Pendekar 100 Hari Jilid 09

09.41. Barisan Sakti.

Saat itu tampak si bungkuk Long Wi dan ketiga orang tua kurus baju hitam, sudah siap bergerak. Mereka pelahan-lahan mengisar tubuhnya.

“Tadi tuan mengatakan bahwa Ban-jin-kiong itu seperti rumah sendiri, dapat bergerak bebas ke luar masuk. Apakah tuan berani melakukan hal itu sekali lagi?” tiba-tiba Giok-hou berseru.

“Budak licin, engkau memang selicin belut, secerdik kancil,” seru orang tua dalam tandu itu, “tetapi di hadapanku, janganlah engkau jual tingkah. Tak perlu engkau undang, lain kali aku tentu akan datang pula ke Ban-jin-kiong. Sekarang lekaslah engkau pulang dan perkuatlah penjagaan Ban-jin-kiong. Ketahuilah, untuk yang kedua kalinya masuk ke dalam Ban-jin-kiong nanti, aku takkan ke luar dengan tangan hampa.”

Merahlah muka Giok-hou seketika.

“Apakah dengan beberapa patah kata yang engkau ucapkan terus hendak tinggalkan tempat ini?” serunya dengan nada hina, “Hm, ketika engkau masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong andaikata Kiong-cu dan berpuluh jago-jago sakti berada dalam istana, tak mungkin engkau mampu keluar secara begitu mudah.” “Pengawal Merah Putih, kita jalan!” tiba-tiba orang tua itu berseru memberi perintah. Dia tak mau menggubris Giok-hou lagi.

“Ho, tak mudah untuk pergi, kawan!” seru Giok-hou seraya ayunkan tubuh menerjang ke atas puncak.

Seorang pengawal baju Merah segera menyambut dengan menusukkan tombak dalam jurus Membabat lima gunung.

Giok-hou tertawa dingin. Sekali getarkan lengan tubuhnya tiba-tiba melambung ke atas. Setelah  menghindar tombak, ia segera meluncur ke samping penyerangnya.

Pengawal Baju Merah itu marah. Cepat ia hantamkan tangan kirinya. Sebelum Giok- hou menginjak tanah, iapun sudah mendahului membalikkan tangan kanannya untuk manyambut serangan lawan. Dan dalam pada itu ia lanjutkan melayang turun ke tanah.

Pengawal baju merah itu seketika merasa bahwa pukulannya telah tersiak ke samping.

Diam-diam dia terkejut sekali. Cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan tubuhnya yang akan terdorong ke samping seraya menyerempaki berkisar tiga langkah.

“Cobalah engkau terima sebuah pukulan lagi?” seru Giok-hou dingin. Tangan kanan menampar dengan pelahan.

Melihat kepandaian Giok-hou, seketika berobahlah wajah Hun-ing. Ia membisiki Cu-ing “Adik Ing, lihatlah, luar biasa sekali kepandaian Li Giok-hou itu sekarang.”

Cu-ing pun mengetahui hal itu. Dia menyadari betapa jauh sekarang terpautnya kepandaiannya dengan anak muda itu. Tetapi sekalipun begitu, ia tetap tak gentar. Kalau dapat, saat itu juga ia ingin menghancur leburkan tulang belulang Giok-hou.

“Cici Hun,” katanya, “apakah kita tak membantu pengawal baju merah itu?”

“Ah, lihatlah, adik Ing,” bisik Hun-ing pula, “kawanan baju merah itu hebat sekali kepandaiannya……”

Ternyata pengawal baju merah itu kisarkan kaki dan menghindari tamparan Giok-hou. Daa serempak pada saat itu, seorang pengawal baju merah cepat tampil maju dan berturut-turut melancarkan lima buah serangan kepada Giok-hou.

Permainan tombak orang itu sungguh mengagumkan sekali. Tombak itu seakan-akan berobah menjadi  sinar memanjang yang mengurung tubuh Giok-hou, sehingga pemuda itu terpancing gerak serangannya.

“Huh,” tiba-tiba pula seorang pengawal baju merah lain menusuk dari samping dan memaksa Giok-hou mundur sampai setombak jauhnya.

Setelah memaksa Giok-hou mundur kawanan pengawal baju merah itu tegak pula di atas puncak. Mereka tak mau mengejar Giok-hou. Dan kedelapan pengawal baju putih pun segera menyelipkan seruling besi ke pinggang masing-masing lalu mengangkat tandu dan terus dibawa berjalan dengan pesat sekali.

Ke delapan pengawal baju merah, pecah diri menjaga di kanan kiri tandu. Dalam beberapa kejap, mereka sudah belasan tombak jauhnya.

Giok-hou terlongong-longong menyaksikan sepak terjang orang-orang itu sehingga sesaat ia lupa untuk mengejarnya.

“Adik Ing, mari kita kejar,” seru Hun-ing. Ia menarik tangan Cu-ing diajak lari menuruni bukit. Pada saat rombongan tandu itu tiba di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang nyaring. “Itulah Siau toako,” Cu-ing berteriak kaget.

Memang suara tertawa nyaring yang cepat disusul dengan datangnya orang, ternyata memang Siau Lo- seng.

Kemunculan Siau Lo-seng itu mengejutkan kawanan pengawal baju merah dan baju putih. Cepat mereka hentikan tandu dan lalu berbaris rapi di muka tandu.

Melihat Lo-seng, Cu-ing terus hendak menyongsong tetapi cepat ditahan Hun-ing: “Adik Ing, pikirannya belum sadar, jangan sembarangan bergerak.” Memang tampak mata Lo-seng berkilat-kilat tajam memandang tandu. Dan pelahan-lahan tangannyapun mulai mencabut pedang pusaka Ular Emas yang tersanggul di bahunya.

Sikap Lo-seng itu persis seperti dia menghadapi dan membasmi tigabelas Sip-hun-jin beberapa waktu yang lalu.

“Ih, cici Hun, dia hendak membunuh mereka,” bisik Cu-ing.

“Kalau orang tua aneh dalam tandu itu memang benar peniup seruling, dia tentu dapat menguasai Siau toako,” kata Hun-ing.

Sengaja Hun-ing memperkeras suaranya agar didengar orang tua dalam tandu itu.

Pada saat itu Li Giok-hou pun membawa anak buahnya mendatangi tempat itu. Begitu melihat Siau Lo- seng, Giok-hou tertegun kaget.

Si bungkuk Long Wi pun pucat, katanya: “Sau-kiongcu, jangan cari perkara kepadanya.” Giok-hou kerutkan alis.

“Long Tian-cu, benarkah keduabelas Sip-hun-jin kita itu dibunuh olehnya?” tanyanya.

“Kecuali aku dan seorang Sip-hun-jin memang seluruhnya telah dihancurkan dengan Pedang Ular Emas itu,” sahut Long Wi.

Giok-hou mendesuh pelahan,

“Hm, jerih payah Kiong-cu untuk menciptakan tigabelas Sip-hun-jin, begitu muncul di dunia persilatan, terus dihancurkan oleh pemuda itu. Bagaimanakah Long Tian-cu hendak memberi pertanggungan jawab kepada Kiong-cu kita nanti?”

“Apapun yang Kiong-cu hendak menjatuhkan hukuman kepadaku, aku rela menerima,” kata si bungkuk dengan nada rawan.

Giok-hou tertawa dingin.

“Lebih baik kita melihat di samping dulu,” katanya, “karena aku memang tak percaya sepenuhnya akan keterangan Long Tian-cu bahwa dia begitu sakti dapat membinasakan kawanan Sip-hun-jin dari istana Ban- jin-kiong.

“Sau-kiongcu,” kata si bungkuk Long Wi, “cobalah perhatikan sikap dan wajahnya itu. Bukankah dia seperti seorang yang kehilangan pikiran. Kalau dugaanku tak salah, dia memang menyerupai Raja Iblis dari istana Ban-jin-kiong kita, seorang ”

Tiba-tiba Long Wi hentikan kata-katanya.

Giok-hou mendengus: “Hm, aku tak percaya di dunia ini, kecuali ayahku dan Jin Kian Pah-cu, ada orang ketiga lagi yang mampu menciptakan mumi. Sudahlah, jangan ngelantur.”

“Memang yang kucemaskan kalau Sau-kiongcu tak percaya hal itu,” kata si bungkuk Long Wi, “aku mempunyai kesan bahwa kesaktian pemuda itu, tak dapat kita lawan kalau Sau-kiongcu tak membawa

Raja Akhirat itu, lebih baik kita cepat-cepat tinggalkan tempat ini.”

Saat itu Siau Lo-seng masih belum bergerak sedang ke delapan pengawal baju merah itupun hanya bersiap-siap.

Hun-ing dan Cu-ing pun heran juga mengapa Siau Lo-seng tetap belum bergerak. Kedua nona itu mencurah perhatian ke arah Lo-seng.

Tampak Siau Lo-seng termangu-mangu memandang kawanan baju merah itu.

“Adik Ing, apakah engkau memperhatikan cara ke delapan baju merah itu berbaris?” tiba-tiba Hun-ing berkata.

Memang sepintas pandang tampaknya ke delapan baju merah itu secara tak teratur berdiri menghadang di muka Siau Lo-seng. Tetapi sebenarnya mereka sedang membentuk diri dalam sebuah barisan yang aneh. Posisi dan sikap mereka berdiri itupun tidak sama. Dua orang yang berada paling depan, berdiri saling berhadapan di kanan dan kiri. Kedua kaki mereka direntang seperti orang naik kuda. Sepasang tangan mencekal tombak diacungkan ke atas.

Kemudian tiga orang yang berada di belakang, membentuk diri dalam formasi segitiga. Mereka memegang tombak dengan tangan kiri. Lalu yang dua orang lagi, berdiri di sayap kanan dan kiri dari barisan. Terakhir, yang seorang mencekal tombaknya, siap menyerang.

Barisan aneh itu memang angker dan berwibawa tampaknya. Hun-ing pun terkejut.

“Adik Ing,” bisiknya, “barisan itu benar-benar istimewa sekali. Sekokoh dinding baja, sedahsyat kekuatan ribuan lasykar berkuda. Rupanya Siau toako juga menyadari hal itu maka dia tak segera bertindak.”

“Cici Hun,” kata Cu-ing, “apabila Siau toako nekad menyerbu, apakah dia akan terluka?” Pikiran gadis itu tak lain hanya tertuju pada keselamatan Lo-seng saja.

Hun-ing gelengkan kepala.

“Walaupun kepandaian Siau toako sakti sekali tetapi kurasa barisan itu mampu menghadapi serangan yang bagaimanapun ganasnya.”

Baru Hun-ing memberi keterangan begitu, dari dalam tandu terdengarlah orang tua itu berseru. “Hai, budak perempuan, siapakah engkau ini?” serunya.

Mendengar itu, Hun-ing maju dua langkah dan menyahut: “Locianpwe, aku ini adalah ketua perkumpulan Naga Hijau yang sekarang. Namaku Ui Hun-ing. Mohon locianpwe suka memberi petunjuk.”

Mendengar keterangan itu tiba-tiba si orang tua berseru dengan nada dingin: “Ngaco belo! Umurmu masih begitu muda apalagi engkau seorang budak perempuan. Bagaimana mungkin engkau dapat memimpin sekian banyak orang gagah dalam dunia persilatan.”

Hun-ing tersenyum.

“Locianpwe mendamprat tepat sekali. Memang aku seorang anak perempuan yang kurang pengetahuan dan miskin pengalaman. Tak layak menjabat seorang ketua dari perkumpulan orang gagah. Tetapi aku hanya menjabat sebagai pejabat ketua untuk sementara waktu.”

“Engkau maksudkan, engkau rela menyerahkan kepada orang yang lebih cakap, bukan?” seru orang tua itu pula.

“Benar,” sahut Hun-ing, “mengapa agaknya locianpwe menaruh perhatian akan soal itu?”

Memang Hun-ing maupun Cu-ing merasa heran mengapa orang tua dalam tandu itu bertanyakan urusan Naga Hijau.

“Kalau kalian berdua tak takut kepadaku, ikutlah aku ke guha pertapaanku Thian-siau-sian-tong. Disana engkau boleh memberi keterangan.”

Mendengar nama guha Thian-siau-sin-tong seketika berobahlah wajah Cu-ing, serunya terbata-bata: “Thian-siau-sian-tong? Jika begitu engkau ini……”

Rupanya ia dicengkam perasaan takut yang hebat sehingga tak melanjutkan kata-katanya.

Memperhatikan kerut wajah Cu-ing, Hun-ing segera bertanya bisik-bisik: “Adik Ing, dimanakah guha Thian- siau-sian-tong itu?”

“Entahlah,” Cu-ing gelengkan kepala. “tetapi kutahu di guha pertapaan itu terdapat seorang penghuni yang aneh.”

“Siapakah orang itu?” tanya Hun-ing pula.

Belum Cu-ing menyahut, orang tua dalam tandu itu sudah berseru: “Apabila kalian ikut aku ke sana,  tentulah akan tahu orang itu.”

Hun-ing merenung sejenak. “Baik, apabila tak keberatan kami akan ikut ke guha itu,” sesaat kemudian nona itu berkata.

Nona itu mempunyai rencana. Apabila orang tua itu memang, Si peniup seruling ajaib ia hendak berunding dengan dia cara untuk menolong Siau Lo-seng. Tetapi apabila bukan, iapun ingin mengetahui siapakah sebenarnya orang tua dalam tandu itu.

Tiba-tiba Cu-ing menunjuk pada Siau Lo-seng dan berkata: “Lo-cianpwe, apakah dia boleh ikut dibawa ke sana?”

“Siapakah dia itu?” orang tua aneh balas bertanya.

Mendengar pertanyaan itu tergetarlah hati Hun-ing, pikirnya: “Ah, kiranya orang tua ini tak kenal kepada Siau toako ”

Cu-ing menghela napas.

“Dia adalah toako kami,” katanya, “yalah calon ketua dari perkumpulan Naga Hijau!” “Tetapi rupanya dia sakit,” seru orang tua dalam tandu itu.

“Benar, dia memang menderita sakit lupa ingatan,” kata Hun-ing dengan rawan.

Berkata pula orang tua dalam tandu itu: “Dia memiliki kepandaian yang mengejutkan orang. Menurut penilaianku dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya barisan Gun-hap-ki-bun-tin dari pengawal baju merah dan baju putih tadi, yang mampu melawan serangannya.” 

“Gun-hap-ki-bun-tin?” ulang Cu-ing heran, “apakah artinya barisan itu?”

“Gun-hap-ki-bun-tin artinya barisan istimewa yang terdiri dari gabungan beberapa macam barisan. Yalah barisan Thay-kek, barisan Liang-gi dan barisan Su-giong.”

“Jika anak buah locianpwe dapat membentuk barisan sehebat itu, locianpwe tentu seorang sakti yang terpendam,” seru Hun-ing.

Orang tua Tanpa Nama atau Bu Beng Lojin itu berkata, “Ketika di dalam lembah apabila tiada barisan gabungan itu, aku dan anak buahku tentu sudah binasa semua. Mana dapat disebut orang sakti terpendam, Ha, ha…… aku ini sebenarnya hanya seorang tua yang cacat badan.”

“Menurut hematku,” kata Hun-ing pula. “walaupun barisan gabungan itu dahsyat sekali tetapi mereka tak memiliki daya untuk menyerang musuh. Dengan begitu entah sampai berapa lama lagi mereka harus berhadapan menunggu serangan orang.”

Hun-ing memang cerdas sekali otaknya. Dalam beberapa saat saja ia sudah dapat menilai keadaan barisan ke delapan baju merah itu. Mereka hebat tetapi hanya bersikap membentuk pertahanan. Musuh tak menyerang, merekapun tak dapat menyerang dulu.

Orang tua itu tertawa panjang.

“Pintar, pintar benar engkau,” serunya. “sungguh tak kira engkau mampu mengetahui kelihayan dan kelemahan barisan itu. Tetapi engkau tentu belum tahu kegunaan dari barisan itu yang sesungguhnya maka cobalah engkau perhatikan lagi dengan seksama. Engkau tentu akan mengerti.”

Ketika Hun-ing berpaling ke arah gelanggang dilihatnya Siau Lo-seng sudah beralih tempat. Kedua tangannya menggentakkan pedang dan sepasang matanya tercurah pada seorang pengawal baju merah. Tumit kaki Siau Lo-seng pun mulai diangkat. Tampaknya dia hendak melakukan serangan yang dahsyat.

Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring dan terus serempak menyelinap pada pengawal baju merah di sayap barisan sebelah kanan. Pedang pusaka ular Emas berhamburan laksana bunga api mencurah, pemuda itu terus menyerbu ke dalam barisan.

Seketika keadaan barisan gabungan itu tampak kacau. Seorang pengawal baju merah harus berlincahan tukar tempat sampai beberapa kali.

Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring lagi lalu loncat keluar sampai tiga tombak jauhnya dan tegak berdiri dalam sikap yang berbeda lagi.

Melihat itu heranlah Cu-ing. “Cici Hun,” tanyanya, “pada waktu Siau toako menyerbu tadi bukankah barisan itu tampak kacau? Tetapi mengapa Siau toako loncat keluar dari barisan lagi? Apakah mungkin di dalam barisan itu terdapat bagian- bagian yang sulit?”

“Jangan engkau memandang rendah barisan itu,” kata Hun-ing, “memang tampaknya tadi barisan itu kacau tetapi langkah kaki mereka merupakan gerakan yang luar biasa hebatnya. Memang dari sini kita tak tahu bagaimana hal yang sebenarnya tetapi menilik Siau toako harus loncat keluar lagi, jelas dia tentu kewalahan tak dapat menerjang masuk.”

Tiba-tiba orang tua dalam tandu itu tertawa meloroh.

“Benar, benar,” serunya, “memang tadi dia benar-benar berhasil mendobrak masuk tetapi dengan cepat barisan itu segera membaiki kedudukannya lagi sehingga tertutup rapat...... he, he, he ”

09.42. Nyanyian iblis dari Rumah Dewa

Mendengar percakapan itu, Li Giok-hou dan anak buahnya tergetar dalam hati. Terutama Giok-hou terkejut sekali atas kesaktian Siau Lo-seng.

Setelah barisan itu menyusun pertahanan, memang diam-diam Giok-hou mengamat-amati keadaannya. Tetapi belum lagi ia mengetahui apa nama barisan itu dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya, tahu- tahu Siau Lo-seng sudah dapat mendobraknya.

Saat itu timbul pada pikiran Giok-hou, bahwa Siau Lo-seng itu sesungguhnya jauh lebih cerdik dan lihay dari dirinya.

Dalam pada itu Siau Lo-seng pun tampak mengitari barisan. Rupanya ia sedang mencari lubang kelemahan dari barisan itu, untuk diserbunya.

Gerak gerik Siau Lo-seng tak ubah seperti seekor harimau yang tengah melingkari sekelompok korbannya.

Tiba-tiba dia menggembor keras. Tubuh melambung ke udara, dengan gerak semacam kuda terbang di udara, ia taburkan pedang Ular Emas mencurah ke atas kepala seorang pengawal baju merah yang mengacungkan tombak ke atas dan menduduki posisi di pusar barisan itu.

Cepat sekali gerak layang dari Siau Lo-seng, secepat itu pula pedangnya berhamburan laksana hujan mencurah dari langit.

“Tring, tring ”

Terdengar dering suara yang melengking tajam sekali ketika delapan batang tombak serempak menangkis Pedang Ular Emas.

Dengan kepala menukik ke bawah dan kaki menjulang ke atas, Siau Lo-seng menyelinapkan tangan kirinya untuk menampar kepala pemimpin barisan baju merah itu.

Tetapi orang itu tanpa mengangkat kepala ke atas segera songsongkan tangannya, “bum……”

Siau Lo-seng terlempar jungkir balik melayang-layang ke tanah sampai tiga tombak jauhnya dan masih pula terhuyung-huyung tujuh-delapan langkah baru ia dapat berdiri tegak. Pedang Ular Emas menjulai ke bawah.

“Huak, huak… ” dia muntah darah sampai dua kali.

“Siau toako!” Cu-ing menjerit kaget, terus hendak memburu ke tempat pemuda itu tetapi cepat dicegah Hun- ing.

“Adik Ing, jangan bertindak sembarangan. Saat ini Siau toako masih belum sadar pikirannya ”

Walaupun Hun-ing mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik namun tertangkap juga oleh telinga jago- jago Ban-jin-kiong.

Giok-hou dan Long Wi saling bertukar pandang. Keduanya saling menjajagi pikiran dan kesan masing- masing.

Wajah Giok-hou berseri girang. Cepat ia berpaling ke arah Siau Lo-seng lagi. Rambut Siau Lo-seng terurai lepas menutup kedua bahunya. Mulutnya masih bercucuran darah tetapi tangan kirinya masih membentuk sikap bersilat. Pedang pusaka di tangan kanannya menjulai tanah. Sepasang matanya merah membara. Sepintas pandang dia menyerupai seekor binatang buas yang tengah menderita luka.

Sekonyong-konyong sinar emas memancar.

Tiada seorang yang berada di gelanggang itu tahu bagaimana caranya bergerak tahu-tahu Siau Lo-seng dengan kecepatan seperti kilat, sudah menyerbu lagi ke dalam barisan.

“Tring, tring, plak, plak… ”

Terdengar beberapa kali benturan senjata tajam dan pukulan yang dahsyat. Tiba-tiba sesosok tubuh terlempar keluar sampai lima tombak. “Bum… rubuhlah dia ke tanah.

Peristiwa itu berlangsung amat cepatnya. Seolah-olah hanya dalam beberapa kejap mata saja sehingga orang tak sempat lagi untuk melihat apa yang terjadi. Tahu-tahu Siau Lo-seng terlempar dari barisan dan rubuh di tanah.

Pemuda itu memang gila. Dia melenting bangun dari tempat berlumpur dimana ia telah terlempar jatuh. Dengan menggigit gigi kencang-kencang ia segera tegak berdiri lagi.

Rambutnya terurai, menutup separoh dari mukanya. Dari celah-celah rambut itu, tampak sepasang matanya berkilat-kilat buas sekali. Wajahnya pucat seperti mayat, mulut berlumuran darah dan pakaiannya kotor penuh lumpur.

Suasana di gelanggang itu tampak seram sekali, tegang dan mencengkam hati.

Siau Lo-seng terhuyung-huyung mundur dua langkah, bibirnya mengatup kencang, mata melotot.

Tiba-tiba kilat menyambar dan halilintarpun meletus dahsyat. Bumi tergetar dan serasa pecahlah anak telinga orang-orang yang berada di tempat itu Setelah gemuruh halilintar lenyap hujan gerimispun turun.

Tubuh Siau Lo-seng bergoncang-goncang lalu rubuh ke tanah. Sekonyong-konyong terdengar suara seruling berkumandang. “Suara seruling yang aneh……“ seru Cu-ing.

Tetapi kebalikannya, pucatlah seketika wajah orang tua dalam tandu itu. Ia mengingau seorang diri, “Nyanyian iblis dari Rumah Dewa…… dia…… apakah belum meninggal ”

Alunan suara seruling yang aneh itu bagai aliran anak sungai, bunga-bunga gugur. Sedemikian halus dan lembut tetapi jelas. Membuat orang terbuai melayang-layang dalam alam kedewaan.

Mendengar suara seruling itu, menggigillah tubuh Siau Lo-seng lalu pelahan-lahan bangkit berdiri. Sepasang matanya memancarkan sinar yang aneh. Dari perut dan dadanya menghambur arus  hawa hangat yang terus mengalir ke atas, lalu ke seluruh badannya.

Tiba-tiba kepalanya bergetar dan serentak pikirannya pun terang. Semangatnya pulih lagi, “Jalan! Lekas jalan!” seru orang tua dalam tandu memberi perintah kepada pengawalnya.

Ke delapan pengawal baju putih cepat mengangkut tandu mewah itu dan dalam beberapa kejap sudah tiba di lereng sebelah tenggara.

Melihat itu Siau Lo-seng hendak mengejar tetapi Cu-ing meneriakinya: “Siau toako……” Siau Lo-seng berhenti dan berpaling, “Oh, adik Ing, kalian……”

Cu-ing terus lari menubruk tubuh pemuda itu, serunya: “Apakah engkau tak kurang suatu apa? Ah, aku hampir terkejut pingsan.”

Li Giok-hou dan si bungkuk Long Wi pun membawa anak buahnya mengejar tandu itu, Dalam beberapa kejap. sunyilah tempat itu.

“Mereka……” teriak Siau Lo-seng gopoh. Hun-ing tertawa mengikik: “Sudahlah Siau toako, tak perlu bingung. Orang itu bukanlah peniup seruling yang hendak engkau cari itu ”

Cu-ing gelagapan ketika menyadari bahwa ia masih memeluk tubuh Siau Lo-seng. Buru-buru dia menyiak tubuh pemuda itu dan bersungut-sungut penasaran: “Cici Hun, engkau sungguh bikin malu orang.”

Hun-ing tertawa terkial-kial.

“Hai, apa-apaan ini?” Siau Lo-seng makin bingung. Ia heran melihat gerak gerik kedua nona itu. Mendengar kata-kata Siau Lo-seng, Cu-ing pun ikut tertawa.

Suasana yang tegang regang segera berganti dengan gelak tawa yang gembira. Tetapi kalau kedua nona itu bersuka tawa, adalah karena mengetahui apa yang ditertawakan, Siau Lo-seng makin kebingungan sampai mengucurkan keringat dingin.

Tiba-tiba Hun-ing berhenti tertawa dan berseru: “Sudahlah, jangan ribut-ribut, dengarkan suara seruling itu.”

Nyanyian seruling itu memang tidak lagi lemah lembut tetapi berobah gencar dan deras seperti derap berpuluh kuda berpacu.

Rupanya Siau Lo-seng pun menyadari bahwa kesadaran pikirannya tergantung dari suara seruling itu. Maka cepat-cepat ia minta kepada kedua nona untuk memberitahu apakah yang telah terjadi tadi.

Hun-ing dengan ringkas menuturkan peristiwa tadi.

“Jika begitu orang tua dalam tandu itu bukan orang yang meniup seruling?” seru Siau Lo-seng.

“Memang bukan,” jawab Cu-ing, “kalau tak salah, dia adalah tokoh yang pada limapuluh tahun berselang pernah menggetarkan dunia persilatan. Namanya Ang Siong-pik bergelar Buddha Emas.”

“Hai, kalau begitu dia bersama Leng Tiong-siang dan Tay Hui Sin-ni merupakan tiga serangkai tokoh sakti yang disebut orang sebagai Tiga Buddha Emas,” seru Hun-ing

“Ah, tak mungkin,” seru Lo-seng, bukankah Buddha Emas Ang Siong-pik sudah tewas ketika  pada limapuluh tahun yang lalu bertempur selama lima hari lima malam melawan paderi sakti Ko Bok dari gereja Siau-lim-si? Kemudian karena Ko Bok juga putus urat jantungnya, dia pulang ke gereja Siau-lim-si dan akhirnya menutup mata. Peristiwa itu diketahui seluruh kaum persilatan dan merupakan suatu peristiwa yang menggemparkan. Bagaimana engkau menduga kalau orang tua itu si Buddha Emas Ang Siong-pik?”

“Karena dia menyebut tempat tinggalnya di guha Thian-siau-sian-tong maka dugaanku jatuh pada Buddha Emas Ang Siong-pik,” kata Cu-ing.

“Tetapi atas dasar apa engkau memastikan dugaanmu itu?” tanya Hun-ing pula.

“Karena guruku Tay Hui Sin-ni pernah menceritakan peristiwa itu kepadaku,” jawab Cu-ing, “ketika suhu berkelana sampai ke sebuah lembah di pedalaman gunung belantara, tiba-tiba ia menemukan senjata tongkat pertapaan emas milik Ang Siong-pik. Tongkat itu berukir sebuah syair yang menyatakan kalau pemilik tongkat hendak mengasingkan diri mencari kesucian batin di guha Thian-siau-sian-tong.”

“Lalu apakah Tay Hui Sin-ni tak mencari jejak Ang Siong-pik?” tanya Hun-ing.

“Walaupun sudah menjelajah seluruh pegunungan belantara namun suhu tak juga dapat menemukan guha yang disebut Thian-siau-sian-tong itu,” kata Cu-ing. “Tetapi suhupun tak mau menceriterakan hal itu kepada orang persilatan. Hanya diam-diam suhu selalu memperhatikan kabar-kabar, apakah Ang Siong-pik muncul lagi di dunia persilatan. Ah, tak kira setelah berselang limapuluh tahun, aku bertemu dengan seorang tua yang mengaku tinggal di guha Thian-siau-sian-tong. Maka ku duga ia tentu si Buddha Emas Ang Siong-pik.”

Hun-ing dan Siau Lo-seng terpikat perhatiannya mendengar cerita itu sehingga mereka tak merasa bahwa suara seruling itu sudah lenyap sejak tadi.

Hun-ing lebih dulu dapat menyadari hal itu buru-buru dia memandang Siau Lo-seng dan berseru: “Engkau……”

“Aku……” Siau Lo-seng terlongong heran. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berseru: “Benar, memang orang tua itu adalah Buddha Emas Ang Siong-pik. Tetapi taraf dugaanmu tadi masih  salah. Dan memang kalian tak tahu hal itu.”

“Ah, Leng locianpwekah itu?” cepat Hun-ing berseru. Entah kapan waktunya, tahu-tahu memang Leng Tiong-siang si Kakek wajah dingin sudah berada di belakang ketiga anak muda itu.

“Leng locianpwe, apakah pembicaraan kita tadi engkau dengar semua?” tegur Hun-ing. Leng Tiong-siang mengiakan: “Ya, memang sudah lama aku berada di sini.”

Tiba-tiba Siau Lo-seng menatap wajah kakek itu serunya “Leng locianpwe, tadi engkau mengejar peniup seruling itu atau tidak?”

“Bukankah pikiranmu sekarang sudah sadar?” kakek berwajah dingin balas bertanya. “Ya, pikiranku terang.”

“Kalau begitu engkau sudah sembuh,” seru Cu-ing tegang sekali. “Ah, bagaimanakah sesungguhnya ini?” Hun-ing benar-benar heran.

“Mungkin hal itu ada hubungan dengan luka yang diderita Siau Lo-seng dalam pertempuran dahsyat dengan barisan baju merah tadi. Kalau ingin tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya silahkan tanya pada orang yang meniup seruling itu,” kata Leng Tiong-siang. 

“Kalau begitu, akan kucarinya sekarang!” habis berkata Siau Lo-seng terus hendak pergi. “Ah, tak perlu mencarinya,” Leng Tiong-siang menghela napas.

“Mengapa?”

“Bukankah selama berbulan-bulan ini kita selalu mencarinya? Dan apakah engkau pernah berhasil mendapatkannya?”

Siau Lo-seng terkesiap. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata kakek berwajah dingin. Memang luar biasa anehnya peniup seruling itu. Suaranya berada di sebelah timur, apabila diburu ke timur, tiba-tiba  suara itu beralih ke sebelah barat. Dan suara seruling itu hanya selalu kedengaran pada waktu ia menghadapi bahaya saja. Seolah-olah peniup seruling itu diam-diam telah memberi bantuan kepadanya.

“Cobalah engkau renungkan,” Leng Tiong-siang berkata pula “Cobalah engkau gerakkan tenagamu,” tiba- tiba Leng Tiong-siang berkata pula, “apakah masih tetap hebat?”

Siau Lo-seng segera kerahkan tenaga dalam. Ia rasakan darahnya berjalan lancar, tenaga  dalamnya penuh. Segera ia menghampiri segunduk batu besar yang berada di dekat hutan. Sekali dorong batu besar itupun terlempar beberapa belas langkah.

“Bagus, untuk sementara waktu ini ingatanmu masih belum hilang. Mari kita lanjutkan perjalanan,” kata  Leng Tiong-siang dengan wajah berseri girang.

“Ke mana?” tanya Siau Lo-seng. “Istana Ban-jin-kiong.”

“Hai! Ke Ban-jin-kiong?” teriak Hun-ing dan Cu-ing serempak.

“Lekas kita jalan,” kata Leng Tiong-siang. “sambil berjalan sambil kuterangkan. Kalau tidak kita tentu terlambat.”

Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang sekali bergerak sudah berada tiga tombak jauhnya. Siau Lo-seng dan kedua nonapun mengikuti.

Sambil berlari Leng Tiong-siang bercerita: “Pada waktu kita berpisah dan aku memburu ke tenggara untuk menyergap peniup seruling itu, tanpa sengaja aku telah kesasar masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong.”

“Apa? Engkau masuk ke Ban-jin-kiong?” teriak Siau Lo-seng.

“Bukan melainkan aku saja pun peniup seruling itu juga masuk ke istana Ban-jin-kiong dan berada tak jauh dari sini.”

Kedua nona itu menggunakan seluruh kepandaiannya berlari baru dapat mengimbangi ilmu berlari dari Siau Lo-seng dan Leng Tiong-siang.

“Hah, istana Ban-jin-kiong tak jauh di sekitar tempat ini?” teriak Hun-ing. “Benar, memang berada di gunung ini,” sahut Leng Tiong-siang.

“Bukankah Buddha Emas Bu Beng Lojin itu juga pernah masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong,” tiba-tiba Cu- ing berseru.

Siau Lo-seng pun ikut bertanya: “Leng locianpwe, bukankah tadi engkau mengatakan bahwa tingkat penafsiran adik Ing itu masih kurang sempurna? Cobalah engkau terangkan.”

“Pertanyaan yang baik,” kata Leng Tiong-siang “tahukah kalian bahwa sebenarnya Buddha Emas Ang Siong-pik itu sebenarnya delapanbelas tahun yang lalu sudah muncul lagi di dunia persilatan?”

“Tidak tahu,” sahut Hun-ing, “dan rasanya dunia persilatan pun tak pernah mengetahui hal itu.” Wajah Leng Tiong siang makin dingin dan sepasang matanyapun berkilat-kilat tajam.

“Disitulah letak kuncinya,” kata kakek berwajah dingin itu, “memang kemunculan yang kedua kali dari Ang Siong-pik pada delapanbelas tahun berselang sangat dirahasiakan sekali. Dan pada masa itu bukankah dunia persilatan penuh dengan peristiwa-peristiwa yang aneh? Misalnya seperti terbunuhnya seluruh keluarga Siau Han-kwan, ketua perkumpulan Naga Hijau. Begitu pula lenyapnya beberapa tokoh persilatan ternama……”

Mendengar disebutnya peristiwa pembunuhan ayahnya, seketika teganglah perasaan Lo-seng. Peristiwa berdarah itu terbayang kembali dalam benaknya. Sepasang matanya membara merah dan serentak ia hentikan larinya.

“Apakah pembunuhan itu mempunyai sangkut paut dengan hilangnya beberapa tokoh itu?” serunya, Leng Tiong-siang terkejut dan hentikan langkah juga: “Eh, mengapa?”

“Siau Han-kwan si Naga sakti tanpa bayangan itu adalah ayahku!” seru Lo-seng dengan penuh keharuan.

“Engkau putera Siau Han-kwan?” Leng Tiong-siang terkejut, “peristiwa berdarah pada keluarga Siau rupanya mulai tampak titik-titik terang.”

“Harap Leng locianpwe jangan main menyembunyikan rahasia dan lekas memberi tahu,” Cu-ing menyeletuk.

Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang segera menuturkan sebuah rahasia dunia persilatan yang terjadi pada empatpuluh tahun berselang.

09.43. Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong

Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan tenteram dan damai. Tetapi ternyata suasana itu hanya seperti 'api dalam sekam' di luar, tenang, di dalam menyala. Tiap-tiap partai persilatan sedang kasak kusuk untuk merencanakan langkah merebut kedudukan sebagai pemimpin dunia persilatan.

Pada waktu itu diam-diam telah timbul sebuah persekutuan yang menamakan diri sebagai Ho-ping-beng atau persekutuan Cinta Damai.

Persekutuan itu bertujuan untuk mengadu kesaktian dengan para pimpinan partai-partai persilatan. Adu kesaktian itu disertai dengan sebuah syarat. Apabila pimpinan partai persilatan tersangkut dapat menang maka dia berhak mencrima pusaka, baik senjata maupun kitab, menurut apa yang dikehendaki. Begitu pula wakil persekutuan Cinta Damai yang kalah itu akan menurut dan tunduk pada perintah ketua partai persilatan yang menang itu.

Tetapi apabila ketua partai persilatan tersebut kalah, dia harus mengundurkan diri dari dunia persilatan.

Oleh karena hadiah pusaka yang akan diberikan oleh persekutuan Cinta Damai itu memang sungguh- sungguh luar biasa nilainya maka banyak jago-jago silat sakti yang datang dan minta diadu dengan wakil persekutuan Cinta Damai.

Ternyata selama itu, tiada seorangpun tokoh silat yang menang. Jago dari persekutuan Cinta Damai itu memang luar biasa saktinya.

Sejak itu dunia persilatan berangsur-angsur tenang. Menutur sampai di situ, Leng Tiong-siang berhenti. Sejenak ia memandang Siau Lo-seng. Dilihatnya anak muda itu termangu-mangu mendengarkannya.

“Bukankah pimpinan persekutan Cinta Damai itu hanya terdiri dari empat orang?” tiba-tiba Cu-ing menyeletuk.

“Rupanya engkau tahu hal itu,” serunya.

“Tidak, aku hanya tahu sedikit sekali,” sahut nona itu.

“Tetapi kemudian, persekutuan Cinta Damai itu kalah di tangan seorang jago pedang,” kata Leng Tiong- siang pula.

“Siapa?” tanya Cu-ing.

Leng Tiong-siang tak lekas menyahut melainkan termenung beberapa jenak.

“Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan,” kata Leng Tiong-siang sesaat kemudian. Serempak ketiga orang itupun memandang ke arah Siau Lo-seng. Tetapi alangkah kejut mereka!

Ternyata saat itu Siau Lo-seng sudah tak ada di tempatnya. Dan sebagai gantinya, di tempat itu telah berdiri seorang baju hitam yang mengenakan kerudung muka.

Peristiwa itu berlangsung pada waktu Leng Tiong-siang bicara dengan kedua nona tanpa diketahui sama sekali oleh mereka bertiga.

Dapat dibayangkan betapa kejut Leng Tiong-siang dan kedua nona itu. “Hai, engkau manusia atau setan!” bentak Hun-ing.

Tetapi orang bertubuh tinggi kurus yang mengenakan kerudung muka hitam itu tak bergerak. Kedua tangannya menjulur ke lutut.

Diam-diam Leng Tiong-siang tergetar hatinya. Dengan kepandaian yang dimiliki toh ia masih tak dapat mengetahui kemunculan orang itu.

Dalam pada itu Hun-ing dan Cu-ing tak dapat menahan sabar lagi. Kedua nona itu serempak membentak dan lepaskan pukulan.

Tetapi orang aneh itu seolah-olah tak mengacuhkan pukulan dahsyat dari kedua nona. Dia tetap tegak, tidak menghindar maupun menangkis.

“Bum, bum…..”

Pukulan itu tepat mendarat di dada orang berkerudung. Tetapi suara mengerang tertahan malah terdengar dari mulut Hun-ing dan Cu-ing. Kedua nona itu terhuyung mundur dua langkah. Tangan mereka terasa sakit. Sedang orang berkerudung hitam itu tetap tegak seperti patung.

“Siu-lo-sin-kang!” teriak Leng Tiong-siang seketika.

“Apa? Siu-lo-sin-kang?” Hun-ing yang saat itu sudah berdiri tenang, pun terkejut.

Siu-lo-sin-kang merupakan ilmu simpanan yang istimewa dari gereja Siau-lim-si. Sejak Siau-lim-si berdiri hanya beberapa tokoh yang mampu menguasai ilmu sakti itu. Sejak seratus tahun yang lalu Liau Liau Siansu dapat menguasai ilmu itu. kemudian dalam tiga angkatan murid-murid Siau-lim-si tidak ada seorangpun yang berhasil memahami ilmu sakti itu.

Menurut ceritanya, seorang yang dapat melatih ilmu sakti sin-kang itu, dia akan kebal dengan segala racun, air, api dan segala macam senjata tajam. Tubuhnya akan menjadi lindung atau kebal.

Siapakah orang aneh itu? Mengapa dia juga memiliki ilmu sakti Siu-lo-sin-kang?

Tiba-tiba Leng Tiong-siang membentak keras dan menghantam: “Cobalah engkau terima pukulanku ini!” Serangkum arus gelombang tenaga yang dahsyat segera berhamburan ke arah orang aneh itu.

Tampak orang aneh itu mengangkat tangannya dan tenaga pukulan Leng Tiong-siang pun bukan saja lenyap tetapi orangnya juga tersurut mundur tiga langkah. Hun-ing mempunyai pengalaman yang luas dan otak yang cerdas sekali. Dia segera tahu bagaimana kedua tokoh itu telah saling adu tenaga dalam. Dan ternyata tenaga dalam dari Kakek wajah dingin Leng Tiong- siang masih kalah dengan orang aneh itu.

Leng Tiong-siang sendiri memang bukan kepalang kejutnya. Setitikpun tak pernah ia duga bahwa hanya dengan gerakkan kedua tangannya ke muka, orang aneh itu telah mampu menghapus pukulan yang disaluri dengan lima bagian tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi. 

Karena penasaran kakek wajah dingin itu segera menghantam dengan kedua tangannya. Kali ini ia menyalurkan sepuluh bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.

Tampak orang aneh itu tetap tegak di tempatnya. Tidak menangkis, pun tidak menghindar.

“Uh, apakah dia benar-benar sudah menguasai ilmu sakti Siu-lo-sin-kang dan sengaja memancing aku supaya memukul lebih hebat lalu hendak menggunakan tenaga balik untuk melukai aku?” diam-diam Leng Tiong-siang menimang dalam hati demi melihat orang aneh itu diam saja.

Cepat ia mengurangi dua bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi pada pukulannya itu. Setelah tenaga pukulan Leng Tiong-siang hampir mengenai tubuhnya, barulah orang aneh itu condongkan tubuh ke samping lalu ajukan kaki kiri maju setengah langkah, tangan kanan membalik ke atas, dengan jurus No-hay- pok-liong atau Laut marah menangkap naga, ia menerkam pergelangan tangan kanan Leng Tiong-siang.

Tetapi Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang bukan seorang yang lemah. Dengan gerak yang istimewa ia berputar tubuh dan maju menyerang lagi dengan kedua tangannya.

Saat itu segera pecah pertempuran yang dahsyat dari dua tokoh yang sakti.

Tampaknya Leng Tiong-siang benar-benar menumpahkan perhatiannya pada pertempuran itu. Ia menyerang dengan hebat, pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkan. Dahsyat dan cepatnya bukan alang kepalang. Jurus-jurus serangannyapun aneh dan sukar diduga lawan.

Dahulu Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu merupakan datuk dari Kwan-ga-sam-ki atau Tiga Datuk dari Tibet. Sudah tentu kepandaiannya amat sakti. Dan apa yang diunjukkan dalam pertempuran itu memang membuktikan betapa kesaktian yang dimiliki oleh tokoh itu.

Hun-ing dan Cu-ing termasuk pendekar wanita kelas satu dalam dunia persilatan. Tetapi mereka harus terbelalak kaget ketika menyaksikan pertempuran itu. Diam-diam mereka malu dalam hati dan menyadari bahwa ilmu silat itu memang tiada batasnya. Dibanding dengan dirinya, kedua tokoh itu jauh lebih sakti berlipat ganda.

Tetapi ternyata kepandaian dari orang berkerudung hitam lebih hebat lagi. Setiap kali ia gerakan tangan tentu selalu dapat menghapus serangan maut dari lawan. Begitu pula gerak tubuhnya, serba cepat dan tak terduga-duga arahnya. Karena berpakaian serba hitam dan mukanyapun ditutup dengan kain hitam, maka sepintas pandang dia benar-benar menyerupai sesosok hantu yang menari-nari di tengah malam.

Sudah tigapuluh lima jurus serangan dahsyat dan cepat dilancarkan Leng Tiong-siang. Namun jangankan mengenai bahkan menyentuh ujung pakaian lawanpun tak mampu.

Leng Tiong-siang makin marah. Dia memperhebat serangan sedemikian rupa dan memperlipat gandakan kecepatannya.

“Kena!” tiba-tiba Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang berseru. Ia menyelonong maju dan secepat kilat menyelinapkan tangan kanannya memukul dada lawan yang dilindungi dengan bayangan kedua tangannya.

Tetapi pada saat tangannya menyentuh dada lawan, tiba-tiba tangan kanannya telah dicengkeram musuh. Seketika ia rasakan kesemutan dan tenaganyapun lunglai. Yang berhasil mendarat di dada lawan hanyalah sebelah tangan kirinya.

“Duk……”

Terdengar benda berat macam palu besi jatuh di tanah. Dan seketika itu kedua tubuh merekapun berpencar.

Karena terseret tangannya, Leng Tiong-siang terlempar sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak. “Huak… ” dia muntah darah.

Sedangkan orang aneh itu mengerang aneh dan menyurut mundur sampai beberapa langkah. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang ke arah Leng Tiong-siang. Hun-ing dan Cu-ing benar-benar terpesona mengikuti jalannya pertempuran itu sehingga mereka tegak termangu-mangu seperti patung. Lupa untuk berseru menegur Leng Tiong-siang, lupa untuk menjerit kaget karena kakek wajah dingin telah muntah darah.

Dengan wajah terkejut, Leng Tiong-siang memandang orang aneh itu. Dia benar-benar kagum akan kepandaian orang itu. Ilmu sambaran Kin-na-jiu yang digunakan orang aneh itu, betul-betul luar biasa.  Mungkin dalam dunia persilatan tiada sebuah ilmu silat yang mampu menghindari cengkeraman itu.

Tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan tanpa berkata apa-apa terus lari pergi.

“Hai, betapa hebat ilmu larinya itu......” teriak Hun-ing ketika melihat dalam sekejap mata si orang aneh sudah lenyap.

Leng Tiong-siang menghela napas rawan. Ia mengangkat muka memandang ke langit. Ada suatu pikiran melintas pada benaknya Ah, betapa luas dunia, betapa kecil dirinya dan betapa masih rendah ilmu silatnya……

Pelahan-lahan ia berputar tubuh memandang ke arah kedua nona yang termangu-mangu.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pula akan sesosok bayangan orang yang berada di tempat gelap kira-kira dua tombak jauhnya. Ah, lagi-lagi muncul seorang sakti yang kedatangannya sama sekali tak diketahui oleh mereka bertiga.

“Ban-jin Kiong-cu, bagus engkau sudah datang sendiri. Aku memang hendak mencarimu,” tiba Leng Tiong- siang berseru.

Di bawah sinar rembulan remang, tampak seorang imam yang mukanya tertutup kerudung hitam, tengah berdiri pada jarak dua tombak. Cepat Hun-ing dapat mengenali orang itu sebagai yang memapas kutung sebelah lengan si bungkuk Long Wi ketika di kuil tua tempo hari.

Ban-jin Kiong-cu atau yang dipertuan dari istana Ban-jin-kiong tertawa ringan. “Sahabat Leng, perlu apa engkau hendak mengindari aku?” serunya.

Berhadapan dengan musuh, seketika merahlah mata Leng Tiong-siang.

“Ketahuilah bahwa larangan yang kita buat pada delapanbelas tahun yang lalu, sekarang sudah ada lima buah yang hapus. Akupun boleh menempur engkau,” seru kakek wajah dingin itu.

Kepala Ban-jin-kiong tertawa mengekeh.

“Heh, heh, setelah berpisah selama delapanbelas tahun, kepandaian Leng-bin-sin-kun tentu maju pesat. Tetapi apakah engkau lupa akan perjanjian yang nomor tujuh itu?”

Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang berseru dingin: “Tetapi janganlah engkau lekas bergembira dulu. Larangan ke tujuh itu pun segera akan hapus.”

Rapanya kepala dari Ban-jin-kiong itu paham akan perangai Leng Tiong-siang. Semakin marah, Leng Tiong-siang semakin diam dan dingin.

“Heh, heh,” kepala Ban-jin-kiong itu tertawa mengekeh pula, “mengapa Leng-bin-sin-kun marah-marah begitu rupa? Di antara kita masakan tak ada yang tak dapat dirundingkan?”

Leng Tiong-siang berseru dingin: “Cepat atau lambat, aku pasti dapat membuka kedok kejahatanmu. Sekarang aku hendak bertanya, siapakah orang aneh tadi? Bukankah dia salah sebuah mayat hidup yang engkau ciptakan? Kalau tak salah, kepandaian orang itu tak di bawah aku dan engkau.”

Kepala Ban-jin-kiong tertawa meloroh.

“Engkau menanyakan orang itu?” serunya gembira, “adalah Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong bukan mumi bukan pula orang-orangan kayu. Kalau engkau tahu asal usulnya, engkau tentu takkan penasaran kalau dikalahkannya.”

“Huh, Leng Tiong-siang tak pernah mengagumi manusia yang manapun juga,” seru Kakek wajah dingin, “bukankah telah engkau bius kesadaran pikirannya supaya dia mati-matian menjual jiwa untukmu……”

“Terserah bagaimana engkau hendak mengatakan saja, ha, ha, ha……”

“Hm, ketahuilah,” seru Leng Tiong-siang, “bahwa malam ini Ban-jin-kiong tentu akan timbul peristiwa.” Ban-jin Kiong-cu tersenyum: “Terima kasih atas peringatan saudara Leng. Apakah alasanmu mengatakan begitu?”

“Soal itu engkau tak perlu tahu.”

Kepala Ban-jin-kiong tertawa keras, serunya: “Ah, kalau begitu aku telah mengukur baju orang dengan ukuran badanku. Mengukur hati seorang siau-jin (orang rendah) dengan ukuran hati seorang kesatria.”

“Ban-jin Kiong-cu, bagaimana Siau toako kami!” tiba-tiba Hun-ing membentak.

Kepala Ban-jin-kiong terkesiap lalu tertawa keras: “Aneh, aneh, engkau sendiri yang menyebabkan dia pergi, sekarang engkau minta.”

Menggigillah Hun-ing karena marah, serunya: “Jika engkau berani mengganggu selembar rambutnya, aku tentu akan mengadu jiwa dengan engkau…….”

Walaupun mulut mengancam tetapi Hun-ing menyadari kelihayan kepala Ban-jin-kiong itu maka ia tak berani gegabah bertindak.

Tetapi Cu-ing sudah tak dapat menahan diri lagi. Dengan melengking keras ia segera menerjang kepala Ban-jin-kiong dengan pedangnya seraya memaki: “Imam busuk, terimalah seranganku!”

Kepala Ban-jin-kiong terkesiap tetapi cepat-cepat iapun menghindar ke samping.

“O, kiranya engkau Nyo Cu-ing anak murid Tay Hui Sin-ni, maaf, maaf!” serunya, “kali ini Ban-jin-kiong akan mengadakan perjamuan besar untuk  menyambut  sahabat-sahabat  lama.  Bukankah  begitu  saudara  Leng ”

Karena tusukannya luput, Cu-ing segera kembangkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat. Pedang segera berhamburan memancarkan sinar dingin. Pedang menyambar naik turun, menusuk, menabas, membabat dan memagut jalan darah berbahaya di seluruh tubuh lawan.

Kepala Ban-jin-kiong berayun menghindari diri sampai setombak jauhnya.

“Bagus, budak perempuan,” ia tertawa gelak-gelak, walaupun engkau sudah mendapat pelajaran seluruh ilmu pedang dari Tay Hui Sin-ni tetapi untuk melawan aku, masih jauh dari kurang?”

Cu-ing penasaran kerena dengan mudah lawan dapat lolos dari pedangnya, serunya: “Imam jahat, cobalah engkau terima serangan pedangku lagi!”

Nona itu maju dan tiba-tiba pedangnya telah berganti gaya. Angin menderu keras, empat penjuru dilingkupi sinar dingin. Dalam sekejap saja, kepala Ban-jin-kiong itu sudah terkurung dalam sinar pedang.

Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong itu tertawa panjang, serunya: “Hebat, hebat benar ilmu pedang Tay-hui-kiam- hwat itu ha, ha, ha!”

Dalam pada tertawa itu bagaikan sesosok setan, ia sudah berlincahan menerobos keluar dari kepungan sinar pedang. Sekali ulurkan tangan ia sudah dapat mencengkeram tangan si nona dan terus merebut pedangnya.

Cu-ing benar-benar terkejut sekali. Cepat ia ayunkan tangan kirinya untuk menghantam dada orang.

Ketua Ban-jin-kiong menghindar ke samping, sesaat tinju Cu-ing melayang, segera ia tutukkan jarinya ke lengan si nona dan terus menarik lalu mengepitnya.

Peristiwa itu berlangsung hanya dalam sekejap mata saja sehingga Hun-ing masih tertegun dan Leng Tiong-siang pun tak sempat memberi pertolongan lagi.

Sesaat kemudian tanpa menghiraukan bagaimana akibatnya lagi, Hun-ing terus menyerang dengan pedangnya.

Sesosok tubuh berayun dan tahu-tahu tangan ketua Ban-jin-kiong itu sudah bertambah lagi dengan sebatang pedang dan Hun-ing pun sudah berada dalam pelukannya.

Jika tak melihat sendiri tentu Leng Tiong-siang tak percaya bahwa hanya dalam sekejap mata saja kedua nona itu sudah dapat dikuasai ketua Ban-jin-kiong.

Kakek wajah dingin itu berobah wajahnya lalu berseru dengan dingin sekali, “Ban-jin Kiong-cu, lepaskan kedua orang itu.” Kepala Ban-jin-kiong tertegun malihat sikap Leng Tiong-siang yang begitu dingin menyeramkan. Tetapi sesaat kemudian ia berseru: “Jika tak kulepaskan?”

09.44. Tempat Rahasia Istana Ban-jin-kiong

Dengan dingin dan tegas, Leng Tiong-siang pun berkata, “Jika tidak aku tentu engkau yang akan mati di sini.”

Ketua Ban-jin-kiong tertawa gelak-gelak.

“Leng Tiong-siang, sekarang bukanlah seperti tempo dahulu. Memang empatpuluh tahun yang lalu aku  agak takut kepadamu. Delapan tahun berselang, masih gentar juga kepadamu. Tetapi sekarang, ha, ha, aku Ban Jin-hoan boleh menepuk dada mengatakan bahwa engkau Leng Tiong-siang, belum tentu dapat mengalahkan aku. Apalagi aku mempunyai anak buah yang banyak jumlah. Engkau Leng Tiong-siang sudah tak berarti apa-apa bagi Ban-jin-kiong.”

Ternyata kepala Ban-jin-kiong itu bernama Ban Jin-hoan. “Hm, silahkan coba,” seru Leng Tiong-siang dingin.

Tiba-tiba Ban Jin-hoan tersenyum sinis, serunya, “Leng Tiong-siang, tampaknya engkau masih mengenangkan wanita busuk itu tetapi belum tentu dia masih mau mengenalmu.”

Mendengar kata-kata itu gemetarlah Leng Tiong-siang, serunya, “Ban Jin-hoan, jangan terlalu menghina orang. Mengungkat peristiwa delapanbelas tahun yang lalu, berarti membuka borok yang tak sedap dilihat. He, jangan kira aku dapat engkau bikin panas hati dengan ejekanmu itu. Jangan kuatir soal itu!”

Tiba-tiba kepala Ban-jin-kiong menengadahkan kepala dan tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan, dendam, marah dan kebencian.

“Ban Jin-hoan,” seru Leng Tiong-siang dengan nada agak iba. “jika engkau mau menghapus dendam lama itu, aku Leng Tiong-siang pun akan menurut untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan dan takkan menuntut perbuatanmu, apa yang engkau lakukan selama delapanbelas tahun ini.”

Tubuh ketua Ban-jin-kiong itu agak gemetar. Walaupun mukanya ditutup kain kerudung tetapi jelas dia tegang sekali wajahnya.

Suasana hening, dunia seolah tenggelam dalam kepekatan.

“Ban Jin-hoan, apakah engkau setuju?” tiba-tiba Leng Tiong-siang memecah kesunyian.

“Tidak,” sahut Ban Jin-hoan dengan nada dingin, “aku tak pernah menyesal. Dengan memandang mukamu, kedua budak perempuan ini kulepaskan. Tetapi ketahuilah, bahwa sejak saat ini, himpaslah sudah  budi yang engkau berikan kepadaku. Lain kali kalau bertemu lagi, kita akan menyelesaikan dengan kepandaian masing-masing. Cukup sekian dan sampai jumpa lagi!”

Setelah lepaskan Cu-ing dan Hun-ing, ketua Ban-jin-kiong itu terus berputar tubuh dan pergi. “Tunggu!” tiba-tiba Leng Tiong-siang berseru.

“Masih ada urusan apalagi?” ketua Ban-jin-kiong berpaling.

“Tentang diri Siau Lo-seng anak itu. “Jika engkau tak mau memandang mukaku, baiklah engkau mengingat ibunya dan jangan terlalu menyusahkannya!”

Ketua Ban-jin-kiong tertawa dingin, serunya: “Sebelum aku sekali lagi bertemu muka dengan ibunya, aku takkan mencelakainya.”

“Kalau begitu, bebaskanlah dia!” kata Leng Tiong-siang. Ban Jin-hoan tertawa meloroh.

“He, bahkan engkaupun tak percaya kepada Ban Jin-hoan. Walaupun aku Ban Jin-hoan itu seorang manusia yang ganas, licin dan licik, tetapi aku masih dapat pegang janji. Kalau tidak masakan saat ini aku mau berhadapan dengan engkau.” “Baik,” seru Leng Tiong-siang, “dalam hal itu aku percaya kepadamu. Ang Siong-pik si Buddha Emas dan peniup seruling yang belum diketahui orangnya, tak lama lagi akan menyerbu istana Ban-jin-kiong. Kalau perhitunganku tak meleset, Tay Hui Sin-ni dan dia pun segera akan datang. Engkau harus lekas pulang

untuk bersiap sedia.”

“Hm, jangan lupa,” kata Ban Jin-hoan dengan nada dingin, “sekarang di antara kita berdua sudah tiada ikatan bahkan sudah menjadi lawan. Tak perlu engkau cari muka.”

Hahis berkata kepala Ban-jin-kiong itu sudah meluncur lenyap dalam kegelapan malam.

Leng Tiong-siang menghela napas. Sambil memandang bayangan Ban Jin-hoan yang lenyap dalam kegelapan, dia masih terkesan akan kata-kata yang terakhir dari kepala Ban-jin-kiong itu. Walaupun diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas mengandung percikan nada yang lembut.

Ah, masa beredar, jaman berganti dan manusiapun berganti. Hanya dia seorang dan ketua Ban-jin-kiong itu masih tak berobah keadaannya.

Walaupun sudah dilepas tetapi karena jalan darahnya ditutuk oleh Ban-jin Kiong-cu maka kedua nona Hun- ing dan Cu-ing tak dapat berkutik dan bicara. Tetapi pikiran mereka masih sadar.

Apa yang telah terjadi antara Leng Tiong-siang dengan kepala Ban-jin-kiong itu dapat dilihat dan didengarkan mereka. Segera mereka mendapat kesan bahwa di antara Leng Tiong-siang dengan kepala Ban-jin-kiong itu terdapat suatu jalinan hubungan yang tidak biasa. Dan hubungan itu menyangkut dirinya serta Siau Lo-seng.

Betapapun cerdasnya kedua nona itu namun karena peristiwa itu mempunyai liku-liku yang ruwet dan berbelit-belit, kedua nona itupun tak dapat merangkai dugaan.

Hanya ketika melihat bagaimana Leng Tiong-siang seperti orang yang kehilangan semangat, kedua nona itupun menitik airmata ikut terharu.

Tetapi mereka tak tahu mengapa ikut menitikkan airmata dan mengapa mereka harus menaruh simpathi terhadap orang yang diserangnya tadi……

Tiba-tiba Leng Tiong-siang kedengaran berkata seorang diri: “Empatpuluh tahun telah berlalu seperti air mengalir. Awan berarak angin berhembus dan langitpun membekas dendam ”

Pada wajah Leng Tiong-siang kakek yang dingin itu, menitik dua butir airmata. Alam sekeliling makin senyap dan rawan.

Tiba-tiba   terdengarlah   Kakek   wajah   dingin   itu   bersenandung   sebuah   lagu   yang   mengharukan:

Air beriak  di   musim   semi Sungai  mengalir   jauh   ke  muara Bertemu   laut   kembali    asal. Langkahpun         tertatih-tatih

Hatimu remuk rendam......

Tetapi siapa yang tahu

Hatiku patah......

Bagai guguran bunga Tho

Hanyut dibawa air mengalir......

Nada yang haru, mencurahkan hati yang patah dan tubuh Leng Tiong-siang pun diayun langkah tertatih- tatih lenyap dalam kegelapan malam.

Duniapun sunyi senyap…..

********************

“Adik Ing, hutan ini aneh sekali,” tiba-tiba terdengar lengking suara seorang nona memecah kesunyian suasana. “Ya, memang benar, sudah hampir tiga jam kita tak dapat keluar dari sini dan tak berjumpa dengan seorang manusiapun juga. Adakah istana Ban-jin-kiong ini memang tiada penghuninya?” seru seorang nona lain.

Ternyata kedua nona itu adalah Hun-ing dan Cu-ing. Setengah jam setelah Leng Tiong-siang pergi barulah keduanya dapat terbuka jalan darahnya.

Walaupun sudah mendengar janji dari kepala Ban-jin-kiong akan membebaskan Siau Lo-seng tetapi kedua nona itu tetap cemas. Mereka menuju ke bagian belakang gunung dan masuk ke hutan itu.

“Adik Ing, rasanya hutan ini memang diatur menurut susunan barisan yang aneh,” kata Hun-ing pula, “tetapi segala macam barisan kita sudah pernah masuk mengapa yang ini tak dapat keluar. Rasanya rumah gubuk itu mempunyai rahasia. Mari kita periksa kesana.” 

“Aku sudah masuk ke situ,” sahut Cu-ing. “kecuali setumpuk rumput kering, di situ tak terdapat lain-lain barang lagi.”

“Tetapi aku hendak memeriksanya,” kata Hun-ing.

Dan kedua nona itupun terus ayunkan tubuh lari menyusup ke dalam hutan. Tak lama tampaklah sebuah rumah gubuk yang hampir roboh.

“Hutan di empat penjuru yang mengelilingi pondok itu jelas diatur seperti susunan barisan Su-giong-ngo- heng-tin. Tetapi yang sebelah sana sungguh aneh sekali. Walaupun kita menyusup menurut susunan barisan Thay-kek, Su-giong-ngo-heng, Kiu-kiong-pat-kwa dan Jit-jing-pak-tou, tetap tak dapat keluar,” kata Hun-ing.

“Tak usah menghiraukannya,” kata Cu-ing, “hayo kita beristirahat sebentar dalam gubuk itu.”

“Hai, waktu engkau pergi tadi, bukankah pintu gubuk itu engkau buka? Mengapa sekarang tertutup sendiri?” tiba-tiba Hun-ing berseru heran.

Cu-ing pun melonjak kaget.

“Benar, waktu aku keluar, pintu itu memang kubuka tetapi mengapa sekarang tertutup lagi?” kata Cu-ing, “jelas pintu itu tak mungkin dapat menutup sendiri. Apakah di dalam gubuk itu terdapat orangnya?”

“Hayo, kita 1ihat ke sana,” kata Cu-ing. “Jangan gegabah bertindak,” cegah Hun-ing.

“Takut apa? Kalau ada orangnya, lebih baik. Kita seret dia keluar.” “Ah, adik Ing, mengapa engkau masih suka mengumbar nafsu?” “Tetapi kita tak bisa hanya menunggu di sini saja?” bantah Cu-ing.

“Baiklah,” akhirnya Hun-ing mengalah, “aku yang masuk dan engkau jaga di luar.” “Tidak,” seru Cu-ing. “lebih baik aku saja yang masuk.”

Diam-diam Hun-ing tertawa dan menganggap Cu-ing itu masih berhati kekanak-kanakan. “Baiklah, engkau ikut di belakangku tetapi jangan sembarangan bergerak.”

Demikian kedua nona itu segera ayunkan langkah menuju ke pondok, tertutup rapat dan tak kedengaran suara apa-apa.

“Hai, apakah di dalam ada orang?” teriak Hun-ing seraya mempersiapkan pedang. Tetapi sampai diulang beberapa kali, tetap tiada jawaban.

Rupanya Cu-ing tak sabar lagi. Mendorong pintu ia terus menerjang masuk. Ternyata pintu memang tidak dikancing sehingga sekali dorong, terbuka.

Hun-ing terkejut dan cepat-cepat memberi peringatan: “Hati-hati, adik Ing.” Iapun segera ikut masuk.

Dalam pondok itu ternyata penuh dengan sarang labah dan debu. Daun jendela sudah rusak. Keadaan itu memberi kesan bahwa memang sudah lama pondok tersebut tak didiami orang. Suasana yang suram dan sepi membuat bulu roma Cu-ing meremang. Tiba-tiba terdengar suara bercuit-cuit. Cu-ing menjerit kaget dan mundur tiga langkah, memeluk Hun-ing.

Ternyata pada waktu Hun-ing masuk telah mengejutkan seekor tikus. Tikus ketakutan dan mencicit lari ke ujung pondok.

“Ah, hanya seekor tikus, mengapa engkau ketakutan setengah mati?” Hun-ing tertawa. “Apa?” teriak Cu-ing, “kurang ajar, tikus itu tentu kubunuh.”

“Sudahlah adik Ing, jangan garang-garang. Apa tidak ingat tadi?” Hun-ing menertawakan. “Apa? Aku tidak takut!” merah muka Cu-ing lalu melangkah masuk ke sebelah dalam. “Tunggu!” seru Hun-ing, “apakah engkau tak heran kalau di sini terdapat tikus?”

Cu-ing seorang dari yang cerdas. Segera dapat menangkap maksud pertanyaan Hun-ing.

“Benar, cici Hun,” serunya tersadar, “di sekitar tempat ini tiada terdapat rumah orang dan pondok ini sudah lama kosong. Tak ada sedikitpun makanan di sini. Tetapi mengapa kawanan tikus itu tinggal di sini? Apakah masih ada tempat rahasia lain?”

Kedua nona itu mulai memeriksa ujung pondok yang gelap.

“Adik Ing, lihatlah,” tiba-tiba Hun-ing berbisik, “bukankah daun pintu itu agak aneh?”

Sesaat Cu-ing memandang seksama, iapun merasa heran. Sebuah daun pintu yang tingginya dua meter, saat itu tampak bersih tiada debunya. Dan ketika pertama masuk ke situ, ia tak sempat melihat daun pintu itu.

“Benar, cici Hun,” kata Cu-ing, “rupanya daun pintu itu telah dipegang orang.”

Cu-ing segera songsongkan ujung pedang mencongkel daun pintu, “brak……” daun pintu itupun terbuka. Suaranya menambah keseraman suasana rumah pondok itu.

Dengan lintangkan pedang melindungi dada, Hun-ing melongok ke dalam ruang. Dalam keremangan, ia melihat sebuah tangga batu yang menuju ke bawah. Ah, ternyata sebuah tangga batu dari suatu ruangan di bawah tanah.

Teganglah perasaan Hun-ing.

“Adik Ing,” serunya, “ternyata rumah pondok itu mempunyai ruang di bawah tanah. Penghuni rumah ini tentu seorang yang menyangsikan.”

“Apa lagi!” gerutu Cu-ing, “karena tempat ini berada dalam lingkungan istana Ban-jin-kiong, sudah tentu orang-orangnya jahat. Kalau tidak masakan mereka akan membuat tempat yang begini menyeramkan.”

Tanpa disengaja ucapan Cu-ing itu telah membuat muka Hun-ing merah. Karena bukankah ia juga menyaru menjadi Mo-seng-li yang serba misterius gerak geriknya?

“Ya, memang bukan orang baik semua,” serunya dengan menyeringai.

Cu-ing tak memikirkan hal itu lagi. Dan memang ia tak bermaksud hendak menyindir Hun-ing. “Cici Hun, lekaslah cari obor dan mari kita masuk,” kata dara itu.

Hun-ing menjemput sebatang dahan kayu dan segenggam rumput kering lalu menyalakan korek api dan menyulutnya.

Demikianlah kedua nona itu dengan tangan kiri mencekal obor dan tangan kanan memegang pedang, pelahan-lahan mulai menuruni tangga batu ke bawah.

“Aku akan turun dulu,” kata Cu-ing terus loncat melayang ke bawah. Hun-ing terpaksa menyusul.

Begitu tiba di tanah dengan langkah lebar Cu-ing terus menuju ke sebelah dalam dan Hun-ing bergegas menyusulnya.

Tiba-tiba hidung mereka terlanda serangkum hawa busuk dan serempak pada saat itu Cu-ing pun menjerit kaget dan menyurut mundur. Hun-ing songsongkan obor ke muka dan mementang mata. Astaga…… ternyata dalam ruang itu terdapat belasan peti mati.

Walaupun bernyali besar tetapi mau tak mau, Hun-ing menggigil juga hatinya. Sampai beberapa saat baru  ia dapat bicara.

“Apakah artinya itu?” katanya, “hayo, kita periksa.”

Cu-ing tegakkan semangat lalu menghampiri sebuah peti mati: “Cici Hun, bagaimana kalau kubuka peti mati ini?”

“Boleh tetapi harus hati-hati,” kata Hun-ing.

Cu-ing menurut. Setelah mundur dua langkah dan lintangkan sebelah tangan melindungi dada, ia mulai mencongkel peti mati itu dengan pedang.

“Tunggu,” tiba-tiba Hun-ing berseru.

Cu-ing hentikan gerakannya dan mundur tiga langkah.

Hun-ing mengangkat obor tinggi-tinggi dan memandang ke sekeliling ruang itu. Empat sudut ruang itu tergantung dua buah lentera. Yang lain-lain sudah padam. Hun-ing lalu menyalakan sebuah lentera di sebelah kanan. Demikianpun Cu-ing. Kedua nona itu sibuk menyulut lentera-lentera yang berjumlah  delapan buah.

Kini setelah terang barulah dapat diketahui bahwa peti mati yang berada dalam ruang itu berjumlah delapanbelas buah.

“Kita buka sebuah peti mati dan lihat apa isinya,” kata Cu-ing pula.

“Hati-hatilah,” kata Hun-ing seraya kerahkan tenaga dalam untuk bersiap-siap.

Cu-ing tertawa hambar, “Rasanya isi peti itu tentu hanya sesosok tulang kerangka. Perlu apa kita takut?”

“Dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat. Baiklah engkau berhati-hati,” Hun-ing memberi peringatan.

Hun-ing mulai ayunkan langkah menghampiri peti mati tadi. Ia tusukkan ujung pedang pada tutup peti lalu sekali mecongkel, terus menyurut mundur.

“Brak… ”

Tutup peti terlempar jatuh ke lantai dan dari dalam peti itu muncullah sebuah benda. Cu-ing menjerit dan Hun-ing pun terkejut bukan kepalang.

Tanpa melihat jelas apa sesungguhnya benda itu Cu-ing terus taburkan pedangnya. Dalam pada itu Hun-ing pun lepaskan sebuah hantaman.

“Bum, bum… ”

Pedang tepat menyusup ke dada benda itu dan karena pukulan Hun-ing, pedang makin menembus sampai ke punggung.

Tetapi ketika kedua nona itu memandang dengan seksama, menjeritlah Cu-ing: “Hai, hanya sesosok mayat. Tetapi mengapa mayat itu dapat duduk?”

Memang yang dikatakan Cu-ing itu benar. Benda yang muncul dari dalam peti mati, sesosok mayat yang terbungkus kain putih.

Hun-ing yang bermata tajam cepat dapat mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata mayat itu diikat dengan seutas tali halus pada tutup peti. Begitu tutup peti terbuka, mayat itupun ikut terangkat naik.

“O, kiranya diikat dengan tali,” setelah mengetahui, Cu-ing pun berseru.

Dengan siapkan tenaga dalam, Hun-ing maju menghampiri untuk memeriksa keadaan peti mati itu.

Ia mencabut pedang dan diserahkan kepada Cu-ing seraya memberi pesan, lain kali jangan sembarangan melontarkan senjatamu.”  “Apakah artinya benda itu?” tanya Cu-ing.

09.45. Mayat Hidup

“Hanya sesosok mayat yang dibalut dengan kain putih. Sudah tentu dia tak menderita luka apa-apa,” jawab Hun-ing.

“Kita buka lagi sebuah peti lain,” kata Cu-ing. Ia segera menghampiri ke sebuah peti lagi dan mendorong tutupnya. “Brak……” tutup peti terbuka tetapi mayat tetap rebah dan tidak duduk seperti yang tadi.

Cu-ing mengusulkan untuk membuka semua peti mati. Hun-ing setuju. Keduanya lalu bersama membuka peti mati.

Ketika Hun-ing membuka sebuah peti mati, di dalamnya terdapat sesosok mayat yang dibalut dengan  sutera putih.

“Hai, peti mati ini juga terdapat mayat yang dibalut sutera putih,” seru Cu-ing ketika membuka sebuah peti mati.

Dengan cepat kedua nona itu telah membuka duabelas buah peti mati yang berisi duabelas mayat dibalut sutera putih. Yang belum dibuka tinggal enam buah.

“Astaga!” tiba-tiba Cu-ing menjerit kaget. “Mengapa?” tegur Hun-ing,

“Lihatlah kemari, mayat ini mati atau masih hidup?”

Ketika Hun-ing menghampiri ia melihat dalam peti mati itu berisi seorang lelaki bertubuh besar, muka brewok dan mengenakan pakaian pertapa. Dia rebah membujur dalam peti dengan kedua mata merentang lebar seperti orang hidup.

Dalam sebuah ruang di bawah tanah, belasan peti mati berisi mayat itu sudah cukup menyeramkan. Dan apabila ditambah pula dengan seorang mayat yang menyerupai orang masih hidup, sudah tentu Cu-ing menjerit kaget.

“Cici Hun, kenalkan engkau pada orang ini?” tanya Cu-ing.

Sejenak Hun-ing memandang dengan teliti dan berobahlah wajahnya: “Ketua partai persilatan Ceng-sia- pay, Pedang seribu bayangan Lim Tay-som!”

“Ya, benar, memang dia,” kata Cu-ing.

“Ah, sungguh tak terduga bahwa ketua partai Ceng-sia-pay yang menghilang sejak enambelas tahun yang lalu ternyata mayatnya berada di sini,” kata Hun-ing pula.

Tiba-tiba Cu-ing gelengkan kepala: “Aneh sekali!” “Tentu saja mengherankan,” sambut Hun-ing. “Bukan,” sahut Cu-ing pula. “bukan soal itu.” “Soal apa?”

“Menilik tutup peti penuh dengan debu, jelas peti itu tentu sudah beberapa tahun berada di sini. Mengapa mayat di dalamnya tidak rusak?” kata Cu-ing.

Memandang pula keadaan mayat dalam sebuah peti mati, berkatalah Hun-ing: “Mungkin mayat itu telah direndam dengan obat, sehingga……”

Tiba-tiba Hun-ing menjerit kaget dan hentikan kata-katanya. “Mengapa?” seru Cu-ing ikut terkejut.

“Mayat ini adalah mumi!” teriak Hun-ing. “Mumi?” “Ya, mayat-mayat ini jelas mumi ciptaan orang Ban-jin-kiong,” seru Hun-ing pula, “masih ingatkah engkau akan keduabelas mayat hidup yang menyerang dengan tiba-tiba ke markas perkumpulan kita tempo hari? Wanita Im-kian-li, Raja Akhirat dan Siau toako sendiri waktu kehilangan kesadaran pikirannya. Bukankah mereka memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya? Jelas kesemuanya itu adalah ciptaan dari ketua Ban- jin-kiong yang rupanya paham akan ilmu membuat mayat hidup!”

“Kalau begitu mayat-mayat yang berada dalam peti mati ini terdiri dari tokoh-tokoh persilatan ternama. Lalu bagaimana tindakan kita?” kata Cu-ing.

“Bagaimana kalau kita buka sama sekali beberapa peti mati yang masih tertutup itu?” tanya Hun-ing. Nona itu bahkan terus menghampiri sebuah peti dan terus mendorong tutupnya.

“Hai !” kedua nona itu menjerit dan menyurut dua langkah. Wajah keduanya berobah pucat.

Beberapa saat kemudian barulah Cu-ing bertanya: “Cici Hun, apakah yang kita lihat itu suatu kenyataan?”

Kiranya yang rebah dalam peti mati itu adalah sebuah mayat yang dikenal mereka. Ya, tak lain adalah Han Ceng-jiang, ketua perguruan Thay-kek-bun.

“Adik Ing, pada waktu Han ciang-bun meninggal, bukankah engkau sudah memeriksa bahwa dia benar- benar sudah putus nyawanya?” seru Hun-ing

Belum Cu-ing menyahut tiba-tiba terdengar suara jawaban: “Pada waktu itu bukankah Han Ceng-jiang sudah mati dan mayatnya pun sudah dingin.

Cu-ing dan Hun-ing seperti disambar kilat kejutnya. Suara itu jelas dari Siau Lo-seng. Cepat kedua nona itu berpaling.

Disamping sebuah peti mati lebih kurang tujuh tombak jauhnya, tampak tegak seorang pemuda Siau Lo-

seng.

“Siau toako, engkau…… engkau di sini!” seru Cu-ing.

Siau Lo-seng menghela napas pelahan, sahutnya: “Harap kalian lekas kemari untuk memeriksa siapakah orang ini?”

Kedua nona itu terkejut dan cepat-cepat maju menghampiri.

“Ayah......” serentak menjeritlah Cu-ing ketika mengetahui bahwa mayat yang berada dalam peti mati itu bukan lain adalah ayahnya, Pit penyanggah langit Nyo Jong-ho.

Airmata Cu-ing berderai-derai membanjir turun.

“Siau toako, apakah kesadaran ingatanmu tidak lenyap?” tanya Hun-ing.

“Saat ini aku sedang memikirkan sebuah persoalan yang aneh,” jawab Lo-seng.

“Lalu bagaimana pendapat Siau toako mengenai mayat Han ciang-bun dan paman Nyo ini,” tanya Hun-ing pula.

Hun-ing memang cerdas. Setelah melihat jenazah kedua tokoh tua itu, serentak ia sudah membayangkan suatu dugaan.

Dan jelas pada waktu itu jenazah kedua tokoh sakti itu telah dibawa anak buah Naga Hijau pulang ke Lok- yang. Tetapi mengapa tahu-tahu berada di tempat ini?

Mendapat pertanyaan Hun-ing, Siau Lo-seng merenung sejenak lalu berkata: “Apakah mayat yang kita lihat tempo hari bukan mayat dari Nyo bengcu dan Han ciang-bun?”

“Tak mungkin,” seru Cu-ing. “Siau toako, masakan kita semua tak kenal pada mendiang ayahku dan Han ciang-bun?”

“Memang hal itu tak mungkin,” seru Hun-ing.

“Peristiwa dalam dunia, sebelum terjadi memang sering dianggap mustahil oleh orang,” kata Siau Lo-seng. “tetapi bagaimana kita harus berkata kalau kenyataannya seperti yang kita hadapi saat ini?” Sekali lagi Cu-ing memandang mayat dalam peti mati itu. Ingin ia memeriksa dengan jelas apakah mayat itu benar mayat ayahnya atau bukan.

Dapatkah dalam waktu yang begitu singkat, orang-orang Ban-jin-kiong mengambil jenazah ayahnya dari Lok-yang dibawa kemari? Dan mengapa jenazah ayahnya sudah meninggal beberapa bulan itu masih tetap tak rusak?

Cu-ing yang biasanya cerdik, kali ini benar-benar bingung.

“Siau toako bagaimana sesungguhnya hal ini?” akhirnya ia berseru kepada Lo-seng. Siau Lo-seng menghela napas kecil.

“Menurut dugaanku, jauh beberapa bulan yang lalu paman Nyo dan Han ciang-bun telah dibunuh oleh  orang Ban-jin-kiong lalu dibawa ke mari hendak dijadikan mumi……”

“Lalu mayat siapakah yang kita lihat dalam pondok dahulu itu?” tanya Cu-ing. “Sebuah mayat palsu!” seru Lo-seng.

“Aku tak percaya di dunia terdapat orang yang mampu menciptakan seorang manusia yang mirip satu sama lain.”

“Justeru hal itulah yang membuat aku merasa kagum kepada Ban-jin-kiong,” kata Siau Lo-seng.

Akhirnya berkatalah Hun-ing, “Apa yang dikemukakan Siau toako itu memang benar. Sekarang tinggal bagaimana langkah kita terhadap mayat-mayat yang belum ditempa jadi mumi ini.”

“Sekali pihak Ban-jin-kiong dapat menjadikan tokoh-tokoh itu sebagai mumi, dunia persilatan pasti akan kiamat……” kata Lo-seng.

Tanpa berkata apa-apa, Cu-ing terus membacok mayat ayahnya itu.

“Adik Ing, jangan......” teriak Hun-ing. Tetapi sudah tak keburu lagi. Untunglah saat itu Lo-seng cepat melentikkan jari tangan kirinya untuk menyiak tangan Cu-ing. Pedang nona itupun menyasar ke samping dan menusuk pada dasar peti mati.

“Siau toako...... mengapa engkau menghalangi aku ” teriak Cu-ing seraya bercucuran airmata.

Cu-ing mengakui kebenaran ucapan Siau Lo-seng tadi. Ia tahu bagaimana peribadi ayahnya sewaktu masih hidup. Maka ia tak rela ayahnya akan dijadikan mumi yang ganas. Lebih baik ia lenyapkan saja.

Rupanya Hun-ing dan Siau Lo-seng tahu isi hati Cu-ing.

“Adik Ing, maksud kita bukan hendak menghancurkan mayat-mayat ini,” kata Siau Lo-seng.

“Walaupun ayahku tidak mati tetapi kalau dijadikan seorang mumi, bukankah tak beda seperti orang mati?” seru Cu-ing, “kalau sekarang kita hancurkan mayat-mayat ini, bukan saja arwah mereka akan dapat mengasoh dengan tenteram di alam baka. Pun terhadap dunia persilatan akan terbebas dari musibah  besar. Dan mayat-mayat itupun tak sampai melakukan dosa berdarah yang hebat.”

Diam-diam Hun-ing memuji alasan yang dikemukakan dara itu.

“Adik Ing,” kata Hun-ing sesaat kemudian, “Harap jangan gelisah. Kalau Siau toako mencegahmu, dia tentu sudah mempunyai cara yang baik.”

“Kecuali dapat menghidupkan mereka, tiada langkah yang lebih baik daripada menghancurkan mumi-mumi itu agar jangan sampai menimbulkan malapetaka di dunia persilatan,” kata Cu-ing.

“Benar,” sahut Siau Lo-seng, “kalau tak dapat menghidupkan memang lebih baik kita hancurkan saja.” “Siau toako,” seru Hun-ing, “dapatkah engkau mengembalikan kesadaran pikiran mereka?”

Siau Lo-seng tertawa hambar dan gelengkan kepala: “Kalau bisa, mengapa aku tak mau melakukan?” “Kalau begitu, lebih baik kita hancurkan saja,” kata Cu-ing terus hendak menusuk pada peti mati.

“Nanti dulu,” seru Hun-ing. “walaupun Siau toako tak dapat tetapi kurasa di dunia ini masih terdapat seseorang yang mampu menyembuhkan mereka.” “Siapa? Apakah ketua Ban-jin-kiong?” teriak Cu-ing tegang.

“Walaupun  ketua  Ban-jin-kiong  mampu  tetapi  jelas  dia  tentu  tak  mau,”  kata  Hun-ing,  hm yang

kumaksudkan yalah orang yang meniup seruling itu.

Siau Lo-seng mengangguk dan diam-diam memuji kecerdikan nona itu.

“Hai, betul,” seru Cu-ing gembira, “mengapa aku sampai lupa kepada orang itu. Tetapi dalam dunia yang begini luas kemanakah kita akan mencarinya?”

Kemudian Hun-ing berkata kepada Lo-seng:

“Siau toako, tak perlu kita hiraukan orang itu dulu,” katanya, “yang penting apakah suara seruling itu dapat menyadarkan pikiran mayat-mayat ini?”

“Adik Hun,” jawab Siau Lo-seng, “engkau benar. Suara seruling itu belum tentu dapat menyembuhkan ingatan seorang mumi. Tetapi tiada jeleknya untuk dicoba karena hal itu merupakan satu-satunya harapan kita.”

Hun-ing menghela napas panjang.

“Kalau begitu, nasib dunia persilatan kelak hanya tergantung dari sebatang seruling ajaib itu, ah, locianpwe, kalau engkau memang golongan pihak kita, mengapa tak mau unjuk diri untuk menolong ”

Siau Lo-seng dan Cu-ing termangu heran melihat Hun-ing berkata seorang diri itu.

“Ah, suara seruling adik Hun, bagaimana engkau tahu?” tiba Siau Lo-seng seperti menyadari sesuatu.

Ternyata saat itu ia memang mendengar sealun suara seruling yang lembut, antara terdengar dan hilang.

Ia tak tahu bilakah suara seruling itu berbunyi. Dan apakah ia dapat sadar pikirannya karena seruling itu terus menerus berbunyi sejak tadi.

“Siau toako, apakah engkau mendengar suara seruling?” tanya Hun-ing. “Masih,” Siau Lo-seng mengangguk, “adakah kalian tidak mendengar apa-apa?”

“Aku tidak mendengar apa-apa,” kata Cu-ing heran lalu berpaling kepada Hun-ing, “Cici Hun apakah engkau mendengar?”

Hun-ing gelengkan kepala.

“Suara seruling dewa itu, kecuali Siau toako, kita tentu tak dapat menangkapnya,” katanya.

“Adik Hun, mengapa engkau tahu kalau seruling itu masih berbunyi?” Siau Lo-seng mengulang pertanyaannya.

“Ah, bukan karena aku pandai menduga atau dapat mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Tetapi aku hanya menduga-duga saja dan ternyata dapat menduga benar.”

“Cici Hun, engkau dapat menduga benar apa saja?” tanya Cu-ing.

“Kuduga peniup seruling itu tentu terus menerus mengikuti Siau toako. Dia hendak mengobati ingatan Siau toako dengan seruling itu,” kata Hun-ing.

“Hai, mengapa kita tak dapat menemukan orang itu?” Cu-ing terkejut.

“Peniup seruling itu sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh.” “Apakah saat ini dia masih berada di sekitar Siau toako?” tanya Cu-ing pula.

“Suara seruling tetap mengiang, jelas dia tentu tak meninggalkan Siau toako.”

Cu-ing membelalakkan mata. Ia heran tetapi tak berani tak percaya karena ia tahu babwa Hun-ing seorang nona yang cerdas sekali.

Hun-ing menghela napas, ujarnya: “Bermula aku heran mengapa Siau toako dapat sembuh ingatannya. Aku masih tak percaya tanpa suara seruling kesadaran Siau toako sudah pulih kembali. Maka ketika Siau toako muncul, aku selalu memperhatikan kerut wajahnya. Kulihat tiap kali wajahnya mengerut tegang seperti ada sesuatu yang menguasai pikirannya. Oleh karena itu aku segera menduga kalau Suara seruling itu masih mengiang di telinganya secara rahasia. Dan ternyata Siau toako memang mengakui kalau masih mendengar suara seruling itu sehingga makin memperkuat dugaanku.”

“Adik Hun, engkau sungguh cerdas,” Siau Lo-seng memuji.

“Tetapi cici Hun,” Cu-ing menyelutuk, “bagaimana engkau tahu kalau orang itu tengah meniup seruling  untuk mengobati Siau toako?”

“Kalau tidak untuk mengobati Siau toako, perlu apa seruling itu berbunyi berkepanjangan?” kata Hun-ing. “Kalau begitu orang itu tentu kenal pada Siau toako?” seru Cu-ing.

Seketika berobahlah kerut wajah Hun-ing serunya: “Siau toako, mari kita cari orang itu!” “Eh, bukankah cici mengatakan orang itu berada di sekitar tempat ini?” tanya Cu-ing.

Hun-ing tertawa: “Adik Ing, mengapa engkau makin lama makin tolol? Masakan di dunia ini terdapat ilmu menghilang? Yang kumaksudkan suara serulingnya yang selalu dekat pada Siau toako.”

“Apakah engkau tahu tempat bersembunyinya peniup seruling itu?” tanya Siau Lo-seng.

Hun-ing mengangguk: “Adik Ing mengatakan peniup seruling itu tentu sudah kenal pada Siau toako karena itu aku minta waktu untuk merenungkan orang itu dan mungkin dapat kita ketahui tempat persembunyiannya.”

“Dimana?” tanya Siau Lo-seng.

“Di sini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Ingat pohon-pohon bisa tumbuh telinga. Mari kita-lekas berangkat saja,” kata Hun-ing.

“Cici Hun, bagaimana dengan mayat-mayat ini?” tanya Cu-ing.

“Untuk sementara waktu, biarkan saja,” jawab Hun-ing, “mereka belum sempat ditempa maka belum berbahaya. Sekarang yang penting, kita cari peniup seruling itu untuk mengobati penyakit Siau toako.”

“Ah, hampir saja lupa,” tiba-tiba Siau Lo-seng berkata, “bagaimana kalian bisa datang kemari

“Ketika tiba-tiba Siau toako lenyap, kami kira Siau toako telah diculik orang Ban-jin-kiong, maka aku bersama cici Hun segera menyusup ke dalam hutan dan akhirnya dapat menemukan rumah pondok ini,” menuturkan Cu-ing.

“Ah, mereka begitu memperhatikan diriku. Bagaimana kelak aku dapat membalas budi kebaikan mereka?” diam-diam Siau Lo-seng mengeluh dalam hati.

“Siau toako, bagaimana tiba-tiba engkau muncul di sini?” tiba-tiba Hun-ing bertanya.

“Pada saat pikiranku limbung, aku gentayangan ke mana-mana. Ada kalanya otakku dapat berpikir adakalanya tidak. Aku tak tahu apa yang kulakukan.”

“Kalau begitu, ingatanmu itu hanya tergantung pada suara seruling itu?” tanya Hun-ing. Siau Lo-seng mengangguk.

“Benar, pada saat kutinggalkan kalian itu mungkin suara seruling itu berhenti untuk beberapa waktu.”

Tiba-tiba Cu-ing melengking: “Tempat ini sebuah tempat penting dalam istana Ban-jin kiong. Mengapa tiada dijaga sama sekali?”

Hun-ing tertawa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar