Pendekar Latah Bagian 23

 
Bagian 23

Namun demikian sudah tentu dirinya yang dirugikan. Orang itu adalah seorang pemuda yang beralis tebal bermata besar, usianya lebih muda beberapa tahun dari Khing Ciau, namun permainan silatnya ternyata cukup lihay.

Jari2 Khing Ciau sudah berhasil pada sasarannya, sayang tenaganya kurang memadai. pemuda itu meronta sekuat tenaga lagi, sehingga dia tertolak mundur sempoyongan dua langkah lebar.

Kejadian berlangsung teramat cepat, pemuda itu sudah menubruk pula seraya membentak: "robohlah!"

"Plok" telak sekali pukulannya mengenai Khing Ciau. Khing Ciau sudah berhasil meyakinkan Tay-yan-pat-sek,

meski keadaannya sekarang tidak memadai tujuh bagian

keadaan normal biasanya, kekuatannya masih luar biasa, karena pukulan ini dia cuma tergeliat dua kali, namun tidak roboh.

Melihat permainan silat Khing Ciau cukup terlatih dan lihay. terkena pukulan tidak roboh lagi, pemuda itupun amat kaget, tanpa ayal sebelum Khing Ciau sempat berdiri tegak, kakinya menggeser maju tangan membarengi menyerang pula dengan jurus Sia-koa-tam-pian (menggantung miring cambuk tunggal), telapak tangannya menabas urat nadi Khing Ciau.

Lekas Khing Ciau membalas dengan jurus Khing-biau-kian- soat (angin badai menggulung salju) badannya bergoyang gontai pergi datang seperti pohon yang melambai tertiup angin, serasi benar dengan permainan pukulan tangannya, pinggir telapak tangan sipemuda setengah dim hampir mengenai urat nadinya, maka terdengar "Cras" lengan bajunya malah yang tercomot sobek sebagian oleh Khing Ciau. Masih untung Khing Ciau menaruh belas kasihan dan tak bermaksud jahat kepadanya, kalau tidak seluruh lengan pemuda ini pasti sudah tertelikung atau keseleo.

Namun pemuda ini cukup bandel dan garang, sedikit dirugikan, serangannya semakin galak, tanpa mundur dia malah merubah telapak tangan menjadi kepalan dengan jurus Hing-sin-bak-hou (melintang badan memukul harimau), sikutnya menyodok ke lambung Khing Ciau, gerak gerik Khing Ciau tidak lincah lagi, kembali dia kena kesodok dan ketumbuk, serangan kali ini lebih keras dari pukulan tadi, saking kesakitan pandangan Khing Ciau sampai ber-kunang2.

Dibawah serangan gencar lawan, Khing Ciau tidak sempat memberi penjelasan, terpaksa diapun nekad, segera dia kerahkan tenaga pada telapak tangannya, kontan dia balas dengan sejurus permainan dari Tay-yan-pat-sek ,"Blang" empat telapak tangan saling beradu, meski Lwekang pemuda ini cukup tangguh masakah dia kuat bertahan dari Tay-yan- sin-kang ilmu tunggal keluarga Siang yang hebat iru, "Blug" kontan dia terpental dan jatuh terjengkang.

Setelah melontarkan sejurus ini, seketika Khing Ciaupun merasa badannya enteng seperti kosong, waktu dia hendak memburu maju menarik bangun si pemuda, tiba2 didengarnya sebuah suara perempuan tua yang serak membentak: "Kau bocah ini berani melukai anakku."

Datang suaranya, tiba pula orangnya, tahu2 segulung angin tajam yang menyesakkan napas sudah menerpa datang, hanya mendengar deru angin ini Khing Ciau sudah tahu bila Lwekang orang yang satu ini amat tinggi, jauh lebih tinggi dari kemampuan nomal darinya, seketika mencelos dingin hati Khing Ciau, namun bagi setiap insan persilatan, berjaga dari serangan musuh adalah merupakan reaksi secara reflek belaka, maka walau Khing Ciau insaf dirinya bukan tandingan, terpaksa diapun melawan untuk membela diri. Disaat2 gawat yang menentukan mati hidup jiwanya itulah, tiba2 terdengar jeritan seorang gadis yang melengking: "Bu, kasihanilah! dia, dia adalah..."

Suaranya panik dan menusuk pendengaran, agaknya teramat kaget dan kuatir sekali. Tampak gadis yang berteriak ini berlari datang sambil ber-kaok2. namun toh sudah rada terlambat baru saja seruan "Bu" nya keluar dari mulut, disini sudah terjadi bentrokan "Blang" telapak tangan kedua pihak sudah beradu, untunglah kepandaian silat nyonya tua ini sudah mencapai taraf yang sempurna, dapat dilontarkan atau ditarik balik menurut jalan pikiran hatinya, meski kedua telapak tangan beradu, namun tenaganya sudah dia sedot balik.

Namun demikian Khing Ciau yang sudah kehabisan tenaga toh tidak kuat bertahan, seketika mata berkunang2, dunia serasa berputar jungkir balik.

Khing Ciau gigit ujung lidahnya, mengempos semangat supaya dirinya tidak jatuh semaput. Karena dia sudah mendengar suara Piaumoaynya, namun hatinyapun sedang heran dan curiga: "Kenapa Piaumoay panggil "ibu" kepada nyonya tua ini? Apakah dia gadis lain yang suaranya mirip saja?" sebelum dirinya jatuh pingsan ingin dia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.

"Siapakah dia?" tanya nyonya tua itu.

"Dia, Dia adalah Piaukoku." sahut gadis itu. Waktu Khing Ciau angkat kepala dilihatnya gadis itu sudah berlari datang menerobos rumpun kembang, kini sudah dilihatnya dengan jelas memang Cin Long-giok sang Piaumoay adanya, seruling itupun masih berada ditangannya.

Dengan lincah pemuda itu segera melompat bangun, teriaknya: "Apa, dia ini Piaukomu? Semula kukira dia musuh!" Nyonya tua itu menghela napas lega, katanya: "Thing-ji, kau tidak terluka?"

Bersamaan waktunya Cin Long-giokpun sedang ber-tanya: "Piauko, apa kau terluka?"

Sungguh kejut dan girang Khing Ciau bukan main, perasaan hatinya bagai gelombang samudra yang mengalun turun naik, entah apa yang sedang terpikir dalam benaknya, mulutnya hanya bisa memanggil Piau-moay", tahu2 matanya jadi gelap terus jatuh semaput.

Dalam keadaan setengah sadar, tiba2 didengarnya sebuah suara kasar berkata: "Nah, sudah siuman. Kau tidak perlu kuatir lagi, kalau tidak dosaku terlalu besar!" jelas suaranya membawa rasa jelus dan dongkol.

"Thing-ko," Cin Long-giok berkata, "kejadian secara kebetulan saja, aku tidak salahkan kau. Kau tidak-perlu banyak hati." mulut bicara kepada si pemuda, sementara kedua tangannya memapah Khing Ciau, jelas perhatiannya tertuju kepada Khing Ciau.

Pelan2 Khing Ciau membuka mata, Cin Long-giok berseru girang: "Syukurlah, ternyata kau sudah siuman Piauko, coba kau lihat siapa yang berada dihadapanmu?" dia ingin jajal apakah Piaukonya benar2 sudah siuman dan sadar.

Waktu Khing Ciau pentang mata, didapati dirinya rebah diatas ranjang dalam sebuah kamar yang dipasang serba antik. Kecuali Piaumoay, pemuda nyonya tua itupun hadir.

"Piaumoay," kata Khing Ciau kemudian, "kau bikin aku amat rindu sekali, karena mendengar tiupan serulingmu maka aku memberanikan diri menerobos kemari. Cayhe Khing Ciau, siapakah Toako ini, harap suka maafkan kesembronoanku barusan!"

Melihat sikap mesra Khing Ciau terhadap Piau-moaynya, si pemuda lebih kurang senang sahutnya dingin: "Aku she Bing bernama Thing, Khmg-toako berkepandaian tinggi, aku betul2 kagum, selanjutnya aku masih ingin mohon petunjukmu."

Khing Ciau merasakan gejala yang kurang benar, disaat dia melongo, nyonya tua itu sedang menatapnya, katanya: "Apakah kau murid atau cucu muridnya Siang Kian-thian?"

Kembali Khing Ciau melengak, segera menjawab: "Bukan." "Kalau bukan darimana kau bisa mempelajari Tay-yan-pat-

sek dari keluarga mereka?"

Merah muka Khing Ciau, sahutnya: "Tanpa sengaja aku berhasil mempelajari dari seorang teman yang mengajak jajal kepandaian. Semula aku sendiripun tidak tahu bahwa Tay- yan-pat-sek ini adalah ilmu tunggal dari keluarga Siang."

Sudah tentu Nyonya tua atau nenek ini tidak mau percaya. katanya tawar: "Tay-yan-pat-sek merupakan ilmu tunggal yang tiada taranya dari Bulim, ajaran rahasia yang tidak diturunkan kepada sembarang orang dari keluarga Siang.

Temanmu itu luhur jiwa dan bacik benar mau menurunkan Lwekang tingkat tinggi ini kepadamu. Temanmu itu laki atau perempuan, siapa pula namanya? Apa benar kau tidak punya hubungan apa2 dengan keluarga Siang?"

Dihadapan sang Piaumoay sudah tentu Khing Ciau tidak enak menjelaskan hubungannya dengan Siang Ceng-hong yang menipnya melatih ilmu tunggalnya ini didalam penjara dulu, dasar lugu dia kurang pintar bicara, mulut sudah terbuka namun tak tahu apa yang harus dia katakan.

Memang Cin Long-giok rada curiga, namun melihat keadaan Piaukonya dia jadi kuatir bila Beng-lo-hay bertindak kurang menguntungkan bagi Khing Ciau, batinnya: "Tentunya Piauko mempunyai alasan yang tidak enak diutarakan dihadapan orang lain." segera dia menyela: "Aku dibesarkan bersama Piauko sejak kecil, keadaannya aku tahu jelas sekali, ilmu silatnya mendapat didikan dari keluarga, keluarga Siang apa segala, mendengarpun aku belum pernah." Nenek tua itu seperti tertawa tidak tertawa. katanya: "Tapi selama ini belum pernah kau menyinggung tentang Piaukomu ini."

Merah muka Cin Long-giok, sahutnya: "Bu. kukira hal ini tidak harus ku-utarakan, apalagi beberapa hari ini keadaanku belum pulih seluruhnya, maka belum sempat kusinggung dihadapanmu."

Agaknya Beng-lothay amat kasih sayang kepada Cin Long- giok, katanya tertawa: "Bukan aku ingin menyelidiki rahasia orang lain, sudahlah kalian bertemu secara tidak terduga, akupun tidak mengganggu lagi, silakan kalian bicara sendiri."

Khing Ciau jadi kurang enak, melihat paras Cin Long-giok rada pucat dan badanpun lebih kurus, lekas dia bertanya: "Piaumoay, apakah kesehatanmu terganggu."

Lekas Cin Long-giok menjelaskan "Beng-Iothay adalah ibu angkatku, Memang aku jatuh sakit, untunglah ditolong dan disembuhkan oleh ibu."

"Bagaimana kalian bisa berkenalan?" tanya Khing Ciau. "Bukan saja ibu menyembuhkan penyakitku beliaupun

sudah menolong jiwaku, Hari itu seorang diri aku berhasil mendapatkan sebuah perahu kecil dan minta untuk menyeberangkan aku, tak nyana perahu itu milik kawanan rampok. Untung ibu kebetulan juga naik dalam satu perahu."

Beng-lothay tertawa, katanya: "Melihat aku ini nenek rudin, tukang perahu tidak mau menerima aku, Piaumoaymu baik hati, dia membayar sepuluh tali perak lebih banyak baru mau mengidzinkan aku naik ke-perahunya-"

"Setelah perahu sampai ditengah sungai, tukang perahu mencabut golok hendak merampok, untung ibu bergerak cepat serta merebut goloknya dan membunuhnya, namun temannya sempat terjun kedalam air dan bikin perahu kecil itu terbalik."

"Kawanan perompak memang suka berbuat kejahatan seperti itu. Waku Liu Lihiap menyebrang sungai diapun mengalami nasib yang sama, untung tidak sampai keselomot"

"O, jadi kau sudah bertemu dengan Liu Lihiap, Lalu dimana San San Cici? Apa bersama dia?"

"Merekapun berpisah lagi. Em, bicarakan saja urusan yang lain dulu." setiap membicarakan San San hati Khing Ciau menjadi risau.

Agaknya Beng-lothay amat memperhatikan percakapan ini, tiba2 dia bertanya: "Nona San San itu apakah She Giok?

"Benar, Bu, kau kenal nona Giok itu?"

"Kalau benar Giok San-san, dia adalah putri seorang sahabat lamaku- Waktu masih kecil dulu, aku pernah melihatnya."

Ayah San San dimasa hidupnya adalah seorang piausu yang kenamaan, hubungannya luas, tidak perlu dibuat heran kalau kenal baik dengan suami Beng-lothay waktu masih hidup.

"Setelah perahu terbalik," tutur Cin Long-giok lebih lanjut "untung ibu pandai berenang, perompak itu berhasil dibunuhnya, Lalu dia balikan pula perahu itu, serta menolong aku sampai disebrang, Aku terlalu banyak tenggak air sungai, badan basah kuyup lagi, terombang ambing ditengah gelombang sungai pula, belum perahu mendarat aku sudah jatuh sakit. Belakangan aku menetap dirumah Ibu, untunglah beliau merawatku dengan telaten, hari ini baru kesehatanku rada baikan."

Lekas Khing Ciau ucapkan terima kasih kepada Beng- lothay. Beng-lothay berkata tawar: "Aku tidak menanam budi kepadamu buat apa kau berterima kasih kepadaku? Yang kutolong adalah putri angkatku Long-giok, kau punya berapa Piauko?"

Cin Long-giok melengak, sahutnya "Hanya Piauko ini seorang. Bu, kau ini..."

"Baik, kalau begitu yang datang kali ini tentu bukan Piaukomu." lalu dia membentak dengan uring2an: "Hai, rumah keluarga Beng kami bukan hotel, para kurcaci darimana tengah malam mondar mandir dirumahku." sambil menenteng tongkatnya Beng-lothay segera melayang keluar jendela, bagai anak panah dengan gesit dia melompat melewati pagar terus melompat turun dari atas loteng, kejap lain terdengar benturan senjata keras dari taman dibawah.

Dalam sekejap mata benturan senjata yang bersuara nyaring terus berlangsung amat ramai, sampai kuping terasa pekak, Tongkat Beng-lothay berat empat puluh delapan kati, dari suara benturan nyaring ini, senjata lawan agaknya juga senjata yang terbuat dari logam berat, maka suaranya rada aneh dan lebih nyaring dari lonceng, namun setiap benturannya terasa amat berat pula,

Bing Thing berdiri diam memasang kuping, dari benturan kedua senjata itu dia sudah tahu bahwa ibunya unggul diatas angin, sementara matanya tetap mengawasi gerak gerik Cin Long-giok dan Khing Ciau secara diam2.

Ternyata dia kurang tentram meninggalkan Cin Long-giok berduaan dengan Khing Ciau didalam kamar, kedua kakinya seperti terpaku ditem-patnya.

Khing Ciaupun sedang pasang kuping, tiba2 dia berjingkat bangun.

Cin Long-giok lekas menahannya: "Tak menjadi soal, tongkat ibu pernah malang melintang didaerah utara dan selatan sungai besar." "Ada yang tidak beres, biar aku keluar menengoknya." kuatir badan orang masih belum kuat lekas Cin Long-giok bantu memayangnya.

"Tak usah kau papah, aku bisa berjalan." kata Khing Ciau.

Serasa di-kili2 hati Bing Thing, selanya: "Piaumoay telaten meladeni Piauko, Khing-toako, kau harus terima maksud baiknya." Merah muka Cin Long giok, lekas dia lepas tangan.

Sementara suara benturan senjata dibawah taman sana semakin gencar, serasa loteng inipun bergetar saking keras daya benturan kedua senjata itu.

Bing Thing kaget, dia mendengar lawan merangsak lebih gencar, sekarang ibunya hanya bertahan diri, tanpa sempat mengolok Khing Ciau segera dia memburu keluar lebih dulu, berdiri berpegangan pagar dia menonton pertempuran dibawah dari atas loteng.

Tampak lawan ibunya adalah seorang laki2 berusia lima puluhan dengan jambang bauk yang lebat, kedua tangannya masing2 bersenjata dua macam gaman yang berlainan, tangan kanan memegang gelang baja yang kemilau, tangan kiri bersenjata golok pendek, jurus permainan kombinasi dua alat senjata ini amat aneh dan lucu, namun lihay luar biasa, GoIok pendek seperti lidah ular selalu menyelonong keluar dari lingkaran gelang baja menyerang musuh.

Setiap kali tongkat Beng-lothay membentur gelang baja lawan lantas mengeluarkan suara aneh yang memekakkan telinga, agaknya tongkat Beng lothay yang berat itu tak berhasil mengatasi permainan gelang baja lawan, paling hanya setanding saja, namun dia dibuat sibuk juga oleh permainan golok pendek lawan.

Begitu keluar Khing Ciau lantas berteriak: "Sat-toako, berhenti!" ternyata orang ini adalah Sat-lotoa, yang berkepandaian paling tinggi diantara tiga saudaranya, soalnya Sin Gi-cik menunggu2 Khing Ciau tidak kunjung pulang, maka segera dia minta Sat-lotoa kemari mencari tahu.

Meski Khing Ciau berteriak keras, namun suara benturan tongkat dan gelang itu lebih keras pula, Sat-lotoa agaknya tidak mendengar seruannya, maka pertempuran terus berlangsung, Keruan gelisah Khing Ciau bukan main. tanpa banyak pikir segera dia menekan pagar terus lompat kebawah.

Cin Long-giok berdiri disampingnya, keruan kagetnya bukan main, sambil berteriak lekas diapun ikut lompat kebawah Dia kuatir akan kesehatan Khing Ciau, tak nyana diri sendiri justru baru sembuh dari sakit, tenaga masih lemah, begitu kaki menyentuh tanah seketika badan bergetar, kepala pusing pandangan gelap, belum sempat dia memayang Khing Ciau, dia sendiri yang sempoyongan hendak jatuh malah.

Bing Thing juga kaget, lekas diapun lompat turun hendak nrenolong, untunglah Khing Ciau punya dasar Tay-yan-pat-sek kondisinya malah lebih kuat, lekas dia memburu selangkah dan kebetulan berhasil menarik Piaumoaynya serta memeluknya kencang.

Beng Thing sedang memburu datang hendak memayang Cin Long-giok dengan kedua tangan sudah terulur keluar, sayang dia terlambat setindak, Cin Long-giok sudah jatuh kedalam pelukan Khing Ciau, Keruan kikuk dan risi perasaan hatinya.

Baru saja Khing Ciau hendak memburu kesana memberi penjelasan untuk menghentikan pertempuran terdengar "Blang", tongkat Beng-lothay menyapu roboh sebuah batu besar sampai pecah berantakan.

Sat-lotoa berseru memuji: "Bagus benar jurus Hu-mo-tio- hoat." sebetulnya Sat lotoa mendapat kesempatan untuk mengepalkan gelang bajanya disaat Beng-lothay belum sempat menarik balik tongkatnya, Tapi Sat-lotoa hanya angkat gelang senjatanya diatas kepala tak bergerak lagi.

Beng-lohay gusar, makinya: "Siapa suruh kau mengalah?

Sambut seranganku."

Sat-lotoa mundur setapak lebar, tiba2 dia berteriak: "Berhenti dulu, apa kau ini bukan bini Beng Tin?"

Beng-lothay melengak, tanyanya: "Siapa kau?"

Sat-lotoa ter-bahak2, katanya sambil mengacungkan gelang baja: "Tidak banyak orang yang menggunakan gaman seperti ini di Bulim, masakah Beng-toako tidak pernah menyinggung tentang kami bersaudara ?"

"0. jadi kau ini Lo-toa atau Loji dari Sat-si-sam-hiong?" seru Beng-lothay, baru sekarang dia teringat

"Aku inilah Sat lotoa, Sat Kang, Hehe, malam ini aku blasakan kemari, tak kira kesamplok dengan Toa-so, Mana Beng-toako, ada dirumah tidak?"

"Almarhum suamiku sudah dua tahun yang lalu wafat Beruntung kalian bersaudara pernah membantunya waktu di Cengciu dulu. kebetulan hari ini aku bisa berterima kasih kepadamu, silakan duduk didalam, ingin aku tahu, kalau kau tidak tahu ini rumah-ku, untuk apa kau malam2 berkunjung kemari?"

Saat mana Khing Ciau dan Cin Long-giok sudah tampil kedepan, Kata Sat-lotoa tertawa: "Ternyata Khing-kongcu memang disini. Beng-socu, aku mencari Khing-kongcu ini. Lho Khing-kongcu apa kau juga sudah kenal dengan keluarga Beng?"

"Akupun sembrono masuk kemari, kebetulan bersua dengan Piaumoay." sahut Khing Ciau.

"Piaumoaymu?" tanya Sat-lotoa heran. "Piaumoayku adalah anak angkat Beng-lothay. Ayahnya Sip-hun-kiam Cin Jiong adalah pamanku."

Sat-lotoa baru paham persoalannya. katanya tertawa: "Ah, sungguh amat kebetulan."

Beng-lothay menyilakan Sat-lotoa kedalam rumah, disuguh air teh dan ngobrol panjang lebar mengenai pengalaman hidup masing2 Selama ini jantung Khing Ciau ber-debar2, akhirnya dia memberanikan idlri menimbrung bicara:

"Beng-lothay, banyak terima kasih selama ini kau merawat Piaumoay. Dia sudah tak punya sanak tak punya kadang, aku ingin mengajaknya pergi ke Kiangim."

"Maksudmu besok juga kau mengajaknya pergi?"

"Ya, pada jaman tidak aman ini, seperjalanan bisa saling tolong."

"Apa kau tidak tahu Piaumoaymu baru saja sembuh dan badan masih lemah?"

"Kiangim hanya dua ratus li dari sini, sehari sudah bisa kita capai Kurasa Piaumoay masih kuat bertahan sehari saja dalam perjalanan naik kuda."

Dari penuturan Sat-lotoa tadi Beng-lothay sudah tahu mereka seperjalanan dengan Sin Gi-cik yang sudah dikenal namanya itu, tanyanya: "Apa Sin Gi-cik ada memboyong keluarganya?"

"Tidak."

"Seorang perempuan tercampur dalam pasukan, kukira tidak leluasa, Lebih baik kalau dia tinggal disi-ni, aku bisa mengasuh dan merawatnya. Aku kan ibu angkatnya, masakah kau bilang dia tidak bersanak kadang disini?" Agaknya otak Sat-lotoa cukup cerdik, melihat Khing Ciau ngotot serta melihat hubungan dan sikap mesra antara Khing Ciau dan Cin Long-giok, dia sudah paham duduk persoalannya, segera dia menimbrung: "Sin-ciangkun sendiri tidak membawa keluarga, tapi di Kiangim banyak perwira2 tinggi yang menetap di-asrama dan membawa keluarga dan pembantu nona Cin tak usah kuatir kesepian disana.

Dan lagi nona Cin pandai silat, masakah dia tidak bisa mengurus diri sendiri? Lebih baik kita tanya bagaimana maksud nona Cin sendiri Menurut pendapatku urusan muda mudi biarlah diputuskan mereka sendiri."

Dari belakang Beng Thing segera menyela: "Bu, buat apa banyak ngomong?, Mereka toh Piauko dan Piaumoay, sudah tentu hubungan famili lebih dekat. Kau paling hanya ibu angkat, betapapun setingkat lebih jauh."

Ber-kaca2 mata Cin Long-giok, katanya: "Beng-toa ko jangan kau berkata demikian, ibu menolong jiwaku, menyembuhkan penyakitku lagi, betapa besar terima kasihku. tapi aku, aku..."

"Nah, bagaimana menurut maksudmu sendiri? ingin tinggal bersama ibu atau mau ikut Piaukomu?"

Kalut pikiran Cin Long-giok, serba sulit juga dia ambil keputusan, semula dia hendak menyempurnakan hubungan baik Khing Ciau dengan San San, tapi bila dirinya tinggal dirumah ibu angkatnya, dirinya akan selalu dilibat oleh putranya, yaitu Beng Thing, sebagai gadis yang pemalu tak enak dia bicara secara langsung, sekian saat dia masih bimbang dan sulit ambil keputusan.

Disaat semua orang sedang menunggu jawaban Cin Long- giok, tiba2 terdengar tiga kali suitan tinggi dari tiga batang panah yang dibidikan ketengah angkasa dua pendek satu panjang, mendengar suara panah berbunyi ini, seketika berubah airmuka Beng-lothay. Sat-lotoa bertanya dengan suara tertahan: "Musuh besarmu telah datang?"

"ltulah tanda perintah dari Hwi-liong-to, To-cunya pasti takkan datang kemari, yang datang paling hanya utusannya."

"Siapakah sebenarnya Hwi-liong-to-cu?" tanya Sat-lotoa. "Hwi-Uong-to-cu adalah pemimpin tertinggi dari kalangan

hitam yang berkuasa disekitar sungai besar. Baru dua tahun

belakangan ini berdiri pangkalan mereka disana, tak heran kau tidak mengetahuinya."

"Kau punya permusuhan apa dengan mereka?" "Sekarang kami belum tahu maksud kedatangan-nya?

Silakan kalian sembunyi dulu. Aku tidak main kekerasan

dengan mereka, bila memang terpaksa harus main kasar, mohon kau suka membantuku."

Sat-lotoa berempat segera masuk kekamar sebelah, tinggal Beng-lothay seorang yang tetap duduk di-ruang tamu, Terdengar diapun bersiul panjang dan nyaring, juga satu panjang dua pendek, begitu lenyap suara siulannya, lantas terdengar orang berseru lantang: 

"Utusan Hwi-liong-to mengucapkan terima kasih akan kesudian Beng-thocu menerima kami."

Panah bersuara dan siulan Beng-lothay merupakan tanda2 rahasia, utusan Hwi-liong-to bekerja menurut aturan Kangouw memberi tanda kedatangan dengan panah berbunyi, setelah Beng-lothay memberi penyahutan, baru mereka masuk kerumah keluarga Beng, agaknya mereka sudah memberi sedikit muka kepada keluarga Beng.

Tampak dua orang melangkah masuk keruang tamu, salah seorang diantaranya membawa sebatang panah yang bercat merah seluruhnya, katanya: "Tentunya kau ini Beng-toaso, harap kau suka terima Lok-lim-cian ini." "Suamiku sudah meninggal, memangnya Tocu kalian belum tahu?"

"Beng-tocu sudah wafat, kau dan putramu kan masih segar bugar."

"Sejak suamiku meninggal, akupun sudah cuci tangan tidak mencampuri urusan dunia. Maaf Lok-lim-cian ini aku tidak bisa terima."

Utusan itu ter-bahak2. ujarnya: "Beng-toanio masakah sudah insaf dan kembali kejalan lurus? Tapi keluarga Beng kalian sudah puluhan tahun hidup dari kalangan Lok-lim, bicara terus terang, berarti sudah merupakan kerabat lama kaum Lok-lim pula. Beng-thocu meninggal, kau dan putramu masih termasuk dalam satu keluarga Lok-lim-cian Tocu ini mau tidak mau kau harus menerimanya."

Memangnya Beng-lothay sedang uring2an, namun dalam waktu dekat ini dia belum berani keputusan apakah hendak menolak mentah2, katanya: "Untuk apa Tocu kalian menyebar Lok-lim-cian ini?"

"Tocu sudah memutuskan tanggal lima bulan depan untuk mengumpulkan tokoh2 Lok-lim di Kanglam di Hwi-liong-to.

Disamping merundingkan cara bagaimana setelah pasukan Kim berkuasa disini, bagaimana golongan Lok-lim kita harus menghadapinya, disamping itu perlu juga memilih seorang Lok-lim-beng-cu. Hari ini tanggal dua delapan, masih ada tujuh hari lagi.

Maka dalam dua hari ini kau dan putramu harus segera berangkat, bawalah panah ini sebagai undangan. Setelah tiba dimuara Tiangkang disana ada saudara kita yang akan menyambut dan mengangkut kalian ke Hwi-Hong-to."

"Kabarnya Lam-san-hou adalah saudara angkat Tocu kalian, tentunya dia pasti hadir dalam pertemuan besar ini?" "Benar Lam-thocu adalah salah seorang promotor dalam mengadakan pertemuan orang2 gagah kali ini. Masa hidupnya dulu hubungan Beng-toako tentu baik dengan Lam-thocu, sukalah pandang muka Lam-thocu, Beng-toaso harus hadir dalam pertemuan ini."

"Kau keliru." kata Beng-lothay, "Semasa hidupnya suamiku bernyali kecil, hanya berani dagang kecil2an, sebaliknya Lam- san-hou adalah tokoh yang terkenal dalam kalangan hitam, masakah kita setimpal bersahabat sama dia? Kita masing2 menuju kearahnya sendiri, tidak saling kenal!"

Utusan itu melengak, katanya: "Apa? Jadi kalian tidak saling kenal? Memangnya untuk apa pula Beng-toaso menanyakan hal ini?"

"Bertanya sambil lalu saja, masakah tidak boleh?" Utusan itu serba rikuh. katanya setelah batuk sekali:

"Kembali pada persoalan semula, silakan Beng-toaso terima

panah undangan ini."

Beng-lothay tertawa dingin, ujarnya: "Waktu hidupnya, suamiku juga malang melintang seorang diri di Kangouw, usahanya adalah begal tunggal, selamanya tidak pernah terima diperintah siapapun, Aku nenek tua ini meski tidak becus, pambek dan kebesaran jiwa suamiku tetap akan kupertahankan. Maaf kalau nenek tua aku ini tidak tahu diuntung, silakan kau bawa pulang Lok-lim-cian itu."

Utusan itu gusar dan kaget, katanya berdiri "Kau, berani kau menolak perintah?"

"Perlu aku beritahu kepada kalian, aku sudah cuci tangan, bukan lagi kaum Lok-lim, selanjutnya kalian tidak usah mengganggu aku disini. Silakan." sambil angkat cangkir tehnya diapun berdiri, Angkat teh dan meminumnya berarti mengantar tamunya pulang. Utusan itu semakin gusar, katanya: "Kau nenek tua ini memang tidak tahu diuntung, berani kau menolak perintah." cangkir diraihnya terus dibanting.

"Lho, tidak kalian minum teh dulu baru pulang?" sembari bicara cangkir ditangannya tiba2 dia timpukan. "Trang" kedua cangkir saling bentur cangkir yang dibanting utusan itu mencelat balik jatuh diatas meja tepat ditempatnya semula, air teh didalam cangkir setetespun tidak tercecer sementara cangkir yang di-tlmpukan Beng-lothay berputar ditengah udara, lekas lengan bajunya mengebut cangkir itu kena digulung kedalam lengan bajunya sementara Beng-lo-tay tak bergerak tidak bersuara, cuma matanya tajam menatap kedua utusan itu.

Begitu demonstrasi Lwekang tingkat tinggi di unjukkan.

Kedua utusan itu kememek ditempatnya, tidak berani sesumbar lagi. 0rang yang memegangi Lok-1im-cian itu berubah rona mukanya, tiba2 dia tancapkan panah itu keatas meja, katanya: "Terima atau tidak terserah kepadamu, aku hanya diutus membawa Lok-lim-cian ini kemari. Kami mohon diri."

Setelah kedua utusan ini berlalu, Sat-lotoa melangkah keluar dari kamar sebelah, katanya gelak2: "Beng-toaso, hebat kau, Hehe, tepat benar kau usir mereka."

"Semasa hidup Bengtoakomu amat tegas membedakan budi dan dendam, Hwi-liong-tocu umpama kuda dan sapi yang tidak saling berkenalan. Apalagi Lam-san-hou adalah musuh besar keluarga Beng kita, aku nenek tua ini belum bisa menuntut batas bagi sakit hati ini, hati menyesal selama hidup, masakah harus mandah diperintah oleh mereka?

Kalau pertemuan besar kali ini sukses terang Hwi-liong-to- cu sendiri yang bakal menduduki Lok-lim-beng-cu, dengan sendirinya Lam-san-hou sebagai tangan kanannya bakal menekan kami berdua, Kalau aku harus menjunjung gerakan mereka, bukankah suamiku takkan tentram dialam baka?" Sat-lotoa kaget, katanya: "Beng-toako, dia, dia adalah..." dia kira kematian Beng Tin ada sangkut pautnya dengan Lam- san-hou.

"Beng-toakomu memang tidak kenal dengan Lam-san-hou.

Dia meninggal karena sakit."

"Lalu bagaimana bisa terikat dendam sakit hati ini?" "Beng-toakomu biasanya berjiwa luhur, setia kawan dan

memegang keadilan, dia punya seorang teman yang terbunuh oleh Lam-san-hou, sampaipun seorang keponakannyapun terpaksa melarikan diri entah kemana dia sekarang berada.

Semasa hidupnya Beng-toakomu punya cita2 yang belum terlaksana sampai sekarang, pertama menuntut balas bagi kematian sahabatnya, kedua mencari balik keponakannya itu.

Tapi setelah Lam-san-hou berada di Kanglam mereka belum pernah bersua, keponakannya itu juga tak berhasil ditemukan, boleh dikata dia meninggal dengan mata tidak meram."

Cerita ini Khing Ciau seperti pernah mendengar dari penuturan orang, maka tergeraklah hatinya, batinnya: "Memangnya benar2 ada kejadian begini kebetulan dalam dunia ini?"

Kata Sat-lotoa: "Kau menolak Lok-lim-cian, bukankah Hwi- liong-tocu akan mempersulit dirimu, apa kau bisa tetap bercokol disini?"

"Sejak muda nenek tua aku ini sudah malang melintang di Kangouw, meski sekarang sudah berusia lanjut, tekadku masih belum pudar, tidak nanti aku terlalu menyanyangi segala milikku ini, Hwi-liong-tocu sendiri sekarang sedang sibuk dengan urusannya, masakah dia sempat menyelesaikan persoalan sekecil ini. Apa boleh buat aku terpaksa meninggalkan rumah pergi ketempat yang jauh, berkecimpung pula di Kang-ouw."

Sebetulnya Sat-lo-toa hendak membujuk mereka ibu beranak ikut ke Kiangim saja, supaya bisa kumpuI lebih lama dengan Cin Long-giok dan Khing Ciau. Bila Hong-lay-mo-li kembali dari Hwi-liong-to, bagaimana akhir dari pertemuan di Hwi liong-to dapat mereka ketahui, saat itu baru diambil keputusan lebih lanjut.

Sebetulnya Khing Ciau juga punya pikiran yang sama. Namun belum lagi mereka sempat kemukakan isi hatinya, tiba2 terdengar seperti ada sesuatu benda berat terjatuh ditaman kembang, meski lirih suaranya namun dalam pendengaran seorang ahli seperti Sat-lotoa dan Beng-Iothay, mereka segera tahu kedatangan pula orang yang punya Ginkang lumayan, Berkerut alis Benglothay, katanya:: "Apakah kedua utusan itu kembali lagi? Atau Hwi-liong-to mengutus lain orang pula? Masakah begitu cepat mereka datang?"

Kembali Sat-lotoa beramai menyingkir kekamar sebelah, dengan menjinjing tongkat kepala naganya, Beng-Iothay membuka pintu, sapanya dingin: "Kalian silakan!"

Tampak yang datang adalah laki2 dan perempuan, berusia likuran tahun. Beng-lothay melengak, tongkat diturunkan dia bertanya: "Kalian siapa, untuk apa kemari? Haya, kau, kau adalah..."

"Jicim, aku ini Beng-Cau, mana Jisiok?"

Kejut Beng-lothay bukan main, katanya: "Titji (keponakan). betapa sulitku mencari kau, Jisiok-mu sudah mangkat. Nona ini, apakah dia nona Giok?"

Merah muka Beng Cau, katanya: "Bukan. nona siang ini adalah menantu keponakanmu."

Melihat siang Ceng-hong cantik rupawan Beng-lothay amat girang, segera dia tarik tangannya, katanya dengan muka berseri: "Ah Cau, ternyata kau sudah berkeluarga. sekarang aku boleh lega hati." tiba2 bercekad hatinya, tanyanya: "Nona Siang, kau berasal dari mana?"

Siang Ceng-hong memanggil "bibi" lalu berkata tawar: "Sejak kecil aku dibesarkan di Siang-keh-po di Hou-loan-san, ayahku adalah Siang Kian-thian, bibi tentunya pernah dengar nama ayahku, Kini aku punya rumah tak bisa pulang, Cau-ko membawaku kemari untuk minta perlindunganmu."

Ternyata setelah patah hati, selama ini Siang Ceng-hong mengikuti Beng Cau dan rela dipersunting begitu saja. Namun sebagai putri dari seorang tokoh besar merendahkan derajat menikah dengan Beng Cau, betapapun hatinya merasa direndahkan, begitu bertemu Beng-lothay justru menyinggung "nona Giok" lagi, sudah tentu dia lebih kurang senang.

Sudah tentu Siang Ceng-hong tidak tahu apa alasan Beng- lothay menyinggung nona Giok (maksudnya San San), sekarang perlu kami jelaskan disini. bahwa ayah Beng Cau dan ayah Giok San-san adalah satu kolega yang bekerja dalam satu Piaukiok.

Hubungan mereka amat intim, setelah usia menanjak tua sama2 mengundurkan diri, akhirnya mereka menetap bertetangga. Waktu itu Beng Cau dan San San masih kecil, namun sanak kadang dari kedua keluarga sudah anggap kelak mereka bakal menjadi suami istri.

Beng dan Giok sama2 punya maksud lagi, soalnya mereka masih kecil maka kedua orang tua ini belum mengikat-nya secara resmi.

Ayah Beng Cau adalah kakak sepupu suami Beng-lothay, namun haluan hidup kedua saudara ini berlainan, yang satu jadi piausu sang adik menjadi begal besar.

Satu diutara yang lain diselatan, selama puluhan tahun jarang mereka bertemu, Kira2 empat belas tahun yang lalu mereka bertemu yang terakhir kali, tak lama kemudian engkoh Beng Tin atau ayah Beng Caupun meninggal, dua tahun kemudian Giok-lothau (ayah Giok San-san) juga mengalami bencana dan terbunuh. Dalam pertemuan terakhir Beng Tim pergi bersama istrinya, maka merekapun ada bertemu dengan Giok San-san.

Semula Lam-san-hou adalah begal besar yang malang melintang didaerah utara, suatu ketika dia merampas barang kawalan Beng dan Giok, meski dia berhasil namun Lam-san- hou juga tersambit sebatang senjata rahasia.

Setelah Beng dan Giok pensiun, Lam-san-hou masih tidak melupakan sakit hatinya, dia meluruk ke desa dimana Giok- lothau mengasingkan diri waktu itu ayah Beng Cau sudah meninggal tapi rumahnya ikut terbakar habis.

Oleh karena itu terpaksa Beng Cau menjadi gelandangan Kangouw, belakangan diterima di Siang-keh-po menjadi pembantu rumah tangga sebaliknya kuatir kerabat Piauhang sama menuntut balas kepadanya, Lam-san-hou lantas lari ke Kanglam, tetap melakukan usaha gelapnya.

Dalam pada itu setelah mengetahui asal usul Siang Ceng- hong, sungguh girang dan kaget benar, Mimpipun Beng-lothay tidak pernah membayangkan bahwa keponakannya bakal mempersunting putri Siang Kian-thian yang begitu tenar dan berwibawa dikalangan Kang-ouw dengan Siang-keh-ponya yang jaya pula.

Dia pun heran mendengar Siang Ceng-hong bilang "punya rumah tak bisa pulang", saking kesenangan dan keheranan pula, mulutnya sudah terbuka, namun tak kuasa melanjutkan kata2nya lagi, soalnya nama Siang-keh-po memang terlalu besar, betapapun hatinya amat diluar dugaan.

"Kongsun Ki membunuh cicinya dan merebut kekuasaan di Siang-keh-po, terpaksa aku bawa dia lari kemari, bibi tidak usah kuatir." Beng Cau tidak mengatakan apa yang sebenarnya.

Beng-lothay kejut2 girang, batinnya: "Titji menikah dengan putri gembong iblis, entah akan membawa rejeki atau bencana? Apapun yang akan terjadi, peristiwa ini merupakan kejadian yang mengangkat gengsi keluarga Beng kita." rasa bangga mengatasi rasa kuatiran dan ketakutan, setelah tenangkan diri Beng-lothay segera berteriak:

"Thing-ji, keluarlah menemui Engkoh dan Ensomu. Nona Cin, kau adalah putri angkatku, silakan keluar untuk berkenalan Haha, Sat-lotoa, Khing-siangkong, semua harap keluar, keluar, keluarga nenek tua malam ini kumpul kembali, kalian harus ikut merayakan minum sepuasnya."

Jantung Khing Ciau berdetak keras, sudah tentu dia tidak habis mengerti kenapa Siang Ceng-hong menikah dengan Beng Cau. Tapi itu lebih baik dari pada dia tertipu oleh Kongsun Ki, Namun dia harus keluar menemuinya tidak? Sulit dia berkeputusan, karena ragu2 kakinya jadi berat untuk keluar.

Melihat mukanya pucat dan badannya limbung Cin Long- giok amat kaget. Dikiranya kondisi badan Khing Ciau memang lemah setelah mengalami pertempuran tadi, lekas dia memapahnya, tanyanya lirih: "Piauko, kenapa kau?"

Mendengar Beng-lothay menyinggung "Khing-siang-kong" semula hati Siang Ceng-hongpun kaget, dilihatnya Khing Ciau sedang maju mundur diambang pintu, disampingnya Cin Long- giok sedang memapahnya, seketika bertaut alisnya, katanya tertawa dingin: "Khing-kongcu kau takut melihat aku? Keluar!"

Sudah tentu ucapan Siang Ceng-hong membuat hadirin kaget Siang Ceng-hong beranjak maju sambil tertawa cekikikan: "Bagus sekali, sungguh amat kebetulan, Khing- kongcu dan nona Giok sama2 disini!" Beng-lothay ter-heran2, selanya: "Dia bukan nona Giok, nona Cin putri pungutku."

"Ah, maaf, maaf!" ujar Siang Ceng-hong berdiri dihadapan mereka sambil mengamati dengan pandangan menghina dan sikap mencemooh.

"Khing kongcu sudah tukar seorang kekasih yang lain, semula kukira nona Giok San-san adanya. Nona Cin, harap kau tidak berkecil hati." agaknya Siang Ceng-hong sengaja hendak mengolok2 dan menghina Khing Ciau dihadapan umum, sekaligus untuk melampiaskan penasaran hatinya.

Berubah air muka Beng-lothay, katanya dengan gemetar: "Mantu keponakan, kau kenal Khing-kongcu ini? Apa sih hubungannya dengan keluarga Siang kalian? Tadi dia menggunakan Tay-yan-pat-sek, namun Khing-kongcu bilang tiada sangkut paut dengan keluarga Siang kalian."

"Tiada sangkut paut? Akulah yang mengajar Tay-yan-pat- sek itu kepadanya! Bibi, tak perlu menegakkan alis, melotot mata, hubunganku sama dia, keponakanmu tahu amat jelas. Sejak tahu dia punya nona Giok, aku lantas putuskan hubunganku sama dia, Keponakan mu tahu akan hal ini baru dia melamar kepadaku, kalau tidak masakah aku bisa jadi menantu keponakanmu?"

Sudah tentu pengakuan Siang Ceng-hong membuat suasana menjadi runyam, Beng-lothay amat gusar, batinnya: "Kalau keponakanku kawin sama nona Giok, keluarga Beng kita tak usah terhina dan membuat aku gusar melulu. Hm, semua gara-gara perbuatan bocah she Khing ini yang merebut nona San San, sekaligus membuat celaka keponakanku."

Dihadapan menantu keponakannya yang baru, orang adalah putri Siang Kian-thian sigembong iblis yang disegani lagi, maka Beng-lotohay tidak berani umbar adatnya meski gusarnya bukan main, Maka rasa amarahnya segera dia tumplek kepada Khing Ciau, katanya dingin kepada Khing Ciau dengan muka kaku:

"Khing-kongcu, Piau-moaymu adalah putri pungutku, kau sebaliknya bukan sanak bukan kadang dengan aku, selanjutnya tak usah kau datang kerumah keluarga Beng kami."

Sekilas Khing Ciau melengak, katanya dengan gusar: "Baik, aku segera berlalu, Piaumoay, kau..."

Betapa sedih hati Cin Long-giok, katanya dengan gemetar: "Bu dalam hal apa Piauko berbuat salah terhadapmu?

Martabat dan karakter Piauko cukup kukenal, dia..." sulit juga dia membeber persoalan sebenarnya dihadapan orang hanyak.

Agaknya semakin memuncak amarah Beng-lothay, katanya sengit: "Nona Cin, kau suka terhadap Piau-komu, akupun tidak akan menahanmu bila kau hendak ikut dia. Tapi. aku demi kebaikanmu, kuharap kau berpikir sebelum bertindak."

Siang Ceng-hong menjengek dingin: "Dia suka gelandangan yang romantis ini, bibi, buat apa kau melelahkan lidah membujuk dia."

"Huuaah!" sekumur darah meyembur keluar dari mulut Cin Long-giok, Khing Ciau gusar: "Kenapa kalian memaksanya begini rupa? Piaumoay, haturkan terima kasih kepada ibu pungutmu, segera kita berlalu,"

Melihat Cin Long-giok muntah darah, Beng-lothay rada menyesal, namun untuk menahan gengsi, lahirnya tetap bersikap kaku dingin tanpa bersuara sepatah katapun.

Sat-lotoa segera tampil kedepan: "Beng-socu, kenapa harus begini? Berilah sedikit kelonggaran, supaya kelak ada kesempatan untuk berkumpul lagi." "Sat-Iotoa, kau pernah menanam budi kepada suamiku, aku berterima kasih kepadamu, Tapi urusan keluarga Beng kami tidak suka dicampuri orang luar."

Melihat Beng-lothay terlalu berkukuh, apa lagi perlu segera kembali kepenginapan, segera Sat-lotoa berkata: "Socu, kalau demikian, biarlah aku pamitan saja."

Khing Ciau menyeka darah yang meleleh diujung mulut Cin Long-giok, katanya: "Piaumoay, masakah bisa kau tetap tinggal ditempat ini?"

Agaknya Cin Long-giok sudah berketetapan, segera dia sisihkan tangan Khing Ciau, katanya: "lbu, banyak terima kasih akan rawatan dan asuhanmu selama setengah bulan ini, Budi luhurmu, selama hidupku takkan pernah kulupakan." lalu dia berlutut menyambah kepada Beng-lothay.

Sungguh marah, dongkol dan getir serta haru pula hati Beng-lothay, namun dia berpaling muka tidak terima penghormatan besar ini.

Sat-lotoa tiba2 berkata pula: "Beng-socu, bagaimana keputusanmu mengenai Lok-lim-cian ini?"

Dalam suasana serba runyam ini Sat-lotoa tiba2 menyinggung soal yang tiada sangkut pautnya dengan keadaan, dengan uring2an Beng-lothay lantas cabut panah itu, katanya:" Untuk apa kau tanya hal ini?" hampir saja dia hendak putus panah itu menjadi dua.

"Beng-socu, kau tidak mau terima, berikan saja kepadaku."

Beng-lothay melengak, tanyanya: "Kau ingin menerima panah ini?"

"Kau tidak mau biar aku yang terima, anggap aku yang terima kebaikanmu, bukankah urusan beres?" Memangnya Beng-lothay belum sempat membalas budi kepadanya, kini orang menginginkan panah ini, maka dia lantas serahkan, Tanpa bertanya apa maksud dan tujuannya.

"Terima kasih, banyak terima kasih, Beng-socu, putri pungutmu sudah lama berlutut." ternyata sebelum mendapat restu dari ibu pungutnya Cin Long-giok tetap berlutut dilantai tak berani berdiri.

Beng-lothay sadar akan sikapnya yang rada keterlaluan akhirnya dia menghela napas serta memapah Cin Long-giok bangun, katanya: "Nona Cin, kau sendiri suka menempuh jalan hidupmu, akupun tak bisa memaksamu, Penyakitmu belum sembuh seluruhnya, jagalah dirimu baik2."

Ber-kaca2 mata Cin Long-giok, katanya: "lbu, kaupun jagalah dirimu baik2."

Sat-lotoa gelak2, ujarnya: "Tiada perjamuan yang tak bubar, nah, hayolah pulang!" waktu itu hari sudah remang2 menjelang terang tanah, kuatir Sin Gi-cik menunggu dengan gelisah, Sat-lotoa ter-buru2 hendak pulang, maka dia sudah melangkah keluar.

Baru saja Khing Ciau hampir keluar dari ruang tamu, Beng Cau tiba2 mengadang didepannya: "Tunggu sebentar!" katanya menyeringai dingin.

"Beng-toako." kata Khing Ciau tertegun, "Kau ada petunjuk apa?"

Pada saat itu tiba2 terdengar suara suitan panjang di luar sana Sat-lotoa kaget karena dia kenal itulah suitan adiknya, sebelumnya mereka sudah berjanji bila mengalami sesuatu, gunakan suitan untuk minta bantuan, Sat-lotoa segera berkata:

"Khing-kong-cu. urusan yang tidak begitu penting biarlah dibicarakan kelak saja." sudah tentu tak terpikir olehnya bahwa Beng Cau sengaja hendak mencari perkara kepada Khing Ciau.

Dengan mengembangkan Ginkang Sat-lotoa segera lompat naik kepagar tembok, dia kira Khing Ciau akan membuntuti dibeiakangnya, siapa tahu Beng Cau justru tak mau lepas orang pergi.

"Tidak berani. tidak berani." ujar Beng Cau sambil menyilangkan kedua tangan, "Beng Cau mohon Khing-kongcu memberi petunjuk barang satu atau setengah jurus"

"Buat apa kau cari gara2? Maaf aku tak bisa iringi keinginanmu."

"Cari gara2 apa? Memangnya kau lupa pernah memukulku sekali di Siang-kek-po dulu? Kebetulan hari ini bersua dan ada kesempatan, masakah kau tidak sudi memberi petunjuk pula kepadaku? Hm, mau atau tidak kau harus rasakan dulu kepelanku!"

"Beng-toako, anggaplah memang aku yang salah waktu itu, biar aku mengaku kalah dan mohon maaf kepadamu!"

"Aku tidak perlu kau minta maaf? Kau tak usah takut, kami hanya jajal kepandaian saja, sekali pukulan kubalas sekali pukulan pula, aku tidak akan mencabut jiwamu." pelan2 kedua telapak tangannya didorong kedepan, ternyata dia bergerak dan menyerang lebih dulu kepada Khing Ciau.

"Beng-toako terlalu memaksaku siaute terpaksa menurut saja." apa boleh buat Khing Ciau gerakan sebelah telapak tangannya menggaris bundar terus ba-las menyerang.

Sejak menikah dengan Siang Ceng-hong, Beng Cau sudah berhasil menipu Tay-yan-pat-sek dan Lwe-kang murni dari kedua ilmu beracun itu, sudah tentu kepandaiannya maju pesat meski latihannya belum lama, namun bicara soal pupuk dasarnya masih kalah kuat dari Khing Ciau. Sayang Khing Ciau sedang ter-luka, Lwekangnya banyak berkurang, maka keadaan mereka sekarang kira2 berimbang.

"Blang" kedua telapak tangan beradu, Beng Cau tersurut tiga langkah, Khing Ciau hanya tergeliat se-dikit Siang Ceng- hong segera memberi petunjuk: "Atasi kekurangan lawan dengan keahlian sendiri Dulu cara bagaimana kau dikalahkan, dengan cara itu pula kau harus menang sekarang."

Dengan menghardik keras Beng Cau menubruk maju pula, kiri kepelan kanan telapak tangan, gerakan tangannya mengeluarkan deru angin keras, tangan kanan menyerang muka, kepelan kiri menggenjot lambung Khing Cau kembangkan Sip-hun-pdu-hoat, berkelit sambil balas menyerang, tak kira Beng Cau seperti sudah mengira gerakannya ini, kepelannya hanya menggertak, se-konyong2 kedua kakinya serempak menendang secara berantai, sasarannya tepat kearah mana Khing Ciau menyingkir.

Sebat sekali Khing Ciau miringkan badan telapak tangan menyisir lutut orang, maka tendangan lawan menyerempet lewat dari samping ketiaknya, meski tidak kena dengan telak rasanya panas pedas juga, pukulan tepak tangan susulan Beng Cau kebetulan bentrok pula dengan telapak tangannya.

Kali ini Khing Ciau memukul sambil berkelit, maka kedudukan kakinya kurang kokoh, gilirannya sekarang tersurut tiga tapak, sementara Beng Cau hanya tergeliat saja.

Mendapat angin Beng Cau tidak memberi peluang kepada lawannya, serangannyapun tidak kenal kasihan lagi, belum  lagi Khing Ciau berdiri tegak, kembali dia menubruk maju. permainan jurus2 silatnya mendapat petunjuk langsung dari Kongsun Ki, sekaligus dia kombinasikan Hu-hou-kun (kunthau menaklukkan harimau) dengan Yen-yan-lian-hoan-tui kepalannya memukul keutara, tahu2 kakinya menendang keselatan, bergerak menurut posisi Pat-kwa-ngo-hing, gerakan tangan dan kaki justru selalu berlawanan, peduli kemanapun Khing Ciau menggeser kedudukan, selalu dia dibentur dan dihadang oleh kaki tangan Beng Cau.

Berarti setiap jurus permainan Beng Cau selalu mengatasi dirinya lebih dulu.

"Bluk" dalam pertempuran sengit itu tiba2 Khing Ciau kena sekali hantaman Beng Cau. Dengan tertawa congkak Beng Cau mengolok2: "Nah tahu kelihayan-ku belum? Mengaku kalah tidak?"

Khing Cau kertak gigi, "Wut, wut" dua kali dia lontarkan pukulan, dengan rasa gusar yang memuncak, meski tenaganya hampir habis, tak urung lawan didesak mundur juga.

Cin Long-giok amat kuatir, teriaknya dengan suara gemetar: "Piauko- kau, biar kau..." belum lenyap suaranya, Beng Cau sudah merangsak maju pula.

"BIang" telak sekali kakinya menendang punggung Khing Ciau sampai sempoyongan hampir roboh, kedua biji matanya merah menyala, serangan tendangan berantai Beng Cau kaki kiri tepat mengenai sasaran, tahu2 kaki kanan sudah menendang tiba pula, Khing Ciau memuntahkan darah segar, tanpa berkelit sekali hantam dia pukul lutut kaki kanan orang, melihat kemenangan dipihaknya, Beng Cau tidak mau main secara kekerasan lagi, dengan Cap-cu-pai-lian, ujung kakinya menggaris bundar terus ditarik balik, permainan pukulan Khing Cau memang terlatih baik. namun gerak gerik kakinya kurang tangkas, tabasan telapak tangannya hanya sedikit menyerempet dengkul orang saja, Tapi Beng Cau toh rasakan kakinya panas dan sakit.

Beng Cau semakin murka, damratnya: "Baik, kau bocah ini keras kepala, Blar kuhajar kau sampai berlutut minta ampun." segera kaki tangan dia kerjakan bersama, laksana hujan badai mencecar dengan gencar, serangannya jauh lebih ganas dan keji. Cin Long-giok tahu watak keras Piaukonya, betapapun dia takkan mau menyerah kalah, terpaksa dia menahan malu dan terhina memohon kepada Beng-lothay: "Beng-toako bilang membalas sekali pukulan, kini dia sudah menghantam dan menendang."

Memang Beng-lothay juga merasakan perbuatan Beng Cau rada keterlaluan, namun waktu dia melirik dilihatnya Siang Ceng-hong juga mengunjuk rasa kuatir dan kebingungan terang dia masih punya rasa cinia terhadap Khing Ciau, seketika timbul pula amarahnya. Maka dengan muka membesi kaku dia tidak hiraukan ratapan Cin Long-giok

Mendadak Beng Cau membentak: "Hayo kau berlutut!" dengan sejurus Ban-klong-sia-tiau (menarik busur memanah rajawali), kedua lengannya terpentang, kedua tangan Khing Ciau sudah terkunci olehnya sehingga tidak bisa membela diri pula, berbareng kakinya lantas menendang lutut Khing Ciau.

Dasar berjiwa sempit, karena dengkul sendiri terserempet oleh tabasan tangan Khing Ciau tadi, kini sengaja dia hendak tendang tulang lutut Khing Ciau sampai remuk biar orang berlutut dengan kesakitan.

Dengan menjerit kaget dan kuatir, Cin Long-giok segera lompat maju hendak menarik Khing Ciau, Se-konyong2 terdengar suara seorang perempuan berkata: "Khing- siangkong, jangan kau takut orang ini tidak kenal aturan, biar kusuruh dia menyembah kepadamu!" datang suaranya tiba pula orangnya, maka terdengar "bluk!" yang jatuh berlutut ternyata memang Beng Cau. Tahu2 Hiat-to didengkulnya kena tertutuk oleh gadis yang baru datang ini, tanpa kuasa kontan dia berlutut dan menyembah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar