Pedang Berbunga Dendam Jilid 17

JILID 17

Mendengar keterangan Pui Tiok, Coh Hen Hong mendesuh. Tampaknya dia tak curiga kalau peristiwa itu mempunyai hubungan dengan Pui Tiok. Maka dia lalu menarik lengan pemuda itu dan mengajaknya meninjau ke tempat itu.

Tiba dihalaman, kelompok pertama dari anak buah Cap-it-pang sudah lebih tiba dan membawa obor sehingga halaman itu terang seperti siang.

Bermula mereka hiruk mempersoalkan peris­tiwa disitu tetapi begitu Coh Hen Hong tiba, me­reka tak berani bicara lagi.

Memandang kearah batu besar yang didorong jatuh ketanah, Coh Hen Hong tertawa dingin “Hm, barang siapa diantara kalian yang tahu jejak dari orang yang kita curigai, akan kuberi hadiah!”

Mendengar pernyataan itu, sudah tentu kawanan anak buah Cap-it-pang itu sibuk sekali untuk mencari obyek. Andaikata mereka melihat se­ekor kucing yang mungkin dapat dianggap jadi biang keladi dari menggelindingnya batu besar itu ke tanah, tentulah mereka segera akan melapor agar mendapat hadiah.

Tetapi tiada seorangpun melihat suatu apa waktu peristiwa itu terjadi. Sayang.

Melihat tak ada orang yang melapor, Coh Hen Hong tertawa dingin, “Ah, tak apa, kalian boleh keluar.

Tetapi jangan ribut dan mempersoalkan peristiwa itu lagi, mengerti?”

Nada suara Coh Hen Hong yang mengandung hawa pembunuhan, telah menyayat hati kawanan orang itu. Maka seperti anjing melihat gebuk, orang-orang itu cepat berhamburan pergi.

Saat itu Coh Hen Hong masih berdiri tegak. Karena mempunyai kesalahan maka hati Pui Tiok berdebar keras. Dilihatnya Coh Hen Hong mondar mandir, dia tak berani bertanya apa-apa.

“Apakah engkau juga tak melihat siapa saja yang melakukan hal itu?” tiba-tiba Coh Hen Hong bertanya kepada Pui Tiok.

Pui Tiok terkejut, jawabnya, “Bagaimana aku bisa mengetahui ? Aku sudah hampir tjdur lalu mendengar suara gempar itu dan terus lari ke­luar.”

Coh Hen Hong tak mau bertanya lagi terus berjalan keluar. Sekeluarnya dari halaman itu dia tertawa dingin dan berkata seorang diri, “Hm coba saja kalian dapat lari kemana!” “Apa engkau tahu siapa yang melakukan?” cepat Pui Tiok bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan beberapa manusia buruk itu. Aku dapat mengatur cara untuk menghadapi mereka, engkau boleh beristirahat!”

Karena Coh Hen Hong tidak berkata apa-apa lagi maka longgarlah perasaan Pui Tiok. Dia te­rus menuju ke kamarnya.

Begitu mendorong pjntu, tiba-tiba ia terlongong kaget. Seperti semalam, walaupun kamar itu gelap tetapi dia merasa bahwa didalamnya terdapat orang. Dan lagi dia segera mengetahui siapa yang berada dalam kamarnya itu.

Besar sekalipun nyali Pui Tiok tetapi pada saat itu dia benar-benar seperti orang kehilangan semangat.

“Ui cianpwe, apakah kalian?” serunya. Dari tempat yang gelap segera terdengar suara penyahutan, “Ya, kami.”

“Mengapa kalian bersembunyi disini? Apakah kalian tak tahu kalau hampir saja dia akan masuk kemari.

Untung dia terus pergi. Kalian ……………

Belum selesai Pui Tiok berkata, tiba-tiba dari luar terdengar suara Coh Hen Hong berseru, “Mengapa engkau tidak menyulut lampu?”

Pui Tiok bergidik dan cepat menyahut, “Aku hendak berlatih ilmu pernapasan. Disini banyak orang, tak enak kalau dilihat mereka.” Coh Hen Hong tertawa, “Engkau memang cermat sekali. Bukalah pintu, aku hendak ma­suk perlu bicara dengan engkau.”

Wajah Pui Tiok pucat seketika. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Kerongkongannya serasa kering, tak tahu bagaimana harus menjawab. Dan saat itu didengarnya Coh Hen Hong sudah tiba dimuka pintu.

Pui Tipk batuk-batuk, serunya, “Ada . . apa. Biarlah aku keluar. Ketahuilah, sekarang kedudukan mu bukan main-main. Kalau sampai diketahui orang tentu akan jadi bahan pembicaraan yang kurang enak.”

“Hm, siapa berani bicara iseng tentang diriku?” dengus Coh Hen Hong.

Sepanjang-panjang lorong, masih panjang kerongkongan. Memang kalau di depan tak berani bicara tetapi dibelakang mereka tentu akan bisik-bisik, sanggah Pui Tiok.

Coh Hen Hong mendesuh. Rupanya dia sudah berdiri dimuka pintu beberapa jenak baru berkata “Baiklah, Aku tak ada keperluan apa-apa melainkan hendak bertanya. Aku hendak mengirimkan si Kelelawar-emas Tan Ji Hong untuk mengundang ke tua Peh-hoa-kau datang kemari. Bagaimana pendapatmu?”

“Baiklah, boleh saja.”

Coh Hen Hong tertawa. Suara tawanya makin lama makin jauh Pui Tiok mundur beberapa langkah dan duduk. Walaupun dia dapat mengelakkan dari Coh Hen Hong tetapi tak urung tubuhnya basah kuyup mandi keringat dingin.

“Karena dia mendesak supaya aku mau melangsungkan perkawinan dengan dia, terpaksa kubilang kalau hal itu kuserahkan pada keputusan ayah. Rupanya dia tak sabar menunggu dan memerintahkan Kelelawar-emas Tan Ji Hong yang sakti dalam ilmu Meringankan-tubuh, segera ke Peh- hoa-nia.”

Tiba-tiba terdengar suara aneh dari Ah Tang lokoay, “Budak. peruntunganmu besar sekali.”

Put Tiok tertawa pahit, “Harap lo-cianpwe jangan mentertawakan. Kalau mau menempa besi sebaiknya kalau besi itu sedang panas membara Lekas tolong nona Kwan dan terus tinggalkan tempat ini.”

Sampai beberapa saat belum terdengar reaksi dari ketiga tokoh itu,

“Mengapa kalian diam saja? Apakah tidak mau menolong nona Kwan?” Pui Tiok mendesak

“Bukan begitu,” sahut Ui Un-kun, “tetapi kalau sekarang bergerak, apakah tepat waktunya

“Sudah tentu sekarang ini yang paling baik, kata Pui Tiok, “dia mengira setelah menolong orang, kalian tentu akan melarikan diri. Dia tentu tak mengira kalau kalian masih berada disini untuk menolong orang lagi. Kalau kehilangan kesempatan kali ini tentu sukar lagi”.

“Hm, engkau benar juga. Bawalah kami ke sana,” sahut Ui Un-kun. 

Pui Tiok tak berani keluar dari pintu. Dia membuka jendela dan terus malesat keluar. Dia tahu ketiga tokoh itu tentu akan mengikuti di belakangnya maka tanpa berpaling lagi dia terus lari saja.

Karena Coh Hen Hong melarang orang-orang tak boleh bergerak ke mana2 maka waktu itu Pui Tiok tak berjumpa dengan seorangpun juga. Tak berapa lama dia sudah tiba di luar halaman itu.

Dia berhenti, berpaling dan melihat tiga sosok bayangan melesat dalam kegelapan, tanpa mengeluarkan suara.

Pui Tiok makin besar nyalinya. Dia terus melangkah masuk kedalam ruangan. Dua sosok ba­yangan melesat keluar dan membentak, “Apa. . “

Belum sempat kedua orang itu menyapa, Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng-tong cepat sudah menerjang. Kedua orang tadi terkejut karena dihadang itu. Dan tanpa mengeluarkan suara, ke­dua orang itu rubuh terjengkang ke belakang.

Ui Un kun dan kepala gua Yu-beng-tong menyanggapi tubuh mereka lalu dilempar ke luar. Kedua tokoh itu menggunakan tenaga-dalam Im-ji- kang (tenaga luaak), selekas menyanggapi terus melemparkan ke luar. Lemparan itu tidak me­ngeluarkan suara apa-apa dan ketika kedua mayat itu jatuh ke tanah juga tidak bersuara.

“Lekas maju lagi.” Ah Tang lokoay berseru Pui Tiok melakukan perintah. Dia anggap kalau bukan Coh Hen Hong yang datang, keadaan disitu tentu dapat dikuasai.

Buktinya, kedua orang yang ditempatkan Coh Hen Hong untuk menjaga disitu tentu bukan orang sembarangan tetapi toh sekali gerak Ui Un-kun dan kepala gua Yu beng-tong dapat merubuhkan mereka. Dengan begitu jelas kalau Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng-tong itu memang lihai sekali.

Pui Tiok lanjutkan langkah menuju keruangan. Dan Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng tong juga mengikuti. Tetapi baru Pui Tiok masuk tampak empat sosok tubuh, tanpa bersuara telah menggeletak rubuh tak bernyawa.

Pui Tiok cepat menampar pada dinding tembok dan berkata, “Dia berada dalam dinding ini. Tetapi entah harus melingkar dari mana baru dapat masuk.”

“Asal dia benar berada dalam dinding ruangan itu, perlu apa harus berjalan melingkar ?” Ah Tang lokoay menertawakan.

Pui Tiok tertegun. Sebelum dia tahu apa maksud Ah Tang lokoay, tokoh tua itu sudah menghampiri kemuka lalu tempelkan kedua tangannya ke tembok dan memutar kian Kemari.

Lebih kurang dua peminum teh lamanya, pa­da bagian dinding yang diputar-putar itu telah melebar sampai seluas setengah meter. Tokoh itu mundur dan terus mengangkat kedua tangannya. Ternyata dinding itu telah meninggal bekas dua buah lubang. Tokoh tua itu telah menggunakan tenaga-dalam sakti untuk menghancurkan tembok. Waktu dia mengangkat kedua tangannya, tembok yang sudah hancur menjadi puing itupun segera berhamburan kebawah. Sungguh suatu ilmu kepandaian yang luar biasa.

Tetapi Pui Tiok tak sempat untuk menikmati ilmu kesaktian Ah Tong lokoay. Dia terus me­lesat menyusup masuk dari lubang itu.

Tepat pada waktu dia bergerak masuk, ruangan menjadi terang benderang. Dan sebelum kaki Pui Tiok sempat menekan ke lantai, terdengar bunyi menderu dan segulung sinar merah yang gilang gemilang.

Pui Tiok heran. Ketika dia hendak mengangkat tangan untuk menolak sinar gemilang Itu, tiba-tiba terdengar kepala gua Yu-beng-tong tertawa sinis, “Thian Ong niocu, apa kabar?”

Baru seruan kepala gua Yu-beng-tong berkumandang dan belum lagi pukulan Pui Tiok diayunkan, seberkas sinar merah tadi tiba-tiba lenyap dan letup hawa wangi yang menampar hidung Pui Tiok tadipun lenyap.

Saat itu baru Pui Tiok tahu apa yang bera­da dihadapannya. Tampak Kwan Beng Cu sedang duduk diatas meja. Tentunya dia tahu apa yang terjadi tadi. Tetapi rupanya dia tak mengerti sehingga dia hanya merentang mata seperti orang tercengang. Bahkan dia belum tahu kalau yang masuk itu Pui Tiok. Ternyata bukan hanya Kwan Beng Cu, pun disamping meja itu terdapat seorang wanita cantik yang tegak berdiri.

Cantik sih cantik bahkan kecantikan wanita itu berlebih-lebihan. Saat itu dia tengah mengicup ngicupkan ekor matanya, tersenyum simpul memandang Pui Tiok dengan genit.

Semula memang hati Pui Tiok berdebar keras sesaat melihat wanita cantik itu. Tetapi bebe­rapa saat kemudian dia malah kucurkan keringat dingin karena ngeri.

Tadi waktu dia menerobos masuk melalui lu­bang yang dibuat kepala gua Yu-beng-tong, dia sudah disambut dengan segulung sinar merah sehingga dia tak mendengar tatkala kepala gua Yu beng-tong berseru menegur wanita cantik dalam ruangan itu.

Tetapi kini setelah melihat tangan wanita can­tik itu tengah memegang seperangkat jaring yang Indah warnanya, dia segera tahu bahwa wanita cantik itu tak lain adalah Thian Ong niocu atau nyonya Jaring- langit. Dan tadi segulung sinar emas kemilau yang menyongsong kedatangannya tentulah jaring pusaka yang mengandung racun ganas dari wanita itu.

Tiba-tiba pada kesimpulan itu mau tak mau Pui Tiok mengucurkan keringat dingin juga. Sebab ka­lau Thian Ong niocu tidak cepat menarik kembali Jaringnya, dia tentu sudah terperangkap dalam jaringan itu. Sekali masuk dalam jaring, jelas dia tentu amblas nyawanya. Karena selama ini belum pernah terdengar bahwa ada tokoh yang mampu meloloskan diri dari perangkap jaring itu. 

Selagi Pui Tiok masih terlongong-longong, kepala gua Yu-beng-tong pun sudah melesat masuk dan berdiri di samping Pui Tiok.

“Ah, tak nyana kalau kita akan berjumpa disini!”

Melihat kepala gua Yu-beng-tong, seketika wajah wanita gentf itu berobah pucat. Namun dipaksakan tertawa, “Tongcu, sudah lama kita tak bertemu !”

Tanpa sungkan lagi kepala gua Yu-beng-tong terus berkata,”Kami datang kenari untuk menolong orang. Engkau mau bertempur melawan kami atau berdiri di fihak kami?”

Thian Ong niocu memandang kesekeliling ia tak kenal Pui Tiok tetapi dia kenal Ah Tang lokoay dan setan wabah Ui Un-kun. Maka diapun lalu tertawa getir, “Apakah aku mampu melawan kalian bertiga? Tetapi kalau anda hendak menolong orang, kuminta Anda bertiga juga mau memikirkan cara untukku.

“Itu mudah saja,” sahut kepala gua Yu beng tong, “engkau ikut kami saja.”

Pada saat itu rupanya Kwan Beng Cu sudah sadar.

Dia berseru kejut2 gembira, “Pui toako!”

“Beng Cu,” Pui Tiok terus menghampiri, ‘jangan bicara keras2. Aku dan beberapa cianpwe ini hendak menolong engkau. Ketiga cianpwe ini semua dari istana Ceng-te-kiong!”

Jangan bicara, lekas larl, lekas!” tiba-tiba Ah Tang lokoay berseru. 

Mendengar itu Pui Tiok terus menarik tangan Beng Cu dengan dipelopori Ui Un-kun mereka lalu lari ke muka.

Sekeluarnya dari ruangan itu keenam orang makin mempercepat larinya dan tak lama kemudian mereka sudah melompati pagar tembok dan lari keluar.

“Engkau bawa nona Kwan lari ke arah timur!” Ui Un-kun memberi petunjuk.

“Dan cianpwe?” tanya Pui Tiok.

“Hilangnya nona Kwan tentu tak dapat ditutupi lama2 ,” belum Ui Un-kun sempat menyelesaikan

kata-kata nya dari dalam pagar tembok terdengar suara hiruk pikuk. Jelas menandakan kalau lolosnya Kwan Beng Cu telah diketahui mereka.

Sejenak berhenti Ui Un-kun membagi tugas, Kita lari berpisah. Kami yang akan memikat musuh supaya mengejar kami dan kalian cepat-cepat ha­rus meloloskan diri.”

“Lalu kapan kita akan bertemu lagi?” Pui Tiok gopoh bertanya.

“Perlu apa harus bertemu lagi? Kita nanti akan mati atau masih hidup, kan belum tahu!,”

“Bagaimana ini? Kan kami belum tahu dimana letak istana Ceng-te-kiong itu?”

Ui Un-kun mendengus, “Ceng-te-kiong terletak daerah gunung Tay-hong-san di propinsi Ou-pak. Kalau kami dapat lolos dari bahaya, tentu akan ke sana juga. Tetapi budak perempuan busuk itu tentu akan tahu juga maka kalian harus hati-hati diperjalanan.”

Pui Tiok mengangguk. Saat itu suara kemarahan Coh Hen Hong juga samar-samar terdengar. Pui Tiok tak berani berayal lagi, dia menarik tangan Beng Cu diajak lari ke arah timur. Keduanya tak berani berhenti dan tak lama kemudian tiba di tepi sungai Hongho.

Mereka lari menyusur pantai sampai 7-8 li. Setelah tak ada orang yang mengejar, baru mereka berhenti untuk mengambil napas.

Saat itu matahari sudah terbit. Mereka me­lihat sebuah perahu kecil tertambat di tepi sungai.

Keduanya lari menghampiri dan terus loncat kedajam perahu itu.

“Siapa didalam perahu ini?” seru Pui Tiok. Tetapi diulang sampai beberapa kali tetap tak ada penyahutan. Perahu itu kecil maka dapatlah diketahui kalau perahu itu memang kosong.

Pui Tiok terus membabat tali pengikat dan perahu itu segera meluncur dibawa arus air yang deras.

Setelah perahu meluncur 6-7 li, barulah ke duanya dapat bernapas longgar. Merasa telah da­pat lolos dari lubang jarum, kedua anak muda itu saling berpelukan. Beng Cu sandarkan kepalanya di dada pemuda itu dan menangis.

“Beng Cu, jangan menangis,” Pui Tiok menghiburnya, “sekarang segala sesuatu sudah lewat, Kitapun sudah tahu di mana letak istana Ceng-to kiong itu.” 

Dengan air mata bercucuran, Beng Cu berka­ta “Tetapi . . . perjalanan ke Cupak itu ribuan li Jauhnya. Entah sampai kapan baru kita dapat mencapai ke sana.”

Pui Tiok hanya tertawa hambar. Tetapi dia terpaksa menghibur, “Bagaimanapun langkah kita sekarang ini jauh lebih baik daripada kita ditawan budak perempuan itu.”

Beng Cu menghela napas. Sampai beberapa saat dia tak bicara apa-apa.

“Dan lagi,” kata Pui Tiok pula, “kita dibantu oleh beberapa cianpwe yang sakti. Mereka sengaja menyesatkan musuh supaya mengejar mereka.

Asal kita berlaku hati-hati, kurasa akhirnya kita tentu dapat mencari istana Ceng-te-kiong!”

“Kwan Beng Cu menghela napas, “Pui toa-ko, aku ,

. . aku ” membikin repot engkau saja!”

Pui Tiok sengaja marah. “Beng Cu, kalau engkau berkata begitu lagi, aku tak mau mempedulikan engkau!”

Beng Cu memeluk makin kencang dan tak berkata apa-apa lagi. Perahu tetap melaju dibawa ombak.

Cepat sekali sudah mencapai 7-8 li. Pui Tiok memutar haluan perahu untuk minggir ke tepi. Setelah hampir dekat dia mengajak Beng Cu loncat ke tepi, Selekas kedua anak muda itu tiba di daratan, perahu itu berputar-putar dan dibawa arus sungai lagi. Pui Tiok dan Beng Cu menuju ke jalan be­sar, Mereka tiba disebuah jalan besar yang lurus dan lebar. dikedua tepi jalan ditumbuhi dengan pohon2 yang rindang.

“Beng Cu, agaknya kita sudah selamat dari kejaran mereka,” bisik Pui Tiok.

Beng Cu memperhatikan beberapa pejalan yang memperhatikan keduanya. Dia berbisik, “Pui toako kalau kita mengenakan dandanan begitu tentu tak lepas dari mata orang, Coh Hen Hong luas sekali pengaruhnya di kalangan orang persilatan, Kalau mereka memberi laporan, Coh Hen Hong tentu dengan cepat akan dapat menyusul kita. Kalau sampai begitu kita tentu sukar lolos!” Pui Tiok mengangguk, “Benar, nanti aku akan cari akal.”

Saat itu mereka tiba di sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah perkampungan, Mereka lalu menuju ke perkampungan itu, Lebih kurang 1 jam kemudian, keduanya kembali lagi ke jalan besar. tetapi saat itu mereka sudah beda dari yang tadi.

Kalau tadi mereka berpakaian yang bagus sehingga menandakan kalau bukan orang sembarangan, sekarang mereka sudah berganti dengan pakaian dari bahan kasar dan kepalanya juga memakai caping, sepatu rumput, mirip dengan orang desa. Dan Pui Tiok masih membeli sebuah kereta dorong. Dia sudah suruh Beng Cu membalut kakinya dan duduk dalam kereta dorong itu.

Juga nona itu mengenakan pakaian seperti perempuan desa. Sambil mendorong kereta, Pui Tiok tertawa, “Beng Cu, tahukah engkau kita sekarang ini mirip apa ?”

“Lha, mirip apa?”

“Seperti orang desa yang mengambil mempelai perempuan dibawa pulang,” bisik Pui Tiok.

Merah muka Beng Cu. Tetapi dalam hati dia merasa babagia sekali. Sambil cibirkan bibir dia berkata, “Siapa yang tahu mempelaimu perempuan itu siapa ?”

Pui Tiok tertegun “Beng Cu, apa maksudmu” “Dalam beberapa hari ini, aku selalu tak berkutik,

sampai selangkah saja aku tak dapat ber jalan. Tetapi

engkau bebas ke sana sini. Apa engkau kira aku tak tahu kalau engkau . . . engkau dan dia …”

“Beng Cu, jangan kuatir,” seru Pui Tiok “kalau aku sampai berbuat sesuatu yang membohongimu, biarlah Thian menumpas diriku!”

“Engkau bersikap begitu, tetapi dia? Apakah dia rela?”

Tahu bahwa nona itu cemburu maka Pui Tiok terpaksa menjelaskan peristiwa yang dialaminya dengan Coh Hen Hong.

“Sudah tentu dia tak mau,” katanya. “pertama, dia suruh aku berlutut dihadapannya. Sudah tentu aku tak sudi. Maka dia marah dan mematahkan tulang betisku sampai dua kali …” Berkata sampai disitu teringatlah Pui Tiok akan derita kesakitan waktu kedua kakinya dipatahkan Coh Hen Hong yang lain. Tanpa disadari dia sampai gemetar.

“Pui toako,” seru Beng Cu, seraya mengepal tangan pemuda itu kencang-kencang, “lalu bagaimana?”

“Dia lalu memaksa aku supaya mau mengambilnya sebagai isteri. Dalam keadaan yang tak berdaya dan mengingat aku harus hidup untuk meloloskan diri dan membebaskan engkau.

“Dia lalu memaksa aku supaya mengambilnya sebagai isteri. Demi terpaksa untuk mengelabuhi…..

“Engkau. . . meluluskan?” tukas Beng Cu dengan wajah pucat.

“Jangan kuatir,” Pui Tiok tertawa,” aku tak pernah mengatakan kalau aku mau mengambilnya sebagai isteri hanya aku bersikap agar dia mengira kalau aku mau menikahinya.”

“Kalau begitu. . . kalau begitu kalian tentu intiem sekali!”

“Mengapa perlu harus intiem. Cukup kalau kulayani dia berkata dengan omongan yang manis saja,” kata Pui Tiok.

Beng Cu tak mau bertanya lebih lanjut. Pui Tiok tak henti-hentinya bicara menghiburnya, Beberapa saat kemudian baru gadis itu berkata, “Pui toako, andaikata kita dapat tiba di istana Ceng-te, bagaimana mungkin engkong mau mengakui aku?” 

“Bisa saja,” sahut Pui Tiok, “asal engkau menceritakan tentang kehidupan dari mendiang mamamu, misalnya kegemarannya dan lain2. tentu engkongmu akan tahu kalau engkau ini benar-benar anak dari mamamu atau puteri Ceng-te”.

Mendengar itu Beng Cu gembira sekali, Mereka melanjutkan perjalanan hingga menjelang petang mereka tiba disebuah kota kecil. Tiba-tiba me­reka melihat di sebelah muka tampak empat ekor kuda tegar.

Penunggangnya sama mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya menyandang golok kui-thau-to yang tipis. Mereka berhenti di jalan tetapi tidak menghadang orang-orang yang lalu. Mereka hanya mengawasi dengan tajam setiap orang yang lewat di situ,

“Beng Cu, keempat penunggang kuda didepan itu mencurigakan, hati-hati lah,” bisik Pui Tiok.

Pui Tiok mendorong kereta-sorong dengan kepala menunduk, Tak berapa lama tiba di dekat keempat penunggang kuda itu.

“Hah, cantik juga pengantin itu,” tiba-tiba salah seorang dari keempat penunggang kuda itu berseru ketika melihat Beng Cu yang berada dalam kereta- sorong.

“Sudah jangan cari perkara,” bentak salah seorang kawannya. “Kedua orang itu belum tentu akan jalan disini,” kata otang itu.

“Kalau kedua orang itu sampai mau melalui tempat ini, aku rela akan memberi hormat sam­pai tiga kali, Tahukah engkau betapa besar hadiah yang akan diberikan oleh Suan Hong siancu itu ?”

“Tentu saja tahu, mengapa perlu ditanya la­gi?” gumam kawannya.

Pada saat kedua orang itu bercakap-cakap, Pui Tiok dengan kepala menunduk sudah mendorong keretanya dengan cepat. Dia tak mau mengangkat muka memandang keempat penunggang kuda itu.

Setelah sepuluhan tombak jauhnya barulah secara bersembunyi dia berpaling ke belakang. Dilihatnya keempat penunggang kuda itu masih be­rada di tempatnya. Diam-diam Pui Tiok menghela napas longgar.

“Beng Cu, engkau dengar tidak?” bisik Pui Tiok,” dia berani mengeluarkan hadiah besar untuk menangkap kita. Bahkan disini yang tidak merupakan jalan yang menuju ke gunung Tay-hong-san di Oupak, pun dijaga oleh anak buahnya. Maka kita harus hati-hati benar.”

Dengan wajah pucat Beng Cu mengiakan.

Ketika di sebelah depan tampak tembok kota kembali Pui Tiok berbisik, “Beng Cu, nanti kalau masuk kota, kita harus menginap di rumah penginapan. Kalau kita tidak tinggal satu kamar, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang.” Kembali wajah Beng Cu tersipu-sipu merah, “Ya, ku. . . tahu,” katanya dengan pelahan sekali.

“Kurasa tujuh sampai delapan bagian orang persilatan tentu sedang mencari jejak kita. Mereka tentu dipincut dengan hadiah dari Coh Hen Hong Dengan begitu langkah kita ini, benar-benar gawat sekali. Di setiap tempat selalu ada mata yang mengincar!”

Ketika tiba di mulut pintu kota, kembali tampak beberapa orang yang berdiri di pintu dengan sikap yang mencurigakan. Pui Tiok cepat tahu kalau mereka itu orang persilatan. Dengan menjaga di pintu kota, tentu kalau mereka hen­dak menangkap Pui Tiok dan Beng Cu. Tetapi sebenarnya mereka belum pernah melihat bagaimana Pui Tiok dan Beng Cu itu.

Waktu masuk kota, Pui Tiok tak berani menginap di hotel besar melainkan memilih rumah penginapan kelas tiga. Dia pesan sebuah kamar. Beng Cu disuruh tidur di ranjang, sedang pemuda itu sendiri tidur di lantai.

Tetapi sampai tengah malam, keduanya tak dapat tidur. Sampai terdengar kentong tanda wak­tu berbunyi.

Tiba-tiba hati Beng Cu berdebar keras sekali dan pipinya merah, “Pui toako,” karena tak dapat menahan gejolak hatinya dia memanggil.

Juga Pui Tiok masih gulak gulik tak dapat meram. Tiba-tiba mendengar panggilan Beng Cu, dia terkejut. Memang sebelum kenal dengan Beng Cu, Pui Tiok seorang pemuda hidung belang. Setelah di kurung selama enam tahun oleh ayahnya, barulah sifatnya dapat berobah. Waktu mendengar panggi­lan Beng Cu yang penuh bernada mesra, meluap-luap darah mudanya.

“Ada apa Beng Cu?” serentak Pui Tiok bangun dan duduk. Barulang kali dia bertanya beberapa kali baru terdengar Beng Cu menjawab pelahan, “Engkau. . . kemarilah ”

Hati Pui Tiok makin dag-dik dug. Dia serentak berdiri dan menghampiri ke tepi ranjang Beng Cu menutup kepalanya dengan selimut tetap ulurkan tangan memegang tangan Pui Tiok.

Pui Tiok rasakan tangan gadis itu berkeringat dingin. Beng Cu tak berkata apa-apa karena dadanya sesak diluap rasa tegang. . . .

Malampun berlalu. Pagi2 sekali Beng Cu sudah bangun. Waktu Pui Tiok bangun, di lihatnya gadis itu menundukkan kepaa dan duduk dimuka Jendela.

Beberapa kali Pui Tiok memanggilnya Beng Cu tak menyahut dan hanya tundukkan kepala, pipinya merah.

Pui Tiok melonjak bangun dan berdiri dibelakang Beng Cu, membisikannya, “Beng Cu, kita. .

“Jangan mengatakan hal itu,” cepat Beng Cu menukas.

“Takut apa? Sebenarnya perjodohan kita kan sudah ditetapkan. Enam tahun yang lalu ayah mengatakan suruh aku memilih. Membunuh engkau atau aku mengambilmu sebagai isteri.”

“Waktu itu aku hanya seorang gadis kecil “Apakah engkau meluluskan ?”

Pui Tiok tertawa, “Waktu itu, aku hanya mmginginkan agar ayah tidak membunuhmu dan tidak memikirkan apa-apa yang lain. Siapa tahu enam tahun kemudian ternyata engkau menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Seperti semalam, juga. …”

“Jangan membicarakan hal itu lagi, mengapa engkau masih tak menurut!” Beng Cu melengking malu.

“Baik, aku takkan Ulang lagi. Tetapi, nyonya, kita harus melanjutkan perjalanan lagi,” kata Pui Tiok.

Mendengar dirinya disebut “nyonya” ,wajah Beng Cu merah padam. Dia berputar tubuh dan memukul dada Pui Tiok, “Aku tak mau kalau eng­kau memanggil begitu. Dengar atau tidak?”

“Ya, sudah tentu mendengar. Beng Cu, kita menuju ke timur.”

Beng Cu terkesiap, “Terus ke timur melulu? Itukan sampai di tepi laut, mengapa diteruskan saja.”

“Memang kita akan menuju ke tepi laut. Di sana kita nanti menyewa perahu dan berlayar ke utara. Setelah sampai diujung utara, kita menempuh perjalanan di darat menuju ke selatan. Rasanya betapapun cerdiknya Coh Hen Hong, dia takkan mengira kalau kita akan menggunakan jalan laut. Sekalipun dia sudah mengatur penjagaan supaya kita tak dapat menuju ke gunung Tay-hong san, dia tetap takkan dapat menduga kalau kita menggunakan jalan mengitar menuju ke utara dan lalu baru kembali ke selatan.

Beng Cu mengangguk. Setelah berkemas ke duanya lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Seperti yang kemarin, Beng Cu disuruh naik kereta dan Pui Tiok yang mendorong.

Rakyat di wilayah Shoatang memang gemar menggunakan kereta dorong. Enam hari lamanya mereka menempuh perjalanan ke tepi laut. Selama itu hampir tiap hari mereka berjumpa dengan orang persilatan yang ditugaskan Coh Hen Hong. untuk menangkap mereka.

Pada hari kelima dan keenam mereka tak melihat rintangan apa-apa lagi. Dengan begitu suatu harapan besar bahwa rencana Pui Tiok untuk meloloskan diri itu akan berhasil.

Hampir tiba di tepi laut, Pui Tiok lalu membuang kereta-sorong dan di sebuah desa dia berganti pakaian lagi sebagai nelayan. Demikian dengan Beng Cu.

Mereka lalu menuju ke pasar penjualan hasil ikan. Disitu Pui Tiok membeli Sebuah perahu layar dan perbekalan makanan serta air, cukup untuk tiga bulan. Pada malamnya mereka lalu berlayar.

Sebenarnya Pui Tiok tak pandai mengemudikan perahu layar tetapi demi menjaga rahasia dari mereka, dia tak mau pakai orang. Setelah berada di tengah laut yang jauh dari daratan, barulah Pui Tiok dapat bernapas longgar. 

Karena selama ini setiap hari selalu dicengkam ketegangan dan kecemasan saja maka setelah berada di tengah laut yang bebas, kedua insan itu benar- benar dapat merasakan nikmatnya ketenangan hidup. Apalagi mereka hanya berdua. Seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua saja. Mereka seperti menikmati bulan madu.

Selama berlayar Itu, beberapa kali Pui Tiok singgah di pulau2 kecil yang banyak terdapat di daerah laut disitu. Untuk mengisi pensediaan air minum dan bahan2 makanan.

Beng Cu merasa bahagia sekali. Dia malah tak menginginkan kembali kedaratan lagi.

Lebih kurang seratus hari lamanya berlayar pada hari itu mereka melihat gunduk daratan.

“Beng Cu, lihatlah. Kita akan tiba di daratan lagi,” seru Pui Tiok.

Memandang kearah yang dl tunjuk Pui Tiok gadis itu bukan gembira tetapi malah kerutkan kening dan menghela napas.

“Beng Cu, mengapa engkau malah tak gembira?” tegur Pui Tiok.

Beng Cu menghela napas, “Pui toako, selama seratus hari ini kita hidup dengan tenang. Ai, ka­lau naik ke daratan kita tentu akan menderita kegelisahan lagi!” Pui Tiok tertawa, “Jangan tolol! Di tengah laut kalau turun hujan lebat dan angin besar, apakah kita tidak kelabakan karena kuatir perahu terbalik dan kita akan jadi makanan ikan?”

Sampai beberapa saat Beng Cu diam. Tiba-tiba ia berkata, “Pui toako, diantara pulau2 kecil yang pernah kita singgahi, ada sebuah pulau yang subur penuh dengan hutan dan sumber air. Kalau kita tinggal disitu, bukankah kita akan dapat hidup bahagia dan tenteram?”

Pui Tiok terkesiap. Memang kata-kata Beng Cu itu menyentuh hatinya. Kalau saja Pui Tiok saat itu masih seorang pemuda trondol, tentulah dia akan segera memutar haluan perahu dan menuju ke pulau itu.

Tetapi dia seorang pemuda yang cukup banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Tak sedikit dia bertempur dengan orang dan memenangkannya. Bagi orang persilatan, cita2 untuk menjagoi dan mengalahkan lawan2 nya sangat pentingnya dengan orang biasa yang memiliki ambisi untuk cari nama dan keuntungan. Begitu mendapat hasil, takkan dia merasa puas dan tetap akan mengejar hasil yang lebih besar lagi.

Begitu pula dengan Pui Tiok. Hanya sekejab dia tertarik akan ucapan Beng Cu dan pada lain saat dia sudah mengambil keputusan. Dia tertawa ujarnya, “Beng Cu, jangan berpikiran setolol itu.”

Beng Cu tak menyahut. Dia kembali menghela napas pelahan. Sementara Pui Tiok tampak makin bersemangat karena perahu semakin dekat dengan daratan. 

Beberapa waktu kemudian perahu menepi ke pantai dan Pui Tiok lalu mengajak Beng Cu turun.

“Pui toako,” kata Beng Cu dengan rawan,” sudah berbulan-bulan kita berada di perahu, apa-kah. . . .

sedikitpun engkau tak sayang meninggalkan perahu ini?”

“Beng Cu,” Pui Tiok tertawa,” apanya yang harus kita berati meninggalkan perahu ini? Asal

engkau berada didampingku, di perahu atau di da­ratan, sama saja artinya, bukan?”

Beng Cu menunduk dan menghela napas. Te­tapi rasanya masih berat hatinya untuk meninggalkan perahu yang penuh kenangan manis itu.

Pui Tiok geleng2 kepala lalu menarik tangan calon isterinya itu diajak turun kedarat. Karena saat itu petang hari, mereka tak tahu berada di tempat apa. Yang jelas mereka berada di tempat yang sunyi dan belantara.

Keesok harinya mereka baru tahu kalau sekeliling penjuru merupakan deretan gunung. Pui Tiok bingung dan tak tahu arah mana yang harus ia tempuh. Maka hari itu keduanya menjelajahi daerah pegunungan belantara itu dengan harapan dapat bertemu orang untuk bertanya. Sampai hampir petang baru mereka melihai jauh disebelah muka tampak asap mengepul.

Pui Tiok girang. Keduanya lalu menuju ke-arah itu.

Beberapa waktu kemudian baru mereka melibat bahwa asap itu berasal dari sebuah rumah pondok di kaki gunung.

Tiba di muka pondok, Pui Tiok berseru memanggil penghuninya. Tetapi sampai diulang be­berapa kali tetap tiada penyahutan. Tetapi jelas di dalam rumah itu terdapat orang. Diam-diam timbul kecurigaan Pui Tiok. Dia terus mendorong pintu-nya.

Seorang perempuan tua memalingkan muka memandang kepada kedua anakmuda itu. Perem­puan itu tua renta sekali, tak kurang dari 90-an tahun umurnya. Mukanya penuh keriput.

Setelah menatap sejenak, mata perempuan tua itu mengeliar ke lain arah dan menyulut pelita. Rupanya perempuan tua itu seperti tak dapat melihat orang.

Pui Tiok tertawa getir. Dengan susah payah akhirnya dia bertemu orang, siapa tahu ternyata hanya seorang nenek tua yang kalau tidak buta tentu tuli.

Pui Tiok coba bertanya lagi. Ternyata ne­nek itu tetap tak menjawab. Akhirnya Pui Tiok keluar lagi, “Percuma saja, hanya seorang nenek yang menjelang mati!”

Beng Cu terkesiap, “Pui toako, kalau hanya seorang nenek tua renta. bagaimana dia dapat hidup seorang diri?”

“O, benar, Pui Tiok tersadar, “kalau dia ha­nya hidup seorang diri, bagaimana dia akan melewati kehidupannya di daerah belantara yang begini sunyi senyap?” 

Tiba-tiba Pui Tiok mendengar langkah kaki orang berjalan mendatangi. Pui Tiok cepat menarik Beng Cu untuk bersembunyi dibalik pohon. Tak berapa lama, tampak seorang lelaki bertubuh kekar, memegang sebatang tombak, menyanggul dua ekor anak rusa di bahunya, berjalan dengan langkah lebar.

Jelas orang itu tentu seorang pemburu. Diam-diam Pui Tiok malu dalam hati, karena sudah begitu ketakutan setengah mati. Masa di daerah pegunungan rimba belantara begini. Coh Hen Hong te­tap memasang orangnya untuk menangkap Pui Tiok.

Begitu pemburu itu dekat, Pui Tiok keluar dan memberi hormat, “Maaf, enghiong, aku hendak mohon tanya.”

Orang itu terbeliak kaget, “Engkau…. ini manusia?” serunya beberapa jenak kemudian.

Pui Tiok menggapai Beng Cu supaya keluar, Kemudian ia berkata lagi, “Kami memang bangsa manusia, hanya saja tersesat jalan. Entah apakah nama tempat ini?”

“Tersesat jalan?” pemburu itu heran,” itu tak mungkin. Mau mencapai tempat ini harus melin­tasi 10-an gunung.”

“Kami berlayar dari laut dan terdampar disini,” Pui Tiok menerangkan.

“O, begitu,” seru orang itu,” disini masuk da­erah Kwan-gwa, kalian hendak menuju ke mana?” “Ke Tiong-goan.”

“Kalau begitu harus menuju ke barat, melin­tasi 19 buah puncak gunung baru tiba didaerah datar.

Kemudian menuju ke selatan baru mencapai jalan ke daerah Tiong-goan. Aku sendiri tak tahu dan tak dapat memberitahu.”

Pui Tiok girang dan menghaturkan terima kasih.

Orang itu berkata, “Menempuh perjalanan pada malam hari berbahaya, lebih baik anda ber-malam di gubukku saja, bagaimana?”

Tetapi Pui Tiok menolak karena dia hendak lekas- lekas melanjutkan perjalanan. Dia terus menarik tangan Beng Cu dan diajak lari.

Pada malam itu Pui Tiok dapat melintasi sebuah gunung. Keesokan harinya setelah beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Dalam sepuluh hari keduanya berhasil melintasi 17 buah gunung dan tiba di daratan. Ternyata tiba di kaki gunung yang terakhir, disitu terdapat sebuah desa.

Pui Tiok membeli dua ekor kuda tegar dan pakaian orang kwan-gwa lalu melanjutkan perjalanan menuju keselatan. Pada hari ke tujuh mereka dapat melihat Tembok Besar. Setelah memasuki Tembok Besar, mereka bertanya lagi jalan ke Oupak. Dan sebulan kemudian mereka dapat memasuki wilayah itu.

Beberapa hari yang lalu Pui Tiok dan Beng Cu sudah melepaskan kuda mereka dan berjalan dengan menggabung diri pada rombongan pedagang Walaupun dengan naik kereta itu agak lambat tetapi lebih selamat. 

Tetapi ketika hampir mendekati daerah gunung, cara yang dilakukan Pui Tiok itu sudah tak sesuai lagi. Karena gunung Tay-bong-san itu merupakan rimba belantara. Kecuali hanya terdapat beberapa desa, tak ada kota yang agak besar. Dalam keadaan seperti itu sudah teutu tak mungkin terdapat rombongan pedagang.

Maka Pui Tiok dan Beng Cu lalu memisah diri dan berganti dandanan seperti pemburu.

Pada hari ketiga setelah memasuki daerah gunung, mereka berada dalam lingkungan gunung2 yang tinggi. Tak ada seorang manusia dan tak ta­hu dimana letak istana Ceng-te-kiong itu.

Mencari dengan cara begitu mungkin seumur hidup belum tentu dapat ketemu.

Sudah tentu Pui Tiok bingung karena temponya makin terlalu panjang, makin tak menguntungkan. Coh Hen Hong tentu akan memerintahkan orangnya untuk mencari disekitar Ceng-te-kiong Dengan begitu, jika tidak menemukan Istana itu, kemungkinan akan dipergoki anakbuah Coh Hen Hong makin besar.

“Beng Cu, memang aku yang salah, kata Pui Tiok,” mengapa tempo hari tidak bertanya dengan Jelas.”

Beng Cu mengusap dagu pemuda itu dengan lembut, “Pui toako, janganlah engkau menyesali dirimu sendiri. Taruh kata engkau meminta keterangan dengan Jelas, tetap engkau kan belum pernah datang kemari, bagaimana engkau dapat menemukannya?” 

Pui Tiok menghela napas panjang. Dia tak menyangka setelah berjerih payah membuang waktu berbulan-bulan dan dapat menemukan daerah letak istana itu ternyata dia tak tahu dimana letak sesungguhnya istana itu.

Saat itu keduanya berada diatas gunung. Matahari pelahan-lahan mulai terbenam dan cuacapun

makin gelap dan kemudian malampun tiba.

“Beng Cu, malam ini kita beristirahat disini saja, tak perlu harus gentayangan kemana-mana,” kata Pui Tiok.

Beng Cu mengangguk. Tiba-tiba dia rasakan tubuh Pui Tiok gemetar. Beng Cu juga ikut terkesiap ketika melihat dibawah kaki gunung tampak tiga titik sinar yang berkelap-kelip kian kemari.

Sudah tentu di tempat yang begitu tinggi dan pada waktu malam yang begitu gelap, tak mungkin Pui Tiok dan Beng Cu dapat turun untuk menyelidiki benda apa itu. Tetapi keduanya mendapat kesan bahwa sinar api yang berkelebat kian kemari itu adalah berasal dari tiga batang obor yang sedang dibawa oleh tiga orang yang tengah berlari cepat.

Karena sejak memasuki daerah gunung itu keduanya belum pernah bertemu orang maka saat itu mereka terkejut girang.

Ada dua dugaan. Ketiga pendatang yang mem bawa obor itu mungkin anakbuah Coh Hen Hong. Tetapi kemungkinan lain tentulah Ui Un-kun, ke­pala gua Yu- beng-tong dan Ah Tang lokoay.

Setelah saling bertukar pandang, kedua anak muda itu lalu bergerak lari turun. Ketiga obor itu jelas menuju kekaki gunung. Tetapi ketika Pui Tiok dan Beng Cu turun gunung, keduanya tak melihat ketiga obor itu lagi. Namun karena sudah tahu arah yang dituju ketiga obor, Pui Tiok dan Beng Cu terus menuju ke tempat itu.

Rasa tegang mulai berkobar dalam hati Pui Tiok dan Beng Cu ketika hampir dekat. Setelah lari setengah li, tiba-tiba di sebelah muka tampak terang benderang.

Tiga empat tombak ditepi segunduk batu besar disebelah muka, tertancap tiga ba­tang obor besar yang tingginya satu meter. Disitu terdapat tiga orang lelaki yang tengah duduk.

Pui Tiok dan Beng Cu hentikan langkah. Ka­rena jaraknya cukup jauh maka Pui Tiok tak da­pat melihat jelas siapa ketiga orang itu. Dengan langkah berhati- hati, keduanya maju menghampiri ke muka. Waktu mendekat pada jarak dua tom­bak, baru mereka dapat melihat siapa ketiga orang itu.

Bukan kepalang kejut Pui Tiok dan Beng Cu ketika mendapatkan bahwa ketiga orang itu ternyata bukan manusia melainkan orangutan berbulu putih perak yang tlngginya menyamai manusia.

Ketiga orangutan itu duduk di tanah dengan sikap seperti manusia. Mereka juga bisa melakukan ronda dengan membawa obor. Jelas kalau mereka terlatih baik. Tetapi entah siapakah pemiliknya. Melihat kenyataan itu Pui Tiok tertegun. Ke­duanya saling bertukar pandang dan pada lain sa­at Beng Cu menghela napas lalu berdiri.

Pui Tiok terkejut dan hendak menariknya te­tapi terlambat. Wut, wut, wut…. tiga buah su­ara menderu dan tiga benda berkilau, dengan cepat melesat. Ketika Pui Tiok dan Beng Cu mengamati, ternyata ketiga orangutan berbulu perak itu sudah berada dihadapan mereka. Pui Tiok cepat berdiri dan melindungi dimuka Beng Cu. Karena berhadapan dekat maka dapatlah Pui Tiok melihat jelas keadaan orangutan itu. Seluruh bulunya berwarna putih keperak-perakan tetapi kedua biji matanya merah darah.

Melihat kedua binatang itu tidak berbuat apa-apa, agak lega hati Pui Tiok. Tetapi dia bingung cara bagaimana akan mengadakan komunikasi de­ngan mereka.

Entah bagaimana, Beng Cu terus maju setengah langkah dan menegur, “Kalian mengapa memandang kami begitu rupa. Apakah kalian hendak bermaksud jahat ?

Ketiga orangutan itu menyengir, menandakan kalau mereka mengerti bahasa manusia. Sikapnya seperti orang tertawa.

“Dimana tuan kalian?” tanya Pui Tiok.

Orangutan yang berdiri di tengah tiba-tiba menuding Beng Cu. Pui Tiok tertegun, “Kutanya, siapakah majikan kalian?” Ketiga orangutan menggosok-gosok telinganya dan bercuit-cuit seperti orang berunding untuk menjawab pertanyaan Pui Tiok.

Selesai berunding. orangutan yang berdiri di-tengah tetap menuding Beng Cu dan bercuit dua kali.

Melihat itu Pui Tiok meringis, “Beng Cu, tampaknya dia mengatakan kalau engkaulah majikannya.”

Tiba-tiba Beng Cu ulurkan tangan dan meremas siku lengan Pui Tiog sehingga dia terkejut dan ber paling memandang gadis itu. Dilihatnya Beng Cu memandang lekat pada ketiga orangutan itu.

“Beng Cu, kenapa engkau ini?” tegur Pui Tiok. “Aku ingat,” seru Beng Cu gembira,” Pui to-ako,

aku teringat, ketika masih kecik mama sering bercerita kalau dia memelihara tiga ekor orangutan yang berbulu putih perak dan cerdas sekali.

Kemungkinan mereka ini.”

Mendengar itu teganglah perasaan Pui Tiok. Kalau benar seperti yang dikatakan Beng Cu itu maka keduanya beruntung sekali.

“Tetapi…,” sesaat lagi Beng Cu menyusuli “wajahku tak mirip dengan mama. Mengapa me­reka tahu kalau aku ini anaknya mama?”

“Wah, memang sukar dijelaskan,” jawab Pui Tiok,” mereka memlliki naluri yang tajam sekali, lebih tajam dari manusia. Atau mungkin mereka mempunyai dasar pandangan lain untuk mengenalimu.” Beng Cu maju selangkah lagi, “Kalian bilang kalau aku ini majikanmu, bukan?”

Diam-diam Pui Tiok mengucurkan keringat. Beng Cu berada dekat sekali dengan ketiga orangutan itu Tetapi sekonyong-konyong ketiga orangutan itu berlutut dan memberi hormat dihadapan Beng Cu, lalu mereka saling berpelukan dan bergelundungan di tanah sambil bercuit-cuit gembira sekali.

“Pui toako, lihatlah,” seru Beng Cu dengan gembira pula, “mereka bilang kalau aku ini majikannya!”

“Sudah, jangan ribut,” Beng Cu berpaling lagi kepada binatang itu,” karena kalian mengenali aku lekas bawa aku kedalam Ceng-te-kiong, cepat !” Mendengar itu ketiga orangutan melenting bangun. Dua orangutan lalu saling ulurkan tangan dan berpegangan  tangan sehingga membentuk separti ‘ Sebuah tandu, lalu jongkok dan seperti mempersi|ahkan Beng Cu duduk. Sedang orangutan yang satu menghampiri Pui Tiok, lalu jongkok dan menepuk2 bahunya seperti memperisilahkan Pui Tiok duduk diatas bahunya.

Girang Pui Tiok dan Beng Cu saat itu benar benar tak dapat dilukiskan. Mereka cepat menurut permintaan mereka. Begitu sudah duduk, ketiga orangutan itu terus loncat lari.

Luar biasa sekali cepatnya lari mereka. Walaupun sering loncat keatas dan loncat ke muka tetapi Baik Beng Cu maupun Pui Tiok tidak sampai terlempar jatuh. Setelah melintas sebuah puncak gunung, setengah jam kemudian mereka tiba disebuah karang yang curam sekali melandai ke bawah. Karena begitu curam dan lurus kebawah terpaksa ketiga orangutan itu berpegang pada rotan ketika menuruni kebawah.

Beberapa waktu kemudian, ketiga orangutan itu berhenti pada sebuah batu yang menonjol ke­luar. Ketika Pui Tiok dan Beng Cu melongok ke­bawah, keduanya terlongong-longong.

Dibawah sinar rembulan remang, mereka baru dapat mengetahui bahwa dibawah karang curam itu ternyata merupakan sebuah lembah. Dalam lembah itu terdapat sebuah bangunan istana yang megah. Oleh karena lembah itu luas sekali maka bangunan istana itu hanya memakai sebagian kecil dari daerah lembah. Sedang sebagian besar, merupakan padang rumput dan hutan bunga yang aneh2 serta sumber air. Benar-benar merupakan sebuah tempat kedewaan.

“Ceng-te-kiong,” kedua anakmuda itu berseru gembira. Walaupun teriakan itu hanya pelahan tetapi menimbulkan kumandang yang bergemuruh diseluruh lembah.

Sekonyong-konyong terdengar suara bergemuruh.

Delapan ekor burung rajawali besar berhamburan terbang dari bawah lembah.

“Pui toako, tuh lihatlah,’kedelapan ekor ra­jawali raksana itu milik engkongku. Sering sekali mama menceritakan kepadaku,” kata Beng Cu. Cepat sekali kawanan burung rajawali itu sudah menghampiri ke tempat mereka. Beberapa ekor yang terbang dan saling mendekati tempat Pui Tiok dan Beng Cu, telah menimbulkan deru angin keras yaag menyebabkan napas menjadi sesak.

Sedang ketiga orangutan itu tak henti-henti-nya memekik-mekik dan menari-nari. Lebih kurang sepeminum teh lamanya, kedelapan burung rajawali itu terbang turun kedalam lembah lagi.

“Siapa berani cari gara-gara disini itu?” tiba-tiba pula terdengar suara orang berseru dari bawah.

Pui Tiok dan Beng Cu saling berpandangan. Mereka tak tahu bagaimaua harus menjawab.

Ketiga orangutan itu terus memanggul Pui Tiok dan Beng Cu melorot turun dengan menggunakan akar rotan. Beberapa saat kemudian tiba di bawah lembah. Ternyata disitu sudah disambut oleh 6-7 orang, diantaranya dua orang membawa obor.

Mereka terdiri dari laki dan perempuan yang berkepandaian tinggi. Sebenarnya mereka sudah siap tempur tetapi begitu melihat ketiga orangutan tampaknya mereka terkejut heran.

Salah seorang yang tua bertubuh pendek se­gera melangkah maju. wajahnya pucat tetapi

sepagang matanya berkilat-kilat tajam. Kemudian dia memberi hormat kepada Pui Tiok dan Beng Cu, “Anda datang kemari untuk ” Sebenarnya Pui Tiok segera hendak mengatakan bahwa Beng Cu itu adalah cucu dari Ceng te Tetapi pada lain saat dia teringat bahwa karena sudah bertahun-tahun tinggal di Ceng te-kiong tentulah Coh Hen Hong mempunyai orang-orang kepercayaan.

Lebih baik dia tahan diri sampai nanti bertemu dengan Ceng-te sendiri.

“Kami mohon menghadap Ceng te karena hen­dak menyampaikan sebuah masalah penting,” katanya

Beberapa anakbuah Ceng-te-kiong saling bertukar pandang dan si tua pendek itu berkata pula “Lalu bagaimana anda tahu letaknya istana ini?”

Dalam mengajukan penanyaan itu tampak dia tegang sekali menandakan kalau pertanyaan itu penting sekali artinya untuk menentukan langkah selanjutnya.

Pui Tiok cukup cerdik dan waspada. Dia tak mau menyebut-nyebut tentang Setan-wabah Ui-Un kun, kepala gua Yu-beng-tong dan Ah Tang lokoay Berbahaya. Lebih baik dia tumpahkan tanggung Jawab itu kepada ketiga orangutan. Toh mereka ti­dak dapat bicara.

“Sebenarnya kami tak tahu dimana letak istana ini. Adalah ketiga gin-wan (orangutan berbulu perak) ini yang membawa kami kemari ” jawabnya.

Kawanan tokoh-tokoh Ceng-te-kiong mendesis.

Me­mang mereka menyaksikan sendiri bagaimana tadi ketiga orangutan itu telah menggendong kedua anak muda itu turun ke lembah. mereka tak meragukan keterangan anakmuda itu lagi. 

Hanya dalam hati mereka heran. Ketiga gin-wan Itu dulu dibawa Ceng-te ketika berkelana ke daerah barat. Bukan saja cerdas pun mereka bertenaga kuat sekali, dapat merobek mulut harimau. Kawanan anakbuah Ceng-te-kiong itu termasuk Jago-jago kelas satu, toh mereka tak berani mengganggu ketiga orangutan itu. Dan mengapa ketiga gin-wan itu sampai membawa anakmuda kedalam lem­bah, mereka juga tak mengerti.

“Anda mempunyai masalah penting apa, rasanya tak perlu menghadap Ceng-te. Bila anda mempuanyai kesulitan apa, cukup mengatakan kepada kami, kami tentu akan dapat membantu anda.”

Pui Tiok gelengkan kepala, “Terima kasih. Te­tapi masalah ini penting sekali dan harus kuhaturkan kepada Ceng-te sendiri. saudara2, karena ke­tiga gin- wan itu mau membawa kami kemari, tentulah mereka tahu apa sebabnya. Maka dalam hal ini kami harap anda sekalian jangan curiga dan tolong bawa kami menghadap Ceng-te.”

Kata-kata Pui Tiok itu telah membawa hasill, Tokoh tua Itu tampak ketakutan dan gopoh berkata, “Ya, ya, harap ikut aku. Akan kulaporkan dulu.”

Mendengar itu Pui Tiok dan Beng Cu menghela napas longgar. Mereka merasa yakin bahwa usahanya yang begitu susah payah akhirnya akan berhasil juga. Begitu bertemu Ceng-te, segala persoalan selama ini tentu akan selesai. Dengan saling bergandengan tangan, kedua anak muda itu lalu mengikuti ke tujuh jago Ceng-te-kiong. Tak berapa lama mereka tiba dibawah titian.

Mereka berhenti dan hanya tokoh tua tadi yang naik keatas. Pui Tiok dan Beng Cu mengikuti dibelakang jago tua itu.

Tiba didepan pintu gerbang, Pui Tiok dan Beng Cu diam-diam merasa kagum menyaksikan kemegahan istana itu.

Mereka berhenti di depan pintu gerbang. Ja­go tua itu lalu berseru dengan nada serius, “Hamba Li Lok Cu, karena ada urusan penting hendak dilaporkan, mohon supaya diberi pintu untuk menghadap.”

Mendengar nama tokoh tua itu Pui Tiok melonjak kaget. Li Lok Cu adalah seorang tayhiap atau pendekar besar yang termasyhur di daerah Oupak. Dia terkenal ganas sekali. Kalau memusuhi orang seluruh keluarga orang itu akan di bantai habis, tak peduli anak kecil yang berumur 2-3 tahun.

Setelah menenangkan perasaannya, Pui Tiok mendengar suara penyahutan dari dalam pintu, Nadanya seperti suara perempuan tua. Parau dan dingin.

“Li Lok Cu, engkau tinggal di istana ini bukan baru satu hari saja. Tengah malam minta pintu, apa hukumannya, tahukah engkau?” kata perempuan tua itu.

“Ya, siaugo (aku yang rendah) tahu. Tetapi ini ada orang muda dan seorang nona telah dibawa kemari oleh ketiga gin-wan. Mereka mengatakan ada urusan yang penting sekali mohon meng­hadap Ceng-te.

Maka siaugo terpaksa membawa mereka kemari.”

Sampai beberapa saat tak terdengar suara apa-apa. Lebih kurang setengah jam kemudian, waktu Pui Tiok dan Beng Cu gelisah tak karuan, ba­ru terdengar pintu dibuka. Tetapi tak tampak orang seorang manusiapun juga.

“Li Lok Cu,” tiba-tiba terdengar suara wanita tua tadi pula,” kembali engkau. Suruh kedua mu­da mudi itu masuk.

Pui Tiok dan Beng Cu saling bertukar pandang.

Mereka tak menduga kalau setelah tiba di Ceng-te- kiong ternyata begitu sulit untuk meng­hadap Ceng- te.

“Apakah kami diijinkan masuk?” seru Pui Tiok, “Ya.”

Pui Tiok dan Beng Cu melangkah masuk. Ternyata di dalamnya gelap sekali sahingga tak da­pat melihat suatu apa. Beberapa saat kemudian baru mereka melihat dihadapan mereka berdiri sesosok tubuh yang kurus.

“ikut aku,” kata tubuh yang tak lain adalah perempuan tua tadi.

Pui Tiok tetap bergandengan tangan dengan Beng Cu, mengikuti di belakang perempuan tua itu. Tiba di sebuah pintu, keduanya terbeliak lagi.

Kalau selama berjalan tadi suasananya gelap sekali, sekarang disitu terdapat sebuah lampu. Te­tapi bukan lampu itu yang membuat keduanya terkejut melainkan sebuah pemandangan yang benar-benar mempesonakan.

Pintu itu penuh bertabur aneka warna batu permata yang mancarkan sinar terang. Permata2 itu termasuk batu yang mahal dan jarang terdapat. Maka

walaupun lampu hanya kecil tetapi dapat memancarkan sinar yang terang benderang.

Sebagai putera dari seorang ketua perkumpulan Peh-hoa-kau yang ternama, Pui Tiok sering melihat benda2 yang mewah, intan permata yang tak ternilai harga nya. Bahkan setiap Peh-hoa-kau mengadakan pertemuan besar pada tiga tahun se­kali, Peh-hoa-kau tentu bermandikan kemewahan yang gilang gemilang dan menerima barang2 bingkisan dari sahabat- sahabat persilatan.

Tetapi bahwa salah sebuah dari entah berapa banyak pintu istana Ceng-te-kiong sudah begi­tu bergermelapan menyilaukan mata , benar-benar Pui Tiok tak pernah menduga sama sekali.

Setelah di muka pintu, perempuan tua itu lalu mendorong. Pui Tiok dan Beng Cu melihat jelas bahwa sebelum tangan nenek tua itu menjamah, pintupun sudah terbuka

“Ah. . . . ,” kembali Pui Tiok dan Beng Cu mendesah kaget.

Ternyata didalam pintu itu merupakan sebu­ah ruangan. Walaupun tidak besar tetapi semua perabotnya terbuat daripada batu koral. Kursi2 semua juga dari batu koral yang dipahat. Bahkan permadani yang menutup lantai juga terbuat dari batu koral. Ditingkah sinar beberapa lentera yang tergantung di atas ruangan itu menimbulkan suasana yang mempesonakan.

Setelah membuka pintu, nenek Itu tidak te­rus masuk melainkan mempersilahkan Pui Tiok dan Beng Cu masuk. Kedua anakmuda itupun menurut dan nenek tua lalu menutup pintu lagi.

Beberapa saat berada dalam ruang itu, tiba-tiba Beng Cu berseru memuji, “Alangkah cantiknya!

Makanya mama sering bilang kepadaku kalau istana Ceng-te-kiong itu merupakan sorga di dunia.”

“Sungguh tak kira, Beng Cu,” sambut Pui Tiok, bahwa segala keindahan yang tak ternilai harganya itu akan menjadi milikmu kelak.”

Beng Cu tertegun. Pui Tiok menggendong kedua tangan dan mondar mandir, kemudian ber­kata, “Eh, mengapa Ceng-te belum keluar Juga?”

Krak, krak. . . tiba-tiba terdengar suara ber derak derak dan segumpal dinding bergerak-gerak dan terbukalah sebuah lubang. Pada lain saat sesosok tubuh menerobos keluar.

Melihat itu kedua anakmuda girang sekali. Bahkan Beng Cu sudah hampir berteriak memanggil “engkong”. Tetapi pada saat itu Juga mereka segera pucat seperti dicekik setan karena mengenal Jelas siapa yang muncul itu.

Ternyata yang muncul itu adalah Coh Hen Hong sendiri …. 

Dia berpakaian sutra putih. Dalam istana ba­tu koral yang mempesonakan, tampak dia bagaikan seorang bidadari di taman rembulan.

Tetapi Pui Tiok dan Beng Cu seperti meli­hat hantu di siang hari. Benar-benar mereka tak mengira sama sekali, setelah bersusah payah begitu rupa dan menempuh perjalanan berbulan-bulan, se­telah tiba di Ceng-te-kiong, yang pertama-tama menyambutnya adalah Coh Hen Hong sendiri.

Kedua anakmuda itu berdiri tegak seperti patung yang tak bernyawa,

“Hai, meagapa kalian itu?” seru Coh Hen Hong tertawa, “sudah bersusah payah hendak menemui sahabat lama mengapa sekarang diam saja?” Pui Tiok dan Beng Cu tetap diam.

Pelahan-lahan Coh Hen Hong melangkah maju dan duduk di kursi, lalu tertawa pula, “Apakah kalian baik- baik saja? Dalam beberapa bulan ini kalian selalu bersama-sama, tentu senang sekali, bukan ?”

Pui Tiok dan Beng Cu tetap tak dapat bicara Hal itu diketahui juga oleh Coh Hen Hong . Maka iapun tak mau memberi kesempatan lagi dan terus mencecer dengan serangkaian tawa dingin mengejek

“Sungguh hebat,” kata Coh Hen Hong de­ngan tawa dingin, “telah kuperintahkan kepada semua orang persilatan untuk mencari kalian kemana-mana. Tetapi mereka gagal semua. Dengan mengambil jalan mana kalian dapat tiba disini?” Pada saat itu barulah Pui Tiok dapat mengeluarkan suara tertawa getir.

“Lalu kuingat bahwa Pui toako itu orangnya cerdik sekali. Tentu menggunakan jalan laut. Lebih dulu menuju ke utara lalu baru kemari. De­ngan begitu betapapun kukerahkan orang untuk mencegat tentu tak berhasil. Pui toako, apakah dugaanku ini salah?”

Mata Coh Hen Hong berkilat-kilat menekan Pui Tiok sehingga anakmuda itu terpaksa mengangguk.

Coh Hen Hong tertawa gembira. Tetapi baru tertawa belum selesai tiba-tiba nadanya berlainan. Dan sesaat kemudian dia berseru “Selama berbulan-bulan ini kalian hanya berdua dalam perahu. Tentu menikmati hari2 yang bahagia, bukan?”

Walaupun seperti seorang pesakitan yang menunggu vonnis, tetapi Pui Tiok dan Beng Cu me­lihat jelas bagaimana waktu mengucapkan kata- kata yang terakhir itu wajah Coh Hen Hong tampak pucat lesi. Sepasang biji matanya seperti memancarkan api kemarahan.

Melihat Itu Pui Tiok dan Beng Cu makin merapat satu sama lain.

“Ya atau tidak” kembali Coh Hen Hong berteriak.

Kali ini makin melengking tinggi Getarannya menimbulkan gelombang tenaga yang membuat Pui Tiok dan Beng Cu berkunang-kunang matanya.

Mereka hampir tak dapat berdiri tegak.

Pui Tiok berusaha untuk menenangkan diri, lalu menjawab, “Ya!” 

Waktu dia memberi jawaban begitu, Beng Cu makin merapatkan diri pada tubuh pemuda itu.

Suasana hening. Sampai beberapa saat baru terdengar Coh Hen Hong tertawa kering. Pui Tiok dan Beng Cu saling bertukar pandang. Saat itu ke duanya seperti kambing yang menunggu giliran disembelih.

Beberapa saat kemudian nada Coh Hen Hong kembali seperti biasa, katanya, “Maka cepat-cepat aku mendahului datang kemari untuk menunggu kedatangan kalian.”

“Disini adalah Ceng-te kiong, tak nanti mengijinkan engkau berbuat sesuka hatimu.” seru Pui Tiok dengan sarat.

Coh Hen Hong melirik Pui Tiok, serunya, “Benarkah itu? Kalau di Ceng-te-kiong aku tak dapat berbuat sesuka hatiku, dimana aku dapat melakukan hal itu, Pui toako?”

tercekat hati Pui Tiok. Mendengar nada ka­ta-kata Coh Hen Hong begitu mengejek, apakah Ceng-te sudah mati ditangannya?

Apabila Ceng-te benar sudah mati, hilanglah segala harapannya. Dia dan Beng Cu tak ada ja­lan lain kecuali harus menyerah dan tunduk pada perintah Coh Hen Hong.

Selagi Pui Tiok terbenarn dalam kecemasan, Beng Cu sudah cepat berseru, “Lalu,.. engkongku?” Coh Hen Hong beralih pandang pada Beng Cu dan tersenyum sadis. “Engkongmu? Siapakah engkongmu itu?”

Wajah Beng Cu pucat menyeramkan. Tetapi sikapnya masih tetap keras. Dengan tenang dia menjawab, “Engkongku sudah tentu pemilik dari Istana Ceng-te kiong ini yakni Ceng-te!”

“Ih, begitu toh? Lalu perlu apa engkau hen­dak mencarinya?” tanya Coh Hen Hong.

Walaupun sudah berusaha menenangkan diri tak urung gemetar juga tubuh Beng Cu menahan kemarahannya, “Dia adalah engkongku. Sudah selayaknya aku mencari. Apakah kalau mencari harus a­da urusan penting?”

Coh Hen Hong tertawa mengekeh, “Sayang engkau datang terlambat. Tetapi cucunya itu yang jelas bukan engkau!”

Mendengar itu timbullah seberkas harapan dalam hati Pui Tiok. Dengan kata-kata Coh Hen Hong Itu, Jelas Ceng-te masih hidup.

“Silakan beliau keluar,” kata Pui Tiok,” supaya bertemu Beng Cu.”

Coh Hen Hong picingkan mata, “Pui toako, engkau seorang cerdik. Coba pikir, apakah aku setolol itu?

Kedatanganmu ini memang tepat seka­li. Engkau berjanji hendak mengambil aku sebagai isteri, bukankah janjimu itu masih berlaku?” Dalam saat seperti Itu Pui Tiok harus menunjukkan sikapnya yang tegas. Dia tertawa dingin Rupanya dia sudah tak menghiraukan apa-apa lagi. Mati atau hidup, terserah.

“Kapan aku pernah berjanji hendak mengambilmu sebagai Isteri? Kapan aku pernah mengucap kata-kata begitu? Coba engkau ingat ingat.”

Mendengar itu Coh Hen Hong terbeliak tak dapat menjawab. Tetapi wajahnya makin lama makin tampak seram. Rupanya dia telah mengingat kembali peristiwa pada waktu itu. Memang benar Saat itu Pui Tiok tak pernah mengatakan kalau dia bersedia mengambilnya sebagai Isteri.

Sebenarnya Coh Hen Hong sudah memperhitungkan. Mengingat sikap Pui Tiok pada waktu Itu, dia tentu dapat merebut Pui Tiok dari tangan Beng Cu. Tetapi sekarang dia baru menyadari ka­lau pada waktu itu Pui Tiok hanya mempermainkan dia saja. Dengan begitu jelas dia tak mung­kin dapat merebut pemuda itu dari Beng Cu.

Sebenarnya saat itu kedudukan Coh Hen Hong menang segala-galanya. Nasib Pui Tiok dan Beng Cu berada di tangannya. Tetapi entah bagaimana Coh Hen Hong tidak merasa menang tetap merasa kalah.

Akhirnya dengan wajah membesi, dia tertawa hambar, “Baik, orang she Pui, engkau memang cerdik benar. Sungguh amat cerdik sekali!”

Kata-kata Coh Hen Hong itu tajam sekali, membuat tegak buluroma. Setelah tertawa dingin bebe­rapa saat, dia berkata pula dengan tajam, “Tetapi kalau suruh aku memenuhi keinginan kalian supaya kalian mati bersama, jangan harap!”

Sambil berkata dia terus berdiri. Dia meman­dang Pui Tiok dan Beng Cu dengan menggeretek gigi.

Melihat itu Pui Tiok dan Beng Cu makin merapat lebih erat. Mereka tahu bahwa Coh Hen Hong Itu seorang gadis yang sadis. Dia tentu mempunyai cara untuk membunuh dengan kejam. Oleh karena itu merekapun menggunakan kesempatan yang masih ada untuk merapat satu sama lain se­bagai tanda kesetiaan mereka.

Dengan wajah penuh bertebar hawa pembunuhan Coh Hen Hong maju selangkah demi selangkah menghampiri ketempat mereka.

“Ceng-te! Ceng-te! Ceng-te! sekonyong-konyong Pui Tiok berteriak sekeras-kerasnya.

Karena dia memiliki lwekang yang tinggi ma­ka teriakan itu mengejutkan sekali. Mendengar itu Beng Cu lantas ikut melengking, “Engkong, Engkong!”

Mendengar itu Coh Hen Hong lalu menghambur tawa aneh. Kumandang tawa itu cepat da­pat menindih teriakan Pui Tiok dan Beng Cu.

bahkan makin lama suara tawa Coh Hen Hong itu makin tajam sehingga lama kelamaan Pui Tiok dan Beng Cu tak tahan. Sambil bergandengan tangan erat2, tubuhnya berguncang-guncang

dan mandi keringat. Akhirnya mereka tak dapat bertahan dan te­rus rubuh. Tetapi Coh Hen Hong tetap tertawa terus.

Pada saat itu tubuh Pui Tiok dan Beng Cu rasakan darahnya hendak meluap, mulut amis dan mata gelap. Pui Tiok masih dapat menahan tetapi Beng Cu sudah tak kuat.

Dengan paksakan diri Pui Tiok merangkak maju dua langkah, dia ulurkan tangan memegang punggung Beng Cu. Tetapi pada saat itu Beng Cu menjerit

keras dan mulutnya mengharnbur darah.

Coh Hen Hong masih tetap tertawa. Pui Tiok terengah-engah. Dia tahu kalau Coh Hen Hong tertawa terus, dia dan Beng Cu tentu akan menderita luka parah. Luka akibat getaran tenaga-dalam yang sakti akan menyebabkan urat-urat putus dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi.

Pui Tiok berusaha hendak meminta agar Coh Hen Hong hentikan tawanya tetapi ketika membuka mulut, dia tak dapat mengeluarkan kata-kata. Tepat pada saat itu, diluar pintu terdengar suara tiga kali bergedebukan. Rupanya ada tiga orang yang rubuh kelantai.

Menyusul terdengar orang berseru tegarg, “Hentikan mereka jangan sampai menerobos masuk!”

Bum terdengar letupan keras. Jelas orang yang

hendak dihalangi itu telah berhasil menerobos sampai ke muka pintu. Walaupun berada dalam ruangan dan tak dapat melihat apa yang terjadi, tetapi Pui Tiok dapat mendengar apa yang terjadi di luar pintu.

Wajah Coh Hen Hong berobah dan hentikan tawanya lalu berseru, “Hai, siapa itu?”

Bum, bum, bum. . . tiga buah letupan keras menghantam keras. Coh Hen Hong marah. Cepat ia melesat ke muka pintu dan terus menarik daun pintu sehingga terbuka lebar.

Begitu pintu terbuka tiga sosok tubuh menerjang masuk. Cepat sekali gerakannya. Coh Hen Hong hendak menerkam tetapi bukan saja orang pertama tak kena bahkan sampai orang yang ketiga, dia tak berhasil menerkamnya. Mereka sudah berada di sampingnya.

Selama menyelesaikan pelajarannya, belum pernah Coh Hen Hong mengalami kegagalan seperti saat itu Sudah tentu kejutnya bukan alang kepalang. Dia menyurut mundur selangkah dan memandang mereka.

Begitu memandang Coh Hen Hong tercekat dalam hati. Ternyata tiga sosok rubuh yang menerjang masuk itu bukan bangsa manusia melainka tiga ekor Gin-wan atau orangutan bulu perak.

Saat itu ketiga Gin-wan sudah berada di samping Beng Cu. Dan mereka memeluk nona itu. dari luar pintu tampak empat orang berhamburan masuk.

Mereka semua jago-jago sakti dari istana Ceng te- kiong. Begitu masuk mereka terus berada di belakang Coh Hen Hong, menunggu perintahnya.

Setelah memulangkan napas baru Coh Hen Hong memberi perintah. “Tutup pintu!”

Salah seorang dari keempat jago itu mengiakan dan melakukan perintah.

Dengan mata berkilat-kilat Coh Hen Hong me mandang kearah ketiga gin-wan. Dia memang takut kepada ketiga binatang itu. Pernah sekali Ceng te membawa Coh Hen Hong mengunjungi ketiga gin- wan. Ketika itu secara bersendau gurau Ceng te mengatakan bahwa Coh Hen Hong tak mirip dengan mamanya, tentulah palsu. Mendengar itu ketiga gin- wan segera menyeringai taringnya yang runcing dan terus menyerbu Coh Hen Hong. Kalau saat itu Ceng-te tak ada disitu, Coh Hen Hong tentu sudah mati dirobek-robek mereka.

Sekalipun terlepas dari maut tetapi Coh HenHong menderita rasa ngeri sampai beberapa hari.

Sejak saat itu Coh Hen Hong tahu kalau ke­tiga gin- wan itu bukan sembarangan binatang te­tapi binatang yang memiliki kecerdasan tinggi. Perbuatannya memalsu sebagai cucu Ceng-te memang dapat mengelabuhi seluruh tokoh persilatan, bahkan Ceng-te sendiri. Tetapi tak dapat mengelabuhi ke­tiga gin-wan.

Sedari peristiwa itu diapun tak pernah ber­temu lagi dengan ketiga binatang itu. Hal itu me­mang sengaja diatur begitu oleh Ceng-te. Sungguh tak disangka-sangka kalau malam itu ketiga gin-wan telah membawa Pui Tiok dan Beng Cu masuk kedalam istana Ceng-te-kiong dan sekarang sedang menerjang masuk kedalam ruangan.

Setelah pintu ditutup, Coh Hen Hong menggetarkan kedua lengannya dan tahu-tahu dua berkas sinar emas dan biru bergerak mengembang.

Melihat itu beberapa ko-jiu Ceng-te-kiong berteriak kaget. Mereka tertegun seperti patung.

Hanya sekejab sinar emas dan biru itu ikut berkilau memancar pada lain saat melayang mundur dan

tahu-tahu kini sepasang tangan Coh Hen Hong sudah bertambah dengan pedang pandak yang bersinar emas dan biru. Sepasang pedang pandak yang dihamburkan dan ditarik dalam tangan Coh Hen Hong itu tak lain adalah sepasang pedang pusaka dari istana Ceng-te-kiong yaitu pedang Kim-liong-kiam dan pe­dang Ceng-leng-kiam.

“Sepasang pedang Ceng-liong-kiam itu perbawanya dahsyat sekali. Kalian menyingkir agak jauh supaya jangan menderita bahaya,” seru Coh Hen Hong.

Kelima jago Ceng-te-kiong serempak menyingkir kesudut ruangan. Bahkan ada dua orang yang bersembunyi dibawah kolong kursi. Melihat kehebatan perbawa sepasang pedang pusaka itu, Pui Tiok dan Beng Cu terlonggong kesima.

Suasana sunyi senyap. Yang terdengar hanya tawa Coh Hen Hong yang menyeramkan…………
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar