Pendekar 100 Hari Jilid 03

03.11. Rahasia Pendekar Ular Emas

Di kala Bok-yong Kang mengikuti berjalan di belakang Pendekar Ular Emas Siau Mo, pikirannya penuh dengan berbagai renungan. “Semoga Tuhan memberi panjang umur kepada pemuda yang berbakat luar biasa ini,” diam-diam ia memanjatkan doa.

Dalam pada itu iapun heran, mengapa dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, Siau Mo tak mampu mencegah penyakit yang akan merenggut jiwanya itu?

Merenungkan saat-saat terakhir dari seratus hari nanti, Bok-yong Kang menghela napas.

Setengah jam kemudian, kedua pemuda itu mulai mendaki sebuah lereng gunung. Barisan gunung berjajar- jajar di empat penjuru. Salju putih yang menutup puncak gunung, makin berkilau-kemilau ditingkah sinar matahari.

Tetapi kedua pemuda itu tak menghiraukan pemandangan alam yang indah itu. Setelah membiluk dua buah tikung gunung, tibalah mereka di depan sebuah batu karang yang menjulang tinggi. Siau Mo berhenti.

“Waktu amat berharga sekali, sekarang aku hendak mengajarkan engkau ilmu pukulan. Kulihat tenagamu kuat sekali maka tepat kalau belajar ilmu pukulan. Siang malam aku memeras otak dan akhirnya berhasil menggabungkan ilmu pukulan dari berbagai partai persilatan, menjadi delapan jurus ilmu pukulan. Bagaimana kesaktiannya, aku sendiri juga belum tahu. Ke delapan jurus ilmu pukulan itu memang luar  biasa indahnya maka engkau harus belajar sungguh-sungguh.”

Habis berkata Siau Mo lalu mengangkat tangan, katanya: “Karena untuk memelihara tenaga, gerakanku ini pun tak menggunakan kekuatan. Cukup asal engkau mengingat jalan dan jurusnya. Juga tak perlu engkau menggunakan tenaga dulu.”

Bok-yong Kang tahu kalau Siau Mo itu seorang pemuda yang berhati keras. Apa yang dikatakan tentu dilakukannya Karena Siau Mo sudah memutuskan dalam seratus hari akan menurunkan pelajaran, betapapun dinasehatinya, dia tentu pantang mundur. Demi menjaga agar toakonya itu jangan sampai membuang banyak tenaga maka Bok-yong Kang pun buru-buru mengikuti gerakannya.

Dengan wajah bersungguh-sungguh, sambil gerakan tangan, Siau Mo tak henti-hentinya menerangkan kegunaannya. Bok-yong Kang pun curahkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan dan mengikuti gerakan tangan Siau Mo.

Setelah menginjak jurus yang keempat, diam-diam terkejutlah Bok-yong Kang. Apa yang Siau Mo ajarkan itu ternyata adalah jurus-jurus ilmu pukulan yang menjadi kelemahan dari ilmu silat yang dimiliki Bok-yong Kang selama itu. Memang sebelum mendapat pelajaran dari Siau Mo, Bok-yong Kang merasa adanya kelemahan-kelemahan dalam ilmu silat yang dimilikinya. Dengan kelemahan itu ia sukar untuk menangkis serangan musuh.

Walaupun tahu bahwa Siau Mo itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti, tetapi Bok-yong Kang tak tahu asal usul perguruan Siau Mo. Setelah menerima pelajaran, makin besarlah keheranan dan kekaguman Bok-yong Kang terhadap Siau Mo. Pada hal Siau Mo itu hanya terpaut beberapa bulan lebih tua dari dirinya, tetapi mengapa pemuda itu dapat memiliki ilmu kepandaian yang begitu luas dan sakti?

Dalam belajar ilmu silat ada tiga unsur penting. Waktu, guru dan bakat. Belajar dalam waktu singkat, tak mungkin orang akan mencapai kesempurnaan. Dan kalau tak mendapat guru yang pandai, pun tak mungkin dapat mencapai tingkat tinggi. Kemudian bakat, kalau tak punya bakat bagus, tentu juga sukar untuk memiliki kepandaian yang tinggi.

Tiba-tiba Bok-yong Kang menghela napas, katanya: “Siau toako, apabila dengan ilmu kepandaianmu yang sakti itu engkau beristirahat selama sepuluh tahun untuk mengobati penyakitmu, kurasa engkau pasti dapat sembuh.”

Siau Mo tertawa tawar. “Apakah aku juga tak menyayangi jiwaku? Ah ”

Ia berhenti menghela napas, ujarnya pula: “Tentang bagaimana keadaan penyakitku, setelah seratus hari tentu kuberitahu kepadamu.”

Bok-yong Kang tertegun. Ia memandang Siau Mo dan dapatkan wajah pemuda itu tampak berkabut kerawanan, pikirnya: “Apakah maksudnya rahasia penyakitnya itu?”

“Siau toako, apakah engkau mau memberitahu tentang apa yang engkau maksudkan dengan “rahasia penyakit” itu?”

Siau Mo menghela napas pula, ujarnya: “Telah kucurahkan seluruh pikiran dan akhirnya aku dapat menemukan semacam obat yang kemungkinan besar dapat menyembuhkan penyakitku, tetapi……” “Hai, benarkah itu, toako? Kalau begitu engkau takkan meninggal!” tukas Bok-yong Kang.

“Omonganku belum selesai,” kata Siau Mo, “tetapi usahaku untuk merebut nyawa itu, mungkin akan mengakibatkan malapetaka dunia.”

“Apa?” Bok-yong Kang terkejut.

“Penyakitku ini,” kata Siau Mo, “adalah penyakit keturunan. Boleh dikata tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Tetapi setelah dengan jerih payah kucari berpuluh-puluh buku pengobatan, akhirnya kuketemukan memang terdapat semacam cara pengobatannya. Tetapi cara itu akan mengakibatkan rusaknya urat syaraf kepalaku…….”

Mendengar itu Bok-yong Kang pun menghela napas, pikirnya: “O, kiranya begitu maka toako tak berani mengambil cara itu. Seorang yang hilang ingatannya, tak ubah seperti orang gila. Itu jauh lebih menderita daripada mati.”

Siau Mo melanjutkan lagi: “Kalau aku sampai menjadi seorang yang hilang ingatan, itu sih tak apa. Tetapi yang paling menakutkan, yalah ”

“Bagaimana?” desak Bok-yong Kang.

Dengan nada berat berkatalah Siau Mo: “Aku dapat menjadi seorang iblis pembunuh yang ganas!” “Mengapa begitu?” Bok-yong Kang terkejut,

“Karena engkau tak tahu cara pengobatan yang hendak kulakukan itu maka engkau tak tahu bagaimana akibatnya yang mengerikan. Setahun lamanya kupikirkan hal itu tetapi belum dapat kuambil keputusan.”

“Toako, apakah benar-benar akan timbul kemungkinan semacam itu?” tanya Bok-yong Kang pula.

Tiba-tiba Siau Mo menurunkan nadanya seperti berbisik, ujarnya: “Bokyong-te, apa yang disebut Bu-kek- cek-hoan itu? Caraku mengobati penyakitku nanti, juga akan menggunakan cara itu. Akan kuminum racun yang paling ganas untuk membius urat syarafku. Sekarang ini aku sudah mempersiapkan obat-obat itu, nanti apabila tiba saatnya memang hendak kucoba. Apabila nanti sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan, aku menjadi seorang momok yang ganas, engkau harus lekas-lekas membunuhku agar aku jangan sempat menimbulkan malapetaka pada orang lain.”

“Tetapi bagaimana aku tahu kalau toako menggunakan obat itu dengan betul atau keliru?” tanya Bok-yong Kang.

Siau Mo makin merendahkan nada bisikannya: “Itulah yang kukatakan sebagai 'rahasia'. Dan hal itu menyangkut nasib dunia persilatan juga. Apabila setelah minum obat mataku berkilat-kilat memancarkan sinar kebiru-biruan, itu tandanya aku akan berobah menjadi momok yang kejam. Nah, saat itu segera saja engkau bunuh aku. Tetapi kalau sinar mataku tetap seperti orang biasa, berarti pengobatan itu berhasil.  Jika ”

Tiba-tiba Siau Mo kerutkan dahi lalu membentak sekerasnya: “Siapa itu!” Dan serentak iapun sudah loncat lari menuju ke lereng gunung.

Bok-yong Kang ikut terkejut. Ia memandang ke arah yang dituju Siau Mo tetapi tak melihat suatu apa. Namun ia percaya penuh akan ketajaman telinga dan mata dari Siau Mo. Makapun segera ikut menyusul.

Tetapi mereka tak menemukan suatu apa.

“Bokyong-te,” kata Siau Mo gopoh, “telah kulihat seseorang, kepandaiannya hebat sekali ”

Habis berkata ia terus lari turun ke bawah.

Bok-yong Kang terpaksa menyusul lagi. Sejak mengikuti Siau Mo selama setahun, belum pernah ia melihat wajah Siau Mo sedemikian tegang seperti tadi.

Begitu tiba di bawah gunung Siau Mo terus lari ke sebuah tikung jalan. Tiba-tiba ia melihat seorang berpakaian biru sedang berjalan dengan pelahan-lahan, dari sebuah bukit.

“Berhenti!” teriak Siau Mo.

Tetapi rupanya orang berpakaian biru itu tak mendengar. Ia tetap berjalan seenaknya, menuruni sebuah anak bukit lalu lenyap. Dengan cepat Siau Mo pun segera lari mengejar. Begitu tiba di bukit itu, ia berdiri termangu-mangu.

Tak berapa lama, Bok-yong Kang pun tiba. Memandang ke muka, tampak sebuah padang rumput yang merentang sampai jauh ke muka. Dan samar-samar tampak sesosok tubuh baju biru sedang berjalan pelahan-lahan menuju ke ujung padang rumput.

Bok-yong Kang terkejut. Baru beberapa kejap saja orang baju biru itu menuruni bukit, mengapa saat itu sudah berada pada jarak berpuluh-puluh tombak jauhnya. Dan bukankah tampaknya orang itu hanya berjalan seenaknya saja?

Tiba-tiba mulut Siau Mo mengingau seorang diri, “.......angin puyuh menimbulkan deru suara, melayang- layang akhirnya lenyap. Ilmu gin-kang yang hebat, dapat berjalan dengan seenaknya, mengangkat berat terasa ringan, tampaknya pelahan tetapi sebenarnya cepat ”

“Hai, Bokyong-te,” kata Siau Mo kepada Bok-yong Kang, “rupanya ilmu gin-kang orang sudah mencapai tataran yang sempurna. Bahkan akupun tak mampu mengejarnya. Tetapi bagaimanapun juga, jangan sampai orang itu tinggalkan tempat ini ”

Sesaat Siau Mo memandang ke muka lagi, orang berbaju biru itupun sudah lenyap dari pandang mata. Terpaksa Siau Mo batalkan niatnya untuk mengejar. Ia menghela napas……..

Juga Bok-yong Kang terkejut sekali melihat kehebatan ilmu ginkang orang berbaju biru itu. Tetapi ia heran mengapa Siau Mo tampak begitu tegang.

“Siau toako, kenalkah engkau kepada orang itu?” tanyanya. Siau Mo gelengkan kepala, menghela napas.

“Alangkah baiknya kalau aku kenal kepadanya. Tetapi ilmu ginkangnya yang begitu luar biasa tak memberi kesempatan kepadaku untuk melihatnya. Perawakannya tidak tinggi pun tidak pendek, tetapi ilmu ginkangnya benar-benar luar biasa sekali…… menilik umurnya, rasanya dalam dunia persilatan tak terdapat seorang tokoh lihay semacam itu ”

“Toako,” kata Bok-yong Kang, “dia menuju ke Lok-yang. Kalau kita ke sana, kemungkinan tentu dapat bertemu.”

Wajah Siau Mo tampak gelap dan berkatalah ia dengan nada sarat: “Apabila orang itu menjadi anak buah Wanita Suara Iblis, celakalah kita……”

“Bokyong-te,” katanya pula, “ketahuilah, apabila orang itu sampai mengetahui rahasia penyakitku, aku pasti mati.”

Bok-yong Kang terbeliak heran, “Toako, aku tak mengerti apa yang engkau maksudkan.” Siau Mo menghela napas rawan.

“Bokyong-te, ketahuilah! Bila setelah aku sadar dari minum obat, ada orang yang menggunakan ilmu Sip- sin-to-in-sut (menghilangkan kesadaran pikiran dan memberi perintah) untuk menyuruh aku melakukan perbuatan-perbuatan yang ganas, aku tentu akan menjadi seorang momok pembunuh yang tak sadar. Ini berbahaya sekali dan kuharap engkau harus menjaga keras agar rahasia diriku itu jangan sampai diketahui orang.”

Berhenti sejenak, Siau Mo berkata pula: “Mari kita kejar dia dan menyelidiki orang itu. Menurut dugaanku, orang itu mungkin bukan anak buah Wanita Suara Iblis. Karena kalau menilik kepandaiannya yang begitu bebat, rasanya dia lebih lihay dari Wanita Suara Iblis.”

Demikian kedua pemuda itu segera menuju ke dalam kota Lok-yang. Tiba diluar pintu kota, haripun sudah petang. Siau Mo mengajak kawannya masuk kota dan mencari hotel Hun-liong-lo.

Hun-liong-lo merupakan hotel yang terbesar di kota Lok-yang. Gedungnya besar dan megah, kamarnya tak kurang dari empatratus buah.

Baru melangkah ke serambi hotel, segera seorang jongos menyambutnya: “Bukankah tuan berdua hendak mencari kamar. Ah, hotel kami memiliki kamar yang bersih dan indah ”

“Kawan kami sudah memesankan kamar di sini, harap engkau ” “O, kalau begitu sudah lama kami menunggu kedatangan tuan,” cepat jongos itu menukas kata-kata Bok- yong Kang. Rupanya dia sudah dipesan oleh Cu-ing, “mari, silahkan ikut kami ke dalam.”

Memang hotel itu besar dan mewah sekali. Lantainya dari batu marmar kembang. Dan di sepanjang halaman serambi dalam ditanami pohon cemara kate. Pada setiap pintu kamar, dihias dengan setengah losin pot bunga seruni.

Pada saat mereka berjalan, Siau Mo gunakan ilmu menyusup suara: “Bokyong-te, kulihat orang berbaju biru itu berada dalam serambi kamar nomor tiga.”

Bok-yong Kang terkejut. Memandang ke muka, tujuh-delapan tombak di sebelah depan, terdapat sebuah pagar tembok yang melingkari tiga buah villa, tetapi tak tampak seorangpun juga.

Jongos berpaling, katanya: “Tuan, nona Nyo dan beberapa sahabatnya, menempati dua buah villa sebelah kanan dan kiri. Villa di tengah untuk tuan berdua. Nona Nyo pun memberi pesan, apabila tak dipanggil, aku tak boleh sembarangan datang. Maka harap tuan berdua suka maafkan kalau aku tak dapat mengantar tuan sampai ke gedung itu.”

Habis berkata jongos terus berputar tubuh dan kembali keluar.

Mendengar keterangan dari jongos bahwa Cu-ing menempati sebuah villa tersendiri, terkejutlah Siau Mo. Cepat ia menyelinap masuk ke arah villa di sebelah kiri.

Melihat Siau Mo masuk ke arah halaman vila dimana orang baju biru tadi menampakkan diri, Bok-yong  Kang cepat-cepat menduga bahwa tentu akan terjadi suatu peristiwa. Maka lekas-lekas iapun menyusul.

“Nona Nyo, toako ku sudah datang,” serunya memanggil Cu-ing. Tetapi tiada penyahutan sama sekali dari dalam kamar.

“Bokyong-te, lekaslah engkau masuk dan periksa dalam kamar,” seru Siau Mo.

Dan ia sendiri serentak terus melambung ke atas wuwungan rumah lalu berlari-lari di sepanjang wuwungan. Apabila memang terdapat musuh, tak mungkin dapat lepas dari pengamatannya. Tetapi sampaipun ia telah menyelidiki ke setiap ujung dan pelosok, tetap si baju biru itu tak dapat diketemukan.

Siau Mo terpaksa kembali ke villa sebelah kiri lagi. Ketika memasuki ruang gedung itu, di1ihatnya Bok-yong Kang tengah berdiri termangu memandang ke lantai.

Ternyata di atas lantai yang semula putih bersih itu, penuh dengan noda darah yang berceceran.

Seketika berobahlah wajah Siau Mo. Secepat kilat ia menerobos masuk ke dalam kamar tidur tetapi ah…… Cu-ing tak ada.

“Toako, mereka tentu tertimpah bahaya,” seru Bok-yong Kang

Saat itu hati Siau Mo benar-benar gelisah sekali. Betapapun cerdasnya, namun menghadapi peristiwa yang seaneh itu, iapun merasa seperti dalam kabut yang gelap. Kedua pemuda itu termangu-mangu kehilangan paham.

Sampai beberapa lama, barulah Siau Mo berkata: “Marilah kita periksa kedua villa itu.”

Siau Mo masuk ke dalam ruang villa di tengah sedang Bok-yong Kang menuju ke ruang villa yang sebelah kanan.

Begitu melangkah ke dalam serambi muka ruang villa, segera Siau Mo melihat sehelai saputangan putih. Dengan hati-hati ia memungutnya. Tetapi sebelum sempat memeriksa tiba-tiba dari villa sebelah kanan terdengar Bok-yong Kang membentak dan sebuah erang tertahan.

Siau Mo terkejut sekali dan cepat loncat melampaui tembok pemisah yang tak berapa tinggi lalu menerobos masuk ke dalam ruang. Astaga, Bok-yong Kang rebah menggeletak di lantai……

Kejut Siau Mo tak terlukiskan lagi. Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi seperti Bok-yong Kang mengapa dalam beberapa kejap saja sudah dirubuhkan orang.

Cepat ia memeriksa keadaan Bok-yong Kang. Ternyata pemuda itu tertutuk jalan darahnya.

Siau Mo pun segera membuka jalan darah pemuda itu. Tetapi begitu tersadar, tiba-tiba Bok-yong Kang membentak dan menghantam Siau Mo. “Bokyong-te, akulah,” seru Siau Mo seraya menghindar.

Bok-yong Kang tertegun. Sesaat kemudian baru ia dapat berkata: “Wanita Suara Iblis, ya, lagi-lagi wanita itulah!”

“Apakah yang menyerangmu tadi si Suara Iblis itu?” Siau Mo kerutkan alis. Bok-yong Kang mengiakan: “Ya, memang seorang wanita.”

Melihat kawannya itu tak menderita luka, legahlah hati Siau Mo. Tiba-tiba ia teringat akan saputanganputih yang dipungutnya tadi. Ketika diperiksa ternyata memang terdapat tulisan yang berbunyi:

…….bermula aku mencurigai tuan, tetapi sekarang tabir sudah tersingkap. Musuh tangguh mengintai, harap tuan hati-hati dan waspada……

Habis membaca, Siau Mo kerutkan dahi merenung. Tulisan itu tak dibubuhi tanda tangan. Tetapi kata-kata dalam tulisannya itu, agaknya cukup memberi petunjuk jelas siapa penulisnya. Ya, itulah Nyo Cu-ing.

03.12. Serba Misterius

Tetapi kata-kata selanjutnya yang memberi peringatan supaya ia berhati-hati terhadap musuh, kata-kata itu agaknya bukan dari Cu-ing. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?”

Bok-yong Kang pun membaca tulisan itu tetapi ia hanya terlongong-longong saja.

“Bokyong-te, mari kita pergi,” tiba-tiba Siau Mo berseru dan terus bergegas tinggalkan hotel itu. “Siau toako, hendak kemanakah kita?” tanya Bok-yong Kang setelah keluar dari hotel.

“Bokyong-te, apakah engkau merasa pasti bahwa yang menyerangmu itu si Wanita Suara Iblis?” tanya Siau Mo.

“Tak mungkin salah lagi, memang seorang wanita,” kata Bok-yong Kang dengan nada bersungguh. “dia maju menghampiri dan menutuk jalan darahku. Ilmu tutukannya itu serupa dengan apa yang kualami ketika berada di villa Merah Delima dalam gedung keluarga Nyo.”

“O,” desah Siau Mo, “kalau begitu dia bukan Wanita Suara Iblis!” “Hah?” Bok-yong Kang menganga. “kalau bukan dia lalu siapa?”

“Mungkin orang berbaju biru itu,” kata Siau Mo. “Bokyong-te, sewaktu engkau ditutuk apakah engkau sama sekali tak dapat melihat warna pakaian orang itu?”

Wajah Bok-yong Kang berobah, sahutnya: “Maaf toako, karena kepandaian begini rendah maka sampai pakaiannya saja aku tak dapat melihatnya.”

Diam-diam Siau Mo berpikir: “Tingkat kepandaian Bok-yong Kang ini sudah sama dengan jago persilatan kelas satu. Tetapi dua kali menderita tutukan orang, dua kali itu pula ia tak mampu melihat warna pakaiannya penutuknya. Jelas kepandaian orang itu luar biasa sekali……”

Kemudian ia berkata, “Kepandaian orang berbaju biru itu memang sukar diraba tingginya. Dan lagi diapun memiliki kecerdasan yang hebat. Sekalipun aku sudah dua kali melihatnya, pun hanya dapat melihat warna pakaiannya tetapi tak mampu melihat wajahnya.”

”Toako, apakah engkau duga yang menyerang aku itu si Baju Biru?” tanya Bok-yong Kang. Siau Mo mengangguk.

“Turut rabaanku, memang yang menyerang engkau tadi adalah orang baju biru itu. Tetapi adakah dia itu si Wanita Suara Iblis sendiri, aku kurang jelas. Sekarang kita akan menuju ke gedung keluarga Nyo. Go-bi Sam-hiap dan nona Cu-ing, kemungkinan tentu sudah mengalami sesuatu yang tak terduga.”

Saat itu Siau Mo dan Bok-yong Kang sudah tiba di tempat yang sepi. Tiba-tiba dari sebuah gang kecil muncul seekor kuda yang tegar. Seekor kuda tinggi besar bulu kebiru-biruan dari Mongolia.

Penunggangnya seorang lelaki mengenakan mantel warna hitam dan memakai topi caping bambu yang lebar. Mantelnya sedemikian lebar hingga menutupi punggung kuda dan kedua kaki penunggang itu. Begitu tiba dan lewat di sisi Siau Mo dan Bok-yong Kang, penunggang itu tetap tak berpaling kepala. Seolah-olah seperti tak tahu kalau di samping jalan terdapat orang lain.

Setelah kuda itu lewat, tiba-tiba Siau Mo mendesuh dan berpaling. Rupanya Bok-yong Kang juga merasa heran dan berpaling.

Tetapi ah kuda tegar itu ternyata sudah lenyap dari lorong gang.

Kali ini Siau Mo dan Bok-yong Kang benar-benar terperanjat. Baru beberapa kejap saja kuda itu lewat, mengapa sudah menghilang ke tikungan jalan besar. Padahal gang itu ke jalan besar tak kurang dari duapuluhan tombak panjangnya.

“Bokyong-te, apakah engkau melihat wajah penunggang kuda tadi?” tanya Siau Mo. Bok-yong Kang gelengkan kepala,

“Aneh benar,” katanya, “kurasa, tadi aku sudah menumpahkan perhatian untuk melihat wajahnya tetapi mengapa hanya bayangan kuda itu saja yang masih kuingat dan penunggangnya sama sekali tak ingat lagi?”

Siau Mo menghela napas.

“Penunggang kuda itu jelas menggunakan ilmu Hoan-ing-pian-tong-sim-hwat atau ilmu Bayangan kosong. Sekalipun dia berada dihadapan kita, pun kita tak mungkin dapat melihat wajahnya.”

“Hai, mengapa dalam ilmu silat terdapat semacam ilmu begitu aneh?” seru Bok-yong Kang.

“Itu memang suatu ilmu kepandaian silat tataran tinggi,” menerangkan Siau Mo, “asalnya dari sumber ilmu silat perguruan Bi-cong-pay dari Tibet. Ah, rupanya dalam bulan-bulan terakhir ini tokoh-tokoh dunia persilatan sudah mengetahui bahwa di Lok-yang bakal timbul peristiwa besar. Maka tak mengherankan kalau kota ini penuh dengan tokoh-tokoh silat dari seluruh penjuru.”

“Siau toako,” kata Bok-yong Kang. “sampai detik ini aku masih bingung memikirkan. Siapakah sesungguhnya Wanita Suara Iblis itu?”

“Seorang tokoh penting dari suatu gerombolan yang hendak mengacau balau dunia persilatan,” kata Siau Mo, “untuk mengetahui siapa pemimpinnya, terpaksa kita harus mencari keterangan dari anak buahnya. Sungguh menjengkelkan sekali, bagaimana wajah Wanita Suara Iblis itu, kita tak mampu mengetahuinya. Tetapi kebalikannya wanita itu tahu semua sepak terjang kita...... Ah, sebenarnya aku tak mempunyai keinginan hendak bentrok dengan wanita itu, maka selama dua tahun ini akupun tak mau menaruh memperhatikan mereka. Akibatnya dalam beberapa hari ini aku termakan siasat mereka tanpa dapat berbuat apa-apa!”

Bok-yong Kang yang sudah tahu perangai Siau Mo, percaya penuh apa yang dikatakan toakonya itu. Walaupun sudah setahun lamanya, Wanita Suara Iblis itu selalu membayangi di belakangnya tetapi Siau Mo tentu tak mempedulikan.

“Tetapi Siau toako memiliki kecerdasan dan ilmu silat yang luar biasa. Betapapun kawanan tikus itu hendak unjuk kepandaian tak urung mereka pasti akan hancur di bawah pedang kebenaran dari toako,” kata Bok- yong Kang.

Siau Mo tertawa hambar.

“Bokyong-te” katanya, “begitu tinggi engkau menyanjung diriku sampai aku menjadi gelisah sendiri. Sudahlah, mari kita menuju ke gedung keluarga Nyo. Salah langkah dalam menjalankan sebuah biji catur, dapat mengakibatkan kita menderita kekalahan.”

Tak berapa lama kedua pemuda itupun tiba di sebuah jalan kecil yang sepi. Dari jauh sudah tampak puncak bangunan dari kediaman keluarga Nyo yang merupakan gedung termegah di kota Lok-yang.

Siau Mo menarik tangan Bok-yong Kang diajak bersembunyi di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan.

“Bok-yong-te,” bisiknya, “gedung itu saat ini sudah berobah keadaannya. Penuh dengan bahaya. Baiklah untuk sementara waktu kita menunggu perkembangannya di sini dulu.” Memandang ke arah gedung itu, Bok-yang Kang melihat pintunya yang bercat merah tertutup rapat. Ditingkah oleh sinar matahari, suasana gedung yang sunyi itu diliputi oleh hawa pembunuhan yang menyeramkan.

Dan mata pemuda yang tajam itupun dapat melihat bahwa di ruang keempat dalam gedung itu terpancang sebatang tonggak bambu yang tinggi. Di atas tonggak bambu itu digantungi sebuah lentera yang biasa digunakan di rumah keluarga yang mengalami kematian. Di bawah lentera itu berkibar sehelai kain putih yang berkibar-kibar di tiup angin.

Sepintas pandang memberi kesan bahwa gedung itu memang sedang berkabung.

“Pemandangan dalam gedung itu, masih serupa seperti semalam,” kata Siau Mo, “itu membuktikan bahwa nona Ing dan orang-orang itu belum datang ke situ. Baiklah kita beristirahat dulu di sini menunggu sampai tengah hari.”

“Lalu apakah yang akan kita lakukan apabila nanti kita masuk ke dalam gedung itu?” tanya Bok-yong Kang.

“Lentera kematian dan kain putih itu merupakan lambang dari gerombolan Wanita Suara Iblis. Memberi tanda bahwa nanti tengah hari mereka akan menyambut orang.

“Siapakah yang akan mereka sambut?” tanya Bok-yong Kang. “Apabila dugaanku tak salah, tentulah Nyo Jong-ho sekeluarga.”

“Toako,” seru Bok-yong Kang, “kurasa mereka tentu akan memasang siasat. Kalau akan menyambut orang, mengapa harus pada waktu tengah hari?”

“Orang yang tak kenal pertandaan itu tentu tak tahu apa sebab mereka akan menyambut orang pada waktu tengah hari. Bukankah siang hari itu akan diketahui orang?” kata Siau Mo, “saat ini masih ada sedikit yang aku masih belum mengerti yalah apakah Nyo Jong-ho dan orang-orang itu masih berada dalam gedung itu?”

“Bukankah ketika toako datang tadi malam, toako mengatakan kalau rumah itu sudah kosong sama sekali?”

Kata Siau Mo: “Memang tak mungkin anak buah Wanita Suara Iblis dapat mengangkut keluarga Nyo Jong- ho yang berjumlah lebih dari seratus orang itu ke lain tempat dalam waktu yang begitu singkat. Maka aku lebih cenderung untuk menduga bahwa mereka tentu masih disembunyikan dalam gedung itu. Mungkin dalam sebuah kamar rahasia.”

Sambil menengadah memandang ke cakrawala berkatalah Bok-yong Kang: “Matahari sudah naik di tengah, pertanda sudah tengah hari. Tetapi mengapa nona dan orang-orang itu masih belum datang? Apakah kita takkan masuk dulu ke dalam gedung itu?”

Siau Mo mengangguk.

“Engkau yang ke pintu muka dan minta pintu dibuka dan aku yang akan lompat dari pagar tembok samping. Sekalian supaya dapat kuselidiki keadaan sekeliling gedung. Kalau pintu tak dibuka, dobrak saja.”

Habis berkata Siau Mo pun terus melesat ke muka. Ketika Bok-yong Kang berjalan menuju pintu besar yang bercat merah itu, ternyata Siau Mo sudah lenyap. Maka Bok-yong Kang pun segera mendebur pintu dengan grendel bundar yang dipasang di atasnya.

Walaupun menimbulkan suara keras namun sampai beberapa saat, belum juga pintu itu dibuka. Keadaan dalam gedung tetap sepi.

Menuruti pesan Siau Mo, Bok-yong Kang segera kerahkan tenaga mendobraknya. “Brak……” pintu besar itupun tiba-tiba terpentang lebar.

Ternyata pintu itu memang tak dipalang.

Halaman muka dalam gedung itu sunyi sekali. Tiba-tiba angin berembus masuk dan pohon-pohon yang tumbuh dalam halaman itu berdesir-desir menimbulkan suasana yang menyeramkan.

Setelah menenangkan perasaannya, Bok-yong Kang pun segera melangkah masuk. Ia mendorong pintu gedung dan memandang ke dalam. Seketika terbanglah semangatnya!

Dia berdiri termangu-mangu…… Ruang besar gedung itu sudah berobah menjadi sebuah tempat yang menyeramkan. Ruangan seolah-olah tertutup oleh kain putih tetapi lantai penuh dengan darah merah yang berasal dari berpuluh-puluh mayat tanpa…… kepala!

Pada saat Bok-yong Kang kehilangan paham, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dan kata-kata menggeram: “Hem, ganas bukan kepalang!”

Bok-yong Kang cepat berpaling dan entah bilamana munculnya, tahu-tahu ketiga tokoh Go-bi-pay sudah  berada di belakangnya.

Bwe Hui-ji tokoh wanita dari Go-bi segera maju menghampiri dan membentak dengan bengis: “Bagaimana peristiwa ini terjadi? Kemanakah Siau Mo?”

Watak Bok-yong Kang itu, di luar ramah tetapi hatinya keras. Mendengar sikap dan nada pertanyaan yang begitu kasar, diapun naik pitam juga.

“Bagaimana yang terjadi, bukankah engkau sudah melihat sendiri? Perlu apa bertanya kepadaku?” Bwe Hui-ji kerutkan alis lalu tertawa dingin.

“Memang, telah kuduga bahwa engkau dan Siau Mo itu bukan orang baik. Dan ternyata memang benar. Kalau saat ini engkau tak mau mengatakan apa yang terjadi di sini, hm, jangan engkau harap dapat tinggalkan ruang ini!”

Semalam ketika menderita tutukan dari Bwe Hui-ji, Bok-yong Kang memang masih penasaran. Saat itu  demi mendengar ucapan yang gila dari wanita itu, meluaplah amarahnya.

“Dengan kepandaian yang dimiliknya itu, apakah Go-bi Sam-hiap mampu merintangi aku?” ia tertawa mencemooh.

“Budak yang tak tahu diri!” bentak Leng Bu-sia tokoh kedua dari Go-bi-pay, “karena bertahun-tahun tak turun gunung maka sekarang banyak kawanan katak dan ulat yang berobah menjadi siluman……”

“Berkatalah dengan jelas, siapa yang engkau maki itu!” Bok-yong Kang pun balas membentak.

Leng Bu-sia tertawa meloroh. Tiba-tiba tangan kanannya menyambar pergelangan tangan Bok-yong Kang. Dia yakin gerakannya itu tentu dapat menguasai si pemuda.

Tetapi diluar dugaan, Bok-yong Kang menekuk tangannya ke bawah lalu mengirim sebuah tendangan dan diserempaki pula dengan hantaman tangan kiri.

Serangan kaki dan tangan dari pemuda itu memaksa Leng Bu-sia harus mundur selangkah. Tepat pada saat itu dari sebelah dalam ruang terdengar suitan macam naga meringkik.

Bok-yong Kang terkesiap. Ia tahu bawa suitan itu tentu berasal dari Siau Mo. Ia pun segera balas bersuit, berputar tubuh lalu melangkah pergi.

“Hih, budak, apakah engkau mau pergi seenakmu sendiri saja?” Bwe Hui-ji tertawa dan melesat lalu menghantam.

Bok-yong Kang menyadari bahwa kepandaian dari ketiga tokoh Go-bi itu memang hebat sekali. Iapun segera balas memukul dua kali.

Bwe Hui-ji diam-diam terkejut. Ia melihat dua buah pukulan Bok-yong Kang itu luar biasa sekali. Di dalam gerakannya mengandung ancaman maut.

Jago wanita itu tak berani menangkis melainkan menyingkir ke kiri lalu mundur dua langkah. Kiranya dua buah pukulan yang dilancarkan Bok-yong Kang itu menggunakan ajaran dari Siau Mo. Pada saat Bwe Hui-ji menyurut mundur, Bok-yong Kang terus loncat hendak meloloskan diri. “Rubuh!” bentak Ong Han-thian seraya menabas dengan pedangnya.

“Cret……”

Bok-yong Kang mengerang tertahan, ia terhuyung-huyung dan bahu kirinya mengucurkan darah. Pukulan buddha seribu tangan Leng Bu-sia, cepat memburu dan dengan tertawa dingin terus ayunkan tangan menghantam.

Bok-yong Kang merah matanya. Sambil berputar tubuh dan menggembor keras ia menangkis dengan tangan kanan.

“Bum……”

Bok-yong Kang terpental sampai setombak jauhnya. Tetapi Leng Bu-sia pun juga tersurut dua langkah ke belakang.

Bok-yong Kang penasaran. Mencabut ruyung Tulang tengkorak segera ia mainkan dalam jurus Heng-soh- cian-kun atau menyapu ribuan prajurit untuk menyerang Bwe Hui-ji. Ruyung itu menderu-deru menimbulkan sambaran angin yang dahsyat.

Melihat pemuda itu dapat meloloskan diri dari tabasan pedangnya dan dapat menyambuti pukulan Leng Bu- sia, diam-diam terkejutlah Ong Han-thian, ketua Go-bi itu.

Sebagai seorang tokoh silat, diam-diam ia menilai, “Pemuda itu hebat sekali kepandaiannya. Daripada kelak menimbulkan bahaya besar, lebih baik sekarang kita lenyapkan saja.”

Serentak timbullah nafsu pembunuhan dalam hati tokoh pertama dari Go-bi itu.

Saat itu Bok-yong Kang sedang memainkan ruyung untuk menggempur Bwe Hui-ji. Walaupun menyadari bahwa dirinya bukan lawan dari ke tiga tokoh Go-bi itu, namun karena dirangsang oleh kemarahan, Bok- yong Kang tak mau menghiraukan suatu apa lagi. Ia mainkan ruyung Tulang tengkoraknya dengan hebat dan gencar sekali. Berulang kali Ong Han-thian hendak turun tangan tetapi tak melihat suatu peluang pada permainan anak muda itu.

Tiba-tiba terdengar pula suitan panjang dari sebelah dalam ruangan dan sesosok tubuh melesat keluar. Itulah Siau Mo

Saat itu Bok-yong Kang tengah melancarkan tiga buah pukulan untuk mengimbangi gerakan ruyungnya. Ketiga buah pukulan itu bukan saja mempunyai gerak perobahan yang aneh tetapi dahsyatnya pun bukan kepalang. Kekuatannya dapat menghancurkan batu karang.

03.13. Tokoh Tersembunyi

Menghadapi serangan nekad dari anak muda itu terpaksa Bwe Hui-ji mundur dua langkah.

Tiba-tiba Bok-yong Kang menghentikan serangannya dan berputar tubuh lalu loncat ke samping Siau Mo. “Toako, engkau bagaimana?” serunya terkejut ketika melihat keadaan Siau Mo saat itu.

Tangan Siau Mo berlumuran darah, pakaiannya yang berwarna putih pun berlumuran cipratan darah. Tangan kanannya masih mencekal pedang Ular Emas yang meneteskan darah ke lantai……

Melihat Siau Mo dalam keadaan serupa itu ketiga tokoh Go-bi terlongong-longong.

Mereka cepat dapat menduga bahwa darah di pedang Siau Mo itu tentu darah lain orang yang dibunuhnya. Dan meniliknya banyaknya darah, tentulah jumlahnya korbannya tak sedikit.

Semula Bok-yong Kang mengira kalau Siau Mo menderita luka tetapi setelah memperhatikan keadaan toakonya itu sampai beberapa jenak barulah ia dapat mengetahui kalau darah itu bukan berasal dari tubuh Siau Mo.

Siau Mo melirik dan melihat bahu Bok-yong Kang berdarah. Serentak ia terus maju menghampiri ketiga tokoh Go-bi.

Go-bi Sam-hiap itu tokoh-tokoh yang termasyhur dalam dunia persilatan. Tetapi pada saat melihat sikap dan wajah Siau Mo yang begitu seram, tergentar jugalah hati mereka.

Tiba-tiba Bok-yong Kang berseru memanggil: “Siau toako…….”

Siau Mo hentikan langkah, berpaling, “Bokyong-te, siapakah yang melukai engkau?” Melihat wajah Siau Mo yang begitu membengis tahulah Bok-yong Kang kalau toakonya itu hendak membuat perhitungan deagan Go-bi Sam-hiap.

Bok-yong Kang tahu bahwa peristiwa dengan Go-bi Sam-hiap tadi hanya karena salah paham. Iapun tahu bahwa Go-bi Sam-hiap itu tokoh-tokoh pendekar yang menjunjung kebenaran. Apabila Siau Mo sampai bertempur dengan mereka, salah paham itu tentu makin berlarut panjang.

“Toako,” seru Bok-yong Kang, “tadi hanya suatu kesalahan paham saja. Mereka salah menduga toako ini seorang jahat.”

“Bokyong-te, apakah engkau tak mau membalas dendam?” seru Siau Mo. Bok-yong Kang gelengkan kepala.

Tiba-tiba Siau Mo mengusap Pedang Ular Emas ke telapak sepatunya beberapa kali untuk menghilangkan noda darah. Setelah itu dimasukkan ke dalam sarung.

“Kereta berderak-derak, kuda meringkik-ringkik. Bokyong-te, mari kita pergi!” seru Siau Mo.

Saat itu wajah ketiga tokoh Go-bi sama berobah. Kiranya mereka pun mendengar dari arah jalan di luar gedung, suara kereta berderak-derak mendatangi dan suara kuda meringkik-ringkik.

Mendengar ajakan Siau Mo, Bok-yong Kang pun terus berputar tubuh dan hendak mengikuti Siau Mo. “Ho, hendak kemana kalian ini?” tiba-tiba Leng Bu-sia membentak.

Mendengar itu sekonyong-konyong Siau Mo herhenti, berputar tubuh dan maju menghampiri Go-bi Sam- hiap.

Leng Bu-sia mendahului menyambut kedatangan Siau Mo dengan sebuah pukulan ke arah dada.

Tetapi pemuda itu hanya sedikit melingkarkan kaki dan tetap maju. Melihat itu Leng Bu-sia pun mendengus lalu tabaskan tangannya ke pinggang orang.

Tabasan itu hebat sekali. Betapa pun Siau Mo hendak menyelinap dari arah mana saja, tetap tak dapat menghampiri maju.

Di luar dugaan, Siau Mo gerakan tangannya dengan cepat untuk menutuk jalan darah orang. Tetapi serempak dengan itu Leng Bu-sia pun sudah susulkan tangan kirinya lurus ke muka untuk mendorong dan menyambar pergelangan tangan orang.

Demikian keduanya saling menyerang dengan gerak yang cepat sekali dan perobahan yang tak terduga- duga.

Untuk menghindari serangan Leng Bu-sia, Siau Mo turunkan tangannya ke bawah lalu secepat kilat menendang perut orang

Tendangan itu tampaknya biasa saja. Tetapi merupakan suatu gerakan yang seharusnya tak dilakukan pada saat dan keadaan seperti itu.

Leng Bu-sia kerutkan dahi. Cepat-cepat ia menyurut mundur tiga langkah lalu dengan menggembor keras ia lepaskan sebuah hantaman dari jauh.

Tetapi Siau Mo hanya tertawa dingin, ia menangkis. Ketika kedua pukulan itu berbentur, timbullah angin yang keras sekali disusul dengan erang tertahan.

Tubuh Leng Bu-sia yang gemuk itupun terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.

Melihat suhengnya kedua menderita kekalahan, Bwe Hui-ji serentak maju menyerbu Siau Mo. Tetapi Siau Mo tak memberi kesempatan tokoh wanita itu untuk memukul. Ia cepat menyongsong dengan sebuah hantaman ke arah dada.

Bwe Hui-ji terkejut melihat cara Siau Mo lancarkan serangannya. Selain gerakan jarinya yang aneh, pun jari- jari Siau Mo itu tepat hendak menutuk jalan darah yang berbahaya pada tubuhnya.

“Sumoay, lekas mundur jangan menyambuti serangan musuh!” melihat sumoaynya terancam bahaya, cepat-cepat Ong Han-thian meneriakinya, seraya mengebutkan lengan baju dan terus melesat maju menutukkan jarinya. Gerakan ketua Go-bi-pay itu memang bukan alang kepalang hebatnya. Dia telah menggunakan ilmu tutukan jari Thian-kiam-ci atau Jari pedang langit. Sebuah ilmu warisan partai Go-bi yang boleh dikata tak  diturunkan kepada muridnya.

Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dengan tekun sekali Ong Han-thian mempelajari ilmu tutukan Jari Pedang itu sampai berpuluh tahun. Angin yang terpancar dari tenaga tutukan jari pedang itu dapat melubangi sebuah batu karang.

Melihat itu terkejutlah Bok-yong Kang. Ia hampir saja menjerit.

Tetapi Siau Mo dengan tenang dan gesit sudah menyelipat selangkah ke samping lalu tubuhnya berputar dalam gerak setengah lingkar. Suatu gerakan yang indah sekali untuk menghindari tutukan jari maut dari ketua Go-bi.

Memang sepintas pandang gerakan Siau Mo itu amat sederhana sekali. Tetapi sebenarnya gerakan itu merupakan suatu gerak ilmu silat tataran tinggi. Memang kelihatannya gampang, tetapi sukarnya bukan kepalang.

Wajah Ong Han-thian berobah seketika dan janggutnya sampai agak menggigil. Ia benar-benar terkejut heran melihat kepandaian Siau Mo yang begitu luar biasa.

“Bangsat!” tiba-tiba Leng Bu-sia membentak dan menghantam lagi.

Siau Mo mendengus lalu ayunkan tangan kanannya untuk menyongsong. Kembali timbul deru angin yang dahsyat ketika kedua angin pukulan saling beradu. Bahkan pasir di tanah berhamburan dan daun-daun gugur bertebaran ke empat penjuru.

“Ji-te, berhentilah dulu!” teriak Ong Han-thian.

Ketika saling beradu pukulan, Leng Bu-sia terkejut ketika mendapatkan tenaga pukulan Siau Mo lebih hebat dari dirinya. Dan ketika toa-suhengnya meneriakinya supaya berhenti, iapun cepat loncat ke samping.

“Toa-suheng hendak memberi perintah apa?” serunya.

Siau Mo tertawa dingin dan mendahului menjawab: “Go-bi Sam-hiap telah diagungkan orang sebagai bintang cemerlang di angkasa persilatan. Apabila saat ini kalian bertiga hendak maju berbareng. entah  kalah entah menang, tetapi peristiwa itu tentu akan menambah cerita yang menarik di dunia persilatan!”

Siau Mo menutup ucapannya dengan gerakkan tiga buah serangan. Dari jarak beberapa langkah, ia ayunkan tangan kiri menghantam ke arah Leng Bu-sia, gerakan jari tangan kanan untuk menutuk Ong Han- thian dan ayunkan kaki kiri menendang ke arah Bwe Hui-ji. Sekali gus jago pedang Ular Emas itu hendak menyerang tiga tokoh dari Go-bi yang termasyhur itu.

“Berhenti dulu!” tiba-tiba Ong Han-thian menggembor keras, menghantam dan loncat menghindar. “Apakah kalian takut?” seru Siau Mo.

“Tunggu dulu, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu, baru nanti kita bertempur lagi,” sahut ketua Go-bi-pay.

“Apa lagi yang hendak engkau tanyakan?”

Wajah Ong Han-thian tampak serius, serunya, “Dari perguruan manakah engkau ini?” “Soal itu tak perlu engkau tanyakan,” sahut Siau Mo tawar.

Berkata pula ketua Go-bi itu: “Kabarnya engkau masih mempunyai hubungan dengan Naga sakti tanpa bayangan Siau Kwan. Siapakah dia itu?”

Mendengar itu teganglah raut muka Siau Mo, sahutnya dengan nada tergetar: “Dia adalah ayahku, apakah engkau kenal padanya?”

“Kalau begitu apakah engkau tahu tentang soal budi dan dendam dari ayahmu itu?” seru Ong Han-thian dengan suara sarat.

Tiba-tiba terlintas pula dalam benak Siau Mo tentang peristiwa berdarah yang telah menimpah keluarganya dahulu...... Darah bergenangan, mayat-mayat berserakan dan tulang-tulang berhamburan……. Terhuyung-huyunglah Siau Mo karena tubuhnya menggigil keras. Beberapa saat kemudian barulah dia dapat menguasai ketenangan hatinya pula.

“Tidak tahu!” sahutnya hambar.

“Kalau    begitu    mengapa  engkau   mengamuk dan    mengganas   sesama   sahabat persilatan dan menghancurkan seluruh keluarga Nyo Jong-ho?” teriak Ong Han-thian dengan keras.

Mendengar itu Siau Mo pun mengangkat muka, ketegangannya agak mengendor.

“Ong ciang-bun, mengapa engkau menuduh Siau toako ku yang membunuh seluruh keluarga Nyo?” tiba- tiba Bok-yong Kang menyeletuk.

Bwe Hui-ji tertawa dingin: “Bukti sudah nyata, apakah engkau masih menyangkal?”

Siau Mo menatap Ong Han-thian, berulang kali bibirnya tampak bergerak hendak berkata tetapi tak jadi. “Bokyong-te, mari kita pergi,” tiba-tiba ia malah mengajak Bok-yong Kang pergi.

Tetapi Leng Bu-sia cepat berseru dingin: “Ho, tak begitu mudah untuk kalian pergi. Bukankah Go-bi Sam- hiap akan ditertawakan orang?”

Siau Mo menatap ketiga tokoh Go-bi itu, serunya: “Selama aku bertindak, tak pernah aku mendapat rintangan orang. Begitu pula, akupun tak suka adu lidah dengan orang. Selidiki dulu yang jelas, baru nanti kalian boleh menuduh aku yang membunuh keluarga Nyo ”

Berhenti sejenak ia melanjutkan pula: “ Kalau saat ini kalian hendak menahan aku, hm, kuberitahukan

kepadamu, selama ini belum pernah aku bertempur dengan orang sampai berlangsung sepuluh jurus. Dalam sepuluh jurus orang tentu sudah berlumuran darah Terserah saja kalian mau percaya omonganku ini atau tidak.”

Kata-kata itu diucapkan Siau Mo dengan nada yang sungguh. Habis berkata ia terus berputar tubuh dan hendak pergi.

Tetapi cepat Leng Bu-sia sudah melesat menghadangnya seraya lepaskan dua buah pukulan: “Aku tak percaya engkau mempunyai kemampuan begitu hebat!”

Siau Mo mundur dua langkah untuk menghindari pukulan itu. Tiba-tiba wajahnya memberingas hawa pembunuhan. Cepat ia maju menutuk.

Leng Bu-sia terkejut. Ia tak menyangka bahwa setelah tersurut mundur, Siau Mo dapat menyerang begitu cepat. Karena ia sedang menyerang maju maka agak lambatlah ia menghindar. Lengan kanannya tertutuk ujung jari Siau Mo, seketika separoh tubuhnya terasa lunglai.

Habis menutuk Leng-Bu-sia, tiba-tiba Siau Mo balikkan tangan menampar bahu kiri Bwe Hui-ji.

Gerakan itu benar-benar diluar dugaan sama sekali. Bwe Hui-ji yang berada di belakangnya, baru menyadari setelah merasa disambar angin. Ia hendak menghindar mundur tetapi sudah tak keburu lagi. Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam ke arah bahu kirinya untuk bertahan.

“Sumoay, jangan adu kekerasan!” seru Ong Han-thian seraya cepat-cepat menabas tangan Siau Mo.

Terdengar suara dengusan dan tubuh Bwe hui-ji pun terhuyung ke muka. Sedangkan Siau Mo sudah melesat beberapa tombak jauhnya lalu bersama Bok-yong Kang lari keluar dari lingkungan gedung keluarga Nyo.

Sambil mencekal pedang pusaka Cui-jong-kiam yang berkilat-kilat memancarkan sinar hijau, Ong Han-thian memandang kedua sosok bayangan itu dengan terlongong-longong. Beberapa saat kemudian terdengar ia menghela napas.

“Ah, ombak di bengawan Tiang-kang, yang belakang mendorong yang muka. Tunas dari setiap generasi baru tentu lebih hebat dari generasi yang lama. Sepuluh tahun menutup diri, dunia persilatan sudah terjadi perobahan besar. ”

Ia mengusap-usap jenggotnya yang putih lalu melanjutkan kata-katanya: “Orang tua saat ini sudah bukan waktunya kita unjuk muka di dunia persilatan lagi.”

Ucapan itu sebuah pernyataan dari pengunduran seorang jago tua yang menyadari akan perobahan jaman dan keadaan dirinya. Dahulu Go-bi Sam-hiap itu memang menjagoi dunia persilatan. Tetapi demi menyaksikan kesaktian Siau Mo yang masih muda itu, turunlah semangatnya sampai beberapa derajat.

Patut diketahui, bahwa ketiga tokoh Go-bi yang masyhur itu tak mampu menghadang seorang Siau Mo, benar-benar telah menghancurkan semangat mereka!

Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau berseru: “Go-bi Sam-hiap tak perlu patah semangat. Walaupun Siau Mo itu memang sakti tetapi kalau sam-hiap bertiga dapat bersatu padu untuk menggempurnya, belum tentu Siau Mo mampu menghadapi sam-hiap bertiga.”

Ketiga tokoh Go-bi terkejut dan serentak mengangkat muka mencari orang yang bersuara itu. Tetapi ternyata di dalam ruang maupun di halaman, tak tampak seorangpun juga.

“Siapakah saudara ini?” teriak Bwe Hui-ji.

Orang yang parau suaranya itu berseru pula: “Dalam soal ilmu kepandaian silat, yang terutama yalah bakat dan guru. Tanpa digembleng oleh tukang pandai, tak mungkin batu kumala dapat menjadi barang perhiasan berharga. Jika dapat mengetahui asal usul perguruan Siau Mo dan tahu bahwa dia memang mempunyai kepandaian begitu sakti, kalian baru boleh mengambil keputusan. Layak atau tidak, kalian belum-belum sudah patah semangat itu……”

Go-bi Sam-hiap benar-benar terkejut bukan kepalang karena kali ini, arah datangnya suara itu berlainan dengan yang tadi.

Wajah Ong Han-thian serentak berobah.

“Ong Han-thian dari Go-bi, merasa bahwa hari ini benar-benar bertemu dengan seorang sakti seperti tuan. Dapatkah kami mendapat tahu nama tuan yang mulia? Dan dapatkah tuan memberitahu perguruan Siau Mo itu? Go-bi Sam-hiap sungguh akan berterima kasih sekali,” seru ketua Go-bi-pay itu.

Tiba-tiba suara yang parau itu berobah nadanya menjadi lengking yang tinggi:

“Siau Mo mendapat pelajaran dari Tay Hui…… Thian-san Pak…… hiong…… Hay-sin…… dia telah menerima ajaran dari beberapa orang sakti. Itulah sebabnya maka dalam usia yang begitu muda, dapat menandingi kalian bertiga……”

Suara itu terdengar keras-keras lemah, tersendat-sendat tak kedengaran sehingga Go-bi Sam-hiap tak dapat mendengar jelas.

“Siapakah tuan ini? Maaf, kami tak dapat mendengar jelas, harap suka mengatakan sekali lagi,” seru Ong Han-thian.

Terdengar pula suara orang itu dalam kata yang terputus-putus:

“Aku…… aku telah menderita luka dari  pedang Siau Mo dan segera akan mati Dia adalah Tay-hui……

Thian-san Pak…... Hong…… Hay-sin…… aku adalah….. adalah…... adalah ”

Kali ini suara melengking tinggi dan tajam macam orang bersuit. Dan suitan yang melengking di udara itu telah ditiup lenyap oleh angin. Kata-kata yang di muka, dapatlah ketiga tokoh Go-bi itu menangkapnya tetapi kata-kata bagian belakang, yalah yang hendak mengatakan tentang diri orang itu, mereka tak dapat mendengar jelas.

“Dimanakah engkau?” teriak Leng Bu-sia, “apakah engkau benar-benar tahu akan asal perguruan Siau Mo?”

03.14. Kawat Baja Pembawa Maut

Tak terdengar jawaban apa-apa. Tiba-tiba beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara orang itu.

“Aku…… aku berada di ruang tengah dari gedung ini,” kata orang itu, “Go-bi Sam-hiap, lekaslah kemari, aku akan memberitahu tentang diri Siau Mo kepada kalian……”

Mendengar itu Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji terus melesat ke ruang tengah. Melihat kedua sute dan sumoaynya masuk, Ong Han-thian pun juga hendak menyusul. Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara aneh berteriak: “Leng Bu-sia, Leng Bu-sia, Bwe Hui-ji, Bwe Hui- ji……, Ong Han-thian, Ong Han-thian…… lekaslah kalian kemari…… lekaslah kalian kemari. Aku berada di sebelah muka……”

Suara itu beda dengan suara yang tadi. Nadanya kecil tajam dan mangandung keharuan dan kesedihan. Tetapi pun memiliki suatu daya pesona yang kuat sekali.

Hanya dua kali namanya dipanggil, tetapi cukuplah sudah hati Ong Han-thian tergetar keras. Semangatnya merana dan kesadaran pikirannya pun lenyap. Dia seolah-olah jatuh ke dalam kekuasaan orang itu.

Ong Han-thian memiliki tenaga-dalam yang tinggi dan diapun seorang tokoh tua yang banyak pengalaman. Cepat sekali ia menyadari akan suara yang telah menyerang kesadaran pikirannya.

“Ji-sute, Sam-sumoay, Suara Aneh Kumandang Lembah, ilmu yang sudah lenyap ratusan tahun yang lalu……”

Ia meneriaki kedua sute dan sumoaynya tetapi saat itu Leng Bu-sia dan Bwe Hui- ji sudah melangkah ke dalam pintu.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertahan. Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji serempak terhuyung dan rubuh……

Sudah tentu Ong Han-thian terkejut bukan kepalang. Cepat ia mencabut pedangnya, ah…… saat itu ia rasakan lengan kanannya seperti digigit nyamuk atau disengat tawon. Ia mengerang pelahan. Tetapi seketika itu pula ia rasakan pandang matanya gelap, kepala berputar-putar…...

Kejut jago tua dari Go-bi itu tak terkira. Dia adalah seorang ketua dari sebuah perguruan yang termasyhur. Dalam detik-detik yang menentukan itu, dia masih dapat memikirkan bagaimana cara untuk meloloskan diri. Bukan saja jiwanya tertolong, pun ia harus menyelamatkan jiwa ribuan kaum persilatan. Ya, ia telah menemukan sebuah rahasia besar yang menyangkut kepentingan dunia persilatan.

Dengan kerahkan sisa tenaga dalamnya, ketua Go-bi-pay itu segera bersuit panjang lalu berputar tubuh dan lari keluar dari gedung.

Sambil tak henti-hentinya menghamburkan suara yang aneh, ia terus pesatkan larinya menuju ke luar kota.

Lari, ya, larilah ketua Go-bi-pay itu sekencang sang kaki dapat membawanya. Ketika tiba di sebuah gerumbul di sebelah utara luar kota Lok-yang, rubuhlah jago tua itu……

********************

Sekarang marilah kita ikuti lagi Siau Mo dan Bok-yong Kang yang juga lari keluar dari gedung keluarga Nyo.

Melihat pakaian putih dari Siau Mo berlumuran darah, bertanyalah Bok-yong Kang: “Toako, apakah ketika masuk ke dalam ruang tengah engkau bertemu dengan musuh?”

Siau Mo mengangguk.

“Telah kubunuh tigabelas orang tetapi tetap tak dapat mencari keterangan tentang keadaan Nyo Jong-ho dan rombongannya. Selain ketigabelas orang berpakaian hitam yang kubunuh itu, aku tak melihat lain orang lagi.”

Bok-yong Kang kerutkan alis, “Kalau begitu, anak buah Nyo Jong-ho telah dibunuh habis oleh Wanita Suara Iblis itu……”

Kemudian iapun menceritakan tentang berpuluh mayat yang berada di ruang besar serta timbulnya salah paham dengan ketiga tokoh Go-bi.

Siau Mo menghela napas.

“Aii, memang perangaiku beda dengan lain orang…… aku tak suka berunding dan bertukar pendapat dengan orang. Itulah sebabnya maka sering timbul salah paham dan mengalami peristiwa-peristiwa yang tak diinginkan. Saat ini untuk mengejar jejak musuh, memang sukar. Dan dimana nona Ing, lebih sukar diketahui lagi.”

“Toako, darah pada tubuhmu ” tiba-tiba Bok-yong Kang berkata. Tetapi Siau Mo hanya mendesuh lalu masuk ke dalam sebuah hutan dan ganti pakaian.

Ketika melihat pakaiannya, Siau Mo tundukkan kepala merenung. Tiba-tiba ia membisiki Bok-yong Kang: “Bakyong-te, lekaslah engkau sediakan dua ekor kuda dan tunggu aku di sini. Aku hendak memeriksa ke gedung keluarga Nyo satu kali lagi.”

Habis memberi pesan, ia terus lari kembali ke arah kota Lok-yang.

Bok-yong Kang menduga bahwa toakonya itu tentu menemukan sesuatu yang penting. Iapun segera melaksanakan perintah, menyediakan dua ekor kuda.

Tetapi Siau Mo belum datang. Ia hendak menyusul tiba-tiba sesosok tubuh berlari-lari mendatangi. Ternyata dia itu Siau Mo.

“Toako, apakah telah terjadi suatu perobahan?” seru Bok-yong Kang. Siau Mo gelengkan kepala.

“Apakah mereka benar-benar telah pergi…… ah, tidak, tidak bisa. Suara ringkik kuda dan derak kereta itu tentulah untuk menjaga pendengaran dan mata musuh. Bokyong-te, hayo kita kejar!”

Siau Mo terus loncat ke atas kuda dan mencongklang ke arah pintu barat. Bok-yong Kang pun segera menyusul.

Tiba-tiba Siau Mo berseru: “Bokyong-te, lekas gunakan gerak It-ho-jong-thian lalu Leng-hun-theng-gong loncat ke belakang!”

Bok-yong Kang terkejut mendengar kata-kata yang aneh itu. Tetapi karena begitu gopoh Siau Mo mengucapkannya, iapun segera melakukan perintah. Sekali kedua kaki memijak, kedua tangannya merentang dan meluncurlah ia ke udara. Di atas udara ia berjumpalitan dan melayang ke belakang.

Tetapi pada saat kakinya belum tiba di tanah terdengarlah dua buah ringkikan kuda yang nyaring sekali.

Bok-yong Kang terkejut. Begitu tiba di tanah, cepat ia berpaling ke belakang. Seketika pucatlah wajahnya. Ia terlongong-longong seperti melihat hantu di siang hari……”

Kudanya dan kuda yang dinaiki Siau Mo, telah kutung perutnya, kepalanyapun menggelinding terpisah dari badan. Darah bergenangan memerah tanah.

Sampai detik itu belum juga Bok-yong Kang tahu apa sebab dan bagaimana kedua ekor kuda itu sampai mati sedemikian mengenaskan……

Ia memandang ke sekeliling penjuru tetapi tak melihat suatu manusia pun. Lalu siapakah yang mempunyai kesaktian sedemikian hebat dapat membelah perut dan kepala kedua ekor binatang itu.

Saat itu Siau Mo pun sudah melayang di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan kemarahan.

Bok-yong Kang segera menghampiri ke tempat toakonya. Tiba-tiba ia melihat pada sebatang pohon siong dan pohon pek-yang yang tumbuh di sebelah muka, telah dipasang dua helai kawat halus.

Kini tahulah ia bagaimana kedua ekor kuda itu menderita kematiannya.

Kawat yang merentang di tengah jalan itu terbuat dari baja yang tajam sekali. Karena lari pesat, putuslah kepala dan badan kedua kuda itu.

Diam-diam Bok-yong Kang terkejut. Kalau Siau Mo tak berteriak memberi peringatan, diapun tentu akan menderita nasib sama. Diam-diam Bok-yong Kang makin ngeri memikirkan keadaan dunia persilatan yang penuh dengan tipu muslihat dan perbuatan-perbuatan kejam.

Dengan Pedang Ular Emas, Siau Mo membabat putus kawat maut itu.

“Setelah kehilangan kuda, lalu bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan?” tanya Bok-yong Kang.

Siau Mo merenung sejenak, katanya, “Mereka menggunakan dua utas tali kawat ini untuk merintangi pengejaran musuh. Tetapi takkan Siau Mo berhenti karena rintangan ini. Kukira musuh tentu berada di sekitar tempat ini. Mari kita cari!” Sekeliling penjuru tempat itu merupakan sebuah belantara padang rumput. Tiada rimba, tiada hutan. Diam- diam Bok-yong Kang heran mengapa Siau Mo dapat menentukan kalau musuh berada di sekitar tempat itu.

Sejenak Siau Mo memandang ke cakrawala, ujarnya: “Saat ini hari menjelang petang. Tak lama matahari tentu sudah silam. Malam ini kemungkinan kita akan mengalami pertempuran berdarah. Maka baiklah kita beristirahat dulu untuk memulihkan tenaga. Dan disamping itu musuh tentu mengira kalau kita telah terkena jerat mereka atau setidak-tidaknya tentu tersesat di tengah jalan. Dengan begitu mereka tentu agak lengah.”

“Toako, apakah engkau sudah tahu di mana sarang mereka?” tanya Bok-yong Kang.

Siau Mo tersenyum: “Baiklah kita beristirahat barang dua jam di atas dahan pohon pek-yang yang tinggi ini.”

Habis berkata ia terus ayunkan tubuh melambung ke udara sampai tiga-empat tombak lalu menyambar sebatang dahan pohon. Sekali berayun lagi, tubuhnya terlempar tiga tombak ke atas, berjumpalitan lalu hinggap pada puncak pohon.

Melihat ilmu ginkang Siau Mo yang sedemikian hebatnya, diam-diam Bok-yong Kang leletkan lidah. Iapun coba-coba untuk menyusul. Tetapi setelah mengerahkan tenaga sampai empat kali berayun dari satu dahan ke lain dahan, barulah ia dapat tiba di tempat Siau Mo dan terus duduk di sebelahnya.

Kebetulan Bok-yong Kang duduk menghadap ke arah timur. Karena duduk di puncak pohon yang tinggi dapatlah ia melihat ke sekeliling penjuru dengan bebas. Beberapa lie jauhnya, seperti tampak sebuah gedung.

Sambil menunjuk ke arah bangunan itu, Siau Mo herkata: “Kalau dugaanku tak salah, markas mereka tentu berada dalam gedung itu.”

Diam-diam Bok-yong Kang mengagumi ketajaman mata Siau Mo. Walaupun masih berada di atas pohon, dapat melihat bangunan yang beberapa lie jauhnya.

“Siau toako, aku sungguh kagum kepadamu,” ia berseru menyatakan pujiannya kepada Siau Mo.

“Sinar matahari mulai lenyap, hayo kita lekas kumpulkan tenaga. Nanti malam pada saat penyakitku kambuh, engkaulah yang akan melakukan pekerjaan ini,” kata Siau Mo.

Memang Bok-yong Kang tahu bahwa penyakit Siau Mo itu sering kumat pada malam hari. Hanya waktunya memang tak dapat ditentukan. Mula-mula tak ada tanda apa-apa, dan mendadak terus kumat. Maka iapun buru-buru duduk menenangkan pikiran dan semangat untuk mengumpulkan tenaga.

Siau Mo juga pejamkan mata beristirahat.

Entah lewat berapa lama, tiba-tiba Bok-yong Kang mendengar suara derap tapal kaki kuda berdering. Segera ia membuka mata dan melihat beberapa tombak di sebelah bawah, seorang penunggang kuda tengah mencongklangkan kudanya. Penunggang kuda itu hanya seorang diri.

Tetapi apa yang membuat Bok-yong Kang terbelalak kaget yalah penunggang kuda itu bukan lain yalah si orang aneh baju biru.

Bok-yong Kang hendak berteriak memanggil Siau Mo yang masih meramkan mata tetapi tiba-tiba telinganya tersusup oleh ngiang suara dalam ilmu Menyusup suara: “Aku sudah tahu, jangan mengeluarkan suara, biarlah dia lewat.”

Diam-diam Bok-yong Kang mengeluh dan malu dalam hati karena hendak memberitahu. Padahal ternyata sebelumnya Siau Mo sudah tahu sendiri.

Tiba-tiba telapak kaki kuda itu berhenti. Ketika memandang ke bawah, tampaklah oleh Bok-yong Kang bahwa orang aneh itu berhenti pada jarak sepuluhan tombak dari pohon tempat ia bersembunyi.

Saat itu Siau Mo menghela napas dan membisiki dengan ilmu Menyusup suara: “Orang itu memang luar biasa waspadanya dan ilmu kepandaiannya sukar diukur tingginya. Tampaknya dia sudah merasakan jejak kita. Bokyong-te, cobalah engkau waspadakan, bagaimanakah sesungguhnya wajah orang itu.”

Bok-yong Kang menurut. Tetapi pada saat ia hendak melongok ke bawah tiba-tiba orang itu memutar  kepala kudanya dan terus mencongklang lagi. Dalam beberapa kejap, penunggang kuda itu sudah berada berpuluh-puluh tombak jauhnya.

“Bagaimana Bokyong-te, apakah engkau dapat melihat wajahnya?” seru Siau Mo. Bok-yong Kang gelengkan kepala dan tertawa hambar: “Jangankan melihat orangnya, bayangannya pun tak mampu.”

“Kalau dia menjadi lawanku, aku benar-benar tentu pusing tujuh keliling ” kata Siau Mo.

“Toako, kuda biru itu agaknya seperti kuda sakti yang jarang terdapat di dunia,” kata Bok-yong Kang. Siau Mo mengangguk.

“Badannya tinggi tegar seperti naga, larinya secepat angin, memang benar-benar seekor kuda Cian-li-liong- ma (kuda naga yang sehari dapat menempuh seribu lie). Tetapi penunggangnya lebih aneh lagi. Benar- benar seperti seekor naga yang memperlihatkan kepala tapi tak kelihatan ekornya.”

“Toako, orang itu memang aneh tetapi pun mencurigakan gerak geriknya,” kata Bok-yong Kang. “rupanya dia seperti hendak mengikuti jejak kita. Anehnya, mengapa tokoh semacam itu kita tak pernah mendengar namanya?”

Siau Mo merenung beberapa jenak, lalu berkata: “Kemungkinan malam nanti kita akan bertemu dia lagi. Sekarang hari sudah petang, malam segera tiba. Mari kita bersiap-siap.”

Siau Mo terus meluncur turun dari pohon pek-yang yang tingginya enam-tujuh tombak. “Toako, apakah malam ini engkau merasa akan kambuh penyakitmu?” tanya Bok-yong Kang.

Siau Mo gelengkan kepala dan menyatakan tak tahu. Ia memandang ke langit barat. Tampak matahari silam tengah memancarkan sinarnya yang lembayung ke arah gumpalan awan putih yang berarak-arak di langit. Menimbulkan suatu pemandangan dari suatu dunia yang indah dan tenang.

Tak berapa lama, suryapun terbenam lenyap di balik gunung. Dan tubuh Siau Mo pun seperti ikut gemetar. Mulutnya mengingau:

“……Matahari silam tiada terperikan indahnya, pertanda berakhirnya siang hari. Namun keindahannya, tiada lain keindahan yang mampu menandingi…… kalau aku dapat mempersingkat hidupku yang tinggal seratus hari itu, tentulah aku takkan mengalami penderitaan dari seorang yang lumpuh……”

Kata-kata itu diucapkan pelahan sekali sehingga walaupun mendengar tetapi Bok-yang Kang tak tahu apa artinya.

Tak berapa lama malampun mulai menebarkan selimutnya yang hitam. Kedua pemuda itu berjalan menuju ke pedesaan di sebelah timur.

Tiba-tiba Siau Mo merasa di tengah padang rumput itu seperti ada seseorang yang berlari. Diam-diam ia terkejut: “Adakah jejakku sudah diketahui orang?”

Bok-yong Kang juga mengetahui bahwa di padang rumput kira-kira pada jarak duapuluhan tombak, terdengar derap lari seorang persilatan. Ilmu ginkang orang itu hebat sekali. Rupanya orang itupun mengetahui juga akan Siau Mo dan Bok-yong Kang. Serentak dia mendatangi dan menghadang kedua pemuda itu.

Siau Mo dan Bok-yong Kang terpaksa hentikan larinya. Tampaknya orang itu terkejut melihat Siau Mo dan Bok-yong Kang dapat serentak berhenti dari lari yang cepat.

Saat itu malam mulai menebar, bintang-bintang belum muncul dan sekeliling penjuru meremang gelap. Orang itu menghampiri.

“Siapakah kalian berdua?” serunya.

Siau Mo yang bermata tajam cepat dapat melihat orang itu seorang sasterawan yang berumur pertengahan. Mengenakan pakaian warna biru, kopiah sasterawan. Wajahnya berseri-seri gagah, matanya tajam.

Bok-yong Kang mendapat kesan bahwa orang itu tentu dari golongan Putih. Maka ia segera memberi hormat dan menanyakan namanya.

Rupanya orang itu agak terkesiap. Pertanyaannya belum dijawab tetapi malah ditanya. Ia tertawa nyaring: “Oleh sahabat-sahabat persilatan, aku telah menerima sebuah gelar Roda mas rembulan matahari.”

“O, maafkan kami kurang menghormat. Ternyata saudara ini salah seorang ketua dari partai Ceng-liong- pang,” seru Siau Mo. “Ya, lengkapnya Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki?” Siau Mo menyusuli kata-kata pula,

Orang itu tampak terkejut, pikirnya: “Siapakah kedua pemuda ini? Dari nadanya jelas dia tak gentar mendengar namaku ”

Kemudian orang itu atau Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki tertawa ringan: “Maaf, mataku yang kabur sehingga tak tahu siapakah nama siauhiap berdua ini. Mohon suka memberitahukan kepadaku.”

Bok-yong Kang hendak menyahut tetapi Siau Mo cepat mendahului: “Malam ini kami sungguh beruntung dapat berjumpa dengan Tan Than-cu dari partai Ceng-liong-pang. Biasanya Tan Than-cu tinggal di dalam kota. Mengapa malam hari ini Tan Than-cu menempuh perjalanan di tempat begini? Tentulah ada urusan penting. Air laut tak mencampuri air sumur. Baiklah kita masing-masing lanjutkan perjalanan sendiri. Sampai jumpa.”

Habis berkata Siau Mo memberi salam, berputar tubuh terus hendak pergi. Demikianpun Bok-yong Kang, sehabis memberi anggukan kepala terus menyusul Siau Mo.

Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki terlongong-longong. Dia merasa namanya sudah masyhur. Sekalipun seorang ketua persilatan yang mempunyai dendam permusuhan kepadanya tetapi apabila berjumpa tentu terpaksa harus bicara dengan baik. Setitikpun ia tak menyangka bahwa malam itu ia bertemu dengan pemuda yang tak memandang mata kepadanya.

Meluaplah kemarahan ketua cabang Ceng-liong-pang atau perhimpunan Naga hijau, sebagai seorang tokoh yang berpengalaman, ia cepat menarik kesimpulan bahwa kedua pemuda itu tentu golongan Hitam sehingga takut memberitahukan namanya.

“Hai, berhenti dulu kalian berdua!” serunya serunya mengejar dan menghadang.

Siau Mo kerutkan alis dan berseru dingin, “Tan Gun-ki, silahkan engkau jalan sendiri dan kami mengambil jalan sendiri. Air sumur tak mengganggu air sungai. Harap engkau jangan mencari banyak kesulitan.”

Tiba-tiba mata Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki melihat punggung Siau Mo memanggul pedang Ular Emas. Seketika ia menengadahkan kepala, tertawa keras.

“Oho, kiranya engkau, tak heran kalau engkau tak berani memberitahukan namamu, ha, ha, ha……”

03.15. Perkumpulan Ceng-liong-pang

Mendengar itu, Bok-yong Kang cepat memberi hormat: “Tan than-cu, harap jangan salah mengerti. Karena ada urusan penting, maka kami……”

Wajah ketua cabang perhimpunan Naga Hijau itu serentak berkabut muram. bentaknya: “Apakah dia bukan Pendekar Ular Emas Siau Mo? Hm, hm, hampir saja aku kena kalian selomoti.”

Siau Mo diam saja Tetapi matanya berhamburan memandang Tan Gun-ki dengan berapi-api. Melihat itu Bok-yong Kang gelisah.

Tiba-tiba Siau Mo mendengus, berputar tubuh lalu ayunkan kaki.

Tan Gun-ki tertawa gelak-gelak, serunya “Gerak gerik kalian ini sungguh dapat menimbulkan kecurigaan orang. Maafkan aku ”

Sebelum menghabiskan kata-katanya ia sudah melancarkan sebuah serangan. Siau Mo sudah loncat mundur lalu gerakkan tangan kiri menghantam Tan Gun-ki.

Melihat itu Bok-yong Kang mengeluh dalam hati: “Hm, mengapa engkau cari kesulitan sendiri mendesak toako turun tangan? Sekalipun engkau seorang ketua perhimpunan Naga Hijau yang termasyhur, tetapi jangan harap engkau mampu mengalahkan toako ku……”

Melihat pukulan Siau Mo amat dahsyat, Tan Gun-ki tak berani menangkis melainkan loncat menghindar.

Siau Mo memang aneh wataknya. Kalau sedang sabar, ia tak mau turun tangan. Tetapi sekali bertempur, jangan harap orang dapat bernapas lagi.

Pukulan pertama luput, pukulan kedua segera menyusul. Dalam sekejap saja ia sudah melancarkan lima pukulan dan tiga buah tendangan. Serangan-serangan itu bukan saja luar biasa cepatnya pun dahsyatnya bukan kepalang sehingga memaksa Tan Gun-ki terus menerus mundur.

Sudah tentu ketua Naga Hijau itu terkejut bukan main. Dalam dunia persilatan, jarang sekali terdapat tokoh yang mampu mendesaknya sedemikian rupa hingga ia tak dapat balas menyerang. Dan pemuda yang dihadapinya saat itu, benar-benar membuatnya tak dapat berkutik sama sekali. Belum pernah  seumur hidup, ia mengalami peristiwa yang memalukan seperti saat itu.

Setelah melancarkan serangan sampai delapan jurus, Siau Mo tertawa dingin lalu menyurut mundur tiga langkah.

“Tan Gun-ki,” serunya dingin, “ilmu kepandaianmu boleh juga. Engkau mampu menghadapi delapan jurus seranganku. Tetapi kalau kulanjutkan, tentu berbahaya. Karena kalau engkau belum mati tentu aku tak mau berhenti. Silahkan engkau pergi!”

Habis berkata, Siau Mo pun terus berputar tubuh dan melangkah pergi.

Bok-yong Kang terbeliak. Baru pertama kali itu ia melihat Siau Mo mau memberi ampun kepada seorang musuh. Biasanya tak pernah toakonya itu mau memberi kelonggaran begitu.

“Tan Than-cu kemasyhuran namamu tentu tak mudah diperolehnya. Kuharap lebih baik Than-cu suka menjaga nama itu,” kata Bok-yong Kang sembari memberi hormat. Habis berkata pemuda itupun segera ayunkah langkah menyusul Siau Mo.

Tan Gun-ki seorang jago yang pernah mengalami gelombang badai pengalaman dalam dunia persilatan. Sudah tentu ia dapat menangkap kata-kata dari Bok-yong Kang yang menganjurkan supaya ia jangan melanjutkan cari perkara kepada Siau Mo. Apabila sampai kalah tentulah akan menghancurkan namanya yang dengan jerih payah telah didirikannya selama berpuluh tahun, tentu akan hancur berantakan dalam satu detik saja.

Memang selama menderita serangan dari Siau Mo tadi. Tan Gun-ki terkejut atas ilmu silat Siau Mo yang begitu sakti. Diam-diam ia memang tak mempunyai harapan lagi untuk menang.

Maka mendengar kata-kata Bok-yong Kang, iapun termangu-mangu diam dan tak merintangi mereka lagi. Tepat pada saat itu dari arah utara terdengar serangkum panah api meluncur ke udara.

“Bum……” begitu di atas langit, panah api itupun meletus dan menghamburkan bunga api ke segenap penjuru.

Melihat itu pucatlah wajah Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki. Tak mau lagi ia menghiraukan Siau Mo, terus gunakan ilmu gin-kang lari menuju ke utara.

“Panah api itu mungkin pertandaan dari partai Naga Hijau, ah.......” kata Siau Mo, “seorang ketua dari sebuah perhimpunan yang sebesar Naga Hijau telah datang ke Lok-yang, tentulah lain-lain tokoh terkemuka juga akan datang kemari.”

Partai Naga Hijau ternyata merupakan sebuah perhimpunan yang besar. Anak muridnya tersebar di kedua wilavah Kang-lam dan Kang-pak. Memiliki jago-jago yang lihay, pengaruhnya lebih besar dari kesembilan partai persilatan besar. Partai itu didirikan pada seratusan tahun yang lalu.

Sejak turun temurun, ketua dari Partai Naga Hijau itu selalu tak pernah menunjukkan diri. Kecuali tokoh- tokoh partai yang penting, sekalipun anak murid partai juga tak tahu bagaimana ketuanya itu. Itulah sebabnya maka ketua partai Naga Hijau itu merupakan tokoh misterius di dunia persilatan. Dunia persilatan tak tahu berapa banyak wakil ketua dari partai Naga Hijau itu.

Ketua partai Naga Hijau dibantu oleh lima orang wakil ketua yang menjabat sebagai ketua daerah, disebut Than-cu. Kelima Than-cu itu dikepalai oleh seorang Cong-thancu atau ketua than-cu.

Karena peraturan partai itu amat keras, maka selama ratusan tahun ini anak muridnya selalu mendapat perindahan dari masyarakat.

“Toako,” kata Bok-yong Kang, “bukankah dunia persilatan mengatakan bahwa ketua Naga Hijau itu seorang yang misterius?”

Siau Mo mengangguk.

“Benar, apakah pendapatmu tentang hal itu?” tanyanya. “Orang berpakaian biru hijau yang menunggang kuda itu, mungkinkah ketua Ceng-liong-pang?” tanya Bok- yong Kang.

Siau Mo merenung, Beberapa saat kemudian ia berkata: “Akupun juga mempunyai kecurigaan begitu. Tetapi tokoh-tokoh persilatan itu memang aneh dan sukar dirabah. Biasanya tentu di luar dari dugaan  orang. Ah, mudah-mudahan saja dia bukan ketua Naga Hijau ”

Bok-yong Kang terkejut. Apakah Siau Mo itu mempunyai dendam permusuhan dengan partai Naga Hijau?”

Pada saat itu mereka tiba di sebuah waduk air yang terletak di depan gedung. Tiba-tiba Siau Mo berhenti dan memandang ke sekeliling dengan seksama.

“Waduk air, hutan, gedung terpencil, benar-benar menimbulkan teka teki,” katanya seorang diri, “sebuah gedung mewah di tengah tempat yang sepi, bagaikan seekor burung bangau di tengah-tengah kawanan ayam. Sangat menyolok sekali. Ha, ha, pasti yang ini.”

Ketika Bok-yong Kang memandang ke muka, dilihatnya apa yang dikatakan Siau Mo itu memang benar. Selain sawah air (waduk) yang luasnya beberapa bahu itu, terdapat pula sebuah hutan lebat dan di tengah hutan itu dibangun sebuah gedung besar. Jika tak melihat dengan perdata tentu orang takkan melihat bangunan gedung itu.

Diam-diam Bok-yong Kang mengagumi ketajaman mata Siau Mo.

“Malam belum lama,” kata Siau Mo pula, “mereka tentu belum mengatur orang untuk menjaga. Kita dapat lebih leluasa ke sana.”

Bok-yong Kang tahu kalau Siau Mo itu dapat memperhitungkan sesuatu dengan cermat dan tepat. Iapun segera mengikutinya menuju ke hutan itu.

Ternyata di tengah hutan itu memang terdapat sebuah bangunan gedung besar dan mewah. Tetapi keadaannya sunyi senyap.

Keliling gedung itu ditumbuhi dengan pohon-pohon yang lebat dan bunga-bunga memenuhi halaman. Memang merupakan sebuah gedung yang indah kecuali suasananya yang sunyi senyap seperti sebuah kuburan.

“Kali ini Siau toako mungkin salah hitung. Memang gedung ini agak mencurigakan tetapi kalau menilik suasana yang begitu sunyi, tentulah merupakan gedung kosong yang lama tak ditinggali orang,” diam-diam Bok-yong Kang menimang dalam hati.

Sebaliknya wajah Siau Mo tampak berseri girang bahkan saat itupun kedengaran berkata dengan pelahan: “Mari kita menyelinap ke bagian belakang gedung tentu akan melihat sesuatu.”

Ilmu ginkang kedua pemuda itu memang hebat. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. mereka mengitari jalan di samping gedung yang panjangnya berpuluh tombak, menuju ke halaman belakang!

Ternyata halaman belakang dari gedung itu tak sama dengan halaman di muka. Halaman di situ penuh ditanami pohon-pohon bunga. Keadaannya rapi dan bersih seperti tiap hari dibersihkan orang.

Bintang mulai berhamburan menghias langit. Malampun makin sunyi. Diam-diam Bok-yong Kang merasa heran, pikirnya: “Kalau gedung ini benar menjadi sarang dari si Wanita Suara Iblis, mengapa tiada penjagaan sama sekali ”

Baru ia berpikir begitu tiba-tiba dari arah tengah halaman terdengar suara orang batuk lalu derap kaki orang berjalan.

Rupanya Siau Mo pun sudah mendengar suara itu dan wajahnya tampak berobah. Cepat ia memberi isyarat agar Bok-yong Kang lekas menyingkir.

Ternyata derap kaki itu amat cepat sekali. Dalam sekejap saja sudah berada beberapa tombak jauhnya.

Siau Mo memijak tanah dan apungkan tubuh melayang ke atas rumah. Bok-yong Kang hendak mengikuti tetapi tak sempat lagi. Buru-buru ia loncat bersembunyi di sudut rumah yang gelap.

Tetapi sebelum Bok-yong Kang sempat bertindak, suara langkah kaki itupun sudah berhenti di belakangnya.

“Ah, bukan main cepatnya,” diam-diam Bok-yong mengeluh. Ia terpaksa berputar tubuh dan memandang ke muka. Seorang yang berpakaian serba hitam tegak beberapa langkah di belakangnya. Bukan saja pakaiannya, pun wajah orang itupun hitam legam seperti pantat kuali. Di bawah dagunya tumbuh jenggot panjang, sepasang matanya berkilat-kilat menikam hati orang.

Diam-diam Bok-yong Kang pun kerahkan semangat. Dipandangnya orang hitam itu dengan lekat. Ia tahu apabila orang hitam itu menyerang, mungkin ia tak mampu bertahan diri.

Sampai sepeminum teh lamanya kedua orang itu saling beradu pandang mata.

“Ikutlah aku!” tiba-tiba orang hitam itu berseru dingin lalu berputar tubuh dan ayunkan kaki.

Bok-yong Kang tertegun. Ia masih heran mengapa ia ingin mengikuti orang itu. Tiba-tiba terdengar ngiang suara Siau Mo dalam ilmu Menyusup suara.

“Dia mengira engkau orang mereka. Ikut sajalah kepadanya. Tampaknya dia berkepandaian tinggi, engkau harus waspada……”

Mendengar pesan Siau Mo itu segera Bok-yong Kang ayunkan langkah menyusul orang hitam itu. Tak henti-hentinya ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Makin masuk ke dalam, Bok-yong Kang makin terkejut. Pikirnya: “Tampaknya gedung ini kosong, tiada berpenghuni, tetapi ternyata penuh dengan penjagaan. Celaka! Kalau aku terus mengikuti orang hitam itu masuk, kemungkinan tentu akan ketahuan orang. Ah, aku harus mencari daya untuk lolos ”

Tampak, si Baju Hitam itu berjalan ke muka dengan cepat. Bok-yong Kang pun terpaksa harus ikut mempercepat langkahnya.

Tiba-tiba si Baju Hitam berhenti dan berpaling: “Apakah jabatanmu dalam perhimpunan kita ini?” Bok-yong Kang terkesiap. Tetapi cepat pula ia menyahut sekenanya: “Tho-cu.”

Pikir Bok-yong Kang, tiap perhimpunan atau perkumpulan di dunia persilatan tentu mempunyai cabang dan ranting di segala tempat. Maka ia segera menjawab menjadi Tho-cu atau ketua daerah.

Tetapi betapalah kejut Bok-yong Kang ketika tiba-tiba si Baju Hitam menerkamnya: “Ngaco Perhimpunan kita tak mengadakan ketua daerah!”

Untunglah sebelumnya Bok-yong Kang sudah waspada. Maka cepatlah ia dapat menghindar lalu mengirim sebuah tendangan ke perut orang itu.

Orang itu mendengus dan mundur dua langkah untuk menghindar. Setelah itu ia maju menyerang pula. Tangan kanan secepat kilat menghantam, tangan kiripun menggunakan ilmu Kin-na-jiu untuk mencengkeram siku lengan Bok-yong Kang.

Kepandaian Bok-yong Kang sudah setingkat dengan jago kelas satu. Tangkas sekali ia geliatkan diri untuk menghindari kedua serangan itu.

Orang itu terkesiap: “Bagus budak, siapa engkau? Kepandaianmu hebat juga!” Kembali orang itu menghantam.

Dalam menghadapi si Baju Hitam itu, bermula Bok-yong Kang memang gentar. Dilihatnya lorong gedung itu penuh dengan para penjaga yang bersenjata lengkap. Ia takut mereka tentu akan menyergapnya. Tetapi setelah berlangsung beberapa jurus, ternyata orang-orang itu hanya melihati saja tak ikut turut campur.

Tetapi Bok-yong Kang tak dapat enak-enak melamun dalam keheranan karena saat itu pukulan si Baju Hitam pun sudah melandanya lagi, Terpaksa ia harus menangkis.

“Krak……”

Bok-yong Kang terpental mundur sampai tiga langkah. Melihat itu si Baju Hitam cepat maju menyerang lagi. Tiga jurus cepat sudah dilancarkannya.

Tetapi tiga jurus itu cepatnya bukan kepalang sehingga Bok-yong Kang menjadi kalang kabut.

Baju Hitam tertawa dingin. Tangan kiri menyusuli dua buah hantaman, sedang tangan kanannya menggunakan jurus Bangau kaget tinggalkan payau, mendorong ke muka. Tiba-tiba pukulan orang itu berobah menjadi gerak sambaran yang berhasil mencengkeram siku lengan kanan Bok-yong Kang.

“Sungguh besar nyalimu berani memalsu menjadi anak murid perhimpunan ini!” seru orang itu.

Bok-yong Kang pun marah juga: “Siapa yang mau menyaru jadi anak murid kalian? Salahmu sendiri mengapa punya mata tetapi tak dapat mengenali orang!”

Tiba-tiba sebuah suara nyaring melengking: “Hui-heng, engkau ribut-ribut dengan siapa itu? Tempo hanya kurang sejam, kita harus lekas-lekas mulai bersiap atau nanti akan menggagalkan seluruh rencana.”

Baju Hitam menyahut, “Aku telah menangkap seorang yang mencurigakan.  Entah  kaki  tangan  musuh atau ”

“Tutuk saja jalan darahnya dan campurkan dengan lain-lain tawanan,” seru orang itu pula.

Bok-yong Kang hendak menanyakan asal usul si Baju hitam itu tetapi tiba-tiba orang itu telah mendahului menutuk jalan darahnya.

Untunglah karena tenaga dalamnya tinggi, walaupun terkena tutukan, tetapi Bok-yong Kang tak sampai pingsan. Diapun tahu bahwa si Baju Hitam itu telah memanggil dua orang penjaga untuk mengangkutnya ke bagian dalam.

Tetapi ketika kedua penjaga itu melewati sebuah halaman, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan secepat kilat menutuk rubuh kedua penjaga itu lalu manampar jalan darah Bok-yong Kang yang tertutuk.

“Siau toako, engkau!” seru Bok-yong Kang demi mengetahui penolongnya itu Siau Mo, “rupanya mereka orang Naga Hijau!”

“Ah, tak kira kalau mata dan telinga anak buah Naga Hijau itu begitu tajam. Sebelumnya mereka sudah  menguasai gedung ini,” kata Siau Mo seraya menyeret kedua penjaga ke dalam gerumbul pohon. Setelah itu ia mengajak Bok-yong Kang bersembunyi di tempat yang gelap.

Siau Mo ulurkan tangan mencekal tangan kiri Bok-yong Kang. Sekali mengempos semangat, ia gunakan ilmu lari Sembilan langkah naik ke udara. Dengan cepat sekali kedua pemuda itupun sudah melalui tiga buah halaman dan tiba di sebuah taman bunga yang besar.

Siau Mo menyusup ke dalam gerumbul pohon bunga yang lebat. “Bokyong-te, rupanya gedung ini penuh dengan jago-jago sakti,” katanya.

“Sebenarnya bagaimana peristiwa ini?” tanya Bok-yong Kang,” semula kita mengira kalau gedung ini penuh dengan anak buah si Wanita Suara Iblis tetapi mengapa sekarang berganti dengan orang-orang Naga Hijau?”

“Memang malam ini kita bekerja sia-sia,” kata Siau Mo, “kalau orang-orang Naga Hijau tak mengadakan persiapan begitu hebat, tentulah sukar untuk menghalau anak buah Wanita Suara Iblis.”

Habis berkata Siau Mo memandang ke langit. Rupanya dia tengah memikirkan sesuatu yang rumit.

Bok-yong Kang cukup kenal akan kebiasaan toakonya itu. Setiap menghadapi kesukaran tentu akan merenungkannya dengan serius. Dan setiap kali merenung, tentu segera menghasilkan suatu keputusan.

Ia tak berani mengganggunya. Dia sendiri juga mulai membuat analisa dalam hatinya. “Nyo Jong-ho, Han Ceng-jiang, Li Giok-hou dan lain-lain tokoh itu kalau tidak ditawan Wanita Suara Iblis, mengapa tiba-tiba lenyap begitu aneh. Siapakah sebenarnya Wanita Suara Iblis itu ”

Baru ia berpikir sampai di situ, tiba-tiba Siau Mo menghela napas dan membuka suara. “Ah, sungguh lihay sekali Wanita Suara Iblis itu. Hampir saja aku termakan siasatnya!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar