Pendekar Latah Bagian 55

 
Bagian 55

"ADA di kamarku." segera Hui-siok Sinni menjawab

"dia minta aku menghaturkan sembah sujud-nya lebih dulu kepada kau orang tua, dia tunggu Kongsun-cianpwe mengundangnya."

maklum hubungan Siang Ceng-hong sebagai istri Kongsun Ki tidak resmi maka dia merasa malu dan kikuk menghadap bapak mertuanya. "Aku tidak mengakui anak, namun menantuku tetap kuterima dengan senang hati. Suruh dia besok bopong anaknya menghadap kakeknya."

terhibur juga hati Kongsun In bahwa Siang Ceng-hong kembali membawakan keturunan keluarga bagi dirinya.

"Bicara soal anak ini, sungguh harus dikasihani." demikian ujar Hui-siok Sinni,

"sungguh tak terpikir olehku dalam dunia ini ada ayah sekejam itu terhadap anaknya."

"Kenapa?" tanya Kongsun In kaget,

"memangnya jahanam itu tega mencelakai putranya sendiri?"

"Begitulah. Dia menanam kadar racun didalam badan putranya yang baru lahir, terpaksa adik Ceng-hong harus merawat dan menjaganya siang malam, setelah tumbuh dewasa baru kadar racun dalam badannya berkurang dan sembuh, Agaknya dia sudah bertekad hendak menyiksa Siang Ceng-hong selama 18 tahun."

Kongsun In kertak gigi, katanya:

"Jahanam ini memang gila dan bukan manusia, Sukurlah dia ketimpa Jau-hwe jip-mo."

"Besok biar kuperiksa keadaan anak itu, kemungkinan aku bisa bantu menawarkan racun dalam badannya, jadi tidak usah menderita selama 18 tahun, waktu itu yakin dia sudah menjadi tokoh kosen dalamBu-lim."

demikian Liu Goan-cong memberikanjanjinya. kuatir sahabat tuanya berduka lekas dia alihkan pembicaraan:

"Tam-hiantit kabarnya barusan kau latihan Loh-cing-ciang- hoat ciptaan barumu itu, bagaimana ke-majuannya? sudah lancar dan leluasa bukan?" "Ilmu pikiran Tam-heng tidak lagi lancar dan leluasa, aku yang menonton disamping dibuat kagum dan terpesona." lalu dia ceritakan apa yang dia saksikan tadi.

"selamat selamat" ujar Liu Goan-cong tertawa riang.  " Kalau demikian Lwekangmu sudah pulih seluruhnya.

Demikian pula Lohieng-ciang-hoat sudah berhasil kau

sempurnakan."

Kongsun In tertawa, katanya:

" Bu pangcu. tentunya kau tidak tahu betapa giat dan rajin Tam-hian-te belajar dan berlatih, meski masih sakit dia sudah tekun menyelami ajaran silat tingkat tinggi."

Bulim cianpwe umumnya suka memuji kaum muda yang cerdik pandai dan mau giat belajar, bahwa "Loh-eng-ciang hoat" ciptaan Bu-lim-thian-kiau mendapat pujian Liu Goan- cong dan Kongsun In, ini menandakan bahwa ilmu pukulan ini boleh dianggap sebagai suatu aliran tersendiri yang tiada taranya.

Berkata Bu-lim-thian-kiau:

"Cianpwe berdua terlalu memuji. semua ini berkat bantuan Liu-lo-pek yang menyembuhkan penyakitku, serta petunjuk dan ajaran yang diberikan Kongsun cianpwe dan Bing-bing Tay-su."

"Memangnya, semula aku kuatir dalam setahun kau belum bisa sembuh, tak nyana baru 3 bulan, kau sudah pulih Lwekangmu semula." demikian timbrung Jilian Ceng-hun.

Mumpung dapat kesempatan Bu-lim-thian-kiau ber-kata: "penyakitku sudah sembuh, kupikir besok hendak ikut Bu-

pangcu turun gunung."

"Memang kita sudah amat kangen kepada Jing-yau cici, syukur kalau bisa cepat tiba dipangkalannya untuk bantu mempersiapkan pesta pernikahannya. " Jilian ccng-hun menambahkan

"Baiki baik." ujar Liu Goan-cong mengelus jenggot "Kalian angkatan muda sehaluan dan sepandangan, lebih

cepat berkumpul memang baiki Katakan kepada Yau-ji, secepatnya aku dan gurunya pasti akan datang sebelum waktunya untuk menjadi wali pernikahannya."

Maka hari kedua pagi2 benar, Bu-lim thian-kiau berpamitan kepada tiga maha guru silat, bersama Bu su-tun, Hun Ji-yan berempat meninggalkan Kong-bing-si.

Dijalan Bu-lim-thian-kiau berkata:

"Bukankah Bu-pangcu hendak menuju ke Thian-long-nia dulu? Boleh-lah siaute ikut kesana untuk menambah keramaian?"

" Kebetulan sekali." seru Bu su-tun tepuk tangan. "Memangnya kami merasa kurang tenaga, kalian berdua

sudi kesana, tambah yakin kita menumpas kedua bangsat tua

itu."

"setahun aku rebah diranjang menyembuhkan penyakit mungkin kepandaianku terlantar, kebetulan aku dapat kesempatan untuk mencoba kepada kedua jahanam tua itu."

"Ah Tam-heng terlalu sungkan, Lok-eng-ciang-hoat ciptaanmu itu begitu hebat sampai maha guru silat jaman inipun memberikan pujiannya, mana boleh kau katakan menelantarkan kepandaian?"

"Dalam hal ini Bu-pangcu ada yang tidak tahu, ada sebab musababnya sampai aku menciptakan Lok-eng-ciang-hoat ini."

"Oh, bagaimana seluk beluknya ingin aku dengar penjelasanmu."

"Tiga tahun yang lalu pernah aku bergebrak dengan Liu Goan-ka, memang tidak terluka, namun aku sedikit dirugikan. selama 3 tahun ini aku selalu memikirkan daya untuk mengalahkan dia. Yang terang ilmu serulingku tak mampu memecahkan ilmu pukulannya yang kuat dan lunaki beruntunglah tiga bulan yang lalu waktu aku jalan2 dihutan baru mendapat ilham untuk memecahkan ilmu pukulannya itu, aku jadi mencari jalan lain yang mengutamakan pukulan telapak tangan ringan lincah. Maka selama beberapa bulan ini aku tekun mempelajari dan akhirnya terciptalah Lok-eng- ciang-hoat ini."

"Oh, jadi ilmu pukulan ciptaanmu ini khusus hendak kau gunakan menghadapi Liu Goan-ka, kan kebetulan, jejaknya berada di Thian-long-nia, marilah lekas kita menyusulnya kesana."

"Memangnya karena kudengar dia berada disana maka aku ingin ikut, kalau tidak masa aku begitu besar minat hendak mengiringi kau kesana."

Begitulah mereka berempat menempuh perjalanan sembari menceritakan pengalaman masing2 selama menempuh perjalanan ribuan li jauhnya namun dengan mengembangkan Ginkang, dalam jangka tiga hari sudah berhasil mereka tempuh dan hari keempat sampai di Thian long-nia.

Thian-long-nia teramat berbahaya, puncaknya yang tinggi mencakar langit di selubungi mega tebal.

Waktu itu sudah musim semi, namun puncaknya masih ditaburi saiju memutih yang masih membeku, maka semakin memanjat keatas hawa rasanya semakin dingin. Tapi setiba dilamping gunung, diantara hembusan angin gunung yang dingin terasa juga segulung hawa hangat yang membuat segar badan orang.

"Aneh," ujar Jilian Ceng-hun,

"hawa disini kenapa begini hangat dan nyaman?" berjalan lagi tidak jauhi ternyata disebelah depan sana mereka melihat adanya sumber air panas yang menyemprot tinggi ke- atas. Airnya mengalir kedalam sebuah empang yang cukup besar seperti kolam alam khusus buat mandi.

Tiba2 Bu-lim-thian-kiau bersuara heran. katanya lirih: "Agaknya ada orang didepan eh, agaknya ada orang mandi

didalam kolam, kudengar suara percikan air."

"Apa benar ada orang mandi? Kau tidak menipuku?" tanya Jilian ceng-hun.

"baru saja aku hendak menyatakan keinginanku memangnya kau menggodaku ya?"

serius muka Bu su-tun, katanya:

"Aku dengar ada orang bicara, suaranya seperti sudah amat kukenal."

Ternyata mereka masih cukupjauh dari sumber air panas itu, karena Lwekang tinggi maka pendengaran Bu-lim-thian- kiau dan BuSu-tunjauh lebih tajam dari orang lain. Mendengar ucapan Bu su-tun baru Jilian ceng-hun mau percaya karena bersama Hun Ji-yan mereka sekarangpun sudah dengar suara air, katanya:

"Marilah kita melihatnya. Diatas gunung yang berbahaya ini, tentu dia bukan orang biasa."

"Jangan terlalu dekat, kita lihat jelas lebih dulu siapa mereka." ujar BuSu-tun.

"Apakah Thay Bi dan Liu Goan-ka?" tanya Hun Ji-yan lirih. "Agaknya bukan, satu diantaranya adalah perempuan."

sahut Bu su-tun.

Dengan ketarik dan hati2 mereka menerobos kedalam hutan dan lompat naik kepucuk pohon yang lebat daunnya. Dari tempat ketinggian ini, bukan saja mereka bisa melihat jelas, malah percakapan orangpun sudah didengarnya.

Tampak dipinggir koiam berdiri seorang laki2 berperawakan pendek kekar dia membelakangi kolam, didepannya sebuah tongkat besi ditancapkan di- atas tanah.

Memang didalam kolam ada seorang perempuan tengah mandi, hanya kepalanya yang menongol dipermukaan air, perempuan ini sedang bicara kepada laki2 diatas daratan. Hun Ji-yan melengaki katanya pelan:

"Tak nyana kiranya mereka."

"siapakah mereka?" tanya Jilian ceng-hun. "Perempuan itu pernah membokong aku dengan jarum

beracun, laki2 itu adalah suhengnya, mereka adalah anak murid Ling san-pay."

Kiranya laki2 dan perempuan ini bukan lalu adalah Ma Toa- ha dan siangkoan Pocu.

" Kalau mereka musuh kalian, kenapa tidak melabraknya saja?" ujar Bu-lim-thian-kiau.

"Tam-heng tidak tahu, ayah gadis itu adalah Ceng-ling-cu, Liu Lihiap ada kirim kabar kepadaku, minta aku memberi kelonggaran kepada gadis ini."

Bu-lim-thian-kiau pernah dengar Bing-bing Taysu menyinggung Ceng-ling-cu, bagaimana martabat dan sepak terjang Ceng ling-cu dia ada sedikit tahu, maka diapun tidak tanya seluk beluknya kepada Bu su-tun, katanya:

" Kalau demikian mari kita dengarkan dulu percakapan mereka."

Terdengar siangkoan Pocu cekikikan, katanya: "Air disini panas, enak benar untuk mandi. Ada ikan-nya lagi, eh, maukah kau panggang ikan? Kutangkap dua ekor dan kau yang bakar ya?"

"Kau masih begini riang, sudah dua hari kita tidak berhasil menemukan kedua bangkotan tua itu, bagaimana kita bisa memberikan pertangungan jawab kepada suhu dan supek?"

"Kenapa kuatir tak keruan? Kalau pulang biar kujelaskan kepada ibu, tentu dia tidak menyalahkan kita. Biar ibu kemari mencarinya sendiri"

"Bukankah ibumu bersumpah tak mau turun dan Ling ciu- san?"

"Kalau dia ingin mendapat dua ilmu beracun milik Kongsun Ki itu, sumpahnya harus dia jilat kembali. Kukira gurumupun akan datang."

"Guruku dan ibumu masing2 mempunyai tujuan sendiri2. kalau mereka betul2 kemari, mungkin karena memperebutkan ilmu beracun itu, mereka bakal berhantam sendiri"

Dari percakapan mereka sedikit banyak Bu Su-tun sudah mendapatkan gambarannya. Agaknya ibu siangkoan Pocu adalah suci dari guru Ma Toa-ha. Dua bangkotan tua yang hendak mereka temukan di Thian-long-nia ini pasti Thay Bi dan Liu Goan-ka adanya.

"Rumah batu di Thian gak-hong itu dihuni oleh siapa sih?" terdengar siangkoan Pocu bertanya,

"kenapa kau menyingkir jauh2? Memangnya kedua bangkoian itu tidak sembunyi disana?"

"Yang tinggal dirumah batu itu adalah He-tianglo dari Kaypang, sudah lama dia tidak mengurus persoalan Kaypang, kenapa kita cari kesulitan padanya, apalagi dia masih terhitung angkatan tuaku, kau tahu dengan Kaypang aku bermusuhan buat apa harus menemui dia?" "o, kiranya He-tiantglo dari Kaypang. Kalau begitu Thay Bi dan Liu Goan-ka terang takkan sembunyi disana." demikian ujar siangkoan Pocu.

sekonyong2 Ma Toa-ha membentak:

"siapa itu yang longak longok sembunyi dalam hutan? Hayo menggelundung keluar."

Bu su-tun kaget, dia kira sembunyian mereka kenangan baru saja dia, merasa heran. Tiba2 terdengar kumandang gelak tawa orang lain dari dalam hutan dipingir kelam sebelah sana. orang itu mengenakan topi lebar berbulu perang melawan angin kakinya mengenakan sepatu tinggi dari kulit banteng, jubah nyapun terbuat dari kulit bulu musang yang putih mahal, dari dandanannya terang dia seorang Busu Mongol.

Baru saja siangkoan Pocu menongol keluar air dan angkat kepala mengawasi Ma Tohoa. Tahu2 Busu Mongol itu datang, keruan gusar dan malunya bukan main, hardiknya:

"Laki2 gila kurang ajar, Toako, lekas ambilkan pakaianku." Busu Momgol masih beranjak dua langkah lebih dekat,

serunya gelak2:

"Air panas untuk mandi mencuci bersih pupur dan Gincu, Ha h a, perempuan cantik laksana dewi kayangan, sungguh elok menikmati panorama perempuan mandi laksana dalam lukisan."

sudah tentu Ma Toa-ha naik pitam. "seer." tongkat besinya segera dia cabut, lebih dulu dia comot pakaian siangkoan Pocu yang ditaruh diatas batu terus dilempar kearah siangkoan Pocu, kejap lain dengan muka marah padam dia ayun tongkatnya mengepruk ke-batok kepala Busu Mongol.

Lekas siangkoan Pocu ulur tangan menyambuti pakaian, sudah tentu dia tidak berani naik kedarat mengenakan pakaian, terpaksa dia sembunyi ditengah sesaat daon welingi mengenakan pakaian.

Amarah Ma Toa-ha memuncak maka hantaman tongkat besinya itu keras dan mengerahkan setaker tenaga lagi.

NamunBusu Mongol itu mandah gelak2 katanya:

"Tak nyana kau bocah inijuga sedikit berisi, tidak lemah pukulan tongkatmu ini, apakah ini Hu-mo-tio-hoat dari Kaypang?"

Belum habis ucapan Busu Mongol, tongkat besi Ma Toa-ha tinggal lima dim dari batok kepatanya. Tapi Busu Mongol itu tidak berkelit, tanpa mengeluarkan senjata lagi, dengan bertangan kosong dia malah memapak maju. sudah tentu kejadian ini amat di- luar dugaan Bu su-tun. Maklumlah Hu- mo-tio-hoat merupakan salah satu ilmu pusaka dari Kaypang, dengan bekal Lwekang Bu su-tun sekarang belum tentu dia berani menyambut kemplangan tongkat Ma Toa-ha. sungguh tak kira Busu Mongol ini bernyali begini besar.

Tampak Busu Mongol itu layangkan telapak tangannya miring, gerakannya tepat pada waktunya, begitu telapak tangan menyentuh tongkat, sedikit dorong dan menariknya, tongkat sudah mcnceng kesamping.

Kiranya dia menggunakan tenaga Su-nio-poat-jian-kin lwekang tingkat tinggi, kepandaian pinjam tenaga rneng gempur tenaga, umumnya tokoh2 kosen Bulim semua bisa menggunakan ilmu ini, Tapi sulitnya orang harus dapat mengincar kelemahan dan tepat menggunakan waktunya kalau tidak betapa keras dan dahsyat hantaman tongkat ini, terpaut sedetik saja, kepala bisa pecah berhamburan.

Bahwa Busu Mongol ini begitu leluasa menggunakan permainannya, mau tidak mau Bu su-tun bersorak memuji dalam hati. Baru sekarang Bu su-tun tahu bahwa Busu Mongol ini ternyata seorang Kosen, baru sekarang dia sadar akan penilaiannya semula yang keliru.

Tak nyana tindakan Busu Mongol itu ternyata amat keji dan telengas, Ma Toa-ha bukan hanya menderita sedikit kerugian, malah hampir saja jiwanya terenggut oleh lawan. Tampak dengan menarikan kedua telapak tangannya sekali hantam dia sampuk tongkat Ma Toa-ha, berbareng kaki melangkah maju, telapak tangan yang lain menyelonong maju memapas ketengah batang tongkat.

Jurus mematikan dari ilmu tongkat yang dilancarkan Ma Toa-ha dilandasi setaker tenaganya, Karena didorong miring kesamping oleh sentuhan telapak tangan Busu Mongol, maka dia kehilangan keseimbangan, kembali tongkatnya tertabas telapak tangan lawan lagi seketika jari2 tangannya pecah berdarah, tongkat besinya seketikajutuh berkerontangan.

sebat sekali Busu Mongol kembali ulur kedua tangannya, belum lagi Bu su-tun melihat jelas apa yang terjadi, tahu2 Ma Toa-ha sudah tertangkap lawan seperti orang mencengkeram anak ayam layaknya

Karena berpakaian didalam air, sudah tentu siang-koan Pocu memerlukan waktu sedikit lama, namun melihat Ma Toa- ha menghadapi bahaya, tanpa pikiran mengenakan kancing bajunya lagi, dengan pakaian basah segera dia memburu lompat keatas darat, Namun Ma Toa-ha sudah tertawan oleh lawan.

Tanpa banyak pikir siangkoan Pocu segera ayun tangan menimpukan sebutir senjata rahasia, bentaknya:

"lihat senjataku." Busu Mongol lekas angkat Ma Toa-ha tinggi kedepan memapak timpukan orang, serunya gelak2:

"Nah, pukulah." Tak kira cara tumpukan senjata rahasia siangkoan pocu amat aneh, yang dia timpukan ini adalah Kiu-cu-bok-tan (sembilan granat beranak), benarnya semulut cangkir tahu2 granat ini meledak tiga kaki didepan Ma Toa-ha, sembilan Thi- lian-cu tahu2 melambung naik beberapa kaki melesat lewat diatas kepala Busu Mongol, tahu2 ditengah udara bisa membelok balik terus berpencar, setiap Thi-lian-cu masing2 mengincar satu Hiat-to dibadan Busu Mongol.

oleh karena itu, timpukan granat siangkoan Pocu tidak akan melukai Ma Toa-ha, malah mengancam jiwa Busu Mongol.

Busu Mongol tidak menduga akan kejadian ini, namun dia tahu senjata Ling-san-pay semuanya direndam racun.

Betapapun tinggi Lwekangnya, dia tidak berani membiarkan senjata rahasia biji teratai dari besi ini mengenai Hiat-tonya.

Karena sembilan biji teratai besi siangkoan Pocu berputar baliki memberondong dari arah belakang, dengan kepandaian mendengar suara membedakan senjata rahasia Busu Mongol tahu dirinya takkan sempat berkelit lagi, apa boleh buat terpaksa dia lepaskan dulu Ma Toa-ha, lalu dengan kedua tangan dia melawan.

Tapi Busu Mongol ini cukup keji dan telengas, walau dalam keadaan terpaksa dia harus melepas Ma Toa-ha menyelamatkan diri, namun dia bikin tawanannya mengalami derita yang cukup beratjuga, Terdengar dia menghardik: "Pergilah." dia angkat Ma Toa-ha tinggi diatas kepala terus diputar seperti atlit pelempar martil dia lempar tawanannya kearah kolam berair panas.

Setelah lempar Ma Toa-ha, tanpa berpaling lagi sebat sekali Busu Mongol bahkan tangan memukul ke- belakang, angin pukulannya menderu kencang, sembilan biji teratai besi itu kena dia rontokan seluruhnya. sudah tentu kejut siangkoan Pocu bukan kepalang keselamatan Ma Toa-ha dia utamakan, tersipu2 dia memburu kekolam seraya berteriak gugup,

"Ma-toako, Ma-toako" insaf kepandaian Busu Mcngol ini lebih tinggi, satu2nya harapan yaitu Ma Toa-ha tidak terluka dengan kekuatan mereka syukur kalau dapat mengalahkan orang-

Busu Mongol ter-bahak2, serunya:

"Nona manis, Ma-toakomu ini berkepandaian rendah bertampang jeleki apanya sih yang baik? Lebih baik kau ikut aku saja."

ditengah gelak tawanya tahu2 dia berkelebat mengadang didepan siangkoan Pocu seraya ulur tangan menangkapnya .

"Minggir." hardik siangkoan Pocu. "Tar" tahu2 punggung lengan Busu Mongol d pecutnya dengan cambuk. Kiranya dia gulung cambuk lemasnya ditangan baru sekarang tiba2 dia gunakan untuk menyerang secara keras. Karena tidak menduga maka Busu Mongol kecundang betapapun tinggi Lwekangnya, namun kulit daging punggung tangannya lecet dan meninggalkan sejalur warna merah.

sudah tentu bukan main gusar Busu Mongol, gerakannya cepat luar biasa, tahu-2 dia balikan tangan, belum lagi siangkoan Pocu menarik cambuknya tahu2 ujung cambuknya sudah dipegangnyaJelas tenaga siangkoan Pocu bukan tandingan sehingga cambut lemasnya kena direbut musuh, untung Ginkangnya tinggi sehingga ceng krama n tangan lain Busu Mongol tidak mengenai pundaknya,

Begitu mencelat mundur Siangkoan Pocu kembali timpukan sebutir senjata rahasia yang meledak didepan Busu Mongol, segumpal asap tebal seketika bergulung2 memenuhi udara, malah diantara gumpalan atap itu terdengar suara mendesis dengan samberan sinar kuning yang melesat kencang, senjata rahasia yang ditimpukan kali ini adalah salah satu senjata rahasia yang paling jahat dari Ling-san-pay, dinamakan Tok- bu-kim-ciam-liat-yam-tam (granat kabut berjarum emas), bukan saja asap tebal itu beracun, malah didalamnya mcnyamber keluar jarum2 kecil lembut sebesar bulu kerbau yang sudah dibubuhi racun pula. 

Diluar tahu siangkoan Pocu bahwa kepandaian Busu Mongol ini ternyata teramat tinggi. Terdengar orang bersiul panjang, gumpalan asap didepannya tiba2 tersibak minggir kesamping terbagi kedua sisi, Beruntun Busu Mongol ini lontarkan pukulan Bik-khong-ciang, deru angin laksana hujan badai sehingga asap tebal itu digulung pergi seperti dihembus angin lesus, celaka adalah siangkoan Pocu sendiri yang tidak keburu mundur, malah terkurung oleh gumpulan asapnya sendiri sementara jarum2 lembut itu menjadi hancur lebur ditengah damparan angin pukulan.

Dengan kepandaian Ginkang yang tinggi, cepat2 siangkoan Pocu mencelat jauh beberapa tombaki lolos dari ling kupan asap beracun, namun tak urung dia sudah menghirup sedikit hawa beracun, begitu menginjak tanah belum lagi sempat mengeluarkan obat, seketika kepala pening pandangan berputar kunang kontan dia jatuh terjerembab tak sadarkan diri

Busu Mongol ter-bahak2 senang, kalau siangkoan Pocu pikirkan keselamatan sendiri, terang Busu Mongol ini takkan bisa mengejarnya. Tapi kini dia tergeletak karena terkena racun asapnya sendiri, maka dengan gampang Busu Mongol ini akan meringkusnya.

Tapi belum lagi gelak tawa Busu Mongol sirap dan tak sempat dia menangkap Siangkoan Pocu, tiba2 didengarnya sebuah hardikan keras laksana geledek mengguntur:

"Menggoda perempuan, tidak tahu malu." ternyata Bu Su- tun dan Tam Ih-tiong berdua memburu datang lebih dulu.

Bu-lim thian-kiau berkata " siapa yang menghadapinya?"

"Biar aku menjajal kekuatan pukulannya lebih dulu." sahut Bu Su-tun. Maklumlah Tay-lik-kim-kong-ciang Bu Su-tun merupakan ilmu tunggal yang tiada taranya, jarang ditemukan tandingan setimpal, kini dilihatnya pukulan Busu Mongol ini hebat, maka timbul keinginannya hendak menjajalnya.

Sebagai seorang ahli silat begitu melihat Bu dan Tam seketika Busu Mongol tahu hari ini dia menghadapi lawan yang benar2 tangguh, Tapi dasar nyalinya besar, walau merasa heran dan kaget, namun dia tidak gentar sambungnya dengan gelak2:

"Tuan sudah menantang, aku akan melayani dengan senang hati? Silakan mulai."

Bu Su-tun tidak sungkan2, begitu dekat dia lantas gerakan sebelah tangannya membundar, dengan jurus Siu-liong-pay- bwe (naga sakti mengebas ekor), dia membelah ke-dada Busu Mongol. Busu Mongol memang mata melirik sambil geleng kepala, katanya dingin:

"Kiranya tuan jago kosen dari Kaypang."

sebat sekali dia ayun telapak tangan kanan miring, sementara telapak tangan kiri sedikit ditekuk, dua jarinya terulur laksana jepitan, menutuk ke Ki-ti-hiat Bu-Su-tun.

Jurus yang dia mainkan ini menyerang dan bertahan sekaligus. gerakan tangan kanan menuntun tenaga gempuran lawan yang digunakan adalah Su-nio-hoat-jian kin, ilmu meminjam tenaga memukul tenaga. Kalau berhasil lantas disusul tangan kiri menggunakan Kini-na-jiu-hoat atau ilmu tutuk, beruntun merangsak maju, dia harap bisa menelikung atau mematahkan lengan lawan, umpama ditengah jalan menghadapi perubanan dia yakin dirinya masih sempat menutuk Hiat-to lawan. waktu meghadapi Hu-mo-tio-hoat serangan Ma Toa-ha tadi dia juga gunakan permainan ini. Dia kira Bu su-tun sama2 murid Kay-pang yang setingkat, kalau permainannya itu dapat mematahkan Hu-mo-tio-hoat, tentunya juga mampu mematahkan "Kim-kong-jiu" dari Kaypang, maka dia gunakan cara semula.

Diluar tahu tingkat kepandaian Bu su-tun sudah tentu jauh bukan ukuran Ma Toa-ha, kekuatan telapak tangannya yang membelah ini rasanya laksana kampak raksasa yang cukup mampu membelah gunung atau martil besar yang menghantam remuk batu raksasa, Ayunan tangan kiri Busu Mongol tadi paling hanya berhasil mengurangi tiga bagian tenaga Bu su-tun, Bu su-tun segera membentaknya:

"Berani kau melawan dengan terbelah tangan,"

tenaga belahannya belum lenyap. sekaligus dia gunakan menyampuk tangan orang, sementara telapak tangannya tetap membelah kedada orang.

"Kepandaian bagus." puji Busu Mongol, tangan kanan segera. berubah memapas miring keluar. Kedua tangannya tergerak membundar seperti gelang baru dia mampu punahkan sin-liong pay-bwe BuSu-tun, sudah tentu perhitungannya semula hendak memelimir patah lengan dan menutuk Ki-ti-hiat lawan menjadi gagal.

Busu Mongol tersurut mundur tiga tindak tanya-nya: "kau ini orang Han dari Kaypang?"

"Kalau orang Han memangnya kenapa?" tanya Bu su-tun.

"Khan agung negara kita ada maksud merangkul song melenyapkan Kim, sebagai seorang ksatria bangsa Han, tentunya kau menentang Kim, Marilah kau ikut aku bekerja bagi Khan agung kita mengecap kesenangan hidup bersama, sekaligus kau bisa menuntut balas dendam negara, kalau mau aku berani jadi perantara dan Khan agung pasti menerimamu."

"Memang negeri Kim musuh bangsa song kita, namun kalian bangsa Mongol juga berjiwa penjajah. sama2 punya ambisi serakus serigala. Hm, hm, aku orang she Bu memangnya sudi menjadi antek bangsa Tatou kalian,"

"Bagus, kau tidak mau kuperalat terpaksa kubunuh kau." seru Busu Mongol, membarengi seruannya, dia menubruk sebuas binatang liar.

Bu su-tun menghardik keras, kedua tangan dia dorong maju seraya memaki:

"Betapa tinggi kepandaianmu berani bermulut besar." begitu empat telapak tangan beradu, seketika menerbitkan

suara ledakan bagai halilintar, Adu pukulan kali ini mas ing2

pihak kerahkan seluruh kekuatan, Bu su-tun rasakan telapak tangannya seperti membentur papan besi yang membara panas, keruan kejutnya bukan main, lekas dia kerahkan hawa murni, badannya bergerak lincah berputar melepaskan diri dari leng ketan kedua tangan lawan.

"Bagaimana?" ejek Busu Mongol tertawa.

"baru dua jurus, kenapa mau pergi?" belum habis dia bicara tahu2 badannya sempoyongan tiga langkah kebelakang, Agaknya latihan Tay-lik-kim-kong ciang Bu su-tun betul2 sudah sempuna tingkatnya, sulit dijajagi betapa lihay dan hebat dia menggunakan kepandaiannya ini, sekali pukul namun mengandung tiga gelombang kekuatan, setelah dia tarik tangannya, gelombang ke-dua dan ketiga masih tetap bekerja dan selalu membawa hasil dengan baik.

Tapi Busu Mongol tidak sampai terluka, sementara Bu su- tun sudah mundur selangkah lebih dulu, jadi kedua pihak sama2 sedikit dirugikan, namun belum ada yang kalah dan menang.

Kini balas Bu su-tun yang mengejek:

"Lho, kaujuga mau pergi? Kita baru jajal dua jurus, hayo di- ulangi." Dari samping Bu- lim-thian- kiau segera menyela:

"Bu-toako, selanjutnya biarsiaute yang menghadapinya. Hm, Tatcu dari Mongol, ketahuilah. aku ini bangsa Nuchen."

"Memangnya kenapa orang Nuchen?"jengek Bu-su Mongol. "Kau hendak mencaplok negeri Kim, masakah aku biarkan

kau petingkah disini? ingin aku mengajarmu supaya tahu kalau

bangsa Han banyak ksatria, kita bangsa Kim juga tidak sedikit kaum patriotnya, kau Tatcu ini takkan dibiarkan se-mena2 disini."

"Bagus, bagus sekali." seru Busu Mongol gelak2,

"Khan agung kita memang hendak mencaplok Kim, kau mengagulkan diri sebagai ksatria bangsa Nuchen, nah biar kujajal sampai dimana kepandaianmu" lalu dia menyerang lebih dulu kepada Bu- lim-thian- kiau.

Pukulannya ini menerbitkan suara gemuruh laksana guntur menggelegar dikejauhan agaknya memang tidak boleh dipandang enteng perbawa pukulannya. Namun sejak tadi Bulim-thian-kiau sudah saksikan orang bergebrak dengan Bu su-tun maka dia sudah memikirkan jalan untuk mengalahkan lawan, segera dia mainkan Lok-eng-ciang-hoat ciptaan barunya itu, tangan kiri meng gunakan jurus Yang-hoa-pu-tian (kembang wangi menyampuk muka) tangan kanan dengan jurus Liu-si-oeng-biau (dahan pohon liu melambai enteng) kekuatan pukulannya enteng seperti mengambang dan melayang tidak menentu kian kemari, keadaan ini tak ubahnya seperti dahan bergoyang dan kuntum kembang berguguran dihembus angin dimusiim semi.

seketika Busu Mongol rasakan diempat penjuru angin sekelilingnya, semua ada bayangan orang dan deru pukulannya keruan kagetnya bukan main, bentaknya:

"siapa kau? Negeri Kim ada Tam-pwecu yang dijuluki Bu- lim-thian-kiau, memangnya kau ini orangnya?" " Tidak salahi teman2 Bulim sudi menempel emas dimukaku, aku sih tidak berani mengagulkan julukan ku sendiri Entah berapa banyak ksatria bangsa Kim yang masih jauh mengungguli aku, aku ingin kau tahu bahwa orang song atau orang Kim sama2 tak boleh kau permainkan seenak udelmu." mulut bicara, namun kaki tangan Bu-lim-thian-kiau tidak menjadi kendor serangannya, beruntun dia menyerang 18 belas jurus pukulan.

Walau Lwekang Busu Mongol ini tangguh, namun dia baru pertama menghadapi Lok-eng-ciang-hoat, tak tahu cara bagaimana harus menghalau serangan ini, keruan dia keriputan terdesak mundur ber-ulang2.

Busu Mongol serang kedua telapak tangannya Bu-lim-thian- kiau tidak mau melawan secara keras, gesit sekali dia berkelebat menyingkir. Busu Mongol mendapat kesempatan ganti napas, kini telapak tangannya membundar dengan pertahanan yang kuat sembari balas menyerang, walau langkahnya menyurut mundur, namun Bu-lim-thian-kiau tidak kuasa menjebol pertahanan lawan.

Akhirnya Bu-lim-thian-kiau menjadi sengit, tiba2 dia ubah permainannya, tangannya menari cepat seperti ahli sihir meng gerakan kedua tangannya, beruntun dia merangsak 36 jurus, kekuatannya laksana gelombang sungai bergulung sambung menyambung.

Puluhan jurus lagi Busu Mongol itu melawannya, akhirnya tak tahan juga, terpaksa dia mengeluarkan senjata, katanya:

"Adu pukulan kau tak mampu kalahkan aku, Marilah babak selanjutnya kita tentukan siapakah yang lebih unggul, aku ingin mohon pengajaran kepandaian senjatamu."

"Baiki adu senjatapun boleh, selalu kuiringi keinginanmu." sambut Bu-lim-thian-kiau, kalau lawan keluarkan sepasang gelang mas, maka dia keluarkan sebatang seruling langsung ditiupnya, suaranya nyaring bening, melengking menembus mega. seketika perhatian Busu Mongol menjadi kalut oleh suara serulingnya, lekas dia himpun hawa murni seraya membentak gusar:

"Berani kau mempermainkan aku." sepasang gelangnya diputar membundar turun naik terus mengepruk kearah Bu- lim-thian-kiau.

"Tidak berani" sahut Bu-limthian kiau, tiba2 serulingnya berubah melengking dengan nada yang lebih tinggi, dengan leluasa dan seenaknya dia melagukan nyanyian syair pujangga ahala Tong dulu, kontan Busu Mongol rasakan ditengah irama seruling lawan sayup2 terasa dingin laksana samberan hawa pedang yang tajam dan bisa melukai orang, hampir saja daya pikirannya kabur dan kelelep.

Beruntun sepasang gelang Buru Mongol menyerang tiga jurus, semuanya secara enteng dan mudah dipunahkan dengan gerakan Ginkang tinggi Bulim thian-kiau. Busu Mongol membentak:

"sambutlah pukulanku." jurus keempat yang dia lancarkan merupakan serangan yang mematikan, sepasang gelang ditangannya menjadi tabir sinar terang, yang kemilau d iringkah cahaya matahari, sehingga gerak gerik Bu- lim-thian- kiau terkurung didalamnya, kemanapun dia berkelit se-akan2 bisa terkepruk pecah kepalanya oleh sepasang gelang lawan.

Tatkala itu kebetulan Bu- lim-thian- kiau selesai meniup sebuah lagu dimana dia ayun serulingnya, bayangan "serulingnya" yang putih hijau mulus seketika ber-lapis2 ribuan banyaknya, bayangan seruling yang mulus terang berbalik membungkus cahaya kuning mas dari sepasang gelang musuhi tipu yang digunakan ini merupakan salah satu jurus terlihay dari ilmu Ji-hu-sin-siau kebanggaannya.

Kira-nya, sebelum menyerang Bu- lim-thian- kiau perlu meniup lagu serulingnya dulu untuk memupuk hati dan perasaan supaya bisa bekerja mencapai taraf yang sesuai dengan makna dari lagu2 itu, dari perpaduan antara irama dan hati ini baru dia bisa mengembangkan ilmu serulingnya yang tiada taranya.

Busu Mongol inipun seorang ahli, walau terkejut dikepung oleh lapisan bayangan seruling lawan, namun dia tidak menjadi gugup, Pujinya:

"Ilmu hebat." dengan kekuatan lengannya dia gentak kedua gelangnya, seketika seguIung cahaya mas kemilau menerjang keluar dari lapisan sinar mulus kehijauan, maka terdengarlah suara berdering nyaring yang memekak telinga didalam sekejap itu gelang mas dan seruling jade Bu-lim- thian-kiau beradu 18 kali, Bu- lim-thian- kiau menyurut tiga langkah, namun topi berbulu Busu Mongol tersampuk jatuh oleh serulingnya.

Kiranya bicara soal lwekang Busu Mongol ini lebih unggul, namun bicara soal kehebatan jurus permainan dan tipu2nya, orang masih bukan tandingan Bu-lim thian-kiau. se-konyong2 Busu Mongol timpukan sebuah gelang, Bu- lim-thian- kiau mahir mendengar suara membedakan senjata dia tahu daya timpukan gelang ini amat keras, tak boleh dilawan secara keras, maka dia gunakan ilmu sedot dan tuntun tingkat tinggi, mengayun seruling menyentuh dan menarik sehingga luncuran gelang itu membelok arah terus putar balik sendiri.

Begitu menimpuk gelang dengan telapak tangan yang kosong ini Busu Mongol tiba2 memukul dengan Bi khong- ciang. Tenaga pukulannya bagai gugur gunung mendampar kedepan. Untung Bu- lim-thian kiau sudah punahkan timpukan gelang orang, cepat2 dia tarik seruling kedekat mulut dan meniup lagu pula.

Kali ini yang dia lagukan bukan irama yang teratur, asal seruling bersuara melengking saja, namun yang keluar adalah segulung angin panas. seperti diketahui seruling jade ini merupakan barang mestika dengan mengesankan hawa murninya, Bu- lim-thian- kiau bisa meniup keluar hawa panas yang murni menambah perbawa kekuatannya,

Keruan bergetar jantung Busu Mongol, lekas2 dia kerahkan tenaga untuk menangkis serangan hawa panas ini. oleh karena itu kekuatan Busu Mongol menjadi susut beberapa bagian, didalam ada kekuatan Lwekang kali ini, kedua pihak boleh dikata setanding sama kuat.

Gelang terbang menyerang musuh sebetulnya melupakan ilmu Busu Mongol yang tunggal dan lihay, tak nyana Bu- lim- thian- kiau bisa memunahkan hanya dengan gerakan seruling yang enteng tanpa banyak makan tenaga. Maka pertandingan pakai senjata kali ini kedua pihak tetap seri belum ada yang kelihatan unggul dan asor, semula Busu Mongol ini yakin dengan bekal kepandaian silatnya dia cukup mampu menindas kaum persilatan diTionggoan, tak nyana hari ini beruntun dia kebentur dua tokoh kosenBu su-tun dan Bu-lim-thian-kiau, sedikitpun dia tidak memperoleh keuntungan. Keruan Busu Mongol ini patah semangat dan kuncup sifat garangnya semula.

Disaat Bu-lim-thian-kiau melayani Busu Mongol, Bu su tun dan Hun Ji-yan berpencar menolong orang, Ma Toa-ha terlempar kedalam kolam air panas, Bu su-tun harus berdaya menolongnya keluar. sedung siang-koan Pocu semaput oleh asap beracunnya sendiri. Hun Ji-yan juga sedang berusaha untuk menyadarkan dia.

Dari kantong senjata siangkoan Pocu, Hun Ji-yan keluarkan beberapa botol dan bungkusan yang berisi bubuk dan pil obat, namun dia tidak tahu macam apa obat yang bisa menyadarkan orang. Bu su-tun tertawa malah, katanya:

"Tunggulah sebentar, nantikan ada orang memberitahu kepadamu."

Ma Toa-ha sedang meronta2 timbul tenggelam didalam kolam air panas debgan megap2, untung Hiat-tonya tidak tertutuki kedua tangannya dengan kencang berpegang pada ujung runcing sebuah batu dinding yang menonjol keluar, sehingga dia tidak tenggelam kedasar air.

Namun, hanya kepalanya saja yang menongol keluar permukaan air, suhu panas air yang menguap itu membikin napasnya sesak dan menderita sekali. Untung Bu su-tun lekas memburu datang, kalau terlambat sebentar lagi pasti dia jatuh semaput.

Dengan pukulan Bik-khong-ciang, BuSu-tun sapu kesamping uap panas yang mengepul dipermukaan air, setelah jelas tempat kedudukan Ma Toa-ha, segera dia kerahkan tenaga dan gunakan Lwekang cuncak tinggi menaut ditengah udara dari kejauhan.

"Naik." serunya begitu pegangan tangan Ma Toa-ha terlepas, badannya seketika tersedot naik setinggi tiga kaki, kebetulan tangan Bu su-tun sudah berhasil menjambret punggung orang terus dijinjingnya keluar, tanpa mengeluarkan banyak tenaga dia tolong orang dari kolam air panas.

Begitu terhembus angin dingin, seketika Ma Toa-ha bergidik dan terjaga, pikirannya rada jernih. Begitu dia membuka mata, dilihatnya Bu su-tun ada di-sampingnya, keruan kejutnya bukan main, katanya tergagap:

"Kaukah... kaukah yang menolongku?"

"Nanti saja bicara. sumoay mu pingsan terkena asap beracun, lekas kau tunjukan mana obat pemunahnya"

Hun Ji-yan lekas bawa beberapa macam obat itu kehadapan Ma Toa-ha.

"Gunakan obat merah yang ada dalam botol Ini, cukup sebutir saja, Tapi sebelum dimakan, dia harus diurut dan dipijat dulu supaya darahnya lancar, ini .." "Baiki aku sudah tahu, biar aku yang mengurut dan memijat dia." ujar Hun Ji-yan.

setelah makan obat, tak lama kemudian siangkoan Pocupun mulai siuman, Begitu sadar dia lantas pentang mulut berteriak

" Kurang ajar, mana Tatcu Mongol itu? Ma-toako, marilah keroyok dia."

karena baru sadar siangkoan Pocu belum tahu apa yang telah terjadi dia kira Ma Toa-ha yaag menolong dirinya.

Dengan menggape tangan Busu Mongol menyambut kembali gelang terbangnya, serunya lantang

" Gunung menghijau adalah tempat baik untuk mengubur tulang. Baiklah, kalian boleh maju bersama, marilah kita bertempur sampai akhir, Betapa beruntungnya aku Ibun Hoa- kip hari ini dapat melayani dua enghiong besar, matipun rasanya setimpal dan tak perlu menyesal."

Betapa gagah dan lantang perkataan Ibun Hoa-kip, sebetulnya dalam hati dia sudah jera dan kuatir bila Bu su-tun dan Bu-lim-thian-kiau benar2 mengerubut dirinya. Bu su-tun gelak2, katanya:

"Aku orang she Bu ada minat bertanding sampai titik terakhir, namun hari ini kau sudah lelahi tidak gagah kalau aku mengalahkan kau, Nah lekas kau pergi."

Mumpung mendapat kesempatan, Ibun Hoa-kip tidak sia2kan waktu. begitu menyampuk seruling Bu-lim thian- kiau, dia berkata:

"Baiki selama gunung menghijau dan air mengalir, kapan kita bertemu lagi, pasti aku mohon petunjuk kalian pula."

tanpa buang waktu ter-sipu2 dia lantas berlari pergi, Tampak langkahnya enteng bagai terbang, dalam sekejap sudah menghilang tidak meninggalkan jejak. Waktu itu, siangkoan Pocu sudah sadar betul2, melihat Ma Toa-ha basah kuyub berdiri didepannya mirip ayam jago yang kedodoran sedang orang yang memapahnya bangun adalah Hun Ji- yan, keruan kagetnya bukan main, serunya tersendat:

"Kau, kaukah yang menolongku?"

"Bukan, obat pemunah mu sendiri yang menolong kau." sahut Hun Ji-yan tertawa.

"Dari mana kau tahu yang mana obat pemunah-nya?"

"Ma-toakomu itulah yang memberitahu kepadaku." Agaknya siangkoan Pocu masih bingung, dia pandang Ma

Toa-ha dengan tatapan tak habis mengerti, Kata Ma Toa-ha dengan sember dan gemetar

"Betul, kau ditolong nona Hun ini, Akupun tertolong oleh Bu-pangou, Peduli mereka menolong lantaran jiwa pendekar atau hendak membalas budi diatas dendam. Mungkinjuga ingin mengikat persahabatan setelah bermusuhan, ataukah hendak ber-muka2 terhadap kita, Betapapun kita harus berterima kasih kepada mereka."

Mimpipun Siangkoan Pocu tidak menduga bahwa Hun Ji- yan bakal menolong dirinya, tanyanya dengan uring2an

"Aku pernah melukai kau dengan jarum beracun, kenapa kau mau menolongku malah?"

"Kejadian masa lalu tak perlu disinggung lagi, kalau selanjutnya kau tidak memusuhi kaum patriot yang menentang penjajah Kim, kita boleh bersahabat menjadi teman baik."

Kikuk dan hambar sikap siangkoan Pocu, kembali dia menoleh kearah Ma Toa-ha agaknya dia minta pertimbangan Ma Toa-ha.

Berkata dingin Ma Toa-ha: "Bu-pangcu, lebih baik kaupukul aku sampai mati saja, jiwaku kau pungut kembali, kalau kau yang membunuhku, aku tidak akan menyesal."

"Aneh ucapanmu" ujar BuSu-tun,

" Kalau aku mau membunuhmu buat apa aku menolong kau."

"Kalau begitu jangan kau menyesal. Hari ini kau tidak membunuhku, kelak kalau ada kesempatan, aku tetap akan membalas sakit hati kematian ayahku."

" Hun- lihiap" ujar siangkoan Pocu,

"Ma-toako bermusuhan dengan kalian, maka akupun tetap bermusuhan dengan kalian, Hari ini kau menolong jiwaku kelak kalau kau terjatuh ketanganku, aku boleh tiga kali mengampuni jiwamu."

Hun Ji-yan tersenyum getir dan geli, Bu su-tun berkata: "Ma Toa-ha, kau menjabat pangkat di dalam pasukan Gi-

lim-kun negeri Kim bukan? Betapa tinggi pangkatmu?"

"Hanya Taiwi kelas 5 bergaman golok saja, Buat apa kau tanya pangkatku?"

"Tam-pwecu ini tentunya kau sudah kenal, dia adalah pangeran negerimu. dialah yang seharusnya mendapat warisan kedudukan raja, Tapi sekarang dia berada dipihak ksatria golongan bangsa Han di Tiong-goan menentang kelaliman rajanya sendiri Urusan harus bisa membedakan baik buruk dan salah benar, kalau setia secara membabi buta, itu adalah gegabah dan tidak tahu diri."

"Masing2 orang mempunyai pandangan hidup dan etikanya sendiri2,jangan kausamakan dia dengan aku. Bu-pangcu, kalau kau takut aku menuntut balau sekarang boleh kau bunuh aku."

"Ma Toa-ha." sela Hun Ji-yan, "ada sebuah hal mungkin kau sendiri masih belum jelas," "Hal apa? Coba jelaskan?"

"Tahukah kau, bagaimana kematian ayahmu yang sebabnya?" tanya Hun Ji-yan.

"Aku tidak hadir hari itu, namun aku tahu beliau terbunuh oleh Bu-pangcu, kau menyinggung soal ini, memangnya ingin mengingkari kesalahan Bu-toakomu?"

Baru saja Hun Ji-yan mau memberi penjelasan, Bu su-tun sudah tidak sabar, selanya:

"Betul, memang aku yang membunuhnya. Kutunggu kau membalas, lekaslah pergi, Adik Hun, jangan banyak omong lagi."

Hun Ji-yan melenggong, seperti hendak berkata apa2 namun dia tahan dan urung.

Ma Toa-ha berseru lantang:

"Terima kasihi Bu pangcu sudi melepas aku pergi, selama hayat masih dikandung badan, aku pasti membalas budimu ini."

Tiba2 Hun Ji-yan ingat-sesuatu, teriaknya: "Tunggu sebentar."

Ma Toa-ha berpaling dengan angkuh katanya:

"Kalian menyesal bukan? Hayolahi bunuh aku sekarang juga."

Tegak alis Hun Ji-yan, katanya:

"Jangan kau terlalu curiga, siapa mau bunuh kau? Ada sebuah hal perlu kuberitahu kepada nona siangkoan."

"Ada urusan apa?" tanya siangkoan Pocu heran. "Tahukah kau keadaan ayahmu?" perkataan Hun Ji-yan belum selesai, siangkoan Pocu yang merasa heran segera bertanya "Apa katamu? Ayahku?"

"Betul, ayahmu Ceng-ling-cu cianpwe menemui ajalnya dicelakai oleh sutenya Thay Bi, sebelum ajal beliau ada pesan kepada Liu lihiap Liu Jing-yau supaya memberi kabar kepada ibumu, diapun minta supaya menjaga dan melindungi kau, diharap kau bergaul dengan teman baik, jangan sampai tersesat jalan."

Berubah air muka siangkoan Tocu, ujarnya:

"Ceng-ling-cu apa? selamanya belum pernah kudengar nama ini darimana aku punya ayah yang satu ini? Aku bukan anak2 lagi, kenapa harus dijaga dan dilindungi orang lain?"

Kali ini ganti Hun Ji-yan yang melengak keheranan, dia tahu dalam hal ini pasti ada latar belakang yang sulit diketahui orang luar, kemungkinan siang-koan Pocu sendiri memang belum tahu bahwa ayahnya adalah Ceng ling-cu, namun Hun Ji-yan sungkan tanya urusan pribadi orang lain.

Ma Toa-ha menjengek:,

"Bersahabat dengan orang baik? jangan tersesat jalan segala? Hehe, itu berarti kau salah bergaul dengan orang jahat, akulah yang menarikmu kejalan sesat"

"Aku sendiri tidak punya pikiran demikian." lekas siangkoan Pocu menyangkal

"jangan kaupedulikan omongan orang lain, Ma- toako,jangan kau berkecil hati."

sekarang Ma Toa-ha sudah pulih beberapa bagian, dengan bergandengan tangan bersama siangkoan Pocu, mereka mengembangkan Ginkang, karena dibantu siangkoan Pocu yang sedikit memapahnya maka langkah mereka cepat dan enteng. setelah bayangan Ma Toa-ha dan siangkoan Pocu tidak kelihatan lagi, maka Bu su-tun ber-empatpun melanjutkan perjalanan, Dari percakapan Ma Toa-ha tadi Bu su-tun sudah tahu tempat tinggal He-tianglo, maka langsung mereka menuju kesana.

Tiba2 terendus bau wangi kembang yang terbawa hembusan angin lalu, Mereka terus manjat keatas menuruti datangnya bau wangi ini, tampak dipuncak gunung sebelah sana terdapat sebuah rumahi rumah ini dibangun dengan balok2 batu hijau yang ada digunung ini.

Dibelakang rumah tampak ada sebuah taman kembang, pagar tembok setinggi manusia dari kejauhan tampak kembang sedang mekar beraneka ragam, dari sanalah datangnya bau harum.

"He-tianglo tinggal dirumah batu itu, Bau kembang apakah ini yang begini wangi, boleh kita tanya kepadanya."

Mereka maju lebih lanjut tiba2 Hun Ji-yan beranak ikaget: "Darah, darah, Ehi darah dari mana yang berlepotan diatas

saiju ini?"

Bu su-tun amat kaget, lekas dia maju memeriksa noda darah, tak jauh disebelah sana tampak dua gundukan saiju yang meninggi, lekas Bu su-tun singkirkan gundukan salju, kiranya dua ekor mayat anjing ajak yang dikubur dibawahnya. kedua anjing ini pecah kepalanya, agaknya terpukul oleh pukulan berat kaum lwekeh.

Kiranya setelah kedua anjing ini mati, hujan saiju yang lebat menimbun kedua mayat anjing ini, namun darah anjing yang masih panas meleleh keluar, setelah melengak sebentar Bu su-tun berseru kuatir:

"Celaka, kedua anjing ajak ini adalah peliharaan He- tianglo." Anjing ini amat galak dan garang, sejak kecil sudah dilatih dan dididik oleh He-tianglo sendiri, bagi orang yang berkepandaian silat rendah, mungkin bisa digigitnya sampai mati. Tapi penyatron ini tanpa susah payah bisa membunuhnya, maka dapat dipastikan berkepandaian tinggi. Hal ini tidak perlu dikejutkan, yang mengejutkanBu su-tun adalah:

"Kalau He-tiang-lo sendiri tidak mengalami apa2 mana dia berpeluk tangan kedua anjing penjaga pintunya ini dibunuh orang? Hanya ada dua kemungkinan saja, yaitu kalau He- tianglo tidak terserang penyakit, maka dia pasti terluka parah,"

Maka buru2 mereka berlari kearah rumah batu itu.

Baru saja Bu Su-tun hendak bersuara memperkenalkan diri, tiba2 terdengar suara serak tua berseru:

"Kau datang lagi? Baiklah. kutunggu kau membunuh-ku, Kali ini kau bisa membunuhku tanpa buang tenaga."

suaranya semakin lemah dan ter-putus2, napaspun megap2, mirip benar dengan orang tua yang sakit keras.

Tanpa hiraukan adat kesopanan lekas Bu su-tun dorong pintu terus menerobos masuk seraya berteriafc:

"susiok inilah aku." tampak He-tianglo rebah di- atas ranjang, mukanya kuning seperti malam, matanya terpejam rapat.

Agaknya He-tianglo ingin membuka mata, namun mata tidak mengijinkan, sesaat kemudian hanya segaris saja matanya melek namun tak jelas melihat keadaan di depannya, dengan lemah dan tersendat dia bertanya:

"Kau... kau panggil aku susiok siapa kau?" sahut orang terluka parah. Bu su-tun tidak banyak bicara, lekas dia papah orang berduduki bersama Bu-lim-thian kiau mereka salurkan tenaga murni dan mengobati orang, tak lama kemudian mulai tampak perubahan muka He-tianglo, lambat laun dia bisa membuka mata.

(Bersambung ke Bagian 56)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar