Pendekar 100 Hari Jilid 05

05.21. Naga Lawan Harimau.

Orang aneh itu mengenakan jubah gerombyongan warna biru yang menutup seluruh tubuhnya sehingga sukar mengetahui bagaimana perawakannya yang sesungguhnya, kurus atau gemuk, lelaki atau perempuan.

Bahkan sepasang matanya tertutup oleh kain Sutera warna biru.

“O, kiranya saudara ini ketua Naga Hijau……, sungguh tak kira saat dan di tempat ini aku dapat berjumpa dengan saudara,” kata Hiat Sat Mo-li dengan tertawa dingin.

Bok-yong Kang tetap resah. Ia kira yang muncul Siau Mo tetapi ternyata si orang aneh Baju Biru yang misterius. Tetapi apa maksudnya dia muncul di kuil situ?

Walaupun tadi ketua Naga Hijau itu telah membantunya tetapi ia masih tidak tahu bagaimana tindakan orang itu terhadap Siau Mo.

Karena tak tahan memikirkan keselamatan Siau Mo, tiba-tiba Bok-yong Kang terus lari menuju dalam ruang besar.

Tetapi sekali orang aneh itu kebutkan lengan bajunya, Bok-yong Kang seperti dilanda oleh sebuah tenaga dahsyat yang memaksanya tersurut mundur sampai ke titian.

“Bagaimana dengan toako ku?” teriak Siau Mo terkejut. Tetapi ketua Naga Hijau itu tak mau menjawab. Tiba-tiba Lam-thian-ong tertawa dingin.

“Aha, ketua Naga Hijau ternyata seorang gagu!” serunya, “tetapi entah hanya pura-pura atau memang sungguh-sungguh gagu!”

Habis berkata Lam-thian-ong terus memutar tubuh hendak menghampiri ke tempat ketua Naga Hijau itu. Tetapi Ko-tok Siu cepat membentak dan lintangkan tongkatnya menghadang.

Lam-thian-ong tertawa dingin, ulurkan tangannya untuk menyambar tongkat itu. Tetapi secepat kilat Ko-tok Siu gerakkan tongkatnya dalam jurus Sun-cui-thui-cou atau Menurut air mendorong perahu untuk menutuk orang itu.

Ko-tok Siu memiliki tenaga dalam yang hebat.

Walaupun jurus itu hanya biasa tetapi di tangannya telah berobah menjadi serangan yang berbahaya sekali, Lam-thian-ong terkesiap, lalu condongkan tubuh ke samping, balas memukul dengan jurus Angin puyuh menyambar pohon liu.

Ko-tok Siu dipaksa harus mundur sampai tiga langkah. “Lam-thian-ong, mari kita lekas mundur,” seru Hiat Sat Mo-li.

Sebenarnya saat itu Lam-thian-ong hendak lancarkan serangan. Demi mendengar teriakan Hiat Sat Mo-li, ia tertawa dingin lalu loncat mundur setombak jauhnya.

Ternyata nona baju biru itu tajam sekali nalurinya. Tiga jurus adu pukulan dengan ketua Naga Hijau, segera ia merasakan bahwa tenaga orang itu memang luar biasa hebatnya. Ia menyadari kalau tak mampu mengimbangi.

Sam-sumoay nya atau si dara baju merah sudah terluka di tangan ketua Naga Hijau itu. Kalau ia tetap nekad bertempur tentu berbahaya akibatnya. Maka ia memutuskan untuk mundur,

Tiba-tiba ketua Naga Hijau atau si orang baju biru yang sejak tadi tegak berdiam diri di pintu, tiba-tiba melesat maju.

Hiat Sat Mo-li menjerit lalu tamparkan kebutnya ke arah ketua Naga Hijau itu. Jurus yang dilancarkan itu teramat ganas. Jurus maut.

Bulu suri yang semula lemas, karena disaluri tenaga dalam si nona, telah berobah kaku dan tajam seperti jarum. Dan kebutan itu mengarah jalan darah maut dari tubuh lawan.

Kenekadan nona itu memaksa ketua Naga Hijau tak dapat mendekatinya.

Dalam pada itu Bok-yong Kang timbul gagasan. Selagi kedua orang itu bertempur, mengapa ia tak menerobos masuk untuk mencari Siau Mo.

Dan cepatlah ia melaksanakan rencana itu. Ia menerobos ke dalam ruang, langsung menuju ke bawah meja sembahyangan dan melongok. Ah, ternyata Siau Mo masih tetap rebah membujur di lantai.

Bok-yong Kang terkejut. Buru-buru ia berjongkok ulurkan tangan merabah hidung Siau Mo.

Tiba-tiba Siau Mo deliki mata dan secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan Bok-yong Kang. “Toako, akulah,” Bok-yong Kang terkejut dan buru-buru berseru.

Siau Mo lepaskan cekalannya lalu bergeliat duduk, tangannya: “Bokyong-te, dimana Mo-seng-li?”

Melihat Siau Mo sudah tersadar dan pulih kesadaran pikirannya, Bok-yong Kang girang sekali, “Toako, ah, engkau benar-benar sembuh. Kukira kita sudah takkan berjumpa lagi ”

Siau Mo kerutkan alis dan bertanya: “Siapakah yang bertempur di luar itu?”

Ternyata saat itu di luar kuil memang terdengar hiruk pikuk pekik jeritan yang ngeri, suara orang mengerang dan menggeram serta derap langkah orang berkejar-kejaran.

Jelas tentulah Mo-seng-li dan rombongannya telah bertempur dengan anak buah Naga Hijau. “Pihak rombongan Mo-seng-li lawan orang-orang Naga Hijau,” kata Bok-yong Kang.

Wajah Siau Mo agak berobah, serunya gopoh: “Bokyong-te, kau lidungi aku. Aku hendak mengerahkan tenaga dalam untuk mengeluarkan racun dalam tubuhku. Rupanya mereka hendak tinggalkan tempat ini. Kalau semua jarum Ular Emas itu sampai dibawa Mo-seng-li, akibat di belakang hari tentu hebat sekali.”

“Toako, mengapa ke empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu dianggap sebagai pusaka nomor satu di dunia persilatan?” tanya Bok-yong Kang.

Siau Mo gelengkan kepala.

“Aku sendiri juga tak jelas,” katanya, “tetapi sekarang kuketahui bahwa jarum-jarum Ular Emas itu menyangkut sebuah rahasia besar dalam dunia persilatan. Ai, sayang dari empatpuluh tujuh batang jarum itu aku hanya mengambil duapuluh empat batang ”

Habis berkata ia terus meraba dadanya. “Hai!” tiba-tiba ia berteriak kaget, “kemana sisa tujuh batang jarum yang masih kusimpan itu?”

Bok-yong Kang juga terkejut: “Apa? Sisa jarum Ular Emas yang ada pada toako itu hilang semua?”

“Bokyong-te,” kata Siau Mo, “bagaimanakah peristiwanya? Ketujuh batang jarum Ular Emas itu tentu diambil oleh Mo-seng-li.”

Bok-yong Kang merenung lalu berkata: “Hm, tentu ketua Naga Hijau itu yang mengambilnya ”

Bok-yong Kang memang menyaksikan sendiri bahwa Mo-seng-li tak pernah menggeledah tubuh Siau Mo. Maka ia duga tentulah ketua Naga Hijau itu yang bertindak di waktu Siau Mo pingsan.

“Apa?” Siau Mo makin kaget, “ketua Naga Hijau juga datang ke Lok-yang....... Bokyong-te, nanti engkau harus menerangkan dengan lengkap apa yang telah terjadi selama aku dalam keadaan pingsan. Nah, sekarang aku hendak segera melenyapkan racun dari senjata rahasia itu.”

Saat itu suara hiruk pikuk dari pertempuran sudah agak jauh dari ruang besar. Ketika Bok-yong Kang lari keluar, dilihatnya di halaman kuil itu memang sudah sepi dan gelap. Tujuh sosok tubuh orang menggeletak tak bernyawa.

Melihat itu Bok-yong Kang menghela napas, “Ah, pertempuran telah berlangsung begitu cepat. Tadi di halaman penuh dengan jago-jago silat, mengapa dalam waktu beberapa kejap saja sudah sunyi lagi.”

Segera ia kembali masuk kedalam. Tampak Siau Mo duduk bersila pejamkan mata. Wajahnya tegang dan membesi. Bok-yong Kang tahu bahwa toakonya itu tentu tengah menyalurkan tenaga murni untuk mengenyahkan racun yang bersarang dalam tubuhnya. Segera ia menjaga di sisi Siau Mo.

Sepeminum teh lamanya tiba-tiba Siau Mo berseru: “Bokyong-te, mari kita lekas kejar Mo-seng-li!”

Dari sudut ruang, tiba-tiba pula terdengar lengking suara seorang nona: “Tak perlu engkau kejar, aku sudah berada di sini.”

Dan seiring dengan kata-kata itu dari sudut ruang yang gelap, muncullah seorang nona berpakaian baju hitam. Ah, siapa lagi kalau bukan si jelita yang menggunakan nama seram sebagai Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis!

Kejut Bok-yong Kang bukan alang kepalang. Mengapa Mo-seng-li masih berada di situ? Mengapa dia tak ikut lari dengan suci dan sumoaynya? Apakah dia tak takut Siau Mo akan menangkapnya?

Saat itu Siau Mo pun sudah berbangkit dan mendengus dingin: “Bagus, dengan begitu dapat menghemat waktu dan tenagaku.”

Mo-seng-li tertawa pelahan: “Ah, belum tentu.”

Sekonyong-konyong Siau Mo ayunkan tubuh dan lepaskan sebuah pukulan. Mo-seng-li cepat berputar tubuh menyingkir lima langkah lalu membentak: “Siau Mo, berhenti dulu!”

Siau Mo segera hentikan gerakannya dan tertawa dingin.

“Di nirwana yang pintunya terbuka engkau tak mau masuk. Tetapi malah mencari Neraka yang tak ada pintunya. Hm, hm...... Mo-seng-li, lebih dulu kuperingatkan kepadamu, janganlah engkau unjuk tingkah dihadapanku!” Berhenti sejenak, Siau Mo melanjutkan pula: “Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa Siau Mo takkan mudah-mudah melepaskan engkau?”

Nona itu tertawa hambar. “Sudah tentu tahu. Karena aku mengetahui rahasia dari penyakit jantungmu. Siau Mo, jika aku sungguh-sungguh hendak membunuhmu, masakan engkau dapat hidup sam¬pai saat ini.”

Siau Mo tertegun.

“Engkau berani masuk ke dalam jaring. Nyalimu sungguh terpuji. Lalu apa yang hendak eng¬kau katakan sekarang?”

Mo-seng-li tengadahkan kepala tertawa melengking: “Benar, memang aku mempunyai sebuah hal yang hendak kurundingkan dengan engkau.”

Siau Mo kerutkan alis.

“Apakah yang hendak engkau rundingkan dengan aku? Lekas katakan!” serunya.

“Soal rahasia besar yang menyangkut kehidupan dunia persilatan. Lebih dahulu kuminta engkau suka ikut menemui seseorang.”

Siau Mo tertawa dingin.

“Bukankah engkau hendak membawa aku menemui Pah-cu? Lebih dahulu engkau harus mengatakan, bagaimana sebenarnya Jin Kian Pah-cu itu?”

Mo-seng-li menyahut hambar: “Jin Kian Pah-cu, seorang manusia yang mempunyai muka dan mulut, wataknya dingin dan kejam, tetapi hatinya amat lapang sekali. Seorang wanita yang hendak mendirikan usaha besar dalam dunia persilatan. Tetapi aku bukan hendak mengajakmu menghadap beliau, melainkan hendak menemui Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho!”

Mendengar kata-kata itu terbeliaklah seketika Siau Mo dan Bok-yong Kang. Pikirnya: “Untuk apa dia hendak mengajak aku menemui Nyo Jong-ho? Bukankah tadi Mo-seng-li sudah mengatakan kalau Nyo Jong-ho sudah dikirim ke Lembah Kumandang?”

“Dimana dia sekarang?” seru Siau Mo.

“Dia tinggal di rumah seorang yang sepi sekali tempatnya dan terpisah kira-kira tujuh lie dari sini. Sudahlah, jangan berayal agar jangan sampai timbul perobahan lagi. Lekaslah engkau ikut aku ke sana!”

“Hm, baik, engkau tunjukkan jalannya,” Siau Mo tertawa dingin.

Mo-seng-li mengangguk lalu berputar tubuh, lalu keluar dari ruang besar dan lari menuju ke barat. Siau Mo dan Bok-yong Kang pun mengikutinya dari belakang.

Mereka bertiga menggunakan ilmu lari cepat sehingga tampaknya seperti kuda lari.

Pada waktu lari, Siau Mo membisiki Bok-yong Kang: “Bokyong-te, perempuan ini penuh dengan rahasia sehingga orang sukar menduga isi hatinya. Kita harus hati-hati. Sekarang aku hendak menyusul di sisinya.”

Habis berkata Siau Mo terus kencangkan larinya dan cepat sudah menyusul di sisi kiri Mo-seng-li.

Tiba-tiba nona itu berkata: “Sekarang aku hendak mengatakan sebuah hal kepadamu. Mungkin engkau tak percaya. Dewasa ini dunia persilatan sudah mengandung suatu bahaya terpendam yang hebat sekali. Bahaya itu mengancam keselamatan beribu jiwa kaum persilatan.”

“Bahaya itu hanya engkau seorang yang menciptakan,” kata Siau Mo dingin, “agar seluruh dunia persilatan menganggap pihak Lembah Kumandang itu memiliki suatu kekuatan gaib.”

Mo-seng-li gelengkan kepala.

“Bukan,” sahutnya, “bahaya itu timbul dari adanya Tiga Pusaka dunia persilatan.”

Dalam pada mereka berlari, saat itu dari arah barat terdengar sebuah suara aneh berseru: “Mo-seng-li, Mo- seng-li ”

Suara itu memiliki suatu pengaruh hebat dalam hati orang. Mendengar itu Mo-seng-li menjerit dan terus rubuh ke tanah…… Siau Mo terkejut sekali. Cepat ia berputar dan berhenti di samping nona itu.

Tampak wajah Mo-seng-li pucat lesi dan berseru dengan gelisah: “Toa-suciku telah menggunakan ilmu sihir Kiu-im-sip-sim-mo-hwat memanggil aku. Engkau engkau lekas menutuk jalan darahku di bagian Sin-ki-

hiat ”

Saat itu kembali terdengar suara orang aneh itu memanggil-manggil “Mo-seng-li, Mo-seng-li ”

Siau Mo cepat lakukan perintah si nona. Dia gunakan dua buah jari untuk menutuk jalan darah di bagian Sin-ki-hiat tubuh si nona.

Heran!

Begitu jalan darah itu ditutuk, maka wajah yang takut dan tangan dari Mo-seng-li itupun segera lenyap. Tetapi ia tetap duduk di tanah. Sepasang matanya yang indah berkilau-kilau menatap Siau Mo.

Tetapi Siau Mo tak mau menyambut dan palingkan muka memandang ke arah lain.

Dalam pada itu Bok-yong Kang heran sekali mengapa Mo-seng-li begitu ketakutan mendengar suara itu. Setelah terdengar beberapa saat, suara itu, lenyap dari udara.

Siau Mo pun segera pelahan-lahan menutuk jalan darah si nona agar terbuka lagi. Mo-seng-li menghela napas.

“Meskipun baru dua bagian dapat mempelajari ilmu Kiu-im-sip-sim-mo-hwat tetapi toa-suci sudah dapat menguasai semangatku,” katanya.

Siau Mo terkejut.

“Siapakah sesungguhnya Jin Kian Pah-cu itu?” tanyanya, “siapa namanya? Apakah engkau dapat memberitahu kepadaku?”

Mo-seng-li gelengkan kepala.

“Walaupun sudah tujuh-delapan tahun bersama-sama melayani beliau, tetapi kami bertiga saudara seperguruan ini tetap tak dapat mengetahui nama beliau. Bahkan bagaimana wajahnya yang sesungguhnya, kamipun tak jelas,” sahut Mo-seng-li.

Tiba-tiba Siau Mo tengadahkan kepala dan menghela napas panjang,

“Ah, sungguh aneh sekali. Seperti engkau sendiri, dalam beberapa hari ini memang agak aneh bicara, sikap dan tingkah lakumu ”

Siau Mo berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi: “Kalau begitu, tulisan pada saputangan yang kudapati di dalam hotel Long-hun-gek-can itu, tentu engkau yang menulisnya.”

Mo-seng-li terbeliak kaget. Setitikpun ia tak mengira kalau Siau Mo masih mengingat peristiwa di hotel Liong-hun-gek-can. Diam-diam ia memuji ingatan Siau Mo yang luar biasa kuatnya.

Mo-seng-li tersenyum, serunya: “Ingatanmu yang luar biasa tajamnya, sungguh mengagumkan sekali. Apalagi yang harus kukatakan.”

Mendengar ucapan nona itu diam-diam Bok-yong Kang bergirang hati: “Ah, kalau begitu jelas Mo-seng-li itu seorang nona dari aliran Putih……”

Teringatlah Bok-yong Kang pula bahwa tulisan pada saputangan yang ditinggalkan Mo-seng-li di hotel itu berbunyi, “semula aku curiga terhadap anda, tetapi saat ini kecurigaanku sudah lenyap saat ini musuh

kuat sedang mengepung, harap anda waspada……”

Ah, jika benar-benar tulisan itu Mo-seng-li yang menulis, jelas nona itu tak mempunyai rasa permusuhan terhadap Siau Mo.

Tampak Siau Mo merenung diam. Beberapa saat kemudian ia kedengaran menghela napas pelahan.

“Jika dugaanku tak salah, engkau tentulah si Baju Biru yang misterius itu atau sama dengan ketua Naga Hijau.” 05.22. Saling Membuka Jati Diri

Bok-yong Kang seperti dipagut ular kejutnya. Ia menganggap kata-kata Siau Mo itu tak mungkin terjadi, ya, mustahil apabila Mo-seng-li itu ketua Naga Hijau!

Masih Bok-yong Kang melanjutkan pengupasannya: “Mengapa Siau toako mengatakan Mo-seng-li itu si orang Baju Biru? Bukankah tadi ketua Naga Hijau muncul di dalam kuil dan berhadapan dengan Mo-seng- li? Sejauh ini, toako selalu dapat menduga setiap peristiwa dengan tepat tetapi kali ini tentu salah……”

Bok-yong Kang cepat berpaling ke arah Mo-seng-li. Dilihatnya Wajah nona itu mengulum senyum yang misterius, serunya: “Pendekar Ular Emas Siau Mo, memang tak kecewa sebagai seorang yang berbakat luar biasa. Mengapa heran?”

Mendengar kata-kata nona itu, kejut Bok-yong Kang makin menjadi-jadi.

“Engkau,....... engkau benar ketua Naga Hijau? Lalu siapakah ketua Naga Hijau yang muncul dalam kuil itu……?” serunya tersekat-sekat.

Mo-seng-li tertawa datar.

“Nyo Cu-ing……” sahutnya dengan enak, sambil mengemasi rambutnya yang terurai kemudian nona itu berdiri dan berkata pula: “Baiklah, menggunakan kesempatan saat ini, akan kuceritakan kepada kalian semua peristiwa yang membingungkan kalian ini……”

Mo-seng-li terus ayunkan langkah menuju ke lereng gunung yang berada di sebelah kanan.

Rupanya Bok-yong Kang masih tak percaya pada pendengarannya. Ia benar-benar tak percaya sedikitpun bahwa Mo-seng-li itu adalah si orang si Baju Biru atau ketua Naga Hijau.

Bok-yong Kang segera berpaling memandang Siau Mo, tanyanya: “Toako, mungkinkah hal itu?” Siau Mo mengangguk.

“Dia adalah Mo-seng-li, juga si Baju Biru dan ketua Naga Hijau pula. Apa sebabnya aku sendiripun tak  dapat mengetahui jelas. Tetapi di dunia ini memang banyak hal yang sering tak dapat dimengerti orang,” katanya.

Saat itu Mo-seng-li pun sudah menuju ke sebuah tanah rumput yang bersih dan segera melambaikan tangannya. “Siau sauhiap, silahkan kalian kemari beromong-omong.”

Bok-yong Kang berkata pelahan: “Kalau dia benar ketua Naga Hijau, mengapa ada  kalanya  kepandaiannya ”

Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu Siau Mo pun sudah menarik tangannya diajak berjalan pelahan-lahan. Tiba-tiba telinga Bok-yong Kang mendengar suara macam nyamuk mengiang. Ternyata suara itu berasal dari Siau Mo yang menggunakan ilmu Menyusup suara.

“Mengapa ada kalanya kepandaian nona itu sakti tetapi ada kalanya lemah, akupun tak mengerti. Mungkin hanya pura-pura saja. Agar orang jangan sampai mengetahui kalau dirinya ketua Naga Hijau yang sakti. Semoga kesemuanya itu benar dan semoga pula kuharap ia jangan sampai memimpin anak buah Naga Hijau ke jalan yang sesat,” kata Siau Mo.

Melihat kedatangan kedua pemuda itu, Mo-seng-li segera menunjuk pada dua gunduk batu: “Di gunung belantara, tak ada tempat yang bagus. Silahkan kalian duduk di batu itu untuk mendengarkan ceritaku.”

Setelah Siau Mo dan Bok-yong Kang duduk maka Mo-seng-li segera membuka pembicaraan, “Lebih dulu ijinkanlah aku memperkenalkan diri. Aku orang she Ui, namaku Hun-ing ”

Siau Mo batuk-batuk kecil, pikirnya: “Ui Hun-ing, si burung Kenari  Kuning. Wahai betapa indah namamu

itu. Orangnya pun secantik namanya. Dia muncul dan lenyap bagai burung Kenari di atas mega  yang kuning ”

Hun-ing menghela napas.

“Tetapi ,” katanya, “aku sendiri juga belum pasti apakah Ui Hun-ing itu namaku yang aseli. Karena sejak

kecil aku sudah sebatang kara dan sejak kecil pula telah dipelihara oleh suhuku Jin Kian Pah-cu ” “Nona Ui,” tiba-tiba Siau Mo menukas kata-kata si nona, “mengapa engkau hendak menghianati orang yang telah melepas budi besar kepadamu yalah Jin Kian Pah-cu itu?”

Hun-ing tersenyum.

“Siau sauhiap,” katanya. “tak perlu engkau berprasangka jelek. Sebenarnya aku memang tak sampai hati untuk melupakan budi suhu yang sebesar lautan itu. Tetapi suhu seorang yang berhati kejam dan ganas sekali. Aku tak sampai hati melihat kaum persilatan menjadi tumpukan bangkai akibat nafsu pembunuhan suhuku. Tiga tahun yang lalu, aku telah membawa perintah gi-bo (ibu angkat) untuk mencari Tiga Pusaka dunia persilatan ”

Belum si nona selesai bercerita. Tiba-tiba Bok-yong Kang sudah menukas: “Nona Ui, selain jarum Ular Emas, pena Keng-hun-pit, masih ada pusaka apa lagi yang disebut Tiga Pusaka itu?”

“Ciang-li-hiat-cian ” sahut Hun-ing.

Ciang-li-hiat-cian artinya Panah darah seribu lie. Panah pencari darah orang yang dapat melayang sampai seribu lie jauhnya.

“Apakah maksud Jin Kian Pah-cu menyuruh nona mencari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?” tanya Siau Mo

“Gi-bo mencari Tiga Pusaka itu tak lain tujuannya yalah hendak mengalahkan tiga orang sakti dalam dunia persilatan,” kata Hun-ing.

Siau Mo meregang alis, serunya: “Siapakah ketiga orang sakti yang dimaksudkan suhu nona itu?”

Sahut Hun-ing: “Siapa ketiga orang sakti itu, aku sendiripun juga tak tahu. Karena Gi-bo pun tak mengatakan kepadaku. Tetapi kutahu bahwa gi-bo memang mendendam kepada ketiga orang sakti itu, tetapi beliau takut kepada mereka……”

Berhenti sejenak, Hun-ing melanjutkan pula: “Maka akan kubawa kalian kepada Nyo Jong-ho tak lain yalah hendak meminta keterangan kepadanya, siapakah sesungguhnya ketiga orang sakti itu. Dan lain-lain peristiwa dunia persilatan yang selama ini merupakan rahasia, mungkin juga bisa diketahui dari dia.”

Siau Mo menghela napas.

“Nona Ui, maafkan kalau aku bicara dengan blak-blakan. Terus terang, sampat saat ini, aku tetap mencurigai dirimu.”

Hun-ing tertawa mengikik,

“Hal itu akupun tak mempersalahkan engkau,” katanya, “engkau tak percaya kepadaku sudah tentu karena engkau mempunyai pandangan tersendiri. Memang baru beberapa saat tadi aku seorang Wanita Suara Iblis yang ganas, kemudian tiba-tiba saat ini berobah menjadi seorang baik. Sikapku memang mengherankan engkau. Mengapa sejak kecil dipelihara orang, tahu-tahu setelah besar akan menghianatinya. Tindakanku yang bolak-balik tak menentu itu, memang mudah menimbulkan kecurigaan orang. Tetapi ketahuilah Siau Mo, ada kalanya engkau sendiripun terpaksa harus berbuat begitu.”

Nona itu berhenti lagi, lalu melanjutkan.

“Terus terang, suhulah pada tiga tahun yang lalu Gi-bo memberi Ciang-li Hiat-cian kepadaku, yalah pusaka dari ketua perkumpulan Naga Hijau, “Tujuannya tak lain untuk mengacau perkumpulan itu. Tetapi entah,  aku mempunyai perasaan sendiri ”

Siau Mo berkata hambar: “Engkau tentu timbul pikiran untuk menjagoi dunia persilatan dan akan bertanding dengan suhumu untuk menentukan siapa yang lebih sakti?”

Hun-ing tersenyum.

“Benar,” sahutnya, “karena sejak kecil diasuh oleh suhu, akupun mewariskan juga sifat-sifatnya yang kejam dan licin, ganas dah licik. Pada masa itu aku merasa bahwa kepandaianku tak di bawah suhu. Lalu timbul pertanyaan dalam hatiku. Mengapa aku harus menerima perintahnya? Bukankah dengan begitu berarti aku memendam diriku sendiri ”

Bok-yong Kang dan Siau Mo diam-diam terkejut mendengar pengakuan nona itn. Pikirnya: “Pikirannya, sungguh jahat sekali. Tak kira kalau terhadap seorang ibu angkat yang telah melepas budi sedemikian besar, dia tetap mengandung pikiran sejahat itu “ Melihat kedua pemuda itu diam saja, Hun-ing pun melanjutkan ceritanya.

“Tetapi, orang mengatakan dekat dengan gincu tentu merah, dekat tinta tentu hitam. Pepatah itu memang benar. Pada waktu aku tinggalkan suhu dan berkelana di dunia persilatan, boleh dikata aku banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan golongan Hiap-gi (kesatria). Mereka pendekar-pendekar yang luhur budi dan perwira. Lambat laun sifat-sifat jahat yang kuwarisi dari gi-bo, makin luntur. Dan mulailah aku menyesal atas perjalanan hidupku yang lalu...... Lewat perenungan dan penilaian yang lama, akhirnya kuputuskan untuk memasuki sebuah perkumpulan yang beraliran Putih. Dan perkumpulan inilah yang akan kupersiapkan untuk menghadapi markas gerombolan Lembah Kumandang yang jahat itu ”

Berhenti sejenak untuk merenung, nona itupun melanjutkan pula.

“Dua tahun sudah aku menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Banyak rencana dan tindakan yang telah kulakukan. Walaupun aku tak berani mengatakan bahwa seluruhnya baik dan berhasil, tetapi sekurang- kurangnya Naga Hijau telah berhasil merebut nama harum.”

Siau Mo menghela napas dan memuji.

“Kesadaran dan keberanian nona untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang terang, benar- benar aku Siau Mo harus memberi hormat. Sungguh mengagumkan sekali dan tak perlu harus disesalkan.”

Mendengar pernyataan Siau Mo itu, dapatlah Bok-yong Kang menyadari bahwa kata-kata toakonya itu memang mengandung arti tersendiri. Karena selama ini sepak terjang Siau Mo itu memang masih belum mempunyai warna yang jelas, Hitam atau Putih.

Tiba-tiba sepasang mata Hun-ing memancar kilat tajam.

“Tentang sepak terjang Siau sauhiap selama berkecimpung dalam dunia persilatan,” kata nona, “pernah kuperintahkan orangku untuk diam-diam menyelidiki. Bahkan sekali pernah kuperintahkan anak buahku untuk mengejar dan membunuh sauhiap. Tetapi karena jejakmu sukar diduga, muncul dan lenyap tanpa diketahui, maka tiga-empat kali mengejar, orang-orang Naga Hijau yang terdiri dari jago-jago sakti itu tak berhasil menemukan dirimu. Maka pada tahun yang lalu, aku terpaksa keluar sendiri. Dan kala itulah aku baru mengetahui bahwa engkau memiliki salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yalah jarum Ular Emas. Dan sejak itulah maka aku selalu membayangimu dari dekat……”

Si nona itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula:

“Kudapati sepak terjangmu, tidaklah sejahat seperti yang tersiar di dunia persilatan. Sejak itu berobahlah pandanganku. Kuanggap engkau seorang tunas yang memiliki bakat amat luar biasa. Apa yang engkau lakukan selama ini adalah karena engkau menderita penyakit. Bukan karena suara hatimu sendiri. Melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh rasa putus asa dan kebencian. Tetapi apa yang engkau ucapkan ketika berada di hutan lembah kemarin, bahwa engkau akan berusaha untuk menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran, benar-benar mengharukan dan menggembirakan sekali. Akupun makin mengagumimu.”

Bok-yong Kang seperti orang yang tersadar dari kegelapan. Ia mengangguk-angguk kepala dan berpikir: “Ah, itulah sebabnya mengapa Mo-seng-li selalu membayangi jejak toako saja.”

Siau Mo tertawa gelak-gelak.

“Mendengar ucapan Ui Pangcu yang begitu memuji setinggi langit, sungguh menyebabkan Siau Mo gelisah!”

Kata Hun-ing: “Ah, engkau terlalu merendah diri. Pada hal apa yang engkau lakukan selama ini, kecuali hanya dipengaruhi oleh nafsu-nafsu kemarahan, lain-lain hal rasanya tak ada yang harus dibuat malu.”

Wajah Siau Mo berobah serius.

“Memang akupun sudah tahu apa yang kulakukan dahulu adalah semata-mata karena keadaan tubuhku sehingga sering hatiku timbul walaupun ada kalanya tak menurut garis kebenaran dan bahkan setempo memang ganas, tetapi hal itu disebabkan karena keadaan yang terpaksa. Keadaan yang sebenarnya di luar dari kehendakku ”

“Siau sauhiap,” kata Hun-ing, “sekarang sudah menumpah isi diri kita. Segala kesalahan paham saat inipun sudah cair. Sekarang kita bakal menghadapi suatu bahaya besar yang harus segera kita atasi. Aku hanya seorang anak perempuan, tak mungkin akan terus berkecimpung dalam pergolakan dunia persilatan. Pula tak mampu untuk menghadapi peristiwa besar itu. Oleh karena itu maka aku bermaksud hendak menyerahkan kedudukan ketua Naga Hijau itu kepada orang ”

Si nona hentikan kata-katanya dan memandang kepada Siau Mo.

Bahwa nona itu telah menjelaskan keadaan diri dengan terus terang, diam-diam Bok-yong Kang gembira sekali. Tetapi setitikpun ia tak menyangka kalau nona itu begitu mengindahkan sekali kepada Siau Mo sehingga rela menyerahkan kedudukan sepenting itu. Apabila toakonya itu mau menerima jabatan tersebut, ah, benar-benar suatu hal yang amat menguntungkan bagi dunia persilatan.

Tetapi di luar dugaan, Siau Mo hanya tertawa rawan.

“Nona Ui, engkau sesungguhnya seorang dewi yang menjelma di dunia. Baik kecerdasan maupun ilmu kesaktianmu, jarang terdapat keduanya di dunia persilatan,” kata Siau Mo, “kalau seorang seperti engkau tak berani menjabat kedudukan ketua Naga Hijau, lalu siapa lagi orang yang berani menjabatnya?”

Dengan pandang mata yang penuh arti, Hun-ing menatap Siau Mo.

“Kutahu dalam dunia ini hanya seorang yang dapat mengalahkan aku dalam kecerdasan dan ilmu kesaktian. Kalau dia mau menerima jabatan sebagai ketua Naga Hijau dan akupun membantunya dari belakang, kuberani memastikan bahwa Naga Hijau tentu mampu mengatasi aliran-aliran hitam yang manapun juga ”

Hun-ing berhenti untuk menghela napas.

“Gi-bo seorang yang berhati tinggi dan angkuh,” katanya pula, “dan mempunyai anak buah jago-jago silat yang lihay. Kalau hanya aku seorang diri, jelas tentu sukar menghadapi mereka. Seperti apa yang terjadi hari ini, toa-suciku Hiat Sat Mo-li telah muncul di Lok-yang. Jelas dia tentu dikirim oleh suhu kemari untuk menghadapi aku. Dengan demikian jelas pula kalau beliau tentu sudah mendengar tentang gerak gerikku yang hendak menentang Lembah Kumandang.”

“Ui Pangcu memiliki kepandaian yang amat sakti,” kata Bok-yong Kang, “kurasa toa-sucimu tentu tak dapat berbuat apa-apa kepadamu.”

Hun-ing geleng-geleng kepala dan menghela napas,

“Diantara kami bertiga saudara seperguruan walaupun belum tentu aku kalah dengan toa-suci, tetapi karena sudah tiga tahun aku pergi dari Lembah Kumandang maka tak dapatlah kuketahui sampai dimana tingkat pelajaran yang telah dicapai toa-suci dan sam-sumoay sekarang. Misalnya seperti ilmu Kiu-im-sip-sim-mo yang dilantangkan toa-suci tadi, itulah suatu ilmu yang khusus untuk menggempur kelemahanku. Dengan bukti itu jelas kalau gi-bo tentu sudah mengajarkan kepada toa-suci ilmu istimewa yang khusus untuk menghancurkan ilmu kepandaianku.”

Bok-yong Kang terkejut, pikirnya: “apakah di dunia ini benar-benar terdapat ilmu suara yang begitu sakti sehingga dapat menghancurkan ilmu kepandaian orang?”

Dengan mata yang memancar kecemasan nona itu berkata lagi: “Telah kukatakan bahwa gi-bo itu seorang wanita yang luar biasa kejamnya. Karena beliau tahu aku hendak berkhianat maka beliau tentu takkan memberi ampun lagi. Begitu aku berada dalam genggamannya. Naga Hijau tentu akan menjadi ular tanpa kepala. Oleh karena itu maka sejak beberapa waktu aku sudah memikir untuk mencari penggantiku sebagai ketua Naga Hijau. Apabila Siau sauhiap benar-benar memiliki jiwa kesatrya, mau menyelamatkan dunia persilatan dari bencana kehancuran, tentulah sauhiap mau menerima jabatan itu. Dengan mempunyai seorang ketua seperti Siau sauhiap, Naga Hijau pasti akan dapat memenuhi harapan seluruh kaum persilatan.”

Mendengar itu tergerak juga hati Siau Mo.

“Walaupun aku mempunyai cita-cita hendak menyelamatkan dunia persilatan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan diriku? Ah, karena bingung mengatasi penyakit dalam diriku maka aku telah minum racun. Sekarang jiwaku hanya tinggal seratus hari. Apabila harus dipersingkat lagi ah, dalam waktu yang begitu

singkat, apakah yang dapat kukerjakan untuk kepentingan dunia persilatan?” pikirnya. Hun-ing menghela napas rawan.

“Siau sauhiap,” katanya, “kutahu apa yang engkau pikirkan. Memang hidup manusia itu amat pendek, tetapi apabila dalam hidupnya yang pendek itu kita dapat berusaha keras, kemungkinan tentu akan memperoleh apa yang kita cita-citakan.” Siau Mo merenung diam. Wajahnya berobah-robah tak menentu.

Hun-ing dan Bok-yong Kang memandang lekat-lekat ke arah wajah Siau Mo. Mereka tahu bahwa Siau Mo tentu sedang mempertimbangkan suatu soal penting.

Tiba-tiba mata Siau Mo memancarkan kilat yang tajam dan berkatalah ia dengan nada lepas: “Baiklah! Akan kugunakan umurku yang pendek itu guna melakukau suatu pekerjaan besar. Demi untuk menegakkan Kebajikan, akan kuhapuskan semua pikiran dan sepak terjangku yang buruk.”

Kata-kata itu seperti diucapkan kepada dirinya sendiri. Ia membeliakkan mata memandang si nona dan Bok- yong Kang lalu tertawa datar.

“Yang lalu biarlah lalu,” katanya, “nama Pendekar Ular Emas Siau Mo biarlah ikut lenyap dibawa masa lalu. Sekarang aku hendak mengembalikan wajahku yang sebenarnya ”

Tiba-tiba Siau Mo meraba belakang daun telinganya dan segera menyingkap kulit mukanya. Amboi……

Hun-ing tercengang. Bahkan Bok-yong Kang yang sudah dua tahun bergaul dengan Siau Mo, saat itupun terkejut bukan kepalang.

Ternyata yang disingkap oleh Siau Mo itu selembar kulit manusia tetapi bukan kulit muka Siau Mo sendiri melainkan sebuah kedok muka terbuat dari kulit manusia. Sedemikian halus dan sempurna kedok kulit itu sehingga orang tentu menyangka kalau Siau Mo memang begitu raut wajahnya.

Saat itu yang duduk dihadapan Hun-ing dan Bok-yong Kang bukanlah Siau Mo si Pendekar Ular Emas yang berwajah pucat seperti orang sakit. Tetapi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sepasang alis yang tebal menaungi sepasang bola matanya yang bening tajam. Wajahnyapun merah segar……

Siau Mo tertawa ringan.

“Inilah tampang mukaku yang sebenarnya. Sejak sekarang, nama Siau Mo pun akan kutanggalkan bersama dengan kedok muka ini. Aku hendak menggunakan namaku yang aseli Siau Lo-seng untuk berkecimpung dalam dunia persilatan!”

Pada saat mengucapkan kata-kata itu, tampak wajah Siau Lo-seng berkabut kedukaan. Sejenak memandang ke arah Hun-ing dan Bok-yong Kang ia menghela napas pula.

“Ui Pangcu dan Bokyong-te,” katanya, “mungkin kalian tentu menaruh kecurigaan atas pergan¬tian nama yang kulakukan ini, bukan?”

Hun-ing tertawa.

“Menilik Siau sauhiap seorang muda yang gagah dan perwira, memang rasanya aneh mengapa sauhiap mengambil nama Mo (Iblis). Bahwa sekarang sauhiap telah menggantinya dengan nama Lo-seng, itu memang lebih baik. Adakah engkau mempunyai suatu rahasia dalam menggunakan nama Mo itu?”

Tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng gemetar.

“Siau Mo, nama itu adalah nama pamanku. Mengapa kugunakan nama itu untuk mengganas di dunia persilatan, memang panjang ceritanya,” kata pemuda itu. Berkata sampai di situ, ia mendesah seperti membayangkan sesuatu yang menyedihkan.

“Menurut yang kuketahui, terbunuhnya seratusan jiwa keluarga Siau itu, adalah pamanku Siau Mo yang menjadi biang keladinya itulah sebabnya maka aku menggunakan nama untuk memancing agar paman

mau keluar dari tempat persembunyiannya. Selama dua tahun aku melakukan perbuatan ganas, tak lain hanya menggali liang kebencian dunia persilatan kepada paman. Apabila merenungkan peristiwa itu, aku Siau Lo-seng memang seorang manusia yang tak berharga. Aku telah mengecewakan arwah kedua orang tuaku di alam baka ”

“Ah, manusia itu bukan dewa. Tentu tak lepas dari kesalahan,” Hun-ing menghiburinya, “tahu kesalahan dan dapat merobahnya, barulah seorang yang berjiwa besar. Apalagi Siau sauhiap mempunyai kewajiban untuk menuntut balas. Kesalahan-kesalahan yang sauhiap lakukan itu, memang sukar dielakkan. Harap sauhiap jangan kecewa.” 05.23. Mahluk Aneh Di Tanah Kuburan

“Hm, memang menjengkelkan sekali pamanku yang licin bagai belut dan buas seperti harimau itu. Sampai detik-detik ini-dia belum juga mau mengunjuk diri  dan  tetap  membiarkan  aku  mengganas  dan membunuh ”

“Apakah tak mungkin pamanmu Siau Mo itu sudah meninggal dunia?” tanya Hun-ing. Siau Lo-seng menghela napas.

“Mungkin,” katanya, “mungkin pamanku memang sudah mati. Kalau masih hidup dia tentu sudah unjuk diri. Tetapi umurku terbatas, kalau hal itu barlarut lebih lama lagi, bagaimana aku dapat menuntut balas kematian orang tua dan saudara-saudaraku? Maka, sia-sia dan celakalah aku yang telah menggunakan nama Siau Mo itu untuk melakukan perbuatan ganas selama ini ”

“Ah,” Siau Lo-seng mendesah, “maka sekarang kuputuskan untuk menampakkan wajahku yang sebenarnya. Dengan umurku yang terbatas itu, aku hendak berbuat sesuatu untuk menebus dosaku yang lalu. Agar aku tak mengecewakan arwah kedua orang tuaku di alam baka!”

Mendengar penuturan itu terbukalah kini pikiran Bok-yong Kang akan sikap dan tingkah laku yang aneh dari Siau Mo selama ini. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Siau Lo-seng telah sadar dan akan kembali ke jalan yang benar.

Bok-yong Kang ulurkan tangan menjabat tangan Siau Lo-seng, katanya: “Toako, engkau tak bersalah. Sekalipun taruh kata salah, dunia pun akan memaafkan kesalahanmu itu.”

Darah di dada Siau Lo-seng bergolak keras. Dan berkatalah dia dengan tegang: “Bokyong-te, engkau adalah satu-satunya sahabatku yang tahu diriku. Saat ini baru aku menyadari betapa aku telah banyak membikin susah kepadamu. Selama setahun ini, aku selalu memendam kesedihan dalam hatiku sendiri dan tak membagikan kepadamu. Pun tak mau menceritakannya.”

“Tidak, toako,” sahut Bok-yong Kang, “engkau adalah penolongku yang melepas budi besar. Apapun kesalahan yang toako lakukan, bagiku tetap benar. Engkau tak menyalahi aku. Karena kutahu bahwa hati nuranimu itu sebenarnya amat berbudi.”

Hun-ing memandang cakrawala lalu berseru: “Hari segera akan terang tanah, marilah kita lanjutkan perjalanan lagi!”

Tiba-tiba Siau Lo-seng melepaskan Pedang Ular Emas yang tersanggul di bahunya dan membuat sebuah liang di tanah. Pedang dan kedok muka dari kulit orang itu dikubur bersama-sama di tanah dalam liang itu.

“Siau Mo sudah mati. Kedok muka Pendekar Ular Emas dan pedang Ular Emas pun harus ikut dikubur. Sejak saat ini, aku Siau Lo-seng, akan menempuh hidup baru!”

“Tepat,” seru si nona, “sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat Siau Mo lagi. Bila muncul orang yang menyebut dirinya Siau Mo, dialah musuh besar kita!”

Mereka bertiga segera menimbuni liang dengan tanah. Kemudian mereka lalu tinggalkan lereng gunung itu.

Tetapi tepat pada saat ketiga orang itu pergi, dari atas lereng gunung terdengar sebuah tertawa dingin. Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dan lari menghampiri ke tempat liang itu.

Cepat sekali orang aneh itu segera membongkar liang dan mengambil Pedang Ular Emas. Karena hari masih belum terang tanah maka cuacapun masih gelap sehingga tak dapat diketahui bagaimana wajah orang yang mengambil pedang Ular Emas itu.

Siapakah orang misterius itu ?

********************

Pada saat itu Siau Lo-seng Bok-yong Kang dan Hun-ing bertiga tengah berlari melintasi sebuah belantara sunyi. Tiba-tiba terdengar suara suitan seram memecah angkasa.

Ketiga anak muda itu terkejut dan hentikan larinya. “Apakah toa-suci nona mengeluarkan suitan lagi?” tanya Siau Lo-seng kepada Hun-ing. Hun-ing gelengkan kepala.

“Suitan aneh itu terang bukan ilmu Suitan Iblis dari Lembah Kumandang. Suitan itu luar biasanya tajamnya sehingga menegakkan bulu roma orang. Tak beda seperti jeritan iblis yang sesungguhnya.”

Tetapi setelah melengking di udara, suara suitan itupun segera lenyap. Karena ditunggu sampai sekian jenak tak ada suatu perobahan apa-apa, merekapun segera lanjutkan perjalanan lagi.

Di balik karang yang menggunduk di sebelah muka itu, terdapat sebidang tanah kuburan yang sudah hampir menjadi belantara hutan kecil.

“Setelah melintasi hutan kecil ini, akan terdapat sebuah pondok. Nyo Jong-ho berada di situ. Mari kita lekas menemuinya,” kata Hun-ing.

Tetapi pada saat itu pula, suitan seram tadipun melengking lagi. Dan dari tengah tanah kuburan tua itu berhamburan muncul beberapa belas sosok bayangan setan. Tubuh mereka yang bergemerlapan dan angin pun menderu-deru ketika mereka serempak lari menghampiri kepada rombongan Siau Lo-seng.

Dalam saat dan tempat seperti itu, betapa besar nyali seseorang, tentu tak urung akan terbang juga semangatnya.

“Ai ,” Hun-ing menjerit kaget terus menubruk dada Siau Lo-seng.

Bok-yong Kang pun terkejut dan menyurut mundur tiga langkah.

Melihat kawanan setan itu menyerbu dengan cepat, Siau Lo-seng cepat membentaknya: “Kawanan setan berhenti!”

Bentakan Siau Lo-seng itu bagaikan halilintar dahsyatnya. Dan kawanan mahluk aneh itupun serempak berhenti.

Pun Hun-ing terkejut karena suara Siau Lo-seng yang begitu menggeledek. Pikirnya: “Dengan berada di samping seorang pemuda yang tak takut segala apa ini, mengapa aku begitu ketakutan?”

Tiba-tiba Siau Lo-seng menepuk pelahan bahunya: “Ui Pangcu, mereka bukan setan tetapi manusia biasa. Tak perlu takut.”

Dengan pipi bersemu merah, nona itu berkisar dari dada Siau Lo-seng. “Biarpun setan, kalau berada di sampingmu, akupun tak takut,” serunya.

Kawanan mahluk itu berhenti pada jarak tujuh tombak jauhnya. Tiba-tiba tiga dari mereka bersama maju. Siau Lo-seng tertawa dingin.

“Hai, kalian ini dari golongan mana? Mengapa berani menyaru jadi setan. Itu kan bukan laku seorang gagah!” serunya.

Tetapi ketiga mahluk aneh itu seperti tak mendengar. Mereka tetap menghampiri maju.

Siau Lo-seng kerutkan alis lalu berpaling kepada Bok-yong Kang: “Bokyong-te, jagalah Ui Pangcu.”

Habis berkata ia terus loncat ke atas batu nisan sebuah makam. Seorang diri ia hendak menghadapi kawanan mahluk aneh itu.

“Wut ” kawanan mahluk aneh itupun serempak melayang ke atas sebuah makam juga.

Siau Lo-seng kerutkan dahi. Kawanan mahluk aneh itu berjumlah tigabelas orang. Mengenakan pakaian hitam, kepala dan mukanyapun ditutup dengan kerudung hitam hanya bagian mata diberi lubang.

Tiba-tiba Hun-ing memekik kaget, serunya: “Hai mustahil dalam saat begini kawanan setan mau unjuk diri. Apakah tak mungkin mereka datang untuk menyergap Nyo Jong-ho ”

Tetapi segera pikiran nona itu membantah pendapatnya sendiri: “Ah, tetapi Nyo Jong-ho jarang unjuk diri di dunia persilatan. Mengapa kawanan mahluk aneh itu ” Tepat pada saat itu seorang mahluk aneh loncat melayang ke tempat Siau Lo-seng. Diam-diam pemuda itu memperhatikan bahwa gerak loncatan mahluk aneh itu hebat sekali. Cepat iapun segera lepaskan sebuah hantaman.

Belum mahluk aneh itu menginjakkan kaki pada batu nisan yang terpisah tiga tombak dari tempat Siau Lo- seng, angin pukulan pemuda itupun sudah tiba melandanya.

Siau Lo-seng memang sengaja hendak menghancurkan nyali orang. Maka pukulannya itupun dilambari dengan enam bagian tenaga.

“Krek, krek. ” mahluk aneh itu menangkis tetapi segera ia menjerit ngeri dan terlempar ke udara lalu jatuh

di atas gunduk makam. Namun secepat itu pula, ia dapat melenting bangun lagi.

Siau Lo-seng terkejut, pikirnya: “Apakah kawanan mahluk aneh itu memang bangsa setan yang sesungguhnya? Mengapa pukulanku tak mampu merubuhkannya ”

Tiba-tiba ia teringat akan bunyi `krek, krek` tadi. Bunyi itu mirip dengan suara setan. Seketika ujung kaki Siau Lo-seng dirayapi oleh serangkum hawa dingin.

Pada saat itu pula, tiga mahluk aneh berhamburan loncat maju. Mereka berpencaran di tiga arah. Siau Lo-seng segera melambung ke udara dan menghantam mahluk aneh yang berada di tengah.

Rupanya mahluk aneh itu tak menduga kalau lawan memiliki gerakan sedemikian gesitnya. Mereka terkejut dan tak sempat menangkis. Belum sempat mereka mencari pikiran untuk menghindar, angin pukulan Siau Lo-seng pun sudah melanda dadanya.

Uh…… orang itu mengerang tertahan. Tubuhnya jungkir balik sampai dua kali lalu melayang rubuh di tanah.

Mendengar suara erang tadi, tahulah kini Siau Lo-seng bahwa itu suara manusia biasa, bukan bangsa setan. Seketika menggeloralah nyalinya. Setelah berhasil merubuhkan seorang, Siau Lo-seng terus berputar tubuh dan menerjang lawan yang berada di sebelah kiri.

Baru mahluk aneh itu menginjakkan kaki ke atas sebuah makam, Siau Lo-seng pun sudah tiba dengan pukulan Ngo-ting-biat-ciok yang mengarah kepala.

Melihat Siau Lo-seng menyerang kawannya, mahluk aneh yang berada di sebelah kanan cepat maju menyerang, memukul punggung lawan.

Mahluk aneh di sebelah kiri nekad mengangkat untuk menangkis pukulan Siau Lo-seng. Tetapi dia segera terpental mundur dan terhuyung-huyung. Untung tak sampai rubuh.

Mahluk aneh yang menyerang punggung Siau Lo-seng itu hampir bersorak girang karena pukulannya hampir mengenai sasaran. Tetapi betapa kejutnya ketika tahu-tahu tubuh pemuda itu telah merebah ke samping. Karena mahluk aneh itu menggunakan seluruh tenaganya untuk memukul maka tubuhnyapun ikut menjorok ke muka.

“Plak,” enak saja Siau Lo-seng menampar punggung mahluk aneh itu. Serentak terdengar jeritan ngeri dan mulut mahluk aneh itupun menyembur darah segar dan rubuhlah ia ke muka.

Lebih sial pula, ketika orang itu menjorok ke muka, tepat dia bertubrukan dengan kawannya yang hendak menyerang Siau Lo-seng dari sebelah kiri. Keduanyapun berhamburan jatuh.

Menyaksikan sendiri betapa dalam waktu beberapa kejap saja Siau Lo-seng dapat merubuhkan tiga orang aneh yang berkepandaian tinggi, terkejutlah Hun-ing. Nona itu diam-diam bertanya dalam hati: “Begitu sakti kepandaiannya, entah dari siapakah dia mendapat ilmu kepandaiannya itu?”

Tetapi beda dengan penilaian Hun-ing, kawanan orang aneh itu tak gentar karena tiga orang kawannya telah dirubuhkan Siau Lo-seng. Mereka tetap maju hendak menyerbu pemuda itu.

Tiba-tiba terdengarlah teriakan aneh macam burung hantu melantang dari ujung kuburan. Mendengar itu kawanan orang aneh pun segera berhenti berputar tubuh lari kembali ke arah bagian sebelah dalam dari tanah kuburan itu.

Siau Lo-seng terkejut ketika melihat ke empat orang yang dipukulnya rubuh itupun dapat bangun kembali dan menyusul kawan-kawannya.

“Uh, orang golongan apakah mereka itu? Mengapa mereka sedemikian anehnya……” pikirnya. Seketika timbul keinginannya untuk mengetahui kawanan orang aneh itu. Karena tegangnya ia sampai lupa untuk memberi isyarat kepada Hun-ing dan Bok-yong Kang.

Dengan gunakan gerak loncatan yang hebat, dalam tiga-empat kali loncatan saja ia sudah dapat menyusul orang aneh yang lari paling belakang sendiri.

Siau Lo-seng enjot tubuhnya melambung sampai tiga tombak ke udara lalu lepaskan sebuah hantaman ke arah orang aneh itu.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan dari balik sebuah makam besar, muncullah seorang aneh. Melihat dandanannya yang luar biasa aneh dan gerakannya yang hebat, Siau Lo-seng dapat menduga yang muncul itu tentu pemimpin kawanan orang aneh.

Siau Lo-seng tahu hahwa pemimpin orang aneh itu tentu jauh lebih lihay dari anak buahnya. Maka diam- diam ia salurkan tenaga dalam ke arah tangan kanan. Kemudian ia melompat ke udara dan melayang ke arah pemimpin itu sambil lepaskan sebuah hantaman dahsyat yang disebut jurus Halilintar menyambar ke bawah.

Orang aneh itupun tak gentar. Iapun loncat menyongsong dengan dahsyat. “Krak......,” terdengar letupan keras dari dua kerat tulang yang saling beradu.

Pemimpin orang aneh itu terpelanting jatuh ke tanah tetapi Siau Lo-seng pun terlempar sampai tiga tombak jauhnya dan jatuh di atas sebuah makam.

Diam-diam Siau Lo-seng terkejut sekali. Sejak turun ke dunia persilatan baru pertama kali itu ia bertemu dengan seorang lawan yang dapat menandingi kepandaiannya. Ia mengangkat muka memandang orang  itu.

Ternyata orang itu seorang bungkuk yang mengenakan baju hitam. Mukanya penuh dengan gurat-gurat bekas luka yang menyeramkan.

Begitu jatuh di tanah si Bungkuk pun cepat melenting bangun lalu lepaskan hantaman ke arah Siau Lo-seng lagi. Pikirnya, selagi pemuda itu belum sempat bangun, ia hendak mendahului meremukkannya.

Tetapi ternyata Siau Lo-seng sudah bersiap. Begitu melihat si Bungkuk gerakkan tangan, iapun segera enjot tubuhnya melambung ke udara, menghindari pukulan orang lalu balas menyerangnya.

Si Bungkuk mendengus. Ia menyongsong maju dua langkah. Tangan kanan lurus ke muka memukul dada lawan sedang tangan kiri menabas lambung.

Tetapi Siau Lo-seng tak gugup menghadapi dua serangan maut itu. Segera ia mengatupkan kedua tangan dan lancarkan jurus Hun-he-ki-gwat atau Membelah kabut mengambil rembulan.

Si Bungkuk terkejut melihat kepandaian pemuda itu. Dengan gerakan yang indah, pemuda itu bukan saja dapat menghindari pukulannya, pun malah sekalian menyerangnya. Menghindar sambil menyerang, benar- benar jurus yang hebat. Dan menyadari kalau berhadapan dengan seorang pemuda sakti, si Bungkuk pun terpaksa mundur dua langkah dan bergeliatan untuk menghindari serangan balasan dari Siau Lo-seng.

Karena sampai beberapa jurus tak juga memperoleh hasil, marahlah orang bungkuk itu. Hawa pembunuhan meluap-luap. Dengan jurus Harimau lapar menerkam kambing, ia menyerang Siau Lo-seng dengan buas sekali. Tangan kiri melakukan gerak ilmu Kin-na-jiu untuk menyambar pergelangan tangan lawan. Tangan kanan khusus untuk melancarkan pukulan dahsyat.

Dengan demikian sekali gus orang bungkuk itu telah melancarkan dua macam gaya serangan. Dan kedua jurus itu merupakan jurus-jurus yang hebat. Sekalipun seorang ketua partai persilatan tentu akan sibuk dan terluka apabila menghadapi dua serangan istimewa itu.

Siau Lo-seng juga terkejut. Ia tak menyangka sama sekali bahwa seorang bungkuk yang berwajah begitu buruk ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu sakti.

Siau Lo-seng tak berani lengah. Setelah dapat menghindari kedua serangan itu, segera ia lancarkan serangan balasan yang dahsyat. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkannya.

Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah melakukan lima buah pukulan dan tiga tendangan.

Si Bungkuk dapat didesak mundur dua langkah tetapi setiap kali mundur, ia terus maju lagi untuk menyerang. Demikianlah di tanah kuburan yang sunyi di lereng pelantara gunung, berlangsunglah pertempuran dahsyat. Pertempuran antara dua jago silat sakti yang jarang terdapat di dunia persilatan.

Angin menderu-deru mengantar pertempuran itu. Mautpun telah mcngintai untuk mengangkut nyawa orang yang kalah.

Rupanya si Bungkuk itu amat penasaran sekali. Masakan orang yang memiliki kepandaian begitu sakti seperti dirinya, ternyata tak mampu untuk merubuhkan seorang pemuda yang tak terkenal. Penasaran itu segera ditumpahkannya dalam serangan yang sederas hujan mencurah.

Tetapi Siau Lo-seng saat itupun seperti orang yang kerangsokan setan. Tampaknya tenaga pemuda itu tak habis-habisnya dan jurus-jurus yang dilancarkan makin luar biasa anehnya. Betapa si Bungkuk menyerang dengan tenaga dahsyat dan jurus yang hebat, tetapi Siau Lo-seng selalu dapat melayani, menghindar lalu balas menyerang.

Saat itu tampaknya hanya kedua orang itu saja yang berada di tanah kuburan. Kawanan orang aneh tadi sudah tak tampak bayangannya.

Sambil bertempur, diam-diam Siau Lo-seng mencemaskan Hun-ing dan Bok-yong Kang. Mengapa kedua orang itu tak datang menyusulnya.

Karena pikirannya melayang, gerakannya pun agak lambat sehingga si Bungkuk berhasil mendesaknya mundur dua langkah.

Tiba-tiba si Bungkuk mengangkat tangan kanannya ke atas. Siau Lo-seng terkejut ketika melihat telapak tangan si Bungkuk itu berwarna merah darah.

“Apakah itu bukan pukulan Cu-sat-ciang yang sukar dipelajari?” diam-diam ia menimang.

Siau Lo-seng memiliki pengetahuan ilmu silat yang luas. Ia tahu bahwa Cu-sat-ciang atau pukulan Pasir merah itu sebuah pukulan yang amat beracun. Maka iapun segera mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerak si bungkuk.

05.24. Saudara Angkat Sang Ayah

Tiba-tiba tangan kanan si Bungkuk pun pelahan-lahan didorongkan ke muka. Melihat itu Siau Lo-seng pun tak berani berayal lagi. Ia mengatupkan kedua tangan ke dada, tangan kanan menjulur ke muka, dua buah jari tengah dan jari telunjuk segera menutuk ke muka.

Terdengar suara mendesis pelahan ketika pukulan beradu dengan jari.

Seketika berobahlah wajah si Bungkuk. Cepat-cepat ia loncat muncur. Sedang Siau Lo-seng tetap tegak berdiri ditempatnya.

Beberapa saat kemudian, kedengaran orang bungkuk itu berseru: “Engkau murid perguruan mana?” Siau Lo-seng tertawa dingin.

“Menilik kepandaian anda begitu hebat, tentulah anda ini bukan tokoh yang tak ternama,” sahut Siau Lo- seng.

“Hm,” dengus si Bungkuk, “walaupun engkau tak mau mengatakan tetapi akupun tahu bahwa ilmu jari yang engkau gunakan tadi berpuluh-puluh tahun dari dunia persilatan, disebut ilmu jari Han-sim-ci ”

Han-sim-ci artinya Jari hati dingin. Siau Lo-seng tersenyum.

“Kalau sudah tahu hebatnya ilmu jari itu, apakah engkau hendak mencobanya?” serunya.

Si Bungkuk meraung keras: “Apakah engkau kira lo-siu takut walaupun engkau mempunyai ilmu jari yang hebat itu?”

Karena orang bungkuk itu menyebut dirinya sebagai lo-siu maka Siau Lo-seng menduga kalau orang itu tentu seorang tua. Sekonyong-konyong dari arah belakang tanah kuburan, terdengar sebuah jeritan nyaring bernada ketakutan: “Engkoh Lo-seng……”

Seruan itu amat nyaring sekali dan terdengar jelas oleh Siau Lo-seng. Ia terkejut karena tahu bahwa suara itu adalah suara nona Hun-ing. Siau Lo-seng terkejut. Ia dapat menduga tentu Hun-ing dan Bok-yang Kang telah ditawan oleh kawanan manusia setan.

“Nona Ui……,” cepat ia berseru. Aneh, setelah berteriak satu kali tadi, Hun-ing tak kedengaran lagi. Saat itu hari sudah terang tanah tetapi tanah kuburan masih remang-remang tertutup kabut.

Dengan dua tiga kali loncatan, Siau Lo-seng pun sudah menuju ke tempat ketigabelas orang aneh tadi berkerumun, tetapi ternyata mereka sudah tak tampak bayangannya. Yang tampak hanyalah gunduk- gunduk makam.

Siau Lo-seng terkejut.

“Nona Ui....... Bokyong-te ,” ia berteriak sekeras-kerasnya. Namun sampai diulang beberapa kali tetap

tiada penyahutan kecuali angin pagi yang bertebaran menyiak rumput di sepanjang tanah kuburan.

Siau Lo-seng seorang pemuda yang cerdas tangkas. Tetapi menghadapi keadaan yang begitu mengherankan iapun terlongong-longong seperti kehilangan paham.

Aneh, benar-benar aneh. Baru sekejap mata teriakan Hun-ing melengking mengapa tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas. Apakah musuh dapat bergerak sedemikian cepatnya untuk membawa lari kedua orang itu.

Siau Lo-seng benar-benar seperti tenggelam dalam kabut teka teki aneh.

Segera ia gunakan ilmu lari cepat untuk menjelajah seluruh penjuru tanah kuburan itu, Dan hampir lima lie jauhnya ia menyusur tanah kuburan itu namun tetap tak melihat apa-apa.

Dari nada teriakannya tadi, Siau Lo-seng dapat menduga tentulah Hun-ing menderita kegoncangan hati yang hebat sehingga ia sampai berteriak minta pertolongan. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?

Adakah nona itu ditawan oleh anak buah si Bungkuk?

Tiba-tiba ia teringat akan si Bungkuk. Cepat ia berputar tubuh dan lari ke tempat orang itu. Tetapi, ah, ternyata orang bungkuk itupun sudah lenyap.

Siau Lo-seng makin bingung. Ia tegak terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat.

Entah berselang berapa lama, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menyebut doa, “Omitohud.”

Suaranya mengandung kekuatan gaib seperti genta pagi yang bertalu-talu membangkitkan hati insan untuk menunaikan ibadahnya.

Dan Siau Lo-seng pun terkejut. Ia berpaling ke belakang.

Tiga tombak di sebelah belakang, entah kapan munculnya, tiba-tiba tampak seorang paderi tua yang mengenakan jubah putih.

“Siapa engkau?” tegur Siau Lo-seng.

Sambil rangkapkan kedua tangan, paderi tua itu menjawab: “Lo-ni, Pek Wan dari gereja Siau-lim-si di gunung Ko-san.”

“Apa maksudmu datang kemari?” seru Siau Lo-seng pula.

Mendengar pertanyaan itu Pek Wan agak menyalangkan mata dan memandang pemuda itu dengan tajam.

“Lo-ni melihat sicu tegak mematung, tentulah karena sicu telah menderita sesuatu yang menggoncangkan hati. Orang yang berlatih silat, pantang untuk terlongong-longong kehilangan semangat. Maka Lo-ni memberanikan diri untuk menjagakan sicu,” kata paderi tua itu.

Siau Lo-seng mendesah: “Hai, kalau begitu lo-siansu hanya kebetulan lewat di sini.” Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang tak keruan arahnya itu, Pek Wan Taysu pun heran. “Omitohud,” serunya pelahan, “kalau Lo-ni tak salah lihat, sicu ini tentu seorang tokoh silat yang sakti. Maukah sicu memberitahukan nama sicu yang mulia?”

Siau Lo-seng menghela napas kecil, sahutnya: “Harap taysu jangan menanyakan hal itu.” Habis berkata Siau Lo-seng terus ayunkan kaki melangkah pergi.

“Sicu, harap tunggu sebentar. ,” teriak Pek Wan Taysu, “apakah sicu hendak mencari orang?”

Mendengar kata-kata itu, Siau Lo-seng cepat berputar tubuh dan melesat kehadapan paderi tua itu. “Bagaimana taysu tahu kalau aku sedang cari orang?”

Paderi tua itu terkejut melihat gerakan Siau Lo-seng yang sedemikian gesitnya, hanya dengan sekali loncat, pada jarak tiga tombak jauhnya, pemuda itu sudah berdiri dihadapannya.

Tetapi Pek Wan Taysu adalah seorang paderi tua yang berilmu. Walaupun terkejut namun ia tetap dapat berlaku tenang.

“Tadi di tengah jalan Lo-ni melihat seorang nona telah dibawa oleh orang. Maka Lo-ni duga tentulah sicu hendak mencari nona itu,” katanya.

“Taysu,” teriak Siau Lo-seng gopoh, “apakah engkau dapat melihat jelas wajah nona itu? Dan ke arah manakah mereka pergi?”

“Omitohud,” seru paderi tua itu, “kawanan durjana itu memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang hebat sekali. Dan lagi kabut pagi amat tebal sekali sehingga Lo-ni hanya dapat mendengar teriakan nona itu. Ketika Lo-ni hendak memburu, merekapun sudah lenyap.”

Pek Wan Taysu memandang Siau Lo-seng lalu mengajukan pertanyaan:

“Siapakah sicu ini dan siapakah nona yang dilarikan orang itu?” Siau Lo-seng menghela napas.

“Ah, kali ini celaka sekali. Aku orang she Siau nama Lo-seng. Nona yang dilarikan penjahat itu adalah ketua Naga Hijau dan masih ada seorang lagi, saudara angkatku.”

Mendengar itu berobahlah wajah Pek Wan Taysu: “Siau sicu, engkau mengatakan gadis yang ditawan itu ketua Naga Hijau, bagaimana mungkin hal itu terjadi?”

Memang beralasan juga kata-kata paderi Siau-lim-si itu. Naga Hijau memang sangat terkenal di dunia persilatan, bahkan namanya tersiar sampai ke empat penjuru lautan. Seorang ketua perkumpulan yang begitu termasyhur masakan semudah itu dapat ditawan orang?”

Memang Siau Lo-seng sendiri juga terkejut masakan anak muda yang memiliki kepandaian tinggi seperti Hun-ing dan Bok-yong Kang dapat ditawan orang. Dia hampir tak percaya hal itu.

Siau Lo-seng menghela napas.

“Jika taysu tak percaya, memang sukar untuk meyakinkan. Aku sendiri merasa telah kelepasan mengatakan suatu hal yang merugikan nama baik ketua Naga Hijau. Maaf, aku tak dapat memberi keterangan lagi kepada taysu dan silahkan taysu melanjutkan perjalanan.”

Habis berkata Siau Lo-seng berputar diri hendak pergi tetapi paderi Siau lim-si itu memburunya.

“Siau sauhiap, harap berhenti dulu. Aku turun gunung kali ini adalah karena mendapat perintah dari ciang- bun-jin (ketua) untuk menanyakan beberapa hal kepada Naga Hijau. Karena ketuanya telah ditawan orang, akupun tak dapat kembali ke Siau-lim-si memberi keterangan. Kalau sauhiap tak memandang rendah kepada Lo-ni, Lo-ni ingin menyertai sauhiap untuk mengejar jejak mereka.”

Siau Lo-seng tahu bahwa kecuali ada urusan penting, memang kaum paderi Siau-lim-si itu jarang sekali turun ke dunia persilatan. Mungkin karena pergolakan suasana dunia persilatan dewasa inilah yang menyebabkan pihak Siau-lim-si juga menaruh perhatian.

Siau-lim-pay termasuk salah sebuah partai persilatan besar dalam dunia persilatan Tiong-goan. Bahkan gereja itu dianggap sebagai pemimpin kaum persilatan. Pengaruhnya besar sekali. Apabila dapat menerima bantuan dari pihak Siau-lim-si tentu akan lebih berhasil untuk menghadapi pergolakan masa itu. Sejenak merenung Siau Lo-seng pun tersenyum katanya: “Atas kesediaan taysu itu, sudah tentu aku menyambut dengan amat gembira.”

Sejenak berhenti maka pemuda itu bertanya pula: “Taysu mengatakan hendak menanyakan suatu hal kepada Naga Hijau, entah hal apakah itu? Dapatkah taysu memberitahu kepadaku?”

Sepasang mata Pek Wan yang selalu setengah mengatup itu, tiba-tiba direntangkan lebar-lebar untuk menatap Siau Lo-seng.

“Apakah Siau sicu ini juga anggauta Naga Hijau?”

Siau Lo-seng gelengkan kepala: “Bukan, tetapi ketua Naga Hijau itu adalah sahabatku.” Pek Wan Taysu menghela napas.

“Lo-ni diperintahkan turun gunung untuk menyelidiki tentang sebuah rahasia yang menyangkut kepentingan dunia persilatan. Dan rahasia itu kuncinya terletak pada ketua Naga Hijau. Tolong tanya Siau sicu, apakah benar saat ini Naga Hijau sudah mempunyai kepala?”

Siau Lo-ceng kerutkan alis.

“Menurut kabar di dunia persilatan tentang peraturan yang berlaku pada perkumpulan Naga Hijau itu. Barang siapa yang memperoleh Cian-li-hiat-cian, dapat menjabat sebagai ketua perkumpulan itu. Seluruh anak buah Naga Hijau akan tunduk perintahnya.”

“Tetapi pusaka Cian-li-hiat-cian yang menjadi kekuasaan sebagai ketua Naga Hijau, tak mungkin orang luar dapat memperolehnya. Yang dapat merebut pusaka itu hanya ketuanya yang dulu. Setelah ketua itu dibunuh orang, pusaka Cian-li-hiat-cian pun ikut lenyap sampai sekarang,” kata paderi Pek Wan.

Mendengar itu diam-diam Siau Lo-seng terkejut.

“Apakah taysu memastikan bahwa yang membunuh ketua Naga Hijau yang dulu, adalah si pencuri pusaka itu atau sama dengan ketuanya yang sekarang ini?” seru Siau Lo-seng.

“Lo-ni tak berani mengatakan bahwa sahabat sicu atau ketua yang sekarang itulah pembunuhnya,” kata Pek Wan Taysu, “tetapi hanya dengan melalui jejak itulah baru dapat dilakukan penyelidikan ”

Paderi tua itu menghela napas pelahan lalu melanjutkan pula: “Ketua Naga Hijau yang terdahulu, adalah sahabat baik Lo-ni. Semasa hidupnya ia banyak melakukan tindakan-tindakan yang terpuji. Melerai setiap perselisihan kaum persilatan, menegakkan keadilan, membela kebenaran dan membasmi kaum durjana dunia persilatan. Sungguh tak terkira sebelum jasa-jasanya itu terbalas, dia telah dibunuh orang secara mengenaskan ”

Rupanya paderi tua itu tampak berduka ketika menuturkan tentang kisah hidup sahabatnya atau ketua Naga Hijau yang dulu.

Tergerak hati Siau Lo-seng, tanyanya: “Taysu siapakah namanya ketua Naga Hijau yang terdahulu itu?”

Dengan wajah menampil kerut kesedihan, paderi tua itu menjawab: “Dia adalah tokoh yang oleh dunia persilatan digelari sebagai Naga sakti tanpa bayangan namanya Siau Han-kwan ”

Mendengar itu Siau Lo-seng seperti mendengar halilintar meletus di siang hari.

“Hai, ternyata ayah itu ketua Naga Hijau lalu, ah! Sungguh tak kira, ke segenap penjuru dunia kucari jejak musuhku, ternyata tentang diri ayah aku sama sekali tak tahu……”

Sebenarnya hampir saja Siau Lo-seng hendak mengatakan bahwa Siau Han-kwan itu adalah ayahnya. Tetapi tiba-tiba ia mendapat lain pikiran. Lebih baik untuk sementara ia merahasiakan dulu siapa dirinya.

Adalah karena bersedih mengenangkan nasib sahabatnya itu maka Pek Wan Taysu tak sempat memperhatikan perobahan wajah Siau Lo-seng. Bahkan kemudian paderi Siau-lim-si itupun melanjutkan pula penuturannya.

“Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan, luar biasa dalam ilmu kepandaian dan kecerdasan. Dalam melakukan setiap pekerjaan dan tindakan, ia selalu tak memikirkan soal cari nama atau memburu keuntungan. Tetapi walaupun seluruh kaum persilatan mendengar akan nama Siau Han-kwan yang begitu cemerlang tetapi hanya sedikit sekali orang yaag tahu tentang riwayatnya. Kematiannya itu sungguh mengherankan Lo-ni. Lo-ni mempunyai dugaan pembunuhnya itu tentulah salah seorang sahabatnya karib atau orang yang paling tahu keadaan dirinya ”

Mendengar keterangan paderi Siau-lim-si itu diam-diam Siau Lo-seng menimang dalam hati: “Menilik ucapan paderi ini, pembunuh ayah tentulah paman Siau Mo sendiri. Ya, tentu dia……”

“Locianpwe,” tiba-tiba Siau Lo-seng berseru, “tahukah lo-cianpwe tentang diri Siau Mo?”

Mendengar itu serentak paderi Siau-lim itu membelalakkan mata dan menatap Siau Lo-seng, “Siau sicu, kenalkah engkau pada orang itu?”

Siau Lo-seng gelengkan kepala dan menghela napas: “Pernah kubertemu dengan dia satu kali tetapi di sudah meninggal.”

“Sicu ketemu padanya waktu dia masih muda atau setelah tua?” tanya Pek Wan Taysu gopoh. Dengan kata-kata itu Siau Lo-seng dapat menduga bahwa paderi tua itu tentu kenal pada Siau Mo.

“Mengapa ada yang muda dan yang tua? Apakah di dunia ini terdapat dua orang Pendekar Ular Emas Siau Mo?” tanyanya.

Pek Wan Taysu menengadah memandang ke langit biru dan menghela napas panjang lalu berkata seorang diri.

“Pendekar Ular Emas Siau Mo, ah, mengapa terdapat nama yang begitu tepat sekali……. ah, Siau sicu, benarkah Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah meninggal?”

“Benar,” sahut Siau Lo-seng, “dia memang sudah meninggal.”

Kembali Pek Wan Taysu mengingau seorang diri

“Bermula kukira dia adalah keturunannya...... tetapi itu tak mungkin Mayat yang berserakan di desa Hay-

hong-cung, darah yang membasahi tanah, tua muda besar kecil semua telah dijagal habis-habisan tak ada yang disisakan “

Mendengar itu merahlah mata Siau Lo-seng. Seolah-olah terbayanglah peristiwa seperti yang dilukiskan Pek Wan Taysu. Tubuhnyapun menggigil keras.

Tiba-tiba Pek Wan Taysu berpaling: “Hai, Siau sicu, mengapa engkau ini?”

Siau Lo-seng gelagapan dan buru-buru tenangkan ketegangan hatinya: “Ah, tak apa-apa taysu. Aku hanya teringat sebuah hal yang mengerikan. Mari taysu, kita lanjutkan perjalanan lagi.”

Habis berkata ia terus berputar tubuh. Pek Wan Taysu terpaksa mengikutinya. “Siau sicu, kemanakah kita hendak pergi?” tanya paderi tua itu.

“Kita menemui seseorang yalah Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho!” sahut Siau Lo-seng.

Ternyata Siau Lo-seng teringat akan kata-kata nona Hun-ing yang hendak mengajaknya menemui Nyo Jong-ho. Karena nona itu dan Bok-yong Kang telah diculik orang dan tak dapat diketahui jejaknya maka Siau Lo-seng memutuskan untuk mencari Nyo Jong-ho. Ia duga jago tua she Nyo itu tentu mempunyai hubungan dengan peristiwa itu.

“Dia dimana? Lo-ni memang hendak mencarinya?” seru Pek Wan Taysu.

Menunjuk pada sebuah hutan di ujung tanah kuburan, Siau Lo-seng berkata: “Dia berada di sana. Kalau terlambat, mungkin terjadi perobahan lagi.”

Sambil bicara keduanya berlari dengan ilmu lari cepat.

Waktu mengikuti di belakang Siau Lo-seng, diam-diam Pek Wan Taysu memperhatikan bahwa pemuda itu memiliki ilmu ginkang yang hebat sekali. Terkejutlah hati paderi tua itu, pikirnya: “Bilakah di dunia persilatan muncul seorang pemuda yang begini sakti kepandaiannya? Melihat ilmu ginkangnya, dia tak di bawah Lo-  ni ”

Pek Wan Taysu kerahkan tenaga untuk mempercepat larinya agar dapat menyusul di samping pemuda itu. 05.25. Siapa Pembunuh Nyo Jong-ho?

Dalam beberapa kejap saja, hutan itupun sudah tampak tak jauh di sebelah depan. Tetapi sekonyong- konyong terdengar suara kuda meringkik keras sekali.

Cepat kedua orang itu loncat berpencaran ke samping kanan dan kiri dan hentikan larinya.

Dari arah hutan keluarlah seekor kuda yang lari sekencang angin. Sedemikian pesatnya sehingga pada saat kedua orang itu menyiak ke samping, kuda itupun lari melintas di tengah mereka.

Siau Lo-seng menggembor keras lalu secepat kilat menyambar kendali kuda dan menghentikannya. Kuda terkejut, meringkik keras dan melonjak ke atas lalu tiba-tiba rubuh ke tanah.

Ternyata pada saat menyambar tali kendali, Siau Lo-seng pun menyerempaki dengan sebuah hantaman. Sesosok tubuh loncat melayang dari punggung kuda dan melayang setombak jauhnya ke tanah.

Melihat cara Siau Lo-seng menghantam rubuh kuda dan penunggang kuda itu dapat loncat menghindar dari kudany, Pek Wan Taysu terkejut.

“Tring ” secepat menginjak tanah, penunggang kuda itupun sudah mencabut pedang.

Ketika memandang dangan seksama siapa penunggang kuda itu, kejut Siau Lo-seng bukan kepalang. “Li Giok hou ”serunya dalam hati.

Penunggang kuda itu seorang pemuda yang berwajah putih, alis tebal bibir merah. Siapa lagi kalau bukan Li Giok-hou, murid pertama dari Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho

Juga Giok-hou tak kurang kagetnya demi melihat seorang pemuda cakap bersama Pek Wan Taysu. Dipandangnya pemuda itu lekat-lekat.

Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bukan lagi Siau Mo si Pendekar Ular Emas. Ia sudah menanggalkan kedok kulit muka dari wajah Siau Mo. Tetapi samar-samar Giok-hou seperti pernah melihat wajah pemuda itu, tetapi ia lupa entah dimana.

Tiba-tiba Siau Lo-seng memberi hormat.

“Maaf, mengapa saudara tampaknya begitu tergopoh-gopoh sekali? Maaf pula karena aku telah kesalahan menghantam kuda saudara,” serunya.

Giok-hou terkesiap. Sambil menuding Siau Lo-seng dengan ujung pedang, ia membentak: “Siapa engkau? Mengapa engkau berani bertindak begitu liar?”

Pada waktu menuding, Giok-hou kerahkan tenaga dalam sehingga pedang itu bergetar dan mendesis-desis suaranya.

Pek Wan Taysu terkejut atas kesaktian tenaga dalam anak muda itu. Pikirnya: “Mengapa dewasa ini di dunia persilatan telah muncul dua jago muda yang begitu sakti?

Pemuda penunggang kuda yang berbaju kuning, Li Giok-hou telah mengunjukkan kesaktiannya menggetarkan batang pedangnya. Jelas yang dipertunjukkan anak muda itu tentu ilmu pedang tataran tinggi. Itulah yang disebut dasar-dasar ilmu pedang Ning-kiam-jut-gi atau menyalurkan hawa murni dalam tubuh ke arah pedang.

Siau Lo-seng juga terkejut melihat kelihayan Li Giok-hou, pikirnya: “Dengan dapat menggetarkan batang pedang sehingga mengeluarkan suara mendesis-desis itu, jelas dia telah memiliki tenaga dalam yang tinggi dan lebih meningkat dari beberapa waktu yang lalu. Apakah dahulu dia memang hendak menyembunyikan kepandaiannya……?

Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia berpaling memandang Pek Wan Taysu, serunya: “Taysu, silahkan meninjau ke dalam.”

Rupanya Pek Wan Taysu dapat menangkap arti kata-kata Siau Lo-seng, iapun menyahut: “Baiklah, Lo-ni akan ke sana dan cepat kembali.”

Paderi Siau-lim-si itu terus hendak melewati sisi Gok-hou. Tetapi pemuda itu tertawa dingin dan membentak: “Berhenti!” Pedang berkiblat dan ujungnya pun mengarah ke dada Pek Wan.

Pek Wan Taysu merupakan paderi Siau-lim-si yang tinggi tingkatnya. Sudah tentu tak begitu mudah untuk melukainya. Ia kebutkan lengan jubahnya dan melesat ke samping setengah meter.

“Harap jangan menyerang dulu,” seru Siau Lo-seng seraya maju menamparkan tangannya untuk menggagalkan serangan kedua yang hendak dilancarkan Giok-hou.

Giok-hou terkejut. Ringan saja tampaknya pemuda itu menamparkan tangannya tetapi ternyata tenaga yang dihamburkan amatlah dahsyatnya. Dia terpaksa menyurut mundur setengah langkah. Lintangkan pedang dan berdiri tegak. Lalu tertawa dingin.

“Ho, karena mengandalkan kepandaian sakti maka saudara berani bertindak liar. Siapa engkau? Rasanya kita pernah bertemu!” serunya.

Siau Lo-seng tertawa.

“Ah, saudara salah lihat,” sahutnya, “kita belum pernah bertemu dan tak kenal mengenal!”

“Katamu tak kenal mengapa engkau berani memukul kudaku dan menghadang jalanku!” Giok-hou makin marah.

Siau Lo-seng tertawa meloroh.

“Gerak gerik saudara mencurigakan dan tampak gopoh sekali. Entah apakah yang hendak saudara kerjakan?” tanyanya.

Dalam pada bertanya itu diam-diam Siau Lo-seng teringat akan keterangan Hui-ing bahwa Nyo Jong-ho berada dalam rumah pondok di tengah hutan. Tetapi mengapa dalam pondok itu tak kedengaran suara apa- apa?

Saat itu Li Giok-hou berdiri di tengah jalan kecil yang membelah ke dalam hutan. Apabila Pek Wan Taysu hendak melangkah ke sana tentu harus melalui hadangan Giok-hou.

Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang dianggap kurang ajar, meluaplah hawa pembunuhan pada dahi Li Giok-hou.

“Kata-katamu itu terlalu keliwat batas hendak memaksa orang. Hm, jangan  keliwat menghina aku ” habis

berkata Giok-hou terus taburkan pedangnya dan menyerang Siau Lo-seng sampai tiga jurus. Siau Lo-seng hanya tertawa meloroh sambil berlincahan menghindar.

Penasaran sekali Giok-hou karena ketiga jurus serangannya yang dahsyat dan cepat itu tak mampu melukai orang.

“Apabila tak mampu melukainya, paling tidak dia harus dapat kuhalau mundur. Kalau tidak, ah ”

Tetapi Siau Lo-seng tidak mundur, kebalikannya malah maju setengah langkah untuk menyambar siku lengan kanan Giok-hou.

Giok-hou terkejut sekali dan terpaksa menarik pulang pedang untuk mundur selangkah. “Siapa engkau ini? Apa perlumu datang kemari?” bentaknya.

Siau Lo-seng tetap tersenyum. “Kami hendak mencari Pena Penunjuk Langit Njo Jong-ho atau Nyo bengcu.”

Giok-hou berobah wajahnya lalu tertawa dingin: “Kalau begitu kalian ini orang Lembah Kumandang.”

Pek Wan Taysu tertawa, menyebut doa Omitohud: “Lo-ni adalah Pek Wan dari ruang Tat-mo-tong gereja Siau-lim-si.

Mendengar keterangan itu terkejutlah Giok-hou, pikirnya: “Ah, tak kira kalau paderi tua ini salah seorang dari empat paderi sakti Siau-lim-si ”

Serentak berobahlah wajah Giok-hou menjadi ramah. Ia tertawa: “Ah, sudah lama kudengar nama taysu yang termasyhur. Kiranya taysu ini salah seorang dan Empat Paderi Sakti Siau-lim-si. Maaf, Pedang berbisa Pembasmi Iblis Li Giok-hou tak mempunyai mata.” Mendengar nama Giok-hou, Pek Wan Taysu pun terkesiap, pikirnya: “Ah, tak kira kalau pemuda ini jago muda yang harum namanya dalam dunia persilatan. Ya, putera angkat dari Nyo Jong-ho.

Tiba-tiba pula Giok-hou menghela napas.

“Pek Wan Taysu,” katanya, “kalian telah datang terlambat. Gi-hu Nyo Jong-ho telah dibunuh orang dan jenazahnya diletakkan di dalam rumah pondok  itu……  beliau......  beliau  mati  secara  mengenaskan  sekali ”

Beberapa butir airmata menitik dari pelupuk anak muda itu.

“Apa?” teriak Pek Wan Taysu terkejut, “Nyo lo-enghiong sudah binasa?”

Dengan berlinang-linang Li Giok-hou menyahut: “Kalau tak percaya silahkan taysu masuk ke dalam hutan.”

Mendengar itu Siau Lo-seng kerutkan sepasang alis. Dia memang menguatirkan hal ini akan terjadi. Dan ternyata memang benar, Nyo Jong-ho telah dibunuh orang.

Tanpa bicara apa-apa, paderi Siau-lim-si itu teruskan masuk ke dalam hutan.

Siau Lo-seng menatap wajah Giok-hou, serunya: “Li Giok-hou, harap engkau tunggu di sini sebentar.”

“Siapa engkau,” bentak Giok-hou, “apakah engkau hendak menuduh aku sebagai pembunuh ayah angkatku sendiri?”

Siau Lo-seng menyahut dingin: “Engkau adalah putera angkatnya, Nyo bengcu dibunuh orang, seharusnya engkau berdaya untuk membalas sakit hati……”

“Untuk mencari jejak si pembunuh, harus melakukan pemeriksaan dan mencari bukti. Itulah sebabnya kutahan saudara Li agar dapat memberi keterangan yang jelas. Sama sekali aku tak menuduh saudara yang membunuhnya,” sambung Siau Lo-seng.

Dalam pada berkata itu tampak Pek Wan Taysu keluar dari dalam hutan dengan langkah gopoh. “Locianpwe, benarkah Nyo Jong-ho sudah meninggal?” seru Siau Lo-seng.

Pek Wan Taysu gelengkan kepala.

“Dalam pondok terdapat tiga sosok mayat. Dua orang tua dan seorang lelaki gagah. Sedang di luar pondok banyak terdapat kepala manusia. Tetapi Lo-ni tak kenal Nyo lo-enghiong, harap sicu ke sana menelitinya.”

Siau Lo-seng segera menuju ke dalam hutan. Lebih kurang sepuluhan tombak, di tengah hutan itu terdapat sebuah tanah lapang seluas belasan tombak dan tiga buah rumah pondok.

Di halaman rumput muka rumah pondok itu penuh berceceran darah dan tujuh-delapan sosok mayat yang sudah tak keruan keadaannya. Ada yang putus lengannya, kutung kakinya dan hilang kepalanya.

Siau Lo-seng cepat dapat mengenali mayat-mayat itu sebagai anak buah Naga Hijau.

Segera ia menuju ke rumah pondok yang di tengah. Di ambang pintu rebah mayat seorang lelaki yang dari corak pakaiannya jelas bukan anak buah Naga Hijau.

Pada dinding pondok di kanan kiri mayat orang itu tegak dua orang tua yang dadanya masing-masing terpaku oleh pedang Ular Emas. Kedua orang tua itu sudah tak bernyawa.

Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia segera mengenali kedua orang tua itu, yang satu yalah ketua Thay-kek-bun Han Ceng-jiang dan yang satu bukan lain Nyo Jong-ho sendiri!

Cepat Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas yang menancap pada dada Nyo Jong-ho terus bergegas keluar dan melintas hutan.

Pek Wan Taysu dan Li Giok-hou masih berada di situ.

“Saudara Li,” kata Siau Lo-seng, “Pembunuhan dilakukan dengan Pedang Ular Emas ini?”

Dengan kurang senang Giok-hou menyahut: “Pedang Ular Emas telah membunuh Tiga Jago Kang-lam dan membunuh ayah angkatku. Pembunuhnya Siau Mo, adalah musuhku besar. Aku tak mau hidup bersama  dia dalam satu kolong langit!”

“Apa?” Pek Wan Taysu terkejut, “apakah pedang itu milik Pendekar Ular Emas Siau Mo?” Habis berkata paderi Siau-lim-si itu berpaling dan memandang lekat pada Siau Lo-seng. Bukankah tadi Siau Lo-seng mengatakan bahwa Siau Mo itu sudah meninggal. Lalu dari manakah Pedang Ular Emas itu?

Siau Lo-seng menengadah memandang ke langit. Pikirannya melayang-layang: “Mengapa pedang Ular Emas ini sama dengan pedang Ular Emas yang kupakai dahulu? Aku bersumpah kepada Thian bahwa  pembunuhan ini bukan aku yang melakukan. Tetapi siapakah pembunuhnya itu? Mengapa menggunakan Pedang Ular Emas ini untuk memfitnah aku sebagai pembunuh?”

Ia menghela napas panjang.

“Saudara Li,” katanya, “pembunuhnya jelas bukan Siau Mo. Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah mati.”

Tiba-tiba sepasang mata Giok-hou membelalak lebar dan dengan penuh dendam kemarahan ia berseru: “Bagaimana Siau Mo itu mati? Hm, siapakah engkau?”

“Saudara Li,” kata Siau Lo-seng, “untuk sementara ini janganlah engkau menanyakan tentang diriku. Aku masih ingin bertanya sebuah hal kepadamu. Kapankah saudara datang kemari? Dan bagaimana saudara tahu kalau ayah angkat saudara itu berada di sini?”

Giok-hou deliki mata: “Engkau ini memang mencurigakan. Kalau engkau tak mau mengatakan siapa dirimu, terang engkau ini ”

“Tutup mulutmu!” bentak Siau Lo-seng dengan geram.

Namun Giok-hou tetap tertawa nyaring, serunya: “Kalau engkau tak mau menyebut namamu, pedangku ini takkan melepaskan engkau pergi!”

Siau Lo-seng kerutkan kedua alis dan menjawab dingin: “Kalau engkau percaya pedangmu itu dapat membunuh aku, silahkan saja!”

Melihat itu buru-buru Pek Wan Taysu melerai. “Harap sicu berdua jangan bertengkar. Kalau ada persoalan silahkan bicara dengan tenang. Li sauhiap sicu ini adalah......

Belum paderi tua itu hendak menyebutkan nama Siau Lo-seng, tiba-tiba telinganya terngiang kata yang disusupkan dengan ilmu Menyusup suara oleh Siau Lo-seng: “Locianpwe, harap jangan mengatakan namaku kepadanya.”

Memang Pek Wan Taysu sudah menduga bahwa Siau Lo-seng itu tentu seorang anak muda yang berdarah panas dan suka menurutkan tabiat anak muda. Dia tentu tak mau unjuk kelemahan kepada Giok-hou dengan berkeras tak mau menyebut namanya. Terpaksa paderi Siau-lim-si itupun hentikan kata-katanya.

Giok-hou memperhatikan bahwa bibir Siau Lo-seng telah bergerak-gerak tetapi tak mengeluarkan suara apa. Tahulah ia bahwa pemuda itu tentu menggunakan ilmu Menyusup suara kepada Pek Wan Taysu.

Giok-hou tertawa dingin, serunya: “Taysu, apabila tak mau menyingkir, maaf, aku hendak menyerang.” Saat itu Giok-hou sudah julurkan pedang ke muka dada dan siap hendak menyerang.

Tiba-tiba Siau Lo-seng melangkah maju ke hadapan Giok-hou. “Li Giok-hou, silahkan menyerang!” serunya.

Li Giok-hou getarkan pedang, terus membabat. Tetapi Siau Lo-seng tenang-tenang saja. Setelah pedang hampir mengenai tubuh, tiba-tiba ia menggeliat ke samping dan menendang siku lengan Giok-hou.

Giok-hou pun endapkan lengannya ke bawah menghindari tendangan dan menarik pedang lalu serentak ditusukkan ketiga buah jalan darah maut di tubuh Siau Lo-seng.

Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menggunakan jurus Menengadah memandang wajah, menyerempaki sinar pedang untuk meliukkan tubuh rebah ke belakang.

Tetapi Giok-hou tak mau memberi kesempatan lagi. Tiba-tiba ia merobah pedangnya dalam jurus Kim-ciam- ting-hay atau Jarum emas menyusup laut. Ujung pedang secepat kilat ditusukkan ke bawah.

Dalam pada rebah ke tanah tadi, dengan cepat Siau Lo-seng sudah bergelindingan memutar ke belakang Gok-hou, melenting bangun dan menampar belakang pemuda itu.

“Giok-hou, dari mana engkau mempelajari jurus permainan pedang itu?” bentak Siau Lo-seng dengan keras, sehingga suaranya hampir memecahkan anak telinga Giok-hou. “Dari mana aku belajar, apa pedulimu? “sahut Giok-hou dengan tertawa mengejek.

Pedang ditaburkan dan bagai hujan mencurah berhamburan ke tubuh Siau Lo-seng. Sekali gus Giok-hou telah menaburkan tiga jurus serangan.

Sepintas pandang pedang Giok-hou itu mirip dengan sinar bianglala yang mencurah di angkasa.

Melihat permainan pedang yang sehebat itu terkejutlah Pek Wan Taysu, serunya gopoh: “Li sauhiap, harap berlaku murah ”

Belum habis paderi Siau-lim itu berkata tiba-tiba terdengarlah suara orang mengerang tertahan……
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar