Pendekar Latah Bagian 15

 
Bagian 15

Untung latihan Kongsun Ki baru mencapai tingkat kelima, jikalau latihannya lebih maju pada tingkat yang lebih tinggi lagi, tempat yang kena tabasan telapak tangannya, kadar racunnya akan cepat sekali menjalar dalam satu jam sang korban akan menjadi manusia kering layu, betapa ngeri kematiannya, sungguh sukar dilukiskan.

Suhu Hong-lay-mo-li Kongsun In adalah maha guru silat yang berkepandaian maha tinggi berpengalaman luas dan berpengetahuan mendalam, meski dia tidak tahu cara latihan Hoa-hiat-to, namun dia cukup paham akan seluk beluk pukulan beracun ini, maka dia pernah memberi penjelasan kepada Hong-lay-mo-li bagaimana untuk menolong seorang yang menjadi korban pukulan Hoat-hiat-to.

Walau kaget, namun setelah memeriksa luka2 tangan laki2 itu, lega juga hati Hong-lay-mo-li karena latihan Kongsun Ki belum matang, maka luka2 ini tidak sukar untuk disembuhkan, katanya: "Untung Lwe-kangmu cukup tinggi, Hoat-hiat-to paling hanya melukai telapak tanganmu saja, belum sampai menjalar naik, Gunakan hawa murni dari pusar disalurkan melalui Siau-yang-king-meh terus ke Koan-goan-hiat di-ujung pergelangan tanganmu, beruntun berputar tiga kali, sehingga darah baru menjebol darah mati yang membeku, Nona Sia, mari coba kau ikut membantu." Hong-lay-mo-li dan Lian Ceng- sia masing2 salurkan Lwe-kang mereka bantu memperlancar hawa murni untuk mengobati luka-luka itu.

Lwekang mereka berdua cukup tinggi, ditambah Lwekang si laki2 sendiri, kira2 setengah sulutan dupa, darah segar ternyata berhasil tersalur ketelapak tangan, dengan pedangnya Hong lay-mo-li mengiris jari tengah orang sehingga darah beracun terdesak keluar, rumput hijau yang ketetesan darah beracun itu seketika menguning dan layu kering. Tak tertahan Lian Ceng-sia dan laki2 itu tersirap kaget dan meleletkan lidah.

"Darah beracun sudah terdesak bersih, selanjutnya kau perlu istirahat dan memulihkan tenaga, Makan-lah obat2an yang membantu memulihkan tenaga supaya kesehatanmu lebih sembuh, Dan lagi dalam jangka satu bulan, jangan kau gunakan tangan kanan ini bertempur atau mengangkat benda berat."

Laki2 itu amat berterima kasih, katanya: "Liu Li-hiap, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus membalas budimu!"

"Ah, kenapa sungkan, teman baikmu Bu-lim-thian-kiau malah pernah bantu aku mengalahkan Ki-lian lo-koay, Em, aku sampai lupa belum tanya nama kalian."

"Aku she Jilian bernama Ceng-sia, dia ini adalah Piaukoku she Yalu bernama Hoan-ih."

"O, kau she Jilian? jadi kau orang Liau, bukan orang Kim? Dikalangan Kangouw ada gadis yang bergelar Giok-bin-yau- hou, namanya Liau Ceng-poh, dia... dia adalah..."

Lian Ceng-sla tahu apa yang hendak ditanyakan oleh Hong- lay-mo-li, katanya dengan muka bersungut sedih: "Dia itu adalah Toaciku, Jilian adalah she khusus bagi suku bangsa Liau kita, gampang menarik perhatian orang, kami sendiri tidak suka dipandang sebagai rakyat buangan dari negeri yang sudah runtuh (negeri Liau dicaplok negeri Kim), Kebetulan orang Han kalian ada she Lian, maka setiap kali berhadapan dengan orang yang tidak kenal, kami lantas menggunakan she Lian," berhenti sebentar, dia melanjutkan lebih rikuh:

"Sejak kecil aku tak pernah bertemu dengan Toaci, akupun tahu beberapa tahun belakangan ini sepak terjangnya amat tercela, salah satu sebab kenapa aku sampai menyelundup ke Kanglam ini, adalah hendak mencari Toaci, Liu Lihiap, malam itu begitu berhadapan sama aku kau lantas menyerangku, aku tahu tentu kau mengira aku adalah Toaci. Waktu itu aku belum kenal kau, keburukan keluarga tak enak diketahui orang luar, maka aku tidak memberi penjelasan kepadamu."

"Banyak persoalan yang ingin ku tanya kepadamu, Cuma Yalu-toako perlu cari tempat untuk istirahat."

"Memang banyak omongan yang perlu kubicarakan dengan kau, marilah kau ikut ke tempat tinggalku sementara." lalu dipapahnya Yalu Hoan-ih dan berjalan didepan menunjuk jalan, tak lama kemudian Hong-lay-mo-li dibawa masuk kedalam sebuah gua.

Gua ini cukup lebar dan bersih, dilantai digelar dua selimut lebar yang tebal, agaknya mereka berdua sudah beberapa hari menetap disini.

"Bukankah kalian bersama Hoa Tayhiap Hoa Kok-ham?

Kemana dia?" tanya Hong-lay-mo-li sesaat kemudian

"Hoa Tayhiap pergi mencari kau, dia menuju ke Ling-an."

"Adakah dia pernah bilang apa2 terhadap kau?"

"Katanya cici adalah ksatria perempuan jaman ini, dia amat kagum terhadap cici, Dulu kalian pernah bertemu?"

"Pernah sekali, tapi belum sempat bicara."

"Sudah lama Hoa Tayhiap kenal namamu dan kagum kepadamu, Malam itu setelah aku gebrak sama kau, akhirnya diapun mengira pasti kau adanya, suruh aku bila kelak ketemu lagi tiada halangannya memberitahu duduk persoalan yang sebenarnya, supaya kau tidak salah paham lagi mengira aku ini Toaci. Cici, coba lihat, meski kau belum pernah berhadapan langsung dengan dia, tapi sejak lama dia sudah anggap kau sebagai teman karibnya."

Merah muka Hong-lay-mo-Ii, katanya: "Malam itu kau ikut dia menyelidik ke Jian-liu-cheng, adakah dia mengatakan apa2? Umpamanya asal usul Liu Goan-ka, adakah dia menyinggungnya?"

"Aneh kalau begitu, malam itu dia ajak aku pergi ke Jian- Iiu-cheng, kukatakan buaya darat berulang tahun ada apanya yang patut ditonton, katanya Chengcu she Liu ini mungkin bukan hanya buaya darat biasa, maka dia perlu kesana menyelidiki seluk beluknya, Cici, sekarang kau juga menanyakan hal ini, tentunya kau ada tahu sedikit persoalannya, sebetulnya orang macam apakah Liu Goan-ka- itu?"

"Liu Goan-ka adalah Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, sudah tentu dia bukan buaya darat seperti tuan tanah umumnya."

Yalu Hoan-ih menimbrung: "Bukan saja begitu, malah diapun bersahabat baik dengan Koksu negeri Kim, Kelak bila pasukan besar negeri Kim menyebrang sungai, kemungkinan dia akan bergerak dari dalam di Kanglam."

Bercekat hati Hong-lay-mo-li, tanyanya "Apa kau mendapatkan sesuatu bukti?"

"Malam itu dia sambut dan melayani Kim Cau-gak sedemikian rupa, tentunya Liu Lihiap juga melihatnya sendiri, memangnya itu bukan bukti?"

Kehadiran Kim Cau-gak dalam perjamuan ulang tahun Liu Goan-ka sudah dijelaskan kepada Hong-lay-mo-li, tapi mendengar tuduhan Yalu Hoan-ih ini bertambah juga ganjelan dalam hatinya. "Yalu-ciangkun, bukankah kau adalah seorang perwira dari negeri Kim, namun dari nadamu bicara, agaknya kau bantu Song melawan Kim malah?" tanya Hong-lay-mo-li.

"Negeri Liau kita dicaplok oleh Kim, meski aku ini tidak becus, memangnya sudi terima diperbudak oleh musuh? Bahwa aku menjadi perwira tinggi hanya untuk mencari kesempatan belaka, disana aku sudah cukup mendapat kepercayaan, terus terang kedatanganku ke Kanglam kali ini, adalah mendapat tugas rahasia dari jendral Wanyan Tho untuk menyelidiki situasi kemiliteran disini, Haha, disinilah kesempatanku menuntut balas, kalau pulang nanti akan kuberikan laporan palsu, supaya pasukan Kim gagal total!"

Timbul rasa hormat dan simpatik Hong-iay-mo-li, katanya: "Ternyata Yalu-ciang-kun ada mengemban tugas yang begitu mulia, hari itu hampir saja aku menggagalkan urusan besarmu, sungguh harus disesalkan."

Lalu Hong-lay-mo-li berpaling kepada Jillan Ceng-sia, tanyanya: "Giok-bin-yau-hou adalah Toacimu, apakah kau masih punya saudara lain?"

"Ya, aku masih punya, Ji-ci bernama Ceng-hun." "Apa dia bergaman seruling?"

"Ya, kami bersaudara masing2 menggunakan alat senjata yang berbeda, Toaci pakai pedang, Ji-ci pakai seruling, sedang aku menggunakan golok bulan sabit ini, jadi kan pun pernah bertemu dengan Ji-ciku?"

"Pernah sekali melihatnya dirumah Susoku, waktu itu dia datang bersama Bu-lim-thian-kiau. Malam itu suheng hendak meracun Suso, untung mendapat pertolongan mereka." lalu dia tuturkan kejadian waktu itu, Serta bagaimana Kongsun Ki bersekongkol dengan Giok-bin-yau-hou, akhirnya berhasil membunuh Siang Pek-hong. Jilian Ceng-sia tertunduk, katanya prihatin: "Toa-ciku membunuh Susomu, aku, aku ikut bersedih dan berduka!"

"Perbuatan jahat cicimu apa sangkut pautnya dengan kau? Aku cuma tidak paham, kalian dua kakak beradik begitu baik, kenapa Toa-cimu justru jauh berbeda."

"Liu-cici, kau sudah menolong jiwa Ih-ko, selanjutnya aku tidak perlu pandang kau sebagai orang luar, baiklah biar kuceritakan riwayat hidup kami kepadamu, sekarang aku akan mulai dengan sebuah cerita."

"Kira2 empat lima puluh tahun yang lalu, dalam negeri Kim terdapat seorang tokoh silat yang aneh perangainya, ayahnya adalah orang Kim, ibunya orang Song sedang istrinya adalah orang Liau, Tatkala itu negeri Kim, Song dan Liau masing2 bercokol pada posisi negerinya masing2 dan saling gempur dan serang, hati beliau jadi amat sedih, saking patah semangat akhirnya dia mengundurkan diri naik keatas gunung mengasingkan diri dari kebisingan dunia, Beruntun.dia menerima tiga orang murid, Murid pertama orang Kim, kedua adalah orang Song dan ketiga adalah orang Liau, ketiganya dia pandang rata, tidak dibeda2-kan pribadi atau asal usulnya, menurut bakat ketiga murid2nya itu, dia memberi ajaran silatnya yang tiada taranya..."

Cerita ini Hong-lay-mo-li pernah dengar dari penuturan Bu- lim-thian-kiau, cuma masih belum tahu ada sangkut paut apa cerita ini dengan keluarga Jiliau, Maka ia bertanya: "Murid bangsa Kim dari tokoh aneh itu adalah guru Bu-lim-thian-kiau murid bangsa Song adalah ayah Susoku, yaitu Siau Kian- thian."

"O, jadi kau sudah tahu akan cerita ini?"

"Tidak, belum jelas seluruhnya, Murid orang Liau, aku masih belum tahu siapa dia." "Beliau adalah ayahku."

Hong lay-mo-li merasa diluar dugaan, "O, jadi kau dan Bu- lim-thian-kiau serta Susoku berasal dari satu aliran perguruan, Ya, jadi kalian bukan orang luar."

Jilian Ceng-sia manggut2, katanya: "Ayahku belakangan menjadi komandan tertinggi Gi-lim-kun dari negeri Liau, tahun dimana negeri Kim mencaplok negeri Liau kita, Toaci berusia tujuh, Ji-ci lima dan aku baru tiga tahun. Ayahku bersumpah membela negara sampai ajal, sebelumnya dia menyingkirkan istri dan putrinya, seorang diri dia mempertahankan serbuan musuh diibu kota.

Pasukan Kim terlampau besar dan kuat, kota raja akhirnya pecah dan diduduki musuh, meski ayah membekal kepandaian sakti, betapapun seorang diri tak kuat melawan serbuah musuh yang begitu banyaknya, harus dikasihani sehari semalam beliau mempertahankan diri dengan mandi darah, entah berapa ratus Busu2 negeri Kim dibunuhnya, akhirnya beliaupun kehabisan tenaga dan gugur dibawah hujan panah musuh."

"lbu membawa kami tiga bersaudara pulang ke-kampung halaman, jaman sedang geger, jalanan tidak aman, suatu ketika Toaci terpisah ditengah jalan dan menghilang, Bersama Jici kami bertiga menyembunyikan diri diatas gunung, begitulah dari kecil ibu mengasuh dan mendidik kami dengan banting tulang, siang belajar ilmu silat, malam mengajar kami membaca, kamipun diperingatkan untuk tidak lupa menuntut balas bagi keruntuhan negara, disamping tidak lupa menemukan Toaci kembali. Kasihan beliau dihinggapi penyakit berat, bekerja berat dan memeras hati lagi, belum lagi dendam negara terbalas, sebelum Toaci diketemukan, pada permulaan musim semi tahun ini beliau tak tertolong lagi dan meninggal dunia."

"Setelah kami berdua mengebumikan ibu, kami sudah berencana untuk turun gunung mencari cici, kebetulan seseorang yang membawa kabar berita mengenai Toaci datang berkunjung kerumah kita."

"Apakah orang ini adalah, adalah Siau-go-kan-kun?" "Bukan, adalah Bu-lim-thian-kiau. Dia mendapat tahu

alamat tinggal kami dari Ih-ko."

Yalu Hoan-ih segera menimbrung pula: "Keluarga kami merupakan sanak kadang yang masih dekat. Ayahnya adalah Komandan Gi-lim-kun, ayahku adalah wakiinya, Bukan hanya untuk membalas dendam negara saja kami pura2 menyerah dan terima diperbudak oleh musuh, sayang sejak ayah masih hidup sampai jabatannya kupegang sekarang cita2 itu belum terlaksana.

Tempat tinggal keluarga adik Sia yang tersembunyi itu hanya aku dan ayah saja yang tahu, setiap tahun aku pasti beberapa kali naik kegunung menjenguk mereka, kuberitahu apa2 yang terjadi diluaran. Tiga tahun yang lalu ayahku meninggal, jabatannya diwariskan kepadaku, terpaksa aku tidak bisa bergerak se-bebas dulu meninggalkan jabatan, saudara tua sepupu Bu-lim-thian-kiau yaitu Tam To-liong adalah atasanku, setelah aku menduduki kedudukanku, maka akupun lantas berkenalan sama dia. Lama kelamaan kami satu sama lain dapat mengetahui isi hati masing2, kalau aku hendak membangun kembali negeriku, sebaliknya dia hendak menolong negeri Kim dari jurang nista dan keruntuhan. Meski cita2 kami berlainan tapi kami sehaluan untuk merobohkan kedudukan Wanyan Liang."

"Sejak itu aku bersahabat kental dengan Tam-kongcu, suatu hari kami mengobrol tentang asal usul perguruannya, katanya dia ingin mencari saudara seperguruannya, cuma dia belum tahu, dimana saudara seperguruannya dari orang Liau itu, Aku sendiri pernah melihat latihan adik Sia, cuma ilmu silatnya mendapat didikan dari ibunya, dia sendiripun tidak jelas mengenai asal usul perguruannya, hanya tahu bahwa dulu ayahnya mendapat ajaran dari seorang tokoh aneh, tokoh aneh itu ada menerima tiga orang murid dari bangsa Kim, Song dan Liau.

Mendengar uraian Tam-kongcu satu sama lain cocok, maka aku mainkan beberapa jurus ilmu silat adik Sia yang masih kuingat dihadapannya. Melihat beberapa jurus permainanku itu, Tam-kongcu lantas yakin bahwa adik Sia pasti adalah Sumoaynya, Maka aku lantas memberitahu alamat persembunyian keluarga adik Sia."

Jilian Ceng-sia lantas melanjutkan cerita: "Hari itu, dia datang kerumah kami dan berhadapan dulu dengan Ji-ci, begitu melihat mukanya dia lantas berjingkat kaget, serunya: "Kau, kau bukan Giok-bin-yau-hou?" sudah tentu Ji-ci lantas curiga, dia balas bertanya siapa Giok-bin-you-hou, mereka lantas bergebrak, barulah Tam-kong-cu sadar akan kekeliruan- nya, Ji-ci memang mirip sekali dengan Toa-ci, lebih mirip dari aku, Liu Lihiap hal ini kaupun sudah tahu."

"Setelah Tam-kongcu menjelaskan kesalahan paham ini, baru kami mengetahui kabar mengenai Toa-ci, baru kami tahu bahwa dia adalah Giok-bin-yau-hou yang busuk nama dan perbuatannya di kalangan Kangouw, lebih celaka dia malah angkat musuh sebagai ayah, betapa hati kami tidak amat pedih. Maka Ji-ci meninggalkan aku seorang diri menunggu rumah, hari kedua dia ikut Tam-kongcu turun gunung untuk mencari Toaci,"

"O, jadi Ji-cinya inilah yang menyaru jadi Giok-bin-yau-hou hendak mengorek keterangan Kongsuh Ki dan hubungannya dengan Toacinya, Tak heran percakapan mereka tempo hari satu sama lain tidak cocok sehingga suhengku merasa curiga." demikian Hong-lay-mo-li membatin.

"Kabarnya Tam-kongcu juga berada di Kanglam, Liu Lihiap, apa kau tahu dimana, jejaknya?" tanya Yalu Hoan-ih. Maka Hong-Iay-mo-K lantas ceritakan apa yang dia saksikan di Jian-liu-cheng kemaren malam.

"Sayang sekali," ujar Jilian Ceng-sia, "Ternyata Ji-ci juga berada di Jian-liu-cheng, kalau dua tiga hari yang lalu dia sudah datang, kami akan bisa bertemu disana."

"Ingin aku memberanikan diri bertanya sesuatu kepadamu, cara bagaimana kau bisa berkenalan dengan Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham Hoa Tayhiap? Bu-kankah Ji-cimu suruh kau tinggal dirumah, kenapa kau bisa kemari bersama Hoa Tayhiap?"

"Sebetulnya jauh2 hari sebelum kami berkenalan dengan Bu-lim-thian-kiau, kami sudah kenal baik dengan Hoa Tayhiap, Hal ini harus kubicarakan lebih dulu mengenai seorang Hwesio tua."

"Hwesio tua apa?" tanya Hong-lay-mo-H heran. "Dipuncak gunung tempat persembunyian kami itu.

terdapat sebuah kelenteng kuno, mungkin karena sudah terlalu lama dan tiada orang yang bersembahyang, maka kelenteng itu sudah tak terurus lagi. Belakangan datang seorang Hwesio tua yang menghuni kelenteng ini, kabarnya dia orang Han, Waktu kami pindah kesana, sudah lama dia menetap dikelenteng kecil itu. Hwesio tua ini rada aneh."

"Apanya yang aneh?" tanya Hong-lay-mo-li pula. "Selamanya dia tidak pernah keluar dari pintu, sepanjang

tahun bersamadi dikamarnya, ada seorang hwesio kecil yang mengurus segala keperluannya, waktu kecil aku paling nakal, sering aku bermain didalam kelenteng, tapi aku hanya tahu adanya Hwesio tua tanpa pernah melihat mukanya, Menurut kata Hwesio kecil beliau adalah seorang cacat, separo badannya tak bisa bergerak.

Tapi beberapa tahun kemudian penyakitnya itu lambat laun dapat disembuhkan ada kalanya aku dapat melihatnya juga didalam kamarnya, tapi selama itu dia tidak pernah buka suara, kalau bersuara paling sedang membaca mantram atau bersembahyang, sikapnya serius dan tak mau guyon2, maka aku tidak berani mengganggunya.

Walau dia tak bisa jalan, tapi raut mukanya selalu tampak berpenyakitan dengan keseriusannya itu, aku jadi takut bila berhadapan sama dia.

"Beberapa tahun kemudian, waktu itu kira2 aku berusia empat belas, mendadak ada orang luar yang datang menjenguknya, orang ini adalah seorang pemuda pelajar, begitu datang dia lantas ajak Hwesio tua itu main catur, Suseng inipun aneh tingkah laku-nya."

Hong-lay-mo-li tahu pelajar yang dimaksud tentu Hoa Kok- ham adanya, Memangnya siapakah Hwesio tua itu? Bahwa Hoa Kok-ham sering menjenguknya, tentu seorang tokoh yang luar biasa. Demikian Hong-lay-mo-li membatin dalam hati.

"Keanehan pelajar itu, sungguh sukar dibayangkan pemuda segede itu, tingkah lakunya justru seperti anak kecil, Waktu main catur, tiba2 gelak tawa, tahu2 menangis gerung2, lalu minum arak se-puas2nya dan bersenandung lagi, seperti tertawa seperti menangis membuat orang bingung dan keheranan.

Suatu hari aku menonton disamping, mereka tidak hiraukan kehadiranku salah satu biji catur si pelajar kena dimakan si Hwesio tua, mendadak dia dorong biji2 ca-turnya terus berdiri dan bertangisan dengan sedihnya, Aku jadi kasihan lekas aku maju menolong kegawatan pertahanan biji2 caturnya, Setelah mengawasi sejenak pelajar itu mendadak ter-bahak2 serta memuji langkahku yang bagus, setiap kali main catur sikap si Hwesio tidak pernah berubah, tingkah laku si pelajar yang aneh2 itu tidak pernah menjadi perhatiannya, tapi setelah aku bantu menjalankan dua langkah biji caturnya, kali ini dia bersuara: "Loceng memang sudah lanjut usia, percaturan ini memang pantas untuk dimainkan oleh kalian generasi muda!" sekali kebut dengan lengan baju dia bikin biji2 catur kocar kacir, tapi selera main catur si pelajar masih besar, segera dia tarik aku untuk menemani main sama dia.

"Begitulah, sejak itu aku lantas bersahabat dengan pelajar itu, Maka kukatakan aku suka main catur menemani dia, tapi imbalan apa yang hendak kau berikan kepadaku? Agaknya si pelajar keheranan, dengan tajam dia awasi aku, katanya: "Kau tahu aku ini siapa? imbalan apa yang kau inginkan?" kukatakan

"Aku tahu kau seorang terpelajar, setiap hari ibu suruh aku mengerjakan pelajaran kalau aku teman kau main catur, pelajaranku terpaksa terbengkelai, begini saja, setiap kali aku temani kau main catur, sukalah kau memberikan pelajaran kepadaku." pelajar itu tertawa, katanya: "Pelajaran apa yang harus kau selesaikan hari ini?" kujawab:

"lbu suruh aku membuat syair, hari ini boleh kau buatkan dua bait syair untukku." Pelajar itu tertawa riang, katanya: "Kukira imbalan apa yang kau minta, ternyata hanya membuat syair, apa susahnya! Boleh nanti kubuatkan empat bait syair, pelajaran besok boleh kau sampaikan sekalian."

Ternyata syair buatannya itu mendapat pujian dari ibu, dikatakan aku mendapat kemajuan pesat, syairnya malah lebih bagus dari buatan cici, Karena kesenangan segera dia hendak uji aku, keruan merah dan malu aku dibuatnya, terpaksa aku bicara sejujurnya, semula ibu marah marah karena aku me- nipunya, tapi akhirnya ikut girang pula karena dipe-gunungan yang sepi ini ada orang sekolahan yang pintar, maka ibu suruh aku mengundangnya untuk makan malam Tapi beliau berpesan supaya aku tidak membocorkan asal usul kita."

Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Wah tentunya asal usul Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham diketahui oleh ibumu bukan?" "O, jadi kau sudah menduga bahwa pelajar itu adalah Siau- go-kan-kun. Dia memang pintar sekali, malah kebalikannya, ibuku tak berhasil mencari tahu asal usulnya, malah dia berhasil melihat seluk beluk kami."

Tutur Jilian Ceng-sia lebih lanjut: "Malam itu dia datang menerima undangan ibu, diluar dugaan sikap ke-gila2an biasanya tak dia perlihatkan dihada-pan ibu dia berlaku sopan santun dan genah, bersikap hormat sebagai anak muda terhadap orang yang lebih tua, ibupun menghargainya sebagai orang sekolahan mengharap petunjuknya kepada kami kakak beradik, mereka bicara dengan asyik dan cocok sekali.

"Dikatakan oleh Hoa Kok-ham dia tidak bisa menetap dirumah kami memberi ajaran, namun dia berjanji akan sering datang, maka sejak hari itu kami berdua mengangkatnya sebagai guru sekolahan, ibu lantas menghaturkan secangkir arak kepadanya, waktu aku angkat kepala seketika berjingkat kaget dibuatnya."

"Secara diam2 ibumu menjajal kepandaian silatnya?" tanya Hong-lay-mo-li.

"Dengan kepandaian Kek-bu-thoan-kang ibu mengangsurkan cangkir arak kepadanya, hendak menjajal apakah dia bisa main silat? Aku semula tidak tahu maksud ibu, keruan kagetku bukan main, sebelum aku sempat bersuara, dengan seenaknya saja Hoa kok-ham menerima cangkir itu terus ditenggaknya habis."

"Karena itu, bukankah kepandaian Lwekangnya yang tinggi sudah dia pamerkan? Kenapa kau bilang keadaan dirinya tidak diketahui oleh ibumu?"

"Hakikatnya dia tidak pernah pamer Lwekangnya, setelah dia pulang baru ibu berkata: "Hampir saja aku salah tangan melukai Hoa-sjansing, ternyata dia benar2 tidak bisa main silat." aku kebingungan dan tanya: "Bukankah dia sudah terima cangkir arak itu?" ibu tertawa, katanya: "Kalau dia membekal Lwekang tingkat tinggi, begitu cangkir menyentuh tangannya, seketika bisa menimbulkan reaksi, akupun segera akan mengetahui.

Tapi sedikitpun aku tidak merasakan daya perlawanannya, memangnya orang mau mempertaruhkan jiwanya sendiri, oleh karena itu aku yakin dia benar2 tidak kenal ilmu silat." ternyata Lwekang ibu sudah dilatihnya sedemikian rupa, mencapai taraf yang dapat menggunakan kepandaiannya menurut jalan pikirannya, begitu saling sentuh, tahu orang tidak bisa main silat, seketika dia bisa menarik balik tenaganya, Eukan saja dia mengelabui aku, ibupun kena ditipunya mentah2."

"Lalu kapan kau mengetahui bila dia pandai main silat?" tanya Hong-lay-mo-li.

"Pada suatu hari setelah dia selesai bercatur didalam kelenteng, mungkin mendapat ilham apa yang menyenangkan hatinya sampai dia lupa diri dan mencak2 dibawah pohon, kebetulan aku sedang menangkap cengkerik dibelakang pohon, agaknya dia tidak melihat aku, maka timbul kenakalanku, sengaja aku lantas mempermainkan dia."

"Kau ini memang bocah nakal," kata Yalu Hoan-ih tertawa, "Cara bagaimana kau mempermainkan dia?"

"Aku memelintir tanah liat terus kutimpukan kepadanya secara diam2, yang kuincar adalah Hiat-to pelemas tepat dilututnya, maksudku supaya dia jatuh terjengkang, Entah sengaja atau tidak, tepat pada saat itu pula tiba2 kakinya melangkah maju, sehingga timpukanku meleset, mendengar ada suara keresekan segera dia berpaling, katanya: "Aduh, kenapa kau begini nakal? Coba lihat betapa kotor kedua tanganmu, masakah gadis perawan tujuh belasan seperti bocah kecil mainan tanah!" sudah tentu aku jadi malu dan rikuh, lekas aku lari pulang. Mendadak dia memanggilku dan berkata kepadaku dengan sikap sungguh2: "Nona Sia, setelah aku pergi, jikalau kau ada kesulitan apa2, boleh kau minta bantuan kepada Hwesio tua didalam kelenteng itu."

Aku sudah baik sekali sama dia, tak terasa rada berat juga berpisah, lekas kutanya: "Kau hendak pergi ? Kapan berangkat, kemana? Apa kau punya rumah?" baru pertama kali ini aku menanyakan persoalan pribadinya. Dia menjawab dengan sedih: "Aku datang dari mana, kemana pula aku pergi, ada rumah seperti tak berumah, empat penjuru lautan adalah saudara." setelah mengucapkan kata2 yang aneh ini, segera dia balik kedalam kelenteng.

Baru saja aku pemainkan dia, maka tidak enak banyak tanya kepadanya, Akupun langsung pulang, pikirku biar besok saja kucari dia dan mengantarnya.

"Begitu aku tiba dirumah, kebetulan ibu melihat kedatanganku kontan dia menjerit kaget dan memaki: "Budak kemproh, apa2an sih kau ini? Kenapa rambutmu kau bikin sedemikian kotor?" Semula aku hanya mengira kedua tanganku saja yang kotor, tak nyana ibu bilang rambutkupun kotor, lekas aku lari masuk kamar mengambil kaca, memang rambutku penuh ditaburi kotoran pasir! ibu segera menarik muka aku didamrat habis2an: "Se-nakal2mu, masakah rambut kepalamu kau pendam didalam pasir, siapakah yang melaburkan pasir diatas kepalamu?" sekian lama aku melenggong, diatas gunung kecuali Hog Kok-ham, bahwasanya tidak pernah bertemu dengan orang lain, kontan aku berteriak.

"Pastilah Hoa-siansing" bergegas aku menuju ke kelenteng itu untuk mencari dia, namun dia sudah pergi, sementara Hwesio tua itu sudah semadi didalam kamarnya, menurut Hwesio kecil katanya Hoa Kok-ham baru saja berangkat.

"Dari peristiwa inilah aku dan ibu baru sadar bahwa Hoa Kok-ham ternyata membekal kepandaian silat tingkat tinggi, ibu amat menyesal akan kecupatan pandangannya kenapa waktu itu tidak dapat tahu.

Akupun di omelinya, katanya tidak pantas aku menimpuknya dengan tanah liat, sehingga membocorkan keadaan kami yang sebenarnya. Tapi ibu yakin dan percaya penuh bahwa Hoa Kok-ham pasti seorang baik, dia pasti tidak akan sembarang membicarakan keadaan kami diluaran.

"Dalam hati aku justru selalu teringat akan pesan Hoa Kok- ham, dia suruh aku bila menemukan kesulitan pergi minta bantuan Hwesio tua didalam kelenteng, Apakah maksudnya ini? Aku bakal punya kesukaran apa? Hwesio tua itu tanpa- daksa seperti orang setengah mati setengah hidup, apa pula yang dapat dia bantu akan kesulitanku ?"

"Setahun lebih sudah berselang, selama ini Hoa Kok-ham tidak pernah datang lagi, Ih-ko, waktu itu kau sudah diangkat jadi Jendral, tak pernah naik ke-gunung menjenguk kami lagi, Tahukah kau betapa aku mengenangmu?"

"Tiga tahun aku tidak naik keatas gunung, sampai perkenalanmu dengan Hoa Kok-hampun baru belakangan kuketahui." demikian jawab Yalu Hoan-ih, "Ku-kira kau malah sudah melupakan aku."

Jilian Ceng-sia melerok kepadanya, katanya: "Cis, kaupun berpikiran demikian?"

"Akukan hanya berkelakar saja, hatimu amat senang kepadaku, memangnya aku tidak tahu?"

Maka Jilian Ceng-sia melanjutkan ceritanya: "Setelah ibu wafat, Bu-lim-thian-kian kembali datang mengajak Ji-ci turun gunung yang kedua kalinya untuk mencari Toaci, jadi seorang diri aku menjaga rumah, seorang diri aku jadi kesepian, ingin aku pergi menemui Hwesio tua untuk ngobrol, karena Bu lim- thian-kiau agaknya juga bersahabat baik sama dia." Tergerak hati Hong-lay-mo-li, tanyanya: "Darimana kau bisa tahu?"

"Waktu datang Bu-lim-thian-kiau menetap tiga hari didalam kelenteng itu. Pernah secara diam2 katanya kepada Bu lim- thian kiau, siapakah Hwesio tua itu? jawaban Bu-lim-thian-kiau seperti Hoa Kok-ham, "Anak kecil jangan peduli urusan orang lain, tapi setelah aku bersama cicimu pergi, bila kebentur sesuatu yang kau sendiri tidak bisa membereskan, boleh kau pergi kesana minta bantuan Hwesio tua itu." karena kata2nya ini baru aku mulai curiga, kiranya Hwesio tua itu adalah seorang tokoh aneh dari Bu-lim yang menyembunyikan diri mengasingkan diri? jadi yang dimaksud bukan soal pelajaran membuat syair segala, adalah kepandaian silat Hwesio tua itu dapat membantu membereskan kesulitanku."

Lekas Hong-lay-mo-li bertanya: "Apa benar Hwesio tua itu adalah tokoh kosen dari Bu-lim?"

"Kepandaian ilmu silat Hwesio tua yang sakti dan mujijat itu, menurut hematku, mungkin masih lebih tinggi dari Bu-lim thian-kiau dan Hoa Kok-ham!"

Terkejut Hong-lay-mo-li, tanyanya pula: "Kau pernah melihat kepandaian silatnya."

"Bukan khusus dimainkan untuk kutonton, untuk membicarakan hal ini, ada ceritanya pula."

"Ya, tadi kau bilang hendak ajak Hwesio tua itu ngobrol, adalah dia menceritakan asal usul dirinya? siapakah dia sebenarnya?" sela Hong-lay-mo-li pula.

"Beberapa kali aku berkunjung kekelenteng itu, namun dia selalu menyekap diri dikamar samadinya, akhirnya aku jadi bosan sendiri, Begitulah kira2 setengah bulan setelah Bu-lim- thian-kiau pergi mengajak Jiciku, pada suatu malam, aku sedang bersamadi didalam kamar melatih Lwekang, tiba2 kudengar suara genteng keresekan, semula kukira kucing yang berada diatas, tapi tiba2 hidungku mengendus bau wangi membuat aku ngantuk.

Aku amat kejut, dari penuturan iba aku tahu dikalangan Kangpuw sering terjadi maling cabul pemetik kembang suka menggunakan dupa pembius untuk menculik korbannya, memangnya maling cabul itu sedang mengincar diriku? Lekas aku salurkan hawa murni hawa kotor yang kuhirup tadi kuhembus keluar, sengaja aku berbangkis dua kali pula, lalu pura2 menggeros lebih keras.

Tak lama kemudian betul juga kudengar percakapan orang diluar: "Betapa pandainya genduk cilik ini, buat apa harus bertindak begini hati2?" suara seorang lain berkata pula: "Bukan kami takut kepandaian silatnya, soalnya The-cinong ada pesan supaya jangan melukai dia. Kalau sampai berkelahi akibatnya bisa runyam, Nah, hayolah sekarang tiba saatnya, gerosannya begitu keras tentu dia sudah pulas. Boleh kalian berdua masuk dan sekap dia didalam kantong itu."

Sejak tadi aku sudah siap siaga, begitu kedua orang itu masuk, aku lantas mencelat bangun, satu orang kupersen satu bacokan.

"Sayang aku tidak punya pengalaman bertempur dengan musuh, aku hanya berhasil membacok putus lengan seorang bangsat itu, orang kedua hanya luka terserempet terus kabur keluar, segera aku mengudaknya keatas genteng, tahu2 aku sudah dikepung tujuh delapan orang, mereka sama berseragam Busu negeri Kim.

Ayah gugur ditangan anjing2 Kim ini, seketika membangkitkan amarah dan semangat tempur-ku, maka golok kumainkan dengan ganas dan telengas, dalam sekejap mata dua orang berhasil kurobohkan,

"Dengan kegesitan badanku yang jauh lebih unggul dari mereka, aku labrak mereka dengan sengit, saking kewalahan akhirnya merekapun nekad dan menyerang sungguh, lama kelamaan aku kehabisan tenaga, keringat sudah genrerobyos, suatu ketika aku sedikit lena, seorang Busu sempat menyelinap maju mendaratkan pukulannya, hawa murni pelindung badanku sampai terpukul bubar, punggungku laksana dipukul godam, genteng remuk terinjak oleh langkahku yang sempoyongan kontan aku terjungkal jatuh dari atas genteng, Tapi Busu itupun putus lututnya oleh tabasan golokku, diapun terguling jatuh kebawah.

"Lekas aku mengempos, semangat, untung masih kuasa bertahan, insaf keadaanku yang kepepet dan tidak menguntungkan lari adalah jalan paling baik. Tapi rumahku sudah dikepung rapat oleh musuh, di-mana2 ada orang membokong, dengan susah payah aku terus menerjang keluar, beruntun dua kali aku terluka pula, untung bukan luka2 fatal.

"Menghadapi cara tempurku yang nekad mengadu jiwa akhirnya mereka menggunakan senjata rahasia menyerang dari jarak jauh, untung tidak beracun dan merekapun tidak berani mengincar jiwaku, sehingga aku masih kuat menerjang keluar, Dengan sisa tenagaku golok kuputar kencang melindungi badan, tak urung, pahaku tertimpuk panah, dengan kertak gigi, aku terus berlari sayang karena pahaku terluka Gin-kangku banyak terpengaruh, semakin lama mereka mengejar semakin dekat, sementara aku sudah mulai kehabisan tenaga, untuk lari kebawah gunung sudah tidak mungkin lagi,

"Dari pada terjatuh ketangan musuh dan terhina, lebih baik aku bunuh diri saja, waktu aku menengadah dan golok sudah hampir menggorok leher, tiba2 kulihat bayangan kelenteng bobrok diatas gunung itu, seketika aku teringat akan pesan Hoa Kok-ham, dalam keadaanku waktu itu, tanpa banyak pikir apa benar Hwesio tua itu mampu membantu aku menggebah Busu2 Kim ini, dengan timbulnya setitik harapan, entah darimana datangnya tenaga, ter-sipu2 aku lari se- kencang2nya keatas gunung dan masuk kedalam kelenteng.

"Baru saja aku melangkah masuk, pengejar2ku itupun sudah memburu tiba, Tampak sinar dian diatas meja sembahyang kelap kelip, kulihat Hwesio tua itu sedang duduk bersimpuh diatas kasur bundar didepan patung pemujaan, jari2 tangannya menghitung biji2 tasbih, mulutpun komat kamit, jadi dia membelakangi kami, dengan garang dan ber- kaok2 kawanan Busu itu menerjang masuk, ternyata dia tetap duduk diam seperti tidak mendengar tak melihat.

"Keruan dingin sekujur badanku, kuduga bukan saja orang tidak akan membantu aku malah kedatanganku kemari bakal membuatnya celaka, Tak nyana se-konyong2 kudengar jerit, pekik dan lolong kesakitan para Busu itu yang sama menggelepar roboh tak bergerak lagi.

Sesaat lamanya baru aku bisa tenangkan diri dan berpaling kesana, kulihat Busu yang re-bah didekatku bolong jidatnya, sebutir biji tasbih ter-porot ditengah2 kedua alisnya, darah mengalir deras, terang jiwanya takkan tertolong lagi.

Keruan saking kaget aku sampai kesima, baru sekarang aku sadar bahwa si Hwesio tua memang benar2 seorang tokoh kosen persilatan yang berkepandaian sakti, sungguh sukar dibayangkan duduk tenang tanpa berpaling sekaligus dia timpuk mati kawanan Busu itu tanpa satupun ketinggalan hidup.

Memangnya keadaanku sudah lemas lunglai, begitu melihat kematian kawanan Busu yang mengerikan itu, lututku serasa tak bertenaga lagi, aku meloso jatuh.

"Akhirnya bagaimana, bagaimana sikap Hwesio tua itu kepadamu?" tak sabar sikap Hong-lay-mo-li dalam mengajukan pertanyaan ini. "Per-lahan2 Hwesio tua itu berpaling, suaranya kedengarannya marah: "Didalam kelenteng bobrok dipuncak belukar ini aku sembunyi dua puluh tahun, kalian masih tidak memberi peluang kepadaku! Hari ini kalian mampus karena Wanyan Liang sendiri yang mengutus kalian kemari, juga karena ketamakan kalian mengejar harta dan benda, jangan salahkan Hwesio tua aku ini melanggar pantangan membunuh, sudah tentu aku keheranan mendengar kata2nya ini, terang kawanan Busu itu hendak menangkap aku, kenapa dia bilang mereka hendak mencari perkara kepada dirinya ?

"Tengah aku melongo keheranan Hwesio tua itu sudah memayang aku bangun, sikapnya ramah dan welas asih, katanya lembut: "Nona Jilian, kali ini Lolap bikin kau keserempet perkara, kawanan brandal ini adalah musuh besarku, mungkin kau kebetulan kepergok oleh mereka. Kau tak usah takut, luka2mu ini akan kusembuhkan, hawa murni yang terkuraspun akan kuganti berlipat ganda! Untuk menyatakan rasa terima kasih Lolap kepadamu."

Lalu dia jejalkan sebutir obat kemulutku, sebelah tangannya mendempel punggungku menyalurkan segulung hawa panas keda-lam badanku.

"Cepat sekali rasa sakit sudah lenyap dan seluruh badan serasa mendldih, Hwesio tua segera menarik tangannya, katanya: "Gunakan cara sama di perguruanmu manfaatkan tenaga murni yang Lolap berikan kepadaku, untuk ini Lolap tidak bisa membantumu lebih lanjut."

Hong-lay-mo-li lantas membatin: "Tak heran diantara tiga bersaudara kakak beradik ini, ilmu silatnya yang paling tangguh, kiranya dia mendapat rejeki sebesar itu dari bantuan si Hwesio tua itu."

"Lekas aku lanjutkan samadiku mengumpulkan pula hawa murniku yang buyar tadi, dalam waktu dekat tak sempat aku ajak bicara dengan dia. Entah berapa lamanya setelah aku berhasil menghimpun seluruh hawa murni dan badan terasa segar bergairah, aku membuka mata, mayat2 itu sudah tak kelihatan, mungkin sudah disingkirkan Segera aku mengucapkan terima kasih kepada Hwesio tua serta menam- bahkan: "Lo-suhu, aku sendiripun memikul beban dendam negara, aku amat benci kepada penjajah bangsat Krm. sebetulnya kawanan Busu ini tadi menggeroyok rumahku dan hendak menangkap aku, jadi bukan musuh besarmu." mendengar penjelasanku ini Hwesio tua mengunjuk rasa keheranan.

Mendengar sampai disini Hong-lay-mo-li sendiri pun merasa sangat heran, batinnya: "Hwesio tua inipun sudah mengasingkan diri di kelenteng bobrok dipuncak belukar selama dua puluh tahun, peristiwa pencurian mestika dikeraton negeri Kim yang diceritakan Liu Goan-ka juga terjadi dua puluhan tahun yang lalu, Siau-go-kan-kun dan Bu-lim- thian-kiau sama2 punya hubungan kental dengan Hwesio tua ini."

Berbagai persoalan cocok satu sama lainnya, se-olah2 dapat dibulatkan satu kesimpu!an: "Em, bukan mustahil Hwesio tua ini adalah .. .. adalah..." tapi Hong-lay-mo-li belum berani yakin benar akan kesimpulannya ini, batinnya pula: "Lalu darimana Liu Goan-ka bisa tahu tanggal kelahiranku?

Aku harus menyelidikinya biar terang, baru bisa tahu yang mana sebetulnya ayahku yang tulen!"

Sementara itu Jilian Ceng-sia sedang melanjutkan ceritanya pula, terpaksa Hong-lay-mo-li tenangkan pikiran dan pasang kuping: "Hwesio tua itu memang aneh, dengan termangu dia mengawasiku, Maka aku tuturkan kejadian tadi lebih jelas.

Hwesio iua itu lantas tertawa getir, katanya: "Tak usah dibedakan musuhku atau musuhmu, yang terang setelah peristiwa tadi, jejakku sudah konangan, aku tidak bisa menetap lebih lama lagi di kelenteng ini. Kaupun harus berusaha turun gunung secepatnya, jangan tertunda lama2 disini" Lalu dia suruh Hwesio cilik membenahi barang2 miliknya terus turun gunung.

"Kemana tujuan Hwesio tua itu, adakah kau pernah menanyakan?" tanya Hong-lay-mo-li.

"Semula aku ingin ikut dia, tapi Hwesio tua berkata: "Tidak leluasa kau ikut aku, banyak sekali musuh yang mengenal Lolap, kau bisa mendapat banyak kesulitan Dalam waktu dekat musuh terang tidak akan meluruk datang lagi, kau belum pernah turun gunung jarang orang mengenalmu, dengan bekal kepandaian silatmu sekarang, kalau musuh tidak terlalu tangguh kau cukup dapat melayani, mumpung musuh belum meluruk datang lekas kau menyingkir saja."

Karena dia tidak mau bawa aku, aku sedang kebingungan sampai lupa tanya kepadanya, Tapi kalau dia hendak menyingkir dari kejaran musuh, umpama kutanyakan ke- padanya, kukira dia tidak akan mau memberitahuku.

Setelah bercerita panjang lebar Jilian Ceng-sian sudah merasa kering mulutnya, Yalu Hoan-ih segera menuang secangkir teh, setelah diminumnya, dia melanjutkan pula ceritanya: "Setelah memberi beberapa patah petuah kepadaku, Hwesio tua itu lantas ajak Hwesio kecil itu berangkat dengan menggunakan tongkat Hwesionya sebagai penopang badannya, Baru sekarang dapat kulihat bahwa kedua kakinya ternyata tak mampu bergerak, dalam dua puluh tahun ini, dengan Lwekangnya yang tinggi dia mengobati bagian bawah badannya yang tanpa daksa, kiranya belum sembuh seluruhnya.

Tapi dengan tongkat besinya itu dia dapat bergerak dengan cepat dan ringan, sekali tutul badannya lantas melesat beberapa tombak, bahwasanya kedua kakinya tak perlu menyentuh tanah, Sekejap saja suara ketokan tongkat ditanah dan bayangannya sudah pergi jauh dan menghilang. Hwesio kecil itu mengintil dengan langkah seperti terbang, ternyata ilmu Ginkangnya juga hebat.

"Setelah Hwesio tua itu pergi, akupun pulang kerumah, dengan rasa berat dan berlinang air mata, kubakar rumah tinggal kami. Setelah kupikir bolak balik akhirnya aku berkeputusan turun gunung mencari Ih-ko. Tak nyana baru saja aku tiba dilamping gunung, mendadak dari depan mendatangi seseorang, keruan hatiku kejut dan girang bukan main, Liu-cici, coba kau terka siapakah dia? Ternyata dia adalah Siau-go-kan-kun pendekar Latah Hoa Kok-ham."

Jilian Ceng-sia melanjutkan "Kulihat Hoa Kok-hampun menunjukan rasa kaget dan senang, begitu bertemu dia lantas memujiku setinggi langit, katanya dalam setahun ini ilmu kepandaianku sudah maju berlipat ganda, sungguh harus dipuji dan dibuat girang.

"Keruan aku geli, namun aku juga tidak menjelaskan tentang bantuan Hwesio tua, malah kutanya dia lebih dulu. Kemana saja dalam setahun ini, kenapa baru hari ini kembali?" Hoa Kok-ham menjawab: "Banyak sekali tempat2 yang kudatangi, marilah kita bicara didalam kelenteng saja."

Kujawab: "Aku tak mau pulang, Kelenteng itupun sudah kosong." Lekas Hoa Kok-ham bertanya: "Kenapa kosong, dimana Hwesio tua itu? Oh ya, kenapa seorang diri kau turun gunung?" Terpaksa aku jelaskan seluk beluk persoalannya.

Hoa Kok-ham amat kecewa, katanya: "Aku sedang punya kabar gembira untuk kusampaikan kepada Hwesio tua itu, tak nyana dia sudah tinggal pergi."

Aku jadi ketarik dan bertanya: "Siapakah sebenarnya Hwesio tua itu? Kabar gembira apa yang hendak kau sampaikan kepadanya?" Hoa Kok-ham tertawa: "Nona kecil selalu suka mencampuri urusan orang lain, persoalan-mu sendiri belum lagi beres, lebih baik kau selesaikan saja urusanmu sendiri, sekarang kau tidak punya rumah tidak bisa pulang, bagaimana?" aku memangnya sedang kebingungan oleh hal ini, maka aku berkata:

"Aku hendak ke Kayhong mencari seorang jendral dari negeri Kim, sudikah kau antar aku kesana? Meski dia pejabat tinggi pemerintah Kim, tapi orangnya baik."

"Hoa Kok-ham bergelak tawa, katanya: "Yang hendak kau cari bukankah Yalu Hoan-ih? Betul, memang dia orang baik, kalau tidak masakah kau nona kecil ini jatuh hati padanya.

Tapi perlu kuberitahu supaya tidak sia2 perjalananmu ke Kayhong, karena sekarang dia sudah tidak berada di Kayhong."

"Ternyata Hoa Kok-ham sudah tahu akan hubunganku dengan Ih-ko, malah diapun tahu bahwa Ih-ko waktu itu sedang bertugas ke Kanglam sini, Katanya dia mendapat tahu dari kisikan Bu-lim-thian-kiau, kabarnya dipuncak Thaysan mereka pernah bertemu."

Ada satu hal didalam cerita panjang Jilian Ceng-sia ini yang menarik perhatian Hong-lay-mo-li, yaitu kabar baik apa yang hendak disampaikan kepada Hwesio tua itu oleh Hoa Kok- ham, apakah yang dimaksud mengenai pemberian kado kepadaku dulu? Atau mengenai pertemuan kami di Siang-keh- po tempo hari?

Perlu diketahui kira2 setahun yang silam, Hoa Kok ham pendekar latah pernah menyuruh pembantunya Pek-gi lo mengantar sebuah kotak cendana sebagai kado perkenalan kepada Hong-lay-mo.li, dimana dalam kotak itu berisi tiga macam benda, yaitu secarik kertas yang sudah menguning dimana ada tertera nama Liu Jing-yau dan tulisan bulan tahun dan jam lahirnya, secuil kain sobekan yang kumal berlepotan darah dan dua butir kacang merah, kacang merah ini adalah barang mainannya diwaktu kecil. Duduk persoalannya belum jelas, namun lapat2 Hong-lay- mo-li sudah mendapat firasat, Hwesio tua itu tentu mempunyai sedikit hubungan dengan dirinya.

"Begitulah, Hoa Kok-ham lantas membawaku menyebrangi Tiangkang tiba di Kanglam, sampai pada malam itu, waktu dia ajak aku meluruk ke Jian-liu-cheng baru aku bersua dengan Ih-ko." demikian Ji-lian Ceng-sia mengakhiri ceritanya.

"Waktu di Jian-liu-cheng malam itu," Yalu Hoan-ih melanjutkan, "Aku dengan adik Sia sama2 kena pukulan Liu Goan-ka, aku sedikit terluka dalam, tapi Hoa Tay-hiap ada memberi sebutir pil kepadaku, luka2ku tidak perlu dibuat kuatir, Lwekang adik Sia lebih tinggi, seharusnya tidak menjadi hambatan, tak nyana justru karena Lwekangnya baru mencapai taraf kemajuan, tenaga murni saluran Hwesio tua belum lagi terbaur dan senyawa dengan hawa murninya sendiri, karena pukulan Liu Goan-ka itu, tenaga murninya jadi putar balik, memang tidak terluka dalam, namun dia perlu segera mencari tempat sepi untuk ber-samadi menghimpun dan menormalkan jalan darah dan melancarkan pernapasan kalau tidak Lwekangnya tentu bakal susut, Kebetulan aku menemukan gua disini.

"Setelah beristirahat dan berlatih beberapa hari, syukur adik Sia sudah berhasil menghimpun hawa murninya dipusarnya, tak lama lagi usahanya akan berhasil dengan gemilang, Tapi perbekalan kami sudah habis, terpaksa aku keluar membelinya. Tak kira disaat aku keluar itulah, ternyata Koagsun Ki juga berada disini dan menemukan gua ini,"

"Untung disaat dia datang, kebetulan aku berakhir mengerahkan hawa murni dan menghimpunnya dipu-sar," demikian Jdian Ceng-sia ganti menjelaskan, "Kalau dia datang lebih pagi sedikit, entah bagaimana akibatnya tak berani aku membayangkan " "Apakah yang telah terjadi dengan kematian begitu banyak serdadu dipos penjagaan dimulut gunung itu?" demikian tanya Yalu Hoan-ih.

"Liu Li-hiap, kulihat kau berada disana, apa kau sedang mengusut peristiwa itu?"

"Ada seorang temanku yang menemui kesulitan disana, melihat gelagatnya ada orang membunuh para serdadu itu dan menolong pergi temanku itu. Aku memang sedang bingung dan jengkel karena hal ini."

Setelah mendengar penjelasan Hong-lay-mo-li, Yalu Hoan- ih dan Jilian Ceng-sia sama2 yakin dan berkata bersama: "Kalau demikian, tentu perbuatan baik Kongsun Ki."

Hong-lay-mo-li semakin mendelu, tanyanya: "Kemana kalian selanjutnya hendak pergi?" Apa sudah berkeputusan?"

"Adik Sia sudah sembuh, besok kami akan kembali keutara, Situasi cukup gawat, aku harus segera pulang kepangkalan untuk memberi laporan dan mempersiapkan apa2 yang perlu untuk membantu pihak Song. Liu Lihiap, kau sendiri bagaimana?"

"Aku akan pergi ke Ling-an."

"Hoa Tayhiap sekarang sedang berada di Ling-an, semoga kalian bisa bertemu di sana." kata Jilian Ceng-sia sambil tersenyum penuh arti

"Tam-kongcu entah kemana selama berpisah ini. Liu-lihiap jikalau kau ketemu dia tolong sampaikan kabarku, sukalah kau sampaikan salamku kepadanya." ternyata dihadapan Yalu Hoan ih. Bu-lim-thiau-kiau pernah nyatakan isi hatinya tentang Hong-lay-mo-Ii.

Betapa pintar Hong-lay-mo-li, dari perkataan kedua orang ini, lapat2 dia sudah meraba kemana juntrungan maksud mereka, memangnya dia sendiri sedang susah dan risau karena soal ini, cuma saja tidak enak banyak memberi komentar tentang hal ini, dengan muka merah dia menjawab: "Kalian adalah sahabat baikku, akan kuperhatikan permintaan kalian, Aku sendiripun ingin menyelidiki jejak Khing Ciau, menguntit suhengku yang murtad itu, biarlah aku pamit lebih dulu, selamat bertemu!"

Setelah berpisah mumpung hari belum gelap, Hong-lay-mo- li langsung menuju kearah kemana tadi Kongsun Ki kabur, Tapi apakah benar Khing Ciau terjatuh ketangan Kongsun Ki? Memang diluar tahunya bahwa Khing Ciau sekarang sudah tertolong dan selamat, tapi seperti pula keadaan Hong-lay-mo- li, hatinya sekarangpun sedang dirundung berbagai keunikan yang sedang gejolak dalam relung hatinya.

Sekarang marilah kita ikuti keadaan Khing Ciau sejak dia tertolong oleh seseorang dipos penjagaan dimulut Thian-bok- san itu. Sebelum jatuh pingsan lapat2 dia masih kenal bayangan putih yang menolong dirinya adakah seorang perempuan, seorang perempuan yang tidak dia harapkan untuk bertemu, seketika bergetar hatinya dan kontan jatuh pingsan.

Entah berapa lama berselang, akhirnya Khing Ciau siuman dari pingsannya, tampak sinar matahari menyilaukan mata, bau harum kembang terhembus masuk kedalam lewat jendela, didapatinya dirinya lebah diatas ranjang, sebuah meja kecil dipinggir ranjang terdapat perabuan yang mengepulkan asap wangi, didepan sana adalah sebuah meja toilet, kedua sisi adalah pintu angin, dinding sekelilingnya dihiasi gambar2 kuno dan seni tulisan, dilihat gelagatnya itulah kamar perawan seorang hartawan.

Khing Ciau coba gigit jarinya, sakit, terang dirinya bukan dialam mimpi. "Eh, kenapa aku berada di-sini, tempat apakah ini?" 1apat2 ia masih mengingat keadaan sebelum dirinya jatuh pingsan. "Ai, apakah benar dia yang menolong aku?" Pada saat itu, kebetulan gadis baju putih itu sedang melangkah masuk dan berdiri didepannya, seketika Khing Ciau berjingkrak kaget dan berteriak:

"Haya, nona Siang, ternyata kau!" memang gadis baju putih ini bukan lain adalah Siang Ceng-hong putri kedua dari keluarga Siang yang selalu dihindarinya,

"Khing-kongcu, kau sudah siuman," sapa Siang Ceng-hong, "Bagaimana, merasa segar bukan?"

Khing Ciau coba menarik napas panjang, terasa sekujur badan linu pegal, dada terasa sesak, namun dia tidak sudi mengeluh didepan Siang Ceng-hong, hanya mengawasinya dengan pandangan mendelong.

"Apa tidak mengenalku lagi?" goda Siang Ceng-hong tertawa, "Siapa yang kau kira menolongmu?"

Tidak bisa tidak Khing Ciau harus menghaturkan terima kasih: "Nona Siang, sungguh tak nyana kembali kaulah yang menolong jiwaku."

"Mana budak Hong-lay-mo-li itu?" olok Siang Ceng-hong dengan tertawa, "Budak itu bernama San San bukan? Kau kira dia yang menolongmu bukan? Apa sih yang kau terima dari kebaikannya, sehingga kau selalu merindukan dia? Tahukah kau cara bagaimana jiwamu ini dapat tertolong?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar