Pendekar 100 Hari Jilid 04

04.16. Raja Langit Selatan

Bok-yong Kang terkejut.

“Toako, apa maksud toako?” tanyanya. “Orang-orang Naga Hijau itu tak seorang pun yang datang kemari,” kata Siau Mo, “orang-orang tadi jelas anak buah Wanita Suara Iblis semua. Ia menggunakan siasat itu untuk menimbulkan kesangsian orang agar mundur teratur.”

“O, mengapa?” tanya Bok-yong Kang makin tak mengerti.

“Mari,” seru Siau Mo,” kita terlambat selangkah lagi dari Wanita Suara Iblis itu. Dia tentu hendak mengantarkan Nyo Jong-ho dan rombongannya kembali ke Lok-yang lagi.”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang bernada seram. “Siau Mo, jangan lari!”

Dari taman bunga yang luas itu muncul seorang lelaki berpakaian hitam dengan diiringi oleh delapanbelas pengawal bersenjata.

Bok-yong Kang segera mengenali bahwa pengawal-pengawal itu yalah penjaga-penjaga yang  berada dalam gedung tadi.

Siau Mo tak gentar. Ia menghadapi si Baju Hitam dan menegurnya dengan dingin: “Apakah kedudukanmu dalam kalangan anak buah Wanita Suara Iblis?”

Wajah lelaki baju hitam yang sehitam pantat kuali itu, sedikitpun tak menampilkan perobahan cahaya.

“Hm, engkau mau tahu?” serunya. “karena toh malam ini engkau takkan lolos dari sini, aku pun tak keberatan untuk memberitahu. Aku dan kedelapanbelas pengawal ini adalah pengawal pribadi dari Wanita Suara Iblis.”

Siau Mo mengangguk.

“Bagus, dengan begitu engkaupun tentu dapat memberi keterangan, apa tujuan majikanmu itu menangkap Nyo Jong-ho dan rombongannya?”

“Tiga pusaka dunia persilatan,” sahut si Baju Hitam.

Tiba-tiba pada saat itu Siau Mo mengetahui suatu hal yang ada sangkut pautnya dengan dendam kematian keluarganya. Segera ia tersenyum. Senyum yang selama ini tak pernah merekah pada bibirnya.

“Sebenarnya aku hendak membasmi kalian kesembilan belas orang ini. Tetapi sekarang kurobah putusanku. Kalian akan kubiarkan hidup semua.”

Baju Hitam tertawa mengekeh: “Heh, heh, pemimpinku Wanita Suara Iblis memang agak jeri kepadamu. Tetapi kurasa, kepandaianmu itu biasa saja!”

Siau Mo tersenyum: “Memang tak kecewa engkau menjadi anak buah Wanita Suara Iblis. Engkau seorang yang cerdas dan kaya akan tipu muslihat. Sayang aku tak kena engkau kelabuhi. Bokyong-te, mari kita pergi.”

Tiba-tiba si Baju Hitam tertawa seram lalu hendak menyergap Bok-yong Kang. Tetapi Siau Mo segera menampar dadanya dengan jurus Kim-pa-lok-jiau atau Macan kumbang mengulur cengkeram.

Jurus itu memang sebuah jurus biasa. Tetapi dimainkan oleh Siau Mo, jurus itu berobah lain. Memiliki perbawa dan tenaga yang dahsyat.

Dalam pada itu, Bok-yong Kang pun segera berputar tubuh dan terus melesat keluar. Tetapi kedelapanbelas pengawal itu segera menyerbunya.

“Bokyong-te, menuju Lok-yang, aku menyusul belakang,” teriak Siau Mo seraya menerjang kedelapanbelas pengawal itu. Laksana hujan mencurah, ia menghajar serangan kepada mereka. Dalam sekejap saja, delapan buah pukulan telah dilancarkan.

Segera terdengar suara orang mengerang tertahan dan segera tujuh orang rubuh ke tanah.

Terdengar sebuah suitan nyaring yang menembus udara dan bagaikan angin puyuh, tubuh Siau Mo pun berputar-putar meluncur keluar.

Melihat Siau Mo keluar, tiba-tiba wajah si Baju Hitam itu berseri girang.

Sesaat kemudian terdengar suara lengking seorang wanita dari dalam gedung: “Hui Sin, siasatmu memang hebat sekali. Tetapi ketahuilah bahwa Siau Mo itu bukan hanya sakti dalam  ilmu silat saja, pun dia seorang pemuda yang cerdas dan pandai memperhitungkan sesuatu. Dikuatirkan siasatmu 'memancing harimau tinggalkan sarang' ini, sukar untuk mengelabuhinya ”

Hui Sin, demikian nama si Baju Hitam itu, tiba-tiba membentak keras: “Hai, kalian kedelapanbelas  pengawal! Lekas kalian menjaga sekeliling gedung ini dengan ketat. Apabila melihat seseorang yang mencurigakan, lekas kalian memberi laporan ”

Habis berkata dia terus berputar tubuh memandang ke muka.

Diambang pintu yang jaraknya beberapa tombak di sebelah muka, tampak berdiri seorang berpakaian hitam. Melihat itu Hui Sin pun segera memberi hormat.

“Hui Sin mendapat perintah dari Raja Langit Selatan untuk menyambut kedatangan Mo-seng-li (Wanita Suara Iblis) di sini. Apabila agak terlambat dalam penyambutan ini, mohon Mo-seng-li suka memberi maaf.”

“Apakah Raja Langit Selatan membawa titah dari Pah-cu?” tanya orang berpakaian hitam yang bukan lain adalah Mo-seng-li sendiri.

“Benar,” sahut Hui Sin, “Pah-cu telah menyerahkan titah kepada Raja Langit Selatan.” “Kapankah Raja Langit Selatan akan datang?” tanya Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis.

“Karena menjabat kedudukan penting dari Pah-cu, maka Raja Langit Selatan itu ditimbuni dengan kesibukan-kesibukan. Mungkin agak terlambat datangnya, harap Mo-seng-li suka memaafkan.”

“Raja Langit Selatan adalah salah seorang dari keempat Raja langit yang tinggi kedudukannya. Bagaimana aku Mo-seng-li berani menyesalinya? Baiklah, apabila Raja Langit Selatan datang, segeralah engkau beritahu kepadaku.”

Habis berkata Mo-seng-li terus melangkah masuk ke dalam ruangan.

Hui Sin si Baju Hitam itu tersipu-sipu memberi hormat ke arah Mo-seng-li. Setelah itu ia terus loncat ke atas wuwungan gedung lalu melesat ke muka dan lenyap dalam kegelapan…..

********************

Di balik rumpun pohon bunga dalam taman bunga di halaman luas dari bagian belakang gedung itu, bersembunyilah sesosok tubuh. Ah, siapa lagi orang itu kalau bukan Pendekar Ular Emas Siau Mo.

Siau Mo melambaikan tangan dan sesosok tubuhpun segera melesat datang.

Ternyata Siau Mo itu memang bukan kepalang pintarnya. Sebenarnya ia masih belum pasti apakah Mo- seng-li berada dalam gedung itu atau tidak. Karena itu maka ia mengatur siasat. Ia akan menurutkan perangkap yang dipasang lawannya.

Pada saat si baju hitam dan kedelapanbelas pengawal muncul menghadang, segera Siau Mo yang tajam perasaannya, mendapat kesimpulan bahwa Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis itu, memang berada dalam gedung itu.

Tetapi rencananya untuk menyergap Wanita Suara Iblis gagal akibat Bok-yong Kang yang disuruhnya ikut masuk bersama si Baju Hitam Hui Sin telah diketahui rahasia dirinya. Terpaksa ia menolong Bok-yong Kang dan mencari lain siasat lagi.

Di depan Hui Sin dan rombongan pengawalnya, sengaja Siau Mo mengajak Bok-yong Kang menuju ke Lok- yang karena Mo-seng-li tentu sudah kembali ke kota itu lagi.

Tetapi diam-diam Siau Mo telah menggunakan ilmu menyusup suara, membisiki Bok-yong Kang, suruh pemuda itu membiluk ke belakang gedung.

Dengan siasat itu, Siau Mo telah menyesatkan perhatian orang. Musuh tentu mengira kalau ia bersama Bok-yong Kang tentu benar-benar menuju ke Lok-yang. Pada hal kedua pemuda itu mengitar dan bersembunyi di belakang taman bunga. “Toako,” bisik Bok-yong Kang setelah berada di samping Siau Mo, “sebenarnya mereka itu golongan kaum persilatan apa? Mengapa mereka mempunyai sebutan nama yang aneh-aneh, seperti Pah-cu, Raja langit, Wanita Suara Iblis segala macam yang menyeramkan begitu?”

“Dengan menggunakan nama-nama seaneh itu mereka memang hendak mengaburkan telinga orang dan meruntuhkan nyali orang saja,” sahut Siau Mo.

“Yang membuat orang terkejut,” kata Bok-yong Kang, “ternyata Wanita Suara Iblis itu bukan otak dari gerombolan mereka.”

“Tetapi toh wanita itu sudah sedemikian lihaynya,” tukas Siau Mo.

“Lalu apakah yang mereka sebut-sebut Tiga Pusaka dunia persilatan itu?” tanya Bok-yong Kang pula. Sekonyong-konyong Siau Mo ulurkan tangan menjamah lengan Bok-yong Kang.

Bok-yong Kang pun segera tutup mulut lalu memandang ke muka. Dari atas wuwungan rumah, melayang sesosok tubuh berpakaian hitam. Sejenak memandang ke sekeliling taman bunga dari halaman, bayangan hitam itu atau Hui Sin segera melesat pergi lagi.

Siau Mo gunakan ilmu Menyusup suara kepada Bok-yong Kang: “Si Baju Hitam Hui Sin itu hebat kepandaiannya dan juga cermat sekali. Untuk sementara ini janganlah kita banyak bicara. Lain hari tentu akan kuberimu pelajaran tentang ilmu Menyusup suara ini agar kita dapat bicara tanpa didengar orang.”

Bok-yong Kang menurut. Kini ia keliarkan pandang matanya mengamati keadaan sekeliling tempat itu.

Taman bunga itu luasnya hampir setengah bahu. Selain penuh ditanami pohon-pohon bunga, pun juga diberi segunduk gunung buatan. Di bawah gunung buatan, terdapat sebuah empang air seluas satu tombak. Walaupun tak berapa luas tetapi taman bunga itu memiliki pemandangan yang indah.

Empat keliling taman itu didirikan ruangan-ruangan dan kamar-kamar yang kesemuanya menghadap ke arah taman bunga.

Diam-diam Bok-yong Kang memuji Siau Mo yang telah memilih tempat persembunyian di balik gerumbul pohon bunga. Karena dari situ dapat melihat ke seluruh ruang dan kamar, sedang mereka tak dapat melihat tempat persembunyiannya.

Suasana makin senyap. Malam pun makin kelam. Hampir dua jam lamanya Siau Mo dan Bok-yong Kang bersembunyi di situ. Dan sudah empat kali si baju hitam Hui Sin datang meronda ke taman bunga itu.

Tiba-tiba salah sebuah ruang kamar, menyala terang. Seorang wanita duduk membelakangi jendela kamar. Rupanya dia tengah merenung.

Siau Mo dan Bok-yong Kang cepat menarik kesimpulan bahwa wanita itu tentulah Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis.

Wanita Suara Iblis!

Seorang wanita yang misterius sekali dan teramat ganas. Bagaimana sesungguhnya wajah wanita itu? Siau Mo dan Bok-yong Kang ingin sekali dapat melihat wajah wanita itu.

Saat itu Wanita Suara Iblis tengah duduk dengan rambut terlepas ke atas bahu. Dihempas angin malam, rambutnya yang panjang itu bertebaran memain dibahunya.

Menilik potongan tubuh belakangnya, tentulah ia seorang jelita yang cantik sekali.

Pada saat Bok-yong Kang termangu-mangu memandang wanita itu, tiba-tiba Siau Mo berseru kaget: “Celaka! Mungkin dia sudah mengetahui jejak kita ”

Siau Mo tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu tiba-tiba si wanita loncat keluar jendela. Memandang ke langit yang bertabur bintang, ia menghela napas panjang lalu dengan langkah yang gemulai pelahan-lahan menghampiri ke tempat persembunyian Siau Mo dan Bok-yong Kang.

Tiba-tiba setiup angin menghambur dan si baju hitam Hui Sin muncul lagi. “Jam berapakah ini?” tanya Wanita Suara Iblis dengan nada dingin.

“Kurang lebih jam dua,” sahut Hui Sin dengan suara menghormat, “Raja Langit Selatan sudah tiba.” Tepat pada saat itu dari arah halaman terdengar derap orang berjalan mendatangi.

Wanita Suara Iblis cepat menyanggul rambutnya lagi. Lalu berkata: “Silahkan Raja Langit Selatan itu ke pagoda peranginan!”

Habis berkata Wanita Suara Iblis pun menuju ke arah rumah berbentuk segitiga yang berada di atas gunung buatan.

“Ah, hampir saja…..,” Bok-yong Kang menghela napas longgar.

Derap langkah orang yang akan datang itu makin lama makin dekat dan pada lain saat,  muncullah beberapa sosok bayangan di halaman itu.

Ketika lepaskan pandang matanya kepada mereka, seketika berobahlah wajah Siau Mo. Yang muncul di halaman enam orang. Yang seorang yalah si baju hitam Hui Sin, lalu dua orang lelaki tinggi besar berpakaian biru. Di belakangnya dua orang lagi, yang seorang wanita dan seorang pria. Kedua orang itu bukan lain yalah Buddha seribu tangan Leng Bu-sia tokoh nomor dua dari Go-bi-pay. Dan wanita itu yalah Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji tokoh ketiga dari Go-bi Sam-hiap.

Yang paling belakang sendiri, seorang tua bertubuh pendek gemuk dan berpakaian warna kelabu.

Demi melihat rombongan itu, Wanita Suara Iblis pun segera keluar dari pagoda peranginan untuk menyambutnya,

“Ah, selamat datang Raja Langit Selatan,” seru Wanita Suara Iblis, “sudah tiga tahun kita tak bertemu.” Orang tua gemuk pendek yang berada paling belakang segera berseru dengan nada suara yang parau: “Mo-seng-li, ah, jangan banyak peradatan.”

Wanita Suara Iblis mempersilahkan tetamunya masuk ke pagoda peranginan. Setelah orang tua baju kelabu itu duduk, barulah ia mengambil tempat duduk di depannya.

Si baju hitam Hui Sin dan kedua lelaki baju biru serta Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji tegak berjajar di samping.

Bok-yong Kang pun melihat juga akan kedua tokoh dari Go-bi Sam-hiap itu. Diam-diam ia terkejut karena tak mengira bahwa mereka ternyata anak buah dari Raja Langit Selatan. Suatu hal yang tak  mungkin ia mau percaya apabila tak melihat sendiri.

Memandang sejenak ke arah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji, berkatalah Wanita Suara Iblis: “Kalau dugaanku tak salah, kedua orang itu tentulah tokoh dari Go-bi Sam-hiap, Buddha seribu tangan dan Bintang meluncur lengan terbang.”

Orang tua batu kelabu itu tertawa menyeringai: “Ah, masakan pengalaman anda yang begitu luas tak kenal pada Go-bi Sam-hiap.”

“Nama Go-bi Sam-hiap termasyhur sekali di dunia persilatan selama empatpuluhan tahun. Mereka benar- benar bukan tokoh sembarang tokoh. Dengan mempunyai dua orang pembantu sehebat itu, ditambah pula dengan kesaktian Raja Langit Selatan sendiri, tentu hebat sekali. Musuh yang bagaimana saktinya tentu dapat di atasi,” kata Wanita Suara Iblis.

Orang tua baju kelabu atau Raja Langit Selatan tertawa. Menunjuk pada kedua lelaki baju biru serta Hui Sin, ia berkata: “Mereka bertiga mana ada seorangpun yang bukan jago kelas satu, ha, ha, ha……”

Karena nadanya parau maka suara tertawa itu tak sedap didengar.

Setelah menunggu sampai orang tua itu selesai tertawa, barulah Wanita Suara Iblis menghela napas rawan.

“Raja Langit Selatan,” serunya, “Go-bi Sam-hiap itu merupakan salah sebuah pimpinan partai dari sembilan partai persilatan besar dalam dunia persilatan. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang terpuji dalam golongan Putih. Apabila diketahui bahwa mereka telah kita celakai, bukan saja partai Go-bi-pay, pun sembilan partai besar dalam dunia persilatan itu pasti akan bangkit untuk melawan kita. Dengan demikian kita pasti tak punya kawan lagi.”

Mendengar itu tersadarlah Siau Mo dan Bok-yong Kang. Kiranya kedua tokoh Go-bi Sam-hiap itu bukan sungguh-sungguh menjadi anak buah mereka melainkan karena dicelakai, kemungkinan telah dibius kesadaran pikirannya. Ya, memang Go-bi Sam-hiap tak mungkin akan menghambakan diri kepada golongan Hitam macam gerombolan Raja Langit Selatan.

Memperhatikan keadaan kedua tokoh Go-bi itu, Bok-yong Kang mendapat kesan bahwa kedua orang itu memang seperti orang linglung yang kehilangan kesadarannya.

Lalu kemanakah gerangan ketua Go-bi-pay si Pedang penghancur usus Ong Han- thian? Mendengar keterangan Wanita Suara Iblis itu, tiba-tiba berobahlah seri wajah Raja Langit Selatan.

“Pah-cu sudah menitahkan dan memberi kekuasaan kepada keempat Raja langit untuk membereskan partai-partai persilatan. Kalau aku memulai dengan menyergap tokoh-tokoh Go-bi, apakah aku bersalah?”

“Aku tak mengatakan kalau Raja Langit Selatan bersalah,” kata Mo-seng-li, “melainkan merasa bahwa tindakan itu agak kurang tepat. Pah-cu telah mengutus aku mencari Tiga Pusaka dunia persilatan, tetapi tugas itu sebenarnya mengandung perintah untuk menyelidiki keadaan dunia persilatan ”

Raja Langit Selatan tertawa dingin.

“Pah-cu sudah tak sabar menunggu laporanmu maka memerintahkan aku untuk bergerak.”

“Penyelidikan yang dilakukan serba terburu-buru, mungkin akan memberi akibat besar,“ sahut Mo-seng-li, “bahkan mungkin akan menggagalkan rencana.”

Raja Langit Selatan membentak: “Nyalimu makin lama makin besar sehingga engkau berani mengeritik tindakan Pah-cu.”

Pah-cu artinya pemimpin.

04.17. Tiga mustika

“Bukan mengeritik tetapi memang suatu kenyataan,” bantah Wanita Suara Iblis.

Raja Langit Selatan tersenyum: “Sering kudengar orang mengatakan bahwa Mo-seng-li itu berkepandaian sakti dan cerdas maka paling disayang oleh Pah-cu ”

“Ah, anda terlalu memuji,” tukas Mo-seng-li, “bukan hanya aku seorang tetapi kami bertiga Mo-li (wanita iblis) yang disayang Pah-cu.”

Mendengar pembicaraan itu Siau Mo dan Bok-yong Kang kerutkan dahi. Alangkah luas dan dahsyatnya organisasi mereka itu, Empat Raja langit, Tiga Wanita Iblis dan seorang Pah-cu yang menjadi pemimpinnya.

Selang beberapa jenak kemudian, berkata pula Wanita Suara Iblis: “Lam-thian-ong, entah dengan tujuan apakah anda berkunjung ke Lok-yang ini?”

Lam-thian-ong atau Raja Langit Selatan menjawab: “Kalau engkau tak tanya, hampir saja aku lupa. Pah-cu mengutus aku kemari untuk menyelidiki kabarmu.”

“Apakah tentang Tiga Pusaka dunia persilatan itu?” tanya Mo-seng-li. Raja Langit Selatan mengangguk.

“Benar,” katanya, “sudah tiga tahun lamanya engkau mencari Tiga Pusaka itu tetapi sampai saat ini belum juga ada hasilnya ”

“Lam-thian-ong,” tegur Wanita Suara Iblis, “apakah maksudmu hendak mengatakan aku tak becus?”

Lam-thian-ong atau Raja Langit Selatan tertawa tetapi yang bergerak hanya kulit bibirnya, sedangkan giginya tetap mengencang rapat.

“Ah, Mo-seng-li seorang jelita yang cerdas dan sakti. Masakan aku berani mengatakan begitu......

seharusnya….. huh.......” Lam-thian-ong batuk-batuk sejenak lalu melanjutkan pula, “Tetapi aku memang diutus Pah-cu untuk menanyakan beritamu.”

Wajah Wanita Suara Iblis berobah, serunya dingin: “Apakah Pah-cu menyangsikan kesetiaanku?” Raja Langit Selatan tertawa hambar. “Sebenarnya Pah-cu hendak datang sendiri. Tetapi karena sibuk terpaksa suruh aku yang pergi dan melaporkan hasilnya kepada Hiat Sat Mo-li yang memegang Bagian Hukum.”

Sahut Wanita Suara Iblis dengan nada hambar juga: “Pah-cu adalah guruku dan tak ubah seperti ibuku sendiri. Bagaimana aku dapat menghianati budinya. Masakan aku tak takut akan penyelidikan para Raja langit?”

Tiba-tiba Lam-thian-ong berpaling ke arah si baju hitam Hui Sin, serunya: “Keluarlah dan  perketat penjagaan di sekeliling gedung ini.”

Setelah Hui Sin pergi, Raja Langit Selatan berkata pula kepada Wanita Suara Iblis.

“Aku percaya penuh kepadamu, Mo-seng-li. Mana aku berani menduga-duga dirimu. Tetapi kabar angin di luaran mengatakan bahwa engkau telah melakukan suatu hal yang melanggar perintah Pah-cu. Soal itu terpaksa harus kutanyakan kepadamu.”

“Baik,” sahut Wanita Suara Iblis, “apabila ada sesuatu kecurigaan, silahkan Lam-thian-ong bertanya.”

“Pertama-tama aku hendak menanyakan, apa sajakah yang engkau lakukan selama tiga tahun ini?” kata Raja Langit Selatan.

“Mencari jejak Tiga Pusaka,” sahut Wanita Suara Iblis dengan hambar. “Lalu, apakah engkau sudah memperolah hasil?”

“Pusaka yang ketiga, sudah kukirim kepada Pah-cu. Pusaka yang kesatu dan kedua pun sudah diketahui jejaknya,” sahut Wanita Suara Iblis.

“Kabarnya pusaka kesatu yalah Jarum Ular Emas itu, engkaupun sudah memperolehnya?” tanya Lam-thian- ong dengan tiba-tiba.

Mendengar kata-kata itu, Siau Mo dan Bok-yong Kang terkejut sekali. Benar-benar tak disangkanya bahwa Jarum Ular Emas itu ternyata merupakan pusaka nomor satu dalam dunia persilatan.

Soal itu Siau Mo sendiri juga tak tahu. Kini barulah ia menyadari apa sebabnya setiap kali ia menuju ke sebuah tempat, Wanita Suara Iblis itu tentu membayanginya. Dan setiap kali ia melontarkan jarum Ular Emas, jarum-jarum itu tentu diambil orang secara misterius.

Jarum Ular Emas!

Apakah sesungguhnya yang tersembunyi dalam jarum itu sehingga dipandang sebagai pusaka nomor satu dalam dunia persilatan?

“Benar,” sahut Wanita Suara Iblis, “dari empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu, sudah kuperoleh tujuhbelas batang. Jadi kurang tigapuluh batang. Karena itu maka belum kulaporkan kepada Pah-cu.”

Lam-thian-ong batuk-batuk sejenak lalu bertanya pula: “Jika sudah dapat memperoleh tujuhbelas batang, tentulah engkau sudah tahu jarum pusaka itu berada pada siapa. Mengapa engkau tak lekas turun tangan kepadanya? Mo-seng-li, ketahuilah! Apabila hal ini kulaporkan kepada kepala Bagian Hukum yalah Hiat Sat Mo-li, dia pasti tak segan-segan akan bertindak. Dia seorang yang tegas dan berani menjalankan peraturan hukuman partai dengan keras. Yang salah pasti akan dihukum tanpa pandang bulu. Walaupun engkau amat disayang Pah-cu, tetapi kalau bersalah tentu akan dijatuhi hukuman juga.”

“Benar, memang toaciku itu keras dan tak pandang bulu dalam melakukan tugasnya. Tetapi aku merasa tak melanggar peraturan, toaci tentu takkan menghukumku,” sahut Mo-seng-li.

“Kalau engkau merasa tak bersalah, engkau harus memberi keterangan yang jelas,” kata Lam-thian-ong. Marahlah Mo-seng-li, serunya, “Sudah tentu dalam hal itu mengandung banyak alasan.”

Tiba-tiba sepasang mata Raja Langit Selatan itu memancarkan sinar yang berapi-api, mencurah ke arah Mo-seng-li.

“Alasan apa? Bilanglah dengan terus terang,” kata Raja Langit Selatan, “kuberitahu kepadamu bahwa diantara ketiga pusaka itu yang paling penting yalah jarum Ular Emas. Pah-cu menghargakan sendiri.”

Mo-seng-li menjawab dingin: “Jarum Ular Emas memang benda pusaka dalam dunia persilatan, masakan hal itu aku tak tahu? Engkau bertanya mengapa aku berayal turun tangan? Alasannya sederhana sekali. Pemilik jarum Ular Emas itu seorang yang memiliki kepandaian sakti!” “Siapa?” tanya Raja Langit Selatan, “masakan engkau tak mampu meringkusnya?”

“Siau Mo si Kim-coa Long-kun atau Pendekar Ular Emas yang menggegerkan dunia persilatan dewasa ini,” sahut Mo-seng-li.

Mendengar itu Raja Langit Selatan mengangkat muka memandang ke atas dan tertawa gelak-gelak.

“Kukira orang sakti mana, tak tahunya hanya budak kemarin sore yang belum hilang bau popoknya,” serunya.

Bok-yong Kang terkejut dan berpaling memandang Siau Mo. Ia duga Siau Mo tentu marah karena dirinya dianggap sebagai anak kecil. Tetapi ternyata Siau Mo tenang-tenang saja. Diam-diam Bok-yong Kang mengagumi peribadi Siau Mo yang begitu kuat.

Mo-seng-li tertawa mengikik.

“Bukan aku memuji kekuatan lawan dan meremehkan kekuatan kita sendiri. Tetapi kesaktian Kim-coa Long- kun itu memang hebat. Engkau sendiri tentu tak sanggup menandinginya.”

Sudah tentu Raja Langit Selatan marah karena dihina begitu: “Budak hina.......” tetapi cepat ia menyadari bahwa kata-kata itu tak layak ditujukan kepada Mo-seng-li. Maka buru-buru ia hentikan.

Kini Mo-seng-li yang berbalik marah, bentaknya: “Selalu kuhormati engkau dengan sebutan Thian-ong. Tetapi mengapa engkau mengandalkan ketuaan untuk menyemprot orang?”

Diam-diam Bok-yong Kang membatin, karena kedua orang itu saling menggunakan kata-kata keras, kemungkinan mereka tentu akan berkelahi.

Tetapi di luar dugaan, Lam-thian-ong diam. Beberapa jenak kemudian baru berkata, “Kalau tahu engkau kalah sakti dengan Siau Mo, mengapa engkau tak segera melapor pada Pah-cu agar Pah-cu dapat mengirim orang untuk membunuhnya?”

“Tidak semudah itu urusannya,” sahut Mo-seng-li, “kalau mengirim orang mana seorang saja mampu menandingi Siau Mo ”

Lam-thian-ong tertawa dingin: “Tiap patah perkataanmu selalu memuji setinggi langit kepada budak itu. Adakah dia lebih sakti dan keempat Thian-ong (raja langit)? Ehm, hm, desas desus di luar mengatakan tentang dirimu. Apakah benar-benar engkau dan Siau Mo……”

Mo-seng-li kerutkan alis, menukas: “Jangan menghambur fitnah!”

Berhenti sejenak, Wanita Suara Iblis itu berkata pula: “Hm, engkau tahu apa! Kepandaian Siau Mo itu memang luar biasa dan diapun amat cerdas sekali. Sungguh seorang tunas yang berbakat luar biasa……”

Lam-thian-ong tahu akan tabiat wanita itu. Seorang wanita yang cerdas dan angkuh. Jarang sekali dia mau memuji orang. Diam-diam Lam-thian-ong terkejut karena mendengar pujian wanita itu kepada Siau Mo. Mau tak mau ia tertegun juga.

“Apakah di dunia ini terdapat orang yang sedemikian saktinya?” akhirnya ia bertanya. Dalam pada itu diam-diam Bok-yong Kang girang karena Mo-seng-li mengagumi Siau Mo. Tetapi Siau Mo sendiri malah mengunjuk muka gelisah.

“Mengapa aku harus membohongi Lam-thian-ong?” dengus Mo-seng-li lalu menghela napas pelahan, katanya pula: “Aku mempunyai beberapa sebab mengapa tak mau turun tangan membunuhnya. Betapa sakti kepandaian Siau Mo itu tetapi tetap tak dapat melawan keempat Raja langit atau kami bertiga saudara taci adik serta Pah-cu.”

Berkata Lam-thian-ong: “Di antara ketiga Mo-li, engkaulah yang paling cerdas. Harap engkau mengatakan sebab-sebab mengapa engkau belum mau membasmi Siau Mo itu?”

Mo-seng-li tersenyum.

“Mengapa aku tak turun tangan untuk merebut jarum Ular Emasnya adalah pertama, karena dia berkepandaian sakti. Mungkin aku seorang tak mampu mengalahkannya. Kedua, dia amat cerdas. Dikuatirkan akan terjadi 'karena rumput dihantam, ularnya kaget'. Maka aku terpaksa menjalankan siasat, menunggu dia melontarkan jarum Ular Emas baru kuambilnya. Dan selama itu, kubayangi saja kemana ia pergi ” “Sebenarnya,” kata Mo-seng-li pula, “yang penting, Siau Mo itu masih kabur pendiriannya. Bukan dari golongan Putih, pun bukan golongan Hitam. Dia seorang ganas. Apabila membiarkan dia hidup di dunia persilatan, tentulah ia dapat mewakili kita untuk membunuh tokoh-tokoh golongan Ceng (Putih). Aku mempunyai rencana untuk 'mengambil' orang itu. Apabila dengan sepak terjangnya yang ganas itu dia dianggap sebagai momok berbahaya dan dimusuhi oleh seluruh kaum persilatan, tentulah mudah untuk membujuknya masuk menjadi anak buah Pah-cu. Tetapi rencana itu sudah tentu harus memakan waktu panjang, tak dapat cepat-cepat terlaksana.”

Berulang kali Lam-thian-ong mengangguk-anggukkan kepala mendengar uraian Wanita Suara Iblis.

Tetapi di tempat persembunyiannya, Bok-yong Kang tampak terlongong-longong. Sedang Siau Mo sendiri hanya menyungging senyum.

“Pusaka kedua dari dunia persilatan yalah Keng-hun-pit (Pena Penggoncang Jiwa), berada di tangan siapa?” tiba-tiba Lam-thian-ong bertanya pula.

Mo-seng-li berkata: “Keng-hun-pit, telah lenyap dari dunia persilatan selama berpuluh tahun. Tetapi tanpa sengaja, dari mulut seorang sahabat persilatan, pada duapuluh tahun yang lalu Nyo Jong-ho itu menggunakan senjata pit. Setelah kuselidiki sampai beberapa lama, memang hal itu benar. Kemudian kusesuaikan dengan gelaran Nyo Jong-ho sebagai It-pit-ci-thian atau Sebatang pit menunjuk langit, maka kutarik kesimpulan bahwa nama itu mengandung arti Keng-hun-it-pit-ci-thian atau Sebatang pit Pengguncang Jiwa Menunjuk Langit. Maka pit pusaka itu jelas berada di tangan Nyo Jong-ho ”

Mendengar itu Bok-yong Kang pun serentak teringat sesuatu. Pikirnya: “Siau toako pernah memberi peringatan kepada Nyo Jong-ho bahwa dalam tiga hari lagi tentu akan tertimpah bahaya besar. Apakah toako sebelumnya sudah mengetahui tentang pit pusaka itu berada pada Nyo Jong-ho……?”

Berkata Lam-thian-ong, “Tetapi aku sudah memeriksa seluruh tempat dan pelosok dari gedung keluarga Nyo dan tetap tak dapat menemukan pit pusaka itu. Apakah pengamatanmu itu tidak salah? Dan kemanakan perginya Nyo Jong-ho?”

“Dia sudah kuringkus dan kusuruh orang mengantarkan dengan kuda kepada Pah-cu. Sedang penghuni rumahnya kutahan dalam gedung itu,” jawab Mo-seng-li.

“Bagus, bagus sekali!” seru Lam-thian-ong memuji,” engkau telah bertindak dengan tepat sekali. Soal itu akan kusuruh orang untuk melaporkan kepada Hiat Sat Mo-li.”

Sejenak berhenti Lam-thian-ong berkata pula: “Atas titah Pah-cu maka tugasmu supaya diterimakan kepadaku. Harap suka memberikan ke tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu kepadaku. Dan silahkan engkau pulang menghadap Pah-cu.”

Mo-seng-li menyahut dingin: “Apa yang Lam-thian-ong ucapkan aku tentu menurut saja. Tetapi tempo hari Pah-cu tegas-tegas memberi titah, apabila mendapatkan ketiga pusaka itu, kecuali pada Pah-cu sendiri, tak boleh diserahkan kepada lain orang.”

Mendengar itu marahlah Lam-thian-ong.

“Apa? Engkau tak percaya kepadaku?” serunya.

“Walaupun kedudukan keempat Raja langit itu amat tinggi,” sahut Mo-seng-li, “tetapi demi mentaati perintah Pah-cu, maaf aku terpaksa tak dapat meluluskan permintaanmu.”

Serentak berbangkitlah Lam-thian-ong dari tempat duduknya dan berseru: “Aku membawa lencana kekuasaan dari Pah-cu, apakah engkau tetap tak percaya?”

Habis berkata Lam-thian-ong terus merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah panji kecil warna kuning.

Melihat Panji Kuning itu serentak gemetarlah Mo-seng-li lalu berlutut memberi hormat.

Melihat itu Bok-yong Kang terkejut. Begitu besar perbawa panji kecil itu. Suatu pertanda bahwa Pah-cu itu tentu seorang tokoh yang maha sakti.

Lam-thian-ong tertawa dingin.

“Lekas serahkan ke tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu kepadaku dan segeralah, engkau pulang ke Lembah Kumandang untuk menunggu perintah Pah-cu,” serunya. Mo-seng-li bangun lalu tertawa.

“Panji Kuning itu adalah wakil dari gi-bo (ibu angkat). Sudah tentu aku tak berani menentang……”

Belum selesai Mo-seng-li berkata tiba-tiba terdengar setiup angin menderu dan si baju hitam Hui Sin pun lari ke pagoda peranginan situ, seraya berteriak, “Lam-thian-ong…..!”

Lam-thian-ong terkejut. Cepat ia berpaling ke arah Hui Sin tegurnya, “Mengapa?” “Hamba hendak mengaturkan laporan penting!”

Melihat wajah orang itu tampak gugup sekali, Lam-thian-ong segera suruh dia bicara.

“Di dekat waduk air kira-kira satu lie dari sini, telah diketemukan jejak orang-orang Naga Hijau yang hendak mengintai tempat kita ini,” seru Hui Sin.

“Apa?” teriak Lam-thian-ong terkejut, “sudah lebih dari sepuluh tahun lamanya orang-orang Naga Hijau itu tak bergerak di dunia persilatan. Masakan sekarang mereka datang ke Lok-yang?”

Tiba-tiba Mo-seng-li menyeletuk “Naga Hijau, sebuah perkumpulan yang besar pengaruhnya dalam dunia persilatan. Pah-cu pernah memesan, sebelum urusan kita selesai, baiklah jangan sampai bentrok dengan orang-orang Naga Hijau.”

Lam-thian-ong tertawa dingin.

“Apakah kiranya Pah-cu telah merobah pendiriannya? Perintah dari Lembah Kumandang mengatakan bahwa justeru partai Naga Hijau yang besar pengaruhnya itu harus dilumpuhkan.”

“Kalau begitu,” kata Mo-seng-li, “berapakah jumlah anak buah kita yang menyertai Lam-thian-ong kemari?”

Pertanyaan nona itu rupanya seperti sebuah badik yang menikam Lam-thian-ong. Dia termangu-mangu sampai beberapa saat seperti tengah menimbang suatu persoalan yang sukar. Beberapa saat kemudian baru ia berputar tubuh ke arah Mo-seng-li.

“Tahukah engkau berapa kekuatan Naga Hijau di Lok-yang?” tanyanya Wanita Suara Iblis tersenyum.

“Adalah karena jeri akan kekuatan partai Naga Hijau itu maka aku sampai menyembunyikan diri di tempat ini. Menurut penyelidikanku, tokoh-tokoh Naga Hijau yang muncul di Lok-yang itu, selain Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki, pun juga tokoh persilatan sama berkumpul di Lok-yang. Dalam satu-dua hari lagi tentulah jumlahnya akan bertambah banyak pula.”

Mendengar kata-kata itu diam-diam Bok-yong Kang mengagumi ketajaman mata dan telinga Mo-seng-li. Sungguh tak tersangka, bahwa gerak gerik dari kawanan tokoh-tokoh persilatan yang berada di Lok-yang itu, tak lepas dari pengamatannya.

“Mo-seng-li,” tiba-tiba Lam-thian-ong berseru, “atas nama Panji Kuning dari Pah-cu, engkau akan kuminta tinggal di sini selama dua hari lagi. Karena anak buah yang kubawa itu baru nanti dua hari lagi tiba di Lok- yang.”

Wanita Suara Iblis tertawa dingin.

“Tetapi dalam dua hari itu, siapakah yang memberi perintah? Engkau memerintah aku atau aku yang memberi perintah kepadamu?”

Lam-thian-ong tak lekas menyahut melainkan merenung beberapa jenak lalu berseru memanggil si baju Hitam Hui Sin.

Setelah Hui Sin menghadap, Lam-thian-ong pun bertanya, “Berapakah jumlah orangmu di sini?”

04.18. Mo-seng-li, Gadis Jelita

“Bersama hamba hanya berjumlah duapuluh satu orang ditambah pula dengan pengawal peribadi Mo-seng- li yalah si Kipas besi Kau Thian-seng,” sahut Hui Sin. “Siapkan enam orangmu yang tangkas. Aku akan mengajakmu keluar untuk membasmi mata-mata itu,”  seru Lam-thian-ong pula.

Hui Sin mengiakan terus melangkah keluar. Kemudian Lam-thian-ong berpaling kepada Mo-seng-li.

“Kedudukanku lebih tinggi dari engkau,” katanya, “apalagi aku membawa Panji Kuning dari Pah-cu. Sudah tentu engkau harus menerima perintahku. Sekarang kuperintahkan supaya engkau menyerahkan ke tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu kepadaku!”

Mo-seng-li memandang ke arah Panji Kuning itu lalu mendengus.

“Demi menghormat kepada Panji Kuning, kuterima permintaanmu. Tetapi nanti setelah menghadap gi-bo, aku tentu akan membuat perhitungan dengan engkau.”

Habis berkata nona itu segera mengambil sebuah kotak kumala dari dalam bajunya. katanya: “Tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu berada dalam kotak kumala ini……”

Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sesosok bayangan secepat kilat melesat tiba. Sedemikian cepat sekali orang itu bergerak untuk menyambar lengan kiri Mo-seng-li.

Mo-seng-li terkejut. Cepat ia menyadari kalau berhadapan dengan seorang musuh yang sakti. Tiba-tiba ia berputar tubuh untuk menghindar keluar dari pagoda. Dan pada saat bergerak keluar itu, iapun sudah memasukkan kotak kumala ke dalam bajunya lagi.

Tetapi penyerang itu tertawa dingin. Cepat ia memburu keluar dan terus menutukkan jarinya ke dada Mo- seng-li.

“Pendekar Ular Emas Siau Mo!” teriak Mo-seng-li setelah sempat melihat siapa penyerang itu. Cepat iapun gerakkan kedua tangannya ke belakang dan ke muka. Sebuah hantaman dilancarkan dengan hebat. Gerakan itu merupakan dua jurus yang digabung menjadi satu.

“Hem, aku datang hendak mengambil kembali jarumku!” dengus Siau Mo.

Tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh, tangan kirinya mendorong lurus ke muka dan tangan kanan menyiak ke atas. Suatu gerakan yang luar biasa anehnya.

Tetapi pada saat tangan kirinya itu hampir mengenai Mo-seng-li, sekonyong-konyong dihentikan. Getaran gerakan tangan itu memancarkan tenaga sakti yang melanda ke dada Mo-seng-li.

Sedang tangan kanannya pun berganti gaya. Bermula pelahan tetapi tiba-tiba di balikkan cepat sekali dan berobah menjadi jurus mencengkeram,

“Aduh !” terdengar nona itu menjerit karena siku lengan kirinya telah dicengkeram lawan. Seketika nona

itu rasakan tubuhnya lunglai dan cepat-cepat tangan kanan nona itu mendekap siku lengan kirinya yang kesakitan itu.

Melesat dari tempat persembunyian, menyerbu Mo-seng-li, memburunya keluar dan mencekal lengan Wanita Suara Iblis lalu menutuk jalan darah punggungnya, kesemua itu dilakukan dengan gerak cepat yang sukar dibayangkan. Sehingga pada saat Lam-thian-ong terkejut dan memburu keluar, Mo-seng-li sudah dikuasai oleh Siau Mo.

“Wut……” dengan geram Lam-thian-ong segera lepaskan sebuah hantaman.

“Krak……” Siau Mo menampar dengan tangan kiri sedang tangan kanannya tetap mencekal siku lengan si nona lalu dibawa berputar-putar mundur sampai setombak jauhnya.

“Bokyong-te, pondonglah dia!” seru Siau Mo ketika Bok-yong Kang lari menghampiri. Bok-yong Kang tertegun meragu. Tetapi pada lain kejap ia segera melakukan perintah.

Siau Mo kuatir kalau Lam-thian-ong akan menyerang lagi maka buru-buru ia menyerahkan Mo-seng-li kepada Bok-yong Kang. Tetapi ternyata habis memukul, Lam-thian-ong tak menyerang lagi. Rupanya dia gentar juga melihat kesaktian Siau Mo.

“Bokyong-te, mari kita pergi. Wanita ini kita jadikan penukar dengan nona Cu-ing,” seru Siau Mo.

Mendengar itu Lam-thian-ong pun segera berseru pelahan: “Leng Bu-sia, Bwe Hui-ji, lekas kalian hadang mereka!” Mendengar perintah itu, kedua tokoh Go-bi Sam-hiap yang sejak tadi berdiri seperti patung, saat itu segera melayang turun dari atas pagoda peranginan.

Sedang saat itu, Lam-thian-ong sendiripun maju menghadang Siau Mo.

Siau Mo menyambut kedatangan tokoh Raja langit itu dengan tusukkan dua buah jari tangannya ke dada orang.

Tetapi Lam-thian-ong pun bergerak tangkas. Tangan kirinya cepat menabas pergelangan tangan Siau Mo.

Siau Mo tertawa dingin. Cepat ia menarik pulang tangannya lalu berputar terus melesat untuk menyongsong Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji serta dua orang pengawal baju biru.

Saat itu rupanya Siau Mo telah memperlihatkan kepandaiannya yang sakti. Kedua tangannya berhamburan melakukan serangan dahsyat.

Serangan gencar itu memaksa Leng Bu-sia, Bwe Hui-ji dan kedua pengawal baju biru tak sempat balas menyerang. Mereka berturut-turut mundur tiga-empat langkah.

Apabila ko-jiu (jago sakti) bertempur, gerak serangan mereka dilakukan serba cepat. Demikian pula perobahan jurus permainannya.

Dalam pada itu Bok-yong Kang pun segera melakukan perintah toakonya. Secepat kilat ia memanggul Mo- seng-li lari keluar pagar tembok.

Dua kali berturut-turut telah ditindas oleh Siau Mo, marahlah Lam-thian-ong. Bagaikan seekor burung rajawali, ia melambung keudara lalu melayang ke arah Siau Mo seraya lepaskan hantaman.

Tetapi karena Bok-yong Kang sudah berhasil membawa lari Mo-seng-li, Siau Mo tak berminat meladeni Lam-thian-ong. Sekali ayunkan tubuh, ia melayang setombak jauhnya.

Karena menyerbu tempat kosong, Lam-thian-ong makin marah. Sambil lintangkan kedua tangan untuk melindungi dada, ia lari mengejar.

Siau Mo tertawa seram. Sebelum sempat Lam-thian-ong berdiri tegak, ia segera lontarkan hantaman. Lam-thian-ong terkejut dan cepat-cepat dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong.

Ketika kedua tenaga pukulan dari jauh itu berbentur, terdengarlah letupan di udara.

“Hebat sekali pukulanmu,” seru Siau Mo. Ia berputar tubuh menggelincir lima langkah ke samping kiri. Saat itu Hui Sin pun tiba bersama enam orang anak buahnya.

“Hui Sin, lekas kejar mereka, Mo-seng-li telah ditawannya……” seru Lam-thian-ong.

“Hm, nanti saja yang mengejar itu. Sekarang kalian harus menyambut beberapa jurus seranganku,” dengus Siau Mo.

Pedang Ular Emas meluncur maju. Kedua tangannya berhamburan menghantam tujuh kali kepada Hui Sin dan rombongannya. Ketujuh jurus pukulan itu luar biasa anehnya sehingga Hui Sin bertujuh menjadi kelabakan.

Melihat kegagahan Siau Mo, karena marahnya tubuh Lam-thian-ong sampai menggigil, serunya: “Kalau hari ini engkau sampai mampu lolos ” Sambil berkata Lam-thian-ong pun loncat menerjang Siau Mo.

Menyadari bahwa Siau Mo itu hebat sekali kepandaiannya, Lam-thian-ong pun mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Jari tangannya bergerak-gerak menjulur surut sukar diduga.

Dalam beberapa kejap saja ia sudah lancarkan tigabelas jurus. Tetapi Siau Mo tetap berlincahan menghindar dan menghalau. Sekalipun begitu, diam-diam Siau Mo terkejut juga dalam hati. Ternyata Lam- thian-ong itu memang hebat sekali kepandaiannya.

“Hai, mengapa kalian hanya berdiri seperti patung dan tak lekas mengejar musuh yang lari itu!” bentak Lam- thian-ong, ketika melihat Hui Sin dan anak buahnya berdiri termangu-mangu.

Siau Mo tertawa mengejek.

“Lam-thian-ong, kawanku sudah lari jauh. Maaf, akupun hendak menyusulnya!” “Wut, Wut, Wut,” tiga buah pukulan dahsyat segera dilancarkan oleh Siau Mo.

Lam-thian-ong terkejut. Ia tahu bahwa setelah melancarkan serangan, Siau Mo tentu segera pergi. Tetapi apa daya, ia tak dapat berbuat apa-apa karena harus terus menerus mundur.

Siau Mo tertawa gelak, serunya: “Nah, sampai jumpa, aku hendak pergi!”

Tiba-tiba Lam-thian-ong tertawa sinis: “Ho, apakah engkau mampu meninggalkan tempat ini?”

Saat itu Siau Mo sudah berputar tubuh hendak angkat kaki. Tiba-tiba ia mendengar -setiup suara aneh dari belakang. Mirip suara nyamuk atau kumbang.

Siau Mo yang tajam nalurinya cepat dapat menyadari bahwa suara aneh itu tentu berasal dari senjata rahasia. Maka tanpa ayal lagi, ia segera berjongkok ke bawah, dengan meminjam injakan kaki ia melayang ke samping sampai tiga meter jauhnya.

Cepat sekalipun ia bergerak tetapi saat itu ia rasakan paha kirinya seperti tergigit nyamuk. Apabila dia tak tajam perasaannya tentu tak mungkin dapat merasakan gigitan tajam itu.

Pun ia merasa bahwa senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia beracun yang paling ganas di dunia. Maka cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan darah di pahanya. Sekalipun begitu ia tetap rasakan kepalanya pusing, pandang matanya gelap.

Dalam keadaan begitu tak ada lain jalan bagi Siau Mo kecuali melayang keluar dari pagar tembok lalu melenyapkan diri dalam kegelapan.

Melihat Pendekar Ular Emas mampu lolos, Lam-thian-ong pun terlongong-longong. Di dunia jarang terdapat tokoh yang mampu lolos dari serangan jarum rahasia Nyamuk Kumbang Berdarah. Sedemikian halus dan kecil senjata rahasia itu hingga hampir-hampir tak mengeluarkan suara. Sesaat orang mendengar suara itu, dia sudah terkena. Benar-benar sebuah senjata yang jarang terdapat di dunia. Ketiga tokoh Go-bi Sam-hiap juga terkena senjata rahasia itu.

Timbullah keragu-raguan dalam benak Lam-thian-ong. Adakah Siau Mo benar-benar terkena senjata rahasia itu? Mustahil dia dapat menghindari tetapi mengapa dia dapat lari? Dan kalau terkena tak mungkin pula ia mampu bergerak melarikan diri.

“Hui Sin,” tiba-tiba ia berteriak marah, “lekas sebar orang untuk menyelidiki sekeliling tempat ini. Mo-seng-li telah dibawa pergi. Kalau tak mampu merebutnya kembali, engkau harus bertanggung jawab!”

Sambil berkata, Lam-thian-ong pun membawa kedua pengawal Baju Biru, Leng Bu-sia dan Bwe Hui-jin untuk mengejar…..

********************

Di lain pihak, dengan memondong Mo-seng-li, Bok-yong Kang lari secepat-cepatnya melintasi waduk air menuju ke hutan sepi. Tiba-tiba ia teringat bahwa tadi Siau Mo belum memesan ke arah mana ia harus lari. Bagaimanakah nanti Siau Mo akan mencarinya. Teringat hal itu, iapun hentikan langkah.

Angin malam berhembus menggigit tulang. Tiba-tiba Bok-yong Kang rasakan dadanya seperti ditiup oleh hawa wangi yang hangat. Segera ia teringat bahwa itulah napas dari hidung Mo-seng-li.

Segera terlintas dalam benaknya untuk mengetahui siapakah sebenarnya wanita itu. Walaupun ia berulang kali mendengar tentang nama Mo-seng-li tetapi selama itu belum pernah ia melihat wajahnya.

Ah, bukankah wanita itu berada di dadanya? Mengapa ia tak melihatnya barang sejenak saja? Keinginan yang keras telah menyebabkan ia tundukkan kepala memandang wanita itu.

Amboi......

Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis, sebuah nama yang aneh. Menilik namanya itu. tentulah orangnya buruk menyeramkan. Tetapi ternyata tidak demikian. Apa yang disaksikan Bok-yong Kang benar-benar telah mengguncangkan kelima panca-inderanya. Mo- seng-li itu ternyata seorang nona yang luar biasa cantiknya. Sedemikian cantiknya hingga luar biasa cantiknya.

Ah…… benarkah di dunia ini terdapat seorang insan wanita yang sedemikian cantiknya?

Seketika berdebarlah jantung Bok-yong Kang dan darahnyapun tersirap keras memandang wajah si cantik itu.

Sepasang buah dada si nona yang melekat pada dadanya, hembusan napasnya yang wangi dan sepasang bibirnya yang semerah delima dan wajahnya yang bagai rembulan berselaput awan putih yang tipis seperti kemalu-maluan, benar-benar mempesonakan hati Bok-yong Kang.

Bok-yong Kang cepat mengangkat muka memandang ke depan lagi. Memang tempat itu sepi sekali tetapi tak urung wajah pemuda itu bertebar warna merah.

Cepat ia berusaha untuk menekan darahnya yang bergolak keras dan tak berani memandang si nona lagi.

“Bokyong-te, mengapa wajahmu bertebar warna merah?” sekonyong-konyong terdengar sebuah suara yang ramah.

Cepat Bok-yong Kang berpaling ke belakang. Ah, ternyata Siau Mo sudah berdiri tiga tombak di belakangnya tanpa diketahuinya sama sekali……

Kuatir karena Siau Mo akan tahu perbuatannya mencuri lihat wajah Mo-seng-li tadi, buru-buru berkata: “Toako, kemanakah kita akan membawanya?”

Merenung sejenak Siau Mo berkata: “Mereka tentu akan mengejar. Kita harus cari tempat persembunyian yang dekat di sekitar tempat ini.”

Ia memandang ke empat penjuru lalu ayunkan kaki lari menuju ke puncak gunung sebelah utara.

Lebih setengah jam berlari, tiba-tiba Bok-yong Kang memperhatikan bahwa kedua kaki Siau Mo mulai lambat gerakannya.

“Toako bagaimanakah engkau?” serunya terkejut. Tiba-tiba Siau Mo mengerang dan rubuh.

“Toako……” teriak Bok-yong Kang seraya menghampiri. Dilihatnya kening Siau Mo bercucuran keringat, wajah pucat seperti kertas dan mengerut kesakitan.

“Toako, apakah penyakitmu kambuh lagi?” seru Bok-yong Kang gopoh. Siau Mo gelengkan kepala.

“Aku telah terkena senjata rahasia yang ganas sekali…… dan lagi penyakitku pun terasa kambuh……”

Bukan kepalang kejut Bok-yong Kang mendengar keterangan itu, serunya: “Apa? Apakah toako terkena senjata rahasia beracun?”

Habis berkata Bok-yong Kang terus hendak letakkan tubuh Mo-seng-li ke tanah tetapi Siau Mo mencegahnya.

“Jangan, kita cari saja tempat persembunyian yang aman,” katanya. “Toako, mari kupapah.”

“Tak usah, aku masih dapat berjalan sendiri.”

Bok-yong Kang menyadari bahwa setiap kali penyakitnya kambuh, Siau Mo tentu tak punya tenaga lagi. Dengan begitu tentulah racun dari senjata rahasia itu akan menyusup lebih dalam. Akibatnya tentu ngeri.

“Toako. mari kita beristirahat di sini,” kata Bok-yong Kang ketika tiba di sebuah rimba di puncak bukit.

“Tidak,” Siau Mo menggeleng, “kalau musuh mengejar kemari, kita tentu akan menjadi anak kambing yang akan disembelih ”

Saat itu Siau Mo rasakan dadanya sakit. Diam-diam ia terkejut sekali. Melihat itu Bok-yong Kang makin gelisah. Tiba-tiba ia melihat di sebuah hutan yang tak jauh dari tempatnya, seperti memancarkan sekelip sinar lampu.

“Toako, rupanya di dalam hutan itu terdapat rumah orang, mari kita kesana,” segera Bok-yong Kang berseru.

“Itu bukan sinar lampu tetapi nyala korek yang biasa digunakan oleh orang persilatan,” sahut Siau Mo.

Diam-diam Bok-yong Kang terkejut, “Ah, kiranya toako juga melihat cahaya itu. Tetapi dia bilang bukan sinar lampu. Masakan di tempat begini sepi terdapat orang persilatan yang berkeliaran ”

Tiba-tiba Siau Mo menghela napas pelahan, serunya: “Itu sebuah kuil, mungkin kuil yang sudah rusak. Mari kita kesana.”

Ketika berjalan, langkah Siau Mo terhuyung-huyung. Ia mengerang pelahan lalu mendekap dada dengan kedua tangannya dan terkulai ke tanah lagi.

Bok-yong Kang cepat menghampiri, ulurkan tangan kiri untuk menyanggahnya. “Bokyong-te, mungkin aku akan mati di tempat ini……,” kata Siau Mo dengan rawan.

Bok-yong Kang makin gugup. Dengan kerahkan tenaga segera ia memondong Siau Mo. Walaupun memondong dua tubuh namun ia masih dapat berlari menuju ke kuil gunung itu.

Memang benar. Di balik hutan itu terdapat sebuah kuil beratap merah. Cukup besar juga bangunannya. Tetapi keadaannya sudah rusak. Temboknya rengkah, halamannya penuh ditumbuhi rumput liar dan di dalamnya gelap.

Melihat keadaan Siau Mo makin payah, Bok-yong Kang cepat letakkan tubuh Mo-seng-li di sudut ruang lalu cepat merebahkan tubuh Siau Mo dan mengurut-urutnya.

04.19. Engkau Memang Tolol Benar!

Tetapi sampai beberapa lama mengurut, bukannya sadar kebalikannya tubuh Siau Mo malah makin kejang dan mulutnya berbuih. Bok-yong Kang hentikan pengurutan dan berseru memanggilnya: “Siau toako…… Siau toako ”

Biasanya apabila Siau Mo kambuh penyakitnya, setelah Bok-yong Kang mengurut jalan darahnya, menurut yang diajarkan Siau Mo, tentulah beberapa saat kemudian Siau Mo akan sadar.

Tetapi kali ini tidak demikian. Cara pengurutan itu ternyata tak berhasil. Sudah tentu Bok-yong Kang makin gugup. Ia hendak membangunkan Siau Mo dan menanyakan cara bagaimana harus mengurut tubuhnya. Tetapi walaupun dipanggil sampai dua kali, Siau Mo tetap tak sadarkan diri.

Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat akan keterangan Siau Mo: “Uh, toako mengatakan kalau dirinya terkena senjata rahasia beracun. Tetapi di bagian mana yang terkena ”

Teringat akan hal itu Bok-yong Kang pun segera memeriksa seluruh tubuh Siau Mo. Akhirnya ia melihat sebuah bintik merah pada paha kiri Siau Mo. Ia segera tundukkan kepala hendak mencabut benda  berwarna merah itu.

“Hentikan tanganmu!” tiba-tiba terdengar bentakan bernada dingin.

Bok-yong Kang terkejut dan menarik pulang tangannya. Tiba-tiba secepat kilat ia berputar tubuh lalu hantamkan tangan kirinya.

Sesosok bayangan berkelebat ke samping dan mencengkeram pergelangan tangan Bok-yong Kang. Pemuda itu deliki mata dan menggeram seraya hantamkan tangan kanannya.

Hantaman itu menggunakan sepuluh bagian tenaganya dan tepat pada saat itu juga ia dapat mengetahui siapakah penyerangnya itu.

Ternyata Mo-seng-li dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk. Dan agaknya nona itu jeri juga melihat tenaga pukulan yang dilancarkan Bok-yong Kang saat itu. Ia segera menghindar.

“Hm, kepandaianmu belumlah memadai kepandaianku. Engkau masih belum tandinganku. Kalau aku meladeni engkau, dialah yang akan celaka!” “Mau apa engkau?” teriak Bok-yong Kang marah.

Nona itu mendengus: “Aku bermaksud baik untuk memberi peringatan kepadamu, mengapa engkau begitu bengis?”

Bok-yong Kang terkesiap mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba ia teringat akan diri Siau Mo. Cepat  ia berpaling dan kejutnya bukan kepalang.

“Toako…… engkau…… engkau……,” teriaknya terputus-putus.

Ternyata saat itu tubuh Siau Mo sudah kaku dan dingin. Dadanya juga tak berombak, wajahnya pucat seperti mayat.

Mo-seng-li tiba-tiba menghampiri lalu melekatkan tangan ke hidung Siau Mo untuk memeriksa pernapasannya.

“Jangan menyentuhnya!” bentak Bok-yong Kang.

Tetapi Mo-seng-li lebih cepat. Ia sudah ulurkan tangannya. Dan karena menyangka nona itu hendak mencelakai Siau Mo, Bok-yong Kang segera menghantamnya.

Mo-seng-li pun cepat-cepat menarik pulang tangannya dan membentak, “Apakah engkau menghendaki dia mati?”

Bok-yong Kang tertegun dan tak memukul lagi. Ia mencekal tangan Siau Mo dan terkejut sekali. Tangan toakonya itu sudah seperti es dinginnya. Ia terkejut sekali. Lepaskan cekalannya ia merabah dada Siau Mo.

“Toako, apakah engkau benar-benar meninggal?” serentak wajahnya berobah dan mulut berteriak kaget. Airmatanya pun berderai-derai membanjir turun.

Ternyata detak jantung Siau Mo sudah berhenti dan tubuhnya pun dingin seperti es. Dengan Siau Mo, Bok- yong Kang sudah menganggap sebagai saudara sendiri. Melihat kematian toakonya yang begitu mengenaskan, sudah tentu Bok-yong Kang tak dapat menguasai goncangan hatinya dan menangislah ia tersedu-sedu seperti seorang anak……

“Hm, seorang anak laki mengapa gampang-gampang mengucurkan air mata. Sungguh tak berguna……” nona itu mendampratnya.

Mendengar itu marahlah Bok-yong Kang, te¬riaknya makin kalap: “Siapa yang engkau maki? Kalau orang tua dan saudaramu mati, apakah eng¬kau tak menangis?”

Mo-seng-li tertawa dingin: “Huh, bagaimana engkau tahu kalau dia mati?”

Tergetarlah hati Bok-yong Kang, serunya: “Apa? Apakah dia belum mati? Bagaimana eng¬kau tahu dia belum mati?”

“Hm,” dengus Mo-seng-li, “orang yang mati¬ masakan kulitnya masih begitu segar? Apalagi, jantungnya masih belum berhenti sama sekali. Hanya lemah sekali sehingga hampir tak terdengar.”

Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat, pikirnya: “Ya, tubuh toako memang dingin sekali seperti es. Orang yang baru mati juga takkan sedingin itu tubuhnya…… apakah toako benar-benar belum mati?”

Cepat ia lekatkan telinganya ke dada Siau Mo. Ah, memang benar. Jantung Siau Mo masih berdetak lemah. Dan hilanglah kesedihan Bok-yong Kang berganti dengan seri kegembiraan.

“Jangan bergirang dulu,” kata Mo-seng-li, “sekalipun dia belum mati tetapi diapun lekas akan mati.” Ucapan itu membuat Bok-yong Kang seperti diguyur air dingin. Ia termangu-mangu kesima.

Beberapa lama kemudian, akhirnya Bok-yong Kang menghela napas pelahan.

“Kalau engkau dapat menolong menyembuh¬kan toakoku ini, dengan syarat apapun juga, aku tentu akan meluluskan kepadamu,” katanya de¬ngan putus asa.

Mo-seng-li gelengkan kepala: “Aku tak punya kemampuan sehebat itu, hanya saja ”

Tiba-tiba Bok-yong Kang memberingas dan mem¬bentak marah: “Kalau toakoku sampai tak dapat tertolong jiwanya, aku bersumpah akan membas¬mimu dan gerombolanmu bangsa siluman itu, un¬tuk membalas sakit hati toako!” Mo-seng-li tertawa dingin.

“Mengapa engkau begitu terburu nafsu? Bu¬kankah omonganku belum selesai? Di kolong dunia ini, hanya seorang yang kutahu dapat menolong jiwanya ”

“Siapa?” desak Bok-yong Kang.

“Dia adalah suhuku Jin Kian Pah-cu. Tetapi beliau tinggal amat jauh sekali dari sini. Apabila harus membawa Siau Mo kesana, tentulah dia su¬dah mati beku.”

“Apakah engkau hendak mengolok-olok aku?” bentak Bok-yong Kang makin marah.

Tiba-tiba nona itu marah juga, serunya menan¬tang: “Ya memang aku mengolok-olok, engkau mau apa? Hm, terus terang, kalau tadi aku mau menghantammu, apakah sekarang engkau masih dapat bernjawa?”

Bok-yong Kang tertegun, pikirnya: “Benar dia telah ditangkap toako, tetapi mengapa tak mau melarikan diri. Dan lagi dia memang lebih sakti dari aku. Apabila tadi ia mau turun tangan mencelakai aku, apakah aku mampu lolos dari tangannya?”

Berpikir sampai disitu, Bok-yong Kang pun mengangkat kepala memandang ke arah nona itu. Kedengaran nona itu menghela napas.

“Persahabatanmu dengan dia sungguh meng¬harukan sekali,” katanya, “ah, kuberitahu kepadamu, sesungguhnya ketika Siau Mo tiba aku sebenarnya sudah tersadar. Racun dalam tubuhnya mulai bekerja dan dia tak kuat lalu rubuh dan lain-lain telah kulihat semua. Bahkan ketika engkau me¬mondongnya ke kuil ini, dia mengambil beberapa butir pil untuk ditelannya dan sesaat kemudian dia lalu jatuh pingsan, satu demi satu telah kusaksikan semuanya.”

Kemudian nona itu berkata pula:

“Maka, kutarik kesimpulan bahwa dia ping¬san tak sadarkan diri itu tentulah mempunyai hubungan dengan pil yang ditelannya tadi. Walaupun dia terkena senjata rahasia dari Lam-thian-ong yang disebut Hiat-bun- bong itu tetap dengan kepandaiannya yang sakti, tak mungkin secepat itu dia akan mati. Dan lagi yang kena itu bukanlah bagian yang berbahaya. Pula akibat kerja senjata rahasia itupun bukan begitu macam.”

“Ah!” nona itu menghela napas, “dia seo¬rang naga dari manusia. Apabila tak keliru dugaanku dia tentu akan dapat siuman sendiri.”

Mendengar itu barulah terbuka hati Bok-yong Kang. Dalam pada itu diam-diam iapun mengagumi si jelita yang bernama Wanita Suara Iblis itu. Tetapi pada lain kilas timbullah kecurigaannya. Kalau sudah datang kesitu mengapa Mo-seng-li itu tak mengunjuk setitik sikap permusuhan sama sekali kepada Siau Mo?

Bokyong Kang menghela napas.

“Ah, semoga dugaanmu benar, ah! Nona, engkau ”

“Jangan cepat menyangka bahwa aku tak mengandung rasa permusuhan kepadamu,” cepat Mo-seng-li menukas, “sebenarnya untuk sementara waktu ini aku hanya hendak memelihara kekuatan kita untuk menghadapi musuh yang akan datang.”

“Dari golongan mana?” Bok-yong Kang kaget.

“Masih belum diketahui jelas dari golongan mana, “sahut Mo-seng-li, “tetapi kami sudah di¬kepung mereka.” “Hai, benarkah itu?” Bok-yong Kang terkejut sekali.

Mo-seng-li tertawa tawar:

“Engkau memang tolol benar,” katanya, “sebelum engkau datang ke kuil ini, bukankah engkau mengetahui tentang korek api yang menyala itu? Ada nyala api tentu ada orang. Tetapi mengapa kuil ini sunyi senyap begini? Hm, jelas mereka tentu hendak menjebak kalian datang kemari. Dan memang setelah kuteliti benar- benar, di sekitar kuil ini kudengar derap langkah orang.”

Bok-yong Kang mendengarkan uraian nona itu dengan penuh perhatian sehingga saat itu iapun dapat menangkap derap kaki orang dari belakang kuil. Ia kerutkan dahi.

“Bagaimana tindakan kita?” tanyanya. Sahut nona itu dengan tawar: “Air yang datang harus ditimbuni dengan tanah. Panglima datang, prajurit yang menyambut. Perlu apa engkau harus gelisah?”

Mendengar bagaimana enak dan longgar nona itu menjawab, bukan Bok-yong Kang ikut tenang tetapi masih tetap gelisah. Betapa tidak! Walaupun Siau Mo memiliki ilmu kepandaian yang amat sakti tapi saat itu dia masih pingsan. Tentu tak dapat menghadapi musuh. Siapa musuh itu, entah kuat entah lemah, tetapi harus dihadapinya. Memang bagi Mo-seng-li mungkin dapat mengatasi mereka. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri dengan Siau Mo?

Karena gugup Bok-yong Kang lalu memeluk tubuh Siau Mo. “Hai, hendak engkau bawa kemana dia?' tegur si nona.

“Akan kubawa ke tempat yang lebih aman,” kata Bok-yong Kang. Si nona tertawa dingin.

“Di sini sudah cukup aman,” katanya, “apabila engkau keluar tentu akan diserang mereka. Kalau engkau tetap berada di sini, walaupun musuh tangguh sekali dan berjumlah banyak, tetap tak perlu ditakuti. Saat ini Siau Mo sedang dalam kebekuan. Apabila engkau sembarangan saja membawanya mungkin akan menambah berat lukanya.”

Mendengar itu Bok-yong Kang cepat meletakkan tubuh Siau Mo di bawah meja sembahyang. Serempak dengan itu dari luar terdengar orang berseru, “Hai, siapa itu!”

Seruan itu disusul olah sebuah jeritan ngeri yang memecah kesunyian.

Baik Mo-seng-li maupun Bok-yong Kang serempak tertegun. Jelas di luar telah terjadi pertempuran. Entah siapa lawan siapa kawan.

Sekonyong-konyong terdengar lengking tertawa:

“Kukira dari golongan mana, ternyata orang-orang Naga Hijau. Mengapa kalian kemari?” Mendengar nada suara perempuan itu seketika berobahlah wajah Mo-seng-li.

“Ah, sumoayku datang, celaka!” ia mengeluh pelahan. Dan saat itu di luar kuil terdengar pula jeritan ngeri.

Bok-yong Kang menduga tentu ada orang Naga Hijau yang rubuh di tangan sumoay dari Mo-seng-li. Tetapi diam-diam iapun heran mengapa Wanita Suara Iblis tampak begitu gelisah mendengar sumoaynya datang. Bukankah seharusnya ia bergembira?

Tiba-tiba si nona berpaling dan membisikinya,

“Lekas engkau rebah di samping Siau Mo dan pura-pura seperti telah kututuk jalan darahmu. Karena sumoayku datang tentulah toa-suciku juga sudah tak jauh dari sini.”

Tanpa menunggu jawaban Bok-yong Kang, nona itu terus melesat ke samping pintu.

Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa melengking tinggi dan dari luar terdengar suara orang berseru: “Hai, siapakah yang bersembunyi di dalam kuil itu?”

“Wut!” setiup angin segera menghambur ke arah Mo-seng-li. Sudah tentu nona itu terkejut. Ia cepat menghindar keluar dan berteriak: “Hai, sam-sumoay, akulah!”

Mendengar pesan Mo-seng-li tadi Bok-yong Kang tak segera menurut melainkan termangu menimang- nimang, adakah ia akan melakukan perintah itu. Dan sebelum ia sempat mengambil keputusan, pendatang itupun sudah melayang di mulut ruang. Bok-yong Kang terpaksa memandang ke muka.

Tampak diambang pintu ruang kuil tegak seorang dara berumur tujuhbelas tahun. Belakang bahunya memanggul dua batang pedang. Dadanya bertabur jamrud mutiara cemerlang dan wajahnya cantik jelita. Sepasang bibirnya yang merekah merah menyungging senyum itu, benar-benar memikat hati setiap orang yang memandangnya. Pun dara itu mengenakan pakaian warna merah sehingga makin menonjolkan kecantikannya.

Melihat Mo-seng-li, dara baju merah itu tertawa mengikik: “Ai, ji-suci bagaimana kabarmu?” Mo-seng-li agak membungkukkan tubuh sebagai tanda memberi salam.

“Sam-sumoay, aku sungguh girang karena sumoay telah menyelesaikan pelajaran dan diperkenankan turun gunung. Lalu bagaimana dengan toa-suci?”

Belum habis ucapan Mo-seng-li, tiba-tiba dua sosok tubuh melayang turun dari tengah gerumbul pohon.

Dara baju merah itu tertawa, “Toa-suci, juga datang. Kudengar ji-suci telah ditawan orang, mengapa sekarang tak kurang suatu apa?”

Saat itu cepat sekali kedua sosok tubuh itu sudah tiba dan berhenti di pintu.

Bok-yong Kang tertegun. Dilihatnya yang datang itu seorang tua pendek berpakaian warna kelabu dan seorang gadis baju biru yang mencekal sebatang hud-tim atau kebut pertapa.

Orang tua pendek itu yalah Lam-thian-ong atau Raja Langit Selatan. Demi melihat Mo-seng-li, ia terus maju dua langkah.

“Selamat kuhaturkan kepada Mo-seng-li karena sudah terlepas dari bahaya,” serunya.

Nona baju biru itu kira-kira berumur duapuluh lima tahun. Rambutnya terurai lepas ke bahu. Wajahnya serius dan alisnya menampil hawa pembunuhan. Memang menyeramkan sekali. Tetapi sebenarnya, dia seorang nona yang berwajah cantik dan usianya pun sudah masak.

Melihat nona baju biru itu Mo-seng-li segera memberi hormat.

“Maafkan siaumoay yang tak menyambut kedatangan toa-suci,” katanya. Nona baju biru itu tersenyum.

“Kudengar keterangan dari Lam-thian-ong bahwa engkau telah ditawan orang. Sudah tentu hatiku cemas sekali dan segera mengajak beberapa pengawal berangkat kemari. Ah, ternyata engkau sudah bebas, hatiku pun lega.”

Kiranya nona baju biru itu adalah toa-suci atau taci seperguruan yang pertama dari Mo-seng-li. Sebutannya Hiat Sat Mo-li atau Wanita Iblis Darah.

Habis berkata Hiat Sat Mo-li memandang ke dalam ruangan. Tiba-tiba wajahnya berseri, serunya, “Siapakah pemuda itu?”

Lam-thian-ong tertawa, “Salah seorang yang telah menawan Mo-seng-li.”

Melihat kedatangan mereka, kejut Bok-yong Kang bukan kepalang. Ia menyesal karena tak lekas menurut pesan Mo-seng-li. Tetapi karena sudah terlanjur ia harus cari akal.

“Menilik omongan Lam-thian-ong, mereka agaknya belum tahu kalau toako berada di sini. Asal Mo-seng-li tidak mengatakan, merekapun tentu tak tahu toako di sini,” pikirnya.

Tiba-tiba ia mendapat akal. Serentak ia terus ayunkan langkah menuju ke pintu. Kemunculan pemuda itu tak mengejutkan Hiat Sat Mo-li. Dingin-dingin saja nona itu berseru: “Ah, dia bukan Siau Mo!”

Bok-yong Kang tertawa keras.

“Kalau toako ku di sini, tak mungkin Mo-seng-li mampu bebas,” serunya.

04.20. Pang-cu Perkumpulan Naga Hijau.

Habis berkata secepat kilat pemuda itu mencuri pandang ke arah Mo-seng-li. Tampak nona itu diam saja dengan tenang.

“Apakah Siau Mo benar-benar tak berada di sini?” tiba-tiba Lam-thian-ong mengajukan pertanyaan kepada Mo-seng-li. Mo-seng-li menyahut tawar, “Kepandaianku kalah dengan Siau Mo. Engkau sendiri tentu sudah tahu. Kalau dia di sini mungkinkah aku dapat membebaskan diri?”

Lam-thian-ong tertawa gelak-gelak.

“Kalau begitu sekali pun telah ditawan musuh Mo-seng-li tetap selamat tak kurang suatu apa, selamat kuhaturkan kepadamu.”

Hiat Sat Mo-li mengangkat kebut hud-tim pelahan, serunya: “Saat ini orang-orang Naga Hijau masih mengepung kita. Untuk sementara baiklah kita jangan bentrok dengan mereka. Ji-sumoay, lekas engkau bunuh dia!”

Mo-seng-li menimang sejenak, lalu berkata:

“Dia berkepandaian sakti juga. Kalau kita dapat mempergunakannya tentu lebih baik. Apalagi aku telah mengadakan perjanjian dengan dia untuk bekerja sama menghadapi pihak Naga Hijau.”

“Ah, ternyata Mo-seng-li tak mau mengatakan tentang diri toako. Legalah hatiku,” pikir Bok-yong Kang. Habis berpikir ia terus lanjutkan langkah.

“Hai, hendak kemana engkau?” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li berteriak seraya menutuk dengan ujung hud-tim.

Tetapi Bok-yong Kang memang sudah bersedia. Melihat betapa bulu-bulu hud-tim yang lemas itu tiba-tiba berobah menjadi seikat jarum yang tajam dan kaku. Terkejutlah Bok-yong Kang. Buru-buru ia menghindar ke samping.

“Hm, ternyata memang hebat,” kata Hiat Sat Mo-li, “kalau engkau mampu menghindari sejurus lagi akan kuterima.”

Sekali kedua bahu nona itu bergetar, maka orangnya pun segera maju dan sekali tangan membalik maka kebut hud-tim pun segera meluncur ke bawah dan menutuk dengan cepat sekali.

Bok-yong Kang deliki mata. Ia menghantam dengan tangan kanan dan kiri, lalu berjumpalitan membuat tubuh ke belakang sampai setombak jauhnya.

“Hm, engkau hendak menerima aku, sayang aku tak mau menjadi hambamu. Kalau memang berkepandaian sakti silahkan membunuh aku,” serunya menggeram.

Setelah serangan kedua gagal Hiat Sat Mo-li menarik pulang kebutnya.

“Engkau tak mau pun harus mau juga,” serunya sambil maju dua langkah dan secepat kilat dengan tangan kiri menyambar bahu Bok-yong Kang.

Bok-yong Kang loncat ke samping lalu balas memukul dada orang. Tapi nona baju biru itu hanya tertawa dingin. Ia menyelinap dua langkah ke samping, kebut di tangan kanan menampar dan tangan kiri cepat menyambar pergelangan tangan lawan.

Memang Bok-yong Kang masih kalah tinggi kepandaiannya dengan Hiat Sat Mo-li, Kalah tingkat, memang berat. Maka dengan mudah sekali nona itu segera dapat menguasai pergelangan tangan Bok-yong Kang.

Seketika Bok-yong Kang rasakan lengan kanannya lunglai tiada bertenaga.

Sekonyong-konyong terdengar suata suitan yang nyaring dan sesosok bayangan bagaikan anak panah melayang turun ke titian pintu kuil. Kecepatan gerak orang itu mengejutkan rombongan Hiat Sat Mo-li.

Dan ketika mereka berpaling tampak seorang tua bertubuh kurus dan memelihara jenggot panjang menjulai sampai ke dada, tengah berdiri dengan tenang.

Dan serempak dengan kemunculan orang tua berjenggot panjang itu dari belakang dan muka kuil, pun bermuculan berpuluh-puluh lelaki berpakaian hitam, tegap dan tangkas. Mereka segera berbondong- bondong masuk ke dalam kuil lalu membentuk sebuah lingkar barisan.

Tenang-tenang saja Hiat Sat Mo-li menghadapi rombongan pendatang itu. Setelah menutuk pelahan jalan darah Bok-yong Kang, ia berpaling:

“Lam-thian-ong, tolong engkau bawa pergi orang ini.”

“Tunggu dulu!” kata orang tua jenggot panjang itu. Sekonyong-konyong ia gentakkan tongkat bambunya ke muka menutuk ke arah Hiat Sat Mo-li. Hiat Sat Mo-li kerutkan alis. Lalu kebutkan hud-tim menampar tongkat itu seraya membentak bengis: “Apakah engkau mau cari mati?”

Tetapi ternyata orang tua berjenggot panjang itu lihay sekali. Cepat ia berputar tubuh, membabat pinggang lawan.

Melihat dua buah serangan kakek itu amat ganas terkejutlah Hiat Sat Mo-li, pikirnya: “Apakah kedudukannya dalam Naga Hijau? Mengapa tenaganya begitu sakti?”

Dengan kerahkan tenaga dalam nona itu dorongkan tangannya ke muka sembari menarik tubuh Bok-yong Kang ke belakang, menyusul dia sendiripun cepat loncat mundur menghindari sambaran tongkat.

Kekek tua jenggot panjang tertawa dingin, lintangkan tongkat ia berseru: “Siapakah di antara kalian yang bernama Mo-seng-li?”

Mo-seng-li tampil maju dan berseru: “Siapa engkau? Mengapa mencari aku?” Orang tua jenggot panjang itu mengangkat muka memandang si nona.

“Aku Ko-tok Siu, Than-cu (ketua) dari Naga Hijau,” katanya, “aku hendak bertanya kepadamu. Ketiga jago Go-bi Sam-hiap itu apakah terluka di tanganmu?”

Mendengar orang tua jenggot panjang salah seorang dari lima Than-cu perkumpulan Naga Hijau, diam- diam terkejutlah Hiat Sat Mo-li.

Dengan pelahan, Lam-thian-ong maju ke muka dan berseru, “Ketiga jago Go-bi itu terluka di tanganku, engkau mau apa?”

Ketua Naga Hijau bagian Sin-bok-than yalah Ko-tok Siu itu, termasyhur sekali di dunia persilatan.

Perkumpulan Naga Hijau mempunyai lima bagian yang dikepalai oleh seorang ketua dengan pangkat than- cu. Ko-tok Siu ketua bagian Sin-bok-than atau Paseban Kayu sakti.

Dengan menyebutkan namanya dimuka, Ko-tok Siu mengira kalau nona itu akan berlaku sungkan atau memberi hormat kepadanya. Tetapi di luar dugaan ternyata Lam-thian-ong pun berani bersikap begitu kasar kepadanya.

Tetapi Ko-tok Siu seorang jago tua yang sudah kenyang makan garam dunia persilatan. Pengalamannya luas sekali. Pikirnya: “Kalau dapat melukai ketiga Go-bi Sam-hiap. tentulah orang ini memiliki kepandaian yang luar biasa.”

Dengan pertimbangan itu, Ko-tok Siu lintangkan tongkat, bertanya “O, siapakah kiranya nama saudara?”

Masih dengan nada sinis, Lam-thian-ong menjawab: “Salah seorang dari keempat Thian-ong pimpinan Jin Kian Pah-cu, namaku Lam-thian-ong.”

Ko-tok Siu kerutkan alis: “Dimanakah sekarang beradanya si Buddha tangan seribu Leng Bu-sia dan Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji?”

Tiba-tiba Lam-thian-ong berpaling ke arah Hiat Sat Mo-li,

“Hiat Sat Mo-li,” serunya, “yang penting kalian kejar Siau Mo saja. Orang-orang Naga Hijau ini serahkan saja kepadaku.”

Hiat Sat Mo-li mengangkat kebutnya pelahan-lahan lalu berkata kepada si dara baju merah, “Sam-sumoay bawalah pemuda itu, mari kita pergi.”

“Saat ini tempat di sini sudah dikepung rapat. Walaupun kalian berjumlah besar, juga tak mungkin dapat lolos,” seru Ko-tok Siu.

“Dengan mengandalkan nama Naga Hijau saja apakah kalian sanggup menahan kami?” seru Lam-thian- ong.

“Kalau tak percaya silahkan coba sendiri!” kata Ko-tok Siu, “Beberapa di sekeliling tempat ini telah juga ketat dijaga oleh anak buah Naga Hijau. Untuk menjaga datangnya bala bantuan dari pihakmu.”

Lam-thian-ong tertawa sinis.

“Kalau begitu aku ingin mengetahui kelihayan orang Naga Hijau.” Habis berkata ia terus julurkan dua jari tangan kanannya untuk menutuk dada Ko-tok Siu.

Telah dikatakan di atas, Ko-tok Siu merupakan salah seorang dari kelima than-cu Naga Hijau. Sudah tentu kepandaiannya amat sakti.

Sudah tentu serangan yang walaupun dilakukan secara menggelap dan tiba-tiba oleh Lam-thian-ong itu tak mungkin dapat mengenai dirinya. Ia tabaskan tangan kiri kepergelangan tangan Lam-thian-ong dan tongkatnya pun menyapu.

Lam-thian-ong tertawa seperti telah menduganya lebih dulu. Tubuhnya bergeliatan seperti menyusup ke dalam sambaran tongkat dan menamparkan tangan kiri ke dada orang.

Apabila ko-jiu (orang sakti) bertempur, gerak dan perobahan jurus dilakukan hanya dalam sekejap mata.

Karena jurus serangannya gagal, saat itu Ko-tok Siu telah dikuasai lawan. Terpaksa ia loncat mundur tiga langkah.

Pada saat kedua orang itu bertempur, si dara baju merah atau sumoay ketiga dari Mo-seng-li pun sudah menghampiri ke muka Bok-yong Kang. Tiba-tiba dilihatnya pemuda itu sudah berdiri dan terus menendang dara itu.

Dara baju merah tak menyangka akan menerima tendangan itu. Ia tak mengerti dan terkejut, mengapa Bok- yong Kang yang menurut keterangan Mo-seng-li tadi telah ditutuk jalan darahnya, saat itu ternyata dapat membebaskan diri sendiri.

Tetapi dara baju merah itu berkepandaian tinggi. Dalam kejutnya ia masih sempat menggerakkan tangan kanannya untuk menebas kaki Bok-yong Kang.

Bok-yong Kang terpaksa menarik pulang kakinya lalu loncat menyingkir setombak jahunya.

“Melihat gerakan Bok-yong Kang begitu lihay si nona baju biru atau Hiat Sat Mo-li segera berseru: “Sam- sumoay, jangan lepaskan orang itu!”

Dara baju merah melengking terus menyerbu Bok-yong Kang. Tujuh buah serangan sekali gus dihamburkannya seperti hujan mencurah.

Serangan yang deras itu memaksa Bok-yong Kang mundur sampat ke titian pintu.

Lam-thian-ong dan Ko-tok Siu pun terkejut melihat Bok-yong Kang mampu membebaskan sendiri jalan darahnya yang tertutuk. Serempak kedua orang itu berpaling.

Ko-tok Siu menyaksikan sendiri tadi bahwa Bok-yong Kang telah ditutuk jalan darahnya oleh si nona baju biru Hiat Sat Mo-li. Kalau dia mampu membuka jalan darahnya sendiri jelas tentu memiliki kepandaian yang sakti. Tetapi mengapa begitu mudah ia dapat diringkus oleh si nona baju biru dan ditutuk jalan darahnya?

Kiranya Bok-yong Kang mempunyai rencana sendiri. Memang sengaja ia memberikan dirinya ditangkap si nona baju biru dan ditutuk jalan darahnya. Agar dengan begitu ia dapat dibawa oleh rombongan nona itu keluar dari kuil dan selamatlah Siau Mo dari sergapan mereka.

Tetapi perhitungannya itu kandas ketika mengetahui bahwa tempat di sekeliling kuil itu sudah dikepung rapat sekali oleh orang-orang Naga Hijau.

Sia-sia ia menyerahkan diri pada rombongan nona-nona itu. Maka cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.

Demikian karena mendengar perintah si nona baju biru maka dara baju merah itu pun menyerang dengan gencar.

Bok-yong Kang pun marah. Cepat ia mengangkat tangan dan gunakan jurus pukulan Coan-sim-ciang atau pukulan menyusup hati, memukul dada si dara baju merah.

“Hm, engkau memang harus mati,” si dara baju merah mendengus geram. Setelah menangkis pukulan, ia loncat tamparkan tangan kanannya kepada lawan.

Melihat pukulan yang dilancarkan sam-sumoay itu, diam-diam Mo-seng-li terkejut dan mengeluh, “Tamatlah engkau sekarang.”

Tetapi di luar dugaan telah terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan. Tepat pada saat dara baju merah itu menampar sekonyong-konyong ia menjerit kaget, “Aduh!”

Tubuhnya, terhuyung-huyung empat langkah ke belakang, “Huak,” mulutnya segera menguak menyemburkan segumpal darah.

Peristiwa yang tak terduga-duga itu benar-benar telah terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Tahulah mereka betapa dahsyatnya tenaga dalam yang dipancarkan dari tamparan tangan dara baju merah itu kepada Bok-yong Kang. Mereka memastikan Bok- yong Kang tentu akan rubuh.

Merekapun sama sekali tak melihat pemuda itu gerakan tangan menangkis atau balas memukul. Tetapi tahu-tahu dara baju merah itu sudah menjerit terhuyung-huyung dan muntah darah.

Nona baju biru atau Hiat Sat Mo-li juga terkejut sekali. Seketika seri wajahnya berobah pucat. Ia tahu bahwa tamparan yang dilancarkan sam-sumoay itu disebut Sam-yang-ciang-keng atau Tiga tenaga positif. Sebuah pukulan tenaga dalam yang bukan olah-olah hebatnya. Sekalipun sakti kepandaian Bok-yong Kang, juga sukar untuk terlepas dari bencana.

Cepat Hiat Sat Mo-li melesat ke samping si dara baju merah: “Sam-sumoay, apakah engkau terluka berat?”

Sebenarnya Bok-yong Kang sendiri juga heran melihat peristiwa itu. Pada saat si dara baju merah menamparnya segera ia rasakan dadanya terdampar oleh angin pukulan yang hangat. Dia memang bingung bagaimana harus menghalau pukulan itu.

Tiba-tiba dari arah belakang, ia merasa didampar oleh segelombang tenaga dalam yang hebat. Dan tenaga dalam itu seperti terus melanda ke arah si dara. Dan tahu-tahu si dara menjerit.

Bok-yong Kang terlongong-longong memandang si dara baju merah. Pikirnya menimang: “Siapakah yang membantu secara diam-diam itu? Apakah Siau toako sudah siuman?”

Wajah si dara baju merah yang segar, saat itu tampak pucat seperti kertas. Mulutnya masih mengumur darah.

“Toa-suci, aku aku terkena pukulan Sam-im-ciang. Huak……,” kembali ia muntah darah lagi dan tahu-

tahu rubuhlah ia tak sadarkan diri, di dalam pelukan Hiat Sat Mo-li.

Hiat Sat Mo-li terkejut lalu cepat menutuk tujuh buah jalan darah di bagian saluran urat Thay-im-king-meh. Kemudian berpaling kepada Mo-seng-li,

“Ji-sumoay, lekas engkau panggul dia!”

Melihat sam-sumoay nya terluka begitu parah, Mo-seng-li terkejut bukan kepalang. Ia tahu bahwa di ruang kuil hanya terdapat seorang tokoh sakti yang bersembunyi yalah Pendekar Ular Emas Siau Mo. Menilik kepandaian Bok-yong Kang tak mungkin pemuda itu mampu melukai sam-sumoay nya sedemikian rupa.

Mo-seng-li maju menghampiri lalu menyanggapi tubuh si dara baju merah. Melihat wajah sam-sumoay nya pucat seperti kertas, terharulah hati Mo-seng-li.

Saat itu Hiat Sat Mo-li memandang Bok-yong Kang dengan mata berkilat-kilat, serunya dingin: “Hm, tak kira engkau telah menyembunyikan kepandaian yang hebat.”

Setenang kata-katanya, setenang itu pula ia pelahan-lahan maju menghampiri ke tempat Bok-yong Kang. Tiba-tiba ia membentak pelahan:

“Kena!”

Kebut hud-tim tiba-tiba ditaburkan menjadi ratusan lembar kawat halus, menghamburkan menyerang berpuluh jalan darah di tubuh Bok-yong Kang.

Jurus itu cepatnya seperti kilat menyambar-nyambar dahsyatnya bagai gunung meletus. Bagaimana pun juga, Bok-yong Kang tentu sukar lolos dari serangan maut itu.

Tetapi kembali suatu peristiwa ajaib telah terjadi. Pada saat Hiat Sat Mo-li melancarkan serangan, tiba-tiba setiup angin lembut menghambur ke arahnya dan bulu-bulu kuda dari kebut hud-timnya itu pun tersiak ke samping.

Hiat Sat Mo-li terkejut. Cepat ia loncat mundur tiga langkah dan berteriak: “Hai, siapakah orang sakti yang berada dalam ruang ini?” Teriakan nona baju biru itu telah menyadarkan perhatian sekalian orang. Serempak mereka mencurah pandang ke arah ruang besar yang gelap pekat.

Teriakan Hiat Sat Mo-li itu tak bersambut suatu apa. Ruangan sunyi senyap tiada penyahutan.

Hiat Sat Mo-li mendengus dingin. Sekali melesat ia menyelinap dari samping Bok-yong Kang terus menerobos ke dalam ruang besar.

Tiba-tiba dari ruang besar terdengar deru angin meniup dan pada lain saat Hiat Sat Mo-li pun loncat keluar pula dari ruang besar itu.

Ketika sekalian orang memandang ternyata rambut nona baju biru itu sudah kusut masai, seraya memandang ke arah ruang besar.

Saat itu dari ruang besar terdengar derap langkah orang berjalan keluar.

Bok-yong Kang tegang hatinya. Ia yakin yang keluar itu tentulah Siau Mo. Maka cepat ia berpaling dan berseru: “Siau toako.”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan terbeliaklah kedua matanya memandang orang yang muncul keluar itu.

Orang itu bukan Siau Mo melainkan seorang lelaki berjubah longgar dan mukanya ditutup dengan selubung kain warna biru.

Ah, kiranya si Baju biru. Sudah dua-tiga kali Bok-yong Kang melihatnya. Sekalipun belum pernah melihat bagaimana wajahnya, tetapi ia tak lupa akan perawakan orang itu.

Bukankah orang itu si Baju Biru yang mengendarai kuda hijau tempo hari?

Selekas Baju Biru itu muncul, sekalian anak buah perkumpulan Naga Hijau pun segera memberi hormat dan serempak berseru, ”Semoga panjang usialah ketua Naga Hijau yang kami hormati!”

Bahkan Ko-tok Siu pun segera membungkukkan tubuh memberi hormat kepadanya. seraya berseru: “Harap Pangcu memberi maaf atas kelengahan Sin Bok Than-cu Ko-tok Siu terlambat menyambut kedatangan pangcu.”

Orang aneh baju biru itu hanya lambaikan lengan jubahnya yang gerombyongan tanpa menjawab dan sekalian anak buah Naga Hijau itu pun segera berbangkit dan tegak berjajar di empat penjuru.

Hiat Sat Mo-li dan lain-lain orang terbeliak kaget. Orang aneh berkerudung kasa biru ternyata ketua perkumpulan Naga Hijau seorang tokoh yang termasyhur di seluruh dunia persilatan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar