Pendekar 100 Hari Jilid 11

11.51. Kesaktian Ilmu Siang-goan-sam-jiok

Melihat Cu-ing menangis seperti orang kalap, Hun-ing pun menghiburnya:

“Adik Ing, Siau toako takkan mati. Asal masih mempunyai setitik napas, dia tentu tak dapat mati ”

Tiba-tiba dari atas loteng terdengar suara helaan napas panjang. Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing serempak berpaling ke arah loteng.

Ternyata orang tua peniup seruling itu sudah tak berada di sudut ruang loteng. Sebagai gantinya, di ruang itu terdapat sebuah genta raksasa yang tingginya hampir setombak dan terbuat dari tembaga kuno.

“Locianpwe, engkau berada dimana?” seru Hun-ing.

Suara orang yang menghela napas tadi kembali terdengar, “Aku berada dalam genta ini. Bawalah anak itu kemari, biar kuperiksanya.”

Ketiga orang itu terkejut. Bagaimana mungkin seseorang dapat menutup dirinya sendiri dalam sebuah genta raksasa. Genta raksasa itu paling tidak tentu beribu-ribu kati beratnya.

“Siapa sicu?” seru Pek Wan Taysu.

Buru-buru Hun-ing memperkenalkan siapa kakek yang berada dalam genta raksasa itu: “Beliau adalah peniup seruling yang telah menyelamatkan jiwa Siau toako.”

Serta merta Pek Wan Taysu menghaturkan terima kasih kepada kakek aneh itu. “Siapakah nama yang mulia dari sicu? Dapatkah aku bertemu muka?” kata paderi itu pula.

“Locianpwe, bagaimana engkau hendak memeriksa keadaan Siau toako?” cepat Cu-ing menukas.

Orang tua itu menghela napas sarat. Tiba-tiba genta itu terangkat ke atas dan puncaknya yang berlubangpun tergantung pada tiang cantelan.

Kini dapatlah Pek Wan Taysu melihat jelas bagaimana keadaan kakek itu. Serta merta ia membungkukkan tubuh dan minta maaf karena menyebabkan orang tua itu menderita.

“Ah, aku hanya seorang manusia yang sudah kehilangan daya hidup. Bukan karena tak mau menuturkan kisah hidupku kepada taysu, tetapi memang ada sesuatu hal yang memaksa aku harus begitu. Harap taysu memaafkan.”

Dalam pada itu Cu-ing dan Hun-ing pun sudah membawa Siau Lo-seng ke hadapan kakek buntung. Dan kakek itupun segera memeriksa pergelangan tangan Siau Lo-seng. Kemudian menghela napas.

“Ah, anak ini memang setia, melakukan kewajiban. Kusuruhnya mencegah Kim-pou-sat, ternyata dia telah mengadu jiwa benar-benar sehingga sampai menderita luka parah.”

“Ah,” Pek Wan Taysu mendesah.

“Kalau anak ini sampai kena apa-apa, sungguh Thian tak adil,” seru kakek peniup seruling seraya mengeluarkan sebuah botol kumala dan menuang tiga butir pil merah lalu dimasukkan ke mulut Siau Lo- seng. Sesaat kemudian wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi, berobah agak merah.

Setelah wajah anak muda itu makin merah, tiba-tiba kakek peniup seruling menutuk beberapa jalan darah di tubuhya. Melepaskan baju Siau Lo-seng, melekat tangan kiri ke punggung pemuda itu dan tangan kanan mengambil serulingnya. “Harap kalian bertiga melindungi tempat ini. Aku hendak menggunakan tenaga murni untuk memulihkan tenaganya,” kata kakek itu.

Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing segera berpencar menjaga tempat itu.

Sesaat kemudian Wajah Siau Lo-seng yang merah pelahan-lahan, mulai menyurut dan akhirnya berobah segar. Napasnyapun mulai teratur seperti orang yang tidur nyenyak.

Tetapi keadaan orang tua itu mengejutkan. Dari rambutnya bercucuran keringat, demikian sekujur badannya seperti orang mandi.

Tiba-tiba ia menarik pulang tangan kirinya dan menghela napas panjang, “Mungkin setelah beristirahat beberapa saat, dia tentu sudah sembuh.”

Pek Wan Taysu seorang ahli lwekang atau tenaga dalam yang hebat. Tetapi ketika melihat cara kakek buntung itu mengobati Siau Lo-seng dengan jalan menyalurkan tenaga dalam melalui tiupan seruling, paderi itu terkejut bukan kepalang.

“Taysu beberapa murid taysu yang terkena Siang-goan-sam-jiok dari serulingku, harap taysu memberikan pil Po-goan-siok-beng-wan ini agar tenaga murni mereka tak sampai merana,” kata kakek aneh itu seraya menyerahkan pil.

Tetapi Pek Wan Taysu menolak, “Terima kasih atas kebaikan sicu. Tetapi baiklah sicu simpan sendiri untuk dipakai apabila perlu. Tentang murid-murid Siau-lim-si itu, mereka mungkin dapat menjaga diri.”

Gereja Siau-lim-si telah berdiri ratusan tahun dan dianggap sebagai sumber dari ilmu silat daerah Tiong- goan. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin merupakan salah satu dari barisan Siau-lim-si yang termasyhur. Anggauta dari barisan itu sudah tentu terdiri dari paderi-paderi pilihan yang telah tinggi ilmu kepandaiannya. Maka tidaklah suatu kesombongan kalau Pek Wan Taysu memberi keterangan begitu kepada kakek buntung.

“Memang benar taysu,” kata kakek buntung, “tetapi hendaknya janganlah meremehkan ilmu suara tenaga dalam Siang-goan-sam-jiok itu. Apabila tak kuhembuskan ilmu itu, tentulah Kim-pou-sat Ang Siong-pik tak mau pergi. Dia memiliki ilmu suara Thian-siau-mo-im yang tak boleh dipandang enteng. Kemunculannya yang ketiga kalinya di dunia persilatan ternyata dia makin sakti.”

Rupanya Hu-ing dan Cu-ing tak enak mendengar kakek buntung itu memuji kesaktian Kim-pou-sat Ang Siong-pik. Tetapi Pek Wan Taysu dapat menerima. Ketika ia hendak membuka suara kakek buntung itu sudah mendahului lagi.

“Walaupun berhasil kuhalau dia pergi, tetapi kemungkinan dia tentu akan kembali lagi. Karena musuh tangguh masih membayangi, baiklah taysu memberikan pil ini kepada anak buah barisan itu!”

Pek Wan Taysu kerutkan dahi hendak berkata tetapi lagi-lagi kakek buntung itu sudah mendahului berseru pula.

“Apakah taysu tak percaya omonganku? Silahkan taysu memeriksa anak buah taysu, tentulah taysu segera mengetahui,” kata kakek itu.

Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing serempak berpaling memandang ke luar jendela. Apa yang mereka lihat saat itu, benar-benar mengejutkan sekali. Bahkan Hun-ing dan Cu-ing sampai ternganga.

Kecuali tiga orang paderi yang telah binasa, tujuhpuluh delapan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin saat itu rebah di tanah. Benar-benar hampir tak dapat dipercaya.

Ilmu suara tenaga dalam Siang-goan-sam-jiok dari kakek buntung itu, ternyata mempunyai daya kekuatan yang sedemikian hebatnya. Dalam beberapa kejap saja sudah mampu melukai sekian banyak paderi-paderi Siau-lim-si yang sakti. Disamping itu masih mampu pula untuk mengalahkan ilmu suara Thian-siau-mo-im dari Kim-pou-sat Ang Siong-pik, melukai kawanan pengawal baju putih pula.

Wajah Pek Wan Taysu merah karena malu. Kemudian ia meminta maaf kepada kakek buntung karena telah salah menafsir ilmu Siang-goan-sam-jiok yang sedemikian saktinya.

Paderi sakti dari Siau-lim-si itupun serta merta membungkukkan tubuh memberi hormat sedalam-dalamnya.

Kakek buntung ulurkan kedua tangannya untuk mengangkat tubuh Pek Wan Taysu, “Ah, harap jangan merendah begitu. Aku merasa tak enak hati!” Demikian orang tua kaki buntung itu segera menyerahkan botol pil kepada Pek Wan Taysu yang menyambutnya dengan penuh perasaan terima kasih. Dengan gerak Burung walet terbang melayang ia melayang turun ke halaman.

Hun-ing memberi hormat kepada orang tua aneh itu, serunya: “Locianpwe dapat menduga dengan tepat. Aku mempunyai sedikit pertanyaan, entah apakah ”

Orang tua aneh itu tertawa: “Silahkan bertanya.”

“Kalau tak salah tafsir, kurasa locianpwe tak suka bertemu dengan Pek Wan Taysu. Dengan memberanikan diri aku hendak menduga, apakah kiranya locianpwe mempunyai kaitan kisah dengan Pek Wan Taysu?”

Orang tua aneh itu terkesiap. Kemudian tertawa.

“Engkau sungguh cerdik. Memang aku mempunyai hubungan dengan Pek Wan Taysu, bahkan erat sekali hubungan itu,” katanya.

“Tetapi mengapa locianpwe tak suka bertemu muka dengan Pek Wan Taysu?” tukas Cu-ing. Orang tua itu tertawa aneh,

“Mengapa aku tak mau bertemu muka dengan Pek Wan Taysu adalah pertama karena kuatir dia akan mengenal diriku ini siapa. Kedua, memang belum tiba waktunya dia tahu hal itu. Ketiga, tembok sering bertelinga, aku tak mau orang mengetahui asal usulku. Apakah kalian mengerti?”

“Apakah di ruang loteng itu terdapat orang lain lagi?” Hun-ing terkejut lalu sapukan pandang mata ke sekeliling.

Orang tua itu tertawa gelak-gelak. Sedemikian kuat nada tawanya sehingga hati kedua nona itu seperti debur keras.

Hun-ing heran mengapa orang tua itu terus menerus tertawa keras.

Tiba-tiba orang tua itu berhenti tertawa, serunya: “Kawanan tikus, apakah kalian hendak menyelinap keluar? Hayo, keluar, sebelum aku turun tangan!”

Terdengar suara tertawa seram dan tiba-tiba muncullah seseorang di atas tiang penglari ruang “Engkau…… Ciong Pek-to!” seru Hun-ing terkejut.

Ciong Pek-to tertawa sinis.

“Benar, memang aku. Pah-cu memberi perintah kepadamu agar dalam tiga hari engkau harus kembali ke Lembah Kumandang. Atau akan dijatuhkan hukuman kepadamu. Kalau engkau tahu gelagat, lekaslah engkau ikut aku kembali ke lembah.”

Cahaya muka Hun-ing berobah.

“Tiap manusia mempunyai cita-cita sendiri,” katanya, “aku Ui Hun-ing memang sudah tak tahan lagi hidup dalam lingkungan Lembah Kumandang. Tindakannya yang ganas dan kejam dari Pah-cu, telah membangkitkan kebencianku. Nah, engkaupun jangan mimpi akan menggertak aku dengan ancaman- ancaman yang ngeri.”

Ciong Pek-to tertawa,

“Terserah,” serunya, “tak lama lagi Pah-cu tentu akan datang kemari sendiri. Dan pada saat itu engkau  boleh mengatakan isi hatimu kepadanya, heh, heh, heh……”

Hun-ing marah dan cepat menghantam.

“Huh, engkau masih terpaut jauh sekali……” seru Ciong Pek-to seraya kebutkan tangan jubahnya.

Terdengar suara orang tertahan dan Hun-ing pun tersurut mundur tiga-empat langkah. Tubuhnya terhuyung-huyung hendak rubuh.

Dengan tertawa iblis, Ciong Pek-to loncat maju terus hendak mencengkeram pergelangan tangan kanan Hun-ing. Tiba-tiba Ciong Pek-to berteriak aneh dan terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Wajahnya menampilkan kerut ketakutan yang hebat.

“Ciong Pek-to berdiri ke sini,” seru orang tua peniup seruling.

Tergetar hati Ciong Pek-to, pikirnya “Siapakah dia? Mengapa tak dapat kuketahui sama sekali aliran kepandaiannya itu? Bahwa dia tahu namaku dan mengatakan kalau dia memang mempunyai hubungan dengan Pek Wan suheng, apakah mungkin dia seorang tokoh Siau-lim? Tetapi sepanjang ingatanku, tak ada seorang tokoh Siau-lim-si yang sesakti itu. Siapakah gerangan orang itu?”

Walaupun dalam hati resah gelisah bukan kepalang namun Ciong Pek-to masih menghias mulutnya dengan tertawa.

“Setan tua,” serunya, “jangan terlalu memandang rendah orang. Memang lain orang jeri terhadap ilmumu Siang-goan-sam-jiok, tetapi aku tak memandang mata kepada ilmumu itu.”

Orang tua itu tertawa gelak-gelak,

“Itulah yang dinamakan perasaan seorang maling yang tak takut pada tuan rumah. Baik, cobalah engkau rasakan Siang-goan-sam-jiok itu.”

Berobahlah wajah Ciong Pek-to, serunya,

“Setan tua kalau engkau memang sakti mengapa engkau tak berani berhadapan dengan Pah-cu kami? Aku masih ada urusan lain, tak dapat melayanimu.”

Habis berkata ia terus berputar tubuh hendak pergi.

“He, Ciong Pek-to,” orang tua peniup seruling tertawa meloroh, “engkau takut, bukan? Bebodoran macam engkau, biasanya selalu garang dan congkak. Suka melakukan kejahatan dan menindas yang lemah. Lebih baik engkau lekas enyah agar orang tidak muak melihat tampangmu. Kalau sampai terlihat oleh suhengmu Pek Wan Taysu, betapalah sedihnya.”

Berobah-robah cahaya muka Ciong Pek-to di damprat habis-habisan oleh orang tua Peniup seruling itu. Sikapnya yang garang dan jumawa, saat itu benar-benar hilang bagai anjing bercawat ekor.

“Mengapa tak lekas enyah? Apakah engkau hendak tunggu sampai Pek Wan Taysu datang kemari dan menampar mukamu?” bentak orang tua itu pula.

Ciong Pek-to memang seorang durjana yang licik dan licin. Tahu bahwa dirinya tak mampu melawan orang tua itu, terpaksa ia harus menelan hinaan itu.

“Tua bangka,” serunya sambil menatap orang tua peniup seruling dengan pandang berkilat-kilat, “akan kucatat apa yang engkau lakukan terhadap diriku hari ini. Kelak pada suatu hari tentu akan kutagih kepadamu.”

Habis berkata ia terus meluncur pergi.

“Cici Hun, tadi dia begitu garang tetapi sekarang berobah seperti anjing melihat gebuk. Bahkan waktu pergi dia tak berani bernapas sama sekali,” Cu-ing tertawa.

Hun-ing mengerut dahi,

“Adik Ing, Ciong Pek-to itu seorang manusia yang selicin belut. Kalau dia tak tahu keadaan yang tak menguntungkan dirinya, masakan dia mau menelan hinaan begitu. Dan kemunculannya di tempat ini, tentu bukan tak ada sebab-sebabnya. Adakah Lembah Kumandang akan mengadakan pembunuhan besar- besaran?”

“Pembunuhan besar-besaran……,” tiba-tiba Cu-ing teringat akan pembunuhan yang telah menimpah keluarganya serta gerak gerik orang Ban-jin-kiong dan peristiwa rumah pondok aneh di tengah hutan.

“O, engkau sudah siuman……” tiba-tiba orang tua peniup seruling berseru dengan nada ramah.

Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bangun dan duduk. Dia menguap seperti orang yang baru bangun tidur.

“Siau toako, lekas haturkan terima kasih kepada locianpwe ini,” seru Cu-ing.

Serta merta Siau Lo-seng terus jatuhkan diri memberi hormat di hadapan orang tua itu. “Sudah berulang kali locianpwe telah menolong jiwaku. Apabila aku, Siau Lo-seng, masih hidup, tentu takkan melupakan budi locianpwe.”

Orang tua peniup seruling itu tertawa,

“Tubuhku cacat dan mengasingkan diri dari dunia keramaian. Aku sudah tak mempunyai keinginan pada dunia. Entah bagaimanakah cara engkau hendak membalas aku?”

“Ini ini……” Lo-seng tak dapat mengatakan apa-apa.

Orang tua itu tertawa pula.

“Jika tak kecewa terhadap seorang tua cacat semacam diriku, aku ingin memungut anak angkat. Entah engkau mau atau tidak?”

Girang Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Serentak ia berlutut lagi dan berseru: “Gi-hu, terima hormat sujud Lo-seng ”

Sampai empat kali Lo-seng memberi hormat kepada orang tua aneh itu sebagai tanda seorang putera terhadap Gi-hu atau ayah angkat.

Cu-ing dan Hun-ing pun jang serempak memberi hormat: “Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing menghaturkan selamat kepada paman.”

Sambil mengusap-usap jenggot, orang tua itu tertawa, “Bangunlah, bangun semua. Hari ini aku sungguh gembira sekali.”

11.52. Rahasia Seruling

Tiba-tiba dari luar terdengar suara Pek Wan Taysu berseru gembira: “Selamat, selamat. Kalian ayah dan anak sungguh bahagia sekali dapat berkumpul di sini. Aku tak mempunyai rejeki seperti kalian.”

Serentak masuklah Pek Wan Taysu ke dalam ruangan. Tiba-tiba cahaya muka orang tua buntung itu berobah dan tubuhnya agak gemetar. Tetapi cepat pula ia tertawa gelak-gelak.

“Ah, taysu telah masuk dalam dunia kesucian. Tidak seperti kita yang masih dilekati debu-debu kedosaan dan kegelisahan. Taysu lebih bahagia.”

Perobahan airmuka orang tua buntung itu, tiada seorangpun yang memperhatikan kecuali Lo-seng. Hal itu makin menimbulkan keresahan hati pemuda itu.

Sesaat kemudian wajah Pek Wan Taysu berobah serius, katanya:

“Kita berkumpul di sini dengan gembira dan selamat. Tetapi dewasa ini kawanan durjana telah muncul mengadu biru di dunia persilatan. Setiap saat keselamatan jiwa kaum persilatan tentu terancam. Tadi aku telah menerima laporan dari anak murid Siau-lim-si dan anak murid partai Bu-tong-pay, mengatakan bahwa partai Bu-tong-pay telah menghadapi bahaya besar. Beratus-ratus musuh telah menyerang Bu-tong-san. Sudah beberapa pimpinan partai itu yang binasa. Mereka minta bantuan kepada ciang-bun-hong-tiang

{Ketua). Siau-lim-si telah memerintahkan aku supaya segera membawa barisan Tat-mo-coat-ci-tin untuk memberi bantuan. Oleh karena peristiwa itu amat gawat maka akupun harus lekas-lekas ke Bu tong-san  dan akan minta diri kepada kalian.”

Sekalian terkejut mendengar berita itu.

“Paman, setiap orang merasa wajib untuk membela keadilan dan kebenaran. Sukalah paman meluluskan aku juga ikut membantu ke sana.”

Pek Wan Taysu gelengkan kepala.

“Engkau baru saja sembuh. Dan kepergianku kali ini, mungkin takkan kembali…… apalagi engkau mempunyai dendam darah yang belum terhimpas. Engkau harus jaga diri baik-baik. Ah, lebih baik engkau jangan ikut!”

Dengan diiring oleh helaan napas panjang, Pek Wan Taysu pun sudah berputar tubuh dan sekali ayun tubuh, dia sudah lenyap di antara puluhan paderi yang berada di bawah loteng. Lo-seng hanya berlinang-linang airmata mengantarkan pandang matanya. Ucapan Pek Wan Taysu amat menyentuh sanubarinya.

Siau Lo-seng sudah sebatang kara. Hanya tinggal seorang paman yalah Pek Wan Taysu itu. Paderi itu telah memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti orang tuanya sendiri. Mendengar kata-kata Pek Wan Taysu bahwa mungkin paderi itu akan binasa menghadapi gerombolan durjana, sudah tentu hati Siau Lo-seng berduka.

Tidak terduga, jika Siau Lo-seng hanya mengucurkan airmata, tidak demikian dengan orang tua buntung itu. Dia menangis keras.

Walaupun tak tahu jelas duduk persoalannya, karena melihat orang menangis, kedua nona ikut menangis. Tangis orang tua buntung itu amat menyedih sekali. Entah mengapa dia tiba-tiba begitu sedih.

Bahwa seorang berilmu sakti sampai tak menguasai diri, tentulah suatu hal yang mengherankan sekali.

“Maaf, karena gara-garaku, kalian sampai ikut bersedih……,” kata Siau Lo-seng seraya mengusap airmatanya.

Orang tua buntung itupun mengusap airmatanya dan berkata tersekat: “Ah…… ah…… Seng-ji maaf, karena teringat akan peristiwa yang lampau, aku sampai tak dapat menguasai diri.”

Ji, artinya anak. Seng-ji berarti anak Seng.

Makin besar rasa hati Lo Seng terhadap orang tua itu. Dia makin yakin tentulah orang tua itu mempunyai kisah hidup yang menyedihkan.

“Gi-hu, maukah Gi-hu membagikan kedukaan hati Gi-hu kepadaku?” dengan lemah lembut Lo-seng berkata.

“Peristiwa yang lampau bagaikan gumpalan asap. Ah, tak perlu membicarakan hal itu lagi,” sahut orang tua buntung.

Lo-seng tahu orang tua itu tentu mempunyai kisah yang hebat. Tetapi karena orang tak mau mengatakan, diapun tak berani memaksa.

“Baik, tak perlu membicarakan hal itu,” kata Lo-seng tertawa, “bukankah hari ini kita berdua ayah dan anak telah berkumpul di sini? Seyogyanya kita rayakan peristiwa saat ini dengan gembira. Peristiwa sedih yang lampau biarlah lalu.”

“Benar,” Hun-ing tertawa cerah, “paman, aku. mempunyai sedikit soal yang belum jelas. Boleh aku  bertanya, kepada paman?”

Orang tua peniup seruling itu tertawa. “Silahkan.”

“Bukan suatu hal yang penting melainkan hanya sekedar ingin tahu,” kata Hun-ing, “aku merasa heran mengapa paman yang menderita cacat sehingga sukar untuk berjalan, mengapa dapat menduga dengan tepat segala peristiwa yang terjadi di dunia persilatan?”

Orang tua itu tertawa.

“Pertanyaan yang bagus,” serunya, “tetapi apakah engkau pernah mengenal sebuah pepatah yang mengatakan 'seorang perdana menteri tak pernah keluar dari rumah tetapi dapat mengetahui peristiwa- peristiwa di dunia'.”

Hun-ing kerutkan alis.

“Walaupun perdana menteri itu tak pernah melangkah keluar dari rumah tetapi dia mempunyai pembesar- besar militer dan sipil yang memberi laporan sehingga dia tahu semua peristiwa itu,” sanggah Hun-ing, “adakah paman memiliki ilmu nujum yang sakti?”

Orang tua peniup seruling itu tertawa gelak-gelak.

“Menghitung dan menujum, hanyalah suatu dongeng aneh dalam dunia persilatan,” katanya, “walaupun dalam aliran Buddha dan Tao terdapat semacam ilmu itu serta ilmu perbintangan tetapi pun hanya bersifat dugaan garis besarnya saja. Tak mungkin akan tahu sejelas-jelasnya keadaan dalam dunia persilatan ini. Apalagi aku memang tak pernah belajar ilmu nujum semacam itu.” Hun-ing makin heran, tanyanya: “Lalu bagaimana paman dapat menduga tepat keadaan dunia persilatan itu?”

Orang tua peniup seruling ganda tertawa. “Bukankah bangunan kuil dan puncak loteng itu amat tinggi?” tanyanya.

Ketika anak muda itu serempak memandang ke atas. Memang kuil dan loteng itu didirikan di atas sebuah lereng gunung. Dari tempat itu dapat memandang jauh ke sekeliling penjuru.

“Benar, paman,” seru Hun-ing.

“Engkau masih ingat akan anjing kecilku si Salju itu?” “O, anjing putih yang cantik itu?” seru Cu-ing.

“Paman,” seru Hun-ing, “mengapa paman hendak alihkan pembicaraan pada loteng dan anjing kecil?” Namun orang tua peniup seruling itu tetap tersenyum.

“Sama sekali aku takkan mengalihkan pembicaraan,” katanya, “persoalan itu memang terletak pada kedua hal itu. Dengan berada di loteng yang tinggi ini, aku dapat memandang jauh sampai berpuluh-puluh lie jauhnya. Dan jangan lupa, anjing Salju itu dapat menyampaikan laporan apa yang terjadi di luaran.”

“Paman, engkau mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya? Apakah engkau memiliki ilmu?” Hun-ing terkejut.

Orang tua peniup seruling tertawa gelak-gelak.

“Betapapun tajam mataku, namun tak mungkin aku mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya. Aku mengandalkan bantuan serulingku ini.”

Dengan setengah meragu, Hun-ing menyambuti seruling itu. Ia rasakan seruling itu berhawa dingin dan berat sekali. Paling tidak limapuluhan kati beratnya.

“Seruling Kiu-sian-cing-ing-sin-siau ini, terbuat dari besi yang telah terbenam dalam laut Pak-hay selama seribu tahun. Kegunaannya memang banyak sekali dan nilainya tak kalah dengan pedang pusaka.

Siau Lo-seng dan Cu-ing pun ikut melihat benda pusaka itu.

Seruling itu berwarna hitam, dibuat dengan bagus sekali. Batang seruling berhias dengan gurat-gurat kembangan yang berbentuk kuno. Jika tidak dilihat dengan seksama tentu tak kelihatan.

“Cobalah engkau lihat dari lubang seruling itu,” kata orang tua itu pula.

Hun-ing menurut. Tiba-tiba ia mendesis kaget. Ternyata pada lubang seruling itu, tampak sebuah pemandangan aneh. Sebuah aliran sungai yang jernih airnya. Di tengah sungai tampak sebuah perahu sedang berlayar menyongsong ombak. Di buritan perahu dua orang tukang perahu tengah berdiri bercakap- cakap.

Berganti melihat pada lubang ujung seruling, tampak sebuah jalan merentang tak jauh dari sungai itu. Sebuah kereta berkuda empat dan dikusiri oleh seorang lelaki baju hitam, tengah meluncur pesat di sepanjang jalan itu. Kusir baju hitam itu tak henti-hentinya mengayunkan cambuk. Rupanya dia bergegas- gegas hendak mempercepat perjalanan.

Kesemuanya tampak jelas pada seruling Kiu-siau-cing-ing-sin-siau itu.

Ketika Hun-ing lepaskan seruling, sungai dan kereta itu tak tampak. Ia berusaha untuk memandang ke sekeliling penjuru tetapi tetap tak melihat suatu apa.

Kini Siau Lo-seng pun mencobanya. Pada lubang seruling itu tampak hutan derah istana Ban-jin-kiong, kota Lok-yang tempat kediaman keluarga Nyo, pun tampak dengan jelas.

Ketika giliran Cu-ing yang mencoba, tak henti-hentinya dara itu berseru memuji.

Sambil menyambuti seruling, orang tua aneh itu tertawa: “Bagaimana? Bukankah aku tak bohong?”

“Benar, paman, tetapi seruling ini memang ajaib sekali,” kata Hun-ing, “tetapi bagaimana mungkin anjing putih itu dapat memberi laporan kepada paman?” Kembali orang tua itu tertawa.

“Kecuali cerdas, si Salju itu mengerti juga bahasa manusia dan pula diapun dapat memiliki ilmu silat. Dia sering berkeliaran keluar. Apabila perlu aku dapat menyuruhnya mencari orang yang kukehendaki, supaya datang kemari. Ada kalanya anjing itu dapat menggigit jalan darah orang untuk dibawa kemari. Dengan begitu, aku selalu memperoleh tentang keadaan dalam dunia persilatan.”

“Benarkah anjing itu sedemikian saktinya?” seru Cu-ing.”

“Ah, engkau tak percaya hal itu bukan?” orang tua peniup seruling tersenyum, “apabila ada kesempatan, engkau boleh adu kepandaian dengan si Salju.”

“Ai, mana kami tak percaya keterangan paman,” buru-buru Hun-ing menyusuli, “karena hal itu luar biasa sekali maka kamipun heran.”

“Masih ingatkah kalian setengah tahun yang lalu dimana Seng-ji, Pek Wan Taysu dan engkau sendiri bersembunyi, di atas tiang penglari tetapi hampir saja dapat ditangkap oleh orang-orang Ban-jin-kiong?”

Lo-seng terkesiap. Memang ia teringat dirinya yang hampir tertangkap hendak dijadikan mumi oleh ketua Ban-jin-kiong yang lalu. Diam-diam ia menggigil.

“Kalau saat itu Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang tak muncul, mungkin entah bagaimana jadinya dengan diriku,” pikirnya.

Berkata orang tua peniup seruling itu. “Kala itu tak pernah kuduga bahwa kepala Ban-jin-kiong akan mucul. Melihat keadaan begitu gawat, aku segera suruh si Salju untuk mencari seorang jago silat yang sakti. Ai, tahu-tahu anjing itu membawa Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang ”

Orang tua itu berhenti sejenak untuk memandang ketiga anak muda di hadapannya.

“Kalian tentu menduga bahwa, orang itu tentulah tokoh Leng Tiong-siang yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada empatpuluh tahun berselang……”

“Paman maksudkan Leng Tiong-siang palsu?” tukas Hun-ing. Mata orang tua berkilat-kilat lalu berkata dengan nada serius:

“Beberapa kali aku pernah bertemu dengan Leng Tiong-siang. Walaupun wajahnya ganas, sikap dan ucapannya juga begitu, tetapi aku tetap mengenalinya bukanlah Leng Tiong-siang, salah seorang Empat Serangkai yang dulu.”

Siau Lo-seng terbelalak kaget. “Lalu siapakah dia?”

Orang tua peniup seruling gelengkan kepala. “Siapakah orang itu? Aku juga belum tahu. Apabila dugaanku tak meleset, dia tentu seorang yang mengenakan kedok muka seperti Leng Tiong-siang dan menyaru sebagai dia. Apakah maksudnya, mungkin sedikit-sedikit aku dapat menduga.”

“Apakah maksudnya?” tanya Cu-ing.

“Dengan menyaru sebagai Leng Tiong-siang kemungkinan dia hendak merebut pusaka Keng-hun-pit dari ketua Ban-jin-kiong.”

“Apa?” Hun-ing terkejut, “dia hendak merebut salah satu dari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?”

“Paman kali ini mungkin engkau salah duga,” kata Cu-ing, “belum berapa lama ini salah seorang kepala bagian dari istana Ban-jin-kiong yang bernama Long Wi telah membawa duabelas orang yang hilang kesadaran pikirannya, menuju ke rumah keluarga Nyo untuk merebut ”

Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya. Ia teringat akan kamar rahasia di bawah tanah dari Ban-jin-kiong dan tahu bahwa ayahnya telah ditangkap oleh orang Ban-jin-kiong. Dengan begitu orang yang tinggal di rumahnya sebagai Nyo Jong-ho dan memiliki pit pusaka Keng-hun-pit itu bukanlah ayahnya.

“Ah, bagaimana mungkin? Ayah jauh hari telah memberitahukan kepadaku tempat penyimpanan pit pusaka itu. Rasanya tiada lain orang yang tahu tempat itu, kecuali orang itu memang bukan ayahku yang aseli!”

“Kalian memang tak tahu akan tipu muslihat dunia persilatan,” kata orang tua peniup seruling, “hal itu memang muslihat dari ketua Ban-jin-kiong. Benar, ayahmu telah ditawan oleh ketua Ban-¬jin-kiong. Yang berada di rumah keluarga Nyo itu bukan ayahmu yang sesungguhnya. Apa yang dia beritahukan kepadamu tentang tempat penyimpanan pit pusaka itu, memang bukan Keng-hun-pit yang asli.”

Cu-ing seperti orang bermimpi. Jika dia tak menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya telah menjadi seorang mumi yang ditaruh dalam sebuah peti mati di kamar rahasia Ban-jin-kiong, dia tak percaya hal itu.

“Jika begitu Keng-hun-pit dan orang yang menyaru menjadi Nyo Jong-ho itu palsu semua?” tanya Siau Lo- seng.

“Sudah tentu tidak aseli,” kata orang tua peniup seruling, “bahkan mungkin orang yang menyaru sebagai  Nyo Jong-ho itu sendiri tak tahu akan hal itu.”

11.53. Rasa Sayang Seorang Kesatria

Kata Lo-seng, “Orang yang menyaru sebagai Nyo Jong-ho itu tentulah orang Ban-jin-kiong. Mengapa Ban- jin-kiong mengirim orang untuk menyaru sebagai Nyo Jong-ho, sudah tentu tujuannya hendak merampas Keng-hun-pit yang asli.”

“Ah, tidaklah sesederhana seperti yang engkau duga,” kata orang tua buntung, “tindakan pihak Ban-jin- kiong itu jelas suatu siasat untuk membuang bekas. Agar dunia persilatan menyangka bahwa pusaka Keng- hun-pit itu jatuh di tangan orang Naga Hijau. Dengan begitu perhatian orang tentu akan tertumpah pada pihak Naga Hijau. Tindakan itu sama dengan ‘pinjam tangan membunuh orang’.”

Pit Keng-hun-pit merupakan salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan. Setiap orang persilatan tentu sangat menginginkan sekali benda itu. Sekalipun Ban-jin-kiong berpengaruh besar tetapi mereka masih jeri untuk menghadapi serbuan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.

“Siasat yang licik sekali!” seru Siau Lo-seng dan kedua nona.

Dengan seri muka yang berobah, berkatalah Hun-ing: “Dengan begitu bukankah Naga Hijau akan menjadi sasaran kaum persilatan? Mungkin saat ini Naga Hijau pun sudah terancam bahaya.”

“Ya memang Naga Hijau saat ini terancam bahaya, ah……,” orang tua itu menghela napas.

Tiba-tiba Hun-ing memberi hormat kepada orang tua itu, katanya: “Paman, banyak terima kasih atas bantuan dan petunjuk paman yang berharga. Tetapi aku masih mempunyai sedikit permintaan, entah paman…….”

“Ai, mengapa tiba-tiba engkau menyanjung aku? Bukankah engkau minta aku masuk menjadi anggauta Naga Hijau?”

“Aku memang hendak mohon paman supaya memimpin kaum persilatan golong Putih untuk membasmi para durjana yang jahat. Bukan hanya menjadi anggauta saja tetapi kumohon paman suka menjabat sebagat ketua Naga Hijau.”

Orang tua aneh itu tertawa.

“Memimpin kaum penegak Kebenaran, pembela Keadilan, memang setiap kaum persilatan yang murni harus merasa mempunyai kewajiban semacam itu. Tetapi jika minta aku orang tua cacat ini menjadi ketua Naga Hijau, benar-benar suatu hal yang tak berani kuterima. Namun bilamana Naga Hijau memerlukan tenagaku si orang tua cacat ini, aku tentu bersedia membantu.”

“Ketahuilah,” orang tua aneh itu melanjutkan, “cita-cita luhur itu, adalah terletak pada bahu kalian para anak muda. Dengan kepandaian, kesaktian kalian bertiga, ditambah pula dengan bantuanku si orang tua cacat ini, tentulah dapat mengembangkan perkumpulan Naga Hijau. Yang penting yalah seluruh anggauta Naga Hijau harus bersatu padu dalam satu tujuan yang mulia. Jangan kuatir, istana Ban-jin-kiong maupun Lembah Kumandang, pada satu hari akhirnya tentu akan dapat dihancurkan juga.”

Betapa girang hati Lo-seng dan kedua nona itu sukar dilukiskan.

Serta merta Hun-ing berlutut untuk merghaturkan terima kasih kepada orang tua itu. Orang tua buntung juga tampak berseri gembira lalu menyuruh Hun-ing bangun. Kata Hun-ing: “Paman, nyata-nyata Naga Hijau sedang terancam bahaya. Maka pikirku, akan kembali ke Lok-yang untuk memindahkan markas besar kami ke sini. Dengan demikian kita lebih dapat bekerja dengan tenang dan teratur.”

Ketiga anak muda itu terus mohon diri.

“Tunggu,” seru orang tua itu, “saat ini kita sudah dikepung musuh. Kepergian kalian ini mungkin akan menderita gangguan mereka.”

Terkejutlah Siau Lo-seng bertiga demi mendengar peringatan itu. Pikir mereka: “Mengapa orang tua ini sedemikian tajam indera pendengarannya? Mengapa kita sama sekali tak mendengar suatu apa? Bagaimana dia tahu kalau musuh sudah siap mengepung kita di luar…..?”

Tetapi ketiga anak muda itu memang sudah patuh dan tunduk pada orang tua peniup seruling. Mereka percaya penuh.

Dan ternyata entah kapan datangnya, memang tahu-tahu di luar halaman telah muncul empatpuluh lebih orang yang berkerudung kain hitam. Jelas mereka tentu jago-jago sakti.

“Ai, barisan Tujuh Lapis dari Ban-jin-kiong,” bisik Cu-ing. “Lihatlah, Li Gok-hou juga datang!” Seru Cu-ing.

Menurut arah yang ditunjuk nona itu, Siau Lo-seng melihat seorang pemuda berpakaian biru, mukanya mengenakan kerudung muka merah dan tangannya memegang sebatang panji hitam. Dia memang Li Giok- hou.

Pada saat Li Giok-hou gerakkan panji, keempatpuluh tujuh pengiringnya itu segera hentikan langkah. Seorang lelaki tinggi besar dan bertubuh gagah segera tampil ke luar.

Siau Lo-seng memandang si tinggi itu dengan seksama.

Orang tinggi besar itu berumur lebih kurang tigapuluh tahun, hidungnya besar, dan sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Punggungnya menyanggul sebuah kantong. Entah apa isinya.

“Hai, siluman tua, mengapa tak lekas keluar? Apakah harus tunggu sampai Ang toaya menyeretmu?” teriak si tinggi besar itu.

Nadanya menggeledek nyaring sekali.

“Menilik sikap dan suaranya yang begitu hebat, dia kemungkinan tentulah pemimpin barisan algojo yang disebut Ang Piau.

“Anjing buduk, jangan menggonggong terus menerus, sebentar nonamu tentu akan menyuruh engkau menangis sampai tiga hari tiga malam,” tiba-tiba Cu-ing berteriak mendamprat.

Ang Piau tertawa gelak-gelak.

“Oh kiranya bukan hanya siluman tua itu tetapi juga ada beberapa anjing kecil, ha, ha, ha……”

Cu-ing hendak balas memaki lagi tetapi dicegah Siau Lo-seng: “Sudahlah tak perlu melayani manusia itu. Kita di tempat posisi yang lebih baik, jangan sampai terpancing oleh ocehan mereka.”

Benar juga karena tiada orang yang membalas makiannya, Ang Piau pun berhenti. Beberapa saat kemudian, rupanya dia tak sabar dan berteriak lagi: “Kalau kalian tetap tak mau keluar, terpaksa kami akan menyerbu dan mengobrak abrik sarangmu!”

Hun-ing geram sekali dan hendak turun tangan tetapi kembali dicegah Siau Lo-seng: “Tak perlu menggubris manusia itu. Dia tak nanti berani naik kemari.”

“Tetapi kalau terus menerus menjaga di sini saja, juga tidak tepat,” bantah Hun-ing.

“Tahu kekuatan diri dan kekuatan musuh, seratus kali perang tentu seratus kali menang,” kata Lo-seng, “bahkan di sini terdapat berapa orang, pun mereka tak tahu. Untuk sementara ini mereka tentu tak berani sembarangan bergerak. Lalu apakah siasat adik Hun untuk menghadapi mereka?”

Hun-ing tertawa. “Walaupun tak takut kepada mereka, tetapi kita tak dapat terus menerus bertahan dengan cara begini saja. Mengapa kita tak melakukan sedikit siasat untuk meloloskan diri dari kepungan mereka dan cepat menuju ke markas di Lok-yang?”

Orang tua peniup seruling tiba-tiba tertawa, ujarnya: “Yang penting mereka hendak mencari aku. Sekalipun kalian menerobos dari kepungan merekapun takkan terlalu mendesak.”

“Kalau kita pergi, bukankah Gi-hu akan seorang diri saja? “ tanya Siau Lo-seng. “Jangan kuatir, masakan aku takut kepada mereka?” kata orang tua itu.

Tiba-tiba terdengar Li Giok-hou tertawa: “Kalau kalian tetap tak mau keluar, segera akan kusuruh orang untuk melepas api.”

Siau Lo-seng terkejut. Memang dengan api, loteng itu tentu akan musnah. Cepat ia loncat di muka jendela dan berteriak.

“Li Giok-hou, sudah berulang kali engkau berjumpa dengan aku dan engkau tentu menerima pelajaran yang pahit. Tetapi rupanya engkau tetap belum jera. Maka hari ini takkan kuberimu ampun lagi.

“Kalau tempo hari sebelah lenganmu yang kupotong, kali ini aku akan kupotong sebelah kakimu.”

Melihat Siau Lo-seng, diam-diam Li Giok-hou terkejut, pikirnya, “Hm, rupanya pikirannya sudah terang. Adakah dia sudah tidak lagi menjadi manusia yang kehilangan pikiran seperti si Raja Akhirat itu? Mengapa Siau Lo-seng dan Hun-ing bersama-sama berada di situ? Apakah orang tua peniup seruling yang ditakuti ketua Ban-jin-kiong, mempunyai hubungan dengan kedua orang itu?”

Demikian benak Li Giok-hou melayang-layang lalu tertawa menyeringai,

“Siau Lo-seng, siapakah yang akan mati hari ini, masih belum diketahui pasti. Ha, ha, ha…… kuberitahu kepadamu sebuah hal. Hapuskanlah harapanmu untuk mengharap Pek Wan Taysu akan datang membantumu!”

Siau Lo-seng terkejut. Adakah Pek Wan Taysu telah dicelakai mereka?

“Untuk membereskan kawanan tikus semacam kalian tak perlu harus minta bantuan barisan Tat-mo-coat-ci- tin. Hm, aku seorang diri sudah lebih dari cukup untuk membasmi kalian,” seru Siau Lo-seng.

Li Giok-hou juga tertawa angkuh.

“Barisan Tat-mo-coat-ci-tin? Ha, ha, ha ketahuilah wahai Siau Lo-seng. Pek Wan Taysu telah termakan

siasatku memancing harimau tinggalkan sarangnya.” Siau Lo-seng terkejut dan cepat menegur:

“Bagaimana mereka dapat termakan siasatmu semacam itu?” Li Giok-hou tertawa jumawa.

“Engkau kira Pek Wan Taysu dan ke tujuhpuluh delapan kepala gundul itu benar-benar minta bantuan ke Bu-tong-san? Ha, ha…… saat ini mungkin mereka sudah berkelana di akhirat!”

Siau Lo-seng terkejut, tegurnya:

“Apakah yang memberi laporan kemari itu anak murid Siau-lim dan Bu-tong-pay palsu?” Giok-hou tertawa iblis.

“Mereka memang anak murid Siau-lim-si dan Bu-tong-pay yang sesungguhnya. Masakan hal itu Pek Wan Taysu tak mengenalnya?”

Siau Lo-seng makin terkejut serunya,

“Li Giok-hou, jangan berolok-olok semaumu sendiri! Apakah kedua murid itu sudah menjadi kaki tangan Ban-jin-kiong?”

Kembali Li Giok-hou tertawa,

“Goblok! Sudah terlambat pengetahuanmu. Engkau juga tak mau meneliti. Dari manakah nama Ban-jin- kiong itu asalnya……” Karena marah, hidung Siau Lo-seng sampai menghembuskan asap dan sepasang matanya seperti terbakar.

Melihat itu Li Giok-hou makin gembira,

“Disebut Ban-jin itu artinya selaksa orang, terdiri dari seluruh aliran persilatan dan tokoh-tokoh partai persilatan yang ternama. Dari pucuk pimpinan, termasuk ketua dan para penasehat tianglo, sampai ke kerucuknya ”

“Kini barisan Ban-jin-kiong sudah tersusun rapi. Dalam beberapa waktu lagi seluruh dunia persilatan ini bakal menjadi milik Ban-jin-kiong, ha, ha, ha ”

“Jahanam……” Siau Lo-seng berteriak dan serentak menyerang Li Giok-hou.

Kecepatan dan kedahsyatan pedang Siau Lo-seng yang tahu-tahu sudah akan menimpah kepala itu membuat Li Giok-hou hentikan tertawanya dan cepat menghantam seraya enjot tubuh mencelat ke belakang.

Tetapi Siau Lo-seng yang masih melayang di udara itu segera bergeliatan lalu menukik untuk menusuk  jalan darah maut dari tubuh Li Giok-hou.

Baru Li Giok-hou tegak atau sinar Pedang Ular Emas sudah berhamburan mendera tubuhnya. Dan setiap hamburan ujung pedang itu mengarah pada jalan darah yang berbahaya.

Kejut Li Giok-hou bukan alang kepalang. Cepat ia rebahkan tubuhnya mendatar tanah lalu membuang diri berguling-guling beberapa langkah ke samping.

Sekalian orang tak tahu dengan cara bagaimana Li Giok-hou dapat menghindari serangan maut dari Siau Lo-seng tadi. Yang jelas, walaupun pontang panting tetapi Li Giok-hou masih dapat menyelamatkan diri dari pedang Ular Emas yang hendak mencabut jiwanya.

Empatputuh tujuh anak buah barisan Ban-jin-kiong yang menyaksikan pertempuran itu, serentak berseru memuji.

Baik Siau Lo-seng maupun Li Giok-hou masing-masing terkejut dalam hati. Mereka terkejut karena kepandaian lawan ternyata di luar dari dugaan mereka.

Keduanya dapat dikata merupakan tokoh muda yang hebat pada masa itu. Kini setelah mengetahui kepandaian lawan, merekapun tak berani memandang rendah satu sama lain.

Siau Lo-seng tegak bagai karang. Ujung Pedang Ular Emas mengacung sedikit condong ke muka. Tangan kiri membentuk sikap pengimbangan. Sepasang matanya mencurah memandang ke ujung pedang.

Li Giok-hou pun mencabut pedang dari belakang bahunya. Tiba-tiba ia menggembor keras lalu secepat kilat loncat menerjang, sinar pedang berhamburan mencurah ke tubuh Siau Lo-seng. Gerakan pedang itu aneh sekali, seperti menabas, seperti menusuk, seperti membabat dan seperti pula membacok.

Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan tujuh buah serangan. “Tring……”

Pedang Ular Emas bergerak menyongsong dan terdengarlah dering benturan pedang yang disusul dengan percikan bunga api.

Terdengar Siau Lo-seng membentak keras dan pedangnya agak mengendap ke bawah lalu memagut lawan.

Li Giok-hou pun menggembor keras juga seraya menangkis. Benturan kedua segera terjadi lagi.

Tetapi di antara dering benturan pedang terdengar juga sebuah jerit melengking dan pada lain kejap, sebatang sinar berkilau melayang ke samping.

Apakah yang telah terjadi?

Kiranya pedang Li Giok-hou telah kutung menjadi dua dan tubuhnya terhuyung-huyung sampai tujuh- delapan langkah ke belakang. Baju pecah, darah bercucuran!

“Ilmu pedang yang hebat sekali!” serunya tertawa rawan. Cepat ia membuang kutungan tangkai pedang lalu mengeluarkan sebuab benda yang kerkilat-kilat memancarkan sinar perak.

“Keng-hun-pit !” serentak Cu-ing dan Hun-ing berteriak kaget.

Siau Lo-seng terkesiap, memandang benda yang dicekal lawan.

Benda itu panjangnya lebih kurang hanya seperempat meter, batangnya berwarna putih perak. Sebatang pit (pena) semacam poan-koan-pit atau pit yang digunakan oleh pembesar yang mengadili sidang perkara.

“Ah, keterangan Gi-hu (orang tua peniup seruling) itu memang benar. Keng-hun-pit memang merupakan salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yang luar biasa. Tetapi sampai dimanakah keluar biasaan dari pusaka itu?” diam-diam Siau Lo-seng menimang.

Tengah Siau Lo-seng menimang, tiba-tiba terdengar suara menggeledek, “Harap Ji-hun Kiongcu suka mundur. Menyembelih ayam mengapa harus menggunakan pisau penjagal kerbau? Biarlah aku saja yang menghadapinya!”

Sesosok tubuh melayang ke tengah gelanggang dan berdirilah Ang Piau pemimpin barisan Ban-jin-kiong, di hadapan Siau Lo-seng.

Seketika berobahlah cahaya muka Siau Lo-seng. Menilik suara teriakan orang yang begitu menggeledek, tahulah Siau Lo-seng bahwa Ang Piau itu seorang jago yang memiliki ilmu tenaga dalam hebat. Memiliki bentakan yang disebut Singa Mengaum untuk melukai orang.

Serentak timbullah dua buah kesimpulan dalam hati Lo-seng.

Pertama, ternyata Ban-jin-kiong masih mempunyai seorang tokoh selihay itu. Keempatpuluh tujuh anggauta barisan lapis tujuh itu tampaknya bukan jago sembarangan. Jelas, pertempuran saat itu akan merupakan pertumpahan darah yang hebat.

Kedua, apa sebab Ang Piau memanggil Li Giok-hou sebagai Ji-hun Kiongcu (kepala istana kedua). Apakah Ban-jin-kiong memang dibagi atas beberapa bagian. Siapakah yang menjadi ketua istana pertama? Apakah masih ada istana ketiga dan keempat?”

Teringat juga Lo-seng, bahwa tempo hari si bungkuk Long Wi menyebut Li Giok-hou sebagai Sau-kiongcu (ketua muda). Tetapi mengapa sekarang Ang Piau menyebutnya sebagai Ji-hun Kiongcu?

Demikian pikiran yang menggelut benak Lo-seng saat itu. Sementara setelah Ang Piau tampil, Li Giok-hou segera mengundurkan diri. Dengan hati-hati, pusaka Keng-hun-pit itu dimasukkan ke dalam bajunya lagi,

“Siau Lo-seng!” Ang Piau tertawa gelak-gelak, “telah kudengar kemasyuran namamu yang besar. Sayang selama ini aku belum mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan engkau. Sekarang aku hendak menantangmu bertempur sampai tigaratus jurus.”

Siau Lo-seng menyahut dingin:

“Bagus, tetapi mungkin engkau tak dapat bertahan sampai begitu lama!” Ang Piau deliki mata,

“Siapa yang tak kuat bertahan. Engkau atau aku?” serunya. Ia segera maju selangkah dan terus menyerang dengan jurus Kim-liong-cau atau Naga emas mengulurkan cakar.

Sekali tangannya bergerak maka timbullah hamburan angin keras.

11.54. Keng-hun-pit

Siau Lo-seng mencodongkan ujung pedang mengarah pergelangan tangan orang. Maksudnya hendak memaksa lawan mundur, setelah itu baru ia akan susuli dengan serangan.

Memang rencana Siau Lo-seng itu tepat. Terapi Ang Piau itu seorang jago yang nekad dan kaya akan pengalaman bertempur.

Cepat ia geliatkan tangan kanannya menghindar ke samping lalu secepat kilat jarinya ditebarkan untuk mencengkeram siku lengan Lo Seng. Sedang tangan kirinya pun serentak menjulur untuk menusuk jalan darah marah di tenggorokan lawan. Dari dua jurus gerakan itu saja, dapatlah diketahui sampai di mana kesaktian orang itu.

Siau Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menyurut mundur tiga langkah seraya hamburkan sinar pedang untuk melindungi tubuh. Mau tak mau, Siau Lo-seng kucurkan keringat dingin juga.

Teriakan gegap gempita memuji dari barisan tujuh lapis, segera menggema keras.

Ang Piau tak mau memberi kesempatan lagi. Ia loncat menerjang dan mendera lawan dengan pukulan yang bertubi-tubi.

Sepuluh jurus kemudian, Siau Lo-seng jago muda yang gagah perkasa itu, dipaksa harus mundur sampai setombak jauhnya. Bahkan pedang Ular Emas hampir saja terlepas karena desau hamburan angin yang melandanya.

Dari atas loteng Hun-ing dan Cu-ing menyaksikan pertempuran dengan hati gelisah. Kedua nona itu segera mempersiapkan diri untuk turun tangan apabila perlu.

Tetapi sebenarnya ilmu silat Siau Lo-seng itu tidak di bawah Ang Piau. Walaupun sepintas pandang Ang Piau menang kuat dan menang angin, tapi dengan berbagai aliran ilmu silat yang dimiliki Siau Lo-seng, pemuda itu takkan kalah.

Memang apabila dua jago sakti bertempur seujung rambut kesempatan yang diperoleh lawan, tentu akan merobah jalannya pertempuran.

Dalam babak permulaan karena salah perhitungan, hampir saja Siau Lo-seng menderita kekalahan total. Dia didesak kalang kabut oleh lawan sehingga hampir tak dapat bernapas.

Tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak keras lalu mengisar langkah dan memainkan pedang disertai gerak  langkah yang aneh.

Betapapun halnya, kepandaian Ang Piau tetap kalah setingkat dari Siau Lo-seng. Berulang kali Ang Piau melancarkan serangan dahsyat, tapi setiap kali ia mendapatkan gerakan lawannya itu memang luar biasa anehnya, sukar untuk diduga.

Sesaat pemuda itu berada di sebelah barat tetapi pada lain saat sudah beralih ke timur. Walaupun Ang Piau sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, tetap ia tak mampu memukul lawan.

Mau tak mau kepala dari barisan Ban-jin-kiong itu tercengang-cengang.

Kesempatan itu sudah tentu tak dilewatkan Siau Lo-seng. Diiringi sebuah gemboran keras, Pedang Ular Emas pun segera berhamburan laksana bunga api pecah di udara.

Ang Piau terpaksa harus mundur sampai tiga langkah untuk menyelamatkan jiwanya.

Sejenak Siau Lo-seng dapat bernapas untuk melonggarkan ketegangannya lalu lepaskan tiga buah tabasan.

“Auuhhh……”

Terdengar jeritan ngeri. Karena lambat menghindar, bahu Ang Piau termakan ujung pedang, tiga buah jari tangan kirinyapun terbabat kutung. Dengan terhuyung-huyung menahan kesakitan, Ang Piau mundur sampai lima langkah……

Dengan mata berkilat-kilat memancarkan dendam kemarahan, ia menetap Siau Lo-seng dengan penuh kebencian.

Tiga buah serangan pedang Siau Lo-seng tadi telah dilancarkan dengan kemarahan. Cepat dan dahsyatnya bukan alang kepalang. Apabila mau, sebenarnya ia dapat mengambil jiwa lawan. Tetapi karena melihat lawan bertempur dengan tangan kosong, maka tak maulah Siau Lo-seng hendak mencari kemenangan dengan cara tidak adil.

Saat itu Ang Piau pun mengeluarkan bungkusan senjata yang berada di belakang bahunya. Sebuah senjata aneh, matanya seperti golok tetapi punggungnya seperti gergaji.

Sesaat kemudian ia menggembor keras lalu mainkan senjatanya yang aneh itu. Dering senyaring halilintar memekik dan hamburan bunga api yang mencurah seperti hujan, segera menimpah ke arah Siau Lo-seng. Setitikpun Siau Lo-seng tak mengira bahwa dalam keadaan terluka, Ang Piau masih sedemikian perkasanya. Ia tak berani memandang rendah lawan. Setelah mengisar ke samping dan tegak lurus untuk menghindari serangan, segera ia balas menusuk.

Tiba-tiba Ang Piau merobah gaya permainannya. Segera ia mengeluarkan jurus ilmu permainan pedang. Juga dalam ilmu pedang ternyata Ang Piau memiliki permainan yang luar biasa dahsyatnya.

Siau Lo-seng diam-diam terkejut dan tak berani lengah. Segera ia menjalankan siasat untuk bertahan.

Melihat lawan bersikap mempertahankan diri, Ang Piau mengira kalau Siau Lo-seng sudah kuncup nyalinya. Bagai harimau tumbuh sayap, Ang Piau makin buas dan ganas. Senjatanya yang aneh itu makin melancarkan serangan yang maut.

Setengah jam kemudian, keduanya telah bertempur sampai duaratus jurus. Dan setiap jurus yang ditempurkan itu, merupakan jurus-jurus yang mengandung maut. Lengah atau lambat sedikit saja, tentu ngeri akibatnya. Kalau tidak kehilangan sebuah anggauta badannya tentu jiwanya amblas.

Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu sama letetkan lidah. Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri!

Mata sebelah kiri, pipi, dada dan kaki sebelah kiri dari Ang Piau telah berhias dengan lumuran darah merah. Senjatanyapun terdampar ke tanah dan orangnya terhuyung-huyung hendak rubuh.

Peristiwa itu berlangsung terlampau amat cepatnya sehingga orang tak tahu apa yang telah terjadi.

Siau Lo-seng tak mau memberi kelonggaran lagi. Ia meluncur turun, ujung pedang Ular Emas segera mengarah jalan darah ulu hati di dada lawan.

Sekalian orang menjerit ketika menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu.

“Kiam-gi !” teriak Li Giok-hou ketika menyaksikan permainan ilmu pedang Siau Lo-seng yang sedemikian

hebatnya.

Kiam-gi artinya hawa pedang. Dengan kiam-gi itu dimaksudkan, si pemilik pedang itu telah menyalurkan tenaga sakti melalui ujung pedang untuk menutuk jalan darah lawan.

Hanya seorang jago pedang sakti yang mampu melakukan hal semacam itu.

Sabagai seorang jago kelas satu, Ang Piau pun tahu apa artinya seruan Li Giok-hou itu. Serentak ia mengeluh dalam hati: “Celaka, aku sekarang ”

Ia pejamkan mata dan tenang-tenang menunggu ajalnya.

Di luar dugaan. tiba-tiba timbullah rasa sayang dalam hati Siau Lo-seng. Rasa sayang yang dimiliki seorang kesatria terhadap lain kesatria. Serentak pedang dihentikan dan ujungnya tepat melekat pada kulit orang. Tindakan itu menyebabkan Ang Piau terhindar dari kematian. Dengan demikian sudah dua kali Siau Lo- seng memberi ampun kepada lawannya.

Tetapi serempak dengan itu, sekonyong-konyong Hun-ing dan Cu-ing melengking keras dan berhamburan melayang ke bawah.

Kiranya pada saat Siau Lo-seng hentikan pedangnya, dari empat penjuru berhamburanlah batang golok dari orang Ban-jin-kiong. Karena melihat pemimpinnya akan celaka di tangan Siau Lo-seng maka mereka itupun serempak taburkan golok algojo ke arah Siau Lo-seng.

Hun-ing dan Cu-ing menjerit dan terus hendak menolong Siau Lo-seng. Tetapi ternyata pemuda itu sudah bergerak untuk menyelamatkan jiwanya.

Dengan sebuah gerak loncatan yang secepat kilat, Siau Lo-seng pun sudah berada setombak dari tengah gelanggang dan tahu-tahu pula ujung pedangnya sudah mengucurkan tetesan darah.

Keempat algojo Ban-jin-kiong yang mengenakan kain kerudung hitam pada mukanya dari menyerang Siau Lo-seng dari belakang, tahu-tahu sudah terhuyung-huyung dan terkapar di tanah.

Dalam pada itu Ang Piau pun cepat loncat mundur beberapa langkah. Matanya memandang Siau Lo-seng dengan penuh kesangsian. Kemudian menunduk mengamati guratan luka yang menghias dadanya. Ia tertawa rawan. “Orang she Siau benar-benar tak bernama kosong. Ilmu kepandaianmu memang hebat. Dua kali aku, Ang Piau, telah menerima budi kemurahan hatimu, sudah tentu akan kuingat dan kelak apabila ada kesempatan tentu akan kubalas.”

“Seorang jantan yang kasar tetapi jujur. Tak kecewa sebagai seorang tokoh silat yang perwira,” diam-diam Siau Lo-seng membatin.

Demikian perobahan telah terjadi secara cepat dan tak terduga-duga. Siau Lo-seng telah berhasil lolos dari golok maut tetapi Hun-ing dan Cu-ing yang hendak menolongnya saat itu malah diserang oleh  dua anggauta barisan Algojo dari Ban-jin-kiong.

Cu-ing keluarkan ilmu pedang Giok-li-kiam-hwat ajaran Tay Hui Sin-ni. Pedang segera berhamburan laksana gelombang mendampar dahsyatnya.

Tetapi lawannya juga bukan tokoh yang lemah. Ilmu permainan goloknya, laksana angin puyuh menyambar- nyambar.

Hun-ing mainkan pedang serempak dengan pukulan tangan kiri. Dengan gaya permainan yang dahsyat dan cepat, ia berhasil mendesak lawannya

Setelah melihat kedua nona itu dapat menjaga diri, semangat Siau Lo-seng pun bertambah menyala. Dengan jurus Rembulan berwajah setengah lingkar, ia sapukan pedangnya kepada lima orang anggauta barisan Algojo yang coba hendak merapat kepadanya…….

Kelanjutan dari sinar emas yang memancar dari Pedang Ular Emas telah menimbulkan sebuah jeritan ngeri dan seorang anggauta barisan Algojo yang goloknya mencelat ke udara dan orangnya pun terdampar beberapa langkah, menggeletak dalam kubangan darah.

Siau Lo-seng pindahkan pedang ke tangan kiri. Pandang matanya mengarahkan ujung pedang ke arah enam orang anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong yang dapat menghindar dari serangannya tadi.

Sikap dan perbawa anak muda itu, benar-benar menggetarkan nyali lawan-lawannya. Mereka yang semula garang dan bengis, saat itu mulai menggigil semangatnya. Cepat mereka membentuk diri dalam sebuah lingkaran, segenap perhatian tercurah pada gerak gerik Siau Lo-seng.

Dalam detik-detik yang penuh ketegangan itu, tiba-tiba terdengar jerit melengking tinggi. Siau Lo-seng cepat berpaling. Ah, ternyata Cu-ing telah menderita luka. Lengan kanan dara itu berdarah dan terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan di tanah terbaring dua sosok tubuh lawan yang jelas tentu si dara yang merubuhkannya.

Saat itu Cu-ing masih diserang oleh empat orang algojo baju hitam. Keadaannya pontang panting payah sekali.

Siau Lo-seng terkejut tapi belum sempat ia hendak bertindak, dia sudah diserang lagi oleh lawannya.

Cepat pemuda itu pusatkan perhatian. Sambil bersuit nyaring ia putar Pedang Ular Emas untuk menyongsong hujan golok yang melandanya.

“Tring, tring, tring……”

Dering gemerincing melengking nyaring dan pada lain saat gumpalan sinar golok itupun lenyap. Beberapa anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong tersiak mundur.

Kesempatan itu segera digunakan Siau Lo-seng untuk loncat keluar dari kepungan. Sambil meluncur dari udara ia putar pedangnya ke arah keempat baju hitam yang sedang menyerang Cu-ing.

Terdengar jeritan ngeri, diiring dengan hamburan darah merah. Dua orang baju hitam rubuh berlumuran darah.

Sedang yang dua orang, dengan menderita luka parah, pontang panting menyurut mundur.

Siau Lo-seng menggeliatkan tubuh, meluncur turun di samping Cu-ing. Secepat menginjak tanah, ia lintangkan pedang ke muka dada, mata memandang ke sekeliling sembari bertanya bisik-bisik: “Adik Ing, bagaimana lukamu?”

Selekas mengetahui Siau Lo-seng berada di samping, semangat Cu-ing segera bangkit kembali. Dengan menahan rasa sakit ia berkisar ke dekat Siau Lo-seng. “Aku tak apa-apa, bagaimana dengan cici Hun?” serunya.

Saat itu matahari sudah terbenam di ufuk barat. Malampun mulai menebarkan kabut hitam. Burung-burung berterbangan pulang ke sarang.

Jurus ilmu pedang yang dilancarkan Siau Lo-seng dan berhasil melukai keempat algojo baju hitam yang mengepung Cu-ing itu, benar-benar menggetarkan hati setiap orang. Keempatpuluh tujuh barisan algojo,  itu, terkesiap sehingga untuk beberapa saat mereka tak berani bertindak apa-apa.

Selang beberapa jenak kemudian barulah mereka tampak bergerak memencarkan diri untuk mengepung lawan.

Suasana petang hari makin dicengkam oleh bawa pembunuhan yang menyeramkan.

Ketika Siau Lo-seng sapukan pandang ke sekeliling, ia terkejut. Ternyata saat itu Hun¬ing sedang bertempur lawan Ang Piau. Empat algojo baju hitam berjajar di sekelilingnya dan mengikuti jalannya pertempuran.

Tampak Hun-ing mainkan pedangnya dengan gencar. Tubuhnya yang langsing berloncatan amat tangkas, tak ubah seperti seekor ular naga yang bercengkerama di laut.

Ilmu pedang nona itu memang sakti dan tenaga dalamnya pun tinggi. Tetapi Ang Piau pun seorang jago kelas satu yang berkepandaian tinggi juga. Walaupun dia sudah menderita luka dari pedang Siau Lo-seng, tetapi kegagahannya tak berkurang.

Pedang lawan golok berpunggung gergaji. Sepintas pandang menyerupai dua ekor ular dan buaya yang saling bertempur dahsyat.

Sepuluh jurus cepat berlalu tetapi masih belum tampak siapa yang lebih unggul.

Walaupun perhatian Siau Lo-seng tengah mencurah pada pertempuran Hun-ing lawan Ang Piau tetapi naluri pemuda itu memang tajam. Seketika matanya tertarik akan sebuah tandu yang tengah dijaga oleh empat orang dayang baju biru. Tandu itu berhenti di serambi bawah dari loteng tempat persembunyian orang tua peniup seruling.

Dalam tandu itu duduk seorang wanita cantik berpakaian indah macam puteri keraton. Sayang wajahnya teraling oleh bayangan kain tenda penghias tandu sehingga tak tampak jelas. Tetapi tentulah amat cantik.

Tampak berulang kali wanita itu menganggukkan kepala dan menunduk dan merenung. Rupanya seperti tengah bergelut dengan soal yang sukar diputuskan.

Karena perhatian semua orang tercurah pada pertempuran, tiada seorangpun yang memperhatikan munculnya tandu aneh itu.

“Kelima wanita dan dayang itu, muncul tanpa diketahui orang. Menandakan bahwa mereka tentu kepandaian yang tinggi,” pikir Lo-seng.

Seketika timbul dua buah dugaan dalam benak Siau Lo-seng:

Pertama, kemungkinan kelima wanita itu orang persilatan yang kebetulan lalu di tempat ini. Karena mendengar hiruk pikuk pertempuran mereka menghampiri. Tetapi setelah tahu yang bertempur itu orang- orang Ban-jin-kiong mereka berlima tak mau ikut campur karena takut terlibat bentrokan dengan orang Ban- jin-kiong.

Kedua, mereka hendak menunggu saja pertempuran itu selesai lalu turun tangan menggempur yang menang. Dengan demikian mereka tanpa mengeluar banyak tenaga akan memperoleh keuntungan.

Setelah mengalami peristiwa yang pahit, kini dalam cara berpikir, Siau Lo-seng sudah makin hati-hati dan cermat.

Sejenak merenung, ia lebih cenderung pada dugaan yang pertama. Untuk membuktikan kebenarannya, dia tak mau gegabah bertindak melainkan hanya diam-diam memperhatikan gerak gerik mereka.

“Adik Ing, ikutlah aku untuk membantu Hun-ing menerobos dari kepungan,” serunya berbisik kepada Cu-ing.

Tetapi seruan itu segera bersambut dengan lengking jeritan yang nyaring. Cepat-cepat Siau Lo-seng berpaling. Dilihatnya Hun-ing telah meluncurkan serangan, menusuk tubuh lawan. Tetapi Ang Piau diam saja. Selekas ujung pedang si nona hampir menyentuh badannya, tiba-tiba ia kempiskan dadanya lalu melambung ke udara dengan gerak Burung hong menerobos langit, melayang melampaui kepala Hun-ing, meluncur turun di belakang dan secepat kilat mengirim tendangan berantai kepada nona itu.

Sebuah jurus serangan yang luar biasa ganasnya!

Setitikpun Hun-ing tak pernah menduga bahwa lawan ternyata masih mempunyai simpanan ilmu kepandaian yang istimewa. Apabila Hun-ing sampai terkena tendangan, jiwanya tentu berbahaya.

Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwanya dengan ketangkasan yang tak terduga-duga, Hun-ing rebah telentang di tanah, “Wut……”

Kaki Ang Piau hampir dikata hanya seujung rambut terpisah dari kepala si nona. Turun sedikit saja, kepala Hun-ing tentu akan hancur mumur.

Menyaksikan adegan itu, baik kawan maupun lawan sama menghela napas longgar. Entab apa sebabnya, mereka bersyukur karena si nona terlepas dari bahaya maut.

Memang di dalam menyaksikan pertempuran yang menegangkan, sering orang lupa siapa kawan siapa pihak lawan. Mereka akan bersorak sorai gembira apabila menyaksikan salah seorang telah mengunjukkan kepandaian yang mempesonakan.

Walaupun terlepas dari maut, namun Hun-ing tak berani menarik napas. Segera ia gerakkan pedangnya sampai tiga-empat lingkaran. Sedang tangan kiri diam-diam telah siap untuk memberi pukulan kepada lawan pada saat-saat yang baik.

Dalam sekejap saja nona itu telah memperbaiki posisinya dalam pertempuran itu.

Keadaan Hun-ing membuat Siau Lo-seng dan Cu-ing menghela napas longgar. Tetapi keadaan di tempatnya sendiri tiba-tiba berobah tegang. Bahkan tak kalah gentingnya dengan di tempat Hun-ing.

Kawanan algojo baju hitam yang mengepung dari empat penjuru itu, lancarkan serangan golok mereka dengan gencar dan mendesak kedua muda mudi itu sampai beberapa langkah ke belakang.

11.55. Rahasia Kesaktian Pit Sakti

Siau Lo-seng mendesuh geram. Dengan menggembor keras ia taburkan pedangnya, dan berturut-turut telah melancarkan tiga buah serangan yang dahsyat.

Heng-ka-kim-liang atau Menyanggah melintang tiang emas, Hang-soh-ciang-kun atau Menyapu ribuan pasukan, Ngo-gak-ya-ting atau Lima gunung menindih puncak. Tiga jurus serangan itu merupakan ilmu pedang yang keras untuk menangkis atau adu senjata dengan musuh.

“Tring, tring, tring……”

Terdengar beberapa kali suara dering senjata dan senjata dari beberapa algojo baju hitam itupun mencelat ke udara. Dan terbukalah sebuah lubang dari kepungan mereka.

Siau Lo-Seng pun segera menerjang seraya memutar pedang Ular Emas. Jeritan ngeri terdengar, disusul dengan semburan darah segar yang berhamburan ke udara.

Dengan menahan rasa sakit, Cu-ing pun mainkan pedang untuk mengikuti jejak Siau Lo-seng. Walaupun telah kehilangan darah cukup banyak, tetapi setelah menyelinapkan kesempatan untuk beristirahat, semangat Cu-ing sudah bertambah baik.

Dara itu mainkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat, ilmu pedang ciptaan dari suhunya, Tay Hui Sin-ni.

Tay-hui-kiam-hwat cepat dan hebat sekali sehingga pada beberapa kejap, dua algojo baju hitam menjerit rubuh bermandi darah.

Bormula Cu-ing hanya ingin menerobos keluar dari kepungan. Ia merasa tenaganya tentu berkurang akibat luka yang dideritanya. Tetapi tiada disangkanya sama sekali bahwa dengan mudah ia telah dapat merubuhkan dua orang musuh. Seketika bangkitlah semangat dara itu. Ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat segera dimainkan dengan gairah. Empat orang algojo baju hitampun segera menjerit rubuh. Kekalahan barisan algojo itu bukan karena mereka jago-jago yang lemah. Mereka tergolong ko-jiu atau jago sakti yang jarang terdapat dalam dunia persilatan. Tetapi ilmu ciptaan rahib sakti Tay Hui Sin-ni itu memang luar biasa hebatnya.

Sebenarnya ilmu pedang itu memiliki jurus-jurus permainan yang ganas dan maut. Tetapi karena Cu-ing seorang dara yang berhati baik, tak suka mencelakai orang maka dia jarang sekali menggunakan ilmu pedang itu.

Tetapi saat itu memang lain. Ia sendiri menderita luka. Siau Lo-seng dan Hun-ing terancam bahaya. Terpaksa ia gunakan ilmu pedang itu. Dan hasilnya memang mengejutkan sekali.

Setelah beberapa kawannya terluka, barulah kawanan algojo baju hitam itu tak berani mendesak.

Li Giok-hou yang selama itu hanya mengawasi pertempuran di samping gelanggang, diam-diam mendapat kesan bahwa kepandaian dari Siau Lo-seng, Hun-ing dan Cu-ing memang mengagumkan sekali. Jauh sekali bedanya dengan beberapa waktu yang lalu. Diam-diam ia heran apakah selama ini mereka telah mendapat rejeki yang luar biasa.

Kesan yang diperoleh Li Giok-hou segera memantulkan hawa pembunuhan yang ganas pada cahaya wajahnya.

Segera pemuda itu maju kehadapan Siau Lo-seng, mengacungkan bendera kecil dan mengebutkan dua kali lalu membentak: “Mundurlah kalian semua, biarlah kuselesaikan sendiri pemuda liar ini!”

Barisan Algojo tujuh lapis, dari Ban-jin-kiong saat itu hampir separoh yang terluka dan, mati. Belasan kawanan baju hitam itu segera mundur setelah menerima perintah dari Li Giok-hou.

Sambil tertawa iblis, berserulah Li Giok-hou, “Siau Lo-seng. ganas benar engkau!”

Siau Lo-seng cukup waspada. Bahwa Li Giok-hou berani tampil ke muka dan memerintahkan orang- orangnya menyingkir, tentulah karena kepandaian yang istimewa. Namun Lo-seng tak tahu jelas apa yang menjadi pegangan Li Giok-hou.

Serentak ia tertawa nyaring, serunya: “Ah engkau terlalu memuji. Dalam dunia persilatan banyak sekali kaum durjana, kaum bebodoran yang hidup dalam alam tipu muslihat dan bergelimpangan dalam dosa. Berbicara tentang kekejaman, aku masih kalah jauh dengan mereka!”

Li Giok-hou tertawa seram:

“Ah, tidak, engkau terlalu merendah diri saja……”

Dalam pada berkata-kata itu Li Giok-hou sudah majukan langkah dan secepat kilat hantamkan tangannya yang tinggal sebelah itu.

Siau Lo-seng terkejut atas serangan mendadak itu. Tahu-tahu angin pukulan sudah melanda dadanya.

Untunglah sebelumnya ia memang tak berani memandang rendah lawan. Sambil menyalurkan tenaga dalam untuk melindungi dadanya, iapun segera enjot kakinya melambung ke udara.

Siau Lo-seng bergerak amat cepat sekali. Sambil melambung ke udara ia masih bergeliatan ke kanan kiri untuk menghindari pukulan lawan. Tetapi tak urung masih punggungnya termakan sebuah pukulan lawan. Dia terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.

Tetapi Li Giok-hou juga termakan oleh tenaga dalam Siau Lo-seng sehingga terpental sampai tiga langkah ke belakang.

Setelah melancarkan tujuh buah pukulan berantai, Li Giok-hou pun menarik pulang tangannya. Ia tertawa gembira,

“Ilmu kepandaianmu sungguh hebat sekali sehingga mampu menerima ilmu simpanan dari Ban-jin-kiong yang disebut Keng-hun-jit-ciang (tujuh pukulan pengejut jiwa). Dalam dunia persilatan, tiada orang kedua yang dapat berbuat seperti engkau. heh, heh, heh……”

Diam-diam timbul keheranan dalam hati Siau Lo-seng. Sudah berulang kaki ia bertempur dengan Li Giok- hou dan setiap kali kepandaian lawan tentu masih kalah jauh.

“Hm, kalau orang ini tak dilenyapkan, dunia persilatan tentu akan menderita kekacauan,” diam-diam Siau Lo-seng menimang dalam hati. Segera ia kerahkan tenaga dalam dan berseru marah, “Cara engkau menyerang secara licik tadi, bukanlah laku seorang kesatria!”

Siau Lo-seng sudah merencanakan, pada saat Li Giok-hou terpecah perhatian karena harus menjawab dampratannya, ia terus akan menghantamnya dengan tiba-tiba. Ada ubi ada tales. Ada budi tentu dibalas.

Li Giok-hou tertawa gelak-gelak.

“Dalam memimpin barisan, kita boleh meng gunakan siasat apa saja untuk menyerang. Menga……”

Belum selesai ia berkata, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng sudah bersatu ke dalam sinar pedang Ular Emas dan langsung menusuknya.

Tetapi Li Giok-hou memang sudah menjaga kemungkinan itu. Dia tak mau berkisar dan menghindar melainkan mencabut pusaka Keng-hun-pit lalu diputar dalam setengah lingkaran sinar putih untuk menangkis serangan orang. Kemudian ia mengisar tubuh menurutkan gerak serangan pedang untuk maju merapat pada lawan.

Berbahaya sekali gerak yang dilakukan Li Giok-hou itu tetapi memang tak dapat diduga Siau Lo-seng. Tahu-tahu titik sinar putih dari ujung Keng-hun-pit hendak menutuk lengan kanannya.

Siau Lo-seng terkejut dan terpaksa mundur lagi.

Li Gok-hou tak mau mendesak. Sambil menarik Keng-hun-pit ia tertawa dingin.

“Eengkau hendak membalas menyerang secara tiba-tiba? He, jangan engkau gunakan cara itu di hadapanku. Ketahuilah, orang itu dinilai dari perbuatannya. Karena pihakku sudah digolongkan sebagai golongan jahat, maka segala cara dan siasat yang kejam dan licik akan kami gunakan semua. Maka kali ini jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku lagi!”

Siau Lo-seng mendengus.

“Seorang jenderal yang sudah kalah, mengapa masih segarang itu bicaramu? Apakah engkau sudah tak punya malu lagi? Baiklah, ayo keluarkan kepandaianmu yang lain pula!”

Li Giok-hou tertawa.

“Jika belum melihat peti mati, engkau memang masih tak mau menangis. Akan kubuka matamu supaya dapat mengenal sampai dimana ilmu kepandaian dari istana Ban-jin-kiong itu.”

Besar kata, garang suara, sikap Li Giok-hou benar-benar congkak sekali. Seolah-olah tak memandang mata kepada Siau Lo-seng.

Seketika wajah Siau Lo-seng agak berobah. Sepasang alisnya berkerut dan pada lain saat ia loncat menerjang: “Li Giok-hou, serahkan jiwamu!”

Li Giok-hou tertawa dingin lalu gerakkan pusaka Keng-hun-pit dalam bentuk setengah lingkar.

“Hm, budak yang sombong, mau cari mati?” Siau Lo-seng tertawa dingin. Pedang Ular Emas tiba-tiba makin ditekan keras untuk menutuk lengan Li Giok-hou.

Di luar dugaan ternyata Li Giok-hou amat cerdik. Pada saat ujung pedang hampir menyentuh lengan, tiba- tiba ia memutar kaki dan menggelincir ke samping Siau Lo-seng seraya sapukan pusaka Keng-hun-pit.

Tetapi Siau Lo-seng bukanlah seorang jago yang lemah. Pada saat tutukan ujung pedangnya mengenai angin kosong, dia cepat dapat menduga bahwa musuh telah menyiasatinya. Tetapi karena ia menutukkan pedang dengan cepat dan tenaga penuh maka, tubuhnyapun ikut menjorok ke muka. Dan pada saat itulah ujung pit Keng-hun-pit memagutnya.

Betapapun lihay Siau Lo-seng tetapi dia tetap tak mampu untuk menghindarkan diri dari serangan tiba-tiba itu. Untung ia sudah mempunyai banyak pengalaman. Walaupun terancam bahaya namun ia tak sampai gugup.

Ia mengisar pedang ke samping lalu lanjutkan tubuhnya yang condong ke muka untuk menubruk ke tanah lalu berguling-guling.

“Jangan mengadu senjata!” tiba-tiba terdengar Cu-ing melengking dan terus melayang ke belakang Li Giok- hou untuk menusuk punggung pemuda itu. Tetapi terlambat. Pedang Ular Emas telah berbentur dengan pusaka Keng-hun-pit yang termasyhur.

Seketika Siau Lo-seng rasakan sekujur tubuhnya kesemutan seperti terbentur aliran listrik yang keras. Dan tenaganyapun mendadak lenyap. Lengan bergetar, “tring…… pedang Ular Emas segera jatuh ke tanah. Dan orangnya pun sampai jungkir balik tiga kali.

“Budak hina, engkau minta mati?” bentak Li Giok-hou seraya taburkan Keng-hun-pit ke arah pedang, “Tring, tring, tring,” pedang dara itu seketika kutung jadi tiga. Tenaganya hilang sehingga ia tak dapat mengusai tubuhnya yang menerjang ke arah Li Giok-hou. 

Setelah berguling-guling sampai beberapa langkah, Siau Lo-seng melenting bangun. Sejenak ia berdiri merenung.

“Heran, ilmu kepandaian apakah yang digunakan Li Giok-hou sehingga dapat membuyarkan tenaga dalamku?” pikirnya.

Memang dia tak tahu bahwa sesungguhnya Keng-hun-pit sebuah senjata yang khusus untuk menghapus tenaga dalam musuh.

Melihat tubuh Cu-ing menjorok ke arah dadanya. Li Giok-hou tertawa iblis: “He, bagus, memang sudah lama kita suheng dan sumoay tak pernah bermesra-mesraan ”

Cepat ia ulurkan tangan untuk menutuk jalan darah dara itu lalu memeluknya.

Bukan kepalang marah Siau Lo-seng menyaksikan peristiwa itu. Segera ia memungut pedang Ular Emas lalu dengan meraung keras ia menghajar kepala Li Giok-hou dengan jurus Hujan bunga dan air.

Li Giok-hou tak gugup. Menyurut mundur dua tiga langkah ia segera mencengkeram kepala Cu-ing lalu berseru: “selangkah saja engkau berani maju anak perempuan ini tentu akan kubunuh dulu.”

Siau Lo-seng mati kutu terpaksa ia hentikan serangan.

“Li Giok-hou, kalau engkau kesatria lepaskan dia dan majulah kemari untuk bertempur lawan aku,” serunya.

Namun Li Giok-hou hanya tertawa menyeringai, serunya: “Karena engkau berkata begitu, aku justeru malah tak mau melepaskannya. Mau apa engkau?”

“Manusia pengecut yang tak tahu malu!” teriak Siau Lo-seng marah sekali.

“Silahkan memaki sepuasmu,” sahut Li Giok-hou seenaknya, “sebagai seorang tokoh durjana, masa aku sudi mendengarkan ocehanmu. Pertunjukan yang lebih seram, lebih ganas, akan menyusul lagi.”

Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri. Ketika kedua pemuda itu berpaling, tampak seorang baju hitam yang menyerang Hun-ing, terhuyung-huyung lima-enam langkah karena bahunya merekah luka yang besar.

Ang Piau marah sekali. Ia menyerang nona itu dengan jurus Laut marah naga muncul. Serangan itu dilancarkan dengan golok gergaji yang dilambari tenaga penuh.

Namun tubuh Hun-ing berlincahan dalam gaya mirip seekor kupu-kupu hinggap pada bunga. Sukar diduga oleh musuh. Dalam beberapa kejap dapatlah nona itu terlepas dari ancaman golok maut.

Setelah lolos, Hun-ing berputar-putar tubuh loncat sampai dua tombak. “Cret……” ia menusuk seorang baju hitam yang mengepungnya.

Serangannya gagal, Ang Piau makin marah. Dengan buas ia menyerang Hun-ing lagi. Jurus Menyapu ribuan pasukan dilancarkan tetapi tiba-tiba dirobah dalam jurus Angin menyapu daun gugur. Habis membabat, ia menabas.

Tubuh si nona yang semampai, bergeliatan indah sekali dalam gerak penghindaran yang aneh. Seiring dengan gerakan golok, tubuh nona itupun mencelat ke udara, berjumpalitan menukik ke bawah untuk membacok kepala dua orang baju hitam.

Karena tak sempat berjaga, kedua algojo baju hitam itu gelagapan. Untung mereka masih dapat menyurutkan kepala mengisar bahu untuk mundur ke belakang lalu balikkan goloknya menangkis.

Hun-ing rentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan tubuh yang masih melayang di udara. Ia menarik pedang, segera setelah golok lewat secepat kilat ia menusuk lagi ke bawah. Kedua algojo baju hitam itu terkejut dan cepat-cepat hendak menghindar. Namun tak urung bahu mereka telah termakan ujung pedang. Darah bercucuran membasahi lengan baju.

Dan ketika meluncur turun ke bumi, kembali Hun-ing menghadapi Ang Piau. Gerak permainan silat nona itu memang aneh sekali. Tubuhnya berlincahan segesit burung sikatan. Jelas nona itu menitik beratkan pada ilmu gin-kang atau ilmu Meringankan tubuh.

Bergantian nona itu menggunakan pukulan dan pedang untuk menghadapi Ang Piau dan tiga algjo baju hitam. Dan pertempuran itu berjalan dengan seru dan menegangkan sekali.

Dalam pada itu pada saat Li Giok-hou terkesiap, sekonyong-konyong Siau Lo-seng taburkan pedang Ular Emas dalam jurus Angin musim rontok menderu-deru. Dikala pedang telah membentuk lingkaran sinar yang deras Siau Lo-seng pun menyusuli pula dengan dua buah hantaman tangan kiri.

Tetapi Li Giok-hou memang teramat licin. Dia tak mau menangkis atau menghindar. Cepat-cepat ia mengisar tubuh Cu-ing untuk mengaling di mukanya.

“Bagus, kalau engkau tak takut melukai anak perempuan ini, silahkan engkau melanjutkan seranganmu,” ia tertawa mengejek.

Dengan mendesuh geram, terpaksa Siau Lo-seng hentikan serangannya. Kemarahannya memancar pada kedua biji matanya yang merah membara. Ia acungkan ujung Pedang Ular Emas ke muka lalu dengan pelahan, ia melangkah maju......

Bertatapan pandang dengan mata Siau Lo-seng yang berkilat-kilat itu, mau tak mau menggigillah hati Li Gok-hou. Ia menyurut mundur selangkah.

Tangan kiri tetap mencengkeram pergelangan lengan Cu-ing, sedang tangan kanan yang mencekal Keng- hun-pit, melekatkan ujung pit itu ke perut si dara, lalu membentak:

“Berhenti! Apabila engkau tetap maju, akan kuhancurkan isi perut nona ini!”

Tetapi biji mata Siau Lo-seng yang sudah membara hendak memancar api itu, agaknya tak mendengar ancaman itu dan tetap ayunkan langkah.

Li Gok-hou tergetar hatinya dan mundur lagi tiga langkah. Ia tutukan ujung Keng-hun-pit ke lengan Cu-ing yang terluka tadi.

Seketika dara itu menjerit ngeri…….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar