Pedang Berbunga Dendam Jilid 20

JILID 20

Sesaat teringat akan peristiwa ketika berhadapan dengan ketiga ekor gin-wan. Dengan sepasang pedang pusaka itu dapatlah dia membabat ketiga ekor binatang sakti itu.

Ha, kalau dia menyerang secara tiba-tiba dan tak terduga duga, mampukah Ceng-te menghindari?

Apabila dia berhasil memang dia akan merajalela di dunia persilatan. Takkan ada tokoh persilatan yang mampu menandinginya lagi. Tetapi kalau.....

Berpikir sampai disini, makin pucatlah wajah Coh Hen Hong. Tetapi wajah Ceng-te dan Pui Tiok saat itu Juga tak banyak berbeda dengan Coh Hen Hong.

Waktu Coh Hen Hong menurut kata dan melepaskan Leng-liong-kiam, wajah Ceng-te dan Pui Tiok berseri gembira. Adalah karena kedua pedang itu maka Ceng Ce tak mampu menundukkan Coh Hen Hong tanpa pedang itu Coh Hen Hong akan menjadi macan tanpa gigi.

Tetapi sesaat mencekal pedang, meragulah Coh Hen Hong. Pui Tiok dan Ceng-te diam-diam terkejut. Jelas gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Apakah sesuatu itu, mereka tak tahu dan tak berani terlalu mendesak. Karena kalau mendesak tentu akan ketahuan Coh Hen Hong.

Memang baik Ceng-te maupun Pui Tiok faham sekali akan perangai gadis itu dan mereka mengagumi kecerdasan otaknya.

Lebih kurang dua sepeminum teh baru terdengar Coh Hen Hong berseru. "Engkong . . . ke marilah, aku hendak berkata sepatah kepadamu."

Coh Hen Hong sudah menentukan siasat. Begitu Ceng-te menghampiri dekat, baru dia hendak turun tangan.

Ceng-te tergetar. Pui Tiok juga menarik baju Ceng- te, mencegahnya jangan mendekat untuk menjaga segala kemungkinan yang akan dilakukan gadis itu.

Coh Hen Hong memang cerdik sekali. Agar menghapus kecurigaannya, waktu Ceng-te menghampiri dia harus menggunakan omongan untuk mengacaukan konsentrasi pikirannya.

"Engkong . . " katanya, "sebenarnya. aku tak berhak memanggilmu . . engkong."

Sambil berkata diapun maju setengah langkah. "Kelak kalau tinggal di istana ini, entah bagaimana

aku harus , . . menyebutmu ?"

Memang Coh Hen Hong pintar sekali. Dia tahu selama berkumpul bertahun-tahun, Ceng-te telah menumpahkan rasa kasih sayang yang besar kepadanya. Tentu tak mungkin Ceng-te akan memutus begitu saja secara serentak, maka diapun baru berani mengucapkan kata-kata begitu. Memang setelah mendengar kata-kata Coh Hen Hong, tersentuhlah hati Ceng-te, dia menghela napas panjang. Dan tepat pada saat itu Coh Hen Hongpun maju setengah langkah lagi.

Melihat jarak keduanya makin dekat, Pui Tiok terkejut sekali dan gopoh berseru, "Ceng-te. . !

Dia hendak memperingatkan Ceng-te supaya ber- hati-hati tapi sayang rupanya Ccng-te tak menaruh

perhatian. Dia sedang tenggelam dalam kenangan kasih sayang kepada gadis itu.

Bertahun-tahun dia menganggap Coh Hen Hong sebagai cucunya sendiri dan memperlakukannya dengan segala kemanjaan. Dan karena Coh Hen Hong pandai sekali mengambil hati maka Ceng-te semakin terjerat kasih sayang. Itulah sebabnya saat itu dia seperti tercekam dalam kenangan lampau.

Memang ilmu kepandaian Ceng-te sakti sekali tetapi wataknya memang kukuh. Kalau dia menganggap benar, tak peduli siapapun, dia tetap kukuh pada pendiriannya. Itulah sebabnya maka isteri dan anak perempuannya sampai tak tahan dan minggat meninggalkannya.

Tetapi seorang yang berwatak keras sebenarnya dalam hatinya penuh dengan kontradiksi (pertentangan). Watak Ceng-te keras tetapi hatinya lemah lembut dan selalu bimbang dalam mengambil putusan

Seperti saat itu dimana dia sudah tahu kalau Coh Hen Hong itu berani memalsu sebagai Beng Cu. Tahu pula bahwa Coh Hen Hong, itu berbahaya. Tetapi toh dalam detik2 yang gawat, dia tak menghiraukan lagi bagaimana dia harus menjaga keselamatan dirinya dan bagaimana agar Coh Hen Hong mau menyerahkan kedua pedang pusaka itu.

Yang dipikirkan malah Kenangan lama soal masa berkumpul dengan Coh Hen Hong. Dia memperlakukan begitu baik kepada gadis itu, masa akan sampai hati mencelakainya. Walaupun gadis itu ternyata bersalah tetapi mengingat hubungan selama itu, dapatlah dia memaafkannya.

Itulah sebabnya bukan saja dia tak mengacuhkan peringatan Pui Tiok, pun malah maju lagi selangkah.

Coh Hen Hong yang cerdlk memang tahu betul watak dan ketenangan Ceng-te. Dia sudah faham akan gerak mimik wajah Ceng-te. Bahkan setiap Ceng-Te mengunjukan kerut wajah ataukan mengerut alis. dia sudah dapat menduga isi hatinya. Adalah karena pandainya Coh Hen Hong dalam membaca isi hati dan mengambil hati Ceng-te maka Ceng-tepun sangat menyayanginya.

Melihat Ceng-te maju selangkah lagi, Coh Hen Hong terkejut gembira. Dia gembira karena pada jarak sedekat itu apabila dia melancarkan serangan kilat yang tak terduga-duga, kebanyakan tentu berhasil.

Tetapi karena dia masih mengira kalau kepandaiannya masih kalah dengan Ceng te maka diapun masjh kuatir kalau sekali gagal, tentu celaka.

Namun dia sudah membulatkan tekad. Kalau tidak saat itu turun tangan, kapan lagi dia akan mendapat kesempatan sebagus itu. Maka dengan tenangkan hati, pelahan-lahan ia melangkah maju.

Saat itu Ceng-te dan Coh Hen Hong hanya terpisah satu meter jaraknya. Melihat itu Pui Tiok tegang sekali. Kembali dia berteriak. "Ceng-te hati-hati, kulihat dia tak bermaksud baik."

Dalam menghadapi soal yang menentukan kehidupannya walau sudah berusaha untuk bersikap tenang tetapi tak urung mata Coh Hen Hong tetap memancarkan sinar pembunuhan. Dan sinar matanya itu tak dapat rnengelabuhi Pui Tiok. Namun Ceng-te tetap seperti orang limbung. Dia malah mengangkat tangan dan memberi isyarat kepada Pui Tiok supaya tak usah kuatir.

Melihat itu Pui Tiok merasa lega. Dia kira Ceng-te tentu sudah tahu dan suruh dia diam. Oleh karena itu diapun tak mau bicara lagi dan hanya menumpahkan seluruh perhatian pada gerak gerik Coh Hen Hong.

Sebenarnya waktu mendengar peringatan Pui Tiok, diam-diam Coh Hen Hong sudah mengucurkan keringat dan tertegun. Dia mengira setelah mendengar peringatan Pui Tiok, Ceng-te tentu akan turun tangan mencelakainya.

Sekalipun tegang tetapi Coh Hen Hong, berusaha untuk menenangkan diri. Dia memandang Ceng-te dan terkejut. Jelas sikap dan mimik wajah Ceng-te masih selembut tadi.

Nyali Coh Hen Hong melonjak lagi. Setelah menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering, dia segera berseru, "Engkong . . engkau apa masih mengijinkan kalau kupanggil begitu ? Atau . . harus ganti sebutan ?"

Mendengar itu hati Ceng-te makin tersentuh cepat dia menyahut, "Boleh, boleh, tentu saja boleh."

Melihat sambil berkata Ceng-te merentangkan kedua lengannya, girang Coh Hen Hong bukan kepalang. Ceng te hendak memeluknya.

"Engkong . . , " sambil berteriak Coh Hen Hong enjot tubuh loncat menyongsong.

Jarak yang begitu dekat dan Coh Hen Kong pun bergerak cepat sekali. Ceng-te segera hendak memeluknya seraya berseru, "Satan cilik , . "

Memang demikian adat kebiasaan mereka, Setiap kali Coh Hen Hong mengambek ia tentu terus jatuhkan diri ke dada Ceng-te. Dan Ceng-te selalu memanggilnya 'setan cilik.’ dengan penuh kasih sayang. Tetapi kali ini baru dia menyebut 'setan cilik', sepasang lengan Coh Hen Hong tiba-tiba terpentang dan memancarkan sinar emas serta sinar biru.

Peristiwa itu benar-benar terlalu mendadak dan di luar persangkaan sama sekali. Pada saat Coh Hen Hong menyebut 'engkong' dan terus menubruk dada Ceng-te, Pui Tiok kerutkan alis. Dia tak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi sebelum dia sempat berpikir, ternyata peristiwa itu telah terjadi.

Serempak dengan memancarnya kedua sinar biru dan emas, terdengarlah teriakan yang aneh. Nadanya menggemparkan dan kumandangnya bagai rintihan setan. Walaupun kepandaian Pui Tiok saat itu sudah bertambah maju sekali toh tak urung telinganya terngiang-ngiang dan terpaksa mundur beberapa langkah.

Sambil menyurut mundur, Pui Tiok melihat bahwa berkembangnya sinar biru dan emas itu telah disusul dengan semburan darah merah. Dan pada lain saat kedua sinar itupun terpencar lagi. Sinar biru menyurut mundur dan sinar emas melesat ke sampjng dengan cepat sekali. Perobahan itu berlangsung cepat luar biasa;

Sepasang pedang Leng-liong-kiam dan Kim-liong- kiam itu berkelebat dengan cepat sekali, ibarat seperti kilat menyambar dan hilang. Itulah sebabnya maka Pui Tiok tak dapat melihat apa yang sebenarnya telah terjadi antara Ceng-te dengan Coh Hen Hong.

Dia memang melihat darah menyembur tetapi darah siapa, juga tak diketahuinya.

Setelah kedua pedang tercerai, barulah dia tertegun. Tetapi dia belum sempat melihat apa yang telah terjadi atau tiba-tiba sinar emas telah menerjang ke arahnya sehingga dia seperti disambar petir kejutnya. Untung dia mempunyai gerak reflek yang cukup tangkas. Dengan menggerung keras dia menghindar seraya balas menghantam.

Tetapi baru dia hendak menghantam, sinar emas itu sudah tiba di hadapannya dan . . . lenyap. Saat itu baru Pui Tiok tahu kalau sinar emas itu pedang pusaka yang saat itu berada ditangan Ceng-te. Ya, memang yang melesat tiba dihadapannya itu adalah Ceng-te.

Pui Tiok terkejut dan cepat menghentikan gerak pukulannya. Saat itu dia berada disamping Ceng-te dan melihat bahwa Ceng-te sedang mencekal pedang kim-liong-kiam, berdiri dengan tegak Srmentara diapun melihat Coh Hen Hong telah melesat keambang pintu. Gadis itu masih mencekal pedang Ceng-liong-kiam. Wajahnya pucat seperti mayat. Dan tubuhnya juga berlepotan darah. Tetapi jelas darah itu bukan berasal dari dirinya.

Pui Tiok tertegun. Dia mengharap mudah2an darah menyembur yang dilihatnya tadi, tak pernah terjadi dan karena berasal dari pandang matanya yang kabur. Tetapi ketika dia memandang ketempat dimana Ceng- te dan Coh Hen Hong berdiri berhadapan tadi, matanya seperti gelap dan kepalanya berdenyut- denyut.

Cepat dia berpaling ke samping. Ceng-te masih tetap berdiri tegak dengan mencekal pedang kim-liong kiam.

"Ceng . , " dia hendak berseru tetapi tak jadi karena saat itu dia melihat darah mengalir deras, berasal dari kaki Ceng-te. dan jubah tokoh itu juga mengembang warna merah dan mengucurkan darah.

Saat itu Pui Tiok tak perlu bertanya sudah tahu apa yang telah terjadi.

Jelas ketika dengan sikap seperti hendak menubruk dada Cesg-te tadi, ternyata Coh Hen Hong telah menyerang dengan sepasang pedang Ceng-liong- kiam.

Karena tak menyangka dan tak bersiap-siap, Ceng te telah menderita luka berat. Darah yang mengalir deras itu berasal dari tubuh Ceng-te.

Tetapi Bagaimanapun Ceng-te itu seorang tokoh sakti. Meskipun menderita luka berat dia tetap masih dapat merebut pedang Kim liong-kiam dari tangan Coh Hen Hong. Dan tampaknya Coh Hen Hong terkejut ketakutan atas peristiwa itu.

Ternyata apa yang dibayangkan Pui Tiok tidaklah sehebat dengan peristiwa yang telah berlangsung. Pada saat Coh Hen Hong menebarkan kedua tangannya dia terus melancarkan serangan 3 jurus ilmu pedang ajaran Ceng-te.

Ilmupedang itu bukan olah olah saktinya. Setiap jurus mengandung perobahan yang sukar diduga dan penuh dengan variasi yang mengejutkan. Sekaligus Coh Hen Hong telah melancarkan ketiga jurus itu sehingga tubuhnya seolah-olah lenyap ditelan sinar kedua pedangnya.

Memang walaupun mengakui bahwa dengan memiliki sepasang pedang pusaka itu Coh Hen Hong ibarat harimau yang tumbuh sayap, memang Ceng-te rasa tak dapat mengalahkan. Tetapi kalau hanya menyelamatkan diri saja, masih Ceng-te dapat melakukannya.

Tetapi karena dia tak menyangka dan sedang dalam keadaan iba hati dalam hubungannya dengan Coh Hen Hong, maka dia lengah dan harus membayar mahal.

Baru pada saat melihat Coh Hen Hong mengangkat sepasang pedang, Ceng-te terkejut dan cepat menghantam. Dengan hancaman itu dia bermaksud agar Coh Hen Hong terpental ke belakang.

Tetapi dia telah menyadari kalau senjata makan tuan, Selama bertahun-tahun dengan tekun dia memberi pelajaran pada Coh Hen Hong, berkat latihan yang keras dan sungguh-sungguh Coh Hen Hong dapat mendapat tataran ilmu kepandaian sakti yang seimbang dengannya.

Kedua kalinya, sepasang pedang Leng-liong-kiam itu laksana petir yang tak mungkin dapat dibendung. Apalagi hanya ditolak dengan pukulan.

Begitu hantaman, dadanya terasa dingin2 nyeri karena ujung pedang Kim-hong kiam telah menyusup masuk. Dan yang sadis, begitu masuk kedada Ceng- te, pedang itu disayatkan ke bawah sehingga menimbulkan luka yang dalam dan memanjang. Darah menyembur bagaikan pancuran air.

Melihat dadanya terluka, cepat tangan kiri Ceng-te menerkam dan tangan kanan menyentil pergelangan tangan Coh Hen Hong, menghantamnya dan merebut pedang kim- liong-kiam lalu menamparkan lengan jubahnya.

Coh Hen Hong memang menyarang mati-matian.

Baginya , sekarang atau tidak untuk selama-lamanya. Maka dia harus berhasil dan tak boleh gagal. Begitu melihat darah menyembur dari dada Ceng-te, dia gembira sekali. Tetapi bukan kepalang kejutnya ketika pedang kim-liong-kiam dapat direbut Ceng-te. Oleh karena itu dia tak sempat menghindar dari kebutan lengan jubah Ceng-te sehingga terpental ke belakang sampai satu tombak jauhnya.

Serempak menamparkan tangan jubah, Ceng-te pun menyurut mundur.

Saat2 itulah dalam pandang mata Pui Tiok, pedang Kim-liong-kiam dan Ceng-leng-kiam salting bercerai berai.

Pui Tiok juga tertegun menyaksikan peristiwa yang tak pernah diduganya itu. Apabila tenaga sakti yang dikebutkan lengan jubah Cang-te itu telah menghamburkan tekanan tenaga yang menyesakkan dada Pui Tiok.

Tiba-tiba pada lain saat tubuh Ceng-te miring dan rubuh ke arah Pui Tiok, bum . . dia rubuh ke lantai. Waktu jatuh tangannya masih menjulur menyongsongkan pedang kim-liong-kiam kepada Pui Tiok.

Pui Tiok terkejut dan cepat menyambuti pedang itu.

Terdengar Ceng-te menghambur helaan napas yang panjang dan setelah itu tak kedengaran suaranya lagi.

Plak . . . tangannya yang menjulur tadi, pun melentuk lunglai ke bawah.

Hati Pui Tiok seperti disayat-sayat. Dia memang tak berkesan baik terhadap Ceng-te, bahkan malah mendongkol. Tetapi bagaimanapun halnya Ceng-te adalah tokoh utama yang diagungkan sebagai maharaja dunia persilatan. Bahwa seorang tokoh cemerlang begitu sampai harus menderita kematian yang begitu mengenaskan, tiap orang persilatan yang benar-benar mempunyai darah ksatrya, tentu akan merasa berduka.

Sambil mencekal pedang Kim-liong-kiam, ia memandang kemuka. Tampak wajah Coh Hen Hong mulai merekah merah dan pada lain saat gadis itu tertawa melengking nyaring. Makin lama makin gembira dan pada akhirnya berhenti tiba-tiba Coh Hen Hong memandang Pui Tiok lalu berseru, "Engkau lihat tidak ? Engkau lihat atau tidak ?"

"Tentu saja melihat," sahut Pui Tiok.

"ha, ha, ha," kembali Coh Hen Hong tertawa ngakak, "aku telah membunuh Ceng-te, aku telah membunuhnya !"

Dengan nada sarat berkatalah Pui Tiok, "aku telah melihat seorang manusia yang paling sadis yang telah membunuh seorang tua yang telah memberi banyak budi kebaikan kepadanya!" Wajah Coh Hen Hong menggelap, tetapi pada lain saat dia tertawa kembali, "Tak peduli engkau berkata bagaimana, Pui toako, tetapi aku telah membunuh Ceng-te. Sekarang di dunia ini tak ada manusia yang dapat melawan aku lagi !"

Menggigil hati Pui Tiok mendengar sumbar Coh Hen Hong. Memang kalau Ceng-te saja tak mampu melawannya lalu siapa lagi yang dapat menandingi kesaktian gadis itu ?"

Mau tak mau gemetarlah hati Pui Tiok.

"Pui toako", Coh Hen Hong tertawa, " engkau tahu tentang hal itu, bukan ? Tiada orang yang dapat menandingi aku. Aku adalah jago nomor satu di dunia

!"

Dengan tandas Pui Tiok menjawab, "Belum tentu. Taruh kata sekarang tak ada, tetapi kelak pasti ada orang yang dapat menandingi engkau !"

"Pui toako, engkau ini pandai," kata Coh Hen Hong, "mengapa engkau berkata setolol begitu ? Coba engkau pikir saja. Kalau sekarang tak ada orang yang mampu menandingi aku, apakah aku akan membiarkan saja orang-orang yang engkau katakan kelak akan dapat menandingi aku itu?. Memelihara macan berarti menanam bahaya. Apakah itu takkan menyusahkan aku ?"

Pui Tiok tak dapat membantah lagi. Dalam keadaan seperti saat itu dia memang tak dapat berkata apa- apa.

Pelahan-lahan Coh Hen Hong maju menghampiri dan Pui Tiok pun setapak demi setapak melangkah mundur. Tetapi akhirnya dia tiba di dinding tembok, tak mungkin dapat mundur lagi.

Coh Hen Hong tetap maju menghampiri dan berhenti 6-7 langkah di depan Pui Tiok.

"Kasihkan kepadaku !" serunya. "Apa yang engkau minta ?" Coh Hen Hong tertawa dingin, "Jangan berlagak tolol. Sudah tentu pedang kim-liong-kiam yang berada padamu !"

Pui Tiok mengertek gigi dan hendak mengangkat tangan untuk melontarkan pedang Kim-liong-kiam kepada gadis itu. Tetapi tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya. Kalau toh pada saat ajalnya Ceng-te masih berusaha untuk merebut pedang itu dan pada saat rubuh di tanah dia menjulurkan tangan memberjkan pedang itu kepadanya-Tentulah Ceng-te mempunyai maksud. Sudah tentu dia tak boleh mengembalikan pedang itu kepada Coh Hen Hong lagi.

Maka dia menarik tangannya lagi. Sambil melintangkan tangan kiri melindungi dada tangan kanan mencekal pedang itu. Ia tegak dengan tenang

Coh Hen Hong tertawa, "Pui toako, didunia ini mengapa masih ada manusia yang tak tahu diri seperti engkau ? Lihatlah, yang menggeletak di tanah itu siapa ? Dia adalah Ceng-te. Kalau dia saja harus mati dibawah pedangku, apakah engkau masih mau unjuk kegagahan ? Kali ini tak ada obatnya lagi kalau tulang kakimu patah." Keringat Pui Tiok bercucuran deras.

"Tanpa pedang Kim-liong-kiam, engkau merasa tak sakti, bukan ?"

Coh Hen Hong tertawa ngakak , "O, engkau kira begitu? Kalau begitu silahkan saja menguji aku!"

Sambil barkata dia mengangkat tangan kanan dan menjulurkan ujung pedang Ceng-leng-kiam ke arah Pui Tiok seraya maju pelahan-lahan.

Melihat itu Pui Tiok mengempos semangat dan mengangkat pedang Kim-liong-kiam.

Pada saat terpisah setengah meter, barulah Coh Hen Hong berhenti dan sekonyong-konyong bergerak cepat menerjang. Pui Tiok sudah menduga akan hal itu maka diapun lalu cepat-cepat gerakkan pedang kim-liong-kjam.

Tring . . . terdengar dering yang tajam dari kedua pedang pusaka yang saling beradu.

Pada saat beradu pedang, Pui Tiok rasakan segulung tenaga yang dahsyat melandanya dan tak terasa tangan kanannya terangkat ke atas, jarinya membentang dan wut . . . pedangnyapun melayang ke udara.

Sudah tentu kejut Pui Tiok bukan alang kepalang. Cepat dia enjot kakinya melambung lurus ke udara.

Sejak mendapat penyaluran tenaga-sakti dari koh- cujin, tenaga Pui Tiok maju pesat sekali.

Sekali loncat ke udara, dia sendiri sampai terkejut dan tak mengira kalau mampu mencapai dua tombak tingginya. Untung bangunan istana Ceng-te-kiong itu tinggi sekali, kalau tidak tentulah kepalanya akan terbentur dengan langit-langit ruangan.

Pada waktu melambung. dia ulurkan tangan dan berhasil menyambar pedang Kim-liong-kiam Karena gembira, semangatnyapun menyala. Dia rentangkan kedua lengan dan hantamkan tangan kiri kebawah. Meminjam tenaga hantaman itu tubuhnya melambung naik lagi lalu ia memutar pedang Kim liong kiam membentuk sebuah lingkaran sinar emas

Bum . . . terdengar bunyi dahsyat ketika wuwungan rumah ambrol menurut lingkar sinar emas. Atap berhamburan jatuh ke bawah menimpa Pui Tiok.

Tetapi tubuh Pui Tiok bukan meluncur turun, sebalikannya malah melambung ke atas lagi, bruk . . . dia menerobos lubang wuwungan.

Tiga kali tadi dia melakukan gerak melambung dan berhasil menerobos keluar dari wuwungan rumah, Itulah yang disebut Ciat-ciat-seng-thian atau Tahap- demi-tahap-melambung-keudara. Suatu gaya yang hebat dari ilmu ginkang atau Meringankan-tubuh yang sakti.

Sebenarnya Pui Tiok belum pernah mempelajari gerak itu. Tetapi karena ilmu ginkang dan lwekang itu mempunyai kaitan maka pada waktu tenaga dalam Pui Tiok bertambah maju, ilmu ginkangnyapun makin meningkat hebat juga. Itulah sebabnya tanpa disengaja dia telah mampu melakukan gerak ilmu ginkang yang hebat.

Sesaat berdiri diatas atap kaca, ia masih belum percaya mengapa dia mampu menerobos keatas wuwungan itu.

Pada saat dia tertegun, terdengarlah sebuah suitan panjang yang dahsyat dari bawah. Suitan itu berasal dari hamburan tenaga-dalam Coh Hen Hong.

Dan menyusul dengan gema suitan yang berkumandang sampai jauh itu, berpuluh sosok bayangan telah berhamburan tiba. Dari gerakan mereka yang begitu gesit. jelas mereka tentulah jago- jago sakti dari istana Ceng-te-kiong.

Suitan Coh Hen Hong makin melengking tinggi. Menyadari akan gelagat yang berbahaya, Pui Tiok cepat meluncur turun.

Tetapi baru dia tiba di tanah, dilihatnya Coh Hen Hong juga sudah menerobos dari bobolan wuwungan tadi. Dan ketika itu mendapatkan Pui Tiok berada disitu, Coh Hen Hong rentangkan kedua lengan.

Bagaikan seekor burung elang, dia terus melayang turun dari ketinggian tiga tombak. Dia turun di tanah, hanya setombak dari hadapan Pui Tiok.

Serempak dengan itu dari empat penjuru, lebih kurang empat sampai lima puluh anak buah Ceng-te- kiong juga muncul. Mereka lalu membentuk lingkaran untuk mengepung Pui Tiok.

Rombongan jago-jago Ccng-te-kiong itu, memang Pui Tiok ada yang pernah melihat tetapi ada juga yang belum pernah dilihatnya. Tetapi sepintas memperhatikan mereka, ia mendapat kesan bahwa mereka tentulah jago-jago berkepandaian tinggi.

Pui Tiok masih tak tahu apakah dia mampu lolos dari kepungan sekian banyak anak buah Ceng te- kiong. Apalagi masih ada Coh Hen Hong. Seketika berdebar keraslah hati Pui Tiok. Ia lintangkan pedang Kim liong-kiam untuk melindungi dada, tegak tenang siap menunggu apa yang akan terjadi.

Coh Hen Hong kembali bersuit panjang lalu berseru, "Saudara2, engkongku telah binasa !"

Mendengar itu terkejutlah sekalian jago-jago itu. Coh Hen Hong menuding Pui Tiok dengan ujung Ceng-leng-kiam lalu berseru tajam, "Tak terduga dia

telah merebut pedang Kim-liong-kiam dan membunuh Ceng-te. Jangan sekali-kali ia sampai dapat lolos dari Ceng-te-kiong !"

Mendengar kata-kata Coh Hen Hong yang memutar- balikkan fakta, marah Pui Tiok bukan alang kepalang.

"Ngaco !" bentaknya, "yang membunuh Ceng te tadi adalah engkau sendiri, siluman perempuan yang amat sadis !'

"Hm, siapa yang mau percaya omonganmu itu ?" Coh Hen Hong mengejek.

Tadi berpuluh jago Ceng-te-kiong mengepung Pui Tiok. Dan setelah mendengar perintah Coh Hen Hong supaya jangan sampai Pui Tiok dapat lolos. seharusnya mereka akan maju merapatkan kepungan dan menangkap Pui Tiok. Kalau melawan akan dicincangnya.

Tetapi suatu keanehan telah terjadi. Berpuluh jago itu sebagian besar bukan maju tetapi malah mundur selangkah ke belakang. Dengan begitu kepungan Pui Tiok menjadi agak longgar.

Memang ada dasarnya mengapa para ko jiu istana Ceng-te-kiong berbuat begitu. Sebenarnya mereka adalah jago-jago kelas satu dalam dunia persilatan. Karena menghindari permusuhan atau karena ditekan Ceng-te, mereka terpaksa bernaung menjadi anak buah Ceng-te-kiong.

Bukan sehari dua hari, sebulan duabulan mereka tinggal di Ceng-te-kiong. Mereka sudah ber-tahun- tahun tinggal dl istana itu sehingga mereka faham sekali sampai dimana kesaktian Ceng-te.

Begitu mendengar keterangan Coh Hen Hong bahwa Pui Tiok telah dapat merebut pedang Kim-liong-kiam lalu dapat membunuh Ceng-te, sudah tentu mereka terkejut sekali. Jika benar begitu. bukankah kepandaian Pui Tiok itu telah mencapai tataran yang tak dapat dibayangkan lagi?

Memang Coh Hen Hong dalam keterangannya tadi mengatakan kalau peristiwa ini terjadi secara tak disangka-sangka. Tetapi dengan kesaktian Ceng-te yang mereka ketahui jelas dan Pui Tiok dapat membunuhnya, walaupun dilakukan secara tak terduga duga tetapi jelas kepandaian Pui Tiok seimbang dengan Ceng-te.

Membayangkan hal itu mau tak mau gentarlah hati mereka sehingga tanpa ajak-ajakan mereka serempak mundur.

Pui Tiok menyadari kalau dia berada dalam situasi yang genting sekali. Dia tak tahu kalau bukan dia sendiri yang gentar tetapi rombongan jago-jago Ceng- te itu juga takut kepadanya. Apabila pada saat mereka mundur, Pui Tiok terus menerjang saja; tentu tak ada orang yang berani menghadangnya dan kamungkinan besar Pui Tiok tentu dapat meloloskan diri.

Sayang Pui Tiok tak dapat mengetahui situasi yang menguntungkan seperti saat itu. Ia hanya terangsang oleh kemarahannya untuk memaki Coh Hen Hong yang memutar balikkan fakta, memfitnah dirinya. Adalah Coh Hen Hong yang marah sekali melihat kawanan jago-jago Ceng-te-kiong itu mundur Sambil bersuit nyaring dia sendiri terus maju menghampiri Pui Tiok,

Memang tindakan Coh Hen Hong itu tepat sekali. Andaikata ia tak maju, tentulah jago-jago Ceng te kiong itu akan mundur ke belakang lagi. Adalah karena melihat Coh Hen Hong mendesak maju. mereka berhenti. Ada kira2 sepuluh jago yang maju untuk mengepung Pui Tiok lagi.

Saat itu segera terdengar dering senjata dicabut. Sebenarnya sebagaj jago-jago kelas satu, mereka jarang sekali menggunakan senjata. Tetapi karena mereka menduga Pui Tiok itu luar biasa saktinya maka merekapun serentak melolos senjatanya. Saat itu Coa Hen Hong tiba dihadapan Pui Tiok.

"Lekas serahkan Kim-liong-kiam dan bunuh dirimu sendiri, mungkin mayatmu masih kubiarkan utuh.

Kalau tidak, coba lihatlah, betapa banyak jago-jago yang berada disini, mampukah engkau melarikan diri

?" serunya tajam.

Dengan wajah pucat Pui Tiok menyahut tandas, "Engkau telah membunuh Ceng-te yang telah bertahun-tahun memberi budi kebaikan kepadamu tetapi engkau masih secara licik hendak memutar- balikkan fakta memfitnah aku. Apakah orang masih mau percaya pada ocehanmu ?"

Coh Hen Hong bersuit nyaring, Ceng-te-kiam ditaburkan melingkar-lingkar ke arah dada Pu Tiok. Pemuda itu menyurut mundur tiga langkah. Pedang masih tetap dilintangkan di dada.

Coh Hen Hong, engkau telah memalsu Kwan Beng Cu dan menyelundup ke istana Ceng-te-kiong. Setelah perbuatanmu itu terungkap ..."

Menyadari bahwa walaupun sekarang kepandaiannya sudah bertambah maju sekali jika harus melawan sekian banyak jago-jago kelas satu, tentulah masih kalah. Oleh karena itu Pui Tiok tetap menahan diri tak mau bertempur dulu. la hendak gunakan kata-kata untuk membuka kejahatan Coh Hen Hong agar jago-jago istana Ceng te-kiong itu tahu duduk perkara yang sebenarnya.

Tetapi Coh Hen Hong tahu akan maksud Pui Tiok.

Tahu pula kalau dia saat itu menang angin. Tak mungkin anak buah Ceng-te-kiong mau percaya omongan Pui Tiok. Tetapi lebih baik memberantas ocehan pemuda itu dari pada nanti timbul kemungkinan yang tak diduga dimana sebagian dari jago-jago Ceng-te-kiong itu mungkin tergerak hatinya dan berbalik percaya pada Pui Tiok.

Sebelum Pui Tiok sempat melanjutkan kata-kata nya Coh Hen Hong sudah cepat menabasnya. Dalam keadaan seperti itu terpaksa Pui Tiok menangkis.

Tetapi baru dia gerakkan pedang, Coh Hen Hong sudah miringkan tubuh dan ujung pedang dibabatkan pada lengan pemuda itu.

Jika kena tentu lengan Pui Tiok akan kutung Pemuda itu tak berani melanjutkan menyerang dan cepat-cepat menarik tangannya.

Tring pedang Coh Hen Hong yang membabat

lengan berobah menjadi membabat pedang Pui Tiok dan terjadilah, benturan senjata yang nyaring sekali.

Pui Tiok diam-diam kerahkan tenaga murni kearah batang pedangnya. Tetapi arus tenaga dalam yang melanda kelawan itu seperti membentur benda keras yang membal sehingga arus lenaga-dalam Pui Tiok tertolak sehingga menyebabkan pemuda itu terdorong mundur sampai lima enam langkah.

Tetapi diluar dugaan Coh Hen Hong juga terpental dua langkah ke belakang. Melihat itu girang Pui Tiok bukan kepalang. Dia gembira bukan karena tahu kulau tenaga- dalamnya sekarang maju sekali. Karena kalau dia terpental mundur enam langkah dan Coh Hen Hong terdorong ke belakang dua langkah, berarti tenaga- dalamnya masih kalah jauh dengan gadis itu.

Bukan, bukan karena itu. Dan bukan karena dia menyadari bahwa sekarang asal dia mau ber- sungguh-sungguh menghadapi tentu dia akan mampu bertahan sampai berapa jurus. Bahkan untuk mencari kesempatan meloloskan diri juga bukan suatu hal yang tak mungkin baginya.

Tetapi sekarang dia tahu bahwa dengan hanya menggunakan sebatang pedang pusaka Ceng-leng- kiam ternyata perbawanya Jauh lebih berkurang dari pada kalau mengunakan sepasang pedang pusaka.

Dan saat itu dia baru menyadari mengapa waktu hendak menghembuskan napas terakhir, Ceng-te masih berusaha untuk merebut pedang Kim-liong- kiam dan menyerahkan kepadanya. Dan sekarang dia mengerti dan akan melaksanakan pesan Ceng-te yang tak diucapkan itu bahwa bagaimnapun juga dia tak boleh menyerahkan Kim-liong-kiam itu kepada Coh Hen Hong.

Setelah mengambil napas, Pui Tiok tertawa ngakak, "Coh Hen Hong, lekas engkau berlutut kepada para

ko-jiu itu dan mengakui dosamu!"

Coh Hen Hong tertawa dingin, "Engkau masih bermimpi apa lagi?"

Dia memberi isyarat tangan dan cepat sekali 7-8 orang jago maju menghampiri.

Waktu beradu pedang dengan Coh Hen Hong tadi, telah terjadi situasi yang tak menguntungkan Pui Tiok. Saat itu kawanan jago-jago Ceng-te-kiong baru tahu bahwa kepandaian Pui Tiok itu masih kalah sakti dengan Coh Hen Hong. Tetapi dalam segi yang tak menguntungkan itu juga terjadi titik terang bagi Pui Tiok. Jago-jago Ceng-te- kiong itu cepat berpikir, kalau kepandaian Pui Tiok itu kalah sakti dengan Coh Hen Hong, bagaimana mungkin pemuda itu dapat merebut pedang dari tangan Coh Hen Hong. Dan bagaimana mungkin pula pemuda itu mampu membunuh Ceng-te?

Tetapi sayang. Walaupun telah timbul pikiran semacam itu pada mereka, tetapi dalam keadaan dan saat seperti Itu, mereka hanya curiga saja tetapi tak mau melanjutkan berpikir lebih lanjut. Dan rombongan ko-jiu Ceng-te-kiong yang tadi sama mundur sekarang malah sama-sama maju lagi, mengepung Pui Tiok.

Melihat perobahan itu tergetarlah hati Pui Tiok. Seorang Coh Hen Hong saja sudah sukar dilawan apalagi masih ditambah dengan berpuluh-puluh jago kelas satu.

Satu satunya jalan yang dapat ditempuh dia harus berusaha untuk dapat mempengaruhi mereka dengan cara membuka kejahatan Coh Hen Hong sampai keakar-akarnya.

"Saudara2," cepat dia berseru nyaring, "dia bukan cucu dari Ceng-te. Dia memalsu jadi cucu Ceng-te.

Dan Ceng-te mati dibunuhnya. Kalian telah ikut pada Ceng-te selama bertahun-tahun, seharusnya menuntutkan balas atas kematian Ceng-te!"

Saat itu Coh Hen Hong tak mau segera menyerang Pui Tiok. Karena dia merasa bahwa jago-jago Ceng-te- kiong itu tak mungkin sudi mendengar keterangan pemuda itu.

Tadi dia menyerang Pui Tiok, sudah cukup membuka mata jago-jago Ceng-te-kiong itu bahwa kepandaian Pui Tiok tidak begitu sakti seperti yang mereka bayangkan. Dan setelah Pui Tiok menyadari itu tentulah nyali pemuda itu akan berantakan. Pada saat itulah barulah dia dapat turun tangan untuk menghancurkannya.

Selesai berkata, Pui Tiok memandang sekeliling.

Tetapi jago-jago Ceng-te-kiong itu hanya memandangnya dengan dingin. Tak seorangpun yang memberi reaksi bertanya.

"Apa kalian tak percaya?" seru Pui Tiok pula, coba kalian tanya kepadanya. Apakah dia itu benar cucu Ceng-te atau bukan? Dia jelas bukan, dia jelas mamalsu Jadi cucu Ceng-te. Dialah yang membunuh Ceng te!"

Tetapi wajah jago-jago Ceng-te-kiong itu malah makin tampak membeku dingin.

"Kalian " tiba-tiba Pui Tiok tak mau melanjutkan

kata-katanya. Karena dia menyadari, sekalipun berkaok-kaok sampai kerongkongannya pecah, pun tak berguna. Tak seorangpun dari Jago-jago Ceng-te- kiong itu yang mau percaya kepadanya.

Dengan terengah engah pelaban-lahan dia berpaling dan menatap Coh Hen Hong.

"Bagus, engkau menang!" serunya dengan menggertakkan geraham.

Mendengar pernyataan Pui Tiok, Coh Hen Hong tertawa ngakak. Dia gembira sekali.

Tetapi sekonyong-konyong dari atas udara terdengar suara bunyi yang aneh. Seketika kawanan jago Ceng-te-kiong itu rasakan kepalanya seperti ditelungkupi warna hitam, seperti segulung awan hitam. Sret, sret angin menyambar keras hingga

pakaian mereka berkerebetan.

Jago-jago yang mengepung Pui Tiok, pun serempak menyurut mundur. Hukkk, terdengar bunyi menguak keras dan seekor burung rajawali besar melayang turun dari udara.

Begitu tiba ditanah dan mengangkat kepalanya tubuh rajawali itu lebih tinggi dari seekor kuda. Dan pada lain saat menyusul pula 7 ekor rajawali yang berturut-turut melayang turun ke tanah. Mereka tegak berjajar-jajar melingkari Pui Tiok dan Coh Hen Hong. Kawanan jago Ceng-te kiong berada diluar lingkaran burung itu.

Ternyata burung rajawali raksasa itu adalah burung piaraan Ceng-te yang sudah bertahun-tabun ikut Ceng-te. Waktu dahulu Ceng-te masih berkelana dalam dunia persilatan, begitu berangkat dari satu ke lain tempat, tentu dipelopori dengan barisan delapan ekor rajawali raksasa itu sehingga menambah keseraman wibawanya.

Karena sudah bertahun-tahun tinggal di Ceng te- kiong, sudah tentu Coh Hen Hong juga kenal baik dengan kedelapan rajawali raksasa itu. Tetapi entah bagaimana pada saat itu dia tergetar hatinya ketika melihat kedelapan rajawali raksasa melayang turun ke tanah.

Tiga atau empat puluh tahun lamanya kedelapan rajawali raksasa itu berhamba pada Ceng-te. Mereka tergolong burung yang cerdas nalurinya. Di antaranya ada lima atau enam ekor yang bulunya sudah putih.

Begitu melihat Ceng-te menjadi mayat, mereka tentu tahu apa yang telah terjadi. Peristiwa pembunuhan Ceng-te memang dapat mengelabuhi kawanan jago-jago Ceng-te-kiong tetapi tak mungkin dapat mengelabuhi kedelapan rajawali raksasa itu Coh Hen Hong benar-benar kelabakan juga.

"Engkongku telah binasa, kalian tentu tahu." cepat Coh Hen Hong mendahului berseru. Mendengar kata- kata Coh Hen Hong salah seekor rajawali raksasa itu melayang naik ke udara dan hinggap dipuncak wuwungan istana.

Wuwungan istana itu telah bobol maka begitu didarati rajawali raksasa, sebagian besar wuwungan itu segera rontok berguguran. Rajawali raksasa itu mengerutkan sayap dan menerobos masuk ke bawah dan tak lama terbang keluar lagi keatas wuwungan. Sepasang cakarnya mencengkeram tubuh Ceng te yang berlumuran darah.

Begitu melihat rajawali raksasa itu muncul lagi, tujuh rajawali raksasa yang lain serempak kibaskan sayap dan siap hendak terbang. Sepasang sayap dari seekor rajawali raksasa itu parjangnya hampir satu setengah tombak. Dan ketika ketujuh rajawali raksasa menebarkan sayap mereka, maka menderulah angin yang kuat sekali.

Coh Hen Hong dan Pui Tiok saat itu, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, Tetapi menderita angin kuat dari tebaran sayap kawanan rajawali raksasa itu, tak urung Coh Hen Hong dan Pui Tiok terguncang- guncang tubuhnya. Sedang jago-jago Ceng-te-kiong cepat berhamburan keluar.

Pada saat ketujuh rajawali raksasa itu hendak terbang, tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benak Pui Tiok.

Bukankah saat itu merupakan kesempatan baik baginya uutuk meloloskan diri dari Ceng-te-kiong ?

Cepat ia melaksanakan rencananya. Dia lari maju dan terus menyambar kaki salah seekor rajawali raksasa Itu.

Memang tindakan Pui Tiok itu tepat sekali. Apabila dia dapat memegang kaki burung itu tentulah dia akan dibawa terbang dari istana Ceng-te-kiong.

Tetapi suatu hal yang tak terduga-duga telah terjadi. Ketika sebelah kakinya dicengkeram tangan Pui Tiok, kaki yang lain terus menerkam Pui Tiok.

Cakar burung itu panjang hampir setengah meter dan runcing sekali. Kalau sampai menerkam, ngeri akibatnya. Pui Tiok terkejut dan cepat mengendap ke tanah, burr... Sekejab terjadi penundaan waktu telah digunakan rajawali raksasa untuk terus terbang ke udara menyusul kawannya.

Pui Tiok berguling guling ke samping seekor rajawali raksasa. Dia terus menyambar kaki rajawali itu tetapi burung itu memang cerdas. Dia maju selangkah lalu berbalik menerkam punggung tangan Pui Tiok.

Terpaksa Pui Tiok menarik tangannya dan bergelundungan menghindar. Dalam saat itu kembali ada tiga ekor rajawali raksasa yang sempat melayang naik. Tebaran sayap mereka menimbulkan angin kuat yang menyebabkan pasir dan batu berterbangan ke empat penjuru sehingga Pui Tiok hampir tak dapat bernapas. Dia bergelundungan beberapa langkah lalu melenting bangun. Tiba-tiba dia melihat Coh Hen Hong mENERJANGNYa.

Pui Tiok menyadari bahwa saat itu merupakan mati hidup baginya karena dia tak tahu apakah kepandaiannya sekarang ini mampu menghadapi Coh Hen Hong.

Serentak dia menggembor keras dan menyambut Coh Hen Hong dengan serangan pedang Kim-liong- kiam.

Ternyata serangan pedang Pui Tiok luar biasa dahsyatnya sehingga Coh Hen Hong terkejut dan terpaksa mundur selangkah.

Pui Tiok menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap ke samping. Tadi dua kali dia berusaha untuk menyambar kaki rajawali raksasa. Kali ini begitu dia nyelonong ke samping, dia tak mau menyambar kaki melainkan terus menubruk punggung seekor rajawali raksasa. Dan selekas berhasil dia terus memeluknya kencang-kencang.

Rajawali raksasa itu terkejut lalu pentangkan kedua sayap dan terus terbang ke udara. Adegan itu terjadi dalam waktu sekejab mata Pada saat Pui Tiok tenangkan pikiran dan memandang dengan seksama, dia terkejut sekali. Ternyata istana Ceng-te-kiong berada dibawah kakinya. Jago-jago Ceng-te-kiong yang mengepungnya tadi tampaknya hanya sekecjl jempol tangan. Ternyata dia berada beberapa ratus tombak di udara.

Sudah tentu Pui Tiok gembira sekali. Dia telah berhasil naik di punggung rajawali raksasa dan terbang meninggaikan istana Ceng-te-kiong.

Hampir dia tak percaya akan hal itu. Ia masih memeluk kencang-kencang tubuh burung itu. Tetapi selang beberapa waktu kemudian dia merasa bahwa berada dipunggung rajawali raksasa itu amat tenang dan stabil maka tak perlu harus memeluk burung itu mati-matian.

Dia menghela napas longgar. Dia berpaling dan melihat ketujuh ekor rajawali yang lain terbang di sampingnya. Salah seekor mencengkeram jenasah Ceng-te.

Sampai saat itu Pui Tiok masih belum tahu apa sebab dia dapat begitu lancar naik ke punggung rajawali raksasa. Dan selamanya diapun tak mengerti mengapa dia dapat meloloskan diri dari Ceng-te-kiong dengan selamat. Dia kira kalau keberhasilan itu disebabkan karena dia menyerang Coh Hen Hong dengan pedang Kim-liong-kiam.

Kedelapan rajawali raksasa itu adalah binatang piaraan Ceng-te yang sudah berpuluh tahun ikut padanya. Sudah tentu mereka faham sekali akan sinar pedang Kim-liong-kiam. Adalah karena Pui Tiok mencekal pedang itu maka itu berarti suatu komando bagi kawanan rajawali itu. Mereka tidak memandang orangnya tetapi pada pedangnya Itulah sebabnya maka Pui Tiok dapat meloloskan diri dengan lancar. Cepat sekali barisan rajawali itu melampaui beberapa gunung dan kini mereka menuju kesebuah karang dan lalu berhenti disitu.

Karang itu bentuknya menjulang ke atas dan ke bawah. Boleh dikata, selain kawanan rajawali itu memang sukar untuk setiap burung dapat hinggap disitu.

Puncak karang itu merupakan sebuah tanah datar seluas 7 atau 8 tombak. Rajawali meletakkan jenasah Ceng-te. Pui Tiok pun melorot turun.

Kawanan rajawali raksasa itu terus terbang lagi dan tak berapa lama mereka terbang pergi datang.

Ternyata setiap datang mereka membawa beberapa butir batu yang ditimbunkan ke jenasah Ceng-te.

Kira2 setengah jam kemudian jenasah Ceng-te sudah tertimbun rapat2 dengan batu. Melihat adegan itu diam-diam Pui Tiok menghela napas.

Walaupun burung tetapi rajawali raksasa itu tetap ingat akan budi kebaikan Ceng te. Tetapi Coh Hen Hong sebagai seorang manusia, mengapa begitu kejam membunuh Ceng-te yang telah memberi budi kebaikan begitu besar kepadanya. Apakah memang manusia itu lebih tak tahu budi dari burung? Atau memang hanya seorang manusia seperti Coh Hen Hong yang martabatnya lebih rendah dari burung.

Selesai menimbuni batu, kedelapan rajawali raksasa itu lalu terbang membumbung ke angkasa. Makin lama makin tinggi seperti hendak menembus langit. Mereka hanya kelihatan seperti titik2 hitam di angkasa raya.

Setelah kawanan burung itu lenyap dari pandangan mata barulah Pui Tok menundukkan kepala. Tetapi ketika itu juga dia menjerit, "Celaka!"

Saat itu dia berada dipuncak sebuah karang yang landai menjulang lurus keatas entah berapa puluh ribu tombak tingginya. Bagaimana kalau sampai terjatuh? Bagaimana dia akan turun ke bawah nanti? Dia menghampiri ke tepi karang dan melongok ke bawah. Uh, dia tertawa kecut. Jelas tak mungkin dia mampu turun lagi. Namun dia tetap berusaha juga. Menyusur dari tepi karang dia mendarat di sebuah tempat sebelah timur ternyata merupakan batu2 yang seperti kerucut bentuknya. Batu 2 kerucut itu keras dan kokoh sekali.

Tetapi pandang mata Pui Tiok hanya dapat mencapai 50-an tombak ke bawah, selanjutnya yang bagian lebih bawah lagi dia tak tahu karena tertutup awan.

Kecuali dari jalan dinding batu kerucut itu rasanya tiada lain jalan yang dapat digunakan untuk turun ke bawah.

Akhirnya dia memutuskan untuk mencoba. Setelah beberapa jenak tegak berdiri di 'makam’ Ceng-te untuk mohon restu, dia baru berputar tubuh dan dengan hati-hati mulai melorot turun ke bawah.

Permulaan sampai 40-an tombak jauhnya, berkat kepandaiannya yang bertambah maju, dia memang dapat bergerak lancar dan tak menemui kesulitan apa- apa.

Tetapi setelah mencapai tempat yang tertutup awan halimun itu dia dapatkan batu karang disitu lembab dan penuh ditumbuhi pakis. Bukan saja sukar dipegang tangan, pun kaki juga sulit menginjanya.

Setiap saat ada kemungkinan dapat terpeleset jatuh ke bawah.

Pui Tiok mengempos semangat dan memegang kencang segunduk ujung batu. Dalam kabut awan putih yang tebal dan luas itu dia tak dapat melihat apa-apa lagi. Juga sedikit suarapun tak terdengar sama sekali. Seolah-olah dia tiba di alam kematian.

Dan memang begitulah keadaannya. Sekali kurang hati-hati, dia tentu akan tergelincir jatuh ke bawah. Sebenarnya dengan kepandaian yang dimiliki saat itu, Pui Tiok dapat merayap turun. Tetapi karena dia merasa cemas karena tak tahu kapan dia nanti dapat turun ke bumi maka hatinyapun ber-debar2,

Kembali dia berhenti sejenak, memandang ke empat penjuru. Dia memang sudah menduga takkan melihat apa-apa tetapi paling tidak dia berharap akan menangkap suatu bunyi apapun saja, supaya dia yakin kalau dirinya masih hidup.

Dia berteriak sekeras-kerasnya sehingga menimbulkan gema kumandang yang memekakkan telinga Hal itu sedikit banyak membuat hatinya terhibur

Setelah gemuruh kumandang suara itu lenyap barulah dia mulai merayap turun lagi. Setiap kali hendak melangkah ke bawah, tentu ia harus menggerakkan kakinya berulang kali untuk menjajagi kamungkinan2 yang tak diinginkan. Setelah merasa pasti, baru dia turun.

Memang dia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Dan seandai tahu, diapun juga tak dapat berbuat apa-apa lagi.

Setelah meluncur turun 7-8 tombak, tiba-tiba ia melihat di sampingoya seperti bergelantungan rotan gunung. Tetapi dia belum dapat memastikan benda apa itu. Baru setelah dia berusaha menyambar dan berhasil maka dia tahu kalau benda itu memang benar-benar rotan. Rotan itu menjulai turun ke bawah

Pui Tiok lebih dahulu menarik rotan itu. Dia hendak menguji apakah rotan itu cukup kokoh sebagai alat untuk turun.

Ternyata memang kokoh. Gerakan rotan itu menimbulkan bunyi yang tak diduga-duga. Itulah bunyi genta yang berdentang-dentang tiga kali. Sudah. tentu bunyi genta itu menimbulkan kumandang yang dahsyat. Tubuh Pui Tiok juga ikut bergetar-getar Dan kakinya yang berpijak pada ujung batu, tiba-tiba dan Kedua kakinyapun tergoyah menggelintir, uh tak ampun lagi dia terpelanting jatuh ke bawah.

Untung sebelah tangannya masih mencekal rotan itu maka tubuhnyapun tertahan tak sampai terlempar ke bawah.

Setelah menenangkan diri, dia baru tahu bahwa dengan meluncur menggunakan rotan itu, dia tentu akan dapat mencapai suatu tempat lain. Oleh karena rotan itu bergelantungan kebawah tidak begitu rapat dengan karang, maka legalah hati Pui Tiok.

Maka Pui Tiokpun mulai meluncur kebawah dan genta itupun tak henti-hentinya berdentang dentang, Beberapa saat kemudian barulah Puj Tiok dapat mengetahui bahwa ujung rotan itu telah diikatkan pada sebuah alu-alu genta. Dan alu-alu atasnya dikaitkan pada sebuah tiang yang besar sekali. Genta itu sendiri besar sekali, kokoh dan kuat.

Sesaat kaki Pui Tiok tiba diatas karang, ternyata dia berada di samping sebuah genta besar yang setinggi dua orang. Karena genta itu masih berdentang- dentang nyaring maka telinga Pui Tiok serasa pekak.

Cepat Pui Tiok ayunkan langkah. Beberapa langkah lagi baru dia tahu kalau tempat itu adalah sebuah puncak lain dari gunung karang itu. Sebuah tanah dataran luas. Dia lanjutkan langkah lagi.

Tampak di sebelah muka sebuah danau yang airnya jernih kebiru-biruan. Karena halimun sudah menipis maka matapun dapat memandang agak jauh lagi Namun dia tak melihat barang seorang manusiapun juga.

Setelah suara genta lenyap baru dia berteriak nyaring, "Apakah di tempat ini ada orang?"

Tetapi diulang sampai tiga kali tetap tak ada penyahutan. Dia merasa aneh, ada genta mengapa tak ada orang ?. Tetapi ah, memang di tempat seperti itu se-harusnya tidak dihuni manusia. Kalau ada, tentu seorang yang aneh.

Pui Tiok lanjutkan langkah lagi. Tiba di tepi danau dia berjongkok dan menyerok air. Airnya jernih sekali lalu diminumnya. Dia merasa semangatnya segar.

Setelah berjalan mengelilingi danau dia kembali ke tempat genta lagi.

"Kalau tempat ini tak ada manusianya tentu genta itu peninggalan orang dahulu," pikirnya.

Dia lalu memeriksa genta raksasa itu. Genta penuh karat hijau. Permukaannya tak rata seperti penuh dengan guratan tetapi tak diketahui jelas apa maksudnya.

Pada saat dia tengah memperhatikan genta raksasa itu, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengalun- alun di udara,"Coh-pat-koay, apakah engkau hendak ke luar minta buah-dewa lagi ?"

Suara itu bukan laki bukan perempuan, seperti terputus-putus seperti lancar, membuat bulu roma meregang tegak. Tetapi nadanya tidak mengandung jahat. Dan yang jelas, tempat itu bukan tak pernah didatangi orang sama sekali. Paling tidak orang yang disebut Coh-pat-kay itu, tentu setiap kali datang kesitu. Seketika dia teringat sesuatu. Bukankah yang disebut Coh-pat-koay itu si Buruk dari Lembah Maut tempo hari ?

"Kalau engkau tak menyahut, akan kutambah lagi mukamu yang jelek itu menjadi makin jelek", seru suara misterius tadi. Sejenak tertegun, Pui Tiok menjawab tandas, "Aku bukan si Jelek tetapi aku juga datang dari Lembah Maut !"

Beberapa saat kemudian baru terdengar suara itu berseru pula, "Kalau begitu engkau ini siapa ?

Kecuali si Jelek dan koh-cujin, aku tak kenal lagi kalau di Lembah Maut. masih ada orang ketiga" Puj Tiok tertawa getir, "Memang semula aku bukan orang Lembah Maut. Kami berdua . . . suami isteri telah masuk ke dalam Lembah Maut itu dan diterima dengan baik oleh koh-cujin suruh tinggal disitu.

Tempat apakah ini ?"

Pertanyaan Pui Tiok tidak mendapat jawaban melainkan suara itu seperti bergerak mendatangi, "Engkau diterima oleh koh-cujin ? Heh, heh, kalau bukan engkau bohong tentulah koh-cujin itu yang cari kasulitan sendiri",

Tepat pada saat suara itu menyusup ke telinga Pui Tiok maka kira2 setombak jauhnya dihadapannya telah muncul sesosok tubuh manusia.

Tetapi Pui Tiok tak dapat melihat begaimana wajah orang itu. Pertama karena masih terbungkus halimun. Pun andaikata tak ada halimun juga masih sukar dilihat karena orang itu hanya seperti sebuah bungkusan kain putih.

Pui Tiok terpaksa maju tiga langkah agar dapat melihat dengan jelas. Tetapi pada saat dia maju, dia tetap mendapatkan jaraknya dengan orang itu masih setombak jauhnya, sehingga tak dapat melihatnya Jelas waktu dia maju, orang itu tentu mundur kebelakang. Tetapi kapan dan cara bagaimana dia mundur, sama sekali Pui Tiok tak tahu.

Dia masih hendak maju lagi tetapi orang aneh itu berseru, "Tak usah maju lagi. Engkau hendak melihat aku, bukan ? Tetapi selamanya aku tak membiarkan orang melihatku dengan jelas. Tak usah engkau sia- sia membuang waktu saja."

Nada orang itu membuat Pui Tiok bergetar. Orang itu memang bukan seperti bangsa manusia. Karena mana ada manusia yang hanya tampak seperti segunduk bayangan putih saja dan selamanya tak mau dilihat orang ?. Tetapi kalau bukan bangsa manusia, habis apa ? Apakah di tempat itu terdapat bangsa setan hutan ?

Makin menimang hati Pui Tiok makin menggigil. Dia tertegak seperti patung dan berkata tersendat-sendat "Engkau .... engkau .... engkau ..."

Orang itu menghela napas. "Engkau hendak bertanya aku ini setan jenis apa, bukan ?"

Pui Tiok tak dapat menjawab. Tetapi memang begitulah yang hendak ditanyakan. Maka ia hanya mengangguk saja.

"Setiap orang yang bertemu aku tentu hendak bertanya begitu. Tetapi sebenarnya, apa sih bedanya manusia dengan setan ? Sudah, jangan bertanya begitu lagi. Aku hendak bertanya kepadamu. Mengapa engkau bilang kalau pedang Kim-liong-kiam yang terselip di pinggangmu itu berasal dari Lembah Maut

?"

Mendengar pertanyaan hati Pui Tiok agak tenang.

Kalau orang itu bangsa setan mana mungkin tahu kalau pedang Kim-liong-kiam bukan berasal dari Lembah Maut ?

"Ah, ceritanya memang panjang," Pui Tiok menghela napas panjang.

Orang itu memberi isyarat tangan, "Aku toh kesepian sekali. Kalau engkau membawa cerita yang panjang, itu malah kebenaran sekali. Ceritakanlah. Aku takkan merugikan engkau nanti kuberimu dua buah Kiu-yang-sian-kou !"

Kiu-yang artinya sembilan hawa Yang. Dan sian-kou artinya, buah dewa.

Setelah orang itu selesai berkata. tiba-tiba muncul dua butir buah yang berwarna merah yang pelahan- lahan melayang ke arah Pui Tiok. Begitu Pui Tiok menyambutnya dia baru tahu kalau buah itu berwarna merah bara, seperti buah tho. Bau nya harum sekali. Memang Pui Tiok lapar sekali maka tanpa banyak pikir dia terus melalap buah itu. Sampai kulit dan bijinya dihabiskan semua.

"Dua butir buah sian-koh telah engkau makan.

Sekarang engkau boleh bercerita," kata orang aneh itu.

Sebenarnya Pui Tiok ingin lekas kembali ke Lembah Maut menjenguk Beng Cu. Tetapi saat itu dia tak tahu berada di tempat apa. Kalau dia gegabah pergi, kemungkinan sampai 10-an hari belum tentu dapat menemukan jalan ke lembah itu Pikirnya lebih baik dia tinggal disitu beberapa waktu. Setelah bercerita dia nanti akan mencari kesempatan untuk menanyakan jalan kepada orang aneh itu.

Dan lagi menilik gerak geriknya yang serba misterius itu tentulah orang aneh itu seorang tokoh sakti dalam dunia persilatan. Apa salahnya kalau ia minta petunjuk cara bagaimana menolong Kwan Beng Cu ?

Memang soal itu pernah dia tanyakan kepada Ceng- te tetapi Ceng-te tak sempat memberi jawaban lagi karena keburu dibunuh Coh Hen Hong

Maka Pui Tiokpun lalu bercerita. Mulai sejak ia disuruh ayahnya untuk menyelidiki hilangnya kitab Ih- su-sin-keng ke rumah keluarga Kwan Pek Hong sampai bertemu Coh Hen Hong dan akhirnya dibawa orangutan gin-wan ke dalam istana Ceng-te-kiong dan bertemu Ceng-te.

Memang untuk menceritakan secara terperinci, Pui Tiok tentu kehabisan ludah. Maka ia hanya menceritakan secara ringkas tetapi itupun sudah makan waktu selama tiga jam.

Saat itu hari sudah mulai gelap sehingga kalau orang itu tidak setiap kali bersuara tentulah Pui Tiok mengira kalau sudah pergi. Selesai bercerita, Pui Tiok menghela napas longgar. Beberapa saat kemudian baru orang aneh itu berkata, "Menurut ceritamu, pemilik Lembah Maut dan Ceng-te sudah binasa semua ?"

"Ya," sahut Pui Tiok, "jenasah Ceng-te telah dikubur oleh kedelapan rajawali piaraannya, di puncak tertinggi dari gunung ini. Aku baru turun dari sana sehingga dapat berada disini."

Tiba-tiba orang aneh itu tertawa meringkik.

Suasana yang begitu gelap ditambah denganu tawa yang sedemikian aneh, membuat orang bergidik.

Untuk mengembalikan nyalinya, Pui Tiok ber teriak keras2, "Engkau menertawakan apa !"

"Aku menertawakan Ceng-te yang memilki kepandaian begitu sakti toh akhirnya mati di tangan orang yang paling dikasihinya. Itu artinya dia telah mendapat pembalasan yang setimpal."

Pui Tiok terkesiap. Apa maksud orang aneh barkata begitu ? Apakah dulu Ceng-te pernah mancelakai orang yang paling sayang kepadanya? Pui Tiok meminta keterangan tetapi orang itu tertawa pula.

Nadanya makin lama makin mengejutkan orang sehingga Pui Tiok sampai menyurut mundur, trang . . tahu-tahu dia membentur genta yang berada di belakangnya.

Pui Tiok tertegun. Ah, salah kalau dia malah menghindar mundur. Seharusnya dia meminta keterangan kepada orang itu. Maka diapun tidak mau menyurut mundur lagi.

Beberapa jenak kemudjan kumandang genta itu sirap dan tawa orang itupun berhenti.

"Siapakah engkau ini sebenarnya ?" tanya Pui Tiok, "maukah engkau membawa aku kembali ke Lembah Maut ?"

Tubuh orang aneh Itu seperti terbungkus ber-lapis2 halimun. menurut Pui Tiok, tentu karena dibungkus dengan entah berapa lapis kain. Beberapa saat kemudian waktu Pui Tiok hendak membuka mulut, orang aneh ita mendahului berkata, "Ya, isterimu masih berada di Lembah Maut, bukan ?"

"Ya, ya," sahut Pui Tiok "Apa kata Ceng-te ?"

Pui Tok tertawa hambar, "Ceng-te bilang, 'koh-cujin telah melakukan usaha berat untuk menyalurkan hawa Im-han dari dipan Han-giok itu ke tubuh Beng Cu."

Qrang aneh itu tertawa mengekeh, "Kalau begitu, isterimu akan menjadi manusia es , tak dapat disentuh sama sekali ?"

Pui Tiok mendesuh dan marah. "Apanya yang engkau anggap lucu ?"

Tetapi orang aneh itu tetap tak berhenti tertawa, "Mengapa tidak lucu? Seorang manusia normal, tetapi menjadi manusia-es. Apakah itu tidak lucu ?"

Kalau beberapa tahun yang lalu mendengar kata- kata itu, tentu Pui Tiok sudah akan turun tangan.

Tetapi kini setelah mengalami penderitaan dan lolos dari lubang maut, toleransinya sudah bertambah besar. Walaupun marah tetapi dia masih dapat menahan diri. Dan lagi dia mendapat kesan bahwa orang aneh itu tahu benar akan persoalan itu.

"Kalau begitu . . . apakah masih ada upaya untuk menolongnya ?" tanyanya sesaat kemudian. Tiba-tiba orang aneh itu tertawa melengking.

Pui Tiok tetap bersabar menunggu sampai ia tertawa selesai baru terdengar orang itu berkata. "Upaya ? Ha, ha, tentu saja ada."

Mendengar itu girang Pui Tiok bukan kepalang.

Cepat dia maju selangkah dan memberi hormat dalam-dalam kepada orang aneh itu. "Apabila anda suka mengajarkan kepadaku untuk monolong Kwan Beng Cu, kami berdua, tentu takkan melupakan budi anda." Kali ini orang aneh itu tidak tertawa melainkan diarn beberapa jenak lalu berkata. "Engkau ingin tahu cara bagaimana untuk menolongnya ?"

"Ya."

"Waktu ini tubuhnya membeku dingin seperti es.

Begitu engkau sentuh, engkau tentu menggigil kedinginan dan diapun takkan merasa seperti orang mati tidak, hidup-pun tidak Bukankah begitu ?"

Sebenarnya tadi Pui Tiok masih belum yakin kalau orang aneh itu mampu menolong. Tetapi setelah mendengar katanya yang begitu lancar dan tandas, mau tak mau dia mulai menaruh kepercayaan juga.

"Benar". sahutnya. “Uh” orang itu mendesuh, "aku dapat memberi tahu cara menolongnya tetapi tak dapat begitu saja memberimu. Engkau harus menyerahkan pedang Kim-liong-kiam itu kepadaku !"

Mendengar permintaan itu kejut Pui Tiok bukan alang kepalang Bukan karena dia sayang kehilangan pedang pusaka itu demi menolong Beng Cu melainkan ada lain soal. Yalah dia takut kalau pedang pusaka itu sampai jatuh ketangan Coh Hen Hong.

Waktu menjelang ajal, Ceng-te tetap berusaha keras untuk merebut pedang itu. Ceng-te tak menghendaki kedua pedang pusaka itu sampai berada di tangan Coh Hen Hong semua. Jika sampai Coh Hen Hong memiliki se pedang itu, dunia pasti akan kacau karena tak ada orang yang mampu mengalahkan lagi.

Serentak timbul kecurigaan Pui Tiok terhadap orang yang misterius itu. Siapa tahu orang yang tak mau menunjukkan wajahnya itu juga anakbuah istana Ceng-te-kiong yang menyamar sebagai setan untuk menipunya ?

Melihat Pui Tiok tertegun dan tak menjawab, orang misterius itu tertawa mengekeh "Bagaimana? Apa engkau masih keberatan kalau pedang itu mendapat tukar isterimu ?" Pui Tiok menjawab, "Bukan begitu. Tetapi pedang ini memang penting sekali artinya. Waktu menjelang ajal, Ceng-te telah merebut pedang ini untuk diberikan kepadaku, Dia tak menginginkan pedang itu jatuh ke tangan lain orang."

Orang itu tertawa dingin, "Ya, kutahu. Engkau takut kalau pedang itu akan jatuh ke tangan cucu perempuan Ceng-te. Engkau takut kalau dengan memiliki sepasang pedang itu, tak ada orang yang dapat menandinginya, bukankah begitu ?"

"Ya" sahut Pui Tiok.

Orang itu tertawa, "Jangan kuatir, beri saja pedang itu kepadaku. Kalau pedang itu sampai jatuh ke tangan Coh Hen Hong, biarlah aku korban pertama yang akan mati dibawah Kim-liong-kiam"

Mendengar sumpah itu Pui Tiok tundukkan kepala mengamati pedang di pinggangnya. la mencabut pedang itu, "Kalau anda mengatakan begitu, pedang ini . . . "

Dia berhenti sejenak lalu bertanya, "Apakah anda sungguh-sungguh tahu cara menolong Beng Cu ?"

"Men'gapa engkau masih banyak curiga?" seru orang itu agak kurang senang, "engkau mau atau tidak menerima syarat itu. Kalau memangnya tak mau, akupun segera akan pergi. Siapa mau meladeni engkau lebih lama lagi?"

"Mau sudah tentu mau," Pui Tiok menghela napas. Pikirnya, karena orang itu sudah mengangkat sumpah begitu berat, apa salahnya kalau dia berikan Kim- liong-kiam kepadanya. Arwah Ceng-te di alam baka tentu setuju dengan tindakannya itu.

Dia balikkan telapak tangan dan begitu mengerahkan hawa murni, pedang itupun meluncur kearah orang itu.

Tampak orang itu menghindar ke samping untuk menyambut. Tring, terdengar suara mendering ketika tangannya menyambar pedang itu, "Hebat, sungguh pedang yang hebat sekali !"

"Sekarang bagaimana cara menolong "

"Ya, akan kuberi tahu kepadamu," cepat orang itu menukas, "tubuhnya bukankah dingin dan membeku seperti es?"

"Benar," sahut Pui Tiok.

Orang itu tertawa mengakak, "Kalau begitu, mudah saja. Nyalakan api unggun yang besar dan tentu dia akan tertolong."

Mendengar itu Pui Tiok hampir tak percaya pada pendengarannya, "Apa katamu?"

"Buatlah api unggun besar dan taruh istrimu kedalam api unggun itu. Kalau es dibakar api, tentu akan meleleh dan dalam dua jam saja dia tentu akan hidup kembali?

Mendengar itu Pui Tiok menuding orang itu. Tetapi karena dia marah sekali maka sampai tak dapat mengucap sepatah kata juga. Dia hendak menyerang orang itu tetapi karena tak dapat mengerahkan hawa murni maka diapun berat sekali untuk bergerak. Dan pada saat itu orang aneh telah beringsut mundur.

Pada lain kejab dia sudab lenyap kedalam halimun. Pui Tiok menjerit histeris. Dia telah tertipu. Dia marah bukan kepalang sehingga darah serasa naik

kepala. Kalau saat itu dia tidak bertambah maju tenaga dalamnya, tentu sudah muntah darah.

Begitu marah darah hendak naik ke dada, buru- buru dia mengerahkan hawa-murni untuk menekannya. Tetapi dia rasakan bumi yang dipinjaknya itu serasa berputar-putar deras dan Bluk. .

. . akhirnya dia jatuh ke tanah. Lebih kurang sepeminum teh lamanya, dia baru normal lagi. Dia terus berbangkit. Dia duga orang tadi tentu sudah jauh, percuma saja dia akan mengejarnya. Dia diam saja. Dia hanya menyesali dirinya. mengapa begitu mudah dapat ditipu orang! Tetapi dia mencari alasan untuk memaafkan dirinya. Bukankah orang itu dapat mengatakan keadaan Beng Cu dengan jelas dan tepat? Siapa orangnya tak akan percaya ?

Dalam keadaan seperti saat itu terpaksa Pui Tiok harus menghibur diri. Orang itu sudah mengeluarkan sumpah berat, tentulah takkan memberikan pedang Kim-liong-kiam itu kepada Coh Hen Hong. Begitulah satu-satunya hal ia dapat menghibur dirinya.

Setelah tegak beberapa saat, halimunpun mulai menipis. Dia memandang kemuka dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya tadi seperti sebuah impian yang buruk saja.

Bulan remang bersinar lemah. Dia dapatkan dirinya berada disebuah lembah yang penuh dengan pohon. Tetapi pada saat itu dia sukar untuk mencari jalan. walaupun dia ingin sekali lekas-lekas kembali ke Lembah Maut tetapi toh percuma saja karena dia tak tahu jalannya. Apa boleh buat dia lalu mencari tempat yang datar dan rebahkan diri. Tetapi dia tak dapat tidur. Dan ketika membuka mata ternyata hari sudah terang tanah. Dia lalu menuju kesebuah parit untuk membasuh muka setelah itu lalu melanjutkan perjalanan. 

Setelah keluar dari lembah dia bingung. Disebelah muka tampak sederetan gunung yang tak terhitung jumlahnya. Kemana dia harus mengambil jalan ke Lembah Maut?

Akhirnya dia duduk lagi. Setelah mentari menjulang tinggi, baru dia berangkat lagi. Dia tak tahu arah yang ditempuhnya. Tetapi baru dia ber jalan 10-an langkah, tiba-tiba terdengar suara orang berseru, "Hai, engkau salah jalan!"

Pui Tiok terkejut dan cepat berpaling ke belakang.

Tetapi ternyata tak ada orang sama sekali. Ah, mungkin salah dengar, dia tertawa hambar lalu melanjutkan langkah lagi. Tetapi baru selangkah kembali dia mendengar suara orang itu. Itu jelas suara manusia. Walaupun mengambang tetapi dia dapat menangkap jelas.

"Hai, engkau salah jalan!" seru orang itu.

Kali ini Pui Tiok percaya tak saiah dengar lagi maka dia buru-buru berhenti dan berseru, "Siapakah anda? Terima kasih atas petunjuk anda!''

Orang itu tertawa mengekeh, "lh, ingatanmu Demikian buruk sekali. Masa nada suaraku saja baru lewat beberapa jam, engkau sudah "

Serentak Pui Tiok menggembor keras. Karena saat itu baru dia dapat teringat bahwa suara itu tak lain adalah suara orang yang menipu pedang Kim-liong kiamnya

Sambil menggerung dia terus menerjang kearah suara itu. Suara itu berasal dari semak pohon pendek di sebelah muka. Tetapi ketika dia menerjang ke sana, semak pohon kecil itu rubuh dan sama sekali tak ada manusianya.

"Tikus buduk, kalau berani keluarlah unjuk dirimu !" serunya menggeram. Suara aneh itu melayang-layang kian kemari tak menentu asalnya. Terdengar suara itu menggeram, "Ha, besar mulut sekali engkau ! Apa aku menyalahi engkau ?"

"Engkau, engkau telah menipu pedang Kim-liong kiamku, dengan alasan dapat menolong Beng cu !"

"Ya, benar", sahut suara itu, "memang telah kuberi tahu cara itu kepadamu. Kusuruh engkau membuat api unggun, lebih besar lebih baik dan bakarlah isterimu "

Dalam berkata-kata itu, Pui Tiok sudah menerjang ke empat penjuru. Kedua tangannya menghantam sekuat kuatnya sehingga menyebabkan debu dan batu yang berhamburan kemana mana. Tetapi sia-sia saja. Dia hanya menghantam angin kosong.

"Hai, apa-apaan itu. Kalau engkau tak menghendaki petunjukku supaya engkau dapat kembali ke Lembah Maut, akupun segera akan pergi saja"

Mendengar itu Pui Tiok gembira sekali. Tetapi mana dia mau percaya pada omongan orang itu lagi.

"Tikus buduk, unjukkan dirjmu !" teriaknya marah.

Tetapi orang itu tetap tak mau keluar. Hanya suaranya yang berkumandang ke empat penjuru, "Hm, engkau anak jadah, kalau berani memaki aku, aku takkan sungkan lagi kepadamu !"

Walaupun marah tetapi diam-diam Pui Tiok terkejut juga karena tak dapat menemukan orang itu Dia serentak teringat kata orang bahwa dalam dunia persilatan terdapat suatu ilmu meringankan tubuh atau ginkang yang sakti, disebut Pat-hong-hong-u atau Hujan-angin-empat-penjuru. Orang itu bicara di sebuah tempat tetapi dia menghamburkan suaranya ke empat penjuru sehingga orang yang mendengarkan mengira kalau suara itu berasal dari empat penjuru juga.

Jika begitu bukankah orang misterius itu tengah menggunakan ilmu Pat-hong-hong-u ? Jika benar, jelas orang yang menggunakan itu tentu seorang tokoh silat yang sakti. Tetapi mengapa begitu hina mau menipu pedang orang ?

Diam-diam Pui Tiok teringat akan kata sebuah peribahasa 'lebih baik merugikan seorang ksatrya (kuncu) daripada merugikan seorang manusia rendah (siau-jin)'. Kalau bersalah kepada seorang ksatrya tentu akan diberi maaf. Tetapi kalau kepada siau-jin, tentu tak ada maaf lagi,

Pikir Pui Tiok, kalau ia menyalahi orang aneh itu, tentu urusan akan jadi panjang dan orang aneh itu tentu akan mengganas lebih hebat. Maka diapun tak mau memaki-makinya lagi.

"Pergilah," katanya, "aku tak mengemis petunjukmu. Aku dapat mencari sendiri Lembah Maut itu"

"Engkau mampu mencari Lembah Maut ?" nada orang itu terkejut.

Pui Tjok berseru nyaring, "Taruh kata aku tak mampu, aku rela gentayangan disini setahun dua tahun bahkan lima tahun. Aku tak suka mendengar ocehanmu lagi."

Suara itu berhenti beberapa jenak, tiba-tiba tertawa. Nadanya amat aneh, Sebentar scram, sebentar melengking tajam dan sebentar mengakak lebar kemudian sebentar pula mengekeh aneh.

"Hayo, tertawa, tertawalah terus. Walau tak sedap didengar tetapi lebih baik dari pada ocehanmu yang bohong tadi !'' seru Pui Tiok.

Mendengar itu siraplah tawa orang itu dan berserulah dia, "Ho, kiranya sampai setengah hari aku bicara, engkau masih tak percaya ?"

Sudah tentu Pui Tiok makin geram, "Engkau suruh aku percaya apa ? Suruh aku percaya perintahmu supaya membuat api dan membakar Beng Cu, begitu

?"

"Tentu saja begitu " teriak orang itu dengan tajam, "engkau telah menukar dengan pedang pusaka. Kalau engkau tidak percaya, perlu apa engkau mau tukar menukar begitu ?"

Marah Pui Tiok tak terkendalikan, serunya, "Itu memang kebodohanku sendiri. Bagaimana aku tahu setelah mendapatkan pedang lalu keteranganmu tak lebih hanya seperti kentut busuk begitu macam ?

Orang aneh tertawa mengekeh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar