Pendekar 100 Hari Jilid 10

10.46. Panggilan Suara Seruling Aneh

Keadaan yang sunyi senyap di pos yang penting dari istana Ban-jin-kiong, menyebabkan Cu-ing dan Hun- ing heran.

“Karena Siau toako sudah datang lebih dulu ke sini, kemungkinan para penjaga tentu sudah dibasmi,” akhirnya Hun-ing menarik kesimpulan. Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia kagum atas kecerdasan Hun-ing yang dapat menduga sesuatu dengan tepat.

“Ya, memang mereka telah kuhancurkan semua, kita boleh keluar dengan aman,” akhirnya Lo-seng memberi keterangan.

Selekas keluar dari rumah pondok aneh itu, Lo-seng dan kedua gadis berada dalam lingkungan hutan lebat.

“Tampaknya hutan itu sunyi senyap tetapi sesungguhnya merupakan sebuah barisan yang hebat. Kita harus hati-hati,” kata Hun-ing.

“Tahukah kalian dimana sesungguhnya letak istana Ban-jin-kiong itu?” tiba-tiba Lo-seng bertanya.

“Memang mengherankan sekali,” kata Cu-ing, “tempat ini sudah termasuk lingkungan Ban-jin-kiong, tetapi mengapa tak tampak sebuah bangunan rumah? Apakah istana Ban-jin-kiong itu masih jauh dari sini?”

Kebalikannya Hun-ing memberi jawaban, “Dalam dunia persilatan tiada seorangpun yang tahu dimana letak istana Ban-jin-kiong itu. Dengan begitu jelas, istana itu merupakan sebuah tempat yang sangat rahasia. Tetapi menurut dugaanku, Ban-jin-kiong memang berada di sekeliling tempat ini. Bukankah demikian, Siau toako?”

Lo-seng tersenyum: “Benar, istana Ban-jin-kiong memang dibangun dalam hutan itu.”

“Ah, tak percaya,” Cu-ing gelengkan kepala, “kecuali istana itu dibangun di bawah tanah, barulah kita tak dapat melihatnya.”

“Bagus, adik Ing,” seru Hun-ing, “engkau memang cerdik benar.”

“Apa?” teriak Cu-ing terkejut, “benarkah istana itu berada di bawah tanah?” “Sst, ada seseorang akan keluar,” bisik Lo-seng tiba-tiba, “jangan bicara.”

Dengan cepat pemuda itupun sudah menyelinap ke bawah sebatang pohon. Kedua nona itupun mengikuti.

Saat itu terdengar derap langkah orang memberisik di tengah hutan. Sampai beberapa saat baru suara derap kaki itu berhenti. Tetapi anehnya dalam hutan tetap tak tampak sesuatu.

Baru setelah berselang lama sekali, terdengar suara orang berseru:

“Apakah keempatpuluh tujuh To-su sudah hadir semua?”

To-su di sini Algojo. Tetapi hal itu tidak mengejutkan Lo-seng bertiga. Mereka lebih terkejut ketika mendengar suara orang itu yang nadanya mereka kenal sebagai Li Giok-hou.

“Laporan kepada Sau-kiongcu bahwa keempatpuluh tujuh to-su sudah hadir lengkap,” seru seseorang dengan nada lantang.

“Jangan bergerak sembarangan. Hutan penuh dengan perangkap rahasia. Lebih baik kita tunggu saja di sini,” Lo-seng cepat menggunakan ilmu Menyusup suara untuk memberi peringatan kepada kedua nona.

Kembali terdengar Giok-hou berseru bengis.

“Ang Piu, selama ini Kiong-cu (kepala istana) selalu menghargai engkau. Bahkan keempatpuluh tujuh orang yang tergabung dalam regu Algojo telah dipercayakan kepada pimpinanmu. Bertahun-tahun lamanya, engkau memang telah melakukan kewajiban dengan bagus. Tetapi beberapa hari yang lalu ketika istana ini diterobos Bu Beng Lojin, boleh dikata seluruh anggauta algojo telah mendapat hukuman, kecuali engkau seorang. Dengan demikian engkau tentu tahu betapa besar rasa sayang Kiong-cu kepadamu.”

“Sau-kiongcu,” seru Ang Piu dengan nada parau,” sekalipun tubuh Ang Piu hancur lebur, tetap belum dapat menghimpaskan budi yang dilimpahkan Kiong-cu kepada diriku.”

Mendengar pengakuan orang yang bernama Ang Piu itu, diam-diam Lo-seng kerutkan dahi. Ia heran dan tak mengerti apakah yang menyebabkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi banyak yang tunduk dan patuh kepada istana Ban-jin-kiong.

“Tetapi hari ini Kiong-cu memerintahkan supaya engkau bersama keempatpuluh tujuh algojo itu mendengar perintahku. Ingin kuketahui, apakah engkau juga akan menumpahkan kepercayaan sepenuh yang engkau berikan kepada Kiong-cu?” “Ang Piu dan segenap anak buah barisan Algojo akan setia sampai mati kepada Sau-kiongcu!” seru kepala barisan Algojo

“Bagus, bagus! Li Giok-ho pun takkan mengecewakan harapanmu……” berhenti sebentar, ia melanjutkan pula, “Ang Piu, tahukah engkau apa maksudku mengumpulkan kalian di tempat ini?”

“Mohon Sau-kiongcu suka menjelaskan.”

Tiba-tiba suara Li Giok-hou berobah sarat, serunya:

“Kiongcu menitahkan supaya kita membunuh seorang yang dianggap sebagai musuh berbahaya dari istana Ban-jin-kiong. Asal orang itu sudah mati, Ban-jin-kiong pasti segera menjadi penguasa dunia persilatan. Maka keberangkatan kita kali ini, harus berhasil tak boleh gagal Apabila gagal, engkau, aku dan seluruh

barisan Algojo tentu akan dihukum berat oleh Kiong-cu. Mengingat tugas yang kita lakukan kali ini, amat berat sekali maka perlulah kujelaskan kepada kalian semua.”

Mendengar itu kembali Siau Lo-seng bertanya dalam hati: “Siapakah yang hendak mereka bunuh itu?” “Hari sudah malam mari kita berangkat,” seru Giok-hou pula.

Segera terdengar derap orang berbaris menuju ke arah barat hutan.

“Cici Hun, siapakah yang hendak mereka bunuh?” tanya Cu-ing sesaat kemudian. “Bagaimana aku tahu?” sahut Hun-ing.

“Apakah bukan Siau toako?” masih Cu-ing menegas.

“Sudah tentu mereka juga ingin membunuh Siau toako, kalau mampu,” sahut Hun-ing. Tiba-tiba nona itu berobah tegang, serunya: “Cepat kita kejar, mereka hendak membunuh peniup seruling itu!”

Hun-ing cepat mendahului lari keluar.

Lo-seng mencekal tangan Cu-ing, mengejar Hun-ing, serunya pelahan: “Adik Hun, aku saja yang berjalan di muka. Hutan ini merupakan sebuah barisan yang berbahaya.”

Dengan menggandeng kedua nona, Lo-seng gunakan ilmu lari cepat menerobos hutan. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah lereng gunung.

Saat itu matahari sudah hampir terbenam. Diam-diam Hun-ing menghela napas. Kiranya sudah  sehari penuh ia bersama Cu-ing terkurung dalam hutan. Apabila tidak bertemu Siau Lo-seng, tentu mereka berdua tak dapat keluar.

“Adik Hun,” tanya Lo-seng kepada Hun-ing, “dimanakah peniup seruling itu? Bagaimana engkau menduga kalau Li Giok-hou dan barisan Algojo itu hendak membunuhnya?”

“Benar, memang yang hendak mereka bunuh tentulah si peniup seruling,” jawab Hun-ing, “dalam kolong dunia hanya irama seruling itu mampu menyadarkan kembali orang yang telah kehilangan kesadaran pikirannya. Dengan begitu jelas menjadi momok dari pihak Ban-jin-kiong yang mempunyai ilmu Pelenyap kesadaran ”

Lo-seng dapat menerima penjelasan Hun-ing

“Oleh karena ketua Ban-jin-kiong itu hendak membunuh si peniup seruling maka jelas pihak Ban-jin-kiong terang tahu akan rahasia Siau toako kehilangan kesadaran pikiran,” Hun-ing menambahkan pula.

“Kalau begitu kita harus lekas-lekas membantu peniup seruling itu,” Lo-seng terkejut.

“Bila dugaanku tak salah, peniup seruling itu tentu berada di sekitar kuil tua sebelah luar kota Lok-yang, Karena disitulah Siau toako pertama kali berjumpa dan mendengar suara serulingnya,” kata Hun-ing.

Dalam pada bicara itu mereka bertigapun sudah berada di luar kota Lok-yang dan terus menuju ke arah timur.

Hun-ing memang seorang yang cerdas otaknya. Ia dapat menganalisa sesuatu dengan tepat dan atas dasar-dasar yang beralasan. Jauh di atas cakrawala yang raya, seperti berkumandang suara seruling beralun dalam irama yang lembut dan syahdu. Sehingga dapat mengetuk dan menggetar urat-urat hati yang lembut. Menghapus hati yang jahat menuju ke jalan yang benar.

Tiba-tiba suara kumandang seruling itu lenyap bersama hembusan angin.

“Siau toako, suara seruling lenyap,” teriak seorang dara baju hijau yang tengah berlari bersama seorang pemuda yang cakap.

Mereka bertiga hentikan larinya.

“Tidak adik Ing,” sahut pemuda yang tak lain adalah Siau Lo-seng, “seruling itu masih berbunyi dan seperti tengah memanggil aku.”

“Benarkah itu?” seru gadis cantik baju hitam atau Hun-ing dengan gembira, “kalau begitu dugaanku tak salah. Peniup seruling itu berada dalam kuil tua. Hayo, kita lekas ke sana!”

Tetapi Siau Lo-seng malah meragu. Mengapa peniup seruling itu hendak memanggilnya? Siapakah orang itu?

“Siau toako, mengapa engkau diam saja?” melihat Lo-seng tegak terlongong-longong, Cu-ing menegurnya.

Lo-seng menghela napas: “Adik Hun, dapatkah engkau memberi penjelasan, apa sebab peniup seruling hendak membantu aku?”

Hun-ing tertawa kecil.

“Itu sederhana sekali,” katanya, “kemungkinan dia tidak rela hati melihat seorang pemuda yang berbakat seperti engkau harus menderita nasib yang begitu mengenaskan. Dan kemungkinan kedua, mungkin dan hendak memperalat engkau.”

Sian Lo-seng kerutkan dahi.

“Kalau begitu, masih suatu pertanyaan apakah dia itu akan membawa bahagia atau mencelakai diriku. Bukankah begitu?” tanya Lo-seng.

Hun-ing mengangguk, katanya pula: “Tetapi betapapun halnya, kita tetap harus menemuinya.” “Baik,” sahut Lo-seng, “sudah tiga kali suara seruling itu memanggil aku. Mari kita ke sana.” Mereka segera lari menuju ke kuil tua.

“Orang itu mungkin bersembunyi di atas loteng ruang belakang dari kuil tua itu,” kata Hun-ing dengan berbisik.

Kiranya waktu mencari mayat Lo-seng yang hilang tempo hari, dia pernah masuk dan menyelidiki keadaan kuil itu. Hanya bagian loteng saja yang belum dimasukinya. Maka ia segera menduga bahwa peniup  seruling itu tentu bersembunyi di atas loteng.

“Benar, memang suara seruling itu berhembus dari atas loteng,” kata Lo-seng terus ayunkan tubuh ke udara, berulang menggeliat ke atas dan akhirnya dapat mencapai lankan (pagar besi) dari loteng atas.

Tetapi begitu kakinya menginjak lankan, tubuhnyapun gemetar dan setelah mulut mendesus ngeri, ia terus rubuh ke dalam ruang.

“Siau toako,” Hun-ing dan Cu-ing serempak menjerit kaget dan terus enjot tubuhnya melayang ke atas lankan.

Untuk menjaga serangan gelap dari orang yang berada dalam ruang loteng, lebih dulu Hun-ing melontarkan sebuah hantaman. Sementara Cu-ing melayang ke samping tubuh Siau Lo-seng.

Tetapi alangkah kejut Hun-ing ketika merasakan pukulannya seperti terbenam dalam lautan kapas. Ia tahu bahwa pukulannya itu telah dihapus oleh tenaga dalam sakti dari orang yang belum diketahuinya itu. Dan untuk menjaga orang itu hendak balas menyerang maka buru-buru Hun-ing pun menghindar ke sisi lankan.

Tetapi ternyata dalam ruang loteng itu tak tampak barang seorangpun juga.

“Cici Hun, urat nadi jantung Siau toako sudah putus...... dia sudah meninggal ” teriak Cu-ing. Hun-ing terkejut sekali dan cepat menghampiri. Kaki dan tangan Siau Lo-seng memang sudah kaku. Mulutnya mengumur darah, wajah pucat lesi. Buru-buru Hun-ing memeriksa pergelangan tangannya.

Ternyata urat pergelangan tangan pemuda itu sudah berhenti berdenyut. Hun-ing lekatkan telinga pada dada Lo-seng untuk mendengarkan debar jantungnya.

Pada saat itu tiba-tiba dari ruang loteng terdengar suara orang menghela napas rawan.

“Ah tak kira kalau ilmu kepandaiannya begitu tinggi. Hampir saja aku putus asa,” tiba-tiba terdengar suara orang tua berkata.

Hun-ing cepat berbangkit dan menghadap ke arah suara orang itu: “Locianpwe, apakah dia tak kurang  suatu apa?”

Suara parau dari seorang tua yang berada dalam ruang loteng itu kembali berkata: “Tolol, masakan aku akan mencelakai dirinya? Dia hanya pingsan karena terkena ilmu Siang-goan-sin-im (suara yang dapat melukai tenaga dalam). Bawalah dia masuk!”

“Locianpwe, apakah engkau bukan orang yang meniup seruling itu?” tanya Hun-ing pula.

Dalam pada bertanya itu, Hun-ing dan Cu-ing mencurahkan pandang mata ke arah orang tua itu. Di muka sebuah lonceng besar yang tersandar pada dinding, tampak menggunduk sesosok bayangan hitam.

Orang tua itu tertawa meloroh: “He, benar memang akulah yang meniup seruling itu.”

Dengan pelahan Hun-ing segera melangkah masuk dan memberi hormat kepada orang tua itu.

“Wanpwe Ui Hun-ing menghaturkan hormat kepada Cianpwe,” serunya. Tetapi ketika memandang kepada orang tua itu, seketika tergetarlah hatinya dan tanpa terasa ia menyurut mundur tiga langkah.

“Engkau....... engkau Bu Beng Lojin ini…… Kim-pou-sat ” serunya gemetar.

Saat itu Cu-ing sudah mengangkat tubuh Lo-seng dan hendak dibawa masuk. Tetapi demi mendengar teriakan Hun-ing, iapun menghentikan langkahnya.

Orang tua itu sendiripun tampaknya juga terkejut, serunya: “Apa? Kim-pou-sat? Apakah kalian telah bertemu dengan Kim-pou-sat?”

Rambut orang tua itu luar biasa panjangnya hingga sampai menutup kedua bahunya. Tubuh dan mukanya pun penuh ditumbuhi rambut yang lebat. Hun-ing segera menyangkanya sebagai Bu Beng Lojin yang bergelar Kim-pou-sat (Dewa Emas) karena amat mirip sekali.

Setelah menenangkan hatinya, Hun-ing memandang orang tua itu pula dengan seksama Dilihatnya tangan kiri orang tua tengah memegang sebatang seruling besi yang berwarna kehitam-hitaman.

“Ih, kalau menurut kata-katanya, dia bukan Kim-pou-sat. Entah benar entah tidak. Dan akupun tahu bagaimana maksudnya, Tetapi dia amat sakti. Dengan mudah sekali dia dapat merubuhkan  Siau toako ”

Hun-ing menimang-nimang dalam hati.

“Ya, kami memang pernah bertemu dengan Kim-pou-sat,” akhirnya Hun-ing menyahut, “adakah cianpwe kenal kepadanya?”

Tampak tubuh orang tua aneh itu menggigil. Seberapa saat kemudian baru ia berkata lagi: “Ya, aku kenal dengannya.”

Saat itu Cu-ing membawa masuk tubuh Siau Lo-seng.

“Locianpwee,” seru Hun-ing seraya mencurahkan pandang mata ke arah tubuh Lo-seng, “apakah locianpwce kenal kepadanya?”

Orang tua aneh itu tertawa pelahan.

10.47. Orang Tua Cacad Peniup Seruling

“Berpaling dan pandanglah ke belakang agar engkau segera tahu mengapa dengan kumandang irama seruling, aku mengejar jejak Siau Lo-seng,” katanya. “Locianpwe tentu mendengar bahwa Siau Lo Seng; memiliki ilmu untuk menciptakan mayat hidup. Dan locianpwe tentu tak sampai hati melihat seorang pemuda yang begitu berbakat bagus sampai mati secara mengenaskan. Maka dengan ilmu Cian-li-siang-seng (Kumandang seruling seribu lie) lalu membantunya untuk memulihkan kesadaran ”

Habis berkata nona itupun berpaling ke belakang dan ternganga mulutnya karena terkejut sekali.

“Sejak kedatanganmu bersama Siau Lo-seng di kuil tua ini. Apapun yang terjadi dan siapapun yang datang, telah kuketahui semua. Sampai akhirnya pemimpin Ban-jin-kiong melukai Siau Lo-seng, Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang muncul dan pergi lagi……, kemudian Siau Lo-seng minum persediaan pil beracunnya lalu memberi pesan kepadamu. Semua telah kudengar. ”

Sambil berkata orang tua aneh itu tiba-tiba menarik seutas tali. Jendela di sebelah barat pun segera terbuka.

“Lihatlah jendela itu,” katanya pula, “di belakang jendela itu merupakan ruang belakang di mana engkau bersama Pak-wan Taysu tengah menjaga mayat Siau Lo-seng. Semua gerak gerik kalian berdua selama enam hari menjaga mayat Siau Lo-seng, dapat kulihat melalui jendela itu ”

Apa yang dikatakan orang tua itu memang diakui Hun-ing kebenarannya. Diam-diam ia merasa heran mengapa kuil tua yang tampaknya tak terurus, ternyata mempunyai bangunan yang aneh. Setiap jendela dari ruang loteng itu tentu menghadap ke arah setiap ruang dari kuil bagian bawah. Dengan bersembunyi di atas loteng, sudah tentu orang tua aneh itu dapat melihat siapa saja yang datang ke kuil.

Orang tua peniup seruling itu melanjutkan pula: “Sudah tentu pada hari keenam ketika Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang mencuri mayat Siau Lo-seng, akupun dapat mengetahuinya...... coba, engkau lihat jendela di sebelah timur itu……”

Habis berkata dia terus menarik tali dan terbukalah jendela bagian sebelah timur.

Jendela itu menghadap ke arah lereng gunung di belakang kuil. Dari jendela itu dapat memandang jelas tumbuh-tumbuhan seluas tiga lie pada lereng gunung.

Menunjuk ke arah luar jendela, berkatalah orang tua aneh itu: “Leng Tiong-siang, setelah mencuri mayat Siau Lo-seng lalu berusaha meletakkan tubuh pemuda itu di gerumbul rumput lalu berusaha untuk membangunkan. Siau Lo-seng memang bangun tetapi dengan buas ia terus  menyerang  Leng  Tiong- siang ”

“Locianpwe,” tiba-tiba Hun-ing bertanya, “mengapa engkau tahu bahwa Siau Lo-seng sedang mempersiapkan diri untuk menjadi sebuah mumi?”

“Dari pembicaraanmu dengan Pek Wan Taysu tentu saja dapat kuketahui tentang soal itu,” sahut orang tua aneh.

“Jika demikian tentulah locianpwe juga tahu cara untuk menciptakan mumi itu,” kata Hun-ing. Orang tua aneh itu merenung sejenak.

“Walaupun aku tak tahu cara membuat mayat hidup,” kata orang tua aneh itu, “tetapi aku mengerti akan sumber-sumber dari aliran ilmu hitam yang terdapat dalam dunia persilatan. Ban-jin-kiong dan Lembah Kumandang serta Siau Lo-seng mendapatkan ilmu hitam itu  dari  sebuah  kitab  pusaka  Lian-hun-cin-  keng ”

Orang tua aneh itu berhenti sejenak untuk merenungkan sesuatu. Memandang ke atas wuwungan, ia menghela napas panjang.

“Kitab, pusaka Lian-hun-cin-keng itu,” katanya seorang diri. “pada empatpuluh tahun yang lalu telah dicuri oleh Pencuri sakti Ban Li-hong dari gedung Kiu-thian-sian-hu. Sejak itu entah berapa banyak kaum persilatan yang nekad dan kalap mengadu jiwa uutuk memperebutkan kitab itu, ah……”

Orang tua itu menghela napas lagi.

“Hai, apakah kitab itu berasal dari gedung Kiu-thian-sian-hu?” teriak Cu-ing.

Orang tua peniup seruling sejenak memandang Cu-ing lalu berkata: “Kalian tahu nama Kiu-thian-sian-hu tetapi tentu tak tahu partai persilatan apakah itu?” “Benar, locianpwe,” sambut Hun-ing, “memang sedikit sekali yang kami ketahui tentang peristiwa aneh dalam dunia persilatan. Apabila tak keberatan, sukalah locianpwe memberi petunjuk kepada kami.”

Tiba-tiba orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak.

“Banyak sekali hal-hal dalam dunia persilatan yang kalian belum pernah mendengar. Untuk menceritakannya, belum dalam tujuh hari tujuh malam dapat selesai. Karena kita masih dapat berkumpul lama, maka lain kali akan kubawakan cerita itu kepada kalian,” katanya.

“Sekarang ini,” katanya pula. “lebih dulu akan kujelaskan bagaimana caraku hendak menolong Siau Lo- seng. Agar kalian jangan curiga dan mengira aku bermaksud tak baik terhadap anak itu.”

Merah wajah Hun-ing karena isi hatinya dibongkar.

“Terima kasih atas dampratan locianpwe,” katanya dengan hati terbuka. “memang tadi aku mencurigai locianpwe. Tetapi kini setelah mengadakan pembicaraan singkat dengan locianpwe, kutahu locianpwe ini seorang budiman yang memperhatikan nasib dunia persilatan.”

“Engkau tak salah,” jawab orang tua peniup seruling. “memang dunia persilatan penuh dengan keculasan dan keganasan. Jangan mudah percaya pada setiap orang persilatan……”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,

“Pada saat Siau Lo-seng bertempur dengan Leng Tiong-siang, kuperhatikan sinar mata anak muda itu sudah berobah, menandakan bahwa pikirannya sudah lenyap dibius racun. Kalau dulunya dia seorang jahat dan kejam, dia tentu akan mengganas kepada siapa saja yang dijumpainya ”

“Karena tak sampai hati melihat dia akan mengganas dalam dunia persilatan maka locianpwe lalu menggunakan Irama Seruling sakti untuk mengembalikan kesadaran pikiran Siau Lo-seng,” Hun-ing menghela napas.

“Telah kukatakan,” kata orang tua aneh itu. “bahwa sesungguhnya Siau Lo-seng itu seorang pemuda yang berhati luhur dan berbudi. Kalau dia sampai menjadi seorang momok ganas, tentu harus disayangkan. Dan kuyakin, apabila aku berhasil menolongnya, kelak dia tentu akan menjadi bintang penolong bagi dunia persilatan. Karena itu aku tak sayang kehilangan tenaga dalam untuk menghamburkan irama Cian-li-sian-im (suara dewa dari seribu lie). Sebuah irama sakti dari ilmu nyanyian Kiu-thian-sian-yok (Nyanyian dewa di nirwana), untuk mengikuti dan menyembuhkan syarafnya yang telah rusak. Sesungguhnya aku sendiripun belum yakin kalau dapat menolongnya. Tetapi rupanya nasib seseorang itu sudah digariskan oleh Thian. Siau Lo-seng benar-benar dapat mengikuti suara irama serulingku dan mencari ke sini. Aku sendiripun heran.”

“Locianpwe, mengapa locianpwe tak mau langsung mengejar jejaknya saja?” tanya Hun-ing. Orang tua itu tertawa hambar.

“Kalau andaikata aku dapat tinggalkan tempat ini, alangkah senangnya hatiku ”

“Apa? Locianpwe ”

Orang tua aneh itu segera menyingkap rambutnya yang terurai ke tanah dan......

“Ih ” serentak kedua nona itupun menjerit tertahan.

Kiranya sepasang kaki sampai sebatas paha orang tua itu telah hilang. Dia seorang manusia yang hanya mempunyai gembung tubuh.

Diam-diam Hun-ing menimang: “Dia seorang sakti. Walaupun tiada mempunyai kaki tetapi masih dapat berjalan dengan kedua tangannya.”

Rupanya orang tua aneh itu dapat mengetahui hati Hun-ing, katanya: “Mungkin kalian tentu tak tahu bahwa urat nadi kedua tanganku ini juga telah diputuskan orang. Aku hanya mampu mengangkat benda yang ringan-ringan saja. Tetapi tak mampu menggunakan tanganku untuk berjalan.”

“Apa? Kedua tangan locianpwe juga lumpuh?” teriak Cu-ing terkejut.

Jawab orang tua aneh itu: “Kalau aku masih dapat berjalan seperti orang biasa, tentulah suasana dunia persilatan takkan begini gelisah, ah……”

Nada elahan napas orang tua itu penuh dengan tumpahkan rasa sesal dan kesedihan. Diam-diam Hun-ing menimang: “Kedua kaki dan tangannya lumpuh. Lalu siapakah yang melayani makan dan pakaiannya. Dia tentu sudah lama sekali menetap di tempat ini ”

Kalau Hun-ing hanya membatin, tidaklah demikian dengan Cu-ing. Dara itu masih bersifat kekanak- kanakan. Apa yang dipikirkan terus saja dikatakan.

“Locianpwe,” katanya. “tadi engkau mengatakan tak pernah pergi dari sini. Tetapi kuil ini berada di tempat belantara yang tak pernah didatangi orang. Lalu siapakah yang menyediakan makanan untukmu……”

“Kecuali kalian bertiga, siapa lagikah yang tahu aku berada di sini?” tiba-tiba orang tua itu terkejut. “Tidak ada lagi, locianpwe?” jawab Hun-ing

Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu. dalam hati diam-diam Hun-ing meragu: Hm, tadi Li Giok-hou telah menggerakkan anak buah barisan Algojo. Apakah mereka tidak akan datang kemari mencari orang tua peniup seruling ini?”

Tiba-tiba orang tua itu tertawa dingin dan berkata seorang diri, “Walaupun seluruh kaum persilatan di dunia hendak mencari aku si orang tua, tetapi hari ini baru kalian yang dapat kemari. Aku tak takut lagi kepada kalian ”

“Cici Hun, musuh datang!” tiba-tiba Cu-ing berseru terkejut.

Hun-ing cepat berpaling. Tampak di ruang muka muncul sesosok bayangan putih dan secepat sambaran kilat, bayangan itupun sudah menyelinap masuk ke bawah loteng. Dan terus enjot tubuh melayang ke atas lankan loteng.

Hun-ing terperanjat sekali. Ilmu meringankan tubuh dari orang itu luar biasa hebatnya. Karena gugup, ia melengking dan menghantam.

“Hun-ing jangan turun tangan,” tiba-tiba orang tua aneh itu berseru. Hun-ing buru-buru menarik pulang tangannya.

Dalam pada itu bayangan putih tadipun sudah menerobos ke atas loteng. Dan ketika memandang dengan seksama, Hun-ing dan Cu-ing menjerit kaget.

Ternyata benda putih itu bukan manusia melainkan seekor anjing bulu putih. Badannya kecil langsing, sepasang matanya merah emas dan bulunya lebat panjang sekali. Seekor anjing yang cantik rupanya.

Mulut anjing itu menggondol sebuah rantang bambu, berisi nasi dan masakan yang lezat, paha ayam serta buah-buahan segar.

Segera orang tua kaki buntung itu ulurkan tangan mengelus-elus kepala anjing putih.

“Sembilan tahun lamanya aku tinggal di sini dengan selamat tak kurang suatu apa. Adalah berkat bantuan anjing putih ini. Dialah yang setiap hari mengirim makanan untukku.”

Anjing putih kecil saat itu mendekam pada dada orang tua buntung dan menggonggong pelahan.

“Salju, engkau tadi terkejut, ya, kutahu,” kata orang tua buntung itu tertawa, “sekarang keluarlah meronda di sekeliling kuil ini. Bila ada orang yang masuk dalam lingkungan satu lie sekeliling kuil ini, lekaslah engkau memberi pertandaan.”

Agaknya anjing putih yang diberi nama Salju itu mengerti bahasa orang. Segera ia menyurut mundur dan sekali ayun, ia melayang turun ke bawah loteng. Pada lain kejap sudah hilang dari pandang mata.

Hun-ing dan Cu-ing tak henti-hentinya merasa heran dan kagum.

“Sungguh tak kira kalau di dunia terdapat bangsa anjing yang mengerti bahasa manusia,” kata mereka.

Sesaat kemudian orang tua buntung segera memerintahkan Cu-ing untuk membawa Siau Lo-seng kepadanya.

“Sebelum musuh datang, aku hendak berusaha untuk mengembalikan kesadarannya. Karena kalau dibiarkan berlarut-larut terlalu lama, mungkin akan mengganggu urat syarafnya,” kata orang tua buntung.

Cu-ing cepat-cepat meletakkan tubuh Siau Lo-seng dihadapan orang tua itu. Dan Hun-ing pun menyatakan akan melakukan apa saja yang hendak diperintahkan orang tua itu. “Baik,” kata orang tua buntung itu. “aku hendak gunakan ilmu suara sakti Sam-goan-sin-im untuk mengembalikan kesadaran pikirannya yang lenyap. Dalam pengobatan itu, akan memakan waktu cukup lama. Selama itu apabila musuh datang tentu akan mengganggu ketenangan pikiranku. Maka kuminta kalian menjaga tempat ini jangan sampai musuh dapat masuk.”

“Menilik kepandaianku yang rendah, aku kuatir tak mampu menghadapi musuh-musuh yang tangguh,” kata Hun-ing sejujurnya, “entah harus memakan waktu berapa lamakah locianpwe mengobati Siau toako nanti?”

“Setengah jam saja sudah cukup……”

Belum selesai berkata, tiba-tiba dari jauh terdengar anjing putih tadi menggonggong keras.

“Lekas kalian bantu si Salju. Rupanya musuh yang datang kali ini lihay sekali,” orang tua buntung terkejut.

Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat keluar dari jendela dan melayang turun ke bawah loteng. Dan sesaat  kedua nona itu pergi, ketiga jendela ruang loteng yang terbuka tadi pun serempak menutup sendiri.

Terdengar pula orang tua buntung itu mengantarkan suara perintahnya kepada Hun-ing dan Cu-ing,

“Sebelum jendela tengah dari loteng ini terbuka, apabila terdapat musuh yang bagaimanapun saktinya hendak naik ke atas loteng, kalian jangan sekali-kali mengejar ke loteng. Karena di dalam dan luar ruang loteng ini, aku telah mempersiapkan alat-alat rahasia yang pasti akan mampu menahan musuh.  Kalau kalian ikut naik ke loteng, tentu akan menderita akibat yang berbahaya.”

Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Tanpa memberi jawaban, kedua nona itu terus lari menuju ke arah selatan. Di tengah suasana malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara gonggong anjing yang melolong ngeri. “Anjing putih tentu menderita luka ” kata Hun-ing.

Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dan sesaat kemudian sesosok bayangan pun secepat kilat melayang tiba.

“Ciong Pek-to!” teriak Hun-ing sesaat melihat siapa pendatang itu.

Orang itu rupanya terkejut juga. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak. “O, Kukira siapa? Ternyata engkau Mo-seng-li...... ha, ha, ha ”

Ditingkah sinar rembulan, tampak orang itu memiliki bentuk kepala besar, muka tertutup brewok lebat tetapi kumisnya dipelihara tipis. Dia tak lain adalah Ciong Pek-to, murid murtad dari perguruan Siau-lim-si yang telah bernaung di bawah Jin-kian Pah-cu, pemimpin Lembah Kumandang. Ciong Pek-to diangkat menjadi salah seorang dari Su-tay-thian-ong atau Empat Raja dari Lembah Kumandang. Di antara keempat Thian- ong yang di bawahi Jin Kian Pah-cu. Ciong Pek-to lah yang paling tinggi kepandaiannya.

Sejak Siau Lo-seng menolong Hun-ing di luar kota Lok-yang yang lalu, selama beberapa bulan ini, orang- orang Lembah Kumandang tak menampakkan kegiatan lagi.

Bahwa dalam saat dan tempat seperti itu, tiba-tiba Ciong Pek-to muncul, diam-diam Hun-ing gentar hatinya.

“Mau apakah dia datang kemari? Ah, kiranya tak mungkin dia hendak mencari orang tua peniup seruling  itu,” pikirnya.

Cepat Hun-ing menghapus kerisauan hatinya dengan tertawa melengking:

“Kedatangan Tong-seng-thian-ong kemari tentulah mengemban titah Jin Kian Pah-cu untuk menangkap aku, bukan?” serunya.

Ciong Pek-to tertawa dingin.

“Budak setan, nyalimu sungguh besar sekali karena berani menghianati Pah-cu ha, ha….., jika mau, semudah orang membalikkan tangan saja aku dapat menangkapmu.” sahut Ciong Pek-to. “tetapi aku menyayangkan bakatmu yang luar biasa hebatnya itu. Jika engkau sampai dihukum mati oleh Pah-cu, bukankah sayang sekali? Maka kunasehatkan, lebih baik engkau insyaf dan mau ikut pulang ke Lembah Kumandang. Aku berjanji akan memohonkan pengampunan untuk dirimu.”

Pertanyaan Hun-ing tadi hanyalah untuk menyelidiki maksud kedatangan Ciong Pek-to. Setelah mendengar keterangan Ciong Pek-to, tahulah sudah nona itu bahwa Ciong Pek-to bukan bermaksud mencari orang tua buntung peniup seruling. Hun-ing tertawa mengikik, serunya,

“Ciong Pek-to! Kuingat engkau adalah seorang tokoh Lembah Kumandang yang paling ganas sendiri. Mengapa kali ini  engkau begitu murah hati,  hi. hi, kalau dugaanku tak salah, engkau tentu bermaksud

hendak memperalat aku, bukan?”

Belum Ciong Pek-to menjawab, terdengar gelombang suara anjing menggonggong. Mendengar itu serentak wajah Ciong Pek-to pun berobah tegang. Tetapi sesaat kemudian tenang kembali dan berpaling ke arah Hun-ing seraya tertawa gelak-gelak.

“Budak setan,” serunya, “aku sungguh kagum atas kepandaianmu yang seperti setan itu. Benar, aku memang hendak menggunakan tenagamu. Dengan begitu engkaupun dapat menebus dosa dengan pahala.”

Mendengar lolong anjing putih, diam-diam legahlah hati Hun-ing. Anjing itu tentu tak terluka. Tetapi tak diketahuinya, mengapa anjing itu menggonggong. Siapakah yang datang?

Ciong Pek-to memperhatikan gerak gerik si nona yang berpaling ke barat, arah suara anjing putih menggonggong. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak,

“Budak setan, jika engkau masih tetap tak mau sadar, kelak engkau tentu menyesal. Aku tak punya tempo bicara panjang lebar dengan engkau. Terserah kepadamu, mau menerima nasehatku atau tidak!”

Habis berkata Ciong Pek-to terus berputar tubuh dan melangkah pergi.

10.48. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin Siau-lim-pay

“Hai, hendak kemana engkau!” bentak Cu-ing seraya lintangkan pedangnya menghadang. Ciong Pek-to tertawa hina.

“Apakah harimau yang datang ke Lok-yang akan digigit oleh kawanan anjing kecil? Masakan budak-budak perempuan macam kalian berani menghadang aku?” serunya. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya menghantam.

Cu-ing pernah bertempur dengan Ciong Pek-to dan tahu bagaimana kelihayan orang itu. Ia tak berani menyambut melainkan menghindar ke samping lalu tusukkan ujung pedangnya ke lambung orang.

Saat itu suara anjing putih makin mendekat. Dan Hun-ing pun mendengar derap langkah orang dari arah barat. Suaranya yang gemuruh menandakan kalau berjumlah banyak.

Rupanya Ciong Pek-to tak bernafsu untuk bertempur. Ia loncat mundur sampai tiga tombak jauhnya.

“Murid penghianat itu berada di sebelah muka, hayo, kita kejar!” tiba-tiba terdengar suara orang berseru sarat.

Di bawah sinar rembulan remang. Hun-ing seperti melihat beberapa sosok bayangan orang berlarian mendatangi. Anjing putih si Salju pun tetap mengejar dan menggonggong.

“Anjing itu sungguh menjengkelkan sekali. Lebih baik dibunuh,” tiba-tiba terdengar salah seorang berseru. “Goan Ti sutit jangan melukai anjing itu!” kembali terdengar lain orang membentak.

Mendengar itu girang Hun-ing bukan buatan. Serentak ia berseru gembira: “Bukankah yang datang itu Pek Wan locianpwe?”

Selepas seruannya, dari empat penjuru berhamburan muncul delapan paderi berjubah kelabu.

Menyusul tampak seorang paderi jubah putih diiring oleh beberapa paderi. Paderi jubah putih itu bukan lain adalah Pek Wan Taysu.

“Omitohud!” seru Pek Wan Taysu demi melihat kedua nona, “Ui Pang-cu, Nyo Than-cu, bagaimana kabarnya?”

Saat itu delapanpuluh paderi Siau-lim-si tampak memenuhi sekeliling tempat itu. Mereka tegak dengan pejamkan mata. “Pek Wan Taysu, sungguh tepat sekali kedatangan taysu. Mengapa taysu cepat sekali sudah kembali dari gereja Siau-lim-si?” kata Hun-ing.

“Di tengah jalan kebetulan aku bertemu dengan Pek Hui sute yang tengah membawa anak murid dari Tat- mo-tong menuju ke Lok-yang. Segera kuberi keterangan tentang keadaan kota Lok-yang yang penuh bahaya itu. Lalu kuajak mereka untuk mencari nona berdua dan kebetulan bertemu dengan Ciong Pek-to si murid penghianat itu.”

Selesai mendengar keterangan dari Pek Wan Taysu, Hun-ing lalu berseru kepada anjing putih, “Salju, di sini aman, lekas engkau kembali ke tempat penjagaanmu. Kalau musuh datang, berilah pertandaan!”

Begitu mendengar perintah, anjing putih itu terus loncat pergi.

“Ui Pang-cu, darimana engkau memperoleh anjing yang begitu cerdik?” tanya Pek Wan Taysu karena heran anjing itu mengerti bahasa manusia.

“Bukan anjingku,” Hun-ing tertawa.

“Menilik kelihayan anjing itu, pemiliknya tentu seorang sakti,” kata Pek Wan pula.

Hun-ing tahu kalau paderi itu ingin menanyakan pengalaman si nona selama ini. Tetapi di depan sekian banyak anak murid Siau-lim-si, Hun-ing tak mau menceritakan tentang diri orang tua buntung.

“Entah bagaimana tindakan taysu hendak menindak murid penghianat Ciong Pek-to itu?” Cepat ia alihkan pembicaraan.

Pek Wan Taysu menyadari bahwa saat itu berpuluh anak murid Siau-lim-si tengah menunggu perintahnya untuk menangkap Ciong Pek-to. Maka iapun segera melangkah ke dalam kepungan menghampiri Ciong Pek-to.

“Ciong Pek-to, saat ini engkau sudah terkepung oleh barisan anak murid dari bagian Tat-mo-tong, Delapanpuluh satu jurus ilmu sakti dari Tat-mo, merupakan penunduk dari ilmu Hwat-lun-it-coan. Apakah engkau masih berani membangkang?”

Seruan Pek Wan Taysu itu dilontarkan dengan nada yang tegas dan bengis, penuh wibawa. Ciong Pek-to menengadahkan kepala tertawa,

“Pek Wan suheng,” serunya lantang. “jika puluhan tahun yang lalu engkau mengucapkan begitu, mungkin aku sudah rontok nyaliku menghadapi kedelapanpuluh satu barisan Tat-mo-tin. Tetapi ha, ha sekarang

Ciong Pek-to tak gentar!”

Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Kiranya kawanan paderi yang muncul itu adalah anak buah barisan Tat-mo- coat-ci-tin dari perguruan Siau-lim-si yang termasyhur. Walaupun dalam dunia persilatan dewasa itu para paderi Siau-lim-si dianggap golongan yang amat lemah kepandaiannya tetapi barisan mereka masih tetap menjagoi di kalangan persilatan.

Saat itu ke delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si tegak berdiri dengan mengangkat sebelah tangan untuk melindungi dada. Mereka pejamkan mata, pusatkan perhatian. mengikuti semua gerak gerik yang terjadi di tempat itu.

“Apa yang dikatakan oleh kaum persilatan bahwa gereja Siau-lim-si itu merupakan sumber dari ilmu silat di dunia persilatan kiranya memang bukan cerita kosong ” diam-diam Hun-ing menimang dalam hati.

“Ciong Pek-to……!” tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru sarat. “Ya, mengapa?” sahut Ciong Pek-to.

“Ciong sute, apakah engkau benar-benar tak mau insyaf?” seru Pek Wan Taysu dengan nada rawan, “engkau pasti sudah tahu bahwa sekali barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak, kedahsyatannya dapat merobohkan sebuah gunung. Andai sekalipun mendiang guru besar Tat Mo Cousu hidup, kiranya  tak mudah bagi beliau untuk keluar dari kepungan barisan itu.”

Hun-ing dan Cu-ing heran mengapa Pek Wan masih begitu sayang kepada Ciong Pek-to. Memang kedua nona itu tak tahu bahwa sesungguhnya Pek Wan dan Ciong Pek-to itu dahulu suheng dan sute. Hubungan mereka berdua amat baik sekali. Maka sekalipun Ciong Pek-to telah tersesat ke jalan gelap,  namun terdapat setitik cinta kasih persaudaraan dalam hati Pek Wan Taysu. Dan itu pula sebabnya mengapa Pek Wan Taysu masih berusaha untuk menasehati bekas sutenya itu. Ciong Pek-to tertawa congkak.

“Pek Wan Taysu, silahkan engkau menggerakkan barisanmu itu. Ciong Pek-to memang ingin tahu sampai dimanakah kedahsyatan dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termashur di kolong dunia itu!”

Benarkah Ciong Pek-to tak gentar? Ah, sesungguhnya dalam hati kecil, dia juga gemetar terhadap barisan itu. Sebagai bekas murid Siau-lim-si, ia tahu jelas akan kelihayan barisan itu.

Iapun tahu pula bahwa dalam beberapa puluh tahun mengapa perguruan Siau-lim-si tak pernah memunculkan tokoh yang menonjol, bukan karena sumber ilmu kepandaian perguruan itu lemah. Tetapi karena kesalahan dari para guru-guru perguruan itu yang setiap kali tentu menyimpan sebuah dua buah  ilmu sakti. Dengan demikian, apabila seorang ketua merahasiakan atau tidak mengajarkan, dua buah ilmu silat sakti, maka apabila berlangsung pergantian sampai beberapa ketua, tentulah makin lama makin berkurang ilmu kepandaian dari perguruan Siau-lim-si itu.

Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dan Lo-han-tin, merupakan barisan Siau-lim-si yang paling tangguh, Sejak Siau- lim-si berdiri ratusan tahun yang lalu, barisan itu tak pernah mengalami perobahan ataupun dikurangi jurus- jurusnya sehingga masih tetap utuh. Dengan begitu barisan itu masih tetap merupakan barisan yang paling ditakuti oleh seluruh kaum persilatan. Dan sejak ratusan tahun, belum pernah terdapat tokoh yang mampu membobolkan barisan itu.

Mendengar Ciong Pek-to tetap membangkang bahkan bersikap congkak, dengan sedih Pek Wan Taysu berseru: “Murid hianat! Sudah berpuluh tahun yang lalu, Siau-lim-si telah mencap engkau sebagai murid hianat yang tak dapat diberi ampun. Setiap murid Siau-lim-si, boleh membunuhmu tanpa urusan. Akupun juga tak dapat membuat pengecualian ”

Sehabis menumpahkan kemarahan, Pek Wan Taysu mulai memberi perintah kepada anak buah Tat-mo- tong supaya segera mengepung dan menghancurkan Ciong Pek-to.

Ke delapanpuluh satu paderi anak buah barisan sakti itu segera membuka mata dan mencurah pandang ke arah Ciong Pek-to.

Pada saat barisan itu bendak bergerak tiba-tiba terdengar anjing putih Salju menggonggong keras. Arahnya tak jauh dari kuil.

“Pek Wan Taysu, hentikan dulu barisan Tat-mo-coat-ci-tin!” cepat-cepat Hun-ing berseru. “Mengapa?” Pek Wan Taysu terkejut.

“Musuh telah tiba di ruang kuil…… dapat membahayakan jiwa Siau toako……” seru Cu ing terus lari.

“Sekarang tiada waktu untuk memberi penjelasan...... Harap taysu suka menghentikan barisan dan ajak mereka menjaga kuil saja ” habis berkata Hun-ing pun terus berputar tubuh dan lari.

Saat itu anak buah Tat-mo-tong sudah berhamburan mengambil tempat masing-masing. Sedang Ciong Pek-to tampak tegang.

“Anak murid Tat-mo-tong, hentikan gerakan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!”

Walaupun heran tetapi anak murid Siau-lim-si itu amat patuh pada perintah. Mereka segera berhenti dan mundur ke tempat semula.

Sekalian anak murid, ikutlah aku ke kuil tua itu,” seru Pek Wan Taysu pula, lalu mendahului melangkah.

Kedelapan puluh satu paderi Siau-lim-si itu pun segera membentuk diri dalam tiga kelompok dan mengikuti di belakang Pek Wan.

Yang masih tinggal di tempat itu hanya Ciong Pek-to seorang. Dia heran melihat perobahan itu. Tetapi secepat itu dia dapat menerka apa yang terjadi. Segera diapun mengikuti rombongan Pek Wan Taysu.

Setiba di muka pintu kuil, Pek Wan Taysu segera melihat bahwa di dalam ruang kuil yang bobrok itu, tampak sebuah tandu besar. Delapan pengawal baju putih berdiri di kedua samping tandu itu. Sedang delapan pengawal lain yang mengenakan baju merah, tegak berjajar menghadapi Hun-ing dan Cu-ing. Kedua nona itu menghunus pedang.

Di belakang kedua nona itu, anjing putih Salju siap menerjang musuh.

Segera Pek Wan Taysu membawa rombongan anak murid masuk ke dalam ruangan. Demi melihat rombongan Pek Wan muncul, Hun-ing menghela napas longgar. “Kim-pou-sat,” seru Hun-ing. “tengah malam datang ke kuil ini, apakah tujuanmu?”

Mendengar nama Kim-pou-sat seketika berobah cahaya muka Pek Wan Taysu. Serentak ia memandang ke arah orang yang berada dalam tandu itu. Hampir ia tak percaya bahwa orang berwajah aneh dalam tandu itu adalah Kim-pou-sat, salah seorang tokoh dari Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada empatpuluh tahun yang lampau!

Yang berada dalam tandu itu bukan lain yalah si kakek tua yang menyebut dirinya sebagai Bu Beng Lojin. “Budak setan,” seru Bu Beng Lojin, “siapakah yang mengatakan kepadamu bahwa aku ini Kim-pou-sat?”

Cu-ing tertawa mengikik, serunya: “Kim-pou-sat, sudahlah, tak perlu engkau main sembunyi kepala. Lain orang mungkin tak tahu engkau siapa, tetapi kami tahu dengan jelas. Tongkatmu Hok-mo-poh-sat-ciang tempo hari, masih disimpan di tempat guruku.”

Mendengar itu terkesiaplah Bu Beng Lojin.

“Siapakah gurumu?” beberapa saat kemudian ia baru menegur.

Belum Cu-ing menyahut, Hun-ing sudah mendahului, “Suhu dari adikku itu yalah salah seorang tokoh dari Empat Serangkai……. rahib sakti Tay Hui Sin-ni.”

Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada empatpuluh tahun berselang yalah: Ko Bok Taysu dari Siau-lim-si, Tay Hui Sin-ni dari perguruan Ko-bok-pay, Kim-pou-sat atau Dewa Emas Ang Siong-pik dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.

“Bagus, bagus,” seru Dewa emas Ang Siong-pik serta mendengar keterangan Hun-ing. “kiranya tongkatku itu telah ditemukan Tay Hui Sin-ni. Itulah sebabnya sampai tiga kali aku kembali ke lembah, tetap tak dapat menemukan.”

“Kim-pou-sat,” seru Cu-ing pula, “kalau engkau menghendaki tongkatmu, silahkan datang ke tempat  suhuku. Beliau tentu akan mengembalikan kepadamu.”

Cu-ing bermaksud hendak mengulur. Karena ia ingat bahwa orang tua buntung tadi memerlukan waktu setengah jam untuk menyembuhkan luka Siau Lo-seng.

“Sudah tentu aku menghendakinya,” Bu Beng Lojin tertawa dingin. “tetapi saat ini aku tak mungkin dapat engkau kelabuhi.”

“Locianpwe,” cepat Hun-ing berseru, “mengapa engkau bilang begitu? Hm, adikku dengan sejujurnya telah memberitahu kabar baik mengapa engkau malah salah paham.”

“Budak setan,” damprat Bu Beng Lojin atau Dewa emas Ang Siong-pik, “setiap hari aku berburu burung Gan, masakan biji mataku dapat dipatuk burung itu? Cobalah jawab, mengapa engkau menghadang jalanku?”

“Tempat ini sebuah kuil tua yang tak terurus, bukan jalan besar,” sahut Hun-ing dengan nada mengejek, “mengapa engkau datang kemari? Hendak mencari siapakah engkau ini?”

“Hm, kalau tak mau menyingkir, akan kusuruh pengawalku baju merah untuk mengusir engkau!” Bu Beng Lojin, menggeram.

“Kim-pou-sat, jangan menggertak orang,” seru Hun-ing, “ruangan kuil ini sudah menjadi milik dari partai Naga Hijau. Jawablah mengapa tengah malam buta engkau masuk kemari?”

Bu Beng Lojin tak mau berbantah dengan nona itu. Ia segera memberi perintah kepada barisan pengawal: “Baju Putih, angkatlah aku ke dalam dan suruh Baju Merah membuka jalan.”

Dengan cepat ke delapan pengawal Baju Putih itupun mengangkut tandu.

Hun-ing menyadari bahwa pertempuran dahsyat tak dapat dihindari lagi. Jelas Kim-pou-sat Ang Siong-pik hendak mengganggu orang tua peniup seruling.

Cepat nona itu meminta kepada Pek Wan Taysu: “Pek Wan Taysu, mohon taysu mencegah mereka masuk. Siau toako sedang menerima pengobatan ” Habis berkata Hun-ing dan Cu-ing segera tebarkan pedangnya menyerang kawanan pengawal Baju merah. Keduanya telah melancarkan ilmu pedang yang paling diandalkan.

Tetapi kawanan pengawal Baju Merah itu bukanlah tokoh-tokoh biasa. Salah seorang Baju Merah segera mainkan tombaknya dalam jurus Hun-hun-pang-gwat atau Menyiak awan memetik bulan, untuk menangkis serangan Hun-ing dan Cu-ing.

Hun-ing lebih lincah ilmu pedangnya. Sekali memutar tangan, pedangnya, menusuk ke kiri menabas ke kanan. Sekali gus ia menyerang empat anggauta pengawal Baju Merah.

Keempat pengawal Baju Merah terpaksa menangkis dengan tombaknya.

“Budak perempuan hina, matamu sungguh buta,” teriak salah seorang pengawal itu seraya luncurkan ujung tombak menusuk dada si nona.

Hun-ing menyadari bahwa ke delapan pengawal Baju merah itu bukan tokoh biasa. Mereka masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ia tak berani menangkis melainkan menyurut mundur.

Tetapi tombak pengawal Baju Merah itu laksana bayangan tetap mengikutinya. Ujung tombak pun sudah hampir mengenai dada Hun-ing.

Kejut Hun-ing bukan kepalang. Hendak menghindar sudah tak kuburu lagi. Untunglah pada detik-detik yang berbahaya itu, serentak terdengar seruan Pek Wan Taysu.

“Ui Pang-cu mundurlah. Biar mereka dilayani anak muridku!”

Ketika memperhatikan, tahulah Hun-ing bahwa saat itu anak buah Tat-mo-tong telah bersiap di seluruh sudut ruang kuil, mengepung tandu dan ke enambelas pengawalnya.

Diketahui pula oleh Hun-ing bahwa sembilan orang paderi Tat-mo-tong telah berhamburan datang. Salah seorang yang paling depan sendiri pun menghantam pengawal Baju Merah yang menyerang Hun-ing. Pengawal baju merah itu terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar dan tombaknya pun hampir terlepas.

Untunglah ke sembilan paderi Tat-mo-tong tak mau menyerang serempak. Kalau tidak, tentulah pengawal baju merah itu tentu menderita luka dalam.

Seorang pengawal baju merah terus hendak menerjang tetapi Kim-pou-sat Ang Siong pik cepat mencegahnya: “Berhenti! Engkau seorang tak mungkin mampu melawan delapan puluh satu paderi itu!”

Pengawal Baju merah itupun mundur.

“Ang sicu, Buddha benar-benar bermurah hati sehingga saat ini aku dapat berjumpa dengan sicu,” seru Pek Wan Taysu.

Kim-pou-sat tertawa dingin: “Hal, rupanya engkau hendak mencari aku?” Pek Wan Taysu geleng-geleng kepala,

10.49. Pertempuran Dua Barisan Sakti

“Aku ingin bertanya tentang kabar dan tempat dari suhuku Ko Bok Siansu,” seru paderi itu.

Ternyata setelah bertempur dengan Kim-pou-sat Ang Siong-pik, Ko Bok Siansu menghilang tiada kabar beritanya.

“Jika begitu engkau ini murid pewaris dari Ko Bok?”tanya Kim-pou-sat.

“Benar,” sahut Pek Wan Taysu, “berpuluh tahun aku telah berusaha untuk mencari jejak suhu dan Ang sicu, Tak sangka kalau hari ini dapat berjumpa di sini. Ingin kutanyakan keadaan dari suhuku itu.”

Belum Kim-pou-sat menyahut Cu-ing sudah mendahului melengking: “Pek Wan Taysu dahulu Ko Bok Siansu telah melemparkan Kim-pou-sat ke bawah jurang yang dalam sekali.”

“Nyo sicu, benarkah itu?” Pek Wan Taysu terkejut. “Lalu bagaimana dengan suhuku?” “Ko Bok Siansu merupakan tokoh yang paling cemerlang dari Empat Serangkai. Ilmu kepandaiannya jauh melebihi Kim-pou-sat, bagaimana peristiwa itu tak sungguh-sungguh terjadi? Tetapi bagaimana keadaan Ko Bok Siansu setelah pertempuran itu, aku tak tahu,” jawab Cu-ing.

Melihat Kim-pou-sat diam saja atas keterangan Cu-ing, diam-diam Pek Wan Taysu menimang dalam hati: “Ah, hal itu tentu benar. Jika demikian tentulah suhu masih hidup di dunia ”

Semula Pek Wan Taysu mengira kalau dalam pertempuran itu keduanya sama-sama binasa. Kini demi berjumpa dengan Kim-pou-sat, makin besarlah kecemasan hati Pek Wan Taysu bahwa suhunya (Ko Bok Siansu) telah mati di tangan lawan.

Selagi kedua orang itu berbicara, diam-diam Hun-ing mencuri pandang ke arah loteng. Tampak jendela loteng itu tertutup rapat. Diam-diam ia gelisah.

“Tadi orang tua peniup seruling itu mengatakan kalau memerlukan waktu setengah jam untuk mengobati Siau toako. Rasanya sekarang sudah lebih dari waktu itu. Tetapi mengapa jendela tetap tertutup? Adakah sesuatu yang terjadi pikirnya.

Dan makin gelisah pula hati nona itu ketika teringat akan pesan orang tua peniup seruling bahwa selama jendela belum terbuka, jangan sekali-kali naik ke loteng.

Hun-ing segera menunduk tak berani memandang loteng itu lagi.

Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin dan berseru: “Budak setan, mengapa engkau melihat ke arah loteng itu?”

Hun-ing terkejut.

“Apa katamu?” cepat ia menyelimuti ketegangan hatinya dengan tertawa melengking.

“Budak setan, jangan coba-coba main gila dihadapanku. Hm, memang sejak tadi telah kuperhatikan loteng itu aneh. Bilanglah sejujurnya. Peniup seruling yang bersembunyi dalam loteng itu sebenarnya orang yang bagaimana?”

“Lihay sekali,” diam-diam Hun-ing mengeluh dalam hati.

Pek Wan Taysu cepat menyadari bahwa kedua nona itu sedang merisaukan peniup seruling yang tengah mengobati luka Siau Lo-seng.

“Engkau menanyakan bagaimana bentuk orang itu?” Hun-ing tersenyum, “perjalanan dosa itu sempit sekali. Mungkin dia adalah orang yang paling engkau takuti. Maka lebih baik sekarang engkau lekas-lekas tinggalkan tempat ini.”

Nona itu memang tajam pikirannya. Ia teringat tempo hari, ketika mendengar suara seruling, Kim-pou-sat terus tergopoh-gopoh melarikan diri. Dan menilik ucapan Kim-pou-sat saat itu, dapat Hun-ing menarik kesimpulan bahwa Kim-pou-sat itu memang gentar terhadap orang tua peniup seruling.

“Pengawal Merah dan Putih lekas serbu loteng itu!” tiba-tiba Kim-pou-sat memberi perintah.

Selekas mendengar perintah itu, dengan membawa tandu, ke delapan pengawal Baju Putih itupun terus loncat sampai tiga-empat tombak.

“Hadang mereka!” teriak Hun-ing.

“Anak murid Tat-mo-tong, lekas hadang mereka dengan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!” Karena sudah terlatih baik, maka cepat sekali anak buah barisan itu sudah bergerak.

Pada saat ke delapan pengawal Baju Putih itu hendak ayunkan tubuhnya yang kedua kali, atau tiba-tiba tiga orang paderi Siau-lim sudah menyerang mereka.

Tetapi ke delapan pengawal Baju Merah itupun lihay sekali. Begitu ketiga paderi itu menghantam, ke delapan pengawal itupun sudah berbaris melindungi di muka tandu. Mereka serempak ayunkan tangan untuk menyongsong serangan lawan.

Tetapi barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Gerak perobahan mereka cepat dan sukar diduga. Begitu ke delapan pengawal Baju Merah menghantam, ketiga paderi itupun segera bergerak dan duapuluh tujuh anak buah barisan cepat menyurut mundur. Sebagai ganti dari kemunduran kelompok itu, tiga kelompok paderi serempak menyerang dari timur, selatan dan utara.

Kim-pou-sat tertawa dingin: “Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si walaupun hebat bukan kepalang tetapi belum tentu mampu melawan barisan Thay-kek-sam-cay-su-giong-ki-bun-tin dari ke  delapan pengawal Baju Merah.”

Baru dia berkata begitu, ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba berlincahan memainkan tombak dan melepaskan hantaman. Dengan cara yang sukar diketahui, ke delapan pengawal mampu menahan gelombang serangan tiga kelompok paderi yang menyerang dari tiga jurusan.

Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa ke delapan pengawal Baju Merah itu sedemikian lihaynya.

Sesaat kemudian ke delapan pengawal Baju Merah itupun telah menempatkan diri dalam kedudukan yang bagus sehingga terbentuklah sebuah rantai barisan yang kokoh.

Setelah barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak maka ke delapanpuluh satu paderi itupun mulai meluncur, bergerak-gerak kian kemari. Sambil bergerak, mulut merekapun bernyanyi kecil doa-doa keagamaan sehingga menimbulkan suatu suasana yang keramat.

Cu-ing, Hun-ing dan bahkan Pek Wan Taysu sendiripun ikut terkurung dalam kepungan barisan Tat-mo- coat-ci-tin. Apabila mereka tak lekas lolos tentulah akan ikut terlanda oleh barisan itu.

“Ui Pang-cu dan nona Nyo, ikutlah aku ke luar!” segera Pek Wan Taysu berbisik. Segera ia menyelinap di tengah kelompok paderi yang menghampiri maju.

Tindakan Pek Wan Taysu itu tak lepas dari pengamatan Kim-pou-sat. Cepat ia dapat mengetahui lubang kelemahan itu lalu berseru: “Baju Putih, lekas bawa tandu menerjang ujung barat!”

Dengan dilindungi oleh ke delapan pengawal baju merah, tandupun bergerak melakukan perintah. Tetapi barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Dari empat penjuru, anak buah barisan itu segera menyerbu untuk merintangi.

Melihat itu marahlah Kim-pou-sat. Serentak berdiri dan berseru: “Pengawal Merah dan Putih, aku hendak turun tangan sendiri.”

Tiba-tiba tubuhnya melambung ke udara dan melayang turun di luar barisan.

Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat menghadangnya. Pek Wan Taysu lepaskan dua buah pukulan Biat-gong-ciang. Hun-ing dan Cu-ing menyerang dengan pedang.

Tetapi Kim-pou-sat tak gentar menghadapi serangan ke tiga orang itu. Sekali bergeliat, ia menghindari pukulan Pek Wan Taysu lalu secepat kilat kedua tangannya direntang untuk menyambut pedang Hun-ing dan Cu-ing.

Seketika kedua nona itu rasakan pedangnya seperti tersedot oleh magnit (besi sembrani). Cepat-cepat mereka lepaskan pedang dan menyurut mundur. Pedang beralih di tangan Kim-pou-sat.

“Ah, dia terlalu tangguh bagi kita ” diam-diam Pek Wan Taysu menghela napas.

Kim-pou-sat tertawa gelak-gelak.

“Ang Siong-pik muncul kembali ke dunia persilatan tentu sudah membawa bekal keyakinan bahwa dunia persilatan akan dapat dikuasainya. Di kolong langit ini, siapakah yang mampu melawan aku, ha, ha, ha ”

Memang sejak bertemu dengan Kim-pou-sat, tahulah Hun-ing bahwa tokoh itu memang sakti sekali kepandaiannya. Tetapi ia tak dapat membayangkan bahwa tokoh itu ternyata berlipat ganda saktinya dari dirinya. Dan saat itu Kim-pou-sat telah berhasil menerobos loteng. Karena gugup, Hun-ing pun nekad. Tiba- tiba ia loncat menerjang Kim-pou-sat.

“Budak setan, apakah engkau benar-benar cari mati!” teriak Kim-pou-sat dengan bengis, lalu tabaskan pedangnya.

“Ui Pang-cu…… cici Hun……,” karena tak menyangka Hun-ing akan sekalap itu, Pek Wan Taysu dan Cu- ing serentak berteriak. Memang siapapun akan mengatakan bahwa kepandaian Hun-ing tentu kalah jauh dengan Kim-pou-sat. Tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang aneh.

Pada saat Kim-pou-sat tabaskan pedang, entah bagaimana, tiba-tiba pedang itu berhenti dan terlepas jatuh ke tanah.

“Irama maut……” Kim-pou-sat menjerit tetapi ia tak dapat melanjutkau kata-katanya, pukulan Hun-ing telah mendarat di tubuhnya.

Hun-ing telah mengerahkan seluruh tenaga dalam pukulannya hingga pukulan itu dahsyatnya bukan alang kepalang. Ibarat mampu untuk menghancurkan bukit.

Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa pukulannya itu seperti jatuh ke dalam lautan kapas yang lunak sekali.

“Celaka.......!” diam-diam ia mengeluh dan hendak menarik tangannya. Tetapi serempak pada saat itu sebuah arus tenaga yang sedahsyat gelombang laut telah mendampar tangannya lalu melemparkan tubuhnya sampai dua tombak jauhnya.

“Bum. ”

Tubuh nona itu terbanting di tanah, mulutnya menyembur darah segar......

Melihat itu, Cu-ing menjerit ngeri. Dengan menumpahkan seluruh tenaga, ia segera hantamkan kedua tangannya kepada Kim-pou-sat.

“Cisss ” dalam pada itu Pek Wan Taysu pun memgembor keras dan tusukkan jarinya dengan ilmu jari

Kim-kong-ci, ajaran Siau-lim-si yang lihay.

Tampak Kim-pou-sat Ang Siong-pik tengah memandang terlongong-longong ke arah loteng. Sekujur bulu romanya tegak meregang dan tubuhnyapun agak menggigil. Tampaknya tidak menghiraukan sama sekali atas serangan kedua orang itu.

“Bum, bum…… cess, cess ”

Susul meuyusul terdengar suara mendesis ketika pukulan dan tusukan jari mengenai tubuh Kim-pou-sat. Tetapi menyusul kemudian terdengar pula erang tertahan.......

Tenaga dalam yang dipancarkan dalam ilmu jari Kim-kong-ci dan tenaga dalam pada pukulan yang dilancarkan Cu-ing memang dengan tepat telah menemui sasarannya. Tetapi kedua orang itu telah dilanda oleh tenaga mental yang dahsyat sehingga keduanya terpental mundur sampai tujuh-delapan langkah,

“Huak.......” Cu-ing muntah darah. Wajahnya pucat seperti mayat dan tubuh terhuyung-huyung hendak rubuh.

Sedangkan Kim-pou-sat hanya tergetar dua-tiga kali saja tetapi tetap berdiri tegak sambil terus memandang ke arah loteng. Sedikitpun ia tak merasakan suatu kejadian apa-apa.

Kali ini Pek Wan Taysu benar-benar tak terperikan kejutnya. Dia adalah salah seorang paderi Siau-lim-si angkatan tua. Memiliki kepandaian silat yang sakti dan tenaga dalam yang tinggi. Apalagi ilmu jari Kim- kong-ci itu termasuk salah sebuah ilmu pusaka dari perguruan Siau-lim-si.

Kim-kong-ci digerakkan oleh seorang tokoh semacam Pek Wan Taysu, tentulah hebatnya bukan kepalang. Tetapi ternyata bukan saja Kim-pou-sat tak mau menghindar, pun bahkan dia diam saja menerimanya.

Hampir Pek Wan Taysu tak percaya apa yang dilihatnya saat itu. Sesaat kemudian ia menghela napas rawan……

Saat itu barisan Thay-kek-liang-gi-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan pengawal Baju Merah telah terkepung oleh barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang terdiri dari delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si. Tetapi  sekalipun begitu masih belum tampak, mereka berhantam. Masing-masing masih bersiap-siap menunggu.

Dengan memegang tombak, ke delapan pengawal Baju Merah itu berdiri berpencaran. Sepintas pandang seperti tak teratur. Tetapi bagi pandang mata seorang ahli silat, jelas dapat diketahui bahwa mereka itu masing-masing menduduki tempat yang paling menguntungkan dan paling strategis.

Tempat-tempat yang dijaga oleh ke delapan pengawal Baju Merah itu merupakan mata rantai pertahanan sebuah barisan yang amat ketat sekali. Sedangkan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari paderi Siau-lim-si itupun juga merupakan barisan baja yang kokoh. Dengan wajah serius, kedua tangan dilintangkan untuk melindungi dada, mereka membentuk diri dalam tiga kelompok dan mengepung musuh rapat sekali.

Saat itu kedua belah pihak sama-sama siap. Tetapi hal itu menghamburkan semangat dan ketegangan syaraf. Jauh lebih menyiksa daripada pertempuran dengan pukulan atau senjata. Siapa yang tak kuat urat syarafnya dan lengah perhatian tentu akan hancur.

Demikian pada saat suasana diliputi oleh ketegangan dan kegentingan, sekonyong-konyong terdengar suara tawa yang meledak keras. Suara tertawa itu berasal dari mulut Ang Siong-pik. Nadanya sedemikian tajam hingga memekakkan telinga sekalian orang......

Walaupun Pek Wan Taysu sudah berjaga-jaga namun tak urung darahnya masih bergejolak keras. “Tenaga dalam yang hebat sekali,” diam-diam ia menghela napas.

Selesai tertawa, Kim-pou-sat berseru pelahan-lahan:

“Barisan Thay-kek-jiang-gi-su-giong-ki-bun-tin hari ini benar-benar telah bertemu tandingannya......, kalau terus menerus begitu walaupun sampai sepuluh hari sepuluh malam tentu takkan ada kesudahannya. Mungkin aku akan kehilangan muka yang tua ini ”

Walaupun ucapan itu seperti orang berkata seorang diri, tetapi setiap patah kata terngiang jelas pada telinga setiap pengawal Baju Merah. Serentak barisan baju merah itu dapat menangkap maksud tuannya.

Serempak mereka menggembor keras lalu menyerang dengan tombak. Sambil menyerang mereka berpindah-pindah tempat beberapa kali.

Karena lawan bergerak maka barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun mulai bergerak. Berpuluh gelombang tenaga pukulan bergulung-gulung melanda musuh.

“Bum, bum. ”

Terdengar letupan keras disusul oleh hamburan pecahan batu dan pasir yang bertebaran ke empat penjuru. Bumipun seolah bergoncang.

Adu tenaga itu segera memberi hasil. Ke delapan pengawal Baju Merah tak kuat menahan gelombang pukulan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin. Barisan mereka kacau.

Suatu ciri istimewa dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termasyhur itu yalah sekali bergerak, tentu akan terus bergerak tak henti-hentinya.

Demikianpun saat itu. Setelah membuka penyerangan, barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun terus bergerak-gerak. Makin lama barisan makin menyempit kecil dan langkah kaki anak buah barisanpun makin deras.

Rupanya ke delapan pengawal Baju Merah itu kehilangan pimpinan. Mereka mengikuti gerakan barisan lawan.

Melihat itu diam-diam Pek Wan Taysu gembira sekali.

“Ang sicu,” serunya kepada Kim-pou-sat, “Buddha bersifat kasih sayang. Apabila engkau suka tinggalkan tempat ini, akupun segera akan menghentikan barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu dan melepaskan anak buahmu. Apabila tidak. ”

“Apakah engkau hendak membaca khotbah kepadaku?” tukas Kim-pou-sat dengan tertawa mengejek, “apakah engkau sudah yakin bahwa barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu akan dapat mengalahkan mereka?”

Pek Wan Taysu kerutkan alis,

“Ang sicu, rupanya engkau tetap tak sadar. Ketahuilah bahwa sejak Siau-lim-si berdiri ratusan tahun yang lalu, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari barisan itu. Adakah sicu anggap dengan  kelompok barisan kecil Thay-kek-jiang-gi-su-giong-tin itu akan mampu memecahkannya? Apakah tidak seperti telur membentur tanduk?”

Tiba-tiba Kim-pou-sat berseru memberi perintah kepada barisan pengawal Baju Merah itu: “Melangkah ke Tiong-kiong, serang Li-bun, terjang Gan-wi…… akan kubantu kalian……”

Habis berkata, dia terus melayang ke sayap kanan barisan Tat-mo-coat-ci-tin lalu serentak mengangkat tangan kanannya, segelombang arus tenaga dahsyat segera melanda tiga orang paderi. 

10.50. Elahan Napas Panglima Kalah Perang

Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut dan cepat-cepat gerakkan kedua tangannya untuk melepaskan ilmu jari Lo-han-ci-keng.

“Dar…….”

Terdengar letupan keras dan ketiga paderi itupun muntah darah, tubuhnya terlempar sampai tiga tombak jauhnya. “Bum. ” jatuhlah mereka terbanting ke tanah untuk tak bangun selama-lamanya.

Terbukanya sebuah lubang pada barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu cepat-cepat ditutup oleh anak buah barisan. Tetapi karena lubang kelemahan itu maka pengawal Baju Merahpun mendapat angin. Dari diserang kini balas menyerang.

Ke delapan pengawal Baju Merah itu mainkan tombaknya dengan deras dan dahsyat. Tampaknya gerakan mereka hanya biasa saja tetapi ujung tombak mereka selalu menusuk pada ulu hati lawan.

Serangan gencar itu telah membuyarkan konsentrasi pikiran anak buah Tat-mo-coat-ci-tin. Ke tujuhpuluh delapan paderi serempak mundur sampai lima-enam langkah lalu menyusun barisan jadi dua lapis.

Ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba bergerak menyerang. Kedua Lapis barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu segera memencar. Berpuluh hantaman berhamburan melanda ke arah delapan pengawal Baju Merah.

Barisan baju merah berputar-putar dan memecah diri dalam dua deret. Deret yang kiri mencekal tombak dengan tangan kiri. Deret kanan mencekal tombak dengan tangan kanan. Dua orang yang berada paling depan, mengacungkan tombaknya lurus ke muka. Dalam bentuk barisan yang aneh itu, mereka lalu menyerbu.

Gerak perobahan barisan itu dilakukan dengan serba cepat sekali. “Bum, bum, bum. ”

Dari empat penjuru, angin pukulan dahsyat menderu dan ke delapan pengawal Baju Merah itupun tersurut mundur tiga langkah lagi.

Barisan Tat-mo-coat-ci-tin memang tak bernama kosong. Dalam sekejap saja, mereka telah mengurung lawan lagi.

Ketujuhpuluh delapan paderi itu segera bergerak berputar-putar sambil mengucapkan doa nyanyian dengan pelahan. Nyanyian itu menimbulkan semangat keberanian menyala-nyala.

Tiba-tiba nyanyian itu makin cepat dan gerak barisan paderi itupun bertambah cepat pula.  Lingkaran mereka makin lamapun makin menyempit kecil.

Melihat itu berobahlah cahaya muka Kim-pou-sat. Ia tertawa nyaring dan panjang.

“He, hebat benar nyanyian doa puji itu,” serunya, “tetapi cobalah dengarkan nyanyian Rintihan lblis. Lihat saja siapa yang lebih unggul.”

Habis berkata ia terus memberi komando, “Mulailah!”

Kedelapan barisan Baju Putih itu segera mengambil seruling besi dari pinggang masing-masing lalu mulai meniupnya.

Serentak melengkinglah di udara suara seruling yang nyaring tinggi. Iramanya terpecah menjadi dua. Membubung seperti asap dan bernada tinggi seperti kumandang guruh menggema di udara.

Kedua nada itu bersatu dalam suatu paduan yang serasi.

Beberapa saat kemudian, suara seruling dapat mengatasi doa nyanyian dari barisan paderi.

Sekalian orang seperti terbawa ke alam yang hampa, sunyi. Dan tubuhpun ikut lemas lunglai, kaki melentuk.

Demikian yang dirasakan oleh barisan paderi dari Tat-mo-coat-ci-tin. Semangat tempur mereka yang menyala-nyala tadi, seketika padam seperti tersiram air dingin. Dalam detik-detik yang gawat itu, sekonyong-konyong melengkinglah sebuah suara seruling lagi. Tetapi bukan berirama seperti seruling pengawal Baju Putih, melainkan melantangkan irama tersendiri yang aneh.

Sayup-sayup...... halus lembut...... hilang-hilang terdengar. menyusup lemah ke dalam telinga.

Seketika Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing rasakan semangatnya segar kembali. Buru-buru mereka pusatkan tenaga dalam, tenangkan diri lalu memandang ke tengah gelanggang.

Ternyata pada saat barisan paderi itu kehilangan semangat, ke delapan pengawal Baju Merah serentak berhamburan loncat melampaui kepala barisan lawan dan lolos dari kepungan mereka.

Serempak pada saat itu, suara seruling yang berirama aneh itupun lenyap. Menyusul irama seruling dari pengawal Baju Putih lalu nyanyian doa dari barisan paderi pun berhenti.

“Bluk, bluk… ”

Dalam barisan Tat-mo-coat-ci-tin telah terjadi beberapa perobahan. Sebagian besar anak buahnya berhamburan rubuh ke tanah.

Tetapi di lain pihak, ke delapan pengawal Baju Putih itupun muntah darah. Wajah mereka pucat lesi seperti orang yang menderita luka.

Seketika berobahlah warna muka Kim-pou-sat melihat peristiwa itu. Dia tahu bahwa anak buahnya telah menderita serangan ilmu suara sakti yang disebut Siang-goan-sam-jiok atau Tiga nada penghancur tenaga murni.

Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin.

“Hm, memang sudah kuduga tentu berada di loteng. Sekalipun engkau gunakan ilmu Cian-li-coan-im untuk menutupi tempatmu, tetapi jangan harap dapat mengelabuhi aku ”

Cian-li-coan-im artinya Menyusupkan suara sampai seluas satu lie.

Habis berkata Kim-pou-sat terus apungkam tubuhnya ke udara. Laksana seekor burung garuda ia melayang ke atas loteng.

Pek Wan Taysu dan Cu-ing berhamburan melepaskan pukulan dan tutukan jari. Tetapi gerak layang Kim- pou-sat jauh lebih cepat. Kedua orang itu tak mampu menghalanginya.

Kim-pou-sat melayang ke arah jendela di bagian tengah. “Bum……”

Tiba-tiba daun jendela itu terbuka sendiri dan selarik sinar emas segera meluncur keluar.

Kim-pou-sat Ang Siong-pik menjerit kaget dan dengan gerak Ikan le-hi berjumpalitan, ia buang tubuhnya ke atas dan berjumpalitan melayang turun ke bumi lagi.

“Siau toako dia sudah sembuh!” tiba-tiba Cu-ing berteriak.

Sejak menderita luka dalam dari Kim-pou-sat, Hun-ing hanya tegak mengawasi pertempuran seraya mengatur pernapasan untuk mengobati lukanya. Ketika mendengar teriakan Cu-ing, ia terkejut dan mengangkat muka memandang ke arah loteng.

Ah, memang benar. Jendela di tengah loteng itu terbuka lebar dan Siau Lo-seng tegak berdiri di belakang pagar lankan. Wajahnya merah segar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sambil mencekal pedang, pemuda itu berdiri dengan gagahnya.

“Apakah Siang-goan-sam-jiok itu engkau yang melancarkan?” seru Kim-pou-sat kaget-kaget heran.

Tetapi Siau Lo-seng tidak menjawab melainkan balas bertanya: “Ang locianpwe, apa maksudmu membuat gaduh di tempat markas cabang Naga Hijau sini?”

“Aku bertanya kepadamu, dengar tidak!” bentak Ang Siong-pik murka.

“Ang locianpwe,” seru Siau Lo-seng, “jangan keliwat unjuk kegarangan untuk menggertak. Sebenarnya aku menghormati engkau tetapi janganlah engkau terlalu menekan orang. Walaupun kepandaianku rendah tetapi aku tak gentar meminta pelajaran dari locianpwe.” Kemarahan Kim-pou-sat makin meluap-luap. Matanya merentang lebar seolah mencurah api yang ingin menghanguskan tubuh Lo-seng.

“Baru pertama kali ini ada orang yang berani menantang aku,” serunya sesaat kemudian, “apabila hal ini terjadi pada empatpuluh tahun yang lalu, aku tentu segera membunuhmu ah, beritahukanlah kepadaku

darimana engkau mempelajari ilmu Suara Siang-goan-sam-jiok itu dan aku takkan menyusahkan engkau lagi.”

Siau Lo-seng agak terkesiap lalu balas bertanya: “Siang-goan-sam-jiok? Apakah ilmu itu?” “Apa? Suara seruling itu bukan engkau ”

“Masakan aku bohong,” tukas Lo-seng.

Kim-pou-sat bersangsi sejenak lalu berkata pula: “Memang aku tak percaya. Suara seruling itu jelas berasal dari dalam loteng Siau Lo-seng, apakah engkau mengijinkan aku menjenguk dalam ruang loteng itu?”

“Tidak!” sahut Lo-seng, “tempat rahasia dari Naga Hijau masakan boleh dimasuki sembarang orang-” Kim-pou-sat mendengus dingin.

“Ngaco,” bentaknya. “engkau memang hendak mempermainkan aku.”

Saat itu Hun-ing menghampiri ke sisi Pek Wan Taysu dan berbisik: “Paman, rupanya Kim-pou-sat berkeras hendak menyerbu ke dalam ruang loteng itu. Adakah Siau toako mampu menghadangnya?”

Pek Wan Taysu kerutkan alis, ujarnya: “Dalam ilmu kepandaian, rasanya Lo-seng masih kalah. Tetapi saat ini dia berada di atas loteng sedang Kim-pou-sat di bawah. Tentu tak mudah bagi iblis itu untuk melayang ke atas.”

Tepat pada saat itu, Kim-pou-sat pun menggembor keras dan terus melambung ke udara. Pada saat melayang itu diapun gerakkan kedua tangan untuk melepas pukulan.

Siau Lo-seng kerutkan dahi lalu membentak kuat-kuat, Pedang Ular Emas segera ditaburkan untuk menyongsong angin pukulan lawan.

Tetapi Kim-pou-sat tak gentar. Dia maju terus dan ulurkan tangannya untuk menyambar pedang.

Seketika Lo-seng terkejut sekali karena pedangnya serasa disedot oleh suatu tenaga penyedot yang amat kuat. Hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya.

“Hebat, ilmu apakah ini?” diam-diam ia bertanya dalam hati.

Pada saat Lo-seng termangu, tubuh Kim-pou-sat pun meluncur maju dan kakinya sudah menginjak lankang.

Lo-seng gelagapan tersadar. Dengan menggembor keras ia menarik mundur pedang lalu menusukkannya ke muka.

Kim-pou-sat tak berani berayal. Cepat ia injakkan kaki untuk mengantar tubuh melambung ke atas sampai tiga tombak tingginya. Setelah menghindari tusukan pedang ia bergeliatan di udara lalu dengan gerak Harimau lapar menerkam kambing, ia meluncur turun menerkam lawan.

Lo-seng mendengus dingin. Cepat ia balikkan pedang Ular Emas ke atas, memutar-mutarkan tiga lingkaran lalu berhamburan menusuk tiga buah jalan darah penting di tubuh Kim-pou-sat.

Jurus permainan pedang itu, bukan saja aneh dan luar biasa, pun jarang tampak dalam dunia persilatan. Dan serangannya rapat sekali sehingga jalan penghindaran lawan terhadang semua.

Tetapi Kim-pou-sat itu memang seorang iblis tua yang lihay. Dalam ancaman bahaya yang begitu tajam, dia masih dapat bersuit keras lalu bergeliatan melambung tiga tombak lagi ke atas. Tiba-tiba ia merentang kedua tangan untuk menghentikan gerak luncurannya dan sekali kedua tangan menekan ke bawah maka iapun menukik turun untuk menerkam Lo-seng lagi.

Gerakan Kim-pou-sat Ang Siong-pik itu benar-benar hebat sekali. Selagi masih melayang di udara ia dapat pula bergeliatan naik dan meluncur turun, benar-benar suatu ilmu kepandaian yang jarang terdapat di kalangan kaum persilatan.

Tokoh berilmu tinggi macam Pek Wan Taysu, sampai terlongong kesima…… Terdengar suitan nyaring dan dering melengking dari kedua orang yang beradu kesaktian itu.

Siau Lo-seng mengerang tertahan. Sinar pedangnya lenyap, kaki terhuyung-huyung mundur sampai lima- enam langkah.

Kim-pou-sat Ang Siong-pik pun mendesuh tertahan juga. Tubuhnya yang tinggi besar terlempar sampai tiga tombak dan meluncur jatuh ke tanah.

Peristiwa itu telah berlangsung terlampau cepat sekali sehingga tiada seorangpun yang tahu jelas apa yang telah terjadi sebenarnya.

Segera ia mengangkat muka memandang ke atas.

Ah, Siau Lo-seng tegak di ambang jendela. Mencekal pedang dan memandang ke arahnya.

Tiba-tiba Kim-pou-sat Ang Siong-pik menghela napas panjang. Elahan napas dari seorang panglima yang kalah perang......

Ternyata dia telah salah menafsir kepandaian si anak muda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa lawannya yang masih muda itu akan mampu menangkis ilmu pukulan sakti Jong-kiong-sam-si atau tiga jurus pukulan cakrawala.

Renungan seorang pahlawan tua akan masa kejayaannya, merupakan suatu kenangan yang memilukan. Demikian keadaan Ang Siong-pik saat itu. Dan hanya dalam beberapa kejap saja, ia sudah merasa bertambah tua beberapa tahun. Dia pun menyadari bahwa masa itu bukanlah jamannya.

Suasana hening lelap meliputi kedua tokoh yang tengah saling pandang itu. Seorang tokoh tua yang menyadari kedudukannya dan seorang tokoh muda yang tengah menjulang naik semangat remajanya.

Entah berselang beberapa lama keadaan itu berlangsung, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling dalam irama yang aneh. Nadanya bening jernih, merdu menyedapkan telinga. Seolah-olah seperti gemercik air mengalir.

“Suara seruling yang luar biasa anehnya,” seru Cu-ing. “Seperti berasal dari sebelah tenggara,” sahut Hun-ing.

“Benar,” kata Pek Wan Taysu, “memang berasal dari arah tenggara...... tiga lie jauhnya, aneh…… mengapa……?”

Rupanya Pek Wan Taysu seperti menyadari sesuatu hal maka tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Siau Lo-seng masih tegak memandang Kim-pou-sat dengan pandang terkejut dan kagum.

Sedangkan Kim-pou-sat Ang Siong-pik tampak berobah-robah cahaya mukanya ketika mendengar irama seruling aneh itu. Sejenak menumpahkan perhatiannya, kedengaran ia berkata seorang diri.

“Adakah aku salah menduga lagi ?”

Suara seruling itu memang jelas diketahui berasal dari arah tenggara, kira-kira dua lie jauhnya. Tetapi makin lama suara itu makin melayang jauh dan makin jauh......

Sejenak menyapukan pandang mata ke sekeliling, tiba-tiba Kim-pou-sat berteriak: “Jalan !”

Begitu berkata, tubuhnyapun sudah melayang ke atas tandu. Ke delapan pengawal Baju putih segera mengangkat tandu dan terus membawanya lari. Ke delapan pengawal Baju Merah tetap mengawal di kedua samping tandu itu.

Tiada seorangpun yang membuka suara atau merintangi kepergian rombongan Kim-pou-sat yang dalam beberapa kejappun sudah menghilang di ujung jalan.

Selepas kepergian rombongan Kim-pou-sat, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng terhuyung-huyung dan pelahan- lahan rubuh kelantai. Pedang Ular Emas pun terlepas dari tangannya.

Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing terkejut sekali. Mereka serempak berhamburan loncat ke atas loteng.

Hun-ing cepat mencekal tubuh Lo-seng. Tangan pemuda itu dingin seperti es. Untunglah ia masih merasakan denyut nadi pergelangan tangan Siau Lo-seng masih berjalan. “Dia kenapa?” seru Pek Wan Taysu dan Cu-ing cemas. Hun-ing menghela napas.

“Siau toako baru sembuh dari sakit. Karena bertempur melawan Kim-pou-sat, mungkin dia kehilangan tenaga sehingga tenaga murni dalam tubuhnya habis ”

“Apa? Tidak.......,” seru Pek Wan Taysu terkejut, “kalau anak itu sampai celaka, bagaimana aku harus mengatakan kepada arwah mendiang ayahnya di alam……?”

Cu-ing menjerit lalu memeluk tubuh Sian Lo-seng dan menangis gerung-gerung……
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar