Pedang Berbunga Dendam Jilid 14

JILID 14

Pada saat itu mereka sudah lari paling sedikit 7-8 puluh li. Diperkirakan andaikata. Ting Tay Ging mengetahui kalau Thian Pik siusu telah mati dan lalu mengirim anakbuah untuk mengejar Pui Tiok dan Beng Cu, pun rasanya sudah tak mungkin dapat menyusul lagi.

Kedua anakmuda itu saling berpandangan dan serempak menghela napas, “Ah, akhirnya kita telah lolos!”

“Pui toako,” kata Beng Cu,” sekalipun kita sudah dapat lolos tetapi aku masih belum mengerti mengapa Ting Tay Ging hendak mencelakai kita. Tahukah engkau apa sebabnya?”

Pui Tiok tertawa getir, “Aku juga tak tahu. Sudah kupikir bolak balik tetapi tak mengerti.”

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan lagi. Tak berapa lama mereka mendengar desir suara sumber air berasal dari sebelah muka. Karena sudah haus sekali mereka lalu kencangkan lari menuju ke tempat itu.

Memang seluas 100 li dari kota Ce-lam-shia merupakan daerah yang banyak terdapat sumber air. Baru lari beberapa tombak jauhnya mereka melihat sebuah aliran-air menumpah dari celah karang setinggi dua meter. Mereka minum sepuas-puasnya dan duduk beristirahat diatas segunduk karang besar.

Saat itu hari mulai gelap. Mereka mencari tempat di sebuah lubang karang. Keadaan di sekeliling penjuru sunyi senyap.

“Bagaimana kita sekarang?” tanya Beng Cu “apakah masih hendak mencari Seng Kun atau terus pulang?”

Sejenak merenung, Pui Tiok berkata, “Seng Kun memang harus kita cari. Tetapi dia berada di mana mungkin tak ada orang yang tahu. Sampai saat ini aku rasanya belum dapat memikirkan mengapa Ting Tay Ging hendak mencelakai kita. Pada hal dia baik sekali dengan ayah. Ya, mengapa dia sampai hati hendak mencelakai aku?”

Beng Cu sendiri juga tak tahu maka dia diam saja. Sementara itu di tepi bengawan Hong-ho telah berlangsung penyambutan Dewi Angin-puyuh dengan meriah sekali

Panggung besar pernuh dengan bermacam-macam, Sedang pada tingkat kedua dari panggung itu telah penuh dengan hadirin yang terdiri dari jago-jago sakti, baik dari Cap-it-pang maupun dari luar.

Kursi kebesaran yang terletak di tengah ruang, diduduki Coh Hen Hong. Disamping kanan duduk Ting Tay Ging dan disebelah kiri diduduki Im Thian Su, Hong Jui dan lain2.

Sejak naik kedaratan, rasanya telinga Coh Hen Hong sudah pekak dengan ucapan2 sanjung pujian yang muluk2.

Sejak terjun kedunia persilatan, walaupun sudah banyak kali menerima penyambutan besar dari kaurn persilatan tetapi tidaklah semewah dan semeriah seperti penyambutan di tepi bengawan Hong-ho saat itu. Sudah tentu dia semakin mabuk.

Setelah upacara penyambutan selesai dan hidangan arak mulai diedarkan, tiba-tiba Ting Tay Ging berkata dengan bisik2, “Suan Hong siancu, beberapa hari yang lalu, di dunia persilatan tersiar berita bahwa engkau dengan putera dari ketua Peh-hoa-kau, mempunyai sedikit ganjelan, benarkah itu?”

Coh Hen Hong terkesiap. Dia sendiri lupa ucapan dan dimana dia pernah mengatakan hal itu kepada orang. Mungkin secara tak sengaja saja dia mengatakan hal itu dan ternyata seluruh dunia persilatan. Suatu hal yang menggembirakan hatinya. 

“Ya, memang,” ia mengangguk.

Ting Tay Ging tertawa, “Siancu, setelah tahu hal itu maka akupun segera memerintahkan anak-buah untuk mencari ke seluruh penjuru.

“Lalu bagaimana hasilnya?” Coh Hen Hong mulai tertarik,” Peh-hoa-nia merapakan pusat perkumpulan Peh-hoa-kau. Dengan kesaktian siansu, sudah tentu dapat menyusup ke sana. Tidak seperti diriku. Aku hanya mengandalkan keberuntungan yang tak terduga dimana secara kebetulan aku berjumpa dengan dia di luar kota Ce-lam-hu.”

Coh Hen Hong mengangkat cawan dan me-neguk habis lalu bertanya, Benarkah? Sakarang dia di mana?”

Ting Tay Ging menunjuk ke atas, “Berada di sebelah atas. Telah kusuruh pembantu kepercayaanku, Thian Pik siusu, untuk menahan mereka.”

“Mereka? Apakah dua orang?” Coh Hen Hong menegas.

“Ya,” jawab Ting Tay Ging,” dengan kawan seorang gadis yang namanya sama dengan siansu. Juga she Kwan. Mereka mengatakan hendak ke Tanghay tetapi kutahan disini.”

Coh Hen Hong meletakkan supit. Hatinya mulai tegang. Kedua orang itu adalah duri dalam daging baginya. Bukan saja tahu tentang tindakannya memalsu sebagai cucu perempuan Ceng-te, bahwa yang wanita itu adalah cucu Ceng-te. yang asli. 

Jika kedua orang itu masih hidup, Coh Hen Hong takkan pernah merasa tenang.

Melihat Coh Hen Hong diam saja, karena tak tahu entah marah atau gembira, Ting Tay Ging gopoh berkata pula, “Aku hanya mendengar berita dari dunia persilatan, entah apakah benar begitu. Soal itu. …”

Coh Hen Hong cepat mengangkat tangan dan cepat menukas, “Sudah, jangan bicara lagi. kedua orang itu, lekas engkau perintahkan Thian Pik siusu untuk menghabisi. Lakukan secara rahasia, jangan sampai orang tahu.”

Ting Tay Ging mengiakan. Diam-diam dia girang karena Coh Hen Hong memberi pesan kepadanya. Hal ini berarti bahwa tindakannya benar.

Memang tujuannya yalah hendak mengambil hati Coh Hen Hong. Dia tak peduli siapa Pui Tiok, siapa sahabat karib Peh hoa lokoay.

Ting Tay Ging mengangkat tangan. Seorang anak buahnya datang.

“Naik keatas dan suruh Thian Pik siusu segera menghabisi kedua anakamuda itu. Jangan sampai ada orang yang tahu.

Anak buah itu segera keluar. Ketika berpaling, Ting Tay Ging merasa heran karena melihat Coh Hen Hong tertegun.

Ternyata saat itu Coh Hen Hong tengah. terkenang akan saat beberapa tahun yang lalu, ketika bersama sama Pui Tiok dan Beng Cu. Pada saat itu bagi Pui Tiok, hanya Beng Cu yang diperhatikan saja, seolah dara itu seperti seekor angsa, Sedang terhadap dia, Pui Tiok menganggapnya perempuan. seperti seekor katak. Hal itulah yang menyebabkan Coh Hen Hong membenci Pui Tiok setengah mati. Dendam itu pernah ditumpahkan ketika dia dapat menguasai anak muda itu, dia lantas mengurat-gurat wajah Pui Tiok. Untung waktu dia menggurat 7 kuntum bunga diwajah Pui Tiok, saat itu dia mendengar jeritan mamanya sehingga dia tinggalkan Pui Tiok dan menuju ke tempat maamnya.

Ternyata mamanya mati dibunuh orang tetapi sampai sekarang dia belum tahu siapakah pembunuhnya.

Sekarang dia menjadi Suan Hong siancu yang disanjung puji setiap orang persilatan. Dia tak tahu bagaimana sikap Pui Tiok kalau ketemu dengannya. Apakah anak muda itu masih berani menganggapnya seperti katak seperti dulu?

“Ting cong-pangcu,” tiba-tiba dia berseru karena terkilas sesuatu dalam benaknya,” untuk sementara jangan mereka dibunuh dulu. Suruh bawa saja mereka kemari.”

Mendengar itu Ting Tay Ging berobah wajahnya. Dia sudah terlanjur menyuruh orang untuk memberi perintah kepada Thian Pik siusu segera menghabisi kedua anak muda itu. Kemungkinan saat itu Pui Tiok dan Beng Cu sudah mati. Kalau sekarang tiba-tiba Suan Hong siancu merubah keputusannya, lalu bagaimana nanti?. Sejenak terkesiap, Ting Tay Ging gopoh menjawab, “Baik, baik.”

Habis berkata dia berbangkit dan terus melesat keluar. Melihat tindakan ketua itu, sekalian hadirin terkejut. Tetapi karena Suan Hong siancu masih disitu, merekapun tak berani berkutik walau pun dalam hati heran.

Dengan kerahkan segenap tenaga-dalam, Ting Tay Ging melesat keatas. Pada saat dia tiba ditingkat teratas, dilihatnya orang suruannya tadi terhuyung- huyung keluar.

“Thian Pik, jangan bertindak dulu!” lebih dulu Ting Tay Ging berteriak untuk mencegah Thian Pik siusu. Melihat orang tadi lari sempoyongan keluar, dia mengira tentu sudah memberitahu kepada Thian Pik siusu dan Thian Pik tentu sedang bertindak.

Tetapi begitu dia berteriak, orang suruhan-nya tadi sudah cepat berseru, “Cong-pangcu, Thian Pik. . .siusu sudah meninggal. …”

Kejut Ting Tay Ging bukan alang kepalang “Lalu kedua anak muda itu?” teriaknya seperti orang kalap.

“Juga tak ada,” sahut orang itu.

Ting Tay Ging maju mendorong pintu. Tampak Thian Pik siusu terlentang di lantai, kedua matanya mendelik. Jelas dia sudah mati dan sudah beberapa waktu lamanya.

Ting Tay Ging maju memeriksa keadaan mayat Thian Pik tetapi tak dapat menemukan tanda-tanda penyebab kematiannya. Saat itu dia benar-benar tegang dan bingung sekali. Demi mengambil muka Suan Hong siancu, dia telah rela mengorbankan segala apa termasuk putera dari saudara baiknya, Tetapi ternyata, semua itu gagal total.

Dia bingung. Bagaimana reaksi Suan Hong siancu apabila mengetahui hal itu, dia belum da-pat membayangkan.

Cepat dia berputar tubuh dan berseru, “Lekas panggil para hu-pangcu menghadap aku kemari, lekas, lekas!”

Orang itu mengiakan dan cepat lari. Tak berselang berapa lama para pangcupun datang semua.

“Kalian 17 orang, setiap orang membawa tiga kojiu untuk segera mencari dua anak muda laki perempian. “Yang lelaki, mungkin pakai kedok muka, mungkin hanya bertutup kain kerudung. Yang jelas pada wajahnya terdapat 7 kuntum bekas guratan pedang yang berbentuk bunga. Namanya Pui Tiok. Harus cari sampai ketemu!” perintah Ting Tay Ging.

Para hu-pangcu mengiakan dan segera keluar. Ting Tay Ging sendiri juga terus kembali ketempat Coh Hen Hong.

Saat itu para hadirin tengah berebut untuk mengambil hati Coh Hen Hong. Mereka mengelilingi gadis itu dan mengucapkan bermacam-macam kata sanjung pujian. Begitu melihat Ting Tay Ging muncul mereka lalu menyisih ke samping. Ting Tay Ging langsung kembali ke tempat duduknya di sebelah Coh Hen Hong.

Silih berganti hadirin menghaturkan arak dan mengucapkan selamat kepada Coh Hen Hong sehingga gadis itu makin mabuk kegirangan. Khusus untuk menghormati Coh Hen Hong, Ting Tay Ging sengaja menghidangkan arak pilihan yang istimewa. Rasanya manis tetapi daya kekuatannya keras sekali.

Sebenarnya Coh Hen Hong tak biasa minum arak.

Karena terus menerus harus menerima pemberian selamat, mau tak mau dia harus minum banyak. Adalah berkat tenaga dalamnya yang tinggi maka dia dapat menekan kekuatan arak itu.

Tetapi memang terlampau banyak sekali dia telah minum arak. Dan pengaruh arak telah mem-buatnya kemerah-merahan dan agak tegang. Begitu melihat Ting Tay Ging datang tiba-tiba dia teringat akan perintahnya tadi, yaitu suruh membawa Pui Tiok dan Beng Cu menghadap. Dia hendak turun tangan sendiri untuk menyelesaikan kedua anak muda itu agar kelak tak ada bahaya lagi.

“Ting cong-pangcu, mana kedua orang yang engkau katakan itu?” tegurnya.

Ting Tay Ging kembali dengan hati yang kedat kedut. Melihat Coh Hen Hong minum banyak, dia kira gadis itu tentu akan lupa. Maka diapun terkejut dan tertawa pahit ketika ditegur. Dia segera maju dan berbisik, “Siancu, kedua orang itu. . .” Coh Hen Hong yaug cerdik cepat tahu tentu telah terjadi hal yang tak diinginkan, wajahnya serentak berobah. Baginya, Pui Tiok dan Beng Cu itu sama pentingnya dengan jiwanya.

Melihat perubahan itu seketika hati Ting Tay Ging menjadi tegang sekali. Diam-diam dia mengutuk dirinya tendiri. Kalau tak ada persoalan Pui Tiok dan Beng Cu tentulah perjamuan besar itu akan berlangsung dengan mengembirakan sekali. Dan tujuannya untuk mengambil hati Suan Hong siancupun pasti berhasil.

Tetapi dia terlanjur melakukan hal itu. Demi mengambil muka Coh Hen Hong, dia menahan Pui Tiok dan Beng Cu untuk diserahkan. Tetapi ternyata hal itu malah seperti senjata makan tuan

“Siancu,” akhirnya dia terpaksa menjawab dengan pelahan,” kedua anak muda itu telah membunuh orang yang kusuruh menjaga mereka dan sekarang mereka sudah sudah melarikan diri !”

Bukan kepalang kaget Coh Hen Hong mendengar laporan itu. Dengan melarikan diri itu jelas sudah kalau Pui Tiok dan Beng Cu sudah mengetahui tentang perbuatannya memalsu diri menjadi cucu perempuan Ceng-te.

Seketika luapan kegembiraan yang melanda hatinya sirna seketika. Dan tak dapat dia menahan kemarahan lagi, “Ting Tay Ging, engkau berani menyombongkan diri kalau perserekatan Cap-it pang di Hongho itu lihay sekali. Tetapi buktinya menjaga dua orang anak muda saja tak becus Bukankah kalian ini hanya kawanan kantong nasi saja dan engkau sendiri tak lepas dari manusia goblok tak berguna!”

Dihadapan ratusan Jago-jago sakti dari persere- katan Cap-it-pang dan jago-jago lainnya, Coh Hen Hong telah mendamprat Ting Tay Ging seperti seorang anak kecil.

Saat itu kalau hanya dua orang saja yang berhadapan, tentulah Ting Tay Ging akan mandah menerima hinaan itu. Tetapi saat itu beratus-ratus ko- jiu hadir, malah diantaranya terdapat juga jago-jago yang bermusuhan dengan dia yang serentak tertawa mengejek. Sudah tentu Ting Tay Ging tak dapat menahan hinaan seperti itu.

Seketika merah padam wajah Ting Tay Ging dan dengan suara berat dia membalas, “Suan Hong siancu, orang yang lari kan masih dapat dikejar, perlu apa engkau menghina aku begitu nista?”

Coh Hen Hong menganggap dirinya seperti Dewi sakti yang tak ada tandingannya. Apalagi dia kelewat banyak minum arak. Andaikata Ting Tay Ging mengiakan dan tak bersikap keras, habis menumpahkan kemarahan tentulah Coh Hen Hong tenang lagi.

Tetapi bukan saja mengaku salah malah Ting Tay Ging berani membantah dan bersikap takl puas.

Seketika amarah Coh Hen Hong meledak.

“Anak anjing, kalau kumaki engkau, engkau mau apa?” teriaknya meledak. Sambil berkata dia menyambar sebuah giok-hu (poci kumala) tempat arak dan membenturkan ke kepala Ting Tay Ging.

Ting Tay Ging bukan tokoh sembarangan. Melihat sikap Coh Hen Hong sudah berbalik marah, dia merasa kalau pesta penyambutan besar-besaran yang menghabiskan puluhan ribu tail perak dan memakan waktu sebulan lebih, akhirnya berantakan, Pikirnya, kalau tidak turun tangan lebih dulu, dirinya tentu akan celaka.

Dia adalah tokoh cemerlang dari aliran Hitam.

Walaupun dalam hati mengeluh tetapi dia sudah siap menghadapi perobahan apapun juga. Meski tampaknya masih berdiri tegak tak berani berkutik tetapi diam-diam dia sudah menyalurkan tenaga- dalam kearah kedua tangannya. Begitu Coh Hen Hong selesai menghambur kemarahan, diapun sudah mengangkat kedua tangan terus menerkam dada nona itu.

Ting Tay Ging dilahirkan dengan bentuk yang aneh.

Dia memiliki sepasang tangan yang luar biasa panjangnya. Maka begitu kedua tangan menerkam dengan jurus yang aneh lawan sukar untuk membela diri. itulah sebabnya maka dia mendapat gelar Tiang- pi-sin-mo atau Iblis-sakti-tangan-panjang.

Gerak kedua tangan yang dilancarkan mener-kam dada Coh Hen Hong disebut Poan-koan-sin-jiu atau Hakim-mengulurkan-tangan. Selanjutnya akan diteruskan dengan perobahan yang lihay yalah yang disebut jurus Giam-ong-tiam-thau atau Raja-akhirat- mengangguk kepala. Kedua jurus itu disebut hakim-mengambil-pena dan Raja akhirat-mengangguk-kepala. Artinya hakim akhirat mengambil pena untuk menulis vonis mati dan Raja Akhirat mengangguk menyetujui. Dengan begitu kedua jurus itu berarti orang pasti mati. Entah sudah berapa banyak Jago persilatan sakti yang harus menyerahkan jiwanya atau terluka dengan kedua jurus itu.

Tetapi kali ini benar-benar ketemu batunya. Dia memang menyerang secepat kilat dan secara tak

terduga-duga. Tetapi setelah memaki, Coh Hen Hong juga telah menyambar poci-kumala dan mengemplang kepala Ting Tay Ging.

Tentunya dia tak bermaksud hendak membunuh Ting Tay Ging tetapi karena dia terkejut akan dua arus tenaga kuat yang melanda dadanya, cepat dia menyadari kalau Ting Tay Ging hendak balas menyerangnya. Sudah tentu dia marah sekali.

Tangan kirinya yang masih memegang sumpit cepat digetarkan. Kedua sumpit menyiak dan sing, sing. . . .

mengeluarkan dua buah desis suara yang tajam. Dua gelombang angin keras menyambar kearah siku lengan Ting Tay Ging.

Sebenarnya Ting Tay Ging harus mundur. Tetapi dia merasa kalau mundur, sekalipun dapat terhindar dari serangan orang, toh selanjutnya dia pasti tak ada muka untuk berdiri tegak di dunia persilatan.

Memang gengsi merupakan penyakit orang persilatan yang paling besar. Lebih baik mati daripada kehilangan gengsi. 

Ting Tay Ging tak mau mundur melainkan hanya menyurutkan kedua tangan dan siap hendak menyerang lagi. Tetapi dia memang belum tahu sampai dimanakah kepandaian Coh Hen Hong Dewi Angin puyuh itu.

Selain memillki tenaga-dalam yang luar biasa hebatnya, waktu berada di istana Ceng-te-kiong, Coh Hen Hong telah mempelajari beberapa macam jurus aneh yang sukar diduga orang. Baru Ting Tay Ging menarik kedua tangannya kebelakang, Coh Hen Hong secepat kilat sudah selentikkan kedua supit ke punggung Ting Tay Ging.

Pada saat pertama kail menyerang tadi Ting Tay Ging telah mengerahkan delapan bagian tenaga- dalamnya. Maka waktu kedua sumpit mengenai punggungnya terdengarlah bunyi peletek seperti membentur baja. Sumpit putus dan mencelat ke udara.

Tetapi setelah mengalami peristiwa yang mengejutkan itu, sejenak Ting Tay Ging pun tertegun dan terpesona akan kesaktian Coh Hen Hong.

Hanya sejenak tetapi sudah cukup untuk mengirim jiwa Ting Tay Ging ke neraka. Poci arak yang terbuat dari kumala di tangan kanan Coh Hen Hong, telah ditekannya ke ubun-ubun kepala Ting Tay Ging dan melesek masuk hampir setengah bagian.

Tiag Tay Ging terhuyung mundur tiga langkah.

Tangannya menyambar sebuah tiang kayu yang besar. Tangan yang mencengkeram itu melesek kedalam batang tiang. Tubuhnya tak henti- hentinya menggigil keras.

Poci kumala yang melesek masuk kedalam ubun- ubun kepalanya, mengalirkan darah dan cairan otak.

Sekalian hadirin adalah tokoh-tokoh yang sudah sering terlibat dalam partempuran berdarah.

Pembunuhan merupakan hal yang biasa bagi mereka. Tetapi menyaksikan kematian Ting Tay Ging yang begitu luar biasa mengerikan, memang baru pertama kali itu. Beberapa tokoh yang nyalinya kecil segera muntah.

Melihat itu pengaruh arak lenyap dari benak Coh Hen Hong. Dia berkata kepada dirinya sendiri, “Ah, sebenarnya tak perlu harus membunuhnya.

Tetapi hanya sekejab saja rasa sesal itu datangnya dan pada lain kejab sudah lenyap.

Saat itu sekalian hadirin menahan napas tak berani bersuara. Beberapa orang yang muntah muntah tadi cepat ditutuk jalandarahnya oleh kawannya supaya berhenti muntah. Mereka kuatir akan kesalahan pada Coh Hen Hong.

Ting Tay Ging sudah mati tetapi karena se-belum mati dia kerahkan tenaga mencengkeram tiang maka tubuhnya masih tetap tegak berdiri.

Setelah menenangkan diri maka Coh Hen Hong tertawa dingin, serunya, “Ting Tay Ging sudah mati, hm siapa yang akan menuntut balas?” Bahwa Ting Tay Ging mati secara tragis, sekalian hadirin menyaksikan semua . Tetapi tiada seorangpun tahu oleh sebab apa maka Coh Hen Hong sampai marah dan membunuhnya. Dan dengan jurus apakah Ting Tay Ging tadi telah kehilangan jiwanya,?

Ilmu kepandaian Ting Tay Ging memang menonjol sekali. Dalam dunia persilatan, namanya bergema laksana halilintar. Tetapi hanya dalam waktu beberapa kejab saja telah mati dengan cara yang mengenaskan. Sudah tentu tak ada seorangpun dari hadirin yang berani menyambut pertanyaan Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong mengulang sampai dua kali tetap tak ada orang yang menyahut. Dia lalu berseru, “Bagaimana dengan para pangcu Cap-it-pang? Aku telah membunuh pemimpin kalian, apakah kalian takkan menuntut balas?”

Karena pertanyaan itu ditujukan pada para ketua Cap-it-pang mau tak mau mereka harus menjawab. Wajah mereka pucat lesi dan saling pandang memandang. Saat itu baru tampak diantara mereka, seorang jago tua, berbangkit, “Menghaturkan maaf kepada siancu, kami tak mempunyai maksud begitu. Harap siancu mendapat tahu.”

Serentak beberapa pangcupun berdiri dan memberi peryataan serupa. Diantaranya hanya ada seorang Kera api Kiau Yan yang tiba-tiba menggembor keras dan loncat ke muka. Tring, dia benturkan kedua senjatanya yaitu sepasang thiat-kau (kera besi), lalu menyerbu Coh Hen Hong.

Tetapi sebelum dia sempat mendekat ke tempat Coh Hen Hong, seorang pangcu bernama Hong Jui, tiba-tiba mengayunkan tangannya wut, wut, wut. . .

.tiga batang hui-to melayang keras.

Kiau Yan sudah bertekad hendak mengadu jiwa dengan Coh Hen Hong. Dia menganggap perbuatan Coh Hen Hong terhadap Ting Tay Ging, terlalu kejam dan sewenang-wenang. Dia tak mengira kalau bakal diserang tiga batang hui-to oleh kawannya sendirl.

Ketika masih melayang diudara, Kiau Yan terkejut karena mendengar desing senjata melayang kearahnya, dia terkejut sekali dan terus berputar diri hendak lari. Tetapi sudah terlambat. Cret, cret. cret. .

. . tiga batang hui-to itu sudah lebih cepat menyusup ke tubuhnya. Kiau Yan menjerit keras. Dia masih coba berusaha meronta tetapi gerak berputar itu hanya menimbulkan semburan darah dari tubuhnya. Dan pada lain saat dia terus jatuh ke tanah. Sebelum jatuh, sebenarnya dia sudah melayang jiwanya.

Coh Hen Hong berpaling dan berkata kepa-da Hong Jui, “Ketiga batang hui-to, kau timpukkan dengan tepat sekali!”

Dengan wajah ketakutan, Hong Jui berbangkit, “Dihadapan paderi unjuk kepandaian membaca kitab suci. Hamba yang rendah sungguh tak tahu diri.”

“Mengapa engkau begitu merendah diri?” Coh hen Hong tertawa. Dia terus berpaling kearah para pangcu, “Siapa diantara kalian yang hendak tampil?”

“Tidak, Siancu,” serempak para pangcu berseru,” kami tak mempunyai maksud begitu. Kiau

Yan tak tahu diri dan cari kematian sendiri.” 

“Hai, desuh Coh Hen Hong,” tetapi kalian kalau tak punya pemimpin juga kurang layak Bagaimana kalau kupilihkan seorang ketua baru untuk kalian?”

Para pangcu itu saling melirik. Setelah kematian Ting Tay Ging sudah tentu mereka akan merebutkan kedudukan pangcu. Untuk memilih pangcu baru, memang tidak mudah dan harus melalui pemilihan yang cermat. Oleh karena Coh Hen Hong yang memilihkan, sudah tentu mereka tak berani menolak.

melihat mereka tak lekas menjawab, air muka Coh Hen Hong tampak mengerut gelap.

“Terima kasih atas kebaikan Suan Hong Siancu,” melihat gelagatnya tak baik, para pangcu serempak berseru.

Mendengar itu Coh Hen Hong tertawa lagi, “Yang kuusulkan sebagai ketua baru, adalah orang yang baik ilmu silatnya sakti, pun juga pribadinya terpilih. . .

Mendengar sampai disitu diam-diam hati para pangcu mendelu. Buat apa pakai peribadi baik segala, seperti orang yang hendak meminang?

Tiba-tiba Coh Hen Hong menunjuk pada Hong Jui “Yaitu dia, Siau-long-kun Hong Jui,” serunya.

Mendengar Itu, kecuali Hong Jui, Im Thian su dan tokoh-tokoh yang duduk sederetannya, semua hadirin menghembus napas kecut.

Memang dalam hal ilmusilat, Siau-long-kun Hong Jui tidak lemah. Tetapi peribadinya benar benar memperihatinkan sekali. Tindakannya selama ini hanya layak dilakukan oleh tokoh-tokoh yang derajatnya tergolong rendah. Bahkan dari golongan kaum hitam sendiri, juga memandang rendah kepadanva.

Pengaruh dan kekuatan perkumpulan Cap-it-pang di bengawan Hong-ho amat besar sekali. Banyak sekali tokoh-tokoh berbakat yang dimiliki persekutuan itu.

Kalau akan dipimpin seorang pangcu macam Hong Jui, benar-benar suatu hal yang menyakitkan hati.

Mendengar dirinya ditunjuk Coh Hen Hong, girang Hong Jui bukan kepalang. Sebagai seorang manusia yang licik, begitu memperhatikan tak ada diantara hadirin yang membuka suara menentang pengangkatan itu, dia segera berseru, “Terima kasih atas petunjuk siancu. Tetapi hamba yang rendah tidak becus apa-apa. Dikuatirkan saudara2 dari Cap-it-pang takkan patuh Kepadaku.”

Coh Hen Hong tertawa dingin “Aku yang memilih sekalipun anak kecil berumur 3 tahun pun dapat menjadi ketua Cap-it-pang Siapapun yang berani tak menurut, hayo, siapa?”

Kata terakhir dilantangkan dengan tenaga-dalam sehingga menggetarkan anak telinga setiap orang. Setelah kumandang itu sirap, tetap tak ada yang berani membuka suara.

“Hm,” Desuh Coh Hen Hong, “karena tak ada yang menentang, mengapa kalian tak segera memberi selamat kepada ketua baru?” Para pangcu Itu pecah nyalinya. Mereka masih ngeri melihat mayat Ting Tay Ging dan Kiau Yan yang masih menggeletak disitu Serempak mereka berdiri dan berjajar-jajar.

“Mohon cong-pangcu berkenan menerima penghormatan kami,” salah seorang berkata

Hong Jui tertawa gelak-gelak. Ah, harap saudara saudara jangan banyak peradatan.”

Sambil berkata dia mengawasi pakaiannya dan dengan langkah bergoyang gontai segera keluar. Begitu keluar, dia tidak lantas menghampiri para pangcu tetapi lebih dulu menghadap Coh Hen Hong dan memberi hormat, “Terima kasih siancu, atas pengangkatan diriku.”

Memang sudah beberapa waktu Coh Hen Hong bergaul dengan Hong Jui. Kedua sudah akrab.

Sekarang tiba-tiba Hong Jui memberi hormat secara serius, Coh Hen Hong cibirkan bibir, “Lekas terima penghormatan mereka. Setelah itu engkau secara resmi menjadi ketua Cap-it-pang. Suruh orang mengangkut pergi kedua mayat itu nantl kita lanjutkan minum dengan gembira lagi.”

Dengan sikap menghormat, Hong Jui mengiakan. Begitu mundur dari hadapan Coh Hen Hong, sikap Hong Jui sudah lain. Dengan lagak congkak, dia busungkan dada seraya tertawa bangga. Lebhb dulu dia menghadap ke empat penjuru untuk balas memberi hormat.

“Dalam memangku jabatan sebagai ketua Cap-it- pang yang baru, kumohon para sahabat dunia persilatan dari manapun saja, suka memberi bantuan agar tidak mengecewakan harapan Suan Hong siancu,” katanya.

Sebenarnya dalam hati sekalian orang muak terhadap sikap Hong Jui tetapi Hong Jui tak ambil pusing. Yang penting dia sekarang telah menjadi ketua baru Cap-it-pang. Barang siapa tak menurut perintahnya, akan dibunuhnya.

Kemudian kepada para pangcu, dia berkata, “Hwat- kau Kiau Yan sudah meninggal seharusnya diganti dengan lain orang. Saat itu kelak kita bicarakan dalam kesempatan lain. Sekarang baiklah kalian sekarang satu per satu melakukan penghormatan.”

Para pangcu benar-benar meledak dadanya. Me- reka diam saja tak bergerak. Melihat itu berubahlah wajah Hong Jui, serunya. “Apakah kalian tetap tak mau menjalankan peradatan?”

Para pangcu menghela napas dan dengan terpaksa mereka maju satu persatu memberi hormat kepada Hong Jui. Dia berdiri tegak menerima penghormatan mereka.

Selesai upacara penghormatan itu, Coh Hen Hong suruh orang-orang untuk mengangkut mayat Ting Tay Ging dan Kiau Yan lalu suruh melanjutkan pesta lagi.

Dalam keadaan itu sudah tentu banyak orang yang berkurang seleranya. Tetapi golongan yang sehaluan dengan Hong Jui sudah tentu makin bergembira ria.

Kembang api dipasang. Cakrawala hitam menjadi terang benderang dengan berbagai bentuk kembang api warna warni. Sebenarnya kembang api itu memang telah disiapkan Ting Tay Ging sebulan yang lalu. Dia suruh orang untuk membeli dan pesan kemana mana. Tetapi pada saat kembang api meluncur ke udara, Ting Tay Ging sudah menjadi mayat. Mungkin Ting Tay Ging sendiri, tak pernah menduga sampai disitu.

Sekarang mari kita ikuti perjalanan Pui Tiok dan Beng Cu. Kedua anak muda itu melanjutkan larinya dengan pesat, Mereka seperti di kejar setan.

“Beng Cu,” kata Pui Tiok,” kita tinggalkan kedok kulit kita. Kalau Ting Tay Ging memerintahkan anak buahnya mengejar kita, dia tentu memberi keterangan tentang bentuk wajah kita seperti kedok kulit itu.”

Setelah membuka kedok mereka, keduanya menuju ke timur. Dua hari kemudian pada waktu

tengah hari, mereka tiba disebuah kota yang agak besar. Waktu berjalan, mereka melewati sebuah kantor piaukiok. Tampak di pintu kantor pengangkutan barang itu berkerumun banyak orang. Mereka tengah berbincang bincang dengan getol sekali.

Sebenarnya Pui Tiok tak ingin mendengarkan pembicaraan orang. Tetapi waktu melintas didepan kantor itu, terdengar seorang lelaki berseru dengan suara yang keras bernada penasaran, “Sungguh tak kira kalau Ting Tay Ging yang begitu mati-matian mengadakan sambutan besar-besaran malah harus mati di pesta perjamuan!”

Mendengar itu kejut Pui Tiok dan Beng Cu bukan kepalang. Pikir mereka, ah orang itu tentu ngoceh seenak sendiri saja. Mana mungkin Ting Tay Ging mati.

Tetapi Pui Tiok menyadari bahwa kota itu masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Cap it-pang. Kalau Ting Tay Ging tidak mati sungguh, mana orang itu berani bicara sembarangan? Tertarik akan hal itu, Pui Tiok dan Beng Cu hentikan langkah.

“Benar,” kata salah seorang yang lain,” kabar-nya pada saat itu Suan Hong siancu lantas menunjuk Siau- long-kun Hong Jui sebagai ketua Cap-it-pang.”

Yang seorang lagi menghela napas, “Si Hong Jui orang itu, ah, sungguh. . . . sungguh ”

Jelas dia tak berani menilai Hong Jui secara terus terang, Bahkan kata-kata orang itu tak dilanjut-kan karena takut dan hanya berkata seperti orang putus asa, “Kami semua ini, entah bagaimana nanti.”

Mendengar pernyataan itu yang lain2 juga tak berani berkata apa 2. Wajah mereka mengerut.

Pui Tiok dan Beng Cu bergegas melanjutkan langkah lagi. Mereka bingung memikirkan pembicaraan orang tadi. Mereka merasa bahwa kematian Ting Tay Ging itu tentu ada hubungannya dengan lolosnya mereka.

Teringat akan sifat Ting Tay Ging yang begitu hina, sudah tentu Pui Tiok dan Beng Cu tak senang kepadanya. Tetapi diam-diam kedua anak muda itu terkejut juga. Dengan peristiwa itu. tentulah Coh Hen Hong akan tahu jejak mereka berdua. Siapa tahu saat itu mereka sedang dikejar anak- buah Cap-it-pang. Membayangkan hal itu, Pui Tiok terus menarik tangan Beng Cu untuk diajak berjalan cepat. Tiba-tiba di muka sebuah rumah makan mereka lalu masuk. Baru saja mereka duduk, dijalan besar terdengar derap lari kuda yang riuh. Lima enam ekor kuda tiba di muka pintu rumah makan dan berhenti.

Salah seorang penunggangnya berkata kepada kawan-kawannya,” kita berhenti makan dulu disini. Disuruh mencari seorang pria dan seorang wanita tanpa ciri penunjuk apa-apa, tidak mudah. Kalau berhenti sebentar rasanya tak apa.”

Beberapa orang rombongannya serempak menjawab, “Ya, pangcu.” Merekapun segera turun dari kuda dan masuk kedalam rumah makan.

Sudah tentu Pui Tiok dan Beng Cu kelabakan setengah mati. Rombongan orang berkuda itu jelas anak buah Cap it pang yang diperintah untuk mengejar mereka. Buru-buru Pui Tiok dan Beng Cu berbalik diri lalu masuk kedalam ruang-dalam, terus ke ruang besar dan tiba di halaman tengah baru mereka menghela napas longgar.

Semetara di ruang muka terdengar pengurus rumah makan sedang menyambut kedatangan rombongan orang berkuda itu. “Mereka jelas hendak mencari kita,” kata Beng Cu.

“Ya,” Pui Tiok mengangguk,” rasanya. kalau kita melanjutkan perjalanan, tentu akan kepergok mereka, lebih baik. . . . lebih baik. . . Walaupun tahu melanjutkan perjalanan tentu akan kepergok tetapi Pui Tiok tak tahu cara bagaimana harus menyelamatkan diri dari kejaran mereka.

Tiba-tiba dia melihat seorang jongos berjalan mendatangi. Pui Tiok hendak memanggilnya tetapi jongos itu cepat sekali sudah datang dihadapannya. Pui Tiok terkejut dan cepat hendak menarik Beng Cu ke belakang tetapi jongos itu sudah memandang Pui Tiok dan memberi kicupan mata seraya berbisik, ” Kongcu, akulah.”

Pui Tiok mendesuh pelahan, “Ah, Kat tong-cu, kiranya engkau. Mengapa engkau disini?”

Ternyata jongos itu bukan lain adalah ketua paseban Jin-siu-tong dari Peh-hoa-kau yani Kui-yah-cu (Setan-seriti ) Kat Jiong.

“Disini kurang leluasa bicara. Ikut aku,” bisik Kat Jiong.

Dia berputar tubuh dan Pui Tiok, Beng Cu mengikuti di belakangnya. Mereka menuju ke gudang tempat penyimpanan kayu bakar di kandang kuda.

Kat Jiong menutup pintunya dan berkata “Kongcu, sungguh hebat sekali kalian dapat sarang iblis itu.”

Teringat akan peristiwa itu, Pui Tiok juga heran sendiri, “Ya, Itu banyak karena masih bernasib baik saja. Apakah engkau tahu jalan yang aman bagi kami berdua?”

“Silakan mendekat kemari,” bisik Kat Jiong Pui Tiok dan Beng Cu maju mendekat karena ingin tahu apa yang akan dikatakan Kat Jiong. Tetapi sekonyong- konyong Kat Jiong menerkam dengan kedua tangannya. Dengan jempol jari dia menutuk jalandarah Ki-bun-hiat di iga kedua anak muda itu.

Gerakan Kat Jiong itu dilakukan cepat sekali dan tak terduga-duga. Kat Jiong memiliki ilmu-silat yang tinggi, pun andakata kepandaiannya lebih rendah dari Pui Tiok, pun serangan mendadak itu juga sukar dihindari Pui Tiok yang sama sekali tak menyangka- nyangka.

Crek, crek. . . ketika iga mereka terbentur dengan jempol tangan Kat Jiong, Pui Tiok dan Beng cu seperti terlontar ke alam impian. Bluk bluk, kedua anakmuda itupun rubuh ke tumpukan kayu bakar.

Saat itu karena tertu.uk jalandarahnya Pui Tiok dan Beng cu tak dapat berkutik dan bicara. Hanya dalam hati mereka terkejut dan heran atas perbuatan Kat Jiong itu. Hampir mereka tak percaya kalau Kat Jiong akan mencelakai diri mereka. Tetapi ternyata telah berbicara lain.

Setelah menyadari apa yang terjadi, Pui Tiok kaget dan marah. Dia hendak meminta keterangan mengapa Kat Jiong sampai berbuat hianat begitu tetapi tak dapat mengeluarkan suara. Dia tak dapat berbuat

apa-apa kecuali hanya mengharap, mudah-mudahan tindakan Kat Jiong itu tidak mengandung maksud buruk saja.

Tetapi harapan tinggal harapan kosong belaka.

Setelah dapat merubuhkan kedua anakmuda itu, Kat Jiong sangat gembira sekali. Dia mundur dua langkah ke pintu dan berkata, “Pui kongcu, jangan sesalkan aku.”

Walaupun tak dapat bicara tetapi dengan pandang mata yang tak berkedip, Pui Tiok seperti minta pertanggungan jawab Kat Jiong. Sepasang mata Pui Tiok melotot seperti memancarkan api. Kat Jiong tertawa, “Pui kongcu, tak perlu menyesali aku. Kata orang, setiap manusia itu

tentu akan berjalan maju ke depan. Kurasa engkau tentu tahu artinya. Engkau seorang pintar.”

Dalam hati Pui Tiok mendamprat, “Hm, engkaukan sudah jadi salah seorang toa-tongcu dalam Peh-hoa- kau. Apakah kedudukanmu itu masih kurang tinggi? Apa maksudmu menutuk jalan darah kami berdua?”

Sebenarnya Pui Tiok sudah dapat menduga apa tujuan Kat Jiong. Tetapi dia tak berani membayangkan lebih lanjut.

Kat Jiong tertawa sinis. “Sekarang dunia persilatan ini dikuasai siapa, rasanya kalian tentu sudah tahu.

Suan Hong siancu mengatakan, siapa saja yang dapat menangkap dan menyerahkan kalian berdua ke hadapannya, tentu akan mendapat penghargaan besar. Pui kongcu, mengertikah engkau sekarang?”

Pui Tiok menghela napas dalam hati. Kalau tadi dia tak berani membayangkan maksud tlndakan orang, sekarang Kat Jiong sendiri sudah memberi keterangan, Mendengar Itu perasaan Pui Tiok malah tenang. Dia tertawa rawan dalam hati. Coh Hen Hong memang pandai mengatur siasat dan Pui Tiok tak dapat menyalahkan Kat Jiong. Menilik kekuasaan dan pengaruh Coh Hen Hong dalam dunia

Asal dia bilang, barang siapa yang dapat me- nangkap dia (Pui Tiok) dengan Beng Cu akan di -balas saja, berarti dia dan Beng Cu sudah secara. otomatis menjadi buronan dalam dunia persilatan.

Kat Jiong tertawa, “Pui kongcu, sekalipun aku tidak turun tangan tetapi engkaupun tentu tak dapat lolos lagi. Heh, heh, kata orang air tentu akan mengalir ke sawah orang. Aku berpegang pada dalih kata-kata itu saja.”

Pui Tiok pejamkan mata, demikian Beng Cu.

Sekonyong-konyong mereka rasakan ada suatu benda halus dan lunak telah menyelubungi tubuh mereka.

Pui Tiok terkejut dan cepat membuka mata. Tetapi pandang matanya gelap sama sekali. Dia makin kaget. Tentulah dirinya dimasukkan kedalam karung yang tebal sehingga dia tak dapat melihat apa-apa lagi.

Dia tahu Kat Jiong tentu akan membawanya kepada Coh Hen Hong. Saat itu Pui Tiok benar-benar

seperti ikan yang menggelepar gelepar diatas pasir.

Sejak saat itu dia hanya mendengar suara berderak-derak dari roda kereta. Entah berselang berapa lama dia baru merasa kereta itu berhenti. Menurut perhitungan Pui Tiok, perjalanan itu memakan waktu sehari. Begitu berhenti segera terdengar suara orang yang amat berbisik. Dan Kat Jiong lalu berseru, “Harap dilaporkan kepada Suan Hong siancu, kepala paseban Siu-tong dari Peh-hoa-kau, Kui-yan cu Kat Jiong, hendak mohon menghadap karena ada urusan penting.”

“Harap tunggu,” kata seseorang. Dan tak berapa lama kembali terdengar suara orang mempersilahkan Kat Jiong.

Sementara Pui Tiok rasakan tubuhnya seperti diangkat dan di bawa jalan. Entah kemana. Beberapa saat kemudian, keadaan menjadi sunyi dan kembali Kat Jiong berkata, “Kui yan-cu Kat Jiong, menghaturkan hormat kepada siancu.

Kemudian terdengar suara Coh Hen Hong, Nada amat congkak dan angkuh sekali, “Ada urusan apa? Berhadapan dengan aku mengapa tidak memberi hormat?”

Suasana sunyi. Rupanya Kat Jiong tertegun. mendengar kata-kata yang tak disangka akan diucapkan Coh Hen Hong. Diam-diam Pui Tiok gembira. Dia duga Kat Jiong tentu akan meletakkan, dirlnya. Bluk. . . terdengar Kat Jiong jatuhkan diri memberi hormat kepada Coh Hen Hong.

“Engkau datang kemari perlu apa?” tegur Coh Hen Hong dengan nada yang agak ramah.

Kat Jiong tertawa meringis, “Hatur beritahu kepada siancu bahwa di dalam karung kulit kerbau ini terisi dua orang yalah orang yang siancu kehendaki. Sengaja hamba datang kemari untuk menghaturkan kehadapan siancu.”

“Betul? Lekas buka!” teriak Coh Hen Hong dengan gembira.

“Baik, hamba akan laksanakan perintah, “Kat Jiong gopoh menyambut.

“Tunggu,” tiba-tiba terdengar sebuah bentakan,” siancu, orang ini adalah salah seorang ketua tong-cu dari Peh-hoa-kau. Orang yang siancu kehendaki, diantaranya adalah putera dari ketua Peh-hoa-kau. Mana mungkin dia akan menyerahkan putera dari ketua perkumpulannya? Mungkin hanya satu perangkap belaka,”

“Betulkah begitu?” Coh Hen Hong menegas. Coh Hen Hong hanya menegas dan belum tentu setuju akan kata-kata orang tadi tetapi Kat Jiong sudah gemetar.

“Harap siancu berkenan menerima persembahan Kami. Sekalipun Kami makan hati macan tutul dan empedu macan gembong, tak mungkin kami berani membohongi siancu,” kata Kat Jiong dengan terbata- bata.

“Lalu cara bagaimana engkau dapat menangkap putera dari ketua kamu?” tegur Coh Hen Hong.

Hati Kat Jiong berdebar debar, katanya, “Kata orang berjalan harus mendaki ke atas, air mengalir kebawah. Sian-cu mempunyai wibawa yang tersiar sampai ke empat lautan. Peh-hoa-kau tak ada artinya kalau di banding dengan ke wibawaan siancu. Kami rela menjadi hamba siancu dari pada menjadi tongcu Peh-hoa-kau!”

Mendengar pernyataan Kat Jiong yang begitu menjilat pantat, Pui Tiok marah sekali. Tetapi dia memperhatikan bahwa nada suara Kat Jiong begitu gemetar, jelas kalau orang itu dicengkam ketakutan.

Pui Tiok menghela napas dalam hati. Ah, memang manusia di dunia kebanyakan seperti mentalitet Kat Jiong. Mudah berbalik pikiran untuk ikut pada yang kuat dan berkuasa. Sudah lumrah kalau Kat Jiong begitu ketakutan setengah mati dan mau merendahkan diri untuk berhamba kepada Coh Hen Hong, cucu dari Ceng-te, tokoh yang paling dltakuti dunia persilatan.

Ya, itu memang manusiawi, akhirnya Pui Tiok menghibur diri.

Terdengar Coh Hen Hong mendesuh, “Uh, kata- kata-mu itu memang beralasan. Hong cong-pangcu, kuminta orang ini supaya engkau masukkan dalam Cap-it-pang. Beri dia kedudukan yang tinggi, sebaiknya sebagai wakilmu. Bawa dia keluar dan aturlah!”

Girang Kat Jiong bukan alang kepalang. Dia bergegas menghaturkan terima kasih. Dia jatuhkan diri berlutut dihadapan Coh Hen Hong.

Pada lain saat Coh Hon Hong berseru, “Kalian jangan pergi dulu. Sebelum mendapat perintahku, jangan ada yang tinggalkan tempat ini.” Ternyata perintah itu ditujukan pada lebih kurang 20-an pangcu yang berada disitu. Mereka. serempak mengiakan. Suasana bening seketika.

Beberapa saat kemudian Pui Tiok mendengar Coh Hen Hong tertawa dingin dan tahu-tahu suara tawa itu berada di sampingnya Diam-diam Pui Tiok menggigil.

Cret. . . tiba-tiba karung yang terbuat dari kulit kerbau itu tergurat pecah. Pui Tiok sempat memperhatikan bahwa pecahnya karung kulit itu disebabkan karena digurat kuku Coh Hen Hong.

Pui Tiok makin tegang sekali. Jelas selama beberapa tahun memalsu sebagai Kwan Beng Cu, Coh Hen Hong telah berhasil mempelajari ilmu silat yang sakti.

Mengenai kesaktian Coh Hen Hong, selama ini Pui Tiok hanya mendengar dari kabar cerita orang persilatan saja. Tetapi sekarang, dia benar-benar telah melihat dengan mata kepala sendiri. Kulit Kerbau itu tak kurang dari lima mili tebalnya. Amat kokoh sekali. Tetapi sekali gurat dengan kukunya, Coh Hen Hong dapat memecahkannya. Ilmu kepandaian itu sungguh menakjubkan sekali.

Pui Tiok segera mendapat kesan. Jangankan saat itu dia tak berkutik karena ditutuk jalan-darahnya. Sekalipun dia dapat bergerak bebas, tetapi bukan lawan dari Coh Hen Hong.

Uh, karena sudah sekian lama disekap dalam karung gelap maka begitu beronjol keluar matanya silau. Dia cepat pejamkan mata. Beberapa saat ketika membuka mata. dia dapat melihat jelas keadaan dihadapannya. Coh Hen Hong tidak berada disampingnya tetapi sudah duduk di sebuah kursi kebesaran yang terpisah satu tombak dari tempatnya.

Coh Hen Hong mengenakan pakaian yang indah mewah. Ternyata pakaiannya itu terbuat dari bulu merak yang dianyam indah sekali. Rambutnya menyunting sebutir mutiara kemilau yang besar. Juga pakaiannya penuh bertabur dengan ratna mutu manikam yang tak terhitung jumlahnya. Pada kanan kiri pinggangnya masing-masing menyelip sebatang pedang.

Dari kursi kebesaran, Coh Hen Hong memandang Pui Tiok yang masih tertutuk jalan darahnya. Coh Hen Hong tertawa menyeringai. Melihat itu Pui Tiok marah dan deliki mata kepadanya.

Beberapa saat kemudian baru terdengar Coh Hen Hong tertawa, “Pui kongcu, kita bertemu kembali.

Benar-benar tepat yang dikatakan orang bahwa manusia hidup itu disetiap tempat dan saat akan bertemu.”

Karena jalan darahnya tertutuk, Pui Tiok tak dapat berkutik dan bersuara. Setelah Coh Hen Hong bicara, sebenarnya Pui Tiok terus hendak meram tak mau menggubrisnya. Tetapi tiba tiba nona itu menyelentik, siut setiup angin melanda tubuh Pui Tiok. Pui Tiok

rasakan tubuhnya longgar dan Jalan darahnya yang tertutukpun terbuka kembali. Dia menekan tanah dan melenting bangun.

Ternyata Coh Hen Hong telah membuka jalan darahnya yang tertutuk. Suatu hal yang tak pernah diduga Pui Tiok. Pui Tiok berdiri tegak. “Pui kongcu’kata Coh Hen Hong,” beberapa tabun yang lalu ketika berpisah dengan engkau, engkau seorang yang pandai bicara. Tetapi mengapa saat ini membisu saja. Apakah engkau menyesal karena terjadi hal seperti saat ini?”

Pui Tiok tenangkan diri dan menjawab, “Be-berapa tahun ini engkau telah mendapat banyak keuntungan. Asal tak ingin asal usul dirimu diketahui orang, mengapa engkau tak lekas-lekas menyembunyikan diri keseberang lautan?”

Coh Hen Hong kerutkan sepasang alis, seru-nya,” Betulkah itu? Siapakah diriku ini? Aku hanya tahu kalau aku ini cucu perempuan dari Ceng te. Seluruh dunia juga tahu tentang diriku. Lalu engkau mau memfitnah aku bagaimana.

Serentak darah Pui Tiok naik keatas kepala dan berteriaklah dia sekeras-kerasnya, “Engkau benar- benar tak tahu malu Apakah cucu perempuan dari Cengte itu engkau? Engkau, hanya anak haram hasil hubungan gelap Kwan Pek Hong dengan wanita kurang waras itu!” 

Sebenarnya Pui Tiok tak mau bicara begitu keras tetapi saat itu ia benar-benar tak dapat menguasai diri. dia ingin menumpahkan penderitaannya. Coh Hen Hong juga menderita batin. Bagaimana reaksi Coh Hen Hong setelah nanti tertusuk perasaannya, Pui Tiok tak mau menghiraukan lebih lanjut.

Benar juga begitu mendengar kata-kata ‘anak haram’ dari mulut Pui Tiok, seketika wajah Coh Hen Hong berubah gelap. Dia tersenyum Sadis dan berseru, “Coba engkau ulangi kata-katamu itu sekali lagi!”

Nada suara Coh Hen Hong begitu serarn sehingga Pui Tiok sampai gemetar. Tetapi dia juga

seorang pemuda yang keras kepala. Dulu ketika hendak menyelundup ke gedung keluarga Kwan Pek Hong untuk menculik Kwan Beng Cu, walaupun gagal dan tertangkap tetapi dia tetap pantang mundur.

Demikian seperti saat itu. Walaupun dia sudah tahu kalau bakal menghadapi bahaya tetapi dia tak sudi tunduk pada Coh Hen Hong. Dia tertawa panjang.

“Tidak hanya satu kali tetapi akan ku ulang sampai tiga kali ‘anak haram, anak haram, engkau adalah anak haram’!” serunya dengan berani.

Wut, Coh Hen Hong serentak berbangkit. Karena gerakkannya amat cepat maka ratna mutiara yang menghias pakaiannya saling berbentur dan mengeluarkan dering suara yang berdenting-denting.

Dengan wajah membesi Coh Hen Hong melangkah maju. Setelah tiba di muka Pui Tiok lalu membentaknya, “Berlutut!”

Pui Tiok mengangkat kepala dan menyahut dengan angkuh, “Dibawah lutut seorang lelaki itu terdapat emas, mana sudi berlutut dihadapanmu seorang anak haram yang berani mati telah memalsu nama orang!”

Coh Hen Hong tertawa sinis, “Engkau tidak mau berlutut?” Pui Tiok tertawa dingin sebagai tanda Ja-wabannya.

Tiba-tiba Coh Hen Hong ulurkan tangan menekan bahu Pui Tiok. Sebenarnya Pui Tiok sudah berjaga- jaga. Apabila Coh Hen Hong turun tangan, dia nekad hendak menyerangnya. Tetapi ternyata gerak tangan Coh Hen Hong terlampau cepat untuk memberi kesempatan kepada Pui Tiok melaksanakan rencananya.

Coh Hen Hong menekan dengan tenaga-dalam Pui Tiok hendak menolak tetapi mana mampu. Makin lama tekanan tangan Coh hen Hong itu makin terasa berat dan mau tak mau dia harus menurut perintah. Tetapi dia tetap berkeras. tubuh ditegakkan lurus dan gerahampun dikatupkan sekencang-kencangnya.

Dahinya mengucurkan berbutir-butir keringat dan telinganyapun mulai mendenging-denging.

“Engkau mau berlutut atau tidak,” tiba-tiba Coh Hen Hong menegurnya lagi.

Pui Tiok kerahkan segenap sisa tenaga-dalam dan berteriak keras, “Huh!”

Habis berteriak, Pui Tiok rasakan kalau tak kuat bertahan lagi tetapi dia pantang menyerah.

Bagaimanapun halnya, tak sudi dia berlutut dihadapan Coh Hen Hong.

Pui Tiok memang keras kepala. Tiba-tiba tubuh-nya rubuh tengkurap ke muka. Tekanan pada bahunya begitu kuat sekali. Kalau dia terlentang ke belakang, dia tentu harus menekuk lututnya dan berarti menurut perintah Coh Hen Hong. Tetapi waktu dia tengkurap ke muka, tekanan pada bahunya beralih kearah kedua lututnya. Jelas Coh Hen Hong memaksanya harus berlutut. Namun Pui Tiok tetap bertahan. Krek, krek. . . terdengar dua buah bunyi tulang patah. Dan menyusul dengan suara itu, rubuhlah Pui Tiok. Tetapi dia tak berlutut melainkan rubuh pingsan karena tulangnya patah itu.

Coh Hen Hong tertegun dan mundur selangkah lalu duduk kembali di kursi kebesaran. Cahaya wajah sukar dirubah. Saat itu terjadi pertentangan dalam hatinya.

Kalau mau, sekali ayunkan tangan, dapatlah dia membunuh Pui Tiok. Tetapi dia merasa penasaran karena ada sesuatu yang tak tercapai. Saat itu dia berada dalam puncak kekuasaan. Ibarat mau menghendaki angin atau hujan, pasti akan terlaksana. Dia dapat menebus semua penderitaan yang dideritanya ketika masih kecil. Tetapi nyatanya, dia tadi tak mampu memaksa Pui Tiok berlutut di hadapannya.

Kalau saat itu dia menghantam Pui Tiok, Pui Tiok tentu mati. Jelas. Tetapi apa gunanya? Bukankah hal itu tak dapat mengobati kemengkalan hatinya karena tak dapat memaksa anak muda itu berlutut dihadapannya? Dia menginginkan Pui Tiok berlutut dihadapannya sebagaimana setiap to-koh persilatan yang bertemu dengan dia.

Tiba-tiba Coh Hen Hong tersenyum sadis dan berseru, “Hong cong-pangcu!”

Karena tenaga-dalamnya sakti maka teriakan. Itu bergema sampai jauh. Dan seketika terdengarlah Hong Jui mengiakan. Pada hal suara Hong Jui terdengar dari jauh. Begitu dia menjawab, orangnyapun sudah tiba di depan pintu.

“Masuklah,” kata Coh Hen Hong. Dengan sikap menghormat, Hong Jui melangkah masuk, “Siancu hendak memberi perintah apa?”

“Apakah disini ada sinshe yang pandai? Orang itu tulang betisnya patah. Kuingin supaya lekas disembuhkan.”

Hong Jui berpaling memandang Pui Tiok. Walaupun pingsan tetapi keringat pada dahi Pui Tiok masih bercucuran. Diam-diam Hong Jui atas perintah Coh Hen Hong tadi tetapi dia tak berani banyak bertanya.

“O, mudah,” katanya, “Han Siang Seng lo-enghiong, ahli dalam menyambung tulang patah.”

“Bagus,” seru Coh Hen Hong, “bawa dia keluar dan serahkan kepada orang she Han supaya diobati.”

Hong Jui mengiakan dan terus membawa Pui Tiok keluar. Setelah beberapa saat duduk, Coh Hen Hong baru bangkit dan menghampiri pada karung yang lain. Diapun menggurat dengan kukunya pada karung itu. Setelah pecah dia lalu menarik keluar Beng Cu. Waktu menarik, dia gunakan tenaga-dalam untuk menekan jalan darah Beng Cu sehingga Beng Cu dapat mengerang. Coh Hen Hong meletakkan nona itu.

Beng Cu terhuyung huyung tak dapat berdiri tegak.

Tangannya menekan sebuah kursi baru dia dapat berdiri tegak. Dia menghela napas. “Apa engkau baik-baik saja?” tegur Coh Hen Hong, “beberapa tahun tak ketemu sekarang kita sudah sama besar.”

Beng Cu hanya cibirkan bibir tak menyahut.

Wajahnya pucat lesi dan tubuh gemetar.

Kembali Coh Hen Hong tertawa, “Mengapa engkau begitu ketakutan? Apakah takut kalau kubunuh?”

Dada Beng Cu berkembang kempis karena napasnya terengah engah, “Engkau. . . apakan Pui toako?”

Mendengar itu dendam dalam hati Coh Hen Hong makin berkembang. Dia tertawa dingin, “Engkau tidak memikirkan kepentingan dirimu, hanya memikirkan Pui Tiok saja. Heh, heh, hubungan batin kalian sungguh hebat.”

Dengan terengah-engah Bing Cu berkata, “Nona Coh, engkau memalsu jadi diriku. Soal itu aku dan Pui toako tak mau membuka rahasiamu. Engkau boleh tenangkan pikiranmu. Lebih baik engkau lepaskan kami dan urusan inipun takkan diketahui orang selama lamanya.” 

Coh Hen Hong tertawa dingin, “Apa artunya omonganmu itu? Apakah kalau kubunuh kalian, malah kalian akan dapat membuka rahasia diriku?”

“Hal itu sukar dipastikan,” jawab Beng Cu. “engkau memang dapat membunuh kami berdua.

tetapi engkau tak mungkin dapat membungkam mulut orang. Apabila hal ini sampai tersiar luas, tentu akan terdengar sampai ke Ceng-te-kiong.”

Wajah Coh Hen Hong berobah, “Apa maksudmu?” serunya.

Seumur hidup belum pernah Beng Cu bicara bohong. Tetapi saat itu dia terpaksa harus merangkai cerita bohong Karena tak biasa maka hatinya tegang sekali. Untung kulit mukanya putih sehingga Coh Hen Hong tak sempat memperhatikan perobahan dari airmuka nona itu.

“Peristiwa tentang diriku telah kami tulis dan tutup dalam Sampul dan kami berikan pada tokoh 2 dari kalangan vihara dan kuil. Begitu berita kematian kami tersiar, tentulah mereka akan membuka surat dalam sampul tertutup itu.”

Sudah tentu Coh Hen Hong marah mendengar kata- kata Beng Cu itu. Tetapi diam-diam dia juga merasa agak takut juga.

“Takut apal” serunya sambil tertawa mengejek. “Lain orang tentu saja engkau tak takut” jawab Beng Cu.” tetapi apakah engkau tak takut kepada engkongku? Kalau beliau orang tua tahu engkau memalsu diriku dan bahkan telah membunuhku, kurasa apakah beliau akan tinggal diam saja?”

Coh Hen Hong tertegun. Sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjawab. Memang dia tak takut segala apa tetapi didunia ini masih ada satu orang yang ia takuti yalah Ceng-te. ilmu kepandaiaanya masih kalah jauh dengan Ceng te. Maka mau tak mau dia terpaksa masih takut juga. 

Beberapa saat kemudian ia tertawa mengekeh “Engkau kira dapat mengertak aku?”

memang nada suaranya garang tetapi kalau diperhatikan agak mengandung getar2 ketakutan. Hal itu tak lepas dari perhatian Beng Cu. Nona itu bangkit nyalinya.

“Kedudukan sekarang kan sudah mencapai puncak?

Mengapa engkau hendak cari jalan keruntuhan?” serunya.

Coh Hen Hong mundur beberapa langkah. Dengan mata dingin dia memandang Beng Cu. Entah dia tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Sejak beberapa tahun baru pada saat itu dia merasakan sesuatu dalam hatinya suatu yang paling mengganjel dalam hatinya.

Ya, kini dia baru menyadari bahwa musuh utamanya bukan Beng Cu dan Pui Tiok tetap Ceng-te sendiri.

Dia kembali duduk di kursi. Pikirannya bergolak keras. Dia seperti kehilangan faham.

Kalau dia membunuh Beng Cu dan kelak terdengar Ceng-te, tentulah dia tak dapat lolos dari kematian lagi. Lebih baik untuk sementara membiarkan Beng Cu hidup. Setelah nanti ia membereskan Ceng-te, barulah nanti menyelesaikan Beng Cu. Toh takkan terlambat.

Serentak dia mengulurkan tangan dan menuding. Setiup angin serentak menutuk jalan darah Beng Cu dan Coh Hen Hong membentak, “Hayo, mana ini orangnya, lekas bawa dia keluar dan tawan.

Segera terdengar orang menyahut dan melakukan perintah Coh Hen Hong.

Sementara itu Coh Hen Hong berjalan mondir- mandir sambil menggendong kedua tangan.

Sedang saat itu Pui Tiok setelah pingsan be-berapa lama, mulai siuman. Dia rasakan kedua betisnya seperti mati-rasa. Pikirannya juga limbung, tubuhnya seperti layang2 putus.

Waktu mulai sadar dia tak ingat apa yang telah terjadi tadi. Beberapa saat kemudian, barulah kesadarannya mulai pulih dan ingat peristiwa sebelum ia pingsan.

Mengapa kedua betisnya patah adalah karena dia tak mau bertekuk lutut dihadapan Coh Hen Hong.

Tiba-tiba dia menekan ke tanah hendak menggeliat duduk. Dia teringat bahwa kedua betisnya patah, mungkin dia akan cacat.

Tetapi baru dia menekan tanah, belum lagi duduk tiba-tiba dadanya ditekan sebuah tangan sehingga dia terpaksa terlentang lagi. Ternyata dia sedang rebah diatas ranjang kayu. Disamping ranjang itu duduk seorang tua kurus. Orang itulah yang menekan kan tangannya ke dada Pui Tiok.

Pui Tiok tak kenal siapa orang tua itu. Diapun heran mengapa kedua betisnya saat itu tidak terasa sakit sama sekali dan tidak terasa seperti mati-rasa. Tengah dia tertegun, orang tua itu berkata. “Aku orang she Han nama Sian Seng. Rebah saja dengan tenang, jangan sembarangan bergerak.”

“Ah, kiranya Han lo-sianseng, ahli menyam-bung tulang yang termasyhur di dunia,” seru Pui Tiok.

Orang tua itu memang seorang tokoh sesepuh dari aliran mistik di wilayah Oulam. Perkumpulan mistik atau Pay-kau memang merupakan sebuah organisasi rahasia di daerah tersebut.

Menurut ceritanya, perkumpulan Itu mempunyai banyak kwat su atau ahli ilmu gaib. Tetapi hal itu tidak benar. Yang nyata kaum itu memiliki tokoh-tokoh yang berbakat dan berkepandaian tinggi. Seperti Han Siang Seng, bukan saja dapat menyambung tulang yang patah, pun andaikata tulang remuk diapun dapat memulihkan kembali.

Maka ketika Pui Tiok tahu siapa tokoh yang dihadapannya, diam-diam dia merasa heran. Kalau tabib itu tidak disuruh Coh Hen Hong, tak nanti tabib itu berani datang untuk mengobatinya Terus tetapi mengapa Coh Hen Hong tidak membunuh dia ketika dia pingsan bahkan malah suruh Han Siang Seng untuk mengobatinya?

Ah, mungkin Coh Hen Hong benci setengah mati kepadanya sehingga ia tak menghendaki dia mati dengan cepat tetapi supaya Jangan sampai mati dulu karena hendak dibuat permainan seperti kucing mempermainkan tikus yang ditangkapnya? Merenungkan hal itu dan teringat akau kekejaman Coh Hen Hong mau tak mau menggigillah hati Pui Tiok.

Dahi tabib itu penuh dengan lipat kerut. Kedua tangannya pelahan-lahan mengurut dada Pui Tiok. Juga terutama pada kedua betisnya. Ketika Pui Tiok memandang ke bawah, baru dia tahu kalau kedua betisnya telah dibalut dengan kain putih.

Setelah mengurut beberapa saat baru Han Siang Seng berdiri dan berkata,”Rebah dan jangan bergerak dan dua hari kemudian tentu sembuh.

“Han lo-sianseng,” seru Pui Tiok,” siapakah yang menyuruh engkau mengobati aku ini? Aku sekarang berada di mana?”

Han Siang Seng tak menjawab kecuali memandang dingin lalu berputar tubuh dan melangkah keluar.

Memang nama tabib itu sangat terkenal sekali di dunia persilatan. Bahwa tabib itu tak mau menggubrisnya, Pui Tik pun tidak heran.

Sebenarnya Pui Tiok masih akan bertanya dimana Beng Cu. saat itu. Tetapi karena tabib itu sudah ngacir pergi, terpaksa Pui Tiok hanya dapat menghela napas dan lalu rebah diranjang sesuai dengan perintah tabib tadi.

Lewat beberapa waktu tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang mendatangi dan seseorang mendorong pintu dengan membawa piring, menghampiri ke ranjang Pui Tiok. Orang itu bertubuh kekar. Makanan yang dibawanya terdiri dari makanan dan arak yang istimewa.

“Tolong tanya kepada anda, apakah tahu… ” baru Pui Tiok membuka mulut hendak mencari keterangan, orang itu sudah gelengkan kepala dan menukas,” Tak usah bertanya. Aku tak tahu apa-apa Tanya toh sia-sia saja. lebih baik diam saja.”

Pui Tiok tersenyum getir. Karena ketemu batu, perlu apa harus banyak omong lagi. Setelah menyerahkan makanan yang diletakkan di sebelah ranjang, orang itupun terus keluar.

Pikir Pui Tiok, toh bagaimana juga dia tetap terliput bahaya yang tak mungkin dapat di hindarinya, lebih baik dia isi perut sekenyang-kenyang-nya dulu baru nanti pikir lagi. Maka tanpa sungkan lagi dia melalap hidangan itu dengan lahap.

“Hai, mana orangnya!” teriaknya selesai makan.

Sebenarnya dia hanya coba-coba saja. Diluar dugaan ternyata orang tadi menyahut dan terus masuk!.

“Lekas bawa pergi, jangan ganggu aku lagi,” teriak Pui Tiok sambil menuding pada sisa makanan. Orang itu memandang Pui Tiok dengan heran.

Tetapi dia tak bicara apa-apa. Setelah mengiakan lalu membenahi piring dan cawan terus dibawa keluar.

Setelah tinggal seorang diri, perasaan Pui Tiok mulai gundah. Dia terluka dan paling sedikit harus berbaring di ranjang selama dua hari. Selama itu sudah tentu dia tak dapat mencari berita tentang Beng Cu. Dan selama Itu dia hanya berhadapan dengan dua orang yalah tabib Han Siang Seng dan pelayan tadi. kedua orang itu tetap menutup mulut rapat2 tak mau menjawab pertanyaan Pui Tiok.

Dalam keadaan seperti itu rasanya tiada berguna untuk bingung lagi. Mau tak mau dia harus menunggu dua hari lagi setelah lukanya sembuh.

Pada hari ketiga Han Siang Seng muncul. Dia membuka kain pembalut kaki Pui Tiok lalu menepuk- nepuk kedua kaki Pui Tiok. Pelahan-lahan Pui Tiok dapat merasakan ketukan itu, berarti kakinya sudah tidak mati-rasa lagi. Hampir setengah jam Han Siang Seng melakukan pengobatan lalu tanpa bicara apa- apa terus keluar.

Setelah seorang diri, Pui Tiok masih tak percaya kalau betisnya sudah sembuh. Dia lalu beranjak turun dari ranjang dan berdiri. Memang dia masih merasa kedua kakinya belum pulih seperti sediakala. Tetapi berselang beberapa jenak perasaan kaku pada kakinya itupun hilang. Dia melangkah ke muka, menendang beberapa kali.

Kalau dia tidak mengalami sendiri beberapa hari yang lalu kedua kakinya serasa mati rasa tentu saat itu dia takkan percaya kalau kedua kakinya itu pernah patah. Tetapi dia ingat jelas kalau kedua kakinya itu patah akibat dia tak mau berlutut di hadapan Coh Hen Hong.

Setelah tenangkan diri pelahan-lahan dia membuka pintu dan melongok keluar. Dilihatnya dua orang lelaki dengan golok dipinggang, menjaga dimuka pintu.

Jelas mereka menjaga agar Pui Tiok jangan sampai melarikan diri. Dan jelas pula mereka tentulah anakbuah Cap-it-pang yang berkepandaian tinggi.

Melihat itu Pui Tiok segera menyurut mundur.

Bukan karena takut kepada mereka. Jika memang dia hendak lolos tentulah dia akan menerjang kedua penjaga itu, tak peduli betapapun sakti mereka.

Tetapi saat itu dia belum punya pikiran untuk meloloskan diri. Kalau lolos dia harus membawa Beng Cu lari. Dan untuk maksud itu lebih dulu dia harus tahu dimana saat itu Beng Cu berada.

Setelah kembali kedalam ruangannya dia merenung beberapa saat lalu menghampiri jendela. Dia membuat lubang pada jendela yang terbuat dari kertas, mengintai keluar. Kalau di luar jendela tak ada orang dia hendak melarikan diri dari jendela itu.

Tetapi alangkah terkejutnya ketika melihat diluar jendela terdapat seorang nenek. Nenek itu duduk tidak duduk, jongkok bukan jongkok. Tangannya memegang sebatang tongkat warna merah darah. Sedang pada bahu kirinya dihinggapi seekor burung yang aneh. Mirip dengan burung hantu tetapi bulunya berwarna merah. Bahkan biji matanya juga berwarna merah.

Pui Tiok heran sekali. Pengalamannya dalam dunia persilatan, tidak terhitung sedikit. Tetapi melihat nenek tua itu dia benar-benar heran. Dia duga nenek itu bukan orang sembarangan. Tetapi dia sendiri tak kenal siapakah perempuan tua itu. Melihat gelagatnya, tak mungkin dia dapat meloloskan diri melalui jendela. Rasanya nenek2 itu jauh sukar dihadapi dari kedua penjaga di muka pintu.

Setelah mengasah otak beberapa saat, Pui Tiok mendapat akal. Sengaja dia lemparkan batu dan berteriak, ”Hai, Apakah tidak ada orang ? “

Baru dia akan naik ke ranjang pintu sudah terbuka, dan seorang penjaga segera muncul. Sambil memegang tangkai golok, penjaga itu menegur, “Hai, perlu apa engkau ribut-ribut saja?”

Dengan mengerutkan wajah seperti orang bersedih, Pui Tiok menjawab, “Aku …. karena tulang kakiku patah tak dapat berjalan dengan leluasa. Tolong engkau papah aku !”

“Orang she Pui,” orang itu tertawa mengejek, “jangan engkau jual pura-pura. memfitnah orang. Memang tulang kakimu patah tetapi Han lo-sianseng kan sudah menyambung tulang kakimu? Bukankah engkau sudah dapat berjalan seperti biasa?”

Tanpa menunggu Pui Tiok menanggapi, orang Itu terus melangkah ke luar, bum, dia gabrukkan daun pintu sekeras-kerasnya.

Sebenarnya Pui Tiok mempunyai rencana, begitu orang itu mendekat hendak dikuasai. Setelah itu dia akan cari akal lagi untuk menundukkan penjaga yang di luar.

Tetapi diluar dugaan ternyata rencana itu dapat diduga orang. Pui Tiok. hanya dapat meringis seperti monyet kepedasan saja. Setelah orang tahu tentang rencananya. tentulah akan lebih berhati-hati menjaga diri.

Pui Tiok bingung. Setelah mondar mandir beberapa saat tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki orang berhenti di muka pintu. Pui Tiok buru-buru kembali rebah di ranjang lagi.

Sejenak berhenti, pintu terbuka dan orang itupun melangkah masuk. Pui Tiok tegang sekali. Dia buru- buru pejamkan mata pura-pura tidur. Tetapi dia melirik kecil.

Bukan alang kepalang kejutnya ketika mengetahui yang masuk itu ternyata seorang dara. Dara itu membawa penampan warna merah berisi hidangan dan arak. Setelah meletakkan di meja, dara itu berkata, “Pui-ya, silakan dahar.”

Melihat yang datang hanya seorang dara Pui Tiok segera menggeliat bangun dan berseru, dengan bisik2,” Cici, akan hendak bertanya kepadamu, harap engkau suka menjawab.”

Dara itu tertawa, “Tetapi majikanku pesan, aku tak boleh banyak bicara dengan engkau.”

Mendengar keterangan itu, diam-diam Pui Tiok girang. Dengan memberi keterangan sejujurnya itup tentulah dara itu mau diajaknya bicara. “Maukah cici menolong aku?” buru-buru Pui Tiok bertanya.

Kembali dara itu tertawa, “Bagaimana aku dapat menolongmu?” Pui Tiok melangkah maju dua tindak, katanya, “Tolong, cici kasih tahu, nona yang datang bersamaku itu, sekarang berada di mana?”

Dara itu celingukan kian kemari. Wajahnya seperti orang yang tegang sekali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar