Pedang Berbunga Dendam Jilid 15

JILID 15

Mendengar nona itu diajak bicara, diam-diam Pui Tiok gembira. Dia maju menghampiri lagi ke samping nona itu.

Diam-diam diapun sudah siap. Begitu pelayan itu sudah menerangkan dimana tempat Beng Cu ditawan, dia akan segera turun tangan menutuk jalandarah pelayan itu. Setelah itu dia akan meminjam pakaiannya dan menyaru sebagai pelayan.

“Nona yang datang bersama engkau itu, dia berada…..” mendadak pelayan itu dengan kontan hendak menerangkan. Sudah tentu karena begitu mendadak, Pui Tiok sampai melongo. Tetapi alangkah kejutnya ketika tiba-tiba pelayan itu ulurkan tangan mencengkeram pergelangan tangan Pui Tiok,

Kepandaian Pui Tiok tidak sembarangan. Tetapi karena dia tak menyangka pelayan itu akan menerkam pergelangan tangannya. Pui Tiok tertegun sehingga pergelangan tangannya kena dicengkeram.

Setelah pergelangan tangannya dikuasai, sekalipun Pui Tiok memiliki kepandaian yang lebih tinggi lagi, juga tak dapat berbuat apa-apa. “Engkau, engkau mau apa?” teriak Pui Tiok.

Pelayan itu tertawa, “Lebih dulu tanya kepada dirimu sendiri. Saat ini engkau sedang merencanakan apa?”

Pui Tiok terkesiap. Diam-diam dia mengeluh.

Katanya, “Aku, aku tidak merencanakan apa-apa.”

Pelayan itu tertawa mengikik. “Pui kongcu, keteranganmu itu merupakan penyangkalan. Apa yang engkau rencanakan dalam hatimu, tak lain yalah dengan cara bagaimana engkau dapat menguasal aku, bukankah begitu?”

Merah muka Pui Tiok. Saat itu dia benar-benar tak dapat berkata lagi. Memang dia benar seperti yang dikatakan pelayan itu, sedang merencanakan hendak menguasai pelayan itu. Tetapi kalah dulu.

“Engkau tak dapat membantah lagi,” pela yan itu tertawa, Tiba-tiba dilepaskan cengkeramannya dan menyurut mundur , melesat keluar, Diluar pintu dia kembali tertawa, “Beberapa Jam lagi aku akan datang kemari. Pui kongcu pada waktu itu kuharap engkau jangan punya angan2 yang tidak baik kepadaku.”

Habis berkata dia terus mengatupkan daun pintu. Sebenarnya Pui Tiok dapat mengejarnya tetapi dia tahu kalau di muka pintu terdapat dua orang penjaga. Jelas kedua penjaga itu bukan jago sembarangan.

Setelah merenung beberapa saat, Pui Tiok kembali duduk. Dia benar-benar tak pernah menduga kalau bakal jatuh di tangan searang gadis pelayan saja. 

Dia membayangkan peristiwa tadi. Menilik gerakannya, tentulah gadis pelayan itu memiliki kepandaian silat yang hebat. Kemungkinan tentu orang persilatan. Akhirnya Pui Tiot menarik kesimpulan, kalah dan menang itu sudah lumrah. Tak perlu dipikirkan lagi.

Dia resah sekali. Sebentar duduk sebentar berdiri, mondar mandir di dalam kamar. Beberapa saat kemudian dia terkejut lagi. Bahkan kali ini kejutnya bukan kepalang besarnya.

Pada saat itu dia baru menyadari kalau selama mondar mandir tadi dia hampir saja membentur seseorang. Aneh, betul-betul aneh sekali. Jelas yang berada dalam kamar itu hanya dia seorang diri tetapi mengapa sekarang telah bertambah dengan seorang lain lagi tanpa dia tahu?

Dia mengangkat kepala dan tak ragu2 lagi. Dia melihat jelas bahwa di sebelah muka terdapat seorang yang tengah tegak berdiri. Mungkin tadi karena dia berjalan mondar mandir dengan tundukkan kepala, dia sampai tak mengetahui akan kedatangan orang itu.

Pui Tiok terkesiap. Dia memandang dengan seksama siapa orang itu. Serentak jantungnya mendebur keras dan tubuhnya menjadi kaku.

Ternyata yang berdiri dihadapannya itu seorang gadis yang cantik jelita. Dia bukan lain adalah Coh Hen Hong sendiri.

Coh Hen Hong tertawa dingin, “Apakah luka pada kakimu sudah baik?” 

Mendengar suara itu seketika pulihlah kesadaran Pui Tiok. Perasaan dendam kebencian serempak meluap lagi. Secepat kilat digunakan dua buah jarinya untuk menutuk dada gadis itu dengan jurus Hong jip- hoa-lui atau kumbang-menyusup-kuntum-bunga.

Jurus itu memang khusus untuk menyerang pada jarak dekat. Waktu menyerang tangan menjulur lurus tetapi siku lengan ditekuk sehingga kalau perlu mudah ditarik. Dan lagi Pui Tiok bergerak dengan cepat sekali. Menilik jaraknya terpisah setengah meter, dia percaya tentu akan berhasil.

Dan memang dia berhasil. CohHen Hong terkesiap melihat serangan tak terduga itu. Tetapi gadis itu tidak membuat suatu reaksi apa-apa dan seolah membiarkan dadanya ditutuk.

Pui Tiok terkejut girang. Dia tak menyangka kalau begitu mudah dia akan dapat menguasai Coh Hen Hong. Sekali Coh HenHong dapat dikuasai, tentu dia dan Beng cu akan dapat lepas dari tempat itu.

Tetapi Pui Tiok terlalu dini bergembira. Cret….! ketika kedua jarinya menusuk dada Coh Hen Hong, dia rasakan seperti membentur gumpalan kapas yang lunak dan tak bertenaga sama sekali. Tenaga-dalam yang dipusatkan pada ujung jarinya itu sama sekali tak dapat memancar. Bahkan malah rasanya seperti balik kembali.

Pui Tiok kaget sekali. kalau tenaga dalam pada ujung jarinya itu sampai mengalir balik ke lengannya lagi, itu berbahaya sekali. Kalau tldak mengalami nasib Co-hwe-jip-mo (aliran darah tersesat), tentu akan menderita luka dalam yang parah. 

Pui Tiok bingung sekali. Dia menarik napasdan cepat menarik mundur lengannya. Sungguh masih untung dia cepat-cepat dapat mengetahui bahaya dan menarik tangannya.

“Apakah sekarang engkau sudah tahu?” Coh Hen Hong tertawa dingin

Pui Tiok tak menjawab melainkan mengertek gigi. “Seharusnya engkau tahu,” kata Coh Hen Hong

pula, “kalau dibanding dengan aku, kepandaianmu itu

masih terlalu jauh. Para ciangbun dan pangcu dunia persilatan, begitu melihat aku tentu gopoh berlutut memberi hormat, mengapa engkau malah berani menyerang aku?”

Saat itu kejut Pui Tiok sukar dilukiskan.Serangannya tadi ditujukan pada jalan darah hoa-kay-hiat. Sebuah jalan darah yang fatal.

Pada umumnya. Sekalipun tokoh yang berke pandaian tinggi tetap sukar untuk melindungi ketiga jalan darah fatal, termasuk jalandarah Hoa-kay-hiat itu.

Tetapi tadi Pui Tiok terang telah menutuk jalan darah Hoa-kay-hiat di dada Coh Hen Hong, tetapi toh hasilnya bukan saja nihil, pun malah dada Coh Hen Hong dapat mengalirkan tenaga tolakan yang dapat mengembalikan tenaga-dalam pada ujung jari Pui Tiok. Dari peristiwa itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kepandaian Coh Hen Hong saat ini memang bukan olah-olah hebatnya. Apabila rasa kejut Pui Tiok mencapai puncak, pun dendam kebenciannya terhadap nona itu Juga meluap sampai ke puncak juga. Mata pemuda itu seperti memancar api. Dia tertawa dingin.

“Kepandaianmu semakin tinggi, ibarat kalajengking berbisa yang ditambah dengan ekor beracun. Makin membuat orang muak,” serunya.

Wajah Coh Hen Hong agak berobah tetapi dia tetap berusaha untuk berserl wajah, tegurnya. “Aku hendak bertanya sepatah lagi kepadamu. Engkau mau atau tidak berlutut dihadapanku, lekas bilang!”

Mendengar Coh Hen Hong mengulanq hal itu lagi, jantung Pui Tiok berdebar keras. Bebera pa hari yang lalu adalah karena menolak berlutut dihadapan Coh Hen Hong maka dia sampai menderita tulang kakinya patah.

sekarang walaupun sudah sembuh tetapi baru tiga hari. Dia masih ingat rasanya derita sakit dari kedua kakinya yang patah itu. Kalau dia harus menderita, seperti itu lagi, ah rasanya dia tentu tak tahan.

Lalu bagaimana? Apakah dia harus turut perintah Coh Hen Hong untuk berlutut?

“Engkau mau berlutut atautidak” tiba-tiba Coh Hen Hong berseru lagi dengan seram.

Pui Tiok tetap berdiri tegak. tadi dia memang masih menimang nimang bagaimana akan menghadapi tekanan itu. Tetapi ketika Coh Hen Hong mengulang pertanyaannya lagi entah bagaimana karena menyadari bahwa bahaya sudah mengancam didepan mata, Pui Tiok malah tidak memikir apa-apa lagi. Dia berdiri tegak, memandang terus ke muka.

Coh Hen Hong tertawa dingin. Setiap gelombang tawanya seperti palu godam yang menghantam hati Pui Tiok sehingga tubuh pemuda itu berguncang- guncang.

“Engkau takut, bukan? Asal engkau mau ber lutut, akupun takkan menyusahkan engkau.

Kata-kata Coh Hen Hong itu sudah bernada lunak.

Dan walaupun hatinya kacau tetapi Pui Tiok dapat mendengarnya.

Sudah tentu Pui Tiok tak percaya bahwa asal dia mau berlutut, Coh Hen Hong lalu akan menghimpaskan semua ganjelan dan dendam yang lampau. Dia hanya menduga bahwa Coh Hen Hong untuk sementara waktu takkan mengganggunya.

Justeru disinilah letak persoalannya. Sekarang memang takkan mengganggu, tetapi di kemudian hari bagaimana?

Tindakan menyerah pada Coh Hen Hong, tak boleh mulai dilakukan. Begitu mulai menyerah, kelak tentu tak mungkin dapat melawannya. Jika menyerah, lama kelamaan tentu menjadi kebiasaan akibatnya dia akan krhilangan rasa malu.

Membayangkan hal itu tubuh Pui Tiok menggigil tetapi bukan karena ketakutan melainkan karena terkejut tiba pada kesimpulan tadi. Dia tidak takut kepada Coh Hen Hong melainkan takut karena memiliki pikiran hendak menyerah tadi. 

Dan setelah diguncang kesadaran yang mengejutkan itu, tubuhnya serentak meregang tegak

Hatinya tidak takut lagi. Dia berseru dingin, “Engkau yang mulai lunak? Tetapi ketahuilah, kalau hendak suruh aku berlutut dihadapanmu, jangan engkau mimpi!’

Dengan tegas dan tandas, Pui Tiok mengucapkan sepatah demi sepatah pernyataan itu. Wajah Coh Hen Hong tampak berobah-robah. Sebentar merah sebentar pucat. Beberapa saat kemudian baru pelahan-lahan tenang kembali.

“Apa begitu,” serunya. “Ya,” Pui Tiok menarik napas. “Baik,” kata Coh Hen Hong,” anggap saja engkau ini memang keras kepala. Tetapi betapapun keras tulang kepalamu dikuatirkan takkan mampu menerima hantamanku.”

Hati Pui Tiok mengeluh tetapi dia tetap mengatup bibir erat dan tak mau menyahut. Dia tahu kalau kali ini Coh Hen Hong hendak turun tangan tentu akan dengan cara yang sadis sekali. Tetapi Pui Tiok sudah membulatkan tekad. Dia tak mau menghindar dan tak mau balas menyerang. Dia tahu diri. Kepandaiannya sekarang kalah jauh sekali dengan Coh Hen Hong.

Percuma saja dia melawan atau mau melarikan diri. Akibatnya malah akan menambah penderitaan belaka.

Maka diapun tetap tegak berdiri seperti patung.

Tiba-tiba Coh Hen Hong menyurut mundur selangkah dan terus ayunkan kaki kanannya ke betis Pui Tiok. Tendangan itu terlampau cepat sekali sehingga Pui Tiok tak sempat menghindar lagi, bukk…….

Tulang betis yang baru saja sembuh, patah lagi, makanya sungguh tak terperikan sekali. Dan Pui Tiok pun tak sanggup berdiri lagi. Dia jatuh Ketanah.

Keringat bercucuran dari dahinya. mengangkat kemuka, dilihatnya Coh Hen Hong tengah tertawa mengejeknya. tiba-tiba Pui Tiok tertawa gelak-gelak. Nadanya rawan sekali. Setelah tertawa, dia berseru, “Engkau hendak memaksa aku berlutut, hm, itu hanya mimpi saja, hanya ber……”

Belum sampai dia menyelesaikan kata-katanya, Coh Hen Hong sudah menginjak betis Pui Tiok. Krek, krek, krek…. kaki Coh Hen Hong digerak gerakkan untuk mengilas sehingga tulang betis pemuda itu seperti berantakan. Pui Tiok tak dapat mengatakan dengan kata-kata betapa derita kesakitan yang dialaminya saat itu.

“Bagaimana rasanya?” Coh Hen Hong tertawa keras.

Tetapi Pui Tiok tak dapat menjawab. Dia rasakan pandang matanya gelap dan tubuh terasa melayang. Pada lain saat dia pingsan.

Entah berselang berapa lama dia baru pelahan- lahan memiliki perasaan. Pertama yang dirasakan, kedua betisnya seperti digorok oleh gergaji yang tajam sekali. Bahkan dia seperti mendengar bunyi tulang betisnya yang tengah digergaji itu. Begitu keras rasa sakit itu sehingga dia hampir pingsan lagi. Dia hendak menggeliat bangun tetapi tak mampu. Bahkan hendak membuka mata saja rasanya sukar karena apa yang dihadapannya hanya gelap semua.

Dia pernah mendengar cerita orang tentang siksaan yang diadakan di neraka. Adakah keadaannya saat itu tidak seperti dineraka saja?

Berselang beberapa waktu kemudian dia baru dapat menangkap pembicaraan orang. Pertama yang didengarnya yalah suara seorang tua. Bicaranya amat tegang menandakan kalau sedang marah.

“Siancu”‘ katanya,” baru saja tulang betisnya kusambung mengapa engkau patahkan lagi?”

“Benar,” terdengar suara Coh Hen Hong,” Engkau sambung lagi saja.”

Saat itu baru Pui Tiok tahu kalau orang tua itu adalah tabib Han Siang Seng. Dan tahu pula ia lebih jelas betapa ganasnya Coh Hen Hong itu.

“Siancu,” kata Han Siang Seng,” kali ini aku mau melakukan tetapi lain kali, tidak.”

“Engkau berani membangkang perintahku?” teriak Coh Hen Hong marah.

“Ah, mana aku si tua ini berani membangkang?” kata Han Siang Seng,” tetapi kalau tulang betisnya patah untuk yang ketiga kalinya lagi, sekalipun Tay Lo sin-sian turun ke bumi, tak mungkin juga dapat menyambungnya lagi. Siancu, ini bukan berarti aku berani membangkang perintah.” Coh Hen Hong tertawa mengikik, “Ah tak apa. Engkau sambung dulu tulangnya, nanti aku dapat memikirkan sendiri.”

Mendengar keterangan Han Siang Seng tadi, Pui Tiok juga terkejut. Dia hendak berteriak tetapi tak dapat bersuara Lewat sepeminum teh lamanya, dia rasakan kedua betisnya nyaman rasanya, rasa sakit hilang seketika.

Tetapi hilangnya sakit di betis bukan berarti hilangnya sakit dalam hati Pui Tiok. Dia menyadari sekalipun sembuh tetapi kemungkinan besar tentu masih akan terancam lagi. Begitu kakinya sembuh, Coh Hen Hong tentu akan datang lagi untuk menyuruhnya berlutut.

Pada waktu itu hanya ada dua pilihan. Kalau dia mau berlutut, dia akan bebas dari siksa Tetapi kalau dia menolak, tentulah betisnya akan diremuk lagi. Dan kalau sampai diremuk lagi, kali itu tak mungkin dapat disambung lagi. Diapasti akan cacat seumur hidup.

Membayangkan hal itu mengigillah Pui Tiok. Tiba- tiba saat itu dia rasakan ada orang menampar dadanya agak keras sehinga dia hampir melonjak bangun. Tetapi cepat tubuhnya ditekan orang itu, sehingga dia tak dapat berkutik.

“Jangan bergerak!” terdengar suara Han siang seng, “kalau bergerak tulangmu tentu bengkok. Kalau sekarang ketakutan mengapa semula mengunjuk kegagahan? Hendak memamerkan gengsi? berapakah harganya gengsi itu satu katinya?” Pui Tiok paksakan diri untuk membuka mata. Tampak kedua tangan, Han Siang Seng sedang mengelus-elus kedua betisnya yang membengkak besar. Melihat itu ngeri sendiri Pui Tiok.

Tiba-tiba dia teringat dahulu pada waktu Peh hoa- kau merayakan hari-jadi yang ke tiga, Han Siang Seng pernah ke Peh-hoa-nia. Kalau sekarang dia minta tolong kepadanya, rasanya orang tentu takkan menampik.

Baru dia hendak membuka mulut tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Bahwa suasana dalam dunia persilatan masa itu sudah banyak berobah. Ting Tay Ging salah seorang contoh. Dia adalah sahabat baik dari ayahnya tetapi toh tega hendak menjual dirinya kepada Coh Hen Hong. Tidakkah bukan mustahil kalau Han Siang Seng juga akan bersikap begitu kepadanya nanti?

Tetapi setelah direnungkan bolak balik, kalau tidak kepada Han Siang rasanya tiada lain, orang lagi yang dapat membantu kesulitannya saat itu Karena tiada lain pilihan, akhirnya, ia memberanikan diri untuk berkata, “Han lo cianpwe tolonglah aku!”

“Bukankah aku sedang menolongmu?” sahut tabib itu dengan nada dingin.

Pui Tiok tersenyum getir. “Bukan begitu yang kumaksudkan. Aku hendak mohon bantuan locianpwe untuk meloloskan diri dari tempat ini.

Han Siang Seng mendengus dan wajahnya berobah tak sedap dipandang. Dia tak menyahut, bahkan tak mau memandang pemuda itu. 

Pui Tiok tahu bahwa untuk meminta pertolongan Han Siang Seng memang tak banyak harapannya. Tetapi karena tiada lain jalan lagi, apa boleh buat dia terpaksa membuka mulut juga. Sikap dan sambutan Han Siang Seng benar-benar membuatnya terhina.

Penderitaan batin dan rasa kesakitan luar biasa pada kedua betisnya telah menyebabkan dia rubuh dan pjngsan. Waktu yang kedua kalinya dia tersadar, ternyata suasana dalam ruang itu sunyi senyap tiada barang seorangpun jua. Ketika membuka mata ia melihat kedua betisnya yang bengkak besar sudah hilang dan rasa sakitnyapun hilang. Tetapi tepat pada saat dia hendak memejamkan mata tiba-tiba dia melihat di permukaan meja terdapat sebuah lukisan kepala anak panah.

Kepala anak panah itu digurat dengan kuku tidak berapa dalam. Tetapi dapat menggunakan kuku untuk menggurat lukisan pada meja. jelas menandakan kalau kepandaian orang itu bukan main hebatnya.

Ujung kepala anak panah itu lurus mengarah kepada satu satunya jendela yang berada dalam kamar itu. Tadi ketika melongok dari jendela itu Pui Tiok mendapatkan bahwa diluar jendela dijaga oleh seorang perempuan tua yang aneh.

Melihat tanda lukisan anak panah Itu, timbul dua buah pertanyaan dalam benak Pui Tiok. Pertama, siapakah yang membuat lukisan itu? Kedua apa arti lukisan anakpanah itu?

Pertanyaan pertama agaknya tak sukar dijawab Sejak Han Siang Seng keluar dari kamar itu tak ada lain orang lagi yang masuk. Dengan begitu jelas kalau Han Siang Seng yang membuatnya. Pertanyaan kedua, lebih sukar dijawab. Ujung lukisan anak panah itu menuju kearah jendela apa artinya? Apakah Han Siang Seng memberi isyarat agar dia melarikan diri dari jendela itu?

Tetapi ah, tak mungkin. Seharusnya Han Siang Seng tahu kalau diluar jendela dijaga seorang nenek aneh. Lalu apa maksudnya gambar itu?

Sampai lama Pui Tiok memeras otak untuk memecahkan teka teki itu tetapi tak dapat menemukan jejaknya. Pikirannya ruwet tak keruan dan karena lelah, hampir saja terlena tidur. Tetapi tiba-tiba dia mendengar suara Han Siang Seng dari luar jendela. Seketika bangunlah semangatnya. Buru- buru dia mencurahkan perhatian.

“Pik lo-pohcu, sudah lama tak berjumpa. Apa tubuhmu masih kokoh?” seru Han Siang Seng. Pertanyaan itu jelas ditujukan pada si nenek.

Terdengar nenek itu menjawab dengan nada yang aneh, “Masih lumayan. Tulang belulangku. masih belum lapuk, tak perlu merepotkan engkau.

Han Siang Seng berkata kering, “Pik lo pohcu, beberapa tahun yang lalu kudengar engkau berkeliling ke empat penjuru untuk mencari murid pewaris.

Apakah sampai sekarang engkau masih belum mendapatkan orang yang sesuai dengan pilihanmu?”

Mendengar itu Pui Tiok berdebar keras. Saat itu sudah tahu siapakah nenek itu. Diam-diam dia bersyukur karena tadi tidak gegabah loncat keluar dari jendela, Ternyata nenek yang jaga diluar jendela itu adalah Ang-ciu-poh (Nenek-bangau-merah) Pikun.

Di daerah Biau terdapat tiga tokoh sakti Kim Kong siancau yang tinggal di puncak gunung Kim-ting-san di Kwi-ciu. Kedua, Bwe-hoa-cong. Dan ketiga adalah nenek Ang-ciu-poh.

Ketiga toKoh itu masing-masing mempunyai kepan daian istimewa sendiri. Ilmu silat mereka alirannya dengan ilmu silat di Tiong-goan.

Konon kabarnya nenek Ang-ciu-poh itu berwatak angkuh sombong. Mengapa nenek itu berada disitu dan mau diperintah Coh Hen Hong untuk menjaga diluar jendela, Pui Tiok heran.

“Apa engkau kira mudah jadi pewarisku? seru nenek Ang-ciu-poh,” hm, hm, harus bernyali besar, harus berani. Bernyali besar memang mudah tetapi berani itu yang susah.”

Han Siang Seng tertawa, “Benar nyali entah berapa harganya satu kati. Rasanya sudah lama orang membuangnya.”

Suara tabib itu makin lama makin jauh. Jelas tentu sambil berkata itu dia sudah meninggalkan tempat itu. Tetapi tergugahlah hati Pui Tiok ketika mendengar kata-kata Han Siang Seng yang aneh tadi. Tiba-tiba dia membuka pikirannya.

Lukisan anakpanah di meja adalah Han Siang Seng yang membuat. Dan kata-kata Han Siang Seng tadi tentu bukan tak ada maksudnya. Han Siang Seng hendak menunjukkan Sebuah jalan. Dia hendak memberi tahu bahwa hanya apabila Pui Tiok mau menjadi murid nenek Ang-ciu-poh, barulah ada harapan dapat lolos dari tempat situ.

Walaupun sudah dapat menebak apa maksud Han Siang Sing tetapi hati Pui Tiok masih berdebar2.

Mungkinkah petunjuk Han Siang Seng dapat terlaksana dengan berhasil.

Pertama dia adalah putera dari Peh-hoa-lo-koay. Kemasyuran nama ayahnya tak kalah dengan nenek Ang-ciu-Poh. Kalau memang ayahnya yang memerintahkan supaya dia berguru pada Ang-ciu-poh, sudah tentu lain persoalannya. Tetapi sekarang bukan begitu. Adalah karena dalam bahaya dan memerlukan pertolongan maka dia akan berguru pada Ang ciu poh. Apakah hal itu tidak akan menjatuhkan nama harum dari ayahnya?

Kedua, taruh kata dia mau menjadi murid Ang-ciu- poh tetapi apaakah nenek itu mau menerimanya?

Kembali pikiran Pui Tiok kalut. Beberapa saat kemudian dia tertidur. Ketika bangun, saat itu tepat tiba waktunya Han Siang Seng akan memeriksa lukanya lagi.

Tetapi walaupun Pui Tiok menatap dengan pandang terima kasih, tabib itu tetap tak mengacuhkannya.

Habis mengobati, terus ngeloyor pergi.

Waktu hendak keluar, dia sengaja mengusap permukaan meja Waktu Pui Tiok memandang ke meja, ternyata lukisan anak panah itu sudah lenyap. Pui Tiok seorang cerdik. Sudah tentu dia tahu kalau Han Siang Seng takut hal itu diketahui orang. Apabila hal itu sampai diketahui Coh Hen Hong, Han Siang Seng dapat menyangkal kalau dia yang memberi petunjuk. Dan hal itu memang suatu kenyataan. Tak pernah tabib itu mengucap sepatah kata untuk memberi petunjuk pada Pui Tiok agar berguru pada Ang-ciu-poh.

Demikian dua hari kemudian, tiap hari Han Siang Seng datang memeriksa dan mengobati sampai dua kali. Waktu tibai pada hari kedua saat petang hari, Pui Tiok rasakan kedua betisnya sudah sembuh sama sekali. Tetapi Han Siang Seng tetap membalut dengan kain putih.

Setelah Han Siang Seng pergi, Pui Tiok lalu membuka kain pembalut itu. Dia lalu coba berdiri. Ternyata dia sudah sembuh betul. Dia berjalan dua langkah dan melonjak-lonjak ternyata tidak merasa sakit.

Pui Tiok menyadari bahwa tindakan Han Siang Seng untuk tetap membalut betisnya yang sudah sembuh.

Jelas Han Siang Seng itu memang sengaja berbuat begitu, agar Pui Tiok mempunyai kesempatan pada malam itu berbicara dengan nenek Ang ciu poh. Dan pada malam itu nenek Ang-ciu-poh dapat membawanya lari.

Coh Hen Hong tidak bodoh. Esok pagi dia datang akan bertanya kepada Han Siang Seng bagaimana luka Pui Tiok. Pada waktu itu Han Siang Seng akan menjawab kalau Pui Tiok masih sakit dan dia bebas dari tanggung jawab atas larinya Pui Tiok, Merenungkan hal itu Pui Tiok tak mau bersangsi lagi. Dia akan mencobanya. Maka dia maju kemuka jendela dan membukanya. Nenek Ang-ciu-poh berada empat lima meter di luar jendela. Jelas nenek itu tentu mendengar kalau jendela dibuka tetapi nyatanya nenek itu masih tetap duduk membelakangi jendela, diam tak bergerak. Hanya burung aneh yang kepalanya berwarna merah darah dan hingga pada bahunya, berpaling kepala dan mengeluarkan bunyi mengukuk yang seram kepada Pui Tiok.

Berapa kali Pui Tiok hendah membuka mulut menyapa nenek itu tetapi rasanya sukar mulut diperintah bersuara.

Memang seorang anak muda seperti dia dapat dimaklumi kalau gengsinya terlalu besar. Sejak kecil sebagai putera dari Peh Hoa lokoay. dia hidup ditengah2 puluhan jago-jago sakti yang bernaung dalam perkumpulan Peh-hoa-kau. Tak seorangpun yang berani membantah perintahnya. Dia biasa memberi perintah. Maka sekarang dalam saat yang yang berbahaya seperti saat itu, suruh dia membuka mulut minta tolong orang, memang berat baginya.

Karena gagal untuk membuka suara, akhirnya dia menghela napas. Tiba-tiba terdengar nenek Ang-ciu- poh berseru dingin, “Mau melarikan diri dari tempat penjagaanku, jangan harap mampu. Jangan cari penyakit kalau masih ingin hidup.”

Bingung, marah ditambah mendongkol menyebabkan Pui Tiok tegakkan kepala, bulatkan tekad. “Tak dapat melarikan diri tak apa, toh hanya mati tetapi asal mati dengan gembira!” sahutnya. Begitu selesai mengucap, Pui Tiok merasa menyesal. Dia bermaksud hendak berguru pada nenek Ang-ciu-poh, mengapa dia berani membantah kata- kata nenek itu.

Tetapi cepat dia menghapus rasa sesalnya itu.

Dalam hati kecilnya dia benar-benar tak dapat melakukan tindakan untuk meminta tolong pada nenek itu. Dia merasa hina. Kalau toh sama-sama menderita hina, mengapa dia tak mau berlutut didepan Coh Hen Hong saja? Bukankah dengan berbuat begitu dia akan bebas dari siksaan?

Tengah dia termenung, tiba-tiba nenek itu berbangkit dan berputar tubuh. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam memandangnya dan kemudian berkata dengan nada sedingin es, “Engkau. engkau tidak takut mati? Benar tidak takut atau hanya jual kegarangan saja?

Pui Tiok tertawa mengekeh, “Aku ini manusia. Tak ada manusia yang tak takut mati. Tetapi takut matipun akhirnya juga akan mati. Karena itu mengapa harus takut mati?”

Sinar mata nenek itu makin mencorong.

Sekonyong-konyong Pui Tiok melihat segulung bayangan merah melayang ke pintu dengan mengaburkan gelombang tenaga yang amat kuat sehingga Pui Tiok yang berada di jendela terlanda tenaga kuat itu dan terpental mundur sampai tiga empat langkah,

Pui Tiok tak sempat menduga apa yang dilakukan nenek itu karena gerakannya terlampau cepat. Dan sebelum Pui Tiok sempat membuka mulut, nenek Ang- ciu-poh sudah tiba dimuka pintu. Dia mendengar pintu ditarik dan tampak tangan nenek Ang-ciu-poh menutuk ke kanan dan ke kiri. Wut, wut…. terdengar dua buah suara mendesing ke sebelah kanan dan kiri dan pada lain saat tubuh nenek itu melesat keluar lalu masuk lagi, dengan menyeret tubuh kedua penjaga pintu.

Ketika Pui Tiok memandang kearah kedua penjaga itu, kejutnya bukan main. Biji mata dari kedua penjaga itu berlepotan darah karena pecah ditutuk jari nenek Ang-ciu Poh.

Pada saat Pui Tiok tertegun, terdengar nenek itu berseru kepadanya. Nadanya parau seperti suara orang tua, “Lekas engkau ganti mengenakan pakaian mereka dan bawa lencana kim-pay mereka untuk keluar dari sini. Hati-hati, begitu sudah berada di luar, larilah ke sebelah selatan sampai tujuh li. Disana nanti engkau tunggu aku sampai datang, jangan pergi!”

Waktu memberi peringatan agar Pui Tiok lari kearah selatan ternyata tangan nenek itu menggurat huruf

,utara, di meja.

Pui Tiok mengangguk. Dia tahu apa maksud nenek itu, katanya, “Baik, terima kasih atas pertolongan Ceng-te locianpwe.”

sambil berkata dia sudah melucuti pakaian salah seorang penjaga. Sementara itu nenek Ang-ciu-poh pun sudah melesat keluar dan menutup pintu lagi.

Pui Tiok merasa tegang akan tindakan nenek Ang- ciu-poh dalam usahanya untuk menolong dirinya.

Kedua penjaga telah dihancurkan biji matanya agar jangan tahu siapa yang menolong Pui Tiok. Mengapa nenek Ang ciu-poh tidak membunuh saja kedua penjaga itu adalah agar mereka nanti dapat menjadi saksi hidup yang akan menerangkan kepada Coh Hen Kong bahwa yang me-nolong Pui Tiok itu seorang kakek tua dan bukan nenek Ang-ciu-poh.

Nenek Ang-ciu-poh memang sengaja merobah suaranya seperti suara seorang kakek tua. Dan Pui Tiokpun dapat menanggapi dengan menyebutnya sebagai Ceng-te locianpwe. Dengan membawa nama Ceng-te, Pui Tiok memang sengaja hendak menggertak Coh Hen Hong. Kalau Coh Hen Hong tahu yang turun tangan itu Ceng-te, tentulah Coh Hen Hong akan ketakutan dan kemungkinan tentu dia segera bergerak. Beberapa saat dia tiba di halaman besar di tengah gedung itu. Di tengah halaman Itu didirikan tujuh belas tugu marmar. Setiap tugu terdapat ukiran huruf yang besar. Ternyata tugu2 itu merupakan tugu nama dari ketujuh-belas perkumpulan di perairan Hong-ho.

Segera saja Pui Tiok tahu bahwa tempat itu merupakan pusat dari Cap-jit-pang. Karena ketujuhbelas perkumpulan itu sama-sama berpusat ditempat itu maka anak buah merekapun dapat bebas masuk keluar disitu. Karena ketujuhbelas perkumpulan itu tersebar diseluruh perairan bengawan Hong-ho, ada yang diwilayah Kamsiok di wilayah

ceng-hay, ada pula yang di Shoa-tang dan lain2 yang satu sama lain terpisah jauh sampai ribuan li, maka mereka tak saling kenal mengenal.

Dengan hati lapang, Pui Tiok lanjutkan langkah keluar. Sekalipun sudah menganalisa situasinya aman karena tak mungkin orang akan dapat mengenalnya namun la masih jeri membayangkan bagaimana akibatnya kalau sampai kepergok dan ketahuan.

Setelah keluar dari markas Cap-jit pang, dia baru dapat menghela napas longgar. Dia membiluk sebuah tikungan dan setelah beberapa kali melintas jalan, dia sudah tak nampak markas besar Cap-jit-pang lagi.

Entah bagaimana, karena diluap rasa tegang, dia sampai gemetar.

Cepat dia menuju ke utara. Tak berapa, lama dia keluar dari pintu utara kota Ce-lam-shia. Setelah berjalan 10-an li, dia baru lambatkan langkah. Disitu terdapat sebuah hutan besar dan diapun segera masuk. Mencari tempat yang sunyi dia beristirahat rebahkan diri.

Saat Itu dia sudah keluar dari sarang harimau.

Tetapi hatinya tetap resah memikirkan keselamatan Kwan Beng Cu. Dia benar-benar tak tahu bagaimana keadaan nona itu. Dan dia sama sekali tak berdaya untuk menyelidikinya.

Disamping Itu dia masih bimbang. Apakah dia harus menunggu kedatangan nenek Ang-ciu-poh atau tidak. Soal itu memang berat. ia tahu nenek itu bukan tokoh putih. Kalau dia sampai menjadi muridnya, bukankah dia akan terlibat dalam kesulitan besar?”

Waktu masih disekap dalam markas Cap-jit-pang, dia hendak minta pertolongan nenek Ang-ciu-poh tetapi dia takut nenek itu menolak. Se-karang setelah dia berhasil keluar dari mulut harimau, dia bimbang.

Setelah mempertimbangkan baberapa saat, akhinya dia meutuskan untuk tidak menunggu nenek Ang-ciu- poh dan lebih baik lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Sudah tentu dia tak tega kepada Kwan Beng Cu tetapi dalam keadaan seperti saat Itu, dia benar-benar tak berdaya sama sekali. Untung saja pada waktu hendak meloloskan diri tadi, dia telah mengatur siasat yang cerdik yalah dengan membawa-bawa nama ceng-te.

Dia menyebut kalau Ceng-te yang menolongnya. Dengan begitu tentulah Coh Hen Hong akan terkejut dan tak berani gegabah mengganggu jiwa Beng Cu.

Begitulah dia segera keluar dari hutan. Tiba-tiba dia mendengar bunyi berderak-derak dari roda kereta.

Seorang penjual sedang mendorong gerobak yang beroda satu. gerobak berisi macam-macam barang dagangan.

“Uh, kalau aku tukar pakaian dengan dia, tentu takkan dikenal orang lagi, tiba-tiba dia mendapat pikiran.

Dia segera menyongsong penjual itu. Penjual hentikan gerobaknya dan katanya, “Tuan hendak membeli apa?”

Pui Tiok meraba kantong dan masih ada sekeping emas. Dia tertawa, “Saudara, aku hendak berunding dengan engkau. Aku mau beli semua barang daganganmu.”

“Apakah tuan bergurau?” penjual itu miringkan kepala.

Pui Tiok mengeluarkan emas, “bukan bergurau. Akupun juga akan membeli pakaian yang, engkau pakai Itu. Lihatlah, keping emas itu tak kurang dari 3 tail beratnya. Engkau dapat membelikan beberapa bahu sawah dan tak usah mendorong gerobak lagi. Engkau akan hidup senang, bukan?”

Diluar dugaan penjual itu gelengkan kepala, “Tuan jangan mentertawai aku. Aku hanya seorang penjual yang akan buru-buru pergi ke Celam untuk menjual barang daganganku,”

habis berkata penjual itu terus mendorong gerobaknya lagi. Pui Tiok mendongkol tetapi geli juga. Setelah melihat disekeliling tempat itu tak ada, orang lain lagi, cepat dia mengayunkan tangan menutuk pinggang belakang penjual itu.

Sebetulnya Pui Tiok tak mau mencelakai penjual yang sikapnya seperti orang tolol itu.

Maka diapun tak mau menutuk keras2. Pikirnya sekali tutuk orang itu tentu roboh. Tetapi dalam beberapa hari ini memang banyak sekali Pui Tiok bertemu dengan beberapa hal yang aneh dan tak dlsangka sangkanya.

Dia menutuk dengan cepat tetapi penjual itupun tak kalah cepatnya berputar tubuh, menghindari.

“Tuan,” serunya tertawa, engkau baru saja lepas dari mulut harimau. mengapa engkau hendak mencelakai orang?.”

Pui Tiok tertegun kaget. Sesaat dia terlongong longong tak tahu apa yang akan dilakukan.

Penjual itu tertawa, “Engkau hendak menyatu jadi diriku dan tak mau menunggu orang disini? Engkau masih muda, mengapa engkau barwatak suka tak pegang janji?”‘

Pui Tiok makin terpaku seperti patung. penjual Itu bukan orang tolol, bahkan mengetahui peristiwa yang telah dialaminya.

Penjual itu sejenak kicupkan mata lalu ulurkan tangan mengambil kepingan emas dari tangan Pui Tiok. Sekali mengatupkan kedua jarinya, kepingan emas itu putus jadi dua.

yang satu dikembalikan kepada Pui Tiok dan yang sepotong dikantongi sendiri. Pui Tiok hanya dapat mengeluh dalam hati. Dengan mempertunjukkan kepandaian yang hebat itu, jelas kalau kepandaian penjual itu lebih tinggi dari Pui Tiok dan memberi kesan kepada anak muda itu bahwa dia telah salah lihat.

Berkata pula penjual itu, “Orang mempunyai watak licin memang boleh2 saja. Tetapi caramu itu terlalu sekali. kalau ketahuan toaciku, tentu dia tak suka.

Kulihat engkau ini berbakat dan manusia yang terlalu licik. Oleh karena itu akupun, mau menutupi engkau kali ini. Tetapi engkau sendiri harus hati-hati sedikit. Toaci ku bukan orang yang mudah dipermainkan.”

Pui Tiok terkejut dan berseru terbata-bata “Engkau…. apakah saudara dari Ang-ciu-poh yang digelari orang sebagai It-jit-sam-pian Cian-bin-sin- kun?”

It-jit-sam-pian artinya Sehari berobah tiga kali. Dan Cian-bin-long-kun artinya pria Seribu muka. Penjual itu tertawa gelak-gelak, “Engkau cukup punya mata. Rupanya engkau tak mau berpikir kalau toa-ciku suruh engkau menunggu disini, bagaimana mungkin dia akan melepaskan engkau lolos? Hm, Jangan hanya memperhitungkan dirimu sendiri saja!”

Tak ada lain hal yang dapat dilakukan Pui Tiok kecuali hanya tertawa meringis, “Kalau begitu, engkau…. engkau sengaja datang untuk mengawasi aku?”

“Boleh dikata begitu,” kata Cian-bin-long-kun. “Bagaimana engkau…. engkau tahu?”

Cian-bin-long-kun tertawa lalu membuka sebuah rantang dalam gerobaknya. Brek, brek…. terdengar seekor burung aneh berkelebekan dan seekor burung yang berkepala merah, memberosok keluar dari rantang itu.

“Jelas?” tanya Cian-bin-long-kun seraya menutup lagi rantang itu.

“Ya, jelas,”Pui Tiok mengangguk.

Waktu Pui Tiok pergi, nenek Ang-ciu-poh pun melepaskan burungnya untuk memberi kabar kepada Cian-bin-long-kun. Itulah sebabnya maka Cian-bin- long-kun dapat datang kesitu.

Pui Tiok hanya meringis saja. Cian-bin-long kun mendorong gerobaknya melanjutkan langkah. Sambil berjalan dia berkata, “Tunggu saja disini, aku masih ada urusan, tak dapat menjagamu. Tak peduli sampai berapa hari, engkau harus menunggu sampai toa-ciku datang. Masih muda jangan suka blcara mencla mencle.”

Begitu kata-katanya selesai, orangnyapun sudah berada 6-7 tombak jauhnya.

Pui Tiok memandang bayangan orang itu. Jika tidak mengalami sendiri pasti dia tak percaya bahwa penjual itu adalah Cian-bin-long-kun, seorang tokoh persilatan yang berkepandaian sakti dan memiliki kepandaian merobah muka dalam sehari tiga macam.

Tak berapa lama Cian-bin-long-kun telah lenyap dari pandang mata tetapi Pui Tiok masih tetap tak berani meninggalkan hutan. itu. Dia takut Cian-bin- long-kun tidak pergi sungguh melainkan melingkar jalan dan diam-diam mengawasi gerak geriknya.

Diam-diam Pui Tiok pun telah mendapat keputusan yang mantap. Apabila nenek Ang-ciu-poh tidak muncul, itu lebih baik. Tetapi andaikata nenek Itu sungguh datang, dia hendak minta tolong nenek itu supaya membebaskan Kwan Beng Cu. Kalau nenek Ang-ciu-poh menolak, dia akan menceritakan siapa sebenarnya Kwan Beng Cu itu. Begitu tahu asal usul Beng Cu, tentu nenek Ang-siu-poh akan mau berusaha menolong gadis itu.

Begitulah Pui Tiok menimang-nimang apa yang akan dikatakan apabila berhadapan dengan nenek Ang-ciu-poh nanti. Tetapi menunggu sampai matahari silam, tetap nenek itu belum datang.

Pui Tiok makin gelisah. Hari makin gelap dan dia terpaksa duduk bersandar pada sebatang bambu besar. 

Malam itu gelap sekali. rembulan tak muncul. Angin tak berhembus. Keadaan dalam hutan itu sunyi sekali.

Pui Tiok tak berani meninggalkan hutan itu walaupun Ang-ciu-poh tidak datang. Dia mendongkol sekali. Tetapi ada satu hal yang membuat hatinya terhibur. Sejak siang tadi, anak buah Coh Hen Hong tidak nampak mengejar. Dengan begitu tentulah Coh Hen Hong percaya kalau dia meloloskan diri keselatan. Itu berarti bahwa dia benar-benar dapat meloloskan diri. Sekalipun demikian dia masih tak senang karena tak dapat membawa Beng Cu.

Tetapi andaikata dia dapat membawa Beng Cu pun Juga akan bingung karena harus berusaha mangajak Beng Cu menemui Ceng-te. Pada hal dia tak tahu dimana letak istana Ceng-te-kiong itu.

Pada saat pikiran Pui Tiok kacau tak karuan tiba- tiba dia mendengar suatu suara aneh dari kejauhan. Suara itu seperti langkah kaki orang menuju kearahnya. Tetapi setelah didengar dengan seksama, agaknya bukan. Sebab kalau orang mengapa jalannya begitu lambat sekali, Setiap langkah tentu berselang lama dengan langkah selanjutnya.

Apapun suara aneh itu, pada saat malam segelap dan sesunyi seperti saat itu, tentu akan membangkitkan perhatian orang.

Pui Tiok pun mencurahkan perhatian. Sayang suasana gelap sekali. Beberapa meter disebelah muka tak kelihatan sama sekali. Dan suara aneh itu berada pada jarak beberapa tombak. Sudah tentu dia tak dapat melihatnya. 

Pui Tiok tak berani membuka mulut untuk, menyapa karena dia tak tahu apa yang datang itu. Dia hanya menahan napas mendengarkan.

Langkah kaki itu pelahan-lahan mendekati. Pada waktu tiba setombak dihadapannya, terdengar bunyi bergedebuk seperti benda jatuh ke tanah. Lewat sepeminum teh lamanya, baru terdengar langkah kaki itu bergerak lagi ke muka. Tetapi geraknya makin sarat sekali.

Pui Tiok amat tegang. Tetapi pada lain saat ketegangan itu menurun karena dia menyadari bahwa yang datang itu adalah orang. Menilik keadaannya tentulah orang itu menderita luka yang amat parah sekali, sehingga jalan saja begitu susah. Selangkah demi selangkah dan pada waktu mencapai setombak jauhnya, terus rubuh. Beberapa puluh menit kemudian baru dapat merangkak bangun dan melanjutkan perjalanan lagi.

Ah, menghadapi seorang yang terluka begitu parah, mengapa harus takut? Pikir Pui Tiok. Dia terus berbangkit dan menegur dengan pelahan, “Siapa itu? Apakah yang datang Ini bangsa manusia?’”

Sebagai jawaban, dari jarak dua meter terdengar orang itu menghela napas dan terengah-engah lalu bluk…. dia jatuh lagi.

Pui Tiok cepat maju, serunya, “Siapa engkau?

Tetapi kecuali napas yang terengah-engah, dia tak mendengar suara apa-apa. Sebagai orang yang memiliki ilmusilat tinggi, tahulah Pui Tiok bahwa keadaan orang itu sudah sekarat.

Pui Tiok segera mengambil korek dan nyalakan api.

Begitu memandang ke muka, Pui Tiok terkejut setengah mati. Andaikata dia tidak cepat membungkam mulutnya dengan tangan kiri, tentulah saat itu dia sudah menjerit.

Yang rubuh ditanah itu tak lain adalah nenek Ang- ciu-poh. Nenek itu bergelimangan dengan darah sehingga sukar diketahui apanya yang terluka.

Nenek Ang-ciu-poh dipuja orang sebagai salah satu dari tiga tokoh sakti dari daerah Biau. Bagaimana kesaktiannya, dunia persilatan tahu semua. Maka sungguh hampir tak dapat dipercaya kalau nenek sakti itu menjadi seorang manusia darah yang roboh di tanah. 

Pada saat api menyala, Pui Tiok sempat memperhatikan nenek itu mengangkat kepala dan merentang mata. Tetapi Pui Tiok sangsi apakah nenek itu memandang kepadanya karena dilihatnya mata nenek itu memandang kian kemari seperti orang yang kehilangan penglihatannya.

Setelah mengangkat muka, nenek itu menunduk lagi. Pui Tiok buru-buru berseru, “Ang-ciu-poh, Ang- ciu-poh!”

Siang tadi Pui Tiok hendak lari meninggalkan nenek itu. Kalau nenek itu sudah mati, bukankah seharusnya dia girang? Bukan itu yang menjadi pemikiran Pui Tiok. Dia merenungkan bahwa seorang tokoh sakti seperti nenek Ang-ciu-poh sampai sedemikian rupa, tentu berhadapan dengan musuh yang lebih sakti. Dalam dunia persilatan dewasa itu rasanya tak ada tokoh yang dapat mengalahkan nenek Ang-ciu-poh kecuali Coh Hen Hong,

Dan kalau nenek Ang-ciu-poh sampai dihajar remuk oleh Coh Hen Hong, jelas Coh Hen Hong tentu sudah tahu jejak larinya.

Membayangkan hal itu, keringat dingin segera bercucuran membasahi tubuhnya. Dia memaki diri nya sendiri mengapa tidak lekas lekas saja tinggalkan hutan itu, Mau tunggu apa lagi?

Serentak dia berbangkit berdiri terus hendak lari. Tetapi sudah terlambat. Pada saat itu di depannya memancar 7-8 batang obor. Sudah tentu kejut Pui Tiok bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan suatu apalagi. Dia tamparkan kedua lengan baju ke muka.

Memang hebat juga angin dari tamparan itu. Dua orang yang berada di muka. api dari obornya membalik dan menjilat tubuh mereka sehingga mereka menjerit kaget dan lemparkan obornya.

Melihat itu bangkitlah semangat Pui Tiok. Pada saat dia hendak menerjang tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh yang bernada seram dingin, datangnya dari muka,

Tadi Pui Tiok belum sempat melihat jelas siapa orang-orang yang berhamburan muncul itu. Setelah dapat menampar obor dua orang pendatang, dia mengira tentu dapat mengatasi mereka. Tetapi setelah mendengar tawa mengekeh yang seram itu, dia rasakan tubuhnya menggigil. Kecuali hanya dapat tegak berdiri, dia tak dapat berbuat suatu apa lagi.

Tawa seram itu jelas dari mulut Coh Hen Hong, Setelah tertegun beberapa jenak, baru dia mempunyai keberanian untuk mengangkat muka memandang ke muka.

Benar. Memang yang berdiri di hadapannya itu tak lain adalah Coh Hen Hong. Di sekeliling nona itu terdapat lagi 7-8 orang pengawal yang membawa obor.

Aneh. Wajah Coh Hen Hong tidak mengerut kemarahan malah dengan tertawa mengikik memandang Pui Tiok,

Tetapi bagi Pui Tiok. apapun yang terkandung dalam hati Coh Hen Hong entah senang entah marah, tawa gadis itu tetap tawa yang menyayat hatinya.

Yang membuat hatinya menggigil seperti berhadapan dengan iblis. Karena Pui Tiok Cukup tahu akan peribadi Coh Hen Hong. Walaupun tertawa tetapi hatinya lain.

Dalam keadaan seperti itu kerongkongannya terasa kering sehingga tak dapat berkata apa-apa.

Coh Hen Hong kembali tertawa, serunya, “Pui kongcu, apa kabar?”

Mulut Pui Tiok bergerak-gerak tetapi tak dapat mengucapkan apa-apa. 

Coh Hen Hong tertawa mengekeh lagi, “Begitu engkau menghilang, aku segera tahu kalau yang bikin gara-gara adalah si nenek busuk itu. Hal itu muugkin engkau tak pernah membayangkan.

Pui Tiok tak tahu benarkah begitu. Dia hanya diam saja, Melihat itu Coh Hen Hong makin gembira, serunya, “Siasatmu memang boleh juga Dihadapan penjaga yang sudah buta matanya, engkau sengaja bilang terima kasih kepada Ceng-te yang sudah menolongmu. Ha, ha, Ceng-te ada dimana?”

Telinga Pui Tiok seperti terngiang petir yang menyambar. Dia terkejut, malu dan marah. Terutama ejekan Coh Hen Hong yang menyindirnya, benar- benar hampir meledakkan dadanya. Dia menghela napas lalu berseru nyaring, “Kalau mau bunuh aku, lekas bunuh. Perlu apa harus menyindir?”

Kembali Coh Hen Hong mengekeh, “Apakah engkau hendak cari kepuasan? Akan kuberimu sebuah kesempatan. Engkau boleh menghantam ubun-ubun kepalamu sendiri dan mati. Kurasa takkan ada orang yang akan mencegahmu”.

Mendengar itu gemetarlah Pui Tiok. Dia menyadari, kali ini setelah jatuh ke tangan Coh Hen Hong, tentu dia akan mengalami nasib yang mengerikan. Benar, Memang daripada mati ditangan gadis iblis itu, bukankah lebih senang kalau mati ditangannya sendiri?

Dia bersuit aneh dan terus mengangkat tangan kanannya, diayunkan kearah ubun-ubun kepalanya. Tekadnya sudah bulat. Dia akan menghancurkan dirinya sendiri.

Tetapi pada lain kilas, tiba-tiba ia merasa bahwa kematiannya itu sia sia saja, Kematian yang penasaran, Maka waktu tangannya hampir tiba di ubun-ubun, sekonyong konyong di hentikannya.

Coh Hen Hong tetap berdiri setombak dimukanya, Diam saja dan hanya tertawa dingin lalu berseru, “ih, mengapa tidak diteruskan? Aku kan bilang takkan mencegahmu, Dan aku takkan menarik pernyataanmu,”

Wajah Pui Tiok lebih putih dari kertas. Pikirannya kacau sekali, Tetapi diam diam merasa kalau tak punya keberanian untuk menghantam hancur ubun- ubun kepalanya sendiri,

Sebenarnya orang yang berani membunuh dirinya sendiri, kalau bukan orang bodoh tentulah orang yang bernyali besar. Pui Tiok cerdik dan tangkas, jelas bukan orang bodoh. Adalah karena dia terlampau pintar, diapun bukan orang yang ternyali besar,

Dia ingin hidup, Dan diapun menyadari, kalau tak mau tunduk pada perintah Coh Hen Hong tentu akan menderita siksa yang mengerikan, Tetapi dia juga belum punya pikiran untuk bertekuk lutut di hadapan Coh Hen Hong. Oleh karena itu muka diapun tegak seperti patung.

Beberapa saat kemudian baru Coh Hen Hong tertawa, “Kalau engkau tak mau turun tangan. bukan berarti kalau aku tak mau memberi kesempatan kepadamu. Itu engkau sendiri yang tak mau. Kalau engkau tak mau membunuh dirimu sendiri, mengingat persahabatan kita yang sudah lama, aku masih dapat memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu.”

“Ke…. sempatan bagaimana?” tanggap Pui Tiok dengan nada getar. Dengan pernyataan itu mulai tampak gejala kalau dia bermaksud hendak menuruti perintah Coh Hen Hong.

Sudah tentu Coh Hen Hong yang cerdas dapat menyelami maksud Pui Tiok. Dia tertawa gembira, katanya, “Ya, tak lain dari kata-kataku beberapa hari yang lalu itu!”

Pui Tiok sudah dapat menduga apa yang dimaksud Coh Hen Hong, yalah suruh dia berlutut dihadapannya. Lagi-lagi perasaan Pui Tiok tersiksa, Kalau tak mau menurut perintah Coh Hen Hong, sekali gadis itu mematahkan betisnya lagi, bukan saja sakitnya tak terperikan, pun karena sudah tiga kali patah, betisnya takkan dapat di sambung lagi. Dengan begitu dia akan cacat seumur hidup.

Apakah kalau dia sudah cacat urusan dengan Coh Heng Hong akan selesai? Tidak, Coh Hen Hong pasti takkan melepaskan dia begitu saja. Sesaat Pui Tiok rasakan bumi yang dipijaknya berputar putar deras, sedang matanya kabur dan hampir pingsan.

Setelah menunggu beberapa saat tak ada jawaban, berkatalah Coh Hen Hong. “Bagaimana?”

Pui Tiok tertawa pahit. Dia mengangkat muka memandang Coh Hen Hong. Tiba-tiba dia teringat bahwa Coh Hen Hong tidak mengatakan suruh dia berlutut melainkan berkata kata-kataku dulu itu. Apakah dalam hal itu tak ada maksud lain?

Memang bagi Pui Tiok, kalau disuruh berlutut kepada Coh Hen Hong dihadapan orang banyak dengan tak ada orang yang melihat, lain artinya. Maka dia lalu menghela napas dan berkata, “Apakah aku boleh menyatakan beberapa kata?”

“Tentu saja boleh,” sahut Coh Hen Hong, Pui Tiok memandang ke sekeliling, “Tetapi….. tetapi….”

“Kutahu,” tukas Coh Hen Hong, Dia mengangkat tangan dan memberi perintah, “tancapkan obor ditanah dan kalian semua menyingkir jauh dari sini, Tak boleh berada dekat dari tempat ini”

Ketujuh orang itu mengiakan. Mereka menancapkan obor di tanah lalu melesat pergi. Setelah mereka pergi, Coh Hen Hong tertawa.

“Nah, sekarang Pui kongcu, kalau mau mengatakan apa-apa, katakanlah!”

Pui Tiok tertawa pahit, “Nona Coh, sekarang aku benar-benar tunduk kepadamu.”

Coh Hen Hong kerutkan alis menegas, “Apa sungguh?”

“Tentu saja sungguh.”

“Tetapi kalau hanya dengan mulut saja tak ada buktinya.” Pui Tiok menekan geraham. Pikirnya, seorang ksatrya dapat keras, dapat lunak. Toh tak ada orang yang melihat, kalau dia berlutut, dia anggap berlutut pada orang mati. Maka tanpa berkata suatu apa dia menyiak baju dan terus hendak berlutut.

Tetapi pada saat itu tiba-tiba Coh Hen Hong berseru mencegah, “Tunggu dulu.”

Pui Tiok tertegun dan berdiri tegak lagi. Di lihatnya Coh Hen Hong tengah memandangnya. Wajahnya penuh dengan tanda-tanya, entah kecewa entah gembira,

Pui Tiok tak tahu apa yang sedang terkandung dalam hati Coh Hen Hong. Sesaat diapun tak tahu apa yang harus dilakukan.

Beberapa jenak kemudian baru terdengar Coh Hen Hong berseru pelahan, “Kemarilah,”

Pui Tiok berdebar keras. Tetapi dia tahu tak mungkin dapat membantah perintah gadis itu. Maka diapun lalu maju lagi tiga langkah.

“Maju lagi kemari,” kata Coh Hen Hong. Pui Tiok terpaksa maju lagi dan berhenti di hadapan gadis itu.

Tiba-tiba Coh Hen Hong tundukkan kepala dan berkata pelahan, “Sebenarnya, aku…. pun tak mengharuskan engkau berlutut. Asal engkau mau menurut kata-kataku, akupun…. sudah senang sekali.”

Pui Tiok tertegun, Pikirannya makin kalut. Betapa lemah dan lembut kata-kata yang diucapkan Coh Hen Hong itu, Tak mungkin orang mau percaya kalau gadis seperti Coh Hen Hong dapat mengucapkan sikap dan kata-kata seperti itu,

Apakah ucapan itu memang pernyataan dari hati nuraninya yang aseli. Lalu apa maksud yang sebenarnya?

Coh Hen Hong pelahan-lahan mengangkat muka. pada saat mata Pui Tiok bertatap pandang dengan mata gadis itu, menggigillah hati Pui Tiok. Selama ini belum pernah dia melihat pancaran yang begitu teduh dari mata Coh Hen Hong, Saat itu Coh Hen Hong benar-benar berobah menjadi seorang manusia lain, seorang gadis baru.

Pui Tiok menghela napas, “Ku…. tahu….”

Pelahan-lahan Coh Hen Hong gelengkan kepala dan berkata, “Tidak, engkau tahu. Tahukah engkau mengapa pada waktu itu aku mempunyai pikiran untuk menyaru sebagai Kwan Beng Cu?”

Mendengar Coh Hen Hong mengungkat peristiwa yang lampau, Pui Tiok makin merasa bahwa ada suatu yang tak wajar. Dia lantas mengatakan, “Aku tak tahu.”

Coh Heng Hong miringkan kepala, berkata, “Apa engkau masih ingat pada waktu kita berjalan bertiga, sama sekali engkau tidak bersikap baik kepadaku setiap kali hanya membentak-bentak aku saja? Tetapi dalam pandang matamu Kwan Beng Cu itu seperti burung Hong saja? Sudah tentu aku mendongkol.”

Pui Tiok mengeluh dalam hati. Diam-diam dia berpikir. Dendam dan rasa iri hati seseorang itu ada kalanya dapat menimbulkan akibat yang menyeramkan. Kalau saja pada waktu itu Coh Hen Hong tidak mempunyai rasa dengki kepadanya kemungkinan hari ini dunia persilatan tentu masih tenteram dan tidak diaduk-aduk oleh seorang gadis yang diagungkan sebagai Dewi Angin puyuh,

“Soal itu tak dapat menyalahkan aku,” kata Pui Tiok sesaat kemudian, “karena dia…. dia itu cucu perempuan Ceng-te.”

“Itulah,” tukas Coh Hen Hong, “makanya aku baru timbul ingatan, Betapa gembiranya kalau aku ini menjadi cucu perempuan Ceng te.”

Kembali Pui Tiok termangu-mangu beberapa saat.

Bukan setahun dua tahun dia berkelana di dunia persilatan, Selama itu banyak sekali ia memiliki pengetahuan tentang isi hati dan kejiwaan orang. Tetapi benar-benar tak pernah ia dapat membayangkan bahwa iri hati dari seorang dara kecil pada waktu itu akan membuahkan akibat yang tak terperikan seperti sekarang ini.

“Pada waktu itu yang kupikirkan hanya begitu saja.” kata Coh Hen Hong, “ha, ha, akhirnya aku berhasil juga. Sekarang yang menjadi cucu perempuan dari Ceng te itu adalah aku dan bukan Kwan Beng Cu.”

Mendengar itu tergetarlah hati Pui Tiok, serunya tertahan, Dia…. dia…. engkau apakan?”

Dalam mengucapkan kata-kata itu suara Pui Tiok kedengaran bergetar, Coh Hen Hong tertawa dingin. Dia balas bertanya, “Coba engkau katakan seharusnya kuapakan dia itu?” 

Sekonyong-konyong Pui Tiok menerkam bahu Coh Hen Hong, Tetapi kepandaian Coh Hen Hong sekarang jauh sekali terpautnya dengan Pui Tiok. Walaupun Pui Tiok bergerak cepat tetapi hanya dengan sedikit miringkan tubuh dapatlah Coh Hen Hong menghindari.

“Engkau …. engkau mencelakainya?” teriak Pui Tiok.

Sepasang alis Coh Hen Hong menjungkat, Saat itu sinar lembut dari matanya lenyap dan berganti dengan sinar yang berkilat-kilat tajam sehingga menggigillah hati Pui Tiok,

Tetapi hanya sekejab dan sinar berkilat dari mata Coh Hen Hong itu lenyap lagi, kembali tenang, “Mengapa engkau bertindak begitu? Apakah engkau begitu sangat memikirkan kepentingannya?” Pui Tiok terkesiap.

Coh Hen Hong tertawa dingin pula. “Lagi tak tampak kalau engkau memikirkan diriku.”

“Perlu apa aku harus memikirkan engkau?” teriak Pui Tiok dengan geram.

“Ya,” Sahut Coh Hen Hong, “sebenarnya engkau tak perlu memikirkan aku. Tetapi tadi engkau mengatakan, bukan salahmu kalau engkau memikirkan dirinya karena dia adalah cucu dari Ceng- te. Tetapi sekarang, cucu dari Ceng-te itu adalah aku. Mengapa engkau masih tetap memperhatikan dia saja dan tak menghiraukan aku?”

Terlalu muluk sekali kata-kata Coh Hen Hong itu tetapi diam-diam Pui Tiok terkejut juga. Kerena saat itu dia kembali mendengar nada suara yang merdu dan lembut dari mulut Coh Hen Hong.

Dia mendapat kesimpulan bahwa sumber dari tindakan Coh Hen Hong untuk memusuhi Pui Tiok sejak dulu sehingga sampai sekarang tak lain dan tak bukan hanyalah berkisar pada suatu tujuan. Tujuan itu hanyalah menghendaki Pui Tiok menaruh perhatian kepadanya dan supaya bersikap baik seperti Pui Tiok memperlakukan Kwan Beng Cu.

Hal itu benar-benar membingungkan Pui Tiok.

Namun pelahan-lahan dia mulai mengetahui, perasaan hati Coh Hen Hong itu memang begitu.

Sejenak tertegun, Pui Tiok berkata, “Sungguh menggelikan sekali kalau engkau mengganggap dirimu itu cucu dari Ceng-te. Jelas engkau hendak membohongi orang karena engkau tentu merasa sendiri kalau engkau ini memalsu, mengapa engkau harus membohongi dirimu sendiri?”

Pui Tiok menyadari kalau dia tak boleh menyinggung perasaan Coh Hen Hong. Oleh karena Itu dia mengucapkan kata-katanya dengan hati-hati dan sungkan. Sementara Coh Hen Hong hanya tertawa dingin saja, serunya, “Mengapa tak boleh memalsu terus? Hoi, jangan engkau terlalu yakin akan dirimu.”

“Kecuali engkau bunuh aku dan Kwan Beng Cu.” Tiba-tiba Coh Hen Hong tertawa gelak-gelak,

“Orang menyohorkan anak laki dari ketua Peh-hoa- kau itu hebat sekali. Tetapi nyatanya setelah mendengar engkau berkata-kata, tak lain engkau ini hanya sebuah tong nasi belaka.”

Pui Tiok marah tetapi dia tahan diri.

“Tentu saja,” kata Coh Hen Hong pula, “aku akan memalsu selama-lamanya. Dan tentu akan membunuh tetapi tak perlu harus membunuh dua orang, cukup seorang saja.”

Pui Tiok terkesiap. Sesaat dia tak dapat menangkap apa maksud Coh Hen Hong. Diapun tak tahu siapa yang dimaksud Coh Hen Hong hendak dibunuhnya itu.

Coh Hen Hong tertawa gembira, “Coba engkau terka, aku harus membunuh siapa. Hanya seorang saja tetapi setelah kubunuh aku akan aman selama- lamanya. Tahukah engkau siapa yang akan kubunuh itu?”

“Perlu apa harus dltanyakan orang itu adalah aku,” seru Pui Tiok.

“Tidak, coba terka lagi,” Coh Hen Hong tertawa.

Pui Tiok heran2 kaget, serunya penasaran, “Jangan engkau kobarkan lagi pikiranmu yang kotor itu untuk mencelakai Kwan Beng Cu. Dia sudah cukup menderita karena ulahmu. Kalau engkau masih hendak membunuhnya, tidakkah engkau sudah gila?”

“Kutahu begitu engkau menerka bahwa orang yang akan kubunuh itu adalah dia?” Coh Hen Hong tertawa. “Kalau bukan aku tentu dia,” seru Pui Tiok dengan nyaring. Diluar dugaan Coh Hen Hong gelengkan kepala, “Bukan, engkau salah terka.”

Pui Tiok benar-benar kesima. Kalau Coh Hen Hong tidak akan membunuhnya dan takkan membunuh Kwan Beng Cu, Pui Tiok benar-benar tak dapat menduga-duga lagi, siapa yang akan dibunuh Coh Hen Hong demi mengamankan penyaruannya sebagai Kwan Beng Cu.

Dengan tertawa ceria, Coh Hen Hong memandang pemuda itu dan berkata, “Kalau begitu kemarilah, akan kuberi tahu.” Pui Tiok maju dua langkah lagi dan minta nona itu mengatakan.

Wajah Coh Hen Hong berobah serius dan nada suaranyapun berobah sarat. Hal itu menunjukkan kalau dia tidak guyon tetapi serius benar-benar.

“Yang akan kubunuh adalah Ceng-te,” katanya tandas.

Mendengar itu Pui Tiok groggy seperti orang yang dilanda angin puyuh. Hampir saja dia berteriak tetapi tak dapat bersuara. Sungguh hebat sekali soal itu. Ya, memang dengan bertindak begitu Coh Hen Hong akan hidup aman selama-lamanya.

Sejak bertahun-tahun Coh Hen Hong membenami diri belajar ilmu yang sakti dari Ceng te. Boleh dikata kepandaian hanya dibawah Ceng-te. Sekalipun nantinya semua orang persilatan tahu bahwa ia bukan cucu Ceng te yang sebenarnya, tetapi siapakah yang berani mengutik-ngutik hal itu? Tetapi rencana itu sungguh sadis sekali. Selama bertahun-tahun itu tentulah Coh Hen Hong amat disayang Ceng-te. Kalau tidak mana dia bisa memperoleh kepandaian yang begitu sakti. Tetapi ternyata Coh Hen Hong bukan berterima kasih atas budi kebaikan Ceng-te yang telah dikelabuhinya, sebaiknya ia malah hendak membunuh Ceng-te.

Setelah beberapa saat berusaha untuk menenangkan gejolak hatinya yang bergetar. akhirnya Pui Tiok berkata, “Engkau…. engkau apa tidak mengoceh sembarangan?”

Setelah tenang, Pui Tiok melanjutkan pula, “Kepandaian Ceng-te, jauh diatasmu. jelas engkau yang akan cari sakit sendiri.”

Coh Hen Hong tertawa, “Kata-katamu memang benar. Mengapa sampai sekarang aku tak turun tangan adalah karena hal itu. Tetapi aku punya rencana bagus sehingga Ceng-te takkan curiga kalau aku yang secara diam-diam mencelakainya.”

Pui Tiok terpana diam. Dia tengah memikirnya, dia harus lekas-lekas mendapatkan ceng-te dan memberitahu tentang rencana jahat Coh hen Hong itu. Jangan sampai maksud jahat Coh Hen Hong terlaksana.

Coh Hen Hong tertawa. “Sekarang aku sudah merasa yakin tentu berhasil, engkau percaya atau tidak?”

Dalam saat itu kecuali hanya menarik napas saja, Pui Tiok tak dapat berbuat lain lagi. Coh Hen Hong tertawa dan mengeluarkan sebuah botol kecil warna biru dari dalam bajunya. “Lihatlah ini,” serunya. 

“Ketika memandang dengan seksama, Pui Tiok melihat pada kertas label yang menempel di botol kecil itu terdapat lima buah huruf berbunyi sian-sian- hu-sim-san. Lalu ada tulisan kecil berbunyi: pusaka simpanan Peh-ban-tong cujin.

Pui Tiok dibesarkan didaerah Biau. Dan Peh hoa-kau itu terkenal ahli dadam ilmu racun. Sudah tentu tahu tentang bubuk racun Sian-sian-hu-sim-san (serbuk dewa penghancur hati) buatan tongcu (kepala) gua Peh-ban-tong dari gunung peh-ban-san.

Pui Tiok menimang. Kalau Coh Hen Hong memang mau mencelakainya, tentu tak perlu menggertak dengan serbuk beracun segala. Dia sangka Coh Hen Hong hanya hendak menggertaknya saja Tetapi ketika dia melihat label tulisan pada botol kecil itu, Pui Tiok terkejut sampai mundur tiga langkah.

“Coba katakan, apakah aku takkan berhasil “tanya Coh Hen Hong.

Pui Tiok menarik napas, “Engkau sudah memberitahukan rencanamu itu kepadaku, mana bisa berhasil?”

Coh Hen Hong kerutkan alis, “Apa maksud kata- katamu itu?”

Pui Tiok membenahi nyalinya. Dia tahu Coh Hen Hong itu cerdas sekali. Nona itu dapat membaca isi hatinya. Maka dia lalu mendahului memberi peringatan agar rencana ganas itu jangan sampai terlaksana. “Engkau tidak takut kalau kuberi tahukan rencanamu itu kepada Ceng-te?” tanyanya.

Tiba-tiba Coh Hen Hong tertawa mengikik, “Sudah tentu aku tak takut. Engkau kan tak mungkin dapat bertemu Ceng-te. Dimana letak istana Ceng-te-kiong, hanya beberapa gelintir manusia yang tahu tempat itu juga tak nanti mau bilang. Hm, apakah engkau tidak mengharap aku dapat berhasil?”

“Kalau aku berhasil,” kata Coh Hen Hong pula,”Diatas langit di permukaan bumi, hanya aku yang menjadi yang dipertuan. Kalau aku gembira, engkaupun tentu dapat hidup terus.

Dan lagi selekas Ceng-te mati, engkau tak kan dapat menggertak aku lagi. Kalau aku tak dapat membunuh Ceng-te, kalian berdualah yang akan kubunuh.”

Mendengar itu Pui Tiok terkejut dan gembira.

Terkejut karena Coh Hen Hong mengatakan kalau Ceng-te mati. diapun akan hidup terus. Hal itu berarti dia masih mempunyai kesempatan untuk hidup. Tetapi kalau Ceng-te tidak berhasil dibunuh, dia dan Kwan Beng Cu akan dilenyapkan jejaknya. inilah yang membuat Pui Tiok gembira, Karena dengan begitu jelas Coh Hen Hong belum mencelakai Beng cu.

“Lalu engkau…. engkau kapan akan turun tangan?” serunya gemetar.

Coh Hen Hong tertawa, “Soal itu tak dapat kukatakan kepadamu.” “Engkau…. menghendaki aku bagaimana?!” tanya Pui Tiok pula.

Coh Hen Hong maju menghampiri dan setelah tiba dihadapan Pui Tiok dia berhenti tundukkan kepala, “Apakah engkau belum mengerti?”

Dalam mengucapkan kata-kata itu nadanya amat rawan2 gemas sehingga membuat Pui Tiok meringis. Sudah tentu dia mengerti apa yang dimaksud Coh Hen Hong itu. Tetapi hal itu dia tak mau.

Tetapi dalam keadaan seperti saat itu, tak ada lain jalan kecuali dia harus mengulur waktu. Teringat bahwa dia hanya dapat menyerah, hanya menjadi hamba dibawah celana Coh Hen Hong, baru jiwanya untuk sementara dapat selamat, diam-diam Pui Tiok merasa malu sendiri.

Rasa malu telah menimbulkan kemarahan yang meluap dalam hatinya. Setelah menenangkan diri beberapa saat barulah dia dapat menindas kema- rahan dan rasa muaknya terhadap Coh Hen Hong Dia ulurkan tangan mengelus-elus rambut gadis itu, “Ah, jangan terlalu kekanak-kanakan.”

Sekalipun mulut berkata begitu tetapi dalam hati Pui Tiok ingin sekali menabas kuntung tangan gadis itu dan memotong lidahnya.

Coh Hen Hong mengangkat kepala dan mengulum senyum, „Maksudmu, engkau mau bersama” sama aku. Hanya aku bukan lagi…. kanak-anak.”

Pui Tiok berusaha keras untuk menekan rasa muaknya. Dia mengangguk. 

“Itu mudah saja,” kata Coh Hen Hong pula,” sebenarnya aku lebih tua dari Kwan Beng Cu. Dan lagi kurasa aku lebih cantik dari dia, bukankah begitu?”

Seketika Pui Tiok hendak memaki gadis itu dengan kata-kata tajam yang akan menusuk perasaan. Maka sesaat dia belum menjawab.

Coh Hen Hong mendesaklah, “Bilanglah!”"Ya, sudah tentu,” Pui Tiok gelagapan.

Coh Hen Hong tertawa. Sebenarnya dia seorang gadis yang cantik. Waktu dia gembira dan tertawa, benar-benar laksana kuntum bunga yang sedang mekar. Tetapi karena dalam hati Pui Tiok sudah terisi dengan rasa muak karena dirinya dihina, maka dia segera berputar tubuh.

“Eh, mengapa engkau tak mau memandang aku?” tegur Coh Hen Hong.

“Engkau telah bicara banyak sekali dengan aku, sebenarnya aku tak mengerti. Bukankah tadi engkau telah bicara dengan manusia seperti siluman Siau- long-kun Hong Jui? Mengapa engkau hendak minta aku bersama-sama dengan engkau?”

Merah wajah Coh Hen Hong, serunya, “Mengapa begitu saja engkau tak mengerti? Mana mungkin aku suka dengan manusia tak panya rasa harga diri semacam itu? Aku… aku. . ., “ia tertawa dan tak melanjutkan kata-katanya.

Diam-diam Pui Tiok terkejut. Biasanya Coh Hen Hong berwatak ganas sekali. Tetapi pada saat itu dia bersikap manis dan lemah lembut, Rupanya benar- benar mempunyai hati kepadanya,

Memang dugaan Pui Tiok itu tepat. Coh Hen Hong memang sungguh-sungguh mencurahkan hatinya kepada Pui Tiok, Perasaan itu telah tumbuh sejak beberapa tahun yang lalu, Pada saat itu Pui Tiok seorang pemuda yang ganteng dan berilmu silat tinggi dan Coh Hen Hong tak lebih hanya seorang pengemis kecil yang kotor, Waktu itu Coh Hen Hong masih kecil, Dia belum tahu rasa kasih yang terjalin antara pria dan wanita. Tetapi dimatanya, Pui Tiok dianggap sebagai seorang pria yang ideal, pria yang dikagumi dan disenangi Saat itu juga timbul dalam angan- angannya, kelak apabila dia dapat berdiri sejajar dengan kedudukan Pui Tiok, dia baru dapat merasa bahagia,

Pada waktu itu apabila Pui Tiok bersikap agak baik kepadanya dan tidak membentak-bentak nya, mungkin saja segala yang terjadi pada sekarang ini, takkan ada.

Betapapun besar keinginan Coh Hen Hong untuk mendapatkan pria yang dipujanya itu tetapi akhirnya dia menyadari bahwa hal itu tak mungkin terjadi, pun setelah dia berhasil memiliki kepandaian sakti, diapun tak mendendam kebencian terhadap Pui Tiok.

Dua kali dia suruh Pui Tiok berlutut dihadapannya, kalau saja Pui Tiok terus menurut perintah, dalam hati Coh Hen Hong tentu akan kecewa karena melihat bahwa pria pujaannya itu ternyata manusia yang tak layak mendapat rasa kekagumannya. Mungkin pada saat itu dia tentu akan membunuh Pui Tiok. Tetapi ternyata Pui Tiok tak mau berlutut. Dan Coh Hen Hong merasa bahwa sekalipun dia telah memiliki kepandaian yang sakti tetapi dengan Pui Tiok masih terpisah oleh jurang perbedaan yang jauh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar