Pendekar Latah Bagian 08

 
Bagian 08

Setelah Hong-lay-mo-li selesai menulis surat haripun menjelang fajar, sebentar dia bersamadi menghimpun semangat dan memulihkan tenaga, Waktu fajar menyingsing, ia serahkan surat itu kepada Tai Mo, s:ebelum berangkat ia menginspeksi pula keadaan segala pelosok pangkalan, baru dengan hati lega dia turun gunung.

Sepanjang jalan tak terjadi apa2, tiga hari kemudian Hong- Iay-mo-li kembali sudah tiba dibawah Hou-loan-san, Siang- keh-po dari kejauhan sudah kelihatan, langkah Hong-lay-mo-li diperlambat untuk membuang waktu dan tepat pada kentongan ketiga baru dia langsung menuju ke Siang-kek-po.

Cepat sekali Hong-lay-mo-li sudah berada didalam Siang- keh-po tanpa diketahui oleh jaga malam, se-ko-nyong2 didengarnya jeritan keras yang seram memecah kesunyian malam, membuat orang yang mendengar begidik ketakutan, itulah jeritan suhengnya Kongsun Ki. Terkesiap darah Hong- lay-mo-li, dari penuturan Bu-lim-thian-kiau ia tahu bahwa Susonya sudah bertekad turun tangan bikin suaminya cacat dengan Hoa-hiat-sin-kang bila Kongsun Ki tak mau mendengar petunjuk dan nasehatnya, Walau Hong-lay-mo-li sendiri amat menentang kelakuan Suhengnya, tapi mendengar jeritan yang menyayatkan hati, bergetar juga sanubarinya. Lekas ia kembangkan Ginkang berlari kearah datangnya suara. Diujung taman sana terdapat sebuah bangunan kecil berloteng, disitulah kamar tidur Suhengnya, cahaya masih terang benderang dalam kamar, jeritan yang terputus2 masih terdengar dari dalam: "Hong-moay, Hong-moay, kau bertindak sekejam ini, aku tak kan salahkan kau, tapi sebelum ajal, masakah kau tidak sudi keluar menemui aku? Betapa pun kita menjadi suami istri puluhan tahun, kau tidak sudi menghibur hatiku?" suaranya sedih memilukan, siapapun yang mendengar pasti terketuk sanubarinya.

"Kiranya Suso memang sudah turun tangan!" demikian batin Hong-lay-mo-li. Tiba2 dilihatnya sesosok bayangan orang meluncur mendatangi bagai bintang jatuh, melambung tinggi melewati bukit2an didepan Hong-lay-mo-li, sekejap saja bayangan itu sudah berada diatas loteng, dia bukan lain adalah Suso Hong-lay mo-li Siang Pek-hong adanya, agaknya jeritan suaminya yang mengerikan tadi menggugah hatinya, lekas dia menyusul tiba.

Sementara itu Hong-lay-mo-li menghentikan langkah sembunyi diatas bukit2an, dari kejauhan dia bisa melihat keadaan loteng dengan jelas.

Dalam pada itu Siang Pek-hong langsung memburu masuk kedalam kamar, dilihatnya suaminya rebah celentang diatas pembaringan, mukanya pucat seperti kertas, napaspun empas-empis, kulit daging mukanya kejang kerut kemerut sungguh kaget, heran dan kasihan pula hati siang Pek-hong, teriaknya: "Toako, kau..."

Ber-kaca2 mata Kongsun Ki, katanya sesenggukan: "Hong- moay, katakan kepadaku, kau masih mencintai suamimu. Aku akan mati dengan meram."

Siang Pek-hong memburu kedekat ranjang, mimiknya amat takut, teriaknya gugup: "Tidak, tidak! Toako, Toako, ini bukan aku, bukan aku..."

"Apa katamu?" tanya Kongsun Ki. "Bukan aku yang turun tangan sekeji ini!"

"Bukan kau yang turun tangan? Hong-moay, yang terdahulu aku memang berbuat salah kepadamu, aku pernah mencelakai kau, seumpama kau yang menurunkan tangan jahat ini, akupun takkan menyesali."

"Toako waktu amat berharga aku tak sempat mencari tahu siapa yang berbuat sekeji ini, biar kuperiksa dan kuobati racun dalam badanmu."

Kongsun Ki melengak, tanyanya: "Hong-moay, apa benar bukan kau?"

"Sudah tentu bukan aku, jikalau aku, memangnya aku sudi kemari?"

Terkulum senyum dimuka Kongsun Ki, katanya: "Peduli siapa dia, aku takkan membencinya, Karena kalau bukan luka2ku ini, kaupun takkan mau menemui aku."

"O, jadi kau sudah tahu bila aku pulang."

"Hubungan batin suami istri bersatu padu, kenapa aku tak tahu? Hong moay, sukalah kau maafkan aku, sungguh girang sekali hatiku."

Bercucuran air mata Siang Pek-hong, katanya: "Toako, kau tahu bertobat, itulah baik. Kau tak usah meronta, biar kuperiksa dulu, Aah, kejam benar orang itu, Aneh, aneh. Cara bagaimana kau bisa kena racun ini?"

Kenapa Siang Pek-hong berseru keheranan, kiranya dia sudah tahu racun yang mengenai suaminya adalah semacam Am-gi jahat yang dinamakan Jong-hap-sin-sa, Am-gi ini dibuat dari seratus macam binatang berbisa yang dibubuk menjadi tepung lalu dicampur pasir.

Siang Kian-thian ayah Siang Pek-hong adalah seorang ahli dalam bidang ini, Jong-hap-sin-sa merupakan salah satu dari dua belas Am-gi ciptaannya yang amat lihay dan tiada bandingan dikolong langit.

Rahasia pembuatan pasir beracun ini tak sembarangan diturunkan dalam keluarganya, cuma Siang Pek-hong sendiri yang mewarisi kepandaian ini, adiknya Siang Ceng-hong malah tidak tahu menahu akan pelajaran2 ilmu berbisa ini.

Siang Pek-hong tercengang sebentar, pikirnya: "Tak heran dia sangka aku yang turun tangan."

Dengan menahan sakit Kongsun Ki berkata ter-putus2: "Aduh, aduh! sekujur badan gatal2 dan tersiksa benar aku, Tapi hatiku lega juga bahwa bukan kau yang turun tangan, Waktu aku tersambit Am-gi, betapa pedih dan perih sanubariku, kukira kau pulang hendak menuntut balas kepadaku, sungguh harus disesalkan hubungan suami istri kita selama ini, Syukurlah bukan kau yang bertindak sekejam ini kepadaku,"

Terharu hati Siang Pek-hong mendengar kata2 suaminya, batinnya: "O, begitu, Waktu itu hatinya perih badannya kesakitan, pikirannya sudah setengah sadar, tak heran dia tidak tahu akan perbuatan orang lain, Em, siapa orang itu? Kenapa diapun bisa menggunakan Am-gi tunggal dari keluargaku?"

Karena bicara napas Kongsun Ki memburu, keringat ber- ketes2. Siang Pek-hong amat sedih dan kasihan, penasaran hatinya selama ini tersapu bersih dan dilupakan sama sekali, katanya dengan mengembang air mata: "Toako, kau terkena Am-gi menyangka aku yang turun tangan, maka kau tak mau membalas, karena ini, aku boleh memaafkan segala perbuatanmu yang laIu, jangan bicara dan jangan bergerak, biar kusembuhkan luka2mu."

Hong-lay-mo-li yang mencuri dengar pembicaraan mereka dibalik bukit ikut lega hati, jalan pikirannya cukup hati2, lekas ia sudah menduga bahwa orang yang membokong suhengnya tentu masih berada didalam perkampungan ini, kuatir orang berlaku keji main bokong lagi, segera Hong-lay-mo-li menggeremet maju kebawah loteng dan siap siaga sambil meremas batu2 kerikil.

Waktu ia melongok kedalam, dilihatnya Sosunya membungkuk badan didepan ranjang, agaknya sedang memberi pertolongan kepada Suhengnya, umumnya senjata beracun ada obat pemunahnya, cuma Jong-hap-sin-sa ini harus di operasi dan disedot dengan tenaga murni baru bisa disembuhkan.

Maka Siang Pek-hong kerahkan tenaga murninya, mulai mengurut dan melancarkan jalan darah sekitar 1uka2. Te-rasa oleh Siang Pek-hong, dimana jari2nya menyentuh kulit daging suaminya, terasa panas membara, diam2 hatinya heran, kadar racun Jong-hap-sm-sa semula memang bisa bikin badan panas membara, tapi hanya sebentar saja berubah dingin.

Tapi kenyataan badan suaminya masih terasa panas  setelah sekian saat lamanya. Setelah mengurut beberapa kali, terasa pula olehnya kulit daging suaminya punya daya membal yang keras, bagi orang yang mempelajari silat, memang kulit dagingnya punya daya membal yang keras dari manusia umumya, tapi bila keracunan Jong-hap-san-ba daya membal ini akan lenyap,

Disaat hati Siang Pek-hong heran dan was2 serta ber- tanya2, tiba2 didengarnya Kongsun Ki tertawa di-ngin, mendadak orang bergegas bangun, Siang Pek-hong berseru kaget: "Toako, kau, kau sakit " dia kira suaminya

kesakitan sampai berjingkrak bangun, tak nyana belum kata2nya selesai, cepat sekali Kongsun Ki sudah turun tangan menutuk beberapa Hiat-tonya, jengeknya dingin: "Kau menyelundup pulang, secara diam2 hendak mencelakai jiwaku, kau kira aku ini bodoh? Hm sekarang biar kaupun rasakan siksaan Am-gi-mu sendiri! Haha, inti pelajaran kedua ilmu berbisa itu harus kuambil sendiri." sekali renggut, lekas sekali ia telanjangi baju istrinya bagian atas, lalu merogoh keluar buku pelajaran kedua ilmu berbisa itu dari balik pakaian dalamnya.

Dengan bergelak tertawa ia berludah kemuka istrinya, makinya: "Kau pandang suamimu seperti orang luar, pelajaran ilmu ini kau pandang sebagai mestika, suami sendiripun kau tidak mau berikan, Baik, lekas kau enyah saja, kini aku tidak sudi punya istri seperti tampangmu."

Baru sekarang Siang Pek-hong sadar bahwa dirinya tertipu, saking murka matanya mendelik memutih, hampir saja jatuh semaput.

Dengan sepuas hatinya Kongsun Ki maki dan hina istrinya, semakin maki semakin gusar, baru saja ia angkat tapak tangan hendak mendorong keluar istrinya, Dari belakang pintu angin mendadak melompat keluar satu orang, jengeknya dingin:

"Menangkap harimau lebih gampang dari pada melepasnya pulang, kau hendak pertahankan hubungan suami istri untuk menimbulkan bibit bencana dikelak kemudian hari?" sembari bicara sebelah tangannya terayun, suara mendesis meluncur, tiga batang jarum beracun melesat mengarah tiga hiat-to penting dipunggung Siang Pek-hong.

Pembokong ini bukan lain adalah Giok-bin-yau-hou Lian Ceng-poh.

Waktu ketiga batang jarum itu melesat tiba, Kongsun Ki sudah angkat lengan bajunya hendak menge-basnya jatuh, tapi serta mendengar kata2 Lian Ceng-poh, seketika ia tertegun dan gerakannya merandek, tahu2 ketiga batang jarum itu sudah mengenai sasarannya. Pucat lesi muka Kongsun Ki, dengan lemah Iunglai ia duduk dipinggir ranjang, mulutnya bicara seorang diri. "Pek-hong, Pek-hong, jangan kau salahkan aku!!"

Giok-bin-yau-hou unjuk kerlingan matanya yang genit dan menawan hati, katanya cekikikan: "Seorang Iaki2 kenapa kuatir tak punya bini, kau takut tiada perempuan yang menyukai kau?"

Melihat senyuman orang yang menawan kalbunya, merasa terbang arwah Kongsun Ki, rasa sedih dan kagetnya seketika sirna, lekas ia genggam tangan Lian Ceng-poh, katanya menyengir tawa: "Kau suka mengganti jadi istriku, akupun takkan marah kepada kau"".

Se-konyong2 Siang Pek-hong menjerit keras, se-kumur darah menyemprot dari mulutnya, suaranya diliputi kebencian dan dendam yang tak terlampias, teriaknya: "Kongsun Ki, kau, kau, bagus ya kau! Kau siluman rase ini, aku, benci, ingin rasanya aku menelan badanmu bulat2, aku, mati takkan meram, aku takkan meram!"

Ternyata Hiat-tonya tertusuk jarum beracun, sakitnya serasa menusuk keulu hati, maka ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk meronta yang penghabisan kali, tutukan Hiat-tonya jebol dan terbuka. Sekonyong2 ia menggelinding diatas lantai, berbareng mulut ter-pentang, ia gigit kaki Giok- bin-yau-hou.

Sekuatnya Giok-bin-you-hou sepakkan kakinya, makinya: "Perempuan jalang yang galak, sebelum ajal berani melukai orang!"

Setelah tersambit jarum berbisa Lwekang Siang Pek-hong sudah tak mampu dikerahkan karena sepakkan Giok-bin-yau- hou badannya ter-guling2 pula, darah menyembur lebih deras dari mulutnya,

"Sreng" Giok-bin-yau-hou melolos pedang, ejeknya dingin: "Supaya kau tak menderita, biar kuantar jiwamu keakhirat." Lekas Kongsun Ki berpaling muka, Lian Ceng-poh mainkan pedangnya ditengah udara, lalu berhenti ditengah jalan, katanya tertawa dingin: "Kongsun Ki, apa kau merasa kasihan?"

"Betapapun dia adalah istriku, Lekaslah kau bereskan supaya hatiku tidak tersiksa."

Giok-bin-yau-hou ter-kekeh2, katanya: "Wah suami istri yang romantis, haha, kalau demikian, kenapa kau sekongkol dengan aku? Hm, Hm, aku justru ingin kau tersiksa, jikalau kau benar2 menyukai aku, aku ingin supaya kau sendiri yang turun tangan, kau mau membunuhnya tidak?"

"Ah, kenapa kau mendesakku?"

"Baik, kau tidak mau turun tangan, anggap saja sejak sekarang hubungan kita batal."

Apa boleh buat terpaksa Kongsun Ki menerima pedang yang diangsurkan kspadanya, dengan mata terpejam pelan2 ia bergerak dan pedang tertuju keulu hati istrinya, sekonyong2 terdengar suara "Tring tring", sebutir batu menyampuk miring ujung pedang Kongsun Ki, batu yang lain melayang kearah Giok-bin-yau-hou, lekas Giok-bin-yau-hou kebaskan lengan bajunya, sayang daya luncuran batu krikil ini teramat kencang, kebasannya tak berhasil menghentikan kekuatan luncurannya, jidat Giok-bin-yau-hou tertimpuk telak dan mencukcurkan darah, Untung kebasannya mengurangi setengah kekuatannya, kalau tidak batok kepalanya tentu pecah.

Sekilas Kongsun Ki terkejut melongo, pedang panjang terlepas jatuh, dilihatnya Hong-lay mo-li menerjang masuk dari jendela, menuding sambil memaki: "Kau, kau, kau bukan Suhengku, kau adalah binatang! Melakukan perbuatan terkutuk diluar perikemanusiaan, Thian takkan mengampuni perbuatan jahatmu!" saking marah, suaranyapun bergetar

Giok-bin-yau-hou membelakangi dinding, tiba2 terbuka sebuah pintu rahasia dibelakangnya, pintu rahasia ini dibuat Kongsun Ki setelah Siang Pek-hong meninggalkan rumah, maka dengan leluasa Giok-bin-yau-hou bisa menyembunyikan diri. Secara diam2 Siang Pek-hong pulang maksudnya hendak mengawasi2 gerak gerik suaminya, mimpipun tak terduga bahwa Giok-bin-you-hou berada didalam kamar suaminya, malah dirinya sendiri dibawah pengawasan orang. Kongsun Ki pura2 terkena racun memancing istrinya, tipu daya ini adalah buah karya Giok-bin-yau-hou.

Giok-bin-yau-hou hendak melarikan diri dari pintu rahasia, sudah tentu Hong-lay-mo-li tidak berpeluk tangan?

Gerakannya lebih cepat dari Giok-bin-yau-hou, begitu kebutannya terkembang, secepat kilat tahu2 mengepruk kearah Giok-bin-yau-hou, Giok-bin-yau hou tidak berani memasuki pintu rahasia membelakangi dirinya, terpaksa dia harus berpaling melayani.

"Sret" lengan Giok-bin-yau-hou tersapu kebutan, tahu2 pecah beterbangan lengan tangannya yang putih halus terluka beberapa jalur berdarah, Sebat sekali Giok-bin-yau-hou mundur beberapa langkah, segenggam jarum segera ia timpukan, Hong-lay-mo-li tertawa dingin: "Dengan jarum ini kau membunuh Susoku, baik biar kau rasakan jarum racunmu sendiri!" sekali kebut angin menderu kencang, tujuh diantara sepuluh batang jarum tersampuk mental kembali, sisanya terpukul jatuh.

Kongsun Ki pentang kipas lempit mengadang diantara mereka, teriaknya: "Sumoay, ampunilah jiwanya!" ilmu silatnya memang tidak terpaut jauh dari Sumoaynya, maka jarum2 itu tertangkis jatuh berhamburan mengeluarkan suara ramai.

"Minggir!" hardik Hong-lay-mo-li, "Siapa Sumoay-mu!" memandang muka "guru berbudi" Hong-lay-mo-li cuma suruh suhengnya minggir. Disana Giok-bin-you-hou be-rteriak: "Urusan sudah terlanjur, kau masih ingin mengawini Sumoaymu ini?"

Cepat sekali Hong-lay-mo-li sudah menerjang dari samping Suhengnya, kebutannya terkernbang pula, ia susuli dengan serangan berantai. Kongsun Ki kertak gigi, kipasnya terlempit, tiba2 ia menutuk ke Hiat-to besar dipunggung Hong-lay-mo-li.

Merasa angin berkesiur dibelakang, Hong-lay-mo-li tahu bahwa suhengnya membokong, sungguh pedih dan marah pula hatinya, terpaksa dia abaikan kesempatan melukai Giok- bin-yau-hou, tangannya terayun ke-belakang, dengan telak ia tangkis tutukan kipas Kongsun Ki, Hong-lay-mo-li tidak kerahkan seluruh kekuatannya, maka satu samalain cuma mematahkan serangan masing2.

Tegak alis Hong-lay-mo-li, katanya dingin: "Kongsun Ki, kau, betul2 kau ingin dikubur bersama siluman rase ini?" betapapun dia tidak suka bermusuhan dengan Suhengnya, suaranya sampai gemetar.

Betapa cerdik Kongsun Ki, ia dapat meraba perasaan Sumoaynya, dalam waktu sesingkat ini otaknya mulai pulang pergi memikirkan banyak persoalan, kalau sekarang dia menyesal dan bertobat, tentunya Hong-lay-mo-li mau mengampuni jiwanya.

Tapi kedudukan pangkat dan harta benda yang sudah berada didepan mata bakal menjadi impian belaka, sebaliknya Hong-lay-mo-Iipun takkan mungkin mau mencintai dirinya, Apalagi peristiwa malam ini secara langsung disaksikan sendiri oleh Hong-lay-mo-li maka akhirnya dia nekad berkeputusan katanya: "Sumoay, kau sudah tak mengakui aku sebagai Suheng, buat apa banyak bicara? Sejak sekarang boleh kau menuju kearahmu sendiri, aku akan pergi kearah tujuanku pula, aku tidak peduli akan dirimu, maka kaupun tak usah perdulikan diriku." Naik pitam Hong-lay-mo-li dibuatnya, damratnya: "Kalau kau sudah berkukuh hendak menjadi penghianat negara dan menyerah kepada musuh, setiap bangsa kita setimpal membunuhmu. Kenapa aku tidak boleh mengurus dirimu?" namun ia masih tak tega melancarkan serangan yang mematikan sebelum orang bersiaga lekas Kongsun Ki kembangkan kipasnya, menyampuk kemuka orang, sementara Giok-bin-yau-houpun sudah menjemput pedangnya terus menusuk dari samping.

Kongsun Ki tahu dirinya bukan tandingan Sumoay-nya, secara mendadak ia lantaran serangan sergapan, secara untung2an saja, seumpama tidak bisa membekuk atau mengalahkan sang Sumoay, sedikit banyak dapat mengelabui pandangan Sumoaynya, supaya Giok-bin-yau-hou berkesempatan melarikan diri.

Tak nyana kepandaian silat Hong-lay-mo-li justru diluar diperkiraannya, disaat kipas terkembang itu hampir menyapu mukanya, se-konyong2 badannya terjengkang kebelakang, secara reflek dia gunakan Thi-pan-kio (jembatan papan besi), kedua kakinya sekokoh pohon tertanam didalam bum-i, sementara pinggangnya tertekuk kebelakang, terdengar "Ting", tusukan Giok-bin-you-hou kebetulan mengenai kipas Kongsun Ki yang menyambar tiba tepat didepan mukanya.

Kejadian berlangsung cepat sekali, tahu2 kebutan Hong lay-mo-li sudah terayun berbareng badan mencelat berdiri tegak pula, kebutan berhasil membelit pedang Giok-bin-yau- hou, sementara kakinya menendang pergelangan tangan Kongsun Ki.

Sebat sekali gunakan tipu naga melingkar menggeser langkah, Kongsun Ki berkisar kesamping, berbareng kipasnya mengipas dengan keras, benang2 kebutan seketika seperti tersamber angin badai, sehingga kekuatan libatannya banyak berkurang, kepandaian Giok-bin-you-hou cukup tinggi, memperoleh bantuan yang berharga ini, lekas dia gunakan jurus Ya-ce-tam-hay, tidak ditarik pedangnya malah disurung kedepan, sekaligus meloloskan pedang dari belitan kebutan.

Seperti api disiram minyak semakin berkobar amarah Hong- lay-mo-li, bentaknya: "Bagus siluman rase, kan ingin lari?" pedang tahu2 terlolos, begitulah tangan kanan kiri sama mengembangkan ilmu kebutan dan ilmu pedang, begitu hebat permainannya. sehingga kebutannya laksana awan tebal menindih kepala, sinar pedang laksana naga menari diangkasa, Kongsun Ki dan Giok-bin-you-hou sama terkurung didalam libatan hawa pedang dan sambetan benang2 kebutan.

Tiba2 Giok-bin-yau-hou tertawa, katanya: "Liu Jing-yau, hubunganmu dengan Bu-lim-thian-kiau cukup intim kan, kita terhitung bukan orang luar, kenapa kau mendesakku demikian rupa?"

"Siluman rase yag tidak tahu malu, siapa sehaluan dengan kau? jangan kata Bu-lim-thian-kiau tidak sejalan dengan kau, seumpama kau adalah temannya, akupun takkan ampuni jiwamu." beruntun ia menyerang tiga puluh enam jurus, Giok- bin-yau-hou kerahkan segala kemampuannya, sekuatnya bertahan, tapi hanya mampu bertahan tiga puluh lima jurus, serangan pedang jurus terakhir tak sempat dikelit,

"Tang" ujung pedangnya terpapas kutung, Untung kipas lempit Kongsun Ki sempat menyelonong ketengah, membantunya menangkis jurus ketiga puluh tujuh serangan Hong-lay-mo-li.

"Sumoay," Kongsun Ki buka suara, "Kau tidak sudi mengingat hubungan baikmu dengan Bu-lim-thian-kiau, masakah tidak sudi pandang muka ayahku?"

Marah dan benci hati Hong-lay-mo-li, pedih lagi, katanya: "Kongsun Ki, jikalau kau ingat kepada ayah-mu, kenapa kau sia2kan harapan beliau? jikalau ayahmu berada disini, sejak tadi beliau sudah pukul mampus dirimu." menyinggung guru- berbudi tak urung gerakan pedang Hong-lay-mo-Ii sedikit merandek.

Betapa cerdik dan cermat pengamatan Kongsun Ki, tangkas sekali kipasnya terayun, ia bikin Hong-lay-mo-li terdesak mundur selangkah, Sebat sekali Giok-biii-yau-hou mencelat terbang, "Blang" daon jendela diterjangnya hancur, terus melompat keluar melarikan diri.

Hong-lay-mo-li gusar bukan main, ia mengudak kencang sembari tusukan pedangnya, sayang terlambat setindak, pedangnya tak berhasil melukai Giok-bin-yau-hou, sebaliknya melukai Kongsun Ki yang berusaha melindungi Giok-bin-yau- hou.

Terdengar jeritan gugup, gelisah dan kuatir yang sumbang dan rendah, tapi bukan suara Kongsun Ki yang terluka, sebaliknya siang Pek-hong tampak kesima dan menjerit tanpa terkendali sebetulnya hatinya sudah diliputi kebencian yang tak terlampias terhadap sang suami, tapi entah mengapa, pada detik2 yang tegang menentukan ini, melihat jiwa suaminya bakal mampus diujung pedang Hong-lay-mo-li, tak terasa mulutnya menjerit kuatir.

Karena jeritan ini pula Hong-lay-mo-li jadi sadar, menolong jiwa orang lebih penting, maka tusukan kedua tidak dia teruskan. Ditengah jeritan sang istri cepat sekali Kongsun Ki sudah mengintil dibelakang Giok-bin-yau-hou melarikan diri dari jendela.

Terpaksa Hong-lay-mo-li dengan mendelong awasi kedua orang lari menghilang, sesaat lamanya baru dia berhasil menenangkan hati dan berpaling kebelakang, hati yang mulai tenang seketika melonjak kaget pula melihat keadaan Susonya, Siang Pek-hong tidak terhitung cantik rupawan, tapi badannya ramping montok dan berisi, kulit dagingnya putih semu merah dan se-hat, tapi keadaan Susonya sekarang, kulit badannya sudah keriputan kering, keadaannya sudah loyo seperti pohon yang layu, kurus kering seperti kulit pembungkus tulang, seorang nyonya yang buruk rupa.

Sejak ia terkena jarum beracun tak lebih baru setengah jam, didalam waktu yang pendek ini, keadaannya sungguh berubah teramat hebat. Betapa lihay dan jahat jarum beracun Giok-bin-yau-hou, dapatlah dibayangkan.

Dengan suara gemetar terputus, Siang Pek-hong berkata: "Jing-yau adikku, akulah yang salah terhadap kau. Kemarilah kau, aku ada pesan yang perlu kusampaikan kepadamu."

Lekas Hong-lay-mo-li memayangnya, tapak tangannya mendempel punggung orang, katanya: "Jangan ter-gesa2 bicara, kesampingkan dulu segala urusan, lebih penting kau sembuhkan dulu luka2 ini."

Diam2 Hong-lay-mo-li kerahkan Lwekang murninya, segulung hawa murni tersalur kedalam badan Susonya, Siang Pek-hong bisa meronta menahan sakit, agaknya bertambah dua bagian tenaganya, suaranya-pun lebih terang dan tenang, tapi lebih memilukan: "Terima kasih, tapi usahamu takkan berguna." dengan tangan gemetar dari balik bajunya dia keluarkan sebuah sempritan, panjang lima dim bewarna hitam legam, entah terbuat dari logam apa.

"Suso, Apa keinginanmu?" tanya Hong-lay-mo-li.

"Aku harus membereskan segala sesuatu yang kutinggalkan disini." baru saja Siang Pek-hong angsurkan sempritan itu kedekat mulutnya, tiba2 diujung matanya dilihatnya sebuah gelang kemala diujung kakinya, itulah gelang pemberian Kongsun Ki dulu sebagai ikatan pertunangan mereka, gelang ini selalu dipakai dipergelangan tangannya, kini setelah kulit dagingnya susut, tanpa disadari gelang itu jatuh kebawah kakinya, sampai sekarang baru dilihatnya.

Air mata seketika berderai bercucuran, tiba2 Siang Pek- hong jemput gelang itu, dengan kerahkan sisa tenaganya ia buang keluar jendela, seketika hati seperti diiris2, napaspun ter-sengal2.

"Suso, buat apa kau harus memeras diri? Tidak setimpal kau menaruh belas kasihan terhadap manusia yang tak berbudi itu?"

"Aku sudah tak bertenaga lagi, Tiuplah sempritan ini dua kali pendek tiga kali panjang berturut2 tiga kali!" kuatir orang terlalu bicara menguras tenaga dan menambah kesedihan hati, meski tidak tahu apa maksud permintaannya, ini segera ia lakukan menurut petunjuk.

Napas Siang Pek-hong sengal2, hembusan napasnya terasa panas, setelah meniup sempritan, bergegas Hong-lay-mo-li menahan punggung orang pula menyalurkan hawa murni ke badan orang.

Berkata Siang Pek-hong setelah tenang pernapasannya: "Jing-yau adikku, jangan kau membuang2 tenaga, aku jelas takkan berguna lagi. sukalah kau dengar pesanku yang terakhir."

Terasa oleh Hong-lay-mo-li denyut nadi Susonya sudah kacau, denyut jantungnyapun tidak normal lagu saluran hawa murninya paling memperpanjang pernapasannya saja, untuk menolong jiwanya terang tidak mungkin, "Suso, katakanlah, aku mendengarkan!"

Tersimpul senyum manis dimuka Siang Ptk-hong, katanya kalem: "Apa yang kualami hari ini sudah kau lihat sendiri, Laki2 diseluruh dunia kebanyakan tidak berbudi dan murah menjual cinta, perempuan selalu menjadi bulan2an, kau harus hati2. Aku tahu suhengku ketarik dan suka kepadamu, aku tahu hal ini takkan salah, Akupun mengharap kan bisa menjadi Suso ku, hatiku akan tentram, Siau-go-kan-kun pendekar Latah itu, jelas bukan jodohmu yang setimpal, biIa kau menikah sama dia mungkin kelak kaupun akan menyesali Kau sudi mendengar nasehatku?"

Sekilas Hong-lay-mo-li tertegun, dia amat haru di-saat2 menjelang ajalnya Susonya masih suka perhatikan masa depannya, Memang belakangan ini, dia selalu dirundung kerisauan yang tak terpecahkan, Bu-lim-thian-kiau dan Siau- go-kan-kun, kedudukan kedua orang ini sama didalam samibarinya, dia sendiripun susah membedakan siapa lebih berat, mendengar ucapan Susonya semakin gundah dan masgul hatinya, tapi supaya tidak bikin kecewa Susonya, terpaksa dia menyahut samar2: "Suso, aku akan selalu ingat nasehatmu Akan kuperhatikan baik2."

Siang Pek-hong agaknya kurang puas akan jawaban ini, tapi ia tahu jiwanya takkan bertahan lama, maka ia berkata lebih lanjut: "Kau harus beritahukan kepada adikku, sekali2 jangan kena tipu Cihunya, berusaha untuk merebut kembali buku pelajaran kedua ilmu beracun itu, dan segera harus dibakar, supaya tidak membuat celaka orang lain."

"Jangan kuatir, aku akan bantu adikmu sekuah te-nagaku." sahut Hong-lay-mo-li.

Siang Pek-hong hendak melanjutkan pesannya, tiba2 terdengar derap langkah ramai ter-buru2 dibawah loteng, Siang Pek-hong tiba2 mencelat berdiri seraya berteriak: "Lekas kalian kemari!"

"Blang" daon pintu tiba2 tertendang semplak dari luar, beruntun menerjang masuk empat kakek tua, tangan masing2 memegang senjata tajam, matanya melotot kepada Hong-lay- mo-li dengan gusar ber-api2. Tapi mereka jadi ragu2 turun tangan melihat Hong-Iay-mo-li sedang memegangi badan Siang Pek-kong.

Cepat Siang Pek-hong memberi penjelasan: "Inilah Liu Lihiap, bukan dia yang mencelakai aku, malah dia yang menolong jiwaku, setelah aku mangkat, seluruh penghuni Siang-keh-po harus mendengar petunjuk dan patuh akan pimpinannya! Lekas kalian maju menghormat kepada majikan baru!"

Keempat kakek itu bimbang dan curiga, satu sama lain beradu pandang, dalam waktu dekat tiada seorangpun yang bicara, Dengan napas tersengal Siang Pek-hong berkata dengan tertawa menahan sakit: "Tadi akulah yang ajarkan cara meniup sempritan, kalian masih cu-riga apa?" tanpa ragu-ragu keempat kakek itu segera maju berlutut dan menyembah kepada Hong-lay-mo-li sebagai majikan mereka yang baru.

Kiranya keempat orang ini adalah pembantu2 tua dari keluarga Siang, puluhan tahun lamanya mereka ikut Siang Kian-thian, sedikit banyak mereka pernah terdidik oleh Siang Kian-thian, malah diwaktu Siang Kian-thian mati, mereka dipesan untuk mengasuh dan menjaga Siang Pek-hong kakak beradik.

Keempat orang ini amat setia terhadap Siang Pek-hong, Siang Pek-hongpun pandang mereka sebagai paman, selama ini belum pernah dia gunakan sempritan sebagai seorang majikan untuk memanggil mereka.

Sempritan ini terbuat dari tanduk badak yang sudah ribuan tahun lamanya, suaranya aneh dan lain dari sempritan umumnya, sempritan ini hanya digunakan bila perlu memanggil mereka saja, cara tiga panjang dua pendek berulang tiga kali itupun hanya diketahui oleh Siang Pek-hong sendiri, sebelum ajalnya Siang Kian-thian ada turunkan sempritan serta cara meniupnya kepada putri sulungnya ini.

Semula keempat orang ini masih curiga, dikira Siang Pek- hong tertawan sebagai sandera dan dipaksa: Kini mereka sudah melihat keadaan Siang Pek-hong yang parah, tak mungkin bisa meniup sempritan itu, baru mau percaya akan perintahnya. Keruan Hong-lay-mo-li ter-sipu2, katanya: "Mana bolen begitu." lekas ia kebaskan lengan bajunya, dengan tenaga lunak ia berusaha mencegah ksempat orang berlutut kepadanya.

"Adikku yang baik," kata Siang Pek-hong, "Masa kau tega membiarkan Siang-keh-po terjatuh ketangan orang jahat?"

Mencelos hati Hong-lay-mo-li, sesaat ia tertegun, cepat kakek2 itupun sudah menyembah kepadanya.

Setelah berdiri salah seorang diantaranya yang paling tua tampil bicara: "Toa-sio-cia, siapakah yang melukai kau? Kami bersumpah untuk menuntut balas kepadanya!" Orang kedua ikut b:cara: "Koya (maksudnya Kongsun Ki), barusan sudah pergi, apa yang dia katakan kok tidak cocok, sebetulnya apa yang terjadi ?"

"Apa yang dia katakan?"

"Katanya Sio-cia sudah dicelakai oleh seorang bangsat perempuan, bangsat perempuan itu adalah... adalah..."

Tegak alis Hong-lay-mo-li, dengusnya gusar: "Berani dia memfitnah aku..."

Kakek tua itu ter-sipu2, kembali ia berlutut dan berkata: "Sekarang aku tahu ucapan Koya tidak benar, tapi aku tak mengerti kenapa dia membual? Aku hanya menyampaikan kata2nya saja, harap Cujin (majikan) maafkan."

Siang Pek-hong kertak gigi, katanya: "Karena orang yang mencelakai aku adalah Giok-bin-yau-hou itulah."

Tanpa berjanji keempat kakek itu menjerit bersama, saking kaget sampai mereka kesima ditempat-nya.

"Selanjutnya kalian harus mendengar perintah Liu Lihiap, membalas dendam tidak, cara bagaimana membalasnya, Liu Lihiap akan memberi petunjuk, kalian tak usah banyak urusan, Yang paling kubenci adalah siluman rase itu." setelah bicara keadaan Siang Pek-hong laksana api lilin ditengah hembusan angin deras badannya limbung tak kuat berdiri lagi. Lekas Hong-lay-mo-li memeluknya erat2, Siang Pek-hong kembali meronta tanyanya pula: "Dia, apa pula yang dia katakan?"

Laki2 tertua itu menjawab: "Koya kelihatan amat ter- gopoh2, dia pergi bersama seorang perempuan. Ka-tanya siocia dicelakai musuh terlalu tangguh, sulit dilawan, dia suruh kami menyulut api membakar habis Siang-keh-po, lalu mengundurkan diri, membawa semua orang, sementara aku disuruh memimpin mencari suatu tempat untuk menyembunyikan diri, kelak dia akan cari kita sendiri untuk berdaya upaya menuntut balas."

Saking marah mendelik mata Siang Pek-hong, teriaknya penuh kebencian: "Kongsun Ki, sungguh kejam kau!"

Hong-lay-mo-li sampai bergidik seram mendengar betapa kejam, rendah dan picik jiwa Suhengnya.

Se-konyong2 Siang Pek-hong memuntahkan darah segar pula, teriaknya: :"Beritahu kepada Suhengku, siluman rase ini. siluman rase " belum bicara habis tiba2 napasnya putus,

Lekas Hong-lay-mo-li salurkan tenaga murni pula, teriaknya dipinggir telinganya. "Suso, masih ada pesan apa untukku?"

Badan Siang Pek-hong kelejetan sebentar, seperti teringat suatu urusan penting, matanya terpentang segaris, suaranya mendesis dari bibirnya: "Aku, aku lupa beritahu kepada kau, ayahmu masih hidup dalam dunia ini." suaranya semakin lemah seperti suara nyamuk lalu berhenti sama sekali.

Melonjak jantung Hong-lay-mo-li, teriaknya: "Apa? Dia, dia dimana dia?" tiba2 terasa badan Siang Pek-hong sudah dingin, napaspun berhenti. Lekas Hong-lay-mo-li salurkan tenaganya pula, tapi tidak membawa reaksi, kiranya jiwanya sudah melayang. Perlu diketahui asal mulanya Hong-lay-mo-li adalah bayi buangan yang diketemukan gurunya yaitu ayah Kongsun Ki, selama ini dia tidak tahu siapa ayah dan ibu kandungnya.

Sejak dia tahu urusan, selalu terkenang kepada ayah ibunya, gurunyapun bantu mencari tahu, tapi selama ini usahanya tetap nihil, malah belum diketahui apakah behau2 masih hidup?

Tak nyana kini dari Siang Pek-hong yang dekat ajal ini, pertama kali ia mendengar berita ayahnya bahwa beliau masih hidup, sayang Siang Pek-hong keburu meninggal dunia, terang tak mungkin dia mencari tahu lebih lanjut.

Empat kakek itu tak mencucurkan air mata, namun sikap sedih mereka, jauh lebih memilukan dari menangis gerung2. Kembali mereka berlutut dan berkata bersama: "Harap majikan menuntut balas bagi Siocia, jikalau ada perintah, menempuh lautan api sampai badan hancur lebur, pun kami takkan menolak!"

Hong lay-mo-li rebahkan jenazah Susonya lalu ditutupi selembar selimut, kepedihan hati Hong-lay-mo-li lebih dalam dari keempat kakek itu. Sesaat lamanya baru dia tenang kembali, katanya: "Aku akan menuntut balas sakit hati Suso, kalian bangun, dengar petunjukku!"

Mendengar Hong-lay-mo-li akan menuntut balas, keempat kakek kembali menyembah, baru sekarang keluar gerung tangis mereka, Kata Hong-lay-mo-li: "Sekarang bukan saatnya bersedih lekaslah kalian siapkan segala keperluan saja."

"Harap majikan memberi petunjuk." sahut kakek tertua. "Pertama, selekasnya kalian harus bereskan jenazah Suso,

lebih cepat lebih baik. Kedua sementara boleh kau wakili aku

pegang tampuk pimpinan disini, kumpulkan seluruh penghuni perkampungan ini, beritahu kepada mereka Siang-keh-po bukan tempat tinggal selamanya pula, jikalau mereka ada yang ingin ikut boleh kau bawa mereka meninggalkan tempat ini, yang tidak mau beri sangu dan suruh mereka bubar untuk mencari hidupnya sendiri2."

Keempat kakek ini sudah puluhan tahun tinggal di Siang- keh-po, mereka rada berat untuk meninggalkan tempat ini, kata kakek tertua: "Majikan suruh kami menuju kemana, kita patuh akan perintah, Tapi Siang-keh-po sudah puluhan tahun kami bangun, disini boleh dibangun usaha besar, kalau ditinggal pergi begitu saja, masa tidak sayang?"

"Aku takkan bisa tinggal lama disini, segera aku akan pergi pula kelain tempat, setelah aku pergi Kongsun Ki dan siluman rase itu pasti akan kembali kesini," lalu Hong-lay-mo-li keluarkan sebentuk anak panah pendek yang terbuat dan batu jade, katanya pula: "lnilah panah perintahku, dengan membawa ini kau pimpin mereka pergi kepangkalanku saja, minta bertemu dengan nona Tai Mo, sekarang dia wakili aku pegang pimpinan dipangkalan, setelah melihat anak panah ini, tentu dia akan terima kedatangan kalian. Perlu kalian ketahui siluman rase itu adalah mata2 penjajah Kim, Kongsun Ki juga sudah menyerah dan terima menjadi antek bangsa Nuchin, Kita adalah laskar rakyat menentang negeri Kim, tak lama lagi bakal berlangsung peperangan dahsyat. Kalian masuk jadi anggota laskar rakyat berarti menuntut balas pula bagi siocia kalian, Sudah tentu siluman rase itu kelak aku akan membuat perhitungan kepadanya, kalian tak perlu turun tangan terhadapnya."

Berkata keempat kakek itu bersama: "Membela nusa dan bangsa memang adalah cita2 luhur kita. Waktu majikan tua masih hidup, beliaupun selalu memberi wejangan supaya kita jangan sudi diperbudak oleh bangsa Nuchin, Tak nyana Koya sudah kemaruk harta dan pangkat pikiran sudah gelap, bukan saja mendurhakai pesan ayah mertuanya, sampaipun Sio- ciapun menjadi korban keganasannya." Selanjutnya Hong-lay-mo-li memberi petunjuk dan keterangan seperlunya, lalu ia serahkan panah perintah itu, kakek tertua menerimanya dengan hormat. Tiba2 terdengar langkah ter-buru2 naik keatas loteng, belum lagi masuk pintu mulutnya sudah berkaok2: "Cukong, Cukong, mereka hendak membunuh Bing Cau, sukalah kau, sukalah kau..." tiba2 menjerit kaget dan hentikan kata2nya, ternyata badannya sudah terjinjing masuk oleh kakek tertua itu.

Orang ini adalah pelayan, tangannya menyekal gelang pualam, melihat keadaan dalam kamar sementara majikannya tak kelihatan seketika dia bingung dan ketakutan.

Pelayan ini bernama Bik Siau biasanya melayani Siang Cong-hong. Kakek tertua segera membentak: "Bik Siau, untuk apa kau kemari tergopoh2? Lekas menghadap majikan!"

Mendengar nama Bing Cau tergerak hati Hong-lay-mo-Ii, ia tahu semasa kecilnya dulu Bing Cau adalah teman bermain San San, hubungan mereka tetap intim sampai mereka berpisah karena terdesak oleh keadaan segera ia berkata: "Jangan bikin susah dia, biar dia menjelaskan Bing Cau melakukan perbuatan salah apa?"

Bik Siau masih kebingungan, tak tahu apa yang telah terjadi, dengan Iunglai dia berlutut dan memberi laporan: "Bing Cau menyulut api hendak membakar rumah ditaman belakang, katanya mendapat perintah dari Cukong, orang lain tak mau percaya obrolannya, kini dia d:ringkus dan hendak dibunuh beramai2. Aku kemari mohon Cukong untuk membuktikannya."

Malam ini Bing Cau kebetulan mendapat tugas dinas meronda dibagian perkampungan waktu Kongsun Ki melarikan diri, ketemu sama dia, maka disuruh melepas api didalam taman, namun perbuatannya konangan oleh penjaga bagian dalam penghuni tua Siang-keh po kecuali Kongsun Ki suami istri hanya patuh kepada Siang Ceng-hong serta keempat kakek tua itu, mana mereka mau percaya obrolan Bing Cau? Segera dia dikepung dan hendak dihajar, memang biasanya Bing Cau terlalu dimanjakan oleh Kongsun Ki, sering bertingkah laku kasar dan tengik, tak akur dengan sesama teman2nya, kini mendapatkan bukti kesalahannya, kesempatan untuk membalas kelalimannya! Karena gugup Bing Cau melawan dengan nekad, keadaan begini genting tak mungkin dia memberi penjelasan Bik Siau secara diam2 ada main pat-gu-lipat dengan Bing Cau, melihat keadaannya maka tersipu2 ia lari kekamar Kongsun Ki hendak minta pertolongan diluar tahunya bahwa Kongsun Ki sudah melarikan diri.

Mengingat hubungan Bing Cau dengan San San dulu, Hong-lay-mo-li jadi rada rikuh, segera ia tunjuk salah seorang kakek dan berkata: "Memang Kongsun Ki yang suruh dia melakukan, kesalahan tak bisa ditumpahkan atas dirinya, pergilah kau suruh mereka membebaskan Bing Cau."

"Lapor majikan," sahut kakek itu, "Bing Cau bocah itu adalah orang kepercayaan Kongsun Ki."

Hong-lay-mo-li menghela napas, katanya: "Aku sendiri toh pernah bantu Kongsun Ki, sebelum kejadian ini siapa tahu dia bermuka manusia berjiwa binatang? Tentunya orang2 kepercayaan Kongsun Ki tidak sedikit jumlahnya, mereka tok tidak bisa dibrantas satu persatu. Lekas kau bebaskan dia!"

Kakek tua itu mengiakan dan tak berani banyak bicara lagi. "Tunggu sebentar!" tiba2 Hong-lay-mo-li memanggilnya

pula, hati Bik Siau sudah bersorak girang, tiba2 dilihatnya mata Hong-lay-mo-li menatap tajam kepadanya, seketika jantungnya seperti hendak melonjak keluar, "Kau amat menyukai Bing Cau, benar tidak?" tanya Hong-lay-mo-li.

Hubungan baik dengan Bing Cau ini jelas takkan bisa mengelabui keempat kakek itu, terpaksa Bik Slau mengeraskan kepala mengakui: "Ya, maka aku kemari mohon ampun akan kesalahannya." Pengakuan secara jujur tepat mencocoki watak Hong-lay- mo-li, segera ulapkan tangannya, katanya: "Baik, pergilah kau ikut Bing Cau! Satu hal harus selalu kau ingat, selanjutnya jangan kau suka diperbudak oleh Kongsun Ki, suruhlah Bing Cau mencari pekerjaan yang halal, jangan keluntungan pula di Kangouw."

Keruan Bik Siau kegirangan, "Banyak terima kasih akan keluhuran budi majikan mengampuni kesalahannya, selanjutnya kita pasti berbuat menurut petunjukmu. Gelang pualam ini..." sejak masuk tadi ia pegangi gelang pualam yang dilempar keluar jendela oleh Siang Pek-hong tadi.

Hong-lay-mo-li jadi mual dan naik pitam, serunya aseran: "Biar gelang itu bersama Kongsun Ki enyah dari hadapanku, jangan kau tunjukan kepadaku lagi, membuatku marah saja!"

Bik Siau membatin: "Kau tidak mau malah kebetulan biar, kusimpan saja!" lekas ia mengundurkan diri mengikuti kakek tua itu.

Setelah Bik Siau pergi, Hong-lay-mo-li menghela napas lega, ia mendekat kepembaringan terus menjura sambil berlinang air mata, katanya berdoa: "Suso, maaf aku tak bisa mengantar pemberangkatanmu, Sakit hatimu aku bersumpah akan menuntut balas, Semoga kau bisa istirahat dengan tenang." dengan kepedihan yang tak terhingga ia beranjak keluar dari Siang-keh-po. Waktu itu fajar sudar mulai menyingsing.

Hong-Iay-mo-li menghirup hawa pagi, udara terasa rada jernih, pikirnya: "Ayahku masih hidup, dunia seluas ini, kemana aku harus mencarinya? Sayang Suso sudah meninggal, tak mungkin mencari tahu kepadanya."

Begitulah seorang diri Hong-lay-mo-li berangkat ke Kanglam, dengan Ginkangnya yang tinggi, setengah bulan kemudian tanpa mendapat rintangan apa2, dia tiba di Jay- ciok-ki ditepi Tiangkang, menyebrang dari sini, daerah sebrang merupakan wilayah yang diduduki oleh negeri Song.

Negeri Song dan Kim, menentukan Tiangkang sebagai perbatasan wilayah kekuasaan pemerintahannya masing2, satu diutara yang lain diselatan saling berhadapan, dimana2 sering terlihat kobaran api peperangan, penduduk sepanjang sungai sudah lama mengungsi jauh ketempat yang aman, maka untuk mencari sebuah perahu untuk menyebrang bukan soal gampang, menyusuri tepi sungai Hong-lay-mo-li berjalan kira2 sepuluhan li, belum terlihat adanya sebuah perahu, disaat hatinya gelisah, tiba2 didengarnya di semak2 daon welingi disebelah sana terdengar suara air tersiak kena gayuh, tak lama kemudian tampak sebuah sampan muncul dari belakang semak2.

Mungkin pemilik perahu takut diganggu tentara Kim, maka menyembunyi kan diri didalam semak2, bila melihat ada penumpang baru unjukan diri.

Hong-lay-mo-li amat senang, teriaknya: "Bapak nelayan, kemarilah, tolong bawa aku keseberang!"

Pemilik perahu adalah laki2 berjambang bauk, bermata besar beralis tebal, dengan seksama ia amat2i Hong-lay-mo-li, tanyanya: "Hanya kau seorang diri saja?"

"Ya!" Hong-lay-mo-li mengiakan.

"Untuk apa kau hendak menyebrang kesana?" sikapnya rada kuatir dan ragu2.

"Kau tak usah peduli, nanti kubayar lebih banyak." "Bukan siaujin banyak urusan, celaka kalau ditengah jalan

kebentur dengan pasukan air musuh, kau seorang diri lagi, kalau terjadi perkara, siaujin tak berani tanggung jawab."

"Kalau terjadi sesuatu diluar dugaan, akupun takkan salahkan kau." "Kubawa kau kesebrang, berarti akupun menempuh bahaya, kau berani bayar sepuluh tali perak?"

Hong-lay-mo-li segera merogoh sekeping perak, katanya: "Perak ini bernilai enam belas tail, silakan kau ambil."

Dengan ter-sipu2 laki2 itu menerima kepingan perak itu, seketika mukanya berseri tawa, "Baik, kau begini ringan tangan, siaujin pasti bekerja sekuatnya antar kau kesebrang, nona ini kau she apa?"

"Aku she Liu" sahut Hong-lay-mo-li sembari lompat naik keatas sampan, jarak perahu masih tiga tom-bak, sekali lompat dengan ringan Hong-lay-mo-li hinggap diatas sempan, sampan sedikitpun tak bergeming, pemilik parahu melirik kepada Hong-lay-mo-li dengan pandangan heran, sikapnya kurang wajar.

Umumnya dalam Bulim ada sebuah pantangan, ilmu silat diibaratkan harta benda, tak boleh sembarangan diperlihatkan didepan orang, tapi Hong-lay-mo-li memang sengaja hendak pamer Ginkangnya yang tinggi.

Melihat sikap kurang wajar pemilik perahu, diam2 ia berpikir: "Biar dia tahu aku bukan perempuan sembarangan supaya dia tak perlu takut dan ragu2."

"Nona duduklah yang benar, segera kita berangkat!" seru pemilik perahu, Galah segera diangkat, sekali tutul ditepian, sampan laksana panah meluncur ke-depan, sebentar saja sudah melaju ketengah sungai.

Rada bercekat hati Hong-lay-mo-li melihat kekuatan orang, sejak tadi Hong-lay-mo-li sudiah tahu laki2 jambang bauk ini adalah seorang persilatan, cuma kepandaian orang sebenarnya jauh lebih tinggi dari perkiraannya. Dari tenaga orang yang menyurung sampan dengan galah besi, diperkirakan orang membekal latihan Lwekang sepuluhan tahun.

Membekal kepandaian tinggi besar nyali Hong-1ay-mo-li, meski dia harus rada hati2, sikapnya tenang2 saja, Katanya tertawa: "Siaukong (panggilan kepada tukang perahu), besar juga tenagamu!"

"Siaujin hidup mengandal perahu ini, dalam jaman yang kalut ini, sedikit banyak harus belajar kepandaian untuk menjaga diri." sahut tukang perahu, lalu ia berteriak kedalam perahu: "lbune, keluarlah terima tamu."

Dari dalam menongol keluar seorang nyonya berusia sekitar tiga puluhan, sepasang matanya jelilatan mengawasi Hong- lay-mo-li, segera ia memberi hormat dan menyapa: "Nona, sungguh berani menyebrang seorang diri."

"Ya, aku perlu segera menyambangi famili, terpaksa sih. untunglah kalian suami istri cukup mampu, diatas perahu ini aku jadi lebih lega hati." selintas pandang Hong-lay-mo-li sudah tahu bahwa kepandaian silat nyonya ini lebih tinggi dari suaminya, sengaja ia beberkan rahasia orang lebih dulu.

Nyonya itu berkata: "Hari ini angin besar gelombang tinggi, perahu berlaju menanjak air lagi, untuk sampai kesebrang, kira2 memakan setengah hari. Nona, biarlah kusiapkan sekedar hidangan bagaimana? Aku masih menyimpan beberapa ekor ikan segar!"

"Terima kasih, aku belum lapar, tak usah repot." "Disebrang belum tentu kau bisa menemukan orang, lebih

baik kau makan dulu disini supaya tidak kapiran ditengah jalan."

Melihati orang bermaksud baik, Hong-lay-mo-li tak menolak lagi "Baiklah, bikin repot kau saja." Nyonya itu masuk kembali, tak lama kemudian keluar pula sambil berkata: "Nona, jikalau dahaga, silakan minum air teh." dia letakan sebuah poci dan sebuah cangkir disamping Hong- lay-mo-li lalu kembali kedalam.

Memang Hong-lay-mo-li merasa mulutnya rada kering, segera ia menuang secangkir air terus diendus dulu didepan hidungnya, teh panas ini berbau wangi, cuma baunya rada aneh, Hong-lay-mo-li menjengek dingin, pikirnya: "Aku memang ingin tahu asal usul kalian, biar kucoba minum tehmu ini."

Begitu air teh masuk perut, seketika berubah air muka Hong-lay-mo-li, bentaknya: "Kurangajar: berani kalian mencelakai aku. Kuhatur kembali secangkir teh ini!" jari tengahnya terjulur, seutas benang air menyemprot keluar dari ujung jarinya, Kira-nya Hong-lay-mo-li memang sudah siaga, begitu terasa teh ini mengandung racun, segera ia kerahkan Lwekangnya mendesak teh beracun ini keujung jarinya terus disemprot keluar.

Jarak tempat duduknya dengan tukang perahu yang berada diburitan kira2 tujuh delapan tombak, sebat sekali tukang perahu miringkan badan, meski cepat ia berkelit, tak urung kepala dan mukanya tersemprot beberapa titik, rasanya pedas dan panas cepat sekali Hong-lay-mo-li sudah melolos pedang terus menubruk datang.

Sudah tentu kejut tukang perahu bukan kepalang, lekas ia angkat galah besi menangkis, "krak!" galah besi itu terpapas kutung sebagian, Pedang Hong-lay-mo-li bukan pedang pusaka, tapi dibawah saluran Lwe-kangnya, tajam pedangnya dapat menabas besi seperti mengiris roti, keruan lebih kejut pula tukang perahu, diam2 hatinya mengeluh.

Dalam sekejap mata, beruntun Hong-lay-mo-li menyerang tujuh tusukan pedang, galah besi orang kembali ditabasnya kutung semakin pendek, ter-sipu2 tukang perahu menjejak geladak sehingga perahu menjadi oleng, kebetulan Hong-lay- mo-li tusukan pedang-nya, "Sret" sinar pedang meleset diatas batok kepala tukang perahu, rambut kepalanya seketika beterbangan dihembus angin.

Hong-lay-mo-li tahu tenaga orang masih amat diperlukan ditengah sungai ini, maka ia tidak ingin membunuhnya, sekali pergelangan tangan berputar, tahu2 ujung pedang mengancam tenggorokan orang, bentaknya: "Kau menyerah tidak? Coba katakan, apa maksud kalian hendak mencelakai aku?"

Tukang perahu cukup licin, ia tahu Hong-lay-mo-li memerlukan tenaganya, maka tak berani membunuhnya, segera ia meratap: "Liu Lihiap, singkirkan dulu pedangmu, biar nanti kujelaskan. Memang ada orang yang menyuruhku..."

"Siapa? Lekas katakan!"

Disaat mulutnya bicara, gesit sekali tiba2 Tukang perahu jejakkan kakinya jumpalitan mundur terjun kedalarn air.

"Mau lari?" bentak Hong-lay-mo-li, "naik!" cepat sekali tangannya yang lain terulur mencengkram tapak kaki Si tukang perahu.

Se-konyong2 terdengar semberan angin tajam dari belakang, kiranya istri tukang perahu sudah memburu keluar, belum tiba ia sambitkan senjata rahasia lebih dulu. Hong-lay- mo-li kerahkan Hou-deh-sin-kang, maka terdengarlah suara trang, tring, tiga buah pisau baja dan dua panah semua tergetar jatuh.

Lantaran harus kerahkan tenaga, sehingga cengkraman tangannya rada kendor, tukang perahu sedang meronta sekuatnya lagi, maka cengkraman Hong-lay-mo-li kurang keras dan cekalannya lepas, cepat sekali orang sudah selulup menghilang kedalam air. "Bagus sekali Hong-lay-mo-li, memang tidak bernama kosong!" jengek nyonya itu tertawa dingin, "tapi diatas air, jangan harap kau bisa mentang2."

Hong-lay-mo-li tiba2 putar badan, bentaknya: "Baik, ingin aku lihat tampangmu ini punya kemampuan apa?" cepat sekali iapun keluarkan kebutannya ditangan kiri, dengan sejurus

Ban-lo-jian-si, pikirnya hendak kembangkan ilmu kebutannya untuk membekuk nyonya ini.

Cara bagaimana Hong-lay-mo-li meloloskan diri dari tipu daya musuh? Dimana Khing Ciau selama ini?

Siapakah sebetulnya ayah Hong-lay-mo-Ii ? Liku2 apa pula yang dia alami di Kanglam?

(Bersambung ke bagian 9)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar