Dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar dari biara.

Pemuda tolol termangu-mangu memandangnya. Sesaat tak tahu ia bagaimana harus bertindak. Hanya hatinya bersedih melihat keadaan orangtua yang telah menyelamatkan jiwanya itu. “Hiantit, kau disini!” tiba-tiba terdengar orang berseru kejut- kejut girang. Hiantit artinya keponakan.

Pemuda tolol berpaling. Ah, kiranya yang berseru itu adalah paman ketiga Ko Te-ing gelar Kian-gun-ciang (pukulan Sapu jagad). Girangnya bukan kepalang: “Sam-siok-siok!” serunya.

“Ayahmu? Sudah belasan tahun...”

“Ayah, dia... dia berada di Neraka-19 lapis!”

“Apa?  Neraka-19-lapis...”  Kian-gun-ciang  menjerit  ngeri  dan rubuh. Tahu-tahu ia binasa.

Pemuda tolol kaget sekali. Ia loncat memeriksa kesekeliling biara, namun tak berjumpa apa-apa.

“Hm, Neraka-19-lapis, apabila aku sudah belajar Pukulan-hitam, pasti akan kuhancurkan!”

Geram   dan   marah   mencengkram   seisi   dada   pemuda   itu. Diangkatnya   tubuh   paman   Kian-gun-ciang   dan   dengan   penuh dendam kesumat, mulutnya mengucap sepatah demi sepatah”“Ne... ra... ka... 19... lapis...”

Setelah puas menumpahkan dendamnya, ia segera menanam jenazah pamannya dengan baik. Kemudian mencari siorangtua aneh yang memiliki ilmu Pukulan-hitam.

Hari sudah petang ketika ia melangkah masuk di gua tempat kediaman orang tua aneh. Orang tua aneh itu duduk disudut gua; Rambutnya yang panjang menjulai sampai kebahu. Rupanya ia tengah menanti kedatangan sipemuda. Beberapa kali ia terkesiap apabila mendengar suara. Dikiranya sipemuda datang tetapi ternyata hanya desis angin menghambur tanah diluar gua.

Tetapi kali ini terpenuhilah harapannya ketika mendengar langkah kaki orang masuk kedalam gua.

“Hai, kau sudah kembali!” serunya dengan girang menyambut kedatangan sipemuda.

“bagaimana hasilmu? Apakah Bok-tiong-long-cu sudah kau bunuh?” serunya tak sabar.

“Sudah! Katakan siapa orang ketiga yang harus kubunuh?” sahut sipemuda dengan hambar.

“Ho, ho, ho... orang tua itu tertawa meloroh. Nadanya seram sekali.

“Jangan terburu-buru, setan cilik,” katanya.”Tunjukkan lenganmu kanan!”

Geram dan muak sekali pemuda itu. Acuh tak acuh ia lakukan perintah orang. Ah, lengannya kanan sudah kembali seperti biasa lagi. Warna hitam sudah tak ada lagi.

Kembali siorang tua aneh tertawa gelak-gelak.

“Setan tua, lekas! Aku tak punya waktu melayanimu!” teriak pemuda tolol dengan jemu.

Wajah pemilik Pukulan-hitam yang seram, mengerut riang. Ujarnya tenang-tenang: “Mengapa kau terburu nafsu, setan cilik? Kau harus menceritakan pengalamanmu dulu!”

“Dia sudah kubunuh mati, habis perkara. Apa yang hendak kau dengarkan lagi... “Kau sungguh berhati dingin... ah! Belasan tahun lamanya aku tinggal seorang diri di gua karang sini.

Kehidupan begitu sebenarnya bukan menjadi seleraku si Malaekat-elmaut... tiba-tiba ia berhenti. Rupanya ia merasa telah kelepasan omong. Dipandangnya pemuda itu dengan sinar mata berkilat-kilat.

Tiba-tiba pemuda itupun teringat sesuatu, serunya: “Setan tua, seorang wanita yang menamakan dirinya sebagai Dewi-es Bu Peng ki...”

“Ha, Ki moay (adik Ki)? Apakah kau berjumpa dengannya?” teriak orang tua aneh yang ternyata mengaku memang si Malaekat- elmaut, tokoh ganas yang memiliki Pukulan hitam.

“Ya, secara tak terduga-duga...” “Apa katanya kepadamu?”

“Dia suruh aku menyampaikan pesan. Kelak pada suatu hari ia tentu dapat mencarimu...”

Wajah Malaekat-elmaut membeku seketika. ”Kau memberitahukan tempatku sini?” serunya tegang.

“Tidak!”

Malaekal-elmaut menghela napas longgar, seolah-olah terlepas dari himpitan batu. Ujarnya: “Benar jangan sekali-kali kau beritahukan tempat tinggalku ini kepada siapapun!”

“Ya...”

“Dan nanti, kelak apabila kau berjumpa lagi dengan Ceng-thian- it-ki itu, harus berlaku sungkan dan mengalah. Jangan sekali-kali kau berani menempurnya!” Pemuda tolol makin muak. Tak sabar lagi ia melayani bicara : “Apakah hal itu juga termasuk dalam perjanjian kita?”

Pertanyaan itu membuat Malaekat-elmaut tertegun.

Setelah meringis, ia pun tertawa : “Setan cilik kau benar-benar pandai berdagang. Walaupun hal itu tidak termasuk dalam perjanjian tetapi aku minta tolong padamu...”

“Tidak!” sahut sipemuda tolol tegas,” kita tukar menukar. Kau suruh aku membunuh musuhmu dan sebagai upah kau memberi pelajaran ilmu Pukulan-hitam. Kalau akan kau tambah dengan minta tolong lagi, bukankah aku yang rugi?”

“Bagaimana? Kau tak meluluskan?”

“Baiklah, aku menyanggupi asal kau menerima syaratku juga!” “Syarat apa?”

Dengan nada bersungguh-sungguh pemuda itu berkata; ”Ceritakanlah hubunganmu dengan wanita Ceng-thian-it-ki itu kepadaku!”

Mendengar itu teganglah wajah Malaekat-elmaut Tubuhnya menggigil menahan goncangan hatinya. Jelas bahwa antara Malaekat-elmaut dengan Ceng-thian-it-ki itu terdapat jalinan hubungan yang luar biasa.

Sampai beberapa jenak barulah ia dapat bicara: “Kau ingin mendengar?”

“Ya,” sipemuda mengiakan.

“Baik,” kata Malaekat-elmaut. Iapun mengatur napas dan mulai bicara...

“Dahulu ada seorang anak sebatang kara. Namanya Wi Co-khiu. Dia bekerja sebagai kacung digedung Hong hun poh. Karena miskin dan sudah sebatang kara, dia selalu mendapat ejekan dan hinaan dari orang-orang. Hanya seorang yang kasihan dan memperlakukannya dengan baik. Orang ini adalah puteri pemilik gedung yang bernama Bu Peng ki. Dara itu selalu membela dan melindunginya apabila ada orang yang berani menggoda anak itu.

“Hai, bukankah Bu Peng ki itu Ceng thian-it-ki?” tukas sipemuda.

“Benar,” kata Malaekat-elmaut...”tetapi majikan gedung Hung- hun-poh yang bernama Hong-hun-kiam khek atau pendekar pedang-angin Bu Peng bun, memperlakukan anak itu dengan sia- sia. Setiap kali selalu hendak menindasnya. Karena tekanan hidup yang dideritanya sejak kecil, maka menjadilah anak itu seorang yang sinis membenci orang...” Malaekat-elmaut berhenti sejenak mengatur napas.

“Setelah Wi Co  khiu  menginjak  umur 10 tahun.  Diam-diam  ia telah  mencintai  puteri  majikannya  jakni  Bu  Peng  ki.  Dan  dara itupun membalas cintanya. Keduanya saling berjanji untuk sehidup semati.    Tetapi    tiba-tiba    datanglah    sebuah    peristiwa    yang mengoyak-hancurkan impian mereka...”

“Apakah peristiwa itu?” karena terpikat perhatiannya sipemuda tolol berseru.

“Ternyata ayah gadis itu diam-diam telah menjodohkan dara Bu Peng-ki dengan putera dari pemilik gedung Bu-ceng-puh yang bernama Ling-liou-tiu!”

“Habis bagaimana!” seru sipemuda.

“Tetapi dara jelita Bu Peng-ki tetap setia pada Wi Co-khiu. Ia mengambil putusan melarikan diri bersama kekasihnya itu!”

“Berhasilkah?” tanya sipemuda. “Jika rencana mereka berhasil tak nanti bakal lahir peristiwa balas dendam berdarah seperti hari ini. Pada suatu hari Wi Co khiu telah mengetahui sebuah rahasia dari keluarga Bu. Dia memutuskan tak dapat mencintai Bu Peng ki lagi...”

“Apakah rahasia itu?” sipemuda makin tertarik. Malaekat- elmaut menarik napas panjang. “Secara tak terduga-duga Wi Co khiu mengetahui bahwa majikannya yakani Hong-hun-kiam-Khek dan ayah dari Lenghu Tiu (kepala Bu-ceng-poh) yang bernama Leng hou Yap, adalah pembunuh ayah Wi Co-khiu...”

“Astaga!” sipemuda menjerit. Bukan kepalang kejutnya.

Kata Malaekat-elmaut melanjutkan ceritanya,”Ayah Wi Co-khiu bernama Wi Ih hong, seorang tuan tanah yang kaya raya didaerah utara. Hong-hun-kiam-khek Bu Ping-bun dan Leng-hou Yap sebenarnya hanya pembantu-pembantu Wi Ih-hong. Siapa tahu, hati manusia memang sukar diukur. Kedua pembantu yang dipercaya penuh itu diam-diam telah mengadakan komplotan untuk membunuh majikannya dan merampas harta bendanya...”

“Setan tua,” tiba-tiba sipemuda tolol memutus cerita orang, “aku hendak bertanya. Kalau toh Bu Ping-bun dan Leng hou Yap sudah membunuh majikannya (Wi In-hong), mengapa puteranya yang bernama Wi Co-khiu tetap dipelihara dan tidak dibunuh sekalian?”

“Memang aku sendiri sampai saat ini belum jelas apa maksud mereka!” sahut Malaekat-elmaut.

“Mungkin terselip suatu rahasia!” kata sipemuda.

“Benar, setan cilik,” kata Malaekat-elmaut, “kuharap kelak kau dapat mewakili aku mencari bukti yang terang.”

“Baik,” sipemuda serentak menyanggupi, “anggaplah ini sebagai pertolongan yang tak termasuk dalam perjanjian kita. Teruskanlah ceritamu. Bagaimana tindakan Wi-Co-khiu selanjutnya? Apakah dia lantas membunuh Hong-hun-kiam-khek Bu Ping-bun?”

“Mana bisa? Kala itu Hong-hun-kiam-khek merupakan tokoh persilatan yang dimalui orang. Dia menjadi raja didaerahnya. Wi Co-khiu sama sekali bukan tandingannya. Karena itu diam-diam ia minggat!”

“Tentulah dia mendapat peruntungan besar dapat bertemu dengan orang sakti dan bisa menjadi seorang jago sakti?”

“Tepat sekali dugaanmu...”

“Setan tua, bagaimana cara Wi Co-khiu bisa memperoleh kesaktian itu seharusnya kau ceritakan jugalah!” desak sipemuda.

Malaekat-elmaut merenung sejenak. Ujarnya: “Hal itu tiada hubungannya dengan pokok cerita. Boleh tak usah diceritakan!”

Sipemuda mendengus, ia hendak membantah tetapi tak jadi.

Malaekat-elmaut deliki mata: “Tak usah kau penasaran, setan cilik! Perjanjian yang kita buat berdua, adalah atas dasar adil. Siapapun tak ada yang untung atau rugi. Wi Co-khiu malang melintang di dunia persilatan. Karena sejak kecil sudah menghirup hawa dendam kesumat, maka dia menjadi seorang manusia ganas. Entah sudah berapa bancak jiwa yang melayang ditangannya. Orang persilatan memberi gelar sebagai Malaekat-elmaut...”

“Oh, Wi Co-khiu itu Malaekat-elmaut itu kiranya kau sendiri!” Jangan memutus ceritaku, setan cilik,” bentak Malaekat-elmaut,

“memang benarlah. Akhirnya  Malaekat-elmaut Wi  Co-khiu  dapat

membunuh kedua musuhnya Hong hun kiam khek Bu Ping hun dan Ling-hou Yap. Malaekat-elmaut hanya sekedar menuntut balas atas kematian ayahnya...” “Eh, apakah Ceng-thian-it ki Bu Peng ki jadi menikah dengan Leng-hou Tiu?” tanya sipemuda.

“Tidak!”

“Dan kaulah yang memperisteri nona Bu itu?”

“Karena nona Bu menjadi puteri dari musuh yang membunuh ayahmu. Benar...”

“Setan cilik, jangan mengoceh sendiri,” bentak Malaekat-elmaut, “sekarang kau dengarlah. Orang ketiga yang harus kau bunuh ialah Sin-ciu-it-kiam Siang Kay-ih.”

Mendengar itu sipemuda seperti terpagut ular. Tetapi cepat sudah tenang lagi.

“Sin ciu-it-kiam Siang Kay ih?” ia menegas. “Tepat! Kau kenal padanya?”

Sipemuda tolol tertegun, ia benar-benar risau sekali. Sin-ciu-it- kiam atau Jago pedang nomor satu dari Sin ciu Sang Kay-ih itu bukan lain ayah dari sidara baju hitam yang menyuruhnya membuka kotak-besi berisi kitab pusaka. Bukanlah Siang Kay ih sudah mati karena kaget mendengar Pu ceng mo-ong binasa karena Pukulan hitam? Dia telah menyaksikan dan hadir dalam upacara penguburan jago pedang itu.

Terbit keraguan dalam benak pemuda itu. Kalau dia menceritakan terus terang bahwa Siang Kay-ih sudah mati, dia tentu bebas dari tugas sebagai algojo. Tetapi jika hal itu ia rahasiakan, bukankah dia akan dapat lebih cepat pulang menemui mamahnya yang tentu mengharap-harap kedatangannya?

Tiba-tiba terngianglah pesan mamahnya ketika ia hendak berangkat. “Nak, pergilah! Kau harus memiliki Ilmu Pukulan-hitam sebelum pulang menemui aku. ” demikian ucapan mamahnya.

“Ya, aku harus mengetahui asal usul diriku. Untuk itu terpaksa aku harus bertindak begini. ” ia menimang dalam hati.

Setelah mengambil putusan, barulah ia menjawab pertanyaan Malaekat-elmaut: “Tidak, aku tak kenal padanya ”

Malaekat-elmaut berpikir beberapa saat. Ujarnya: “Sin-ciu-it- kiam itu adalah orang yang telah mengutungi lenganku!”

“Kutahu!”

“Kemarilah mendekati,” seru Malaekat-elmaut. Pemuda tolol melangkah setindak demi setindak.

Secepat kilat Malaekat-elmaut menyambar lengan pemuda itu. Seketika sipemuda rasakan tubuhnya disaluri aliran hawa panas yang menyerang sampai keulu hati. Dahinya mulai bercucuran keringat.

Beberapa saat kemudian barulah Malaekat-elmaut menarik pulang tangannya: “Sudah, kuberimu lagi Pukulan-hitam untuk membunuh seorang. Pergilah! Wakili aku membasmi musuhku yang ketiga. Selesai tugasmu akan kuberimu seluruh ilmu pelajaran Pukulan-hitam!”

Pemuda tolol deliki mata. Ia menggeram ketika melihat lengannya kanan berobah hitam. Tanpa berkata apa-apa ia ngeloyor pergi...

“Setan cilik, kembali dulu!” tiba-tiba Malaekat-elmaut berseru.

Pemuda tolol putar kepala dan menegur dingin: “Mau pesan apa lagi, setan tua!”

“Aku hendak bertanya sebuah hal padamu!” Pemuda tolol menatap tajam kepada Malaekat-elmaut, manusia yang berwajah seram karena anggauta tubuhnya banyak yang protol.

“Siapakah namamu?” diluar dugaan Malaekat-elmaut menanyakan soal nama.

“Entah!” pemuda tolol mengangkat bahu. Malaekat-elmaut kerutkan dahi, bentaknya: “Setan cilik, kau sungguh berhati dingin!”

Tiba-tiba itu pemuda itu memikir. Meskipun dia sudah mengadakan perjanjian tukar-menukar dengan Malaekat-elmaut, tetapi setelah mendengar sejarah hidupnya, ia tahu bahwa Malaekat-elmaut itu sebenarnya bukan seorang manusia ganas.

Sambil berlinang-linang airmata pemuda itu berkata tak lampias: “asal usulku mungkin lebih ngenas dari kau, setan tua! Sampai detik ini kecuali hanya tahu bahwa aku orang she Ko, siapa namaku aku tak tahu sama sekali...”

Rasa haru mengundang airmatanya mengalir makin deras. Tetapi dia seorang anak yang keras hati. Tak mau ia unjuk kelemahan di hadapan orang. Serentak ia berputar tubuh dan melangkah keluar.

Masih terdengar didalam gua, Malaekat-elmaut menghela napas panjang: “Ah, kembali sebuah dunia yang ngeri!”

Namun pemuda itu tak mau menghiraukan.

Setelah mengusap airmatanya, ia kertek gigi dan sekali enjot tubuhnya ia lenyap dalam kegelapan malam.

Akhirnya sang malam harus mengalah gilirannya kepada sang surya. Fajar mulai menyinari bumi. Kala itu pemuda tolol tiba disebuah bukit. Ketika memandang kesebelah muka, hatinya makin tegang. Ia percepat larinya menuju kesebuah rumah pondok. Makin dekat makin teganglah perasaannya.

Walaupun masih jauh namun dapat juga ia melihat mamahnya. Tetapi ada suatu perasaan yang menyebabkan ia gelisah dan ketakutan.

Mamahnya telah mengharap-harap sang putera pulang dengan membawa ilmu Pukulan-hitam. Tetapi yang diperolehnya saat itu hanyalah Pukulan-hitam satu kali pakai.

Tiba-tiba pemuda itu hentikan larinya. Dia bersangsi sampai lama.

“Ah,   mah,    harap    maafkan    aku.    Bukan    sengaja    hendak menipumu,  tetapi  aku  benar-benar  tak  tahan  menderita  siksaan lahir batin. Sampaipun siapa namaku, tak kuketahui. Dan ayah saat ini tersiksa dalam Neraka-19-lapis, juga belum diketahui bagaimana nasibnya...”

Dalam merenung itu iapun sudah melangkah kedalam pondok. Segera sebuah suara wanita yang bernada rawan menyambutnya: “Nak, kau sudah pulang.”

Seorang wanita duduk ditengah balai. Rambutnya terurai menjulur kebahu. Mukanya ditutupi dengan sehelai kain kerudung hitam. Tetapi dari nadanya, menandakan kalau ia belum tua.

“Mah...” sipemuda segera menghampiri seraya menyahut terisak.

“Nak, apakah kau sudah memperoleh ilmu Pukulan-hitam?” tanya wanita itu.

“Sudah, mah” “Oh...” Wanita itu terkesiap. Entah bagaimana ia tercengkam oleh rasa kejut-girang sehingga tubuh gemetar. Tetapi karena wajahnya tertutup kerudung, maka tak dapatlah dilihat bagaimana perubahan airmukanya.

Berapa saat suasana dalam ruang pondok hening lelap.

“Ah, tak nyana begitu lekas kau sudah memperoleh ilmu itu. Kukiranya akan memakan waktu sampai 3-5 tahun lagi. Ah kesemuanya ini adalah atas rakhmat Tuhan. Dendam keluarga Ko tentu segera terhimpas!”

“Mah, siapakah namaku?” “Ko Cian Hong!”

Pemuda itu menghela napas longgar. Kini baru ia tahu namanya. Tiba-tiba ia teringat, serunya, “Mah, aku berjumpa dengan...samsiok!”

“Apa? Pamanmu Kiam-gun-ciang Ku Te-ing?” mamahnya terkejut

“Ya.”

“Lalu bagaimana dia?” “Meninggal!”

Wanita itu serempak berbangkit seperti dipagut ular. Diraihnya tangan Ko Cian Hong erat-erat. ”Nak, apa katamu?”

“Samsiok telah mati!”

“Siapa   yang   membunuh?   seru   ibunya   tegang.   “Mungkin anakbuah Neraka-19!”

“Neraka 19? Hm !” dengus siwanita dengan penuh kegeraman. Dengan  penuh  kemarahan  dan  kebencian,  pemuda  Cian  Hong berseru, “Ma, apakah ayah juga dipenjarakan oleh orang Neraka- 19?”

“Sudah belasan tahun lamanya!” sahut sang ibu. “Siapakah nama dan gelaran ayah?”

“Pelajar seribu-muka Ko hong!” “Dan mamah sendiri?”

Pertanyaan Cian Hong benar-benar menyahut hati ibunya. Sampai beberapa lama wanita itu diam tak bicara apa-apa. Setelah tersadar, ia menggesek gerahamnya.

“Kang ou-bi-jin Hoa Sian-lan!” serunya. Kang ou bi-jin artinya si Jelita dari dunia persilatan.

Melihat ibunya tegang, berkatalah Cian Hong dengan penuh kasih: “Mah... apakah kau suka membuka kain kerudungmu? Selama ini aku belum pernah melihat wajahmu.”

Kang-ouw-bi-jin tertegun mendengar permintaan puteranya.

Beberapa saat ia termenung.

Cian Hong susupkan kepalanya kedada sang ibu dan berkata dengan bisik-bisik : “Mah, ijinkan anak melihat wajahmu!”

Kang-ouw-bi-jin menghela napas. “Nak, mungkin kau nanti kecewa!”

Cian Hong heran. Mengapa ibunya mengatakan begitu? Masakan seorang anak akan kecewa melihat wajah ibunya?

“Tidak, mah, kau salah. Baik buruk kau adalah ibuku, masakan aku tak berbakti!” katanya. Kata-kata sang putera itu rupanya terasakan dihati Kang-ouw- bi-jin. Tiba-tiba ia menyingkap kerudung hitam yang menutupi mukanya. Seketika tampaklah sebuah wajah wanita yang luar biasa. jeleknya.

Hampir Cian Hong menjerit kaget. Ia tak percaya apa yang dilihatnya saat itu. Ibunya yang digelari orang sebagai Jelita-dunia- persilatan ternyata memiliki wajah yang ngeri sekali. Daging- daging pipinya menonjol lekak-lekuk, keningnyapun dekok-dekok tak karuan. Kecuali lubang mata, hidung dan mulut, boleh dikata wajah sang ibu itu hanya berwujud segumpal daging datar yang merah. Benar-benar sebuah wajah yang mengerikan!

Sehabis tersadar dari ketegunan, serta merta Cian Hong jatuhkan diri didalam haribaan sang ibu. Pemuda itu menangis tersedu sedan....

Kang-ouw-bi-jin Hoa Sian Lan tenang-tenang saja. “Nak, seorang anak laki jangan gampang-gampang mengucurkan airmata. ”

Cian Hong mengusap airmatanya.

“Mah, ini, ini, ini. ” serunya tegang, ia tak dapat melampiaskan

kata-katanya karena dada serasa meledak.

Kang-ouw-bi-jin menutup kembali kain kerudungnya. Diciumnya jidat sang putera: “Nak, peristiwa ini merupakan peristiwa dendam darah yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia!”

“Dendam darah? Aku hendak menuntut hutang darah itu!”

“O, nak, kau benar-benar seorang putera keluarga Ko yang berbakti!” kata Kang-ouw-bi-jin dengan nada penuh dendam kesumat. Seorang wanita cantik telah dirusak wajahnya sedemikian rupa hingga kehilangan sifat-sifat kewanitaannya...

Ko Cian Hong kerut kening: “Mah, harap ceritakan semua peristiwa yang kau alami. Aku sungguh tak tahan lagi!”

“Nak tiba-tiba Kang ou-bi-jin hentikan kata-katanya. Ia tertegun.

“Ada orang!” serunya gugup.

Serentak Ko Cian Hong loncat melesat keluar.

Kang-ouw-bi-jinpun menyusulnya. Memang benar. Dilereng bukit tampak sesosok bayangan lari pesat. Melihat itu, meluaplah hawa pembunuhan pada dada Kang ou-bi-jin.

Lari orang itu seperti bintang jatuh pesatnya.

Dibelakangnya diikuti oleh berpuluh-puluh sosok tubuh yang menghunus senjata.

Ko Cian Hong dan Kang-ou bi-jin siap menunggu kedatangan orang-orang itu...

Dalam beberapa kejap rombongan orang itupun sudah tiba. Ko Cian Hong melihat orang yang berlari disebelah muka itu seorang lelaki setengah tua. Sutera tangkai pedang yang tersanggul dipunggungnya berkibar-kibar ke dada. Sepasang matanya tajam- tajam menatap Kang-ouw-bi-jin.

“Ih Thian-cek, apakah kau masih ada muka ketemu aku?” bentak Kang-ouw-bi-jin. Orang lelaki setengah tua itu bernama Ih Thian cek gelar Pedang- hujan-bunga. Dia tertawa mengakak. “Hm! Duapuluh tahun lamanya kucari kau. Tetapi kau tetap setia-cuma pada si Pelajar- seribu-muka. Kalau rumahtanggamu sampai berantakan, itulah suatu balasan yang setimpal!”

“Tutup mulutmu, anjing!” damprat Kang-ouw-bi-jin. “Sudahlah aku tak mau adu mulut dengan kau.

Lekas serahkan kitab itu, kalau tidak, heh, heh, heh, heh...” Pedang-hujan-bunga Ih Thian-cek berpaling kearah rombongannya yang terdiri dari berpuluh-puluh jago pedang. Dia gembira sekali.

“Jangan tertawa seperti orang sinting, ayo enyah dari sini,” tiba- tiba Jian-hong membentak.

Bentakan itu membuat Uh-hoa-kiam atau Pedang-hujan-bunga Ih Thian cek terbeliak. Saat itu baru ia mengetahui dan memperhatikan anak muda disamping Kang ou-bi-jin. Lebih-lebih ketika melihat betapa congkak sikap anak itu.

Setelah puas memandang pemuda itu dari ujung kaki sampai kerambut, berserulah Pedang-hujan-bunga dengan suara dingin: “Siapa kau?”

“Aku ya aku, apa pedulimu!” sahut Cian Hong dengan busungkan dada.

Penyahutan itu membuat Ih Thian-cek terkesiap. Belum pernah ia berjumpa dengan seorang anak yang seberani dan sesombong itu.

“Oh, kutahulah. Mungkin kau anak dari Hoa Sian-lan ini, bukan?” serunya.

“Anaknya atau bukan, kau mau apa?” tantang Cian Hong. “Itu kebetulan sekali. Sekali tepuk dua lalat. Kalian ibu dan anak akan kubereskan semua!”

Ko Cian Hong mendengus hina.

“Rupanya kau hendak cari mati!” serunya. Dia marah sekali. Bentakan ditutup dengan sebuah ayunan tangan kiri kedada Pedang-hujan-bunga.

Melihat pukulan anak itu sedemikian dahsyat Ih Thian-cek loncat mundur setombak jauhnya.

“Hm, benar-benar anak domba yang tak takut pada harimau. Anak kemarin sore yang tak tahu betapa tingginya langit,” Ih Thian- cek tertawa meringkik, “Bagus, keinginanmu akan tercapai. Kau bakal melancong kepintu Akhirat!”

Ih Thian-cek berpaling kepada rombongannya. “Cincang anak itu!” serunya.

Kang-ouw-bi-jin terkejut. Dia tahu bahwa rombongan anakbuah Ih Thian cek yang terdiri dari 50 orang itu akan membentuk sebuah barisan maut yang disebut Hiat uh-lok-hoa-kiam-tin atau barisan Hujan-darah-bunga-gugur.

Selama   20   tahun   lamanya   sampai   saat  itu,   belum   pernah terdapat seorang tokoh persilatan  yang mampu lolos dari barisan maut  itu.  Hanya  Cian-bin-su-seng  (Pelajar-seribu-muka)  ayah  Ko Cian   Hong   satu-satunya   jago   silat   yang   mampu   menjebolkan barisan itu.

“Hong-ji, jangan bertindak sembarangan!” cepat-cepat Kang- ouw-bi-jin memperingatkan puteranya.

“Ho, Hoa Sian-lan, kau takut puteramu mati dalam barisan Hiat uh-lok-hoa-kiam-tin?” Ih Thian-cek tertawa mengejek. “Jangan membakar hatiku!”

“Kalau begitu, serahkan saja kitab itu dan kalian tentu kubebaskan.”

“Jangan bermulut besar! Akan kuhancurkan barisanmu itu!” tiba-tiba Cian Hong berseru dan serentak menyerbu kedalam barisan Hujan-darah-bunga-gugur.....

(Bersambung)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar