Pendekar Latah Bagian 34

 
Bagian 34

Pada saat itulah, sekonyong2 terdengar seorang berteriak: "Cici, inilah aku datang?" kembali mendatangi seirang perwira muda, "Wut" belum tiba orang-nya, dia tangkap seorang Busu terus dilempar kearah Wanyan Tiang-ci.

Wanyan Tiang-ci mendorong balik dengan tenaga lunak seperti melempar bola dia surung badan Busu ini menggelinding kesamping, meski tidak menggunakan banyak tenaga, namun tercekat juga hatinya, pikirnya: "Entah masih berapa banyak mata2 mereka yang tercampur dalam pasukan kita? Orang ini mampu menggunakan Toa-cui-jiu menangkap orang untuk senjata, Lwekangnya masih rendah. namun cukup tangguh."

Insaf dalam waktu dekat tak mungkin menangkap Bu-lim- thian-kiau, takut dipihak Wanyan Liang sana ada pula mata2 gelap yang lain, terpaksa dia tinggalkan Bu-lim-thian-kiau, tersipu2 dia memburu kesana.

Hong-lay-mo-li berseru kegirangan "San San, kaupun datang!" kiranya perwira muda yang datang belakangan ini adalah samaran San San.

Agaknya San San yang sudah menjadi murid Hui-siok Sin-ni juga ikut gurunya datang, Biasanya hubungannya dengan Hong-lay-mo-li laksana kakak beradik kandung, maka begitu tiba belakangan langsung dia bantu keadaan Hong-lay-mo-li yang terdesak.

Dengan menyingkirnya Wanyan Liang keadaan disini menjadi longgar, sebaliknya keadaan disana menjadi sulit. Dengan goloknya Wanyan Tiang-ci selalu dapat punahkan kebutan Hui-siok Sinni, malah ada kesempatan menyerang kepada Jilian Ceng-hun. Menghadapi Kiu-lo Siangjin sendiri Jilian Ceng-sia sudah cukup berat, apalagi masih banyak Busu yang saban2 menyergap dari belakang keruan dia menjadi kerepotan, hanya beberapa gebrakan saja keadaannya sudah amat berbahaya.

Dengan menyingkirnya lawan tangguh dan ketambahan tenaga baru pihak Bu-lim-thian-kiau semakin besar kekuatannya, keruan para Busu menjadi bulan2-an mereka, cepat sekali mereka sudah membobol kepungan memburu kesini membantu Hui-siok Sinni.

Kedatangan mereka kebetulan menolong Jilian Ceng-hun yang terdesak oleh kecer Kiu-lo Siangjin, pedangnya malah sudah terjepit oleh senjata musuh, sementara golok besar Tam To-hiong tengah terayun membacok kearahnya.

Sebat sekali Bu-lim-thian-kiau menerjang tiba dengan Khong-jiu-jip-pek-to (tangan kosong merampas senjata), kedua jarinya menempel golok lawan terus didorong kedepan, maka golok Tam To-hiong kena didorong menceng katanya:

"Paman, kenapa kau masih bantu raja lalim itu!" Hong-lay-mo-li sebaliknya tidak kenal kompromi,

pedangnya langsung menusuk ketenggorokan Kiu lo Siangjin,

Kiu-lo Hoatsu pernah kecundang oleh Hong-laly-mo-li, melihat serangan lihay ini, bukan main kejutnya, lekas dia lepas jepitan pedang, putar balik menghadapi tusukan Hong-lay-mo- li lebih dulu.

Mengingat hubungan kekeluargaan, Bu-lim-thian-kiau tidak tega turun tangan kepada paman sendiri, tapi golok Tam To- hiong tidak kenal kasihan malah, dengan mencaci maki Bu- lim-thian-kiau dicecarnya, menghadapi dengan tangan kosong, hampir saja Bu-lim-thian-kiau kena dibacok.

Berkerut alis Hong-lay-mo-li katanya: "Biar aku saja yang bereskan tua bangka ini." dari samping pedangnya menangkis "tang" ujung golok Tam To-hiong ditabas putus. "Jangan kau lukai pamanku!" cepat Bu-Iim-thian-kiau memperingatkan.

"Ya, aku tahu." sahut Hong-lay-mo-li, "pergilah kau bantu cicimu-"

Tatkala itu Wanyan Tang-ci sedang melancarkan jurus Heng-siau-liok-hap, pecut panjangnya menari berputar mengeluarkan deru angin yang keras, ujung pecut selincah ular sakti turun naik memagut dan maju mundur dengan lincahnya, seperti mengincar Hiat-to Hui-siok Sinni, tapi juga seperti mengarah Jilian Ceng-hun.

Hui-siok Sinni kerahkan tenaganya merangkup benang kebutnya menjadi satu digunakan seperti potlot baja, kontan dia belas dengan jurus Ki-hwe-liau-thian, tapi ujung pecut Wanyan Tiang-ci tiba2 putar arah, tidak hiraukan serangan dan pertahanan Hui-siok Sinni tahu2 malah melecut kearah Jilian Ceng-hun, jurus yang banyak variasi dengan tipu2 gertakan dia robah menjadi serangan isi yang lihay.

Diantara sekian banyak orang, kepandaian Jilian Ceng-hun paling lemah, tujuan Wanyan Tiang-ci memang ingin membekuk atau mengalahkan titik terlemah yang satu ini.

Pecutnya satu tombak panjangnya, sebaliknya kebut Hui- siok Sinni cuma dua kaki enam dim, pecut panjang kebut pendek begitu serangan Iuput, maka sulit baginya untuk bantu melindungi Jilian Ceng-hun.

Di-saat2 gawat dimana jiwa Jilian Ceng-hun terancam bahaya ini, kebetulan BuJim-thian-kiau memburu tiba, dimana dia kebaskan lengan baju, dia gunakan tenaga "punah" sekaligus mengurangi tekanan serangan Wayan Tiang-ci, maka terdengarIah suara "Bres" lengan baju Bu-lim-thian-kiau tergetar hancur beterbangan seperti kupu2 lengannyapun terluka memanjang meninggalkan bekas jalur merah, tapi pecut Wanyan Tiang-ci beruntung dapat dia tangkis pergi. Jilian Ceng-hun sampai menjerit kuatir, Bu-lim-thian-kiau tersenyum, katanya "Tidak apa2, hanya luka luar yang ringan."

Merah muka Jilian Ceng-hun, katanya lirih: "Terima kasih akan pertolongan Suheng, Senjatamu, ambillah kembali!" seruling yang berhasil dia rampas dari tangan Wanyan Tiangci serahkan kembali kepada Bu-lim-thian-kiau.

Sedap rasa hati Bu-lim-thian-kiau mendapat kembali senjatanya, tak sempat basa basi bersama cicinya segera dia keroyok Wanyan Tiang-ci, Hui-siok Sinni berkata. "Kau harus berterima kasih kepada Ceng-hun Ji-moay. dialah yang menempuh perjalanan jauh dan mempertaruhkan jiwa memberi kabar kepadaku."

"Ya, cici, kaupun ikut susah dan capai!" hatinya bingung kenapa didalam seribu kerepotan menghadapi perlawanan musuh sang Taci masih mengutarakan omongan yang tidak begitu penting? Tapi Bu-lim-than-kiau seorang cerdik pandai, sekilas meIengak, cepat sekali dia sudah memahami maksud hati cicinya.

Sebetulnya sudah cukup lama secara diam2 Jilian Ceng-hun jatuh hati kepada Suheng-nya ini, belakang setelah tahu Bu- lim-thian-kiau mencintai Hong-lay-mo-li sampai jatuh sakit mala rindu segala, betapa duka hatinya, terpaksa dia pendam rasa cintanya kepada sang suheng dan tidak pernah dia limpahkan isi hatinya kepada siapapun, wataknya memang berlawanan dengan adiknya Ceng-sia, Ceng-sia polos jujur dan suka blak2-an, apa yang terkandung dalam benaknya tidak pernah dia rahasiakan.

Ceng-hun sebaliknya lebih pendiam, perasaannya halus dan lembut, tidak sembarang dia mau menunjukan perasaan hatinya, Tapi bagaimana juga, karena perhatiannya terhadap Bu-lim-thian-kiau cukup besar, lama kelamaan Hui-siok Sinni dan adiknya mengetahui juga rahasia hatinya. Kali ini demi menolong dirinya Bu-lim-thian-kiau malah sampai terluka, sudah tentu bertambah besar rasa perhatiannya terhadap Suheng yang satu ini.

Meski sedang bertempur dengan sengit namun perhatian Hong-lay-mo-li tetap tertuju kearah sekitarnya, percakapan Hui-siok Sinni dan Jilian Ceng-hun serta mimik dan sikap mereka dapat dilihat dan didengarnya dengan jelas, diam2 dia bersyukur dalam hati, karena senang seketika semangat tempurnya semakin berkobar, permainan pedangnya semakin hebat, suatu ketika terdengar "Cras" dimana sinar pedang menyamber didepan dadanya, seketika terasa silir dingin, tapi tidak terasa sakit.

Kiranya serangan pedang Hong-1ay-mo-Ii memang sudah diperhitungkan, hanya pakaian seragamnya saja yang dibeleknya tidak sampai melukai kulitnya, "Tam-ciangkun, apa kau masih ingin meneruskan pertempuran?" jengek Hong-lay- mo-li dengan dingin.

Sebagai Komandan bayangkari dari keluarga bangsawan kerajaan, sudah lama dia menjabat pangkat tinggi dan selalu amat mementingkan gengsi dan pamor serta kedudukan, dia tidak takut badannya luka atau cacat dan mati oleh serangan Hong-lay-mo-Ii, tapi dia malah kuatir bila Hong-lay-mo-li menghancurkan seragam militer kebesarannya, hal ini dianggapnya sebagai suatu penghinaan meruntuhkan nama dan pamornya dihadapi anak-buahnya. Karena malu dan gusar, terpaksa dia mundur teratur ter-sipu2 dia cari ganti pakaian yang lain.

Begitu Tam To-hiong mundur kekuatiran Bu-lim-thian-kiau sudah Ienyap, apalagi seruling andalannya sudah berada ditangan, sehingga keyakinannya bertambah, dengan kakaknya mereka berdua melawan dan meranqsak Wanyan Tiang-ci sampai orang didesaknya mundur ber-ulang2.

Tapi jago2 Gi-lim-kun dan para pengawal pribadi Wanyan Liang jumlahnya ada ratusan, kini seluruhnya sudah dikerahkan Meski Bu-lim-thian-kiau beramai dengan gigih terjang sana gempur sini tetap tak berhasil menjebol kurungan, lama kelamaan Wanyan Liang menyingkir lebih jauh dari gelanggang pertempuran.

Yang dikuatirkan Wanyen Liang adalah penyerbuan pasukan Song, tatkala itu suara gembreng dan tambur dibawah gunung kembali riuh rendah, disaat Wanyan Liang kebingungan, kebetulan seorang datang memberi laporan: "Hong-siang tidak usah kuatir, Yalu Hoan-ih dan pasukan pemberontaknya sudih diusir turun gunung, bantuan dari berbagai jurusan sudah tiba seluruhnya dan sedang melabrak mereka."

"Bagus, Bagaimana pertempuran diperairan"

"lni, ini... situasi amat kacau, keadaan di-sana hamba belum tahu."

"Lekas pergi cari tahu, bawa sebarisan Gi-lim-kun untuk membuka jalan."

Tiba2 tampak seseorang berlari mendatangi bagai terbang dari bawah gunung, pengawal2 Wanyan Liang segera be- ramai2 maju merintangi, untung Wanyan Liang sudah melihat jelas bayangan orang itu segera dia membentak dengan girang: "jangan kurangajar, itulah Huma (menantu raja), Huma, kau sudah lolos dari bahaya, mana Jilian Cuncu?"

Pendatang ini adalah Kongsun Ki. Tanpa hiraukan tata kehormatan dengan sikap congkak dia melapor: "Memang hamba sedikit lena sehingga terjebak oleh pemberontak. Aku mau pergi mau datang boleh sesukaku, memangnya siapa bisa kendalikan aku. Dalam waktu dekat Cuncu belum bisa tiba, harap Hong-siang ampuni."

Kiranya sejak berhasil mempelajari landasan Lwe-kang untuk meyakinkan kedua ilmu berbisa dari keluarga Siang, Kongsun Ki sudah pandai membuka tutukan Hiat-to sendiri, setengah jam setelah Hong-lay-mo-li pergi, dia sudah berhasil membebaskan lutukan.

Di-samping itu memang karena kelalaian Hong-lay-mo-li yang melupakan bahwa Kongsun Ki memiliki sebatang pedang pusaka yang lemas, biasanya dibuat sabuk, karena ter-gesa2 dia lupa menggeledah pedang lemas ini. Setelah Hiat-lo bebas dengan mudah Kongsun Ki putus borgol dan rantai dengan pedang pusakanya, sudah tentu orang2 yang menjaganya tak mampu berbuat apa2 lagi, tidak sedikit yang menjadi korban keganasannya secara konyol.

Melihat Kongsun Ki kembali sudah tentu bukan kepalang senang Wanyan Liang, situasi memang mendesak tanpa banyak pikir segera dia berkata: "Kebetulan kedatanganmu lekas bantu Tim ringkus para pemberontak itu."

Memang Kongsun Ki ingin menuntut balas kepada Hong- lay-mo-li, segera dia melangkah maju, katanya dingin: "Baik sekali, Liu Jing-yau, tidak ingat budi perguruan, jangan kau sesalkan aku tidak kenal kasihan lagi kepadamu."

"Sret" sekali gertak dengan jurus Lam-to-chit-sing, sesuai dengan nama jurusnya. ujung pedangnya bergetar menaburkaii tujuh titik kunang2 seperti bintang terang, dalam sejurus sekaligus dia in-car tujuh Hiat-to dibadan Hong-lay- mo-li.

Hong-lay-mo-li membalas dengan jurus Ling-kang-kiat-pi, pertahanannya amat rapat umpama hujan badaipun tidak tembus, maka terdengarlah suara tang ting yang ramai, pedang mereka sekaligus beradu tujuh kali.

Telapak tangan Hong-lay-mo-li sampai terasa linu, maklumlah karena tenaganya memang sudah lemah, namun juga karena Kongsun Ki bertujuan jahat, sekaligus dia gunakan kepandaian Kek-but-joan-kang. Mendapat bantuan Kongsun Ki seketika bangkit semangat Wanyan Tiang-ci, segera dia menubruk maju.

"Liu Lihiap," lekas Bu-lim-thian-kiau berseru, "kemarilah kau bantu Ceng-hun Jimoay, biar kuhadapi bangsat ini." sebagai seorang ahli silat sekilas pandang Bu-lim-thian-kiau sudah tahu bahwa Hong-lay-mo-li bukan tandingan Kongsun Ki.

Walau Wanyan Tiang-ci lihay. orang tidak membekal ilmu beracun, kalau Hong-lay-mo li bersama Jilian Ceng-hun menghadapinya sedikitnya masih kuat bertahan.

Dengan gerakan merubah bentuk pindah kedudukan Bu- lim-thian-kiau menghadang didepan Hong-lay-mo-li, serulingnya menuding tepat memapak ke pedang Kongsun Ki.

Kedua orang baru pertama kali ini bentrok, Bu-lim-thian- kiau sudah bertempur sekian lamanya. Lwekangnya tidak mencapai tujuh bagian biasanya: Namun Kongsun Ki yang pernah dilukai oleh Liu Goan-cong, hawa murninya berkurang tiga bagian, sampai sekarang belum lagi pulih.

Maka kekuatan kedua orang seimbang, Kongsun Ki melancarkan serangan Hoa Hial-to, pedang dikombinasikan pukulan berbisa damparan anginnya berbau amis, dengan meniup Serulingnya, segulung hawa murni yang hangat memapak damparan pukulan lawan.

Kongsun Ki seketika merasa badan segar silir, hampir saja dia tidak mampu kerahkan tenaga mengempos semangat, keruan terkejut, lekas dia tenangkan diri memusatkan pikiran sambil himpun tenaga.

Angin pukulan berbisa yang amis dipunahkan oleh tiupan hawa murni Bu-lim-thian-kiau, tingkat Lwekang kedua pihak kira2 sebanding, Maka kedua pihak sudah keluarkan ilmu simpanan mnsing2, keadaan tetap sama kuat.

Disebelah sana dengan permainan pecut panjangnya Wanyan Tiang-ci sudah gulung bayangan Jilian Ceng-hun didalam pecutnya, Jilian Ceng-hun putar kencang pedangnya melindungi badan, suatu ketika pedangnya menusuk miring, dia sudah mengincar dengan tepat pada lobang yang dinantikan, disamping menyerang jurus ini mengandung pertahanan yang kokoh juga, sayang tenaganya tidak memadai maksud hatinya. "Creng" tahu2 Ceng-kong-kiamnya tersampuk pergi sehingga dadanya terbuka lebar.

Wanyan Tiang-ci seketika membentak: "Lepas! Roboh!" bagai ular sakti ujung pecutnya tiba2 memagut keurat nadinya.

Disaat Jilian Ceng-hun terancam bahaya inilah, se-larik sinar perak melesat tiba, bayangan Hong-lay-mo-li menubruk tiba dari samping, pedang ditangan dengan jurus Heng-ka-kim liang, dia tangkis serangan pecut lawan menyelamatkan Jilian Ceng-hun. Kebut ditangan kiri menggubat ujung pecut orang, sehingga tidak mampu berkutik lagi.

Begitu mendapat peluang, sigap sekali Jilian Ceng-hun menyisirkan pedangnya melalui pecut lawan yang tertarik kencang memapas naik, bentaknya: "Lepaskan!" terpaksa Wanyan Tiang-ci menarik balik pecutnya, beruntun dia mundur beberapa langkah.

"Terima kasih cici!" dengan suara lirih Jilian Ceng-hun berkata Melihat Hong-lay-mo-li menolongnya, hatinya haru dan timbul semangatnya, kedua orang kerja sama lebih kuat lagi mencecar Wanyan Tiang-ci, sayang mereka harus menghadapi sergapan juga dari para Busu yang mengepung gelanggang, terang tidak mungkin mereka menerjang keluar.

Tatkala itu hari sudah mulai fajar, pandangan mata sudah kelihatan samar2, berdiri dipuncak gunung Wanyan Liang bisa lepas pandangan ke seluruh penjuru, jauh di Tiangkang sana kelihatan asap tebal masih mengepul tinggi kobaran api yang menelan armadanya ternyata belum padam, betapa pilu dan terpukul wibawanya. Sang waktu berjalan cepat tak terasa, sebentar saja sang Surya sudah menyingsing diufuk timur, pemandangan dibawah gunungpun sudah kelihatan dengan jelas.

Tampak panji2 berkibar dimana2, barisan serdadu saling terjang dan kudapun berderap dengan kencang, situasi medan perang dibawah sana kelihatannya kurang beres.

Se-konyong2 tambur berdentam amat riuh, se-olah2 menggetarkan gunung, Wanyan Liang sampai berjingkat kaget, bentaknya mendadak: "Hai, lekas laporkan apa yang terjadi."

Tampak debu mengepul tinggi, ada sebarisan kecil berkuda membedal naik keatas bukit, barisan ini bukan serdadu Kim, tapi juga tidak menggunakan seragam Song, pakaian mereka sebagai rakyat jelata, namun gerak gerik mereka amat cekatan dan cepat sekali, orang terdepan adalah seorang laki2 tua berambut pendek. mengempit sebatang longkat, kelihatannya seperti orang timpang.

Meski laki2 tua tampang ini mengempit sebatang tongkat, namun gerak geriknya lebih cepat dari orang2 lain, terdengar tongkatnya menyentuh batu2 gunung, bayangannya melesat beberapa tombak jauhnya.

Ribuan Gi-lim-kun pilihan yang bertahan disekitar bukit, tiada satupun yang mampu merintanginya.

"Ayah!" Hong-lay-mo-li berteriak kegirangan. Kiranya orang itu adalah ayahnya Liu Goan-cong, Dengan memilih seratus orang2 gagah yang berkepandaian tinggi, Liu Goan-cong pimpin mereka menyusup jauh kepertahanan musuh, lewat jalanan kecil yang jarang ada pasukan terus maju kearah bukit ini.

Melihat Liu Goan-cong, merasa terbang arwah Kongsun Ki, beberapa kali dia kecundang, kini Lwekangnya belum pulih lagi, masakah dia berani bertempur lebih lama? Dengan serangan gertakan, cepat dia putar badan lari sipat kuping, luput dengan serangannya, Bu-lim-thian-kiau tidak sempat mengejarnya.

Wanyan Liang mencak2 gusar: "Telur busuk, telur tusuk! Kalian memang telur busuk! Hayo lekas tangkap tua bangka itu." lalu dia balik badan menuding Kongsun Ki, makinya: "Melarikan diri dimedan laga, tidak malu kau mengagulkan diri sebagai orang gagah nomor satu dari negeri selatan?

Memangnya kau masih mimpi menjadi menantuku?"

Menyelamatkan jiwa lebih penting, Kongsun Ki tidak hiraukan caci maki orang, beberapa Busu yang dianggapnya merintangi jalan dipukulnya sungsang sumbel.

Percuma Wanyan Liang marah2, tiada satupun anak buahnya yang mampu merintangi Liu Goan-cong, apa Iagi menangkapnya, Dengan menarikan tongkatnya Liu Goan-cong segagah naga mengamuk, semua Busu yang mengurung Hong-lay-mo-li dipukulnya kocar kacir, sebagai Komandang Gi- lim-kun, terpaksa Wanyan Tiang-ci keraskan kepala melawan dengan gigih, Liu Gian-cong memapaknya dengan mengejek:

"Bagus. kita kan lawan lama, marilah kita coba2 lagi!" "Wut" tongkatnya menyapu seperti mengeluarkan deru

geledek, lekas Wanyan Tiang-ci gunakan Ko-teng-jan-sut

(Rotan kering membelit pohon), pedang panjangnya menggubat tongkat besi orang.

"Lepaskan!" bentak Liu Goan-cing, "pyaar!" pecut panjang yang terbuat dari baja lemas itu tergetar hancur terputus2.

Tahu dirinya bukan tandingan lawan, tanpa hiraukan gengsi dan kebesaran, terpaksa Wanyan Tiang-ci melarikan diri.

"Ayah," seru Hong-lay-mo-Ii, "bagaimana dengan pasukan gerilya kita?"

"Pasukan Loh-ciang-kun sudah mendarat, gerilya kitapun mendapat sambutannya, kini sudah menjebol kepungan." Jilian Ceng-sia kuatirkan keselamatan Yalu Hoan-ih, segera dia menimbrung tanya: "Bagaimana pertempuran dibawah gunung?"

Liu Goan-cong tertawa, katanya: "Lihatlah, engkoh Ihmu sudah datang!"

Terdengar ribuan serdadu berteriak berpadu: "Jangan lepaskan raja lalim!" Yalu Hoan-ih pimpin pasukan pelopor menerjang datang lebih dulu, ternyata mereka sudah tiba dilamping gunung, panji kebesarannya ber-kibar2 kelihatan jelas dari puncak bukit pasukan Kim yang kalah bagai air bah mundur naik keatas gunung.

Wanyan Liang hanya melihat barisan Yalu Hoan-ih saja yang menerjang tiba, maka dia perintahkan Wanyan Tiang-ci mengumpulkan pasukannya yang kalah, dengan kekuatan Gi- lim-kun untuk menumpas serbuan pasukan pemberontak paling tidak menahannya mati2an, namun belum sempat dia keluarkan perintah-nya, Halukay yang memimpin pasukan garis depan lari balik dengan keadaan runyam, tak sempat memberi hormat, jauh2 dia sudah berteriak:

"Baginda!, celaka pasukan besar Song sudah menyerang sungai, mereka sedang terjang kemari.

Wanyan Tiang-ci segera berseru: "Kalah menang sudah jamak dalam peperangan, silakan, Baginda tarik mundur seluruh pasukan untuk menyusun kekuatan dan menyerbu balik pula." dengan kumpulkan sisa Gi-lim-kun yang sudah morat marit, melindungi Wanyan Liang sambil melawan mereka mundur.

Yalu Hoan-ih membentak: "Raja lalim lari kemana?" menjinjing tombak mengeprak kuda, pimpin anak buahnya dia terus mengejar dengan kencang. Saking kaget Wanyan Liang ber-kaok2: "Pukul tambur kumpulkan pasukan supaya datang membantu melindungi Tim!"

Tak nyana sambutannya adalah pertempuran gegap gempita dibawah gunung, paduan suara ribuan orang berseru: "Jangan lepaskan Wanyan Liang." selepas mata memandang, panji2 besar negeri Song sudah berkibar diseluruh medan laga.

Layar2 kapalpun berkembang tak terhitung banyaknya disepanjang sungai Tiang-kang, pasukan Song berduyun2 naik kedaratan.

Wanyan Liang membanting kaki dengan gegetun, katanya menghela napas: "Armada Loh Bun-ing tiada selaksa, bagaimana begini besar pengaruhnya? Tentu kalian yang memberi laporan palsu kepadaku, sehingga Tim menilai rendah kekuatan musuh, Ai, memang Thian ingin membunuhku, Thian ingin membunuhku!"

Sayang sekali disaat2 menjelang keruntuhan total Wanyan Liang masih tidak menyadari kekuatan rakyat tiada lawannya, bahwa menjajah dan agresi pasti kalah, tidak mengoreksi diri sendiri, malah menyalahkan bawahannya, menyesali Thian yang tidak adil.

Bahwasanya, jumlah keseluruhan pasukan Song memang tidak lengkap selaksa, yang baru mendaratpun belum cukup sepertiga, Tapi setelah armada Kim seluruhnya hancur, pasukan daratnya sudah patah semangat, meski pasukan Song berjumlah sedikit, tapi mereka masih dibantu oleh laskar rakyat yang berduyung menggabungkan diri, disambut pemberontakan Yalu Hoan-ih dari dalam pula, maka kekuatan mereka menjadi berlipat ganda, semangat tempur mereka berkobar lagi, sudah tentu pasukan Kim seperti rumput terbabat parang berantakan. Wanyan Tiang-ci masih berusaha menghibur, katanya: "Baginda tak usah kuatir, hamba akan lindungi Baginda turun gunung!"

Disebelah bawah Yalu Hoan-ih sedang pimpin pasukannya menyerbu tiba, pasukan Song yang mengibarkan bendera negerinyapun sedang maju tiba dibawah bukit Tam To-hiong segera membentak:

"Lepas panah!" ratusan anak buahnya segera tarik busur membidikan panah, seperti berlomba mereka mengincar ke- arah Yalu Hoan-ih. tidak sedikit perwira disekitarnya terpanah roboh.

Keruan Yalu Hian-ih amat gusar "Diberi tidak membalas kurang hormat, lepas panah!" peralatan panah anak buahnya biasa saja mengandal kekuatan tangan, namun semangat tempur mereka sedang berkobar jumlahnya lebih banyak lagi, maka mereka berlomba adu otot dan tenaga, ribuan panah bagai hujan deras menyerang balik, anak buah Tom To-hiong kuncup nyalinya, meski hanya puluhan orang yang terpanah mati, namun yang lain sudah lari ketakutan dengan membuang busur dan panah.

Dalam pertempuran besar dimedan laga, manusialah yang menentukan kalah menang pertempuran, bukan peralatan yang lengkap.

Yalu Hoan-ih berhasil merebut sebuah busur besi, bentaknya: "Wanyan Liang, boleh kau belajar kenal dengan kepandaian panahku, Lihat panah!"

"ser, ser, ser" beruntun tiga kali bidikan, kekuatan tarikan lengannya besar luar biasa. ketiganya sama2 melesat tepat kearah Wanyan Liang, tapi semuanya kena dipukul jatuh oleh ayunan golok Wanyan Tiang-ci.

Liu Goan-cong sebaliknya tak bersuara, sekenanya dia raih beberapa batu terus ditimpukan kearah Wanyan Tiang-ci, batu sebagai senjata rahasia ini dia tepukan dengan Lwekang tingkat tmggi, daya kekuatannya jauh berlipat ganda dari bidikan panah Yalu Hoan-ih, timpukan batu yang memberondong ini membuat Wanyan Tiang-ci keripuhan untuk menyelamatkan jiwa sendiri.

Terdengar jepretan busur bagai beledek, luncuran anak panahnya laksana meteor, kembali Yalu Hoan-ih bidikan sebatang panah pula, kali ini telak mengenai punggung dan tepat menembus ulu hati Wanyan Liang, kontan badannya tersungkur jatuh dari tunggangannya.

Keruan kejut Wanyan Tiang-ci bukan kepalang, baru saja dia hendak memburu kesana melindungi junjungannya, Ditengah2 gerombolan serdadu yang tengah bertempur acak2an itu, tiba2 melompat keluar seorang opsir, dimana goloknya terayun, dia penggal batok kepala Wanyan Liang.

Serangan bacokan golok ini amat diluar dugaan dan terjadi teramat cepat, setelah pengawal pribadi Wanyan Liang menyadari apa yang telah terjadi, serempak mereka menjerit dan merubung maju, namun orang itu dengan menenteng batok kepala Wanyan Liang sudah cemplak kepunggung seekor kuda dan dibedal pergi.

Mendengar jeritan para pengawal baru Wanyan Tiang-ci tahu apa yang telah terjadi saking kagetnya serasa pecah jantungnya, lekas dia raih dua batang tombak terus ditimpukan kearah punggung orang itu, orang itu tidak berpaling, dimana goloknya terayun balik kebelakang, "Trak, tak" dua tombak itu ditabasnya kutung.

Begitu Wanyan Liang mampus, pasukan Gi-lim-kun yang biasanya berdisiplin keras menjadi kacau balau, korban berjatuhan semakin banyak, mayat2 manusia dan kuda berkelimpangan, cepat sekali orang itu sudah tak kelihatan lagi ditengah2 ajang pertempuran, kemana pula Wanyan Tiang-ci hendak mencarinya? Heran menyesal dan sayang pula Yalu Hoan-ih, katanya: "Entah siapa dia itu, begitu hebat kepandaiannya. Sayang sekali aku tidak bisa penggal kepala Wanyan Liang dengan tanganku sendiri, dia malah memungut untungnya."

Jiiian Ceng-sia tertawa, katanya menghibur: "lh-ko, kaulah yang membunuh raja lalim dengan panahmu lebih dulu, terhitung kau sudah menuntut dendam negara dan keluarga, cukup puaskah kau!"

Waktu itu hari sudah terang benderang, sang surya sudah bercokol tinggi diufuk timur tersembunyi dibalik mega, cepat sekali kabut sudah sirna ditingkah sinar matahari.

Sebuah panji besar yang ditengahnya bertuliskan "LOH" ditingkah matahari di iringi suara tambur yang ber-talu2, tampak berkibar ditiup angin pagi maju ke-medan laga.

Kiranya Loh Bun-ing sendiri yang memimpin pasukan Song menyerbu kegaris depan, ditengah medan pertempuran bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin Yalu Hoan-ih dan laskar rakyat yang dipimpin Liu Goan-cong, tiga pasukan sekaligus menggencet musuh dan bergabung dibawah bukit.

Girang Hong-lay-mo-li bukan main, bersama ayahnya segera dia menyongsong kedatangan Loh Bun-ing. Tahu bahwa Wanyan Liang sudah gugur, Loh Bun-ing segera perintahkan tentaranya sementara bertahan dan mendirikan kemah.

Yang menjadi biang keladi peperangan dan lalim hanya Wanyan Liang seorang, setelah dia mati, serdadu yang tidak berdosa tidak perlu dibunuh sampai habis.

Tapi meski pasukan Song tidak mengejar, karena ketakutan dan demi menyelamatkan diri masing2, tentara Kim berlomba lari cepat dan saling terjang dan injak sehingga tak sedikit diantara mereka yang gugur karena dibunuh orang sendiri. Dalam pada itu Yalu Hoan-ihpun sudah mengunjungi Loh Bun-ing, Yalu Hong-ih dipujinya setinggi langit atas jasa2nya yang berhasil memanah mati Wanyan Liang, Namun, Yalu Hoan-ih berkata: "Kali ini aku berhasil membunuh Wanyan Liang, lantaran mendapat bantuan seorang sahabat bangsa Kim, orang ini berilmu tinggi berpengetahuan luas, Apakah Goan-swe ingin bertemu sama dia?"

Loh Bun-ing kegirangan katanya: "Ada orang selihay ini, kenapa tidak mau berkenalan? Dimana dia?"

"Berada dalam pasukanku, Tam-suheng, Tam-su-heng. silakan kemari." tapi berulang kali dia ber-kaok2, tidak mendapat jawaban, bayangan orang yang diharapkan tidak kunjung tiba.

"Aneh, barusan dia masih bersamaku, entah kemana dia?" ujar Yalu Hoan-ih.

Orang banyak berpencar pergi mencarinya, tak lama kemudian Jiiian Ceng-sia kembali memberi laporan: "Ada orang melihat dia sudah turun gunung."

Yalu Hoan-ih melengak, katanya: "Sudah turun gunung?

Kenapa tidak pamitan dulu kepadaku?"

"Sampaipun cicinya dan cicikupun tidak diberitahu seorang diri tinggal pergi." ujar Jilian Ceng-sia.

Loh Bun-ing menghela napas, katanya: "Sayang sekali tiada jodoh bertemu dengan seorang pahlawan bangsa. Tapi peperangan kedua negeri kita memang belum berakhir, dia seorang Kim, situasi dan keadaan terlalu menyudutkan dia, tidak perlu pertemuan ini dipaksakanlah."

Hui-siok Sinni berkata: "Ji-moay, mari kau ikut aku mencarinya."

Merah muka Jilian Ceng-hun, dengan lirih dia mengiakan Segera mereka pamitan dengan orang banyak, Sudah tentu San San pergi ikut gurunya. Bu-Iim-thian-kiau tinggal pergi tanpa pamit, tak urung Hong-lay-moy-li ikut merasa gegetun dan hambar, dalam hati diam2 dia mendoakan bagi Jilian Ceng-hun. "Semoga mereka saudara seperguruan bisa cocok satu sama lain dan terjalin cinta abadi, jangan sampai terjadi rintangan ditengah jalan."

Disamping mengatur dan menyusun kembali kekuatannya Loh Bun-ing secara kilat mengirim laporan kepada raja Song, mohon bantuan pula, Maklumlah pasukannya hanya sepuluhan laksa, pasukan sekecil ini, kalau benar2 bentrok secara berhadapan, apa lagi harus serbu tentara merampas balik tanah pertiwi yang terjajah, terasa masih jauh dari mencukupi.

Dalam pada itu pasukan Kim mundur sejauh lima puluh li, baru pasukan mereka dapat dikendalikan dan disusun pula, Wanyan Tiang-ci dan Tam To-hiong berkerja sama menguasai tenteranya yang kacau balau dan porak peronda, diluar kota Lam-khia, mereka berhenti dan memperkokoh diri dengan sisa pasukan separo dari jumlah semula, kedua pihak sementara bertahan pada posisi masing2.

Beberapa hari kemudian kabar tersiar luas bahwa pihak negeri Kim mengangkat adik Wanyan Liang yang bernama Wanyan Ywig ((Kim Si-cong) menjadi raja, raja baru ini mengirim dua puluh laksa pasukan cadangan untuk memperkuat kedudukan Wanyan Tiang-ci. sebaliknya permohonan bantuan yang diminta Loh Bun-ing tidak kunjung datang juga, namun sambutan rakyat yang suka rela membantu dengan segala bantuan cukup membesarkan hati.

Suatu hari, Hong-lay-mo-li tengah ikut rapat didalam perkemahan Loh Bun-ing membicarakan situasi yang semakin memburuk. tiba2 tampak seorang datang melaporkan adanya utusan dari kota raja, Loh Bun-ing kegirangan, ter-sipu2 dia menyambut keluar, dengan berlutut dia terima perintah Baginda raja. Namun setelah Loh Bun-ing baca jawaban sang raja akan laporannya, seketika pucat dan gemetar sekujur badan, kiranya dalam surat perintah raja ini memerintahkan dirinya bukan maju merebut tanah pertiwi, malah diperintahkan untuk menarik pasukan kembali pada posisi semula di selatan sungai.

Memang dalam surat ini Loh Bun-ing ada dipuji setinggi langit akan jasa2nya. tapi perintah mengunduran pasukan tak boleh ditunda2 lagi dengan kata2 pedas, dalam tiga hari, seluruh pasukan sudah harus ditarik mundur ke-selatan Sungai.

Keruan Hong-lay-mo-li amat gusar, kaianya: "Ciangkun, kita tidak perlu bantuan kerajaan, belum tentu kita tak kuat melawan pasukan musuh. Kekuatan rakyat bertambah besar merupakan kekuatan inti bagi kita, tenaga dan ransum cukup tersedia, kenapa kita harus mundur?"

Loh Bun-ing tertawa getir, ujarnya: "Masakah aku harus membangkang atas perintah Baginda raja?"

"Gak Siau-po (Gak Hui) sudah merupakan contoh bagi kita, kuharap Goan-swe tidak lagi ikut jejak keruntuhan Gak Hui dulu."

"Tapi Gak Hui sendiri dulu toh tidak berani melawan perintah, apa lagi aku? sebagai pembesar kerajaan yang setia, terpaksa aku harus mematuhi perintahnya, mana aku berani membangkang dan melarikan diri dari tanggung jawab ini."

Tahu bahwa usaha bujukannya tidak berhasil terpaksa Hong-lay-mo-li kembali kedalam pasukan laskar rakyat merundingkan langkah2 selanjutnya. Hari itu juga Loh Bun-ing sudah mulai menarik pasukannya dan menyebrang kesehatan pula.

Sebaliknya laskar rakyatpun untuk sementara harus bubar dan kembali ke pangkalan masing2, Hong-lay-mo-!i tetap merupakan simbol tertinggi dari kepemimpinan mereka, sementara Yalu Hoan-ih pimpin pasukan bangsa Liaunya sendiri masuk ke gunung terus melaksanakan rencananya untuk membangun kembali negeri leluhurnya.

Setelah segalanya teratur dan beres, berkata Hong-lay-mo- li: "Ayah, anak masih ingin pergi ke Kang-lam."

"Benar," ujar Liu Goan-cong, "kaupun harus pergi menemui Hoa Kok-ham, Tapi sekali ini ayah tidak bisa mengiringi perjalananmu!"

Isi hati dikorek oleh ayahnya merah muka Hong-lay-mo-li, katanya: "Kenapa ayah tidak pergi bersamaku ?"

"Dua puluh tahun aku sudah terasing dari kehidupan duniawi, teman2 tua sama tahu aku sudah hidup kembaii, sudah sepantasnya aku menyambangi mereka, setelah kau rujuk pula dengan Hoa Kok-ham, pergilah ke Kong-bing-si di Yang-kok-san mencariku, pengurus kelenteng adalah teman lamaku, umpama aku tidak disana dia pasti tahu dimana aku berada. Setiba waktunya baru aku akan jadi wali atas pernikahan kaIian"

"Terlalu pagi ayah membicarakan hal ini. Em. yah, sekalian boleh kau pergi menemui guruku, dia tetirah di Jay hui-ceng dibawah Siau-yang-san. persoalan Kongsun Ki, boleh ayah bicarakan sama dia."

Setelah ayah beranak selesai merundingkan segala sesuatunya, Hong-lay-mo-li lantas ikut menyebrang bersama Loh Bun-ing, seluruh laskar rakyat dan rakyat setempat sama ber-bondong2 mengantar mundurnya pasukan besar negeri Song keselatan.

Harapan rakyat yang terkekang selama bertahun oleh penjajahan untuk merdeka dan hidup makmur sejahtera menjadi kandas lagi, tak sedikit diantara mereka yang bertangisan sebelum berpisah. Serasa di-iris2 perasaan Loh Bun-ing mendengar isak tangis kesedihan rakyat yang ditinggalkan, malu rasanya terhadap rakyat yang patut dia lindungi dari kekejaman, namun perintah tak berani dilawan, terpaksa dia menghela napas dan perintahkan berlayar.

Diatas kapal Hong-lay-mo-li berpikir: "Entah Hoa Kok-ham dan Ong Ih-ting sudah kembali ke Thayouw? Biar aku mencari kabar kesana. Ong Ih-ting adalah Cong-cecu dari tiga belas cecu yang lain dimana, umpama Hoa Kok-ham tidak disana, paling tidak aku harus mengunjunginya juga."

Setelah berketetapan, setelah tiba disebrang dan berpisah dengan Loh Bun-ing. seorang diri Hong-lay-mo-li melanjutkan perjalanan langsung menuju ke Thay-ouw.

Sejak dahulu kala Kanglam memang merupakan daerah subur dan indah pemandangannya terutama daerah Thayouw merupakan penghasil padi dan perikanan yang ber-limpah2, sejak mulai menempuh perjalanan Hong-lay-mo-li melalui jalan raya yang diapit oleh sawah ladang yang subur dengan padi yang hampir menguning, kaum tani sedang sibuk disawah ladang yang subur dengan padi yang hampir menguning. Tapi semakin dekat dengan Thayouw kesibukan petani disawah ladang semakin jarang tampak.

Puluhan li sudah Hong-lay-mo-li menempuh perjalanan, namun orang yang berlaku lalang semakin sedikit, petani yang dapat dihitung jumlahnya disawah sedang sibuk memotong padi, padahal belum saatnya dan padi belum masak.

Beberapa kejap kemudian dia bertemu pula dengan serombongan mungkin lebih tepat kalau dikatakan sekeluarga kaum nelayan yang membawa harta benda, layar, jala dan peralatan lain2. Kelihatannya mereka mau pindah entah kemana dengan ter-gesa2, begitulah beruntun Hong-lay-mo-li saksikan pandangan aneh2 yang tidak enak dipandang mata.

Begitulah dengan berbagai rasa curiga dan keheranan Hong-lay-mo-Ii melanjutkan perjalanan, akhirnya dia tiba juga dipinggir danau, dimana biasanya banyak kapal dan perahu berlabuh, tapi hari ini entah mengapa keadaan sepi2 saja, Akhirnya dia berteriak:

"Ada kapal tidak?" sesaat kemudian, dari semak2 daon welingi sana muncul sebuah sampan cukup besar yang dikayuh seorang laki2, sapanya.

"Nona mau kemana ?"

Tampak oleh Hong-lay-mo-li laki2 ini bermuka tepos, berdagu panjang, matanya tajam, sekilas pandang Hong-lay- mo-li tahu bahwa tukang perahu ini pasti pernah latihan silat.

Maksud kedatangan Hong-lay-mo-li hendak menemui Ong Ih-ting, namun keadaan yang dilihatnya sudah berbeda, mau tidak mau dia jadi ragu2.

Disaat hatinya bimbang dan belum sempat jawab tukang perahu sudah berkata pula: "Nona, silakan naik keperahu!"

Dengan memanggul kebut dan menyoreng pedang Hong- lay-mo-li maju beberapa langkah, katanya memancing: "Aku hendak ke Tong-thing-san barat, apakah berani kesana?"

Sekilas tukang perahu melengak, tiba2 tertawa, katanya: "Nona tentulah Liu Lihiap, kedatanganmu hendak menemui Ong-cecu bukan?"

Bahwa orang tahu asal usulnya, Hong-lay-mo-li heran, tanyanya "Siapa kau? Kau kenal aku?"

"Aku hanya salah seorang Thaubak dari pangkalan, biasanya melayani Cecu, pernah melihat Liu lihiap, Liu Lihiap adalah Bengcu sesama kawan sehaluan diutara, adalah pantas kalau aku yang kecil memberi hormat."

"Tak usah banyak adat Kalau begitu, jadi Cecu kalian sudah kembali?"

"Sudah kembali sejak bebei-apa hari yang latu, kemarcn malah pernah menyinggung Liu Lihiap.-"

"O, dengan siapa dia menyinggung diriku?"

"Dengan Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham Hoa Tay hiap, Hoa Tayhiap mengatakan Liu Lihiap berada ditempat Loh Goan- swe, entah kemana tujuannya sekarang, beliau amat kangen, Cecu menahannya dua tiga hari lagi untuk menunggu kedatangan Liu Lihiap-maka kami disebar disekitar sini untuk menunggu kedatangan Liu-bengcu, Hehe, ternyata dugaan Cecu tidak melesat, hari ini kau orang tua benar2 datang."

Begitulah dengan naik perahu kecil laki2 ini Hong-lay-mo-li berlayar menuju ke Tong-thing-san sebelah barat. Kepandaian mengemudi perahu orang ini memang pintar dan cekatan, cepat sekali mereka sudah tiba ditengah danau, namun Hong- lay-mo-li jadi semakin heran, selayang pandang danau sebesar ini sepi lengang. tiada tampak sebuah perahu nelayan yang cari ikan, jauh berbeda dengan keadaan dulu waktu dia datang.

Tak lama kemudian puncak Tong-thing-san sudah kelihatan, lain kejap merekapun sudah mendarat. Diam2 lega hati Hong-lay-mo-li, sejak tadi dia sudah was2 bahwa orang akan turun tangan ditengah danau, kiranya dugaannya meleset, maka dia percaya bahwa tukang perahu ini memang Thaubak kepercayaan Ong Ih-ting, hilanglah kecurigaannya.

Sambil lalu Hong-lay mo-li mengajukan beberapa pertanyaan mengenai situasi dan keadaan disini akhir2 ini. Semua dijawab dengan baik dan masuk diakal. Tengah bicara mereka sudah berada diatas gunung kesamplok dengan tentara ronda, salah seorang yang bermuka putih bermata sipit bersiul sekali lalu cengar cengir, sapanya: "Ong-toako, dari mana kau dapat rebut cewek secantik ini?"

Tukang perahu itu membentak: "jangan kurang ajar, Liu Lihiap adalah Liok-lim-bengcu daerah utara teman baik Cong- cecu kita."

Orang itu terkejut, sahutnya ketakutan: "Apa? Oh, yaya, Liu-bengcu!"

"Lekas laporkan kepada Cong-cecu?" Orang itu mengiakan, ter-sipu2 dia lari naik keatas gunung.

Tukang perahu tertawa nyengir, dengan sikap kikuk dan risi dia minta maaf akan kekurangajaran temannya itu, Meski hati kurang senang Hong-lay-mo-Ii tidak ambil dihati-

Tak lama kemudian mereka sudah tiba dipangkalan diatas gunung, namun Ong Cecu tidak kelihatan keluar menyambut. Walau menduga adanya sesuatu yang tidak beres namun Hong-lay-mo-li tidak curiga sama sekali, cuma hati rada heran.

Tukang perahu itu segera maju memberi laporan kepada kepala Thaubak yang piket dengan bahasa rahasia dari golongan hitam, sayang logatnya berlainan sehingga Hong- lay-moli tidak begitu tahu maksudnya, Cuma kepala Thaubak itu segera menyapa: "Liu-beng-cu kembali berkunjung, Cecu dan Hoa Tayhiap sedang menunggu didalam, silakan Liu- bengcu langsung menemuinya di Ki-gi-thing."

Mendengar Hoa Kok-ham menunggu dirinya, seketika berdetak hati Hong lay-mo-li, bahwa Ong Ih-ting tidak keluar menyambut dirinya terang menemani Hoa Kok-ham yang mungkin kikuk dari merasa bersalah terhadap dirinya dan malu keluar menyambutnya karena dugaannya ini, tindak tanduk Ong Ih-ting yang keluar dari kebiasannya tidak menyambut keluas, malah tidak dia curigai sama sekali.

Mengikuti kepala Thauhak, Hong-lay-mo-li memasuki Ki-gi- thing, ruang pendopo sebesar ini dalam keadaan kosong melompong, Taubak itu segera berkata: "Silakan Liu Lihiap duduk sebentar, segera aku masuk mengundang Cecu dan Hoa Tayhiap keluar."

Sebetulnya dengan kedudukannya sebagai Lok-lim bengcu daerah utara, Ong Ih-iting harus kumpulkan seluruh Thaubak yang punya kedudukan penting didalam Gi-ki-thing dan diperkenalkan kepada dirinya.

Keadaan seperti ini, se-olah2 hendak mengundangnya masuk ke kamar rahasia untuk bicara, cuma pendopo sebesar ini dipandang sebagai kamar rahasia.

Hal ini sebetulnya merupakan aturan2 dan tata tertib yang harus dipatuhi setiap golongan Lok-lim, tapi Hong-lay-mo-li memikirkan persoalan lain, dia duga Ong lh-ting adalah kawan baik Hoa Kok-ham, mungkin sengaja hendak memberi kesempatan kepada mereka bertemu dan membicarakan urusan pribadi.

Memangnya untuk persoalan umum dan pribadi Hong-lay- mo-li sama2 mempunyai kepentingan, peduli yang mana dulu dibicarakan juga sama pentingnya maka diapun tidak banyak menduga2 lagi.

Disaat2 pikirannya melayang itulah. tiba2 didengarnya sebuah suara yang sudah dikenalnya berkata dengan tertawa: "Jing-yau, tak nyana kita sekeluarga bertemu lagi. Mana ayahmu? Kenapa tidak datang? setelah berada disini, kau harus menetap disini. Kan lebih baik dari pada kau keliaran diluar mengikuti jejak ayahmu. Didaerah negeri Kim setiap saat kau bersitegang leher, disini kau bisa hidup dengan tentram." Sudah tentu bukan kepalang kaget Hong-lay-mo-li, yang muncul bukan Ong Ih-ting ternyata adalah pamannya Liu Goan-ka. Dibelakang Liu Goan-ka mengintil seorang lagi, yaitu Hwi-liong Tocu Cong Cau-san yang se-wenang2 itu.

Sejak kekalahannya tempo hari Hwi-liong Tocu tak bisa bercokol lagi di Hwi-liong-to, maka dia turuti saja akal Liu Goan-ka, seluruh anak buahnya yang tersisa hidup dia kumpulkan lalu dibawah ke Siang-ciu, Letak Siang-ciu berdekatan dengan Thay-ouw dengan Ong Toa-sin yang menjadi buaya darat dan berkuasa di Siang-ciu, Liu Goan-ka ada ikatan erat.

Bahwa Liu Goan-ka kumpulkan seluruh kekuatan Kwi-liong- to ke Siang-ciu maksudnya hendak digabung dengan kekuatan Ong Toa-sin bersama2 menyerbu ke Thayouw yang kosong dan mendudukinya.

Sebetulnya Hong-Iay-mo-li sedang dimabuk asmara membayangkan pertemuan mesra dengan Hoa Kok-ham, sungguh tidak pernah terpikir olehnya disini dia bakal terjebak dan berhadapan dengan Liu Goan-ka dan Hwi-liong-tocu yang dibencinya.

Tapi sebagai seorang kawanan yang banyak pengalaman menghadapi segala sesuatu, dia belum sampai gugup dan kehilangan kontrol.

"Sreng" segera dia lolos pedang dan menanggalkan kebutnya, sekali ayun kebut, benang2 kecutnya segera ditimpuk kedepan.

Hong-lay-mo-Ii cukup tahu tingkat kepandaian Liu Goan-ka, Hwi-liong-tocupun bukan lawan lemah, senjata rahasia kipasnya ini belum tentu dapat melukai musuh, tujuannya adalah uniuk melindungi dirinya melarikan diri.

Ginkangnya lebih unggul dari pamannya, asal dia bisa keluar dari ruang pendopo ini, ada harapan untuk meloloskan diri. Tak nyana Liu Goan-ka juga sudah menduga akan maksudnya, disaat Hong-Iay-mo-li menenteng pedang hendak menerjang keluar, serempak dari berbagai arah terdengar suara "Blang-bruk"" susul menyusul, delapan pintu besar disekeliling ruang pendopo sudah tertutup rapat dari luar.

Liu Goan-ka bersikap tenang2, katanya tertawa lebar: "Keponakanku yang baik, kita toh orang sendiri, setelah tutup pintu baru enak bicara, Dari jauh kau kemari, masakah begini ter-gesa2 hendak pergi"

Hong-lay-mo-li tuding pedang mendamprat: "Kau ini pengkhianat penjual negara, siapa sekeluarga dengan kau? Ayahku mengampuni jiwamu, beliau harap kau bisa bertobat dan insaf diri, siapa tahu kau malah menjadi2! Memangnya kau sudah tidak punya rasa malu?"

"Keponakan yang baik kau salah, Ong Ih-ting tidak tunduk perintah kerajaan, terpaksa aku merebut pangkalannya ini untuk dikembalikan kepada kerajaan, maksudku mendirikan pahala bagi kerajaan! He. he, bicara terus terang, bila aku mau aku bisa menjabat pangkat tinggi dikerajaan, Kau ingin cinta negeri, kau harus mengikuti jejakku."

Muntap amarah Hong-lay-mo-li, danvratnya: "Kau memutar balik kenyataan, Menteri dorna malang melintang, kalian manusia2 rendah inilah yang memungut keuntungan. Baiklah, hari ini aku tertipu oleh muslihatmu, memangnya aku sudah bertekad gugur disini. Apa keinginanmu, hayo majulah."

"Terserah bagaimana kau memakiku," jengek Liu Goan-ka, "kau ini adalah keponakanku, masakah aku mau mempersulit dirimu? Tapi ingin aku menasehati agar kau bisa melihat situasi, maksudku baik, jangan kau pandang pamanmu sebagai musuh besar."

Hwi-long-tocu cengar cengir, katanya sambil menjura: "Liu Lihiap serba pintar, aku orang she Ceng amat mengagumimu, hari ini kebetulan ada jodoh berhadapan, sungguh merupakan rejeki nomplok bagiku. Apapun yang terjadi harap kau suka tinggal disi-ni. Memangnya apasih kebaikan Hoa Kok-ham? Dia kini pemuda bergajul? Laki2 yang tidak bisa dipercaya, lebih baik Liu Lihiap jangan merindukan dia lagi."

Merah padam muka Hong-iay-mo-li saking marah, makinya: "Bajingan tengik kau."

Liu Goan-ka gelak2, ujarnya: "Keponakan baik. Cong-tocu bicara kurang jelas, biar aku saja yang wakilkan dia. Menurut pendapatku Cong-tocu lebih baik dan kuat dalam segala hal dibanding Hoa Kok-ham. Aku ini pamanmu, ada hak aku mewakili ayahmu menjadi walinya, Kalian setimpal untuk jadi suami istri. Hari ini juga kalian boleh segera melangsungkan pernikahan."

Hampir meledak dada Hong-lay-mo-li, makinya beringas: "Tutup bacotmu, kalian memang binatang berbaju manusia!"

"Sret" pedangnya kontan menusuk kearah Cong-tocu. Ter-sipu2 Cong tocu cabut potlotnya menangkis, "Tang"

ujung pedang Hong-lay-mo-li kena disampuk pergi, namun tangkas sekali pedangnya malah diputar turun menusuk pula kepergelangan tangan orang, dua jurus dilaksanakan secepat kilat, keruan Hwi-Iong-tocu mencak2 keripuhan.

Liu Goan-ka segera lontarkan sekali Bik-khong-ciang memapak ke depan, sehingga pedang Hong-lay-mo-li terguncang miring, baru Hwi-liong Tocu sempat mundur dua langkah, katanya tertawa sambil menyeka keringat "Calon istri yang lihay sekali! Setelah kawin kau tidak boleh segalak ini!"

Dari samping Liu Goan-ka menambahkan "Jing-yau, apa yang dikatakan paman tidak boleh ditarik lagi, kau harus menurut keinginanku, hari ini kau harus menikah dengan Cong-tocu. kalau kau ndablek, kau akan menjadi malu sendiri! Cong-tocu, jangan takut2 membekuknya, bikin saja dia keok supaya dia mau menjadi binimu." "Baik, Paman memberi kesempatan mengabulkan keinginan Siautit, banyak terima kasih, Nona Liu, kalau kau tidak mau menurut, terpaksa aku menggunakan kekerasan."

Ada Liu Goan-ka yang memberi dorongan dan sandaran lebih besar nyali Hwi-liong Tocu, dia balas menyerang dengan gencar, Begitu kedua tangan terkembang, yang kiri menutuk Ki-bun-hiat, yang kanan mengincar King-cu-hiat. ilmu tutuk terdiri dari sejurus dua sasaran ini dapat dia lancarkan dengan baik, keduanya menunjukan hasil yang memuaskan.

Hong-lay-mo-li tahu Hwi-liong-tocu hendak memancing kemarahannya, kini dia malah tabah dan tenangkan diri, disaat kedua ujung potlot lawan hampir mengenai badannya, mendadak dia membentak se-keras2-nya:

"Kena!" sekaligus dia balikan gagang pedang, dengan sejurus Heng-hun-toan-hong pedangnya mengiris miring, terdengar suara berdering nyaring. kedua ujung potlot Hwi- liong-tocu sama2 kena teriris putus, gerakan pedang Hong- lay-mo-li belum lagi berhenti, ujung pedangnya mengarah langsung ke Koan-pe-hiat di pergelangan tangan lawan, sekaligus dia balas menusuk dengan ilmu pedang lihay yang khusus mengincar jalan darah.

Sudah tentu kaget Hwi-liong-tocu bukan main, maklumlah bagi tokoh kosen dalam pertempuran yang paling ditakutkan salah memperhitungkan serangan dan menjajagi lawan, terpaut sepersepuluh mili saja bisa membawa akibat yang fatal, sebelum ini sudah dua kali Hwi-liong-tocu bergebrak melawan Hong-lay-mo-li, meski kepandaiannya memang kalah seurat, kekuatan mereka masih berimbang, sungguh tida pernah terpikir olehnya dalam segebrakan saja lawan sudah berhasil memapas putus ujung potlotnya.

Karena diluar dugaan, Hong-lay-mo-li menyerang dengan ilmu pedang yang tiada taranya lagi, terang dirinya takkan mampu berkelit dan meluputkan diri lagi. "Jangan takut, maju bekuk dia!" dari samping Liu Goan-ka memberi anjuran, "Trang" dia sambitkan sebuah mata uang tembaga, disaat ujung pedang Hong-lay-mo-li sudah terpaut serambut hampir mengenai Hiat-to Hwi-liong-tocu, uang tembaganya membentur dengan tepat sehingga sasarannya menceng dan menusuk tempat kosong.

Siapakah laki2 yang memenggal kepala Wan-yan Liang dan membawa kabur batok kepalanya?

Apakah Hong-lay-mo-li mampu meloloskan diri dari keroyokan Liu Goan-ka dan Hwi-Iiong-tocu?

Dimanakah Khing Ciau selama ini? Bagaimana pula perjuangan Sin Gi-cik yang dibantunya?

(Bersambung ke bagian 35) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar