Pendekar 100 Hari Jilid 07

07.31. Si Cantik Manusia Mumi

Siau Lo-seng berhasil mendapatkan tempat yang sesuai. Ia membawa Pek Wan Taysu ke dalam sebuah guha dari sebuah karang tinggi yang di kelilingi pegunungan.

Luka dalam yang diderita paderi Siau-lim itu memang parah dan saat itu keadaannya memang sudah payah sekali.

Buru-buru Siau Lo-seng meletakkan tubuh paderi itu lalu mulai mengurut seluruh jalan darah di tubuhnya untuk melancarkan darahnya.

Tak berapa lama paderi itupun dapat menghela napas dan membuka mata. “Ah, sungguh tak kira kalau pukulan nona itu begitu sakti sekali,” katanya.

“Bukan pukulannya, paman,” Siau Lo-seng menerangkan, “tetapi pukulan yang paman derita itu sebenarnya berasal dari tenaga pukulanku yang disedot lalu dipancarkan oleh tenaga balik dari nona itu!”

Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu tertawa rawan.

“O, kiranya begitu,” katanya, “jika demikian matipun aku sudah puas.” Berkata Siau Lo-seng dengan serius: “Tidak paman. Sekalipun lukamu parah tetapi sekarang sudah tak berbahaya. Asal sudah menyalurkan tenaga dalam beberapa waktu. tentu sudah sembuh kembali.”

Memang setelah diurut oleh Lo-seng, Pek Wan Taysu rasakan dadanya tenang dan longgar napasnya. Ia segera duduk bersila untuk menyalurkan ilmu pernapasan.

“Lo-seng,” katanya beberapa saat kemudian “walaupun usiamu masih muda tetapi engkau telah memiliki ilmu pengobatan yang tinggi. Kuyakin, arwah ayahmu tentu akan gembira di alam baka.”

Teringat akan keadaan dirinya yang takkan dapat hidup lama, merahlah muka Lo-seng.

“Lo-seng,” kata Pek Wan Taysu pula, “engkau tentu letih juga. Baiklah engkau juga bersemedhi memulangkan tenaga.”

Setelah paderi itu pejamkan mata melakukan ilmu pernapasan.

Lo-seng tak dapat menahan luapan kesedihannya. Butir-butir air matanya pun menitik keluar.

Bayangan maut yang segera akan menimpah dirinya, mulai menghantui pikirannya. Bukan karena ia bersedih harus mati tetapi karena ia merasa belum dapat menghimpaskan dendam darah keluarganya, Jangankan membalas, sedang siapa pembunuh dari keluarganya itu, tetap ia belum dapat  mengetahui jelas.

Perlombaan itulah yang menindih perasaan hatinya. Kalau, ia telah membalas sakit hati dan mati, ia puas. Tetapi bagaimana kalau ia sudah harus mati sebelum dapat menghimpaskan dendam darah itu? Ah......

Adalah karena tekadnya sudah bulat untuk menuntut balas maka ia sampai meminum obat racun yang paling ganas. Empat obat racun yang tergolong jenis racun paling ganas di dunia telah diminumnya. Tak  lain sekedar supaya ia dapat bertahan hidup sampai ia menyelesaikan dendam darah keluarganya itu.

Ia pun menyadari pula bahwa racun yang diminumnya itu hanya dapat mempertahankan hidupnya sampai waktu yang tertentu saja. Pun ia menyadari pula bahwa racun itu apabila salah jalan tentu akan menjadikan dia seorang momok pembunuh yang amat ganas. Seorang pembunuh yang haus darah!

Kemungkinan ia akan menjadi semacam manusia hidup yang tak berjiwa dan mati perasaannya, seperti nona cantik baju biru itu.

Demikian pikiran Lo-seng melayang-layang mengembara sehingga tak terasa ia telah jatuh lelah……

Matahari mulai condong ke barat dan merayap di punggung gunung. Tak lama lagi malam tentu akan segera tiba.

Entah sampai berapa lama, tiba-tiba Siau Lo-seng mendesis, membuka mata dan memandang ke sekeliling.

Rupanya Pek Wan Taysu terkejut juga mendengar desis mulut Lo-seng. Iapun segera membuka mata dan menegur: “Mengapa engkau Lo-seng?”

“Pada waktu bersemedhi tadi, agaknya aku mendengar suara adik angkatku berseru memanggil namaku,” kata Lo-seng.

Pek Wan Taysu mempertajam pendengarannya. Pada lain saat ia berkata, “Ah, di sekeliling pegunungan yang sepi ini, mana terdapat suara orang.”

Lo-seng juga memasang telinganya. Tetapi iapun tak mendengar suara apa-apa lagi.

Tiba-tiba setiup angin berhembus ke arah dirinya. Ia terkejut, serunya: “Aneh, mengapa angin meniup dari dalam guha ini?”

Ternyata angin itu memang berasal dari dalam sebuah guha di belakang. Dan ketika Pek Wan Taysu memeriksa memang benar begitu.

“Paman, mari kita masuk ke dalam guha itu,” kata Lo-seng seraya berbangkit. Pek Wan Taysu mengiakan.

Guha itu gelap dan menyeramkan. Hampir setengah jam lamanya masuk, belum juga mereka mencapai ujung guha. Diam-diam merekapun heran, mengapa lorong guha sedemikian panjangnya. “Kita sudah menyusup sampai tigaratus tombak lebih,” kata Pek Wan Taysu.

“Rupanya di sebelah depan tampak terang, mungkin sudah hampir tiba di ujung guha,” sahut Lo-seng yang berjalan di sebelah muka.

Benar juga setelah membiluk sebuah tikungan, sepuluhan tombak jauhnya di sebelah muka tampak  sepercik penerangan yang samar-samar.

Tetapi lorong guha yang hendak mendekati ujung jalan keluar, makin lama makin sempit menyerupai pecahan dari cela-cela batu karang yang merekah lebar.

“Aneh,” gumam Lo-seng.

Lebih kurang sepuluh tombak lagi, Pek Wan Taysu yang bertubuh lebih gemuk, tak dapat menyusup lorong guha lagi. Lorong itu amat sempit.

Melihat keadaan itu Lo-seng tertawa rawan: “Ah, hanya kurang dua tombak lagi dari jalan keluar mengapa lorong begini sempit. Apakah paman harus kembali dan menyusur lorong guha sepanjang tiga-empat ratus tombak?”

Sahut Pek Wan Taysu: “Tak apa, engkau boleh menyusup keluar lebih dulu. Sedikit-sedikit aku mengerti ilmu Sat-kut-kang (menyurutkan tulang). Aku hendak. ”

Tiba-tiba Lo-seng mendesuhkan isyarat supaya pendeta itu jangan bicara. Dari lorong guha di sebelah muka tiba-tiba terdengar suara orang mengingau. Dan jelas dapat ditangkap Lo-seng bahwa suara orang tidur mengingau itu suara seorang perempuan.

Lo-seng dan Pek Wan Taysu heran sekali mengapa di pegunungan yang sedemikian sepi, terdapat seorang perempuan yang sedang tidur?

Setelah memberi isyarat tangan kepada Pek Wan Taysu, Lo-seng pun segera maju pelahan-lahan.

Ternyata ujung dari guha itu merupakan sebuah ruang batu. Siapakah wanita yang berada dalam ruang itu. Lo-seng tak berani gegabah masuk melainkan menunggu perkembangan lebih lanjut.

Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Lo-seng makin terkejut, pikirnya: “Ha, hebat sekali ilmu meringankan tubuh orang ini.”

Memandang ke muka, Siau Lo-seng makin terkejut. Dua sosok tubuh manusia, pelahan-lahan bergerak menghampiri ke ruang batu itu.

“Ha, siapakah mereka? Rupanya mereka itu, tiada hubungannya dengan wanita dalam ruang batu,” pikirnya.

Karena memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi maka mata Lo-seng pun luar biasa tajamnya. Saat itu ia dapat melihat jelas bahwa kedua pendatang itu kaum lelaki. Dan serentak iapun mulai menduga cemas: “Hm, jangan-jangan kedua orang itu hendak berbuat tak senonoh terhadap wanita yang berada dalam ruang itu.”

Baru ia menduga begitu, kedua orang itupun sudah tiba dan herhenti pada jarak dua-tiga meter dari ruang batu.

Salah seorang yang berdiri di sisi kanan, kedengaran membuka suara: “Apakah wanita itu?” Siau Lo-seng terkesiap. Ia merasa tak asing dengan nada suara orang itu.

Orang yang berada di sebelah kirinya, memberi hormat dan menyahut: “Benar Sau-kiongcu.”

Kiong-cu artinya pemilik gedung besar semacam istana. Dan Sau artinya muda. Jadi tuan muda pemilik istana disebut Sau-kiongcu.

Orang yang berdiri di sebelah kanan itu mendengus dingin: “Ha, jangan panggil aku Sau-kiongcu. Gedung kediamanku saat ini belum mengangkat nama di dunia persilatan.”

Siau Lo-seng makin kejut dan makin jelas bahwa nada suara itu adalah suara Li Giok-hou murid kesayangan dari Nyo Jong-ho.

“Baik, baik,” kata orang itu dengan hormat. “Nyalakan korek, biar kuperiksanya,” kata Giok-hou pula.

Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia lekatkan tubuhnya lekat-lekat pada karang.

Tepat pada saat itu korekpun menyala dan teranglah ruang batu itu. Tetapi aneh, sampai beberapa saat tak kedengaran suara apa-apa.

Karena kuatir Gok-hou tahu maka terpaksa Lo-seng tak berani melongok ke dalam ruang. Tetapi dengan begitu, ia tercengkam dalam kegelisahan. Apakah yang telah terjadi dalam ruang batu? Apakah Giok-hou sudah pergi? Kalau sudah mengapa sama sekali ia tak mendengar suara langkah kakinya? Apakah yang mereka lakukan?

Karena tak kuat menahan hati maka Lo-seng pun melongok ke dalam ruang.

Seorang lelaki berpakaian biru tengah memegang korek api yang diangkat tinggi ke atas kepalanya untuk menyuluhi keadaan dalam ruang itu. Sedang di sisinya tampak Li Giok-hou sedang memandang ke arah sebuah balai-balai batu. Di atas balai-balai batu itulah seorang gadis sedang tidur.

Tampak sepasang mata Li Giok-hou bersinar terang dan wajahnya tampak tegang ketika memandang tubuh gadis itu.

Siau Lo-seng seorang pemuda yang berhati bersih. Sekalipun ia dapat menatapkan pandang matanya dan mengetahui siapa gadis di atas tempat tidur batu itu, namun ia tak mau.

“Hm, kiranya Li Giok-hou itu seorang manusia berhati binatang,” dengusnya dalam hati.

“Rupanya dia tidur pulas seperti orang mati,” kata lelaki yang memegang korek, “jika tidak dibangunikan oleh orang yang menguasainya, dia tentu akan takkan mampu bangun. Silahkan Sau-kiongcu melihatnya, tak perlu kuatir.”

Rupanya saat itu Giok-hou masih seperti orang yang kehilangan semangat. Dia tegak terlongong memandang gadis itu.

Siau Lo-seng terkejut mendengar keterangan orang itu. Serentak timbullah pertanyaan dalam hatinya: “Siapakah gadis itu?”

Berkata orang yang mencekal korek itu pula: “Dia seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Sekalipun orang yang berhati dingin, tentu akan terpikat ”

Rupanya Giok-hou tersadar mendengar ucapan orang itu. Ia mendesuh: “Ah, ternyata di dunia ini memang terdapat seorang jelita yang menyerupai bidadari...... ha, ha ”

Lelaki baju biru itu cepat menambah minyak ke dalam api, serunya: “Bukankah Sau-kiongcu memiliki tenaga dalam yang hebat? Mengapa hanya memandang saja kepadanya? Ah, kalau aku jadi Sau-kiongcu, tentu sudah tadi-tadi ha, ha.”

Siau Lo-seng heran. Ia memperhatikan orang itu. Ternyata sambil memegang korek, orang itu tak memandang langsung ke arah tempat tidur batu melainkan berpaling memandang ke arah lain.

Siau Lo-seng makin meluap keinginan tahunya. Serentak iapun berpaling ke arah tempat tidur si gadis. Dan begitu matanya tertumbuk pada gadis yang tidur di tempat itu, hampir saja ia berteriak kaget.

Gadis yang dipuji setinggi langit sebagai jelita nomor satu di dunia oleh Giok-hou itu, tak lain dan tak bukan yalah si nona cantik baju biru tadi.

Dalam keadaan tidur telentang di atas ranjang batu makin jelaslah kecantikan nona itu. Wajahnya yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang menggiurkan, benar-benar membuat seorang paderi harus menelan air liurnya.

Siau Lo-seng cepat membuang muka. Ia tak berani memandang lebih lama. “Wajah nona itu agak aneh,” tiba-tiba Giok-hou menggumam.

“Dia bukan orang hidup melainkan seorang siluman. Setiap anggauta tubuhnya pun berlainan dengan manusia biasa,” kata lelaki baju biru.

“Bangsat, siapa suruh engkau mengoceh tak keruan!” bentak Giok-hou. Siau Lo-seng pun makin menjadi-jadi keheranannya. Bagaimana mungkin wanita cantik itu tidur seorang diri dalam ruang guha di situ? Dan kalau menurut nada pembicaraan Giok-hou dengan lelaki baju biru itu, jelas wanita cantik itu bukanlah orang golongannya. 

“Bagaimana cara membangunkannya,” tegur Giok-hou.

“Kita belum tahu bagaimana cara menguasainya, lebih baik jangan membangunkannya dulu,” kata lelaki baju biru.

Giok-hou mendengus dingin.

“Aku tak percaya omonganmu,” seru Giok-hou, “untuk membuktikan apakah dia benar seorang mayat hidup atau manusia biasa, engkau bangunkan dia dulu!”

“Sau-kiongcu,” seru lelaki baju biru terkejut, “ini bukan sendau  gurau.  Sekali  dia  bangun  berbahaya  sekali ”

“Sau-kiongcu,” seru lelaki itu pula, “Hiat Sat Mo-li segera datang, baiklah tuan menyelinap ke dalam celah- celah batu itu.”

Ia menunjuk ke arah cela batu karang tempat Lo-seng bersembunyi. “Apakah Puteri Neraka itu telah dikuasai Hiat Sat Mo-li?” tanya Giok-hou.

“Di kolong dunia ini hanya Jin Kian Pah-cu yang dapat menguasai Puteri Neraka,” kata lelaki baju biru, “Hiat Sat Mo-li hanya mampu membangunkan dan memanggilnya saja.”

Mendengar keterangan itu, bukan kepalang kejut Siau Lo-seng. Kiranya wanita cantik Puteri Neraka itu  anak buah Lembah Kumandang.

Pengaruh Lembah Kumandang besar sekali. Masih pula ditambah dengan seorang Puteri Neraka yang sakti kepandaiannya.

Sekarang Im-kian-li atau Puteri Neraka tengah terbaring di atas balai-balai batu. Jika ia segera turun tangan menghancurkannya, bukankah dunia persilatan akan terbebas dari malapetaka?

Demikian Lo-seng menimang-nimang dalam hati. Tetapi sebelum ia sempat mengambil keputusan, dari luar guha terdengar langkah kaki orang mendatangi......

Giok-hou cepat menyelinap masuk ke dalam celah karang. Tetapi secepat kilat, Lo-seng sudah menerkam pergelangan tangan kanan Giok-hou.

Giok-hou terkejut. Setitikpun ia tak mengira bahwa di celah karang terdapat seseorang Karena cepatnya Lo- seng bergerak, Giok-hou tidak mau melepaskan diri lagi. Tetapi diapun juga lihay. Kelima jari tangan ditebarkan lalu menerkam tangan Lo-seng.

Kali ini Lo-seng lah yang terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka bahwa setelah dicekal pergelangan tangannya, Giok-hou masih mampu bergerak. Karena tak menyangka, Lo-seng pun kena tercengkeram tangannya.

Seketika itu keduanya rasakan pergelangan tangan masing-masing telah dicengkeram oleh tangan besi. Giok-hou menggeram. Secepat kilat ia gerakkan tangan kiri untuk menabas lengan orang.

Lo-seng hanya mendengus dingin dan menyambut dengan tusukkan jari kirinya.

Tusukan itu memaksa Giok-hou menarik pulang tangannya. Tetapi serempak dengan penarikan itu, diam- diam ia kerahkan tenaga-dalam dan melingkarkan tangan kanannya.

Gerakan Giok-hou itu bukan kepalang dahsyatnya sehingga kuda-kuda kaki Lo-seng tergempur goncang dan tubuhnyapun ikut menjorok dua langkah ke muka.

Saat itu langkah kaki pendatang baru itupun makin dekat dan tiba di ambang pintu. “Hm, siapakah yang berani datang ke tempat terlarang sini?” bentak lelaki baju biru.

Tetapi serempak dengan itu, beberapa sosok tubuh segera berhamburan menerobos masuk. Setelah berhasil melingkarkan Lo-seng ke muka, Giok-hou berteriak kaget: “Engkau!” “Wut,” ia terus menghantamnya.

“Hm, Li Giok-hou,” dengus Lo-seng. “tak kira kita akan berjumpa lagi.” Habis berkata iapun dorongkan tangan kiri ke muka.

Memang tak terperikan kejut Giok-hou setelah mengetahui siapa penyerangnya itu. Tangan kanannya dikuasai Lo-seng, tetapi iapun dapat mencengkeram tangan kanan Lo-seng. Yang masih bebas digerakkan, hanya tangan kiri.

Segera ia menekuk siku lengan kirinya ke bawah dan lancarkan tiga buah pukulan.

07.32. Sau-kiongcu Dari Ban-jin-kiong

Tetapi Lo-seng pun gunakan tangan kirinya untuk balas menyerang.

“Berhenti kalian ini!” tiba-tiba terdengar lengking suara seorang wanita. Dan serempak dengan itu pula maka ruanganpun terang benderang.

Ternyata yang mengepalai rombongan pendatang itu seorang nona yang cantik tetapi dingin wajahnya. Umurnya sekitar duapuluhan tahun. Dia bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li, toa-suci atau kakak seperguruan yang nomor satu dari nona Ui Hun-ing.

Dia membawa pengikut sembilan lelaki berbaju biru dan bersenjata pedang.

Saat itu Lo Seng dan Giok-hou sedang melangsungkan pertempuran jarak dekat yang seru. Tangan kanan masing-masing masih saling berlekatan, sedang tangan kiri saling berserabutan melancarkan pukulan dan tutukan. Sedikit lengah, jalan darah tentu tertutuk. Kalau tidak mati tentu akan terluka parah.

Pertempuran semacam itu memang amat berbahaya sekali. Selain menggunakan ilmu kepandaian pun juga kecerdasan otak. Siapa lambat tentu kalah.

Hiat Sat Mo-li terkejut menyaksikan mereka bertempur sedemikian dahsyatnya.

Dalam beberapa kejap saja kedua anak muda itu telah berhantam sampai duapuluh jurus lebih.

Tiba-tiba terdengar suara mengerang tertahan. Giok-hou terhuyung-huyung tiga-empat langkah. Wajahnya pucat lesi. Tetapi secepat kilat pemuda itupun sudah mencabut pedangnya.

“Giok-hou, hari ini jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku,” Lo-seng tertawa dingin. Giok-hou tertawa sinis.

“Hm, akupun sudah dapat mengetahui siapa engkau ini sebenarnya. Hm, hm. sungguh tak kira ternyata

engkau seorang manusia seribu muka.”

Lo-seng terkejut dalam hati, pikirnya: “Apakah dia benar sudah tahu siapa diriku ini? Hm, dia seorang yang cerdik dan ganas sekali. Kalau tak dilenyapkan mungkin kelak tentu menimbulkan banyak kesulitan ”

“Siapa engkau!” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li menegur Lo-seng.

Karena sudah tahu siapa Hiat Sat Mo-li itu maka Lo-seng pun tertawa hambar: “Aku Siau Lo-seng.”

Tampak wajah nona itu berobah. Pikirnya: “Siau Lo-seng? Ah, rasanya nama itu belum pernah terdengar di dunia persilatan ”

“Kalian berdua berani mati menyelundup ke tempat ini,” sesaat kemudian nona itu berseru, “jangan harap kalian dapat keluar dengan masih bernyawa.”

Lo-seng picingkan mata melirik ke arah Puteri Neraka yang masih terbaring di atas ranjang batu. “Puteri Neraka itu,” sahutnya, “tentulah kalian yang menguasainya, bukan?”

Sambil berkata, diam-diam Lo-seng teringat akan Pek Wan Taysu. Ia heran mengapa sampai sekian lama belum juga paderi Siau-lim itu muncul?

“Siapakah di antara kedua musuh ini yang harus kuselesaikan dulu?” pikirnya. Menunjuk pada Siau Lo-seng, Giok-hou berseru pelahan kepada Hiat Sat Mo-li: “Dia bukan lain yalah Pendekar Ular Emas yang termasyhur itu. Harap nona segera menyadarkan Puteri Neraka dan selekasnya membereskan orang itu!”

Seketika berobahlah wajah Hiat Sat Mo-li. Serentak ia menudingkan kebut pertapaannya ke arah seorang anak buahnya dan berseru: “Lekas ringkus dulu penghianat itu!”

Yang dimaksud penghianat oleh Hiat Sat Mo-li yalah lelaki baju biru yang menyertai Giok-hou tadi. Perintah itu mengejutkan Giok-hou. Dan lelaki baju biru yang datang bersamanya tadi pun pucat seketika.

Delapan lelaki baju biru pengawal Hiat Sat Mo-li serempak berhamburan menyerbu dan pada lain saat leher lelaki baju biru tadi sudah dilekati empat batang pedang.

Hiat Sat Mo-li pelahan-lahan goyangkan kebut pertapaannya dan tertawa genit: “Li Giok-hou, lain orang mungkin tak tahu riwayatmu. Tetapi aku tahu jelas. Pihak Ban-jin-kiong hanya mengandalkan engkau, seorang Li Giok-hou. Jangan harap engkau mampu menandingi kekuatan Lembah Kumandang. Dan karena hari ini engkau sendiri telah masuk ke dalam jaring maka jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini.”

Terkejut hati Siau Lo-seng. Ia tak pernah mendengar nama Ban-jin-kiong atau Istana Selaksa manusia. Apa dan bagaimana gerombolan Ban-jin-kiong itu?

Giok-hou tertawa mengekeh.

“Ah, terima kasih, terima kasih,” serunya, “tetapi sampai dimanakah kekuatan dari Puteri Neraka yang engkau peralat itu? Aku sih sedikit……”

Tiba-tiba Lo-seng meluncur ke arah Puteri Neraka yang rebah di atas ranjang batu. Ia telah mengambil keputusan. Lebih dulu menghancurkan Puteri Neraka, kemudian menangkap Giok-hou memaksanya supaya memberi keterangan tentang perkumpulan Ban-jin-kiong itu. 

“Hai. engkau hendak cari mati? Berhenti!” teriak Hiat Sat Mo-li. Dan secepat itupun terus memburu Lo-seng.

Melihat Hiat Sat Mo-li, turun tangan, Giok-hou pun menyerempaki dengan memukulkan tangan kanannya dalam jurus Menabas gunung Hoa-san ke arah Lo-seng.

Memang pemuda itu licin sekali. Kedatangannya kesitu tak lain karena ia ingin tahu dengan cara bagaimana Hiat Sat Mo-li dapat menguasai Puteri Neraka. Maka ia membantu Hiat Sat Mo-li untuk menghalangi Lo- seng.

Tetapi Siau Lo-seng memang sakti. Walaupun menghadapi dua musuh yang tangguh, ia tetap tak gentar. Dengan tenang ia menghindari kebut pertapaan dan pedang lalu terus meluncur ke arah ranjang batu.

Saat itu ia sudah hampir terpisah dua meter dari ranjang batu. Sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru memberi peringatan.

“Siau toako, lekas mundur. Dua meter sekeliling ranjang batu itu, dipasangi alat perkakas rahasia ”

Kaki Siau Lo-seng yang sudah akan dilangkahkan ke muka, karena mendengar peringatan itu cepat-cepat dihentikan dan terus loncat mundur lalu berpaling ke belakang.

Dari empat penjuru batu karang yang tertutup rapat itu tiba-tiba merekah sebuah pintu. Seorang gadis berpakaian hitam pelahan-lahan melangkah keluar, diikuti oleh seorang paderi tua.

Melihat kedua orang itu, bukan kepalang girang Lo-seng. Gadis berpakaian hitam itu bukan lain yalah Ui Hun-ing yang sejak beberapa lama telah menghilang. Sedang paderi tua yang berjalan di belakangnya tak lain yalah Pek Wan Taysu sendiri.

Kebalikannya, begitu melihat Hun-ing, wajah Hiat Sat Mo-li serentak berobah.

“Bagus,” serunya sinis, “ji-sumoay, nyata engkau telah menghianati Lembah Kumandang.”

Saat itu Hun-ing sudah berada di sisi Lo-seng. Dengan tertawa dingin ia menyahut teguran Hiat Sat Mo-li .

“Bahwa Jin Kian Pah-cu memanggil Puteri Neraka untuk menghadapi aku, tentulah karena kalian sudah mengetahui aku telah berhianat. Perlu apa kalian banyak mulut lagi?”

Seketika itu sadarlah pikiran Lo-seng. Siapa lagi yang menawan Hun-ing dan Bok-yong Kang ketika di tanah kuburan tempo hari kalau bukan Im-kian-li atau Puteri Neraka itu? Kini Hun-ing sudah lolos tetapi mengapa Bok-yong Kang tak ikut serta? Belum Lo-seng bertanya, Hun-ing pun sudah mendahului menegurnya: “Siau toako, bagaimana luka Bok- yong Kang?”

Lo-seng terbeliak.

“Apa? Bok-yong Kang terluka? Engkau……” Hun-ing kerutkan alis dan balas berseru.

“Ih, dia dilukai Puteri Neraka sampai pingsan, masakan engkau tak tahu?”

Lo-seng makin terkejut, serunya: “Tidak tahu! Begitu mendengar engkau memanggil, aku cepat memburu tetapi tak dapat melihat Bokyong-te ”

“Lalu siapa yang menangkapnya?” seru Hun-ing. Kemudian ia alihkan pandang mata ke arah kakak seperguruannya, Hiat Sat Mo-li.

“Toa-suci,” serunya, “apakah engkau telah menawan Bok-yong Kang di tempat ini?”

Kemunculan Hun-ing di guha itu, telah memberi kesan kepada Hiat Sat Mo-li bahwa jago-jago sakti dan alat-alat rahasia dalam lorong guha, telah dihancurkan oleh Hun-ing.

Diam-diam Hiat Sat Mo-li menimang dalam hati. Ia menyadari bahwa kekuatan anak buahnya yang berjumlah beberapa orang itu, tentu tak dapat melawan Siau Lo-seng.

Jalan satu-satunya yalah membangunkan Puteri Neraka. Tetapi iapun tak paham bagaimana cara untuk memerintahkan Puteri Neraka menyerang musuh. Kalau salah perintah, ia sendiri tentu takkan terluput dari keganasan Puteri Neraka.

Namun kalau ia mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng atau Bejana emas pengusir arwah untuk menguasai Puteri Neraka, ia kuatir Hun-ing tahu dia akan merebutnya.

Kalau ia sibuk mengambil keputusan, tiba-tiba Hun-ing menanyakan soal Bok-yong Kang. Serentak ia menyahut: “Ji-sumoay, engkau tentu maklum apa hukuman seorang murid yang berani menghianati gurunya itu?”

Hun-ing tertawa hambar.

“Ketahuilah,” serunya. “walaupun Jin Kian Pah-cu itu amat ganas tetapi aku tak peduli. Dan sekalipun aku berhianat tetapi tak perlu engkau banyak mulut lagi. Sekarang jawablah pertanyaanku tadi. Apakah Bok- yong Kang engkau tawan di tempat ini?”

Ternyata ketika diringkus oleh Puteri Neraka, Hun-ing pingsan sehingga tak tahu apakah wanita itu juga membawa Bok-yong Kang. Baru setelah mendengar keterangan Lo-seng tadi, ia segera menduga tentulah Bok-yong Kang telah ditawan oleh Puteri Neraka.

Hiat Sat Mo-li menekan kemarahannya. Ia menjawab dengan tawar: “Benar, dia memang berada di sini.”

Mendengar keterangan itu, segera Lo-seng berkata kepada Hun-ing, “Pangcu, tolong pinjam pedangmu.”

Hun-ing segera mencabut pedangnya dan diserahkan kepada anak muda itu, katanya: “Tetapi Siau toako, mungkin mereka memasang siasat. Kalau saudara Bok-yong berada di sini, mengapa tak......

Selekas menerima pedang, Lo-seng segera mengerahkan tenaga dalam dan “sring ” ia segera lontarkan

pedang ke arah ranjang batu tempat Puteri Neraka tidur.

Mendengar Lo-seng hendak meminjam pedang, semula Hiat Sat Mo-li mengira kalau pemuda itu akan menyerangnya. Maka betapalah kejutnya ketika Lo-seng melemparkan pedang itu ke arah Puteri Neraka.

“Im-kian-li……” segera Hiat Sat Mo-li berteriak nyaring.

Teriakan Hiat Sat Mo-li itu mengandung tenaga sihir yang kuat sehingga sekalian orang meregang bulu romanya. Tetapi teriakan itu memberi pengaruh atas diri Puteri Neraka. Wanita cantik itu bergeliatan bangun dan duduk.

Lontaran pedang Lo-seng itu seperti kilat cepatnya. Jago silat yang bagaimanapun saktinya tentu sukar untuk menghindari. Tetapi entah bagaimana, Puteri Neraka memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya. Sekali tangan kiri menampar ke muka, tangan kanannya pun  secepat  kilat  menyusur  maju. “Cret ” pedang itupun telah terjepit di sela jarinya yang melentik indah. Sekalian orang yang menyaksikan kepandaian Puteri Neraka itu, sama terlongong-longong. “Siau toako,” buru-buru Hun-ing berseru, “ilmu kepandaiannya tiada yang mampu menandingi.” Tetapi setelah menjepit pedang, Puteri Neraka itu tetap berdiri termangu-mangu.

Siau Lo-seng menyadari bahwa ia tentu tak mampu melawan serangan Puteri Neraka. Tetapi iapun tahu bahwa kalau hari itu ia tak membunuh wanita cantik itu kelak dunia persilatan tentu akan dilanda oleh hanjir darah pembunuhan besar-besaran.

“Paman Pek Wan, silahkan pergi dulu bersama Ui Pangcu,” serunya sesaat kemudian.

Rupanya Giok-hou tak tahu keganasan Puteri Neraka maka ia tetap berdiri pada tempatnya hendak menyaksikan apa yang akan terjadi.

Ternyata setelah membangunkan Puteri Neraka, Hiat Sat Mo-li tak memberi perintah lagi. Rupanya ia menghadapi kesulitan. Kalau mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng untuk memberi perintah kepada Puteri Neraka, ia kuatir orang akan tahu dan akan merebutnya.

Setelah beberapa saat berdiri di ranjang batu rupanya Puteri Neraka makin sadar Sepasang matanya yang berkilat-kilat memancarkan sinar biru mulai memandang ke sekeliling.

“Siau toako,” teriak Hun-ing cemas. “mari kita lekas pergi. Dia mulai akan menyerang.”

Hiat Sat Mo-li sendiri juga bingung. Kalau saat itu ia tak lekas mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng, ia kuatir Puteri Neraka akan menyerang dengan membabi buta, Mungkin juga akan menyerang dirinya.

“Lo-seng,” Pek Wan Taysu pun berseru pula, “wanita itu bukan manusia biasa. Kita pernah menderita luka di tangannya. Kurasa lebih baik kita menyingkir saja.”

“Mengapa Siau toako pernah bertempur dengan wanita itu?” seru Hun-ing terkejut.

“Siang tadi hampir saja aku kehilangan jiwa karena pukulan wanita itu,” menerangkan Lo-seng, “tetapi sekarang aku hendak menghadapinya. Mungkin aku dapat mengatasi serangannya ”

Hun-ing tahu jelas bahwa Puteri Neraka itu seorang mayat hidup yang telah diolah oleh ]in Kian Pah-cu menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia. Setiap menyerang tentu akan menghabiskan jiwa orang. Hun-ing tak percaya kalau Lo-seng mampu melawan wanita itu.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang tertawa seram dan dingin. Seketika tergetarlah hati Lo Seng.

Hun-ing pun berobah wajahnya, serunya. “Siau toako, bukankah suara tertawa itu pernah terdengar di tanah kuburan?”

Ternyata suara tertawa itu mirip sekali dengan nada tertawa dari gerombolan manusia aneh yang muncul di tanah kuburan.

Mendengar suara tertawa itu, wajah Hiat Sat Mo-li berobah membesi dan berseru kepada Giok-hou yang berdiri di samping:

“Hm, tak kira engkaupun membawa anakbuahmu kemari!” Giok-hou tertawa meloroh.

“Tentu akan menarik sekali nanti,” serunya dengan bangga, “mana yang lebih lihay antara Puteri Neraka dari Lembah Kumandang atau Manusia tanpa nyawa dari istana Ban-jin-kiong?”

Habis berkata pemuda itu menengadahkan kepala dan bersuit panjang sampai dua kali. Nadanya berpadu dengan suara tertawa seram itu.

Makin lama suara tertawa setan itupun makin dekat dan pada lain kejap sudah berada di luar guha.

Dan ketika sekalian orang berpaling ternyata guha itu sudah tambah dengan tigabelas manusia aneh berpakaian hitam. Dan di belakang mereka terdapat seorang tua bungkuk yang bertubuh kekar.

Kejut Lo-seng bukan kepalang. Ketigabelas manusia aneh itu bukan lain yalah gerombolan yang pernah muncul di tanah kuburan.

Orang tua bungkuk itu cepat maju kehadapan Giok-hou dan memberi hormat, “Melaksanakan perintah Kiong-cu (tuan), hamba telah membawa ketigabelas Sip-hun-jin datang membantu Sau-kiongcu,” katanya.

Rupanya Giok-hou pun mengindahkan orang bungkuk itu Cepat ia balas memberi hormat, “Kalau kepala paseban Lian-gak-tian yang datang sendiri, itulah sungguh bagus. Sekarang kita bersikap diam dulu untuk mengatur barisan dan menunggu bagaimana perkembangannya.”

Siau Lo-seng, Hun-ing dan Pek Wan Taysu kerutkan dahi. Mereka benar-benar tak pernah mendengar tentang istana Ban-jin-kiong itu.

Dan yang lebih mengejutkan hati ketiga orang itu yalah bahwa seorang tokoh muda yang kelak akan menjadi pewaris Go-bi-pay, yakni Pedang racun pembasmi iblis Li Giok-hou ternyata pun masuk menjadi anggauta perkumpulan itu. Bahkan diangkat menjadi Sau-kiongcu.

Siau Lo-seng cerdas tetapi saat itu benar-benar ia tak mampu memecahkan teka teki yang aneh itu.

Demi pandang matanya tertumbuk kepada Lo-seng, orang tua bungkuk itu terkesiap dan berpaling ke arah Giok-hou.

07.33. Pertempuran Manusia Mumi

“Sau-kiongcu, orang itu ”

“Long Tian-cu,” tukas Giok-hou tertawa, “aku sudah tahu siapa dia.”

Dalam pada mereka bicara itu, bola mata Puteri Neraka tampak makin memancar. Pedang di tangannya pun pelahan-lahan diangkat dan ujungnya ditujukan ke arah Lo-seng bertiga.

Hun-ing terkejut. Gerakan Puteri Neraka itu menyatakan bahwa ia hendak membunuh Siau Lo-seng lebih dahulu.

Kiranya walaupun wanita cantik itu tiada memiliki kesadaran pikiran tetapi samar-samar ia melihat bahwa di antara beberapa orang yang berada dalam ruang itu, hanya Siau Lo-seng yang berkesan dalam hatinya. Karena pemuda itu pernah menempurnya dengan gigih.

“Paman, Ui Pangcu, silahkan menyingkir ke samping,” segera Lo-seng pun bersiap dan meminta kedua kawannya menyingkir.

Tepat pada saat ia berkata, Puteri Neraka itupun sudah apungkan tubuh dan melayang ke arahnya. Sepercik sinar tajam segera menyambar Lo-seng.

Sambaran sinar pedang itu luar biasa cepatnya sehingga tak ubah seperti sebuah bianglala menggagah di angkasa.

Hun- ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Tetapi sebelum kedua orang itu sempat bergerak untuk menghalau, sinar pedangpun sudah mengarah ke dada Siau Lo-seng. Karena terkejut, menjeritlah kedua orang itu......

“Tring ”

Tiba-tiba terdengar lengking suara yang nyaring sekali dan pedang Puteri Neraka itupun kutung menjadi dua.

Siau Lo-seng mengerang tertahan, bahunya bergetar dan tubuhnyapun terhuyung mundur tiga langkah. “Huak. ” ia muntahkan segumpal darah segar.

Terkejutlah sekalian orang. Mereka tak tahu dengan ilmu apakah Siau Lo-seng dapat mematahkan pedang Puteri Neraka itu. Jelas ketika ujung pedang itu sudah tiba tiga dim di dada Siau Lo-seng pemuda itu masih tak bergerak. Tetapi tahu-tahu pedang Puteri Neraka telah kutung menjadi dua.

Sebenarnya Siau Lo-seng memang menggunakan ilmu yang sakti. Walaupun dia tak mau menyingkir ataupun menangkis tetapi diam-diam ia sudah bersiap dalam sikap Pay-koan-im atau Menyembah dewi Koan Im. Kedua tangannya menjepit batang pedang, sekali kerahkan tenaga dalam maka putuslah pedang itu.

Memang dia berhasil menghancurkan pedang lawan. Tetapi tenaga dalam dari Puteri Neraka yang disalurkan ke arah pedangnya itu masih mampu melukai perkakas dalam dada Lo-seng sehingga pemuda itu terhuyung dan muntah darah. Ketika pedangnya putus, Puteri Neraka tertegun kaget. Cepat ia lemparkan kutungan pedangnya dan terus melayang ke arah Siau Lo-seng.

Melihat itu Pek Wan Taysu yang sejak tadi sudah kerahkan tenaga dalam, segera menyambutnya.

Tetapi Puteri Neraka tak gentar. Ia balikkan tangannya untuk menangkis. Seketika Pek Wan Taysu rasakan pukulannya tadi seperti tersedot ke dalam gelombang tenaga-dalam.

Pek Wan Taysu terkejut, serunya: “Lo-seng, Ui Pangcu awas dia akan menyerang!”

Paderi Siau-lim-si itu sudah mengetahui bahwa Puteri Neraka memiliki semacam ilmu yang luar biasa saktinya. Wanita itu dapat menyedot pukulan orang lalu disalurkan untuk menyerang lain orang. Itulah sebabnya maka Pek Wan Taysu bergegas memberi peringatan kepada Lo-seng dan Hun-ing.

Tetapi ternyata Puteri Neraka tak menyerang Siau Lo-seng melainkan kepada orang tua bungkuk. Seketika terdengarlah desus angin pukulan yang dahsyat ke arah orang bungkuk itu.

Orang tua bungkuk itu ternyata seorang tokoh persilatan yang kaya akan pengalaman. Berpuluh tahun berkelana di dunia persilatan, ia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sakti dari berbagai aliran cabang persilatan. Dengan pengalaman yang luas itu ia dapat mengenal ilmu silat berbagai perguruan.

Tetapi ilmu luar biasa yang dimiliki Puteri Neraka itu benar-benar belum pernah dilihat sepanjang hidupnya. Menerima dan menyedot tenaga pukulan orang untuk disalurkan menyerang lain orang.

Tetapi orang bungkuk itu tak mempunyai kesempatan untuk merenung lagi. Segera ia kerahkan hawa murni dan terus enjot tubuhnya melambung ke atas. Pukulan Puteri Neraka itupun menyambar lewat di bawah  kakinya.

Dilain pihak ……

Giok-hou tertawa dingin, serunya: “Ho, kiranya engkau menggunakan Kim-teng (bejana emas) itu untuk memberi perintah kepada Im-kian-li.”

Hun-ing terkejut. Mengangkat muka, ia melihat memang toa-sucinya, Hiat Sat Mo-li sedang memegang sebuah Kim-teng yang indah. Tetapi sebelum Hun-ing sempat bertindak, ternyata Giok-hou sudah mendahului menyerang Hiat Sat Mo-li dengan pedang.

“Im-kian-li, lekas bunuh orang itu!” teriak Hiat Sat Mo-li.

Saat itu Puteri Neraka sedang melangkah ke arah Siau Lo-seng. tetapi demi mendengar teriakan Hiat Sat Mo-li, cepat ia berputar tubuh dan meluncur ke arah Giok-hou.

Giok-hou terkejut sekali. Dalam sekejap mata saja, tubuh Puteri Neraka itu sudah tiba di hadapannya. Gerakannya cepat dan terjangannya dahsyat sekali.

Cepat Giok-hou pun tebarkan pedangnya dalam jurus Tok-coa-jut-tong atau Ular berbisa keluar guha. Ia menutuk tiga buah jalan darah di dada wanita cantik itu.

Di luar dugaan. Puteri Neraka tak mau menghindar dan tak mau menangkis pula. Ia hanya tamparkan tangannya.

“Huh……”

Sambil membawa pedang, Li Giok-hou loncat mundur tujuh-delapan langkah. Kepalanya basah dengan keringat, wajahnya menampil kerut kengerian.

Ilmu kepandaian Puteri Neraka itu benar-benar menakjubkan sekali. Jika dua tokoh muda yang sakti seperti Siau Lo-seng dan Li Giok-hou tak mampu menyambut sejurus serangannya, apalagi orang-orang yang hadir di ruang situ.

Melihat Giok-hou menderita luka, orang tua bungkuk itupun segera mengangkat muka dan bersuit nyaring yang aneh.......

Ketigabelas orang aneh berpakaian hitam seperti menerima perintah, terus berhamburan menyerbu Puteri Neraka.

“Long Tian-cu, barisan Manusia tanpa nyawa kita itu, mungkin tak dapat menangkap Im-kian-li,” teriak Giok- hou, “lebih baik kita berusaha mundur dulu.” “Walaupun tak mampu menangkap tetapi barisan Manusia tanpa nyawa itu akan dapat menahan keganasannya,” jawab si Bungkuk.

“Kalian hendak meloloskan diri? Heh, heh, heh, ” terdengar Puteri Neraka tertawa mengikik.

Ketigabelas Manusia tanpa nyawa atau Sip-hun-jin telah mengurung Puteri Neraka. Tampaknya Puteri Neraka agak jeri terhadap ke tigabelas barisan Sip-hun-jin. Dia tak menyerang, melainkan hanya  bergeliatan dengan gerak pelahan.

Saat itu Lo-seng mengambil tigabelas butir pil dan menelannya.

“Lo-seng, apakah yang engkau makan itu pil beracun?” tanya Pek Wan Taysu dengan bisik-bisik. Lo-seng tertawa rawan.

“Benar, paman,” sahutnya, “karena hanya pil itulah yang dapat menimbulkan tenagaku.”

Mendengar itu tergetarlah hati Hun-ing. Serentak ia teringat akan kata-kata Siau Lo-seng kepada Bok-yong Kang ketika berada di lembah gunung dahulu.

“Apakah keterangannya itu benar?” pikirnya. Dan serentak berlinang-linanglah airmata nona itu. Ia menatap Lo-seng dengan pandang penuh kerawanan.

“Siau toako, apakah engkau tak dapat sembuh dari kelumpuhan?” ia menghela napas. Ia masih belum percaya dan bertanya.

“Masakan aku bohong?” sahut Lo-seng.

Tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru: “Lo-seng, baiklah kita gunakan kesempatan ini untuk lolos.”

“Paman Pek Wan,” jawab Lo-seng, “rasanya paman tentu memaklumi, bahwa apabila kesempatan iai sampai hilang, entah berapa banyak jiwa orang persilatan yang akan mati di tangan Puteri Neraka yang ganas itu.”

Pek Wan Taysu menghela napas.

“Walaupun kita ingin melenyapkan bahaya itu tetapi tenaga kita tak sampai. Maka lebih baik kita lolos dulu dan baru pelahan-lahan berusaha untuk mengatur rencana lagi,” kata paderi tua itu.

“Ah, paman,” Lo-seng menghela napas, “aku percaya dalam waktu singkat semalam ini, dapat meningkatkan tenagaku sedemikian rupa hingga dapat menghancurkan Puteri Neraka. Tetapi ”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.

“....... tetapi, jiwa Siau toako juga akan lenyap.......,” tiba-tiba Hun-ing menyelutuk. Ia pernah mendengar pembicaraan Siau Lo-seng di lembah gunung maka tahulah ia apa yang dimaksudkan pemuda itu.

Lo-seng tertawa rawan.

“Benar, apabila dalam malam ini aku dapat membasmi Puteri Neraka, matipun aku sudah puas.”

“Siau toako,” teriak Hun-ing. “jalan pikiran itu salah. Walaupun yang berada di sini, orang-orang penting dari Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong, tetapi mereka bukanlah tokoh pimpinannya. Taruh kata malam ini mereka dapat engkau hancurkan tetapi Jin Kian Pah-cu dan ketua istana Ban-jin-kiong itu tetap masih hidup. Dalam sepuluh tahun kemudian mereka akan mampu menempa manusia-manusia tanpa nyawa seperti sekarang ini. Maka yang penting kalau mau membasmi gerombolan itu, basmilah pemimpinnya. Hancurkanlah Jin Kian Pah-cu dan kepala istana Ban-jin-kiong. Kurasa lebih baik Siau toako jangan sembarangan mengorbankan jiwa secara sia-sia.”

Uraian nona itu telah membuat wajah Lo-seng berobah. Diam-diam ia menimang: “Kata-kata Hun-ing itu memang benar. Apabila dalam malam ini kutelan habis semua pil beracun itu, walaupun dapat menghancurkan Puteri Neraka dan barisan Sip-hun-jin, tetapi akupun tentu akan kehilangan kesadaran. Mungkin juga akan menderita putus urat nadi dan mati. Apakah aku bukan……”

Belum selesai ia merenung, tiba-tiba Hiat Sat Mo-li kedengaran berseru: “Im-kiam-li, mengapa engkau tak balas menyerang? Hendak menunggu sampai kapan?”

Rupanya karena jemu melihat Puteri Neraka hanya bergeliatan menghindari serangan ia berseru memberi perintah. Tiba-tiba bola mata Puteri Neraka berkilat-kilat tajam sekali. Secepat kitat ia terus menyerang lingkaran pertama dari barisan Sip-hun-jin yang terdiri dari empat orang.

Keempat orang aneh yang mengenakan kerudung muka hitam itu, berdiri pada empat jurusan. Jago silat yang bagaimanapun saktinya tak mungkin sekali gus dapat menghancurkan mereka berempat. Tetapi ternyata serangan Puteri Neraka itu memang sekali gus dilontarkan serempak ke arah empat penjuru.

Sesaat terdengar jeritan ngeri dan keempat orang aneh itu terlempar ke udara.......

Bagaikan ular menari, maka Puteri Neraka pun berputar-putar tubuh dan menghamburkan pukulan maut ke arah ketigabelas barisan Sip-hun-jin.

Terdengar susul menyusul jeritan ngeri tetapi suatu peristiwa anehpun telah muncul. Setelah berhamburan terlempar ke udara, ketigabelas barisan Sip-hun-jin itupun meluncur dan menempati kembali tempatnya semula. Mereka tetap mengepung Puteri Neraka.

Siau Lo-seng dan Hun-ing terkejut menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. “Siau toako, betapakah kekuatan dari pukulan Im-kian-li itu,” tanya Hun-ing. “Berpuluh ribu kati beratnya dan mampu menghancurkan karang,” sahut Lo-seng. “Aneh,” gumam Hun-ing, “apakah mereka terbuat dari baja?”

Lo-seng menghela napas.

“Memang di dunia ini penuh dengan hal yang aneh. Ketika di pekuburan akupun juga telah menggunakan duabelas bagian tenaga dalam untuk menempurnya. Tetapi tak mampu menghancurkannya, ah ”

“Ya, memang lebih baik kita mundur dulu,” kata Lo-seng pula, “silahkan paman Pek Wan dan Ui Pangcu berjalan di muka dan aku yang di belakang untuk menahan serangan Puteri Neraka apabila dia mengejar.”

Pek Wan Taysu dan Hun-ing segera melesat ke pintu guha. Di pintu itu ke delapan pengawal baju biru dari Hiat Sat Mo-li masih menjaga. Cepat mereka berhamburan menghadang jalan.

“Yang menghadang, pasti hancur. Yang menyisih tentu selamat,” seru Hun-ing.

Sambil berkata Hun-ing menyelinap ke dalam pedang lawan. Sekali menyambar ia berhasil merebut sebatang  pedang  dan “sring......” terdengarlah jeritan ngeri dua orang pengawal baju biru rubuh dalam

genangan darah.

Sekali Pek Wan Taysu kebutkan lengan jubah, dua orang pengawal yang hendak menyerangnya pun terlempar keluar.

Melihat Pek Wan Taysu dan Hun-ing segera akan dapat menerobos keluar, dengan melengking tinggi Hiat Sat Mo-li enjot tubuh dalam gerak Bintang jatuh mengejar bulan, melambung terus meluncur menghadang Hun-ing.

Tetapi serempak saat itu. Lo-seng tertawa dingin dan loncat memburu. Hiat Sat Mo-li terkejut. “Im-kian-li ” serentak ia berteriak keras.

“Hm, rupanya engkau ingin menjadi semacam Im-kian-li. Akan kupenuhi keinginanmu,” dengus Lo-seng.

Ia menutup kata-katanya dengan melontarkan sebuah hantaman ke arah nona itu. Tetapi pada saat itu juga, dari arah belakang Lo-seng terdengar desir angin menyambar.

Tanpa berpaling muka, Lo-seng sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentu Puteri Neraka. Terpaksa ia tarik pulang pukulannya dan terus loncat ke muka sembari menghantam dengan kedua tangannya.

Tetapi kembali Puteri Neraka itu mengangkat tangan untuk menyedot tenaga pukulan Lo-seng.

Lo-seng terkejut dan cepat hendak menarik pukulannya tetapi terlambat. Saat itu ia rasakan suatu gelombang tenaga membalik yang menuju ke arahnya.

Lo-seng menyadari bahwa apabila ia berkeras hendak adu pukulan, tentu akan menderita luka lagi. Cepat ia lepaskan pengerahan tenaga dalam dan membiarkan dirinya dibawa terbang oleh arus tenaga yang dipentalkan oleh Puteri Neraka. “Wut ” ia terlempar sampai tujuh-delapan tombak. Sekalian orang terkejut tetapi pemuda itu yang paling terkejut sendiri. Karena begitu ia menginjak bumi, Puteri Neraka sudah berada beberapa langkah dihadapannya. Sepasang bola mata wanita itu berkilat-kilat ngeri memandang Lo-seng. Pelahan-lahan wanita itupun mengangkat tangan kanannya......

Lo-seng marah sekali. Sebelum wanita itu melancarkan pukulan, iapun cepat mendahului memukul dada wanita itu. Dan tangan kanannya melentikkan ilmu tutukan jari Han-sim-ci, menutuk dua buah jalan darah Puteri Neraka.

Tetapi serempak pada saat Lo-seng bergerak Puteri Neraka pun juga bergerak, mencengkeram lengan kiri Lo-seng yang hendak memukul dadanya.

Seketika Lo-seng rasakan lengan kirinya kesemutan. Ia terkejut. pikirnya: “Huh, ilmu apakah yang digunakan itu, mengapa belum pernah kulihat?”

Dalam berpikir itu Lo-seng tetap melanjutkan tutukan jarinya. Kedua jarinya pun sudah menyentuh kulit Puteri Neraka. Tetapi tiba-tiba wanita itu melengking nyaring dan menyurut ke belakang sampai empat langkah.

Memang jari Lo-seng berhasil menyentuh kulit si wanita tetapi seketika itu ia rasakan tuhuh wansia itu memancarkan tenaga balik yang kuat. Pemuda itu terkejut terus menyurut mundur

“Ui Pangcu, paman Pek Wan, lekas lari,” kata Lo-seng. Ternyata kedua orang itu masih berada di situ karena kuatir Lo-seng menderita luka.

Sejenak tertegun karena menderita tutukan jari Lo-seng, Puteri Neraka pun terus menyerbu lagi.

Untunglah pada saat itu Lo-seng sudah mendapat daya untuk menghadapi wanita ganas itu. Ia menyadari bahwa Puteri Neraka itu memiliki daya tahan dan tenaga yang luar biasa. Jauh melebihi orang biasa. Betapapun dihantam dengan pukulan sakti, tetap tak dapat melukai wanita itu. Satu-satunya jalan hanyalah menggunakan jurus-jurus istimewa dari ilmu silat tinggi. Wanita itu sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Dalam menghadapi serangan, dia tentu kurang cepat dapat menanggapi.

Demikian setelah menentukan rencana, Lo-seng pun segera gunakan jurus-jurus serangan cepat. Dalam beberapa kejap saja ia sudah lancarkan sepuluh jurus serangan dan menggunakan berpuluh macam aliran ilmu silat yang istimewa.

Tepat juga perhitungan Lo-seng. Menghadapi serangan yang aneh itu. Puteri Neraka memang tak mampu balas menyerang.

Dan pada suatu kesempatan, Lo-seng pun berhasil sekali melancarkan tiga buah pukulan. Selain luar biasa cepatnya pun serangan itu serempak dilancarkan dari tiga arah. Puteri Neraka kewalahan dan terpaksa menyurut mundur beberapa langkah.

“Im-kian-li, kemarilah!” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li memanggil.

Dalam pada itu terdengar pula suara tertawa dingin dari Giok-hou yang berkata kepada si orang tua bungkuk: “Long Tian-cu, asal dapat merampas Kim-teng di tangan nona itu, kita tentu dapat memberi perintah kepada Im-kian-li!”

Im-kian-li pun cepat berputar tubuh dan terus meluncur pergi. Gerakan tubuhnya yang mirip dengan ilmu meringankan tubuh Teng-gong-hui-heng (berjalan di udara) itu, menyebabkan Lo-seng menghela napas panjang.

07.34. Keputusan Minum Pil Racun Terakhir

“Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu, cepatnya seperti burung terbang. Sukar untuk menandinginya ”

“Siau toako, mari cepat pergi. Kalau tidak Hiat Sat Mo-li tentu akan menyuruhnya mengejar kita lagi,” seru Hun-ing.

Kali ini Lo-seng menurut. Demikian dengan gunakan ilmu gin-kang atau meringankan tubuh, mereka bertiga segera menerobos lari keluar.

Setengah jam kemudian mereka pun tiba di pegunungan yang lebat puncaknya. “Siau toako, apakah engkau sudah bertemu dengan Nyo Jong-ho?” tiba-tiba Hun-ing bertanya. Pek Wan Taysu menghela napas: “Ah, Nyo loenghiong sudah meninggal ”

Paderi Siau-lim itu segera menuturkan apa yang telah terjadi.

“Apakah nona Nyo sudah mengetahui kalau pembunuh ayahnya itu Giok-hou sendiri?” tanya Hun-ing.

“Karena Lo-seng kuatir nona itu akan bersedih, dan karena belum berani memastikan bahwa Giok-hou itu pembunuhnya maka Lo-seng pun belum memberitahu kepada nona Nyo,” jawab Pek-wan.

Kemudian paderi itu berpaling ke arah Lo-seng: “Lo-seng, baiklah engkau bersama Ui Pang-cu kembali ke Lok-yang. Aku sendiri segera akan kembali ke gereja Siau-lim-si untuk melaporkan peristiwa ini kepada Ciang-bun-jin.”

Lo-seng menghela napas.

“Paman, tak perlu paman pulang. Dalam beberapa hari ini banyak persoalan yang ingin kurundingkan dengan paman,” katanya.

“Soal apa?'

“Soal setelah aku mati,” kata Lo-seng.

Mendengar itu Pek Wan Taysu seperti dipagut ular kejutnya: “Seng-ji, benarkah engkau tak kan hidup lama?”

Lo-seng tertawa hambar.

“Paman Pek Wan,” katanya, “kalau saat ini tak kukatakan, tentu kalian masih belum percaya.”

“Benar, memang kita takkan percaya di dunia terdapat keanehan semacam ini. Minum racun tetapi tidak mati.”

Hun-ing menyeletuk, “maaf, Siau toako, aku memang menyangsikan bahwa yang engkau minum itu bukan obat racun.”

“Akupun juga tak pernah mendengar bahwa racun dapat mengembangkan daya kekuatan,” Pek Wan Taysu ikut menambahi.

“Memang tak salah kalau kalian tak percaya,” kata Lo-seng, “tetapi hal itu memang nyata. Cobalah renungkan, andaikan kata kalian belum menyaksikan sendiri seorang mayat hidup seperti Puteri Neraka dan barisan manusia tanpa nyawa dari istana Ban- jiu-kiong itu, tentulah kalian tak percaya bahwa di dunia terdapat keanehan semacam itu ”

Diam-diam Hun-ing teringat bahwa suhunya pernah mengatakan hendak menempa seorang Puteri Neraka. Tetapi kala itu ia tak percaya.

“Soal aku meminum racun untuk melawan penyakitku samalah halnya dengan cara-cara untuk melatih seorang Puteri Neraka yang disebut mumi itu,” kata Lo-seng pula, “memang mencipta sebuah mumi itu sukar sekali. Tetapi racun untuk mengembangkan tenaga, memang terdapat juga dalam ilmu pengobatan.”

“Benar,” akhirnya Hun-ing berkata, “memang kurasa Puteri Neraka itu berumur sekitar duapuluh enam tahun ”

“Menilik kepandaian Puteri Neraka itu, dahulu dia tentu sudah memiliki ilmu silat yang sakti,” kata Lo-seng. “Mengapa?” tanya Hun-ing.

“Menciptakan seorang mumi, termasuk suatu ilmu Hitam. Seorang mumi dapat ditempa menjadi semacam mayat hidup yang tak punya kesadaran pikiran dan bertubuh baja. Tetapi sukar untuk membentuk tenaga dalam pada mumi itu. Memang barisan Sip-hun-jin itu kalah sakti dengan Puteri Neraka. Tetapi mereka pun bertubuh sekeras baja seperti Puteri Neraka itu. Maka kupastikan, sewaktu masih menjadi wanita biasa, Puteri Neraka itu tentu seorang tokoh sakti.”

“Kalau benar begitu mengapa kita tak tahu siapa dia?” tanya Hun-ing. Lo-seng menghela napas. “Puteri Neraka itu bukan tokoh silat jaman sekarang,” katanya.

Hun-ing heran. Puteri Neraka itu lebih kurang baru berumur duapuluh enam. Mengapa dikatakan bukan manusia jaman sekarang?

Tiba-tiba Lo-seng berpaling kepada Pek Wan Taysu: “Paman, kurasa soal ini mempunyai sangkut paut dengan soal obat racun yang kuminum.”

“Soal apa yang engkau maksudkan?”

“Kurasa ilmu aneh yang dimiliki Jin Kian Pah-cu dan kepala istana Ban-jin-kiong, dengan pengetahuanku tentang ilmu Mumi itu, rasanya berasal dari satu sumber,” kata Lo-seng.

“Apa?” Hun-ing terkejut, “obat racun yang Siau toako minum itu juga semacam obat untuk merobah diri menjadi mumi ”

Lo-seng tertawa rawan: “Benar, aku hendak menjadi mumi kalian. Ketika di lembah gunung pernah kukatakan kepada Bok-yong Kang bahwa begitu obat racun itu habis kuminum semua, aku tentu akan menjadi seorang manusia yang tak punya kesadaran pikiran lagi

“Siau toako, mengapa engkau lakukan hal itu ,” Hun-ing berseru dengan nada sedih.

“Terpaksa, pangcu,” sahut Lo-seng, “hanya dengan cara itu aku takkan lenyap. Walaupun aku menjadi seorang mumi yang tak punya kesadaran pikiran, tetapi aku tetap dapat hidup dan menyelesaikan dendam darah keluargaku.”

“Siau toako,” kata Hun-ing penuh haru, “cara yang engkau tempuh itu berarti merusak jiwamu sendiri. Aku tak percaya di dunia ini tiada terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakitmu.”

“Ui Pangcu,” sahut Lo-seng,” engkau mungkin tak tahu siapakah guruku itu? Karena itu engkaupun tak tahu bagaimana keadaan penyakitku. Ya, penyakitku itu tak mungkin diobati lagi. Kalau bisa, masakan guruku Pemburu jejak Ban Li-hong tak mampu mengobati?”

“Apa? Suhu toako itu Ban Li-hong locianpwe?” seru Hun-ing terkejut.

Ban Li-hong itu seorang pencuri sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada masa empatpuluh tahun berselang. llmusilatnya, tiada yang mampu menandingi. Dan lagi diapun pandai dalam ilmu pengobatan.

“Guruku itu telah mengumpulkan kitab-kitab pusaka ilmu silat dari berbagai aliran, ilmu pengobatan, ilmu perbintangan dan lain-lain ilmu yang hebat. Dia sudah mempelajari, semua kitab, tetapi tak ada satupun yang memuat tentang resep obat untuk mengobati penyakitku…… Hanya dalam kitab yang berjudul Lian- hun-cin-keng (Kitab menempa roh), dia menemukan ilmu membuat mumi dan mencobakan pada diriku……”

Berhenti sejenak Lo-seng melanjutkan pula:

“Tadi kukatakan bahwa ilmu yang dimiliki Jin Kian Pah-cu dan kepala Ban-jin-kiong itu berasal dari sumber yang sama dengan ilmu yang kumiliki. Kuduga mereka masing-masing tentu mempunyai kitab Lian-hun-cin- keng.”

“Mengapa begitu?” tanya Hun-ing.

“Pada halaman pertama dari kitab Lian-hun-cin-keng, suhuku menulis bahwa kitab itu sebenarnya terdiri  dari tiga jilid. Yang di tangan suhu hanya satu jilid. Suhupun menulis bahwa ia penasaran karena tak dapat memperoleh kedua jilid itu. Demikian catatan pada kitab peninggalan suhu. Menilik hal itu jelas kitab Lian- hun-cin-keng itu dahulu pernah menimbulkan pertumpahan darah besar di dunia persilatan.”

Tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru: “Kalau begitu kematian ayahmu itupun tentu dicelakai orang karena peristiwa kitab Lian-hun-cin-keng.”

“Apa?” Lo-seng terkejut.

“Seng-ji,” kata Pek Wan Taysu, “kalau engkau tak menceritakan tentang kitab Lian-hun-cin-keng itu, akupun hampir lupa akan sebuah peristiwa.”

“Kuingat dahulu ayahmu pernah berkata kepadaku,” kata paderi itu lebih lanjut, “bahwa dia telah berhasil mendapatkan sebuah kitab pusaka yang berjudul Lian-hun-cin-keng. Tetapi kala itu aku tak menanyakan lebih lanjut. Dan berpuluh tahun kemudian akupun lupa akan peristiwa itu.” “Jika demikian jelas yang membunuh ayah itu tentulah orang-orang Lembah Kumandang atau istana Ban- jin-kiong,” pikir Lo-seng.

“Menurut kesimpulan,” kata Pek Wan Taysu pula, “pembunuhan ayahmu itu tentu akibat dari kitab Lian-hun- cin-keng juga.”

Lo-seng menghela napas rawan.

“Hidupku tak lama lagi,” kata anak muda itu dengan nada rawan, “soal menuntut balas dendam keluargaku terpaksa kuserahkan kepada paman.”

“Siau toako, sampai kapankah pil beracun yang ada padamu itu akan habis?” tiba Hun-ing menyelutuk.

“Memang sekarang ini aku hendak memberitahukan tentang hal itu,” kata Lo-seng, “mungkin dalam tujuh hari lagi sisa persedian pil itu akan kutelan habis.”

“Mengapa begitu cepat!” teriak Pek Wan Taysu terkejut.

Lo-seng memandang kepada kedua orang itu, katanya: “Sekarangpun kalau mau aku dapat menelan habis semua pil itu ”

“Siau toako, bukankah engkau dapat bertahan hidup sampai berpuluh hari lagi sebelum pil itu habis?” tanya Hun-ing.

“Ui Pangcu,” kata Lo-seng dengan senyum hambar, “lambat atau cepat akhirnya pil itu harus kutelan habis. Perlu apa aku harus memperpanjang hidup apabila hanya untuk menderita saja?”

Kata-kata pemuda itu bagaikan sembilu yang menyayat hati si nona.

“Ah, Siau toako, mengapa engkau tak tahu isi hatiku kepadamu. Aku tak ingin engkau menjadi seorang mumi…… karena aku cinta kepadamu ” Hun-ing meratap dalam hati.

“Ui Pangcu, aku telah mengambil keputusan untuk menghabiskan pil itu dalam waktu tujuh hari lagi,” kata Lo-seng.

“Setelah pil itu habis, lalu bagaimanakah keadaanmu?” tanya Hun-ing dengan nada penuh kecemasan. Ia sudah tahu namun masih ingin mencari penegasan lagi.

“Setelah pil itu kutelan habis, kesadaran pikiranku pun lenyap. Pada saat itu, kalian harus membuat aku mencurahkan pandang kepada sebuah alat untuk menguasai diriku. Panggillah terus namaku sampai aku nanti rubuh. Setelah itu masukkanlah mayatku ke dalam sebuah peti mati. Tunggulah peti mati itu sampai tujuh hari tujuh malam. Kemudian panggillah namaku. Kalau aku bangun, saat itu aku sudah menjadi seorang mumi.”

Mendengar keterangan itu bercucuranlah air mata Hun-ing. “Ah, betapa mengenaskan hal itu ”

Namun Lo-seng tak menghiraukan dan terus melanjutkan keterangan lagi.

“Saat itu walaupun kesadaran pikiranku hilang tetapi tubuhku masih hidup. Dan hanya dengan cara itu barulah kita dapat menghadapi pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jin-kiong. Tanpa pengorbanan itu, kaum persilatan aliran Putih tentu akan hancur binasa di tangan Puteri Neraka. Untuk menolong dunia persilatan dari kehancuran, Siau Lo-seng rela berkorban ”

Airmata Hun-ing makin berderai-derai mencurah deras. Demikian pula dengan Pek Wan Taysu.

“Dan pesanku yang terakhir,” kata Lo-seng lagi, “setelah kawanan durjana itu terbasmi, kalian harus lekas- lekas hancurkan diriku. Kalau tidak, aku tentu akan menjadi momok pembunuh yang ganas!”

“Sungguh seperti sebuah impian yang tak mungkin orang mau percaya,” akhirnya Hun-ing berkata dengan rawan.

“Waktu tujuh hari itu dengan cepat segera akan tiba,” kata Lo-seng, “maka lebih baik sebelumnya kita sudah mengadakan persiapan. Mari kita cari sebuah tempat yang sepi.”

“Siau toako, mengapa engkau tak mau memperpanjang hidupmu?” seru Hun-ing dengan haru. “Sehari memperpanjang hidup, berarti sehari akan menambah jumlah korban kaum persilatan di tangan Puteri Neraka,” jawab Lo-seng, “sekarang sebelum Jin Kian Pah-cu mulai bergerak lebih baik kita mendahului bersiap.”

Baik Pek Wan Taysu maupun Hun-ing tak ingin melihat seorang pemuda yang berbakat seperti Siau Lo- seng akan mengalami nasib yang begitu mengenaskan. Tetapi kedua orang itu tak berdaya mencari lain cara untuk menyelamatkan Lo-seng dan dunia persilatan.

Diam-diam Pek Wan Taysu berdoa mohon ampun kepada arwah ayah Lo-seng bahwa ia telah tak berhasil menyelamatkan puteranya.

Hun-ing pun berdoa dalam hati: “Siau toako pengorbananmu yang perwira itu, tentu akan hidup abadi dalam kenangan kaum persilatan. Jangan kuatir Siau toako. Pada saat dunia persilatan sudah aman dan kaum durjana sudah terbasmi, pada hari itulah aku tentu akan menemani engkau bersama-sama menuju ke gerbang Nirwana ”

“Sudahlah Ui Pangcu, janganlah engkau bersedih untuk diriku,” kata Lo-seng, “soal itu memang sudah lama kurencanakan. Semula aku hendak minta kepada saudara Bok-yong Kang untuk melaksanakan pesanku  ini. Tetapi sampai saat ini ternyata dia tak ketahuan dimana jejaknya. Maka kuminta engkaulah Ui Pangcu, yang melaksanakan hal itu. Apakah Ui Pangcu mau meluluskan?”

Mendengar pertanyaan Lo-seng, girang-girang sedihlah hati Hun-ing. Sedih karena pemuda yang dicintainya itu akan mati. Girang karena ia mendapat kepercayaan untuk melaksanakan pesan Lo-seng.

Dengan airmata berlinang-linang, Hun-ing pun mengangguk.

“Siau toako, di bawah kesaksian langit dan bumi, aku Ui Hun-ing akan tetap mendampingi Siau toako untuk membasmi kaum iblis durjana. Apabila hatiku sampai bercabang, biarlah aku ditumpas Thian!”

Lo-seng tersenyum.

“Jika demikian, akan kubawa budi kebaikan nona itu sampai akhir hayatku. Ui Pangcu, lalu dimanakah engkau hendak memilih tempat untuk mempersiapkan rencana kita itu?”

“Soal ini menyangkut nasib dunia persilatan,” kata Hun-ing, “seharusnya kita memilih tempat yang aman  dan rahasia untuk melaksanakan hal itu. Tetapi mengingat bahaya yang mengancam dunia persilatan  sudah di depan mata maka kita tak boleh mengulur waktu lebih panjang lagi. Bagaimana kalau kita mengambil tempat di kuil tua sebelah muka itu?”

“Baik, mari kita ke sana,” kata Lo-seng.

Maka dengan gunakan ilmu berlari cepat, mereka bertiga segera menuju ke arah barat laut. Hanya dalam sepeminum teh lamanya, merekapun sudah tiba di kuil tua itu.

Sambil melangkah ke dalam ruang kuil, Lo-seng berkata: “Ui Pangcu, tempat ini harus dijaga dengan ketat!”

Hun-ing memang menyadari hal itu. Kalau dalam waktu tujuh hari tujuh malam sampai timbul gangguan dari orang luar, pastilah rencana itu akan gagal.

“Kalau rahasia ini dapat dijaga dengan rapat, tentu takkan menimbulkan hal yang tak diinginkan. Dan oleh karena menyangkut kepentingan dunia persilatan maka kitapun terpaksa harus berusaha sekuat tenaga,” Lo-seng memberi peringatan pula.

Berkata Hun-ing: “Jika mengerahkan tokoh-tokoh persilatan untuk menjaga tempat ini, tentu akan menimbulkan kecurigaan, mengundang perhatian musuh. Tetapi kalau hal ini dilakukan secara diam-diam, apabila pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jin-kiong mengetahui lalu menyerang sudah jelas aku dan Pek Wan Taysu tentu tak mampu melindungi ”

“Lalu bagaimana baiknya menurut pendapat Ui Pangcu,” kata Lo-seng.

Nona itu balas memandang Lo-seng, katanya: “Kurasa Siau toako tentu sudah menemukan suatu jalan  yang baik. ”

Tiba-tiba wajah Lo-seng berobah tegang dan berseru bisik-bisik: “Ada orang datang. lekas kita bersembunyi.”

Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Ketika mengerahkan pendengaran, memang benar di luar kuil terdengar derap langkah orang berjalan cepat ke arah kuil. Cepat ketiga orang itu melayang ke atas tiang penglari di ruang belakang. Dari tempat itu mereka dapat melihat ke dalam ruang besar.

Sesaat kemudian muncullah seorang kakek bungkuk diiring oleh tigabelas orang lelaki berpakaian dan berkerudung muka kain hitam. Kemudian yang terakhir yalah Li Giok-hou. Menilik keadaannya mereka seperti habis bertempur. Begitu masuk kakek bungkuk dan Giok-hou kedengaran menghela napas longgar dan terus duduk di lantai.

Kemudian kedengaran si kakek bungkuk mengangkat muka, menghela napas dan berkata: “Aku Long Wi, telah mendapat penghargaan besar dari Kiong-cu (kepala istana) dan diangkat sebagai kepala paseban Lian-gak-tian dari istana Ban-jin-kiong. Tetapi sungguh tak terduga begitu datang di Lok-yang aku telah menderita kekalahan begini memalukan. Bagaimana aku mempunyai muka untuk menghadap Kiong-cu lagi?”

Giok-hou tertawa meloroh: “Kalah menang itu sudah jamak dalam pertempuran. Mengapa Long Tian-cu berkecil hati?”

“Selama Im-kian-li itu belum terbasmi, kita tentu selalu mengalami gangguan di kota Lok-yang,” sahut Long Wi.

“Long Tian-cu, bilakah ayah mengatakan akan datang kemari?” tanya Giok-hou.

Sejenak Long Wi memandang ke luar kuil, katanya: “Kiong-cu pesan kepadaku, sebelum fajar akan tiba kemari. Rupanya saat ini sudah hampir tiba waktunya. Mari kita bersiap-siap menyambut kedatangan beliau.”

Ia terus berdiri dan memberi perintah kepada rombongan orang berkerudung muka supaya berkemas- kemas menyambut kedatangan Kiong-cu atau kepala istana Ban-jin-kiong.

Ketigabelas orang berkerudung itupun segera tegak berjajar di kedua samping pintu.

Lo-seng kerutkan dahi lalu gunakan ilmu Menyusup suara berkata kepada Hun-ing, “Ui Pangcu, ketua Ban- jin-kiong segera datang. Harap perhatikan saja siapakah dia itu. Giok-hou memanggilnya ayah, entah bagaimana hubungannya.”

Tepat pada saat Lo-seng berkata, tiba-tiba si orang tua bungkuk berseru: “Kiong-cu datang!”

07.35. Penguasa Istana Ban-jin-kiong

Dari jauh terdengar bunyi tambur dan seruling memecah kesunyian malam. “Ah, suara itu masih berada beberapa lie jauhnya,” pikir Hun-ing.

Tiba-tiba bunyi-bunyian itu berhenti.

Giok-hou dan si Bungkuk serempak berlutut di depan pintu dan berseru: “Giok-hou dan Long Wi menyambut dengan hormat!”

Sesaat kemudian muncullah seorang lelaki bertubuh tinggi besar ke dalam ruang kuil. Dia mengenakan pakaian seorang imam warna hitam, memakai kopiah dan dadanya mengenakan sebuah benda bundar yang berkilat-kilat memancar warna emas.

Tetapi bagaimana wajahnya tak dapat diketahui karena diapun mengenakan kain kerudung warna hitam.

Diam-diam Lo-seng, Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Mereka sangsi apakah kepala istana Ban-jin- kiong itu seorang manusia biasa. Karena waktu datang, sama sekali tak terdengar langkah kakinya. Dan dalam sekejap mata saja dia sudah tiba dari tempat beberapa lie.

Kebutkan lengan jubahnya, kepala istana Ban-jing-kiong berkata: “Hou-ji, Long Tian-cu, bangunlah.” Kakek bungkuk dan Giok-hou pun segera bangun. Dan serentak Giok-hou terus berseru: “Ayah ”

“Ya, kutahu,” tukas kepala istana Ban-jin-kiong itu sambil lambaikan tangan.

“Hm, dia memang sudah tahu apakah hanya berlagak tahu apa yang hendak dikatakan Li Giok-hou,” diam- diam Hun-ing menimang. “Barisan Sip-hun-jin kita memang belum sempurna sekali,” kata kepala Ban-jin-kiong pula,” nanti Long Tian- cu boleh membawa pulang mereka ke istana.”

“Anak hendak memberitahu bahwa musuh dari Ban-jin-kiong itu, selain orang Lembah Kumandang, pun masih ”

“Bukankah engkau hendak mengatakan Siau Lo-seng?” tukas kepala Ban-jin-kiong.

“Benar,” sahut Giok-hou, “dia memiliki ilmu kepandaian sakti yang aneh. Anak merasa dialah musuh yang sesungguhnya dari Ban-jin-kiong. Apakah ayah dapat memberi kekuasaan kepadaku untuk membunuhnya?”

Kepala istana Ba-jin-kiong merenung sejenak lalu berkata: “Memang ayah tahu bahwa kalau Siau Lo-seng itu tak dibasmi, kelak tentu akan lebih berbahaya dari Im-kian-li. Maka telah kuperintahkan kepada Te Gak Kui-ong untuk menangkap orang itu dan membawa ke Ban-jin-kiong.

Te Gak Kui-ong artinya Raja iblis dari Neraka.

Baik Lo-seng maupun Hun-ing dan Pek Wan Taysu kerutkan kening. Siapakah kepala istana Ban-jin-kiong itu? Menilik bicaranya, agaknya ia tahu semua gerak gerik dalam dunia persilatan.

“Ayah, lalu tugas apakah yang ayah berikan kepadaku di Lok-yang?” tanya Giok-hou.

Tiba-tiba kepala istana Ban-jin-kiong itu mendengus, serunya: “Giok-hou, selesaikan dulu dua orang yang bersembunyi di atas tiang penglari ruangan ini. Ayah segera akan memberimu petunjuk cara memberi perintah kepada Te Gak Kui-ong itu. Setelah itu ringkus dan bawalah Siau Lo-seng ke istana Ban-jin- kiong.”

Mendengar perintah itu bukan saja Lo-seng bertiga terkejut, pun si kakek bungkuk dan Giok-hou sendiripun terperanjat juga. Ternyata mereka tak tahu bahwa di atas tiang penglari ruang itu terdapat orang yang bersembunyi.

Tahu kalau dirinya sudah diketahui maka Lo-seng memutuskan untuk unjuk diri. Serentak iapun berseru: “Hm, bukan dua orang tetapi tiga ”

Belum habis ia mengucap, tiba-tiba terdengar bunyi tambur menggema. Lo-seng terkejut dan cepat berseru: “Ui Pangcu, lekas menghindar… ”

Dari ambang pintu meluncur selarik sinar emas yang mirip dengan panah berapi. Secepat kilat benda bersinar emas itupun meluncur ke arah tiang penglari.

Mendengar seruan Lo-seng, Pek Wan Taysu dan Hun-ing pun cepat melentangkan tubuh dan meluncur turun.

Benda bersinar emas itupun meluncur turun lagi keluar ruang dan tepat disanggapi oleh tangan kepala Ban- jin-kiong. Suara tambur pun sirap seketika.

Setelah menenangkan hati, Lo-seng memandang pemuda dan baru mengetahui bahwa benda bersinar emas tadi bukan lain yalah benda bulat yang melekat di dada kepala istana Ban-jin-kiong.

Dengan mata berkilat kilat memancar sinar kejut, kepala istana Ban-jin-kiong itu memandang Lo-seng bertiga.

“Di bawah kolong langit, baru yang pertama ini orang dapat lolos dari sambaran Kupu-kupu terbang ke langit,” serunya pelahan.

Hun-ing terkesiap. Kiranya benda bersinar emas yang menyambar ke atas penglari tadi bukan lain emas bundar yang menghias pada dada kepala istana Ban-jin-kiong itu. Menurut kata pemiliknya, benda itu sebuah senjata rahasia maut yang disebut Ki-im-suan-thian-hui-tiap atau Kupu-kupu berbunyi aneh di langit.

Pun Lo-seng juga terkejut mendengar ucapan kepala istana Ban-jin-kiong itu.

“Ho, kiranya kalian bertigalah,” seru Giok-hou demi mengetahui siapa ketiga orang itu, “kalian mampu lolos dari Im-kian-li tetapi jangan harap dapat lolos dari ruangan ini.”

Walaupun menyadari bahwa yang di hadapannya itu kepala istana Ban-jin-kiong yang sakti dan mungkin dirinya tak dapat melawan, namun Hun-ing tak mau unjuk kelemahan, ia tertawa dingin.

“Huh, siapa yang dapat membatasi kebebasanku. Mau pergi, aku pergi dengan bebas. Kalau tak percaya, lihat saja,” serunya. Kepala istana Ban-jin-kiong memasang pula senjata rahasia Kupu-kupu Emas itu di dadanya lalu berseru dengan tenang,

“Kalau tak salah engkau tentulah Mo-seng-li Ui Hun-ing, murid yang telah menghianati Jin Kian Pah-cu itu, bukan?”

Nada suaranya masih tetap ramah, sedikitpun tak mengunjuk kemarahan. Tetapi Hun-ing cukup tahu siapa kepala istana Ban-jin-kiong itu. Dia seorang momok yang ganas bukan buatan.

Diam-diam Lo-seng mengeluh dalam hati. Ia merasa dengan kekuatan tiga orang tak mungkin dapat menghadapi rombongan orang-orang istana Ban-jin-kiong.

“Omitohud,” tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru, “sepanjang pengetahuan Lo-ni, di dunia persilatan ini tiada terdapat seorang tokoh seperti anda. Siapakah sesungguhnya anda ini?”

“Pek Wan Taysu,” seru kepala istana Ban-jin-kiong, “hari ini jangan harap kalian bertiga masih dapat melihat matahari esok pagi. Perlu apa engkau tanyakan siapa diriku?”

Lo-seng tertawa dingin.

“Aku merasa kagum karena engkau dapat mendirikan suatu perkumpulan rahasia yang besar pengaruh seperti Ban-jin-kiong. Tetapi hanya dengan beberapa patah kata engkau suruh kami bertiga menyerah, benar-benar suatu lelucon yang tak lucu!” serunya.

Dengan kata itu jelas Lo-seng telah bertekad untuk menghadapi ketua Ban-jin-kiong dengan kekerasan.

Pemuda itu telah merenungkan dengan seksama. Walaupun ia menyadari bahwa kemungkinan kepandaiannya sukar untuk mengalahkan kepala istana Ban-jin-kiong itu tetapi ia mendapat kesan. Bahwa tadi kepala Ban-jin-kiong itu lambat untuk mengetahui ia bersembunyi di atas tiang penglari, ia percaya kesaktian kepala Ban-jin-kiong itu tidaklah berlipat ganda dari dirinya.

“Hm, jika kutelan semua sisa pil beracun yang kusimpan itu, tentulah dalam waktu singkat tenagaku akan bertambah lipat beberapa kali. Mungkin aku dapat menghadapinya,” demikian perhitungan Lo-seng.

“Siau Lo-seng, apakah engkau yakin hari ini engkau mampu lolos dari sini?” seru ketua Ban-jin-kiong. “Mungkin dapat,” sahut Lo-seng.

Sikap dan nada Lo-seng yang begitu tenang dan penuh kepercayaan, terpaksa membuat ketua Ban-jin- kiong meragu dalam hati.

“Hm, adakah kepandaian budak itu lebih hebat dari yang kusangka?” katanya dalam hati.

“Giok-hou, cobalah engkau main-main dengan ia barang beberapa jurus,” serunya kepada Giok-hou.

Beberapa kali menderita kekalahan, memang Giok-hou benci sekali kepada Lo-seng. Mendapat perintah dari ketua Ban-jin-kiong, cepat ia menghunus pedang dan loncat maju.

Giok-hou menerjang dengan penuh semangat. Pikirnya, apabila ia kalah, ketua istana Ban-jin-kiong tentu akan membantunya untuk membunuh Lo-seng. Dengan demikian jadilah dia tokoh muda yang paling sakti dalam dunia persilatan dewasa itu.

Hun-ing cepat maju ke muka Lo-seng: “Siau toako, engkau adalah pemimpin kami. Berikan orang itu aku yang menghadapi!”

Lo-seng cepat menyelinap ke sisi si nona. “Ui Pangcu, jelas kepandaianku memang kalah dengan ketua Ban-jin-kiong itu. Tetapi saat ini keadaan sudah begini gawat. Tiada lain pilihan lagi kecuali aku harus menelan habis pil beracun untuk mengembangkan daya tenagaku. Agar racun itu cepat dapat bekerja, perlulah darahku harus bergolak keras. Maka lebih baik aku saja yang menghadapi pemuda itu agar darahku lekas panas ” katanya kepada Hun-ing dengan menggunakan ilmu Menyusup suara.

Tujuan Giok-hou yalah hendak bertempur dengan Lo-seng. Melihat Lo-seng berdiri di samping si nona dengan bibir bergetaran tetapi tak terdengar bicara, tahulah Giok-hou bahwa pemuda itu sedang menggunakan ilmu menyusup suara untuk memberi petunjuk kepada Hun-ing bagaimana cara untuk mengalahkan dirinya.

“Siau Lo-seng,” Gok-hou segera tertawa mengejek, “walaupun sudah beberapa kali bertempur tetapi selalu belum ada kesudahannya. Maka kali ini marilah kira bertempur sampai ada salah seorang yang mati.” Giok-hou menutup tantangannya dengan tusukkan ujung pedang kepada Lo-seng.

Tiba-tiba Lo-seng mengangkat tangan menampar pedang lawan. Giok-hou terkejut. Tamparan Lo-seng itu telah menimbulkan gelombang tenaga dahsyat yang melanda pedangnya. Buru-buru ia menarik pulang pedangnya.

Maju dua langkah ke muka, berserulah Lo-seng dengan dingin: “Hem, kepandaianmu semacam itu, masih belum layak menjadi lawanku. Kalau tak percaya, silahkan coba!”

Hun-ing terkejut mendengar ucapan Lo-seng itu. Seketika hatinyapun seperti disayat sembilu. Ia tahu  bahwa pemuda yang dicintainya itu telah nekad menelan habis pil beracun.

Walaupun dia akan bertambah besar tenaganya tetapi hal itu berarti suatu penyelesaian bagi jiwanya.......

Kebalikannya, Giok-hou marah sekali mendengar ejekan lawan. Segera ia taburkan pedang melancarkan dua buah serangan.

Sambil beringsut menghindar ke samping, Lo-seng maju dua langkah pula dan ayunkan tangan kirinya: “Hati-hatilah, aku akan balas menyerang!”

Diejek begitu rupa, berkobarlah amarah Giok-hou. Ia loncat mundur untuk menghindari pukulan lalu loncat menyerang dari samping. Gerak penghindaran dan penyerangan itu dilakukan dengan luar biasa cepatnya. Namun Lo-seng tetap menghalaunya dengan sebuah tamparan.

Tampaknya hanya menampar tetapi ternyata pedang Giok-hou hampir terlepas dari tangan. Kejut Giok-hou bukan alang kepalang.

“He, walaupun ilmu serangan pedangmu itu hebat sekali, tetapi jangan mimpi dapat melukai aku,” Lo-seng tertawa mengejek.

Di hadapan ayahnya, menerima hinaan yang begitu memalukan, Gok-hou benar-benar seperti hendak meledak dadanya. Tiga buah serangan dahsyat segera ia lancarkan berturut-turut. Jurus penyerangan itupun amat maut dan ganas sekali.

Memang Lo-seng sengaja hendak membakar kemarahan lawan, tetapi begitu Giok-hou melancarkan tiga buah serangan yang istimewa, diam-diam Lo-seng terkejut juga. Ia tak berani berlaku ayal lagi. Dengan gunakan gerakan yang aneh, ia berusaha untuk meloloskan diri dari kepungan pedang maut.

Kini Giok-hou lah yang balas mengejek:

“He, mengapa engkau tak balas menyerang lagi?”

Tiba-tiba ia menusuk dada lawan. Tampaknya suatu gerak yang bersahaja tetapi sesungguhnya mengandung tiga jurus perobahan. Ataukah Lo-seng hendak menangkis ataukah hendak menghindar tentu tak mungkin lagi. Tiga jurus dalam sebuah gerak itu memang merupakan kepungan yang ketat sekali.

Memang benar, baru saja tubuh Lo-seng beringsut, ujung pedang Giok-hou pun sudah menusuk dua kali.

Tetapi ketika dua buah tusukan itu melancar Lo-seng pun bagaikan seekor ikan, sudah menyelinap ke belakang lawan.

“Sret ” dengan gerak cepat yang tak terduga-duga tiba-tiba Giok-hou balikkan tangannya ke belakang.

Lengan tangan kiri Lo-seng telah terbabat dan pedang yang dingin itu sudah melekat di kulit orang. Untung tak sampai melukai.

Serangan itu benar-benar membuat Lo-seng terkejut. Ia menyurut mundur lima langkah dan cepat mengambil botol pil dari dalam baju dan menelan tujuh belas butir sekali gus.

Melihat itu bercucuranlah airmata Hun-ing dan Pek Wan Taysu. Sebuah botol pil telah habis, kini pemuda itu hanya mempunyai tiga botol lagi. Isinya lebih kurang tujuh puluh butir pil,

“Lihat pedangku!” dengan tertawa gembira

Giok-hou menyerang lagi. Kali ini dengan jurus Bunga heng dilanda hujan. Begitu bertebar, pedangpun segera mengembangkan beribu sinar pedang yang mencurah deras.

Tampak sepasang mata Lo-seng berkilat-kilat tajam dan sesaat kemudian iapun melontarkan sebuah hantaman. Angin menderu mengantar gelombang tenaga yang dahsyat. Tergetarlah hati Giok-hou. Cepat ia merobah gerakan pedang dalam bentuk mirip dengan bianglala melingkar untuk melindungi dirinya.

Tetapi serempak dengan menghantam tadi Lo-seng pun segera melangkah maju dan melancarkan serangan sampai tujuh-delapan jurus.

Berulang kali pukulan dan pedang saling berbentur dan akibatnya beberapa kali pedang Giok-hou tentu tertampar mundur. Giok-hou rasakan pedangnya tersambar oleh gelombang tenaga dalam yang dahsyat sehingga tangannya pun ikut kesemutan.

Tetapi Giok-hou bukanlah seorang jago lemah. Dia tetap pertahankan pedangnya dan bahkan memainkannya lebih gencar untuk melindungi dirinya.

Saat itu Lo-seng seperti orang kalap. Dia menyerang dengan hebat dan cepat. Setiap pukulan dan tendangan tentu dilambari dengan tenaga dalam yang dahsyat.

Hun-ing dan Pek Wan Taysu tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan seluruh tenaganya agar racun lekas bekerja untuk mengembangkan kekuatannya.

Dalam beberapa kejap saja, Lo-seng sudah melancarkan duapuluh tujuh pukulan. tigapuluh enam tamparan dan tujuhpuluh tendangan.

Tiba-tiba terdengar Giok-hou mendesuh pelahan. Sinar pedang yang melindungi tubuhnya pun tiba-tiba menyurut dan serentak menjadi satu lalu bergerak dalam jurus Naga sakti keluar dari awan, ujung pedang segera menusuk lawan.

Jurus itu memang hebat sekali. Luncuran batang pedang menimbulkan angin yang deras sekali. Dan gerakannyapun sukar diduga, seperti hendak menusuk pun seperti hendak menabas.

Saat itu wajah Lo-seng mulai menampilkan hawa pembunuhan. Dengan menggembor keras, ia julur surutkan tangan kanan macam gerak ular memagut. Dan begitu merapat pada batang pedang, secepat kilat ia mencengkeram siku lengan Giok-hou.

Jurus yang luar biasa itu membuat Giok-hou serasa terbang semangatnya. Ia hendak merobah gerak pedangnya tetapi terlambat. Siku lengannya sudah dicengkeram oleh Lo-seng.

Dalam keadaan seperti itu apa boleh buat Giok-hou terpaksa lepaskan pedangnya dan cepat-cepat menggelincir mundur.

Setelah berhasil merebut pedang, Lo-seng loncat menerjang, melingkar-lingkar dan menyerang sampai enam kali.

Seketika tampaklah suatu pemandangan yang mempesonakan. Bagaikan bunga api berhamburan di udara, sinar pedang bertaburan mengimbangi gerak tubuhnya yang luar biasa anehnya.

Giok-hou terkejut dan berulang-ulang harus menyurut mundur. Pada saat Lo-seng melancarkan serangan yang ketujuh, Giok-hou pun menyadari bahwa ia takkan mampu melawan lagi. Maka secepat kilat iapun terus meluncur lari keluar kuil.

Lo-seng tertawa dingin: “Hem, engkau telah membunuh gurumu sendiri, Nyo Jong-ho. Biarlah dendam  darah itu kuserahkan pada nona Cu-ing untuk membalasnya sendiri. Sekarang aku hanya akan membabat kutung sebuah lenganmu dulu!”

Dalam pada berkata-kata itu, bayangan Lo-seng pun sudah mengejar dan terus menabas. “Aduh……”

Terdengar Giok-hou menjerit ngeri dan lengan kirinyapun segera terkutung jatuh ke tanah.

Giok-hou terhuyung-huyung jatuh sampai tiga langkah. Pakaiannya bersimbah darah. Ia mengangkat muka memandang kepala istana Ban-jin-kiong dan berteriak: “Ayah lenganku kutung!”

Kepala istana Ban-jin-kiong memapah Giok-hou bangun lalu menutuk jalan darah pada bahu kirinya agar darah berhenti mengalir.

Setelah itu berkatalah orang aneh itu dengan tenang: “Giok-hou, jangan engkau bersedih karena kehilangan sebuah lengan. Ayah masih dapat memberimu ilmu kepandaian yang lebih sakti……”

Habis berkata ia menutuk lagi jalan darah supaya anak muda itu pingsan. Baik Lo-seng maupun Pek Wan Taysu atau Hun-ing sama kerutkan dahi. Masakan seorang ayah yang melihat anaknya kehilangan sebuah lengan, masih bersikap sedemikian tenang dan sedikitpun tak marah atau bersedih.

“Long Tian-cu, rawatlah Giok-hou,” sesaat terdengar kepala istana Ban-jin-kiong itu berkata kepada orang tua bungkuk atau Long Wi.

Long Wi cepat-cepat menghampiri ke tempat Giok-hou. Sekonyong-konyong kepala istana Ban-jin-kiong menutuk bahu kiri si bungkuk

“Uh……” si bungkuk mengerang dan terhuyung-huyung. Lengan kirinya menjulai tak bertenaga lagi.

“Long Tian-cu,” kata kepala istana Ban-jin-kiong dengan tenang. “tahukah apa sebabnya kulumpuhkan sebelah lenganmu?”

Dengan sikap menghormat, si bungkuk menjawab: “Long Wi merasa bersalah karena tak dapat menjaga Sau-kiongcu sehingga sampai kehilangan sebelah lengannya. Dosa ini harus dihukum berat. Atas kemurahan Kiong-cu hanya melumpuhkan sebelah lenganku. Long Wi menghaturkan banyak terima kasih.”

Adegan itu menyebabkan Lo-seng bertiga terlongong heran.

Dalam dunia persilatan, kepandaian yang dimiliki Long Wi itu sudah dapat digolongkan sebagai seorang ketua partai persilatan. Tetapi ternyata dia begitu takut dan patuh kepada kepala Ban-jin-kiong.

Tetapi dari tindakan kepala Ban-jin-kiong terhadap Long Wi itu, dapatlah Lo-seng menduga bahwa kepala Ban-jin-kiong itu sesungguhnya marah sekali atas malapetaka yang diderita puteranya.

Dan Lo-seng pun menyadari bahwa dalam seberapa jenak lagi, kepala istana Ban-jin-kiong itu tentu akan menuntut balas kepadanya. Diam-diam Lo-seng pun bersiap-siap,

“Tetapi walaupun engkau kehilangan sebelah lengan, akupun takkan mengecewakan engkau,” kata kepala Ban-jin-kiong pula, “sekarang bawalah Sau-kiongcu dan rombongan Sip-hun-jin pulang ke Ban-jin-kiong dulu.”

“Long Wi akan melakukan perintah,” seru orang bungkuk itu dengan hormat lalu memanggul tubuh Giok-hou dan setelah bersuit aneh ia terus meluncur pergi.

Saat itu malam hampir pudar. Suasana di dalam dan di luar kuil sunyi senyap seperti kuburan. Tetapi dalam kesunyian itu, ketegangan dan hawa pembunuhan berhamburan memenuhi ruang kuil. Bayang-bayang melaekat Maut sudah melalu lalang untuk menyambut nyawa setiap korban yang terbunuh.

Tiba-tiba kepala istana Ban-jin-kiong berseru pelahan kepada Lo-seng. “Siau Lo-seng, mengapa engkau tak lekas berlutut minta ampun kepadaku?” Lo-seng tertawa gelak-gelak........
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar