Pedang Tanduk Naga Bab 08 Menaklukkan Ceng Jun sian-ki

Bab 08 Menaklukkan Ceng Jun sian-ki

Walaupun dalam ilmu pedang, Li Kun telah mendapat gemblengan dari Bong-san loni tetapi ia  belum pernah menyaksikan pertempuran pedang yang sedemikian dahsyatnya, Diam2 ia mengakui bahwa ia  masih kalah dengan Long Ya cinjin.

Sementara Yok Lan yang mengikuti jalannya pertempuran itu, hatinya gelisah sekali sehingga tangannya berkeringat. ia sudah dapat mengetahui kelemahan dari ilmu pedang Long Ya cinjin jika di lawan dengan ilmu pedang ajaran Huan Ho sian-tiang, seharusnya tangan kanan Long Ya tadi sudah terpapas kutung, ia  gelisah karena saat itu ia tak mempunyai pedang.

Tiba2 terdengar Gin Liong memekik keras dan pedang Tanduk Naga menghindar ke samping untuk sengaja membuka sebuah lubang kelemahan. Sudah tentu Long Ya cinjin tak mau mensia-siakan kesempatan itu, bagaikan kilat menyambar, pedang Oh-bak- kiam segera menusuk perut pemuda itu.

Gin Liong menggembor keras dan tahu2 pedang Tanduk Naga sudah tiba dileher lawan, Gerak lingkaran pedang itu bukan olah2 cepatnya sehingga Long Ya cinjin menjerit kaget dan meluncur mundur.

"Cret . . . ." secarik jubah yang terbuat dari sutera biru terbabat rompal, serentak dengan jurus  Sun-cui-hui-coh pula maka Gin Liong pun menusuk dada cinjin itu.

Kali ini Long Ya cinjin rasakan semangatnya benar2 seperti terbang. Dengan memekik keras ia tabaskan pedangnya, Dalam keadaan terdesak seperti saat itu, ia nekad hendak mengadu pedang.

Gin Liong tahu maksud orang, ia tertawa keras, mengendapkan pedang Tanduk Naga dan sekonyong- konyong terdengarlah jerit Long Ya cinjin yang nyaring dan ngeri.

Sinar hitam dari pedang Oh-bak-kiampun lenyap, pedang itu terlempar ke udara karena tangan kanan Long Ya terbabat kutung.

Tetapi Gin Liong sudah terlanjur mengumbar kemarahan. Sekali pedang Tandu Naga berputar lagi maka batang kepala Long Ya cinjinpun terlepas dari tubuhnya, dan darah merah yang menyembur keras.

Sambil mengawasi tubuh Long Ya cinjin yang masih berkelejotan, teringatlah Gin Liong akan kata2 orang tua kurus di gunung Hoksan tempo hari.

"Dalam keadaan terpaksa membunuh orang, mungkin engkau tak dapat menghindari lagi." "Adik Lan," tiba2 Li Kun berseru gembira, "engkau yang ambil pedang di tegalan dan aku yang akan mengambil kerangkanya di tubuh imam jahat itu"

Yok Lan melesat ke tegal untuk menjemput pedang Oh- bak-kiam yang sudah menancap hampir masuk semua ke dalam tanah.

Kemudian setelah Yok Lan kembali dengan membawa pedang itu, Li Kunpun sudah siap dengan kerangkanya. Ketika dipadu dengan Tanduk Naga, ternyata pedang Oh- bak-kiam itu hampir tak ada bedanya. Hanya kalau pedang Oh-bak-kiam itu memancarkan sinar hitam, pedang Tanduk Naga bersinar merah.

Ketika memeriksa kerangka, ternyata kerangka pedang itu terdapat ukiran seekor naga terbang yang ditabur dengan batu permata.

"Benda pusaka, senjata pusaka harus dimiliki orang yang berbudi jika pedang ini jatuh ke tangan adik Lan, barulah mendapat pemilik yang sesuai" kata Li Kun tertawa.

Tetapi Yok Lan menolak, Kemudian sambil memandang ke mayat Long Ya cinjin, ia berkata lebih lanjut: "Walaupun pedang ini hebat sekali tetapi aku tak suka memakainya."

Li Kun heran tetapi Gin Liong tertawa, serunya: "Jika adik Lan tak mau, kasih saja padaku".

Ia segera mengambil pedang dari Yok Lan dan kerangka dan Li Kun. Tetapi Li Kun tak puas.

"Engkau sudah punya pedang Tanduk Naga mengapa masih menginginkan Oh-bak-kiam lagi ?" serunya. Gin Liong tertawa: "Sudah tentu pedang Tanduk Naga pemberian Liong-li locianpwe itu dapat kuhaturkan kepada Lan-moay."

"Tidak, itu pemberian dari Liong-li locianpwe kepadamu." Yok Lan menolak.

"Tetapi engkoh Liong berhak juga memberikan kepadamu," kata Li Kun tertawa, Tanpa berkata apa2 lagi ia terus menyambar pedang Tanduk Naga dari punggung Gin Liong lalu hendak dicabutnya, Tetapi karena dicabut, kain pembalut kerangka pedangpun ikut terbuka,  Dan ketiga anak muda itupun terkejut.

Sejak menerima pedang Tanduk Naga, Gin Liong tak pernah memeriksa dan disanggulkan dibelakang bahu, Kini baru ia mengetahui bahwa kun pembungkus kerangka pedang itu ternyata bertabur lukisan burung cenderawasih dari batu permata.

"Ah. rupanya sudah kehendak Thian bahwa pedang ini harus menjadi milik adik Lan" kata Li Kun gembira. ia mencabut pedang itu dan seketika memancarlah  sinar gilang gemilang yang menyilaukan mata, Samar2  pedang itu seperti mengulum dering suara.

"Aaah kedua pedang ini memang dicipta berpasangan." akhirnya Li Kun menarik kesimpulan.

Merah wajah Yok Lan mendengar keterangan itu. "Mungkin Cici Kun benar," kata Gin Liong, "baiklah

kita nanti tanyakan kepada Liong-li locianpwe, tetapi Liong-li locianpwe mengatakan bahwa pedang Tanduk Naga itu merupakan  pedang  nomor  satu  dari  daerah Biau "

"Sudah tentu yang nomor satu," seru Li Kun, "karena kata2 Ci Hiong (betina-jantan) itu, huruf Ci yang didepan, baru Hiong, Sejak dulu orang mengatakan Ci hiong-kiam bukan Hiong-ci-kiam."

Gin Liong dan Yok Lan tertawa, Tiba2 Gin Liong berseru kaget: "Hujan !"

Merekapun cepat naik kuda lagi dan terus mencongklang kedalam hutan, Hutan itu gelap sekali, Tak berapa lama mereka dapat melintas keluar dari hutan itu. Hujanpun mulai berkurang.

Mereka girang karena tak berapa jauh di sebelah depan tampak sepercik sinar api. Segera mereka menuju ke tempat itu, Ternyata percik sinar api itu berasal dari lereng sebuah gunung karang, Dan mereka girang sekali setelah tiba ditempat itu, mereka berhadapan dengan halaman sebuah rimba panjang pohon liu, akhirnya mereka tiba di sebuah pintu besar bercat merah. Belum sempat apa-apa, hujan mencurah keras lagi. Terpaksa mereka larikan kuda naik ke titian, menuduh dibawah payon pintu.

Ketika sepercik kilat memancar, mereka  sempat membaca papan nama yang tergantung diatas pintu, seketika ketiga anak muda itu terkejut sampai menyurut mundur setengah langkah.

Empat buah huruf besar warna merah yang tertera pada papan nama itu berbunyi: Sian Ki Lok Wan atau Taman hiburan dari dewa dewi.

Ditengah huruf2 itu tertancap empat batang badik yang berkilau- kilauan, Ketiga ekor kuda itu pun terus menerus mendesus tak tenang. Juga ketiga anak muda itu tak tenteram perasaannya.

"Liong koko," seru Yok Lan pelahan," lebih baik kita lekas lanjutkan perjalanan lagi. Tempat ini mungkin apa yang disebut dunia persilatan sebagai Liu-to-hun jiu " Liu to-hun-jiu artinya meninggalkan golok hendak membalas dendam.

Pembunuhan dalam dunia persilatan, kebanyakan dilakukan secara menggelap, Masing2 fihak sering membasmi juga orang yang mengetahui rahasia dirinya. Kita tak boleh berada disini, agar jangan terlibat. Menilik gelagatnya, orang yang mencari permusuhan itu tak sedikit jumlahnya." kata Li Kun.

Sambil memandang tulisan di papan itu ia menyatakan pula. "walaupun kita tak takut tetapi tiada gunanya kita harus terlibat urusan mereka, Apalagi kita harus lekas2 mengejar jejak Liong-li locianpwe."

"Tetapi hujan lebat sekali, bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan ?" jawab Gin Liong.

Kedua gadis itupun terdiam. Memang hujan lebat sekali, sukar untuk melakukan perjalanan. Sambil memandang ke papan nama, berkatalah Gin Liong: "Rupanya orang yang hendak mencari permusuhan itu sudah pergi dan meninggalkan badik pada papan nama."

Baru berkata begitu, dari atas loteng pintu besar itu berhamburan angin berbau anyir (amis).

Gin Liong terkejut dan menanyakan kedua nona apakah juga mencium bau darah. Kedua itu mengangguk, Ketiganya segera menarik kesimpulan bahwa pemilik bangunan itu tentu bukan. juga mereka melihat sepasang thong-hoan (gelang baja).

"Kemungkinan besar orang yang  mencari balas itu apakah sudah berhasil." kata Gin Liong.

Tetapi kecuali kilat yang menyambar, di sekeliling penjuru itu sunyi senyap, Tiba2 Li Kun berteriak: "Lihatlah

!" Menurutkan arah yang ditunjuk nona itu. Gin Liong dan Yok Lan melihat di ujung pintu terdapat sebuah benda dan ketika mereka menghampiri ternyata benda itu sebuah tangan manusia yang kutung dan masih bercucuran darah.

Mereka anggap kesimpulan Gin Liong tadi benar, orang yang menuntut batas itu tentu sudah berhasil dan pergi.

Mereka segera memasuki pintu itu. Ternyata merupakan sebuah lorong panjang menuju kelereng gunung, sebelah kiri dari lorong itu merupakan sebuah taman bunga yang merentang sampai ke gunung, Di tengah taman bunga dihias dengan gunung2an, pagoda dan cemara kate.

Saat itu- hujan sudah berhenti dan Yok Lan segera mengajak melanjutkan perjalanan lagi, Tetapi saat itu Gin Liong sudah loncat ke sebuah tikungan kiri.

Li Kun dan Yok Lan melihat di sebelah muka menggeletak sesosok tubuh manusia tanpa kepala. Keduanya terpaksa menghampiri ketempat Gin Liong, Kepala orang itu terhampar di luar lorong, ditingpah air hujan, Di pagoda kecil di tengah taman itupun seperti terbaring dua sosok mayat, Ke tiga anak muda itu segera menghampiri. Ternyata kedua mayat itu dari dua orang gadis yang dadanya berlubang menganga lebar, mengerikan sekali.

"Pembunuhnya benar2 seorang manusia ganas. Bahkan dua orang gadis yang lemah, pun dijagal begitu kejam" kata Gin Liong.

"Jika begitu jelas kita takkan menemukan manusia yang hidup ditempat ini" kata Yok Lan.

"Begitulah tingkah orang persilatan. Untuk membasmi saksi hidup mereka tentu mencabut sampai ke akarnya." kata Li Kun. "Kita masuk kedalam bangunan ini, mungkin masih terdapat korban yang dapat kita tolong." kata Gin Liong terus hendak loncat keluar dari pagoda kecil itu, tetapi tiba2 beberapa percik sinar penerangan di lereng gunung itu padam semua sehingga suasana gelap sekali,

"Cepat, penjahat itu tentu masih berada digunung" seru Gin Liong terus lari menuju ke lereng, Kedua nona itupun mengikutinya.

Dalam beberapa kejap mereka sudah tiba di tengah lereng. Mereka tak berani langsung menyerbu melainkan bersembunyi dimuka sebuah gunungan palsu.

Di sebelah muka tampak sebuah ruang besar dimuka ruang terbentang sebuah panggung yang lebar  dan berbentuk persegi, di atas panggung dikelilingi oleh pagar batu dan bertingkat sampai belasan titian, Titian panggung itu menuju kesebuah pintu besar mencapai ruang besar.

Di muka ruang besar itu penuh di hias dengan lentera model keraton yang bergoncang2 tertiup angin. Ruang gelap gelita, hanya tampak bayang2 lentera itu, Karena letaknya tinggi, Gin Liong bertiga tak dapat melihat keadaan ruang itu.

Gin Liong menjemput sekeping batu kecil lalu dilontarkan ke arah ruang besar, Bluk, batu itu jatuh ke tubuh manusia atau mungkin pada lembar kulit tebal.

Setelah tak ada reaksi apa2, Gin Liong melesat kemuka panggung, serentak hidungnya terbaur bau anyir dari darah manusia yang berasal dari ruang diatas.

Mereka bertiga segera mendaki naik ke arah pintu, Gin Liong siap dengan pedang Oh-bak-kiam, Demikian pula dengan Li Kun dan Yok Lan. Ketiga pedang pusaka itu memancarkan sinar berkilat yang menerangi sekitar tempat itu. Tetapi serempak itu Li Kun dan Yok Lan menjerit dan mundur dua langkah, Ternyata ruang besar itu penuh dengan tumpukan mayat. Darah mengalir sampai keluar ruang.

Gemetar tubuh Gin Liong karena marah menyaksikan pembunuhan terkutuk itu. Ternyata mayat2 itu terdiri dari gadis2 berpakaian indah. Hanya terdapat empat lima orang lelaki yang mengenakan baju bersulam benang emas, Korban2 itu kebanyakan dada dan perutnya berhamburan dan yang lelaki tangan dan kepalanya hilang.

"Ah, tak kira didunia terdapat manusia yang  begini kejamnya," Gin Liong menggeram, ia terus melangkah masuk kedalam ruang, Yok Lan dan Li Kun melindungi dibelakangnya, Mereka teruskan masuk ke dalam dan mendorong pintu tengah. Tetapi tak melihat barang seorang manusiapun juga.

Yok Lan mendapat akal, ia  menyulut sebuah lentera ternyata minyaknya habis.

Tiba2 mereka mendengar tebaran pakaian didera angin, Setelah diperhatikan, ternyata bunyi itu berasal dari seorang yang memiliki ilmu ginkang hebat tengah lari  keatas gunung, Menilik suaranya tentu bukan hanya seorang saja, Entah siapa pendatang itu, lebih baik bersembunyi dulu, Mereka bertiga segera bersembunyi dibalik pintu tengah.

Tetapi pada lain saat Gin Liong merasa, pendatang itu tentu akan curiga dan tentu akan mudah mengetahui persembunyiannya. ia hendak mendorong Yok Lan keluar tetapi terlambat, Kawanan pendatang itu benar2 cepat sekali, Mereka sudah memasuki ruang, Terpaksa Gin Liong batalkan maksudnya. Beberapa saat kemudian tiba2 terdengar jeritan seorang gadis, Ternyata dalam rombongan pendatang itu terdapat juga seorang anak perempuan yang tentu ngeri melihat pemandangan dalam ruang itu.

Yang datang ternyata tiga orang, Terdengar mereka berbisik2 merundingkan rencana, Gin Liong hanya dapat menangkap pembicaraan mereka terputus-2

Seorang bersuara kering kedengaran berbisik: . . jangan kuatir . . kepandaian tinggi , . benda itu  . . bukan tandingan

.

Seorang bernada dingin rupanya penasaran  : " . .  apabila

. . dan tak siap . ."

Gadis tadi menangis terisak-isak.

Orang bersuara parau seperti menghibur: " , . . . jangan menangis . . . mereka . . . tidak disini. atau . . . kelain tempat. . ."

Orang yang bersuara dingin tadi berkata : " ke lain ..

. menyelidiki . . . dapat bertemu mereka."

Tetapi gadis itu rupanya bertabiat keras kepala,  ia menangis : "Tidak, aku akan .. . . melihat... tadi , ada

lentera "

Pembicaraan mereka terhenti dan suasana diluar ruangpun sunyi lagi.

Tuk, tuk, tuk        terdengar tongkat besi mendebur lantai

disertai derap langkah kaki orang, Mereka memasuki ruang,

"Korek !" kata orang yang bersuara dingin, Pada lain saat ruang itupun terang benderang, Terdengar orang bersuara parau menghela napas.

"Hm, Golok-terhang Ui It Liong benar2 berhati buas sekali ?" serunya. Gin Liong terkejut, Rasanya ia pernah kenal dengan  nada suara orang itu, ia hendak menyiak tubuh Yok Lan untuk melongok keluar, Tetapi saat itu ruang terdebur tongkat dan langkah kakipun berderap-derap kian kemari.

"Budak perempuan, mana budak laki itu ?" seru orang yang bersuara dingin.

Kini tak sangsi lagi Gin Liong siapa orang itu, cepat ia berseru: "Apakah diluar itu bukan Ik locianpwe berdua ?"

Terdengar suara orang tertawa gelak2. Dia bukan lain adalah Kaki-tunggal-bertongkat-besi Ik Bu It yang menggetarkan wilayah Lulam.

"Bagus budak, mengapa engkau tak keluar dari tempat persembunyianmu ? Budak perempuan kami selalu ribut memikirkan dirimu kalau sampai dimakan oleh siluman2 rubah disini !" seru isterinya atau nenek Ban yang berlengan satu.

Gin Liong tertawa lalu keluar bersama Yok Lan. Li Kun juga ikut keluar, Melihat Gin Liong bertiga, gadis yang menangis atau Siu Ngo segera tertawa. Ketiga nona itu saling berpelukan girang.

Gin Liong perkenalkan Yok Lan dan Li Kun kepada kedua suami isteri Ik Bu It. Setelah kedua nona itu memberi hormat, Ik Bu It mengatakan bahwa mereka segera akan melanjutkan perjalanan lagi.

"Diantara tumpukan korban2 ini tak terdapat siluman rase itu, mungkin dia masih dapat lolos atau masih belum pulang dari pengembaraannya," kata nenek Ban, ia terus melangkah keluar

Atas pertanyaan Gin Liong, Ik Bu It  mengatakan: "Melintasi gunung karang, tujuh delapan li lagi kami akan tiba di tempat itu." "Ih, apa engkau hendak mengunjungi rumah Li Ka Tun atau Li jenggot itu ?" seru nenek Ban.

Ik Bu It mengiakan. Kemudian ia mengajak ketiga anak muda itu,

"Siau sauhiap, kalian naik kuda dan tunggu kami di jalan besar, Kuda kami berada di kuil bawah gunung, Kami akan mengambilnya dulu." kata Ik Bu It. la, isteri dan anaknya segera lari menuju ke kaki gunung.

Demikian setelah bertemu di jalan besar lagi, mereka segera bersama-sama melanjutkan perjalanan. Kuda Ik  Bu It dilarikan sepesat angin Melihat itu nenek Ban berkata kepada Gin Liong : "Budak, aku hendak menguji sampai dimana tenaga kudamu !"

Nenek itu dan Siu Ngo segera menconglangkan kudanya, Gin Liong tersenyum lalu jalankan kudanya juga diikuti Yok Lan dan Li Kun.

Nenek Ban tertawa gembira, Tetapi alangkah kejutnya ketika berpaling ke belakang ia melihat kuda Gin Liong sudah berada tiga tombaK dibelakangnya.

Nenek itu menggeram. ia memacu kudanya makin cepat, Kuda suaminya, dilaluinya juga, Siu Ngo tertinggal di belakang.

Yok Lan dan Li Kun tertawa melihat nenek Ban masih beradat seperti orang muda yang ingin menang.

Gin Liong saat itupun sudah menyusul Siu Ngo tetapi karena ia sungkan melampaui Ik  Bu It, terpaksa ia lambatkan kudanya.

Ik Bu It mendongkol karena dilampaui isterinya.

"Hai, perempuan tua. engkau gila ? Hati-hati kusambar pinggangmu !" serunya, Tar, ia terus mencambuk kudanya, Bagai anak panah dilepas dari busur, kuda Ik Bu It segera meluncur kearah kuda nenek Ban.

Enam ekor kuda tegar seolah berlomba dan dalam beberapa kejab saja mereka sudah beberapa li jauhnya dari gunung karang itu, Beberapa li disebelah muka samar2 tampak sebuah perkampungan Tetapi kakek ik Bu It masih ngotot melarikan kudanya. Dan belum satu li, ia sudah dapat menyusul kuda isterinya. Ketika berpaling dan melihat Gin Liong masih dibelakang ia tertawa.

Mereka segera memasuki perkampungan itu.

"Kepala desa disini sahabatku lama, Seorang yang jujur dan suka blak-blakan, Karena memiliki jenggot lebat orang menggelarinya sebagai Li Jenggot terbang . . ."

Saat itu mereka tiba di muka pintu, Nenek Ban pesan supaya Gin Liong bertiga menunggu di luar pintu, habis berkata nenek itu terus menghampiri pintu dan mendebur dengan tongkatnya.

"Hai, kalau masuk semua saja masuk, jangan engkau seorang diri saja," seru Ik Bu It seraya turun dari kuda. Siu Ngopun mengikuti.

Begitu pintu didebur, terdengarlah suara sahutan seorang pemuda.

"Lekas keluar menyambut kuda kami !" bentak nenek Ban seraya menyerang dengan tongkatnya.

Rupanya pemuda baju hitam sudah tahu siapa yang datang. Sambil menghindar ia berseru girang: "Ah, kiranya Ik toama "

Tetapi nenek Ban sudah menyapukan tongkatnya ke perut sehingga pemuda itu terkejut dan loncat mundur lagi. "Li Cun koko, lekas turut perintah mamah, bawalah kuda ke samping gedungmu !" teriak Siu Ngo kepada pemuda baju hitam itu,

Melihat dara itu, gembira sekali pemuda baju hitam itu, Dari dalam ruang memancar sinar lampu dan serentak terdengar seorang nenek yang kuat nadanya : "Apakah Ban lomoay yang datang ? hayo. lekas keluar !"

Pintu terbuka dan seorang lelaki tua berjanggut lebat dan seorang nenek muncul keluar.

Kakek itu bermata bundar, wajah hitam  dan mengenakan pakaian warna hitam sehingga tampak menyeramkan, sedang si nenek bertubuh kurus rambut agak kusut.

Ik Bu It  dan nenek Ban serempak tertawa gelak2: "Malam ini akan kuperkenalkan tiga tetamu kepada kalian."

Demikian Gin Liong dan kedua nona, diperkenalkan kepada tuan rumah, Tuan rumah mengajak tetamunya masuk kedalam. Setelah duduk, maka si Jenggot-terbang Ki Heng bertanya:

"Tok gan lote, mengapa pada saat begini engkau baru datang kemari ? Apakah terjadi sesuatu di tengah jalan ?"

Ik Bu It tertawa: "Karena aku hendak memberi tahu tentang suatu peristiwa yang mengejutkan kepadamu."

"Istana Sian-ki wan di gunung karang itu telah dibasmi oleh Golok-terbang Ui It Liong, apakah tidak mengejutkan

?" seru nenek Ban.

"Benarkah itu ?" suami isteri Li Heng terkejut.

Gin Liong segera menuturkan peristiwa yang dilihatnya dalam Sian-ki-wan itu. Li Heng menghela napas: "Ah, Golok-terbang Ui It Liong memang terlalu ganas sekali." Tiba2 pemuda baju hitam tadi muncul, Nenek Ban segera memperkenalkan pemuda itu kepada Gin Liong bertiga.

Sejenak memandang pemuda baju hitam. nenek  Li segera berkata dengan hati longgar: "setelah Hian-ki-wan diobrak-abrik, Ah Cunpun tak perlu bersembunyi dalam rumah lagi."

Gin Liong heran, ia hendak bertanya tetapi nenek Ban sudah mendahului tertawa, serunya "Jangan bergirang dulu kalian ini."sekalipun sarangnya diobrak-abrik, tetapi siluman rase itu masih hidup."

"Siapakah yang Ban locianpwe sebut sebagai siluman rase itu?" Gin Liong bertanya.

"Budak, apakah engkau benar2 tak tahu?" nenek Ban balas bertanya.

"Siau siauhiap," seru kakek Ik Bu It, "apakah engkau tak tahu bahwa ditiga wilayah Ik,  Lu dan Wan (propinsi Holam-Hopak, Shoatang, An-hwe) telah muncul tiga mahluk indah ?"

Gin Liong mengatakan bahwa dia baru saja turun gunung tak tahu pedalaman apa2.

"Ketiga mahluk cantik itu,  yang satu adalah Dewi Bayangan, yang seorang Bian sian-kho dan yang  ketiga ialah kepala dari Sian-ki-wan yakni Ceng Jun sian-ki "

Melihat wajah Gin Liong agak berkerut, Ik Bu It bertanya: " Eh, apakah Siau siauhiap sudah pernah berjumpa dengan Ceng Jun sianki ?"

Merah muka Gin Liong, serunya: "Tidak, tetapi pernah bertemu dengan Dewi Bayangan dan Biau Bian siankho . .

." "Eh, budak, kalau melihat wajahmu merah, mungkin engkau pernah menderita sesuatu dari siluman-siluman rase itu," seru nenek Ban.

Teringat akan peristiwa Dewi Bayangan, seketika meluaplah kemarahan Gin Liong sehingga hawa pembunuhan menampil pada wajahnya. Suami isteri Li Heng terkejut dan diam2 memuji anakmu itu benar2 memiliki ilmu tenaga-dalam yang hebat.

Melihat sikap Gin Liong, nenek Banpun terkejut dan tak berani bertanya lebih lanjut.

"Siau siauhiap, dimanakah engkau berjumpah dengan Dewi Bayangan dan Biau siankho?" tanya kakek Ik Bu It.

Gin Liong menyadari kalau ia terlanjur tak dapat menekan emosi, maka buru2 ia menenangkan perasaannya dan berkata: "Ketika bermalam di rumah Suma Tiong tayhiap, aku pernah bertemu dengan Dewi Bayangan. Karena tak tahu bahwa wanita itu banyak dosanya, maka telah kubiarkan lolos, Dan ketika di biara Ki-he-kwan telah bertemu dengan Biau Biau siankho "

Li Heng menghela napas.

"ilmu Bi-jin-sut (make up atau berhias) dari Biau Biau siankho memang lihay sekali. lebih lihay dan ilmu Loan-sin biang (harum pemabuk semangat) dari Ceng Jun sianki dan Bi-lim-poh (sapu tangan pengikat jiwa) dari Dewi Bayangan, Entah berapa banyak jago2 silat yang telan terpikat oleh wanita itu sehingga hancur namanya."

"Rasanya mereka tak perlu disayangkan," kata nyonya li Li Heng, "walaupun Biau Biau siankho memang lihay, tetapi asal hatimu lurus dan bersih, ilmu Bi-jin-sutnya tentu tak mempan." Li Heng dan Ik Bu It mempunyai kelemahan yang sama.

Keduanya takut isteri.

Nenek Ban juga ikut bicara: "Biau Biau siankho ibarat tukang pancing ikan. Siapa yang mau dipancing, itu salahnya sendiri."

"Tetapi sampai dimanakah kelihayan dari bau wangi Loan-sin-hiang itu ?" tanya Gin Liong.

Sebelum Ik Bu It menyahut, Li Heng sudah mendahului memberi keterangan: "Jika kelak Siau siauhiap bertempur dengan Ceng Jun sianki, jangan sampai siauhiap kalah angin kalau tidak apa bila terkena racun dari Loan-sin-hiang itu, tentulah . . "

"Tentu bagaimana ?" desak Gin Liong.

"Kesadaran pikiranmu tentu limbung dan  terus mengikuti dia, pasrah diri akan diapakan saja olehnya", kata Ik Bu It tertawa gelak2.

Gin Liong teringat akan sapu dari Dewi Bayangan yang membangkitkan rangsang nafsu, iapun segera berkata: "Jika berhadapan dengan Ceng Jun sianki, kita harus menutup pernapasan"

Li Heng dan Ik Bu It tertawa gelak2.

"Loan-sin-hiang dari Ceng Jun sianki itu tak mengeluarkan suatu bau apa dan tak berwarna, ia melancarkan serangan dikala engkau lengah. Asal dia berada di atas angin atau memikat engkau dengan pembicaraan dan senyuman, tanpa engkau sadari, dia telah melancarkan serangan Loan-sin-hiang" kata Li Heng.

"Dengan begitu Loan-sin-hiang dari wanita siluman itu merupakan senjata yang tiada tandingnya di dunia persilatan ?" tanya Li Kun. "Loan-sin-hiang itu memang aneh, terhadap kaum wanita tidak dapat mengeluarkan khasiat, terhadap orang tua yang sudah berumur tujuh puluhan tahunpun tak mempan.

"Jika demikian, mengapa para cianpwe tidak bersatu untuk membasmi kawanan siluman itu ?" tanya Yok Lan.

"Ah, nona Yok Lan belum tahu," sahut nenek Ban, "ketiga siluman itu selain memiliki senjata lihay juga berkepandaian tinggi sekali, Jago2 silat biasa tentu sukar mengalahkannya, paling banyak hanya dapat melayani sampai sepuluh jurus saja."

Sejenak melirik pada Li Kun, berkata pula nenek itu : "Bukan aku menjunjung junjung siluman itu tetapi apabila nona berdua bertemu mereka, baiklah menghindari supaya jangan sampai bertempur dengan mereka saja."

Tahu bahwa nenek itu memang bersungguh hati memberi nasihat, Yok Lanpun menghaturkan terima kasih, Tetapi Li Kun yang berhati tinggi, wajahnya pucat dan tubuh menggigil karena menahan kemarahan.

"Lo-moay." seru nenek li dengan cepat, "kalau engkau mengatakan siluman rasa itu lihay sekali, mengapa kalian bersama rombongan, Siau siauhiap berani memasuki serangannya di Siang-ki wan ?"

Kemudian menunjuk pada Ik Bu It, ia berseru pula dengan tertawa: "Apakah engkau tak takut milikmu yang tua akan hilang, bukankah Tokgan be belum tujuh puluh tahun umurnya ?"

Terdengar orang tertawa gelak2.

"Kita hanya menguatirkan Siau sihiap kalau sampai dicelakai siluman rase itu, barulah kami bergegas-gegas menyusulnya." "O, kalian tidak bersama-sama Siau siauhiap ?" tanya nyonya Li Heng.

Gin Liong lalu menuturkan pengalamannya, Tiba2 ia hentikan penuturannya dan memberi isyarat agar sekalian orang diam.

Saat itu terdengar sebuah suitan panjang yang berasal dari tempat sejauh tujuh delapan li. Rupanya kumandang suara suitan itu pelahan-lahan menuju ke rumah kediaman Li Heng.

Li Heng segera memadamkan lampu, loncat keluar dan terus melambung ke atas rumah. Gin Liong dan sekalian orangpun segera menyusul tindakan tuan rumah.

Gin Liong melihat wajah suami isteri Li Heng tegang sekali demikian pula Ik Bu It dan nenek Ban. Dan suitan itu terus menerus berkumandang di angkasa, menghampiri ke tempat kediaman Li Heng.

Tiba2 Gin Liong berkata kepada pemuda baju hitam: "Saudara Li, dimanakah kuda kami ? Harap saudara bawa kemari."

Sekalian orang terkejut dan memandang Gin Liong, Pemuda itu menjelaskan: "Yang datang itu tentulah orang2 dari Sian-ki-wan yang setelah tahu sarangnya dibasmi habis2an, mereka lalu mengejar kemari, Kita harus menyongsong di luar perkampungan agar  jangan melibatkan Li locianpwe."

Sekalian orang menyetujui dan nenek Banpun segera memerintahkan pemuda baju hitam untuk lekas2 mengeluarkan kuda mereka, Bahkan Gin Li-ong, Yok Lan dan Li Kun segera mengikuti pemuda baju hitam itu untuk mengambil kuda. Ik Bu It dan Siu Ngo juga menyusul.  Begitu tiba di kandang kuda, nenek Ban sudah mencongklangkan kudanya menerobos dari rumah belakang. Kemudian Ik Bu It dan Siu Ngo. Gin Liong bertiga cepat loncat ke kuda masing2 dan melarikan menyusul kedua suami isteri Ik Bu It.

Ketika Gin Liong bertiga tiba di luar desa tampak nenek Ban sudah turun dari kudanya dan tegak berdiri di bawah sebatang pohon, Ik Bu It pun menambatkan kuda berdiri di dekat isterinya, sedang Siu Ngo tegak disamping ayahnya.

Saat itu suara suitan sudah berhenti. Pada saat Gin Liong bertigapun sudah loncat dari kudanya dan menghampiri mereka, Kini mereka berdelapan tegak menunggu kedatangan orang yang bersuit itu dengan penuh pertanyaan, lawankah atau kawan.

Pada saat itu segera terdengar kibaran pakaian dideru angin, Nenek Ban serentak bersiap dengan tongkat kepala burung hong.

Ternyata yang datang itu hanialah Li Heng dan isteri serta puteranya. Mereka segera bertanya apakah musuh sudah datang.

"Belum," sahut Ik Bu It, "nanti apabila terjadi pertempuran harap saudara Li berdua dengan putera bersembunyi di tempat gelap"

Tetapi sampai beberapa saat suasana masih tetap sunyi, Yang terdengar hanya lolong kawanan anjing di perkampungan.

"Oh, mungkin karena takut kepadamu, mereka tak jadi datang kemari, "nyonyah Li Heng berseru dan tertawa kepada nenek Ban.

Li Hengpun mengatakan bahwa karena hari sudah hampir terang tanah, lebih baik mereka kembali ke rumahnya untuk makan pagi. Tetapi Gin Liong dan kedua nona menolak karena hendak melanjutkan perjalanan. Juga Ik Bu It  mengatakan memang Gin Liong mempunyai urusan penting yang harus segera diselesaikan

"Hendak kemanakah Siau siauhiap ini ?" tanya Li Heng, "Untuk    membalas    dendam    kematian    suhuku,  aku

hendak   memburu    jejak   seseorang,   maka   sukar  untuk

menentukan arah yang hendak kutuju." Gin Liong memberi keterangan Dan Li Hengpun dapat mengerti

"Nona Yok Lan, kalian hendak menempuh jalan mana saja ?" tanya nenek Ban kepada Yok Lan.

"Lebih dulu ke Ciau-koan lalu ke gunung  Cin-san, setelah itu baru menentukan arah yang akan kita tempuh," sahut Yok Lan.

"Jika begitu kita seperjalanan. Kami juga pulang ke Thay-san" seru Siu Ngo gembira.

Yok Lan tak keberatan. Demikian mereka berenam segera berangkat Pada waktu terang tanah, mereka melihat sebuah kota di sebelah depan, kira2 hanya beberapa li jauhnya.

Ik Bu It menerangkan bahwa mereka lebih dulu akan melintasi sebuah sungai, Setelah menyeberang sungai, baru kita nanti berhenti makan.

Gin Liong walaupun tak lapar tetapi terpaksa menurut, Setelah menyeberang sungai, mereka segera mencari rumah makan.

"Nona, nona . . ", tiba2 terdengar suara orang memanggil Li Kun. Li Kun berpaling dan terkejut melihat dua orang berpakaian seperti pedagang, lari dari sebuah rumah penginapan, menghampirinya. "Ah, engkau Tio hiang . . Mengapa kalian disini?" tegur Li Kun terkejut. Kedua orang itu adalah anak buah dan keluarga Tio di gunung Thiat san.

Kedua orang itu mempersilahkan Li Kun dan rombongannya kedalam rumah penginapan mereka. Mereka juga menyewa kamar disitu, Ternyata Siu Ngo sudah menyediakan air hangat dan meminta Gin Liong serta Yok Lan cuci muka, Ketika melalui sebuah kamar di sebelah, keduanya terkejut mendengar Li Kun menangis dalam kamar itu. Buru2 mereka masuk menjenguknya.

Setelah didesak dan dihibur, barulah Li Kun mau memberi keterangan bahwa kedua anak buahnya itu memang mencarinya untuk menyampaikan berita penting.

"Hwat-kiang-si, Hek Bu Siong dan Lak-ti-seng dari kawanan Thiat-san-pat-koay telah mengundang beberapa tokoh silat sakti, menyiarkan berita bahwa nanti tanggal lima bulan lima akan menghancurkan Mo-thian-nia dan membasmi ketujuh saudara Tio.

Gin Liong terkejut. Adalah karena dirinya maka Thiat- san-pat-koay dan ketujuh saudara Tio telah bermusuhan.

"Harap taci Kun jangan kuatir, sebelum tanggal itu aku tentu sudah datang ke gunung Thiat-san. Taci Kun dan Lan-moay pulang dulu ke puncak Mo thian-nia, setelah dapat mengejar Liong-li locianpwe, aku segera kembali ke Mo thian-nia."

Tetapi Li Kun menolak, ia akan kembali pulang sendiri dan Yok Lan biar ikut pada Gin Liong.

Ringkasnya setelah makan, Li Kun segera berangkat pulang dengan kedua anak buah. Setelah itu Gin Liong meminta keterangan ke pada suami isteri Ik Bu It tentang perkumpulan Thian-leng-kau yang bermarkas digunung Ke-kong-san.

"Ya, memang terdapat perkumpulan itu di Ke kong-san. Kabarnya didirikan oleh dua kakak beradik" kata nenek Ban.

"Baru setengah tahun ini Thian-leng-kau bergerak di dunia persilatan," kata Ik Bu It, "mereka menerima anggauta dari kalangan hitam. Bahkan ada beberapa tokoh hitam yang telah masuk."

"Kabarnya, kedua kakak beradik itu mempunyai kepandaian yang luar biasa," kata nenek Ban pula, " setiap orang yang hendak masuk, lebih dulu tentu diuji ilmu silatnya. Siapa yang mampu mengalahkan keduanya, akan diangkat sebagai ketua"

"O, dengan begitu tentu akan menarik perhatian tokoh2 yang temaha kedudukan tinggi" kata Gin Liong.

"Eh, apakah engkau juga hendak merebut kedudukan itu

?" seru Ik Bu It tertawa.

"Ah, mungkin kursi mereka tak enak," Gin liong tertawa,

Nenek Ban memperhatikan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dalam hati Yok Lan, maka iapun bertanya: "Apakah kalian juga hendak adu kepandaian ke sana?"

"Tidak," kata Yok Lan, "tetapi karena marah taci Li Kun telah menerima tantangan dari seorang thaucu Thian-leng kau untuk datang ke Ke-kong-san nanti satu setengah bulan lagi, Walaupun taci Li Kun pulang tetapi kita akan mewakilinya datang kesana."

Menduga bahwa kepandaian Yok Lan tentu takkan mampu mengalahkan orang Thian-leng-kau, maka nenek Ban segera berseru: "Ih tidak. jangan terlalu membanggakan kepandaianmu dan gegabah membawa nona Yok Lan kesana. Walaupun bukan sarang naga dan harimau, tetapi markas Thian-leng-kau itu penuh dengan tokoh2  yang  sakti "

"Ucapan seorang lelaki harus ditepati." Ik Bu It menyelak. "sekali sudah menerima tantangan, harus dipenuhi, Kalau engkau kuatir, mengapa engkau tidak ikut pergi kesana ?"

Sengaja ia hendak membakar hati isterinya lagi: "Huh, engkau sendiri bernyali kecil, pura2 memberi peringatan kepada orang "

Sudah tentu nenek Ban marah sekali. Bluk, ia gentakkan tongkat ke lantai dan berseru:

"Hmm, sekalipun Thian-leng-kau di Hu kong-san itu tempat Raja Akhirat, akupun tetap akan kesana."

"Bagus, bagus !" seru Ik Bu It, "aku ingin melihat engkau menduduki kursi ketua Thian-leng-kau"

Nenek Ban deliki mata kepada suaminya dan mendengus: "Huh, aku sih tidak kepingin kursi perkumpulan semacam itu."

Kuatir kalau kedua orang tuanya bertengkar lebih hebat, Siu Ngo segera alihkan pembicaraan kepada Yok Lan: "Berapa lama taci Li Kun tiba di rumah ?"

"Kalau menempuh perjalanan siang malam, enam tujuh hari tentu dapat" kala Yok Lan.

"Eh, dimanakah rumahnya ?"

"Puncak Mo-thian-nia gunung Thiat-san," kata Yok Lan. "O, kiranya nona Li Kun itu salah seorang dari ketujuh

saudara Tio, bukan ?" seru Ik Bu It. Gin Liong mengiakan.

"Oh, makanya kuperhatikan wajahnya kurang senang ketika kuceritakan bahwa Ceng Jun sianki itu tinggi kepandaiannya. Memang dalam ketujuh persaudaraan Tio, ialah yang paling menonjol sendiri kepandaiannya." kata Ik Bu It.

Demikian setelah beromong-omong beberapa waktu lagi, mereka berlima segera masuk ke dalam kamar masing-2 untuk beristirahat.

Menggunakan kesempatan itu Gin Liong mengambil kaca wasiat dan diperiksanya, Dalam pancaran sinarnya yang kemilau, tampak beberapa huruf kecil2 warna merah. Ternyata suatu pelajaran ilmu pernapasan tenaga-dalam, ia mengisar lagi kaca itu dan melihat tulisan berbunyi Kitab pelajaran ilmu pukulan Naga-harimau, cenderawasih-ular.

Memutarnya ke bawah ia melihat beberapa telapak kaki warna merah yang malang melintang tak keruan. Ketika memeriksa hurup-2 merah pada sampingnya ia terkejut.

Ternyata terdapat tulisan berbunyi Sing-hoan-cek-kiong poh atau gerak langkah bayangan dari Istana-wungu. Tetapi sampai lama sekali belum juga ia mengerti apa yang tertera disitu, Setelah merenungkan dan membayangkan tentang gerak langkah Liong li-biau ajaran Ban Hong Liong-li, serentak ia menyadari, perhatiannya makin terpikat.

Setelah menghafalkan beberapa dalam hati, ia  akan turun dari tempat tidur, Maksudnya hendak berlatih ilmu yang dipelajarinya itu. Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat Yok Lan tahu2 sudah tegak diambang pintu.

Buru-2 Gin Liong menyimpan kaca wasiat  dan melambai kearah Yok Lan: "Kemarilah, Lan-moay." Yok Lan heran mengapa saat itu Gin Liong tampak gembira sekali. Iapun melangkah masuk.

"Lan-moay lihatlah." seru Gin Liong seraya menyingkap baju luarnya.

"Hai kaca wasiat!" seru Yok Lan terkejut. Menyusul ia segera bertanya dari mana Gin Liong mendapatkannya.

Gin Liong dengan terus terang menceritakan tentang diri orang tua aneh yang memiliki kaca wasiat itu dan telah menyerahkannya kepadanya.

"Apakah Ik locianpwe dan Siu Ngo tahu ?" tanya Yok Lan.

"Tidak." sahut Gin Liong, Kemudian ia membuka baju luarnya lagi dan suruh Yok Lan memeriksa dengan teliti.

Yok Lan terkejut karena melihat tanda2 telapak kaki yang malang melintang tak keruan.

"Liong koko, apakah ini bukan gerak langkah Cek kiong- poh yang termasyhur dalam dunia persilatan itu ?"

Gin Liong mengiakan: "Setelah kupadu dengan ilmu gerak langkah ajaran Liong-li locianpwe, ternyata Cek- kiong-poh ini lebih hebat."

"Coba engkau katakan apa pelajaran dari liong-li locianpwe itu" kata Yok Lan.

Gin Liong menurut. Tetapi ketika ia mengucapkannya, Yok Lan menunduk untuk memeriksa kaca wasiat itu, sikapnya seolah meremehkan ilmu gerak langkah Liong-li- biau. Ia ulurkan tenaga hendak menyambar tubuh Yok Lan tetapi ternyata nona itu sudah lenyap.

Gin Liong terkejut menyaksikan gerakan yang sedemikian cepatnya dari sumoaynya. Setelah direnungkan barulah ia tahu bahwa gerakan Yok Lan itu merupakan langkah pertama dari ilmu langkah Cek-kiong-poh. Ia menyimpan kaca lalu melesat keluar, Dilihatnya Yok Lan berdiri tegak ditengah halaman, Mata terbeliak, mulut menganga. Rupanya dia juga terkejut membaca ilmu gerak langkah Cek-kiong-poh yang hebat itu.

Gin Liong menuding kedalam bajunya dan melambaikan tangan kearah Yok Lan dapat menangkap artinya tetapi ketika ia hendak menghampiri ternyata Siu Ngo muncul.

"Taci Lan, apa engkau tak beristirahat?" seru gadis itu, "Sudah," kata Yok Lan. sementara itu Gin Liong sudah

menyusup masuk kedalam kamarnya.

Ik Bu Itpun keluar dan menanyakan kapan hendak berangkat.

"lk locianpwe, kalau sekarang kita menyeberang sungai apakah sebelum petang kita sudah dapat mencapai kota Ciau-koan ?" tanya Yok Lan.

"Kota itu seratusan li jauhnya, mungkin tengah malam baru tiba disana." sahut Ik Bu It.

Kemudian kakek itu memerintahkan Siu Ngo supaya menyiapkan hidangan.

"Kami tahu bahwa nona berdua dengan Siau siauhiap itu saudara seperguruan tetapi kami belum tahu siapakah sesungguhnya suhu nona itu ?" tanya Ik Bu It.

Dengan nada sarat, Yok Lan mengatakan bahwa dia tak mempunyai perguruan dan tak tergolong pada suatu aliran persilatan Yang mengasuhnya hanya Liau Ceng taysu, kepala gereja Leng-hun-si di gunung Hwe-siang-hong.

Nenek Ban kerutkan dahi dan bertanya kepada suaminya apakah pernah mengenal Liau Ceng taysu. Rupanya Ik Bu It  dapat menangkap arti kata-kata isterinya maka ia berkata kepada Yok Lan: "Mungkin suhu nona itu tentu seorang paderi yang mengasingkan diri. Apalagi kami sering pergi ke luar perbatasan sehingga tak beruntung mengenal suhu nona, Apabila nona dapat menyebutkan namanya sebelum menjadi paderi, kemungkinan kami tentu tahu."

Yok Lan mengatakan bahwa sejak belajar silat, ia tahu suhunya itu sudah menjadi paderi dan iapun tak berani menanyakan asal usulnya.

Saat itu Gin Liong muncul bersama empat pelayan yang membawa hidangan Mereka segera melahap hidangan Kemudian mereka berangkat lagi, Mereka naik perahu  besar menyeberang.

Setelah tiba di seberang tepi, mereka lanjutkan perjalanan lagi, Dalam beberapa kejap sudah mencapai belasan Ii. Tiga li lagi mereka melihat orang2 berkerumun melihat dua sosok bayangan bertempur.

"Ada orang bertempur, mari kita lihat," seru nenek Ban terus larikan kuda menghampiri.

"Hai, tak perlu, jangan sampai menelantarkan urusan Siau siauhiap," Ik Bu It mencegah.

Mendengar itu nenek Ban lambatkan kudanya. jaraknya hanya terpisah satu li dari tempat pertempuran itu. Ternyata kedua orang itu bertempur disebuah tanah lapang di tepi jalan besar, Para penonton berkeliling pada jarak beberapa tombak jauhnya, Gin Liong heran mengapa mereka harus menyingkir sedemikian jauhnya dari tempat pertempuran.

Ternyata salah seorang yang bertempur itu seorang wanita yang berpakaian merah menyala dan lawannya seorang paderi tua berjubah kelabu. Gerakan wanita baju merah itu luar biasa anehnya, berlincahan bagai kupu2 hinggap di bunga, Dengan sepasang tangan ia menghadapi serangan tongkat si paderi, Tampaknya wanita itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Paderi itu juga bukan tokoh yang lemah, Tongkatnya menyambar-nyambar laksana halilintar, dahsyatnya bukan kepalang, tetapi tetap ia tak dapat merubuhkan wanita yang memiliki gerakan luar biasa itu.

Gin Liong mendapat kesimpulan bahwa sesungguhnya wanita itu memang sengaja hendak mempermainkan kawannya. Marahlah Gin Liong, ia hendak bertindak tetapi segera ia teringat akan peringatan Ik Bu It kepada nenek Ban tadi, Terpaksa ia tak menghentikan kudanya,

Tetapi ketika makin dekat, makin jelaslah ia siapa paderi itu, serentak berubahlah wajahnya dan segera ia berseru nyaring: "Berhenti!"

Kuda terus diarahkan ketempat pertempuran. Bentakan Gin Liong amat kuat sekali sehingga kedua orang yang bertempur itupun berhenti karena terkejut.

Yok Lanpun segera dapat mengenali paderi itu, seketika wajahnya berubah dan terus berseru rawan: "Sam-sucou !" - iapun larikan kudanya menghampiri.

Saat itu Gin Liong sudah tiba dan terus loncat dari kuda lalu lari kearah paderi tua.

Melihat Gin Liong, paderi tua itu merah mukanya. ia menuding wanita baju merah dan berseru: "Liong-ji, inilah Ban liong liong-li yang telah membunuh gurumu."

Gin Liong hentikan langkah dan tertegun Yok Lanpun tiba lalu lari menghampiri paderi tua itu seraya menangis dan memangginya sebagai sam-sucou atau kakek guru yang ketiga.

"Siau siauhiap, hati-hatilah, Wanita itu adalah Ceng Jun sian - ki !" tiba2 nenek Ban isteri Ik Bu It berseru.

Gin Liong terkejut dan menyadari mengapa para penonton tak berani menyaksikan dari dekat. Di lain pihak, sam-sucounya itu belum pernah melihat Ban Hong Liong-li. Dia tentu salah duga. Kiranya pada hari setelah Liau Ceng taysu terbunuh, sam-sucounya menghilang dari gunung karena marah, ia hendak menuju ke daerah Biau untuk membuat perhitungan dengan Ban Hong Liong-li.

Sejak kecil Yok Lan memang disayang oleh sam- sucounya. Maka dara itu menangis ketika ber temu dengan sam-sucounya.

Saat itu Ik Bu It, nenek Ban dan Siu Ngo sudah loncat turun dari kuda, Dan nenek Banpun segera membentak: "Siluman rase engkau cari mampus . . !"

Ia memutar tongkat kepala burung hong lari menerjang wanita baju merah itu.

Gin Liong cepat tersadar untuk menutup pernapasannya, Diam2 ia kerahkan tenaga-dalam apakah telah terkena racun. Dilihatnya pula mulut Ceng lun sian-ki mengulum senyum, sebelah tangannya yang putih mengulap ke janggut, sikapnya seperti hendak melepas racun.

Ceng Jun sian-ki atau Dewi Musim Semi itu baru berusia 25-27 tahun. Memiliki kecantikan wajah yang dapat menjatuhkan iman seorang dewa dan potongan tubuh yang menggiurkan. Dia benar2 seorang insan yang diberkahi dengan kecantikan seperti seorang dewi, Diam2 Gin Liong heran mengapa sam sucounya sampai salah menduganya sebagai Bab Hong Liong-li. Melihat nenek Ban mengamuk, Ceng Jun sianki tenang saja, Bahkan malah tertawa mengikik,

"Hai induk kukuk-beluk, mukamu seperti ayam, matamu seperti tikus, Benar2 menakutkan orang !" serunya, sambil berputar-putar seperti angin puyuh.

Sudah tentu nenek Ban marah sekali sehingga gerahamnya sampai bercaterukan: "Ketahuilah, waktu muda aku secantik bidadari, tak kalah dengan wajahmu yang seperti siluman rase itu"

Dihadapan umum dirinya dimaki sebagai siluman rase marahlah Ceng Jun sian-ki : "Nenek jelek, engkau benar2 sudah bosan hidup !"

Habis berkata tangan kiri menampar dalam gerakan kosong tangan kanan meluncurkan semacam rantai putih yang melingkar2 melibat tongkat nenek Ban.

Ik Bu It terkejut. Dengan menggerung keras ia segera loncat menerjang, Dengan jurus Thay-san ya-ting atau gunung-Thaysan-menindih-puncak, ia menghantamkan tongkat kearah Ceng Jun sian-ki.

Melihat serangan tongkat sedahsyat itu, Ceng Jun sian-ki cepat berputar menarik tangan kanannya yang melibat tongkat nenek Ban dan tahu-tahu sudah berada di belakang Ik Bu It.

Sesungguhnya ilmu silat Ik Bu It  itu bukan  olah2 hebatnya, Pada saat Ceng Jun sian-ki berputar tubuh, tongkatnya segera berganti dengan jurus Heng-soh-ngo-gak atau Membabat-lima-buah-gunung menyapu tubuh Ceng Junsian-ki.

Sebelum wanita itu sempat berdiri tegak, tongkat Ik Bu It sudah tiba, Dalam pada itu, tongkat nenek Banpun menusuk pinggangnya, Ceng Jun sian-ki terkejut, menjerit dan melambung ke udara.

Karena tak mengenai sasarannya. kedua tongkat suami isteri tua itu hampir saja saling berbentur sendiri.

Sebenarnya Ceng Jun sian-ki tahu siapa ke dua suami isteri tua itu. Tetapi ia tak memandang mata kepada mereka, Setelah serangan itu, baru ia tak berani meremehkan Maka selagi melayang di udara ia kebutkan sepasang lengan bajunya, untuk menampar bahu Ik Bu It dan nenek Ban.

Ik Bu It  dan isterinya menyadari bahwa lawan itu seorang tokoh yang hebat, Maka mereka pun menyerang dengan jurus yang hebat.

Gin Liong, Yok Lan dan sam-sucounya berdiri disamping, mengikuti pertempuran itu dengan penuh perhatian, Tetapi Siu Ngo tampak gelisah, Bahkan dahinya sudah menghamburkan keringat dingin.

Gin liong memperhatikan gerakan Ceng Jun sian-ki dan dapatkan bahwa sesungguhnya kepandaian wanita itu tak jauh terpautnya dengan suami isteri Ik Bu It. Tetapi karena ia pernah menderita dari Dewi Bayangan, maka iapun tak berani tak mempercayai keterangan kedua suami isteri tua tentang Loan-sin-hiang yang  luar biasa hebatnya dari wanita itu. Maka iapun tak berani gegabah turun tangan.

Yok Lan sudah dapat mengetahui isi hati Gin Liong, iapun kuatir dirinya tak mampu menandingi wanita itu, Maka ia juga diam saja.

Karena percaya dirinya tak mungkin terkena Loan-sin- hiang, begitu pula lk Pu  Itpun merasa umurnya sudah cukup tua. dan kuatir kalau kalah, maka kedua suami isteri itupun mendahului menyerang dengan jurus yang dahsyat. Tetapi ternyata untuk mengalahkan Ceng Jun sian-ki, tak semudah yang diperkirakan mereka.

Melihat itu akhirnya Yok Lan tak dapat menahan diri lagi, Segera ia berseru kepada suami isteri Ik Bu It: "Harap lo cianpwe berdua mundur dulu, biarlah wanpwe menghadapi Ceng Jun sian ki yang termasyhur itu"

Tring, ia segera mencabut pedang Tanduk Naga dan terus maju ke tengah gelanggang.

Tahu kalau sukar merebut kemenangan kedua suami isteri itupun menurut untuk mundur. Dan begitu melihat wajah Gin Liong, seketika timbul keinginannya untuk menggaet pemuda itu. Maka iapun juga berhenti.

Ik Bu It dan isterinya terkejut melihat Yok Lan masuk kedalam gelanggang dengan membawa pedang, Tetapi karena Gin Liong tenang2 saja, kedua suami isteri itupun tak mau mencegah.

"Nona Lan, harap hati2 !" seru Ik Bu It karena kuatir nona itu memandang rendah kepandaian lawan.

Ceng Jun sian-ki luas sekali pengalamannya dalam dunia persilatan. Sudah banyak tokoh2 sakti yang dihadapinya, Melihat Yok Lan begitu tenang, ia duga nona itu tentu memiliki kepandaian yang mengejutkan. Dan  ketika melihat pedang yang berada ditangan Yok Lan itu memancarkan sinar merah, dia makin terkejut.

Beberapa penonton yang bernyali besar, segera maju mendekat. Mereka saling berbisik-bisik  menilai pertandingan itu...

Yok Lan berhenti pada jarak setombak dihadapan Ceng Jun sian-ki. "Lama kudengar Sian-ki memiliki kepandaian yang hebat, Hari ini sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu, harap Sian-ki suka memberi pelajar an barang beberapa jurus saja " seru Yok Lan.

Ceng Jun sian-ki tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, Tetapi ia tetap tenang bahkan karena percaya akan ilmu kepandaiannya yang tinggi. ia agak memandang rendah lawan.

"Budak hina, jangan bermulut tajam," tukasnya, "menilik engkau seorang wajah yang cantik, mungkin dapat kuberimu ampun dan kujadikan engkau sebagai pengawalku, Kalau berani menolak, jangan sesalkan aku akan bertindak kejam terhadapmu menghancurkan wajahmu yang cantik itu."

Berhenti sejenak, diam2 ia salurkan tenaga dalam dan tertawa dingin: "Dalam tiga jurus engkau boleh menyerang, aku takkan membalas. Keluarkanlah seluruh kepandaianmu

!"

Sudah tentu marah juga Yok Lan mendengar kesombongan wanita itu, ia tertawa hambar.

"Sian-ki, apabila sedikit saja engkau dapat menang angin, aku bersedia menjadi bujangmu selama-lamanya !" seru Yok Lan.

Sekalian penonton gempar. Mereka anggap dara itu terlalu tekebur juga suami, isteri Ik Bu It terkejut dan saling berpandangan.

Ceng Jun sian ki sendiri pucat wajahnya karena menahan kemarahan. Tubuh agak gemetaran alis berkerut, serunya: "Budak hina, mengapa engkau tak lekas menyerang  ? Jika masih banyak mulut, aku tak dapat mengampuni jiwamu lagi ! "

Yok Lan mengiakan Dengan jurus Jay-hong-tiau-yang atau Cenderawasih, menghadap - surya, ia  membuka serangan pertama.

Walaupun congkak tetapi Ceng Jun sian-ki tak berani memandang rendah lawan. Dengan melengking keras ia berputar ke belakang Yok Lan, Yok Lan tertawa dingin.

Segera ia mainkan ilmu gerak Sing-hoan-cek-kiong-poh yang istimewa. Tubuhnya berkelebat dan tahu2 ia sudah berada di belakang Ceng Jun.

Ik Bu It dan nenek Ban tercengang melihat gerakan yang luar biasa anehnya dari dara itu, juga Ceng Jun sian-ki tak kurang kejut nya, Dan lebih terkejut lagi ketika saat itu kepalanya seperti disambar angin dingin.

Cepat ia tundukkan kepala dan tubuh, sembari melengking nyaring pinggangnya bergeliatan dalam jurus Hwe-tiau-ong-gwat atau Berpaling-memandang-rembulan. Tangan kanannya serentak menampar. Tetapi alangkah kejutnya ketika tamparannya itu hanya menemui tempat kosong dan ia tak melihat tubuh lawan dibelakang. Tetapi belakang kepalanya masih tetap didera angin dingin.

Dengan menjerit kaget, Ceng Jun Sian ki segera ayun tubuhnya loncat kemuka sampai tiga tombak. Ketika berpaling, semangat pun serasa terbang. Saat itu ujung pedang lawan sudah mengancam mukanya. Karena gugup, ia kebutkan kedua lengan bajunya untuk menghalau.

Yok Lan berkisar kesamping, pedang segera melamur menabas sepasang lengan baju lawan. Ik Bu It tahu bahwa lengan baju wanita itu tak mempan ditabas senjata tajam, maka cepat2 ia berseru memberi peringatan: "Nona Lan, jangan."

Rupanya Yok Lan tahu apa yang dikandung dalam peringatan kakek itu, Cepat ia salurkan tenaga-dalam ke batang pedang, kemudian dengan menggunakan jurus Gui- kim-cui-giok atau membelah-emas-menghancurkan zamrud, ia taburkan pedang Tanduk Naga dalam lingkaran sinar yang deras, membabat sepasang lengan baju Ceng Jun sian- ki.

Ceng Jun sian ki tertawa sinis. Segera ia gentarkan tangan untuk melibatkan lengan baju ke pedang Yok Lan.

Cret. . . . sepasang lengan baju Ceng Jun sianki kutung dan berhamburan jatuh ke tanah, Sedang orangnya menjerit kaget terus enjot tubuh melambung ke udara, lalu meluncur ke barat hendak melarikan diri.

Yok Lan tahu bahwa dengan menderita kekalahan itu Ceng Jun sian-ki tentu masih penasaran, ia hendak memberi pelajaran, menghancurkan kesombongan wanita itu. Serempak dengan melengking nyaring ia gunakan jurus bianglala-merentang-diudara, secepat kilat tubuhnya loncat mengejar.

Yok Lan tak mau membunuhnya melainkan hendak menghancurkan kecongkakannya saja, ia tidak membacok melainkan hanya menyambar diatas kepala saja.

Ceng Jun sian-ki menjerit-jerit minta ampun seraya lari menyusup ke dalam hutan, Yok Lanpun hentikan larinya dan berseru :

"Ceng Jun sian-ki, harap engkau suka merobah kejahatan dan kembali ke jalan benar, jangan engkau mengecewakan harapan suhumu yang bersusah payah memberi pelajaran kepadamu !"

Tanpa berpaling lagi, Ceng Jun sian-ki terus lari masuk kedalam hutan, sekalian penonton terlongong-longong menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu, Ceng Jun sian ki yang termasyhur telah dikalahkan oleh seorang nona yang tak terkenal .

Demikian pula Ik Bu It dan isterinya. Keduanya sudah berpuluh tahun terjun dalam dunia persilatan tetapi belum pernah mereka melihat permainan ilmu pedang yang sedemikian luar biasa seperti yang dimainkan Yok Lan.

Mereka menyadari bahwa tiada guna mereka menemani kedua anak muda itu ke markas Thian-leng-kau karena ternyata kedua anak muda itu sudah cukup tangguh untuk menghadapi jago2 Thian-leng-kau.

Merekapun menyayangkan mengapa Yok Lan memberi ampun kepada wanita yang berlumuran kejahatan itu.

Paderi tua atau sam-sucou dari Yok Lan girang bukan kepalang ia tak tahu dari mana Yok Lan dapat mempelajari ilmu pedang yang sedemikian hebatnya itu.

Demikian pula dengan Gin Liong, ia memang percaya bahwa Yok Lan tentu dapat menghadapi Ceng Jun sian-ki tetapi ia tak  pernah menduga bahwa sumoaynya telah memiliki ilmu pedang yang sedemikian mengejutkan.

Yok Lan sendiri ter-sipu2 merah wajahnya karena sekalian orang memandangnya dengan rasa kagum Gin Liongpun lalu memperkenalkan sam-sucounya kepada suami isteri Ik Bu It.

Maka bertanyalah Ik Bu It mengapa paderi itu tadi telah salah menduga Ceng Jun sian-ki se bagai Ban Hong Liong- li. Paderi tua itu menerangkan bahwa ketika bertemu dengan Ceng Jun sian-ki, karena wajah dan umurnya masih muda, ia bertanya apakah wanita itu bernama Ban Hong Liong-li. Dan wanita itu pun mengiakan.

"Karena marah, aku segera menyerangnya," kata paderi tua, "ternyata dia sangat lihay sekali kalau Ik sicu dan Gin Liong serta Yok Lan tak keburu datang, entah sampai berapa lama pertempuran itu akan berlangsung."

"Lo-siansu mengatakan bahwa Ban Hong Li ong-li itu adalah pembunuh dari suhu Siau siauhiap dan nona Lan  . . " sebelum nenek Bun melanjutkan kata2nya, paderi tua sudah menukas.

"Karena cinta maka Ban Hong Liong-li di rangsang dendam kebencian dan pembunuhan. Walaupun Liau Ceng- sutit sudah masuk menjadi paderi tetapi Ban Hong Liong-li masih tetap tak mau melepaskannya . ."

"Jika demikian bukankah sutit dari lo-siansu itu Pelajar- berwajah-kumala Kiong Tayhiap yang namanya menggetarkan dunia persilatan dan pernah menundukkan daerah Biau?" seru Ik Bu It seketika.

Sambil mengusap-usap jenggot, paderi tua itu mengiakan Ik Bu It dan nenek Ban menghela napas.

"Memang Ban Hong Liong-li sangat mencintai Kiong thayhiap, peristiwa itu telah diketahui oleh semua kaum persilatan. Bahwa akhirnya harus terjadi peristiwa yang sedemikian menyedihkan sungguh diluar dugaan orang. Menilik kepandaian Kiong tayhiap yang begitu tinggi, kecuali orang yang paling dekat dan karena dia lengah maka baru dia dapat dibunuh.Dengan demikian, tak salah lagi tentulah Ban Hong Liong-li yang telah melakukan pembunuhan itu" Ik Bu Itpun meminta paderi tua itu menuturkan peristiwa2 yang terjadi dalam dunia persilatan selama ini.

Dalam pada berbicara itu orang2 yang berkerumun menyaksikan pertandingan tadi, pun sudah bubar.

Tiba2 nenek Ban memerintahkan Siu Ngo mengambil kutungan lengan baju Ceng Jun sian-ki.

Setelah melihat kutungan lengan baju itu, berkatalah Ik Bu It: "Kabarnya lengan baju dari Ceng Jun sian-ki itu terbuat dari ulat sutera yang kebal senjata tajam, Khusus digunakan untuk melibat senjata lawan dan merampasnya."

Ternyata lengan baju itu terasa dingin dan lemas sekali. beratnya hanya dua tail, setelah dibuka panjangnya antara setombak lebih, Tipis dan berkilau-kilauan.

"Ah, benar2 ulat sutera yang luar biasa," kata Ik Bu It.

Gin Liong tak percaya, ia segera menabas  dengan pedangnya tetapi tak mempan.

"Ah, kini sudah jelas," seru Ik Bu It, "bahwa bukan pedang nona Lan yang tajam tetapi adalah ilmu pedangnya yang luar biasa itulah yang dapat memapas kutung lengan baju Ceng Jun sianki.

Ik Bu It suruh Siu Ngo menyerahkan benda itu kepada Yok Lan tetapi Yok Lan menolak dan minta Siu Ngo menggunakannya sebagai pakaian yang kebal senjata. Tetapi Siu Ngo dan nenek Ban tak mau dan tetap menyerahkan kepada Yok Lan. Akhirnya Gin Liong memberi isyarat supaya Yok Lan menerimanya.

Kemudian Ik Bu It menyatakan bahwa ia terpaksa tak dapat menemani Gin Liong lebih lanjut karena ia percaya Gin Liong berdua tentu mampu untuk menghadapi orang2 Thian-leng-kau. Gin Liong menghaturkan terima kasih atas bantuan kedua suami isteri itu, Demikian mereka dengan berat hati segera berpisah, Setelah Ik Bu It dan kedua  isteri serta puterinya pergi, paderi tua menanyakan tentang hasil pengejaran Gin Liong terhadap Ban Hong Liong-li.

Gin Liong menyatakan belum mendapat hasil apa2.

Akhirnya paderi tua itu membagi pekerjaan, ia akan mencari ke Kiangsu dan Anhui, sedang Gin Liong dan Yok Lan menyelidiki di daerah Ho lam dan Hopak.

"Soal Thian-leng-kau di gunung Ke-kong-san itu" kata paderi tua itu pula, "jika dapat tak usah pergi kesana, Kalian belum banyak mengetahui tentang tipu muslihat berbahaya dari dunia persilatan. Tak perlu memperluas permusuhan yang kelak hanya akan mendatangkan bahaya saja."

Gin Liong mengiakan Kemudian ia menggunakan kesempatan saat itu untuk menanyakan tentang keadaan pada waktu suhunya terbunuh.

"Ketika aku sedang berada di guha" kata paderi tua itu, Kudengar suara genta dari biara, aku segera kembali ke biara, Ketika kutinggalkan guha Kiu-kiok-tong, suhumu masih berada dalam guha, Demikian pula Ma Toa Kong, Bu Tim cinjin dan lain2 orang juga masih disitu, menerangkan paderi tua itu.

"Saat itu aku pingsan di ruang samping dan tak tahu suatu apa," kata Yok Lan.

"Begitu tiba di biara, paderi ti-khek-ceng memberi tahu bahwa sesosok tubuh kecil telah melenyapkan diri diruang belakang, Dia memastikan bayangan itu tentu seorang wanita " kata paderi tua pula. "Apakah sam-sucou menyelidiki wanita itu ?" tanya Gin Liong.

Paderi tua gelengkan kepala.

"Hampir seluruh biara dan puncak kujelajahi semua tetapi tak berhasil menemukan bayangan kecil itu. Petang hari baru aku kembali dan memberitahukan peristiwa itu kepada ji sucou kalian Menurut dugaan ji-sucoumu, wanita itu jika bukan orang yang datang hendak membunuh Ban Hong Liong-Li tempo hari, tentulah Ban Hong Liong-li sendiri."

Sejenak berhenti menghela napas, paderi tua itu melanjutkan pula:

"Keesokan harinya, seorang murid paderi telah mengumumkan bahwa suhumu tak dapat hadir dalam pelajaran pagi, Saat itu baru ketahuan bahwa suhumu telah meninggal dunia diatas tempat pembaringannya."

"Ketika aku dan ji-sucoumu datang ternyata suhumu telah mengalami peristiwa yang menyedihkan. Sebatang golok emas telah menancap pada perutnya, Golok itu adalah khusus buatan suku Biau yang disebut Kim-wan-to.

Tentulah sebelum pergi, Ban Hong Liong-li telah masuk kedalam tempat tinggal suhumu, menangis dan meratap supaya suhumu suka kembali menjadi orang biasa lagi, Tetapi karena suhumu tak meluluskan akhirnya baru menggunakan kesempatan suhumu lengah, dia terus turun tangan membunuhnya."

"Adakah sam-sucou tidak mempunyai lain  dugaan bahwa pembunuh suhu itu bukan Ban Hong Liong-li locianpwe ?" tanya Gin Liong.

Paderi tua merenung dan sampai lama baru dapat membuka mulut. "Siapakah kiranya orang itu?" "Soal itu pada suatu hari aku tentu dapat menyingkap tabir kegelapan," kata Gin Liong.

"Jika bukan dia lalu siapakah yang mampu membunuh suhumu ? Siapa yang berlutut memeluk lutut suhumu ?" tanya paderi tua.

Melihat sam-sucounya agak tak senang hati, terpaksa Gin Liong hanya mengiakan dan tak berani membantah lagi.

"Kemungkinan tentu masih terselip suatu rahasia, Kuharap kalian dapat menyelidiki hal itu hingga dapat diketahui siapakah sebenarnya pembunuh yang kejam itu," kata paderi tua pula.

"Gin Liong dan Yok lan," kata paderi tua, "setelah dapat mengejar Ban Hong Liong-li kalian harus dapat mengetahui siapa pembunuhnya, Setelah itu carilah dia sampai ketemu lalu potong kepalanya untuk engkau sembahyangkan dipusara suhumu."

Demikian setelah memberi pesan, akhirnya paderi tua itupun segera melanjutkan perjalanan sesuai yang direncanakan.

"Liong koko, kemanakah rencana kita sekarang ?" tanya Yok Lan setelah sam-sucounya pergi.

"Ke Ciau-koan dulu." kata Gin Liong.

Dengan menunggang kuda, tak berapa lama mereka sudah mencapai 30-an li. Tak berapa lama mereka melihat sebuah puncak menara.

"Lan-moay, lihatlah, di bawah menara itu tentu sebuah kota" kata Gin Liong,

Merekapun segera pesatkan kudanya, Setelah dua-puluh li jauhnya, Gin Liong berkata agak kecewa: "Menilik keadaannya kita mungkin harus melanjutkan perjalanan lagi."

Saat itu udara mendung dan kilatpun berulang kali memancarkan sinar, Menara itu tinggi menjulang ke angkasa, sekitarnya ditumbuhi pohon siong kate.

Hujan mulai mencurah, Untung saat itu keduanya sudah tiba pada jarak enam tujuh puluh tombak dari menara itu. Cepat2 mereka larikan kudanya dan meneduh di bawah menara itu.

Dari pancaran sinar kilat yang menyambar, seketika Gin Liong dapat mengetahui bahwa pintu pagoda itu tingginya dua tombak, lebar beberapa depa, Bagian bawah luasnya hampir tiga tombak, Keadaan pagoda sudah banyak rusak, pintunya sudah berlubang, ujung dinding penuh bergelantungan kelelawar.

"Pagoda itu tak kurang dari seratus tahun umurnya" kata Gin Liong setelah meninjau keadaan pagoda tua itu. "sayang tiada orang yang merawatnya. sehingga rusak dan terlantar."

Rupanya Yok Lan ketakutan melihat suasana di sekeliling tempat yang begitu seram ia menanyakan berapa lama hujan akan berhenti.

"Rasanya malam ini hujan tentu turun terus" kata Gin Liong, Kemudian ia mengajak Yok Lan naik ketingkat atas untuk melihat sebelah muka. Apabila terlihat suatu desa atau kota, mereka segera akan melanjutkan perjalanan lagi.

Keadaan tingkat ketiga masih lumayan Terdapat tangga untuk naik ketingkat keempat, Benar juga perhitungan Gin Liong, Lebih kurang dua-puluh jauh di sebelah muka, tampak berkerlipan cahaya lampu.

"Kemungkinan itulah kota Ciau-koan" kata Gin Liong. Halilintar meletus dahsyat. Ruang pagoda itu berguguran debu dan kotoran, Yok Lan makin ketakutan, ia mengepal tangan Gin Liong erat-2, Gin Liongpun memeluk pinggang Yok Lan dan memandang, Pada saat itu terkenanglah ia pada empat tahun yang lampau. Saat itu ia berada dalam se buah guha bersama sumoaynya. Diluar salju turun lebat, ia masih ingat jelas, kala itu mereka duduk merapat dan ia telah mencium sumoaynya . . .

Gin Liong tersentak dari lamunan, ia mengusap kepala Yok Lan dengan lengan bajunya. Adegan tiga belas tahun yang lampau terulang kembali, Keadaan saat itu, benar- tak ubah seperti belasan tahun yang lampau, Bedanya dulu yang turun salju, sekarang hujan.

Seperti dahulu, saat itu Yok Lanpun diam saja dan membiarkan sukonya mengusap titik air hujan pada kepalanya, Bahkan ia merasa bahwa hanya apabila dalam pelukan sukunya ia baru merasa bahagia dan aman.

Gin Liong tak kuat menahan keinginannya untuk mencium sumoaynya tetapi ia tak melakukan hal itu melainkan berkata: "Lan-moay, malam ini terpaksa kita harus menginap disini."

Yok Lan hanya mengangguk Gin Liong mengajaknya turun untuk mengambil selimut dan per bekalan yang ditinggalkan pada pelana kuda, Setelah itu mereka kembali naik ke tangga pagoda, sampai ke tingkat yang keenam. Disini ruang dan lantainya cukup bersih.

Yok Lan menyalakan koreknya habis dan Gin Liong usulkan supaya mencabut pedang Tanduk Naga dan Oh- bak-kiam, Ternyata kedua pedang pusaka itu dapat memancarkan sinar yang cukup terang.

"Liong koko, mari kita pelajari lagi ilmu pusaka yang terdapat pada cermin wasiat itu." seru Yok Lan. Gin Liong setuju. Demikian keduanya dengan berdampingan segera mempelajari lagi huruf2 pada kaca wasiat yang mengandung ilmu silat yang sakti.

Beberapa saat kemudian Yok Lan berseru: "Liong koko, mari kita berlatih gerak langkah Sing-hoan-cek-kiong-poh ?"

Ia terus loncat bangun dan segera bergerak2 diatas lantai, Gin Liong terlongong-longong dan tanpa disadari ia telah ulurkan tangannya.

Tiba-2 Yok Lan melengking dan loncat ke sudut seraya berseru marah: "Liong koko, makin lama engkau makin tak baik."

Gin Liong tertawa lalu loncat menerkamnya. Yok Lan tertawa lalu menghindar. Demikianlah, merekapun berlatih ilmu gerak yang luar biasa seperti yang terdapat pada kaca wasiat

Setelah berulang kali tak dapat menangkap akhirnya Gin Liong menyadari sesuatu, ia tertawa, Sebelah kakinya diangkat dan dengan hanya sebuah kaki ia berputar-putar sembari menyambar tubuh Yok Lan.

Yok Lan terkejut ketika pinggangnya tertangkap tangan Gin Liong, ia meronta sekuatnya sehingga keduanya jatuh ke lantai, Gin Liong segera memeluk sumoaynya.

"Liong koko, lepaskan Mari kita mempelajari ilmu sakti pada kaca itu lagi . . "

Tetapi saat itu Gin Liong seperti kena pesona melihat kecantikan wajah sumoaynya, ia mencium bibir Yok Lan, Dara itupun diam saja, ia terkenang dulu ketika masih kecil, memang sering sukonya itu mencium pipinya, Tetapi baru saat itu mencium bibirnya, ia merasa bahagia sekali. Gin Liong menyelimuti tubuh Yok Lan dan keduanyapun segera tidur, Entah berapa lama ketika membuka mata, hujanpun sudah berhenti Yok Lan juga bangun. Ternyata saat itu hari sudah terang tanah. Mereka lalu berkemas2 melanjutkan perjalanan lagi.

Hari masih pagi sekali, jalan masih sepi orang. Setelah matahari terbit, merekapun memasuki kota Ciau-koan. Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan lagi, Menjelang petang mereka tiba dikota Ik-ciu.

Ketika hendak mencari rumah makan mereka terkejut karena melihat sesosok bayangan kecil dalam pakaian merah melesat melenyapkan diri ke luar dari sebuah rumah makan.

Tetapi kedua anak muda itu tak menaruh perhatian, keduanya segera masuk kerumah penginapan  setelah makan mereka keluar untuk mencari berita tentang jejak Ban Hong Liong-li. Tetapi tak berhasil Akhirnya mereka kembali ke rumah penginapan lagi.

"Liong koko, lihatlah ini !" tiba2 Yok Lan berseru sembari menunjuk sebuah poci teh di meja nya.

Gin Liong terkejut ketika mendapatkan dibawah poci teh itu tertindih secarik kertas, Ketika diambil ternyata kertas itu berisi tulisan.

"Liong koko, kenalkan engkau pada Siok Lian suthay ?" tanya Yok Lan seraya serahkan kertas itu kepada Gin Liong.

Gin Liong membacanya:

"Harap segera datang ke biara Koan Im perlu bicara, Di tepi telaga telah tersedia perahu kecil untuk menyeberang.

Siok Lian suthay." Gin Liong cepat loncat keluar, Saat itu langit cerah, rembulan terang, Sesosok bayangan melesat dari tempat gelap terus lenyap, Gin Liong hendak mengejar tetapi dua jongos, kebetulan muncul, Yok Lan mencegah sukonya mengejar.

Gin Liong terpaksa masuk lagi.

"Liong koko, kurasa surat itu mempunyai hubungan dengan orang yang menghilang tadi", kata Yok Lan.

Gin Liong mengiakan: "Aku tak kenal dengan Siok Lian suthay",

"Atau sengaja hendak mempermainkan kita, atau memang Siok Lian suthay itu tokoh dari perkumpulan Thian-leng-kau" kata Yok Lan,

Mereka bertanya tentang biara Koan-im-yan kepada seorang jongos, "Ya, memang ada, biara itu sangat terkenal, jika tuan hendak berkunjung ke sana, boleh naik perahu melintasi telaga Tok-san-ou, setengah jam saja tentu sampai," jongos memberi keterangan

"Apakah dalam biara itu terdapat seorang rahib yang bernama Siok Lian suthay ?" tanya Gin Liong pula.

"Ada", kata si jongos, "Siok Lian suthay adalah kepala dari Lian-hoa-yan".

Gin Liong segera mengajak Yok Lan keluar, Mereka menuju ke utara, Ketika tiba di telaga mereka terkejut karena di tepi telaga telah menunggu sebuah perahu, Sesosok tubuh kecil yang berada di haluan perahu tengah membelah kayu bakar.

Menilik pakaiannya bercorak jubah paderi, Gin Liong menduganya tentulah Siok Lian suthay. Orang itu mengenakan caping dan kepalanya dibungkus dengan kain sehingga tak kelihatan bagaimana wajahnya. Hanya yang menonjol sepasang mata orang itu berkilat2 tajam.

Dengan memberi hormat Gin Liong menegur tetapi  rahib itu menyahut dengan nada dingin: "Si cu berdua sungguh memegang janji", Kemudian ia mempersilahkan Gin Liong dan Yok Lan naik ke atas perahu,

Ketika kedua anak muda itu loncat ke geladak perahu, sedikitpun kakinya tak mengeluarkan suara apa2. Tetapi rahib itu tak terkejut ia  segera mendayung ke tengah, sikapnya tak mempedulikan kedua anak muda itu. perahu meluncur cepat sekali.

Pemandangan telaga di waktu malam memang indah. Tak berapa lama disebelah muka tampak menggunduk hitam, Ketika tiba ternyata merupakan sebuah kelompok bunga teratai yang luasnya beberapa meter, Menilik bentuknya menyerupai sebuah jalan diatas air, jelas bunga teratai itu tentu dipelihara orang.

Yok Lan dan Gin Liong tertarik melihat pemandangan itu. Dalam pembicaraan selanjutnya Gin Liong berkata: "Jika pemandangan disini tak indah, tentulah Siok Lian suthay takkan meninggalkan surat rahasia mengundang kami datang ke mari !"

Baru Gin Liong berkata begitu, dari arah belakang terdengar orang mendengus geram, dan ketika berpaling, kedua anak muda itu terkejut sekali.

Rahib yang mukanya tertutup kain itu tidak lagi melanjutkan mendayung melainkan tengah mengayunkan kayuh menyerang dengan jurus Heng-soh-ngo-gak atau Menyapu-lima-gunung, sebelum kayuh tiba, anginnya sudah menderu-deru menyambar ke arah Gin Liong. Peristiwa itu tak terduga2 dan jaraknya amat dekat  sekali, apalagi berada di tengah telaga.

Gin Liong dan Yok Lan berteriak kaget. Ke duanya tak sempat lagi untuk menghindar. Dalam gugup kedua anak muda itu loncat kedalam telaga

Rahib itu tertawa gembira sekali.

Pada saat rahib yang mukanya berselubung kain cadar  itu tertawa gembira, Gin Liong dan Yok Lan segera bersuit nyaring, dengan gunakan ilmu tata-langkah Sing-hoan-poh, kedua muda-mudi itu menginjak daun teratai lalu dengan meminjam tenaga-pijakan itu keduanya melayang keperahu lagi.

Rahib berselubung muka itu terkejut bukan kepalang, itulah suatu ilmu meringankan tubuh yang bukan kepalang hebatnya, Cepat ia ayunkan kayuh untuk menyapu kedua pemuda itu.

Tetapi Yok Lan lebih gesit, Sebelum kayuh menyapu, ia sudah tiba di haluan perahu lalu enjot  tubuhnya loncat menghindar ke sebatang teratai lagi.

Saat itu Gin Liongpun sudah tiba di buritan perahu. serentak ia menghantam bahu kiri rahib itu.

Rupanya rahib itu juga lihay, Tahu kalau bahunya disambar angin, ia segera memutar kayuh menghantam Gin Liong, Gin Liong terkejut terpaksa ia loncat menghindar ke atas.

Yok Lan loncat lagi ke perahu seraya taburkan pedang Tanduk Naga kearah kepala rahib jahat itu, Rahib itu menjerit kaget dan buru2 tundukkan kepala. Cret caping

dan rambut rahib itu terbabat pedang dan berhamburan jatuh. Ah... Yok Lan tertegun Rahib itu ternyata memelihara rambut bagus, Dalam pada itu ketika masih berada di udara, Gin Liongpun lepaskan sebuah hantaman. Tetapi rahib itu cepat loncat ke-dalam air.

Setelah meluncur didalam perahu, Gin Liong pun berseru : "Lan moay, celaka !"

Yok Lan tahu bahwa rahib itu tentu hendak membalikkan perahu, ia tak pandai berenang. cepat ia berteriak dan memegang tangan Gin Liong, Gin Liong menggembor keras lalu menghantam sekuat-kuatnya ke permukaan air, bum .. . . air muncrat, menimbulkan gelombang besar dan perahu Gin Liongpun meluncur mundur.

Setelah gelombang reda, tampak di permukaan air dua buah tangan halus yang berenang lalu menyelam lagi.

Hantaman Gin Liong tadi telah membawa perahunya menyurut mundur sampai beberapa tombak, masuk kedalam gerumbul rumpun teratai, Yok Lan mendapatkan kayuh perahu, Gin Liong meminta kayu itu, ia yang akan mendayung.

"Liong koko, dia datang lagi!" tiba-2 Yok Lan berseru, menunjuk ke permukaan air.

Dibawah sinar rembulan, tampak permukaan telah tersiak keras, sesosok tubuh berenang menuju ke  perahu Gin Liong,

Gin Liong terkejut melihat kepandaian berenang rahib berambut itu yang begitu hebat, ia terus mendayung perahu keluar dari rumpun teratai. Saat itu rahib sudah tiba pada jarak dua tombak dari perahu, Yok Lan berseru suruh Gin Liong cepat mendayung. Tetapi rahib itu lebih cepat, Saat itu sudah tinggal satu tombak jaraknya, Tetapi Gin Liong dengan tertawa dingin segera mendayung dan perahu itupun mundur lagi sampai dua tombak dari rahib.

"Liong koko, dia nanti mati tenggelam," Yok Lan mencemaskan rahib itu.

"Jangan menghiraukannya, dia dapat menyelam dalam air selama lima hari," kata Gin Liong. la lanjutkan mendayung perahu menuju ke tepi.

"Liong koko," kata Yok Lan, "apakah kita jadi ke kuil Koan-im-yan ?"

Gin Liong mengangguk. Dari tepi kuil itu hanya terpisah beberapa li, Gin Liong menerangkan lalu berpaling ke belakang, rahib itu terpisah belasan tombak jauhnya. Tak berapa lama merekapun tiba di tepi telaga, Sebuah hutan bambu yang luasnya berpuluh tombak, kuil Koan-im-yan berada didalam hutan itu.

Gin Liong dan Yok Lan terus masuk kedalam hutan itu. Mereka menemukan sebuah jalan yang lebarnya satu tombak dan dialas dengan batu hijau, dari tepi telaga sampai kedalam hutan.

Sepanjang menyusuri jalan itu, keadaannya bersih, tiada daun yang berhamburan di jalan. Tentulah para rahib kuil yang rajin membersihkannya.

Apa yang diceritakan jongos penginapan itu memang benar Kuil Koan-in-yan memang sebuah tempat yang indah alamnya.

Pintu kuil itu dicat hitam dan terkancing rapat2. Grendel pintu amat kokoh dan bersinar remang. Dimuka  pintu dihias dengan sepasang singa dari batu. Tiba diujung penghabisan dari hutan bambu, ternyata masih terpisah beberapa tombak dari kuil. Tiba dimuka pintu, mereka melihat papan nama tergantung diatas pintu dan berbunyi: Koan-im-yan.

"Liong koko, apakah kita akan melompati tembok  ?" Yok Lan.

"Tidak, kita akan masuk lewat pintu," kata Gin Liong lalu menghampiri pintu dan mendebur. Karena tiada penyahutan, Gin Liong hendak mendebur lagi, Tetapi tiba2 ia mendengar derap langkah kaki berlari-lari dari dalam kuil.

Begitu pintu terbuka, muncullah seorang rahib sekira berumur 21-22 tahun. Gin Liong dan Yok Lan terkesiap. Ternyata rahib itu berkepala gundul tidak seperti rahib didalam perahu tadi.

"Ada keperluan apakah sicu berdua mengetuk pintu kuil kami ? Apakah sicu tersesat jalan. Maaf, peraturan kuil itu tak dapat menerima tetamu pria. Harap sicu cari  lain tempat saja," kata rahib itu, terus hendak menutup pintu lagi.

"Tunggu," seru Gin Liong, "mohon suhu suka memberitahukan kepada Siok Lian suthay bahwa aku Siau Gin Liong dan Ki Yok Lan datang hendak menghadap."

Rahib itu terkesiap: "Bilakah sicu berdua menerima undangan dan suthay kami?"

"Sore tadi." kata Gin Liong.

Rahib itu makin terkejut, gumamnya: "Apa-kah mungkin mempunyai hubungan dengan sam-suci kami yang baru kembali " "Ya, benar, memang suhu itu," cepat Gin Liong menukas.

Mendengar itu wajah rahib agak berobah, serunya: "Harap sicu tunggu dulu, aku hendak memberi laporan kepada suthay.

"Baiklah, harap sicu tunggu," kata rahib itu seraya berputar tubuh dan melangkah masuk. Diam2 Gin Liong memperhatikan bahwa rahib itu memiliki ilmu silat.

Tak berapa lama rahib itu bergegas keluar dari ruang besar lagi dan mempersilahkan Gin Liong berdua masuk, menunggu di ruang tamu. Tak berapa lama seorang rahib muda menghidangkan minuman teh. Kemudian muncullah seorang rahib tua berwajah segar dan ramah, mengenakan jubah warna kelabu, tangannya memegang kalung tasbih. Berwibawa dan menimbulkan rasa hormat orang.

Begitu masuk rahib tua itu segera meminta maaf karena tak lekas datang menyambut, lalu menanyakan maksud kedatangan Gin Liong berdua.

Gin Liong dan Yok Lan segera menduga bahwa rahib  tua itu tentulah Soh Lian suthay, Keduanya tersipu-sipu memberi hormat.

Demikian setelah dipersilahkan, Gin Liong lalu menyerahkan surat dari Soh Lian suthay yang mengundangnya datang, Tentang rahib  yang mencelakainya di perahu, ia masih belum mau mengatakan

Melihat surat itu, Soh Lian suthay tertawa lalu berpaling kepada rahib gundul yang berdiri disampingnya. "cobalah tengok sam -sucimu apakah sudah berganti pakaian dan undanglah dia kemari." Setelah rahib muda itu pergi maka Soh Lian suthay bertanya pula: "Apakah selama dalam perjalanan kemari, sicu berdua tak mengalami sesuatu ?"

Terpaksa Gin Liong menceritakan pengalaman yang dideritanya dalam perahu, Saat itu rahib gundul masuk pula bersama seorang rahib berwajah terang, umur sekira 25-26 tahun,

"Liau In, ceritakan pengalamanmu malam tadi kepada kedua sicu ini," kata Soh Lian suthay

Rahib muda berwajah cerah itu bernama Liau In. Dengan agak merah mukanya, ia memberi hormat kepada Gin Liong dan Yok Lan lalu menutur: "Menjelang sore, pinni ke kota membeli minyak, setengah li dari pintu kota Ik-ciu, tampak seorang rahib berjalan dengan gopoh..."

"Berapakah umur rahib itu ?" tukas Yok Lan.

Lian In merenung, ujarnya: "Saat itu cuaca sudah petang, aku tak dapat melihat jelas, Tetapi rasanya belum ada tiga-puluh tahun."

Berhenti sejenak ia melanjutkan: "Rupanya rahib itu gelisah sekali, Pada saat lewat di sampingku setelah memandangku sejenak, tiba2 ia terus menyerang. Karena tak menduga-duga, aku kena diringkus oleh rahib cantik itu."

Bercerita sampai disitu, wajah rahib Liau In perlebar merah lagi, Rupanya Gin Liong dapat menduga, Waktu ia hendak bertanya, Liau In sudah melanjutkan lagi..

"Rahib cantik itu menyeret aku ke tempat sepi lalu menutuk jalan darahku dan melucuti pakaianku, untunglah saat itu muncul seorang tua berilmu yang menolong  aku dan mengantarkan sampai ke tepi telaga, Tetapi perahu yang tersedia disitu sudah tak ada." "Apakah jubahnya berwarna kuning telur dan mengenakan baju lengan pendek warna merah ?" seru Yok Lan.

"Benar, dan membawa sebatang kebut Giok-hud-tim," seru Liau In.

"Tak salah lagi, dialah Biau Biau sian kho yang gemar mencelakai orang," seru Gin Liong.

Mendengar nama Biau Biau sian-kho, wajah Liau In serentak berobah lalu berpaling ke arah Soh Lian suthay.

Soh Lian suthay menyebut "omitohud" dan dengan tenang berkata: "Sungguh tak kira kalau binatang itu lagi..."

Rahib gundul serentak melangkah maju memberi hormat kepada Soh Lian suthay: "Mohon suthay mengiijinkan murid ke telaga untuk menghukum murid murtad itu."

Tetapi Soh Lian suthay dengan wajah bersungguh segera berkata: "Orang jahat tentu dibasmi orang jahat. Kejahatan Biau Biau sian-kho sudah melewati batas, akhirnya dia  tentu akan terbasmi hanya saatnya belum tiba. jangan engkau terperangsang sehingga kejernihan hatimu terganggu."

Rahib gundul itu mengiakan dan segera mundur. Dalam pada itu setelah tahu duduk perkaranya Gin Liong dan Yok Lanpun segera minta diri.

Soh Lian suthay mencegah, mengatakan hari sudah malam dan hendak menjamu mereka tetapi Gin Liong tetap pamit pulang, Akhirnya Soh Lian suthay menitahkan dua orang rahib gundul mengantar.

Dengan perahu yang lebih besar, kedua rahib itu segera mengantarkan Gin Liong dan Yok Lan. Cepat sekali perahu itu sudah keluar dari gerumbul taman teratai, Dan setengah jam kemudian sudah tiba di tepi, Diam2 Gin Liong membatin, anak murid Soh Lian suthay itu berkepandaian tinggi, jika tidak diserang secara tiba2, tak mungkin dapat diringkus Biau Biau sian-kho.

Gin Liong dan Yok Lan kembali ke rumah penginapan lagi, Setelah siang, baru tetamu2 meninggalkan rumah penginapan.

"Liong koko," kata Yok Lan, "kebanyakan tetamu yang menginap disini, tak terburu-buru menempuh perjalanan, Yang terburu-buru, tentu menginap di rumah penginapan luar kota, Mari kita periksa rumah2 penginapan itu, mungkin Liong Li locianpwe berada disana." 

Gin Liong setuju. Keduanya segera menuju ke pintu kota selatan. Setelah keluar dari pintu kota, mereka mulai bertanya kepada setiap rumah penginapan Tetapi sampai tiga rumah penginapan mengatakan tak ada. Terakhir pada rumah penginapan yang paling selatan sendiri, Gin Liong mendapat keterangan yang mengejutkan.

Jongos menerangkan bahwa memang ada seorang  wanita seperti yang dilukiskan Gin Liong itu, menginap di rumah penginapan situ, Wanita memiliki sepasang mata yang terang, berwarna agak kecokelat-cokelatan.

Gin Liong dan Yok Lan girang sekali, Menurut keterangan jongos, tetamu wanita itu sudah pergi lima hari yang lalu. Gin Liong memberi persen kepada jongos itu lalu mengajak Yok Lan melanjutkan perjalanan Kini dia sudah memperoleh jejak Ban Hong Liong-li.

Tiap tiba di kota, keduanya segera mencari keterangan ke hotel2. Beberapa hari kemudian walaupun belum berhasil menyusul, tetapi mereka sudah memperoleh keterangan yang pasti, Tiap dua hari sekali, Bang Hong Liong-li tentu bermalam di hotel, kebanyakan hotel2 diluar kota, jarang Ban Hong Liong-li makan di rumah makan besar, kebanyakan hanya di rumah makan kecil. Mungkin untuk menghindari perhatian orang.

Gin Liong memperhitungkan bahwa Ban Hong Liong-li tentu berada di muka, sedang rumah penginapan pada perjalanan yang akan tiba adalah rumah penginapan Liu- lim-tiam. Tetapi dari kota Sin-ca-koan ke Liu-lim-tian itu harus melalui gunung Ke-kong-san, markas besar Thian- leng-kau.

Diperhitungkan pula, bahwa cara yang terbaik untuk menyusul Ban Hong Liong li ialah mendahului untuk menunggu disuatu tempat yang diperkirakan Ban Hong Liong-li akan berhenti.

Jika menuju ke Ke-kong-san untuk memenuhi tantangan Thian-leng-kau, ia harus menggunakan waktu satu hari, itu berarti masih setengah hari dapat lebih dulu datang ke Liu- lim tiam daripada Ban Hong Liong-li.

Setelah dipertimbangkan akhirnya Gin Liong dan Yok Lan memutuskan untuk memenuhi tantangan orang Thian- leng-kau kepada Li Kun dulu.

Menjelang sore, mereka sudah tiba dikota Tiang-siu, kira2 dua-puluh li dari gunung Ke-kong-san, Keduanya bermalam disebuah hotel.

Di kota Tiang-siu, pun terdapat cabang Thian-leng-kau. Kabarnya, yang menjadi kepala cabang adalah seorang wanita muda yang cantik.

Setelah mandi dan ganti pakaian, Gin Liong dan Yok Lan duduk di serambi untuk merunding rencana perjalanan. Tiba2 muncul dua orang menghampiri mereka, Yang satu bertubuh gemuk, satu kurus, Keduanya berjalan dengan sikap congkak, Setelah melihat Gin Liong dan memandang Yok Lan, si kurus memberi hormat.

"Saudara berdua hendak ke mana, mengapa bermalam disini, Siapa nama saudara, perguruan dan guru saudara. Harap suka memberi tahu agar aku..."

Melihat ulah kedua orang itu, Gin Liong sudah muak, cepat ia menukas: "Aku menuju ke seluruh penjuru, menginap hotel dengan membayar, bukan bangsa penyamun juga bukan pesakitan, Mengapa kalian hendak menanyakan diri kami ?"

Si gemuk mengerut dahi lalu membentak keras: "Tutup mulutmu, budak hina. Ketahuilah, tempat ini adalah darah kekuasaan partai kami !" Habis berkata ia  terus loncat masuk.

"Kawanan tikus, engkau hendak cari mampus ? Hayo, enyahlah!" Gin Liong marah dan menghantam.

"Jangan, koko," cegah Yok Lan, ia  kuatir tindakan sukonya itu akan mengejutkan orang2 Thian-leng-kau.

Tetapi tangan Gin Liong sudah terlanjur berayun, seketika terdengar suara orang mengerang disusul dengan derap gemuruh dari kaki yang terhuyung-huyung.

Si gemuk telah terlempar keluar. Wajahnya pucat, kedua tangannya mendekap perut, Rupanya untuk memeriksa pernapasannya apakah terluka, Ternyata ia tak menderita luka. Dia terlongong-longong heran.

Yok Lan segera keluar dan berkata kepada kedua orang itu.

"Kami hendak memenuhi undangan dari Pit-pengacau- dunia Yu Ting-su, pemimpin ketiga dari Thian-leng kau. Karena sudah malam, kami terpaksa menginap disini, Lalu apa yang kalian kehendaki dari kami."

Mendengar itu si kurus segera merobah sikapnya. Dengan hormat ia berkata: "Maaf, kami tak tahu kalau saudara berdua sahabat dari pemimpin kami."

Saat itu jongos muncul membawa hidangan, Si kurus meminta Gin Liong berdua supaya mengganti dengan hidangan yang lebih mahal, semua biaya akan ditanggung mereka, Tetapi Gin Liong menolak.

Kemudian si kurus menerangkan bahwa kepala cabang dikota itu, Busur-emas-pelor-perak Long Ci Ing karena sudah menuju ke markas maka tak dapat menyambut.

Gin Liong mengucapkan beberapa kata terima kasih, Masih si kurus hendak mengunjuk jasa, menawarkan untuk memberitahu lebih dulu ke markas besar agar dapat menyambut kedatangan Gin Liong. Tetapi Gin Liong menolaknya.

Masih pula si kurus menawarkan jasa untuk mengantar, Yok Lan terpaksa menerima: "Baiklah, karena saudara bersungguh hati hendak mengantar, baiklah besok pagi harap datang kemari."

Keesokan harinya ternyata si kurus sudah siap menunggu. Mereka bertiga segera naik kuda menuju ke gunung Ke-kong-san, Tiba di kaki gunung sebelah utara, si kurus lalu mengeluarkan bendera merah kecil dan diacungkan keatas kepala.

Ketika mendaki ke lereng, mereka terkejut mendengar suara gemuruh. Ketika menanyakan, si kurus menerangkan: "Sungguh kebetulan sekali sau dara datang pada saat ini, inilah untuk yang pertama kali Thian-leng-kau mengadakan pertandingan pi-bu. Dan hari ini merupakan hari terakhir, Besok sudah akan ditetapkan kedudukan dan jabatan masing2. Jika Long thocu kami menang, aku akan ikut pindah ke cabang di Kong-ciu."

Rupanya si kurus ingin  membanggakan perkumpulannya, ia melanjut lagi, Menerangkan bahwa anggauta2 Thian - leng - kau rata2 memiliki ilmu tinggi sekali. Akan mempersatukan kaum persilatan untuk diajak menjalankan keadilan dan kebenaran,  membasmi kejahatan.

"Siapakah kiranya nama suhu dari pemimpin partai saudara itu ?" tanya Gin Liong.

"Entahlah," si kurus gelengkan kepala, "yang kami ketahui hanialah kaucu kami itu bernama Hong-hu Ing dan adik perempuannya bernama Hong-hu Yan, kedua kakak beradik itu berilmu tinggi sekali. Sampai sekarang belum terdapat orang yang  mampu melayani mereka sampai sepuluh jurus..."

Saat itu suara sorak sorai makin bergemuruh. Si Kurus menerangkan bahwa tentu ada orang yang menenangkan pertandingannya.

Yok Lan kerutkan alis dan bertanya heran: "Diatas kepala cabang hanya kaucu. Lalu siapa sajakah kepala2 cabang itu."

"Setiap orang hanya untuk sementara ditetapkan kedudukannya, bahkan termasuk diri kaucu sendiri juga," kata si kurus. ia berhenti, sejenak lalu berkata pula:

"Menurut keterangan Long thocu, dibawah kaucu terdapat tiga kepala bagian dalam, dan tiga kepala kepala bagian luar, Setelah itu baru kelima lohu-cu dan kepala cabang." Baru Yok Lau hendak bertanya, tiba2 si kurus sudah berseru: "Disebelah depan itu adalah markas besar kami!"

Memandang ke muka, tampak sebuah pintu gapura yang tinggi besar dan sebuah bangunan luas yang  dikelilingi tembok tinggi, Dikedua samping pintu, dijaga oleh berpuluh penjaga bersenjata golok dan mengenakan pakaian seragam yang ringkas.

Di sebelah muka agak keluar dari pintu itu terdapat tempat lelaki yang menuntun kuda, Salah seorang diantaranya seorang tua baju panjang dan yang tiga mengenakan pakaian ringkas. Mereka membawa senjata.

Thio Su demikian nama si kurus, segera menerangkan bahwa keempat pendatang itu juga hendak ikut dalam pi- bu. Harap saudara berdua nanti jangan bicara apa2. biarlah aku yang menghubungi para penjaga pintu itu.

Benar juga setelah tiba di muka pintu besar, Thio Su segera mengambil sekeping lencana tembaga dan diserahkan kepada penjaga.

Tiba2 penjaga yang berdiri di tengah, setelah memeriksa lencana, lalu mengembalikan kepada Thio Su, katanya: "Walaupun kedua tuan ini sahabat dari Yu tancu tetapi Yu thancu belum memberitahu kepada kami.  Sekarang silahkan engkau sendiri yang masuk untuk mengundang Yu tancu keluar . . ."

Thio Su deliki mata, serunya: "Yu thancu tiap hari sibuk melakukan tugas, kemungkinan tentu lupa memberitahu. Tetapi beberapa hari yang lalu Yu thancu telah memberitahu kepada Long thocu supaya menunggu kedatangan Siau siauhiap dan diajak kemari ikut dalam pertandingan pi-bu. Apabila sampai tertunda sehingga pertandingan sudah bubar, siapakah diantara saudara yang berani bertanggung jawab ?" Penjaga2 itu saling bertukar pandang tetapi tak ada yang menyatakan apa2. Penjaga yang di tengah tadi juga tampak bimbang.

Saat itu dari dalam markas terdengar pula sorak sorai yang gemuruh. Tentu ada yang menang  dalam pertandingan

"Saudara," seru Thio Su makin gugup, "pertandingan pi- bu diantara thancu sudah mulai. Kalau saudara tak berani bertanggung jawab, maka aku akan membawa Siau sauhiap masuk, Segala perkara, akulah yang  tanggung, takkan melibat saudara2."

Setelah berkata si kurus mengajak Gin Liong dan Yok Lan masuk, Penjaga2 itupun memberi jalan.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar