Pedang Berbunga Dendam Jilid 23 (Tamat)

JILID 23 – T A M A T

Ucapan anakbuah Ceng-te-kiong terlalu menusuk perasaan Beng Cu. Bagaimanapun dia adalah seorang nona muda. Dapat dimaklumi bagaimana perasaan hati seorang wanita apabila disebut seperti sebuah tengkorak hidup. Demikianpun Beng Cu sekalipun dia tahu bahwa dirinya memang kurus kering.

'Engkau mengatakan aku apa?" serunya menegas. "Engkau seorang tengkorak hidup!" seru orang dengan nada sinis.

Sedang kawannya yang seorang tertawa mengejek, "Itu masih mending kalau jadi tengkorak hidup mungkin lebih tepat sebuah setan kelaparan "

"Jahanam!" tukas Beng Cu terus ayunkan kedua tangannya.

"Bagus," seru orang itu. Keduanya merubuhkan tubuh ke belakang lalu balas menghantam.

Plak, plak terdengar suara telapak tangan

beradu keras dan seketika wajah kedua anak buah Ceng-te-kiong itu berobah. Semula mereka tersenyum sinis penuh sikap mengejek tetapi begitu membentur tangan Beng Cu seketika mereka tegak seperti patung.

Senyum tawa yang menghias wajah merekapun lenyap berganti dengan kerut ketakutan yang hebat. Wajah mereka pucat lesi dan bibirnya biru. Dahi mereka mulai bercucuran keringat deras.

Beberapa saat kemudian terdengar mereka meratap, "Sian-kho . . ampunilah jiwa kami . . "

Wajah Beng Cu membeku seperti es, ia ber kata dengan nada dingin, "Karena kalian tak mau memberi ampun kepadaku mengapa aku harus mengampuni kalian ?"

Kedua anakbuah Ceng-te-kiong itu tak henti-henti nya meratap dan minta belas kasihan. Tangan mereka tetap melekat pada tangan Beng Cu dan tak dapat mereka tarik. Tenaga-murni dalam tubuh merekapun terus berhamburan mengalir keluar.

Makin lama suara rintihan mereka makin lemah dan tubuh merekapun mulai terkulai rubuh.

Pada akhirnya kepala merekapun melentuk Ke bawah. Beng Cu segera menyurut mundur. Bluk.. bluk

, . kedua anakbuah Ceng-te-kiong itupun rubuh ke lantai. Mereka tak bernyawa lagi karena tenaga-murni dalam tubuh mereka telah mengalir ke luar dan masuk ke dalam tubuh Beng Cu.

Selekas mundur Beng Cu terus melakukan pernapasan untuk menyalurkan tenaga-murni keseluruh tubuhnya.

Kedua korban itu termasuk jago-jago kelas satu pada jajaran anakbuah Ceng-te-kiong. Dengan mendapat tambahan tenaga-dalam mereka, dalam waktu kurang dan sepeminum teh saja, Beng Cu rasakan semangatnya bertambah segar dan tenaganya bertambah penuh.

Setelah itu dia menyeret mayat itu ke samping dan mulai menunggu lagi. Tak berapa lama ternyata datang lagi anakbuah Ceng-te-kiong yang lain. Dan orang itupun mengalami nasib serupa dengan kedua kawannya yang tadi.

Demikian silih berganti datanglah beberapa anakbuah Ceag-te-kiong untuk mengantar jiwa. Mereka datang karena dipikat oleh adik Ceng-te.

Tak sampai sehari saja, ruang tidur Ceng-te telah berisi lebih dari duapuluh mayat anakbuah Ceng-te- kiong.

Adik Ceng-te juga sesekali menjenguk. Dia girang sekali atas hasil yang diperoleh Beng Cu. Dia selalu meminta keterangan bagaimana rasanya tenaga dalam yang dimiliki Beng Cu saat itu.

Dengan terus terang Beng Cu mengatakan apa adanya. Dia memang merasa tenaga-dalamnya memang makin bertambah kuat.

Demikian tak terasa hal itu telah berlangsung beberapa hari. Selama beberapa hari itu banyak sekali jago-jago Ceng-te-kiong yang lenyap tak kelihatan.

Sudah tentu hal itu menimbulkan cemas dan kegelisahan besar dikalangan mereka.

Coh Hen Hong juga mendapat laporan dan tahu akan peristiwa aneh itu. Usahanya untuk mencari orang yang dikehendaki masih belum berhasil tetapi dia mempunyai pegangan bahwa orang itu tentu masih berada di Ceng-te-kiong.

Saat itu Ceng-te-kiong benar-benar merupakan dunia yang menyeramkan. Setiap kali angin berhembus menggoyang batang rumput, anakbuah Ceng-te-kiong serentak mencabut senjata.

Malah terjadi lelucon yang mengerikan Jago-jago itu mencabut senjata, ada kalanya mereka tak melihat apa-apa. Tetapi ada kalanya mereka melihat bayangan orang muncul. Tanpa banyak bertanya untuk mengecek lagi, mereka terus menyerang dengan ganas.

Aduhhh. . . . ahhh Sering terdengar jeritan

ngeri dan kemudian disusul oleh pekik kaget apabila ternyata yang mati diserang itu adalah kawannya sendiri. Mereka tergolong jago yang lebih rendah kepandaiannya sehingga karena tak menduga bakal diserang oleh kawannya sendiri dan kedua memang kepandaiannya kalah tinggi, akhirnya mereka harus mati diujung senjata kawannya sendiri.

Dan jeritan kaget itu berasal dari mulut jago-jago yang karena ketakutan lagi menyerang secara membabi buta itu.

Ceng-te-kiong benar-benar kacau balau seperti suasana dalam neraka. Siang malam orang hanya dicengkam rasa takut dan gelisah.

Melihat keadaan itu akhirnya Coh Hen Hong mengeluarkan perintah: "Bakar Ceng-te-kiong!"

Mendengar perintah ini gemparlah sekalian anakbuah Ceng-te kiong yang masih hidup. Ada yang kasak kusuk merundingkan hal itu dengan kawan. Ada pula yang menyambut dengan pekik teriakan yang keras. Mereka terkejut, heran dan tak menyangka Coh Hen Hong akan memberi perintah begitu.

Istana Ceng-te-kiong dengan susah payah dibangun dan memakan waktu ber-tahun2 lamanya. Selain bangunannya yang megah dan mewah juga seluruh alat2 perabot dalam istana itu terdiri dari barang2 yang tak ternilai harganya dan sukar dicari.

Terutama benda pusaka koleksi Ceng-te, semua merupakan benda yang jarang terdapat di dunia. Setiap kali mendengar di mana terdapat benda pusaka yang langka maka Ceng-te lalu mengirim anakbuahnya untuk menugaskan suatu tokoh persilatan, entah dia seorang ketua perkumpulan silat ataukah seorang tokoh silat ternama, untuk mengusahakan benda pusaka itu sampai dapat dan harus diserahkan tepat pada waktunya.

Jika orang yang menerima surat perintah dari Ceng te-kiong tak mau melaksanakan, dia tentu takkan berumur panjang. Beberapa jago sakti Ceng te-kiong akan datang untuk membereskannya.

Peristiwa itu telah berlangsung puluhan tahun sehingga Ceng-te-kiong dipandang sebagai momok sekaligus sebuah kerajaan dunia persilatan. Ceng-te- kiong menjadi pusat perhatian dan pemujaan dari kaum persilatan.

Siapa tahu dan siapa yang dapat menduga bahwa Ceng-te-kiong harus mengalami hari akhir yang demikian mengenaskan.

Tiba-tiba muncul seorang gadis bernama Coh hen Hong yang mengaku sebagai cucu dari Ceng te.

Setelah diterima dan digembleng dengan ilmu kepandaian sakti dan diberi minum dengan berbagai tanaman obat dan buah ajaib, akhirnya gadis itu telah membunuh Ceng-te sendiri.

Dan kini dari mulut gadis itu juga keluarkan perintah untuk membumi hanguskan istana Ceng-te- kiong.

Banyak jiwa telah melayang di tangan Ceng-te- kiong. Selama Ceng-te berkuasa, dunia persilatan selalu dicekam dengan rasa ketakutan dan kegelisahan. Tak ada seorang persilatan terutama tokoh ternama, yang dapat tidur dengan nyenyak, mereka selalu cemas akan menerima surat perintah dari ketua Ceng-te-kiong.

Adakah Thian telah mengirim seorang gadis seperti Coh Hen Hong untuk menghancur leburkan kejahatan Ceng-te-kiong ? Entahlah. Atau mungkin Coh Hen Hong itu memang seorang gadis liar yang tak tahu membalas budi, kejam dan ganas sehingga sampai hati untuk membunuh Ceng-te.

Sekalian anakbuah Ceng-te-kiong terlongong longong sampai tak dapat bicara.

Mendengar perintah Coh Hen Hong yang juga dapat ditangkap oleh Beng Cu, maka Beng Cu bertanya kepada adik Ceng-te, "Bagaimana sekarang?'

"Dia hanya pura-pura hendak membakar Ceng te- kiong. Yang terutama dia hendak menggertak kita supaya keluar dari tempat persembunyian," jawab adik Ceng-te.

Beng Cu gelengkan kepala, "Terhadap manusia seperti Coh Hen Hong engkau kurang mengetahui secara mendalam. Apa saja yang dia tak berani melakukan?"

Adik Ceng-te terbeliak, katanya, "Itu tergantung padamu. Tenaga-dalammu sudah bertambah kuat sudah tak ada yang menandingi, tetapi entah bagaimana dengan latihan dalam ke tiga belas ilmu Kim-na-hwat itu."

"Ya, rasanya sudah cukup," kata Beng Cu.

Adik Ceng-te menepuk meja, "Kalau memang sudah cukup, tunggu kapan lagi kalau sekarang tidak turun tangan?"

Memang Beng Cu sudah terlanjur membenci setengah mati terhadap Coh Hen Hong. Dia sudah tak dapat bersabar lagi. Dan lagi dia tak mau terlalu banyak membunuh jiwa manusia.

"Benar, engkau memang benar" akhirnya Beng Cu menyatakan siap.

"Kalau begitu engkau boleh menantangnya untuk bertemu di muka istana," kata adik Ceng-te.

Beng Cu mengempos semangat, "Engkau tak perlu membakar istana. Tunggu saja aku di muka Istana !" Kedengarannya hanya pelahan saja Beng Cu berseru tetapi ternyata kumandangnya berhamburan sampai jauh. Dan lagi tenaga dalam yang dimilikinya itu memang aneh oleh karena itu suaranya pun mengiang-ngiang di telinga orang dengan jernih dan jelas sekali. Tetapi sukar diketahui dari arah mana.

Seruan Beng Cu itu tersebar dan didengar oleh seluruh anakbuah Ceng-te-kiong. Sudah tentu Coh Hen Hong juga mendengarnya.

Coh Hen Hong terkejut girang. Dia girang karena Beng Cu tentu akan unjuk diri dengan begitu ia akan mendapat kesempatan mengadu jiwa.

Tetapi diam-diam dia tergetar juga karena ia menyadari bahwa kepandaian Beng Cu ternyata telah meningkat sedemikian tinggi, lebih unggul dari dia satu-satunya pegangan baginya untuk memenangkan pertempuran itu yalah pada sepasang pedang pusaka Leng-liong-kiam.

Diam-diam Coh Hen Hong menimang. Jelas selama beberapa hari ini Beng Cu bersembunyi diistana Ceng- te-kiong. Entah melakukan apa saja. Tetapi karena Beng Cu berani menantangnya kemungkinan tentu sudah punya pegangan untuk memenangkan pertempuran itu.

Hati Coh Hen Hong masih kebat kebit sehingga setelah tertegun beberapa jenak baru dia berseru keras menjawab, „Baik, akan kutunggu engkau diluar istana!"

Coh Hen Hong lalu melesat ke luar istana. Dia menunggu di lapangan muka istana.

Lapangan itu tertutup dengan batu hijau. Sunyi senyap tiada seorangpun yang tampak. Tetapi begitu Coh Hen Hong tiba, dia segera merasa kalau diatas pohon, di balik batu yang berada di sekeliling lapangan itu bersembunyi orang. Mereka adalah jago- jago istana Ceng-te-kiong yang mendengar tantangan bertempur antara Beng Cu lawan Coh Hen Hong.

Sebenarnya Coh Hen Hong hendak berseru memerintahkan mereka keluar tetapi pada lain saat dia batalkan rencana itu. Dia hendak memegang gengsi. Kalau suruh mereka keluar berarti dia akan mendapat dukungan moril dari mereka. Andaikata memang, pun kemenangan itu kurang gemilang. Ma ka dia membiarkan Saja mereka bersembunyi.

Coh Hen Hong berdiri tegak. Kedua tangannya melekat pada tangkai pedang. Dia tegang sekali. Tak berapa lama sesosok bayangan melesat. Bagaikan segulung asap, Beng Cu sudah melayang tiba.

Coh Hen Hong tertawa ngakak, "Ho, akhirnya engkau muncul juga !"

Sambil berkata dia melangkah maju dan mencabut sepasang pedang Leng-liong-kiam. Dua buah sinar biru dan emas memancar, menyilaukan mata. Sekali bergerak, dia terus melancarkan serangan yang dahsyat sekali.

Beng Cu baru saja berdiri atau tahu-tahu dia sudah diserang sehingga dia seperti terkurung dalam sinar pedang.

Sebenarnya Beng Cu sudah mempelajari ilmu Kin na-hwat yang sakti. Tetapi serangan pedang Coh Hen Hong ternyata begitu dahsyat sekali sehingga sukar diketahui mana tangan Coh Hen Hong mana pedangnya. Sudah tentu Beng Cu sukar untuk menggunakan Kin na-hwat merebut senjata lawan.

Kalau saja saat itu Beng Cu tetap membabi buta menggunakan Kin-na-hwat, tentu dia akan celaka. Untung Beng Cu cukup cerdas dan cepat dapat menyesuaikan keadaan. Menghadapi serangan itu, tiba-tiba dia mengendap dan terus rebahkan diri ke tanah lalu ayunkan diri keluar dari lingkaran sinar pedang. Pada saat Beng Cu merebah ketanah, cepat Coh Hen Hong merobah gerakannya hendak menabas tetapi saat itu tubuh Beng Cu sudah mencelat sampai 7-8 tombak jauhnya.

Cring, cring . . sepasang pedang Leng-liong kiam hanya membacok tanah. Keping batu muncrat berhamburan ke mana2.

Serangan kedua luput, Coh Hen Hong serentak melambung ke udara. Dia melihat juga bagaimana permukaan lapangan yang terbuat dari batu hijau telah tergurat berpuluh bacokan pedang. Terlambat sedikit saja Beng Cu menghindar tubuhnya pasti tercincang beberapa potong.

Pada saat Coh Hen Hong melayang ke atas Beng Cu juga melenting ke udara. Keduanya terpisah setombak jauhnya dan sama-sama melayang turun,

Waktu berada di udara, Coh Hen Hong melancarkan beberapa tabasan tetapi karena jaraknya jauh serangan itu tiada yang mengenai Beng Cu.

Selekas keduanya turun ke tanah, Coh Hen Hong memekik keras dan terus melancarkan serangan yang ketiga.

Sepasang mata Beng Cu memandang lekat2 lawan. Begitu bahu Ceh Hen Hong bergetar, Beng Cu sudah cepat maju ke muka dan menusukkan jari ke bahu Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong tak menghiraukan, Dia tahu kalau pedangnya hebat sekali. Dia takut kalau Beng Cu akan menghindar mundur. Kini Beng Cu berani maju menyerang, dia gembira sekali. Cepat dia mainkan pedangnya makin gila sehingga Beng Cu seperti terlibat dalam lingkaran sinar pedang.

Tetapi pada saat itu pula, jari Beng Cu yang hendak mengancam bahu Coh Hen Hong tiba-tiba dijungkatkan keatas. Gerakan jari itu menghamburkan angin yang kuat dan berhasil membentur batang pedang Kim-liong-kiam. Karena dilanda tenaga-sakti dari jari Beng Cu, batang pedangpun menjungkat.

Dalam keadaan seperti itu orang tentu akan keberatan kalau pedangnya sampai hilang. Coh Hen Hong juga demikian.

Coh Hen Hong terkejut dan menarik pulang pedang. Kim-liong-kiam. Tetapi tujuan Beng Cu memang lain. Dia memang menyelentikkan jarinya kearah pedang Kim-liong kiam tetapi sebenarnya tujuannya adalah untuk merebut pedang Ceng-leng-kiam.

Pada saat Coh Hen Hong menarik pedangnya, Beng Cupun cepat bergerak.

Tubuh Bing Cu tiba-tiba miring dan terus membentur lengan kiri Coh Hen Hong sehingga tubuh Coh Hen Hong ikut miring. Dapat situasi seperti itu Beng Cu menyelentik pergelangan tangan kanan Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong mencurahkan seluruh perhatian untuk menjaga jangan sampai pedang Kim-liong-kiam dapat direbut lawan. Dia tak menyangka sama sekali kalau pergelangan tangan kanannya tiba-tiba kesemutan.

Karena kesemutan dan lunglai maka pedang Ceng- leng kiampun mencelat ke udara. Sudah tentu Coh Hen Hong kaget sekali. Dia menyadari kalau pedang Ceng-leng-kiam itu sampai jatuh ketangan Beng Cu tentu berarti dia akan kalah.

Diapun tahu kalau ilmu Meringankan tubuh kalah dengan Beng Cu. Kalau saat itu dia berebut pedang dengan Beng Cu, jelas dia tentu kalah.

Satu satunya jalan untuk merintangi agar Beng Cu jangan sampai merebut Ceng leng-kiam hanyalah dengan melancarkan serangan yang dahsyat sehingga Beng Cu tak ada kesempatan untuk loncat keudara menyambar pedang itu. Cepat Coh Hen Hong melaksanakan rencananya.

Dia memainkan Kim-liong-kiam sederas hujan mencacah, menyerang Beng Cu mati-matian.

Sebenarnya Beng Cu gembira sekali ketika melihat dia berhasil menyelentik pedang Ceng-leng-kiam mencelat ke udara. Dia terus hendak melambung ke udara untuk menyambarnya. Tetapi pedang Coh Hen Hong telah menyerangnya begitu gencar sehingga sesaat dia sukar untuk loncat ke udara.

Beng Cu agak gelisah. Sambil bergeliat menghindari serangan dia tetap melekatkan pandang matanya pada Ceng-leng kiam yang melayang di udara. Ceng- leng-kiam melayang sampai dua tombak tingginya.

Setelah berhenti lalu meluncur turun.

Tiba-tiba Beng Cu mengendapkan tubuh dan terus hendak mencelat kearah jatuhnya pedang,

Tetapi ternyata bukan hanya Beng Cu, pun Coh Hen Hong yang mencurah perhatian kepada pedang Ceng- leng-kiam. Sring, sring.. . dia mendalui untuk menghadang jalan Beng Cu.

Memang dengan memakai sebatang pedang, sukar bagi Coh Hen Hong mengalahkan Beng Cu. tetapi kalau hanya menghalanginya agar jangan sampai sempat menyambar pedang Ceng-leng-kiam, memang Coh Hen Hong cukup mampu. Dan pada saat Beng Cu terhalang serangan Coh Hen Hong, pedang Ceng-leng- kiampun sudah jatuh ke tanah.

Pedang itu jatuh menukik sehingga ujungnya menyusup pada batu dan menancap tegak. Letaknya lebih kurang setengah meter dari tempat Beng Cu.

Beng Cu girang sekali Dia mengendapkan tubuh menghindari tusukan Coh Hen Hong dan terus menggelincir ke samping.

Tetapi Coh Hen Hong juga tak mau memberi kesempatan begitu tusukannya luput, dia terus menyelinap maju dan sret, sret, sret, sekaligus dia menabas sampai enam tujuh kali.

Tabasan itu susul menyusul, cepatnya seperti kilat menyambar. Kalau saja Beng Cu tetap nekad hendak mengambil pedang, tubuhnya tentu akan kutung.

Sudah tentu Beng Cu tak mau mengambil resiko yang begitu berbahaya. Dia kebutkan lengan baju dan orangnya masih merebah ke tanah. Kebutan lengan bajunya itu telah menghamburkan tenaga yang kuat untuk menghalang gerakan pedang Coh Hen Hong.

Sambil mengebut lengan baju, Beng Cu menggelinding beberapa langkah ke samping sehingga kembali pedang Coh Hen Hong hanya memperoleh sasaran batu.

Sekali lagi lapangan yang terbuat dari batu hijau itu harus mengalami luka yang cukup parah karena ketujuh tabasan pedang Kim-liong-kiam itu telah menghancurkannya.

Setelah menggelundung ke samping, cepat Beng Cu melenting bangun dan terus ayunkan ke dua tangannya. Saat itu tenaga dalam Beng Cu bukan olah2 saktinya. Apabila Coh Hen Hong masih memainkan sepasang pedang, dengan mengandalkan ketajaman pedang pusaka itu dia masih dapat menyongsong pukulan Beng Cu. Tetapi saat itu dia hanya mencekal sebatang pedang. Sudah tentu dia tak mampu bertahan.

Seketika Coh Hen Hong rasakan segelombang tenaga kuat melandanya. Buru-buru dia mengempos semangat dan maju selangkah. Dia maju, tenaga tekanan yang melandanya juga makin berlipat ganda kuatnya. Pedang Ceng-leng-kiam berada di tengah ke dua orang itu. Asal siapa yang membungkuk kebawah dan ulurkan tangan tentu dapat mengambilnya.

Tetapi dalam keadaan seperti saat itu, kedua nya tak sempat untuk menyambar pedangnya itu. Coh Hen Hong bertahan untuk berdiri tegak. Tangan kiri mendorong kemuka untuk menyongsong

tenaga pukulan Beng Cu. Dia bingung. Kalau terus menerus begitu, jelas dia tentu kalah angin. Tetapi kecuali harus bartahan begitu dia tak ada daya lain lagi.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba dia teringat. Di sekeliling tempat itu terdapat banyak sekali jago-jago anakbuah Ceng-te-kiong yang menyaksikan pertempuran. Mereka tak berani unjuk diri melainkan bersembunyi diatas pohon dan dibelakang batu.

Mengapa dia tak memerintahkan mereka supaya mengambil pedang Ceng-leng-kiam dan menyerahkan kepadanya?

Begitu teringat hal itu, diam-diam dia girang sekali. Cepat dia berseru, "Hai, siapa yang dapat mengambil pedang Ceng-leng-kiam dan menyerahkan kepadaku, akan aku beri sebuah Jit-sik-leng ci !"

Janji Coh Hen Hong itu menimbulkan daya rangsang besar sekali. Sekalian jago-jago itu tahu bahwa istana Ceng-te-kiong mempunyai simpanan obat dan kitab pusaka yang jarang terdapat di dunia. Jit-sik-leng-ci atau bunga Leng-ci tujuh warna merupakan obat mujijat yang membuat ngiler setiap kaum persilatan.

Siapakah yang tak tergerak hatinya akan mendapat obat pusaka itu?

Maka begitu mendengar tawaran itu, dua orang serempak menerobos keluar dari tempat persembunyiannya. Menilik gerakan mereka, mereka tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

Tetapi baru mereka mendekati tempat pedang itu terdengar mereka menjerit ngeri dan tubuh mereka bagaikan layang2, mencelat ke udara. Ketika melayang di udara, mulut mereka muntah darah. Menyusul tubuh mereka melayang jatuh ke tanah dan tak bernyawa lagi.

Aneh. Padahal pada waktu kedua jago itu menyerbu maju hendak mengambil pedang, Beng Cu sama sekali tak bertindak apa-apa. Tetapi mengapa kedua orang itu mencelat dan mati sendiri?

Ternyata pada waktu Beng Cu dan Coh Hen Hong sedang mengadu tenaga-sakti, tenaga yang menghambur itu memang luar biasa hebatnya. Kedua orang itu membentur gelombang tenaga-sakti dan akibatnya mereka harus mengalami nasib yang mengerikan.

Melihat peristiwa itu, sekalipun anak buah Ceng-te- kiong terkejut. Walaupun mereka ngiler sekali akan tawaran Coh Hen Hong tetapi mereka ngeri juga membayangkan akibat yang diderita oleh kedua kawannya itu. Melihat itu diam-diam menggigillah hati Coh Hen Hong. Tanpa disadari, Coh Hen Hong mundur setengah langkah.

Dia mundur, Beng Cu maju setengah langkah Dengan begitu bagi Beng Cu lebih dekat pada pedang Ceng-leng-kiam. Melihat itu Coh Hen Hong makin gugup. Dengan menggerung keras dia tusukkan pedang Kim-liong kiam. Maksudnya untuk memaksa Bang Cu mundur.

Tetapi dia tak pernah menduga bahwa saat itu Beng Cu telah memiliki tenaga dalam yang aneh dan luar biasa hebatnya.

Beng Cu maju, Coh Hen Hong menusuk. Sudah tentu tusukan itu terhambat oleh gerakan Beng Cu yang menghambur tenaga-sakti.

Begitu melihat pedang Coh Hen Hong agak lambat, diam-diam Beng Cu girang sekali. Begitu pedang menusuk, dia menghadapkan tubuh, berputar-putar dan plak dia balikkan tangan menampar Coh Hen

Hong. Pada waktu Beng Cu berputar tubuh, Coh Hen Hong girang sekali dan terus melangkah maju dua tindak.

Tetapi siapa tahu tiba-tiba jari tengah Beng Cu menusuk iga Coh Hen Hong.

Hebat dan cepat sekali tusukan jari Beng Cu itu.

Sebelum mengenai, sudah mengeluarkan desus angin yang membuat tubuh Coh Hen Hong Tergetar. Secepat kilat pula tahu-tahu tangan Beng Cu sudah merampas pedang Kim-liong-kiam dari tangan Coh Hen Hong.

Jika lain orang, kalau pedangnya kena direbut tentu sudah pecah nyalinya. Tetapi tidak demikian dengan Coh Hen Hong. Walaupun dia juga kaget setengah mati tetapi dia cepat membungkuk dan mencabut pedang Ceng-leng-kiam yang tertancap di tanah lalu menggeliat mundur ke belakang.

Tadi keduanya saling berebut pedang Ceng-leng- kiam. Tetapi sekarang berbalik. Kalau tadi Ceng-leng- kiam terlepas dari tangan Coh Hen Hong girang pedang itu kembali kepadanya. Sebaliknya pedang Kim-liong-kiam yang dipertahankan mati matian sekarang malah dapat direbut Beng Cu. Sekalian jago- jago Ceng te-kiong yang bersembunyi disekeliling lapangan itu sama menahan napas tak berani buka suara. Mereka terbelalak menyaksikan pertempuran bermutu tinggi itu.

Kini tampak wajah Coh Hen Hong pucat lesi dari ujung hidungnya bercucuran keringat. Tetapi Beng Cu tenang-tenang saja. Walaupun wajahnya yang begitu kurus tak tampak perobahan apa-apa, tetapi dari sinar matanya yang berapi-api jelas menunjukkan kalau hatinya girang sekali. Dia menghambur suitan panjang yang nyaring sekali.

"Ho, Coh Hen Hong, akhirnya engkau juga harus mengalami saat seperti hari ini !" serunya.

Coh Hen Hong masih menyeringai, sahutnya "Kita masing-masing memegang sebatang pedang. Siapa kalah siapa menang masih belum diketahui. mengapa engkau sudah begitu kegirangan ?"

Beng Cu tertawa memanjang yang keras dan nyaring. Nadanya berkumandang laksana ombak mendampar. Dia melangkah maju.

"Sepasang pedang berada di tanganmu, aku dapat merebutnya. Apalagi sekarang kita sama-sama mempunyai pedang. Hm, apakah engkau masih berani mengatakan kalau siapa yang menang dan kalah belum dapat diketahui ?" serunya.

Selain ujung hidung, kening Coh Hen Hong juga bercucuran keringat. Dengan mencekal pedang Kim- liong-kiam Beng Cu melangkah maju, sebaliknya Coh Hen Hong setapak demi setapak melangkah mundur. "Coh Hen Hong, sejak engkau melarikan pedang

Ceng-leng-kiam dari tanganku dan kemudian memalsu sebagai diriku masuk Ceng-te-kiong, sampai sekarang sudah berapa tahun ?" seru Beng Cu sambil melangkah maju.

Coh Hen Hong cibirkan bibir tak menyahut. Kembali Beng Cu menghambur tawa yang menggetarkan sukma, serunya, "Selama beberapa tahun ini, engkau telah menikmati puncak keberuntungan manusia hidup, bukan ? Tetapi apabila kejahatan itu sudah penuh tentu akhirnya akan datang pembalasan !"

Diam-diam Coh Hen Hong terkejut dan bingung ketika mendengar kata-kata Beng Cu akhirnya tentu akan datang pembalasan, keringat pada dahinya makin mengucur deras. Dia mengertek gigi dan tetap tak menyahut,

Lagi-lagi Beng Cu menghambur tawa panjang, rupanya sudah ber-tahun2 dia tak pernah tertawa sepuas itu. Sekarang dia hendak menumpahkan derita batin yang selama ini menyiksa. Sambil tertawta, tiba- tiba dia tusukkan pedang Kim-liong-kiam. Tusukan itu luar biasa cepatnya. Coh Hen Hong yang sedang kebingungan dengan gugup terus menangkis.

Ceng-leng-kiam dan Kim-liong-kiam merupakan pedang yang pandak. Kalau mau menusuk tentu harus maju mendekat. Karena Coh Hen Hong menangkis maka diapun mengisar maju sehingga jarak keduanya bertambah dekat.

Sinar emas dan sinar biru berkelebat maju dan tring

. . kedua pedang itu saling beradu keras.

Bunyi benturan itu berkumandang nyaring dan memanjang sampai jauh. Dan pada saat beradu pedang Coh Hen Hong rasakan seperti dilanda oleh gelombang tenaga yang dahsyat. Telapak tangannya kesemutan sehingga hampir saja dia tak kuasa mencekal pedang Ceng leng-kiam.

Sesaat kemudian terjadi perobahan yang lebih mengejutkan hati Coh Hen Hong. Gelombang tenaga dahsyat itu tiba-tiba berobah menjadi tenaga-sedot yang amat kuat, menyedot pedang Ceng-leng-kiam dari tangannya.

Selama merajalela didunia persilatan belum pernah dia mengalami peristiwa seperti saat itu. Bahkan dari Ceng-te sendiri, dia juga tak pernah merasakan tenaga-sedot yang begitu kuatnya.

Coh Hen Hong cepat menyalurkan tenaga-murni dan dengan susah payah dapat mempertahankan pedangnya tetapi mau tak mau tubuhnya jaga terpental ke belakang.

Beng Cu tertawa terbahak-bahak dan maju lagi. Rupanya Coh Hen Hong tak berani adu pedang dan terus menerus mundur.

Melihat itu diam-diam Beng Cu menimang. Seorang gadis yang berilmu tinggi tetapi berhati ganas seperti Coh Hen Hong sama halnya melepas seekor harimau buas atau ular berbisa. Kelak tentu menimbulkan bahaya.

Setelah merenungkan hal itu Beng Cu bersuit nyaring, enjot tubuh ke udara dan melayang turun dibelakang Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong terkejut ketika melihat Beng Cu lenyap dari pandang matanya. Dia kuatir kalau lawan akan menyerangnya dari belakang. Tetapi sebelum dia sempat berputar tubuh, tiba-tiba dari belakang terdengar Beng Cu membentaknya, "Lihat pedangku!"

Dengan kepandaian yang sakti Coh Hen Hong tahu bahwa suara bentakan itu diserempaki dengan kesiur angin tajam yang mengarah dirinya.

Kalau Coh Hen Hong berputar tubuh dan menangkis, tentu tak keburu lagi. Dan kalau dia loncat ke muka untuk menghindari, Beng Cu tentu masih akan membayanginya. Dengan begitu dia tetap akan dikuasai lawan.

Jalan satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah mengayunkan pedang ke belakang untuk menangkis serangan lawan.

serangan pedang sedemikian cepat, tak menyempatkan lagi baginya untuk banyak berpikir lagi.

Maka tanpa sempat berpikir lagi, ia terus ayunkan pedang ke belakang, tringng . . kembali ke dua pedang itu saling berbentur keras.

Dalam mengayunkan pedang kebelakang itu, Coh Hen Hong sudah mempunyai rencana, Asal pedang Beng Cu terhenti sedetik saja, dia terus hendak loncat ke muka dan akan berbalik tubuh agar dapat menghadapinya.

Tetapi kali ini Coh Hen Hong kecele. Dia telah salah hitung. Begitu kedua pedang berbentur dia terus hendak enjot kaki melesat ke muka. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia tak sempat mampu melakukan hal itu.

Pada saat itu dia rasakan suatu gelombang tenaga- sedot yang keras menyalur dari pedang lawan kearah batang pedangnya. Tenaga-sedot itu membuatnya terpaku tak dapat berkisar walaupun setengah langkah saja.

Sudah tentu Coh Hen Hong terkejut bukan kepalang. Dia terus mengendapkan tubuh tetapi tenaga-sedot itu bukan saja menghalangi tindakan nya hendak mengendap ke bawah, pun menyedot juga tenaga dalamnya keluar.

Dalam keadaan seperti itu kalau ia tak mau melepaskan pedangnya, ia tentu akan menderita lebih parah lagi, bahkan nanti untuk melepaskan pelangnya saja dia takkan mampu.

Tetapi Coh Hen Hong telah kehilangan pedang Kim- liong-kiam. Sudah tentu kali ini dia tak mau kehilangan pedang Ceng-leng-kiam lagi.

Tetapi pada saat itu bukan soal mau atau tak mau melepaskan Ceng leng-kiam lagi. Melainkan bagaimana dia dapat terhindar dari bahaya maut.

Hanya ada dua pilihan baginya, melepaskan pedang atau melepaskan jiwanya.

Geram dan marah berkecamuk hebat dalam hati Coh Hen Hong. Dia menghamburkan pekik histeris, lepaskah pedang dan terus melesat ke muka.

Tetapi pada saat itu juga dia mendengar suara tawa Beng Cu mengikutinya. Dan kesiur angin yang mendesir dari belakang, makin lama makin dekat.

Betapapun Coh Hen Hong mempercepat larinya desir angin dari belakang itu tetap membayanginya. Dan terakhir, setiup angin berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu Beng Cu sudah menghadang dimukanya.

Coh Hen Hong terkejut dan berhenti. Beng Cu dengan mencekal sepasang pedang pusaka Leng- liong-kiam tengah memandangnya dengan tajam. Melihat itu wajah Coh Hen Hong pucat seperti mayat.

"Coh Hen Hong," seru Beng Cu dengan nada sarat, "dengan segala akal bulus engkau dapat merampok sepasang pedang Leng-liong-kiam ini. Walaupun untuk sementara waktu dapat engkau miliki tetapi itu bukan milikmu. Memiliki hanya untuk sementara waktu, apa gunanya ?"

Coh Hen Hong menggigil gemetar, "Ini ini . . sekarang . . pedang telah berada di tanganmu. Apa yang dapat kukatakan lagi . .

Sambil berkata dia mundur ke belakang. Tetapi Beng Cu tetap membayanginya. Demikian adegan yang satu mundur yang lain maju, ada kalanya pelahan ada kalanya cepat, berlangsung sampai beberapa putaran di halaman yang terletak di belakang istana Ceng-te-kiong.

Beng Cu memperdengarkan suara tawa dingin, "Coh Hen Hong, telah kukatakan kepadamu Hai pembalasanmu telah tiba. Tak mungkin engkau dapat melarikan diri lagi!"

Coh Hen Hong berhenti dan berkata dengan napas ter-engah2, "Nona Kwan, sepasang pedang telah kembali kepada pemiliknya. Aku dan engkau . . sebenarnya . . tak punya dendam permusuhan . . engkau . . . engkau mengapa harus bertindak begini

?"

"Engkau bilang apa ?" seru Beng Cu. "Aku . . aku sebenarnya tak ada kesalahan . . kepadamu . . istana Ceng-te-kiong adalah kepunyaanmu, kalau tiada aku, engkau tentu tak kenal dengan Pui toako."

Dan sekarang ..." kata Coh Hen Hong dengan nada meratap, "aku sudah tak punya apa-apa lagi, Mengapa

. . engkau mendesak aku ?" Mendengar itu Beng Cu tertawa ngakak. Nadanya berkumandang laksana guruh bergemuruh memekakkan telinga. Makin lama makin nyaring.

Istana Ceng-te-kiong terletak ditengah lembah gunung besar. Hamburan tawa Beng Cu berkumandang memenuhi lembah dan lereng gunung, membahana gema yang bergelora laksana ombak berkejar-kejaran mendampar ke pantai.

Coh Hen Hong gemetar, katanya, "Apakah .. . bukan begitu ?"

Beng Cu hentikan tawa dengan serentak dan dengan tandas menyahut, "Tidak !"

Seketika Coh Hen Hong rasakan kepalanya seperti disadari hawa dingin yang menurun kebawah.

Sebenarnya ia memang tak banyak mengharap kalau Beng Cu mau memberi ampun padanya. Tapi toh pada saat ia dengar keputusan Beng Cu tak dapat ditawar lagi, dia seperti dicekik setan rasanya.

Sesaat kemudian dengan napas terengah-engah dia berseru, "Baik, kalau engkau tak mau melepaskan aku, akupun tak dapat berkata apa-apa lagi. Siapa suruh aku dulu bertindak begini. Tetapi aku masih hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu.

"Soal apa?" Beng Cu agak kaget.

"Aku tak menghendaki engkau turun tangan tetapi biarkan aku sendiri yang menghabisi nyawaku!" seru Coh Hen Hong.

Beng Cu tertegun. Sebelum dia menjawab tiba-tiba dari jauh terdengar suara teriakan Pui Tiok "Beng Cu, lekas bereskan dia. Jangan sampai dia menyiasati engkau lagi."

Selama itu Pui Tiok mondar mandir di daerah gunung situ untuk mencari Beng Cu. Dia juga tak mendengar suitan dan tawa keras dari Beng Cu tadi.

Belum lama dia datang disitu. Karena di lapangan itu hanya Beng Cu dan Coh Hen Hong yang bertanding dan tak mengijinkan lain orang ikut campur maka diapun lalu menyembunyikan diri. Dia kuatir kalau sampai buka suara memanggil Beng Cu, perhatian Beng Cu akan terpecah belah dan akan menderita sesuatu yang tak diinginkan. Pada saat dia mendengar Coh Hen Hong menyatakan hendak bunuh diri dan melihat jangan2 nanti Beng Cu akan lemah hatinya dan meluluskan maka dia buru-buru berteriak memberi peringatan kepada Beng Cu.

Waktu mendengar suara Pui Tiok, Beng Cu girang sekali. Karena 10 hari ini dia tak pernah memikirkan keselamatan Pui Tiok. Dia tak sempat mencari karena harus membayangi jejak Coh Hen Hong.

Maka begitu mendengar suara Pui Tiok, dia terus mengangkat kepala. Tetapi justru pada detik ia mengangkat kepala itu, Coh Hen Hong yang tajam matanya, cepat bergerak. Dengan cepat dia enjot tubuh melesat ke belakang.

Beng Cu berteriak aneh dan loncat menyusul seraya mengayunkan kedua pedangnya. Tetapi pada saat dia hampir dapat mengejar, ternyata sudah terlambat.

Coh Hen Hong telah mendapat hasil. Dia putar tubuh dan lepaskan pukulan ke arah Pui Tiok. Pui Tiok menjerit kaget dan sorongkan kedua

tangannya ke muka, wut, wut.....

Dia hanya mengharap dorongan tangannya itu akan mampu menghentikan terjangan Coh HEN Hong dan pada saat itu Beng Cu tentu sudah tiba. Memang perhitungannya itu bagus tetapi dia lupa kepandaian Coh Hen Hong. Kepandaian gadis itu jauh lebih tinggi dari dia. Dia mendorong dengan kedua tangan walaupun mengeluarkan tenaga yang kuat tetapi tak mampu menghentikan Coh Hen Hong.

Kebalikannya pukulan itu terpental kembali oleh tenaga Coh Hen Hong sehingga Pui Tiok tersurut mundur selangkah. Dan pada saat itu juga tangan Coh Hen Hong pun sudah menerkam dadanya, terus digelandang kemuka dan tangan Coh Hen Hong dilekat pada ubun-ubun pemuda itu.

Perobahan itu sungguh tak terduga-duga dan berlangsung dengan amat cepat sekali. Pui Tiok mati kutu.

Sebenarnya Beng Cu juga sudah menerjang. Tetapi pada saat dia masih kurang setengah meter dari Coh Hen Hong ternyata Coh Hen Hong sudah lebih dulu menguasai Pui Tiok.

Beng Cu tertegun. Wajahnya yang pucat menampilkan kemarahan yang menyala.

"Lepaskan dia !" serunya.

Setelah dapat menguasai Pui Tiok, longgar lah perasaan Coh Hen Hong. Dengan menjadikan Pui Tiok sebagai sandera, dia yakin tentu akan dapat memaksa beng Cu menuruti permintaannya. Dengan begitu dia pasti dapat lolos.

Memang harus diakui bahwa Coh Hen Hong itu seorang gadis yang cerdik sekali. Sayang dia dilahirkan sebagai anak dari ibu yang dikuasai dendam kesumat lelaki yang telah menghianati cintanya. Dan darah berbara dendam sang ibu telah menjadikan jiwa Coh Hen Hong seorang yang dendam, ganas dan dingin.

Mendengar permintaan Beng Cu dia tertawa ngakak, "Ha, ha, kalau menghendaki supaya kulepaskan Pui toako-mu, mudah saja. Tetapi ada syaratnya !'

Tubuh Beng Cu bergetar dan terus hendak melangkah maju.

"Jangan bergerak !" bentak Coh Hen Hong serentak, "lekas mundur. Kalau tak mau menurut perintahku, sekali kusaluri tenaga, Pui toako-mu pasti akan hancur lebur benaknya. Heh, heh, aku toh sudah tak punya apa-apa lagi, mengapa takut melakukan hal itu ?" Mendengar itu Beng Cu tertegun dan terpaksa mundur dua langkah. Pada saat itu yang paling menderita siksa batin adalah Pui Tiok. Wajahnya menyeringai. Dia seorang jantan tapi pada saat itu tak dapat berkutik dalam kekuasaan Coh Hen Hong. Dan yang paling menyakiti hatinya, adalah karena dia, Beng Cu pun harus tunduk pada perintah Coh Hen Hong.

Ubun-ubun kepala Pui Tiok dilekati telapak tangan Coh Hen Hong. Asal dia bergerak, tentu Coh Hen Hong akan menyaluri tenaga-dalam untuk menekannya.

Sungguh suatu siksa lahir batin yang tiada taranya bagi seorang lelaki. Namun apa daya kecuali hanya dapat tertawa meringis. . . .

Melihat Beng Cu mau menurut perintahnya, girang Coh Hen Hong bukan kepalang. Dia yakin kalau bisa mendapat jalan hidup.

Setelah menghirup napas, dia berkata, "Baik, taruhlah sepasang pedang Leng-liong-kiam ditanah!"

Mendengar itu Beng Cu terbeliak. "Meletakkan sepasang pedang di tanah?" ulangnya menegas.

Coh Hen Hong berkata dingin, "Ya. Kalau engkau tak mau meletakkan sepasang pedang itu ditanah, Pui Tiok tentu tak terjamin jiwanya."

Beng Cu mengertek gigi menahan kemarahan, lalu berkata, "Setelah meletakkan lalu bagaimana?"

Coh Hen Hong tertawa gembira, serunya, "Setelah meletakkannya baru nanti kita bicara lagi. Lalu bagaimana, terserah bagaimana nanti menurut apa yang kusenangi!"

Tubuh Beng Cu tampak gemetar. Kemudian la tertawa dingin lalu berkata, "Hm, jangan kira setelah sepasang pedang Leng-liong-kiam itu kembali kepadamu engkau dapat berbuat sesuka-suka seperti yang engkau inginkan " "Bukankah tadi sepasang pedang pusaka itu juga berada ditanganmu tetapi toh dapat direbut?" sejenak berhenti Beng Cu menyelesaikan kata-katanya.

Mendengar itu hati Coh Hen Hong tergetar juga. Memang diapun sudah membayangkan hal itu. Tak mungkin dia dapat mengalahkan Beng Cu walau nanti mendapatkan sepasang pedang kembali.

Tetapi bagaimanapun juga, baginya mendapatkan kembali sepasang pedang pusaka itu merupakan langkah penting yang pertama. Setelah itu nanti bagaimana, toh dia masih mempunyai Pui Tiok sebagai sandera, mudah saja untuk mengatur langkah lebih lanjut.

Sudah jangan bicara yang tak berguna," serunya keras, "engkau mau atau tidak meletakkan sepasang pedang itu? Akan kuhitung sampai tiga kali. Kalau engkau tak mau meletakkan, hm, jangan sesalkan kalau aku bertindak tanpa sungkan lagi!"

Selesai berkata, dia terus berteriak, "Satu!”

Tring, tring . . Beng Cu membuka kedua tangannya dan melepaskan sepasang pedang Leng-liong kiam itu ke tanah.

"Bagus," seru Coh Hen Hong makin bersemangat, "lekas mundur sampai 10 langkah."

Beng Cupun cepat melesat sampai tiga tombak jauhnya. Melihat itu Coh Hen Hong lalu menggusur Pui Tiok maju ke muka. Setelah tiba didepan sepasang Leng liong-kiam, dia membungkuk dan mengambilnya.

"Nah, pedang telah engkau ambil, sekarang lepaskan dia !" seru Beng Cu.

Coh Hen Hong tertawa, "Kalau sekarang kulepaskan dia bukankah aku ini menjadi seorang tolol ?"

Beng Cu terkejut. "Lalu bagaimana maksudmu?" teriaknya marah. Dengan nada dingin Coh Hen Hong menyahut, "Aku hendak membawa Pui toako pesiar, engkau jangan menentang !" Beng Cu makin terkejut dan serentak berteriak keras, "Tidak !" Coh Hen Hong tertawa riang gembira.

"Aku hanya memberi tahu bukan meminta persetujuanmu. Saat ini engkau tak berhak mengatakan apa-apa, apalagi mau mengatakan setuju atau tidak setuju," katanya.

Beng Cu makin gemetar keras. Melihat itu Pui Tiok tak tahan dan berteriak, "Beng Cu . . !”

"Pui toako, jangan pergi dengan dia, jangan pergi dengan dia . . , " Beng Cu menjerit lalu tiba-tiba berhenti.

Adalah karena ditegang rasa emosi yang meluap dia baru menjerit sedemikian kerasnya. Dan setelah dua kali menjerit dia baru teringat bahwa hal itu bukan atas kemauan Pui Tiok melainkan karena Pui Tiok terjepit dalam keadaan yang terpaksa.

"Beng Cu, jangan kuatir, aku . . aku . . dapat menjaga diri," Pui Tiok menghiburnya.

Dia berpaling memandang Coh Hen Hong. Ia menggigil ketika melihat mata Coh Hen Hong memancar sinar berapi-api dari bara dendam yang berkobar-kobar.

Pui Tiok menghela napas dalam hati. Ia tak punya pegangan, apakah nanti dia dapat selamat atau tidak ditangan gadis yang sudah buas itu.

"Baik," seru Coh Hen Hong, "kuijinkan kalian dihadapanku untuk melakukan perpisahan yang mesra. Beng Cu, ingat, kalau kuketahui kau berani membayangi aku, Pui Tiok tentu segera kubunuh!”

Beng Cu menggeram dendam tetapi dia tahu gelagat dan tak berani bertindak. Bum. . . tiba-tiba dia menghantam batu permukaan lapangan. Kepingan batu berhamburan keempat penjuru dan lapangan itu telah bertambah dengan sebuah lubang besar, Rupanya Beng Cu telah menumpahkan kemarahannya. Dan ternyata tenaga-sakti yang dimilikinya saat itu, memang bukan olah olah hebatnya.

Coh Hen Hong tertawa ngakak. "Bagus, hantam terus lapangan itu agar hawa kemarahanmu mencurah keluar. Tetapi ingat, Jangan sekali-kali engkau mengikuti aku!" sambil berseru dia terus mencengkeram Pui Tiok dan dibawa melesat lari.

Dalam beberapa jenak saja, Dia sudah mencapai jarak sepuluhan tombak. Dia tancap ke arah belakang maka walaupun sudah terpisah sepuluhan tombak dia masih dapat melihat BengCu. Ternyata Beng Cu memang masih tegak terlongong-longong ditempatnya.

Beng Cu tak berani mengikuti. Hal itu membuat Coh Hen Hong gembira. Dia terus menerus bersuit dan beberapa saat kemudian setelah membiluk tikungan gunung, diapun lenyap.

Yang tegak terlongong seperti patung di muka istana Ceng-te-kiong hanya Beng Cu seorang diri.

Kawanan jago-jago Ceng-te-kiong yang menyaksikan pertempuran tadi sama terkejut atas kesudahan yang tak terduga-duga itu. Bermula mereka mengira kalau Coh Hen Hong sudah kalah tetapi diluar dugaan muncul seorang pemuda yang terus diringkus dan dijadikan sandera. Dengan memperoleh sandera itu Coh Hen Hong telah dapat 'memenangkan' pertempuran. Secara fisik atau adu kepandaian, dia kalah. Tetapi secara siasat, dia menang. Beng Cu tak berdaya dan terpaksa melepaskan sepasang pedang yang telah direbutnya dan membiarkan Coh Hen Hong pergi membawa si pemuda.

Jago-jago Ceng-te-kiong itu tak dapat berbuat apa- apa kecuali diam-diam, lantas tinggalkan tempat persembunyian mereka. entah berselang berapa lama Beng Cu tegak seorang diri itu, tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang memakinya.

"Tolol, manusia tak berguna! Perlu apa berdiri seperti patung disitu saja?"

Tergetar perasaan Beng Cu disibak rasa kejut ketika mendengar suara itu. Tanpa berpaling ke belakang dia sudah tahu kalau yang datang itu adalah adik Ceng-te.

Adik Ceng-te masih melanjutkan dampratannya. "Kecewa sekali aku bersusah payah begitu rupa.

Memikat datang sekian puluh orang untuk mengantarkan jiwa kepadamu agar tenaga-saktimu bertambah. Hm, dengan susah payah engkau merebut sepasang pedang Leng-liong-kiam tetapi akhirnya dengan begitu mudah saja engkau berikan kembali kepadanya. Seumur hidup aku belum pernah bertemu dengan orang yang begitu tolol seperti engkau !"

Sebenarnya Beng Cu sudah tersiksa batinnya dengan rasa marah, bingung dan gelisah. Kata-kata adik Ceng-te itu bagaikan sembilu yang menyayat- nyayat hatinya. Saking tak tahan lagi dia serentak berputar tubuh.

" Tetapi Pui toako didalam kekuasaannya, engkau melihat atau tidak ? Pui toako berada dalam genggamannya !" dia berteriak sekuat-kuatnya.

Dendam kemarahan yang tertumpah keluar melalui teriakan itu sedemikian hebat dan memilukan sehingga menghamburkan nada suara yang dahsyat. Adik Ceng-te tersentak kaget dan sampai mundur tiga langkah.

"Fui !" adik Ceng-te mendesuh marah, "apa guna engkau me-lengking2 kepadaku ? Tadi mengapa

engkau tidak segarang itu ? Mengapa tadi engkau seperti tikus melihat kucing ? Tiba-tiba Beng Cu menangis. "Pui toako berada di tangannya, Pui toako berada di tangannya ..." dia meratap sedih. Adik Ceng-te geleng2 kepala. Dia menyadari bahwa betapapun saktinya namun Beng Cu itu seorang gadis yang berhati lemah lembut. Apalagi sedang dirundung asmara terhadap Pui Tiok. Maka dia sampai tak berani berbuat apa-apa ketika Coh Hen Hong mengancam hendak membunuh Pui Tiok "Engkau mencintai Pui Tiok, kan ?" tanya adik Ceng-te. Beng Cu mengangguk.

"Oleh karena itu engkau tak berani turun tangan, bukan ?" Beng Cu mengangguk.

"Engkau menganggap kalau engkau menurut perintah Coh Hen Hong, Pui Tiok tentu selamat, ya atau tidak ?" Beng Cu mengangguk.

Adik Ceng-te tertawa hambar. "Benarkah itu" Beng Cu terkesiap dan berhenti menangis. Ada sesuatu yang dirasakannya dalam pertanyaan adik Ceng-te itu.

"Engkau tolol," seru adik Ceng-te, "walaupun engkau menuruti perintah gadis liar itu, Pui Tiok tetap akan dibunuhnya. Dan lagi dengan menyerah kan pedang Leng-liong-kiam dan membiarkan dia pergi, berarti engkau melepaskan seekor harimau ganas di dunia. Untuk mencarinya, tidak semudah yang engkau perkirakan."

Beng Cu tertegun kemudian gelengkan kepala "Tidak, tidak, Pui toako tak mungkin mati."

Adik Ceng-te kepalkan kadua tangannya kencang- kencang lalu berkata, "Mengapa tak mungkin bisa mati? Adakah iblis seperti Coh Hen Hong itu akan tiba- tiba berobah menjadi seorang Dewi welas asih?"

"Tidak, tak mungkin dia berobah menjadi seorang dewi. Dia adalah iblis yang menjelma di dunia," kata Beng Cu, "tetapi kutahu kalau dia juga jatuh hati kepada Pui toako seperti halnya aku."

Mendengar itu adik Ceng-te terbeliak. Rupanya dia terkejut dan tak menduga akan mendengar keterangan semacam itu. Sesaat dia tak dapat berkata apa-apa.

Suasana di tengah halaman depan Ceng-te- kiongpun sunyi senyap. Adik Ceng-te dan Beng Cu terbenam dalam renungan masing-masing.

Sekarang mari kita tinggalkan mereka dan mengikuti perjalanan Coh Hen Hong dengan Pui Tiok.

Dalam beberapa kejab saja Coh Hen Hong telah mencapai 20 li dan masuk ke dalam sebuah cekung gua. Disitu dia berhenti.

Setelah melihat di sekeliling tak ada orang barulah Coh Hen Hong lepaskan tangannya. Saat itu wajah Pui Tiok tampak tak sedap dipandang. Walaupun Coh Hen Hong telah melepaskan cengkeramannya tetapi dia tahu kalau tak mungkin dapat meloloskan diri. "Hendak engkau apakan aku ?" katanya.

Coh Hen Hong memandang pemuda itu beberapa saat, tiba-tiba ia menghela napas. Pui Tiok memandangnya dengan heran.

"Engkau tentu heran mengapa aku menghela napas, bukan ?" tanya Coh Hen Hong.

"Siapa tahu isi hatimu ?" sahut Pui Tiok.

"Aku sedang memikirkan apakah sebenarnya hidup ini dan apakah tujuan hidup itu ?" tiba-tiba Coh Hen Hong mengeluarkan pertanyaan aneh.

Walaupun segan tetapi Pui Tiok terpaksa harus melayani gadis itu bicara. Dia hendak mengulur waktu Mudah2-an saja Beng Cu akan menyusul dan menemukannya.

"Hidup itu satu, tapi tujuan orang bermacam- macam. Setiap orang mempunyai tujuan hidup sendiri2," katanya menanggapi pertanyaan Coh Hen Hong.

"Apa yang engkau maksudkan dengan kata-kata 'hidup itu satu?'. "Hidup itu merupakan proses perjalanan menuju kematian. Lahir untuk mati dan mati untuk lahir."

Coh Hen Hong terkesiap, "Lahir untuk mati dan mati untuk lahir. Apa maksudnya?"

"Lahir dan mati adalah dua hal yang satu. Lahir itu tak lain adalah pertumbuhan dan mati ada lah hasil daripada pertumbuhan itu. Jika dalam pertumbuhannya subur dan memberi buah yang lezat, tentu buah itu akan dipetik orang dan dimakannya.

Habis. Tetapi kalau pertumbuhannya jelek, akan menghasilkan buah yang jelek. Buah itu akan gugur ditanah dan akan tumbuh lagi."

"Begitu pula dengan lahir. Jika kelahiran itu bertumbuh dengan perjalanan hidup yang baik, tentu akan membuahkan buah yang lezat. Tetapi kalau pertumbuhannya penuh digerogoti dengan nafsu kejahatan, tentu buahnya akan mengerikan."

"Hm. ternyata engkau pandai juga ber falsafah.

Sayang aku tak mengerti hal itu. Bagiku hidup itu untuk bergerak mencari sesuatu yang diinginkan.

Dan untuk mencapai apa yang kita inginkan, kita harus berjuang keras. Kalau perlu, jiwapun harus kita korbankan."

Diam-diam Pui Tiok terkejut atas pernyataan itu.

Adakah karena mengandung cita2 hidup begitu maka Coh Hen Hong menjadi manusia yang sedemikian ambisius dan melupakan segala apa untuk mencapai cita2nya itu?

Bukankah dia berani merampok pedang Ceng leng- kiam dari tangan Beng Cu? Bukankah dia berani menyaru sebagai cucu Ceng-te? Bukankah pada akhirnya dia berani membunuh Ceng-te yang telah melepas budi begitu besar kepadanya?

Mau tak mau ngeri juga Pui Tiok membayangkan dalam pikiran gadis itu. "Bukankah engkau telah mencapai apa yang engkau idam-idamkan selama ini?" Pui Tiok coba-coba untuk memancing pertanyaan.

Diluar dugaan Coh Hen Hong gelengkan kepala, "Ya, tetapi gagal "

Pui Tiok terkejut, "Mengapa?"

"Karena aku telah kehilangan keduanya."

"Apa yang engkau maksudkan?" Pui Tiok makin tak mengerti.

"Tujuanku ke Ceng-te-kiong adalah untuk menuntut ilmu silat yang sakti, bertahun-tahun aku harus menyiksa diri untuk berlatih silat yang diajarkan Ceng- te kepadaku "

Ia berhenti dan merenung seolah seperti terbayang kembali penghidupannya selama di istana Ceng-te- kiong dulu.

"Aku telah merasakan betapa penderitaan seorang gadis yang miskin. Setiap orang menghina Bahkan engkaupun tak menganggap aku ini sebagai seorang gadis. Engkau lebih memperhatikan Beng Cu yang berwajah cantik dan berpakaian indah"

Pui Tiok terkejut. Dia hendak berkata tetapi tak jadi. Ah, apa guna dia membantah hal itu Bukankah memang begitu kenyataannya ? Bukankah sekarang segalanya sudah jelas. Dia tak suka padanya dan mencintai Beng Cu.

"Maka sejak saat itu timbullah tekadku untuk merobah diriku menjadi seorang manusia yang sakti dan cantik, agar orang terutama engkau tak memandang rendah lagi", kata Coh Hen Hong pula.

"Setelah selesai belajar silat dari Ceng-te mengijinkan aku mengembara keluar, ternyata Ceng- te memang tidak bohong. Tak ada seorang jago dalam dunia persilatan yang mampu menandingi aku. "Ceng-te kubunuh karena selama masih hidup, aku hanya jago nomor dua saja. Setelah dia mati, kukira akulah jago nomor satu dalam dunia. Tetapi ternyata muncul lagi Kwan Beng Cu "

Berhenti sejenak dia melanjut pula, "Selama ini aku disanjung dan dipuja sebagai jago nomor 1. Memang nomor satu atau nomor dua itu hanya gelar kosong.

Aku tetap dapat hidup. Tetapi bagiku hidup itu suatu tujuan dan tujuanku adalah menjadi jago yang dipertuan dalam dunia persilatan. Kalau sebagai Jago nomor dua aku harus tunduk pada orang yang lebih unggul dari aku, apa gunanya aku hidup? Lebih baik aku mati saja!"

"Hm, manusia yang dapat menguasai nafsu akan hidup bahagia dan sejahtera. Tetapi kalau nafsu yang menguasai manusia, maka celakalah manusia itu. Dia takkan tenang hidupnya."

"Setiap orang mempunyai tujuan hidup Sendiri," sanggah Coh Hen Hong.

Pui Tiok terkesiap. "Kalau begitu, tindakanmu merebut pedang Ceng leng-kiam dan menyelundup ke Ceng-te-kiong, tak lain hanya menuju ke jalan kematian saja, bukan?"

"Ya, segala sesuatu memang hanya dua, berhasil atau gagal. Tetapi bagi orang yang belajar

ilmusilat. siapakah yang tak ingin menjadi jago nomor satu di dunia. Padahal sebenarnya orang itu hanya menuju ke jalan kematian belaka !"

Habis berkata dia terus membenturkan sepasang pedang Leng-liong-kiam lalu menyanyi. Mengalunkan lagu yang sedih, diiringi dengan dering sepasang pedang pusaka yang mendering laksana hantu merintih.

Mendengar itu mau tak mau Pui Tiok tersentuh juga hatinya. Saat itu dia memandang Coh Hen Hong bukan Coh Hen Plong si gadis ganas yang haus darah. Gadis yang telah merenggut entah berapa puluh tokoh persilatan termasuk Ceng-te, kaisar kerajaan persilatan.

Tetapi dalam pandang mata Pui Tiok, saat itu Coh Hen Hong seorang gadis cantik yang tengah menyanyikan lagu2 kenangan hidupnya yang sudah sebatang kara. Gadis sebatang kara yang harus menempuh perjalanan hidup penuh derita.....

Selesai menyanyi barulah dia berkata pula, "Pui toako, hal kedua yang tak dapat kucapai dalam hidupku kecuali menjadi jago nomor satu di-dunia, adalah pasangan hidup yang kuinginkan. Akupun tak berhasil mendapatkannya "

Pui Tiok terbeliak. Dia tahu siapa yang dimaksud Coh Hen Hong.

Tetapi bagaimana lagi. Menurut dia, cinta itu bukan benda yang mudah ditukarkan atau diperjual belikan, Dia kasihan terhadap Coh Hen Hong tetapi diapun ngeri teringat akan keganasan dan sifat2 Coh Hen Hong yang liar. Ah, tidak. Bagaimanapun dia tak mau memberi harapan lagi kepada gadis itu. Segala akibat adalah karena perbuatannya sendiri yang tak kenal budi dan perikemanusiaan.

"Pui toako, setelah kubunuh engkau, akupun akan bunuh diri. Dengan begitu kita berdua akan mati bersama-sama !"

Pui Tiok terkejut mendengar pernyataan Coh Hen Hong. Apalagi ketika dilihatnya mata gadis itu memancar sinar berapi-api.

"Tunggu dulu !' cepat dia berteriak menghentikan, sembari sorongkan kedua tangannya, wut . . karena pada saat itu, Coh Hen Hongpun sudah mengangkat sepasang pedang dan hendak diayunkan ke arahnya.

Setelah menyorongkan kedua tangan Pui Tiok pun terus berjumpalitan melayang ke belakang. Tetapi ketika tubuhnya masih melayang diudara sesosok bayangan yang membawa dua macam

sinar juga melambung ke udara dan pada lain kejab terdengar suara Coh Hen Hong berseru pelahan, "Pui toako, engkau tak dapat lolos seperti akupun juga begitu. . .

Tetapi sebelum selesai dia berkata, sesosok tubuh melayang keudara. Gerakannya lebih cepat lagi dan terus menerkam punggung Coh Hen Hong,

Rupanya Coh Hen Hong tahu di belakangnya terdapat sesosok tubuh yang mengejar dan menerkamnya. Dalam gugup, tanpa berpaling lagi dia terus menusuk ke belakang.

Ternyata orang yang berada di belakangnya itu bukan lain adalah Kwan Beng Cu. Ternyata Kwan Beng Cu setelah mendengar uraian dan anjuran adik Ceng- te, terus mengejar jejak Hen Hong,

Beruntung pada saat yang berbahaya bagi Pui Tiok, Beng Cu keburu datang dan terus melayang untuk menerkam Coh Hen Hong yang hendak membacok Pui Tiok.

Beng Cu memiliki tenaga-sakti dan gin-kang yang luar biasa. Begitu Coh Hen Hong menusuk, dia terus bergeliatan ke atas lagi dan lalu menyelentik pergelangan tangan Coh Hen Hong.

Karena tangannya kesemutan, Coh Hen Hong tak kuasa memegang pedang Ceng-leng-kiam dan tahu- tahu pedang Ceng-leng-kiam terus pindah ke tangan Beng Cu.

Beng Cupun cepat menusuk punggung lawan cret . .

. Tetapi walaupun punggungnya tertusuk pedang, Coh Hen Hong masih tak mau menyerah ia kerahkan segenap sisa tenaganya untuk melambung keatas lagi.

Beng C u terpaksa melepaskan pedangnya yang masih menancap dipunggung Coh Hen Hong untuk kemudian melayang turun ke tempat Pui Tiok yang ternyata sudah turun di tanah.

Ternyata usaha Coh Hen Hong itu membawa akibat lain. Dia memang dapat menghindarKAN diri dari Beng Cu tetapi dia tak menyangka bahwa dia telah melayang makin ke tengah, jauh dari karang.

Setelah berada sejenak di udara, tubuh Coh Hen Hongpun meluncur turun tetapi tidak di atas karang melainkan terus meluncur ke dalam jurang yang tak kelihatan dasarnya.

Beng Cu dan Pui Tiok saling 'berpelukan. Kemudian mereka melongok ke bawah tetapi tak kelihatan apa- apa. Dasar jurang itu ratusan tombak dalamnya.

"Ah," Beng Cu menghela napas. Pui Tiok mengangguk, "Ya, memang sudah selayaknya dia mendapat ganjaran begitu. Tetapi ah", dia juga menghela napas, "bagaimanapun juga sebenarnya dia adalah saudaramu tunggal ayah lain mama ....

"Ya, sebenarnya akupun tak punya perasaan apa- apa kepadanya, tetapi entah bagaimana dia menganggap aku ini musuh besarnya," kata Beng Cu. Dia memandang Pui Tiok.

Rupanya pemuda itu tahu yang dimaksudkan itu. Adalah karena gara-gara dirinya memilih Beng Cu, maka Coh Hen Hong sampai tega kepada Beng Cu.

Keesokan harinya mereka turun ke bawah jurang tetapi tak berhasil menemukan mayat Coh Hen Hong. Dengan demikian sepasang pedang pusaka Leng-liong kiam itupun turut lenyap untuk selama-lamanya.

Beng Cu tak mau kembali ke Ceng te-kiong melainkan terus bersama Pui Tiok pulang ke gunung Peh-hoa-nia.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar