Pedang Berbunga Dendam Jilid 21

JILID 21

Pui Tiok terkesiap mendengar tawa orang aneh itu. Dia geram sekali Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, orang aneh itu sudah mendahului berseru, "Jangan membabi buta. Kukasih tahu kepadamu bahwa di dunia ini yang tahu akan cara itu hanya dua orang Sekarang karena Ceng-te sudah mati maka

hanya aku seorang saja. Cara itu memang hanya satu satunya cara yang terbaik!"

"Kentut!" kembali karena tak tahan Pui Tiok menggeram.

"Baik," kata suara aneh itu, "aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Toh pedang Kim-liong kiam sudah engkau serahkan kepadaku dan akupun telah memberi tahu cara menolong isterimu. Jual beli itu sudah berlaku adil. Soal percaya atau tidak, mau melaksanakan atau tidak, aku tak bertanggung jawab." Pui Tiok tertawa dingin, "Apakah aku harus percaya engkau dapat memberi petunjuk jalan ke Lembah Maut?"

Suara itu tertawa, "Kalau engkau mau percaya kepadaku, malam ini engkau akan mencapai Lembah Maut. Engkau percaya atau tidak?"

Mendengar itu tergeraklah hati Pui Tiok. Dia mengangkat kepala memandang keatas. Mentari sudah mulai berkisar ke barat. Kalau suara itu mengatakan malam nanti akan tiba di Lembah Maut, berarti hanya mernakan waktu beberapa jam saja.

Ah, dia sudah menetapkan keputusan. Dia akan menganggap kalau dirinya akan ditipu orang. Maka kalau orang aneh itu memang hendak menipunya dia tak perlu kaget karena sudah mengerti. Paling-paling dia hanya berjalan beberapa jam saja. Apa sih ruginya.

Dia sudah tak menaruh harapan kepada omongan orang itu. Maka kalau nanti memang ditipu lagi, diapun tak perlu kecewa.

Setelah merenung beberapa jenak baru dia berkata, "Baik, lalu bagaimana jalannya?"

Suara itu tertawa dingin, "Engkau percaya aku atau tidak?"

"Sudah tentu tetap tak percaya," seru Pui Tiok dingin, "tetapi karena aku tak tahu jalan, apa salahnya kalau coba-coba menuruti petunjukmu."

"Ho, itu sih baru omongan manusia. Jalanlah ke arah barat," seru suara itu.

Pui Tiok berputar tubuh. Dilihatnya di sebelah muka terdapat sebuah jalan kecil yang berliku liku. Dia lalu menghampiri jalan kecil itu lalu terus lari.

Suara aneh itu tetap mengikuti di belakangnya.

Setiap kali memberi komando supaya mengambil arah timur lalu barat. Karena tahu kalau berpaling toh takkan dapat melihat bagaimana orang aneh itu maka Pui Tiok pun tak mau menghiraukannya lagi,

Setelah melintasi beberapa puncak, cuaca mulai gelap. Dan berserulah Pui Tiok, "Hari sudah mulai gelap !"

"Ya, memang," sahut suara aneh itu, "engkau harus mencari obor. Malam ini cuacanya kurang baik. Begitu langit gelap engkau boleh menggunakan obor itu."

Pui Tiok hanya mendesuh dan tak mengiraukan.

Tetapi setelah lari 6-7 li jauhnya, terpaksa ia memotes dahan pohon siong yang panjang untuk dijadikan obor. Lalu ia menyulut batang pohon siong itu.

Setelah melanjutkan perjalanan lebih kurang sejam lamanya, Pui Tiok merasa tak asing dengan alam pemandangan di sebelah muka. Pikirnya "Apakah itu sungguh ? Apakah orang aneh itu memang benar- benar dapat memberi petunjuk ke Lembah Maut ?

Walaupun hati tak percaya tetapi kaki Pui Tiok makin mempercepat langkahnya.

Lewat setengah jam lagi, baru dia terkesiap. Dia benar-benar tiba di mulut lembah sempit. Disitu di beri papan peringatan 'Siapa berani gegabah masuk pasti mati’. Dan setelah melintasi lembah sempit itu tentu akan tiba pada jalan masuk Lembah Maut.

Benar-benar Pui Tiok tertegun. Karena walaupun dia tetap mengikuti komando orang itu tetapi dia tak mau mengharap banyak. Tetapi nyatanya sekarang dia memang tiba di mulut lembah.

"Bagaimana?" kembali suara aneh itu bertanya. Sambil menuding ke depan, Pui Tiok menyahut,

"Cukup, cukup kalau sudah melintasi mulut lembah sempit, tentu mencapai Lembah Maut."

"Benar, engkau tentu sudah kenal jalan. Aku hendak pergi." seru suara itu.

"Tunggu," cepat Pui Tiok berputar tubuh. Suara itu tak kedengaran berbicara. Pui Tiok juga tak tahu bagaimana orang aneh itu, apakah sudah pergi atau masih di situ.

"Engkau . . . engkau kasih tahu cara menolong Beng Cu itu, apakah sungguh ? dia tak menjawab melainkan gopoh bertanya.

Tetapi suara itu tidak menyahut. Hanya mendengus dan cepat sekali sudah jauh lalu tak kedengaran apa- apa lagi. Jelas sudah pergi.

Pui Tiok tertegun beberapa saat. Dia bingung tak keruan. kalau tidak atas petunjuk orang itu tak mungkin dia dapat mencapai Lembah Maut. Oleh karena itu sudah selayaknya kalau dia harus mempertimbangkan cara penyembuhan Beng Cu seperti yang disarankan itu.

Apakah cara itu memang tepat ? Berulang kali Pui Tiok bertanya dalam hati. Bagaimana jadinya kalau seseorang manusia dibakar dalam api unggun.

Dia masih meragu, Yang jelas dia gelagapan karena harus lekas-lekas menemui Beng Cu. Begitulah dengan membawa obor dia melintasi terowongan lembah sempit.

Tak berapa lama dia tiba di batu kerucut dari Lembah Maut. Sejenak dia berhenti di samping batu aneh itu, menimang-nimang pula cara seperti yang dikatakan orang aneh itu. Benarkah itu merupakan satu2nya cara untuk menolong Beng Cu ?

Ah, dia ingin menghapus saja anjuran orang aneh itu tetapi tetap saja membayang di benaknya. Dia tetap terkesan akan petunjuk orang itu yang telah benar-benar membawanya ke Lembah Maut.

"Ah, sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Cara itu jelas tak mungkin !" akhirnya dia berseru keras kepada dirinya sendiri.

Dia mendorong batu besar lalu menyusup ke dalam lubang di bawah tanah. Bukan sekali dua kali ia mengambil jalan disitu. Tetapi entah bagaimana kali ini dia merasa seperti tak enak karena hamburan hawa dingin menyongsong ke arahnya. Makin masuk ke dalam, hawa dingin itu makin keras. Waktu hampir tiba di pintu ruang batu, Pui Tiok tak tahan. Dia menggigil kedinginan.

Pui Tiok tegang. Dia merasa ada sesuatu yang telah terjadi. Serentak dia berteriak, "Beng Cu ! Beng Cu !"

Sambil maju menghampiri dia mengerahkan tenaga-murni untuk menahan serangan dingin. Setelah tiba di pintu dan melongok ke dalam, dia terkejut kegirangan dan menjerit,

Semula ia mengira, karena meninggalkan tempat itu sudah begitu lama, tentulah Beng Cu sudah mati beku. Tadi hawa dingin yang berhamburan keluar tentu berasal dari tubuh Beng Cu. Tetapi apa yang dicemaskan itu ternyata tidak benar. Saat itu dilihatnya Beng Cu tengah duduk di dipan han-giok. Itulah pertanda kalau Beng Cu masih hidup.

Diluap oleh rasa gembira, dia terus lari menghampiri masuk. Tetapi lebih kurang satu meter dari tempat Beng Cu pada saat dia hendak memeluknya, serentak dia diserang oleh setiup hawa yang luar biasa dinginnya, sehingga dia tak dapat bernapas dan jari2nyapun kaku tak dapat digerakkan. Tahu-tahu diapun seperti didorong mundur tiga langkah.

Dia berusaha untuk bernapas tetapi hidungnya ternyata sakit sekali. Dia hendak paksakan diri membuka mulut lidahnyapun kelu, tak dapat digerakkan sama sekali.

Pui Tiok mundur beberapa langkah lagi sambil mengerahkan hawa-murni untuk menghalau hawa dingin. dalam tubuhnya. Setelah itu baru dia berseru, "Beng Cu, engkau_ engkau bagaimana?" Tetapi Beng Cu tak menyahut dan tetap duduk membatu di atas dipan, Hanya dia memandang Pui Tiok. Seketika Pui Tiok rasakan tubuhnya makin lama makin dingin lagi. Ternyata hawa dingin itu memang berasal dari gerakan tubuh Beng Cu yang semula berbaring, lalu duduk. Dan walaupun sudah dapat bergerak duduk tetapi dia belum dapat bergerak lagi karena napasnya lemah sekali. Memang apa yang tengah djalami Beng Cu itu luar biasa anehnya.

Pui Tiok nekad maju selangkah. Sambil mengerahkan hawa-murni untuk menahan tubuhnya yang gemetar kedinginan, dia berseru, "Beng Cu apa engkau dapat mendengar kata-kataku ? Kalau tubuhmu tak dapat bergerak, biji matamu kan dapat bergerak. Kalau engkau memang mendengar kata- kata-ku cobalah engkau gerakkan biji matamu."

Tetapi ditunggu sampai beberapa jenak, tetap Beng Cu tak menggerakkan biji-matanya. Melihat itu karena putus asa, Pui Tiok menggentak-gentakkan kaki dan menjerit histeris

Menjerit memang tak berguna. Pui Tiok tahu hal itu. Tetapi karena tak tahan menampung siksa derita batin selama beberapa hari ini, ia ingin melepaskannya keluar dengan menjerit-jerit.

Tetapi ternyata sampai entah berapa lama ia menjerit dan berteriak-teriak itu. Beng Cu tetap duduk tak bergerak.

"Apa dia sudah mati ? Mengapa engkau menjerit- jerit begitu rupa ?" sekonyong-konyong dari belakang terdengar suara orang menegur dingin.

Mendengar suara itu kejut Pui Tiok bukan alang kepalang. Dia tak asing lagi dengan suara itu. Ya, itulah Coh Hen Hong.

Ah, celaka, tentulah Coh Hen Hong dapat masuk ke situ karena mendengar jeritannya tadi. diam-diam dia mengeluh. Tetapi dia masih sedih memikirkan keadaan Beng Cu sehingga dia diam saja.

"Bagaimana ? Apakah kekasihmu telah menjadi manusia-es ?" seru Coh Hen Hong yang berada di belakangnya lagi.

Pui Tiok tetap diam. Tetapi dia masih dapat merasa kalau Coh Hen Hong maju menghampiri. Berhenti sejenak lalu menghampiri ke tempat Beng Cu.

Memang Coh Hen Hong masih lebih sakti dari Pui Tiok. Waktu Pui Tiok mencapai jarak satu meter dari Beng Cu, dia sudah tak kuat menaban kedinginan.

Tetapi Coh Hen Hong mampu mendekat sampai terpisah jarak setengah meter. Dia berdiri tegak. Wajahnya pucat lesi. Hawa yang berhambur dari hidungnya, segera berobah menjadi uap es. Sejenak berdiri tegak, gadis itu terus mengangkat tangannya.

"Jangan menyentuhnya!" teriak Pui Tiok. "Tidak boleh di sentuh?" Coh Hen Hong tertawa

mengejek, seraya ulurkan tangan. Tetapi tangannya itu tak pernah dapat menyentuh tubuh Beng Cu.

Karena waktu terpisah seperempat meter ia rasakan ujung jarinya membeku seperti mati rasa sehingga tak dapat digerakkan lagi.

Coh Hen Hong terkejut sekali. Cepat dia mundur dan secepat itu terus menghantam.

Pukulan itu disertai dengan tenaga yang dahsyat.

Tetapi ketika hampir tiba, tenaga pukulan itupun lenyap ditelan hawa dingin dari tubuh Beng Cu.

Coh Hen Hong makin terkejut. Dia benar-benar heran melihat keadaan Beng Cu. Cepat dia berpaling dan berseru kepada Pui Tiok, "Pui Tiok dia itu orang mati atau orang hidup?"

"Tentu saja masih hidup," sahut Pui Tiok.

Kembali Coh Hen Hong terkesiap kaget. Kalau benar Beng Cu masih hidup, tentu akan merupakan duri baginya. "Kalau dia memang masih hidup, mengapa dia duduk diam seperti patung es ?"

Memang Pui Tiok sudah menyadari, Walau pun dia masih belum pasti akan keadaan Beng Cu tetapi dia tak boleh memberitahukan Coh Hen Hong bahwa Beng Cu sudah mati.

"Siapa bilang dia tak dapat bergerak ?" serunya, "waktu aku ke Ceng te kiong, dia masih berbaring. Tetapi sekarang dia sudah duduk. Dengan begitu jelas dia masih hidup !"

Mendengar itu serentak bangkitlah hawa pembunuhan dalam hati Coh Hen Hong. Dia serentak mencabut pedang Ceng-leng-kiam. Kemudian dia ayun-ayunkan pedang itu siap hendak dilontarkan ke tubuh Beng Cu. kalau terkena pedang itu, jelas Beng Cu tentu akan binasa.

Pada saat itu Pui Tiokpun sudah siap hendak mengadu jiwa. Kalau Coh Hen Hong benar-benar hendak menimpuk dengan pedang, dia akan menerjang. Tetapi untung Coh Hen Hong hanya memain-mainkan pedang Ceng-leng-kiam itu dan tak jadi menyabitkan.

Hal itu disebabkan karena Coh Hen Hong teringat akan peristiwa yang dialaminya beberapa jenak yang lalu. Begitu tangannya hampir menyentuh tubuh Beng Cu, tiba-tiba membeku tak dapat digerakkan. Dia kuatir lontaran pedang Ceng-leng-kiam itu akan mengalami nasib begitu juga. Dia sudah kehilangan pedang Kim-liong-kiam, tak mau dia kehilangan Ceng- leng-kiam lagi. Maka diapun cepat merobah rencana dan tiba-tiba acungkan ujung Ceng-leng-kiam ke arah Pui Tiok dan membentak "Berikan kepadaku!"

Pui Tiok tertawa kecut, "Pedang itu sudah tak ada padaku lagi !" "Apakah aku harus percaya ?" Coh Hen Hong tertawa mengejek dan serentak benturkan tangkai pedang ke bahu Pui Tiok.

Cepat sekali Coh Hen Hong bergerak. Karena kesima, Pui Tiok tak dapat menghindar dan jalan darah pada bahunya kena tertutuk.

Walaupun cepat tetapi Coh hen Hong tidak menggunakan tenaga kuat. Oleh karena itu walau pun jalan darah bahunya kena tertutuk sehingga tak dapat bergerak, tetapi Pui Tiok masih dapat berteriak keras,

"Mau apa engkau menjerit begitu ?" Coh Hen Hong menertawakannya.

"Perlu apa engKau menutuk jalan darahku ?" "Sudah tentu ada gunanya," sahut Coh Hen Hong, "agar, engkau takkan menghalangi apa yang akan kulakukan nanti."

Pui Tiok terkejut sekali, "Engkau . . engkau akan bertindak bagaimana ?"

Coh Hen Hong tertawa mengekeh, "Sebenarnya tak apa-apa. Maksudku hanya menghendaki engkau supaya mau menyerahkan pedang Kim-liong-kiam".

"Pedang itu telah kuberikan kepada orang”, seru Pui Tiok.

Coh Hen Hong tertawa. "Kalau engkau tetap berkata begitu, terpaksa aku harus mengeluarkan sedikit tenaga ekstra. ikut aku keluar."

Sambil berkata dia menyambar tubuh Pui Tiok terus dibawa lari keluar. Cepat sekali sudah tiba di luar terowongan disitu sudah siap empat anakbuah Ceng- te-kiong.

Coh Hen Hong meletakkan Pui Tiok di tanah. Sambil berkecak pinggang dia berkata, "Dengarkan, kalau engkau tetap tak mau menyerahkan Kim-liong-kiam, aku akan menindak kekasih-mu itu !” Wajah Pui Tiob pucat seperti kertas, "Aku aku

benar-benar telah memberikan pedang itu kepada orang."

Coh Hen Hong tertawa mendesuh dan tak mau menghiraukan Pui Tiok lagi. Dia memberi perintah kepada keempat anak buahnya, "Lekas kumpulkan kayu kering dan lemparkan kedalam terowongan. Makin banyak makin baik !" Setelah mengiakan keempat anakbuah itu segera pergi.

"Untuk apa engkau hendak menimbuni gua dengan kayu bakar ?" tanya Pui Tiok.

"Tentu saja akan kubakar." Coh Hen Hong tertawa dingin.

Seketika tubuh Pui Tiok gemetar sehingga sesaat dia tak dapat berkata apa-apa. Melihat itu, Coh Hen Hong malah tertawa girang.

"Tubuhnya dingin seperti es, tentu mengharap orang untuk menghangatkan dengan api. Aku sekarang hanya membantunya. Perlu apa engkau begitu kuatir ?"

Hati Pui Tiok berdebar keras. Dia teringat akan petunjuk dari orang aneh itu. Bukankah orang aneh itu mengatakan kalau satu-satunya cara untuk menolong Beng Cu adalah dengan jalan membakarnya.

Tetapi benarkah itu ? Haruskah dia percaya pada kata-kata itu ? dan sekarang ternyata Coh Hen Hong hedak membakar Beng Cu, ah ... .

Pui Tiok benar-benar seperti semut di atas kuali panas. Dia kelabakan setengah mati. Dilihatnya keempat anakbuah Ceng-te kiong Itu tak henti- hentinya melontarkan kayu kering kedalam gua.

Kalau nanti dibakar apakah benar Beng Cu akan tertolong seperti yang dikataban orang aneh itu.

Ataukah akan mati hangus?

Saking tak tahannya, Pui Tiok berteriak, "Sudah, sudah, jangan kalian teruskan melempar kayu kering" "Kalau begitu apakah engkau mau menyerahkan pedang Kim-liong-kiam?" tanya Coh Hen Hong.

Napas Pui Tiok berangsur keras. Dia tak menjawab pertanyaan Coh Hen Hong melainkan berseru, "Kalau engkau bakar, itu akan menolong Beng Cu. Karena menurut orang itu, memang begitulah satu-satunya cara untuk menolongnya. Hawa dingin yang menggempal dalam tubuhnya memang harus dihancurkan dengan api!"

Mendengar itu Coh Hen Hong tertawa ngakak, "Benarkah begitu?"

"Ya, memang benar,"sahut Pui Tiok, "itu petunjuk dari seorang ko-jiu yang sakti kepadaku. Tak mungkin keliru."

"Bagus," seru Coh Hen Hong, "kalau begitu biarlah aku berbuat kebaikan untuknya. Tetapi mengapa engkau begitu gugup sekali ?"

Pui Tiok tak dapat menjawab. Hanya keringatnya yang bercucuran seperti hujan.

Coh Hen Hong memberi isyarat dan keempat anak buah Ceng-te-kiong itu melanjutkan lagi melontarkan kayu kering kedalam gua. Lebih kurang sejam kemudian gua itu sudah penuh dengan kayu bakar.

Mereka berempat tegak berjajar-jajar di belakang Coh Hen Hong.

"Nah, sekarang bagaimana ?" serunya kepada Pui Tiok.

Tubuh Pui Tiok basah kuyup mandi keringat, sahutnya, "Jangan . . . dibakar. Aku akan berusaha untuk mendapatkan pedang Kim-hong-kiam itu kembali."

"Aku tak percaya kalau engkau telah memberikan pedang itu kepada orang. Hayo bilanglah terus terang saja ! sambil berkata Coh Hen Hong sudah mengeluarkan korek, cret . . korekpun menyala. "Kalau engkau bakar, berarti engkau membantunya," seru Pui Tiok nyaring. Dia memang bingung. Ia tak ingin Coh Hen Hong melepas api maka ia berusaha agar Coh Hen Hong percaya kalau dengan cara itu akan menguntungkan Beng Cu. Ia harap Coh Hen Hong tak mau melanjutkan tindakannya

Coh Hen Hong tertawa mengakak. "Aku akan bertanya sekali lagi kepadamu dan takkan bertanya lagi."

Sejenak berhenti, ia segera bertanya, "Mana pedang Kim-liong-kiam itu ?"

"Telah . . telah kuberikan kepada orang !"

Ciuuttt . . . sekali tangan Coh Hen Hong melentik maka korek api itupun segera melayang ke arah kayu bakar. Serentak terdengar bunyi ber keretekan ketika api memakan kayu kering dan serentak apipun menyala besar. Melihat itu napas Pui Tiok terengah- engah.

"Sebatang pedang ditukar dengan seorang kekasih, masa engkau tak mau. Beng Cu tentu tahu bagaimana sifatmu. Lekas bilang sejujurnya mumpung api masih dapat diatasi."

"Lekas padamkan api. Lebas padamkan api. Lekas, lekas” teriak Pui Tiok.

"Baik, lalu pedang Kim-liong-kiam,"

"Aku memang benar-benar telah memberikan pedang. itu kepada orang," Pui Tiok mengertek gigi.

Coh Hen Hong kerutkan alis. Pikirnya, kalau dalam situasi yang begitu gawat, Pui Tiok masih tetap mengatakan begitu, mungkin saja memang sungguh begitu.

"Engkau kasihkan siapa?" tanyanya dingin.

Melihat api makin meranggas besar dan menyusup masuk kedalam gua, akhirnya dia gopoh berseru, "Sukar bagiku untuk melihat dia dengan jelas. Tak tahu pula siapa namanya. Apa yang kukatakan ini memang sungguh-sungguh!"

"Kalau begitu, mengapa engkau kasihkan pedang itu kepadanya ?"

"Karena . . . karena dia mengatakan tahu tentang cara menolong Beng Cu. Dengan syarat kalau aku mau menyerahkan pedang Kim-liong-kiam kepadanya. Maka terpaksa kuserahkan pedang itu"

Coh Hen Hong tertawa dingin, "Kalau begitu, engkau kena tipu ?"

"Aku . . aku . . ya katakanlah begitu. Tetapi mungkin tidak. Dia memang telah memberi tahu tentang caranya hanya aku sendiri yang tak berani melakukannya."

"Bagaimana cara yang diajarkan itu ?" tanya Coh Hen Hong makin ingin tahu.

Pui Tiok memperhatikan kalau api mulai menjilat ke dalam gua. Asap yang mengepul tebal berhamburan keluar. Pui Tiok menghela napas panjang.

"Kata orang aneh yang misterius itu, caranya hanyalah dengan membakar Beng Cu," katanya sesaat kemudian.

Coh Hen Hong tertawa ngakak, "Bagus, engkau memang cerdik sekali hendak menyelomoti aku agar memadamkan api. Engkau ngimpi namanya! hayo, kita pergi!" dia memberi isyarat kepada ke-empat anakbuahnya dan terus melesat keluar. Ke-empat orang itupun segera mengikuti.

Pui Tiok memang tak berkutik. Tetapi mata dan pikirannya masih sadar. Dia tahu kalau Coh Hen Hong keluar dari lembah karena pada saat itu dia mendengar suara Coh Hen Hong menghambur dari arah mulut lembah.

Coh Hen Hong tertawa aneh dan berseru, , "Jalan darahmu, dalam dua jam lagi akan terbuka sendiri. Tetapi pada saat itu kayu kering tentu sudah terbakar habis semua. Pada saat Itu engkau boleh membersihkan abu dan masuk kedalam gua. Coba lihat saja apakah kekasihmu itu tertolong atau tidak!"

Dalam beberapa kejab saja suara gadis itu sudah lenyap jauh. Pui Tiok tahu apa tujuan Coh Hen Hong. Gadis Itu memang sadis sekali. Karena tak mendapat Kim-liong-kiam, dia tak mau memberi ampun Beng Cu. Dia sengaja suruh. Pui Tiok menyaksikan pembakaran itu agar dia tersiksa batinnya.

Dilihatnya api makin lama makin meranggas masuk ke dalam gua dan tumpukan kayu keringpun makin lama makin habis.

Pui Tiok melihat itu semua tetapi dia tak berdaya sama sekali. Dia berusaha keras untuk menyalurkan tenaga-murni untuk menjebol jalan-darahnya yang tertutuk. Tetapi kepandaian Coh Hen Hong lebih unggul dari dirinya. Tak mampu dia membuka jalandarah yang ditutuk gadis itu.

Tak ada lain jalan bagi Pui Tiok kecuali pasrah.

Namun ia masih mempunyai setitik harapan, Mudah mudahan cara yang diajarkan orang aneh itu benar. Bahwa hanya api besar yang dapat menolong Beng Cu.

Kalau memang begitu maka tindakan Coh Hen Hong untuk membakar hangus tubuh Beng Cu malah akan merupakan pertolongan bagi Beng Cu.

Tetapi mungkinkah itu ? Pui Tiok tak berani menaruh kepercayaan karena kalau dia percaya, tentu dia sudah melakukannya.

"Kalau orang aneh itu benar-benar telah menunjukkan jalan ke Lembab Maut situ, tentu cara yang dikatakan untuk menolong Beng Cu, juga tentu sungguh. Demikian dia menghibur hatinya. Tetapi sekalipun begitu tetap dia gelisah tak keruan Dia tak merasakan bagaimana waktu dua jam itu akan tiba. Tetapi yang jelas selama menanti dan menyaksikan pembakaran itu, ia terus menerus kerahkan tenaga- murni. Sejam kemudian ia rasakan tubuhnya longgar dan itu berarti jalandarahnya yang tertutukpun sudah bebas.

Seharusnya dia berbangkit dan menerobos ke dalam gua. Tetapi ternyata tidak. Dia masih tegak terlongong-longong. Karena selama sejam itu, dia melihat asap tebal yang berhamburan ke luar dari gua itu makin lama makin tebal.

Entah selang berapa lama barulah asap tebal itu mulai menipis dan akhirnya habis. Pembakaran telah selesai bagaimana keadaan Beng Cu ?

Tadi selama menyaksikan api berkobar, betapa inginnya dia segera menerobos untuk menolong Beng Cu. Tetapi sekarang setelah pembakaran itu selesai dia malah tak berani melihat kedalam. Benar 2 dia tak punya nyali untuk melihat keadaan Beng Cu. Dia membayangkan Beng Cu tentu akan menjadi sesosok arang. Entah berselang berapa lama, akhirnya dia menghampiri mulut gua. Segulung hawa panas berhembus keluar dan Pui Tiok kembali tertegun.

"Beng Cu!" Beng Cu!" akhirnya dia berteriak.

Bermula suaranya lemah tetapi makin lama makin nyaring. Tetapi sampai beberapa saat tetap tiada penyahutan.

Tiba-tiba Pui Tiok rasakan kepalanya pusing dan hampir jatuh kedalam mulut gua. Walaupun api sudah padam tetapi dalam gua masih diliputi hawa yang panas.

Pui Tiok nekad. Dengan menutup pernapasan dia terus menerobos masuk. Setiap maju selangkahf dia rasakan semakin meningkat panasnya. Dinding gua seperti wajan panas sehingga dia mandi keringat.

Waktu hampir tiba di pintu ruang batu, karena tak tahan panas dia hendak mengangakan mulut untuk mengamhil napas. Setelah terengah-engah baru dia paksakan diri untuk melangkah masuk.

Pintu masih seperti semula, setengah terbuka. Dia hendak mendorong daun pintu tetapi belum sampai menyentuh dia sudah menarik tangannya. Daun pintu panasnya bukan kepalang.

Sejenak berpikir, Pui Tiok lalu ayunkan tangan menampar. Tanpa menyentuh, pintu itu terbuka. Segulung hawa panas menyembur keluar sehingga membuatnya terhuyung mau jatuh. Ketika memandang kedalam ruang, tubuhnya bergetar keras dan jatuhlah dia ke lantai. Tetapi tanah juga panas seperti bara maka begitu tangan menjamah tanah dia menjerit kesakitan dan cepat melenting bangun.

Apa yang menyebabkan dia begitu menderita goncangan hati yang dahsyat tak lain adalah karena melihat keadaan Beng Cu. Tadi sepintas panjang dia seperti melihat tubuh Beng Cu sudah menjadi arang. Tetapi kini setelah dia memandang dengan seksama dia terkejut. Memang Beng Cu masih tak berkutik tetapi tidak menjadi arang.

Agak longgar hati Pui Tiok. Buru-buru dia melangkah masuk. Ketika tiba di muka Beng Cu dia rasakan hidung Beng Cu masih mengeluarkan napas yang lemah.

Pui Tiok ulurkan tangan memegang bahu Beng Cu Kejutnya bukan kepalang. Karena bahu Beng Cu basah seperti habis mandi. Aneh sekali. Bukankah tadi api menyala begitu hebat sehingga seluruh gua menjadi panas membara? Mengapa Beng Cu malah basah kuyup?

Pui Tiok dua kali memanggilnya tetapi Beng Cu tetap tak menyahut. Tanpa berpikir panjang, Pui Tiok terus memeluknya.

Alangkah kejutnya ketika mendapatkan tubuh Beng Cu kurus kering tinggal tulang terbungkus kulit saja. Dia pelahan-lahan meletakkan tubuh Beng Cu di atas dipan lalu menarik kedua kakinya. Hampir saja Pui Tiok tak dapat mengenali wajah Beng Cu yang begitu perok seperti tengkorak.

Tetapi bagaimanapun perasaan Pui Tiok agak longgar karena mengetahui bahwa Beng Cu masih bernapas

"Tak apa, Beng Cu, engkau tak kena apa-apa," tak henti hentinya dia berkata gembira.

Keesokan harinya Pui Tiok mulai cemas. Sampai saat itu Beng Cu tetap belum sadar. Bahkan sampai hari ketiga juga masih belum bangun.

Berulang kali dipanggil tetap nona itu tak menjawab. Pui Tiok sungguh gelisah sekali. Dia lalu memondong tubuh kurus nona itu dan dibawa ke luar. Saat itu matahari hampir silam, memancarkan sinar yang merah lembayung. Wajah Beng Cu makin tampak menyeramkan. Pui Tiok menghela napas dan dengan hati-hati meletakkannya diatas rumput yang halus. Ia sendiri lalu berlutut dihadapan nona itu.

Sebenarnya Beng Cu masih bernapas walaupun lemah sekali Tetapi keadaan fisiknya yang begitu mengenaskan telah membuat Pui Tiok putus harapan. Karena kalau selama tiga hari ini dia tidak menunggu di sampingnya, tentulah dia takkan mengenali lagi kalau tubuh yang hanya merupakan seperangkat tulang terbungkus kulit itu adalah Kwan Beng Cu.

Pui Tiok diam. Dia tak bicara tidak berteriak karena tadi dia telah menghamburkan teriakan sepuas- puasnya. Yang menangis dan menjerit adalah hatinya. Tak tahu entah berselang berapa lama, dia. rasakan cuaca sudah gelap dan djapun menghela napas pelahan-lahan.

"Hebat, hebat. benar-benar seorang kekasih yang sangat setia. Sungguh sukar didapat," tiba-tiba terdengar suara tawa dingin. Pui Tiok mengangkat kepala dan melihat Coh Hen Hong tengah duduk di atas segunduk batu besar yang tak jauh disebelah muka. Melihat itu Pui Tiok cepat berpaling muka. Dia tahu kalau bukan tandingan Coh Hen Hong. Dia benci sekali dan diapun tak mau bicara lagi kepada nona itu. Dia tertawa dingin. Tawa yang memandang hina kepada Coh Hen Hong. Kemudian ia membungkuk tubuh hendak memeluk Beng Cu.

Tetapi baru ia membungkuk, segulung angin kuat telah melandanya. Dia tahu kalau Coh Hen Hong sudah tiba di mukanya. Saat itu karena merasa Beng Cu sudah tiada harapan hidup, karena putus asa Pui Tiok tak peduli segala apa lagi. Dia mundur selangkah dan berdiri.

"Apa ? Apakah itu ... dia ?" Pui Tiok tak menyahut. "Dia . . . menjadi begitu rupa ?" kembali Coh Hen

Hong berseru.

Pui Tiok tertawa dingin, "Itulah hasil dari hadiahmu

!"

Coh Hen Hong mendesuh, "Hm, aku takkan berbuat

kepalang tanggung. Kalau dengan api dia tak mati, berarti peruntungannya kurang. Kalau mati beberapa hari hidup dalam dosa, tentu takkan lolos dari pukulanku !"  "Jangan menyentuhnya," seru Pui Tiok.

Coh Hen Hong tertawa memanjang. "Mau menyentuh atau tidak, siapa yang dapat melarangku”

Habis berkata ia terus menghantam ke arah Pui Tiok. Karena marah, Pui Tiok nekad menyongsong dengan hantaman, plak. .. dua buah pukulan keras saling beradu.

Pui Tiok tak dapat menguasai tubuhnya yang terdorong mundur sampai tiga langkah, baru dia dapat berdiri tegak.

Coh Hen Hong sendiri juga tergetar. Dengan mengertak gigi dia hantamkan tangan kiri ke arah Beng Cu. Betapa hebatnya pukulan itu dapat diketahui dari anginnya yang menderu keras. Melihat itu Pui Tiok nekad hendak menerjang tetapi pukulan tangan kanan Coh Hen Hong menghalanginya.

Pui Tiok menjerit keras dan melayang turun ke tanah, sementara pukulan Coh Hen Hong sudah melanda tubuh Beng Cu. Tubuh Beng Cu melesak kedalam tanah.

Melihat itu hati Pui Tiok seperti hancur. Dia lunglai dan jatuh tertunduk di tanah.

"Akhirnya engkau harus mati juga di tanganku, ha, ha , ha," Coh Hen Hong tertawa nyaring.

Pui Tiok tetap lunglai dan tak dapat menjawab. "Engkau tak usah seperti sebuah tengkorak yang

menyeramkan," seru Coh Hen Hong.

Sekonyong konyong terjadi suatu keajaiban. Tubuh Beng Cu bergetar dan tahu-tahu tangannya dapat bergerak meraba wajahnya. Sudah tentu yang diraba itu hanya tulang terbungkus kulit. Serentak dia berseru gemetar, "Pui toako, aku ini bagaimana ?"

Pui Tiok cepat menghampiri, "Beng Cu, engkau seperti kembali dari akhirat. Sudah tentu agak kurus. Nanti beberapa hari lagi engkau tentu sudah pulih seperti sediakala. Jangan sedih."

"Uh, apakah masih ada beberapa hari lagi Engkau benar-benar tolol sekali," ejek Coh Hen Hong.

Suasana hening lelap. Beng Cu pun berbangkit duduk dan memandang ke sekeliling penjuru, Tingkah lakunya aneh sekali. Sepasang matanya memancarkan sinar yang aneh juga. Setelah berpaling sejenak dia menggeliat berdiri. Tadi kalau dia bisa duduk, sudah mengejutkan orang. Apalagi sekarang dia berdiri.

Bahkan Pui Tiok sendiri juga menggigil.

Karena tubuhnya begitu kurus sehingga pakaiannya melekat ketat. Sepintas menyerupai sesosok mummi. Tapi jelas ia bukan mummi karena matanya masih dapat berkeliaran memandang kian kemari.

Ia berpaling pelaban-lahan. Pertama, memandang Pui Tiok lalu beralih pada Coh Hen Hong.

Saat itu Coh Hen Hong mundur beberapa langkah. Jaraknya hampir dua tombak dari Beng Cu. Beng Cu tentu melihat kedua anakmuda itu tetapi entah bagaimana sikapnya seperti tak kenal dengan mereka lagi.

Setelah berdiri beberapa saat, dia mulai pelahan- lahan maju selangkah. Melihat itu Coh Hea Hong tak tahan lagi. Dia membentak keras, "Engkau ini setan atau manusia ?". Rupanya bentakan yang dahsyat itu telah mengejutkan dan mengembalikan kesadaran pikiran Beng Cu. Dia terlempar keatas dan selekas turun ke tanah terus berseru, "Pui Toako !"

Suaranya juga aneh menyeramkan sehingga Pui Tiok mengkirik. Dia tak lekas menyahut melainkan menghela napas. Sambil memanggil Pui Tiok, Beng Cu terus loncat menghampiri. Tetapi gerakan itu bukan loncatan biasa melainkan seperti terbang diatas kepala Pui Tiok. Waktu melayang diatas kembali dia berseru memanggil, "Pui toako !"

Ai . . . terdengar dia menjerit kaget. Pui Ti ok cepat berputar tubuh. Ternyata Beng Cu sudah berada tiga empat tombak jaraknya. Gerak loncatnya tadi telah mengantar dia melayang keatas sampai satu setengah tombak dan mencapai jarak lima enam tombak jauhnya. Rupanya dia sendiri juga kaget sehingga menjerit heran.

Selekas turun ke tanah cepat dia berpaling, dan berseru, "Pui toako, aku ini bagaimana?"

"Engkau.. .engkau telah pingsan selama 10 an hari dan sekarang sudah sadar. Ilmu kepandaianmu tentu maju hebat," jawab Pui Tiok. "Benar?" Beng Cu menegas gembira. Dia melangkah maju. Tetapi baru mengayunkan langkah dan menunduk, dia melihat betapa kurus kedua lengannya, "Pui toako, aku. . . mengapa begini kurus sekali?"

Pui Tiok tak tahu bagaimana harus menjawab. "Engkau memang seperti tengkorak hidup yang

menyeramkan," Coh Hen Hong melengking.

Pui Tiok maju menghampiri, "Beng Cu, engkau seperti orang mati yang hidup kembali, sudah tentu kurus. Tetapi tak apa, nanti beberapa hari engkau tentu akan pulih kembali."

"Uh, adakah masih beberapa hari itu?" Coh Hen Hong mengejek. Lalu tertawa keras dan menimbulkan kumandang dahsyat. Seketika mata Pui Tiok serasa gelap dan semangatnyapun terbang.

Coh Hen Hong tetap menghambur tawa. Tetapi dalam pada itu Pui Tiok sempat memperhatikan kalau saat itu Beng Cu bergerak duduk. Saat itu malam makin kelam sehingga menambah seram suasana.

Beng Cu benar-benar sesosok tengkorak yang bangkit dari liang. Walaupun dihantam Coh Hen Hong, dia tetap tak kena apa-apa. Bahkan malah duduk.

Pui Tiok yang sudah berkunang-kunang pandang matanya, saat itu serentak sadar lagi. Jelas bahwa matanya tak keliru, Beng Cu memang duduk.

"Beng Cu!" teriaknya. Teriakan itu membuat Coh Hen Hong tundukkan kepala dan diapun segera melihat bahwa Beng Cu telah duduk. Walaupun dia memiliki kepandaian yang sakti tetapi menyaksikan pemandangan seperti itu mau tak mau dia terlongong-longong juga.

"Coh Hen Hong," seru Pui Tok, "berulang kali engkau gagal menganiayanya. Jelas kalau hal itu karena Tuhan tak mengijinkan. Sekarang engkau masih mau apa lagi?" Coh Hen Hong tertawa dingin, "Aku tak takut segala apa dan tak percaya pada takdir Tuhan. Aku tetap hendak membunuhnya agar engkau dapat membuktikan apakah takdir yang benar, atau aku yang benar"

Pui Tiok maju selangkah untuk melindungi di depan Beng Cu, "Tidak mudah kalau engkau hendak membunuhnya karena paling tidak engkau harus dapat membunuh aku dulu!"

Coh Hen Hong tertawa mengekeh, "Lucu sekali omonganmu itu. Apakah aku takut kepadamu! Apakah engkau mampu melindungi dia? Apakah waktu membunuhmu, tanganku akan lemas lunglai?'

Ketiga pertanyaan itu tak dapat dijawab Pui Tiok. Sebenarnya dia masih mempunyai setitik harapan dalam ucapannya tadi. Dja mengharap Coh Hen Hong masih mempunyai setitik perasaan dan takkan turun tangan. Tetapi sekarang harapan itu telah hapus sama sekali.

Dari kata-katanya itu jelas kalau Coh Hen Hong sudah putus asa kepadanya dan sekarang berbalik membencinya sekali. Cinta memang begitu. Kalau tak berhasil mendapatkan tentu akan berbalik menjadi dendam kebencian yang membara.

Saat itu Coh Hen Hong seperti seekor serigala yang buas yang menguasai seekor anak kambing Pui Tiok mengharap belas kasihan tetapi ternyata serigala itu tak mau ditawar lagi kebuasannya. Setelah berkata Coh Hen Hong tertawa mengekeh. Pui Tiok menghela napas dan berpaling, serunya, "Beng Cu, engkau baru sembuh, menyingkirlah biar aku yang menghadapinya."

"Engkau engkau akan melawannya?" Beng Cu

gemetar suaranya. Coh Hen Hong tertawa makin keras, "Kalian boleh berunding pelahan-lahan, siapa yang lebih dulu menunggu di pintu akhirat."

"Aku!" tiba-tiba Beng Cu membentak. Dan menyusul dengan itu, diluar dugaan Pui Tiok, saat itu telah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Tubuh Beng Cu mencelat keudara.

"Jangan," seru Pui Tiok seraya menyambarnya dengan cepat. Tetapi Beng Cu lebih cepat lagi. Tangan Pui Tiok hanya menyambar angin karena Beng Cu sudah menerjang Coh Hen Hong. Waktu Pui Tiok masih tertegun kaget, terdengarlah deru angin pukulan Coh Hen Hong yang disongsongkan ke dada Beng Cu.

Tadi Beng Cu telah loncat melampaui kepala Pui Tiok. Dan selagi dia melayang turun telah dihantam dadanya oleh Coh Hen Hong. Pui Tiok ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau tubuh Beng Cu yang tinggal tulang terbungkus kulit itu termakan pukulan Coh Hen Hong. Tanpa disadari dia menjerit sakeras-kerasnya.

Tampak tubuh Beng Cu yang kurus kering itu bergoncang-goncang kian kemari tetapi anehnya pukulan Coh Hen Hong itu tak mampu melemparkannya ke belakang. Beng Cu tetap dapat melayang turun ketanah.

Dan diluar dugaan, Pui Tiok melihat bukan Beng Cu yang mencelat sebaliknya malah Coh Hen Hong yang terdorong mundur sampai tiga langkah. Wajah gadis itu tampak ketakutan sekali.

Serentak Pui Tiok berhenti menjerit. Saat itu tubuh Beng Cu sudah berdiri tegak di tanah dan Coh Hen Hong pun sudah melolos pedang Ceng-leng-kiam.

Dari adegan itu dapatlah Pui Tiok menarik kesimpulan bahwa pukulan Coh Hen Hong itu tak dapat menghancurkan Beng Cu sebaliknya dia sendiri yang menderita kerugian

Pui Tiok benar tak mengerti hal itu. Tetapi dari sikap dan wajah Coh Hen Hong yang terus melolos pedang Ceng-leng-kiam dan tampak ketakutan itu, Pui Tiok percaya bahwa penilaiannya tentu benar.

"Ho, tak perlu engkau melawannya mati2an Ilmu kepandaiannya sekarang jauh lebih tinggi dari engkau. Apakah engkau belum merasakan hal itu pada pukulanmu tadi ?" seru Pui Tiok kepada Coh Hen Hong.

Sebenarnya Pui Tiok cemas ketika Coh Hen Hong mencabut pedang Ceng-leng-kiam. Maka sengaja dia gunakan kata-kata untuk menggertak Coh Hen Hong. Siapa tahu gertakan itu ternyata termakan di hati Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong benci sekali kepada Pui Tiok karena pemuda itu telah menipu cintanya dan ternyata lebih mencintai Beng Cu. Dia hendak menyiksa Beng Cu di depan mata Pui Tiok agar Pui Tiok menderita batinnya. Oleh karena itu dalam menyongsong terjangan Beng Cu tadi, dia telah gunakan delapan dari tenga- saktinya. Menurut keyakinannya, pukulan itu tentu akan dapat merontokkan tulang belulang Beng Cu dan akan hancur berkeping keping. Bukankah itu suatu kematian yang mengerikan ?. Pukulan maut tadi telah dilancarkan dengan cepat sekali dan tepat mengenai dada Beng Cu. Tapi baru tangannya menyentuh tubuh Beng Cu, segera ia rasakan sebuah lautan tenaga- sedot yang hebat. Dia berusaha untuk menahan tetapi tak mampu mempertahankan tenaganya yang tersedot lenyap.

Itulah sebabnya dia ketakutan setengah mati mundur tiga langkah terus mencabut pedang Ceng leng kiam. Ilmu kepandaian dan pengetahuan serta pengalaman Coh Hen Hong memang tinggi dan luas. Tetapi mengapa dan kemana lenyapnya tenaga- pukulannya yang tersedot tubuh Beng Cu tadi, benar- benar dia tak tahu. Dan waktu Pui Tiok menggertaknya, dia makin kelabakan kagetnya.

Tetapi dia seorang gadis yang keras kepala.

Bagaimanapun juga dia tak mau meninggalkan tempat itu. Dia masih hendak mencoba lagi dengan pedang Ceng leng-kiam. Apabila tetap gagal, toh dia masih mampu melarikan diri.

Melihat Coh Hen Hong tak mempan digertak Pui Tiok sendiri yang kelabakan. Cepat ia maju selangkah kesamping Beng Cu dan berseru, "Beng Cu, engkau . . biarkan aku yang menghadapinya"

Tetapi Beng Cu gelengkan kepala, "Engkau saja yang menyisih ke samping. Aku tak takut kepadanya. Pukulannya tadi, rasanya . . aku masih dapat menerima. Aku tak takut padanya." '

Sebenarnya Beng Cu sendiri tak mengerti apa sebabnya ia dapat menerima pukulan itu. Hanya waktu pukulan yang dahsyat itu mengenai tubuhnya, segelombang tenaga-kuat meresap ke dalam tubuhnya lalu beredar ke seluruh jalan darah dan menyatu dengan tenaganya sendiri, menimbulkan rangsang semangat yang nyaman sekali.

Mendengar pernyataan Beng Cu, Pui Tiok tertegun.

Dia tak mengerti apa yang dimaksudkan Beng Cu. "Beng Cu," serunya berbisik. "pedang Ceng-leng-

kiamnya itu tak boleh dibuat main-main " "Jangan kuatir," sahut Beng Cu, "aku dapat

menghindari. Malah engkau saja supaya lekas menyingkir kesamping, jangan sampai nanti melukaimu."

Sebenarnya Pui Tiok enggan tetapi tiba-tiba Beng Cu mendorongnya. Bermula dorongan itu tak bertenaga tetapi entah bagaimana tahu-tahu Pui Tiok terdorong mundur sampai 7-8 langkah.

Ilmu kepandaian Pui Tiok saat itu sebenarnya sudah cukup hebat. Jauh lebih maju dari dulu. Tetapi mengapa dia sampai terdorong begitu jauh, dia sendiri tak habis herannya karena ia sama sekali tak merasa kalau dorongan Beng Cu itu mengandung tenaga.

Sesaat Pui Tiok tertegun tak tahu apa yang akan dilakukan. Sementara itu Beng Cu tampak pelahan lahan maju ke tempat Coh Hen Hong seraya tertawa, "Hayo seranglah dengan pedangmu. Mengapa engkau diam saja?. Engkau kira kami tak kan mampu menandingimu? Ho, jangan melamun!''

Tubuh Beng Cu yang kurus kering seperti sebatang tonggak, bergoyang-goyang maju menghampiri.

Sepintas menyerupai sesosok setan yang mengerikan. Melihat Beng Cu tak takut dan malah menantang, hati Coh Hen Hong makin menggigil.

Ujung pedang Ceng-leng-kiam sudah ditujukan pada jalan darah maut di tubuh Beng Cu. Tetapi tanpa disadari kakinya selangkah demi selangkah mundur ke belakang. Beng Cu maju selangkah, dia mundur selangkah.

Beng Cu sendiri belum yakin apakah dia mampu melawan Coh Hen Hong. Tetapi saat itu pikirannya memang masih belum sadar seluruhnya sehingga dia tak dapat memikirkan hal itu. Baginya hanya merasa bahwa pukulan Coh Hen Hong tadi malah menumbuhkan rasa nyaman pada semangatnya. Dan bahwa Coh Hen Hong saat itu tampak ketakutan dan mundur ke belakang.

Selama beberapa tahun ini, sudah cukup banyak hinaan dan siksaan yang dideritanya dari Coh Hen Hong, Karena Coh Hen Hong lebih sakti maka selama itu dia tak dapat membalas. Bahkan setiap kali melihatnya tentu akan lari, setiap kali bertemu tentu menderita hinaan.

Tetapi sekarang situasinya berobah. Dia maju Coh Hen Hong ketakutan mundur. Walaupun dia belum yakin dapat mengalahkan tetapi hal itu saja sudah memberi kemenangan moril yang menggembirakan hati Beng Cu.

Sejak Coh Hen Hong merebut pedang Ceng leng kiam dari tangannya, tiada sesaatpun Beng Cu berhenti mengharap akan tibanya saat seperti saat sekarang ini. Dan akhirnya harapan itu menjadi kenyataan.

Selangkah demi selangkah dia menghampiri maju sembari tak henti-hentinya berseru, "Hayo, seranglah dengan pedangmu. Mengapa engkau tak berani menyerang ?"

Sebenarnya ujung pedang Ceng-leng-kiam sudah ditujukan ke dada Beng Cu. Andaikata saat itu Coh Hen Hong masih memiliki pedang Kim-liong-kiam. dia tentu tak ragu lagi untuk menyerang. Tetapi sekarang dia hanya membawa Ceng-leng-kiam saja Apakah sekali serang dapat berhasil, dia benar-benar masih sangsi. Oleh karena itu ia harus berhati hati dan terpaksa menekan nafsu-nya.

Karena terus menerus mundur, akhirnya tibalah Coh Hen Hong dimuka segunduk batu besar. Dia tak mungkin dapat mundur lagi. Dan disitu dia lalu berdiri tegak.

Sepasang matanya berapi-api memancarkan hawa kemarahan yang menyala. Hatinyapun gusar sekali Belum pernah selama ini, dia harus mundur sampai beberapa langkah. Tetapi kali ini dia harus mundur terus menerus sampai dua tiga puluh langkah.

Setelah berdiri tegak dia berkata sarat, "Engkau tentu melihat bahwa yang kupegang ini adalah pedang Ceng-leng-kiam." "Tentu saja aku melihatnya," sahut Beng Cu dengan nada hambar. "pedang Ceng-leng-kiam itu sebetulnya adalah milikku."

Coh Hen Hong menjerit keras dan Ceng-leng- kiampun segera bergerak melingkar memancarkan cahaya biru yang menyilaukan mata. Tetapi dia hanya mengayun-ayunkan saja dan belum menyerang. Dia memang hendak menguji apakah Beng Cu takut atau tidak.

Tetapi diluar dugaan, bukan saja Beng Cu takut, pun sebaliknya dia malah maju lagi setengah langkah.

Dalam keadaan seperti tiada lain jalan bagi Coh Hen Hong kecuali loncat ke belakang batu dan

melarikan diri. Tatapi hal itu dia tak menginginkan. Maka pada waktu Beng Cu maju setengah langkah,

pedang Ceng-leng-kiam yang masih ber-putar melingkar itu terus ditaburkan makin deras dan diantar dengan jerit pekik yang aneh, pedang itu terus menusuk dada Beng Cu.

Pedang berkelebat laksana kilat cepatnya dan jarak keduanya amat dekat. Tak mungkin Beng Cu dapat menghindar. Maka pada saat itu juga Pui Tiok remuk seperti dipalu hatinya. Dia membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

Tetapi kembali suatu peristiwa yang menakjubkan terjadi pada saat itu. Pada saat pedang Ceng-leng- kiam menusuk, tiba-tiba tubuh Beng Cu melambung ke atas sampai hampir satu meter dan sepintas dia seperti berdiri diatas sinar biru pedang Ceng-leng- kiam.

Tusukannya luput, Coh Hen Hong kaget setengah mati. Dia cepat mundur selangkah. Tetapi tepat pada saat itu juga, pandang matanya berkunang dan setiup hawa dingin telah meniup diatas kepalanya. Tahu- tahu Beng Cu telah hilang. Kejut Coh Hen Hong makin hebat. Kalau Beng Cu lenyap jelas tentu melayang diatas kepalanya dan berada di belakangnya.

Coh Hen Hong dapat mengadakan perobahan secepatnya menurut situasi yang dihadapinya. Tanpa berpaling kepala lagi, dia sabatkan pedang ke belakang, sret, sret . . .

Tabasan pedang itu mengenai batu besar sehingga batu rompal dan keping2nya berhamburan ke empat penjuru. Dan tanpa berpaling, Coh Hen Hong terus mengempos semangat lalu menerjang kepada Pui Tiok.

Dia memang mempunyai rencana yang jahat. Kalau dia tak mampu mengalahkan Beng Cu, dia masih dapat mengalahkan Pui Tiok. Kalau dia dapat menguasai pemuda itu, mudahlah dia nanti akan memerintahkan Beng Cu.

Tetapi baru saja tubuhnya melayang, tiba-tiba dari belakang terdengar Beng Cu membentaknya, "Hai, apakah engkau hendak mencelakai Pui toako lagi?"

Bukan kepalang kejut Coh Hen Hong ketika mendengar seruan itu. Bukan karena dia takut kalau rahasia dirinya akan ditelanjangi Beng Cu, melainkan karena ia rasakan suara Beng Gu itu seperti malaekat di belakangnya. Bahkan ia rasakan tengkuknya seperti tertiup angin dingin.

Beng Cu dianggap sebagai musuh bebuyutan atau orang yang tak beleh hidup dibawah satu kolong langit dengan dia. Kalau sekarang orang itu berada lekat di belakangnya, bagaimana dia tak kaget setengah mati?

Rasa kaget telah meruntuhkan semangat dan berhamburanlah tenaga murninya sehingga dia meluncur turun ke bawah. Secepat berdiri di tanah dia terus lancarkan tiga buah serangan pedang yang dahsyat. Dua dari tiga jurus serangan itu merupakan serangan membalik ke belakang. Dan jurus yang terakhir untuk melindungi tubuhnya. Tetapi dia melihat Beng Cu bagaikan sesosok bayangan yang menyelinap disampingnya.

Ketiga jurus serangan pedang itu cepat dan dahsyat sekali. Tetapi ayunan tubuh Beng Cu lebih cepat lagi sehingga pedang tak dapat menyentuh sekalipun hanya ujung bajunya saja.

Mengkal dan marah Coh Hen Hong bukan kepalang karena harus menderita hinaan sedemikian memalukan. Jelas dia melihat tubuh Beng Cu menyelinap di sampingnya, andaikata dia mempunyai pedang Kim-liong-kiam tentulah tak mungkin Beng Cu semudah itu dapat meloloskan diri.

Kelemahan itu telah menyadarkannya bahwa hanya dengan sebatang pedang Ceng-leng-kiam tak mungkin dia dapat mengalahkan Beng Cu. Bahban dialah yang akan menderita kekalahan nanti.

Menyadari hal itu mengapa dia tak lari saja?

Seketika timbullah pikiran dalam benaknya. Maka begitu Beng Cu mundur, Coh Hen Hong juga melesat ke arah yang berlawanan dan terus melarikan diri.

Pui Tiok tak percaya melihat kejadian itu Coh Hen Hong melarikan diri ? Ah . . . karena terkesima Pui Tiok tertegun.

"Hai, jangan lari engkau !" teriak Beng Cu, terus loncat mengejar.

Ilmu ginkang Coh Hen Hong luar biasa hebatnya.

Dalam sekejab saja dia sudah mencapai puluhan tombak. Tetapi ternyata gerakan tubuh Beng Cu tak kalah pesatnya. Dalam waktu singkat jarak keduanya makin dekat.

Kalau dilanjutkan jelas Beng Cu tentu dapat menyergap Coh Hen Hong tetapi tiba-tiba Pui Tiok berteriak memanggilnya, "Beng Cu, lekas kembali !" Sebenarnya tubuh Beng Cu seperti anak panah yang tengah melayang, tetapi ketika mendengar seruan Pui Tiok, Beng Cu tiba-tiba berhenti dan sesaat kemudian melayang balik ke tempat Pui Tiok lagi.

Walaupun pengalaman Pui Tiok cukup banyak tapi menghadapi ilmu aneh yang dimiliki Beng Cu yaitu seperti dapat 'terbang dan berhenti' diudara baru pertama kali itu dia melihatnya.

Dengan begitu, jelas bahwa tenaga-dalam atau lwekang yang dimiliki Beng Cu saat ini, memang telah mencapai tataran yang luar biasa tingginya. Kalau tidak, ia tentu tak dapat menguasai gerak gerik tubuhnya menurut kehendak hatinya.

Merenungkan hal itu bukan kepalang gembira Pui Tiok Selekas Beng Cu tiba di tanah, dia terus berteriak, "Beng Cu . . "

Beng Cu cepat berpaling. Tetapi begitu berhadapan dengan Beng Cu, hati Pui Tiob seperti disayat sembilu. Sedemikian kurus tubuh Beng Cu sehingga benar- benar mirip dengan sesosok tengkorak hidup.

Selekas berpaling ke arah Pui Tiok, Beng Cu menghadap ke muka lagi. Tampak Coh Hen Hong sudah tak tampak bayangannya.

Beng Cu menghampiri Pui Tiok, "Pui toako mengapa engkau mencegah aku ?"

"Ia mempunyai pedang. Kutakut kalau engkau sampai termakan tangan ganasnya. Beng Cu, ilmu ke pandaianmu begitu tinggi. Lambat atau cepat kita pasti dapat mengalahkannya. Bagaimana rasanya sekarang?"

Sebenarnya Beng Cu hendak tertawa tetapi karena kedua pipinya kempot tak berdaging maka tampaknya dia seperti menyeringai tak sedap dipandang.

"Kurasa aneh sekali. Sepertinya aku sudah tak

hidup dalam dunia lagi," katanya.

Pui Tiok terkejut, "Apa maksudmu?" "Mungkin itu karena aku terlalu kurus begini Kurasakan tubuhnya ringan seperti angin yang dapat berhembus kemanapun saja. Lihatlah, aku toh tidak menggunakan tenaga sama sekali, tetapi tubuhku sudah dapat melayang ke atas," habis berkata dia bergoyang-gayang dan tubuhnya terus melambung keatas.

Hampir satu setengah tombak tingginya dia melambung ke udara kemudian melayang turun. Selama ini belum pernah Pui Tiok menyaksikan orang yang memiliki ginkang sedemikian, yaitu dapat melayang turun naik. Dia kesima dan ter-longong2.

"Aku hanya teringat ketika tiba di tengah lembah, seorang nenek tua menanyakan asal usul diriku lalu memeluk aku dan menangis tersedu. . .

"Beng Cu, tahukah engkau siapa wanita tua itu ?" celetuk Pui Tiok.

"Entah," Beng Cu gelengkan kepala.

Pui Tiok menghela napas. "Ai, itu adalah emakmu (nenekmu) sendiri . . . dulu beliau bertengkar dengan Ceng-te lalu berpisah dan hidup seorang diri di Lembah Maut. Beliau sekarang sudah wafat."

Beng Cu tertegun. Berita itu benar-benar mengagetkan sekali baginya. Secara tiba-tiba ia dikatakan mempunyai seorang nenek. Tetapi pada saat dia mengetahui hal itu lalu disusul dengan keterangan bahwa neneknya itu sudah meninggal dunia. Bagaimana dia tak terkesima ?

Beberapa saat kemudian baru dia dapat berkata, "Dia . . bagaimana meninggalnya ?"

Pui Tiok kerutkan alis, "Aku juga tak jelas. Waktu aku bertemu, tampaknya la memang sudah payah keadaannya. Begitu melihat aku, ia lalu menyalurkan sisa tenaga-saktinya kedalam tubuhku setelah itu baru meninggal. Dan akupun menerima manfaat yang besar sekali. Menurut . . . menurut kata seorang tokoh yang sakti, nenekmu telah menyalurkan hawa dingin dari dipan han-giok kedalam tubuhmu sehingga engkau tidak sadarkan diri sampai berhari hari lamanya "

Lalu Pui Tiok menceritakan tentang keadaan Beng Cu selama itu. Karena bingung dia pernah menghadap Ceng-te tetapi ternyata Ceng-te lengah dan dapat dibunuh Coh Hen Hong. Dan bagaimana dengan susah payah akhirnya dia lolos dari istana Ceng-te-kiong dan dapat kembali ke Lembah Maut Coh Hen Hong tetap mengejarnya lalu membakar gua. Ketika Beng Cu belum mati, Coh Hen Hong lalu menghantamnya.

Tetapi hantaman itu malah menyebabkan Beng Cu dapat bergerak, dan lain2 dengan jelas.

Setelah mendengar penuturan itu, Beng Cu tertawa hambar, "Kalau begitu aku ini benar-benar seperti baru dilahirkan kembali ke dunia!"

Pui Tiok mengangguk rawan. Tampak Beng Cu meraba pipinya. Ah, hanya tinggal tulang tanpa daging sama sekali.

"Pui toako," katanya pelahan-lahan, "kasih tahu padaku. Walaupun aku tidak mati dan kepandaianku bertambah hebat tetapi wajahku bukankah mengerikan sekali?"

Pui Tiok terkesiap dan gopoh goyangkan tangan "Bukan, bukan mengerikan melainkan hanya tampak kurus sekali. . . sehingga kalau aku tak menjagamu selama ini, aku tentu takkan mengenalimu lagi”

Beng Cu tak bicara, dia menyingkap lengan bajunya. Melihat lengan nona itu, Pui Tiok makin tak tahan melihatnya. Bukan seperti lengan manusia tetapi hanya tulang berkulit saja.

Beng Cu sendiri juga terkejut dan menutup lengannya lagi, "Bukankah aku ini menjadi sebuah

tengkorak? Mengapa engkau bilang tak menyeramkan orang?" "Uh, kurusan sedikit tak jadi apa. Kalau tiap hari makan banyak, maka dalam beberapa hari saja engkau akan pulih seperti semula!" Pui Tiok menghibur.

Beng Cu tersenyum rawan, "Mudah-mudahan begitu. Tetapi rasanya kemungkinan itu sukar. Aku....

Pui toako, kalau engkau tak suka menemani aku...

"Beng Cu!" berkata Pui Tiok dengan nada yang sendu. Kerongkongannya serasa lekat sehingga suaranya sukar keluar. Beberapa saat kemudian baru dia dapat berkata, "Beng Cu, ucapanmu itu aku hanya mau mendengar satu kali saja. Lain kali janganlah engkau mempunyai pikiran begitu."

"Pui toako. ," dengan berlinang-linang air-mata

Beng Cu terus menubruk pemuda itu. Dia rebahkan diri kepelukan Pui Tiok tetapi Pui Tiok hanya merasa kalau sedang memeluk seperangkat pakaian saja.

Dipeluknya Beng Cu dengan lemah lembut seraya menghiburnya, "Jangan menangis, sekarang semuanya akan beres, perlu apa menangis ?"

Tetapi Beng Cu tetap menangis sepuas-puasnya sehingga bahu Pui Tiok sampai basah, "Ya, benar, segala apa telah selesai, Pui toako, apakah kita akan ke Ceng-te-kiong ?"

"Tidak," Pui Tiok gelengkan kepala.

Beng Cu mundur selangkah, "Kalau tak ke Ceng-te- kiong lalu hendak ke mana ? Apakah tak mencari Coh Hen Hong lagi ?"

"Tentu saja mencarinya," kata Pui Tiok, "tetapi ia masih punya pedang Ceng-leng-kiam. Walaupun dia tak mampu melukaimu tetapi engkau pun sukar untuk mengalahkannya. Kalau mau mengalahkan dia, kita harus mencari pedang Kim-liong-kiam dulu."

Beng Cu diam mendengarkan.

"Kurasa ilmu kepandaianmu sekarang ini luar biasa anehnya. Coh Hen Hong sudah kalah sakti dengan engkau. Kalau engkau mendapatkan Kim-liong kiam, walaupun dia punya Ceng-leng-kiam, juga takkan menang dengan engkau !"

Teringat akan pertempurannya dengan Coh Hen Hong tadi, Beng Cu mengangguk.

Pui Tiok menghela napas. Dan lagi, kita harus berusaha mencegah jangan sampai pedang Kim liong- kiam jatuh ke tangannya. Kalau dia sampai menguasai sepasang pedang pusaka itu tentu ber-bahaya bagi kita !"

Sejenak tertegun Beng Cu berkata, "Kalau begitu, pedang Kim-liong-kiam sekarang masih berada ditangan orang misterius yang engkau ceritakan itu ?"

"Benar." sahut Pui Tiok, "belum pernah selama ini aku melihat seorang manusia seaneh itu. Dia mengatakan kalau selama ini memang tak pernah ada orang yang melihatnya. Dan setiap apa yang dikatakannya, tampaknya memang benar semua. Dia bilang mau menunjukkan jalan ke Lembah Maut, akhirnya memang benar. Dan lagi dia juga bilang, satu-satunya cara untuk menolong engkau hanyalah dengan membakar tubuhmu."

"Kalau begitu mari kita lekas mencarinya", seru Beng Cu.

"Tak semudah itu", kata Pui Tiok, "waktu ia menunjukkan jalan ke Lembah Maut, ia hanya ber suara dan aku tak tahu ia berada dimana. Tapi tak apa, daripada tidak berusaha lebih baik berusaha mencarinya. Siapa tahu kita beruntung dapat menemukannya."

"Kita harus mencarinya sampai ketemu!" kata Beng Cu dengan manja. Dan Pui Tiok mengangguk setuju. Dia masih ingat arah tempat itu maka berangkatlah keduanya menuju ke sana.

Sekarang kita tinggalkan dulu Pui Tiok dan Beng Cu.

Kita ikuti Coh Hen Hong yang melarikan diri. Setelah lari lima enam li, dia berpaling dan tak melihat Beng Cu mengejar, barulah dia berhenti. Saat itu dia dilanda rasa kejut dan marah. Dia mengamuk untuk menumpahkan perasaannya itu. Dia mainkan pedang Ceng leng-kiam dan membabat pohon2 dan segala apa yang terdapat di sekeliling tempat itu.

Gemuruh bunyi pohon2 yang bertumbangan kerena amukan Coh Hen Hong yang berlangsung hampir setengah jam lamanya itu.

Baru dia hentikan amukannya tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang mendengus, "Huh, apa gunanya begitu? Sekalipun engkau tambah ganas lagi beberapa derajat, tapi tetap takkan mampu mengalahkan Ban-kip put hoay!"

Ban-kip-put-hoay artinya Tak-hancur dicincang- ribuan-kali, atau kebal senjata apapun juga.

Coh Hen Hong terkejut dan cepat berpaling kebelakang tetapi dia tak melihat barang seorangpun juga.

Coh Hen Hong makin miris. Orang yang sedang menderita sial, segala apa yang tak terduga dapat menimpanya. Dia harus hati-hati.

"Siapa engkau?" katanya dengan waspada. Suara itu tertawa seram, "Sudah tentu aku ini ya aku. Aku bertanya kepadamu, apakah engkau sudah tahu kelihaian dari tubuh yang sudah mencapai Ban-kin- put-hoay Itu?"

"Apakah manusia Ban-kip-put-hoay itu?" seru Coh Hen Hong.

Kembali suara itu tertawa mengikik. Nadanya seperti batu yang dibenturkan. Sudah tentu Coh Hen Hong marah karena merasa ditertawakan. Kalau saja tadi dia tidak menderita kekalahan dari Beng Cu dan tak menyadari bahwa orang yang sakti masih ada yang lebih sakti, tentu saat itu dia akan menerjang kearah suara itu. "Apa yang disebut manusia Ban-kip-put-hoay itu!" bentaknya, "Siapa engkau? Mengapa tak berani unjuk diri dan main sembunyi seperti setan?"

Tawa orang itu agak enak didengar nadanya, "Bukannya aku tak unjuk diri tetapi memang selama ini tak ada manusia yang pernah melihat aku. Engkau juga tak terkecuali. Pokok, asal aku dapat melihatmu, itu sudah cukup !"

Mendengar itu mau tak mau tergetarlah hati Coh Hen Hong. Pikirnya, apakah orang itu bukan bangsa manusia ? Jika manusia, mengapa tak pernah dilihat orang ?

"Aneh." katanya sejenak kemudian, "kalau engkau tak mau dilihat orang, perlu apa engkau bicara dengan aku ?"

"Pertanyaan yang baik," seru orang itu. "ada sedikit jual beli yang hendak kutawarkan. Engkau tentu akan menerima dengan gembira sekali."

Makin heran Coh Hen Hong mendengar kata-kata itu. Mulai timbul kecurigaannya dan serentak diapun lantas berseru. "Jual beli apa saja ?"

"Jual beli apa, untuk sementara tak perlu di persoalkan dulu," kata orang itu, "engkau sudah tahu bagaimana kelihayan dari manusia Ban kip-put-hoay itu. Apakah engkau mempunyai cara untuk menghadapinya ?"

Sejak tadi Coh Hen Hong sudah menekan kemarahannya. Kini serta mendengar ocehan orang itu tentang ilmu Ban-kip-put-hoay, serentak ia tak dapat menahan kemarahannya lagi dan terus menyerbu.

Terjangan itu hebatnya bukan alang kepalang. Wut

. . . gerakan dari tubuhnya telah menumbangkan sebatang pohon kecil dan menyusul dia terus lepaskan empat kali hantaman ke empat penjuru. Pohon2 dan batu karang hancur berantakan, muncrat dan rubuh berhamburan menimbulkan bunyi yang bergemuruh sekali seolah-olah hutan itu telah diterjang oleh ratusan gajah mengamuk.

Tetapi dia tetap tak dapat melihat di sekeliling tempat itu terdapat barang seorang manusia Dan ketika dia melayang turun ke bumi lagi, tetap dia tak mendengar suara gerakan apa-apa. Diam-diam dia menduga orang misterius tadi tentulah sudah mampus terkena hantamannya.

Tetapi baru dia berpikir begitu atau dari depan menghambur lagi suara itu. Sudah tentu Coh Hen Hong kaget setengah mati.

Suara itu terpisah dua tombak jauhnya dari tadi dengan begitu orangnyapun sudah menyingkir sejauh itu juga.

Coh Hen Hong memandang dengan seksama ke muka. Tak mungkin ia tak tahu kalau benar-benar di muka terdapat gerak yang betapapun kecilnya. Tetapi nyatanya dia tak melihat apa-apa.

Suara misterius itu tertawa mengekeh, "Pukulanmu memang cukup hebat, mengapa tidak menggunakan pedang saja? Tadi engkau menggunakan pedang terhadap Kwan Beng Cu tetapi toh tak ada gunanya, bukan? Seharusnya engkau mencari akal!"

Kini tergeraklah hati Coh Hen Hong mendengar kata-kata itu, "Apakah ada caranya?"

Suara itu tertawa, "Engkau tak boleh tak bersabar. Lebih dulu harus bicara tentang ilmu Ban-kip-put-hoay itu."

Coh Hen Hong memang seorang gadis yang cerdas.

Dia menyadari bahwa ucapan suara misterius itu memang mengandung sesuatu. Kalau dia sebelum bertanya jelas terus membabi buta menyerang kemungkinan malah akan merusak pembicaraan. Menyadari hal itu kemarahannyapun mereda. Lalu dia berkata dengan nada tenang, "Baiklah, lalu apakah yang disebut ilmu Ban-kip-put-hoay itu?"

Sudah tiga kali dia bertanya hal itu, baru sekarang mendapat jawaban, "Ilmu kesaktian yang tertinggi, kecuali ilmu Kim-kong-put-hoay dari kalangan persilatan kaum agama, yang masih ada sebuah Ban- kip-put hoay dari lain aliran."

Coh Hen Hong terkejut dan berdebar-debar.

Memang setiap orang persilatan sudah tahu apa yang disebut ilmu kebal Kim-kong-put-hoay dari aliran kaum vihara. Tetapi selama ini dia belum pernah mendengar orang mengatakan tentang ilmu Ban-kip- put-hoay. Kalau Ban-kip-put-hoay itu setingkat dengan Kim-kong-put-hoay, tentulah dahsyat sekali.

Dengan nada gemetar berserulah Coh Hen Hong "Engkau... apa engkau tahu dewasa ini ada orang yang faham akan ilmu Ban-kip-put-hoay itu?

Kembali suara itu tertawa, "Jangan pura-pura tak tahu karena sebenarnya engkau harus tahu siapa yang memiliki ilmu sakti itu. Dia tak lain adalah musuhmu sendiri Kwan Beng Cu!"

Mendengar itu Coa Hen Hong terlongong-longong seperti kehilangan semangat.

"ladi waktu engkau bertempur dengan Kwan Beng Cu, tentu mengetahui kalau omonganku itu tidak bohong. Tubuh Beng Cu dapat bergerak laksana asap. Dapat bergerak kemana saja menurut sekehendak hatinya. Biarpun engkau menggunakan pedang tetap tak mampu mengenai tubuhnya!"

Teringat akan pertempuran tadi Coh Hen Hong tertawa getir.

"Dan masih ada yang lebih lagi," terdengar suara itu berseru lagi, "yalah apabila engkau menghantamnya, tenaga pukulanmu akan sirna lenyap seketika, masuk kedalam tubuhnya dan malah akan menambah tenaganya makin hebat, sedang engkau akan kehilangan sekelumit tenaga-saktimu" Serentak teringatlah Coh Hen Hong akan peristiwa yang dialaminya ketika menghantam dada Kwan Beng Cu. Seketika wajahnya pucat dan mulut terkancing rapat.

"Uh, sebenarnya tak perlu engkau bersedih," kata suara itu pula, "itu semua karena engkau sendiri yang salah. Kalau engkau tak ada, hawa Han im dalam tubuhnya akan memancar dan menembus jalan darah Jim dan Tok sehingga dia dapat memiliki kesaktian yang tiada tara hebatnya."

Dengan susah payah barulah Coh Hen Hong dapat bicara, "Apa hubungan kesaktiannya dengan aku ?"

Suara itu tertawa pula, "Boleh dikata engkaulah yang menjadikannya. Oleh seseorang yang meng gunakan tenaga-dalam sakti, tubuhnya telah dimasuki hawa dingin dari dipan Han-giok. Dia segera menjadi beku seperti es. Kalau tidak dibakar, walaupun dia tidak mati tetapi dia tak ubah seperti orang mati.

Tetapi engkau malah menyulut api membakar gua, akibatnya hawa im-han dalam jalan darahnya telah lenyap !"

Coh Hen Hong mendesah, "Ah, apakah engkau telah memberitahukan cara itu kepada Pui tiok ?"

"Ya," sahut suara itu, "tetapi Pui Tiok tidak percaya.

Dia mengira kalau dibakar, Beng Cu tentu mati. Sebenarnya kalau tidak dibakar, lewat 7 kali 7 hari atau empat puluh sembilan hari, Kwan beng Cu tentu tak dapat ditolong lagi. Tetapi tak terduga sebatang nyala obormu, telah menolongnya dari kematian."

Lewat beberapa jenak kemudian kembali suara itu terdengar, "Tahukah engkau apa sebabnya?"

Walaupun ilmu kepandaiannya tinggi tetapi karena usianya masih muda, pengalaman dan pengetahuan Coh Hen Hong masih kurang luas. Mendengar pertanyaan itu, ia gelengkan kepala, "Aku tak tahu."

"Setelah tubuh Kwan Beng Cu disaluri dengan hawa dingin lm han yang luar biasa, tulang dan lubuhnya membeku kaku seperti sebuah mummi. Tetapi setelah dibakar, hawa dingin lm-han itu akan penyusup kedalam delapan urat nadi dan sejak saat itu hawa dingin itu akan beredar menurutkan perbedaan tenaga-murni. Setiap kali beredar tenaga-saktinya akan bertambah sekelumit. Tetapi orangnya menjadi makin kurus sehingga mirip sebuah tengkorak."

"Lalu bagaimana?" Coh Hen Hong makin tegang suara itu tertawa, "Lalu bagaimana? Apalagi kalau bukan engkau yang menolongnya!"

"Kentut anjing!" karena kaget Coh Hen Hong marah.

Suara itu tidak marah melainkan tertawa sinis, "Tak perlu engkau ketakutan. Dengarkan saja aku bicara sampai selesai. Ketahuilah, walaupun setelah menderita pembakaran itu tenaga-saktinya makin bertambah tetapi urat nadinya tetap beku tak hidup.

Dan harus menggunakan tenaga besar agar dapat menghidupkan fungsi urat nadinya itu.'

"Hai, engkau hendak mengatakan kalau. . aku yang menolongnya lagi dengan pukulan yang kulancarkan kepadanya itu?"

"Benar," sahut suara itu, "pukulanmu itu dahsyat sekali. Im mengandung Yang, Yangpun mengandung hawa Im. Pada saat hawa Im bertemu Yang bukan melainkan uratnadinya akan berfungsi lagi pun bahkan kedua jalan darah Jim dan Tok dalam tubuhnya menjadi tertembus buka. Rasanya di kolong jagad ini kecuali engkau seorang rasanya tak ada lain orang yang begitu baik hati menolongnya!"

Mendengar itu Coh Hen Hong tegak seperti patuug.

Siapa mau menolong Beng Cu yang dibencinya setengah mati itu. Dia hendak menghancurkan dengan pukulan dahsyat. Memang tak perlu dikatakan suara itu, Coh Hen Hong sendiri sudah menyadari bahwa setelah Ceng-te meninggal, tokoh yang mampu melepaskan hantaman tenaga dahsyat, kecuali dirinya sendiri tak ada orang kedua lagi. Tetapi ah, celaka.. . ternyata pukulan itu malah memberi keuntungan besar bagi Beng Cu.

Teringat hal itu Coh Hen Hong gemas sekali kepada dirinya sendiri.

"Setelah kedua jalan darah Jim dan Tok di tubuh Beng Cu tertembus-buka, dia terus berhasil memiliki ilmu Ban-kip-put-hoay. Sekalipun engkau menghantamnya dengan sepenuh tenaga-saktimu, tenaga-saktimu akan dihisapnya dan akan menambah hebat tenaganya. Heh, heh, jelas engkau bukan tandingannya lagi!"

Kata-kata yang terakhir itu bagai ujung pedang yang menusuk ulu hati Coh Hen Hong.

Sekonyong-konyong Coh Hen Hong memekik dahsyat, "Aku bukan tandingannya? Apa yang membuat engkau begitu gembira ? Apa hubunganmu dengan Beng Cu ?"

Suara itu tertawa, "Aku ini apanya ? Heh, heh, Aku bukan apa-apanya. Aku adalah aku. Selamanya aku tetap seorang aku sendiri. Percuma saja pertanyaanmu itu !"

Sebenarnya Coh Hen Hong merencanakan hendak mengamuk dan memaksa orang itu muncul lalu hendak dibunuhnya agar ia dapat melampiaskan kemarahannya.

Tetapi tadi dia telah mencobanya. Ternyata ilmu Meringankan tubuh orang itu luar biasa saktinya. Dia kuatir rencananya takkan berhasil. Akhirnya terpaksa dia menahan diri. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar