Pendekar 100 Hari Jilid 17

17.81. Keberuntungan Tak Terduga

Menurut arah suara itu, Siau Lo-seng melihat orang aneh berpakaian warna kuning emas itu membuka mata. Kedua tangannya tampak gemetar dan tubuhnya pun agak merebah ke belakang.

Sekalian orang terperanjat sekali. Berpuluh pasang mata segera mencurah ke arah orang tua aneh itu. Mereka terkejut melihat perobahan yang terjadi secara mendadak itu.

Tay Hui Sin-ni kerutkan dahi, ujarnya: “Seharusnya lebih baik jangan terjadi suasana begini.” Pelahan-lahan tangan orang aneh itu tenang kembali dan sikapnya pun kembali seperti biasa lagi.

Saat itu alis dari Dewi Mega Ui Siu-bwe pun pelahan-lahan merebah dan bahkan mulai membuka kedua matanya.

Kini kedua orang itu saling beradu pandang. Mereka seolah tak menghiraukan keadaan di kelilingnya lagi. “Dia mau mendengarkan kata-kataku,” seru Siau Lo-seng girang.

“Apakah engkau menggunakan ilmu Menyusup suara untuk menyampaikan kata kepada orang baju indah itu?” tanya Tay Hui Sin-ni.

“Ya,” sahut Siau Lo-seng. “aku serempak menyampaikan ilmu menyusup suara itu kepada mereka berdua. Orang baju indah itu mau mendengar, tetapi Ui locianpwe tidak memberi tanggapan apa-apa.”

Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala:

“Kalau orang baju indah itu menarik tenaganya, pun Ui sicu juga harus berbuat demikian. Kecuali apabila mereka berdua memang dapat menangkap ilmu menyusup suara yang engkau lancarkan itu.”

“Pada saat orang aneh itu menarik tenaganya, kita susuli pukulan untuk menahan tenaga Ui locianpwe.”

“Ui li-sicu memiliki tenaga-dalam yang amat sakti. Siapa yang mampu menerima hamburan tenaga saktinya? Aku sendiripun tak sanggup kecuali aku memiliki ilmu Kim-kong-sin-kang.

“Jika demikian, ada harapan!” teriak Siau Lo-seng seraya lari menghampiri maju. “Siau koko!” teriak Hun-ing cemas.

Saat Siau Lo-seng sudah berdiri di belakang lelaki baju kuning emas. Dia menghadap pada Dewi Mega Ui Siau-bwe. Sambil dekapkan kedua tangannya ke dada ia berkemak kemik mengucapkan beberapa patah kata kepada lelaki baju kuning emas itu.

Melihat itu Tay Hui Sin-ni pun serentak berteriak keras, “Jangan, jangan!”

Tetapi seiring dengan teriakan itu, Siau Lo-seng pun juga menggembor keras seraya dorongkan kedua tangannya ke arah kedua tangan Dewi Mega Ui Siu-bwe.

“Bum……”

Terdengar letupan keras macam batu karang hancur. Beberapa sosok bayangan berhamburan pencar dan meja yang terbuat daripada batu kumala itupun hancur lebur berantakan.

Siau Lo-seng mengerang tertahan. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras. Ia pingsan seketika.

Tetapi Dewi Mega Ui Siu-bwe pun mencelat dari kursi, berjumpalitan sampai setombak jauhnya. Keempat dara baju biru serentak menyanggapi tubuh pemimpin mereka dengan tepat. Lelaki aneh baju kuning itu tetap duduk di kursinya. Tetapi secepat itu pula ia meloncat memeluk Siau Lo-seng dan memeriksa denyut nadi pergelangan tangannya.

Tay Hui Sin-ni pun bergegas menghampiri dan berseru cemas: “Dia…… bagaimana?”

Lelaki baju kuning emas itu melekatkan telinga untuk mendengarkan detak jantung Siau Lo-seng. Sejenak kemudian ia berbangkit.

“Dia tak kurang suatu apa, bahkan malah bertambah dengan selapis tenaga dalam. Cobalah kalian periksa Pah-cu kalian, dia tentu terluka parah,” serunya. Hun-ing cepat memandang ke arah Jin Kian Pah-cu. Tampak rambut Dewi Mega Ui Siu-bwe lepas terurai, wajahnya pucat lesi seperti seorang yang baru sembuh dari penyakit berat. Saat itu ia sedang pejamkan mata menyalurkan tenaga dalam dan pernapasan.

Wajah Dewi Mega tampak lebih cantik tetapi dahinya yang halus itu bertambah dengan lipatan kerut sehingga tampak ketuaannya.

“Bagaimana suhuku?” tanya Hun-ing cemas Lelaki baju kuning emas menghela napas.

“Lo-seng telah berhasil menguasai ilmu hebat Kim-kong-put-hoay. Pukulan yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga oleh Ui Siu-bwe berarti telah memberikan seluruh tenaganya kepada Lo-seng. Tetapi saat ini darah Lo-seng sedang bergolak keras sehingga menutup jalan darahnya. Nanti setelah sadar, tentu akan sembuh sendiri Sedang Ui Siu-bwe nanti akan kehilangan seluruh tenaganya……”

Tay Hui Sin-ni berseru terkejut,

“Dalam usia yang masih begitu muda, Lo-seng telah mendapat rejeki yang luar biasa. Dia seperti memakan buah ajaib macam som yang berumur seribu tahun. Sesungguhnya tak mungkin begitu muda dia sudah berhasil menguasai ilmu tenaga kebal Kim-kong-put-hoay. Tentu ada sebabnya. Ah, musibah yang menimpah diri Dewi Mega Ui Siu-bwe, adalah kesalahanku…..”

Saat itu Ui Siu-bwe tampak membuka mata.

“Ah, Sin-ni tidak bersalah. Itu sudah menjadi kehendak takdir...... huk, huk,” ia batuk-batuk dan ludahnya bercampur darah. Tubuh wanita itu gemetar. Untung dua orang dara bujangnya segera menyanggapi.

Hiat Sat Mo-li bertiga segera berlutut di hadapan suhunya dan menangis: “Suhu, apakah suhu terluka berat?”

“Sat-ji, Ing-ji, Li-ji, tak apalah. Lekaslah engkau memberi hormat kepada cianpwe itu,” seru Ui Siu-bwe.

Lelaki baju kuning emas buru-buru memberi hormat: “Ah, harap Dewi Mega jangan banyak peradatan. Harap beristirahat sajalah.”

Berkata Ui Siu-bwe pula: “Sahabat ini memiliki ilmu kesaktian yang belum pernah kusaksikan seumur hidup. Tadi apabila dia tak bermurah hati, mungkin saat ini aku sudah binasa.”

Lelaki baju kuning emas, itu tertawa,

“Ah, Dewi telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu kepandaian yang termaktub pada kitab Lian-hun-cin- keng. Jika Dewi tak bermurah hati tentu dalam babak pertama tadi, aku sudah terkapar.”

Jauh bedanya sikap ke dua orang itu. Jika tadi mereka mati-matian mengadu jiwa, sekarang mereka saling berkata-kata dengan merendah. Sudah tentu Tay Hui Sin-ni tak habis herannya.

“Bahwa Ui sicu dapat sesaat menghapuskan segala garis jahat dan baik, sungguh suatu hal yang jarang. Ui sicu lapang dada murah hati, membuat aku menyesal dan malu sendiri.”

Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas. “Peristiwa yang lampau bagai awan di langit. Hanya menyedihkan hati apabila dibicarakan lagi. Dahuhu karena tercengkeram oleh nafsu dendam, hampir saja aku melakukan kesalahan besar. Apabila tak mendapat penerangan dan petunjuk Sin-ni mungkin aku akan berlumuran dosa, ah!”

“Tetapi walau Dewi saat ini sudah sadar, sayang sekali seluruh kepandaian sicu sudah lenyap. Aku  sungguh menyesal karena tak dapat mewakili sicu untuk menerima musibah itu,” kata Tay Hui Sin-ni pula.

Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa.

“Ah, anda telah menguasai ilmu Thian-siau-sin-kang,” katanya kepada lelaki baju kuning emas. “tentulah murid dari Thian-sian-bun. Dapatkah anda memberitahukan nama anda yang mulia?”

“Maafkan, aku hendak ikut menerka,” tiba-tiba Tay Hui Sin-ni menyeletuk, “kalau tak salah dugaanku, sicu ini apakah bukan Thancu Hou-su-than dari perhimpunan Naga Hijau yang ”

Lelaki baju kuning emas itu tertawa gelak-gelak: “Benar, aku memang Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, salah satu dari kelima Thancu di masa Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan menjabat sebagai ketua dari Naga Hijau.”

Dewi Mega Ui Siu-bwe pun tertawa.

“Angin dan mega telah bertemu. Sungguh tak terduga seorang pendekar besar Kwik Ing-tat juga berkunjung ke Lembah Kumandang. Dan walaupun sudah delapanbelas tahun lamanya, masih tetap lawan yang berimbang, tetapi mengapa engkau sekarang jadi begitu? Dan mengapa pula engkau telah masuk ke dalam perguruan Thian-sian-bun?”

Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa.

“Mega menghias cakrawala, laut mengairi sawah. Pemberian sebuah pukulan pada delapanbelas tahun yang lalu tak pernah kulupakan sedetikpun juga. Dalam peristiwa di Hay-hong-cung, untung Ing-tat tak mati dan dapat masuk ke dalam perguruan Thian-sian-bun. Sungguh tak kira kalau setelah berselang delapanbelas tahun kemudian, aku masih tetap tak mampu mengalahkan Dewi. Sungguh memalukan!”

Kata-kata itu telah mengungkap sebab-sebab mengapa kedua orang itu bertempur. Peristiwa itu telah menyangkut Budi dan Dendam.

“Anda seorang yang pegang kepercayaan,” seru Dewi Mega Ui Siu-bwe, “delapanbelas tahun masih tak melupakan kata-kata yang engkau ucapkan...... ai, dalam pertemuan besar di gunung Thian-san dahulu,  aku telah terkena tipu manusia jahanam sehingga Hay-hong-cung menjadi korban.”

Wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat seketika berobah.

“Sekarang baiklah kita kesampingkan dulu urusan peribadi. Aku hendak menyampaikan pesan dari tuanku kepada Dewi, harap Dewi suka memberi jawaban yang sebenarnya.”

“O, kukira engkau hendak menyelesaikan dendam lama, ternyata masih mempunyai lain kepentingan lagi. Adakah tuanmu itu orang tua peniup seruling yang buntung kakinya itu?”

“Dewi,  kuyakin engkau tentu tak dapat menduga bahwa  tuanku itu bukan lain adalah pemimpin Naga   Hijau Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan?”

Seketika berobah cahaya wajah Dewi Mega Ui Siu-bwe, “Apa? Dia itu Siau Han-kwan? Dia tak mati dalam peristiwa Hay-hong-cung?”

“Bukan saja tidak mati tetapi beliau kini menjabat sebagai ketua Thian-sian-bun. Dan telah menguasai ilmu sakti dari Thian-siau.”

“Kalau dia belum mati, tak apalah. Urusan kita juga harus diselesaikan.” Tiba-tiba terdengar suara berseru nyaring:

“Paman Kwik dan Ui cianpwe, harap menjelaskan liku-liku peristiwa budi dan dendam yang kalian alami dahulu?”

Sekalian orang terkejut dan berpaling, Ah, kiranya entah kapan, Siau Lo-seng sudah berdiri di samping. Wajahnya merah segar, semangatnya menyala-nyala.

Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.

“Seng-ji, bilakah engkau siuman. Lekas haturkan terima kasih kepada Ui cianpwe.” “Untuk apa terima kasih itu?”

“Seng-ji, scbuah pukulan dari Dewi yang diberikan kepadamu tadi telah membuka jalan darah Tok-jin dalam tubuhmu. Kini sempurnalah sudah ilmu sakti Kim-kong-put-hoay yang engkau miliki!” seru Kwik Ing-tat.

Saat itu barulah Siau Lo-seng sadar. Serta merta ia berlutut dan memberi hormat sampai tiga kali kepada Dewi Mega Ui Siu-bwe.

“Mohon cianpwe memaafkan kebodohanku.” Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa bahagia, “Yang muda akan menggantikan yang tua. Aku sudah tua tak berguna. Kelak tugas menyelamatkan dunia persilatan terletak di bahumu. Tetapi aku heran mengapa dalam usia yang begitu muda engkau sudah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Maukah engkau menerangkan?”

“Aku sendiri juga heran,” kata Siau Lo-seng, “karena aku merasa tak pernah belajar ilmu sakti itu. Baru tadi ketika bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti di luar lembah, dia mengatakan kalau aku sudah memiliki ilmu sakti itu.”

“Apa?” teriak Ui Siu-bwe terkejut, “engkau bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti? Dia sudah mati pada empatpuluh tahun yang lalu. Ah, tak mungkin!”

“Seng-ji,” kata Kwik Ing-tat, “bilakah engkau bertemu dengan dia? Dan dia dalam perwujutan bagaimana?” Siau Lo-seng segera menceritakan peristiwa pertempurannya dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu.

“Aku sungguh tak mengerti mengapa dia menyaru sebagai Ban Jin-hoan. Begitu pula dia mengatakan bahwa Ui cianpwe masih menyimpan pedangnya. Entah apakah Ui cianpwe suka untuk menjelaskan mengapa dia membawa anak buahnya kemari? Dan menerangkan pula apakah sebenarnya yang terjadi antara Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, Ou-hay-it-ki dan mamahku Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu?”

Dalam mendengarkan cerita Siau Lo-seng tadi, Ui Siu-bwe sudah dirangsang ketegangan. Kini setelah mendengar permintaan Siau Lo-seng dia tak kuasa lagi mencegah airmatanya yang berderai-derai turun seperti banjir.

Jin Kian Pah-cu, pemimpin dari Lembah Kumandang yang termasyhur itu, kini menangis tersedu sedan seperti seorang wanita biasa.

“Ui cianpwe, maaf sekira permintaanku tadi menyinggung perasaan cianpwe,” buru-buru Siau Lo-seng menghaturkan penyesalannya.

Tiba-tiba wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat berobah gelap dan berseru: “Dewi Mega, apakah engkau juga mempunyai hubungan dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?”

“Ya!” sahut Ui Siu-bwe, “memang aku mempunyai hubungan yang erat sekali dengan dia. Kwik Ing-tat, bukankah tadi engkau mengatakan hendak menyampaikan pesan tuanmu kepadaku? Sekarang katakanlah!”

“Tuanku hendak bertanya kepada Dewi tentang, peristiwa di Hay-hong-cung. Kabarnya hanya engkau yang mempunyai hubungan dekat dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa maka tuanku hendak bertanya hal itu kepadamu.”

“Mohon tanya kepada Ui cianpwe,” tiba-tiba Siau Lo-seng ikut bicara, “adakah dahulu Lembah Kumandang juga ikut campur dalam peristiwa Hay-hong-cung itu? Dan benarkah mamahku mempunyai hubungan kasih dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?”

Siau Lo-seng mempunyai dugaan keras, tentu ada sebabnya mengapa ayahnya tak mau menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. Begitu pula ia masih ingat akan kata-kata Kho Ing-ti, “sebelum engkau jelas dengan asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa berdarah di Hay- hong-cung itu? Apalagi engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu.”

Kata-kata itu masih mengiang-ngiang di telinga Siau Lo-seng.

“Seng-ji,” tiba-tiba berserulah Dewi Mega Ui Siu-bwe dengan nada gemetar, “memang Lembah Kumandang ikut dalam peristiwa Hay-hong-cung. Berhasil merebut sebuah kitab Lian-hun-cin-keng dan salah satu dari tiga pusaka persilatan yang disebut panah Cian-li-hiat-cian (panah darah seribu lie). Tetapi Lembah Kumandang tak ikut dalam pembunuhan.”

“Lalu bagimana peristiwa yang sebenarnya terjadi?” tanya Siau Lo-seng.

“Sumber dari musibah Hay-hong-cung itu adalah karena Siau Han-kwan telah berhasil mendapat pusaka Cian-li-hiat-cian dan dua buah kitab Lian-hun-cin-keng serta libatan liku-liku asmara yang aneh dari ketiga Sam-cay Sam-ing.”

Ui Siau-bwe berhenti sejenak memandang sekalian orang.

“Ceritanya diawali dari Kho Ing-ti yang merobah diri menjadi Ban Jin-hoan. Tetapi jika dia tidak mengaku bahwa Siau Lo-seng itu sebenarnya puteranya sendiri dan menuturkan semua peristiwa yang telah dialaminya, tentulah hal itu akan terpendam selama-lamanya.” Mendengar kata-kata suhunya, serentak Hun-ing berseru: “Suhu, kalau begitu Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu adalah Ban Jin-hoan pemimpin dari istana Ban-jin-kiong?”

“Benar,” sahut Ui Siu-bwe, “jauh sebelum kemunculan Sam-cay dan Sam-ing, Kho Ing-ti telah membunuh Oh-hay-it-ki. Rahasia dari pertempuran antara guru dan murid itu telah diketahui Siau Han-kwan. Dunia persilatan marah mendengar peristiwa itu dan mengadakan gerakan serempak untuk membunuh Kho Ing-ti sehingga Kho Ing-ti tak dapat menegakkan kaki di dunia persilatan lagi. Dia terpaksa mengembara jauh dan tinggalkan sumoay Tan Bin-hoa yang dicintainya. Putus asa, patah hati dan diancam oleh dunia persilatan, menyebabkan dari seorang pemuda yang baik budi dan berguna seperti Kho Ing-ti, menjadi seorang momok yang ganas dan mengerikan.”

“Lalu mengapa Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan dapat menjadi pemimpin Ban-jin-kiong?” tanya Siau Lo-seng.

Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.

“Dunia persilatan menganggap Kho Ing-ti telah mati. Karena sudah berpuluh tahun dia tak muncul lagi. Mengapa dia menjadi Ban Jin-hoan itu menandakan kalau dia belum meninggal.”

“Jika demikian, jelas dia menyelundup masuk ke Tiong-goan lagi dan merobah namanya menjadi Ban Jin- hoan menyusup masuk menjadi murid Bu-tong-pay,” seru Siau Lo-seng.

Ui Siu-bwe mengangguk.

“Setelah Kho Ing-ti lenyap dari dunia persilatan maka beberapa tahun kemudian muncullah beberapa pendekar muda seperti Pedang Ular Emas Siau Mo, Ban Jin-hoan dari Bu-tong-pay dan Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan yang cemerlang. Mereka bersekutu dan menamakan diri sebagai Sam-cay. Disamping itu Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Dewi Mega Ui Siu-bwe dau Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa pun berserikat sebagai tiga serangkai Sam-ing.

“Dalam pertandingan adu kepandaian yang tak resmi, kepandaian Sam-cay dan Sam-ing itupun berimbang. Sejak itu dunia persilatan menyanjung mereka dengan kata-kata pujian sebagai sepasang Tiga serangkai Sam-cay dan Sam-ing ”

Ui Siu-bwe berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.

“Tetapi dunia persilatan tak tahu sama sekali, bahwa Ban Jin-hoan yang mereka puji itu ternyata Kho Ing-ti yang mereka benci. Tujuan Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan masuk dalam persekutuan Sam-cay tak lain hendak membalas kepada dunia persilatan yang telah memberi dendam berdarah kepadanya. Disamping itu supaya dapat berkumpul dengan sumoaynya Tan Bi-hoa yang dicintainya itu.”

17.82. Dendam Asmara

“Bagaimana ia melaksanakan pembalasan terhadap dunia persilatan?” tanya Siau Lo-seng.

“Dalam gerakan untuk membunuh Kho Ing-ti dahulu, kecuali Giok-li-sin-hong Tan Bi- hoa, boleh dikata seluruh kaum persilatan dari aliran Hitam maupun Putih ikut semua. Karena mereka menganggap, seorang murid yang berhianat dan membunuh gurunya, merupakan dosa paling besar. Kho Ing-ti menyadari bahwa sekalipun ia selamat dan ilmu kepandaiannya pun sudah pulih kembali, tetapi tak mungkin ia dapat menghadapi seluruh kaum persilatan.

Maka diam-diam ia segera membentuk Ban-jin-kiong, sebuah perkumpulan yang khusus hendak digunakan untuk menuntut balas kepada dunia persilatan. Diam-diam Ban-jin-kiong menjalankan siasat mengadu domba, menimbulkan kekacauan. Dengan ilmu Merobah wajah yang lihay, dia merobah diri menjadi beberapa tokoh untuk mengadakan pembunuhan di sana sini agar partai-partai persilatan itu saling curiga mencurigai.”

“Peristiwa Hay-hong-cung tentu dialah yang menciptakannya,” seru Siau Lo-seng.

“Memang dia seorang yang menciptakannya,” kata Ui Siu-bwe, “dan dengan kejam dia telah memutus hubungan kasih antara ayah dan bundamu. Agar ayahmu tetap mendendam suatu dosa yang tak mungkin ditebusnya.”

“Bagaimana ceritanya mamah dapat menikah dengan ayahku itu?” tanya Siau Lo-seng. Dipandangnya wajah Ui Siu-bwe yang bercucuran air mata itu dengan tajam. Entah bagaimana Dewi Mega berpaling muka, seolah-olah tak berani menghadapi sinar mata si anak muda. Airmatanya membanjir.

“Kutahu, ya, kutahulah peristiwa yang berliku-liku itu,” tiba-tiba Kwik Ing-tat menengadah kepala dan berkata seorang diri.

“Paman Kwik, apa yang engkau ketahui?” seru Siau Lo-seng.

Tiba-tiba berkatalah Dewi Mega dengan nada yang penuh ditekan perasaan, “Seng-ji mamahmu berbuat salah, dapatkah engkau memaafkannya?”

“Kesalahan apakah yang telah dilakukan mamahku?” Siau Lo-seng mulai curiga.

Tiba-tiba Kwik Ing-tat maju selangkah dan berseru, “Dewi, jangan sembarangan bicara kepada Seng-ji!”

“Berapakah harga sebuah nama itu?”sahut Dewi Mega, “dalam keadaan yang sudah seperti begini, apakah ada hal-hal yang masih dirasa malu untuk dikatakan? Apabila masih ditutupi rasanya kita berdosa kepada taci Tan Bi-hoa.”

Kwik Ing-tat menghela napas dan berkata kepada Siau Lo-seng: “Seng-ji, biarlah aku yang menceritakan kelanjutannya.”

Sejenak berhenti maka iapun mulai menutur.

“Pada masa itu Siau Han-kwan merupakan kepala dari Sam-cay, Sedang Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, kepala dari Sam-ing. Desas desus orang luar mengatakan bahwa kedua orang itu tentu akan menjadi pasangan hidup. Siau Mo dengan Ui Siu-bwe dan Ban Jin-hoan dengan Tan Bi-hoa. Tetapi ternyata tidak demikian. Di luar dugaan, pangcu kami telah menikah dengan Tan Bi-hoa. Sejak peristiwa itu, mulailah terjadi keretakan antara Sam-cay dan Sam-ing.

Pedang Ular emas Siau Mo berobah menjadi seorang manusia aneh yang gemar membunuh, Ban Jin-hoan pulang ke Bu-tong dan, minta kepada It Ceng Totiang supaya menerimanya menjadi imam dan bergelar It Bing, Siang-hoa-liong-li dan Dewi Mega pun menghilang dari dunia persilatan. Gempar dunia persilatan membicarakan peristiwa itu tetapi tiada seorangpun yang tahu sebabnya.”

Berkata sampai di sini, Kwik Ing-tat melirik ke arah Dewi Mega Ui Siu-bwe dan hentikan ceritanya. “Kwik Thancu, teruskan ceritamu sejelas-jelasnya,” seru Dewi Mega.

Sejenak meragu maka Kwik Ing-tat melanjutkan lagi.

“Sebenarnya Ban Jin-hoan sangat mencintai Tan Bi-hoa. Tetapi karena merasa dirinya telah menyebabkan suhunya meninggal dan suhengnya melarikan diri maka Tan Bi-hoa sudah beku hatinya.

Siau Han-kwan sebenarnya mencintai Dewi Mega Ui Siu-bwe yang halus budi! Tetapi Ui Siu-bwe sebaliknya mencintai Ban Jin-hoan. Sedang Pui Siu-li mencintai Siau Han-kwan. Siau Mo cinta sepenuh hati kepada Siu-li. Buru memburu cinta itu, telah merupakan lingkaran Asmara yang aneh. Yang dicinta, mencintai lain orang. Dan orang itu mencintai lain orang lagi.

Berhenti sejenak, ia meneruskan lagi,

“Pada suatu hari secara tak sengaja Siau Han-kwan telah menolong seorang tua yang tengah meregang jiwa. Dia bukan lain yalah Cek Hi Sucia, ketua pertama dari perkumpulan Naga Hijau. Dan mendapatkan benda kekuasaan perkumpulan itu serta dua buah kitab Lian-hun-cin-keng.”

“Oleh karena itu maka ayah lalu menerima jabatan ketua Naga Hijau,” seru Siau Lo-seng.

“Pada waktu itu Siau Han-kwan tak tahu bahwa dengan pusaka Cian-li-hiat-cian dapat menjadi ketua Naga Hijau. Tetapi Ban Jin-hoan tahu hal itu. Maka diam-diam ia merebut pusaka panah darah itu dan hendak merebut pimpinan Naga Hijau. Tetapi tindakannya itu telah dihalangi Dewi Mega Ui Siu-bwe. Oleh karena mencintai Ban Jin-hoan maka Dewi Mega selalu memperhatikan gerak gerik Ban Jin-hoan.

Lama kelamaan Dewi Mega mulai mendapat kesimpulan bahwa Ban Jin-hoan memang mempunyai  rencana tersendiri. Demi membuktikan pandangannya terhadap Ban Jin-hoan, Dewi Mega segera memberitahukan perasaan hatinya kepada Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa.

Pada waktu itu Tan Bi-hoa tak cinta Ban Jin-hoan. Walaupun orang luar menndesas desuskan keduanya sebagai pasangan yang serasi, tetapi dia tak menaruh perhatian kepada Ban Jin-hoan. Tan Bi-hoa meluluskan permintaan Dewi Mega dan mengajarkan ilmu merobah wajah dan memperboleh Dewi Mega untuk menyaru sebagai dirinya agar dapat menguji isi hati Ban Jin-hoan yang sebenarnya.”

Sampai di situ, Kwik Ing-tat berhenti sejenak dan memandang ke wajah Hun-ing Dengan suara agak keras ia melanjutkan ceritanya:

“Cinta Ban Jin-hoan terhadap Tan Bi-hoa memang sudah mendarah daging. Sudah tentu Ban Jin-hoan terkejut dan menyambut girang kepada Dewi Mega yang menyaru sebagai Tan Bi-hoa itu.”

Karena dirinya dipandang oleh Kwik Ing-tat, diam-diam timbullah rasa heran Hun-ing, ”Mengapa dia memandang diriku? Apakah peristiwa mempunyai hubungan dengan aku?”

Ketika Kwik Ing-tat bersangsi tak mau bercerita terus, Dewi Mega Ui Siu-bwe segera berseru suruh dia melanjutkan.

“Dalam ujian pertama itu, harus disayangkan bahwa Dewi Mega telah tak kuasa menekan rindu dendamnya kepada Ban Jin-hoan. Dan tergelincirlah kesuciannya……”

“O, itulah sebabnya maka Ban Jin-hoan salah menyangka kalau aku puteranya.” Tiba-tiba Siau Lo-seng berseru.

Pemburu nyawa Kwik Ing-tat menghela napas, ujarnya, “Setelah mengalami peristiwa itu, mulailah Ui Siu- bwe benci akan keganasan Ban Jin-hoan. Berulang kali dia hendak membuka rahasia diri Ban Jin-hoan tetapi tak sampai hati. Karena hal itu maka timbullah akibat yang menyedihkan di desa Hay-hong-cung.”

Saat itu Ui Siu-bwe menangis terisak-isak. Sekalian anak muridnya merasa iba dengan suhunya.

“Di antara Sam-ing, hanya Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, yang paling lincah, cerdas. Karena cintanya  terhadap Siau Han-kwan, ia memberitahukan hal itu kepada Siau Han-kwan dan menasehatkan agar Siau Han-kwan jangan melanjutkan cintanya kepada Dewi Mega Ui Siu-bwe.

“Tahu bahwa Ui Siu-bwe telah dicemarkan kesuciannya oleh Ban Jin-hoan,” Kwik Ing-tat melanjutkan pula, “Dia kalap dan mendendam. Dia hendak membalas dendam. Dengan tergesa-gesa dia memaksa Giok-li- sin-hong Tan Bi-hoa mengumumkan pernikahannya kepada dunia persilatan dan menerima jabatan ketua dari Naga Hijau lalu tinggal di desa Hay-hong-cung. Dia berbuat begitu karena hendak membalas dendam kepada Ban Jin-hoan karena sesungguhnya dia tidak mencinta Tan Bi-hoa. Tetapi walaupun tindakannya memang dapat mematahkan semangat Ban Jin-hoan, akhirnya telah menimbulkan akibat yang hebat dan mengerikan ”

Dengan begitu Pui Siu-li juga tidak berhasil mendapat cinta Siau Han-kwan walaupun sudah memberitahukan rahasia diri Ui Siu-bwe dengan Ban Jin-hoan,” tukas Siau Lo-seng, “kebalikannya Ban Jin- hoan yang kehilangan Tan Bi-hoa dan marah terhadap Dewi Mega Ui Siu-bwe yang membocorkan rahasia itu kepada Siau Han-kwan, makin meluap dendam kebenciannya kepada Siau Han-kwan. Diam-diam dia telah mengerahkan tenaga dan pengaruh Ban-jin-kiong untuk menyebar fitnah kepada kaum parsilatan yang tak tahu jelas akan persoalan Sam-cay dan Sam-ing. Kaum persilatan percaya bahwa Siau Han-kwan telah merebut kekasih Ban Jin-hoan dan kedudukan ketua Naga Hijau serta bertujuan hendak menguasai dunia persilatan. Seluruh partai-partai persilatan segera serempak menyerbu Hay-hong-cung dan terjadilah pembunuhan besar-besaran itu……”

Kesimpulan yang diuraikan panjang lebar oleh Siau Lo-seng itu dibenarkan Kwik Ing-tat.

“Tetapi gerakan serempak dari partai-partai persilatan ke Hay-hong-cung itu walaupun mengunakan dalih untuk menghukum perbuatan yang tak benar dari Siau Han-kwan tetapi sebagian besar mereka memang mengandung maksud untuk merebut panah pusaka Cian-li-hiat-cian dan dua jilid kitab Lian-hun-cin-keng.”

“Dalam peristiwa Hay-hong-cung itu apakah Lembah Kumandang dan Naga Hijau ikut dalam  pembunuhan?” tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.

“Jangan terburu nafsu dulu,” kata Kwik Ing-tat, “Baik Lembah Kumandang maupun Naga Hijau sesungguhnya datang hendak mencegah pertempuran berdarah itu…… Setelah Siau Han-kwan menikah dengan Tan Bi-hoa maka Pui Siu-li karena putus asa hendak bunuh diri tetapi dapat diselamatkan oleh Dewi Mega Ui Siu-bwe. Kedua taci adik seperguruan itu saling menumpahkan peristiwa kehancuran hati, yang dialami mereka. Kemudian mereka mencapai sepakat untuk tetap bertahan hidup. Dan sejak itu mereka menghilang dari dunia persilatan. Pada hal secara diam-diam mereka telah membentuk Lembah Kumandang untuk menghadapi Ban Jin-hoan, menghalangi tindakan-tindakan orang Ban-jin-kiong yang hendak mengacau dunia persilatan. Tetapi di luar dugaan, dunia persilatan menganggap Lembah Kumandang itu sebagai gerombolan aliran Hitam.”

Tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.

“Biarlah aku yang melanjutkan ceritanya. Karena dengan begitu barulah dapat meringankan dosaku dan mengurangi penderitaan batinku ”

Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan nada tersekat.

Hun-ing cepat maju memapah Ui Siu-bwe, serunya: “Suhu, jangan keliwat bersedih. Apa yang lalu telah  lalu. Walaupun membuat kesalahan yang bagaimana pun besarnya, pun telah lenyap dihanyutkan sang waktu.”

Pun Kwik Ing-tat meminta agar Ui Siu-bwe beristirahat saja lalu bercerita lagi.

“Rencana penyerangan ke Hay-hong-cung itu timbul dari keinginan Ban Jin-hoan secara mendadak sekali sehingga dalam keadaan terburu-buru Dewi Mega Ui Siu-bwe meminta sumoaynya, Pui Siu-li, supaya memberitahu kepada Siau Han-kwan. Sedang dia sendiri akan memberi penjelasan kepada pimpinan partai-partai persilatan supaya jangan melanjutkan rencana mereka. Tetapi ternyata gerik Pui Siu-li ke Hay- hong-cung telah diketahui oleh Ban Jin-hoan. Tujuan Pui Siu-li yang baik, telah dikacaukan menjadi suatu peristiwa dendam.”

“Oh, bagaimana ceritanya?” tanya Siau Lo-seng.

Sejenak melirik ke arah Ui Siu-bwe, Kwik Ing-tat melanjutkan pula,

“Karena tak mau mengejutkan perhatian orang maka Pui Siu-li langsung menemui Siau Han-kwan dalam kamar tulisnya. Dia menceritakan semua rencana Ban Jin-hoan dan menganjurkan supaya Siau Han-kwan lekas-lekas meloloskan diri. Tetapi Siau Han-kwan sudah tak mau ingat pertalian kasih kepada Pui Siu-li lagi. Dia menyambut dingin nasehat Pui Siu-li bahkan mendamprat nona itu karena berani masuk ke kamar tulisnya. Sesungguhnya pada saat berhadapan dengan Siau Han-kwan, timbullah kenangan asmara lama dihati Pui Siu-li. Menerima teguran yang pedas dari Siau Han¬kwan, ia marah dan balas mendamprat. Ribut-ribut dalam kamar tulis itu telah terdengar oleh Siau Mo yang segera masuk ke dalam kamar itu……

“Dan sebelum Pui Siu-li sempat memberi penjelasan, partai-partai dan kaum persilatan golongan Hitam dan Putih serta anak buah Ban-jin-kiong sudah menyerbu desa itu. Sudah tentu warga Hay-hong-cung yang terdiri hanya seratusan orang itu, tak dapat melawan serangan mereka. Ketika lima Thancu dari Naga Hijau dengan anak buahnya serta orang-orang Lembah Kumandang tiba di Hay-hong-cung, maka terjadilah pertempuran besar yang awut-awutan. Seratusan orang Hay-hong-cung mati semua. Naga Hijau kehilangan separoh anak buahnya. Tetapi Lembah Kumandang yang untung, karena berhasil mendapatkah jarum Cian-li-hiat-sat dan sejilid kitab Lian-hun-cin-keng.”

Mendengar itu mereganglah bulu roma Siau Lo-seng.

“Dalam peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung itu kukira yang menjadi korban hanya warga Hay-hong- cung saja, ternyata banyak anak buah Naga Hijau yang korban jiwanya…… Ban Jin-hoan, aku bersumpah akan mencincang tubuhmu!”

“Seng-ji, apakah engkau masih ingat berapa orang saudaramu itu?” tanya Ui Siu-bwe.

“Kalau tak salah, aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang adik lelaki. Tetapi mereka mati semua dalam pembunuhan itu,” jawab Siau Lo-seng.

“Tahukah engkau bagaimana mereka terbunuh?” tanya Ui Siu-bwe pula.

“Tak tahu,” jawab Siau Lo-seng, “karena sejak kecil aku sudah menderita penyakit lumpuh yang sering kambuh. Oleh karena itu maka aku dipisahkan dengan saudara-saudaraku. Aku hanya dijaga oleh seorang bujang. Tetapi ketika aku terbangun dari mimpi, kulihat tiada seorangpun dalam kamarku tetapi kulihat engkoku Siau Lo-wi dan adikku Siau Lo-pat telah menjadi mayat yang mengerikan. Ketika itu akupun menangis ”

“Seng-ji tahukah engkau bahwa saudara-saudaramu sebenarnya dibunuh sendiri oleh ayahmu?” tanya Ui Siu-bwe pula.

Siau Lo-Seng seperti mendengar halilintar disambar kilat kejutnya: “Ngaco belo!” “Memang benar!” sahut Ui Siu-bwe dengan suara serius. “Walaupun menikah dengan Siau Han-kwan, tetapi mamahmu tidak merasa berbahagia,” kata Ui Siu-bwe pula, “demi menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau maka Siau Han-kwan menyembunyikan diri rapat- rapat sehingga dia mendapat gelar sebagai Naga sakti tanpa bayangan. Perkawinannya dengan Tan Bi-hoa hanya menuruti rasa dendam terhadap Ban Jin-hoan saja. Dia memang tak mencintai Tan Bi-hoa sungguh- sungguh. Maka sikapnya pun dingin terhadap Tan Bi-hoa. Ditambah pula pada peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung itu dengan pintar sekali, Ban Jin-hoan telah menimbulkan salah paham antara kedua suami isteri itu maka dalam kemarahannya yang meluap-luap, akhirnya Siau Han-kwan sampai membunuh puteranya sendiri!”

“Tutup mulutmu,” teriak Siau Lo-seng, “bagaimana mungkin ayahku membunuh anaknya sendiri? Mengapa dia tak membunuh aku sekalian? Katakanlah!”

“Adalah karena Ban Jin-hoan keburu datang maka engkau tertolong dan Jin-hoan mengira kalau engkau puteranya hendak dibunuh Siau Han-kwan maka dengan mati- matian dia menyerang Siau Han-kwan......

ingatlah, saat itu jiwamu sudah gawat sekali. Setiap saat kau dapat meninggal. Masakan aku tetap akan membohongimu?”

“Apa buktinya kalau mamah dan saudaraku dibunuh ayah sendiri?” seru Siau Lo-seng.

“Macan yang buaspun takkan makan anaknya,” kata Dewi Mega Ui Siu-bwe, “memang sukar dipercaya kalau aku mengatakan seperti tadi. Tetapi hal itu memang mamahmu sendiri di kala mau menutup mata, yang mengatakan kepadaku. Mamahmu sebenarnya benci kepada ayahmu. Tetapi ia dapat memaafkan ayahmu. Dalam kemarahannya, mamahmu telah nekad menyerbu ke dalam pertempuran dan akhirnya binasa.”

Mendengar itu amarah Siau Lo-seng seperti diguyur air es, serunya: “Benarkah itu? Aku tentu  akan bertanya kepada ayah!”

“Seng-ji, engkaupun harus memaafkan ayahmu. Belasan tahun dia telah menderita siksaan hidup, lahir dan batin.”

“Ah, mamah, semoga arwahmu beristirahat di alam baka dengan tenang...... mengapa aku mempunyai seorang ayah yang sampai hati membunuh puteranya sendiri? O, itulah sebabnya maka dia tak berani mengakui aku sebagai anaknya ”

“Seng-ji, nasibmu itu memang menggetarkan perasaan setiap orang. Tetapi apa boleh buat, mungkin itu garis hidupmu dan terimalah dengan lapang dada,” kata Ui Siu-bwe, “ketahuilah. Tiada hal yang paling menyedihkan pada hati seorang lelaki kecuali melihat isterinya berada dalam pelukan lain lelaki…… apalagi dalam keadaan yang genting itu. Karena tak ingin puteranya dibunuh orang maka ia menghabisi jiwa puteranya itu sendiri.”

“Apa? Apakah mamahku berbuat serong?” seru Siau Lo-seng.

“Tidak,” jawab Ui Siu-bwe, “walaupun mamahmu tak cinta kepada ayahmu tetapi dia tak sampai berbuat serong kepada lain orang. Tetapi ayahmu telah termakan fitnah yang disebarkan Ban Jin-hoan yang mengatakan bahwa mamahmu pernah berbuat jinah dengan dia. Ban Jin-hoan mengejek ayahmu, mengatakan janganlah ayahmu bangga karena memperisteri Tan Bi-hoa karena sebenarnya Tan Bi-hoa itu tidak mencintainya ”

“Adakah ayahku cepat percaya omongan itu?” seru Siau Lo-seng.

“Sudah tentu tidak,” kata Ui Siu-bwe, “tetapi dengan menggunakan ilmu Merobah wajah, Ban Jin-hoan mencari seorang wanita yang dirobah wajahnya seperti Tan Bi- hoa. Diajaknya wanita itu main di hadapan ayahmu……”

“Saat itu Siau Han-kwan seperti dibakar kemarahan. Segera dia menyerang Ban Jin-hoan dan wanita yang menyaru sebagai Tan Bi-hoa. Ketika ayahmu hendak membuat perhitungan mamahmu, datanglah Pui Siu-li yang memberitahu kepada ayahnya bahwa Ban Jin-hoan itu sebenarnya adalah suheng dari Tan Bi-hoa. Hal itu makin memperhebat kebencian ayahmu terhadap Tan Bi-hoa. Dirangsang oleh ketegangan dan kemarahan saat itu maka ayahmu membentak-bentak Pui Siu-li……, dan hal itu diketahui oleh Siau Mo.”

Mendengar itu hati Siau Lo-seng tak keruan rasanya. Karena tak tahu bagaimana ia harus berbuat, dia sampai menitikkan airmata sendiri.

“Adakah pamanku Siau Mo juga membenci ayahku dan ikut turun tangan mencelakainya?” tanya pemuda itu. “Seng-ji,” kata Ui Sin-bwe,” jangan persalahkan pamanmu Siau Mo. Sejak ikut aku dan sumoayku Pui Siu-li bersembunyi di Lembah Kumandang, karena tak mendapat hiburan dan perhatian orang, akhirnya ia masuk ke dalam perkumpulan Ko-bok-pay. Tiga tahun kemudian dia kembali ke Hay-hong-cung sebagai manusia yang telah berobah perangainya. Pada saat ia dikipasi oleh Ban Jin-hoan dan menyaksikan sendiri betapa Siau Han-kwan telah bertengkar dengan Pui Siu-li yang dicintainya, dia tak dapat menguasai diri lagi.

Sebenarnya dia datang ke Hay-hong-cung hendak menyampaikan berita. Tetapi melihat adegan itu, marahlah dia. Cepat dia menuju ke muka desa. Untuk melampiaskan marahnya, tak peduli siapa saja, baik musuh atau orang Hay-hong-cung, diserang dan dibunuhnya. Entah berapa banyak jiwa menjadi korban Pedang Ular Emasnya. Terakhir dia membuka sebuah jalan berdarah lalu melarikan diri ke dalam hutan. Kebetulan dia bertemu dengan gurumu Jiu-lan. Dalam keadaan pikiran masih kacau, ketika melihat pakaian guru wanita itu berlumuran darah, seketika timbullah hawa pembunuhannya lagi. Lebih dulu gurumu itu dibunuhnya dan karena engkau menangis maka dia lalu melempar engkau ke dalam jurang.”

Saat itu Siau Lo-seng benar-benar seperti orang yang kehilangan pegangan. Mau menangis, tiada air mata. Hatinya seperti disayat-sayat.

Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni yang sejak tadi diam saja, saat itu ikut membuka suara, “Kodrat tak dapat dihindari lagi. Darah sudah terlanjur mengucur, ah...... Siau Mo tiga tahun lamanya masuk ke dalam partai Ko-bok- pay kami. Dia tampak rajin sekali dan pendiam. Tetapi Kaucu kami suka kepadanya. Tak sangka setelah pulang ke desanya, dia harus tercebur dalam pertumpahan darah yang begitu hebat.”

“Mengapa selama bertahun-tahun menyelidiki, aku tak berhasil memperoleh keterangan tentang peristiwa itu?”“ tanya Siau Lo-seng.

Ui Siu-bwe memberi jawaban:

“Setiap orang yang terlibat dalam peristiwa, masing-masing mempunyai kesalahan. Sudah tentu mereka tak mau membuka rahasia itu. Engkau tak mau membuka rahasia itu. Engkau tak sampai mati adalah disebabkan Ban Jin-hoan masih mengandung setitik harapan, agar mamahmu tetap masih mempunyai kasih kepadanya.”

“Ban Jin-hoan memang ganas sekali,” tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe berganti nada keras,  “kesemuanya itu adalah dia yang menciptakan. Apabila Lembah Kumandang dan Naga Hijau masih tetap berdiri, pada suatu hari mereka tentu akan membuat perhitungan dengan manusia ganas itu.”

Kata-kata Dewi Mega Ui Siu-bwe itu telah disambut dengan sorak bergemuruh dari sekalian anak buah Lembah Kumandang dan Naga Hijau yang berada di setiap sudut tempat.

Tetapi sorak sorai pernyataan tekad untuk mentaati keputusannya itu bahkan malah menimbulkan kesedihan hati Dewi Mega. Kembali ia mengucurkan air mata.

“Cianpwe, mengapa engkau mengucurkan airmata lagi?” tanya Siau Lo-seng heran.

“Aku merasa dosaku juga besar,” katanya tersendat, “kalau dulu tidak...... tentu tak kan terjadi peristiwa yang berdarah semacam itu.”

“Cianpwe, engkau tak bersalah,” kata Siau Lo-seng, “ah, sesungguhnya nasib cianpwe sendiri juga tak beruntung.”

“Suhu,” Hun-ing menyeletuk, “jangan bersedih hati. Akulah yang akan menghimpas dendam suhu itu.”

17.83. Istana Selaksa Hantu

Tiba-tiba pula Siau Lo-seng berpaling kepada Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, serunya “Paman Kwik, dimanakah ayahku sekarang?”

“Dia memikat supaya Buddha emas Ang Siong-pik tinggalkan lembah ini. Sekarang aku pun juga tak tahu dia berada di mana. Tetapi menurut dugaanku, dia tentu menuju ke Ban-jin-kiong untuk mencari Ban Jin- hoan.”

“Jika begitu aku harus ke Ban-jin-kiong,” kata Siau Lo-seng. “Seorang diri?” tanya Hun-ing. “Bagaimanapun juga aku harus membuat perhitungan dengan Ban Jin-hoan,” kata Siau Lo-seng. Kemudian ia menyampaikan berita yang diucapkan oleh adik angkatnya Bok-yong Kang kepada sekalian orang di situ.

“Ban-jin-kiong pasti akan melaksanakan rencananya,” kata Siau Lo-seng pula, “untung sekarang kita masih dapat menghancurkan kekuatannya. Hanya saja tak boleh bertindak sccara gegabah melainkan secara diam-diam menyerbu dan pada suatu saat yang tak diduga-duga, kita serempak bergerak menghancurkan Ban-jin-kiong.”

Habis berkata ia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni lalu Kwik Ing-tat, serunya:

“Kuharap paman Kwik dan Tay Hui Sin-ni cianpwe suka memberi bantuan. Entah bagaimana pendapat cianpwe.”

Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.

“Tanpa engkau minta, aku sendiri juga akan membuat pertarungan dengan Ban-jin-kiong. Tahukah engkau bahwa jiwaku orang tua ini juga hampir melayang di tangannya?” kata Kwik Ing-tat.

Tay Hui Sin-ni menghela napas.

“Omitohud! Siau sauhiap, kabut rahasia yang menyelimuti dendam darahmu, kini sudah tersingkap jelas. Kutahu engkau tentu mendendam sekali. Walaupun engkau mempunyai dendam tak dapat hidup di bawah kolong langit dengan Ban Jin-hoan. Tetapi engkau harus tahu bahwa dendam dan pembalasan itu akan berlarut-larut tiada berkeputusan. Demi membalas dendam di Hay-hong-cung, entah sudah berapa banyak jiwa yang engkau bunuh? Tahukah engkau berapa banyak anak yang sebatang kara karena ditinggal oleh kedua orang tuanya? Betapa sengsaralah hidup mereka itu?”

Siau Lo-seng tergetar. Seketika teringatlah ia akan semua peristiwa yang telah dialaminya selama ini.

“Bukan maksudku hendak melarang engkau membalas dendam,” kata Tay Hui Sin-ni, “Ban Jin-hoan mempunyai dendam darah kepadamu. Diapun seorang durjana dunia persilatan. Setiap orang berhak untuk menumpasnya, sebagaimana setiap kaum persilatan berhak untuk menjaga keselamatan dunia persilatan. Tetapi kini darah dan korban sudah banyak sekali yang jatuh. Aku tak sampai hati lagi melihat timbulnya peristiwa berdarah pula. Kuharap apabila mungkin dihindarkan, hindarkanlah.”

“Petunjuk Sin-ni sungguh mulia sekali. Menandakan bahwa Sin-ni mengandung hati welas asih yang besar. Maka akupun tak berani memaksa Sin-ni harus ikut dalam perjalanan ini,” kata Siau Lo-seng.

“Tay Hui Sin-ni,” Hun-ing ikut bicara, “gerakan untuk menumpas Ban-jin-kiong harus tetap dilakukan. Kita  tak menumpasnya, dia akan menumpas kita. Apalagi saat ini mungkin adik Cu-ing, Pek Wan Taysu serta paderi anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin masih berada di tangan mereka. Betapapun kita tak dapat tak bertindak menolong mereka.”

“Apa? Paman Pek Wan masih ditawan di Ban-jin-kiong?” Siau Lo-seng berseru kaget. “Ya,” sahut Hun-ing, “bahkan mungkin kesadaran pikiran merekapun telah dihilangkan.”

“Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si, menggetarkan seluruh dunia persilatan. Bagaimana mereka dapat ditawan pihak Ban-jin-kiong? Apa pula Pek Wan Taysu itu seorang tokoh sakti. Walaupun dalam tawanan Ban-jin-kiong, mereka tentu takkan terancam bahaya,” kata Tay Hui Sin-ni.

Tiba-tiba kedengaran Ui Siu-bwe menghela napas ringan, serunya:

“Kali ini perhitungan Sin-ni kurang tepat. Walaupun barisan Tat-mo-coa-ci-tin itu tiada lawan tetapi bukan tandingan dari ilmu Thian-siau-mo-gak dari perguruan Thian-sian-bun.”

“Thian-sian-mo-gak, hanya Siau Han-kwan dan Ang Siong-pik yang pernah mempelajari. Bahkan Kwik sicu pun belum tentu mengerti, mengapa dalam Ban-jin-kiong terdapat orang yang mempelajari ilmu itu?”

Berkata Pemburu nyawa Kwik Ing-tat:

“Benar Sin-ni, ilmu Thian-siau-mo-gak itu memang tak sembarang orang mampu mempelajarinya. Hampir enampuluh tahun lamanya suhuku mempelajari ilmu itu. Pun baru dapat menguasai empat buah irama. Sedang empat irama yang lain berada pada ke empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu. Kecuali pangcu dan Buddha  emas Ang  Siong-pik,  aku  sendiri  tak mempunyai  kesempatan  untuk  belajar ilmu  itu ”

Tiba-tiba Kwik Ing-tat teringat sesuatu, serunya. “Ah, apabila Sin-ni tak mengatakan ilmu Thian-siau-gak-cin itu, mungkin aku lupa akan tujuanku datang kemari……, mohon tanya kepada Dewi, bagaimanakah dengan duapuluh batang jarum Ular Emas itu?”

“Bukankah keduapuluh tujuh batang jarum Ular Emasku itu telah direbut pihak Lembah Kumandang?” tanya Siau Lo-seng.

“Memang benar,” sahut Ui Siu-bwe, keempat Su-tay-thian-ong dari Lembah Kumandang telah berhianat mencuri jarum itu serta pena Keng-hun-pit. Begitu pula sejilid kitab Lian-hun-cin-keng, ah……, inilah kegagalanku yang paling besar. Tak kira kalau keempat Tay-thian-ong yang kudidik itu ternyata anak buah Ban-jin-kiong.”

“Ah, urusan makin lebih gawat,” kata Kwik Ing-tat.

“Dosa bertimbun dosa,” seru Tay Hui Sin-ni, “sungguh tak kira kalau Ban-jin-kiong memang benar-benar mengandung rencana untuk menguasai dunia persilatan.”

“Memang kekuatan Ban-jin-kiong makin dahsyat. Mereka sudah dapat menguasai separoh bagian dunia persilatan. Dan manusia mumi yang dibuatnya itu setingkat lebih tinggi dari buatanku. Untuk menggempur Ban-jin-kiong memang bukan suatu pekerjaan gampang,” kata Ui Siu-bwe.

Sambil mendengarkan percakapan itu, Siau Lo-seng mondar mandir di luar ruang. “Siau koko, hendak kemanakah engkau?” tanya Hun-ing yang cepat menghampiri.

Siau Lo-seng berpaling. Kebetulan pandang mata keduanya saling beradu. Dan sorot mata nona itu seperti memancar sinar dendam dan kasih.

Siau Lo-seng buru-buru palingkan muka untuk menghindari pandang mata si nona. “Aku hendak ke Ban-jin-kiong……, melakukan apa yang harus kulakukan…….” Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh dan melesat keluar ruang.

Terdengar suara anjing menyalak. Anjing putih yang sejak tadi mendekam di tepi, saat itu menyalak keras lalu lari menyusul langkah Siau Lo-seng.

“Omitohud,” Tay Hui Sin-ni menghela napas, “seorang anak yang keras hati, seorang anak yang bernasib malang.”

Tiba-tiba Hun-ing menjerit dan berlutut di hadapan Dewi Mega Ui Siu-bwe.

“Subo, perkenankanlah aku dan saudara-saudara dari perkumpulan kita semua untuk menuntut balas.”

Beribu-ribu anak buah Naga Hijau pun segera berlutut. Mereka menumpahkan pandang ke arah Dewi Mega. Pandang yang memohon keputusan dari pimpinan mereka.

“Bangunlah kalian semua. Ing, engkaupun lekas bangun. Aku mengabulkan permintaanmu,” akhirnya Dewi Mega Ui Siu-bwe memberi keputusan dengan nada yang rawan.

Serentak terdengarlah sorak sorai yang gegap gempita. Karena girangnya, Hun-ing segera memeluk kedua kaki Dewi Mega. Dua butir air mata menitik dari kelopak mata nona itu.

Dewi Mega membelai-belai rambut Hun-ing. Ia menghela napas penuh kedukaan dan kerawanan. Airmatanya pun berderai-derai mengucur ke tanah.

Tiada seorangpun yang mengetahui isi hati pemimpin Lembah Kumandang itu. Helaan napasnya itu penuh mengandung dengan berbagai derita perasaan.

Derita dari perjalanan hidupnya di masa yang lalu. Suatu perjalanan hidup yang telah memberi akibat penderitaan lahir dan batin sehingga sampai detik itu.

Dia telah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya takkan dilakukan dan sebenarnya tak ingin dilakukannya.

Tetapi kesemuanya itu telah terjadi. Dan apa yang telah terjadi tak mungkin akan dihapus kembali…..

******************** 

Malam itu sunyi sekali. Dan amat pekat karena di tengah musim rontok. Empat penjuru alam seolah tertutup selimut hitam.

Dalam kegelapan malam yang pekat itu sesosok bayangan melesat keluar kemudian dikejar oleh dua sosok bayangan lagi.

“Hai, berhenti! Saat ini tak boleh keluar. Tempat ini terlarang!”

Seiring dengan teriakan itu lima lelaki baju hitam dan bersenjata golok segera berhamburan keluar dari dalam hutan dan menghadang jalan.

Sosok bayangan yang pertama segera hentikan langkah, mengeluarkan sebuah Leng-pay (lencana) dan berseru:

“Aku menerima titah dari Sau-kongcu untuk memeriksa penjagaan di istana. Hari ini akan dilakukan upacara. Semua tempat harus dijaga keras!”

Mendengar itu kelima baju hitam itupun buru-buru mengiakan, “Baik, Lau Jin-tin dan kawan-kawan, anak buah dari Istana Kesatu, akan melaksanakan perintah!”

“Berapa banyak penjaga di sini?”

Salah seorang baju hitam menyahut: “Kelompok muka lima orang. Kelompok belakang sepuluh orang.” Orang itu mendengus. “Baik, sekarang keluarkan pertandaan leng-hu kalian!”

Kelima baju hitam itu segera merogoh ke dalam baju untuk mengambil keluar pertandaan. Tiba-tiba dua orang pendatang yang mengaku sebagai petugas ronda itu maju dan secepat kilat menutuk. Hanya beberapa orang, suara tertahan dari mulut yang terdengar dan kelima orang baju hitam itupun serempak rubuh ke tanah.

“Siau koko,” kata pendatang yang pertama tadi, “inilah pos penjagaan terakhir dari lingkung luar Ban-jin- kiong. Di dalam masih ada sepuluh orang yang harus kita bereskan.”

“Bokyong-te, setelah lingkung luar ini, apakah masih ada penjagaan lain lagi?” tanya Siau Lo-seng.

“Setelah seratus empat buah pos penjagaan luar, hanya terdapat sebuah jalan rahasia di bawah tanah. Di situ dijaga oleh duabelas pos penjagaan. Menurut keterangan, penjaga di situ yang jaga adalah duabelas Manusia Kim-kong atau kebal. Mereka memeriksa setiap orang yang hendak masuk ke dalam istana di bawah tanah. Setiap pos penjagaan diperkuat dengan dua regu barisan manusia yang kehilangan pikirannya. Sekali memberi perintah kedua regu manusia mumi itu segera akan menyerang. Memang hebat dan mengerikan sekali. Harap toako jangan memandang rendah.”

“Jalan ke istana di bawah tanah itu, apakah hanya sebuah jalanan kecil saja?” tanya Siau Lo-seng.

“Antara Istana bawah tanah dengan istana di atas tanah terpisah oleh sebuah lembah buntu. Lembah itu sempit dan dalam, ke empat dindingnya setebal tembok benteng. Penuh tanaman hutan dan pakis yang licin. Sering tertutup kabut tebal penuh dengan ular berbisa. Tak mungkin dilalui orang.”

Siau Lo-seng terkejut.

“Lalu mengapa bala bantuan kita dari luar itu dapat masuk ke dalam Istana bawah tanah dan bertempur dengan mereka? Kalau mereka tetap menjaga di dalam, bukankah kita tak berdaya untuk menggempur mereka? Atau apakah mereka memang tak kenal pada kita?”

Bok-yong Kang tertawa.

“Sudah tiga bulan lamanya aku menyelundup ke dalam barisan Algojo yang terdiri dari empatpuluh dua orang. Karena itu aku agak paham akan jalan-jalan dan pintu-pintu istana itu. Mengapa aku sampai tak dapat dipergoki karena setiap anak buah Ban-jin-kiong itu tentu mengenakan kerudung muka sehingga sukar untuk saling mengenali. Asal berhasil masuk ke dalam istana bawah tanah dan menerima perintah dari Cong-kiongcu (kepala istana) tentu kita dapat bergerak dan bertindak.”

“Dimanakah Pek Wan Taysu ditahan? Apakah adik Cu-ing juga berada dalam istana Ban-jin-kiong ini?” tanya Siau Lo-seng. “Memang Pek Wan Taysu dan seluruh anak buah barisan Toat-mo-coat-ci-tin telah tertangkap dalam perangkap istana. Menurut keterangan yang kuperoleh mereka berada di istana Jun-wa-kiong atau Lian- hun-kiong. Karena kedua tempat itu digunakan untuk memberi hukuman kepada murid hianat atau tawanan. Tentang Nyo Cu-ing, sampai saat ini belum pernah berhubungan dengan kami. Tentu berbahaya keadaannya.”

Tiba-tiba Bok-yong Kang hentikan kata-katanya dan berbisik,

“Awas, regu penjaga belakang akan tiba. Hati-hati menjalankan rencana kita.”

Memandang ke muka, Siau Lo-seng melihat sebuah rombongan lentera hijau sedang bergoyang-goyang di dalam hutan yang jaraknya antara setengah lie. Di bawah gerumbul lentera itu terdapat sebuah rumah pondok. Selintas pandang mirip dengan sebuah rumah petani. 

Menyusur sebuah jalan kecil, keduanya segera tiba di rumah pondok itu. Aneh, rumah pondok itu sunyi senyap.

“Bokyong-te, mengapa di sini sunyi-sunyi saja? Mungkin tak ada alat rahasia di sini,” kata Siau Lo-seng.

“Aneh,” Bok-yong Kang juga heran, “tempat ini jelas merupakan pos istimewa dari Ban-jin-kiong, mengapa tiada barang seorang penjaganya. Cobalah kulihatnya!”

Ia menghampiri ke pondok dan berhenti setombak jauhnya.

“Hai, apakah kalian di sini mati semua? Mengapa kalian tak keluar menjaga?” Tetapi ternyata tiada penyahutan apa-apa.

Tiba-tiba Siau Lo-seng gunakan ilmu jari Kim-kong-ci-keng ke arah pondok itu, “Bum……” terdengar beberapa benda rubuh.

Siau Lo-seng dan Bok-yong Kang cepat menyerbu masuk. Ketika melihat keadaan dalam pondok itu, kejut mereka bukan kepalang.

Ternyata dalam pondok sudah siap menunggu empat orang baju hitam dengan mencekal golok. Mata mereka memandang ke arah kedua pemuda itu. Tidak bergerak, pun tidak bersuara apa-apa.

Siau Lo-seng gunakan ilmu menutuk jarak jauh dan keempat lelaki baju hitam itupun berhamburan rubuh……”

“Bokyong-te, lebih dulu mereka sudah ditutuk jalan darahnya oleh orang,” Siau Lo-seng kerutkan dahi. “Apakah ada tokoh sakti yang mendahului kita?” Bok-yong Kang terkejut.

“Mari kita selidiki,” kata Siau Lo-seng seraya lari keluar, berputar ke sekeliling tempat lalu kembali.

“Di luar terdapat enam orang anak buah Ban-jin-kiong yang juga telah tertutuk jalan darahnya. Hebat sekali kepandaian orang itu,” kata Siau Lo-seng.

“Tak mungkin kalau Nyo Cu-ing,” sambut Bok-yong Kang, “karena setelah masuk, tak mungkin kawan- kawan yang berada di dalam itu akan keluar lagi.”

“Memang besar kemungkinan kalau Nyo Cu-ing tentu sudah tertawan. Kalau tidak masakan dia tak berusaha mencari hubungan dengan kita. Tetapi yang jelas, orang aneh itu sehaluan dengan kita. Mari, waktunya sudah tak mengijinkan lagi,” kata Siau Lo-seng.

“Hari ini istana Ban-jin-kiong penuh dengan tetamu-tetamu dari lima gunung. Tentu di antara mereka terdapat tokoh-tokoh yang sehaluan dengan kita. Hanya kalau menilik gerak geriknya yang paham akan keadaan Ban-jin-kiong, tentulah sudah lama dia menyelundup di sini. Ah, kalau begitu kita tak berjuang sendiri!”

“Ban-jin-kiong hendak menguasai dunia persilatan. Sudah tentu mempersiapkan anak buah yang besar jumlahnya. Gerakan kita kali ini, apabila berhasil tentulah akan dapat membebaskan dunia persilatan dari kehancuran.”

Bok-yong Kang tertawa.

“Siau toako, tujuan baik tentu diberkahi Allah. Tetapi entah adakah bantuan dari luar itu akan dapat kerja sama dengan kita yang bergerak dari dalam?” Siau Lo-seng menghela napas.

“Bokyong-te, sungguh aku menyesal sekali bahwa setelah pertempuran dahulu itu, sampai sekarang aku masih belum berhasil mengadakan hubungan dengan partai-partai persilatan. Kebalikannya malah mengikat salah paham dengan mereka. Tetapi malam ini aku berani memastikan. Yang datang ke Ban-jin-kiong ini nanti tentu tak kurang dari seribu orang jumlahnya. Kalah atau menang, tergantung dari cara kita untuk mengatur langkah.”

“Aku percaya saja atas setiap langkah yang Siau toako hendak memutuskan.”

Saat itu mereka sudah tiba di jalan kecil yang menuju ke istana bawah tanah. Di sebelah muka tampak beberapa orang berjalan berkelompok-kelompok. Mereka sama mengenakan kerudung muka kain hitam. Tampaknya sangat bergegas-gegas sekali. Walaupun sama-sama berjalan di jalan kecil itu tetapi mereka tak saling menegur. Sikapnya seperti orang asing yang belum saling kenal.

“Siau toako, apakah engkau masih ingat akan sandi kata-kata dari ke duabelas pos rahasia itu? Di sebelah muka itu, pos pertama. Harap berhati-hati!” bisik Bok-yong Kang.

Dengan ilmu menyusup suara Siau Lo-seng menjawab,

“Bokyong-te, jangan kuatir. Kata-kata sandi aku ingat semua. Sekarang mari kita berpencar, agar jangan menimbulkan kecurigaan mereka.”

Habis berkata ia terus meluncur ke arah rombongan orang-orang itu. Setelah melintasi sederet hutan, mereka tiba di sebuah lapangan rumput seluas setengah lie. Melintasi padang rumput itu tampak barisan gunung berjajar-jajar. Puncaknya menjulang sampai ke langit.

17.84. Tantangan Ke Duabelas Pos Rahasia

Setitikpun Siau Lo-seng tak menyangka babwa di belakang hutan lebat itu terdapat sebuah tempat yang indah alamnya. Lebih tak menyangka lagi dia bahwa jalanan di bawah tanah dari istana Ban-jin-kiong itu, begitu pelik sekali.

Ketika lepaskan pandang ke muka, di jalan sempit pada jajaran puncak gunung itu, tampak lima orang berjalan cepat sekali. Pada lain kejap kelima orang itupun lenyap.

Siau Lo-seng tak mempunyai waktu untuk menikmati pemandangan alam di situ. Bergegas-gegas dia menuju ke mulut jalanan itu.

Tiba di bawah karang buntu, tampak sebuah pintu batu. Di atas pintu melintang sekeping papan batu yang bertuliskan:

“Pos Pertama.”

Pada saat Siau Lo-seng tengah memandang papan nama itu tiba-tiba sebuah suara parau membentaknya. “Apanya yang perlu dilihat? Kalau takut menghadapi perkara, jangan datang kemari!”

Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia melangkah masuk seraya berseru nyaring, “Cabang ketujuh dari Kwan-gwa. Siau Kok-su, mohon diperiksa.”

Dari balik pintu batu kembali terdengar suara teriakan yang kasar, “Di situ bukan tempat yang aman, berpaling ke belakang akan melihat tepi.”

“Jalan ini dapat mencapai ke negara Emas, lekas masuk,” sahut Siau Lo-seng.

Tiba-tiba suara dari balik pintu batu itu tertawa gelak-gelak: “Nomor tujuh dari Kwan- gwa, masuklah.”

Apa yang diucapkan oleh kedua orang itu merupakan kata-kata sandi. Karena Siau Lo-seng dapat menanggapi dengan tepat maka diapun segera diperintahkan masuk.

Begitu masuk ke dalam pintu batu itu. Siau Lo-seng segera melihat seorang tua kate, berwajah seperti kanak-anak, sedang rebah di atas sebuah kursi goyang. Tangannya mencekal sebuah kipas dari batu kumala dan tengah berkipas-kipas diri.

Empat penjuru merupakan gerumbul pohon Kui-hoa. Tiada seorang lain kecuali si kate itu. Rupanya orang kate itupun pura-pura tak melihat Siau Lo-seng. Tanpa mengisar pandang mata ia segera bersenandung:

Belibis   berkawan-kawan  terbang  ke  selatan, Burung  walet  terbang   pulang   ke  sarang, O, manusia yang bodoh menyerahkan   diri, ke dalam istana Mo-kiong.

Sebenarnya Siau Lo-seng tak percaya kalau orang kate itu memiliki suara yang berkumandang besar berwibawa. Tetapi setelah mendengar senandungnya, barulah ia terkejut dan berhenti. Dipandangnya orang itu sejenak lalu menghampiri dan memberi hormat,

“Mohon ”

“Tempat ini bukan tempat yang aman,” tukas orang tua kata itu. “berpaling dan engkau akan melihat tepi. Aneh, aneh, sungguh aneh. Di sorga terdapat jalan yang lebar, mengapa harus menerobos masuk ke neraka? Tadi telah datang seorang tolol sekarang datang lagi dua kepala kerbau. Ho, ho, ho, aku Jit-hay- mo-thong Tan Lip-jin, mau pejamkan mata tidur sebentar saja tidak bisa. Nah, lanjutkanlah ketololanmu, kerbau gila, mengapa tak lekas pergi. Apabila ditangkap dan dimasukkan dalam istana, tentu akan mati!”

Siau Lo-seng terkejut. Jelas orang tua kate itu mengoceh hendak memberi peringatan kepadanya. Jelas bahwa dalam istana Ban-jin-kiong itu terdapat banyak sekali jago-jago yang sakti.

Seingat pengetahuannya, orang kate Tan Lip-jin yang bergelar Jit-hay-mo-thong atau Iblis anak tujuh samudera itu, sudah sejak duapuluh tahun yang lalu tak muncul. Dahulu dia seorang iblis yang termasyhur. Tetapi mengapa sekarang tiba-tiba berada di istana Ban-jin-kiong? Menilik ocehannya, jelas orang kate itu tak mau menjadi anak buah Ban-jin-kiong.

Di atas karang buntung tampak beberapa sosok bayangan. Dua orang berkerudung muka kembali muncul. Cepat sekali Siau Lo-seng segera mendapat pikiran. Ia lari menuruni jalan kecil.

Dalam gerakan untuk menumbangkan istana Ban-jin-kiong kali ini, Siau Lo-seng makin besar keyakinannya. Sambil berlari, ia sempat juga merenungkan tentang rencana dan siasat untuk menghadapi orang Ban-jin- kiong. Diam-diam ia gembira.

Pos kedua,

Terletak di sebuah jalan kecil. Yang menjaga di situ adalah seorang tokoh bernama Ciau Hui-ing bergelar Cian-pit-ko-lo atau Tengkorak seribu lengan.

Untunglah dengan mengucapkan beberapa kata sandi, Siau Lo-seng dapat melewati pos kedua itu dengan selamat.

Pos ketiga

Terletak di atas kelompok gunduk batu. Penjaganya kepala bagian dari perhimpunan Hui-hou-pang atau Macan Terbang. Namanya Lim Bu-seng bergelar Thiat-pay-ong atau Raja lencana besi.

Tampaknya batu-batu yang berserakan di tanah itu tak teratur dan biasa saja. Tetapi sesungguhnya merupakan sebuah barisan bentuk Kiu-kiong-tin atau Barisan Sembilan istana.

Orang yang tak mengerti ilmu barisan, sekali masuk tentu akan tersesat tak dapat keluar. Dan datanglah Thiat-pay-ong Lim Bu-seng segera akan menangkapnya.

Bagi Siau Lo-seng, sudah tentu barisan batu itu bukan suatu halangan. Pos Keempat.

Dijaga olah Ciong Su-ing yang bergelar Kiu-coat-mo-cun atau Iblis sembilan tumpas. Dia duduk di sebuah meja kecil di tepi jalan. Di atas meja kecil itu terdapat sepuluh macam obat, sembilan macam racun yang bekerja pelahan dan satu macam bubuk racun yang luar biasa ganasnya.

Setiap orang yang lalu di situ, harus memilih satu macam dan harus segera diminum saat itu juga. Entah dia mati atau hidup, iblis Ciong Su-ing itu tak menghiraukan dan melepaskannya.

Juga rintangan ini bagi Siau Lo-seng tak menjadi soal. Karena sudah mendapat kisikan dari Bok-yong Kang maka dia dapat memilih dengan tepat dan terus menelannya. Sekalipun begitu untuk menjaga kemungkinan yang tak diinginkan, diam-diam Siau Lo-seng juga menggunakan siasat. Dikumpulkannya racun itu dalam mulut lalu dalam suatu kesempatan yang tak terduga, segera ia memuntahkannya lagi keluar.

Pos Kelima.

Penjaganya adalah seorang tokoh yang pada empatpuluh tahun berselang telah menggetarkan dunia persilatan. Seorang iblis yang aneh sepak terjangnya. Ya termasuk aliran Hitam, juga termasuk aliran Putih. Dunia persilatan menjulukinya dengan gelar Se-hong-it-to atau Golok tunggal dari barat Namanya Pui Se- hiap.

Iblis tua itu tetap mengenakan dandanan aneh seperti empatpuluh tahun yang lalu. Pakaiannya, separoh pakaian wanita, separoh pakaian pria.

Caranya untuk menguji setiap pendatang yang menghampiri ke tempat posnya juga aneh. Orang itu akan diserang dari belakang dengan golok. Jika dapat menghindari, orang itu bebas melanjutkan perjalanan. Tetapi kalau tak tahu cara bagaimana harus menghindar, jangan harap ia mampu lolos dari golok yang pernah menggemparkan dunia persilatan empatpuluh tahun yang lalu.

Pada saat Siau Lo-seng tiba di pos kelima itu, dilihatnya dua sosok mayat manusia rebah di tanah.

Sudah tentu karena mendapat keterangan dari Bok-yong Kang, Siau Lo-seng dapat lulus dari serangan golok Pui Se-hiap.

Pos Keenam.

Penjaganya benggolan iblis dari Tibet yang terkenal sangat kejam, licik dan ganas. Namanya Cia Lu-wi, bergelar Pek-tok-kun atau Manusia seratus racun.

Ketika Siau Lo-seng tiba di pos keenam itu maka Pek-tok-kun Cia Lu-wi segera menyongsong dengan tawa yang aneh.

“Pada saat engkau rasakan perutmu sakit, nah, saat itulah merupakan hari terakhir bagimu. Sekarang silahkan engkau melanjutkan perjalanan!”

Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk menguji keadaan tubuhnya. Ternyata tak terdapat suatu anggauta dalam tubuhnya yang tak wajar.

Tetapi pada saat ia hendak melepaskan pengerahan tenaga dalam itu, tiba-tiba ia rasakan tubuhnya dingin sekali. Ia kaget dan menyadari bahwa dirinya telah termakan racun.

Sebelum ia sempat membuka mulut, Pek-tok-kun Cia Lu-wi sudah mendahului menghela napas rawan.

“Apabila hal ini terjadi pada tempo dahulu, saat ini engkau tentu sudah terkena racunku Hian-ping-tok-ceng. Tetapi mengingat engkau sudah berhasil menjaga pos yang keenam, maka aku takkan menyulitkan engkau dan silahkan engkau pergi.”

Pos Ketujuh.

Ketika melihat sesosok tubuh duduk membelakangi di atas sebuah dingklik sambil minum arak maka Siau Lo-seng pun segera berseru: “Kepala cabang nomor tujuh dari Kwan-gwa……”

Belum selesai kata-katanya itu, tiba-tiba orang tua aneh itu melonjak. Siau Lo-seng yang memang sudah siap sedia, terus hendak menghantam.

Tetapi ternyata kakek berambut putih itu tidak menyerang melainkan berteriak dengan gembira:

“He, tua bangka Lam Ki, akhirnya engkau datang juga. Sudah bertahun-tahun aku menunggumu……” Tetapi tiba-tiba pula ia hentikan kata-katanya lalu memandang Siau Lo-seng dengan marah, bentaknya: “Hai, siapa engkau! Engkau pengapakan si tua Lam Ki itu, lekas bilang atau kupukulmu mati!”

Ternyata kakek berambut putih itu memakai kaca mata. Dan waktu memandang Siau Lo-seng kaca matanya pun menunduk ke bawah sehingga hampir jatuh. Dengan mata memancar berapi-api, ia melangkah menghampiri Siau Lo-seng. Sikapnya seperti hendak menyerang.

Siau Lo-seng cepat mundur beberapa langkah, serunya gopoh, “Apakah engkau bukan Naga laut terbang Lu Kong-tui?” Theng-hay-hui-kau atau Naga laut terbang Lu Kong-tui cepat sekali menghampiri ke dekat dan tiba-tiba tangan kirinya direntangkan, jari-jarinya yang menyerupai cakar burung garuda itu segera menerkam muka Siau Lo-seng.

Pemuda itu kaget sekali. Dia tak menduga sama sekali bahwa kakek yang belum dikenalnya itu akan menyerang sedemikian cepat dan ganas. Cepat ia gunakan jurus Cian-liong-jiu atau Tabasan naga untuk menabas seraya gunakan gerak putaran yang aneh untuk menyurut mundur sampai tujuh-delapan langkah.

“Budak, siapakah engkau ini?” bentak Naga laut terbang Lu Kong-tui, “kalau tak mau memberitahu  namamu, engkau tentu kupukul mati!”

Dalam berkata-kata itu, Lu Kong-tui pun sudah mengisar maju ke muka Siau Lo-seng.

Tetapi Siau Lo-seng tak gentar. Bukannya mundur kebalikkannya ia malah maju untuk lancarkan tiga buah tutukan jari seraya balas membentak:

“Aku Siau kok-su akan menangkapmu untuk mendirikan pahala besar……”

Tetapi di luar dugaan, bagaikan seekor ular yang licin, tahu-tahu tubuh Lu Kong-tui sudah mencelat sampai dua tombak jauhnya lalu tertawa gelak-gelak,

“He, kiranya engkau si Kok-su itu! Mengapa engkau tak lekas bilang? Si tua Lam Ki mengapa tak datang? Tahukah engkau kalau saat ini engkau telah menempuh bahaya besar? Ah, si tua Lam Ki itu memang……”

Siau Lo-seng tertegun. Tetapi cepat juga ia dapat menanggapi apa yang dikatakan kakek aneh itu.

“Katakanlah, bahaya apa yang telah kuterjang itu? Aku hendak bertanya kepadamu, apakah engkau ini benar-benar Naga laut terbang Lu Kong-tui?”

“Gila, apakah engkau tak kenal kepadaku?” teriak Lu Kong-tui, “aku ini paman Lu atau Lu Kong-tui yang pernah mengajarmu tiga jurus ilmu Hay-liong-sam-si. Walaupun engkau dengan si tua Lam Ki itu ayah dan anak, tetapi engkau tak dapat mewakilinya menghadapi upacara sembahyang besar musim Tiong-jiu. Engkau tentu sudah tahu apabila tindakanmu ini sampai kepergok, hukuman apa yang akan engkau terima!”

Sekonyong-konyong dari jauh bermunculan beberapa sosok bayangan yang berlari gegas menuju ke tempat itu.

Melihat gelagatnya, Siau Lo-seng cepat berseru dengan nada dingin,

“Jangan kuatir! Setengah tahun yang lalu si tua itu sudah kalah dalam pertempuran. Sekarang akulah yang memegang tanggung jawab pimpinannya.”

Lu Kong-tui terbeliak kaget.

“Apa? Si tua Lam Ki dicelakai orang? Kalau begitu…… engkau ini tentu sudah masuk ke dalam gerombolan Ban-jin-kiong!”

Setelah memperhatikan bahwa kawanan orang yang berdatangan itu tak berapa jauh lagi, Siau Lo-seng cepat berseru gopoh:

“Kuberitahu kepadamu. Dia telah dimasukkan ke dalam istana Lian-hun-kiong untuk dicuci otaknya. Jika tak ada lain urusan lagi, aku hendak melanjutkan perjalanan.”

Habis berkata ia terus berputar tubuh dan ayunkan langkah. Dari belakang masih didengarnya si kakek Lu Kong-tui itu bersungut-sungut seorang diri:

“Habis, habis semua. Yang tua habis, yang mudapun habis. Tak kira setelah berhamba selama duapuluh tahun kepada Ban-jin-kiong, si tua Lam Ki hanya memperoleh balasan yang begitu rupa……, Kok-su, pergilah! Aku, Lu Kong-tui, walaupun harus rontok tulang-tulangku yang tua ini tetapi aku tetap hendak melakukan pembalasan. Ketua Ban-jin-kiong, tunggu sajalah nanti!”

Diam-diam Siau Lo-seng menghela napas longgar. Ah, apabila dia tak menerima petunjuk Bok-yong Kang untuk menyaru sebagai Siau Kok-su, tak mungkin saat itu dia dapat melewati tujuh buah pos penjagaan.

Pos kedelapan.

Dijaga oleh momok iblis yang termashyur yalah Cakar setan Tan Ping-bun. Tetapi Siau Lo-seng berhasil juga melewatinya. Pos kesembilan.

Penjaganya bernama Tio Yan-lip, seorang iblis yang bertubuh tinggi sehingga hampir dua meter. Sepasang tangannya menyerupai sepasang kipas. Kedua kakinya bagai dua buah tonggak yang kokoh. Kepalanya pun besar tetapi otaknya kosong alias tolol.

Maka dengan gunakan sedikit siasat, dapatlah Siau Lo-seng melintasi pos penjagaan itu. Pos Kesepuluh.

Penjaganya bekas Cong-hou-hwat atau kepala pelindung dari perhimpunan Giok-li-pang. Seorang wanita bernama Coa Siok-ki bergelar Rajawali mata ungu. Walaupun saat itu dia sudah tua tetapi kecantikannya masih tampak membekas.

Dari seorang wanita yang termasyhur gagah dan cantik pada duapuluh tahun berselang, kini dia telah berobah menjadi seorang wanita yang pendiam jarang berkata.

Dia hanya mengajukan sebuah pertanyaan dan setelah dijawab tepat oleh Siau Lo-seng, maka pemuda itupun dipersilahkan berjalan.

Pos Kesebelas.

Di pos ini penjaganya beda dengan yang lain-lain. Dia adalah ketua dari perkumpulan Macan Terbang, Pangeran berwajah riang Ong Pok-goan. Yang istimewa dia mempunyai binatang peliharaan seekor harimau buas. Saat itu harimau tampak kurus karena kelaparan sekali. Binatang itu mendekam di sisi Ong Pok-goan.

Pangeran berwajah tertawa itu tidak lagi tertawa mukanya tetapi malah menghela napas. “Penjaga dari pos kesepuluh, apakah bukan Ui Siok-hoa?” tanyanya.

Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia menimang dalam hati, “Ketua perkumpulan Giok-li-pang Ui Siok-hoa mengapa muncul di sini? Bukankah wanita itu pada delapanbelas tahun yang lalu membunuh diri karena putus asa, merindukan kasih kepada ayah Siau Lo-seng tetapi ayah Siau Lo-seng atau Siau Han-kwan tak membalas cintanya?”

“Bukan, pos kesepuluh itu dijaga oleh Rajawali mata Ungu Coa Siok-ki, bukan Ui Siok-hoa,” sahut Siau Lo- seng.

Kembali Ong Pok-goan menghela napas. “O, dia. Kutahu memang selamanya tak mungkin kalau Ui Siok- hoa. Pergilah engkau!”

Demikian dengan tanpa banyak rintangan. Siau Lo-seng dapat melalui pos kesebelas yang menyeramkan itu. Dia terus melanjutkan perjalanan menuju ke pos keduabelas.

Dia harus melalui sebuah lembah yang penuh ditumbuhi pohon jati dan bambu.

Sisi kanan dari lembah itu merupakan sebuah karang yang curam dan menjulang tinggi. Dari atas karang itu menumpah sebuah air terjun.

Saat itu pertengahan bulan delapan atau yang disebut Tiong-jiu, pertengahan musim rontok. Bunga-bunga Kui-hoa tengah mekar. Dibawa oleh kesiur angin, bunga-bunga itu menebarkan bau yang harum.

Tempat yang indah alam pemandanganya itu bukan suatu tempat yang tersohor ataupun tempat dewa- dewa melainkan Mo-kiong (istana iblis) di bawah tanah dari istana Ban-jin-kiong.

Saat itu banyak sekali tokoh-tokoh silat yang diam-diam telah menyelundup masuk ke markas Ban-jin-kiong.

Siau Lo-seng salah seorang dari mereka. Mereka tak saling bertukar bicara, seolah tak mengenal satu sama lain.

Melihat sejumlah besar orang berbondong-bondong masuk ke dalam hutan bambu. Siau Lo-seng pun segera mengikuti.

Begitu masuk ke hutan bambu, pemandangan alam di situpun berobah. Pohon-pohon bambu bergoyang- goyang, daun-daunnya saling bergesek, menimbulkan bunyi yang menyayat hati.

“Ah, walaupun tak dijaga orang tetapi Ban-jin-kiong sudah dilindungi oleh barisan pohon bambu yang hebat. Barisan pohon bambu itu menyerupai dengan barisan yang pernah dibentuk oleh Buddha emas Ang Siong- pik tempo hari. Bedanya kalau Ang Siong-pik menggunakan pengawal tetapi Ban-jin-kiong menggunakan pohon bambu.

Serentak timbul berbagai pertanyaan dalam benak Siau Lo-seng. Kalau Ang Siong-pik tidak ikut pada Ban- jin-kiong, tentulah Ban Jin-hoan mengerti juga ilmu barisan seperti yang dimiliki Ang Siong-pik. Ataukah, hal itu hanya secara kebetulan saja sama.

Siau Lo-seng keluar dari hutan itu. Sekonyong-konyong terdengar suara gelak tertawa nyaring lalu sebuah suara orang yang tak asing baginya,

“Bagus, bagus, ternyata engkau masih ingat kehebatan dari, barisan ini, ha, ha……”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar