Pendekar 100 Hari Jilid 08

08.36. Misteri Hilangnya Mayat Siau Lo-seng

Orang berkerudung itu membiarkan Siau Lo-seng bermanja tawa. Sesaat kemudian baru ia berseru.

“Apa yang engkau tertawakan? Dalam beberapa bulan kemudian, akan kujadikan engkau seorang manusia yang selalu bersedih.”

Kata-kata itu ditutup dengan sebuah loncatan ke muka Lo-seng dan secepat kilat tangan kirinya sudah melepaskan tiga buah pukulan.

Lo-seng hentikan tawa dan cepat menghindari serangan itu lalu balas mengirim sebuah tusukan.

Tetapi dengan sebuah gerak yang luar biasa anehnya orang itu membalikkan siku lengan dan menyiak pedang ke samping lalu tutukkan ujung jarinya ke dada si pemuda.

Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menekuk kedua lutut mengendapkan tubuh ke bawah seraya menyurut mundur bebetapa langkah.

Kali ini, orang berkerudung itulah yang terperanjat. Tetapi pada lain kejap, sepasang matanya bahkan lebih berapi-api memancarkan nafsu pembunuhan. Tiba-tiba orang itu memutar tubuhnya, sederas angin puyuh dan tahu-tahu menghampiri ke tempat Lo-seng.

Mendengar kata-kata orang itu tahulah Lo-seng bahwa ia hendak ditangkap hidup-hidupan untuk dijadikan mumi (mayat hidup) dalam istana Ban-jin-kiong. Ia menyadari betapa akibatnya apabila hal itu sampai terjadi.

Ketika orang itu hampir tiba dihadapannya Lo-seng segera menusuknya. Tetapi orang itu tak mau menangkis ataupun menghindar. Sesaat ujung pedang sudah hampir mengenai dadanya, tiba-tiba ia tamparkan tangan kanannya,

“Uh......” terdengar suara mulut mendesuh tertahan. Pedang Lo-seng terlempar keluar dari ruangan bersama dengan orangnya.

“Bum. ”

Hun-ing dan Pek Wan Taysu berteriak kaget dan cepat-cepat memburu keluar. Tetapi gerak orang berkerudung itu jauh lebih gesit. Ia sudah mendahului ayunkan tubuh kehadapan Lo-seng.

Selekas jatuh di tanah. Lo-seng cepat bergeliatan bangun dan berseru nyaring: “Ui Pang-cu, paman Pek Wan, lekas kalian menyingkir!”

Dalam pada berseru itu, Lo-seng pun sudah menerjang kepada orang berkerudung. Gerakannya mirip dengan seekor harimau terluka.

Orang berkerudung pun tak mau banyak bicara, Lo-seng kalap, iapun segera menyambutnya dengan sebuah pukulan.

Tampaknya pukulan orang berkerudung itu lemah gemulai tiada bertenaga. Tetapi entah bagaimana tiba- tiba Lo-seng rasakan kaki kanannya lunglai dan “bluk ” jatuhlah ia ke tanah macam pohon ditabas.

Kiranya pukulan orang berkerudung tadi, tepat meremukkan isi rongga dada Lo-seng, sehingga dia menderita luka-dalam yang amat parah.

Lo-seng tahu akan hal itu tetapi ia nekad hendak berjuang sampai napas yang terakhir. Ia tak mau ditangkap hidup-hidupan untuk dijadikan mayat hidup. Maka dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya, ia meraung dan menerjang lawan. Ia sudah bertekad hendak mati bersama-sama.

Tetapi orang berkerudung itu tahu akan maksud Lo-seng. Ia tak mau melayani tindakan lawan dan melainkan gunakan ilmu menutuk dari jauh, merubuhkan kaki orang.

Saat itu kecuali hanya sebelah kaki kirinya dapat dikata Lo-seng sudah tak dapat berkutik lagi, Namun melihat Hun-ing dan Pek Wan Taysu tetap tak mau pergi, ia memekik sekuat-kuatnya: “Lekas kalian pergi jangan sampai mati semua di tempat ini.”

Kemauan hati memang merupakan suatu tenaga gaib pada manusia. Walaupun dalam keadaan tertutuk, namun karena sedemikian keras kemauan hati Lo-seng untuk menyelamatkan Hun-ing dan Pek  Wan Taysu, maka dengan kerahkan seluruh tenaga ia enjot tubuhya melintas ke sisi orang berkerudung. Dengan jurus Tui-ciok-tiam-hay atau Mendorong batu menimbun laut, dia hantam orang itu sekuat-kuatnya.

Lo-seng sebenarnya sudah menyadari bahwa apabila mau, lawan dengan mudah saat itu dapat menghantamnya mati. Tetapi ia tak takut dan memang sudah mengambil keputusan untuk mati. Ia mengharap agar lawan marah karena serangan itu lalu menurunkan Tangan Ganas untuk membunuhnya.

Tetapi rupanya orang aneh itu tak menghiraukan serangan Lo-seng. Bahkan ketika angin pukulan anak muda itu melandanya, iapun seolah membiarkan tubuhnya ikut dilayangkan ke udara.

Karena tubuh orang melayang ke atas udara pukulan Lo-seng pun mengenai angin kosong. Dan karena ia terlalu bernafsu sekali menghantam maka tubuhnyapun ikut menjorok ke muka. Karena kaki kanannya telah tertutuk jalan darahnya sehingga kaku, sudah tentu ia tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya lagi.

“Uh ” mulut mendesis dan orangnyapun seperti sebuah peluru roket yang akan membentur batu titian.

“Uh…….” kembali mulut pemuda itu mendesis tertahan ketika ia rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh suatu tenaga yang lunak.

Tindakan mencegah Lo-seng terbentur titian itu memang dilakukan oleh orang berkerudung, Tetapi karena ia sedang menyalurkan tenaga untuk menjaga keseimbangan tubuhnya di udara maka tamparannya berisi tenaga dalam penyedot itu pun kurang keras. Walaupun dapat mengurangkan kecepatan tubuh Lo-seng meluncur ke muka, namun tetap kepala pemuda itu membentur batu titian juga.

“Darrrr… seketika pingsanlah Lo-seng tak sadarkan diri lagi.

“Engkoh Siau......” Hun-ing menjerit kaget. Cepat ia menerjang dan menghantam punggung orang berkerudung itu.

Seperti punggungnya mempunyai mata, orang berkerudung itu tenang-tenang membalikkan tangan kanan untuk menyongsong serangan si nona.

“Celaka,” Pek Wan Taysu mengeluh. Ia tahu bahwa kepandaian nona itu bukan tandingan orang berkerudung.

Tetapi ternyata suatu peristiwa aneh yang tak terduga-duga telah terjadi. Terdengarlah letupan keras ketika kedua tenaga pukulan mereka saling beradu. Hun-ing terkulai duduk di tanah tetapi orang berkerudung itupun tersurut mundur selangkah……

“Hm, orang sakti siapakah yang bersembunyi dalam ruang ini?” seru orang berkerudung sesaat kemudian.

Sebagai penyahutan sesosok tubuh orang tua berjenggot panjang muncul dari ruangan yang gelap itu. Wajah orang tua itu dingin dan hambar

Melihat kehadiran orang tua berwajah dingin itu seketika Pek Wan Taysu berseru kejut: “Hai, Leng-bin-sin- kun Leng Tiong-siang ”

Memang kakek jenggot panjang dan berwajah dingin itu bukan lain yalah Leng-bin-sin-kun atau Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang yang pernah bertemu muka dengan Pek Wan Taysu dan Lo-seng di sebelah luar hutan.

Tampak wajah orang berkerudung itu mengerut kejut, lalu berseru dengan pelahan: “Leng Tiong-siang, ternyata engkau sudah berada di Lok-yang.”

Namun dengan tenang dan sedingin es, Leng Tiong-siang mendengus: “Ah, tak perlu berlaku sungkan. Bukankah engkau sendiri juga sudah berada di Lok-yang?”

Kata-kata itu diucapkan pelahan, tandas dan bergema panjang.

Orang berkerudung menengadahkan kepala, merenung dan berseru: “Larangan selama delapanbelas tahun, hari ini sudah habis. Mengapa aku tak boleh keluar ke dunia persilatan.”

Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang menyahut tawar: “Masih kurang seperempat jam lagi maka matahari yang terbit dari sebelah timur selama delapanbelas tahun itu akan lenyap. Tetapi soal perjanjian itu sampai saat ini masih ada. Engkau dan aku sama-sama telah melanggar fatsal kesatu dari perjanjian itu. Maka janganlah sampai melanggar fatsal yang kedua lagi. Dihadapan kita berempat yang telah bersepakat membuat perjanjian itu, telah dikatakan bahwa siapapun di antara kita berempat tak boleh membunuh orang di hadapan seorang dari kita berempat ini.”

“Uh, ingatanmu sunggah tajam sekali. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi saja,” kata orang berkerudung.

Habis berkata orang itu terus berputar tubuh. Dia berayun, lenyaplah dia dalam keremangan cuaca menjelang fajar.

Singkat percakapan yang diadakan orang berkerudung dengan Kakek berwajah dingin. Tetapi jelas di situ mengandung suatu peristiwa budi dan dendam dalam dunia persilatan. Sudah tentu orang luar, tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Setelah orang berkerudung pergi, tanpa memandang barang sekejap pun kepada Lo-seng, Pek Wan Taysu maupun Hun-ing, kakek jenggot panjang itu terus menuruni titian.

Peristiwa itu memang tak pernah diduga-duga. Tetapi secara tak sengaja Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang telah menyelamatkan jiwa Hun-ing. Dan secara tak disadari pula, apa yang terjadi pada saat itu telah menyelamatkan pula dunia persilatan dari malapetaka, di kelak kernudian hari.

Hun-ing tak mengacuhkan mereka. Cepat ia lari menghampiri ke tempat Lo-seng, serunya: “Siau toako, Siau toako ” Pelahan-lahan Lo-seng membuka mata dan berseru dengan gemetar: Ui…… Ui Pang-cu…… lekas minumkan semua pil ke mulutku. Setelah menelan semua pil itu dalam duabelas jam aku tak terjaga, berarti aku sudah mati…… tetapi kalau dalam duabelas jam itu aku tersadar, kuminta engkau melakukan apa yang kupesan tadi. Nasib dunia persilatan hanya tergantung pada diriku. Apakah aku akan menjadi mayat hidup atau tidak……. Lekas minumkan pil itu…… napasku sudah makin habis…… aku segera mati……”

“Siau toako…….” Hun-ing menjerit seraya cepat mengambil simpanan pil dari dalam baju Lo-seng. Seluruh pil, diminumkan ke mulut Lo-seng.

Lo-seng pun pingsan. Melihat itu Hun-ing lalu mengangkat tubuh pemuda itu dan berbangkit: “Pek Wan locianpwe, dimana kita akan melindunginya?”

“Di ruang belakang dari kuil tua ini sajalah,” seru Pek Wan Taysu.

Hun-ing meletakkan tubuh Lo-seng di ruang belakang dari kuil tua itu. Ia menjaga dengan tekun.

Cepat sekali sehari telah lalu dan saat itu, malam pun tiba kembali. Sudah berlangsung duabelas jam, tetapi Lo-seng yang rebah di pangkuan Hun-ing masih tetap belum sadar. Bahkan dadanya pun tak kelihatan bergerak, tubuhnya dingin dan kaku seperti orang mati.

Sayup-sayup seperti terngiang pesan Lo-seng tadi…… “jika dalam waktu duabelas jam aku tak sadar, berarti aku tentu sudah mati……”

Terkenang akan hal itu berderai-derailah airmata Hun-ing membanjir dari kelopak matanya. Ah, pemuda yang dikasihinya itu telah pergi jauh ke alam baka.

“Tidak, tidak,” Hun-ing meratap dalam hati, “Siau toako takkan mati, takkan mati.”

Nona itu mempunyai keyakinan bahwa Lo-seng tak mungkin mati. Maka ia membiarkan saja tubuh Lo-seng berada di pangkuannya. Ia telah bertekad bulat untuk menjaganya sampai tujuh hari tujuh malam.

Haripun berlalu dengan cepat. Hari kedua…… ketiga…… keempat…… keenam……

Pada malam yang keenam, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan sekali. Memang setiap malam, Hun-ing selalu bermimpi buruk. Demikian juga pada malam yang keenam itu sehingga ia terjaga.

Seperti yang telah dilakukan, setiap saat ia membuka mata ataupun terjaga dari tidur, pertama-tama pandang matanya tentu menumpah ke arah tubuh Lo-seng yang terbaring di ruang belakang kuil tua itu.

Demikian pada malam itu. Selekas ia terjaga dari mimpinya yang buruk, ia segera berpaling dan memandang ke tempat Lo-seng. Tetapi……

“Hai……” serentak Hun-ing menjerit dan melenting bangun, “kemana Siau toako? Apakah dia sudah bangun atau……”

Pek Wan Taysu juga terkejut. Cepat keduanya mencari ke ruang belakang, bahkan ke segenap sudut dari kuil tua itu. Tetapi sia-sia.

Lo-seng hilang lenyap. Pemuda yang setelah minum pil beracun dan pingsan beberapa hari, secara misterius telah hilang di bawah penjagaan Ui Hun-ing, nona yang menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau dan Pek Wan Taysu, seorang paderi sakti dari Siau-lim-si.

Benar-benar sukar untuk dipercaya tetapi memang suatu kenyataan bahwa tubuh Lo-seng telah hilang dari ruang belakang kuil tua itu.

Siapakah yang mencuri tubuh Lo-seng? Apakah pemuda itu telah sadarkan diri lalu secara diam-diam pergi?

Apabila benar dicuri orang, untuk apakah sesosok mayat itu? Ah, jika dicuri, pencurinya kemungkinan besar tentulah pihak istana Ban-jin-kiong. Gerombolan itu tentu hendak menjadikan mayat Lo-seng menjadi seorang mayat hidup dan nantinya akan dijadikan barisan Mayat Hidup yang ganas.

Bila tidak dicuri orang, kemungkinan tentulah Lo-seng telah sadarkan diri lalu ngacir pergi. Mungkin karena menyadari dirinya telah cacad atau kepandaiannya rusak akibat racun yang diminumnya maka pemuda itu putus asa dan lolos. Ah, tetapi kesemuanya itu hanya merupakan dugaan. Misteri hilangnya mayat Lo-seng tetap belum terpecahkan, walaupun Hun-ing dalam kedudukannya sebagai ketua Naga Hijau telah memerintahkan kepada anak buahnya dan tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi untuk menyelidikinya.

Segenap penjuru kota Lok-yang dan sepuluh lie sekeliling luar kota itu telah diselidiki namun sama sekali tiada bekas-bekas dapat diketemukan.

Hun-ing dan Pek Wan Taysu telah berusaha mati-matian namun tiada berhasil.

Ada suatu hal yang agak mengherankan. Sejak Lo-seng lenyap, ketegangan dalam kota Lok-yang pun malah mereda. Tampaknya pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jm-kiong telah menghentikan gerakannya.

Dengan begitu hanya anak buah Naga Hijau, yang giat bergerak untuk menyelidiki jejak Lo-seng.

Hun-ing juga merasa heran atas redanya ketegangan kota Lok-yang. Ia tahu bahwa keredaan itu tidak sewajarnya. Mungkin masing-masing sedang menyusun rencana sehingga sekali meletus pertempuran tentu akan menimbulkan pertumpahan darah yang dahsyat.

Hun-ing memerintahkan anak buahnya supaya waspada dan berjaga-jaga…..

********************

Malam kelam. Bulan remang-remang bintang pun jarang. Kota Lok-yang seolah dicengkam kelelapan.

Tiba-tiba terdengar guruh mendegup-degup memberi peringatan kepada rakyat Lok-yang bahwa kota itu akan dilanda hujan. Suasana malam itu makin seram.

Pada detik-detik yang sunyi seram itu, tiba-tiba tigabelas sosok tubuh manusia berpakaian hitam muncul di halaman rumah keluarga Nyo. Mereka menyerbu masuk dan serentak terdengarlah dering senjata, pekik jeritan disusul dengan sosok-sosok tubuh manusia yang rubuh.

Saat itu di halaman tengah gedung keluarga Nyo, tigabelas manusia aneh berkerudung kain hitam tegak berjajar-jajar membentuk diri jadi tiga deret. Dihadapan mereka tujuh atau delapan anak murid perkumpulan Naga Hijau rubuh terkapar di tanah.

Sesaat kemudian, seorang tua baju hitam berumur lebih kurang limapuluh tahun. melayang turun dari wuwungan rumah. Dia serempak dengan itu pula, berpuluh-puluh anak buah Naga Hijau pun berhamburan keluar.

“Siapakah kalian ini? Apa maksud kalian datang kemari pada waktu malam begini?” teriak orang tua baju hitam itu kepada rombongan Kerudung Hitam.

Tetapi ke tigabelas rombongan Kerudung Hitam itu tak menyahut melainkan saling bertukar pandang. “Nyo Cong-thancu datang!” tiba-tiba seorang anak buah Naga Hijau berseru.

Seiring dengan teriakan itu, Nyo Cu-ing bersama Ko-tok Siu dan beberapa anak buah Naga Hijau muncul.

Sejenak memandang keadaan halaman itu, Cu-ing segera bertanya kepada orang tua baju hitam: “Hian-kim Thancu, apakah artinya ini?”

Orang tua baju hitam itu bernama Hian Kim dan menjabat sebagai than-cu atau ketua bagian dari perkumpulan Naga Hijau,

Hian Kim memberi hormat, “Ketigabelas orang aneh Berkerudung Hitam ini telah menyerang ke sini, menghancurkan empat pos penjagaan dan lima buah pos besar kita. Mereka tak mau memberi keterangan apa-apa.”

“Nyo Cong-thancu,” kata Ko-tok Siu yang menjabat sebagai ketua bagian Sin-bok, “ijinkan aku menguji mereka barang beberapa jurus.”

Habis berkata tanpa menunggu jawaban Cu-ing, dia terus taburkan tongkatnya menyerang tiga orang Berkerudung Hitam. Perkumpulan Naga Hijau yang diketuai nona Ui Hun-ing itu, dibantu oleh beberapa than-cu (kepala bagian). Beberapa than-cu itu diketuai oleh seorang Cong-thancu atau pemimpin kepala bagian. Kedudukan Cong- thancu ini di pegang oleh Nyo Cui-ing, puteri dari jago tua Nyo Jong-ho yang mati terbunuh oleh muridnya sendiri, Li Giok-hou.

08.37. Malam Naas Perkumpulan Naga Hijau

Ketiga orang Berkerudung Hitam itu tidak menangkis maupun menghindar. Hanya setelah tongkat Ko-tok Siu hampir tiba di dada mereka, serempak mereka balikkan tangannya menampar.

Seketika Ko-tok Siu rasakan dilanda oleh gelombang tenaga yang dahsyat. Dan gelombang tenaga itu bukan lain yalah tenaga hantaman tongkatnya sendiri yang dipentalkan balik.

Ko-tok Siu terkejut dan cepat-cepat loncat mundur. Sekalipun demikian ia masih tetap mendengus pelahan karena gelombang tenaga itu masih menyerempet juga bahunya, memaksanya terhuyung mundur tiga- empat langkah dan tongkatnya pun hampir terlepas.

Gemparlah sekalian anak buah Naga Hijau ketika melihat Ko-tok Siu salah seorang dari pemimpin mereka yang terkenal sakti, harus menelan kekalahan dalam gebrak permulaan saja.

Cu-ing juga tak terluput dari rasa kejut. Diam-diam ia menimang: “Ah, manusia manusia aneh ini entah dari golongan mana? Menilik dalam satu gebrak saja Ko-tok Siu sudah dikalahkan, malam ini kita tentu akan mengalami pertempuran dahsyat.”

Menderita kekalahan yang begitu memalukan, Ko-tok Siu marah dan malu. Dengan kerahkan seluruh tenaga ia hendak maju menyerang lagi. Tetapi Cu-ing cepat mencegahnya, “Sin-bok Thancu, silahkan mundur.”

Habis berseru, nona itu maju selangkah dan berseru dengan nada sarat: “Dari golongan manakah kalian ini? Apakah kalian mempunyai dendam permusuhan dengan Naga Hijau?”

Tetapi ketigabelas manusia aneh Kerudung Hitam itu hanya tegak seperti patung dan sepatahpun tak mau menyahut.

Cu-ing kerutkan alis, berpaling kepada orang tua baju hitam, serunya: “Hian-kim Thancu, undanglah Li pangcu kemari!”

“Nyo Cong-thancu,” sahut orang tua itu, “sejak masih pagi tadi, Ui Pang-cu telah pergi bersama dua orang than-cu serta Pek Wan Taysu untuk menyelidiki keadaan musuh. Sampai saat ini belum kembali.”

“Jika begitu, lekas engkau kumpulkan anak buah kita yang berkepandaian tinggi untuk menangkap gerombolan manusia Kerudung Hitam ini,” seru Cu-ing pula.

Hian-kim Thancu atau yang nama sebenarnya Lim Tay-som mengiakan dan terus melangkah keluar.

Cu-ing pun serentak mencabut pedang dan membentak: “Hai, siapakah kalian ini? Kalau tetap berlagak bisu jangan sesalkan aku berlaku kejam.”

Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa mengekeh: “Heh, heh. Sekalipun engkau bertanya sampai pecah kerongkonganmu, mereka tidak nanti akan menjawab ”

Sekalian orang terkejut dan serempak berpaling memandang keluar. Dari balik sebatang pohon Pek-yang muncullah seorang lelaki tua yang bertubuh kekar, tangan kanannya mencekal sebatang ruyung panjang warna emas. Itulah Lian-hun-tian-cu atau kepala bagian Paseban penempa jiwa yang bernama Long Wi.

Cu-ing terkejut. Ia tak menduga sama sekali bahwa si tua Long Wi yang bungkuk itu sudah bersembunyi di balik pohon Pek-yang yang tumbuh di halaman. Diam-diam ia gentar juga karena jelas si bungkuk Long Wi itu tentu memiliki kepandaian yang amat sakti.

“Ah, kepandaianmu sungguh hebat sekali,” seru Cu-ing. “ketigabelas manusia aneh ini tentu engkau yang membawanya kemari, bukan?”

Si bungkuk Long Wi tertawa mengekeh lagi, “Benar, benar. Dan engkau tentulah Nyo Cu-ing, bukan?”

Cu-ing tak memberi keterangan melainkan berkata lagi: “Engkau dan aku tak kenal mengenal. Mengapa engkau membawa manusia-manusia aneh itu kemari?” Long Wi tertawa. Kali ini nada tertawanya dingin, “Bukankah Nyo Jong-ho itu ayahmu?”

Cu-ing mendapat kesan bahwa orang bungkuk itu tahu jelas akan keluarga Nyo. Tetapi masih bertanya lagi. “Sudah tahu mengapa engkau masih bertanya lagi?” tegurnya.

Long Wi tertawa dingin.

“Nona Nyo,” serunya, “apakah pusaka Keng-hun-pit dari ayahmu itu berada padamu?”

Wajah Cu-ing serentak berobah. Diam-diam dia berkata dalam hati: “Memang pusaka milik ayah itu berada padaku. Hm, coba saja apakah engkau mampu mengambil benda itu dari tanganku.”

Ternyata waktu masih hidup Nyo Jong-ho sudah mempunyai firasat tajam bahwa keluarganya akan tertimpah bencana besar. Maka sebelumnya ia telah memberitahu kepada puterinya segala sesuatu tentang senjata Keng-hun-pit itu. Baik mengenai rahasia pada pusaka itu maupun tentang cara untuk menyembunyikannya.

Karena menyadari bahwa senjata pusaka itu mempunyai sangkut paut yang penting bagi dunia persilatan, maka Cu-ing pun tak mau membocorkan rahasia itu.

Tetapi alangkah kejut nona itu ketika mendengar pertanyaan si bungkuk Long Wi. Jelas orang itu sudah tahu tentang rahasia penyerahan pusaka Keng-hun-pit kepada dirinya.

Cu-ing merenung sejenak lalu menyahut dengan nada dingin: “Pusaka Keng-hun-pit itu telah dirampas oleh pembunuh mendiang ayahku. Sayang engkau datang terlambat.”

Tiba-tiba Long Wi tertawa nyaring.

“Nona Nyo, kami bukan anak kemarin sore. Mataku masih terang, telingaku masih tajam. Jelas kuketahui bahwa senjata Keng-hun-pit itu tidak berada pada ayahmu. Lebih baik nona mengaku terus terang saja.”

Mendengar kata-kata si bungkuk, berobahlah seketika walah Cu-ing, bentaknya: “Kalau begitu, engkaulah pembunuh ayahku itu!”

“Nona Nyo,” jawab si bungkuk tenang-tenang, “baik nona jangan bicara yang tidak berguna. Kalau engkau tak mau menyerahkan senjata Keng-hun-pit itu, terpaksa akan kuperintahkan kepada ketigabelas mayat hidup itu untuk mengganas. Nah, pada saat itu, janganlah nona menyesal lagi.”

Saat itu Cu-ing sudah jelas mengetahui bahwa si bungkuk Long Wi itu adalah orang istana Ban-jin-kiong. Sebelumnya, Hun-ing pun telah memberitahukan kepadanya tentang orang-orang gerombolan istana Ban- jin-kiong, begitu pula tentang perbuatan terkutuk dari Li Giok-hou yang telah membunuh ayah Cu-ing.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Suara guruh dan halilintar sahut menyahut membelah angkasa. Sejenak Cu-ing mengerling pandang dan memperhatikan bahwa Hian-kim Thancu pun sudah mempersiapkan jago-jago lihay dari Naga Hijau bersiap di empat penjuru.

Setelah persiapan selesai maka Cu-ing segera berteriak nyaring: “Anak buah Naga Hijau, jangan biarkan seorangpun dari manusia-manusia aneh itu lolos!”

Perintah itu segera disambut dengan munculnya berpuluh anak buah Naga Hijau. Bagaikan tawon dionggok dari sarang, mereka berhamburan keluar menyerang musuh.

Si bungkuk Long Wi tertawa dingin. Segera ia gentakkan ruyung emasnya, “tar, tar, tar……” menyabet tiga kali ke udara.

Rupanya itulah tanda perintah maka bergeraklah tiga orang mayat hidup menerjang anak buah Naga Hijau. Cepat sekali segera terdengar tiga buah lengking jeritan dari tiga anak buah Naga Hijau yang rubuh.

Cu-ing terkejut sekali. Dilihatnya ketiga mayat hidup itu menerjang dengan jurus serangan yang aneh. Menghantam, menabas, menendang, menampar dan mencengkeram dengan gerak yang luar biasa tangkasnya, Dan setiap kali mereka bergerak, tentulah ada anak buah Naga Hijau yang menjerit rubuh. Dalam beberapa kejap saja sudah tujuh-delapan anak buah Naga Hijau yang hancur.

Cu-ing tak dapat tinggal diam lagi. Dengan melengking nyaring, ia taburkan pedang menyerang ketiga mayat hidup itu. Ko-tok Siu pun juga memutar tongkatnya menyerang maju. Rupanya ketiga manusia yang sudah hilang kesadaran pikirannya itu tahu juga akan kelihayan ilmu pedang Cu-ing dan tongkat Ko-tok Siu. Mulut mereka bercuit-cuit aneh dan cepat menghindar ke samping.

Sudah tentu Cu-ing tak mau memberi kesempatan lagi. Cepat ia menyusup maju dan dengan jurus Gelombang pasang di laut selatan, ia tusukkan ujung pedangnya.

Jurus itu merupakan ajaran istimewa dari rahib sakti Tay Hui Sin-ni. Cepatnya bukan alang kepalang.

Karena tak sempat menghindar, punggung manusia aneh itu terkena tusukan. Darah mengucur, campur jadi satu dengan air hujan yang menggenangi tanah.

Manusia aneh itu mendengus geram lalu menyerang Cu-ing.

“Engkau cari mati!” bentak Ko-tok Siu yang berada di samping seraya menyabetkan tongkat ke pinggang lawan dengan jurus Menyapu ribuan lasykar.

“Bluk…… krak……”

Terdengar dua buah suara. Yang satu yalah suara putusnya tongkat Ko-tok Siu. Pada hal tongkat itu kerasnya seperti baja tetapi ketika menyabet pinggang manusia aneh, tongkatpun putus jadi dua. Tangan Ko-tok Siu sakit seperti pecah tulangnya.

Suara yang kedua tak lain dari tubuh si manusia aneh yang termakan tongkat. Dia terhuyung-huyung sampai dua kali, menjerit-jerit keras dan terus menerkam bahu Ko-tok Siu.

Melihat itu Cu-ing cepat menabas dan menjeritlah manusia aneh itu ngeri sekali karena kedua tangannya kutung.

Tetapi walaupun kedua tangannya kutung, manusia aneh itu tetap tak mau menghentikan serangannya. Tangannya yang kutung itu tetap diteruskan untuk menusuk punggung Ko-tok Siu.

“Huak……” Ko-tok Siu muntah darah, dia terhuyung-huyung mundur sampai tujuh-delapan langkah. Setelah melukai Ko-tok Siu, manusia aneh itu lalu menyerang Cu-ing.

Cu-ing benar-benar gentar melihat sepak-terjang seorang manusia yang begitu aneh. Dia tak berani menyambut serangan orang itu melainkan menghindar ke samping.

Manusia aneh itu marah dan hendak mengejar tetapi sekonyong-konyong terdengar Long Wi memberi perintah: “Sip-hun-jin nomor dua, mundurlah……”

Walaupun manusia aneh itu menurut perintah tetapi dia masih melengking-lengking dan meraung-raung seperti masih penasaran.

“Tar……..” Long Wi segera mencambukkan ruyung emasnya ke tubuh orang itu. Rupanya orang itu takut sekali akan ruyung emas. Dengan mengerang tertahan ia segera mundur dan kembali ke tempat barisan kawan-kawannya.

“Nona Nyo,” seru Long Wi pula. “sekarang tentu engkau sudah mengetahui betapa dahsyatnya Sip-hun-jin itu. Jika engkau tetap menolak menyerahkan pusaka Keng-hun-pit, apabila kuperintahkan ketigabelas Sip- hun-jin itu bergerak, coba saja, apakah kalian sanggup melawan mereka?”

Cu-ing seorang nona yang cerdik. Dalam menghadapi keadaan seperti pada saat itu ia menyadari bahwa kekuatan pihak Naga Hijau tak mungkin dapat melawan mereka.

Tetapi belum ia mengambil keputusan, tiba-tiba Hian-kim Thancu sudah menyelutuk: “He, engkau hendak menggertak kami? Lihatlah dahulu keadaan di sekeliling tempat ini, barulah engkau boleh buka mulut!”

Menggunakan kesempatan kilat mencerah cuaca, Long Wi cepat dapat mengetahui bahwa empat penjuru sekeliling tempat itu memang telah penuh dengan barisan panah dari anak buah Naga Hijau. Mereka sudah siap dengan busur terentang setiap saat siap melepaskan beratus-ratus batang anak panah ke arah gerombolan manusia aneh itu.

Long Wi tertawa.

“Ha, ha, kalau ditujukan pada orang lain, memang barisan panah itu menakutkan sekali. Tetapi terhadap diriku dan ketigabelas Sip-hun-jin itu jangan harap kalian dapat mencelakai.” “Anak buah Naga Hijau sekalian, lekas mundur keluar dari tempat ini. Barisan panah supaya melindungi,” tiba-tiba Cu-ing berseru memberi perintah.

Serentak dari atas rumah berhamburanlah hujan anak panah ke arah Long Wi dan ketigabelas Sip-hun-jin itu.

Long Wi membentak keras seraya taburkan ruyung emas untuk menyapu hujan anak panah.

Sedang ketigabelas manusia aneh itu segera berpencaran untuk menyerbu barisan anak panah Naga Hijau. Merebut dan menghancurkan busur mereka.

Setelah berhasil menghampiri ke bawah serambi, rombongan manusia aneh itupun dapat terhindar dari serangan anak panah yang dilepas dari atas wuwungan.

Di halaman gedung keluarga Nyo saat itu pecah pertempuran yang dahsyat. Lolong jeritan muncratan darah dan anggauta badan manusia, berhamburan ke empat penjuru. Dalam beberapa kejap saja sudah duapuluh tukang panah anak buah Naga Hijau yang mati di tangan gerombolan manusia aneh.

Cu-ing makin marah. Segera ia kembangkan ilmu pedang Giok-li-kiam (Pedang Bidadari), menyerang Long Wi.

Ilmu pedang Giok-li-kiam itu merupakan ilmu pedang ciptaan rahib Tay Hui Sin-ni sendiri. Sekali dimainkan maka Long Wi pun segera terkurung dalam lingkaran sinar pedang.

“Jika tak lekas memerintahkan kawanan Sip-hun-jin itu berhenti, jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini dengan masih bernyawa,” bentak Cu-ing.

Long Wi hanya tertawa hina dan terus menggerakkan ruyung emas. Setelah menahan pedang Cu-ing, ia meluncur mundur beberapa langkah.

“Nona Nyo,” serunya, “engkau harus dapat melihat kenyataan. Pertempuran hari ini. tidak sama dengan waktu yang lalu. Apabila engkau tak mau menyerahkan pusaka Keng-hun-pit itu, seluruh anak buah Naga Hijau akan hancur semua!”

Sejenak memperhatikan keadaan sekeliling, Cu-ing melihat jago-jago sakti dari Naga Hijau sudah  bertempur dengan ketigabelas Sip-hun-jin. Jeritan ngeri berselang-selang terdengar di sana sini.

Diperhatikannya pula bahwa tubuh-tubuh yang rubuh terluka atau mati itu, kebanyakan tentu anak buah Naga Hijau. Sedangkan gerombolan Sip-hun-jin itu makin lama bahkan makin garang dan dahsyat. Mereka seperti bukan manusia.

Tiba-tiba nona itu melihat tujuh anak buah Naga Hijau telah ditangkap dan dipeluk oleh tujuh Sip-hun-jin. “Krak, krak, krak ,” sesaat kedengaran jeritan ngeri ketika tubuh ketujuh anak buah Naga Hijau itu putus

menjadi dua. Dan begitu dilepas ketujuh anak buah Naga Hijau itupun berguling-guling dan menjerit-jerit ngeri di tanah.

Gemetarlah tubuh Cu-ing karena marah. Dengan melengking keras, ia terus hendak menyerang tetapi secepat itu juga Long Wi getarkan ruyungnya uutuk menahan.

Hoan-sim-hiat-long atau Membalik tubuh menghantam ombak adalah jurus yang digerakkan Cu-ing untuk membabat si bungkuk. Tetapi orang bungkuk itu segera memutar ruyungnya yang lemas, melilit batang pedang si nona lalu ditariknya.

Hampir saja pedang Cu-ing terlepas. Untung ia cepat-cepat mengerahkan tenaga untuk menahan. Demikian keduanya segera kerahkan tenaga masing-masing untuk adu kekuatan saling tarik.

“Nona Nyo,” seru Long Wi, “kalau engkau mau menyerahkan pusaka Keng-hun-pit, urusan dapat kita anggap selesai sampai di sini saja. Tetapi kalau engkau berkeras tak mau menyerahkan, tentulah engkau sendiri yang akan rugi. Cobalah nona pikir masak-masak!”

Walanpun marah tetapi Cu-ing seorang gadis yang cerdas. Tahu bahwa apabila ia berkeras menolak permintaan orang, malam itu pihak Naga Hijau tentu akan menderita kerusakan besar.

“Hentikan gerakan Sip-hun-jin dulu, baru kita berunding lagi,” akhirnya ia berseru.

Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar suitan panjang yang nyaring. Cepat sekali suara itu segera tiba di tempat itu. Seketika itu juga baik Long Wi maupun Cu-ing tergetar hatinya. Suitan itu bagaikan halilintar meletus.

Sebelum tahu apa yang terjadi, di udara berkilat dua buah sinar emas. Yang satu begitu tiba terus lenyap sedang yang satu meluncur ke bawah. “Bum……”

Ledakan keras diiring jeritan ngeri segera memecah suasana dalam ruang pertempuran. Menyusul tiga sosok tubuh manusia Sip-hun-jin segera rubuh.

Sekalian orang terlongong-longong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Tahu-tahu di gelanggang telah bertambah dengan seorang pendatang baru. Dia berdiri tegak sambil lintangkan pedang ke muka dada.

“Siau Lo-seng!” tiba-tiba Long Wi menjerit kaget.

Dan ketika Cu-ing memandang ke muka, memang pendatang itu bukan lain adalah Siau Lo-seng, pemuda yang mati karena minum pil beracun dan mayatnya hilang tak berbekas itu.

08.38. Mumi Setengah Jadi . . . . . .

Dan yang lebih menggetarkan hati Cu-ing, pemuda itu memegang Pedang Ular Emas. Setelah termangu sejenak, Cu-ing lalu menghampiri dan menegurnya: “Siau losu……”

Karena sudah biasa memanggil dengan sebutan 'losu' (guru), maka Cu-ing pun menggunakan panggilan itu.

Siau Lo-seng tenang-tenang berpaling muka. Wajahnya dingin sekali. Ia deliki mata kepada Cu-ing. Begitu beradu pandang dengan sinar mata pemuda itu, menggigillah hati Cu-ing.

Sejenak memandang si nona, Lo-seng gelengkan kepala dan berkata seorang diri: “Bu¬kan…… bukan……” Ia hanya mengatakan sepatah kata lalu tegak mematung lagi.

Cu-ing terkejut, serunya: “Siau sian-seng, apakah engkau tak kenal padaku? Aku ini Nyo Cu-ing.”

Namun pemuda itu tetap gelengkan kepala. Ia mengangkat muka menengadah ke atas, membiarkan air hujan mencurah ke mukanya.

Tiba-tiba wajah pemuda itu mengembang sinar pembunuhan yang ngeri. Serentak pedang pusaka Ular Emas digentakkan menuding ke arah sembilan gerombolan Sip-hun-jin lalu berkata seorang diri: “Yang hendak kubunuh yalah mereka. Ya, benar, kawanan manusia itu……”

Kesembilan Sip-hun-jin tampak ketakutan dan berbondong-bondong mundur. Pedang Ular Emas tetap diarahkan Siau Lo-seng ke tempat kawanan Sip-hun-jin itu.

“Tar, tar, tar… ”

Long Wi segera getarkan ruyung emasnya. Ia marah karena kawanan Sip-hun-jin ketakutan mundur. “Sip-hun-jin, kamu sekalian adalah jago nomor satu di dunia, lekas serang musuh itu!” teriaknya.

Mendengar itu, kesembilan Sip-hun-jin itupun segera meraung-raung lalu berhamburan menyerbu Siau Lo- seng.

Sip-hun-jin itu adalah tokoh-tokoh silat sakti yang telah ditundukkan oleh orang istana Ban-jin-kiong. Dengan ilmu Menempa Jiwa, mereka telah dibius hingga hilang kesadaran pikirannya. Mereka tak takut kepada siapapun juga.

Tetapi aneh. Ketika pandang mata mereka terbentur dengan sinar mata Lo-seng yang memancarkan pembunuhan itu, patahlah nyali kawanan Sip-hun-jin itu. Bermula setelah mendengar perintah si bungkuk Long Wi, mereka memberingas dan maju menyerang. Tetapi ketika beradu pandang dengan mata Lo-seng, mereka berputar tubuh dan lari.

Siau Lo-seng tak memberi ampun lagi. Dengan bersuit nyaring ia segera loncat membabat mereka.

Terdengar jeritan ngeri dan dua butir kepala orang Sip-hun-jin segera terlempar ke udara dan tubuhnya melayang dua tombak jauhnya. Tiga orang Sip-hun-jin yang lain, terbabat kutung pinggangnya......

Air hujan yang menggenangi bumi, berwarna merah darah menyeramkan mata. Serangan Siau Lo-seng itu cepatnya bukan alang kepalang sehingga tokoh-tokoh yang berada di halaman itu tak tahu ilmu pedang apakah yang digunakan anak muda itu.

Tetapi sekalian orang tak sempat untuk memikirkan hal itu. Dilihatnya Lo-seng seperti seorang gila yang mengamuk. Dia mengejar sisa Sip-hun-jin yang masih empat orang itu.

Sekali loncat ia membabat dan terdengarlah jeritan ngeri. Seorang Sip-hun-jin terbelah menjadi dua, dua orang lagi terbabat kutung pahanya......

Pemandangan ngeri itu benar-benar membuat bulu tengkuk orang meregang tegang. Siau Lo-seng tak ubah seperti seekor harimau yang tengah berpesta pora dengan darah.

“Ah, agaknya dia juga sudah menjadi Sip-hun-jin ” tiba-tiba timbullah suatu kesan dalam hati Cu-ing.

Setelah membasmi delapan Sip-hun-jin. wajah Lo-seng tampak membeku dingin. Matanya berkilat-kilat menyapu ke arah orang yang masih berada di sekeliling tempat itu.

Tiba-tiba matanya mencurah kepada Long Wi dan seorang Sip-hun-jin yang masih hidup.

Si bungkuk Long Wi gemetar sehingga mulutnya bergemerutukan. Sikapnya yang garang tadi, seketika lenyap ditelan rasa ketakutannya. Ia mundur dua langkah ke belakang,

Tiba-tiba Cu-ing tertegun melihat Sip-hun-jin yang masih hidup itu. Rasanya ia kenal dengan orang itu.

“Mengapa dia mirip sekali dengan ketua partai Bu-tong-pay imam Hun Ho……,” diam-diam ia menimang dalam hati.

Dalam pada itu, Siau Lo-seng pun sudah ayunkan langkah menghampiri ke tempat kedua orang itu.

Long Wi pucat dan terus menerus menyurut mundur. Sedangkan Sip-hun-jin itupun gemetar tubuhnya tetapi dia tetap tegak di tempatnya.

Saat itu hujanpun mulai reda. Angin dingin menambah keseraman suasana.

Setelah mundur sampai tiga tombak jauhnya si bungkuk Long Wi berteriak memberi perintah: “Hai, nomor tigabelas, lekas serang musuhmu!”

Sip-hun-jin itu gemetar keras, mau maju tetapi tak jadi. Ia geleng-geleng kepala dan merintih-rintih. Saat itu Siau Lo-seng pun sudah maju dan gerakkan ujung pedang ke arah dada Sip-hun-jin itu.

Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar lengking teriakan yang memanggil-manggil: “Siau Lo- seng…… Siau Lo-seng toako…… Siau Lo-seng toako ”

Mendengar itu ujung Pedang Ular Emas yang sudah hampir terbenam di dada Sip-hun-jin, dihentikan. Rupanya dia mendengar juga teriakan orang itu dan tertegun.

“Siau Lo-seng…… Siau Lo-seng……,” suara orang berteriak memanggil nama pemuda itupun terdengar lagi.

Aneh untuk dikata. Tangan Siau Lo-seng gemetar mendengar suara itu. Setiap kali ia hendak menusuk  dada Sip-hun-jin, tiba-tiba ia hentikan apabila mendengar teriakan itu.

“Tar, tar……,” si bungkuk Long Wi cepat sabetkan ruyungnya ke udara. Tetapi agaknya Sip-hun-jin nomor tigabelas itu sudah patah nyalinya. Walaupun ia mendengar perintah Long Wi tetapi tak berani menyerang Siau Lo-seng.

Melihat Sip-hun-jin nomor tigabelas itu takut kepada Siau Lo-seng, Long Wi pun bersuit nyaring dan berseru: “Nomor tigabelas, mundur dan lekas pergilah!”

Habis memberi perintah Long Wi terus melarikan diri. Demikian Sip-hun-jin yang sebelum diperintah Long Wi, ternyata sudah mendahului lari lebih dulu.

Siau Lo-seng masih tertegun. Ia berpaling ke arah suara yang memanggil namanya tadi.

“Siau toako......” sekonyong-konyong terdengar teriakan gembira dan susul menyusul dua sosok tubuh segera menerobos masuk ke dalam dan lari ke tempat Siau Lo-seng.

“Huh ” tiba-tiba Siau Lo-seng mendesuh dan loncat menghindar. “Siau toako...... Siau toako...... berhentilah dulu ” teriak pendatang itu.

Cu-ing segera mengenali siapa kedua pendatang itu, teriaknya: “Ui Pang-cu……”

Ternyata kedua pendatang itu yalah Ui Hun-ing dan Pek Wan Taysu. Setelah memandang ke sekeliling tempat yang penuh dengan mayat, berserulah paderi Siau-lim-si itu: “Omitohud ”

Ia ngeri melihat pemandangan di tempat itu. Belasan mayat anak buah Naga Hijau dan duabelas mayat Sip- hun-jin malang melintang dalam kubangan air darah.

Hun-ing menggentakkan kaki dan menghela napas: “Ah kita terlambat. Pembunuhan ngeri telah terjadi. Ai. kemanakah kita harus mencarinya lagi?”

“Ui Pang-cu, agaknya Siau toako telah kehilangan kesadaran pikirannya. Dia telah menjadi ”

Belum selesai Cu-ing berkata, Hun-ing sudah cepat menukas: “Benar dia memang telah menjadi seorang yang hilang kesadaran pikirannya. Tetapi belum lenyap sama sekali ”

Rupanya Cu-ing tak mengerti apa yang dimaksud Hun-ing, tanyanya: “Ui Pang-cu. bagaimanakah artinya?” Hun-ing menghela napas.

“Jika dia sudah lenyap pikirannya, tak mungkin dia hanya membasmi kawanan Sip-hun-jin itu saja. Mungkin diapun tentu akan membunuh kita semua!”

“Ya, benar,” kata Cu-ing, “tetapi dia sudah tak kenal lagi padaku.”

Hun-ing menghela napas lagi: “Aku sendiri juga heran. Entah dia memang sungguh begitu atau hanya pura- pura saja.”

“Menilik sikapnya tadi, mungkin ia memang tak pura-pura,” kata Cu-ing, “sejak kukenal padanya, dia memang aneh sekali sikapnya. Apabila Pek Wan Taysu tidak menjelaskan dia itu putera dari Naga tanpa bayangan Siau Han-kwan, tentu aku akan tetap menganggapnya sebagai pembunuh ayahku.”

“Nyo Cong-thancu,” tiba-tiba Pek Wan Taysu bertanya kepada Cu-ing, “aku hendak minta tanya kepadamu. Apakah semasa hidupnya. Nyo lo-enghiong pernah meninggalkan pesan mengenai diri Siau Han-kwan?”

“O, benar,” seru Cu-ing. “memang ayah telah meninggalkan beberapa pesan kepadaku. Di antaranya juga mengenai Siau Han-kwan tayhiap. Tetapi ayah pesan wanti-wanti agar aku jangan mengatakan hal itu kepada siapa saja, kecuali pada Siau toako sendiri……, ah ” 

Berhenti sejenak, Cu-ing melanjutkan pula dengan nada rawan.

“Sayang sekali, riwayat hidup Siau Han-kwan tayhiap itu baru kuketahui setelah terlambat sekali sehingga sekarang ini tak dapat kuberitahukan kepada Siau Lo-seng toako tentang hal itu.”

Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu dan Hun-ing kerutkan alis. Diam-diam keduanya merenung: “Apakah yang hendak dikatakan kepada Siau Lo-seng?”

Walaupun keduanya ingin tahu tetapi mereka sungkan untuk meminta Cu-ing memberitahukan.

Sambil memandang ke langit, Hun-ing berkata: “Sekarang, hujan sudah berhenti. Mari kita mencarinya!”

Kemudian ia memberi pesan kepada Hian-kim Thancu supaya mengurus mayat anak buah Naga Hijau. Mayat kawanan Sip-hun-jin supaya dimasukkan dalam peti dulu.

“Ui Pang-cu,” kata Cu-ing. “kalau tak salah, seorang Sip-hun-jin itu, mirip seperti Hun-Ho Totiang ketua Bu- tong-pay. Apakah kita tak perlu memeriksa dulu?”

“Ah, kurang perlu,” suhut Pek Wan Taysu, “memang mereka adalah tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Maka nanti akan kuberitahukan kepada partai-partai persilatan supaya datang mengenali orang- orang mereka.”

“Benarkah itu?” Cu-ing terkejut.

“Ya, memang peristiwa itu amat menyedihkan sekali Mereka telah ditangkap dan dijadikan mayat hidup oleh pemimpin istana Ban-jin-kiong tetapi akhirnya dibunuh oleh Siau toako,” kata Hun-ing. “Ui Pang-cu,” kata Pek Wan Taysu, “baiklah engkau lekas melakukan penyelidikan pada Lo-seng. Aku hendak pulang ke gereja Siau-lim-si untuk minta bantuan barisan Lo-han-tin.”

“Terima kasih, taysu,” kata Hun-ing dengan nada rawan, “dengan kehilangan sekian banyak anak buah, memang Naga Hijau menjadi lemah dan tak kuasa menghadapi pihak Ban-jin-kiong maupun Lembah Kumandang. Perjuangan memberantas kaum durjana itu, terpaksa harus meminta bantuan gereja Siau-lim.”

Pek Wan Taysu menghela napas: “Tetapi aku sendiri masih kuatir kalau-kalau barisan Lo-han-tin dari Siau- lim-si tak mampu menghadapi mereka.”

“Ah, Lo-han-tin merupakan barisan yang termasyhur dari gereja Siau-lim-si. Apabila taysu dapat mengundang mereka, kupercaya tentu dapat menyapu kawanan durjana itu.”

Pek Wan Taysu menyatakan hendak berusaha sekuat tenaga agar Siau-lim-si mau membantu. Demikian ketiga orang itu segera berangkat menuju ke luar kota Lok-yang. Pek Wan Taysu hendak menuju ke Ko- san, kedua nona itu hendak mencari Siau Lo-seng.

Tiba-tiba mereka melihat sesosok bayangan muncul dari tempat gelap tembok kota. Serentak Cu-ing pun berteriak: “Siau toako ”

Memang bayangan yang muncul bukan lain adalah Siau Lo-seng. Punggungnya menyanggul pedang pusaka Ular Emas. Wajahnya dingin sekali.

Tampaknya dia terkesiap ketika mendengar dipanggil namanya. Ia berhenti dan memandang ketiga orang itu.

“Lo-seng, apakah engkau tak kenal aku? Aku adalah pamanmu Pek Wan,” seru Pek Wan Taysu Lo-seng gelengkan kepala.

“Pek Wan…… Pek Wan aku tak kenal engkau dan takkan membunuhmu,” katanya.

Dengan kata-kata itu jelas sudah bahwa Lo-seng memang sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Dia lupa apa yang telah terjadi dulu. Dia tak kenal lagi pada Pek Wan Taysu, demikian tentu lupa juga kepada Hun- ing dan Cu-ing.

Tetapi Hun-ing masih ingin mencoba: “Siau toako, apakah engkau masih ingat ketika engkau dilukai oleh orang Ban-jing-kiong.”

Belum selesai mendengar pertanyaan si nona, Siau Lo-seng sudah kerutkan dan menukas: “Apa? ketua Ban-jin-kiong? Dimanakah dia sekarang?”

Melihat itu serentak timbullah suatu pikiran pada benak Hun-ing, cepat ia berseru: “Apakah maksudmu hendak mencarinya?”

Siau Lo-seng mendengus dingin, “Sudah tentu hendak kubunuhnya.”

Hun-ing berpaling ke arah Cu-ing dengan wajah gembira, kemudian melanjutkan lagi: “Baiklah, memang kita juga hendak membunuh kepala Ban-jin-kiong itu. Kalau engkau mau bersama kita, nanti apabila bertemu dengan ketua Ban-jin-kiong, tentu akan kuberitahu kepadamu.”

Siau Lo-seng gelengkan kepala: “Tidak, tidak, aku tak dapat mengikuti kalian.” “Mengapa? Apakah engkau tak dapat bersama-sama kita? Mengapa?” Hun-ing heran.

Pek Wan Taysu dan Cu-ing tahu bahwa Hun-ing sedang menyelidiki diri Lo-seng maka merekapun diam saja.

“Engkau hendak menyelidiki diriku?” seru Lo-seng.

Hun-ing tertawa: “Kalau engkau tak mau pergi bersama kita, engkau tentu tak dapat melaksanakan keinginanmu membunuh ketua Ban-jin-kiong.”

Siau Lo-seng mendengus: “Mengapa kalau tak bersama kalian aku tak dapat membunuh orang itu?”

Mendengar itu rawanlah hati Hun-ing. Seorang pemuda yang cerdas seperti Lo-seng, saat itu benar-benar telah menjadi seorang tolol. “Karena engkau tentu tak dapat mengenali ketua Ban-jin-kiong itu,” Hun-ing paksakan tersenyum, “sekalipun bertemu mungkin engkau tentu tak tahu.”

“Siapa bilang aku tak kenal? Hm. ,” dengus Siau Lo-seng.

“Kalau begitu apakah engkau kenal juga pada Ui Hun-ing, Nyo Cu-ing, Bok-yong Kang dan Siau Lo-seng?” cepat Hun-ing menyelinapkan pertanyaan. Ia hendak menguji sampai dimana ingatan yang masih dimiliki Lo-seng.

Ternyata waktu mendengar nama-nama itu, Lo-seng kerutkan dahi dan berkata seorang diri: “Siau Lo-seng, Bok-yong Kang, Ui Hun-ing, Nyo Cu-ing…… siapakah mereka? Ya, rasanya pernah kudengar nama-nama itu…… tetapi ah, mengapa aku tak ingat sama sekali……”

Habis berkata Lo-seng menengadah memandang ke langit. Rupanya dia tengah menggali ingatannya akan masa yang lalu.

Melihat keadaan anak muda itu, diam-diam Hun-ing, Cu-ing dan Pek Wan Taysu girang dalam  hati. Ternyata ingatan Lo-seng sama sekali belum hilang seluruhnya. Penyakit yang dideritanya, apabila diobati dengan tekun, tentu dapat disembuhkan. Umumnya penyakit begitu disebabkan karena mendarita suatu ketegangan dan kekagetan yang hebat.

Tetapi menurut dugaan Hun-ing, penyakit Lo-seng itu tentu disebabkan karena bekerjanya pil beracun yang menyerang sel-sel otaknya sehingga ia lupa akan peristiwa yang telah lalu.

Beberapa saat kemudian, Lo-seng pun gelengkan kepala. “Apakah engkau tahu siapa namamu sendiri?” tanya Hun-ing.

Dahi Lo-seng mengerut gelap. Jelas ia pun lupa akan namanya sendiri.

08.39. Kesadaran Melalui Suara Seruling Aneh

Hun-ing menghela napas: “Siau toako, apakah engkau lupa bahwa engkau ini orang she Siau dan namamu Lo-seng?”

Waktu mengatakan nama itu, sengaja Hun-ing gunakan tenaga dalam agar suaranya dapat menggetarkan hati Lo-seng. Terapi di luar dugaan pemuda itu. hanya termangu-mangu saja memandang langit.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, tanpa berkata apa-apa, Siau Lo-seng terus berputar tubuh dan ayunkan langkah pergi.

“Siau toako, tunggu sebentar!” teriak Cu-ing.

Siau Lo-seng tak menghiraukan. Dia berjalan dengan kepala menunduk.

“Adik Ing,” kata Hun-ing, “jangan mencegahnya. Cukup kita ikuti dia dari belakang. Entah kemana dia hendak menuju nanti.”

“Ui Pang-cu,” kata Pek Wan Taysu dengan rawan, “ternyata dia memang sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Ah sungguh tak kira bahwa seorang pemuda yang begitu gagah dan diharapkan akan menjadi penyelamat dunia persilatan, akhirnya menjadi sedemikian mengenaskan nasibnya.”

“Pek Wan locianpwe,” kata Hun-ing, “yang kita kuatirkan dia itu dikuasai orang. Kalau hanya kehilangan ingatan sendiri, itu tak mengapa.”

“Kurasa dia tidak di bawah kekuasaan orang,” kata Cu-ing

“Ya, benar,” sahut Pek Wan Taysu, “rasanya dia telah menderita penyakit itu karena obat racun yang diminumnya itu.”

“Taysu,” tiba-tiba Hun-ing gelengkan kepala, “tahukah taysu bahwa Pedang Ular Emas yang dibawanya itu, pernah ditanam di sebuah tempat sepi di luar kota Lok-yang? Kalau dia kehilangan ingatan karena obat beracun itu, tentulah dia takkan dapat mencari tempat pedang itu dan menggalinya lagi?”

Pek Wan Taysu termenung beberapa saat katanya: “Benar, memang dia pernah memberitahu kepadaku bahwa dia hendak melenyapkan pedang Ular Emas itu. Tetapi apakah yang terjadi pada dirinya di kuil tua itu? Mengapa dia hilang? Apakah dia bangun lalu pergi ataukah dibawa orang? Kalau menilik keadaannya saat ini, rasanya dia memang bangun sendiri lalu lolos dan berkelana kemana-mana.”

Hun-ing mengangguk.

“Pendapat taysu memang sama dengan pendapatku,” kata Hun-ing, “tetapi hendaknya dalam mengupas persoalan, harus kita pandang dari segi baik dan buruknya. Taysu, bagaimana pun dapat taysu mengenal Pedang Ular Emas yang dipakai oleh Siau toako lagi itu?”

“Hal itu dapat diterangkan menurut beberapa tafsiran,” kata Pek Wan Taysu. “menilik tadi dia dapat mengingau seorang diri, jelas kesadaran pikirannya masih belum lenyap sama sekali. Berdasarkan hal itu maka dapatlah kita membuat tafsiran begini. Dia mungkin masih teringat akan pedang pusaka Ular Emas, lalu dia mencarinya lagi. Kemungkinan lain, ada orang yang mencuri Pedang Ular Emas dan kebetulan berpapasan dengan Lo-seng. Lo-seng lalu merebutnya. Kita tahu bahwa sebelum dia kehilangan ingatannya, pedang Ular Emas itu merupakan senjata yang paling disayanginya Maka dia tentu kenal sekali dengan pedang itu.”

Uraian Pek Wan Taysu itu walaupun agak dipaksakan tetapi beralasan juga.

Kemudian Hun-ing pun mengemukakan pendapatnya: “Akupun hendak membuat pengandaian. Bahwa mayat Siau toako telah dicuri orang lalu orang itu menggunakan dia sebagai alat pun bukan suatu hal yang mustahil, bukan?”

Pek Wan Taysu mengangguk: “Ui Pang-cu, harap suka melanjutkan tafsiran pangcu!” Hun-ing merenung sejenak lalu berkata:

“Pada waktu Siau toako menderita luka parah ia berkata: ‘apabila dalam duabelas jam dia tidak terjaga, berarti dia mati’. Tetapi ternyata kita telah menjaganya sampai enam hari enam malam dan dia masih belum meninggal……”

Berhenti sebentar, Hun-ing melanjutkan lagi, “Mengapa Siau toako perlu memberitahu kepada kita, tentulah dikarenakan dia sudah mengetahui khasiat obat itu. Dia kuatir, obat racun itu akan menyerang jantungnya sehingga dia meninggal.”

“Benar, memang begitulah pesan Lo-seng waktu itu,” Pek Wan Taysu mengiakan.

“Tetapi kenyatannya tidak seperti yang dikatakan itu. Selama enam hari enam malam dia masih hidup. Mampukah dia bangun sendiri dan terus pergi? Siau toako pun pernah menceritakan tentang ilmu membuat mayat hidup. Maka aku berani mengatakan bahwa dia tentu dicuri orang dan dijadikan alat.”

Pek Wan Taysu tertawa: “Tetapi Ui Pang-cu dapatkah engkau mengatakan siapakah kiranya yang mampu mencuri tubuhnya? Bukankah siang malam kita menjaganya dengan keras.

Hun-ing merenung sejenak.

“Memang dunia persilatan penuh dengan hal-hal yang aneh dan tak terduga-duga. Cobalah taysu renungkan. Bukankah suatu hal yang tak dapat kita duga sebelumnya. mengapa tiba-tiba Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang muncul di kuil tua itu?”

Seketika berobahlah wajah Pek Wan Taysu, serunya “Ui Pang-cu, apakah engkau maksudkan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu yang mencuri mayat Lo-seng?”

“Aku memang mempunyai firasat begitu,” kata Hun-ing, “mohon tanya taysu, bagaimanakah peribadi Leng Tiong-siang itu?”

“Jika begitu, Lo-seng tentu diperalat oleh Leng Tiong-siang ” Pek Wan Taysu menghela napas.

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?” tanya Hun-ing.

“Sukar kukatakan,” sahut Pek Wan Taysu. “mengapa begitu. Tetapi kupercaya Leng Tiong-siang tentu memiliki ilmu kepandaian yang tak dilihat orang ”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyelutuk dengan nada dingin: “Hm, kalian hanya ngotot main duga saja sehingga tak tahu kalau orang yang kalian hendak ikuti itu telah lenyap jejaknya.”

Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Cepat mereka berputar tubuh dan ah ternyata Kakek wajah dingin

Leng Tiong-siang sudah mengikuti di belakang mereka. “Ui Pang-cu, mana Siau toako?” seru Cu-ing.

Ternyata Siau Lo-seng yang berjalan di sebelah muka saat itu sudah tak tampak bayangannya lagi. Hun-ing terbeliak dan cepat meminta Cu-ing supaya mengejar jejak Lo-seng.

“Tak perlu,” kata Leng Tiong-siang.

Tetapi Cu-ing tak peduli. Ia terus lari ke muka.

“Adik Ing, jika bertemu Siau toako kasihlah api pertandaan kepada kita,” seru Hun-ing.

Setelah nona itu pergi, Pek Wan Taysu beralih kata kepada Leng Tiong-siang: “Leng sicu, engkau tentu mendengar apa yang kita bicarakan tadi, bukan?”

Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang menjawab dingin-dingin, “Terus terang, sejak berpisah di tanah pekuburan, aku memang secara diam-diam mengikuti kalian. Akupun tahu bagaimana Siau Lo-seng membunuh keduabelas orang Sip-hun-jin itu dan lain-lain. Lalu bagaimanakah kehendak kalian ini?”

“Jika demikian, tentulah Leng sicu yang menggunakan Lo-seng,” kata Pek Wan Taysu.

“Mengapa engkau berlagak pintar sendiri?” seru Leng Tiong-siang, “jika aku dapat menggunakan orang, tentulah dunia persilatan ini sudah kukuasai.”

Pek Wan Taysu kerutkan dahi. Sementara Hun-ing segera bertanya: “Leng locianpwe, mengapa engkau mengatakan begitu? Apakah engkau anggap kesaktian Siau Lo-seng itu tiada tandingnya di dunia persilatan?”

Berobahlah wajah Kakek wajah dingin seketika, serunya: “Budak perempuan, bagaimana kau dapat menduga kalau aku yang mencuri mayat Siau Lo-seng?”

Tergetar  hati  Hun-ing,  pikirnya:  “Ah, ternyata memang dia yang mencuri mayat Siau toako aku hanya

menduga-duga ternyata tepat juga ”

“Mudah saja,” katanya kepada Kakek wajah dingin. “cukup mengandalkan perasaan hati.” “Perasaan dalam hati? Ngaco!” teriak Kakek wajah dingin.

“Tidak percaya?” sahut Hun-ing. “sebenarnya aku tahu juga peristiwa bagaimana setelah Siau Lo-seng tersadar, engkau harus bertempur seru dengan dia. Tetapi engkau tetap kalah.”

Seketika marahlah Kakek wajah dingin, serunya: “Benar, memang aku kalah. Bagaimana engkau tahu hal itu?”

Mendengar itu. diam-diam Hun-ing mengeluh sendiri: “Celaka, mengapa aku ngelantur bicara? Kalau dia dapat mencuri tubuh Siau toako masakan dia kalah bertempur?”

Memang sebenarnya kata-katanya tadi hanya menduga-duga saja Tak pernah disangkanya kalau hal itu benar.

“Ah, locianpwe” akhirnya ia terpaksa tersenyum, masakan engkau tak tahu kalau aku hanya sembarangan menduga saja?”

“Apa?”

“Locianpwe, sebenarnya aku tak tahu kalau engkau mencuri tubuh Siau toako, begitu pula locianpwe telah berkelahi dengan dia. Maka kumohon locianpwe suka menerangkan apa yang telah terjadi dengan Siau toako!”

“Budak perempuan, engkau memang cerdik,” kata Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang, “aku si orang tua ini sampai terpancing memberi pengakuan kepadamu!”

“Locianpwe, pedang pusaka Ular Emas itu kiranya tentu locianpwe yang mengambil lagi dari tempatnya “ kata Hun-ing pula.

“Budak perempuan,” kata Kakek wajah dingin. “tak usah engkau menggunakan kata-kata tuduh untuk menggali keterangan dari mulutku. Kalau aku tak mau mengatakan. engkau tentu hanya mengoceh sendiri.” “Leng locianpwe” kata Hun-ing. “ternyata engkau adalah seorang yang berhati panas tetapi berwajah dingin. Dunia persilatan mengatakan engkau seorang yang sukar diajak bersahabat. Tetapi kurasa tidak.”

Pek Wan Taysu menghela napas: “I.eng sicu kumohon dengan sangat sukalah engkau memberitahu, benarkah tubuh Siau Lo-seng itu engkau yang mengambilnya?”

“Bukankah tadi sudah jelas, mengapa aku aku harus banyak bicara lagi? Memang tubuh Siau Lo-seng aku yang mengambil, begitu juga pedang Ular Emas yang ditanamnya di tanah itu, juga kuambil…… dengan pedang itu hendak kukuasainya tetapi gagal, dia dapat merebut pedang itu.”

Ternyata setelah bertempur beberapa jurus dengan Siau Lo-seng di kuburan diam-diam kakek itu mengikuti gerak gerik Lo-seng. Juga ia dapat mencuri dengar tentang uraian Lo-seng mengenai ilmu membuat mayat hidup. Tetapi ia tak dapat mendengar keterangan kalau anak muda itu menderita luka parah.

Pada hari keenam setelah Siau Lo-seng ‘mati’, dia datang dan mencuri mayatnya. Tetapi ketika ia dapat menyadarkan Siau Lo-seng ternyata ia tak dapat menguasainya. Terjadi pertempuran, dia kalah  dan pedang Ular Emas dapat direbut pemuda itu.

Setelah mendengar keterangan itu, Hun-ing gembira: “Kalau begitu, dia tidak dikuasai oleh orang lain?” “Ceritaku belum habis, mengapa engkau buru-buru bergirang?' kata Kakek wajah dingin.

Hun-ing tertegun, “Masih belum selesai? Apakah masih ada kelanjutannya?”

Dengan nada sarat, kakek itu berkata pula: “Dunia ini memang penuh dengan peristiwa yang tak terduga- duga. Setelah sadar dari dari ‘mati’ selama enam hari, kepandaiannya malah bertambah hebat berlipat ganda sehingga aku pun tak sanggup melawannya. Pada saat dia dapat merebut pedang Ular Emas itu, kulihat sinar matanya berkilat-kilat menyeramkan sekali.”

“Mungkin dia hendak membunuhmu,” kata Hun-ing.

“Benar, memang dia hendak membunuh aku. Tetapi pada saat yang berbahaya itu tiba-tiba terdengar suara seruling...... entah bagaimana tiba-tiba dia tenang kembali...... dalam kesempatan itu segera kulancarkan sebuah pukulan kepadanya. Tetapi tampaknya dia tak menderita luka. Setelah berteriak memanggil namaku, dia terus melarikan diri.”

“Apa? Dia memanggil namamu?” Hun-ing terkejut.

“Memang, aku sendiri juga terkejut,” kata Kakek wajah dingin, “jelas kuperhatikan pada saat dia memanggil namaku itu, dia tampak seperti seorang yang sadar pikirannya. Maka segera kukejarnya...... Dia lari melintasi beberapa puncak gunung uutuk mengejar suara seruling itu. Tiba-tiba suara seruling itu lenyap. Dia kembali dan menempur aku lagi.”

“Siapakah yang meniup seruling itu?” tanya Hun-ing.

“Bermula aku tidak memperhatikan suara seruling itu. Tetapi karena setiap kali dia bertempur dengan aku lalu terdengar suara seruling itu berbunyi dan dia terus pulih kesadarannya, dia pun heran. Dia bertanya kepadaku siapakah yang membunyikan seruling itu?”

Pek Wan Taysu terkejut mendengar keterangan itu.

“Sejak saat itu barulah aku mulai menaruh perhatian pada bunyi seruling yang aneh itu. Berapa bulan aku mengejarnya, dengan begitu, aku dan Siau Lo-seng seolah-olah telah dibawa suara seruling itu untuk menjelajah beberapa puncak gunung,” kata Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.

Rupanya Hun-ing juga heran dan terkejut mendengar keterangan itu. Ia menegas: “Apakah hal itu sungguh- sungguh?”

“Mengapa aku harus berbohong?” sahut Kakek wajah dingin, “kalau kalian tak percaya, orang yang meniup seruling itu saat ini berada di sekitar kota Lok-yang. Apabila kalian mengikuti Siau Lo-seng tentu kalian akan mendengar bunyi seruling aneh itu.”

Tepat pada saat si kakek mengatakan soal itu, tiba-tiba dari kejauhan seperti terdengar suara seruling yang beralun perlahan.

“Dengarkanlah,” serentak Kakek wajah dingin berseru, “suara seruling itulah.” Memang Pek Wan Taysu dan Hun-ing pun mendengar alunan suara seruling. Iramanya sesyahdu nyanyian dewa, halus tenang dan damai sehingga hati orangpun merasa tenteram.

Tetapi suara seruling seolah berkumandang di udara sehingga sukar untuk menentukan arah tempat orang yang meniupnya.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara Cu-ing berseru memanggil-manggil, “Siau toako, Siau toako ”

“Pek Wan Taysu, mari kita ke sana!” kata Hun-ing.

Tepat pada saat itu dari arah tenggara, meluncur sebatang panah api ke udara. Cepat Hun-ing lari ke arah itu. Pek Wan Taysu dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang pun segera mengikuti.

Suara seruling masih terdengar dan tiba-tiba I.eng Tong-siang pun berseru: “Hm, Siau Lo-seng datang.”

Dari berpuluh tombak jauhnya, sesosok tubuh bergerak menghampiri dengan cepat sekali. Dan pendatang itu bukan lain adalah Siau Lo-seng

Melihat itu Hun-ing bergegas menyongsong tetapi cepat-cepat Pek Wan Taysu berseru: “Ui Pang-cu, hati- hatilah. Dia belum sadar pikirannya……”

Paderi itu memperhatikan bagaimana luar biasa sekali gerak Siau Lo-seng. Apabila membentur Hun-ing, nona itu tentu celaka.

Tetapi peringatan itu sudah terlambat. Benar-benar bagaikan kilat menyambar, tahu-tahu Siau Lo-seng sudah tiba dihadapan nona itu. Untuk menghindar Hun-ing sudah tak sempat lagi.

Dalam keadaan itu Hun-ing tak gentar sama sekali. Sambil pejamkan mata ia pasrah dalam hati: “Kalau harus mati, aku puas mati di tangannya.”

Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba Siau Lo-seng berseru kaget: “Ui Pang-cu, engkau!”

Dengan gerak yang sukar dipercaya, anak muda itu berputar-putar dan berhenti sehingga benturan maut itu dapat dicegah.

Hun-ing membuka mata dan dapatkan pemuda itu tegak merapat dihadapannya. Hampir dia tak percaya pada pandang matanya.

“Siau toako…… engkau…… kenal padaku……,” berderai-derailah airmata Hun-ing dan serta merta, ia rebahkan diri ke dada Siau Lo-seng.

Siau Lo-seng menjamah kedua bahu si nona lalu menyurut mundur selangkah kemudian berpaling ke arah Pek Wan Taysu dan Leng Tiong-siang.

“Paman Pek Wan, Leng locianpwe, kalian juga berada di sini.”

Bukan kepalang kejut Pek Wan Taysu saat itu. Jelas Siau Lo-seng sudah pulih kesadarannya. “Lo-seng, engkau…… engkau…… sudah sembuh,” serunya tegang.

Siau Lo-seng menghela napas rawan: “Paman Pek Wan, aku tak sempat untuk memberi penjelasan kepada kalian. Singkatnya, jiwaku saat ini hanya tergantung pada suara seruling aneh itu hanya suara seruling

itu yang dapat mengembalikan kesadaran pikiranku.”

Tiba-tiba Cu-ing lari mendatangi dan melengking:  “Siau  toako,  mengapa  engkau  tak  menghiraukan  diriku ”

Siau Lo-seng berpaling memandangnya, “Nona Nyo, harap engkau dapat memaafkan kesukaran hatiku……, oh, ya, ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan kepadamu. Li Giok-hou itu ”

“Siau toako, engkau…… tidak kehilangan ingatanmu…….” karena gembira, Cu-ing cepat menukas. Nona  itu mengucurkan airmata.

Hun-ing menyadari bahwa sehatnya pikiran Siau Lo-seng itu hanya tergantung dari suara seruling. Kalau seruling itu berhenti, anak muda itu tentu akan berobah menjadi harimau yang buas lagi.

Kenyataan itu harus digunakan sebaik-baiknya oleh Hun-ing. Cepat nona itu menyeletuk: “Adik Ing, pulihnya ingatan Siau toako itu karena mengandalkan suara seruling aneh itu. Nanti akan kujelaskan hal itu kepadamu.” 

08.40. Ungkapan Hati Dua Dara Jelita

Rupanya Cu-ing juga menyadari hal itu bahwa sembuhnya pikiran Siau Lo-seng itu memang tidak sewajarnya.

Selama kedua nona berbicara dengan Siau Lo-seng, hanya Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang yang pejamkan mata, kerahkan perhatian untuk memperkirakan arah datangnya suara seruling itu.

“Ui Pang-cu, apakah kalian sudah mengetahui hal itu?” tanya Siau Lo-seng, “Ya, Leng locianpwe sudah menerangkan kepada kami,” jawab Hun-ing.

“Leng locianpwe,” tiba-tiba Lo-seng menegur, “kali ini seruling berbunyi lama sekali. Apakah engkau sudah dapat memperkirakan arah tempat peniupnya?”

Mendengar itu Leng Tiong-siang membuka mata.

“Hanya dua kemungkinan, dari arah tenggara atau dari barat daya. Mari kita berpencar mencarinya. Engkau ke tenggara dan aku menuju ke barat daya,” kata kakek itu. Dan habis berkata ia terus loncat lari menuju ke barat daya.

“Ui Pang-cu,” kata Lo-seng, “kalau kalian hendak mengejar aku, apabila tidak kedengaran seruling itu berbunyi, harap jangan menyongsong aku, perihal diriku, silahkan bertanya kepada Leng locianpwe.”

Habis memberi pesan, pemuda itu terus ayunkan tubuh dan lari sekencang angin.

Hun-ing, Pek Wan Taysu dan Cu-ing tercengang heran menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh dari Lo-seng saat itu.

“Ilmu ginkang itu termasuk ilmu yang paling tinggi dalam dunia persilatan,” kata Pek Wan Taysu. “Pek Wan Taysu, mari kita kejar Siau toako,” ajak Hun-ing.

“Ah, sia sia,” sahut Pek Wan, “saat ini dia sudah berada beberapa lie jauhnya.”

Sekalipun mengatakan begitu, tetapi paderi Siau-lim-si itu mau juga bersama kedua nona lari menuju ke tenggara.

“Pek Wan Taysu,” kata Hun-ing sembari berlari, “mengapa Siau toako mengejar peniup seruling itu karena tahu bahwa orang itu akan dapat menyembuhkan kesadaran pikirannya.”

“Benar,” jawab Pek Wan, “rupanya Lo-seng tahu kalau dia kehilangan ingatan. Ah, sungguh suatu peristiwa yang aneh sekali.”

“Ah, alangkah senangnya kalau aku dapat meniup seruling itu,” kata Cu-ing.

Hun-ing tersenyum, ujarnya: “Adik Ing, apakah engkau kuat untuk meniup seruling setiap hari dan malam tanpa berhenti?”

Mendengar itu merahlah wajah Cu-ing, sahutnya: “Kalau aku bisa meniup, tentu akan kuajarkan juga kepada cici Hun. Dengan demikian kita dapat bergiliran meniupnya.”

Ucapan itu merupakan curahan hati Cu-ing. Ia cinta kepada Siau Lo-seng tetapi iapun rela membagi cinta anak muda itu kepada Hun-ing.

“Ah, apabila Lo-seng beruntung mendapat jodoh kedua nona itu, alangkah bahagia hidupnya. Tetapi ah, rupanya nasib anak itu memang malang……” diam-diam Pek Wan Taysu merenung dalam hati.

“Adik Ing, apakah ucapanmu keluar dari hatimu yang tulus?” kata Hun-ing yang dapat menangkap maksud hati Cu-ing.

“Ai, cici Hun, masakan engkau masih meragukan kecintaanku terhadapmu,” kata Cu-ing.

Hun-ing tertawa bersemangat: “Baiklah, adik Ing, mari kita kejar peniup seruling. Sampai ke ujung langit pun kita tetap harus mencarinya dan minta kepadanya supaya mengajarkan ilmu meniup seruling itu.”

Tiba-tiba suara seruling lenyap. “Ah, seruling berhenti,” Cu-ing terkejut.

“Dan berhenti juga kesadaran pikiran Siau toako,” sambut Hun-ing dengan rawan.

Pek Wan Taysu, menghela napas, ujarnya: “Aku akan segera pulang ke Siau-lim-si dan secepatnya akan mengirim jago-jago Siau-lim-si yang lihay untuk bantu mencari peniup seruling itu. Akan kuminta supaya orang itu suka mengajarkan cara meniup seruling kepada kalian berdua.”

“Locianpwe, apakah engkau segera hendak pulang ke Siau-lim-si?” tanya Hun-ing.

Menurut keterangan Leng Tiong-siang sicu tadi, dia dan Lo-seng sudah beberapa bulan berkelana mencari peniup seruling itu. Dengan begitu jelas menandakan bahwa orang itu tentu seorang tokoh yang sakti.  Untuk menemukan orang itu, tiada lain jalan kecuali harus mengerahkan tokoh-tokoh yang sakti. Oleh karena itu, aku akan pulang ke Siau-lim-si untuk mengirim seratus delapanpuluh murid-murid yang berkepandaian tinggi ke Lok-yang.”

Menengadah ke langit, Hun-ing mengatakan bahwa agaknya hujan akan turun lagi. Ia minta agar Pek Wan Taysu suka menunda perjalanan sampai besok pagi saja.

Tetapi paderi itu berkeras hendak berangkat saat itu. Iapun segera mengucap selamat tinggal kepada kedua nona dan terus berangkat.

Malam gelap sekali.

“Cici Hun, kemanakah kita akan menuju?” tanya Cu-ing.

“Sudah hampir sejam lamanya mencari, tetap kita belum bertemu Siau toako,” kata Hun-ing

Tiba-tiba kilat memancar dan menyusul terdengar halilintar menggelegar. Dalam kilatan sinar kilat yang walaupun hanya sekejap itu, mata Hun-ing yang tajam dapat melihat bahwa di bawah sebatang pohon siong tua yang tumbuh di lembah kaki puncak gunung, terdapat sesosok tubuh orang tengah berdiri. Dan perawakan orang itu rasanya tak asing lagi.

“Hai, dia Siau toako!” teriak Cu-ing.

“St, adik Ing, lebih baik kita jangan mendekati dia dulu,” kata Hun-ing setengah berbisik.

Angin menderu keras. Batu dan pasir berhamburan terbang. Kilat dan halilintar sahut menyahut tiada berkeputusan.

“Siapakah orang-orang itu?” tiba-tiba Cu-ing berseru pelahan pula.

Ternyata pancaran sinar dari kilat tadi memberi kesempatan pada Hun-ing dan Cu-ing untuk mencurahkan pandang matanya lebih seksama. Dilihatnya dalam lembah itu bukan hanya Lo-seng seorang saja, melainkan masih terdapat belasan orang yang berpencaran di dalam lembah. Terutama di sekeliling pohon siong tempat Lo-seng berdiri.

Hai…... tiba-tiba tersiraplah darah Hun-ing dan Cu-ing di kala memperhatikan bahwa tubuh-tubuh yang berserakan di sekeliling pohon siong itu ternyata merupakan mayat-mayat yang terkapar malang melintang.

Berkurangnya amukan kilat dan halilintar segera disusul dengan hujan yang mencurah deras. Dan di antara lebatnya hujan itu terdengarlah berulang kali suara tertawa nyaring, pekik bentakan dan lengking jeritan yang ngeri dan menyeramkan.

Tetapi jeritan-jeritan ngeri itu seolah-olah lenyap ditelan oleh ledakan halilintar yang dahsyat.

Saat itu Hun-ing dan Cu-ing terpaksa meneduh di sebuah batu cekung. Mereka berdua tak dapat melihat apa yang telah terjadi. Malam gelap tertutup hujan deras. Tetapi mereka dapat menduga bahwa Siau Lo- seng telah bertempur dan membunuh berpuluh musuh.

Menurut dugaan kedua nona itu, musuh-musuh yang bertempur dengan Lo-seng itu kalau bukan anak buah Lembah Kumandang tentulah anak buah istana Ban-jin-kiong.

Untunglah hujan lebat itu tak berlangsung lama. Sepeminum teh lamanya, hujanpun berhenti. Angin reda pula. Di cakrawala muncul rembulan yang memancarkan sinar terang.

“Hai, Siau toako dan orang-orang itu ?” tiba-tiba Cu-ing berseru kaget. Lembah yang terletak di sebelah bawah dari tempat meneduh kedua nona itu. merupakan sebuah lembah yang liar, penuh ditumbuhi rumput dan belukar. Saat itu di tengah lembah, penuh dengan tebaran senjata dan mayat-mayat yang berserakan memenuhi empat penjuru.

Yang mengherankan kedua nona yalah saat itu Lo-seng tak tampak berdiri di bawah pohon siong tua lagi. Apakah pemuda itu juga binasa?

“Cici Hun, mari kita turun memeriksanya,” Cu-ing tak sabar lagi.

Tetapi Hun-ing mencegahnya: “Tunggu dulu, rupanya dalam rumah gubuk di tengah lembah itu seperti ada orangnya.”

Ketika Cu-ing memandang ke arah rumah gubuk yang berdiri di tengah lembah, dilihatnya delapan orang lelaki muncul keluar dengan membawa tombak. Mereka mengenakan pakaian warna merah seperti kaum bu-su atau pengawal istana.

Kemudian keluar pula sebuah tandu yang indah sekali bentuknya. Tandu itu dipikul oleh delapan lelaki perkasa baju putih.

Karena kain penutup tandu tidak ditutup maka dapatlah kedua nona itu melihat isi tandu itu.

Seorang lelaki tua. Tetapi kerena gelap kedua nona itu tak dapat melihat jelas bagaimana raut wajahnya.

Saat itu tandupun berjalan maju dengan diiring oleh kedelapan pengawal baju merah dan pada lain kejap merekapun sudah lenyap dalam kegelapan malam.

“Adik Ing, betapalah pesat langkah kaki mereka,” seru Hun-ing. Cu-ing mengiakan.

“Lekas mari kita turun,” seru Hun-ing pula. Nona itu tak ingat untuk memeriksa apakah dalam tumpukan mayat-mayat itu terdapat juga mayat Lo-seng. Perhatiannya hanya tertuju pada rombongan tandu yang aneh itu. Ia seperti mendapat firasat yang tak baik.

Setelah menuruni lembah, mereka dapatkan mayat-mayat yang malang melintang di tanah itu adalah anak murid Lembah Kumandang. Siau Lo-seng tak ada di antara mereka.

“Adik Ing, mari kita kejar tandu itu,” kata Hun-ing.

“Cici Hun, bukankah kita hendak mencari Siau toako? Mengapa harus mengejar tandu itu?” batas Cu-ing. “Adik Ing, apakah engkau sudah melihat jelas orang di dalam tandu itu?”

Cu-ing gelengkan kepala: “Tidak! Tetapi apakah Siau toako?” “Bukan hanya seorang lelaki tua.”

“Lalu mengapa kita harus mengejarnya?” tanya Cu-ing.

“Adik Ing, engkau tentu tahu mengapa Siau toako berada di sini. Bukankah dia hendak mengejar orang yang meniup seruling itu?”

“Cici,” seru Cu-ing. “engkau maksudkan orang tua dalam tandu itu yang meniup seruling.”

“Aku belum berani memastikan,” jawab Hun-ing. “tetapi kurasa orang tua itu memang mencurigakan sekali gerak geriknya. Menilik kepandaian enambelas orang pengawal tandu itu, jelas mereka tentu tokoh-tokoh silat kelas satu. Kepandaian mereka tak di bawah kita berdua Dengan begitu jelas kalau orang tua dalam tandu itu tentu seorang yang teramat sakti. Kuduga dia tentu orang yang meniup seruling.”

“Mudah-mudahan dugaan cici itu benar, hayo, kita kejar!” seru Cu-ing gembira. Tepat pada saat itu dari lembah terdengar alun suara seruling pula.

“Itulah!” seru Cu-ing.

“Benar, benar orang tua dalam tandu itu tentu yang meniup seruling,” Hun-ing terkejut girang.

Tetapi serempak pada saat itu, terdengarlah pekik bentakan yang diantar oleh angin. Menyusul lalu gelak tertawa nyaring dan makian kemarahan……. Hun-ing dan Cu-ing cepat lari menuju ke arah suara itu. Setelah melintasi beberapa puncak bukit, suara gaduh itu makin terdengar jelas. Bahkan terdengar pula dering senjata beradu.

“Ha, ternyata mereka di sini,” seru Hun-ing girang.

Tampak tandu tadi berhenti di sebuah anak bukit yang tingginya duapuluhan tombak. Kedelapan pengawal baju putih sedang meniup seruling besi. Sedang kedelapan pengiring baju merah saat itu sedang bertempur dengan orang-orang yang hendak mendaki ke atas bukit.

“Adik Ing, kita lihat dari samping saja, untuk sementara jangan ikut campur pertempuran mereka,” bisik Hun- ing

Kedua nona itu segera mencari sebuah tepat di lereng bukit. Dari tempat itu mereka dapat menyaksikan jalannya pertempuran.

Kedelapan baju merah itu tegak menjaga di bawah puncak. Setiap terlihat musuh akan naik sampai dua-tiga tombak, mereka tentu dibabat oleh kawanan baju merah itu. Bertubi-tubi sosok tubuh jatuh bergelundungan ke kaki bukit. Dalam beberapa kejap saja tak kurang dari tujuhbelas-delapanbelas orang yang rubuh.

Tetapi musuh yang berada di kaki bukit, tak terhitung banyaknya. Satu mati, yang lain naik. Patah tumbuh, hilang berganti.

“Cici Hun, siapakah orang-orang yang nekad itu?” tanya Cu-ing.

“Jelas mereka bukan orang Lembah Kumandang. Hai, lihatlah, bukankah itu Li Giok-hou?” seru Hun-ing.

Ternyata saat itu dari bawah bukit terdengar suitan panjang dan beberapa sosok tubuh berhamburan lari mendatangi dengan pesat sekali. Yang paling depan bukan lain yalah Pedang berbisa pembasmi iblis Li Giok-hou. Dan yang lain adalah si bungkuk Long Wi serta tiga orang tua baju hitam.

“Hayo. kalian mundur semua!” setiba di tempat pertempuran Li Giok-hou terus berseru nyaring.

Sambil berkata dia terus mendahului enjot tubuhnya ke atas puncak. Dalam beberapa lompatan saja dia sudah tiba di muka ke delapan pengawal baju merah.

Saat itu ke delapan pengawal baju merahpun sudah mempersiapkan diri. Mereka bersikap garang. Tegak berdiri berjajar untuk melindungi tandu yang berada tujuh tombak di belakang mereka.

Melihat Li Giok-hou, serentak meluaplah darah Cu-ing. Tanpa menghiraukan pesan Hun-ing lagi, nona itu terus loncat ke luar dan menghampiri ke arah pemuda itu.

Giok-hou terkejut ketika melihat Cu-ing muncul. Serunya dengan wajah tertawa: “Adik Ing, mengapa engkau di sini ”

Tiba-tiba ia melihat di belakang Cu-ing itu, menyusul Hun-ing. Maka ia tak mau melanjutkan kata-katanya.

Dengan wajah merah membara, Cu-ing tertawa nyaring: “Li Giok-hou, mengapa tak engkau lanjutkan perkataanmu…… heh, heh, heh sungguh tak kira, sungguh tak nyana. Seorang murid kesayangan dari

Go-bi Sam-hiap, ternyata menjadi pemimpin muda dari istana Ban-jin-kiong. Ayahku telah mati di tanganmu secara licik sekali. Engkau benar-benar seorang manusia berhati binatang!”

Saat itu berdatangan Long Wi dan ketiga orang tua baju hitam. Giok-hou tertawa sinis.

“Bagus,” serunya, “engkau sudah tahu hal itu sehingga aku tak perlu memberi penjelasan. Sekarang silahkan engkau menyingkir ke samping dulu. Setelah urusan di sini kuselesaikan, nanti kita selesaikan urusan kita itu.”

Habis berkata Gok-hou terus berpaling ke arah kedelapan pengawal baju merah, serunya: “Tandu yang berani melanggar daerah terlarang dari istana Ban-jin-kiong itu, bukankah berisi…… Bu Beng Lojin?”

Sebenarnya Cu-ing hendak bertindak tetapi Hun-ing yang sudah berada di belakangnya segera menarik lengan nona itu diajak menyingkir ke samping.

“Adik Ing,” bisik Hun-ing, “murid hianat itu tinggi sekali kepandaiannya. Mungkin kita tak mampu melawannya. Apalagi saat ini kita hanya dua orang. Untuk membalas dendam masih ada waktu cukup, tak perlu engkau harus melakukan sekarang.” Walaupun Cu-ing ingin sekali mencincang tubuh Giok-hou tetapi dia seorang nona yang berpikiran panjang. Ia tahu kekuatan pihaknya dengan kekuatan lawan. Maka diapun menurut nasehat Hun-ing.

Ke delapan pengawal baju merah itu tak mau menjawab pertanyaan Giok-hou.

Tiba-tiba dari dalam tandu terdengar sebuah suara yang parau: “Ya, memang aku inilah Bu Beng Lojin. Bulan yang lalu aku telah pesiar ke istana Ban-jin-kiong. Apakah hal itu suatu kesalahan yang harus dihukum mati?”

Kini Hun-ing baru mengetahui bahwa di antara Bu Beng Lojin atau Orang tua tak bernama dengan pihak orang Ban-jin-kiong telah bentrok. Ketika mendengar nada suara orang tua itu, Hun-ing kerutkan dahi lalu mencurah pandang untuk memandang ke dalam tandu dengan tajam.

Kiranya yang berada dalam tandu itu seorang lelaki tua yang rambutnya terurai lepas, menutupi tubuhnya. Mukanyapun penuh dengan kumis dan brewok yang lebat tak terurus sehingga sampai menutupi kedua matanya, hidung dan mulut. Jika tak bicara mungkin orang tak percaya kalau dia itu seorang manusia.

“Tempat suci istana Ban-jin-kiong merupakan daerah terlarang bagi setiap orang. Penjagaannya sekuat dinding baja. Bagaimana engkau mampu masuk ke dalam istana itu?” seru Giok-hou sambil tertawa hina.

“Dengan naik tandu dan diiring oleh keenambelas pengawal, aku masuk dari pintu besar dan keluarpun dari pintu besar itu,” sahut Bu Beng Lojin dengan nada dingin.

Giok-hou terbeliak: “Benarkah itu!”

Ia hampir tak percaya keterangan Bu Beng Lojin itu karena jelas bahwa pintu gerbang Ban-jin-kiong dijaga ketat oleh berpuluh jago-jago silat sakti. Bahkan anak buah Ban-jin-kiong sendiri juga diperiksa keras apabila melalui pintu gerbang itu.

“Bagi lain orang memang istana Ban-jin-kiong merupakan rawa naga sarang harimau. Tetapi bagiku tak lain seperti rumahku sendiri.

Saat itu rupanya Giok-hou sudah menyadari bahwa orang tua itu seorang sakti yang aneh. Mungkin dia sudah mengetahui susunan istana Ban-jin-kiong lalu menggunakan surat jalan palsu untuk masuk keluar dari pintu gerbang. Kalau tidak begitu, tentu tak mungkin dia mampu melewati penjagaan pintu gerbang istana.

Giok-hou tertawa meloroh, serunya:

“Maaf, maaf, karena terlambat memberi hormat kepada anda. Tetapi entah siapakah gerangan nama anda yang mulia itu?”

Bu Beng Lojin tertawa.

“Bukankah engkau sudah tahu gelaranku Bu Beng Lojin atau Kakek tanpa nama? Mengapa masih bertanya lagi?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar