Pendekar Aneh dari Kang Lam Jilid 10

Jilid 10

LIU CUNG KIAT merangkapkan kedua tangannya dengan mata pedang turun menghadapi bumi, katanya cepat2 dengan sikap yang ber-sungguh2:

"Dalam hal ini bukanlah menyangkut penghasilanku saja, namun juga menyangkut nama baik dan tanggung jawab yang diberikan kerajaan. Jika aku menyerahkan tawanan ini kepadamu Toako, maka untuk selanjutnya sulit aku kembali kekota raja... karena jika aku kembali, tentu pihak atasanku akan menjatuhkan hukuman yang berat untuk kesalahan dan dosa2ku ini...!"

"Hemmm, jadi engkau masih memberatkan jabatanmu itu ? Dan engkau tidak mau memandang mukaku ?" tanya sipelajar. "Aku Cun Liong lo memang selalu bersikap lunak, tetapi jika engkau bersikeras kepala seperti itu, dan tidak mau mendengar nasehatku, tentu engkau sendiri yang akan menderita kerugian..!"

Muka Cung Kiat berobah ketika mendengar perkataan Cun Liong To, ia berkata dengan sikap yang sabar: "justru dengan memberanikan diri Siauwte ingin meminta kebaikan dan kemurahan hati Toako, agar mau mengampuni dan mengijinkan aku mengawal kereta berkuda ini sampai ditempat tujuannya. Jika memang kelak aku sudah menyerahkan tawanan ini kepada pihak atasan, maka semua itu terserah kepada Toako, ingin bekerja diwaktu itu juga aku tidak akan mencampurinya lagi !

Tetapi sekarang ini justru tanggung jawab berhasil atau tidaknya tawanan ini tiba ditempat tujuan berada dipundakku, dan aku telah dipesan ber-kali2, bahwa tawanan ini sangat penting dan harus tiba ditempat tujuan, dengan demikian tanggung jawab yang begitu besar jelas tidak berani kuterlantarkan!"

Muka Cun Liong To berobah jadi merah dan ia tampaknya mendongkol sekali, katanya sengit:

"Baiklah, aku ingin melihat sampai dimana engkau ingin memperlihatkan gigi mempertahankan terus tawanan itu, walaupun kepandaianmu tinggi, tetapi kukira dengan hanya seorang diri seperti ini, tentu engkau tidak akan berhasil untuk mempertahankan tawanan ini !"

"Tetapi Toako...!"

"Begini sajba, kau katakan ddengan tegas, maau berpihak padba kami atau pada kerajaan..?"

Liu Cung Kiat jadi bimbang, ia berdiri diam saja ditempatnya dan tidak mengatakan suatu apapun juga.

Tetapi disaat itu, dua orang anak buah dari sipelajar she Cun berkata sengit: "Sudah disikat saja, Toako... biar kami yang membereskannya..!"

Namun pelajar she Cun tersebut mengulapkan tangannya, ia berkata sabar: "jangan... biarlah urusan ini diselesaikan olehku..!"

Dan setelah berkata begitu, sipelajar she Cun tersebut menoleh kepada Liu Cung Kiat sambil tanyanya: "Bagaimana ? Apakah kau menerima usulku. ?"

Namun Liu Cung Kiat menggelengkan kepalanya.

"Sayang sekali Toako. tugas ini menuntut tanggung jawab

yang berat.... dan menyesal sekali justru aku tidak mengetahuinya bahwa kita akan berhadapan sebagai lawan." Orang she Cung tersebut menggerakkan serulingnya sambil tertawa tawar, tanyanya: "Apakah engkau rela jika persahabatan kita hancur hanya disebabkan oleh urusan ini ?"

Liu Cung Kiat merangkapkan sepasang tangannya, ia berkata dengan sikap bersungguh-sungguh: "justru dengan memandang pada persahabatan kita dulu itu, harap Toako bermurah hati kepadaku, ijinkanlah aku menyelesaikan tugas ini sampai ditempat tujuan, setelah itu barulah Toako bekerja, Diwaktu itu aku berjanji akan lepas tangan dan tidak mencampuri lagi, karena sudah bukan menjadi kewajibanku lagi..!"

Muka sipelajar she Cun tersebut berobah jadi merah padam karena semakin lama ia jadi hilang sabar dan menjadi marah, serulingnya beberapa kali telah dikibaskan sambil katanya: "Baiklah... jika memang engkau berkeras dengan keputusanmu seperti itu, aku juga tidak bisa mengatakan apa2... tetapi yang pasti, kami harus berhasil merebut tawanan itu... Kami bukan tidak ingin memberikan muka terang kepadamu, tetapi justru kami terpaksa sekali, karena didalam urusan ini terdapat urusan yang besar dan penting sekali, Maafkanlah... maafkanlah...!"

Waktu berkata bregitu, sipelajatr she Cun terseqbut merangkapkarn kedua tangannya, ia menjura memberi hormat.

Melihat sikap sipelajar she Cun tersebut Liu Cung Kiat segera menyadarinya bahwa pelajar she Cun tersebut akan segera bertindak.

Dengan demikian, ia jadi bersiap sedia.

Dalam detik2 seperti itu, mereka saling pandang beberapa saat, barulah kemudian ia berkata dengan suara yang sabar: "Toako,benar2kah engkau tidak mau memberi muka terang kepadaku?" "Sayang sekali dalam hal ini memang aku tidak bisa bertindak sendiri, urusan ini urusan pribadiku, sehingga dengan demikian berarti aku tidak bisa memutuskan sendiri seenaknya. Seperti engkau lihat, disini telah berkumpul ratusan orang sahabat, dengan demikian, berarti keputusan bersama yang harus dipegang, untuk kepentingan semuanya! Menyesal sekali, aku harus mengorbankan perasaan pribadi dan harus berusaha melaksanakan tugas. Sama seperti engkau yang memiliki tugas dan tanggung jawab. maka

akupun tengah bertugas dan bertanggung jawab !"

Muka Liu Cung Kiat memperlihatkan sikap yang menyesal, ia berkata dengan suara yang tawar: "Apakah benar2 persahabatan kita harus rusak hanya sampai disini?"

Cun Liong To menghela napas dalam2, dengan memperlihatkan sikap menyesal ia berkata: "Baiklah.   baiklah,

jika memang demikian, kita mulai saja mengambil keputusan!"

Liu Cung Kiat tertawa pahit, katanya dengan suara yang agak perlahan: "Apakah memang benar2 Toako tidak mau memberikan muka sedikitpun kepadaku..?"

Cun Liong To menggeleng perlahan, katanya: "Menyesal sekali memang tidak bisa aku meluluskan permintaanmu guna melepaskan engkau begitu saja dengan "barang dagangan" mu, maka dari itu, jika dari pihakmu tidak mau memberikan pengertian kepada kami, bagaimana kami bisa memberikan juga sesuatu kelonggaran untuk dirimu! persahabatan yang telah kita pupuk begitu lama, jika memang engkau hendak memandang akan persahabatan tersebut, tentu engkaupun tidak akan menghalangi kami untuk mengambil kereta tersebut guna menyelamatkan tawanan yang berada dalam kereta itu."

Liu Cung Kiat tersenyum sambil menahan sabar, katanya: "Baiklah Toako, ada petunjuk apa untukku ?" "Mungkin selama ini engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat pada ilmu silatmu, maka aku hendak main2 beberapa jurus dengan kau...!"

"Baiklah...!" kata Liu Cung Kiat yang sudah tidak memiliki pilihan lainnya, "Jika memang demikian, aku tidak bisa menampik lagi dan terpaksa menerima petunjuk2 dari Toako.!"

Setelah berkata begitu Liu Cung Kiat merangkapkan sepasang tangannya sambil sikap memberi hormat, padanya telah ditujukan kearah tanah, mata pedang digetarkan ternyata Liu Cung Kiat telah menyalurkan kekuatan tenaga lwekangnya pada pedangnya tersebut,

Sedangkan Cun Liong To pun ber-siap2 untuk melakukan pertempuran dengan menggunakan serulingnya, ia bersiap- sedia untuk menerima terjangan dari lawannya, yang pernah menjadi sahabatnya itu.

"Silahkan engkau melancarkan serangan...!" kata sipelajar she Cun tersebut.

"Maaf..!" kata Liu Cung Kiat, dan tahu2 pedangnya telah bergerak menjurus kearah dada Cun Liong To dengan cepat, ia bermaksud akan menikam dengan gerakan yang benar2 sulit sekali diikuti oleh pandangan mata biasa.

Tetapi Cun Liong To memang memiliki kepandaian yang tinggi, ia tidak gentar terhadap tikaman seperti itu, serulingnya telah diangkat untuk dipergunakan menangkis. Gerakan yang dilakukannya tidak kalah cepatnya, dimana serulingnya ber-gulung2 dan cepat sekali menyambar kesamping dan terus menotok kearah rusuk lawannya.

Liu Cung Kiat mengeluarkan suara seruan, ia menggeser kedudukan kakinya, pedangnya di sabetkan kesamping, dan meluncur ke pinggang Cun Liong To.

Terpaksa Cun Liong To harus melompat lagi menjauhi diri. "Hebat kepandaian yang telah engkau capai !" puji Cun Liong To.

Tetapi Liu Cung Kiat tidak menyahuti, cepat sekali pedangnya menyambar ber-tubi2.

Cun Liong To juga melayani dengan serulingnya, mereka jadi saling terjang dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali, dimbana sinar pedandg dan seruling ayang bergulung bitu seperti mengurung diri mereka berdua.

Angin dari kedua senjata tersebut juga berkesiuran dengan keras, sehingga debu berterbangan, membuktikan bahwa tenaga lwekang yang mereka pergunakan telah cukup tinggi.

Orang-orang Cun Liong To menyaksikan jalannya pertempuran tersebut dengan berdiri di luar gelanggang, mereka hanya memandang diam saja dengan sikap bersiap sedia untuk segera menerjang maju, jika saja Cun Liong To memang terdesak oleh Liu Cung Kiat.

Tetapi dilihat dari cara bertempur kedua orang tersebut, telah memperlihatkan bahwa mereka memang berimbang, dimana kepandaian mereka seperti juga sama tinggi dan sama liehay-nya.

Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, tampak Cu Liong To memutar serulingnya lebih cepat lagi, dimana ia ber-tubi2 melakukan penotokan, memukul dan gerakan untuk menggaet pedang lawannya. Gerakan2 yang dilakukannya itu cepat sekali, dan mengandung kekuatan lwekang yang benar2 dahsyat.

Liu Cung Kiat tidak berani main2, karena lwekang yang dipergunakan lawannya memang kuat dan juga gerakannya disamping aneh pun cepat sekali.

Dia juga memutar pedangnya dengan cepat, sehingga sinar pedang itu ber-gulung2 seperti juga perbentengan yang kuat sekali mengelilingi tubuhnya. Dengan demikian, seruling lawannya tidak bisa menerobos memasuki pertahanannya tersebut.

Kedua orang tersebut memang memiliki kepandaian yang sama tinggi, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk  mendesak lawan mereka masing2.

Setelah bertempur sekian lama dan mereka tetap berimbang, akhirnya Cun Liong To telah merobah cara bertempurnya, serulingnya tidak di-putar2 seperti tadi, tetapi ia melakukan totokan-totokan dengan gerakan yang tidak terduga, sebentar kekiri sebentar kemudian kekanan, sehingga cukup membingungkan Iawannya.

Dan waktu Liu Cung Kiat tengah bingung untuk mengelakkan diri dari totokan yang dilakukan oleh lawannya, diwaktu itulah Cun Liong To telah mempergunakan kesempatan tersebut untuk melompat tinggi sekali ketengabh udara, tubuhndya bersalto dana kedua tangannyba dipentang, lalu meluncur turun dengan serulingnya yang menyambar cepat sekali.

Samberan seruling yang cepat dan bertenaga itu benar2 membuat Liu Ceng Kiat tidak berani berayal. Cepat sekali ia mengeluarkan suara bentakan sambil memusatkan kekuatan lwekangnya, Dan bersamaan dengan itu pedangnya telah menikam sambil menabas kesamping. 

"Wutttt....!" angin serangan itu terdengar sangat jelas sekali, dimana tampak sinar putih ke-perak2an dari pedang Liu Cung Kiat telah menyambar dengan kuat sekali mengancam perut Cun Liong To.

Waktu itu tubuh Cun Liong To tengah meluncur turun dengan gerakan yang cepat sekali, sehingga ia tengah berada dalam posisi yang tidak begitu baik, dimana lawannya sempat untuk melakukan penyerangan ditempat kelemahan yang terdapat pada saat itu, sehingga jalan satu2 nya hanyalah mengerahkan Iwekangnya pada kakinya, dan ujung serulingnya kemudian diinjak oleh ujung kakinya, tahu2 tubuhnya telah melambung lagi keatas.

Gerakan yang dilakukan memang benar2 sangat mengagumkan karena ia telah memperlihatkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang sempurna, dimana tubuhnya melambung seperti juga sehelai daun yang tertiup angin keudara, sehingga selamatlah Cun Liong To dari samberan mata pedang Liu Cung Kiat.

Begitulah, mereka berdua telah bertempur dengan jurus2 yang aneh, dan setiap jurus yang mereka pergunakan merupakan jurus yang benar-benar mengandung maut, sekali saja mereka berlaku ayal dan terlambat mengelakkan diri dari tikaman maupun totokan, maka mereka akan celaka.

Angin serangan pedang dan seruling itu telah berkesiuran terus tanpa berkesudahan, sampai akhirnya Cun Liong To menggerakkan serulingnya menyabet kesamping dengan gerakan melintang, maka pedang Liu Cung Kiat telah terkena dorongan yang kuat, hampir saja terlempar terlepas dan cekalan tangannya.

Liu Cung Kiat melompat mundur dua langkah dengan wajah yang berobah, sedangkan Cun Liong To juga telah mreIompat kebelaktang dengan geraqkan yang cepat rsambil katanya: "Tahan..!"

Liu Cung Kiat telah mencekal kuat2 pedang nya dan mengawasi Cun Liong To dengan sorot mata yang tajam, lalu katanya. "Toako, apakah kita harus saling bermusuhan lebih jauh!"

"Justru ini bukan persoalan pribadi... ini menyangkut urusan dengan tugas dan kewajiban dimana kita berdua memang masing2 memiliki tugas dan kewajiban yang  berbeda. Engkau tengah bertugas untuk menjaga tawanan didalam kereta itu, sedangkan aku tengah berusaha untuk dapat merebut tawanan tersebut... dengan demikian, kita akan terus terlibat dalam persoalan yang tidak berkesudahan, tetapi jika memang Liu Hiante bermaksud untuk bergabung kembali dengan kami, tentu urusan ini akan dapat diselesaikan dengan baik..!"

Mendengar bujukan Cun Liong To, Liu Cung Kiat tersenyum pahit lalu katanya: "Sayang sekali aku tidak bisa melakukan, kepercayaan yang telah diberikan kepadaku... tugas yang tengah kulaksanakan ini harus dapat diselesaikan dengan se- baik2nya...!"

Muka Cun Liong To berobah sedikit, tetapi kemudian katanya sambil tersenyum: "Jika memang demikian berarti kita harus saling tempur terus tanpa berkesudahan, sampai akhirnya salah seorang diantara kita ada yang terluka atau terbinasa !"

"Aku sendiri tidak tahu cara apa yang harus dipengunakan selain cara itu ?" kata Liu Cung Kiat, "Dan tentunya aku hendak meminta belasan kasihan dari kau Toako, agar tidak berlaku terlalu keras dan menurunkan tangan terlalu kejam pada adikmu ini !" dan setelah berkata begitu, Liu Cung Kiat bersiap-siap untuk menerima serangan kembali.

"Apakah engkau benar2 tidak mau mengalah sedikitpun kepada kami ?" tanya Cun Liong To dengan suara yang datar.

"Menyesal sekali Toako.....terpaksa adikmu harus mempertahankan tugas yang telah diberikan dan dipercayakan kepada adikmu ini !"

Cun Liong To memandang tajam, kemudian menghela napas, ia memasukkan per-lahan2 serulingnya pada ikat pinggangnya, kemudian katanya: "Baiklah, aku akan mencoba melayanimu dengan tangan kosong !"

Liu Cung Kiat memperlihatkan sikap tegang karena ia menyadari bahwa dengan bertangan kosong, seperti Cun Liong To akan jauh lebih lihay, karena tentunya ia akan mempergunakan ilmu pukulan andalannya dinamakan "Bian Hun Ciang" atau "Ilmu pukulan Wajah Arwah".

IImu pukulan itu merupakan ilmu pukulan telapak tangan kosong yang sulit sekali dilawan, karena memang Cun Liong To telah menjagoi rimba persilatan dengan mengandalkan ilmu pu kulan telapak tangan kosongnya tersebut.

Liu Cung Kiat hendak menyimpan pedangnya, tetapi Cun Liong To telah berkata: "Engkau boleh mempergunakan terus pedangmu..!"

Liu Cung Kiat tersenym tawar.

"Terima kasih atas kemurahan hati Toako...!" katanya.

Dan ia mengibaskan pedangnya sampai memperdengarkan suara mendengung.

Keduanya telah bersiap sedia untuk bertanding lagi, dimana pedang akan menandingi kedua telapak tangan kosong, tetapi Liu Cung Kiat sendiri kuatir, kalau2 ia tidak akan sanggup menandingi kepandaian ilmu pukulan andalan dari Cun Liong To, yaitu Bian Hun Ciang.

Cun Liong To telah mengangkat kedua telapak tangannya sampai dekat dadanya, Gerakan yang dilakukannya sangat lambat, tetapi bagi orang2 rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi tentu mengetahui bahwa gerakan yang dilakukannya itu mengandung tenaga lwekang yang dahsyat. Dengan demikian, setiap pukulan telapak tangan itu akan berakibat berat sekali buat lawannya.

Liu Cung Kiat juga telah melinbtangkan pe angndya, ber- siap2 uantuk menerima sberangan dari lawannya.

Setelah mengawasi sekian lama, akhirnya Cun Liong To mengeluarkan suara seruan nyaring, tubuhnya tampak melompat dengan gerakan yang gesit sekali, dan sambil menerjang begitu, kedua telapak tangannya telah melakukan pukulan beruntun dengan mempergunakan tenaga "Im" (lunak) dan "Yang" (keras).

Menyaksikan lawannya melakukan penyerangan dengan mempergunakan kekuatan yang mengandung dua unsur yang berlainan sifatnya, Liu Cung Kiat bersikap jauh lebih ber-hati2. Pedang nya juga telah diangkat agak tinggi, dan waktu serangan dari Cun Liong To menyambar datang, ia mempergunakan pedangnya itu untuk mengancam perut Cun Liong To.

Sehingga Cun Liong To harus cepat2 berkelit dan membatalkan serangannya.

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat sekali, dan diwaktu itu, tampak gerakan dari Cun Liong To semakin lama jadi semakin cepat, dan angin dari kedua telapak tangannya juga menyambar semakin kuat, dengan demikian membuat Liu Cung Kiat jadi sibuk untuk melompat kesana kemari mengelakkan diri, sebab pedang ditangannya kini seperti sudah tidak berdaya apa2 untuk melakukan serangan balasan ataupun mendesak lawannya.

Hebatnya, Cun Liong To walaupun hanya mempergunakan kedua telapak tangan kosong, namun bisa menandingi iimu pedang Liu Cung Kiat, yang didesaknya terus menerus, dengan demikian membuat Liu Cung Kiat harus memutar otak keras sekali, guna mencari jalan agar bisa menandingi dan mengimbangi pukulan2 lawannya.

Didalam hatinya Liu Cung Kiat juga memuji akan hebatnya pukulan Bian Hun Ciang yang dimiliki Cun Liong To, karena ia kagum melihat betapa Cun Liong To berulang kali dapat mendesak dirinya ber-tubi2.

Semakin lama gempuran yang dilakukan oleh Cun Liong To semakin kuat, dimana dia mempergunakan hampir delapan bagian dari kekuatan lwekang yang dimilikinya. Angin yang ber-gulung2 dari jurus2 yang dipergunakannya merupakan angin kematian untuk lawannya.

Sekali saja Liu Cung Kiat gagal mengelakkan diri atau menangkis serangan lawannya, berarti dia akan mengalami luka berat ataub kematian.

Dengdan demikian, tearpaksa Liu Cungb Kiat harus memusatkan seluruh perhatiannya, guna mengadakan perlawanan yang gigih, pedangnya dicekal kuat2 dan dia mengeluarkan ilmu pedang andalannya, yaitu Tui Hong atau ilmu Pedang Mengejar Angin.

Seratus jurus telah berlalu, dan mereka semakin terlibat dalam pertempuran yang menentukan antara hidup dan mati.

Tetapi disaat kedua orang itu tengah bertarung dengan serunya, justru dikejauhan terdengar suara orang berseru kaget dan kemudian tampak sesosok tubuh yang bergerak cepat sekali mendatangi.

Sosok tubuh itu bergerak demikian gesit dan juga lincah sekali, dalam sekejap mata telah melewati orang2nya Cun Liong-To, kemudian tiba ditengah gelanggang.

Dan orang yang baru datang itu tidak mau ia berdiam diri saja, ia menggerakkan kedua tangannya, yang tahu2 telah berhasil mencekal tangan Cun Liong To dengan tangan kanan, dan tangan Liu Cung Kiat dengan tangan kirinya.

"Hentikan..!" kata sosok tubuh itu dengan suara yang nyaring, "jangan meneruskan pertempuran ini...!"

Cun Liong To dan Liu Cung Kiat jadi terkejut bukan main, karena mereka merasakan waktu tangan mereka dicekal tangan orang tersebut, pergelangan tangan mereka seperti dijepit kuat sekali.

Dan waktu tubuh mereka didorong untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya mereka juga merasakan dorongan yang sangat kuat sekali, sehingga mereka ter-huyung2 mundur kebelakang.

Dengan demikian telah membuktikan bahwa kekuatan lwekang yang dimiliki orang yang baru datang tersebut memang lebih tinggi dari mereka.

Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memisahkan dua orang jago yang tengah bertarung dan masing2 memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi orang yang baru muncul itu tampaknya begitu mudah saja memisahkan mereka. Dengan demikian membuat kedua orang tersebut, Cun Liong To dan Liu Cung Kiat jadi terkejut bercampur kagum.

Dan mereka lebirh heran dan kagtet lagi waktu mqelihat tegas barhwa orang yang memisahkan mereka tidak lain dari seorang pemuda belia, yang berusia tidak lebih dari dua puluh tahun.

Cun Liong To segera dapat menguasai perasaannya, ia merangkapkan tangannya.

"Siapakah Kongcu... bolehkah kami mengetahui she dan namamu yang mulia ?" tanya nya.

Liu Cung Kiat mengawasi saja dengan hati ber-tanya2, karena ia hampir tidak mempercayai bahwa pemuda semuda ini bisa memisahkan mereka yang tengah bertempur dengan mempergunakan kepandaian yang begitu tinggi.

Sedangkan pemuda yang baru datang dan telah memisahkan kedua orang yang tengah bertarung ini, telah memandang dengan tersenyum manis, katanya dengan suara yang sabar: "Siauwte she Bun dan bernama Bin An."

"Dan.... " kata Cun Liong To. "Ada keperluan apakah Kongcu telah memisahkan kami?"

Pertanyaan itu bernada manis, namun mengandung teguran untuk pemuda tersebut, yang tidak lain memang Bu Bin An. Bu Bin An merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat, ia berkata dengan suara yang sabar: "Maaf. bukan

Siauwte hendak mencampuri urusan kalian, tetapi justru  Siauw te kebetulan lewat ditempat ini dan menyaksikan kalian tengah bertempur begitu rupa, seperti juga tengah mempertaruhkan jiwa untuk saling membunuh... tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan, maka jika memang kalian hendak mengambil jalan tengah, tentu segalanya bisa diselesaikan !"

Mendengar perkataan Bu Bin An, Cun Liong To tersenyum tawar.

"Tetapi urusan kami justru merupakan urusan yang cukup penting dan harus ditentukan oleh kami berdua, dimana salah seorang di antara kami harus terkalahkan dalam pertempuran ini, guna menentukan apakah kami memang berhak untuk memperoleh kereta itu..!" sambil berkata begitu, Cun Liong To menunjuk ke arah kereta yang memang tengah diperebutkan.

Liu Cung Kiat yang sejak tadi berdiam diri, telah ikut berkata: "Didalam kereta itu terdapat tawanan penting dari kerajaan... dan... dan sahabat ini hendak merebutnya, Maka terpaksa aku harus mempertahankan, karena tugas dan kewajiban yang telah dipercayakan padaku, harus kulaksanakan dan kupelihara baik2!"

"Jika demikian halnya baiklah . ..!!" kata Bu Bin An. "Bolehkah Siauwte mengetahui siapakah yang berada didalam kereta itu... maksud Siauwte ialah tawanan didalam kereta itu?"

Liu Cung Kiat tampak ragu2, Tetapi Cun Liong To telah menyahuti: "Tawanan yang di kurung didalam kereta itu adalah seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki nasib buruk di jebak oleh manusia2 rendah dengan mempergunakan akal licik, dimana ia telah ditawan dan diperlakukan tidak baik... maka kami bermaksud hendak menolongnya !" Liu Cung Kiat mengawasi dengan wajah memancarkan sikap tidak senang.

Sedangkan Bu Bin An telah berkata lagi dengan suara yang ragu2 : "Didalam urusan ini, tentunya merupakan persoalan rimba persilatan, dan memang Siauwte tidak saling kenal dengan kalian dari kedua golongan, dengan demikian tentu saja Siauwte tidak berhak untuk turut mencampuri. Tetapi jika memang Siauwte melihat, hanya untuk memperebutkan seorang tawanan, tetapi kalian harus bertempur sehingga menimbulkan korban jiwa, bukankah hal itu harus disayangkan

?"

Liu Cung Kiat mengangguk.

"Ya... jika memang ada pengertian dari pihak Cun Toako, tentu kamipun tidak akan menimbulkan hal2 yang bisa melibatkan diri kami dalam suatu pertarungan yang memang tidak memiliki arti apa2 ini...!" kata orang she Liu tersebut.

Cun Liong To telah memperdengarkan suara tertawa dingin.

"Hemm, jika demikian halnya, jelas bahwa engkau tetap ingin meneruskan pertempuran kita, bukan?" katanya.

"Tetapi Toako...!" suara Liu Cung Kiat belum lagi habis diucapkan, diwaktu itu tampak Bu Bin An telah memotong: "Bagaimana jika memang orang tawanan itu dibebaskan saja?"

"Dibebaskan?" tanya Liu Cung Kbiat sambil mengderutkan sepasanag alisnya.

"YaH.. dengan dibebaskannya orang tawanan itu, bukankah urusan akan selesai?"

"Tetapi bagaimana kelak aku mempertanggung jawabkan segalanya kepada atasanku?" tanya Liu Cung Kiat, "Maafkan... maafkan, aku bukan tidak mau memberikan muka kepada Siauwhiap, namun didalam urusan ini, tentu saja aku memiliki kesulitan sendiri..!"

"Jika memang begitu, tentunya harus ada pengertian juga dari pihak Cun Toako ini..!" kata Bin An lagi.

Tetapi Cun Liong To menggelengkan kepalanya perlahan sambil memperdengarkan suara tertawa dingin.

"Kami telah bertekad untuk merebut tawanan itu, Diserahkan atau tidak, kami tetap akan teguh dengan keputusan kami, tawanan itu harus dapat kami rebut untuk dibebaskan..!"

Bu Bin An mengawasi Liu Cung Kiat dan Cun Liong To beberapa saat lamanya, sampai akhirnya ia berkata, "Baiklah, keputusan bagaimana yang dikehendaki oleh kalian?"

"Kami akan terus bertempur untuk menentukan, siapa yang berhak untuk memperoleh tawanan itu..!" menyahuti Cun Liong To bersemangat, karena ia yakin bahwa Liu Cung Kiat bukan menjadi tandingannya.

"Bagaimana jika kita mengambil jalan tengah saja, yaitu kalian masing2 menghadapi tiga jurus serangan dariku, jika memang kalian sanggup menghadapi tiga serangan Siauwte, maka orang itulah yang harus dinyatakan sebagai orang yang berhak memperoleh tawanan tersebut.."

"Tetapi jika kami berdua sanggup menerima tiga seranganmu?" tanya Liu Cung Kiat dengan suara yang sinis, karena ia merasa tersing gung, seperti diremehkan oleh pemuda itu, yang menantang hanya dalam tiga jurus serangan saja.

"Walaupun pemuda ini tampaknya memiliki kepandaian yang tinggi, tidak mungkin dalam tiga jurus ia bisa merubuhkan diriku...!" pikir Liu Cung Kiat didalam hatinya.

Sedangkan Cun Liong To segera saja menyetujui usul yang diberikan Bu Bin An. "Baik, jika memang begitu, itulah usul yang baik!" katanya. "Siapa yang mulai?" tanya Bu Bin An.

"Aku dulupun tidak menjadi soabl..!" menyahutid Cun Liong To baersemangat.

"Babik... jagalah serangan pertama!" kata Bu Bin An.

Dan Bin An sambil berkata telah menggerakkan tangan kanannya akan mencengkeram ke arah tulang piepe dari Cun Liong To. Dan dalam waktu yang singkat sekali kelima jari tangannya tahu2 hanya terpisah beberapa dim saja dari bahunya.

Cun Liong To jadi terkejut, karena ia tidak menyangka bahwa gerakan Bu Bin An begitu cepat dan juga aneh.

Tetapi sebagai seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja Cun Liong To tidak berdiam diri saja.

Cepat luar biasa tahu2 ia telah berjongkok dan tangan kirinya dipergunakan untuk me-nangkis, Gerakan yang dilakukannya itu mempergunakan jurus dari Bin Hun Ciang yang mengandung unsur untuk balas menyerang.

Bin An telah menarik pulang tangannya sebelum tangkisan yang dilakukan oleh Cun Liong To berhasil menyentuh tangannya, Berbareng tangannya yang satu pula meluncur dan mencengkeram dada dari Cun Liong To.

Untuk kedua kalinya Cun Liong To terkejut, ia sedang berjongkok, dan diwaktu itu serangan yang dilakukan oleh Bin An menyambar datang.

Tetapi kembali Cun Liong To membela diri dengan ilmu andalannya, Bian Hun Ciang yang dicampur dengan gerakan Kim Na Ciu, yaitu gerakan menangkap, ia berusaha untuk mencekal pergelangan tangan Bin An.

Untuk kedua kalinya Bin An menarik pulang tangannya,  Dan diwaktu itu ia berkata : "inilah serangan yang ketiga...!" Dan untuk jurus yang ketiga Bin An mengulurkan sekaligus kedua tangannya, untuk mencengkeram kedua bahu Cun Liong To.

Cun Liong To waktu itu telah sempat berdiri dan ia yakin, jika ia menangkis dengan mempergunakan jurus dari Bian Hun Ciang, tentu ia bisa menangkis serangan-serangan itu dan berarti ia telah menerima tiga kali serangan dari pemuda tersebut.

Dengan hati yanrg girang ia mentgangkat kedua tqangannya, dan dripergunakan untuk menangkis.

"Plakkk .. . . !" tangan mereka saling bertemu dan membentur mengeluarkan suara yang keras sekali, tetapi begitu dua kekuatan dikedua pasang tangan tersebut saling membentur muka Cun Liong To jadi pucat, ia mengeluar kan seruan tertahan, mukanyapun telah berobah menjadi merah padam, dan pucat kembali kedua kakinya terhuyung mundur, lalu terlihat tubuhnya tergoncang keras dan kejengkang.

"Uwah...!" dari mulutnya telah me muntahkan darah segar.

Bu Bin An terkejut.

"Akhh, maaf... maaf... Siauwte telah mempergunakan tenaga yang berlebihan . . ,!" katanya sambil melompat mendekati Cun Liong To.

Tetapi Cun Liong To tidak mengatakan apa2, ia telah duduk bersamadhi sambil memejamkan matanya, guna mengatur jalan pernapasannya.

Diwaktu itu Bu Bin An juga telah meletakan kedua telapak tangannya pada punggung Cun Liong To, ia menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya, untuk disalurkan kepada Cun Liong To, membantu agar Cun Liong To bisa memulihkan tenaga dalamnya dan juga melancarkan jalan pernapasannya. Sebentar saja muka Cun Liong To yang pucat ke-hijau2an itu, akhirnya berobah kemerah-merahan kembali, rupanya ia telah berhasil memulihkan jalan pernapasannya.

Sedangkan Liu Cung Kiat mengawasi semua nya dengan hati yang agak tergoncang.

Ia heran, mengapa pemuda itu demikian kuat dan tangguh sekali, Jika ia melihat dalam tiga jurus Cun Liong To bisa dirubuhkan, malah terluka didalam seperti itu, hal ini benar2 merupakan urusan yang bukan main2 lagi, sebab dinilai dari kekuatan tenaga lwekang yang dimiliki pemuda tersebut, kemungkinan Liu Cung Kiat sendiri bukan menjadi tandingannya.

Dengan adanya pikiran seperti itu, akhirnya Liu Cung Kiat mulai ragu2 untuk menerima tiga jurus serangan dari pemuda yang tangguh tersebut jika semula ia yakin dirinya akan sanggup menghadapi tiga jurus serangan yang dilancarkan oleh pemuda tersebut, kini ia mulai bimbang.

Namun mengingat bahwa Cun Liong To telah berhasil dirubuhkan oleh pemuda itu, tentu kesempatan baginya untuk tetap dapat mengawal kereta tawanan itu lebih besar lagi, Jika saja ia berhasil menghadapi tiga jurus serangan pemuda tersebut, bukankah akhirnya ia yang berhak atas tawanan yang berada didalam kereta berkuda itu ?

Karena berpikir demikian, semangat Liu Cung Kiat jadi terbangun, Dan telah mengerahkan tenaga Iwekangnya untuk disalurkan pada tangannya.

Pedang yang dicekalnya itu tergetar, dan diwaktu itu tampak ia telah bersiap sedia untuk menerima tiga serangan dari Bu Bin An.

Setelah merasa cukup membantu Cun Liong  To memulihkan jalan pernapasannya, Bin An melompat berdiri: "Apakah, kita mulai sekarang...?" Liu Cung Kiat mengangguk.

"Ya... bolehkah aku meminta petunjuk Siauwhiap dalam hal kepandaian Kiamhoat ?" tanya Liu Cung Kiat.

Bu Bin An mengangguk sambil tersenyum.

"Boleh... tentu menggembirakan sekali jika memang engkau hendak main2 tiga jurus dengan mempergenakan ilmu pedang...!" dan setelah beikata begitu, Bin An telah menjejakkan kakinya, ia melambung tinggi ketengah uda ra bukannya mencabut pedangnya, tetapi tangannya menyambar kesebuah ranting pohon yang berada didekat tempat itu, ia mematahkan ranting tersebut Waktu ia telah meluncur turun ketanah, ditangannya terdapat ranting tersebut.

"Siauwte akan menemani main2 tiga jurus dengan mempergunakan ranting ini sebagai gantinya pedang...!" kata Bin An.

Muka Liu Cung Kiat jadi berobah tidak senang, ia merasa diremehkan sekali.

"Jika demikian, kalau sampai kelak aku kesalahan tangan, tentu aku membuat hatiku jadi tidak tenang. . .!" kata Liu Cung Kiat.

Bin An tersenyum.

"Jika memang ternyata Siauwte tidak bisa memperoleh kemenangan dalam tiga jurus berarti kemenangan itu untuk Heng-tai ( saudara )...!"

"Baiklah," kata Liu Cung Kiat sambil tersenyum kecut, "silahkan membuka serangan!"

Bin An berkata: "serangan pertama...!" sambil menggerakkan ranting ditangannya, dimana ranting itu menyambar dengan gerakan memutar.

Gerakan dari jurus pertama ini membuat Liu Cung Kiat jadi terkejut, karena ranting itu berputar dengan demikian sulit baginya untuk menentukan sasaran dari bagian anggota tubuhnya yang mana hendak dijadikan terjangan ranting tersebut.

Tetapi karena ia memiliki kepandaian ilmu pedang yang cukup tinggi, yaitu ilmu pedang Tui Hong Kiam Hoat, yang memiliki perobahan-perobahan hebat dan aneh, dimana selama hidupnya ia bisa mengenali rimba persilatan dengan ilmu pedangnya tersabut, dengan demikian ia tidak jeri untuk menangkisnya.

Waktu ranting ditangan Bin An bergerak memutar, tampak pedang ditangan Liu Cung Kiat menangkis dengan cara menerobos, gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat dan berani sekali.

Liu Cung Kiat berani melakukan gerakan tersebut, karena ia yakin, pedangnya yang tajam dan merupakan pedang sungguhan, tentu akan jauh lebih menang dibandingkan dengan pedang yang terdiri dari ranting pohon tersebut.

Tetapi Bin An tampak tenang saja, ia menggerakkan ranting ditangannya itu dengan gerakan yang cepat, dan waktu itu pula ia telah sengaja membenturkan ranting ditangannya pada pedang Liu Cung Kiat.

Namun kesudahannya memang luar biasa sekali. Pedang Liu Cung Kiat tergetar.

"Hai..!" teriak Liu Cung Kiat terkejut, ia merasakan telapak tangannya tergetar dan kulit telapak tangannya pedih, Jika saja ia tidak mencekal pedangnya itu kuat-kuat, tentu pedangnya akan terlepas dari cekalannya.

Rupanya ranting yang ada ditangan Bin An telah mengandung kekuatan tenaga sinkang yang benar2 hebat sekali, sehingga walaupun terdiri dari ranting pohon, namun dengan diselubungi oleh kekuatan sinkang seperti itu, tentu saja membuat ranting tersebut menjadi kuat. Diantara benturan yang terjadi itu, Liu Cung Kiat telah melompat kebelakang, dan mempergunakan pedangnya untuk menikam lagi setelah ia membenarkan cekalan pada gagang pedangnya, Maksudnya hendak mendahului guna menyudahi jurus kedua.

Tetapi Bin An pun bergerak cepat, juga ranting ditangannya diputar, dan sewaktu ia menggeser kedudukan kakinya, ia menikam mempergunakan ujung rantingnya untuk menotok, dengan menyelinap diantara berseliwerannya pedang Liu Cung Kiat.

Liu Cung Kiat yang sama sekali tidak menyangka akan menerima serangan seperti ini, jadi terkejut bukan main dan mengeluarkan suara seruan lagi sambil berusaha melompat kebelakang dua tombak jauhnya.

Namun Bin An tidak berhenti sampai di-situ, ia telah membarengi melompat maju, dua langkah mempergunakan ranting ditangan untuk menyentak dan melibat batang pedang Liu Cung Kiat.

Gerakan yang dilakukan oleh Bu Bin An benar2 cepat luar biasa dan sulit dielakkan lagi, walaupun Liu Cung Kiat bermaksud untuk menarik pulang pedang, menghindari libatan ranting Bin An, tokh ia gagal.

Tahu2 pedangnya telah terlepas dari cekalannya dan terlontarkan ketengah udara, dimana pedang itu telah menancap disebatang pohon dalam sekali.

Liu Cung kiat sendiri telah berdiri mematung dengan hati yang berdebar keras, karena ia tidak menyangka akan mengalami kesudahan dari pertempuran sedemikian rupa.

Bin An tertawa sambil melemparkan ranting ditangannya iapun berkata: "Kalian berdua ternyata telah banyak mengalah kepada Siauwte !" dan setelah berkata begitu Bin An merangkapkan sepasang tangannya untuk memberi hormat kepada Liu Cung Kiat yang masih berdiri mematung dan juga kepada Cun Liong To yang waktu itu telah berdiri karena telah berhasil memulihkan jalan pernapasannya.

"Maafkan... maafkan !" kata Bin An lagi.

Muka Liu Cung Kiat dan Cun Liong To jadi berobah pucat, sedangkan anak buah Cun Liong To mengawasi dengan sinar mata tajam, mereka bersiap sedia untuk segera menerjang maju jika memang Cun Liong To memberikan perintah untuk maju menyerang.

Diwaktu itu, Cun Liong To menghela napas.

"Kami berdua telah berhasil dirubuhkan Siauwhiap, berarti tidak ada seorangpun diantara kami yang memperoleh kemenangan Keputusan dari Siauwhiap ingin sekali kami dengar...!" kata Cun Liong To.

"Ya," kata Liu Cung Kiat, "Tawanan itu harus diserahkan kepada siapa ?"

Bin An tersenyum.

"Jalan yang pa!ing bijaksana, dibebaskan...!" kata Bin An. "Dibebaskan?" tanya CunLiongTo, wajahnya memancarkan

kegembiraan, karena justru ia bersama anak buahnya berusaha merebut tawanan ini untuk membebaskan tawanan tersebut dari tangan orang2nya kerajaan.

Sedangkan muka Liu Cung Kiat jadi berobah guram, ia berkata dengan suara yang tidak begitu lancar: "Dalam hal ini... dalam hal ini..!"

Tetapi belum lagi ia selesai mengakhiri ucapannya itu, Cun Liong To telah berkata: "Kita sebagai Hohan dari rimba persilatan, tentu saja harus memegang perkataan kita, sekali kita ber ucap, maka tidak akan dikejar walaupun oleh seribu ekor kuda...!"

Mendengar perkataan Cun Liong To, tampak Liu Cung Kiat menghela napas. "Tawanan yang berada didalam kereta tersebut merupakan tawanan yang benar-benar penting sekali," kata Liu Cung Kiat kemudian. "Jika saja sampai tawanan ini dibebaskan dan terjadi suatu kesalah pengertian, tentu akan menimbulkan urusan yang besar, dimana menyangkut akan keselamatan dan banyak jago2 rimba persilatan...!" kata Liu Cung Kiat kemudian.

"Mengapa begitu ?" tanya Bin An dengan suara- mengandung perasaan ingin tahu.

Liu Cung Kiat menghela napas lagi, ia kemudian berkata dengan suara perlahan:

"Karena... karena tawanan yang berada didalam kereta itu adalah... adalah...!" dan Liu Cung Kiat tidak meneruskan perkataannya tersebut, ia telah menoleh dan memandang kepada Cun Liong To.

Bin An mengawasi dan memandang kapada orang she Liu tersebut, ia berdiam diri saja.

"Karena tawanan didalam kereta tersebut adalah... adalah ciangbunjin Siauw Lim Sie...!" meneruskan Liu Cung Kiat.

"Ciangbunjin Siauw Lim Sie ?" tanya Bu Bin An dengan wajah memperlihatkan perasaan heran bercampur kaget.

Liu Cung Kiat mengangguk.

"Ya," katanya menghela napas, "Tawanan itu memang ciangbunjin Siauw Lim Sie yang lama, yaitu Bo Liang Siansu..."

Wajah Bu Bin An jadi berobah.

"Jadi... tokoh rimba persilatan yang bera da didalam kereta itu adalah Bo Liang Siansu?" tanya Bin An kemudian.

Liu Cung Kiat mengangguk sambil menghela napas. "Benar, maka tawanan yang berada didalam kereta itu merupakan tawanan yang sangat penting sekali," menyahuti Liu Cung Kiat.

"Tetapi..." kata Bu Bin An kemudian dengan suara ragu2. "jika memang tawanan yang berada didalam kereta itu adalah Bo Liang Sian su Locianpwe, hal ini harus diselesaikan dengan cara yang baik, karena... walaupun bagaimana Siauwte tentu akan berdiri dipihaknya...!"

Wajah Liu Cung Kiat jadi berobah. "Jadi... jadi...!" kata-katanya tidak lancar. Bu Bin An tersenyum.

"Aku telah menerima budi kebaikan yang tidak sedikit waktu dulu dari pihak Siauw Lim Sie... sekarang setelah aku mengetahui bahwa tawanan yang berada didalam kereta itu adalah Bo Liang Siansu, Locianpwe yang lenyap telah lama itu, ditawan oleh pihak kerajaan, maka terpaksa aku harus membantu pihak yang hendak membebaskannya...!"

Liu Cung Kiat menghela napas lagi, tampaknya ia berputus asa.

"Baiklah jika memang demikian...!" dan ia telah merangkapkan sepasang tangannya, kemudian memberi hormat kepada Bu Bin Abn dan juga Cun dLiong To.

Melihaat orang pamitabn, Cun Liong To jadi girang, ia membalas pemberian hormat dari Liu Cung Kiat, Begitu juga halnya dengan Bin An yang telah membalas hormat dari Liu Cung Kiat.

Setelah memberi hormat, Liu Cung Kiat menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat tinggi sekali, meninggalkan lembah tersebut. Sedangkan Cun Liong To dan Bu Bin An telah menghampiri kereta tersebut, dan Bu Bin An sendiri yang telah menyingkap tirai jendela dari kereta itu.

Didalam kereta memang terdapat seseorang yang tengah duduk dengan kedua tangan dibelakang dan juga dengan leher yang dikenakan papan yang cukup lebar.

Hal itu memperlihatkan bahwa orang tersebut memang merupakan seorang tawanan, Kepalanya gundul tidak memiliki sehelai rambutpun juga, dialah seorang hwesio, jenggot maupun kumisnya telah tumbuh panjang sampai kedada berwarna putih.

Cun Liong To telah merangkapkan sepasang tangannya, ia memberi hormat sambil berkata: "Boanpwe Cun Liong To memberi hormat dan katanya juga: "Boanpwe Bu Bin An meng hunjuk hormat kepada Bo Liang Siansu Locian pwe. !"

Pendeta itu, yang memang tidak lain dari Bo Liang Siansu, menghela napas dalam2, wajahnya sabar sekali, katanya, "Siancai... Sian cai....! sesungguhnya kalian tidak perlu mempertaruhkan   jiwa   untuk   menolongi   Lolap.     karena

tentunya telah banyak sekali korban jiwa...! jika memang Lolap hendak melarikan diri, sejak dulu bisa dilakukan oleh Lolap...  tetapi  justru  Lolap  tidak  mau  melakukannya    jika

memang didalam hal ini terjadi sesuatu yang tidak menggembirakan, seperti halnya terjatuh korban jiwa yang banyak jumlahnya, tentu saja hal ini akan membuat hati Lolap jadi tidak tenang !"

Cun Liong To menghela napas, ia berkata: "Sudah sejak lama kami memang merencanakan untuk membebaskan Locianpwe dari tangan kerajaan... karena itu, beberapa kali kami berusaha untuk merebut Locianpwe dari tangan orang2 kerajaan, baru sekarang kami berhasil. Tentunya ciangbun Locianpwe akan gembira sekali bisa memperoleh kebebasan seperti ini... sehingga ciangbun Locianpwe bisa kembali memimpin Siauw Lim Sie sebagai mana adanya dulu... kamipun hanya berusaha dan melbakukan sesuatu dyang dapat kamia lakukan..!!"

Mbendengar perkataan Cun Liong To itu, muka Bo Liang siansu tidak berobah, ia sabar sekali waktu berkata: "Tetapi selama ditawan oleh pihak kerajaan, Lolap diperlakukan baik sekali... Lolap kira, tidak perlu kalian bersusah payah seperti ini. Bukan Lolap tidak mengenal budi, tetapi dengan adanya kejadian hari ini, tentu pihak kerajaan akan mengirim orang2nya untuk menangkap kembali Lolap, berarti akan timbul suatu malapetaka kembali dalam rimba persilatan..!"

Dan setelah berkata begitu, Bo Liang Siansu menghela napas beberapa kali.

Bu Bin Aa segera berkata : "Selama lenyapnya Locianpwe, maka pimpinan Siauw Lim Sie telah dipegang oleh Bo Tie Siansu Locian pwe... dan tentunya Bo Tie Siansu Locianpwe akan gembira sekali melihat Locianpwe telah terbebaskan..."

Bo Liang Siansu menghela napas dalam2.

Kemudian dengan mudah, rantai besi yang melingkari kedua pergelangan tangannya telah di tariknya dan putus menjadi tiga potong. Sedangkan papan tebal yang melingkari lehernya, telah dipecahkan dengan hanya menggelengkan kepalanya. Hal itu memperlihatkan bahwa lwekang yang dimiliki Bo Liang Siansu telah mencapai tingkat yang sempurna.

Bu Bin An dan Cun Liong To memandang kagum sekali kepada pendeta tua yang memiliki sinkang demikian tinggi itu.

Bo Liang siansu setelah melepaskan dirinya dari libatan rantai besi dan papan yang melingkari lehernya itu, berdiri per-lahan2 keluar dari kereta itu.

Cun Liong To dan Bu Bin An telah menyingkir kesamping, mereka membuka jalan buat Bo Liang Siansu yang telah melangkah kurang lebih lima tombak jauhnya dari kereta tersebut.

Anak buah Cun Liong To semuanya telah berlutut memberi hormat kepada Bo Liang Siansu.

Pendeta tua yang sabar ini telah mengulap-uIap  tangannya.

"Terima kasih atas bantuan kalian, dan juga Lolap tidak bisa melupakan budi kebaikan kalian... dan janganlah kalian terlalu banyak peradatan seperti itu... bangunlah !"

Setelah berkata begitu, Bo Liang Siansu menghela napas dalam2, ia menoleh kepada Cun Liong To, sambil katarnya lagi: "Teritma kasih atas bqantuan yang telrah tuan berikan kepada LoIap...sekarang Lolap akan berangkat ke Siauw Lim Sie untuk menemui saudara2 seperguruanku."

Cun Liong To mengangguk sambil merangkapkan kedua tangannya, katanya: "Selamat untuk Locianpwe, semoga tiba di Siauw Lim Sie tanpa menemui kesulitan...!"

Bo Liang Siansu mengangguk ia menoleh kepada Bu Bin An.

"Dan kau, pendekar muda... apakah engkau ingin melakukan perjalanan bersama-sama dengan Lolap ?"

Bu Bin An mengangguk cepat.

"Jika memang Locianpwe tidak keberatan, tentu saja Boanpwe gembira sekali bisa melakukan perjalanan bersama- sama dengan Locianpwe..."

BegituIah, dengan diawasi oleh Cun Liong To dan anak buahnya, ketua Siauw Lim Sie tersebut bersama Bu Bin An telah meninggalkan lembah tersebut.

Sepanjang perjalanan Bo Liang Siansu banyak bertanya kepada Bii Bin An mengenai perkembangan dunia persilatan Dan Bin An menjelaskan semuanya dengan teliti, apa yang diketahuinya, sedangkan Bo Liang Siansu juga telah memberikan banyak petuah dan nasehat kepada Bin An, agar pemuda ini benar2 bisa memanfaatkan kepandaian yang dimilikinya itu untuk melakukan pekerjaan2 baik dan perbuatan-perbuatan terpuji, untuk membela yang lemah dan benar, dari tindakan yang kuat namun salah.

Bin An selalu mengucapkan terima kasih atas petuah yang diberikan ketua Siauw Lim Sie tersebut. Memang telah belasan tahun Bo Liang Siansu ditangan pihak kerajaan, dimana telah ditahan dan selalu dikawal dengan ketat dan keras.

Disamping itu Bo Liang siansu juga tidak pernah diberikan kesempatan untuk bertemu dengan siapa saja, karena dianggap bisa berbahaya, dimana jika orang2 rimba persilatan mengetahui mengenai urusan ditawannya Bo Liang Siansu, tentu pendekar2 gagah rimba persilatan akan bergerak dan menimbulkan gelombang besar dalam rimba persilatan.

Itulah sebabnya Bo Liang Siansu selalu di kawal ketat, dan tempat dimana ia ditahan juga selalu berobah, tidak tentu dan ber-pindah2.

Bo Liang Siansu menjelaskan juga kepada Bin An, jika memang ia ingin melarikan diri, walaupun dikawal oleh orang2 kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi, ia bisa melakukannya dengan mudah.

Apa yang dikatakan oleh Bo Liang Siansu memang bukan perkataan sombong atau bicara besar saja, sebab kepandaian dari Bo Liang Sian su telah mencapai tingkat yang tinggi sekali.

Dengan demikian, Bo Liang Siansu bisa saja mololoskan diri, namun justru pendeta tua ini kuatir nanti pihak kerajaan akan melampiaskan kemarahannya terhadap pendekar2 rimba persilatan lainnya. Maka Bo Liang siansu membiarkan saja dirinya menjadi tawanan pihak kerajaan. Sebulan lebih mereka melakukan perjalanan sampai akhirnya mereka tiba di Siong-san, dan merekapun telah sampai dikuil Siauw Lim Sie.

Bo Tie Siansu dan saudara-saudara seperguruan Bo Liang Siansu yang melihat kembalinya Bo Liang Siansu dalam keadaan sehat dan segar bugar, jadi gembira sekali.

Bo Liang Siansu menjelaskan kepada saudara2 seperguruannya, agar tidak menimbulkan gelombang pula dengan mencari urusan pada pihak kerajaan, karena jabatan ciangbunjin Siauw Lim Sie tetap diserahkan kepada Bo Tie Siansu, sebab Bo Liang siansu bermaksud untuk mensucikan diri tidak mencampuri segala urusan lainnya lagi, ia ingin melatih diri dan melewati hari tuanya dengan mempertinggi tenaga sinkang dan juga pelajaran mengenai agama Budhanya.

Bu Bin An berdiam di Siauw Lim Sie selama tujuh hari, dimana ia banyak menerima petunjuk dari Bo Tie Siansu mengenai berbagai prihal ilmu silat yang terdapat didalam rimba persilatan Bo Liang Siansu juga telah memberikan banyak petunjuk kepada Bu Bin An.

Begitulah, setelah berdiam di Siauw Lim Sie cukup lama, pada hari kedelapan Bu Bin An pamitan ingin berkelana pula untuk mencari pengalaman.

Bu Bin An telah menerima banyak petuah dan nasehat dari pendeta2 Siauw Lim Sie tersebut ia bertekad untuk benar2 mengabdibkan diri demi kdebaikan dan keaadilan. Dan iapubn akan berkelana untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya.

Sebelum Bin An berangkat meninggalkan Siauw Lim Sie, Bo Liang Siansu sempat berpesan, agar Bu Bin An benar2 melatih sinkangnya, karena pemuda itu memiliki bakat dan bibit yang benar2 baik, dimana ia memiliki tulang yang bagus sekali untuk memiliki sinkang yang tinggi. Dengan demikian jika saja Bin Bn mau melatih diri dengan baik, tentu ia bisa memperoleh tenaga sinkang tinggi sekali.

Bo Liang Siansu juga telah menurunkan beberapa macam ilmu kepandaian yang dimilikinya, sehingga Bik An memiliki tambahan kepandaian yang tidak sedikit.

Sambil berkelana, Bin An juga tidak pernah lupa untuk melatih-diri, sehingga ia memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

-ooOdwOoo-

DUNIA persilatan merupakan dunia dari orang2 yang mengerti ilmu silat dan memiliki kegemaran tersendiri dimana mereka terpisah dari orang2 kalangan Bun, yaitu orang yang khusus mempelajari ilmu surat, memang umumnya orang2 rimba persilatan selalu berkelana ke berbagai tempat.

Dijaman itu, para gadis dan wanita yang mempelajari ilmu sastra lebih banyak "dipingit" dirumah dan jarang keluar rumah memperlihatkan diri. Namun untuk pendekap wanita yang telah melatih ilmu silat, mereka umumnya senang mengembara, hidup bebas dan mengandalkan kepandaian ilmu silat mereka untuk menjaga keselamatan diri mereka.

Dan buat seseorang yang telah melatih ilmu silat, tentu tidak pernah akan puas dengan kepandaian yang telah dimilikinya, mereka tentu akan berusaha untuk memperoleh kepandaian yang jauh lebih tinggi dan terus juga melatih diri dengan giat.

Tidak jarang pula, terdapat kesalah pah-haman dan bentrokan diantara orang2 rimba persilatan, balas membalas, rubuh merubuhkan, saling mengadu ilmu, dan akhirnya menimbulkan permusuhan. Hal itu memang banyak terjadi.

Antara golongan yang satu bentbrok dengan golodngan yang lainnaya, juga tidak bjarang terjadi didalam rimba persilatan. Antara pintu perguruan silat lainnya sering terjadi bentrokan yang menyeret mereka akhirnya pada dendam yang tidak berkesudahan.

Dan diwaktu itu justru didalam rimba persilatan telah muncul seorang tokoh persilatan yang aneh sekali, dimana kemunculannya itu telah menggemparkan rimba persilatan karena kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi sekali.

Yang luar biasa, walaupun munculnya orang aneh tersebut dalam rimba persilatan belum satu tahun, namun ia telah memperoleh nama yang sangat terkenal.

Orang yang berkepandaian tinggi tersebut bernama Gu Ping An bergelar Sin Coa Tung Hiap ( Pendekar Tongkat Ular Sakti), karena orang tersebut memang bersenjata sebatang tongkat pendek, yang ujungnya yang satu berbentuk kepala ular.

Sin Coa Tung Hiap selalu mengenakan topeng yang terbuat dari kain berwarna merah, sehingga tidak ada seorangpun yang pernah melihat wajahnya. Namanya yang begitu terkenal dan ditakuti oleh orang2 rimba persilatan di propinsi Hunan, dan juga sulit sekali diketahui jejaknya, karena ia selalu muncul di-berbagai tempat diluar dugaan.

Ciri dari kemunculannya itu didahului selalu oleh sebuah lambang pengenalnya, yaitu sebuah lukisan kelelawar yang dilukis oleh ukiran yang kuat sekali pada dinding2 rumah dengan mempergunakan jari telunjuknya.

Orang-orang rimba persilatan juga tidak mengetahui sesungguhnya Sin Coa Tung Hiap Gu Ping An tersebut berdiri didunia Hek-to (hitam/penjahat) atau memang berdiri dijalan Pek-to (putih/lurus), karena selama setahun itu ia selalu melakukan berbagai perbuatan dan tindakan yang sulit sekali diterka.

Pernah terjadi lima pendekar gagah dari gunung Lauw-san telah dirubuhkannya, sehingga kelima pendekar gagah tersebut yang terkenal memiliki kepandaian tinggi akhirnya bercacad dan tidak memiliki kepandaian lagi, yaitu kepandaian mereka telah dimusnahkan.

Tetapi tidak jarang juga Sin Coa Tung Hiap melakukan perbuatan2 baik dengan membasmi penjahat2 yang berkepandaian tinggi dan menguasai beberapa kota dipropinsi tersebut. Dengan tindakan2nya itru, Sin Coa Tungt Hiap telah menqarik perhatian rdari orang2 rimba persilatan. Dan yang menonjol sekali karena kepandaiannya yang tinggi dan selama setahun itu ia belum juga bertemu tandingannya.

Tentang usia dari Sin Coa Tung Hiap juga tidak seorangpun yang mengetahuinya dengan pasti, karena mukanya selalu mengenakan tutup muka. Tetapi melihat dari bentuk tubuhnya, memperlihatkan bahwa usia dari Sin Coa Tung Hiap tentu tidak lebih dari tiga puluh tahun.

Seperti pada pagi itu, didinding dari sebuah rumah makan yang terbesar dikota Pai nano, tampak sebuah lukisan yang di ukir pada dinding itu, dalam bentuk sebuah kelelawar yang tengah mementang sayap.

Semula pemilik rumah makan tersebut ber sama pelayan2 yang melihatnya, menganggapnya itu hanya perbuatan dari orang usil belaka, dan mereka tidak terlalu mengambil perhatian, mereka malah menyukai ukiran tersebut yang terukir -indah.

Tetapi setelah hari siang dan rumah makan tersebut mulai ramai dikunjungi tamu, yang terdiri dari orang berbagai kalangan, dan banyak juga orang2 dari rimba persilatan, mulailah ramai pembicaraan mengenai lukisan yang terukir didinding rumah makan tersebut, yaitu kelelawar itu,

"Sin Coa Tung Hiap akan muncul dikota ini...!" bisik beberapa orang rimba persilatan.

"Ya... Sin Coa Tung Hiap akan muncul... ini pertanda akan terjadi keramaian dikota ini...!" kata orang2 persilatan lainnya. Seketika itu juga berita akan munculnya Sin Coa Tung Hiap dikota tersebut tersiar luas.

Banyak dugaan2 mengenai kehadiran dari Sin Coa Tung Hiap. Entah siapa orang yang akan disatroni oleh Sin Coa Tung Hiap.

Karena sangat terkenalnya nama Sin Coa Tung Hiap Gu Ping An tersebut, maka akan hadirnya ia dikota ini, menyebabkan banyak orang-orang persilatan yang ada dikota itu men-duga2 apakah diri mereka yang akan disatroni oleh Sin Coa Tung Hiap tersebut.

Dengan demikian, hampir semua orang2 rimba persilatan dikota itu yang telah bersiap-sedia untuk mengadakan persiapan untuk menyambut Sin Coa Tung Hiap, kalau saja  diri mereka yang diincar oleh orang aneh tersebut.

Dikota Pai-nam tersebut terdapat dua buah pintu perguruan silat, yang masing2 memiliki cukup banyak murid2 yang belajar ilmu silat pada kedua pintu perguruan tersebut.

Pintu perguruan yang satu bernama Pai Nam Kiesu (Pendekar Gagah Pai Nam), dipimpin oleh seorang akhli ilmu silat yang berasal dari pintu perguruan Bu Tong Pay, bernama Bian Tung Siang, bergelar Jie Pian Kiehiap (Pendekar dua cambuk), dimana senjata andalannya memang sepasang cara buk pendek yang liehay sekali.

Sedangkan pintu perguruan yang satunya lagi bernama Tiang Sun Hiap Tam, dipimpin oleh Thang tiang Su, murid Kun Lun Pay.

Kedua pintu perguruan tersebut sama terkenalnya dan juga mereka memiliki murid yang sama banyaknya, Memang tidak jarang terjadi bentrokan antara murid2 kedua pintu perguruan tersebut, namun bisa diselesaikan dengan cara damai, karena kedua guru silat yang memimpin kedua pintu perguruan tersebut memang bersahabat cukup baik, sehingga mereka selalu bisa mendamaikan murid2 mereka yang berselisih. Selain dari dua pintu perguruan silat tersebut masih terdapat banyak pintu perguruan silat lainnya, umumnya memiliki murid yang tidak begitu banyak, hanya beberapa orang saja.

Dengan adanya gambar kelelawar yang terukir dirumah makan itu, telah menyebabkan perguruan2 silat yang terdapat dikota Pai-nam tersebut jadi sibuk men~duga2, apakah pintu perguruan mereka yang akan disatroni oleh Sin Coa Tung Hiap tersebut.

Waktu hari menjelang sore, justru semakin banyak orang yang membicarakan perihal akan munculnya Sin Coa Tung Hiap dikota ini.

Sore itu, tampak dijalan Wie-ho berjalan seorang gadis yang bertubuh langsing dan memakai baju singsat berwarna kuning gading. Dipinggangnya, tampak sebatang pedang tersoren, menyebabkan gadis tersebut tampaknya gagah sekali, iapun mengenakan sepatu yang berukuran lebar, memperlihatkabn bahwa gadis idni memang seoraang pendekar wanbita yang berkelana dalam rimba persilatan.

Waktu ia tiba dikota Pai-nam, memang telah didengarnya percakapan2 yang membicarakan diri dari Sin Coa Tung Hiap, tetapi gadis itu kurang begitu tertarik, maka ia telah melakukan perjalanannya terus.

Namun waktu ia lewat dimuka pintu perguruan dari Pai Nam Kiesu, justru ia melihat banyak murid2 dari pintu perguruan tersebut tengah berkumpul dimuka gedung tersebut, membicarakan juga persoalan akan munculnya Sin Coa Tung Hiap dikota ini.

Dengan demikian, perhatian sigadis jadi lebih besar, sekarang ia memiliki keinginan untuk mengetahui siapakah sebenarnya Sin Coa Tung Hiap yang banyak dibicarakan itu. Sigadis telah menghampiri murid2 dari Pai Nam Kiesu, ia merangkapkan sepasang tangannya, menjura memberi hormat.

"Maafkan, kalau Siauwmoay ( adik ) tidak salah dengar, kalian seperti tengah berkuatir akan munculnya Sin Coa Tung Hiap... bolehkah Siauwmoay mengetahui siapakah sebenarnya Sin Coa Tung Hiap itu...?" tanya sigadis dengan suara yang ramah.

Murid2 Pai Nam Kiesu memandang dengan mata menyelidik kepada sigadis, kemudian salah seorang diantara mereka telah bertanya: "Siapakah siocia... dan ada hubungan apakah dengan Sin Coa Tung Hiap..?"

Sigadis menggelengkan kepalanya.

"Siauwmoay justru kebetulan lewat dikota ini dan mendengar banyak sekali orang membicarakan soal Sin Coa Tung Hiap, maka Siauwmoay jadi tertarik. jika memang para Sieheng (saudara) tidak keberatan, sudi kiranya memberitahukan siapakah adanya Sin Coa Tung Hiap itu !"

Murid dari Pai Nam Kiesu mengawasi si gadis dengan sorot mata masih mengandung sikap menyelidik, sampai akhirnya ia menyahuti: "Sin Coa Tung Hiap merupakan seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali, dan juga memiliki sepak terjang yang tidak bisa diduga, dengan demikian, kami tidak mengetahui juga, apakah Sin Coa Tung Hiap akan benar2 muncul dikota ini atau bmemang tidak...d tetapi biasanyaa, setelah muncbulnya gambar Kelelawar, tentu akan muncul Sin Coa Tung Hiap... dan kota ini justru telah muncul gambar kelelawar tersebut...!"

Sigadis mengangguk sambil tersenyum.

"Liehay sekalikah kepandaian dari Sin Coa Tung Hiap tersebut ?" tanya sigadis.

Murid2 Pai Nam Kiesu mengangguk. "Apa yang kami dengar, kepandaian Sin Coa Tung Hiap memang luar biasa, ia memiliki kepandaian yang tinggi sekali.... selama setahun ia muncul dalam rimba persilatan, belum ada orang yang bisa menandingi kepandaiannya...!"

Sigadis menyatakan terima kasihnya dan kemudian meminta diri, melanjutkan perjalanannya lagi, Murid2 Pai Nam Kiesu hanya mengawasi saja dengan sorot mata mengandung perasaan kagum akan kecantikan yang dimiliki gadis tersebut.

Sedangkan gadis itu telah berjalan terus, sampai akhirnya ia memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar oleh orang2 yang sibuk dengan pekerjaannya masing2, sedangkan rumah makan dimana sigadis singgah itu, juga masih menerima kunjungan tamu yang banyak sekali.

Si gadis berpakaian baju kuning gading itu, telah mengambil setempat dtsebuah meja didekat jendela, ia memesan beberapa macam makanan.

Sambil menantikan makanan yang dipesannya, sigadis telah mengawasi orang2 yang berada dalam ruangan rumah makan tersebut.

Cukup berisik suara tertawa dan suara percakapan dari para tamu rumah makan tersebut, mereka terdiri dari orang2 yang berpakaian sebagai pelajar, pedagang maupun orang2 rimba persilatan.

"Telah lama kudengar Pai Nam merupakan kota yang ramai, dan rupanya kata2 itu memang tidak salah..." pikir sigadis didalam hatinya.

Namua waktu ia berpikir sampai disitu, justru disaat itu telah berkesiuaran angin dingin di belakang punggungnya.

Sigadis terkejut, namun ia memiliki pendengaran yang tajam sekali, sehingga ia mengetahui menyambarnya sernjata rahasia ptada punggungnyaq. Dengan tidak rmenoleh, gadis tersebut telah memiringkan tubuhnya kekiri, maka senjata rahasia yang menyambar kepunggungnya itu telah menyambar lewat dan menancap di-meja dengan menimbulkan suara yang keras.

Sigadis mengerutkan alisnya, yang menancap diatas meja ternyata sebatang jarum panjang yang hampir mirip bentuknya dengan jarum Bwee Hoa Ciam, hanya bedanya bentuk jarum itu lebih panjang dan halus bentuknya, Daa juga, dibatang jarum itu terdapat sehelai kertas yang terdapat tulisan.

Dengan hati2 gadis berbaju kuning gading ini telah mengulurkan tangan kanannya, tanpa menyentuh jarum yang menancap diatas meja ia telah mengambil kertas yang berisi tulisan itu.

Ternyata didalam tulisan tersebut, terdapat kata2 tantangan untuk sigadis, yang bunyi-nya sebagai berikut:

"Engkau kunantikan, kentongan kedua datang di pintu kota sebelah tenggara, disana aku akan meminta petunjukmu....

jangan tidak datang, aku akan sebutkan sebab2 dari permintaanku ini."

Dan surat itu tidak memiliki tanda tangan juga tidak terdapat nama sipengirim.

Sigadis berbaju kuning itu tidak mengetahui siapa yang mengirim surat tersebut, ia memandang sekelilingnya, tetapi tidak terlihat seorang pun yang memperlihatkan tanda2 sebagai pengirim surat tantangan tersebut.

Waktu itu sipelayan telah mengantarkan yang dipesan sigadis, ia segera memakannya dengan cepat.

Jarum yang dipergunakan tadi untuk mengirim surat itu dibiarkan saja menancap di-permukaan meja, hanya surat tantangan itu yang telah dimasukkan kedalam sakunya. Selesai bersantap, sigadis meninggalkan rumah makan itu dan mencari rumah penginapan ia beristirahat menantikan kentongan kedua.

Hari merangkak terus, dan kentongan kedua menjelang tiba.

Gadis berbaju kuning gading itu telah me-rapihkan pakaiannya dan memeriksa pedang di pinggangnya, kemudian meninggalkan rumah penginapan dengan mengambil jalan melewati jendela kamarnya, ia melompat keatas genting, dan menuju kearah kota sebelah tenggara. 

Waktu tiba dipintu kota tersebut, keadaan disekitar tempat itu sepi sekali, tidak terlihat seorang manusiapun juga.

Sigadis tidak mengetahui tempat dimana ia harus menemui pengirim surat itu, karena tidak disebutkan tempatnya yang pasti, hanya disebutkan ia dinantikan pada pintu kota sebelah tenggara tersebut.

Namun disaat sigadis memandang sekeliling nya seperti mencari-cari, diwaktu itulah ia mendengar suara angin berdesir kuat dari arah belakangnya, Sigadis memang memiliki kepandaian yang tinggi, ia mendengar suara mendesir itu dan cepat sekali mengibaskan tangannya, tahu2, jari telunjuknya telah berhasil menyentil sebatang jarum yang berukuran cukup panjang, jatuh keatas tanah.

Gadis tersebut bergerak cepat sekali, sambil menyentil segera dia menoleh kebelakang, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian serba hitam, telah melompat turun dari atas pohon yang terdapat diluar pintu kota sebelah tenggara tersebut.

Sosok tubuh itu bergerak lincah sekali dan juga dibarengi dengan kata2nya: "Benar-benar anda datang memenuhi permintaanku...!" suara orang itu terdengarnya dalam dan parau, menunjukkan bahwa sosok tubuh itu merupakan orang yang telah berusia tinggi. Sigadis mementang matanya lebar2, segera juga dalam keremangan malam dibawah sinar rembulan ia bisa melihat seraut wajah yang sabar dan tenang, dengan kumis dan jenggot yang tumbuh berwarna hitam.

"Siapakah engkau, paman ?" tanya sigadis sambil memberi hormat, "Ada petunjuk apakah engkau mengundangku kemari?"

Sigadis bertanya dengan sabar, sesungguhnya ia kurang begitu senang diperlakukan demikian oleh orang tua tersebut, karena dua kali ia telah diserang secara menggelap oleh jarum yang cukup berbahaya itu. jika memabng ia tidak memdiliki kepandaiaan yang tinggi, bbukankah ia menjadi sasaran serangan jarum tersebut ?

Orang tua itu tertawa.

"Justru aku mengundangmu kemari nona, aku hendak meminta petunjuk dari kau..!" kata orang tua itu.

"Aku hendak mengetahui apakah kitab "Huang Ciang Pit- kip" berada ditanganmu ?" tanya orang tua itu.

Mendengar disebutnya perihal "Hung Ciang Pit kip", yaitu kitab pukulan Merah, muka sigadis jadi berobah, ia telah memandang tajam kepada orang tua itu.

"Siapa paman sebenarnya, mengapa mengetahui perihal kitab itu ?" tanya sigadis dengan suara bimbang dan penuh kecurigaan.

Orang tua tersebut tersenyum, sikapnya sabar sekali waktu menyahuti: "Bukankah engkau murid tunggal dari niekouw tua yang bergelar Liang Sie Suthay ?"

"Benar... dari mana paman mengetahuinya ?" tanya  sigadis.

"Liang Sie Suthay merupakan sahabatku, dan telah lama kami tidak bertemu.... tetapi dari beberapa orang murid2 tunggal dari nie-kouw tua tersebut.... Dan juga, aku telah mendengar berita yang mendukakan hati mengenai meninggalnya Liang Sie Suthay tiga tahun yang lalu, sayang aku tidak bisa hadir dalam saat2 pemakamannya, setelah Liang Sie Suthay meninggal dunia, engkau sebagai murid tunggalnya tentu menerima warisan kitab pusaka Huang Ciang Pit-kip itu bukan ?"

Muka sigadis jadi berobah memperlihatkan perasaan kurang senang.

"Benar apa yang dikatakan oleh paman, kitab pusaka itu berada ditanganku, Lalu apa yang diinginkan oleh paman ?" tanya sigadis.

"Aku Jie Pian Kiehiap Bian Tung Siang, yang memimpin pintu perguruan Pai Nam Kie su," menjelaskan orang tua tersebut, "Dan kedatangan nona dikota ini justru kuketahui dari murid2ku.... Maksudku sesungguhnya, hanya ingin meminta petunjuk dari nona, bagaimana cara dan isi kitab tersebut...!"

Sigadis tersenyum pahit, ia bebrkata: "Itulah dkepandaian daria pintu perguruabn kami, tentu saja tidak bisa diberikan kepada orang lain..!"

"Tetapi nona... aku memerlukan sekali petunjuk2 mengenai isi kitab Huang Ciang Pit-Kip tersebut, untuk menyempurnakan ilmu cambukku. walaupun kepandaian itu merupakan kepandaian ilmu pukulan tangan kosong, namun justru gerakan2 yang terdapat pada ilmu Jie Pian dan Huang Ciang itu hampir bersamaan.

Dulu waktu aku bersahabat dengan gurumu, di waktu itu kami pernah menciptakan ilmu ber-sama2, dan akhirnya kami berpisah, dimana kami telah menciptakan ilmu sendiri2, yaitu ilmu Jie Pian dan ilmu Huang Ciang. Jika saja nona mau memberikan aku kesempatan meminjam kitab tersebut, tentu hal itu menggembirakan sekali dan budi kebaikan nona tidak akan kulupakan..!"

Tetapi gadis berbaju kuning gading itu menggelengkan kepalanya perlahan.

"Sayang sekali paman... kitab pusaka itu tidak mungkin dipinjami kepada siapapun juga."

Muka Jie Pian Kiehiap Bian Tung Siang memperlihatkan perasaan tidak senang.

"Bukankah dengan hanya memperlihatkan kitab itu kepadaku, hal itu tidak akan merugikan nona ?" tanyanya.

Sigadis berbaju kuning gading itu kembali menggelengkan kepalanya perlahan.

"Paman, sayang sekali permintaan paman harus kutolak, walaupun bagaimana kitab pusaka itu tidak bisa kupinjami kepada siapapun juga.."

"Tetapi jika memang nona tidak mau meluluskan permintaanku itu, menyesal sekali aku harus memaksamu..!" kata Jie Pian Kiehiap Bian Tung Siang dengan suara yang dingin.

"Paman... engkau mengatakan dulu merupakan sahabat guruku, tetapi sekarang mengapa terhadap murid dari sahabatmu engkau memaksa demikian rupa..?"

Jie Pian Kiehiap Bian Tung Siang telah memperdengarkan suara tertawa tawar.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar