Pedang Tanduk Naga Bab 03 Sepasang Iblis

Bab 03 Sepasang Iblis

Mendengar teriakan Gin Liong, suitan nyaring itupun berhenti, Bayangan merah itu memancar sinar mata yang tajam ke arah Gin Liong. Dengan kecepatan laksana anak panah terlepas dari busur, bayangan merah itu terbang meluncur ke arah Gin Liong.

Melihat bayangan merah yang disangka Ban Hong Liong-li itu lari menuju ke tempatnya, girang sekali hati Gin Liong. Diapun pesatkan larinya menyongsong. seraya acungkan tangan berseru keras2:

"Lo-cianpwe ... lo-cianpwe !"

Saat itu dia sudah masuk ke dalam sebuah lembah yang berkabut salju, Dalam kabut yang memenuhi seluruh lembah itu, samar2 ia melihat beberapa sosok bayangan imam sedang lari keluar lembah.

Menduga bahwa orang2 itu tentu habis dari rumah pondok tadi, Gin Liong tak mengacuhkan mereka dan terus lanjutkan larinya.

Setelah melintasi lembah salju, kini ia berhadapan dengan sebuah karang es yang tingginya sampai belasan tombak. Karang es itu merentang panjang entah sampai berapa li.

Setiba di muka karang es, Gin Liongpun segera enjot tubuh melambung ke udara, Berhenti sebentar untuk menjejakkan kakinya kebawah dan dengan meminjam tenaga jejakan itu tubuhnya melambung naik lagi. Dengan dua tiga kali gerakan itu, dapatlah ia mencapai puncak karang es.

Ternyata permukaan karang es itu merupakan sebuah dataran es yang amat luas sekali.

Dalam pada itu bayangan merah tadipun makin dekat kan dengan jelas ia dapat mendengarkan kibaran pakaiannya didebar angin.

Tiba2 Gin Liong kendorkan laju larinya, ada sesuatu yang mencurigakan hatinya. Mau lari ke muka, kecurigaan Gin Liong itu berobah menjadi rasa kecewa, Serentak ia hentikan larinya.

Jelas sudah baginya bahwa bayangan merah yang lari menghampiri itu, walaupun seorang wanita yang mengenakan pakaian orang persilatan dan menyandang mantel warna merah, tetapi dia bukan Ban Hong Liong-li.

Pada punggung wanita baju merah itu menonjol tangkai pedang berpita merah, sepasang sepatunyapun merah darah, Rambutnya yang indah dan panjang diikat dengan tali merah. Dalam hembusan angin, tampak rambut itu berkibar-kibar memikat mata.

Pada saat Gin Liong berhenti dan tegak terlongong- longong, segulung sinar merah diantara deru angin keras, segera menjelang tiba ke hadapannya.

Gumpalan sinar merah itu berputar-putar sekali melingkari Gin Liong. Setelah itu baru tegak berdiri hadapan anak muda itu.

Melihat pendatang itu, hati Gin Liong mendebur keras, Orang yang berada dihadapannya itu  menggunakan pakaian serba merah yang menyilaukan pandang mata, Gin Liong sampai tak berani memandang lekat2.

Kiranya dia seorang nona muda, berumur dua puluhan tahun. wajahnya cantik jelita, sepasang alis yang melengkung bagai bulan tanggal muda, menaungi dua buah gundu mata yang bundar dan tajam. Raut wajahnya yang menyerupai buah semangka dibelah dua, dihias sebuah mulut yang kecil mungil,

Sambil bercekak pinggang, jelita itu menatap lekat2 pada Gin Liong, Bibirnya yang semerah delima, mengulum senyum yang memikat jiwa.

Gin Liong merah wajahnya, Darahnya memandang keras, pendatang yang memiliki ilmu ginkang hebat itu ternyata seorang nona yang cantik jelita.

Rupanya karena melihat Gin Liong terlongong kesima, nona cantik itu tertawa mengikik, Sambil goyangkan pinggang, ia berseru: "Adik, apakah tadi engkau yang memanggil aku ?"

Mendengar nona itu menegur dengan kata2 yang ramah, merahlah wajah Gin Liong. Segera ia tersipu-sipu memberi hormat: "Karena menempuh perjalanan siang malam, pandang mataku sudah kabur. Dan karena kabut yang tebal, aku telah keliru memanggil nona, Harap nona suka maafkan kekhilafanku."

Kembali nona cantik itu tertawa mengikik, sambil mengambil sikap seperti pohon liu tertiup angin, dengan ramah sekali ia tertawa, serunya:

"Ah, tak apa, tak apa. Harap adik jangan pikirkan soal sekecil itu. Tapi tak marah kepadamu."

Habis berkata dengan mengulum senyum manis, ia menatap Gin Liong sambil ayunkan langkah maju menghampiri.

Wajahnya yang cantik memikat potongan tubuhnya yang langsing ramping, langkahnya yang jinak2 merpati, benar2 mempesonakan setiap pria yang memandangnya.

Melihat nona cantik itu sangat genit tingkahnya, Gin Liong merasa muak. Tak seharusnya dia berdekatan dengan nona semacam itu, ia harus lekas2 menyingkir.

Dengan wajah gelap, Gin Liong berseru:

"Karena masih ada lain urusan yang harus kukerjakan, terpaksa aku tak dapat lama2 disini..."

Pada saat Gin Liong bicara, nona genit itupun hentikan langkah dan tertawa:

"Apakah adik hendak mengejar seorang locianpwe yang berpakaian merah itu ?"

Tergetar hati Gin Liong sehingga wajahnyapun berobah.

Buru2 ia bertanya:

"Apakah ketika melintasi gunung, nona melihat seorang pendekar wanita berumur lebih kurang dua-puluh tujuh tahun, berpakaian serba merah ?" Nona cantik itu kenakan alis dan melengking:

"Seorang locianpwe yang masih begitu muda belia itu ?

Uh, mengelabuhi setan !"

Mendengar nada nona itu mengandung hinaan terhadap Ban Hong Liong-li, seketika marahlah Gin Liong.

"Kalau nona tak berjumpa, akupun hendak berangkat sekarang."

Ia ayunkan langkah melewati samping si nona lalu lari pesat. Tetapi nona cantik itu cepat melesat dan menghadang di muka Gin Liong.

"Engkau mau apa?" teriak Gin Liong dengan marah. Nona genit itu melonjak kaget karena suara bentakan

Gin Liong yang menggeledek itu sehingga ia  menyurut mundur selangkah.

"Ih, galak sekali, Benar2 hampir aku mati kaget !" serunya, seraya mengusap-usap buah dadanya seperti orang yang hendak menenangkan dadanya yang berombak keras.

Tanpa melihatnya lagi, Gin Liong terus lanjutkan larinya, Tetapi nona genit itu tersenyum, Sekali tubuhnya berayun, tahu2 ia sudah menghadang di depan Gin Liong lagi.

Kali ini Gin Liong terkejut sekali. Namun ia lebih dirangsang kemarahan daripada rasa heran atas kepandaian si nona. Setelah berputar melingkar, iapun lanjutkan larinya lagi.

Tetapi nona genit itu hanya mendengus ia ayunkan tubuh menghadang di muka Gin Liong lagi seraya berseru angkuh: "Adik, apabila hari ini kubiarkan engkau lari, Mo lan Hwa selama-lamanya takkan memakai gelar Swat-te-biau- hong !"

Swat-te-biau-hong artinya Tanah-salju merekah-merah. Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi,

Dengan bengis ia membentak lagi:

"Menyisihlah, siapa yang engkau panggil sebagai adikmu itu !"

ia menutup katanya seraya menampar bahu nona genit itu dan terus menyelinap hendak loncat.

Salju-merekah-merah Mo kan Hwa tidak marah malah tertawa mengikik. Tubuhnya berputar-putar menghindari tamparan Gin Liong dan dengan sebuah gerakan yang indah serta cepat, ia sudah merintangi gerak loncatan si anak muda lagi.

Gin Liong hentikan gerakannya. wajahnya membesi dan menggeram:

"Kalau nona hendak menghambat perjalananku lagi, jangan salahkan kalau aku bertindak kurang ajar !"

Sambil kicup-kicupkan sepasang matanya yang bundar, Mo Lan Hwa berseru:

"lh, mengapa engkau begitu tak tahu adat ? Siapa yang memanggil suruh aku datang tadi ?"

Merahlah wajah Gin Liong, serentak ia berseru dengan suara bengis:

"Telah kukatakan bahwa aku khilaf maka akupun sudah menghaturkan maaf kepada nona..."

"Huh," cepat Mo Lan Hwa menukas, "apa guna menghaturkan maaf?" Gin Liong hendak meledak kemarahannya "Kalau maaf tak berguna, lalu apa kemauanmu ?" serunya dengan geram.

Salju-merekah-merah Mo Lan Hwa mendengus marah dan melengking:

"Hm, tidak semudah itu membiarkan engkau ngacir pergi

!"

"Coba saja kalau mampu merintangi aku !" teriak Gin

Liong makin marah. Bahkan karena sudah tak kuat menahan kemarahannya, Gin Liong terus menampar muka nona genit itu.

"Hm, lihat saja apakah engkau mampu melarikan diri." seru Mo Lan Hwa seraya menangkis dengan jurus Giok-hi- hui-soh atau Bidadari-melempar-tali.

Terdengar sebuah orang pelahan dan tubuh nona genit itu terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.

Gin Liong menggunakan tiga bagian dari tenaganya untuk menampar tetapi hanya dapat membuat Mo  Lan Hwa menyurut tiga langkah saja. Segera ia tahu bahwa ilmu tenaga dalam dan ilmu ginkang nona itu memang hebat.

Ia kerutkan dahi memandang nona genit itu dengan tajam dan berseru:

"Jika engkau masih tetap mengganggu, jangan salahkan aku tak kenal kasihan !"

Habis berkata ia terus berputar tubuh dan angkat kaki. "Berhenti !" Mo Lan Hwa melengking gugup, "sebelum

kita ada yang mati salah satu, tak seorangpun boleh tinggalkan tempat ini."

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah terjangan, sepasang tangannya berhamburan menghajar seperti orang kalap. Gin Liong sudah hilang kesabarannya, serentak ia berputar tubuh dan membentak keras: "Baik, kalau engkau minta mati, akan kuantarkan engkau ke akhirat!"

Pemuda itu segera ayunkan tangan kanan menghantam. Seketika menderulah angin pukulan yang dahsyat Salju di tanah berhamburan ke udara sehingga mirip dengan suasana badai dimusim salju.

Nona genit itu terkejut. Seketika pucatlah wajahnya, serentak berhenti, dia terus songsongkan kedua tangannya untuk menangkis.

Terdengar sebuah lengking jeritan yang ngeri  dan nyaring diiring dengan tubuh Mo Lan Hwa yang terlempar sampai tiga tombak ke udara lalu melayang jatuh sampai lima tombak jauhnya.

Gin Liong tertegun. Walaupun marah, tetapi ia hanya menggunakan lima bagian dan tenaga dalamnya, Tetapi akibatnya benar2 diluar dugaan.

Tetapi ia seorang pemuda yang baik hati, sebenarnya ia tak kenal dan mempunyai dendam permusuhan terhadap nona itu, Mengapa ia harus mencelakainya ?

Cepat ia enjot tubuh nona itu. Dilihatnya, sepasang mata Mo Lan Hwa meram, wajahnya merah padam, dada berombak keras dan napasnya terengah-engah.

Melihat keadaan nona itu tak sadarkan diri, Gin Liong bingung juga, Tetapi menilik wajahnya yang merah  itu, jelas kalau Mo Lan Hwa tak menderita suatu luka dalam yang berbahaya.

"Ah, kalau kugunakan tujuh atau delapan bagian tenaga dalam pukulanku tadi, dia tentu akan muntah darah,"  diam2 Gin Liong merasa bersyukur karena tak melakukan tindakan begitu. Segera ia meletakkan tubuh nona itu ke tanah lalu mulai menguruti jalan darah ditubuhnya, Tetapi diluar dugaan, makin diurut, napas nona itu makin lemah Sudah tentu Gin Liong terkejut sekali sehingga keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya

In hentikan pengurutannya dan mulai merenung ilmu urut yang telah dipelajarinya, ia  merasa bahwa cara pengurutan itu memang sudah benar.

Lalu ia mulai mengurut lagi dengan hati2 dan pelahan- lahan, tak berapa lama, Mo Lan Hwa tampak membuka mata, Gin Liong girang dan hentikan urutannya. Sambil mengulap keringat ia bertanya:

"Nona bagaimana keadaanmu ?"

Tetapi nona itu pejamkan mata lagi, Gin Liong terkejut, ia merasa terlalu cepat menghentikan pengurutannya maka buru2 ia lekatkan tangan kanannya ke jalan darah Gi-hay diperut si nona, ia menunggu dengan penuh perhatian perobahan air muka nona itu.

Tetapi Gin Liong makin gelisah, wajah nona itu makin merah seperti bara dan napasnya makin terengah-engah. Bibirnyapun mulai agak terbuka. Karena gugup, Gin Liong menambahkan tenaga- murninya seraya bertanya:

"Nona, bagaimana engkau rasakan ?"

Dengan masih pejamkan mata, nona itu menyahut lemah: ”Dingin... mati kedinginn..."

Gin Liong keliarkan mata memandang kesekeliling, ia mengharap dapat melihat sebuah guha atau cekung karang es yang dapat dibuat membaringkan nona itu.

Karena perhatiannya tertumpah pada empat penjuru, ia tak tahu bahwa saat itu diam2 Mo Lan Hwa sudah membuka mata dan tersenyum. Ia memandang dagu pemuda cakap yang memikat hatinya itu.

Gin Liong yang polos hati, segera melihat bahwa hutan dimana terdapat rumah pondok tadi, berada diatas puncak sebelah muka dari lembah salju, Saat itu matahari sudah terbit dan kabutpun menipis, Rumah pondok di  puncak salju itupun segera tampak jelas.

"Orang tua kurus itu sudah tak berada dalam pondok, lebih baik kuangkut nona ini ke pondok itu," pikirnya.

Kemudian ia mengangkat tubuh Mo Lan Kwa lalu dibawanya lari menuju ke pondok, pikirannya hanya tertuju untuk menolong jiwa si nona yang terkena pukulannya, setitikpun ia tak mengandung pikiran yang tak senonoh.

Rupanya Mo Lan Hwa yang sesungguhnya sudah siuman, berseru:

"Engkau . . . hendak membawa aku kemana?"

Gin Liong tersentak kaget, Saat itu juga baru ia menyadari bahwa nona itu mengelabuhinya, jelas nona itu tak menderita luka apa2 dan tak pingsan. Kesemuanya tadi hanya pura2 saja.

Seketika meluaplah kemarahan Gin Liong.

"Pergi !" ia lemparkan tubuh Mo Lan Hwa ke tanah.

Tindakan Gin Liong itu diluar dugaan Mo Lan Hwa, ia menjerit kaget ketika tubuhnya terbanting ke tanah.

Gin Liong marah sekali, Tanpa melihat keadaan nona  itu ia terus berputar tubuh dan lari kearah tenggara.

Setelah tenang, Mo Lan Hwa segera melenting bangun, Melihat anak muda itu lari, ia bingung, Cepat iapun gunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar seraya berteriak sekuat-kuatnya: "Hai, manusia kayu ! Engkau benar2 sebuah patung !"

Gin Liong mendongkol sekali, ia tak sudi melihat nona genit itu lagi, Tetapi ternyata Mo Lan Hwa itu memang sakti dalam ilmu ginkang sehingga dia mendapat gelaran sebagai Tanah-salju-merekah-merah, Karena cepatnya ia berlari, tubuhnya berobah seperti segumpal asap merah yang menebar diatas salju.

Tampak dua sosok bayangan, yang satu kuning dan yang lain merah, sedang berkejaran diatas puncak gunung yang tertutup salju putih.

Gin Liong lari mati-matian, Mo Lan Hwa mengejar sepenuh tenaga. Rupanya nona genit itu tak mau melepaskan anak muda yang cakap itu.

Tiba2 dari arah puncak sebelah muka, terdengar dua buah suitan yang nyaring, Menyusul dua buah bayangan hitam, bagaikan bintang jatuh dari udara, dari atas puncak meluncur kebawah.

Mo Lan Hwa terkejut dan cepat2 berteriak memanggil Gin Liong : "Manusia kayu, berhentilah ! Manusia kayu berhentilah!"

Sambil berteriak, nona genit itu gunakan jurus Jay-hong- hi-ci atau Cenderawasih-hinggap-dipohon, melayang ke udara. ia berjumpalitan, dengan kaki diatas dan kepala di bawah, menukik menyambar Gin Liong.

Rupanya karena sedang berlari cepat, pemuda itu tak memperhatikan kesiur angin dari gerakan Mo Lan Hwa. Dia tetap lari sekencang-kencangnya.

Kedua sosok bayangan hitam yang meluncur  dari puncak tadi segera tegak di tengah jalan untuk menghadang Gin Liong. Pada saat itu Mo Lan Hwa sudah berhasil mencapai jarak tiga tombak di belakang Gin Liong,

"Manusia kayu, mengapa tak mau berhenti. Yang menghadangmu disebelah muka itu adalah Sepasang iblis dari luar perbatasan !" teriak nona itu dengan nada cemas.

Gin Liong mendengus dalam hati, Peduli apa dengan sepasang iblis itu. Bukankah ia tak kenal mereka ?

Dalam pada berpikir itu, Gin Liongpun berpaling kebelakang, Astaga . . . . ternyata Mo Lan Hwa sudah ulurkan tangan hendak mencengkeram bahunya.

Kejut Gin Liong bukan alang kepalang sehingga ia sampai kucurkan keringat dingin. Dengan gerak Liong-li- biau, cepat ia menghindar kesamping sampai tiga tombak jauhnya lalu lanjutkan lari lagi.

Mo Lan Hwa terperanjat sekali, Tangannya yang sudah hampir berhasil mencengkeram bahu anak muda itu tiba hanya menemui angin kosong.

Cepat ia hentikan gerakan tubuh dan berpaling.

Ah, ternyata Gin Liong sudah berbalik lari ke arah barat Serempak pada saat itu.  dari sebelah muka terdengar

suara orang tertawa gelak2. Nyaring dan menusuk telinga.

Mo Lan Hwa berpaling dan terkejut! Ternyata  kedua iblis dari luar perbatasan itu pun telah berputar diri dan meluncur untuk menghadang Gin Liong lagi.

Cepat Mo Lan Hwa melayang ke udara seraya berseru gopoh: "Manusia kayu, lekas berhenti! Mereka itu sepasang iblis dari luar perbatasan..."

Sambil berseru, nona itu tetap mengejar Gin Liong, Gin Liong benar2 mendongkol sekali dan ingin lepaskan diri dari libatan nona genit itu muka ia teruskan larinya dan tak menghiraukan kedua orang yang di sebut sepasang iblis dari luar perbatasan itu.

Tetapi ia ingin juga mengetahui dimana nona genit itu. Begitu berpaling, ia terkejut lagi Ternyata nona itu tengah melayang diudara dan meluncur kearahnya.

Diam2 Gin Liong mengeluh, Ternyata nona genit itu memang sakti sekali ilmu ginkang nya, Rasanya tak mudah untuk lepaskan diri dari kejarannya.

Sesaat tiba di tanah, Mo Lan Hwa cepat berseru gopoh: "Awas, disebelah muka..."

Gin Liong terkejut dan memandang kemuka lagi, "Ah. ternyata kedua orang itu sudah tiba dihadapannya,

"Sumoay, biarlah suheng mewakili engkau meremukkan budak ini...." teriak salah seorang dan kedua iblis itu seraya menyerang Gin Liong.

Saat itu Gin Liong baru berpaling kemuka, Sebelum tahu bagaimana wajah orang itu, tiba2 dia sudah diserang, Dengan menggeram marah, cepat ia loncat menghindar sampai dua tombak jauhnya.

Dalam pada itu, Mo Lan Hwapun berteriak dan menghantam kearah serangan orang itu.

"Bum . . ."

Gumpalan salju muncrat berhamburan ke empat penjuru, Mo Lan Hwa dan orang yang melepaskan pukulan itu, masing2 terhuyung mundur sampai tiga langkah.

Saat itu Gin Liong dapat melihat jelas bahwa kedua sosok bayangan hitam itu adalah dua orang lelaki pertengahan umur yang mengenakan pakaian ringkas orang persilatan warna hitam. Keduanya masing2 menyanggul pedang pada punggungnya. Lelaki yang berdiri di sebelah kiri berwajah persegi alis lebar mata sipit dan memelihara kumis tipis. Dia memandang dengan mata berkilat-kilat ke wajah Mo Lan Hwa.

Dia adalah Say-pak-jin-mo atau Manusia iblis dari Saypak (Perbatasan Utara). Dia pula yang hendak menyerang secara menggelap kepada Gin Liong.

Lelaki yang disebelah kanan, berwajah segi-tiga, kumis jarang, mata bundar kecil seperti mata tikus dan alisnya berbentuk menurun, pipinya yang kempot menyungging senyum menyeringai.

Dia dikenal oleh kaum wanita sebagai Say-pak-ceng-mo atau iblis Cabul dari Saypak.

Kedua iblis itu tertawa mengekeh.

"Beberapa tahun tak bertemu, ternyata sumoay sekarang semakin cantik. Terutama dalam ilmu ginkang. sumoay makin mencapai kemajuan yang  mengejutkan. Semalam aku bersama lo-toa berpencaran mengejar, tetapi masih tak mampu mengejar sumoay," seru Ceng Mo dengan tertawa sinis.

Jin Mo juga tertawa dingin, Sebelum Ceng Mo selesai berkata, ia sudah menggeram: "Tak kira kalau sumoay ke daerah salju untuk mencari budak muka putih itu."

Habis berkata kedua iblis itu serempak berpaling memandang Gin Liong, pemuda itu masih tegak berdiri melihat gerak gerik ketiga orang itu.

Mo Lan Hwa merah wajahnya.

"Tutup mulutmu !" teriaknya geram, "aku melakukan perintah toa-suheng untuk menyelidiki asal usul orang tua yang membawa kaca cermin itu, jangan kalian bicara tak keruan begitu !"

Berhenti sejenak melontarkan pandang kemarahan kepada kedua iblis, Mo Lan Hwa melanjutkan pula:

"Sudah lama kalian putus hubungan dengan perguruanku. Kalian melanggar pesan suhu, melakukan perbuatan yang tercela di luaran. Sejak suhu menutup mata, kalian makin menggila. Jika Ji-suheng tak mengingat pernah sama2 menjadi saudara seperguruan, masakah kalian saat ini masih bernyawa ? Berulang kali kalian menghadang aku dan mengucapkan kata2 yang tak senonoh, apakah maksud kalian ? Katakanlah sekarang ini. Kalau tetap bertingkah seperti itu, jangan kalian sesalkan aku tak mau mengingat pernah sama2 dalam satu perguruan."

Rupanya Mo Lan Hwa marah sekali kepada kedua iblis yang ternyata pernah menjadi suhengnya.

Wajah kedua iblis itu tampak memberingas tak sedap dipandang, tiba2 keduanya tertawa gelak2 untuk menghamburkan kemarahan mereka.

Setelah mendengar percakapan itu, barulah Gin Liong tahu akan hubungan Mo Lan Hwa dengan kedua iblis itu, Serentak ia merasa bahwa Mo Lan Hwa itu bukan seorang nona yang cabul melainkan seorang gadis yang lincah dan binal.

Seketika berkurang kesan buruknya terhadap nona itu. Semula ia hendak tinggalkan mereka selagi Mo Lan Hwa tengah bertengkar dengan kedua bekas suhengnya, Tetapi setelah tahu persoalannya, dia batalkan rencananya. Dia harus ikut membantu Mo Lan Hwa apabila nona itu mendapat kesulitan dari kedua iblis. Setelah puas, kedua iblis itu hentikan tawanya. Wajah mereka tampak membesi. Matanya berkilat-kilat buas.

Jin Mo deliki mata dan berteriak marah: "Budak perempuan yang tak punya mata ! Besar sekali nyalimu berani memberi nasehat kepada kami berdua saudara, Lebih baik engkau ikut kepada kami, Jangan kuatir kami tentu takkan mengecewakan keinginanmu, Kalau  tidak,  heh, heh "

Karena marah, tubuh Mo Lan Hwa sampai menggigil keras. Cepat ia menukas:

"Kalau tidak, mau apa engkau ?"

Ia menutup kata-katanya dengan kebutkan lengan kanan dan tiba2 tangannya sudah bertambah dengan sebatang pedang yang berkilat-kilat memancarkan hawa dingin.

Melihat itu Ceng Mo tertawa hina, Matanya yang seperti mata tikus itu, segera memandang ke-arah Gin Liong yang berdiri pada jarak dua tombak jauhnya.

"Tidak mudah engkau hendak melarikan diri bersama budak laki itu !" serunya.

Gin Liong tertegun. Mengapa dirinya dibawa-bawa dalam persoalan Mo Lan Hwa. Dia tak kenal Mo Lan Hwa, tak tahu kedua iblis itu.

Karena marahnya, ia hamburkan tertawa dingin. Mo Lan Hwapun merah mukanya, ia  mencuri kesempatan untuk melontar senyum kepada pemuda itu lalu melambainya:

"Adik, kemarilah ! Masakan kita berdua tak mampu menghajar kedua manusia jahat ini!"

Mendengar itu makin marahlah kedua iblis. Mereka iri dan cemburu kepada Gin Liong karena Mo Lan Hwa yang cantik itu lebih suka kepada Gin Liong daripada kepada mereka.

Mereka tergila-gila dengan kecantikan Mo Lan Hwa. Dan rasa iri itu segera meningkat dan meledakkan kemarahan mereka.

"Dadaku mau meletus nih !"  seru mereka seraya berhamburan menerjang Mo Lan Hwa.

Jin Mo menggunakan jurus Ji-hung-hi-cu atau Sepasang- naga bermain-mustika, menutuk kedua mata si nona. Ceng Mo gunakan jurus Koay bong-bi tong atau Ular naga- mencari-sarang. Dia tusukkan jarinya ke bawah buah dada si nona, serangan itu dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa.

Ma Lan Hwa tertawa dingin. Setelah menghindar ke samping dari tutukan jari Ceng Mo, segera ia taburkan pedangnya untuk membabat tangan Jin Mo yang hendak menutuk matanya.

Menghindar seraya menyerang itu, dilakukan Mo Lan Hwa dalam saat dan gerak yang hampir serempak sehingga kedua iblis itu menjerit kaget dan hentikan serangannya.

Bahkan Gin Liong sendiripun terkejut dan kagum melihat gerakan si nona yang sedemikian lihaynya, Tanpa disadari, ia berseru memuji : "Bagus "

Mendengar pujian anak muda itu, girang Mo Lan Hwa bukan kepalang, ia mencuri kesempatan untuk memandang Gin Liong dengan senyum mesra.

Kebalikannya kedua iblis itu makin marah, Wajah mereka berobah membesi bengis lalu menghampiri Gin Liong, Dengan mengertek geraham sehingga terdengar suara giginya saling bergosok keras, kedua iblis itu membentak: "Budak hina. rasanya engkau memang sudah bosan hidup. Maka lebih dulu hendak kucabut nyawamu baru nanti membereskan budak perempuan yang tak tahu malu itu !"

Kemudian sambil menyalurkan tenaga-dalam pada lengannya, mereka mulai maju menghampiri Gin Liong.

Melihat itu Mo Lan Hwa cepat berseru: "Adik, hati- hatilah ! Lekas cabut pedangmu, Mereka sakti sekali, engkau bukan lawannya!

Tanpa sebab dirinya telah dipukul oleh Jin Mo tadi, sebenarnya Gin Liong sudah marah. Kini melihat kedua iblis itu hendak menyerangnya lagi, dia segera tertawa menghina.

Sengaja ia hamburkan sebuah tertawa yang nyaring dan panjang sehingga kumandangnya bergema jauh sampai ke awan.

Mo Lan Hwa terkejut Saat itu ia  rasakan darahnya mendebur keras demi tergetar oleh nada tertawa pemuda itu. setitikpun ia tak mengira bahwa pemuda yang berwajah cakap itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sedemikian dahsyat

Kedua iblis itu adalah tokoh2 yang berpengalaman dalam dunia persilatan Mendengar hamburan tawa Gin Liong, seketika berobahlah wajah mereka mereka.

Dengan kerahkan seluruh tenaga mereka serempak menghantam. Angin pukulan mereka menimbulkan desus prahara dan deru yang dahsyat, berhamburan melanda Gin Liong.

Melihat serangan kedua bekas suhengnya itu, Mo Lan Hwa terkejut dan tanpa disadari ia menjerit kaget. Gin Liong memang baru pertama kali itu keluar dari gunung, Walaupun ia sudah mendapat pengalaman dari latihan berkelahi, tetapi ia tak tahu akan keadaan dunia persilatan yang penuh bahaya.

Cepat ia hentikan tawanya lalu gerakkan kedua tangannya menyongsong serangan lawan.

Tetapi sebelum tenaga pukulannya berkembang, pukulan dahsyat dari kedua iblis itu sudah melandanya. Bum . . . .

angin menderu dahsyat, salju bertebaran keempat penjuru.

Gin Liong terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Tiba2 Ceng Mo loncat menerjang hamburan salju dan dengan menggembor sekuatnya, ia menghantam lagi Gin Liong yang belum berdiri tegak.

Bum ., . .

Terdengar letupan keras dan kedua orang itupun tercerai, terhuyung-huyung. Melihat itu Jin Mo-pun tak mau memberi kesempatan ia enjot tubuhnya kemuka dan lontarkan sebuah hantaman kepada Gin Liong.

Dengan menggeram marah, Gin Liong cepat loncat mundur sampai tiga tombak jauhnya.

Mo Lan Hwa melengking kaget. Cepat ia  memutar pedang untuk menusuk tengkuk Jin Mo.

Pada saat Jin Mo terkejut karena sosok bayangan kuning (Gin Liong) yang berada di hadapannya itu menghilang, tiba2 dari belakang ia merasa disambar oleh setiap angin yang dingin. Cepat ia memekik dan tundukkan kepala lalu berjongkok ke tanah.

Sret . . . . mantel hitam dari Jin Mo telah tertusuk robek oleh ujung pedang Mo Lan Hwa. Jin Mo terkejut. Dengan gunakan jurus Keledai-malas- bergelundungan, dia terus berguling-guling ke tanah sampai dua tombak jauhnya. Kemudian cepat ia melenting bangun lagi, wajahnya pucat lesi, keringat dingin bercucuran.

Ceng Mo yang beradu pukulan dengan Gin Liong dan terhuyung-huyung pun segera berdiri tegak. Kedua iblis saling bertukar pandang lalu serempak mencabut pedang dan terus menyerang Mo Lan Hwa.

"Bunuh dulu budak perempuan ini, baru budak laki itu !" seru mereka.

Jin Mo gunakan jurus Pok-hun-kiau-jit atau Menyibak- awan-melihat-matahari. pedangnya berhamburan mencurah ke arah leher si nona.

Sedang Ceng Mo memainkan jurus Hok ie-jong-liong atau Naga - hitam-mendekam - ditanah, Ujung pedangnya melilit-lilit, menusuk kaki Mo Lan Hwa.

Mo Lan Hwa melengking seraya ayunkan pedangnya ke kanan kiri, membentuk sebuah lingkaran sinar untuk menyambut serangan kedua lawan.

"Berhenti !" tiba2 dari arah tiga tombak jauhnya terdengar suara bentakan menggeledek.

Jin Mo terperanjat dan buru2 hentikan serangannya seraya menyurut mundur beberapa langkah.

Kedua iblis itu serempak berputar tubuh ke belakang lalu memandang ke muka. Mereka terkesiap ketika melihat wajah Gin Liong memancar hawa pembunuhan dan tengah melangkah menghampiri. Tangan pemuda itu mencekal sebatang pedang bersinar merah berkilau, Mirip dengan senjata pusaka dari Ban Hong Liong-li dahulu. Ternyata yang berseru menyuruh kedua iblis itu berhenti, bukan lain adalah Mo Lan Hwa sendiri. Melihat  pedang Gin Liong, walaupun tak tahu asal usul pedang itu tetapi ia percaya tentu sebuah pusaka yang hebat.

"Kawanan tikus buduk, menyerang secara gelap bukan laku seorang gagah . . . . " sambil melangkah maju, Gin Liong memaki.

Kedua iblis itu berobah wajahnya, Tubuh mereka gemetar keras, cepat mereka menukas dengan menghambur tawa kemarahan. Tawa yang disaluri dengan tenaga dalam hebat sehingga Mo Lan Hwa sampai mendekap telinganya.

Gin Liong hentikan langkah, membentak: "Dihadapanku engkau berani bertingkah sedemikian congkak ? Hm, lekas siaplah menyambut seranganku."

Gin Liong menutup kata-katanya dengan taburkan pedangnya, Seketika pedang Tanduk Naga berkembang menjadi suatu lingkaran sinar merah yang gilang gemilang menyilaukan mata.

Sepasang iblis dari luar perbatasan itu segera hentikan tawanya, Mereka deliki mata dan mengertak gigi:

"Budak tak tahu malu, kalau tak diberi hajaran, engkau memang belum tahu kelihaian sepasang iblis dari luar perbatasan !"

Mereka segera melepaskan pengikat lehernya serta melemparkan mantel hitamnya ke tanah.

Melihat itu Mo Lan Hwa tertawa, ia tahu bahwa kedua iblis itu sudah ketakutan. Kalau tidak tentu takkan membuka mantel. Karena bertempur dengan membuka mantel berarti kurang sopan atau mengandung keputusan untuk mengadu jiwa. "Sudah, jangan banyak tingkah, hayo kalian boleh maju semua !" seru Gin Liong.

Kedua iblis itupun segera menjawab dengan memutar pedang, menyerang Gin Liong. Jin Mo di kanan dan Ceng Mo di kiri.

Gin Liong hanya mendengus geram. Dengan jurus Jit- gwat-kau-hui atau Matahari-rembulan-saling-bertemu, dia langsung membabat pedang kedua lawannya.

Sepasang iblis itu melengking aneh, nantikan langkah menarik pedangnya. Jika yang satu maju, yang lain berhenti. Yang satu diam. Mereka menyerang secara bergilir. Mencari-cari lubang kesempatan dan berusaha untuk menghindari benturan dengan pedang anak muda itu.

Gin Liong tertawa dingin. Tiba2 ia merobah gaya permainannya dalam jurus Jiu-cui-heng-cou atau  Air- musim rontok-menghadang-sampan. Dalam bentuk seperti sebuah busur, sinar pedang Tanduk Naga segera membabat dada orang.

Jin Mo tertawa mengekeh. Cepat ia menarik pulang pedang dan loncat mundur sampai dua tombak!

Tiba2 Gin Liong menarik pedang lalu tubuhnya berputar-putar menyelinap ke belakang Ceng Mo. Lalu dengan sebuah bentakan menggeledek, ia robah pula pedangnya dalam jurus Heng-soh-cian-kun (membabat- ribuan-laskar), Sring pedangpun melayang ke pinggang

Ceng Mo. Cepat dan dahsyatnya bukan buatan.

Serasa terbanglah semangat Ceng Mo dilanda serangan itu. Karena kejutnya ia sampai memekik lalu berputar tubuh dan tangkiskan pedangnya dalam jurus Hoa-te-kau-ping atau Menggurat-tanah-mengatur-tentara.

"Tring " Terdengar bunyi menggerincing tajam dan putuslah pedang Ceng Mo menjadi dua. Tiba2 Ceng Mo menjerit keras sekali dan rubuh ke tanah.

Gin Liong tertawa dingin lalu maju menghampiri dan mengangkat pedangnya untuk menyelesaikan nyawa iblis itu.

Melihat itu, Jin Mo terkejut, cepat ia ayunkan tubuh, menggembor keras dan menusuk dada Gin Liong.

Gin Liongpun mengisar langkah ke samping, memutar pedang dalam jurus Gong jiok-gui-peng atau Burung-gereja- membuka-pintu. menyongsong serangan lawan.

Rupanya Jin Mo tahu bahwa pedang lawan itu sebuah pusaka yang tiada tara tajam nya. Mengendapkan pedang ke bawah, ia ayunkan tangan kiri menghantam muka Gin Liong.

Tetapi terlambat, serempak dengan bunyi menggemerincing keras, pedangnyapun telah terpapas kutung oleh pedang Tanduk Naga.

Kali ini Jin Mo yang terbang semangatnya, Dia tak sempat memikir untuk melukai Gin liong lagi, ia segera jatuhkan diri berguling-guling di tanah dalam jurus Kiu-te- sip-pat-kun atau Delapan-belas kali-berguling ditanah.

"Hai tinggalkan nyawamu !" teriak Gin Liong seraya loncat dan membabat kedua kaki Jin Mo.

Pada saat itu tiba2 Mo Lan Hwa menjerit keras sehingga Gin Liong terkejut dan berpaling.

Sebuah benda yang berkilat-kilat meluncur deras kearah Gin Liong, Gin Liong menggeram, Berkisar tubuh ke samping, ia menghindari luncuran benda itu. Ketika mengamatinya, ternyata benda itu adalah kutungan pedang dari Ceng Mo telah menaburkan pedangnya yang hanya tinggal separoh itu kearah Gin Liong, demi menolong Jin Mo.

Gin Liong marah, Dengan menggembor keras. ia hendak memburu Ceng Mo tetapi tiba2 belakang tengkuk kepalanya disambar angin tajam.

Gin Liong tahu bahwa kali ini tentu Jin Mo yang menyerangnya dari belakang dengan melontarkan kutungan pedangnya, Cepat pemuda itu tundukkan kepala dan melayanglah kutung pedang itu melalui atas kepala pemuda itu.

Gin Liong benar2 marah sekali terhadap kedua iblis yang licik itu, Ketika mengangkat kepala, ternyata kedua iblis itu sudah terbirit-birit melarikan diri, jaraknya sudah berada sepuluhan tombak jauhnya.

"Adik, lekas kejar ! jangan biarkan mereka lolos, Kalau tidak, jangan harap engkau dapat hidup dengan tenang."

Habis berkata nona itupun terus ayunkan langkah mengejar lebih dahulu.

Gin Liong memang tak mau memberi ampun kepada kedua iblis itu, sebenarnya ia hendak mengejar mereka tetapi demi mendengar kata2 Mo Lan Hwa, ia malah tak mau ikut mengejar.

"Ho, aku memang sengaja hendak melepaskan manusia itu. Akan kulihat, mereka dapat berbuat apa terhadapku," serunya geram.

Mendengar itu, Mo Lan Hwa hentikan larinya dan berpaling kearah Gin Liong, ia marah sehingga wajahnya merah, Ketika mulutnya hendak meluncurkan kata2, tiba2 terdengar sebuah suara tawa yang nadanya rawan dan aneh. Gin Liong terkejut Menurutkan arah suara tawa itu, dilihatnya dari belakang bukit yang jaraknya diantara empat puluhan tombak, muncul sesosok bayangan menghadang kedua iblis tadi.

Ketika Gin Liong mencurahkan perhatian memandang ke muka, ternyata yang muncul itu seorang kakek tua renta berumur delapan puluhan tahun, Rambut pendek tetapi jenggotnya dipelihara panjang, putih mengkilap seperti salju.

Alisnya tebal mata bundar dan kepala besar. Mengenakan ma-kwa ( pakaian mancam ) yang menutup kaki.

Kakek itu mencekal sebatang pipa huncwe yang panjangnya sampai satu setengah meter, Kepala huncwe sebesar kepalan tangan orang.

Berhadapan dengan kakek itu, seketika gemetaran kedua iblis tadi. Serempak mereka jatuhkan diri berlutut dihadapannya.

Gin Liong kerutkan dahi, Dia merasa pernah kenal dengan kakek itu. Kalau tak salah dahulu suhunya pernah mengatakan bahwa kakek itu bernama Hok To-Beng bergelar Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas.

Dia salah seorang tokoh dari Swat-Thian Sam-yu atau Tiga Sahabat dari langit salju, Dia lah yang memiliki ilmu ginkang sakti Menginjak-salju-tanpa-meninggalkan-jejak.

Baru Gin Liong berpikir sampai disitu, tiba2 Mo Lan Hwa berteriak nyaring:

"Toa-suheng, mereka berdua telah menghina aku !" Dan nona itupun terus lari menghampiri Hok To Beng. Saat itu tergeraklah pikiran Gin Liong. Su-heng dari Mo Lan Hwa atau kakek Hok To Beng itu kemungkinan tahu siapakah kakek kurus dalam pondok itu. Paling tidak, Hok To Beng tentu tahu siapakah orang tua jenggot indah yang berwibawa sebagai seorang dewa itu.

Dengan memiliki harapan itu, Gin Liong sarungkan pedangnya lalu bergegas menghampiri ketempat Hok To Beng.

Belum tiba ditempat itu, Gin Liong sudah mendengar kedua iblis membela diri:

"Sudah banyak tahun siaute berdua tak pernah berkunjung untuk menghaturkan selamat kepada toa- suheng. Sungguh hati kami amat menyesal. Tadi siaute berdua bertemu dengan Mo sumoay. Belum sempat siaute menanyakan keadaan toa-suheng, Mo sumoay sudah marah2 dan mendamprat.

Mo Lan Hoa deliki mata dan melengking marah:

"Tutup mulutmu ! jangan ngaco belo tak keruan jual kebohongan. Apa yang kalian bicarakan ketika semalam berada dalam kota ? Apakah kalian pernah menanyakan kesehatan toa-suheng ? Dan tadipun, apa saja yang kalian ocehkan dihadapanku ?"

Kemudian nona itu menunjuk kearah Gin Liong yang sedang mendatangi katanya pula:

"Tanyakanlah kepada adikmu itu, apakah kalian tadi pernah bertanya tentang diri toa-suheng ? Hm..."

Orang tua rambut pendek kerutkan dahi, ia  gerakkan pipa huncwe untuk menyentuh lembut Mo Lan Hwa seraya berkata: "Sudahlah, sudahlah. Katakan lebih dulu urusanmu baru nanti giliran mereka !"

Kemudian Hok To Beng acungkan pipanya kearah Gin Liong yang saat itu sudah tiba dan berada satu tombak jauhnya, bertanya pula kepada Mo Lan Hwa:

"Kapan engkau mendapatkan seorang adik laki budak itu

? siapakah she dan namanya ? Dimana tempat tinggalnya dan berapakah umurnya ? Cobalah engkau terangkan lebih dahulu."

Habis mencurahkan hujan pertanyaan, orang tua rambut pendek itu menengadah memandang langit dan pasang telinganya untuk mendengarkan keterangan Mo Lan Hwa. Sama sekali tak mengacuhkan kepada kedua iblis yang masih berlutut di tanah itu.

Gin Liong mendapat kesan bahwa rambut pendek Hok To Beng itu seorang tua yang tak mempedulikan segala adat peraturan Dengan mempunyai seorang toa-suheng semacam itu, sudah tentu Mo Lan Hwa menjadi seorang nona yang suka membawa kemauan sendiri dan bebas tingkah lakunya !

Tampak Mo Lan Hwa melongo, wajahnya merah jengah. Sepasang biji matanya yang besar, berkeliaran Tiba2 ia tertawa lalu melambai Gin Liong.

"Adik, kemarilah," serunya "cobalah engkau tuturkan satu demi satu kepada toa- suheng."

Gin Liong terpaksa tertawa walaupun seperti orang meringis, Demi hendak mengetahui asal usul orang tua kurus dan orang tua jenggot indah itu, terpaksa ia tebalkan muka menghampiri. Melihat perawakan Gin Liong dan sepasang matanya yang bundar bersinar, diam2 orang tua rambut pendek itu terkejut.

"Bakat yang luar biasa bagusnya. Kelak anak ini tentu menjadi tokoh persilatan yang cemerlang di angkasa persilatan," diam2 Hok Tek Bong menimbang dalam hati.

Tetapi karena melihat wajah toa-suhengnya mendadak berobah, berdebarlah hati Mo Lan Hwa. Tetapi ia bersikap setenang mungkin.

Berhenti pada jarak lima langkah dari orang tua rambut pendek, Gin Liongpun memberi hormat.

"Siau Gin Liong menghaturkan hormat kepada locianpwe," serunya disertai dengan membungkuk tubuh.

Tiba2 Hok Tek Beng tertawa gembira, Nada tawanya amat sedap didengar setelah berhenti tertawa, dia mengelus- elus jenggotnya yang putih dan berseru gembira:

"Saudara, apakah engkau adik lelaki dari siaumoay ku ? Aku adalah toa-suhengnya Mengapa engkau menyebut lo cianpwe kepadaku ? Yang benar, engkau sebut saja lo- koko."

Habis berkata ia tertawa gelak2.

Sudah tentu Mo Lan Hwa girang sekali,

Dia tahu kalau toa- suhengnya suka pada pemuda itu.

Muka segera ia berkata kepada Gin Liong:

"Adik, lekaslah engkau ceritakan apa yang terjadi tadi..." "Toa-suheng tiba2 kedua iblis yang masih berlutut di

tanah mendahului membuka suara," budak itu bukan adik lelaki dari Mo sumoay ..." "Tutup mulut !"  bentak orang tua rambut  pendek. Suaranya seperti halilintar menyambar sehingga Gin Liongpun sampai tergetar jantungnya.

Seketika kedua iblis itu pucat wajahnya dan keringat dinginpun bercucuran membasahi tubuh mereka, Dengan pandang mata penuh dendam, mereka memandang Mo Lan Hwa dan Gin Liong.

orang tua rambut pendek itu melanjutkan kata-katanya: "Segala tingkah lakumu yang tak senonoh di luaran aku tahu semua. Sebelum menutup mata, suhu telah memberi pesan kepadaku supaya mencabut ilmu kepandaian kalian, Tetapi sampai sebegitu jauh, aku masih belum sampai hati."

Habis berkata ia kiblatkan pipanya ke muka kedua orang itu sehingga mereka pejamkan mata, gemetar dan kucurkan keringat dingin. Mereka diam mematung tak berani berkutik sama sekali.

"Sudah banyak kali aku menerima teguran dari beberapa kawan yang menuduh aku sengaja memelihara murid khianat dan tak mau memikirkan keselamatan dunia persilatan. Hm, hari ini, sekali lagi kuberi kalian ampun..."

Mendengar itu menjeritlah Mo Lan Hwa seraya lari ke samping toa-suhengnya. Memegang lengan orang tua itu dan berseru dengan gopoh:

"Toa-suheng, kali ini janganlah memberi ampun mereka, Kalau tidak, bagaimana engkau hendak memberi pertanggungan jawab kepada Hong dan Cui berdua lo-koko nanti..."

Gin Liong cepat dapat menduga bahwa yang disebut Hong (Gila) dan Cui (pemabuk) lo-koko oleh Mo Lan Hwa itu tentulah kedua tokoh yang lain dari Swat-san Sam-yu, Lengkapnya mereka bernama Hong-lian-sian dan Cui-sian- ong.

Dan Gin Liongpun cepat dapat menduga bahwa orang tua rambut pendek yang berada dihadapannya itu pasti Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas yang paling aneh wataknya diantara Swat-thian Sam-yu.

Memang ketiga tokoh dari Swat-thian Sam-yu itu gemar berkelana keseluruh penjuru. Mereka termasyhur dengan ilmu ginkangnya yang sakti.

Serentak Gin Liongpun teringat akan nyanyian yang tersebar dalam dunia persilatan.

Dalam ilmu ginkang. Swat-thian Sam-yu  paling menjagoi

Hong-tian-siu Kakek Gila, terbang diatas rumput.

Kim-yan-tay si Tabung-tembakau-mas menginjak salju tanpa bekas.

Cui-sian-ong si Dewa Pemabuk, melintas sungai dengan sebatang rumput ilalang...

Teringat akan syair itu, tergetarlah hati Gin Liong. Sedang Mo Lan Hwa tetap mencekal lengan toa-suhengnya, menghendaki supaya toa-suhengnya jangan melepaskan kedua iblis.

Kim-yan-tay Hok To Beng bungkam. Hanya matanya yang berkilat-kilat memancar sinar. Rupanya dia masih ragu2 untuk mengambil keputusan.

Pipa tabung tembakau yang berada ditangannya, pelahan-lahan bergerak di muka kedua iblis, Asal orang tua itu sekali menutuk, kedua iblis itu pasti akan rubuh berlumuran darah. Kedua iblis itu berlutut tegak. Wajahnya tegang dan cemas. Matanya berkilat-kilat mengikuti pipa tabung tembakau. Keringat dingin bercucuran deras membasahi mukanya.

Tiba2 Hok To Beng menggeleng kepala dan menghela napas pelahan. Rupanya ia merasa tak enak untuk menarik kembali ucapannya tadi.

"Kalian boleh pergi." katanya dengan nada berat "kalau kelak masih berani melakukan kejahatan lagi, jangan sesalkan aku tak ingat pernah menjadi saudara seperguruan dengan kalian."

Kemudian jago tua itu menengadah memandang langit, Tampaknya ia seperti minta maaf kepada arwah suhunya yang berada di alam baka karena tak melakukan perintahnya.

Melihat toa- suhengnya benar2 melepaskan kedua iblis itu, karena marah, Mo Lan Hwa sampai menggigil keras.

Kedua iblis itupun segera meniarap ketanah dan serempak berseru:

"Terima kasih atas kemurahan hati toa-su-heng. Siau-te berdua mohon diri."

Setelah bangun, kedua iblis itu masih menyempatkan diri untuk memandang dengan sorot mata penuh dendam kepada Gin Liong, Mo Lan Hwa dan Hok To Beng.

Gin Liong terkejut. Menilik muka dan sorot mata kedua iblis itu, rupanya mereka masih penasaran Gin Liongpun tak mau melepaskan pandang matanya kearah langsung kedua iblis itu. Sekonyong-konyong, baru setombak kedua iblis itu melangkah, mereka berhenti dan secepat kilat berputar tubuh seraya mendorongkan kedua tangan sekuat-kuatnya.

Serentak angin pukulan yang dahsyat melanda kearah Gin Liong bertiga, Tetapi karena Gin Liong sudah memperhatikan gerak gerik kedua orang itu, maka cepat iapun segera menggembor keras:

"Kawanan tikus, kalian hendak cari mampus..."

Kata2 itu diserempaki dengan menyongsongkan kedua tangannya kemuka. Dalam pada itu Hok To Bengpun kebaskan sepasang lengan bajunya, menggembor keras dan melambung ke udara.

"Bum . . ."

Terdengar letupan dahsyat dan deru angin menghamburkan salju, Disusul dengan derap kaki terhuyung-huyungpun susul menyusul terdengar.

Ketika Gin Liong memandang seksama, dilihatnya Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok To Beng sudah melayang di udara dan bagaikan burung garuda dia menukik kearah kedua iblis yang terhuyung-huyung kebelakang itu.

"Manusia berhati serigala kalian ini..." teriak Hok To Beng. Sinar emas berkelebat dan terdengarlah dua buah jeritan yang menyeramkan. Darah berhamburan ke udara dan rubuhlah kedua iblis itu ke tanah untuk selama- lamanya.

Ketika Gin Liong berpaling, ia terkejut sekali Ternyata Mo Lan Hwa telah rubuh di tanah salju, Cepat ia loncat menghampiri dan mengangkat tubuh nona itu, Dilihatnya wajah nona itu pucat seperti kertas mata meram napas lemah. Gin Liong tahu bahwa kali ini, Mo Lan Hwa memang benar2 pingsan sungguh, ia bingung, lalu merogoh kedalam bajunya.

Saat itu Hok To Bengpun sudah melayang tiba dan berjongkok memeriksa, Setelah meraba dada sumoaynya, Hok To Beng agak tenang.

Mengangkat muka, dilihatnya Gin Liong sedang sibuk merogohi bajunya.

"Eh, cari apa engkau ?" tegurnya. "Katak salju," sahut Gin Liong.

Hok To Beng terkesiap, serunya gopoh: "Engkau taruh dimana ?"

"Entah bagaimana, tahu2 binatang itu jatuh," sahut Gin Liong hambar.

"Jatuh dimana ?" Hok To Beng makin tegang. Gin Liong segera menerangkan:

"Semalam aku menderita luka, karena tak dapat mengambil air, katak salju itu terpaksa kumasukkan dalam mulut..."

"Tolol engkau," Hok To Beng tertawa, "sudah tentu binatang itu meluncur masak kedalam perutmu, Ai, mengapa dicari lagi ?"

Gin Liong terbeliak, Saat itu baru ia menyadari apa sebab tenaga dalamnya tiba2 berobah hebat sekali, Sekali dorongkan tangan ia mampu membuat si Jenggot terbang mencelat sampai beberapa tombak.

"Sudahlah, siau-hengte," Hok To Beng menghiburnya, "siaumoay-ku hanya pingsan karena menderita rasa kejut yang berasal dari angin pukulan kedua iblis itu. Asal engkau mau menyalurkan tenaga-dalam dengan telapak tangan pada perutnya, dia tentu akan siuman."

Merah wajah Gin Liong tetapi apa boleh buat. Terpaksa ia melakukan hal itu juga. Sesaat tangan Gin Liong melekat pada perut Mo Lan Hwa. nona itu segera terdengar menghela napas panjang dan membuka mata.

Melihat dirinya berada dalam pelukan Gin Liong, merahlah wajah nona itu. Jantungnya mendebur keras, sepasang matanya memandang mesra pada wajan pemuda tampan itu. Mulutnyapun merekah senyum manis, rupanya ia mengharap agar pemuda itu jangan melepaskan tangannya.

Darah Gin Liong-pun menggelora keras, jantung berdebar-debar, Pada saat ia hendak mendorong tubuh si nona supaya bangun, tiba- nona itu memekik dan terus melenting berdiri.

Gin Liong terkesiap, Ah, ternyata Mo Lan Hwa dengan wajah tersipu-sipu malu tengah lari menghampiri Hok To Beng yang berdiri setombak jauhnya dari tempat mereka.

Ternyata sejak tadi Hok To Beng mengawasi kedua anak muda itu sambil mengelus-elus jenggot dan tersenyum simpul.

Gin Liongpun cepat berbangkit.

Sambil menubruk dada Hok To Beng, Mo Lan Hwa menggentak-gentakkan kaki dan memekik-mekik manja: "Toa-suheng tak suka kepadaku..."

Sambil memegang bahu nona itu Hok To Beng tertawa gelak2.

"Jangan ribut, jangan ribut, Siapa bilang aku tak sayang kepadamu ?" "Tadi aku pingsan mengapa engkau tak menolong ?" masih nona itu menjerit manja.

Hok To Beng tertawa gelak2 pula.

"Sudah ada seorang adik yang menolong, mengapa toa- suheng harus ikut campur ?"

Mendengar itu merahlah selembar wajah Mo Lan Hwa.

Cepat ia susupkan kepalanya ke dada Hok To Beng.

"Kalau aku mengurus dirimu, kedua manusia berhati serigala itu tentu dapat melarikan diri," kata Hok To Beng menghiburnya.

Mendengar itu baru Mo Lan Hwa lepaskan diri dari dada toa-suhengnya dan memandang ke-arah mayat kedua iblis, ia bersyukur karena iblis perusak wanita itu sudah  mati.

Karena hari sudah petang, Hok To Beng menyerahkan pedang milik Mo Lan Hwa kepada nona supaya disimpannya.

Gin Liong menghampiri memberi hormat kepada Hok To Beng, Tetapi pada saat ia hendak membuka mulut, Mo Lan Hwa tertawa geli.

Gin Liong terkesiap sehingga kehilangan kata2 yang hendak diucapkan Melihat itu Lan Hwa makin tertawa geli.

"Mau apa engkau ini ? Mengapa tampaknya begitu resmi itu ?" seru si nona.

Hok To Beng tertawa gelak2, serunya:

"Rupanya sian-hengte tentu berasal dari perguruan yang termasyhur sehingga dia masih kukuh dengan tata cara, membedakan yang tua dengan muda. Tidak seperti lo-koko yang begini liar. Mau bilang apa terus bilang, mau berbuat apa, pun terus berbuat saja. Asal sesuai dengan garis kebenaran, aku tak peduli dengan segala macam peraturan raja."

Berhenti sejenak tiba2 ia bertanya: "Siau-hengte, maukah engkau memberi tahu nama perguruanmu ?"

Walaupun tahu bahwa memang tokoh2 aneh dalam dunia persilatan itu tak menghiraukan soal tata cara adat istiadat tetapi ia belum tahu benar akan peribadi Hok To Beng, Maka ia tak berani sembarangan berkata, Setelah memberi hormat ia berkata:

"Wanpwe..."

"Ih, apa-apaan itu wanpwe ? Lo-koko tetap lo-koko, harus dipanggil lo-koko. Siau-hengtepun tetap harus disebut siau-hengte, Mengapa engkau masih berkukuh menyebut cianpwe dan wanpwe begitu macam ?" tiba2 Lan Hwa melengking.

Mendengar itu merahlah muka Gin Liong, ia hendak balas menyemprot nona itu tetapi tiba2 Hok To Beng menukas dengan tertawa gelak-gelak:

"Siau-hengte, bersikaplah wajar saja. Tak perlu terlalu menghormat Lo-koko tak mempersoalkan urusan begitu."

Teringat Gin Liong akan pesan suhunya. Bila berhadapan dengan tokoh2 aneh dalam dunia persilatan harus hati2 dan menghormat Paling baik turuti saja mereka.

"Baiklah, lo-koko," serunya sesaat kemudian, "siaute akan menurut perintah lo-koko."

Hok To Bengpun tertawa gelak2, ia puas melihat sikap Gin Liong yang cepat dapat menyesuaikan keadaan.

Bukan kepalang girang Mo Lan Hwa. Karuan bibir merekah tawa maka tampaklah baris giginya yang putih seperti untaian mutiara, "Adik, beritahukan nama perguruanmu kepada lo-koko," segera ia berseru.

Dengan wajah serius, berkatalah Gin Liong.

"Aku menerima pelajaran silat dari guruku Liau Ceng taysu, kepala kuil Leng-hun-si di puncak Hwe-sian-hong !"

Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok To Beng kerutkan alis, merenung, Pipa huncwenya bergetar2. Rupanya jago tua itu sedang menggali ingatan tentang diri Liau Ceng taysu.

Melihat wajah toa-suhengnya, tahulah Mo Lan Hwa bahwa suhu dari Gin Liong jitu tentu seorang paderi yang tak terkenal. Apabila memang seorang tokoh terkenal tentu dengan mudah toa-suhengnya dapat mengenali. Karena boleh dikata, hampir semua tokoh2 persilatan yang ternama, Hok To Beng itu mengenalnya, Apalagi hanya didaerah puncak  Hwe-sian-hong gunung Tiang-pek-san yang begitu dekat.

Kuatir kalau Gin Liong gelisah, cepat2 Mo Lan Hwa berseru: "Toa-suheng, aku sudah teringat."

Hok To Beng terkesiap, serunya: "Siapa ?"

"Toa-suheng, mengapa makin tua engkau makin linglung," seru Mo Lan Hwa dengan nada sok tahu, "apakah engkau lupa ketika naik ke Hwe sian-hong, bertemu dengan seorang paderi tua yang mengenakan jubah

?"

Sesungguhnya Gin Liong tak peduli ketika melihat kedua orang itu tak kenal kepada suhunya. Tetapi demi mendengar ucapan Mo Lan Hwa, hampir ia  tak dapat menahan gelinya. "Ih, ada2 saja nona itu. paderi tentu memakai jubah, masakan pakai pakaian makwa seperti orang biasa," pikirnya.

Mo Lan Hwa memang hendak membingungkan pikiran toa-suhengnya agar jangan melanjutkan pemikirannya untuk mengingat-ingat nama Liau Ceng taysu itu.

"Ah, aku benar2 tak ingat lagi," seru Hok To seraya gelengkan kepala.

Ucapan toa-suhengnya itu benar2 membuat si nona bingung, ia tahu bahwa Gin Liong memandangnya lekat2 sehingga ia tak leluasa memberi isyarat mata kepada toa- suhengnya.

"Ah, makin tua engkau memang makin limbung," akhirnya sekenanya saja nona itu berkata, "apakah engkau lupa akan lo-siansu yang wajahnya merah segar, alisnya tebal dan mata jernih, memelihara jenggot yang begini panjang "

Nona itu segera ulurkan tangannya, ditempelkan ke dadanya sendiri seakan menunjukkan ukuran panjang jenggot lo - siansu atau paderi tua itu.

Gin Liong terpaksa tertawa, Cepat ia menyeletuk: "Ah, mungkin yang kalian jumpai itu su-siokcou-ku "

Hok To Beng tak marah karena diolok-olok sinona. ia malah tertawa sambil mengurut2 jenggotnya. Kemudian berseru kepada Gin Liong: "Ya, ya, lo-koko memang sudah tua sehingga tak tahu siapakah gurumu itu."

Gin Liong hanya tertawa saja.

Tiba2 Hok To Beng berpaling dan bertanya kepada Mo Lan Hwa: "Siau-moay, apakah engkau sudah memperoleh kabar?" "Sebelum tiba di tempatnya, aku sudah dihadang kedua iblis itu." Mo Lan Hwa bersungut-sungut.

"Kalau begitu, baiklah kita sama2 pergi kesana," Hok To Beng tersenyum. Lalu berpaling kearah Gin Liong.

"Siau-hengte, pernah engkau mendengar bahwa lebih kurang sebulan yang lalu, dirumah pondok dalam tanah lapang disebelah depan itu, muncul seorang tua membawa kaca cermin ? tanyanya.

Gin Liong menyahut: "Belum, tetapi..."

"Kalau begitu, ayolah kita sama2 melihat ke sana !"ajak Hek To Beng.

"Tidak, semalam aku sudah kesana..."

Hek To Beng terkesiap. Lalu bergegas  tanya: "Bagaimana caramu pergi ke sana ?"

"Sebenarnya aku tak sengaja ke tempat itu. Aku tak tahu bahwa tempat itu merupakan sebuah tanah lapang yang tak terurus. Dan tak tahu bahwa disitu terdapat sebuah rumah pondok berisi seorang tua membawa cermin, Karena kebetulan jalan melalui hutan kecil itu, baru kutahu tentang pondok dan orang tua kurus itu," Gin Liong memberi keterangan.

"Ih, ketahuilah." seru Mo Lan Hwa terkejut, "tiga tombak sekeliling pondok itu, sangat berbahaya sekali. orang tua pembawa kaca itu dapat melepaskan pukulan maut."

Gin Liong gelengkan kepala.

"Terdorong oleh keinginan tahu, aku tetap menghampiri jendela pondok, Tetapi ternyata tak mendapat  bahaya apa.2" kata Gin Liong, Rupanya Hok To Beng kurang percaya, Tetapi  ia percaya Gin Liong itu bukan seorang pemuda yang suka bohong, Maka bertanialah ia untuk menyelidik:

"Siau-hengte, apa lagi yang engkau lihat dalam pondok itu ?"

Tanpa ragu2 Gin Liong menjawab. "Diatas meja yang berada dihadapan orang tua kurus itu, terdapat sebuah cermin yang gilang gemilang menyilaukan mata !"

"Adik tolol," tiba2 Mo Lan Hwa menyeletuk," itulah  kaca wasiat Te-kia (Kaca Bumi) dari seorang paderi sakti yang hidup tiga ratus tahun yang lalu, Segala benda pusaka yang tertanam di tanah, asal pada malam hari disorot dengan sinar kaca wasiat itu, tentu benda dalam tanah itu akan memancarkan sinarnya keluar, jika engkau sudah menghampiri ke jendela, mengapa engkau tak mengambil kaca wasiat itu ?"

Gin Liong tersenyum dan geleng2 kepala.

"Siau-hengte," Hok To Bengpun ikut berkata, "kalau saat itu engkau mengambilnya, tentu saat ini engkau, mendapat julukan adik tolol dari tacimu itu."

Mo Lan Hwa merah mukanya, ia hanya cibirkan bibirnya dan tak berkata apa2 lagi.

"Lo-koko. siapakah orang tua kurus itu ?" tiba2 Gin Liong bertanya.

Hok To Beng gelengkan kepala: "Selama belum melihat sendiri orang itu, aku tak berani memastikan dirinya siapa, Nanti apabila sudah melihatnya, baru kita ketahui  orang itu, Tetapi kurasa tak mungkin paderi sakti pemilik kaca itu."

Gin Liong kecewa. "Ah, semalam dia sudah pergi."

"Benarkah begitu, adik ?" teriak Mo Lan jiwa dengan nada tegang.

Gin Liong mengangguk.

"Apa yang dikatakan siau-hengte kemungkinan benar," kata Hok To Beng, "ketika aku datang kemari, diatas puncak disebelah muka itu aku bertemu dengan beberapa tokoh persilatan. Tampak mereka lagi bergegas-gegas menuju keluar gunung."

"Toa-suheng, kita akan meninjau ke pondok itu atau tidak ?" tanya Mo Lan Hwa.

"Sekarang tiada gunanya," Hok To Beng gelengkan kepala, kemudian ia memandang ke langit, katanya pula, "sekarang hampir tengah hari" Dengan ilmu lari cepat yang kita miliki, kiranya kita masih dapat mencapai kota kecil di bawah gunung untuk makan siang."

Karena kuatir Gin Liong akan pergi maka cepat2 Mo  Lan Hwa berseru: "Ya, baiklah, aku memang hendak berlomba lari dengan adik."

Gin Liong tertawa hambar.

"Ilmu ginkang taci sudah termasyhur di Say-gwa (luar perbatasan). Sedang, Sedang ilmu ginkang lo-koko tiada tandingnya dalam dunia persilatan. Mana aku mampu menandingi ? Ah, aku menyerah saja."

Mendengar dirinya dipanggil taci, hampir Mo Lan Hwa tak percaya pendengarannya.

"Adik, engkau menyebut aku taci ?" serunya menegas.

Gin Liong terkesiap lalu menyahut: "Engkau memanggil aku adik, apakah tak selayaknya aku menyebutmu taci ?" Mo Lan Hwa mengangguk gembira, serunya: "Ya, memang selayaknya begitu."

Rupanya karena dilanda luap kegembiraan, nona- itu tak

tahu harus berkata apa. Tiba2 ia berputar tubuh dan mencekal lengan kanan Hok To Beng dan diguncang- guncangnya.

"Toa-suheng, layak atau tidak kalau adik itu menyebut aku taci ?"

Hok To Beng juga gembira sekali, ia tertawa gelak2: "Ya, ya, memang selayaknya."

"Toa-suheng, mari, kita cepat ke kota itu. Nanti engkau boleh minum beberapa cawan lagi, "seru Mo Lan Hwa.

"Bagus. hari ini aku boleh mabuk lagi," Hok To Bengpun tertawa girang, Tiba2 ia enjot tubuhnya sampai beberapa tombak di udara, sekali mengebut lengan baju, diapun meluncur pesat sekali.

Melihat bagaimana dengan dua kali gerakan saja, Hok To Beng sudah berada dimuka lembah salju, diam2 Gin Liong memuji.

"Ah, tak kecewa dia mendapat gelaran nama yang indah "Menginjak - salju - tanpa - jejak, ilmu ginkangnya memang luar biasa hebatnya."

"Adik tolol, mengapa diam saja ? Lekaslah kejar, kalau terlambat sedikit saja. engkau pasti takkan melihat bayangan lo-koko lagi," tiba2 Mo Lan Hwa menegur Dan ia sendiripun terus meluncur kemuka, cepatnya seperti anak panah terlepas dari busur. Yang tampak hanya segulung asap merah yang. bertebaran diatas permukaan salju tanah, juga nona itu layak mendapat gelar nama sebagai Swat-te- biau-hong atau Tanah-salju-bertebar-merah. "Hm, jika saat ini tak kucoba ilmu ginkang Angin- meniup-petir-menyambar ajaran suhu, apabila  turun gunung aku tentu tak mempunyai kesempatan untuk mencobanya lagi, diam2 Gin Liong menimang.

Setelah mengerahkan seluruh hawa murni, segera ia meluncur kemuka, pikirannya hanya tertumpah pada ilmu lari itu dan sesaat kemudian ia mendengar angin menderu- deru disisi telinganya.

Karena kuatir Gin Liong akan tertinggal jauh maka Mo Lan Hwa sengaja tak mau pesatkan larinya. Tak henti- hentinya ia berpaling. Tetapi setiap kali berpaling ia terkejut karena Gin Liong telah mengejarnya dengan pesat.

Melihat itu Mo Lan Hwa segera menambah kecepatannya. Saat itu segera ia melihat dibawah kaki bukit, melingkar-lingkar seperti ular panjang, Orang  berjalan hilir mudik.

Melihat Mo Lan Hwa menambah kecepatan, Gin Liongpun tersenyum. Tetapi ketika memandang Hok To Beng, ia  agak terbeliak, Tubuh Hok To Beng sudah meluncar turun ke kaki bukit.

Sebagai seorang pemuda sudah tentu Gin Liong masih berdarah panas, seketika timbul nafsunya untuk memenangkan perlombaan itu. jika tadi ia menggunakan gerak ilmu lari Angin meniup, saat itu segera ia  robah menjadi gerak Petir-menyambar

Tubuh pemuda itu segera berobah seperti segulung asap yang meluncur seperti terbang. Ada suatu ciri aneh dalam gerak lari Petir-menyambar itu. Bahwa sepasang kaki Gin Liong mengeluarkan suara desis mirip kumandang petir.

Mo Lan Hwa yang tengah lari se-kencang2 nya terkejut ketika mendengar dari arah belakang seperti bunyi mendesis-desis, ia berpaling dan kejutnya makin bertambah ketika melihat segumpal asap warna kuning tengah meluncur terbang.

Karena heran ia memandang dengan seksama, Tetapi tiba2 gumpalan asap kuning itupun sudah lenyap dari pandang mata.

Mo Lan Hwa memandang kemuka lagi- Ah. hampir ia tak percaya pada matanya ketika dilihatnya gumpal asap kuning itu sudah mengejar di belakang tua suhengnya.

Hok To Bengpun mendengar juga suara mendesis itu. Dia terkejut dan cepat berpaling kebelakang. Ah, ternyata Gin Liong sudah berada di belakangnya Diam2 ia meragukan diri tokoh yang menjadi suhu dari Gin Liong.

Segera ia pindahkan pipanya ke tangan kiri dan diam2 kerahkan tenaga, siap dihantamkan ke belakang.

Saat itu Gin Liong makin mendekati jaraknya dengan Hok To Beng tidak lagi ratusan tombak tetapi hanya puluhan tombak saja, juga dengan jalanan di kaki bukit hanya terpisah tak sampai satu li.

Gin Liong tersenyum dan makin mendekati Hok To Beng.

Gerakan dari Gin Liong yang menimbulkan suara desis itu makin terdengar jelas oleh Hok To Beng, Sekonyong- konyong setelah memperhitungkan jaraknya, Hok To Beng meggembor keras dan secepat kilat mencengkeram siku lengan kanan Gin Liong,

Gin Liong terkejut Segera ia gunakan  gerak Liong-li- biau, menghindar dan terus melanjut turun kebawah gunung, cengkeramannya luput, Hok To Beng. makin terkejut, serunya: "Siau hengte, engkau memang " Dia terus loncat menerkam. Demikian keduanya segera seperti orang terkam menerkam, jaraknya hanya satu meter, Sekilas pandang menyerupai dua ekor burung rajawali yang tengah bertarung hebat, meluncur dari udara.

Menilik nada teriakan Hok To Beng itu, tahulah Gin Liong bahwa tokoh itu tidak mengandung perasaan dengki terhadapnya Ketegangan hatinyapun mereda.

Mo Lan Hwa yang masih berada pada jarak seratusan tombak tampak pucat wajahnya ketika melihat gerak gerik toa-suhengnya.

"Toa-suheng, jangan..." ia tak dapat melanjutkan kata- katanya karena tersumbat oleh air-mata yang bercucuran

Mendengar teriakan nona itu, Sin Liong terkesiap, ia lambatkan larinya dan membiarkan bahunya dijamah oleh Hok To Beng.

Setelah keduanya berdiri tegak, dengan wajah keheranan, Hok To Beng berulang menepuk-nepuk bahu Gin Liong.

"Siau hengte, bilanglah sejujurnya..." Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-katanya karena dilihatnya Gin Liong berpaling memandang ke lereng gunung dan seketika wajahnya berobah lalu berteriak: "Taci, pelahan lahan saja..."

Gin Liongpun terus menyelinap lari keatas lereng. Hok To Beng terkejut dan ikut berpaling, Kejutnya bukan kepalang Mo Lan Hwa yang lari secepat angin tidak mau mengurangi kecepatannya ketika saat itu tiba di kaki bukit.

Gin Liongpun sudah melayang tiba lalu dengan apungkan tubuh melambung dan menyambar pinggang Mo Lan Kwa terus dibawa turun dari lereng. Hok To Beng maju menyambuti dengan hati2 sekali. Melihat toa-suhengnya, Mo Lan Hwa segera susupkan kepala ke dada Hok To Beng dan menangis manja.

Hok To Beng mengelus-elus kepala sumoay-nya dengan perasaan cemas. ia duga tentu terjadi sesuatu dengan Mo Lan Hwa, Tetapi pada lain kilas, ia menyadari apa yang menyebabkan sumoay-nya menangis. Segera ia tertawa gelak2.

Gin Liong terbeliak mematung. Dia merasa tadi Mo Lan Hwa amat gembira ketika ia memangginya dengan sebutan taci, Tetapi kini setelah ia memberi pertolongan agar nona itu jangan sampai menderita bahaya, mengapa malah tak senang dan menangis.

Tiba2 pula Gin Liong teringat sumoaynya yang ketika ditinggali pergi masih sakit dan tidur di pembaringan. Teringat akan diri Ki Yok Lan mengganggu hatinya, Diam2 ia berjanji kepada dirinya sendiri, tak boleh sekali-kali salah langkah sehingga mencelakai orang, Dan selagi belum berlarut-larut, ia harus segera meninggalkan Hok To Beng dan Mo Lan Hwa.

Saat itu Hok To Beng berhenti tertawa lalu pelahan- lahan mendorong Mo Lan Hwa kesamping, mengusap airmata gadis itu dan menghiburnya:

"Siaumoay, apakah engkau kuatir kalau aku akan mencelakai adikmu itu ? Ha, moay tolol, aku  bertiga dengan engkohmu si Gila dan engkohmu si pemabuk itu, tak boleh mengganggu bocah itu!"

Mo Lan Hwa girang sekali, Sejenak memandang Gin Liong, ia tertawa gembira. Gin Liong tersipu-sipu merah dan terpaksa ikut tertawa, Melihat itu Hok To Bengpun tertawa gelak2. Kemudian menatap Gin Liong dan berseru dengan serius:

"Siau hengte, bilanglah terus terang, jangan membohongi lo-koko. siapakah sesungguhnya gurumu itu ?"

Dengan wajah serius, Gin Liongpun menjawab: "Masakan aku berani membohongi lo-koko. Guruku

memang benar2 kepala dari kuil Leng-hun-si..."

"Aku maksudkan seseorang, apakah siau hengte tentu tahu !" tukas Hok To Beng.

"Jika tahu masakan aku tak mau mengatakan," kata Gin Liong,

Sejenak memancarkan sinar kilat pada  pandang matanya, Hok To Beng menatap lekat2 pada wajah Gin Liong yang cakap, Rupanya ia hendak menyelidiki apakah Gin Liong itu bohong atau tidak.

"Seorang tunas muda yang menggemparkan dunia persilatan dengan nama Pelajar-wajah-kumala Kiong Cu Hun, tahukah siau-hengte ?"

Seketika berobahlah wajah Gin Liong. Air-matanya berderai-derai turun. Lalu dengan nada menghormat ia berkata:

"Memang dia adalah guruku."

Hok To Beng mengelus-elus jenggotnya dan tertawa gelak2.

"Seorang jago muda yang cemerlang, karena berkecimpung dalam dunia yang penuh debu2 dosa akhirnya masuk kedalam biara, seharusnya aku si manusia tua yang tak mati2 ini, harus mengikuti jejaknya masuk kedalam biara untuk mensucikan diri." Kemudian ia berkata pula kepada Gin Liong, "Dengan gurumu sudah hampir sepuluh tahun tak bertemu, Lusa aku tentu akan memerlukan berkunjung..."

Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-katanya, karena ia melihat Gin Liong masih berlinang-linang airmata. Cepat ia menghiburnya: "Siau-hengte..."

Rupanya Gin Liong tak kuasa menahan luapan kesedihannya, Dengan airmata bercucuran ia berkata:

"Beberapa hari yang lalu, guruku telah dibunuh oleh orang jahat, Lo-koko takkan bertemu lagi selama-lamanya."

Bukan kepalang kejut Hok To Beng mendengar keterangan itu. Seketika seri wajahnya berobah tegang, serunya:

"Siapakah seorang yang memiliki ilmu sedemikian saktinya, sekalipun empat serangkai Bu-lim-su ih  yang termasyhur itu, juga sukar untuk mencelakai gurumu."

Hok To Beng berhenti sejenak lalu melanjutkan kata- katanya pula:

"Siau-hengte, kurasa pembunuh itu tentu orang yang dekat dengan suhumu. Entah siapakah yang menyaksikan peristiwa itu dan apakah terdapat bukti2 yang dapat menjadi bahan mencari jejak pembunuh itu, harap siau- hengte mengatakan dengan terus terang, Mudah mudahan aku dapat membantu untuk memecahkan jejak rahasia dari pembunuh gelap itu."

Tiba2 Mo Lan Hwa mengambil sapu dan mengusap airmata Gin Liong, Pemuda itu merasa sungkan sekali.

Tiba2 ia mencabut sebatang badik emas yang terselip dalam pinggangnya, katanya: "Inilah senjata yang ditinggalkan oleh pembunuh gelap itu."

Menyambuti badik emas itu, wajah Hok To Beng agak berobah.

"lnilah badik Kim-wan-to yang dapat memotong besi seperti memotong tanah, Rambut yang ditiup kearah mata badik itu tentu putus, Yang menggunakan badik semacam ini kebanyakan orang2 persilatan dari daerah Biau."

Gin Liong tergetar hatinya, Dia baru sadar bahwa Hok To Beng, pendekar yang aneh dalam dunia persilatan itu, memang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang amat luas.

Mo Lan Hwa yang ikut memeriksa, segera menuding kearah empat buah huruf pada batang badik golok emas itu, serunya:

"Toa-suheng, lihatlah, apa artinya keempat huruf itu?"

Hok To Beng kerutkan dahi dan berkata: "Mungkin nama dari seorang wanita Biau." Kembali hati Gin Liong tergetar keras, Dia makin kagum atas penilaian yang tajam dari Hok To Beng.

Tiba2 Mo Lan Hwa melengking gembira: "Ooo, Wulanasa, sungguh sebuah nama yang indah !"

Segera Sin Liong memberi keterangan:

"ltulah Ban Hong liong-li lo cianpwe..."

Mendengar itu Hok To Beng berobah wajahnya, serunya gopoh:

"Ban Hong Liong-li ? Kemarin sebelum mata hari terbenam aku masih berjumpa dengan dia di kota kecil muka itu. Budak itu memang tergila2 dengan Kwan Cu-hun tetapi karena cinta dia menjadi dendam..." Mendengar itu memancarkan mata Gin Liong, cepat ia menukas:

"Lo-koko, apakah saat ini Ban Hong liong-li masih berada dikota kecil itu ?"

"Entah apa masih disitu " Terhadap urusan Gin Liong,

Mo Lan Hwa menaruh perhatian istimewa.

"Sudahlah, asal kita tiba di kota kecil itu tentu dapat mengetahui," cepat ia menyelutuk, lalu melanjutkan lari.

Gin Liong ingin sekali cepat2 tiba di kota kecil itu, Maka iapun segera berputar tubuh dan lari.

Sambil menyerahkan badik emas kepada Gin Liong, Hoa To Beng menyusul dan berkata:

"Siau-heng-te, Ban Hong liong-li itu tahun ini paling banyak baru berusia 28-29 tahun, Mengapa engkau memanggilnya sebagai locianpwe ?"

"Karena sejak pertama aku dan sumoayku Ki Yok Lan selalu menyebut locianpwe kepadanya, sekarang sukar untuk merobah sebutan itu," Gin Liong menjelaskan.

Mo Lan Hwa yang berada di muka ketika  mendengar Gin Liong mempunyai seorang sumoay, diam2 hatinya mencelos. Sekali menyehatkan tubuh, diapun sudah melayang ke jalan.

Gin Liong yang polos, mengira Mo Lan Hwa hendak buru2 mengejar perjalanan, Maka diapun segera berpaling dan berseru kepada Hok To Beng:

"Lo-koko, mari kita agak cepat berlari !" sebagai seorang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, tahulah Hok To Beng akan gerak gerik sumoaynya,  ia hanya gelengkan kepala dan terus mengikuti Gin Liong lari. Tepat pada saat itu terdengarlah ringkik suara kuda yang terkejut. Suara itu asalnya dari belakang mereka.

Ketika Gin Liong bertiga berpaling, tampak beberapa li jauhnya, dua ekor kuda sedang mencongklang pesat di sepanjang jalan, Mereka lari menghampiri kearah Gin Liong.

Kedua ekor kuda itu cepat sekali larinya, sebaiknya kita menyingkir saja," kata Gin Liong.

"Ya." kata Hok To Beng, "kuda itu memang luar biasa cepatnya." iapun terus menyingkir ketepi jalan.

Tetapi Mo Lan Hwa malah mendengus dan tak ambil peduli, Dengan cibirkan bibir dan santai, ia berjalan seenaknya di tengah jalan.

Gin Liong kerutkan dahi dan tak mengerti maksud nona itu.

Tiba2 terdengar suara kuda meringkik keras, Ketika Gin Liong berpaling, dilihatnya dua ekor kuda bulu hitam mulus yang bertubuh tinggi besar, tengah meluncur pesat sekali. Saat itu hanya terpisah setengah li.

Penunggangnya juga dua lelaki bertubuh tinggi besar, kepala besar dan jidat lebar. Mulutnya penuh ditumbuhi kumis dan jenggot yang lebat, sepasang matanya berkilat- kilat amat tajam. Merekapun mengenakan jubah  warna hitam terbuat daripada kulit, Sepintas pandang kedua penunggang kuda itu memang amat menyeramkan sekali.

"Tar, tar, tar "

Kedua penunggang tinggi besar itu menghardik dan mengayunkan cambuknya ke udara. Kuda hitam tegar itupun segera melaju keras, Mereka tak mempedulikan orang yang berada di tengah jalan. Riuh rendah derap kedua kuda hitam itu menabur jalan, jalan yang dilalui tentu meninggalkan hamburan salju yang lebat dan deru angin yang keras.

Mereka melarikan kuda kearah Gin Liong.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar