Pendekar 100 Hari Jilid 02

02.06. Pembunuhan Keluarga Siau

Li Giok-hou dan sekalian tokoh-tokoh terkejut ketika melihat kamar tulis di samping kiri Villa Merah Delima itu menyala terang.

Cepat rombongan orang-orang gagah itu melihat Pendekar Ular Emas Siau Mo tengah duduk di atas kursi batu. Kedua tangannya mencekal Pedang Ular Emas yang terletak di atas lututnya. Dia pejamkan mata, wajahnya pucat lesi.

Di samping tempat duduknya terdapat seorang berpakaian hitam yang duduk melingkar. Hong-hu Hoa segera membisiki isterinya:

“Dia duduk pada jarak tujuh langkah dari pintu. Sesuai dengan tujuh bintang dalam lingkungan ujung kaki, sebuah tata langkah dalam jurus bintang Pak-tou. Dan jari tengahnya agak dijungkatkan ke atas itu sesuai dengan jurus Tangan memetik bintang. Jika kita gegabah menyerbu tentu sukar terhindar dari serangannya yang ganas.”

Walaupun berkata kepada sang isteri, tetapi secara tak langsung Suling Kumala Hong-hu Hoa juga memberitahu kepada sekalian orang gagah.

Demi mendengar uraian Hong-hu Hoa, sekalian tokoh-tokoh pun segera mengamati sikap duduk dari Pendekar Ular Emas Siau Mo. Dan apa yang dikatakan Hong-hu Hoa itu memang benar.

“Ah, setiap saat Pendekar Ular Emas itu selalu berhati-hati menjaga diri. Apabila kita tak berhati-hati memeriksa tentu akan mati di tangannya,” demikian pikir sekalian tokoh-tokoh gagah itu.

Mereka tak berani bergerak lebih dulu, melainkan memandang sekeliling penjuru. Aneh, mengapa tiada terdapat lain orang lagi? Kemanakah lenyapnya Siau Lo-seng?

Kemudian mereka mencurahkan pandang mata ke arah orang berpakaian hitam yang mendekam di samping Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Apakah orang itu yang menjadi pembunuh misterius dalam ruangan tadi?

Belum sampai merangkai dugaan lebih jauh, tiba-tiba orang berbaju hitam yang mendekam di tanah itu bangun lalu ayunkan tinjunya ke arah Siau Mo.

“Bokyong-te, aku ” Siau Mo membuka mata dan berseru.

Orang itu terkejut kemudian menarik pulang pukulannya.

“Siau toako, aku bertemu lagi dengan Wanita Suara Iblis itu,” serunya tertahan. Di tingkah sinar penerangan lilin, tampak orang berpakaian hitam itu seorang pemuda yang bertubuh gagah. Bahunya bidang, pinggang ramping, muka terang. Memiliki sepasang mata besar bundar yang dinaungi  oleh alis tebal.

Pada saat menyebut nama Wanita Suara Iblis tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan berpaling memandang ke arah sekalian tokoh-tokoh yang berada dalam ruang villa.

“Bokyong-te, aku sudah tahu,” sahut Siau Mo, “tadi anak buah dari Wanita Suara Iblis itu sudah bertempur dengan aku.”

Pemuda yang disebut Bokyong-te atau adik Bok-yong itu terkejut: “Siau toako, engkau ”

Tiba-tiba ia berhenti lagi.

Sekalian orang yang berada dalam ruang villa itu adalah tokoh-tokoh yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Mendengar pembicaraan Siau Mo dengan pemuda baju hitam itu, mereka segera dapat mengetahui hal yang sebenarnya.

Segera Nyo Jong-ho melangkah maju beberapa tindak, memberi hormat dan berseru: “Ah saudara Siau, bolehkah aku minta keterangan kepadamu tentang banyak hal yang tak kuketahui?”

Tiba-tiba Siau Mo mengangkat muka. Matanya yang berkilat-kilat tajam memandang kepada sekalian tokoh- tokoh itu.

“Soal apa yang engkau tak mengerti itu?” serunya.

Belum Nyo Jong-ho membuka mulut, Giok-hou sudah melesat ke samping gurunya dan membentak Siau Mo: “Siapa engkau? Dan siapakah pula orang itu?” ia menunjuk pada pemuda baju hitam.

Pemuda baju hitam itu tertawa: “Li Giok-hou, jangan jual kegarangan! Kalau minta keterangan kepada Siau toako ku, harus bicara yang baik. Hm, hm, kalau engkau bertanya aku siapa, aku seorang kerucuk persilatan yang tak bernama, Bok-yong Kang.”

Mendengar nama itu, Giok-hou tertegun. Mereka memang belum pernah mendengar nama itu dalam dunia persilatan.

“Saudara Siau,” seru Nyo Jong-ho. “kalau tak salah, Siau Lo-seng itu mungkin nama samaranmu.” “Ya, benar. Aku memang Siau Lo-seng,” sahut Siau Mo.

Cu-ing berseru: “Engkau, engkau apa benar Siau sianseng itu?”

Sebenarnya ia sudah mendengar hal itu dari mulut Siau Mo sendiri. Tapi ia tetap tak percaya dan ingin mendapat penegasan yang jelas lagi.

Tetapi Siau Mo tak mau meladeni pertanyaan si nona. Ia meramkan mata dan berkata,

“Bokyong-te, harap wakili aku menjawab pertanyaan mereka. Tetapi paling banyak hanya boleh bertanya tiga kali.”

Pemuda baju hitam yang bernama Bok-yong Kang itu segera tampil ke muka berdiri di depan Siau Mo. “Apa yang kalian tak mengerti, lekaslah ajukan pertanyaan. Tetapi hanya boleh tiga kali bertanya,” katanya.

Giok-hou mendengus dingin, mencabut pedang dan membentaknya: “Budak hina, besar benar mulutmu. Aku tak percaya kalau kalian ini sakti sekali.”

Karena masih muda, darah Giok-hou masih panas. Melihat sikap Siau Mo dan Bok-yong Kang, begitu congkak, dia tak dapat menahan hatinya lagi.

“Giok-hou!” buru-buru Nyo Jong-ho mencegah, “Mereka toh di sini, nanti pun masih ada kesempatan yang cukup untuk adu kepandaian dengan mereka.”

Nyo Jong-ho hendak mencari keterangan lebih dulu. Sebelum mendapat keterangan yang jelas ia tak mau bertempur.

Kemudian jago tua itu berpaling kepada Seruling Kumala: “Saudara Hong-hu, silahkan mengajukan tiga buah pertanyaan kepada mereka.” Hong-hu Hoa tertawa gelak-gelak lalu maju menghampiri, katanya: “Kalau begitu aku hendak bertanya lebih dahulu tentang diri Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis itu.”

Seruling Kumala Hong-hu Hoa memang seorang yang cermat. Begitu mendengar pembicaraan antara Siau Mo dan Bok-yong Kang tadi, cepat ia segera menarik kesimpulan bahwa pembunuh misterius dalam ruang villa tadi, adalah anak buah dari tokoh Wanita Suara Iblis itu. Tetapi siapakah Wanita Suara Iblis itu? Kaum persilatan belum pernah mendengar tentang tokoh wanita itu.

“Pertanyaanku yang pertama, ialah, siapakah Wanita Suara Iblis itu?” Seru Seruling Kumala.

Bok-yong Kang menjawab: “Pertanyaan yang bagus. Wanita Suara Iblis itu adalah pemimpin dari suatu gerombolan yang hendak menguasai dunia persilatan. Dia muncul dan lenyap sukar diduga. Ganasnya bukan main.”

Seruling Kumala Hong-hu Hoa tertawa dingin: “Engkau pun menjawab bagus sekali. Apakah begitu sudah bisa dianggap sebagai jawaban?”

Kata Bok-yong Kang: “Bukankah engkau tanya, siapa Wanita Suara Iblis itu? Keterangan itu sudah memberi jawaban bagaimanakah wanita itu. Sudahlah jangan banyak bicara. Lekas engkau ajukan pertanyaan yang kedua.”

Tangan ganas jarum beracun Tong Ki tertawa: “Tahukah engkau, kalian nanti akan menerima nasib bagaimana?”

Jawab Bok-yong Kang: “Kalau engkau minta aku menjawab, akan kuanggap sebagai pertanyaan kedua.”

Kuatir kalau isterinya akan naik pitam, Hong-hu Hoa mendahului bertanya: “Siau Mo itu apakah bukan Pendekar Ular Emas yang telah membunuh ketujuh tokoh Hun-liong-jit-gan, ke empat jago Kwan-gwa, lima pendekar Hoa-san, ketua perguruan Sin-kun-bun Gan Ti-kiat sekeluarganya serta yang kemarin malam membunuh ke delapan orang dalam gedung keluarga Nyo ini?”

“Ada yang benar, ada yang tidak,” Bok-yong Kang menyahut. “Apa? Aku tak jelas keteranganmu itu,” seru Hong-hu Hoa.

“Korban-korban yang engkau katakan itu ada yang bukan dibunuh oleh Siau toako. Karena Siau toako tak mau sembarangan membunuh orang yang baik dan orang yang tak berdosa!” jawab Bok-yong Kang.

“Lalu yang mana yang dibunuh Siau Mo?” Bok-yong Kang mendesak.

“Apakah pertanyaanmu itu dapat kuanggap balas bertanya?”

“Jawabanmu untuk pertanyaan yang kedua tadi belum jelas, mengapa engkau hendak menganggapnya sebagai pertanyaan ketiga?” tiba-tiba Cu-ing menyeletuk.

Bok-yong Kang tertawa: “Jawabanku tadi sudah cukup jelas.” Cu-ing mengerut kemarahan, bentaknya:

“Baik, kalau begitu akulah yang akan mengajukan pertanyaan ketiga itu. Siau Mo menyaru jadi guru sekolah Siau Lo-seng dan menyelundup ke dalam rumahku. Kemudian membunuh beberapa orang yang sedang berada di rumahku. Apakah maksudnya berbuat demikian?”

Mendengar itu Bok-yong Kang merenung. Beberapa saat kemudian, baru ia menjawab: “Pembalasan dari dendam darah!”

Mendengar jawaban itu berobahlah Nyo Jong-ho.

“Siau Mo!” bentak jago tua itu, “Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan itu pernah apa dengan engkau?”

Mendengar itu sekalian tokoh-tokoh terkejut sekali. Bu-eng-sin-liong atau Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan, sebuah nama yang menggetarkan dunia persilatan. Tetapi sedikit orang persilatan yang pernah melihat orangnya. Sesuai dengan gelarnya sebagai Naga sakti tanpa bayangan, sepak terjang Siau Han- kwan itu memang aneh. Dia muncul tak diketahui, lenyap pun tak diketahui. Jika muncul hanya seperti naga yang menampakkan kepala, tapi menyembunyikan ekornya. Memang setiap pemunculannya karena hendak melerai suatu pertikaian antara sesama kaum persilatan. Tetapi tiada seorang pun tahu tempat tinggalnya dan bagaimana wajahnya.

Saat itu ruangan pun sunyi sehingga suara orang bernapas pun terdengar jelas. Sekalian mata tokoh-tokoh persilatan mencurah ke arah Siau Mo si pendekar Ular Emas. Mereka ingin mendengar jawabannya.

Tampak Siau Mo masih duduk di kursi batu, dadanya berombak keras seperti orang yang terengah-engah napasnya.

Sekonyong-konyong ia membuta mata. Bola matanya memancarkan sinar merah darah. Sinar pembunuhan.

Sesaat kemudian ia berkata dengan tersegu-segu: “Arwah ayah bunda di alam baka...... akhirnya aku bertemu dengan orang yang kenal kepadamu, ......anak akan membalaskan sakit hati ayah bunda berdua...... kematian adik yang mengenaskan engkoh ”

Walaupun kata-katanya terputus-putus tetapi jelas nadanya penuh kedukaan dan keharuan.

Sayup-sayup mata Siau Mo seperti membayangkan suatu pemandangan yang ngeri. Sebuah desa timbul banjir darah, mayat berserakan di segala penjuru, pekik jeritan menyayat hati, tangis rintihan merobek-robek sanubari. Saat itu seolah-olah telah terjadi kiamat.

Tiba-tiba Siau Mo berteriak: “Adikku, lekaslah engkau lari, adik!”

Baru pendekar Ular Emas Siau Mo melamunkan peristiwa yang lampau, tiba-tiba Li Giok-hou membentak. Dan serempak menusuk dengan ujung pedangnya ke arah Siau Mo.

“Li Giok-hou, apakah engkau hendak cari mati?” bentak Bok-yong Kang seraya menghantam.

Li Giok-hou kebutkan pedang. Terdengar bunyi mendesis-desis dan tenaga pukulan Bok-yong Kang terhapus lenyap.

Bok-yong Kang dengan menggembor lepaskan tiga pukulan.

Angin menderu-deru bagai prahara yang melanda Giok-hou. Hebat, memang hebat sekali pukulan Bok- yong Kang itu sehingga Giok-hou terkejut dan menarik pedang dan loncat mundur tiga langkah.

Saat itu Siau Mo masih melamun tentang peristiwa berdarah yang menimpah keluarganya. Rasa ngeri dan duka, mencengkam hatinya sehingga tak menghirau perkelahian kedua orang itu.

Selekas menginjak tanah, Giok-hou cepat menerjang maju lagi.

Serangannya memang istimewa. Seperti menabas tetapi seperti menusuk, pun seperti menutuk. Dan ketiga serangan itu cepatnya bukan kepalang. Lingkaran sinar pedangnya menyerupai bianglala.

Melihat ketiga buah serangan pedang lawan begitu aneh dan istimewa, diam-diam Bok-yong Kang terkejut sekali. Dia tahu bahwa dalam tiga buah serangan itu, mengandung suatu serangan yang haus darah, serangan yang maut. Pada hal ia tak dapat mundur karena harus melindungi jiwa Siau Mo.

Ya, dia harus melindungi Siau Mo, karena hanya dialah satu-satunya orang yang tahu rahasia Siau Mo.

Walaupun dalam dunia persilatan, seluruh orang persilatan tahu bahwa Pendekar Ular Emas seorang tokoh sakti yang memiliki kepandaian hebat. Tetapi siapakah yang tahu bahwa ada suatu waktu, Pendekar Ular Emas berobah menjadi seorang yang amat lemah sekali. Bahkan sedemikian lemah sekali. Bahkan sedemikian lemah sehingga mengangkat pedang saja tak mampu.

Mengingat kewajiban itu, tiba-tiba Bok-yong Kang menggembor keras lalu menyongsong pedang Giok-hou dengan sebuah pukulan. Diam-diam ia salurkan tenaga segera meluncur menampar pedang.

Giok-hou tertawa. Pedang ditebarkan dalam sebuah lingkaran sinar lalu menusuk ke dada Bok-yong Kang.

Perubahan itu benar-benar cepat bukan kepalang. Bok-yong Kang, hendak menghindar sudah tak ke buru lagi. Dan memang dia pun tak ingin menghindar. Walaupun mati ia akan tetap melindungi Siau Mo.

Dalam keadaan yang berbahaya itu Siau Mo berseru: “Bokyong-te, menyingkirlah!” Mendengar itu Bok-yong Kang menghindar ke samping. Pada saat itu Siau Mo pun sudah melangkah ke tempat Bok-yong Kang tadi sehingga ujung pedang Giok-hou pun langsung menuju ke dadanya.

“Tring ,” terdengar suara senjata beradu ketika Siau Mo menangkis dengan Pedang Ular Emasnya.

Kejut Giok-hou bukan main, hampir semangatnya terbang, sehingga pedangnya hampir terlepas. Buru-buru ia mundur.

Tetapi Siau Mo bertindak cepat sekali. Pedang berputar-putar dan ujungnya menggurat bahu Giok-hou. “Hm,” Giok-hou mengerang, ketika lengannya robek, sedangkan pedangnya pun terlepas jatuh ketanah. Adegan itu cepat sekali sehingga sekalian orang hanya terlongong-longong dengan wajah pucat.

Melihat muridnya terluka, cepat Nyo Jong-ho pun loncat ke tengah gelanggang untuk menjaga apabila Siau Mo hendak melanjutkan serangannya. Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas itu hanya tertawa dingin dan tenang-tenang menarik pulang pedangnya.

“Li Giok-hou, tadi engkau melukai bahuku. Sekarang kuhajar dengan luka di bahumu juga,” serunya.

Pedang Beracun Pembasmi Iblis memang merupakan seorang tunas muda yang cemerlang. Oleh karena di sana sini mendapat pujian, maka ia berobah mangkak dan congkak. Memang selama ini belum pernah ia menderita kekalahan. Bahwa saat itu ia sampai kena dilukai olen Siau Mo sudah tentu membuatnya malu dan marah sekali.

Li Gok-hou silangkan tangan, menggembor keras terus hendak loncat menyerang tetapi Pedang Ular Emas dari Siau Mo itu lebih cepat. Sekali berkiblat, ujung Pedang Ular Emas itu sudah mengancam Giok-hou.

“Kalau engkau minta mati, pun jangan saat ini dulu. Tiga hari kemudian nanti tentu akan datang orang yang akan membasmi kalian. Simpanlah tenagamu untuk menghadapi orang itu!”

Mendengar ucapan itu berobahlah wajah Nyo Jong-ho, serunya dengan bengis: “Siau Mo, apakah artinya omonganmu itu? Harap suka menjelaskan!”

Pendekar Ular Emas menyahut tawar: “Nyo Jong-ho, apakah dahulu engkau ikut dalam pembunuhan terhadap Naga Sakti Tanpa Bayangan Siau Han-kwan?”

02.07. Hidup Seratus Hari

Pucatlah wajah Nyo Jong-ho mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya gemetar dan kepalanya menengadah mengenangkan peristiwa yang telah lampau itu.

Siau Mo tertawa, “Tentang hilangnya beratus jiwa dari keluarga Siau Han-kwan itu pada suatu hari tentu aku dapat menyelidiki sampai terang. Barang siapa ikut dalam pembunuhan itu tentu akan kubasmi.”

Habis berkata Siau Mo melangkah keluar. Bok-yong Kang pun mengikutinya. Sesaat tokoh-tokoh itu tak berani merintangi kepergian kedua anak muda itu. Tiba-tiba Giok hou mengeram, memungut pedangnya lalu hendak memburu. “Giok-hou, jangan mengejarnya!” cegah Nyo Jong-ho.

Bahu Giok-hou masih mengucurkan darah.

Diam-diam pemuda itu terkejut menyaksikan kesaktian Siau Mo. Maka ia pun hentikan langkah dan berpaling.

“Gihu, siapakah yang disebut Naga Sakti Tanpa Bayangan itu?”

Nyo Jong-ho menghela napas tak menyahut. Ketua perguruan Thay-kek-bun menghampiri ke samping Nyo Jong-ho dan berbisik:

“Saudara Nyo, anak si Naga sakti tanpa bayangan muncul lalu bagaimana kita harus mengatur persiapan?”

Hong-hu Hoa memberi hormat kepada Nyo Jong ho, serunya: “Nyo bengcu, kepandaian kami berdua suami isteri ternyata jelek sekali. Kami tak berguna disini, bukan saja tak mampu memberi bantuan kepada keluarga Nyo pun kebalikannya malah akan membikin malu saja. Maka kami hendak mohon diri kembali ke kampung halaman kami.”

Habis berkata Seruling Kumala dan Tong Ki hendak melangkah pergi. “Cu Kong-ti ” tiba-tiba Tong Ki menjerit.

Ternyata jago pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu wajahnya pucat.

Mendengar jeritan ngeri itu, cepat Nyo Jong ho menghampiri ke tempat Cu Kong-ti dan memegang tubuhnya. “Bluk. ” tiba-tiba Cu Kong-ti rubuh ke lantai.

Ketika Nyo Jong-ho merabah hidungnya, ternyata tokoh pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu sudah  putus jiwanya.

“Siapakah yang membunuhnya?” teriak Giok-hou.

Pertanyaan itu hanya menambah kegelisahan sekalian tokoh saja. Karena mereka pun juga ingin mengetahui siapa yang membunuh Cu Kong-ti. Karena sejak tadi diperhatikan tiada seorang musuh yang muncul yang menyerang Cu Kong-ti. Tahu-tahu tokoh dari Kang-lam itu ternyata sudah mati.

Jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa Siau Mo tadi berada dalam kamar tulis. Dan waktu pergi dia keluar dari pintu samping.

Dengan begitu jelas bukan Siau Mo yang membunuhnya.

Setelah beberapa saat memandang termangu ke arah mayat Cu Kong-ti, berkatalah Nyo Jong-ho dengan gentar:

“Ah, tak kira, karena memenuhi undanganku kemari, ketiga jago pedang dari Kang-lam itu harus kehilangan jiwa. Ah, sungguh merasa berdosa kepada arwah mereka.”

Ucapan jago tua yang penuh dengan kerawanan dan kedukaan itu membuat sekalian orang bersedih.

Semula Seruling Kumala Hong-hu Hoa menganggap peristiwa itu tak ada sangkut pautnya dengan mereka berdua suami isteri.

Tetapi pada saat melihat bagaimana tiga jago pedang Kang-lam telah dibunuh dengan ganas seketika bangkitlah perasaannya sebagai seorang pendekar.

Demikian pula perasaan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki. Dia juga terkejut atas kematian Cu Kong-ti. Kedua suami isteri itu menyadari bahwa musuh benar-benar ganas sekali.

Sejenak memandang ke arah isterinya, Hong-hu Hoa bertanya kepada Nyo Jong-ho:

“Nyo bengcu, bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu? Harap Nyo bengcu memberi keterangan latar belakang dari peristiwa itu. Apabila memerlukan tenaga kami berdua, sekali pun harus menerjang lautan api, kami pun tetap akan melakukan.”

Nyo Jong-ho menghela napas panjang, ujarnya:

“Pembunuhan besar-besaran dalam dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan takkan tenteram.”

Berkata ketua perguruan Thay-kek-bun dengan bersungguh-sungguh: “Apa yang dikatakan Siau Mo tadi bahwa dalam tiga hari ini akan berlangsung pembunuhan besar-besaran untuk membasmi kita semua.........

apabila saat ini kita tak cepat bertindak mengundang para jago-jago  partai  persilatan  kemari  tentulah bakal ”

Nyo Jong-ho menukas: “Saudara Han, apakah engkau kira dapat begitu cepat mengundang mereka kemari? Harus makan waktu berapa lamakah untuk mengundang mereka datang ke sini? Air laut yang jauh tidak dapat menolong kebakaran di desa. Musuh dapat muncul dan lenyap secara gaib menurut kehendak hatinya.”

“Saat ini Siau Mo tentu belum pergi jauh. Aku tak percaya dengan kepandaian kita semua tak mampu membunuhnya,” kata Giok-hou.

Kembali Nyo Jong-ho menghela napas: “Giok-hou, yang kumaksudkan sebagai musuh itu, bukan Siau Mo tetapi lain orang lagi. Rasanya Siau Mo memang kenal pembunuh itu.”

“Lalu siapakah yang hendak mencari balas kepada gihu itu?” tanyanya heran.

Nyo Jong ho gelengkan kepala: “Aku pun juga tak tahu. Giok-hou, lekaslah engkau bawa adikmu Cu-ing  dan Nyo Ih tinggalkan kota Lok-yang ini!”

Belum selesai jago tua itu mengucap, tiba-tiba Giok-hou memekik kaget: “Hai, kemanakah adik Ing?” Ternyata Cu-ing tak berada di ruang situ. Nyo Jong-ho terkejut sekali.

“Giok-hou, lekas engkau cegah dia,” seru jago tua itu.

Giok-hou pun keluar memanggil gadis itu: “Adik Ing ” sekali loncat ia melayang ke atas wuwungan rumah

dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi di empat penjuru sunyi tiada tampak seorang pun juga…..

********************

Tadi selekas keluar dari halaman, Siau Mo dan Bok-yong Kang terus keluar. Tiba-tiba Siau Mo mengerang- erang tertahan dan terus jatuh ke tanah.

“Siau toako, apakah engkau terluka?” cepat Bok-yong Kang menghampiri dan mengangkatnya bangun. Siau Mo tersenyum rawan:

“Bokyong-te, dalam setahun ini aku selalu merepotkan engkau saja. Engkau ikut aku dan merawat diriku. Ah, Bokyong-te, dalam kehidupanku yang sekarang ini mungkin aku tak dapat membalas budimu.”

Melihat wajah Siau Mo mengerut kesakitan Bok-yong Kang kerutkan dahi:

“Siau toako, apakah penyakit jantungmu kambuh lagi?”

Memang saat itu dahi Siau Mo bercucuran keringat, wajahnya pucat lesi. Dia tertawa lesu dan menjawab: “Penyakit jantungku makin lama makin berat. Mungkin aku takkan dapat hidup lama.”

“Siau toako, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Bok-yong Kang gelisah, “apakah dengan ilmu kepandaian toako yang begitu sakti, toako tak dapat mengatasi penyakit itu? Maaf kalau aku lancang memberi petunjuk pada toako. Mungkin toako sendiri yang tak mau mengobati penyakitmu itu.”

Siau Mo menghela napas:

“Bokyong-te, kita sudah bergaul hampir setahun, masakan engkau tak tahu perasaan hatiku. Masakan aku rela mati begitu saja? Apa lagi dendam darah.”

Berkata sampai disini, ia menekan dadanya dan mengerang pelahan. Setelah itu ia lanjutkan pula:

“Penyakit jantungku ini, adalah penyakit turunan. Sekali pun saat ini aku sudah memiliki ilmu kepandaian yang sakti tetapi kesemuanya itu malah mempercepat kematianku. Memang sebelum belajar silat aku  sudah menyadari akibatnya. Setelah dapat menghimpaskan dendam darah keluargaku, sekali pun mati aku sudah puas. Tetapi ternyata keadaan penyakitku sudah payah. Kalau perhitunganku tak salah, paling lama dalam seratus hari ini aku sudah mati. Cobalah engkau bayangkan, bagaimana dalam waktu seratus hari yang begitu cepat, aku mampu melaksanakan pembalasan dendam itu dan melakukan penyelidikan kepada siapa-siapa yang menjadi musuh keluargaku.”

Bok-yong Kang percaya bahwa Siau Mo tak bohong. Tetapi suatu hal yang membuatnya heran ialah, dengan kepandaian sakti Siau Mo mengapa dia tak mampu mengatasi kambuhan penyakitnya itu?

Dan Bok-yong Kang pun tahu bahwa kecuali hebat dalam ilmu silat pun Siau Mo itu pandai juga dalam pengobatan. Adakah penyakitnya itu tiada obatnya? Ah, seorang tunas muda yang sakti dalam ilmu silat, apabila sampai mati muda, bukankah sayang sekali?

Bok-yong Kang menghela napas: “Siau toako, apakah engkau yakin penyakitmu tak dapat diobati lagi?” Siau Mo tertawa, “Kalau aku tak belajar silat, mungkin aku dapat hidup, hidup mencapai umur  empatpuluhan tahun, tetapi karena aku memutuskan untuk belajar silat maka umurku pendek. Dalam hal itu aku tak menyesal dan menyalahkan nasib.”

Jago muda itu menengadahkan kepala dan tertawa panjang.

“Kalau Tuhan tak mengganjar aku penyakit ini, cobalah engkau bayangkan, di dunia ini siapakah yang mampu menandingi aku ?” serunya.

Kiranya Siau Mo itu seorang pemuda yang luar biasa cerdasnya dan memiliki bakat istimewa. Dalam belajar sastera ia dapat mengingat dengan jelas apa yang dibacanya. Bahkan kitab-kitab Su-si-ngo-keng dan kitab- kitab agama Buddha yang mutu sasteranya tinggi, ia dapat mengingat dengan baik.

Lebih-lebih dalam belajar ilmu silat. Sekali melihat gerakan jurusnya, dengan cepat dapat menirukan. Bertahun-tahun dia mengembara ke seluruh dunia persilatan untuk menuntut ilmu silat dari beberapa aliran. Dan kesemuanya itu ia sudah berhasil meraihnya.

Tetapi rupanya apa yang dikata orang itu memang benar. Bahwa kecantikan yang luar biasa dan kecerdasan yang luar biasa, tentu tak diberi umur panjang.

Dibalik dari kepandaiannya yang luar biasa itu, Siau Mo menderita penyakit yang berbahaya yalah penyakit jantung.

Mendengar ucapan Siau Mo tadi tergeraklah hati Bok-yong Kang. Sudah setahun lamanya ia ikut pada Siau Mo. Semula ia memang tak percaya bahwa Siau Mo menderita penyakit yang berbahaya.

Tetapi sudah berulang kali ia menyaksikan sendiri Siau Mo bertempur. Sebenarnya ia dapat membunuh musuh tetapi entah bagaimana tiba-tiba malah ia yang kena dilukai musuh dan muntah darah.

Ternyata pada saat itu penyakit Siau Mo tiba-tiba kumat sehingga tenaganya hilang seketika. Karena mengetahui hal itu, maka Bok-yong Kang tak mau meninggalkan Siau Mo dan tetap menjaga di sampingnya.

Selama ikut pada Siau Mo, Bok-yong Kang pun telah menerima ajaran-ajaran ilmu silat sehingga kepandaiannya makin tinggi. Budi itulah yang ia hendak balas sekali pun ia sendiri harus binasa karena melindungi Siau Mo.

Tetapi pada saat itu sewaktu mendengar keterangan bahwa Siau Mo hanya dapat hidup seratus hari lagi, hati Bok-yong Kang terasa pilu sekali. Dengan air mata bercucuran dipandangnya Siau Mo.

Siau Mo menghela napas.

“Bokyong-te, jangan bersedih, setiap orang takkan terhindar dari kematian. Sudah tentu bila masih ada kesempatan untuk bertahan hidup, takkan kusia-siakan. Aku akan berjuang  membasmi  penyakit  itu.  Tetapi ”

Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan pula.

“Apabila dalam waktu seratus hari ini aku benar-benar mati dan tak dapat melaksanakan pembalasan dendam keluargaku, akan kuminta engkau yang, melanjutkan. Apabila engkau mau meluluskan permintaanku ini, aku Siau Mo, berjanji akan tenang.”

Air mata Bok-yong Kang bercucuran makin deras.

“Siau toako, mengapa engkau mengatakan begitu? Aku telah berhutang budi besar kepadamu. Sekali pun tubuhku hancur lebur berkeping-keping juga belum dapat menghimpas budi toako kepadaku. Siau toako jangan kuatir. Apabila Yang Kuasa akan memanggilmu, aku tentu akan melaksanakan pesanmu untuk meneruskan pembalasan yang belum selesai itu.”

Siau Mo menghela napas panjang.

“Dalam hidupku yang tinggal seratus hari, aku akan berusaha untuk menyelidiki siapa-siapa musuhku.”

“Sembari juga akan kuberikan kepadamu pelajaran-pelajaran ilmu silat yang sakti, untuk mempersenjatai dirimu lebih kuat,” katanya pula. “Siau toako,” kata Bok-yong Kang, “ada suatu hal yang membuat aku heran. Mengapa Wanita Suara Iblis itu selalu membayangi jejak kita? Dan mengapa sebabnya setiap kali, dia tentu mendahului membunuh musuh toako?”

Siau Mo merenung katanya: “Begitulah! Karena tindakannya itu maka setiap orang yang sudah selesai kuselidiki menjadi lenyap sehingga penyelidikanku menjadi keruh lagi. Ah, dan yang lebih mengherankan lagi, rupanya Wanita Suara Iblis itu membayangi aku karena hendak mengambil jarum Ular Emas.”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan merenung. Beberapa saat kemudian kedengaran ia mengoceh seorang diri.

“......... mungkin hal itu suatu rencana busuk dalam dunia persilatan......... yang menyangkut ribuan jiwa kaum persilatan. Tetapi urusanku sendiri sudah keliwat banyak. Bagaimana aku sempat  mencampuri urusan itu? Hm, dunia persilatan telah membenci aku, perlu apa aku mengurus soal itu.”

Mendengar kata-kata itu terkejutlah Bok-yong Kang. Ia duga karena keluarga Siau Mo telah mengalami peristiwa mengerikan, maka hati Siau Mo menjadi dingin.

Siau Mo memandang Bok-yong Kang, serunya: “Bokyong-te, selama setahun, kita bergaul adakah engkau mempunyai anggapan bahwa segala tindakanku selama ini lepas dari aliran Hitam dan Putih?”

Bok-yong Kang terkesiap, sahutnya: “Dalam beberapa waktu terakhir itu, toako tak melakukan hal-hal yang merugikan dunia persilatan.”

Siau Mo tersenyum: “Mengapa engkau tak menyalahkan aku, kenapa tak mau membela dunia persilatan?”

Jawab Bok-yong Kang: “Siau toako, kupercaya hatimu tentu sudah mempunyai rencana terhadap dunia persilatan.”

Memang Bok-yong Kang seorang yang cerdas. Tetapi walaupun sudah setahun bergaul dengan Siau Mo, ia tak dapat menyelami hati pendekar Ular Emas itu.

Ia merasa bahwa dalam waktu akhir-akhir ini, Siau Mo tampak sibuk untuk melakukan penyelidikan  terhadap musuh-musuh keluarganya....... Tetapi tampaknya juga waspada terhadap perangkap yang dilakukan kaum persilatan terhadap dirinya.

Dunia persilatan memandang Siau Mo sebagai musuh besar yang ganas dan kejam. Sebagai pembunuh yang misterius.

Hanya Bok-yong Kang yang tahu pribadi Siau Mo itu. Tiba-tiba Siau Mo berseru bengis:

“Hai, siapakah itu?”

Dan serentak terdengar suara tertawa dingin:

“Aku!”

Bok-yong Kang terkejut dan cepat berpaling. Di bawah bayangan sebatang pohon besar, tampak sesosok tubuh langsing tegak berdiri.

“Hai, siapakah engkau!” bentak Bok-yong Kang.

Di tengah kesunyian alam sekeliling yang merupakan hutan itu, tiba-tiba terdengar suara menggerincing laksana butir-butir mutiara tertumpah di lantai. Bukan suara harpa, dan bukan suara seruling, bukan pula tetabuhan, melainkan suara tertawa seorang wanita.

Bok-yong Kang terkejut. Ia rasakan bahwa nada tertawa itu bukan tertawa biasa tetapi mengandung suatu kekuatan yang melelapkan perasaan hati orang.

Ia memandang ke sekeliling penjuru tetapi tak dapat mengetahui dari arah manakah suara tertawa itu.”

Tiba-tiba Siau Mo tertawa: “Hm, Wanita Suara Iblis, tak kira kalau engkau datang sendiri hendak mencari aku?”

02.08. Suara Iblis Mendengar itu terkejutlah Bok-yong Kang, pikirnya: “Kalau bayangan hitam di bawah pohon itu si Wanita Suara Iblis, lalu suara tertawa aneh itu apakah dia yang melantangkan? Ah, benar-benar suatu kepandaian yang sangat mengherankan.”

Bayangan hitam itu tertawa dingin: “Siau Mo, kukira engkau tahu apa maksud kedatanganku ini?” “Kapan engkau muncul kemari?” tanya Siau Mo.

Suara iblis itu memperdengarkan suara tertawa dari tenggorokan, serunya: “Sudah lama aku datang. Tentang rahasia dirimu, akupun sudah tahu. Siau Mo, apakah saat ini jantungmu masih sakit?”

Diam-diam terkejutlah Siau Mo pikirnya: “Kalau setelah mengetahui rahasia diriku, dia menyiarkan ke dunia persilatan. Tentulah berbahaya. Kaum persilatan yang hendak membunuh aku tentu akan  mengikuti kemana pergiku. Begitu tahu keadaanku sedang kambuh, mereka tentu akan turun tangan...... Hm, satu- satunya jalan hanyalah membunuh wanita ini untuk melenyapkan rahasia itu.”

Sesaat Bok-yong Kang pun tak dapat bertindak apa-apa. Ia dan Siau Mo menghampiri ke tempat Wanita Suara Iblis itu.

Wanita itu tenang-tenang saja. Ia tak mempunyai rasa kuatir bahwa kedua pemuda itu akan membunuhnya.

Sikap yang setenang itu bahkan malah membuat Siau Mo dan Bok-yong Kang tergetar hatinya. Mereka hentikan langkah dan menatap ke arah wanita itu.

Sampai sepeminum teh lamanya, barulah Siau Mo bertanya pula: “Apakah maksudmu mencari aku?” Wanita Suara Iblis melengking: “Mengapa kalian begitu penakut tak berani turun tangan kepadaku?” Kata-kata wanita itu menyebabkan Siau Mo terkejut.

Ah, jelas dia bukan seorang wanita biasa. Nyatanya dia dapat muncul lenyap tanpa diketahui, pikir Siau Mo.

Siau Mo mendengus: “Jangan salah terka. Siapa yang bilang, aku takkan turun tangan kepadamu?”

Secepat kata melantang, secepat itu pula tangan Siau Mo sudah menyerangnya. Tetapi secepat itu juga Wanita Suara Iblis itu songsongkan lengannya untuk mencengkeram siku lengan Siau Mo.

Ilmu Kin-na-jiu atau merebut senjata dengan tangan kosong yang dilakukan wanita itu cepat sekali.

Siau Mo sekonyong-konyong balikkan lengannya. Dengan jari tangan ia menyelentik ke arah tangan lawan.

Tetapi wanita itu memang tajam sekali perasaannya. Selentikan jari Siau Mo yang menimbulkan desir angin tajam, cepat dapat ditanggapi bahayanya. Maka ia segera menarik pulang tangannya lagi, mengayunkan tubuh sampai tiga langkah, sehingga desis angin selentikan jari Siau Mo hanya lewat di depannya.

“Hm, mengapa engkau tak berani menyambut tutukan jariku?”

Tetapi Wanita Suara Iblis itu tertawa mengikik: “Kalau mau membunuhmu, juga takkan kulakukan saat ini.” “Siapakah yang menyuruh engkau kemari?” seru Siau Mo.

“Benar, kiranya engkau sudah tahu bahwa aku memang diperintah orang,” sahut Wanita Suara Iblis itu. Siau Mo tertawa dingin:

“Memang mataku belum kabur. Kalau engkau hari ini tak mau mengatakan terus terang, jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini dengan masih bernyawa.

“Ah, belum tentu! Engkau menghendaki aku mengatakan apa?” balas wanita itu.

“Jawablah! Ketujuhbelas batang jarum Ular Emas yang kulepaskan itu bukankah engkau yang mengambilnya semua?”

Sahut wanita itu: “Benar, apakah engkau hendak mengambil kembali ketujuhbelas batang jarum Ular Emas itu?”

Siau Mo menggeram: “Dengan menggunakan jarum Ular Emas milikku, engkau melakukan pembunuhan pada orang, bukankah engkau bermaksud menodai namaku sebagai pembunuh?”

Wanita Suara Iblis tertawa ringan. “Nama Pendekar Ular Emas itu sudah cemerlang. Kalau aku lebih menyemarakkan nama itu dengan tambahan yang ganas, apa aku salah?” katanya.

Siau Mo tertawa:

“Hah, kalau begitu aku harus menghaturkan terima kasih!”

Dalam pada tertawa itu Siau Mo pun sudah condongkan tubuh ke muka. Tetapi ternyata wanita itu lebih gesit dan waspada. Secepat itu juga ia sudah loncat menyingkir beberapa langkah lagi.

“Ah, tak usah engkau berterima kasih kepadaku. Anggap saja sebagai saling memperhatikan,” seru wanita itu.

Selama sedang bicara dengan Siau Mo, diam-diam  Bok-yong Kang memperhatikan Wanita Suara Iblis itu. Ia melihat gerak kisaran langkah wanita itu luar biasa anehnya dan lagi selalu mengambil posisi untuk menyerang lebih dulu. Suatu posisi yang membuat Siau Mo tak leluasa lancarkan serangan. Karena apabila ia nekad hendak menyerang, tentulah ia akan didahului oleh wanita itu.

Akhirnya Siau Mo menghela napas. “Siapakah sesungguhnya engkau ini!”

“Siau Mo,” Wanita Suara Iblis itu menjawab dalam nada dingin, “hari ini setelah beruntung bertemu muka, memang benar bahwa engkau ini seorang pemuda yang menonjol. Tetapi kuperingatkan engkau. Selama engkau tak menghalangi gerak gerik kami, aku takkan membikin susah kepadamu. Sekarang aku telah mengetahui penyakitmu. Jika aku bermaksud hendak membunuh, adalah semudah orang membalikkan telapak tangannya. Nah, sampai di sini pertemuan kita, kuharap engkau mempertimbangkan dengan seksama. Sampai berjumpa lagi.”

Terdengar lengking suara macam iblis meringkik dan Wanita Suara Iblis itu segera lenyap ditelan kegelapan.

Siau Mo menghela napas panjang.

“Bokyong-te, menilik gelagat, sepak terjang kita ini sudah diawasi orang. Ah, siapakah wanita itu? Rupanya ia tahu jelas akan sumber kepandaianku,” katanya.

“Siau toako, rupanya dia tak mau bertempur dengan engkau. Mungkin dia gentar akan kepandaian toako,” kata Bok-yong Kang.

Siau Mo mengangkat muka, menengadah dan merenung. Wajahnya berobah-robah tidak menentu.

Bok-yong Kang tahu bahwa memang begitulah Siau Mo. Maka dia pun tak mau menegur dan pelahan-lahan menghampirinya. Tetapi ia tak mau mengajaknya bicara.

“Bokyong-te,” tiba-tiba Siau Mo berseru, “hayo kita lekas pergi, mungkin wanita itu mengganas lagi.” Bok-yong Kang terkesiap: “Kemana?”

Tiba-tiba dari tengah hutan terdengar lengking suara seorang wanita:

“Siau Mo, jangan pergi!”

Bok-yong Kang memandang ke muka. Di bawah sinar bulan tampak sesosok tubuh langsing tengah berlari- lari mendatangi. Ilmu gin-kangnya hebat sekali. Ternyata seorang dara cantik baju hijau.

Setelah melihat gadis itn, berobahlah wajah Siau Mo. “Nona Nyo, engkaukah yang memanggil aku?” serunya.

Dara cantik baju hijau itu memang Nyo Cu-ing, puteri kesayangan dari Nyo Jong-ho. Tampak nona itu berkabut kemarahan. “Sret……,” serentak ia mencabut pedang.

“Siau Mo aku hendak bertanya, apakah engkau ini benar-benar guru sekolah Siau Lo-seng itu?” serunya. Siau Mo agak tenang, sahutnya: “Benar, apakah nona masih belum percaya?”

“Bagus,” Cu-ing membentak, “durjana yang licin, sambutlah pedangku ini.” Secepat berkata, secepat itu pula Cu-ing terus menusuk. Bok-yong Kang melolos sebatang ruyung dari pinggangnya. Ruyung itu disebut Ko-lo-pek-kut-pian. Secepat kilat ruyung diayunkan untuk menangkis pedang si nona.

“Hm, engkau bukan tandingannya Siau toako, biarlah aku yang melayaninya.”

“Enyahlah,” bentak Cu-ing dengan gusar. Pedang digentakkan keatas dan ditaburkan menjadi lingkaran sinar yang menimpah ke tubuh Bok-yong Kang dan menusuk jalan darahnya yang berbahaya.

Bok-yong Kang pun serentak balikkan ruyung ke atas untuk menyambuti. Ia yakin nona itu tak mungkin terhindar dari ruyungnya. Tetapi diluar dugaan, Cu-ing tak mau menghindar malah menangkis.

“Tring!”

Tetapi secepat itu pula Cu-ing terus tebarkan pedangnya menjadi sebuah lingkaran sinar yang menghambur lagi ke arah lawan.

Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran seru.

Tampak serangan Cu-ing lebih hebat dan lebih terarah. Setiap tusukannya tentu mencari sasaran jalan darah Bok-yong Kang yang berbahaya. Apabila terkena, kalau tidak mati tentulah pemuda itu menderita cacad parah.

Bok-yong Kang tahu bahwa selama menjadi guru, Siau Mo telah mendapat perlakuan baik sekali dari dara itu. Maka ia pun tak mau menggunakan jurus-jurus yang ganas. Tetapi karena kesungkanan itu, dia telah dikuasai oleh pedang si nona.

Melihat serangan pedang Cu-ing, Bok-yong Kang terkejut. Pikirnya:

“Mengapa ilmu pedangnya begitu luar biasa? Siapakah gurunya? Rupanya kepandaian nona itu lebih tinggi dari ayahnya.”

Dalam beberapa saat saja Cu-ing telah melancarkan delapanbelas serangan. Tapi semua itu dapat dipecahkan oleh Bok-yong Kang. Saat itu barulah Cu-ing sadar bahwa pemuda itu memang sakti.

“Kalau pembantunya saja sudah demikian hebat, tentulah Siau Mo itu lebih mengerikan lagi,” pikirnya.

Siau Mo yang sejak tadi memperhatikan gaya serangan, sesaat melihat nona itu merobah jurus pedangnya, cepat ia berseru: “Bokyong-te, mundurlah, nona Nyo hendak mengeluarkan Ilmu pedang Giok-li-kiam-hwat.”

Bok-yong Kang selalu taat kepada perintah Siau Mo. Cepat ia menghindar mundur sampai tiga langkah.

Sebenarnya Cu-ing tak mau memberi ampun kepada Bok-yong Kang. Tetapi demi mendengar kata-kata Siau Mo tadi ia cepat menarik pulang pedangnya.

“Bagaimana engkau tahu aku murid partai Ko-bok-pay?” serunya.

“Tay Hui Sin-ni dari Ko-bok-pay, seorang rahib yang amat sakti dan seumur hidupnya hanya menerima seorang murid. Bahwa nona ternyata murid dari Sin-ni yang sakti itu, benar-benar diluar dugaanku,” kata Siau Mo.

Dengan kata-kata itu jelas bahwa sebelumnya Siau Mo memang belum tahu tentang diri si nona. Setelah melihat jurus-jurus permainannya barulah ia dapat mengetahuinya.

Cu-ing terkejut sekali: “Apakah engkau kenal pada suhuku?”

Dengan hormat Siau Mo berkata, “Atas budi kebaikan Sin-ni, aku…… aku pernah tinggal di Ko-bok tiga hari. Sayang aku tak dapat menerima pelajarannya lebih lama lagi.”

“Apakah omonganmu itu boleh dipercaya?” seru Cu-ing.

Cu-ing tahu bahwa daerah Ko-bok itu merupakan sebuah tempat yang pantang didatangi orang lelaki. Selangkah saja orang lelaki berani menginjak tempat itu, tentu akan dibunuhnya.

Bahkan dahulu ketika ayahnya, Nyo Jong-ho membawanya kepada Tay Hui Sin-ni untuk berguru, juga tak diperbolehkan masuk ke daerah Ko-bok atau Kuburan Tua itu.

Tetapi mengapa Siau Mo dapat tinggal di Ko-bok selama tiga hari? Kalau menilik raut wajah Siau Mo begitu menghormat ketika menyebut nama Tay Hui Sin-ni, memang tampaknya pemuda itu tak bohong. Siau Mo tertawa, “Menilik peraturan keras dari suhu nona, tentu nona tak percaya pada keteranganku.”

Cu-ing bertanya: “Siau Mo, apakah sesungguhnya maksudmu terhadap ayahku? Korban-korban yang mati di rumahku itu apakah bukan engkau yang melakukannya?”

Siau Mo menghela napas.

“Kalau aku bicara dengan sesungguhnya, belum tentu engkau mau percaya. Nona Ing, urusan ini gawat sekali. Lekaslah engkau pulang untuk menolong ayahmu.”

Cu-ing terkesiap, serunya: “Apakah maksudmu?”

“Kalau dugaanku tak salah, dalam tiga hari ini keluargamu pasti akan mengalami peristiwa yang ngeri. Mungkin hal itu malah akan terjadi pada malam ini. Maka harap nona lekas pulang saja. Kalau engkau hendak minta keterangan, aku tak dapat menjelaskan.”

Berobahlah wajah Cu-ing seketika, serunya:

“Kalau dalam tiga hari tak terjadi apa-apa dalam rumahku, walaupun ke ujung dunia aku tetap akan mencarimu.”

Rupanya dalam hati nona itu memang seperti mempunyai firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang tak menggembirakan. Maka ia terus bergegas pulang.

“Nona Ing,” tiba-tiba Siau Mo berseru, “kalau dalam rumah nona benar-benar sudah terjadi sesuatu peristiwa, harap nona jangan masuk ke dalam gedung.”

Tetapi Cu-ing sudah lenyap dalam kegelapan malam.

“Semoga Tuhan jangan merestui peristiwa itu sampai terjadi……” terdengar Siau Mo berdoa.

Sudah tentu Bok-yong Kang tak mengerti yang dimaksudkan dengan peristiwa itu, ia berpaling memandang Siau Mo.

“Siau toako,” serunya. “tentang urusanmu sebenarnya aku tak suka banyak mulut. Tetapi engkau memanggil aku datang ke Lok-yang ini benar membuat aku bingung. Apakah tujuan Siau toako datang ke Lok-yang ini bukan hendak menyelidiki musuh-musuh keluarga toako?”

Siau Mo menghela napas pelahan.

“Bokyong-te, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu, harap suka menjawab dengan sepenuh hati.”

“Siau toako,” sahut Bok-yong Kang, “Bok-yong Kang telah menerima budi toako. Setiap saat aku selalu mencari kesempatan untuk membalas budi toako itu. Tetapi aku belum mempunyai kesempatan yang memadai. Maka kalau toako hendak memberi perintah silahkan toako mengatakan. Aku tentu akan mengerjakan dengan sepenuh hati.”

“Aku bukan hendak menyuruh engkau melakukan suatu pekerjaan, ah!” Siau Mo menghela napas lalu melanjutkan:

“Bokyong-te, bagaimanakah pandanganmu tentang soal Baik dan Jahat itu?”

Bok-yong Kang terkesiap, sahutnya: “Baik, yalah perbuatan yang baik. Jahat, yalah amal pekerjaan yang jahat.”

02.09. Hadangan Pendekar Wanita Baju Merah

“Kalau engkau dihadapi dua hal Baik dan Jahat, lalu engkau memilih yang mana?” tanya Siau Mo pula. “Sudah tentu memilih yang Baik.”

Siau Mo mengangguk.

“Ah, Bokyong-te,” Siau Mo melanjutkan lagi, “dengan sejujurnya kuberi tahu kepadamu. Sebenarnya bagiku, Baik dan Jahat itu tak ada bedanya. Kurasa orang yang melakukan Kebaikan dan orang yang melakukan Kejahatan, serupa saja. Pada akhirnya juga takkan terlepas dari mati. Misalnya: Go Jo itu seorang dorna besar, walaupun namanya jatuh dan dihina orang, tetapi juga meninggalkan nama sampai beribu tahun. Kebalikannya, Gak Hui itu seorang panglima yang setia, pun juga meninggalkan nama sampai beribu tahun. Jahat meninggalkan nama. Baik pun meninggalkan nama. Soal itu bagi yang bersangkutan karena sudah mati, juga tak ada sangkutannya apa.

“Bokyong-te, mungkin karena kelahiranku ini dengan membawa penyakit maka watakku juga aneh dan mempunyai prasangka terhadap orang. Pandanganku terhadap Baik dan Jahat, pun tak sama dengan orang biasa. Itulah sebabnya maka sejak berkelana dalam dunia persilatan sepak terjangku tak menentu di antara garis-garis Baik dan Jahat itu.”

Mendengar itu diam-diam Bok-yong Kang terkejut, pikirnya:

“Memang perangai Siau toako ini luar biasa anehnya. Kalau dia sampai terjerumus ke arah jalan yang  Jahat, entah berapa banyak jiwa manusia yang akan melayang. Ah, baiklah aku terus mendampingi saja untuk mempengaruhi alam pikirannya.”

“Selama tiga tahun ini,” sesaat kemudian Siau Mo meneruskan kata-katanya lagi, “Aku sering mencampur adukkan Kesadaran dan Prasangka, sehingga sering aku tak dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, yang salah dan yang benar. Itulah sebabnya aku tak sungguh-sungguh memikirkan tentang keadaan dunia persilatan. Dan karena itu timbullah bahaya mengancam keselamatan dunia persilatan. Ya, pembunuhan-pembunuhan besar dewasa ini boleh dikata akulah yang menyebabkannya.”

Bok-yong Kang terkejut,

“Toako, bagaimana engkau mengatakan kalau peristiwa berdarah dalam dunia persilatan dewasa  ini  engkau yang menimbulkan? Selama setahun ini, kecuali mengadakan pembasmian manusia-manusia jahat, toako tak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar pada dunia persilatan.”

Siau Mo gelengkan kepala.

“Ada beberapa perbuatanku yang engkau tak tahu,” katanya.

Bok-yong Kang berseru nyaring: “Dewasa ini dunia persilatan memang sedang dilanda demam pembunuhan. Siau toako memiliki kecerdasan yang luar biasa. Apabila toako dapat melakukan tindakan yang menyelamatkan dunia persilatan, tentulah hal itu sebagai suatu berkah dari Tuhan.”

Mendengar itu Siau Mo menengadahkan kepala memandang ke langit yang luas.

Bok-yong Kang menyadari bahwa karena keluarganya menderita peristiwa yang mengerikan, maka Siau Mo menjadi berwatak aneh dan dingin terhadap urusan dunia. Tetapi diam-diam ia memperhatikan bahwa dalam waktu terakhir ini, tampaknya Siau Mo mengalami perobahan dalam hati. Bila hal itu terarah pada suatu keputusan, pentinglah bagi dunia persilatan.

Siau Mo mempunyai kekuatan yang dahsyat. Dia dapat menyelamatkan dunia persilatan, tetapi pun mampu membuat dunia persilatan hancur berantakan.

Tiba-tiba mata Siau Mo memancar sinar aneh, serunya dengan nada sarat:

“Bokyong-te, aku telah mengambil keputusan bahwa dalam sisa hidupku ini, akan kugunakan untuk melakukan suatu pekerjaan besar yang menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bok-yong te, mari kita lekas kembali masuk ke dalam kota lagi.”

Melihat Siau Mo sudah mendahului ayunkan langkah, Bok-yong Kang menyusulnya.

Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Lari Siau Mo secepat bintang meluncur. Kakinya sama sekali tak mengeluarkan suara.

Setiap loncatan dapat mencapai tujuh-delapan tombak jauhnya. Dengan gerakan itu, dalam beberapa kejap saja ia sudah jauh meninggalkan Bok-yong Kang di belakang.

Bok-yong Kang terkejut.

“Dalam usia yang begitu muda ternyata Siau toako sudah memiliki kepandaian yang begitu sakti. Sungguh jarang terdapat dalam dunia, orang yang seperti toako itu. Walaupun sudah setahun bergaul dengan dia tetapi aku masih belum mengetahui dari perguruan mana toako itu. Dan yang membuat heranku,  tampaknya dia mengerti semua aliran ilmu silat dari berbagai partai persilatan. Ah, Thian sungguh tak kenal kasihan! Mengapa seorang pemuda yang begitu cemerlang bakatnya diganjar dengan penyakit yang tak dapat diobati lagi? Kalau dia sampai meninggal sungguh merupakan suatu kehilangan besar bagi dunia persilatan!” demikian pikir Bok-yong Kang sembari lari. Tiba-tiba ia mendapatkan dirinya sudah berada di tepi kota.

“Berhenti, bung!” sekonyong-konyong terdengar bentakan keras. Dan menyusul sesosok tubuh menghadang jalan.

Bok-yong Kang terkejut. Lebih-lebih ketika memperhatikan bahwa gerakan orang itu sangat cepat. Tanpa banyak bicara ia terus ayunkan tangannya memukul.

Tetapi alangkah kejut Bok-yong Kang ketika pukulannya seperti tenggelam dalam laut. Dan serentak dengan itu ia merasakan suatu tenaga membal yang meluncur dari tubuh orang sehingga ia terpental mundur sampai delapan langkah.

Ketika memandang ke muka Bok-yong Kang pun terbelalak. Sesosok bayangan hitam dengan pelahan- lahan melangkah keluar dari tembok kota dan ketika makin dekat barulah diketahui dengan jelas.

Seorang wanita pertengahan umur yang berwajah cantik sekali dan mengenakan pakaian seperti puteri keraton.

“Siapa engkau?” bentak Bok-yong Kang, “kami tak kenal mengenal mengapa engkau menghadang jalanku?”

Wanita cantik itu tertawa:

“Engkau tak kenal aku tetapi aku kenal padamu. Bok-yong Kang pengawal pribadi dari Kim-coa Long-kun alias Pendekar Ular Emas,” serunya.

Mendengar itu Bok-yong Kang terlongong-longong heran. Sesaat kemudian segera ia teringat siapa wanita itu. Cepat ia lepaskan sebuah hantaman ke arah wanita baju merah itu lalu berputar tubuh hendak pergi.

Tetapi astaga!

Tiga sosok bayangan hitam tegak berdiri menghadang jalan. Bok-yong Kang menduga ketiga orang lelaki  itu tentulah anak buah dari wanita cantik Baju Merah.

Sambil memandang salah seorang yang bertubuh kurus dan bermata aneh, Bok-yong Kang berseru: “Bukankah kalian ini diperintah ke mari oleh Wanita Suara Iblis?”

Wanita cantik Baju Merah menyahut:

“Ah, nyata benar engkau ini adalah seorang yang cerdik, maka cepat dapat mengetahui, begitu lihay.”

Bok-yong Kang tak meragukan lagi bahwa ketiga lelaki itu memang anak buah Wanita Suara Iblis yang diperintahkan untuk menghadang perjalanannya.

Ia duga Wanita Suara Iblis itu tentu sudah memperhitungkan bahwa bila Bok-yong Kang tak mengawal Siau Mo, mudahlah membereskan jiwa Siau Mo, karena jelas Siau Mo itu seorang yang menderita penyakit berbahaya.

Maka wanita itu mengatur rencana. Lebih dulu pengawalnya harus dilenyapkan baru membereskan Siau Mo. Demikianlah pemikiran Bok-yong Kang.

Bok-yong Kang pun percaya bahwa dugaannya tentu benar. Tetapi alangkah kejutnya nanti apabila ia mengetahui bahwa dugaannya itu salah.

Wanita cantik Baju merah itu bukan anak buah Wanita Suara Iblis. Setelah menyimpulkan kesan, pemuda itu mencabut ruyung.

“Hi, hi, Bok-yong Kang,“ seru wanita Baju merah itu, “engkau harus tahu diri. Dengan ruyung tulang-tulang orang mati itu masakan engkau mengalahkan ketiga pengawalku. Lebih baik engkau menyerah saja!”

Bok-yong Kang tertawa dingin.

“Hm, kalau eugkau hendak suruh aku menurut perintahmu, lebih dulu engkau harus mampu mengalahkan ruyungku ini,” serunya. Serentak ruyung pun segera diayunkan ke arah wanita cantik itu.

Sekali bergeliat wanita Baju Merah itu sudah meluncur tiga langkah. Melihat tata langkah wanita itu sedemikian luar biasa, diam-diam Bok-yong Kang terkejut. Namun sudah terlanjur menyerang, ia pun tak mau berhenti setengah jalan. Ruyung digentakkan dan majulah menyerang. Tiba-tiba ketiga lelaki itu serempak maju.

Tiga buah serangan telah dilancarkan Bok-yong Kang dengan ruyung tulang tengkoraknya. Dan ketiga jurus itu cepatnya laksana halilintar menyambar dan gerakannya pun luar biasa anehnya.

Dua dari ketiga orang lelaki itu segera menyingkir tetapi tak sempat menghindar. Ujung ruyung telah melanda bahu kirinya, darahpun bercucuran ke tanah.

Memang jurus terakhir dari ketiga jurus serangan ruyung yang dilancarkau Bok-yong Kang merupakan jurus maut.

Karena jalan darah Kian-keng-hiat pada bahu orang itu tersambar tak ampun lagi orang itu segera terkapar di tanah.

Kedua kawannya terkejut dan hendak menolong tetapi segera disambut dengan sabetan ruyung oleh Bok- yong Kang. Dan sekali menyerang tak maulah Bok-yong Kang memberi kesempatan kedua orang itu untuk bernapas. Ruyung berkelebatan menyambar ke kanan kiri dengan dahsyat dan cepat sekali. Dan setiap serangan selalu mengarah jalan darah yang berbahaya. Bahkan disamping itu Bok-yong Kang pun masih menyerempaki dengan pukulan tangan kiri lagi.

Kedua orang itu meski pun jago-jago yang tangguh tetapi karena diserang oleh ruyung dan pukulan yang gencar dan aneh, mereka menjadi kalang kabut juga.

Tigapuluh jurus kemudian, kedua orang itu pun tak mampu meloloskan diri dari lingkaran ruyung dan pukulan Bok-yong Kang.

Melihat kedua orang itu akan kalah, wanita Baju merah mombentaknya, “Mundurlah!”

Tetapi Bok-yong Kang tak mau memberi kesempatan kepada kedua orang itu. Dengan bersuit pelahan ia segera lepaskan tiga buah pukulan dahsyat. Pukulan itu membuat kedua orang itu menyurut mundur.

“Sring, sring!”

Bagaikan ular memagut, ruyung-ruyung segera meluncur maju menyambar. Terdengar kedua orang itu mengerang. Jalan darah mereka tertutuk dan mereka rubuh ke tanah.

Bok-yong Kang cukup bersikap kesatria. Habis menutuk ia tak mau menyusuli lagi dan menarik pulang ruyungnya.

Wanita itu tertawa seraya menghampiri serunya: “Ih, mereka bertiga memang seharusnya mati.” Tiba-tiba wanita cantik itu terus ayunkan kakinya menendang ketiga orang yang rebah di tanah itu.

Bok-yong Kang terkejut. Ia mengira wanita Baju Merah itu hendak menolong dengan membuka jalan darah yang tertutuk.

Tetapi di luar dugaan terdengarlah jeritan ngeri dari ketiga orang itu. Darah menyembur dari mulut dan seketika hilanglah nyawa mereka.

Tindakan yang tak diduga-duga itu membuat Bok-yong Kang melongo. Kemudian ia berteriak: “Hai, mengapa engkau membunuh anak buahmu sendiri?”

Wanita Baju Merah tersenyum. “Mereka bertiga manusia yang tak berbudi. Perlu apa dibiarkan hidup?” Bok-yong Kang tertegun,

“Mereka telah menjual jiwa kepadamu, mengapa engkau masih mengatakan mereka tak setia?” serunya.

Memang pemuda itu berhati polos. Ia tak puas atas tindakan wanita yang dianggapnya terlalu kejam terhadap anak buahnya. Walaupun ketiga orang itu jelas memusuhi dirinya, tetapi ia merasa kasihan juga kepada mereka.

Wanita Baju Merah tertawa: “Mereka itu anak buah dari Nyo Jong-ho, tetapi mereka telah menjual tuannya. Mereka selayaknya kalau dibunuh.”

Bukan kepalang kejut Bok-yong Kang mendengar keterangan wanita itu, serunya: “Apakah ke tiga orang itu bukan anak buahmu?”

“Bukan!”

Diam-diam Bok-yong Kang terkejut: “Kalau begitu, dugaan Siau toako itu memang benar bahwa rumah kediaman keluarga Nyo sudah terjadi peristiwa besar, karena itu beberapa anak buah Nyo Jong-ho lalu berpaling muka dan ikut pada Wanita Suara Iblis.”

Pada saat Bok-yong Kang tengah merenung, tiba-tiba wanita Baju merah itu melesat kehadapannya dan secepat kilat menyambar pergelangan tangan anak muda itu.

Bok-yong Kang tersentak dari renungannya, cepat ia menyurut mundur dua langkah. Tetapi dengan sebuah gerak kisaran tubuh yang aneh dan cepat, wanita Baju Merah itu pun sudah membayangi di sampingnya  lalu ayunkan tangan memukul.

Melihat betapa cepat dan luar biasa gerak wanita itu, diam-diam Bok-yong Kang menyadari bahwa wanita itu tentu berilmu tinggi. Cepat ia menyurut mundur lima langkah lagi seraya gentakkan ruyungnya untuk menangkis. Dan tangannya kiri menyerempaki dengan sebuah hantaman kepada wanita itu.

Pukulan dengan tangan kiri itu dilontarkan Bok-yong Kang dengan tenaga penuh sehingga menimbulkan sambaran angin keras.

Tetapi tampaknya wanita itu tak gentar menghadapi pukulan Bok-yong Kang. Ia mengangkat tangannya untuk menangkis.

Bok-yong Kang tak gentar. Ia percaya bahwa pukulan itu tentu dapat menyurutkan lawan ke belakang.

Tetapi dugaannya itu meleset. Wanita cantik itu tetap menangkis. “Huak,” mulut Bok-yong Kang menguak, memuntahkan segumpal darah. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai delapan langkah.

Wanita Baju merah itu tertawa,

“Untuk memberimu sedikit pelajaran, sekarang engkau boleh pilih, mencari jalan hidup atau jalan mati?”

Ternyata Bok-yong Kang telah menderita serangan membalik dari tenaga dalam wanita itu sehingga ia terluka dan jatuh terduduk di tanah. Ia berusaha bangun tetapi kepalanya terasa pusing sekali.

Dengan tenang wanita itu berkisar ke muka Bok-yong Kang lalu lekatkan telapak tangannya ke ubun-ubun Bok-yong Kang seraya membentak:

“Engkau mau mati atau hidup?”

“Hm. jalan hidup bagaimana, jalan mati bagaimana?” “Kalau mau hidup, harus menyerah.”

Bok-yong Kang menyadari bahwa wanita itu memiliki kepandaian aneh. Ia tak mengerti entah menderita pukulan ganas macam apa sehingga tenaganya lumpuh.

“Mati atau hidup boleh semua,” dengus Bok-yong Kang. “bukankah saat ini jiwaku berada di tanganmu?” Wanita Baju merah tertawa mengikik. Nada tawanya aneh mengandung nada ejek dan hina.

Merah muka Bok-yong Kang, bentaknya:

“Apa yang engkau tertawakan?”

Tiba-tiba wanita itu wajahnya mengabut hawa pembunuhan.

“Mati aku ,” melihat itu Bok-yong Kang pun mengeluh dalam hati.

Sekonyong-konyong terdengar sebuah suara nyaring: “Bwe sumoay, jangan mengganggu jiwanya!” Sebenarnya wanita itu sudah hendak memancarkan tenaga dalam ke arah telapak tangannya yang melekat di ubun-ubun Bok-yong Kang. Mendengar suara itu ia menghentikannya.

Memandang ke muka, Bok-yong Kang melihat empat orang muncul dari gumpalan kabut pagi. Yang dua orang, Bok-yong Kang dapat mengenali sebagai suami isteri Hong-hu Hoa dan Tong Ki. Dan yang dua orang, ia belum kenal. Yang satu, seorang tua. Jenggotnya yang putih menjulai turun ke dada, sedang punggung memanggul pedang.

Sedang yang seorang juga seorang tua gemuk wajahnya seperti Bi-lek-bud, tetapi tak membekal senjata.

Sesaat Bok-yong Kang tak tahu apa yang dihadapi saat itu. Ia terlongong memandang Seruling Kumala Hong-hu Hoa dan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki dengan penuh pandang bertanya. Bermula ia kira wanita Baju merah itu anak buah Wanita Suara Iblis.

Melihat orang tua berambut putih, wanita cantik Baju merah itu segera bersikap serius, serunya: “Ciang-bun suheng, inilah anak buahnya seorang musuh.”

Ciang-bun suheng artiuya kakak seperguruan yang menjadi ketua partai perguruan. Dengan demikian orang tua rambut putih itu menjadi suheng dari wanita Baju merah dan juga menjadi ketua perguruan mereka.

Orang tua berambut putih mengangguk.

“Ya, kutahu, tetapi masih banyak hal yang kita tak mengerti dan perlu mencari keterangan dari orang itu. Sekarang kita bawa saja dia ke tempat keluarga Nyo untuk diperiksa.”

Bok-yong Kang tertawa dingin.

02.10. Misteri Rumah Kediaman Keluarga Nyo

“Orang apakah kalian ini?” dengusnya. “Bok-yong Kang boleh kehilangan kepalanya tetapi jangan harap kalian dapat mencari keterangan dari aku.”

Tiba-tiba wanita itu berpaling ke arah Bok-yong Kang dan tertawa:

“Kami adalah Tiga Pendekar Go-bi. Hm, jangan jual lagak!”

Habis berkata tiba-tiba wanita itu melentikkan jarinya dan mengeranglah Bok-yong Kang tertahan jalan darahnya kena tertutuk dengan lentikan jari si wanita.

Orang tua rambut putih berkata kepada orang tua bermuka Bi-lek-hud:

“Ji-te, tolong engkau mewakili sam-sumoay mengangkat anak itu.”

Orangtua gemuk tertawa lalu ulurkan tangan macam burung alap-alap menyambar anak ayam, ia terus mengangkat tubuh Bok-yong Kang lalu dipanggul bahunya.

Tepat pada saat itu terdengar suara dingin: “Leng Bu-sia, lepaskan dia!”

Rombongan ketua Go-bi-pay terkejut dan memandang ke muka. Tiga tombak jauhnya, tegak seorang pemuda baju putih, sepasang matanya berkilat tajam.

“Siau Mo!” seru Tong Ki tertahan. Ya, memang yang muncul itu Siau Mo.

Diam-diam Hong-hu Hoa dan Tong Ki terkejut dalam hati, pikirnya: “Mengapa kita sama sekali tak tahu dan tak mendengarkan kemunculannya. Mungkin karena lengah kita berdua agak kurang perhatian. Tetapi bukankah ketiga tokoh Go-bi-pay itu merupakan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam dunia persilatan? Mengapa dalam jarak hanya tiga tombak saja mereka juga tak dapat mendengar sama sekali? Adakah ilmu kepandaian Siau Mo itu sedemikian tingginya, hampir mencapai kesempurnaan?”

Ternyata wanita Baju Merah, orang tua berambut putih dan orang tua gemuk itu adalah Tiga Tokoh Go-bi yang termasyhur.

Wanita itu bernama Bwe Hui-ji bergelar Lui-sing-hui-siu atau Bintang meluncur lengan terbang. Orang tua gemuk, tokoh nomor dua, bernama Leng Bu-sia, digelari Cian-jiu-hud-ciang atau Tangan seribu kepalan Buddha. Sedang orang tua rambut putih yalah Ong Han-thian bergelar Cui-jong-kiam atau Pedang penghancur usus. Dia adalah ketua dari partai Go-bi-pay saat ini. Mereka mendapat undangan dari Nyo Jong-ho dan bergegas datang ke Lok-yang.

Saat itu berkata pula orang muda berbaju putih dengan suara sarat: “Leng Bu-sia, apakah engkau tak mau lekas-lekas melepaskan Bok-yong Kang?”

Bwe Hui-ji mengisar langkah menghampiri pemuda baju putih, tegurnya: “Apakah engkau Siau Mo yang termasyhur sebagai Pendekar Ular Emas itu?”

Tepat pada saat habis berkata Bwe Hui-ji pun sudah tiba di muka pemuda baju putih dan secepat kilat menyambar pergelangan tangan pemuda baju putih dengan jurus Kim-soh-poh-kau.

Bwe Hui-ji yakin serangannya yang dilakukan mendadak itu tentu akan berhasil. Tetapi apa yang dirasakan saat itu benar-benar mengejutkan hatinya sekali.

Pada saat si baju merah Bwe Hui-ji gerakkan tangan, pemuda baju putih itu pun menyerampaki kebutkan lengan bajunya ke muka. Di tengah jalan tiba-tiba ia balikkan tangan, ulurkan jari telunjuk dan jari tengah menutuk pergelangan tangan Bwe Hui-ji.

Jurus mengebut, memukul, menutuk itu dilambari ilmu menampar jalan darah dan menabas urat nadi. Bwe Hui-ji terkejut dan mundur, tegak termangu-mangu.

Ong Han-thian memperhatikan permainan pemuda baju putih. Seketika meluncurlah ke samping sumoaynya.

Tetapi ternyata pemuda baju putih itu tak mau menyerang lagi. Ia memandang sekalian tokoh-tokoh dan berseru lantang: “Go-bi Sam-hiap, musuh besar sudah tiba. Sebaiknya kalian jangan memusuhi agar aku jangan menghabiskan tenaga kalian. Asal kalian lepaskan Bok-yong Kang, akupun tak mengganggu kalian.”

“Apa katamu? Apa maksudmu?” seru Ong Han-thian.

Pemuda baju putih memandang ketua Go-bi-pay, sahutnya: “Ong ciangbun, tadi engkau dan Leng Bu-sia telah melukai dua orang anak murid kesayangan Wanita Suara Iblis. Kalau dugaanku tak keliru paling lambat malam ini, Wanita Suara Iblis itu tentu akan datang melakukan pembalasan.”

Mendengar itu seketika berobahlah wajah Ong Han-thian, serunya pula: “Siapakah Wanita Suara Iblis itu? Apakah dia bukan sealiran dengan engkau?”

“Memang kaum persilatan menganggap aku dan Wanita Suara Iblis itu satu aliran. Itulah sebabnya kalian berusaha mencelakai aku. Hm, sungguh menggelikan sekali!” seru pemuda baju putih itu.

Tiba-tiba terlintas pada benak Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki, serunya:

“Siau Mo, banyak hal-hal yang tak mampu kita pecahkan. Harap engkau ikut kami ke rumah keluarga Nyo agar kami dapat mohon keterangan dari engkau.”

Pemuda baju putih itu memang Siau Mo. Dia tertawa dingin: “Gedung keluarga Nyo sudah menjadi sebuah tempat yang menyeramkan dan sunyi. Siapakah yang kalian hendak cari ke sana?”

Seruling Kumala Hong-hu Hoa terkejut.

“Apa katamu?” teriaknya, “adakah Nyo Jong-ho dan keluarganya sudah tinggalkan gedung kediamannya yang mewah itu?”

Ternyata ketika Li Giok-hou mengejar jejak sumoaynya yalah si dara Cu-ing. Hong-hu Hoa dan isterinya pun ikut mencari. Di dalam kota Lok-yang, kedua suami isteri itu telah berjumpa dengan kedua tokoh Go-bi-pay, Ong Han-thian dan Leng Bu-sia. Itulah sebabnya kedua suami isteri itu tak mengetahui apa yang terjadi dalam rumah keluarga Nyo.

Kebalikannya, Siau Mo sudah kembali ke gedung keluarga Nyo dan dapatkan rumah itu telah ditimpah suatu peristiwa mengejutkan.

Siau Mo tak lekas menjawab pertanyaan Hong-hu Hoa, melainkan merenung. Sesaat kemudian baru ia menyahut: “Apa yang terjadi di gedung keluarga Nyo, silahkan datang melihatnya sendiri.”

Ia berhenti sejenak lalu menegur tokoh kedua dari Go-bi-pay: “Leng Bu-sia, apakah kalian betul-betul hendak mendesak aku supaya bertempur baru engkau melepaskan Bok-yong Kang?”

Memang saat itu Leng Bu-sia masih memanggul Bok-yong Kang. Tokoh gendut itu tertawa gelak-gelak: “Siau Mo, sikap dan lagakmu benar-benar membuat orang seperti makan cuka. Baik, aku hendak minta pelajaran dari kecongkakanmu itu.”

Go-bi Sam-hiap merupakan tokoh golongan cianpwe atau angkatan tua dalam dunia persilatan. Karena  Siau Mo terus menerus memanggil Leng Bu-sia secara langsung dan nada bicaranya agak memandang rendah, murkalah ketiga tokoh Go-bie-pay itu.

“Bluk,” sekali lepas jatuhlah tubuh Bok-yong Kang dari punggung Leng Bu-sia. Dan tokoh kedua dari Go-bi- pay itu bersiap hendak menempur Siau Mo.

Tiba-tiba setiup angin membawa lengking teriakan ngeri dari seorang wanita: “Siau Mo, Siau Mo!” Tokoh-tokoh Go-bi-pay dan suami isteri Hong-hou Hoa terbeliak.

Dari pintu kota tampak sesosok tubuh berlari-lari mendatangi. Dalam sekejap mata orang itu pun sudah tiba di tempat rombongan orang-orang Go-bi-pay.

Ah, teryata pendatang itu adalah Nyo Cu-ing. Tangan dara itu mencekal pedang, rambutnya terurai kusut. Melihat keadaan nona itu terkejutlah Siau Mo. Ia menghela napas panjang.

Demi melihat Siau Mo, dara itu pun terus menjerit:

“Siau Mo, Siau Mo, ke manakah seluruh keluargaku?”

Ternyata ketika pulang, Cu-ing mendapatkan keadaan rumahnya seperti apa yang dikatakan Siau Mo. Suatu peristiwa besar telah terjadi. Dan yang lebih mangejutkan lagi yalah di tengah-tengah ruang besar terpancang sebatang tiang bambu. Puncak tiang itu digantungi sebuah lentera kematian.

Karena kejutnya, Cu-ing menjerit lari ke dalam ruang besar. Alat perabot masih tetap di tempat masing- masing tetapi sebatang hidung pun tak ada orangnya.

Cu-ing terus masuk ke ruang dalam. Tetapi di situ kosong tak ada orang. Lalu kemana ketua Thay-kek-bun Han Ceng-jiang serta Li Giok-hou dan lain-lainnya?

Jika mengatakan bahwa dalam waktu singkat Nyo Jong-ho telah pindah untuk menyingkir dari bahaya, tak mungkin dalam waktu yang begitu cepatnya bujang-bujang dan seluruh penghuni gedung itu sudah pergi dan satu pun tak ada yang masih tinggal di situ.

Walaupun sudah mencari ke seluruh ruangan, tetap Cu-ing tak bertemu seorang pun juga. Segera ia tinggalkan rumahnya lalu mencari ke seluruh penjuru kota Lok-yang. Pikirnya, kalau benar ayahnya pindah, tentu belum mencapai jarak jauh.

Tetapi ah walaupun ia sudah mencari ke seluruh tempat dalam kota bahkan sudah menyelidiki sampai

seluas satu lie di luar kota, tetap ia tak bertemu dengan ayahnya. Siau Mo menghela napas:

“Nona Ing, apakah engkau sudah pulang ke rumahmu?” tanyanya. “Siau Mo, bagaimanakah peristiwa ini? “ Cu-ing menjerit.

Siau Mo gelengkan kepala: “Aku sendiri juga tak tahu.”

“Tetapi mengapa engkau tahu bakal terjadi peristiwa dalam rumahku?”

Tiba-tiba Ong Han-thian bertanya: “Nona Nyo apakah yang telah terjadi dalam rumah kediaman ayah nona?”

Kuatir kalau Cu-ing tak kenal siapa orang tua rambut putih itu, buru-buru Tong Ki memperkenalkannya: “Adik Ing, inilah Ong Ciang-bun ketua dari Go-bi-pai.”

Mendengar itu Cu-ing segera memberi hormat kepada orang tua berambut putih itu. “Dari ribuan lie jauhnya Ong tayhiap memerlukan berkunjung ke Lok-yang, aku mewakili ayah menghaturkan terima kasih.”

Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji cepat berseru: “Sudahlah, harap jangan banyak peradatan. Apakah yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah nona? Lekaslah bawa kami ke sana. Dan bukankah Giok-hou sudah datang ke sini?”

Cu-ing tahu bahwa ketiga tokoh dari Go-bi-pay itu termasyhur dan kaya pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin mereka dapat menyelidiki peristiwa yang aneh itu.

Ia hendak menyahut tetapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada Siau Mo.

“Siau Mo sebelum peristiwa ini jelas persoalannya engkau tak dapat menghindar dari tanggung jawab.”

Habis berkata ia terus berkata kepada Ong Han-thian: “Ong tayhiap, dalam beberapa hari ini rumahku telah mengalami peristiwa yang aneh. Mohon tayhiap bertiga suka membikin terang peristiwa itu.”

Kemudian nona itu terus hendak ayunkan langkah. Tetapi tiba-tiba Siau Mo berseru dengan nada serius:

“Nona Ing, sekarang ini lebih baik kalian jangan sembarangan bertindak, kemungkinan akan terjadi peristiwa yang ngeri pula. Dengan begitu keselamatan jiwa ayahmu dan lain-lain akan lebih berbahaya lagi.”

Cu-ing terkesiap: “Bagaimanakah ayah sekarang ini?”

Merenung sejenak, Siau Mo menjawab: “Saat ini aku juga tak tahu. Tetapi aku mengetahui ayahmu dan rombongannya telah ditawan orang dan jiwanya pun terancam.”

“Bagaimana engkau tahu kalau ayahku dan lain-lain telah ditangkap orang?” tanya Cu-ing.

“Pada saat engkau pulang ke rumah, engkau tentu melihat sebatang tongkat bambu dan sebuah lentera kematian. Apakah engkau ingat tulisan yang terdapat pada lentera kematian?” tanya Siau Mo.

Cu-ing tertegun: “Ah, benar. Memang lentera kematian itu seperti terdapat tulisannya. Tapi karena gelap dan aku gelisah, akupun tak memperhatikannya…….”

“Apakah bunyi tulisan itu?” akhirnya ia bertanya. Siau Mo menghela napas,

“Jangan bertanya kepadaku, cukup engkau mendengar omonganku sajalah. Tentang mati hidupnya  ayahmu dan lain-lain orang itu, selewat siang ini tentu akan ketahuan.”

Tiba-tiba Cu-ing menghela napas: ”Siau sianseng, apakah engkau mau bersumpah bahwa engkau takkan mencelakai keluargaku?”

Tiba-tiba Bok-yong Kang yang rebah di tanah tadi melenting bangun dan menyeletuk, “Nona Nyo sebenarnya Siau toako berusaha hendak mencegah terjadinya peristiwa dalam rumahmu itu. Tapi kalian menganggap toakoku sebagai musuh. Karena marah, toako pun tidak mau campur tangan 1agi.”

Melihat Bok-yong Kang dapat berdiri lagi, terkejutlah Bwe Hui-ji, pikirnya, “Mengapa tenaga dalamnya begitu tinggi? Dia mampu membuka jalan darah yang tertutuk.”

Memang tokoh wanita dari Go-bi-pay tak menduga bahwa Bok-yong Kang itu memang memiliki tenaga dalam yang tinggi.

Pada saat pemuda itu ditutuk jalan darahnya oleh Bwe Hui-ji, berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dia  hanya lemas tetapi tak sampai pingsan. Apa yang berlangsung dalam pembicaraan tadi, ia dapat menangkap semua. Maka ketika Leng Bu-sia hendak melepaskan tubuhnya, diam-diam pemuda itu sudah mengerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk.

Berkatalah Cu-ing menegas: “Apakah kedatanganmu ke Lok-yang ini sungguh tak bertujuan membalas dendam?”

Dari wajah Siau Mo yang dingin, meluncurlah penyahutan tawar:

“Soal itu tanyakan sendiri kepada ayahmu. Hm, hm, nona Ing, jangan mengira kalau aku ini bukan musuh dari keluarga Nyo. Tetapi harap jangan kuatir, sebelum persoalan di antara ayah nona dengan aku dapat kuketahui sejelas-jelasnya aku tidak akan mengijinkan orang lain hendak mencelakai ayah nona.” Kemudian Siau Mo berpaling ke arah rombongan Go-bi-pay dan mempersilahkan mereka melanjutkan perjalanan ke gedung kediaman keluarga Nyo. Dan dia sendiri pun lalu memberi isyarat tangan kepada Bok-yong Kang untuk mengajaknya pergi.

Tetapi Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji menggeliatkan tubuh menghadang jalan, lalu tertawa melengking:

“Hendak kemana engkau? Mengapa tak bersama-sama kami menunggu sampai lewat siang hari?”

Sahut Siau Mo: “Saat ini kita sudah di bawah pengawasan musuh. Kalau aku berada di sini bersama kalian, musuh tentu dapat memusatkan pengawasannya. Maka lebih baik kita berpencar diri masuk ke dalam Lok- yang dengan mengambil dua jalan. Nanti kita bertemu lagi di hotel Hun-liong-lo. Kumohon nona Ing suka memesankan sebuah kamar. Kalau tengah hari aku belum tiba, harap kalian segera menuju ke tempat kediaman keluarga Nyo.”

Penghadangan tokoh wanita dari Go-bi-pay itu dimaksud agar Siau Mo jangan ngacir pergi.

Mendengar ucapan Siau Mo, tokoh wanita berpaling ke arah toa-suhengnya. Ong Han-thian pun memberi isyarat dengan anggukkan kepala.

Walaupun rombongan tokoh-tokoh itu tak percaya kepada omongan Siau Mo, tetapi pada saat-saat keadaan masih begitu keruh, begitu pula munculnya peristiwa-peristiwa aneh secara berturut-turut, terpaksa rombongan tokoh-tokoh itu menuruti permintaan Siau Mo.

Demikian rombongan tokoh-tokoh Go-bi-pay segera berbondong-bondong masuk ke dalam kota dan mencari rumah penginapan Hun-liong-lo.

Setelah mereka pergi barulah Bok-yong Kang bertanya:

“Siau toako, apakah dalam keluarganya Nyo benar-benar terjadi peristiwa yang mengerikan?” Siau Mo menghela napas panjang.

“Apabila dugaanku tak salah, Wanita Suara Iblis itu baru musuhku yang sesungguhnya. Menilik dalam setahun ini dia selalu membayangi jejak kita dan selalu membunuh lebih dulu orang-orang yang kuduga menjadi musuh keluargaku. Kemungkinan tentu ada suatu rahasia dalam tindakan wanita itu.”

Bok-yong Kang kerutkan alis.

“Walaupun kita belum tahu wajah sebenarnya dari Wanita Suara Iblis itu, tetapi nada suaranya menandakan dia belum banyak usianya. Mengapa bermusuhan dengan toako?”

Siau Mo tertawa.

“Bokyong-te, yang kumaksudkan ialah orang di belakang layar yang memberi perintah  kepada Wanita Suara Iblis itu. Aku mempunyai dua dugaan. Satu, mereka mempunyai rencana untuk mengaduk dunia persilatan supaya kacau. Dan kedua, tentu mempunyai dendam dengan ayahku.”

Bok-yong Kang bertanya: “Lalu hendak ke mana kita sekarang ini?” Siau Mo menghela napas.

“Bokyong-te, marilah kita cari sebuah tempat yang sepi. Aku hendak mengajarkan ilmu pukulan kepadamu.” “Siau toako, engkau sedang sakit. Janganlah membuang-buang tenaga!”

“Justeru karena aku sakit, engkau harus belajar dengan sungguh-sungguh. Ingat, apabila aku mati, engkaulah yang akan meneruskan perjuanganku. Maka kuputuskan dalam waktu seratus hari yang singkat itu hendak kuturunkan ilmu sakti kepadamu,” kata Siau Mo.

Habis berkata ia terus ayunkan langkah.........
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar