JILID 11
Gerakan Coh Hen Hong luar Biasa cepatnya. Orang yang dapat melihat gerakan itu hanya sedikit sekali.
Coh Hen Hong gunakan tenaga dalam Im ji-kang.
Begitu menjamah pada ubun-ubun kepala tak mengeluarkan suara sama sekali.
Kwik Hun Seng mendesah tertahan. Tiba-tiba tubuhnya mundur beberapa langkah. Setiap langkah tubuhnya berguncang-guncang. Setelah mundur tiga langkah terus ngelumpruk rubuh di lantai.
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan orang. Dua orang tetamu cepat menghampiri ke tempat Kwi Hun Seng. berjongkok dan memeriksanya. Seketika wajah mereka pucat dan berbangkit.
“Dia mati!” serunya.
Teriakan kedua orang itu, mengejutkan sekalian orang. Kwik Hun Seng merupakan murid kesayangan dari perguruan Ceng-shia-pay. Tanpa suatu sebab mati di rumah situ, tentu Ceng-shia-pay tak mau menerima begitu saja. Peristiwa Itu benar-benar gawat.
Suasana hening tak ada orang yang buka suara. Tiba-tiba Coh Hen Hong tertawa “Tentu saja mati. Masa kalau aku turun tangan, orang masih punya nyawa?”
Ucapan gadis Itu makin mengejutkan orang. Diantara hadirin banyak sekali yang bersahabat dengan perguruan Ceng-shia-pay. Apalagi peristiwa itu terjadi di gedung keluarga Ho. Sudah tentu Ho Tik tak dapat berpeluk tangan membiarkan saja.
Peristiwa itu cepat dilaporkan kepada tuan rumah. Tring, tring….. terdengar dering senjata dicabut dari rangkanya. Tujuh delapan tetamu dengan senjata terhunus segera mengepung Coh hen Hong.
Seorang diantaranya, bertubuh pendek dan berumur 20 an tahun, memang golok kui-thau-to, menuding Coh Hen Hong dan berseru keras, “Mengapa engkau bunuh dia?”
Coh hen hong tertawa panjang, Apa engkau tadi tak berada disini? aku datang membawa kado untuk memberi selamat kepada Ho tayhiap, dia mengejek aku dengan kata-kata yang menghina. Sudah tentu aku terpaksa turun tangan untuk memberi contoh kepada orang yang suka bermulut tajam, agar tahu rasa.”
“Engkau hendak memberi selamat kepada guruku tetapi bikin onar disini dengan membunuh seorang murid Ceng shia-pay,” kata orang itu dengan nada garang,” sudah tentu suhuku tak dapat memaafkan. Menilik engkau masih muda, dimanakah suhumu?”
Orang itu adalah muridd pertama dari Cu-lam- tayhiap Ho Tik Nama Tjoa Sum dan bergelar Thiat-pi kim-to atau lengan besi golok emas. Memang orangnya kecil pendek dan wajahnya biasa saja tetapi ilmu silatnya hebat sekali.
Dengan masih bersikap angkuh, Coh Hen Hong berkata, “Jangan kuatir, aku bertanggung jawab atas perbuatanku tadi dan takkan merembet pada kalian. Siapa suhuku, heh, heh, mungkin di sini tak ada yang layak bertanya begitu kepadaku.
Baru dia berkata tiba-tiba terdengar seseorang membentak keras, “Benarkah itu?”
Kata-kata itu bergema Bagai ledakan guntur di udara sehingga sekalian orang, termasuk Coh hen Hong sendiri juga terkejut dan cepat berpaling kearah suara itu.
Orang-orang yang mengepung Coh Hen Hong segera menyiak ke samping dan mundur kebelakang untuk membuka jalan.
seorang tua bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa melangkah masuk. Setiap ayunkan langkah, tubuhnya bergetar. Orang menduga kalau dia Seorang jago sakti. Setelah tiba di hadapan Coh Hen Hong, Coh Hen Hong diam-diam juga memuji. Tanpa menunggu orang tua itu membuka mulut, sudah mendahului, Kalau tak salah anda ini tentu Ho tayhiap, bukan?”
Dengan suara lantang seperti genta bertalu, orang tua itu membentak “Anak perempuan seperti engkau, apa layaknya mendapat perhatian Ho tayhiap?”
Coh Hen Hong tertawa, “Kalau begitu, engkau ini siapa? Kalau mau menuntut balas untuk Ceng shia- pay, tak usah banyak cingcong, lekas memberi pelajaran saja!”
Kalau Coh Hen Hong tidak mengenal, adalah tamu2 tahu siapa jago tua itu. Dia adalah tokoh pembasmi kejahatan yang gigih dan paling membuat kepala orang pusing kalau bertemu. Dia bekerja seorang diri, namanya Pik-lik-jiu atau si Tangan-geledek Tan Thian song.
Setelah tahu siapa yang muncul, orang-orang itupun mundur lagi supaya lingkaran yang mengeliling Coh Hen Hong menjadi lebih lebar. Mereka tahu apa yang disebut ilmu Pik-lik-jiu kang itu. hebatnya bukan kepalang. Suaranya saja sudah seperti halilintar meledak, apalagi kalau sudah bertempur. Terkena sambaran angin gerakan tangannya saja, tentu sudah merepotkan.
Bahwa begitu menyambut, Coh Hen Hong terus menantang, benar-benar tak pernah diduga Pik Lik Jiu Tan Thian song. Dia tertegun lalu membentak, “Engkau masih belum layak berkelahi dengan aku.
Siapa gurumu?” Coh Hen Hong tahu bahwa sikap orang yang begitu congkak tentu karena memiliki kepandaian sakti.
Sambil diam-diam menghimpun tenaga murni ia menjawab, “Telah kukatakan tadi, bahwa disini tak ada seorangpun yang layak menanyakan suhuku”
Tan Thian Song mendengus, “Baik, kalau begitu terpaksa akan kutangkapmu dulu, kugantung pada pohon sampai nanti gurumu datang untuk mengambilmu”
Sambil berkata dia sudah mengangkat tinju yang sebesar kipas dan hendak ditindihkan kearah Coh Hen Hong. Saat itu Coh Hen Hong hendak menyambut tetapi pada saat itu terdengar suara kuda lari mendatangi dan pada Lain kejap terdengar suara orang berteriak nyaring, “Tan-heng, jangan!”
Sesosok tubuh terbang seperti burung melayang melampaui kepala orang-orang disitu dan turun di muka Tan Thian Song. Sekalian orang terkejut.
Demikianpun Tan Thian Song. Dia hentikan gerak cengkeramannya dan memandang kepada orang yang sudah tegak dimukanya. Ah, ternyata orang itu adalah sahabat baiknya, Auyang Tiong He.
Tan Thian Song tertegun lalu bertanya, “Auyang loheng, mengapa engkau datang?”
Perkenalan Auyang Tiong He dengan Tan Thian Song itu terjadi setelah mereka bertempur.
Hubungan mereka akrab sekali. Auyang Tiong He tidak menyahut pertanyaan sahabatnya melainkan berpaling kepada Coh Hen Hong, “Siau-lihiap, engkau tidak kena apa-apa?”“ Cuh Hen Hong tertawa, “Engkau datang tidak tepat waktunya. Biar setan tua itu mencengkeram aku baru nanti dia tahu rasa!”
Jawaban Coh Hen Hong dan sikap Auyang Tiong He terhadap gadis itu, membuat orang terkejut heran.
“Auyang loheng, engkau kenal dengan budak perempuan itu!” seru Tan Thian Song.
“Ya, “Tadi dia telah membunuh seorang murid dari Ceng-shia Pay, tahukah engkau?” seru Tan Thian Song.
Walaupun mayat Tan Hun Seng sudah diangkut pergi tetapi sebagai seorang jago pengalaman begitu melihat kerumunan orang dan Tan Thian Song hendak turun tangan, Auyang Tiong He sudah dapat menduga bahwa Coh Hen Hong tentu telah membuat onar.
Mendengar kata-kata Tan Thian Song tadi, diam- diam Auyang Tiong he tertawa pahit. Dia terpaksa menjawab, “Thian Song Loheng, soal ini…. kurasa…. kita orang luar tak perlu campur tangan. Ceng-shia- pay akan dapat mengurus sendiri.”
Mendengar itu mata Tan Thian Song mendelik.
Hampir dia tak percaya pada pendengaran telinganya. Mengingat hubungan baik antara Auyang Tiong He dengan Ceng-shia-pay dan watak Auyang Tiong He membela kebenaran, benar-benar berlawanan sekali. Omongan itu pantasnya dikeluarkan oleh bangsa kerucuk yang bernyali kecil. Bagaimana mungkin diucapkan oleh seorang piauthau termayhur seperti Auyang Tiong He? Setelah tertegun sejenak, Tan Thian Song menegas, “Baik, Auyang lokui, kalau engkau berani, coba bilang sekali lagi.”
Auyang Tiong he menghela napas, “Murid Ceng shia pay yang mati itu tetap mati. Tak mungkin tanpa sebab siau-lihiap ini akan membunuh nya. Lalu menurut engkau, engkau mau apa?”
Tan Thian Song beekaok-kaok seperti orang sakit gigi, “Gantung dia, nanti setelah gurunya datang baru membuat penyelesaian.”
Mendengar dirinya hendak digantung Tan Thian Song, meluaplah kemarahan Coh hen Hong Tetapi dia masih tetap tertawa dan berseru,
“Bagus mau menggantung aku? Menggantung dengan kepala di atas atau dengan dijungkirkan?”
Sudah tentu Tan Thian Song tak menduga kalau Coh Hen Hong berani mengejek dengan pertanyaan begitu. Serentak dia membentaknya, “Tentu saja digantung dengan kepala menjungkir ke bawah!”
Coh Hen Hong tertawa, “Bagus. bagus! Auyang piauthau, harap menyisih dulu, nanti baru kelihatan siapa yang akan digantung itu!”
“Siau-lihiap, jangan berkelahi “, Auyang Tiong He gugup.
Coh hen Hong kerutkan wajah, “Aku minta engkau menemani aku, bukan minta engkau supaya melarang tindakanku. Maukah engkau menyingkir sedikit? Dan lagi pak tua ini senang sekali menggantung orang, jelas dia tentu sudah banyak kali menggantung orang. Sekarang dia harus merasakan bagaimana rasanya orang yang digantung itu!”
Pernyataan blak-blakan dari Coh Hen Hong yang hendak menggantung Tan Thian Song itu telah membuat sekalian orang geleng2 kepala.
Tan Thian Song tegak laksana segunduk karang yang perkasa. Sedang Coh Hen Hong hanya seorang gadis yang bertubuh kecil langsing.
Diluar dugaan mendengar pernyataan Coh Hen Hong tadi, bukan marah kebalikannya Tan Thian Song malah tertawa keras.
Saat itu di lapangan depan rumah keluarga Ho, makin banyak orang yang berkerumun. Mereka datang hendak memberi selamat kepada Ho Tik. Menengar ramai2 mereka keluar dari dalam.
Melihat sekian banyak orang hendak menonton ramai2 itu, Coh Hen Hong makin ngotot.
“Bagus, nyali siau lihiap ini sungguh hebat sekali,” tiba-tiba diantara kerumunan orang itu terdengar seseorang berseru dengan nada yang nyaring.
Mendengar itu Coh Hen Hong malah gembira.
Ketika berpaling kearah suara itu, ia melihat seorang sasterawan muda yang sikapnya agung berwibawa Pakaianya warna hijau telaga, pinggangnya menyelip sebatang pedang yang tangkainya terbuat dari ukiran batu mustika. Melihat sasterawan muda itu, timbullah kesan yang baik dalam hati Coh Hen Hong. Tetapi dia sempat melihat seorang lain yang berada di dekat sasterawan muda itu. Orang itu tinggi kurus. hampir seperti sebatang galah. berpakaian warna hitam. Sepasang lengannya luar biasa panjangnya, tangan mirip dengan cakar burung. Mukanya yang kurus tak berdaging, mirip dengan tulang tengkorak yang menimbulkan hawa siluman.
Berdiri berjajar. yang satu gagah dan tampan, yang Lain kurus dan jelek, menimbulkan perbedaan seperti langit dengan bumi. Tetapi jelas keduanya tegak berdampingan, tentulah sudah kenal
Coh Hen Hong tak mau lama2 memandang orang aneh itu dia hanya berkata, “Dengan mengatakan suaraku sungguh garang sekali itu, tentu anda mengatakan bahwa belum tentu aku ini mempunyai kepandaian yang berarti, bukan?”
“Siau-lihiap salah faham,” seru sasterawan muda itu, “aku yang rendah tidak bermaksud begitu. Dengan mengandalkan sedikit kepandaian memang Tan loji biasanya tak memandang mata kepada Lain2 orang persilatan. Kali ini terbentur di tangan siau lihiap, itu memang sudah pembalasan yang Layak. Siau-lihiap agar membuka matanya….”
“Hai manusia banci bermulut minyak,” Tan Thian Song berjingkrak dan membentak, kalau berani ngomong lagi, tentu akan kucincang tubuhmu “
Saterawan muda itu tidak marah tetapi malah tertawa nyaring. Dia memang cerdik. Tan Thian Song hanya melarangnya bicara tetapi tidak melarangnya tertawa. Dengan begitu Tan Thian Song tak dapat berbuat apa-apa kepadanya.
Tan Thian Song tak menghiraukan sasterawan itu.
Dia berpaling dan menuding Coh Hen hong, memandang kesekeliling hadirin, berseru, “Saudara2 tadi sudah mendengar sendiri. Bukan karena aku Tan loji mengandalkan ketuaanku lalu menindas orang.
Tetapi dia mengatakan hendak menggantung aku. Kalau aku tak turun tangan, bukankah aku akan membikin kecewa kicauan orang?”
Dalam dunia persilatan, kedudukan Tan Thian Song itu tinggi, gengsinya besar. Kalau suruh bertempur dengan anak perempuan berumur 16-17 tahun, sudah tentu dia tak mau. Taruh kata menang, juga akan ditertawakan orang oleh karena itu sebelum bertempur, lebih dulu ia memberi pernyataan untuk membersihkan diri.
Tetapi di luar dugaan, orang aneh berpakaian hitam tadi tertawa sinis, “Tan loji, apa engkau sudah loyo?
Mengapa hanya bicara saja tak lekas turun tangan?”
Watak Tan Thian Song yang berangasan, mana mau menerima diejek orang begitu rupa. Dia segera meraung keras, “Baik, setelah kubereskan budak perempuan ini, kalian berdua mau lari ke mana?”
Sambil berkata dia tebarkan kelima jari tangannya dan wut…. terus menerkam bahu Coh hen Hong.
Pada saat dia bergerak itu, Auyang Tiong He menghela napas panjang. Dia menyadari bahwa sejak saat itu, dunia persilatan bakal mengalami banyak peristiwa. Tetapi dalam keadaan seperti saat itu, dia tak berdaya untuk mencegah. Kecuali hanya menghambur napas panjang untuk melonggarkan kesesakan dadanya, dia tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Habis nenghela napas, dia terus mundur beberapa langkah. Pada saat itu tepat tangan Tan Thian Song menerkam bahu Coh Hen Hong.
Sejak semula Tan Thian Song memang tidak memandang mata kepada Coh hen Hong. Meskipun gerak-gerik Auyang Tiong He tadi aneh, tetapi Tan Thian Song hanya merasa
heran dan tidak dapat menganalisa lebih lanjut. Tetapi kini setelah menerkam bahu si nona,
kejutnya bukan alang kepalang. Seharusnya karena dapat menerkam bahu lawan, dia tentu menang angin dan harus gembira. Tetapi mengapa malah kaget?
Kiranya baru kelima jarinya menerkam dan terus hendak mengangkat tubuh Coh Hen Hong, tiba-tiba dia heran karena bahu nona itu terasa lemas sekali seperti tak ada kekuatannya. Dan ketika diangkatnya, dia tak mampu menggerakkan tubuh Coh Hen Hong.
Walapun berangasan tetapi dia seorang jago yang banyak pengalaman. Selekas merasakan Sesuatu yang tak wajar, dia kaget setengah mati. Menilik umurnya yang masih begitu muda, tak mungkin nona itu memiliki tenaga dalam yang begitu sempurna Buru-buru dia kendorkan tangan dan hendak melepas cengkeramannya. Tetapi saat itu Coh Hen Hong sudah turun tangan.
Cepat laksana kilat menyambar, tangan Coh Hen Hong sudah menebas pergelangan tangan Tan Thian Song.
Sudah tentu Tan Thian Song penasaran. Betapapun sakti tenaga dalammu, aku tetap hendak mengujimu, pikirnya. Dia endapkan tubuh ke bawah, membalikkan siku lengan dan wut, dari bawah keatas tangannya menyongsong tebasan lawan.
Krak…. pada saat itu tebasan tangan Coh Hen Hong telah diganti dengan pukulan. Terjadi benturan antara kedua tangan yang menimbulkan letupan keras.
Saat itu sekalian orang terkejut heran. Mereka melihat bagaimana dengan sekali gebrak saja, Tan Thian Song telah berhasil menerkam bahu si gadis. Seharusnya sudah selesai dan tak berkelanjutan lagi.
Mereka tak tahu mengapa tiba-tiba Tan Thian Song lepaskan terkamannya dan saling beradu pukulan dengan Coh Hen Hong.
Sekalian orang masih tetap mencemaskan ke adaan Coh Hen Hong. Pukulan Tangan geledek dan Tan Thian Song sudah termasyhur kesaktiannya. Gadis semuda Coh Hen Hong tentu tak kuat menerima pukulan itu, kalau tidak mati tentu terluka parah. Tanpa terasa mulut mereka menjerit tertahan.
Tetapi tiba-tiba terdengar Coh Hen Hong tertawa keras sedang Tan Thian Song mendesuh tak lampias. Setelah kedua pukulan beradu, keduanya lalu bercerai lagi.
Saat itu terdengar suara angin menderu seperti guruh di langit. Terapi anehnya, suara seperti guruh itu bukan ke luar disisi si nona melainkan di sisi tubuh Tan Thian Song sendiri.
Sudah tentu orang-orang itu heran dan serempak berpaling memandang Tan Thian Song. Tampak wajah Tan Thian Song pucat, tubuh berguncang guncang, kedua tangannya berayun melepaskan tiga buah hantaman.
Ketiga pukulannya menimbulkan bunyi guntur setelah itu lalu sunyi. Setelah itu baru dia dapat berdiri tegak. Wajahnya tampak tidak sedap dipandang
Dia terlongong-longong berdiri beberapa saat baru mengangkat tangan memberi hormat kepada Coh Hen Hong, “Hari ini aku orang she Tan telah salah lihat, kagum, kagum!”
Keduanya baru bergebrak satu jurus atau Tan Thian Song sudah mengaku kalah. Benar-benar suatu hal yang sukar dipercaya. Ada sebagian besar dari hadirin yang benar-benar tak tahu bagaimana jalannya pertandingan tadi, tahu-tahu Tan Thian Song sudah keok.
Ada beberapa tokoh yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu Serangan tenaga dalam dari Tan Thian Song telah ditahan dan ditolak balik oleh oleh Si nona. Setelah ayunkan tangan menghantam tiga kali ke udara, barulah Tan Thian Song dapat menghapus daya pukulannya yang tertolak lawan.
Tan Thian Song tak sempat memeriksa ada kah dia menderita luka parah atau tidak
Walaupun hadirin yang dapat mengikuti jalannya pertempuran tadi, juga hampir tak percaya kalau anak perempuan berumur 16-17 tahun mampu menahan pukulan Tangan-geledek dari Tan Thian Song. Bahkan juga kuasa menolak kembali.
Orang itu tak dapat bicara apa-apa, hanya Auyang Tiong He yang cepat berseru, “Sudah, sudah lah, kalau tidak berkelahi tentu tidak kenal. Siau lihiap, Tan loji sudah menyatakan rasa kagumnya itu merupakan hal yang luar biasa “
Auyang Tiong He maksudkan, bahwa Tan Thian Song yang tergolong seorang cianpwe dunia persilatan
, di hadapan orang banyak telah mengaku kalah. Dengan begitu, gengsi Coh Hen Hong juga ikut menjulang tinggi.
Dengan kata-kata itu Auvang Tiong He bermaksud menasehati agar Coh Hen Hong jangan menarik peristiwa itu lebih panjang lagi.
Tetapi ternyata Coh Hen Hong tak mau berhenti sampai di situ saja. Saat itu dia merasa yang pertama kalinya menikmati kesenangan ilmu kepandaian tinggi dan menikmati pujian dari sekian banyak orang.
Dalam keadaan seperti saat itu, ia seperti mabuk pujian. Seperti orag yang sudah minum arak sampai mabuk, mana dia merasa kalau sudah cukup minum sampai di situ saja? Dia tertawa dingin, “Auyang piauthau, omonganmu itu salah sekali.”
“Salah bagaimana?
“Apa engkau lupa?” tanya Coh Hen Hong, “dia hendak menggantung aku?”
Auyang Tiong He cepat melangkah maju dua tindak, katanya berbisik, “Siau-lihiap, Tan loji punya sahabat banyak sekali, harap jangan gegabah.”
Coh Hen Hong malah menyahut keras2, “Siapa yang tidak terima, akan kugantung sekali.”
Tan Thian Song tertawa pahit, “Oo, kiranya engkau tetap hendak menggantung aku?”
“Ya,” jawab Coh Hen Hong.
Jika tadi nada suara Tan Thian Song beriba iba, tetapi setelah mendengar dirinya tetap akan digantung, tiba-tiba mengembor keras, “Baik, silahkan engkau turun tangan!”
Dia agak endapkan tubuh kebawah, tangan kiri menjaga dada dan tangan kanan dirapatkan ke pinggang tegak berdiri laksana gunung, menunggu gerakan lawan.
Sekalipun tadi dalam gebrak permulaan saja, Tan Thian Song sudah mengaku kalah tetapi sekarang setelah melihat jago tua Itu pasang kuda2 dengan posisi yang begitu rupa, sekalian orang terkesiap.
Diam-diam mereka terkejut dan kepingin tahu bagaimana tindakan gadis yang sombong itu dapat mengantung si jago tua.
Selama belajar silat di Ceng te kiong, partner atau lawan berlatih Coh Hen hong hanya Cengte saja, tak ada orang lain lagi. ia merasa bagaimanapun dia memaksa diri untuk belajar mati matian, toh tetap tak dapat mengalahkan Cengte.
Sebenarnya Coh Hen Hong mempunyai angan2 hendak membunuh Cengte sekalian. Tetapi makin kepandaiannya tinggi, dia makin merasa bahwa ilmu kepandaian Cengte itu tinggi sukar diukur. Dia benar- benar tak berani turun tangan dan terpaksa harus menindas keinginannya yang jahat itu.
Setelah tinggalkan istana Ceng te kiong, selama dalam perjalanan dia belum pernah mendapat kesempatan bertempur. Oleh karena itu dia tak tahu sampai di manakah ukuran dari ilmu kepandaian yang dimiliki sekarang ini.
Saat itu dia melihat bahwa Pik Lik jiu Tan Thian Song juga seorang jago kelas satu yang sakti. Tadi dalam adu pukulan, dia merasa memang unggul. Dan karenanya dia merasa tenang sudah Jelas bahwa kepandaianya lebih tinggi dari Tan Thian Song.
“Apakah engkau sudah siap?” tanyanya kepada lawan yang tak dipandang mata itu.
“Silahkan,” sahut Tan Thian Song dengan Serius.
Coh Hen Hong kembali tertawa. Jika dinilai dari perawakannya, Coh Hen Hong seperti sebatang pohon liu yang bergoyang gontai tertiup angin. Sedang Tan Thian Song seperti batu karang yang kokoh. Tetapi anehnya, begitu Coh Hen Hong maju selangkah, wajah Tan Thian Song tampak tegang sekali. Tangan kiri yang melindungi dadanya tadi didorongkan ke muka.
Walaupun bergerak mendorong tetapi telapak tangannya bergetar tiga kali, bum, bum, bum.. . terdengar letupan keras.
Walaupun gerakan Tan Thian Song itu tidak termasuk gerak yang mengagumkan tetapi sekalian hadirin tahu kalau jago tua itu tengah melancarkan pukulan Pik Lik jiu (tangan geledek) Jurus itu disebut Lui tong sam hong atau Halilintar menggoncang tiga arah. Dalam jurus itu gerakan tangan memang tidak keras tetapi melancarkan tenaga-dalam keluar. Dan tenaga dalam yang dipancarkan keluar itu terdiri dari tiga gelombang. Gelombang yang satu lebih hebat dari yang terdahulu.
Waktu sudah siap dengan kuda-kudanya tadi sebenarnya Tan Thian Song menunggu Coh Hen Hong akan menyerang. Tetapi karena nona itu hanya maju selangkah dan tidak menyerang maka dia pun segera mendahului turun tangan. Hal itu menandakan kalau dia jeri tarhadap Coh Hen Hong.
Menghadapi tiga gelombang angin pukulan tenaga dalam yang sakti dari Tan Thian Song rambut dan pakaian Coh Hen Hong berkibar-kibar semrawut.
Tetapi nona itu sendiri tak kurang Suatu apa. Dia tetap melangkah maju pelahan-lahan
Coh Hen Hong memang tak menghiraukan Jurus Lui tong-sam hong yang dilancarkan lawan Hal itu mengejutkan sekalian orang yang menyaksikan.
Bukan saja dapat berjalan maju, pun Coh Hen Hong masih dapat membuka mulut berseru “Tan loji, tadi engkau mempersilahkan aku supaya menyerang dulu tak tahunya engkau malah gopoh mendahului menyerang. Apakah itu tidak seperti anak kecil saja?
Tan Thian Song tidak mau menyambut melainkan mendengus mengangkat tangan kanan dan menghantam lagi.
Tetapi walaupun bicara, Coh Hen Hong diam-diam sudah bersiap. Waktu berjalan maju itu dia sudah mengerahkan tenaga murni keseluruh tubuh. Kalau tidak begitu mana dia mampu maju terus?
Saat itu tangan kanan Tan Thian Song sedahsyat geledek menyambar menyerang perut Coh Hen Hong.
Coh Hen Hong sudah yakin tentu tenang. Tetapi dia menghendaki bagaimana dapat merebut kemenangan itu dengan indah agar sekalian orang terkejut dan kagum. Maka dia lalu tertawa panjang seraya mengangkat tangannya.
Serangan kedua dan Tan Thian Song itu disebut Thian-peng-te-hat atau Langit roboh bumi merekah. Merupakan jurus yang paling dahsyat dari ilmu Pik-lik- kang, Dan untuk jurus yang ter akhir itu dia tumplekkan seluruh tenaga dalamnya. Apabila jurus itu tak dapat mengalahkan lawan, dia sudah tak punya modal lagi.
Melihat lawan mengangkat tangan, cepat dia menyerang sekuat-kuatnya. Tetapi tiba-tiba pandang matanya berkunang kunang dan Coh Hen Hong pun sudah lenyap. Dia seperti merasa sesosok bayangan hitam melayang ke atas tetapi dia tak berani memastikan bahwa bayangan hitam itu Coh Hen Hong yang hendak melayang kebelakangnya.
Sesaat Thian Song tertegun. Pada saat itu dia baru menyadari kepandaiannya. Bertahun-tahun dia belajar silat dengan tekun dan susah payah dan pernah dia malang melintang dari selatan sampai ke ujung utara, berhadapan dengan berpuluh jago sakti. Dia merasa ilmunya tinggi, pengalaman luas. Tetapi sekarang berhadapan dengan seorang dara yang tak dikenal, dia merasa ngenas dan kasihan pada dirinya sendiri.
Memang andaikata Coh Hen Hong mau melayani adu pukulan dan Thian Song kena, tentulah dia takkan terkejut seperti sekarang ini. Sebagai seorang jago silat berpengalaman, kalau memang dalam adu pukulan kalah, itu berarti memang kalah tinggi
tenaga-dalamnya. Secara ksatrya, dia mau menerima kekalahan itu.
Tetapi ternyata tidak begitu. Pukulan Thian peng-te- liat yang dilancarkan saat itu benar hampir menggunakan seluruh tenaganya. Dahsyat bukan alang kepalang, mampu menghancurkan gunduk karang besar,
Maka menurut nalar, lawan atau benda2 yang berada satu tombak di hadapannya, tentu seperti terhalang oleh suatu tembok kokoh yang tak kelihatan. Dan apabila lawan yang kepandaiannya agak rendah, bukan saja takkan dapat maju mendekat pun bahkan akan terlempar jatuh. Tetapi ternyata Coh Hen Hong bukan saja tidak kurang suatu apa, pun bahkan dapat melayang melampaui batas kepalanya. Hal itu menandakan bahwa kalau Coh Hen Hong tidak memiliki kepandalan yang lebih tinggi dari dia, tidak mungkin gadis itu mampu berbuat demikian.
Itulah yang menyebabkan Tan Thian Song patah semangat dan kehilangan faham.
“Tan tua, awas, sudah berada di belakangmu,” tiba- tiba dari kerumun orang yang melihat pertandingan itu terdengar seseorang memberi peringatan.
Tan Thian Song mendengar suara tetapi dia sudah kehiangan gairah lagi dan tetap tak mau berputar tubuh.
Dia menyadari, andaikata dia berputar tubuh, toh percuma saja Melawan orang yang lebih sakti, hanya akan menambahkan derita siksa batinnya saja. Pada saat itu Coh Hen Hong yang sudah berada di belakang Tan Thian Song, berputar tubuh. Dengan mata berkilat kilat dia memandang pada orang yang memberi peringatan kepada Tan Thian Song.
Cepat sekali gerakan itu dan dengan cepat pula setelah dapat menekan beberapa jalan darah pada tengkuk Tan Thian Song, Coh hen Hong mengangkatnya.
Tan Thian Song, jago ternama dalam dunia persilatan, di hadapan begitu banyak tetamu yang sedang menghadiri pesta ulang tahun Ho Tik, telah terangkat tubuhnya tinggi2, seperti seorang anak kecil. Dan yang mengangkatnya itu tak lebih hanya seorang dara yang cantik.
Sudah tentu gemparlah sekalian orang yang menyaksikannya. Seketika tetamu2 yang baru datang maupun yang sudah berada dalam ruangan, serempak keluar untuk melihat ribut-ribut yang makin ramai itu.
Pada saat mengangkat tubuh Tan Thian Song, mata Coh Hen Hong segera melihat seorang lelaki memakai sabuk dari cambuk yang panjang. Serentak timbullah ingatan Coh Hen Hong untuk merampas cambuk itu dan menggantung, Tan Thian Song.
Sekonyong konyong dari arah pintu besar terdengar orang membentak dengan keras. Dan serentak empat sosok orang melayang melampaui kepala orang-orang yang melihat dan turun di muka Coh hen hong.
Melihat gerakan keempat orang itu. Coh Hen Hong malah gembira. Dia tahu bahwa keempat orang itu tentu jago-jago yang hebat. Dia memarig mengharap agar jago-jago sakti muncul. Makin banyak makin menyenangkan. Karena dengan begitu dia akan dapat memamerkan kepandaiannya.
Yang tegak di mukanya, seorang tua bertubuh tinggi besar, mengenakan pakaian warna kuning tua, sepasang mata berkilat-kilat tajam memiliki perbawa yang hebat.
Begitu dia muncul, orang-orang yang berkerumun tadi serentak berbisik-bisik, “Ho tayhiap datang. Ho tayhiap datang sendiri.” Coh Hen Hong baru tahu kalau Ho Tik, tuan rumah itu adalah lelaki tua gagah yang berada di hadapannya.
Dan dilihatnya di belakang Ho Tik itu masih ada tiga lelaki tua Lainnya yang semuanya rambut dan janggutnya sudah putih. Dan pakaian mereka, entah terbuat dari pada bahan apa, juga berwarna putih seperti salju, bersih sekali.
Tergerak hati Coh hen Hong. Tanpa menghiraukan Ho Tik, ia berseru kepada ketiga lelaki Thian-san-sam- hau artinya Tiga-putih-gunung-Thiansan.
“Lepaskan orang itu,” ke tiga lelaki tua itu serempak berseru.
Coh Hen Hong sejenak meragu lalu menurunkan tubuh Tan Thian Song. Ia kenal kepada ketiga kakek berpakaian putih itu karena sebelum meninggalkan Ceng te kiong, Cengte sudah memberitahu kepadanya bahwa di daerah timur, selatan, barat dan utara, masing-masing mempunyai jago-jago sakti yang berkepandaian tinggi. harus hati-hati, jangan menganggap enteng kepada mereka.
Di penjuru timur, terdapat Jong Hi Siang jin, ketua dari pulau Bak-ciau-to. Sebelah selatan mempunyai Peh Hoa lokoay, ketua perkumpulan Peh-hoa kau.
Sebelah barat ada Thian-sah-sam-hau. Dan di utara yalah Im Thian Su, kepala pulau Hek-sat-to di laut Pak-hay.
Kenam tokoh itu masing-masing mempunyai kelebihan sendiri2. Dan diantara mereka adalah Thian san sam hau yang paling lihay. Mereka bertiga itu saudara kembar tiga. Berpuluh tahun lamanya. Kemana saja mereka bertiga selalu bersama, tak pernah berpisah.
Begitu juga dalam bertempur. merekapun selalu maju bertiga. Dan karena wajah, perawakan dan segalanya mereka Itu serupa, maka lawan tentu bingung. Bertempur dengan seorang tetapi ternyata tiga orang, tiga orang tetapi tampaknya hanya seperti seorang, Selama bertahun tahun ini belum pernah mereka mendapat tandingan.
Cengte mengatakan, kalau dia sudah tentu dapat mengalahkan ketiga saudara kembar itu. Tetapi jago- jago sakti yang ikut Ceng te kiong. tak ada yang dapat mengalahkan Thian-Sam Sam Hau, oleh karena itu selama ini fihak Ceng te kiong juga tak pernah mengganggu ketiga saudara-kembar itu.
Pesan Ceng-te itu diingat baik-baik oleh Coh Hen hong Dia tak menduga bahwa kali ini, begitu cepat dia sudah bertemu dengan ketiga saudara kembar yang termasyhur.
Sejenak tertegun, Coh Hen hong tertawa
“Aku hendak mengantungnya, hal itu memang sudah saling berjanji.”
“Lepaskan dia!” bentak Thian-San-sam hau pula.
Coh Hen Hong tertawa dingin, “Kalau saja kini aku yang kalah, apakah sam wi (kalian bertiga) juga akan memerintahkan Tan Thian Song supaya melepaskan aku?” Menerima pertanyaan itu Thian-sam-hau terkesiap.
Pertanyaan dara itu memang tajam sekali Terus terang merekapun sudah mendengar tentang ribut- ribut itu. Tetapi mereka baru terkejut ketika orang datang melaporkan bahwa Tan Thian Song telah diringkus orang dan hendak digantung. Ber gegas- gegas mereka lari keluar.
Kalau Tan Thian Song yang menang, sudah tentu mereka takkan keluar, mana mungkin akan menyuruh Tan Thian Song melepaskan lawannya
Pada ketiga saudara-kembar itu tak dapat menjawab maka Ho Tik lah yang berkata, “Siapa kah guru nona, harap lepaskan orang baru nanti kita bicara lagi.”
Coh Hen Hong tertawa dingin, “Aneh, mengapa kalian begitu ketemu aku terus mendesak menanyakan siapa guruku? Sekarang kalau dengan aku saja kalian tidak menang, buat apa menanyakan guruku? Kalau kusebut namanya, tentu kalian akan mengucurkan keringat dingin.
Apakah tidak akan membuat malu pada diri sendiri?”
Wajah Ho Tik dari biru menjadi merah. Menandakan kalau dia marah sekali. Kalau saja yang bicara itu bukan dara berumur 16-17 tahun. kalau saja dia tak mengingat akan kedudukannya sebagai tokoh ternama, tentulah saat itu dia sudah menghajarnya.
“Jangan bermain lidah tajam, lepaskan orang itu ‘‘ bentaknya dengan keras. Tan Thian Song ditutuk jalandarah dan diangkat seperti anak kecil. Padahal dia seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan yang mengangkat itu seorang gadis saja.
Berserulah Coh Hen Hong seperti tak kaget dengan segala bentakan dan hardikan orang, “Baik, kalian lihat saja. Sebenarnya tadi aku sudah berjanji dengan Tan thian Song. Siapa yang kalah, bersedia digantung. Sekarang begini saja. Siapa di antara kalian yang dapat merebut Tan Thian Song dari tanganku, akupun takkan menarik panjang urusan ini lagi.
Mendengar kata-kata Coh Hen Hong itu, Ho Tik, Thian san sam-hau dan lain2, terbelalak kaget Kata- kata Coh Hen Hong itu berarti menantang kepada siapa saja yang berani merebut Tan Thian Song dari tangannya. Gila barangkali gadis itu, pikir setiap orang. bukankah yang dihadapinya tokoh-tokoh ternama?
Tetapi karena berani mengeluarkan tantagan, itu jelas gadis itu tentu punya pegangan. Apakah kepandaian gadis itu. benar-benar tiada yang dapat menandingi?
Entah bagaimana, tokoh-tokoh itu malah tak berani sembarangan menerima tantangan Coh Hen Hong.
“Apakah tidak menyesal?‘ tanya Ho Tik.
Coh Hen Hong sudah punya perhitungan. Dia masih belum yakin kalau dapat mengalahkan Thian-san-sam- hau. Dan kalau dia sampai kalah kelak bagaimana dia dapat bertemu orang lagi? oleh karena itu, dia harus mengalahkan ketiga jago kembar dari Thian san itu.
Otak Coh Hen Hong memang encer sekali. Segera dia teringat bahwa dia pernah dapat pelajaran ilmu ginkang yang sakti dari Cengte yaitu yang disebut Bi hun-kang (ilmu Awan sesat). Apabila dikembangkan, tubuh akan melayang-layang seperti awan bertebaran.
Ceng-te mengatakan, jika menggunakan ilmu ginkang Itu, lawan tentu sukar menyentuh dirinya.
Sekarang Ia sudah terlanjur menantang tokoh- tokoh itu untuk merebut Tan Thian Song. Dengan menggunakan ginkang Bi-hun kang Itu, asal lawan tidak mampu merebut Tan Thian Song berarti dia menang.
Maka waktu Ho Tik meminta penegasan Coh Hen Hong pun serentak menjawab, “Tentu saja, jadi.
Tetapi menurut pendapatku, lebih baik kalian serempak sekaligus maju saja, kalau tidak tentu tak mampu merebut.”
Saking marahnya, napas Ho Tik sampai sesak sehingga tak dapat mengeluarkan kata-kata.
“Lagi pula,” kata Coh Hen Hong lagi, “kita tentukan waktunya, Tak boleh kalian terus menerus merebut saja sehingga aku tak sempat menggantung Tan Thian Song Lagi.”
Dengan kalap Ho Tik serentak berteriak, “Seperminum teh, sudah cukup. Kalau tak mampu merebut, aku bersedia mengaku kalah.”
Dalam waktu seperminum teh, tidak mungkin Ho Tik mampu merebut Tan Thian Song. Dalam hal ini Coh Hen Hong yakin betul. Tetapi waktu Itu terlalu pendek. Kalau temponya keliwat pendek, tentu ia tak dapat mengeluarkan ke pandaiannya.
Maka dia lantas berseru, “Saudara2 sekalian kalian tentu sudah mendengarkan. Ho tayhiap mengatakan dalam waktu sepeminum teh sudah cukup. Tetapi kubilang tidak cukup. Aku bersedia untuk memperpanjang waktunya sampai setengah jam.
Auyang piauthau, tolong engkau lihatkan waktunya.” Auyang Tiong He hanya mengiakan saja.
Sejak turun ke gelanggang persilatan dan mengangkat nama, belum pernah Ho Tik dipandang hina begitu rupa. Sekarang dia sudah berumur 60 tahun, pengalaman cukup nama tinggi. Lalu tiba-tiba muncul suatu peristiwa seperti saat itu. Maka dapat dibayangkan betapa kemarahannya saat itu. Baru Cob Hen Hong selesai berkata, Ho Tik terus bergerak menerjang.
Melihat itu Coh Hen Hong menghimpun tenaga murni dan melangkah setindak ke samping. Sudah tentu Ho Tik melihat gerakan gadis itu maka iapun condongkan tubuh ke samping, merentang kelima jarinya dan menerkam bahu Coh hen Hong!
Baik Ho Tik maupun para penonton, yakin kalau terkaman Ho Tik itu pasti berhasil. Karena jari jemari Ho Tik berhamburan malang melintang laksana sarang laba2 yang ketat Musuh yang berada setombak di sekeliling Ho Tik, pasti sukar meloloskan diri.
Tetapi gerakan Coh Hen Hong ternyata aneh. Baru melangkah setengah tindak, tiba-tiba tubuhnya berputar, kaki kanan dilingkarkan dan tubuh rubuh ke muka, membentur tubuh Ho Tik.
Dia masih meringkus Tan Thian Song. Bahwa tiba- tiba dia seperti rubuh hendak menjatuhi Ho Tik, benar-benar merupakan hal yang tak diduga sama sekali.
Terkaman Ho Tik memang serapat jaring Empat penjuru takkari lolos dari terkamannya. Tetapi dia kan tak mungkin mau menerkam dirinya sendiri. Oleh karena itu bagian muka dadanya merupakan tempat yang aman. Dan kebetulan Coh Hen Hong memang rubuh ke situ.
Sudah tentu Ho Tik terkejut sekali dan cepat mundur Tetapi baru dia melangkah mundur, tubuh Coh Hen Hong pun sudah melesat. Walau pun membawa orang tetapi gerakan Coh hen Hong begitu indah, sedikit suarapun tak terdengar, Semisal awan berarak di cakrawala.
Setelah menerkam luput, Ho Tik tak berani berayal. Cepat dia berputar tubuh, Tadi dia melihat sendiri, Coh Hen Hong melayang ke sebelah kiri tetapi setelah dia berputar ke kiri, ternyata nona itu tidak kelihatan.
kejut Ho Tik bukan alang kepalang. Dia termangu. Tepat pada saat itu dari belakang ter dengar Coh Hen Hong tertawa, Cepat Ho Tik berputar ke belakang.
Cepat sekali dia bergerak tetapi tetap dia tak dapat melihat Coh Hen Hong.
Dimana gadis itu? Ho Tik tahu jelas kalau gadis itu di sampingnya tetapi dia tak dapat melihatnya. Kalau orangnya saja tak dapat melihat bagamana hendak merampas Tan Thian Song?
Kalau tak dapat merebut Tan Thian Song pamornya tentu jatuh. Ho Tik tak menghendaki hal itu terjadi.
Karena bingung, dia sampai mengucurkan keringat.
Tetapi makin dia gugup, makin dia mendengar tawa Coh Hen Hong berhamburan di empat penjuru. Namun setiap kali dia berpaling kearah suara tawa itu. tentu tak dapat melihat orangnya.
Keringat pada dahi Ho Tik makin mengucur deras. Waktu sepeminum teh yang dijanjikan, sudah lewat lama dan setengah jam segera tiba.
Sekalian orang hanya melihat tubuh Coh Hen hlong melayang kian ke mari di belakang Ho Tik. Dan setiap kali Ho Tik berputar tubuh, dalam waktu sesempit lubang jarum, gadis itu tentu sudah menghindar. itulah sebabnya maka setiap kali Ho Tik berputar tubuh, tentu tak dapat melihat Coh Hen Hong.
Di antara sekian banyak tamu2 yang menyaksikan, tidak sedikit yang ginkangnya tinggi. Tetapi melihat Coh Hen Hong sambil membawa orang dapat bergerak seperti meluncur di atas air dan gerak langkahnya begitu aneh sekali, membuat sekalian orang bersorak memuji gegap gempita.
jika Coh Hen Hong makin mangkak karena mendapat pujian yang mengemparkan, adalah Ho Tik yang setengah mati, Dia makin bingung. Marah dan malu. Dia tahu bahwa sorak pujian orang itu bukan untuk dia. Dan orang yang bersorak memuji itu belum tentu bermusuhan dengan dia. Hanya sebagai seorang persilatan, begitu melihat kepandaian yang mengagumkan, dengan sendirinya kagum dan bersorak memuji.
Dia menyadari bahwa sekalipun dia tak dapat melihat Coh Hen Hong tetapi jelas kalau ginkang gadis itu memang luar biasa hebatnya.
Dalam hati Ho Tik sudah merasa bahwa saat itu siperminum teh sudah lewat lama. Dan menilik keadaannya, jangankan setengah jam, sekalipun satu jam, pun juga tak nanti dia dapat menyentuh pakaian orang.
Dalam keadaan seperti itu apabila harus menunggu Auyang Tiong He berteriak memperingatkan temponya sudah habis, Ho Tik merasa benar-benar kehilangan muka.
Belum pernah Ho Tik merasakan suatu kesedihan hati yang begitu besar seperti saat itu. Berpuluh puluh tahun lamanya dia menikmati kemasyhuran nama dalam dunia persilatan Pada hari itu dalam merayakan ulang tahunnya yang ke 60 dimana hampir seluruh kaum persilatan datang untuk memberi selamat, tidak di sangka dalam waktu hanya setengah jam saja, keadaannya telah berobah sembilan puluh derajat.
Ibarat jatuh, dia bukan hanya jatuh saja tetapi benar- benar terbanting jatuh.
Kalau dia kalah di tangan seorang jago sakti, itu masih dapat diterima. Tetapi dia dibuat kucingan oleh seorang gadis berumur 16- 17 tahun saja. Ahhh .
Tiba-tiba dia hentikan gerakannya lalu tertawa gelak-gelak. Tetapi nadanya bagaikan burung kukuk beluk yang merintih di tengah malam. Setelah tertawa duka itu, keringat makin mengucur deras lalu dengan suara yang gemetar, dia berkata, “Kagum. sungguh kagum.”
Antara mulut dengan hati telah terjadi pertentangan hebat. Mulut memuji, hati seperti disayat. Seketika darah dan hawa dalam tubuhnya bergolak naik, wajah pucat lesi dan sepasang matanyapun terbalik.
Karena Ho Tik berhenti rnaka Coh Hen Hong pun berhenti.
Tubuh Ho Tik membeku dan wajahnya yang pucat seperti mayat itu segera diketahui orang.
“Ho tayhiap, ambillah pernapasan ‘‘ cepat Thian san sam-hau berteriak.
Darah yang meluap dalam tubuh Ho Tik, telah menerjang sun-meh (urat-urat hati). Itulah sebabnya maka wajah Ho Tik tampak begitu mengerikan. Hal itu merupakan pantangan besar dalam ilmu silat. Kalau parah, jiwa dapat melayang. Kalau ringan, akan menuju ke co hwe jip mo (peredaran darah tersesat). Paling ringannya, akan menderita luka-dalam yang parah.
Itulah sebabnya maka Thian san sam hau meneriakinya supaya menjalankan peredaran tenaga dalam ke dada, agar jangan sampai menderila akibat yang mengerikan.
Sebenarnya tokoh seperti Ho Tik bukan tak tahu hal itu. Tetapi darah yang membinal itu laksana air bah yang membobolkan tangkis, tak dapat dicegah lagi,
Setelah berteriak, Thian-san sam-hau juga terus melesat ke muka. Tetapi waktu mereka bertiga tiba dimuka Ho Tik dan terus ulurkan tangan untuk menopang ulu-punggung Ho Tik, ternyata sudah terlambat. Huak…. mulut Ho Tik menghambur darah segar.
Thian-san-sam-hau tetap melekatkan tangan mereka ke punggung Ho Tik. Lima enam kali menyembur darah, pakaian ketiga jago dari Thian san itu berlumuran darah.
Tiga saudara kembar tiga dari Thian-san itu digelari Sam-hau (tiga putih) adalah karena rambut, jenggot, alis dan pakaian mereka putih semua. Tetapi saat itu karena pakaian dan muka mereka tersembur darah merah, mereka bukan lagi Sam hau melainkan Sam- hong atau si Tiga merah.
Melalui tangan yang di letakkan pada tubuh Ho Tik, ketiga jago Thian-san itu menyalurkan tenaga-murni mereka untuk melindungi jalan darah sin-meh Ho Tik. Karena mendapat saluran itu barulah Ho Tik berhenti muntah darah. Akan tetapi wajahnya mengerikan sekali.
Sekalian tetamu yang menyaksikan hal itu tahu bahwa sekalipun jiwa Ho Tik tertolong tetapi ilmu kepandaiannya telah turun setingkat. Sejak saat itu, sukarlah baginya untuk mengibarkan panji panji tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Dalam waktu yang singkat, telah jatuh dua tokoh ternama. Yang satu telah dikuasai seperti patung dan yang seorang telah menderita luka dalam yang amat parah. Peristiwa itu benar-benar belum pernah terjadi dalam dunia persilatan. Dan yang menimbulkan. tak lain hanya seorang gadis remaja belaka. Sungguh hal yang sukar dipercaya.
Tak seorangpun di antara sekian banyak tetamu yang buka suara lagi. Tiba-tiba Coh hen Hong berkata, “Ho tayhiap, pibu (adu kepandaian) sudah tentu akan ada yang menang dan kalah Hal itu sudah wajar, mengapa engkau harus menyiksa diri sampai begitu?”
Saat itu karena menderita luka dalam, Ho Tik tak dapat bicara. Memang dia sudah tidak muntah darah tetapi mulutnya tetap mengalirkan darah. Ditambah dengan cahaya mukanya yang pucat lesi, dia tak ubah seperti sesosok mayat. Dan lagi kalau tidak ditopang ketiga jago Thian-san, dia tentu tak dapat berdiri dan rubuh.
Bahwa kesudahan dari pertandingan bakal begitu rupa. benar-benar tak seorangpun yang pernah membayangkan. dan karenanya sekalian orang menarik napas tak bicara apa-apa.
“Lalu siapa lagi yang tak membiarkan aku untuk menggantung Tan Thian Song?” seru Coh Hen Hong pula.
Sekalian orang hanya saling pandang mememandang satu sama lain. Meskipun diantara mereka tahu diri dan merasa berkepandaian lebih rendah dari Ho Tik. Kalau berani maju, toh percuma saja.
Dan lagi bukankah disitu masib masih ada Thian san-sam-hau? Ketiga saudara kembar itu juga bersahabat baik dengan Tan Thian Song, kepandaian mereka juga hebat. Tentulah mereka takkan berpeluk tangan mengawasi Tan Thian Song akan di gantung Ah, lebih baik tidak usah maju sendiri dan melihat saja bagaimana nanti Thian san sam hau akan bertindak, pikir mereka.
Oleh karena itu pertanyaan Coh Hen Hong tak ada yang menjawab. Thian-san-sam-hau saat itu sedang sibuk menolong Ho Tik. Keadaan Ho Tik amat gawat, kalau ditinggal, tentu akan mati. Maka thian san sam hau pun tak mau bicara apa-apa.
Melihat tak ada orang yang berani menjawab Coh Hen Hong merasa bahwa dia telah berhasil unjuk kepandaian untuk mempengaruhi tetamu2 kaum persilatan disitu. Dia gembira sekali. Cepat dia berputar tubuh dan menuding pada seorang lelaki yang bersabuk cambuk panjang.
‘Hai, sahabat, pinjam cambukmu itu,” seru nya.
Ternyata orang itu juga punya nama di dunia persilatan. Cambuk yang melilit pinggangnya itu terbuat dari urat ular besar. Dengan senjata itu dia telah mengangkat nama besar. Mendengar perkataan Coh Hen Hong seketika berobahlah Wajahnya.
Melihat orang itu tak menyahut dan wajahnya tegang, Coh Hen Hong tertawa, “Apakah anda tidak boleh? Mungkin apakah anda tidak percaya kalau dengan membawa orang aku masih dapat merebut cambuk dipingangmu itu.?”
Wajah orang itu makin lesi, tak sedap dipandang. “Lekas jawab!” tiba-tiba Coh Hen Hong hentikan tawa dan membentak dengan bengis.
Tiba-tiba orang itu memekik aneh. Sekali tangan bergerak, cambuk panjang terlepas dari pinggang nya dan terus diayunkan ke pinggang Coh Hen Hong.
Melihat sikap orang yang menggeretek gigi, jelas dia itu kalap dan nekad. Tahu kalau tak dapat melawan Coh Hen Hong, dia tetap nekad. bagi kaum persilatan, kehormatan itu jauh lebih berharga dari jiwa. Kalau dia menurut saja menyerahkan cambuk itu, jelas tak mungkin dia dapat menanam kaki di dunia persilatan lagi. Maka baginya lebih baik mati secara ksatrya dari pada hidup menanggung malu.
Cambuk itu melayang cepat sekali. Tetapi mana Coh Hen Hong menganggapnya? Sambil memindahkan tubuh Tan Thian Song ke tangan kiri lalu tangan kanannya menyambar. Tangkai cambuk itu tak henti hentinya bergetar. Rupanya akan mengembangkan berbagai gerak perobahan. Tetapi setelah kena disambar Coh Hen Hong, macetlah permainan cambuk itu.
Melihat sekali gebrak, tangkai cambuknya sudah di kuasai lawan, kejut orang itu bukan alang kepalang. Tetapi dia masih berusaha hendak meronta. Sekali pijakkan ujung kaki ke tanah, dia terus hendak loncat mundur, menarik cambuknya.
Tetapi ternyata Coh Hen Hong tak sabar. Selekas menerkam cambuk, ia terus menyalurkan tenaga- dalam. Arus tenaga dalam mengalir melalui batang cambuk. Pada Saat orang itu hendak loncat mundur, arus tenaga dalam Coh Hen Hong sudah melanda telapak tangannya.
Saat itu orang yang punya cambuk melayang diatas, sukar sekali untuk mengerahkan tenaga dalam membendung arus serangan tenaga dalam Coh Hen Hong. Seketika dia menjerit keras, kelima jari melepaskan cambuk dan tubuhnya seperti layang2 putus tali, melayang di udara.
Setelah melayang sampai tiga empat tombak tingginya baru melayang ke bawah. Kebetulan tubuhnya tersangkut pada pohon sehingga dia tak dapat turun ke tanah.
Melihat itu Coh Hen Hong tertawa geli serunya, ‘Engkau tidak mau memberi pinjam cambuk bahkan malah menyerang hm, sungguh tak tahu diri!”
Sambil berkata dia mengikat kedua kaki Tan Thian Song dengan cambuk lalu dibawa ke pohon Setiba dibawah pohon, dia lontarkan cambuk ke arah sebatang dahan. Sekali cambuk itu melibat dahan, jelas Tan Thian Song pasti akan tergantung
Tetapi tepat pada saat itu tiba-tiba terdengar seorang berseru nyaring, “Tunggu dulu!”
Menyusul gelombang tenaga yang amat panas melanda dari samping kearah dahan pohon itu. Krak….. pohon itupun patah, Dan bekas dahan yang putus, terpapas seperti dipapas senjata tajam.
Diam-diam Coh Hen Hong berteriak memuji atas tenaga dalam yang hebat dari pendatang itu. Tanpa berputar tubuh dia sudah dapat menduga bahwa yang turun tangan itu tentulah Thian-san sam hau. Siapakah lagi kalau bukan mereka yang memiliki tenaga dalam sedemikian sakti?
Maka tanpa berpaling, Coh Hen Hong tertawa, serunya, “Bagus, Sam-hau cianpwe, apakah mau memberi pelajaran juga? Terima kasih.”
Tetapi kali ini dia telah menduga salah. Yang tertawa dingin dari belakang, bukanlah Thian-san
sam-hau melainkan orang lain “Kurasa tak perlu harus Thian-san-sam-hau yang akan memberi pelajaran kepadamu!”
Pada saat mendengar nada suara orang itu, sesaat Coh hen Hong tertegun. Rasanva dia sangat faham dengan suara itu tetapi karena karena sudah lama, dia tak ingat lagi.
Segera dia berputar tubuh dan memandang ke muka. Kembali dia tertegun. Yang berdiri di hadapannya bukan Thian-san-sam hau melainkan seorang yang berperawakan tinggi lencir, muka nya mengenakan topeng.
Topeng orang ini terbuat dari kulit manusia, berwarna kuning gelap sehingga menyeramkan orang.
“Sembunyikan kepala, mengunjukkan ekor, apakah juga berani hendak unjuk kepandaian?”
Orang itu berkata, “Nona, cukup kiranya engkau mengunjuk permainan. Jangan dilanjutkan Kalau diteruskan, apa engkau kira bakal membawa kesudahan yang baik?” Memang kata-kata orang bertopeng itu nalar sekali. Tetapi Coh Hen Hong itu seorang gadis yang congkak dan kepala besar. Apalagi sekarang dia sudah memiliki ilmu silat yang sakti, Mana dia mau mendengarkan nasehat orang.
Serentak dia tertawa sinis, “Berkesudahan baik atau tidak. tak ada yang tahu. Tetapi kalau engkau yang akan menerima kesudahan tak baik, itu sudah pasti”
Sambil berkata Coh Hen Hong ulurkan sebuah jari kearah orang itu dan, sissss…. segulung angin yang keras menghambur ke muka. Tiba-tiba orang itu loncat keatas sehingga tenaga dalam dari jari Coh Hen Hong hanya lewat di bawah kakinya.
Orang-orang yang berada di belakang orang bertopeng iti terkejut dan cepat menyingkir.
Krakkk…. tenaga-dalam dari jari Coh Hen Hong itu meluncur sampai tiga tombak jauhnya dan menghantam sebuah batu merah, Batu merah hancur dan rontok berhamburan ke bawah.
Dengan seenaknya saja menjulur jari lalu dapat menghancurkan batu merah yang berada tiga tombak jauhnya, menyebabkan seorang tetamu melonggo. Dia bukan lain adalah Kim kong ci (Jari malaikat) Jit Ci siansu. Paderi itu pernah menggemparkan dunia persilatan tetapi sekarang sudah mengasingkan diri.
Betapa kesaktian dari ilmu jari Jit Ci siansu, seluruh kaum persilatan tahu semua. Sebenarnya dia juga mempunyai sepuluh jari tangan yang utuh. Tetapi demi mempelajari ilmu Kim kong ci, dia tak segan2 memotong tiga buah jarinya. Itulah sebabnya dia bergelar Jit Ci atau Tujuh-jari.
Kim kong-ci yang dipelajarinya. dapat di gunakan untuk menutuk jalandarah orang dari jarak jauh.
Hebatnya bukan kepalang. Tetapi setelah melihat ilmu jari yang dipertunjukkan Coh Hen Hong, dia merasa tidak dapat menyamai. Hanya tersentuh dan diapun menghela napas panjang. “Ah, biarlah.”
Karena saat itu suasana sunyi senyap maka semua orangpun dapat mendengar helaan napas Jit Ci siansu dan ucapannya.
Coh Hen Hong pun melihat jika yang menghela napas itu seorang paderi tinggi besar. ia tertawa menegurnya ‘Mengapa berkata begitu?‘
Jit Ci siansu mengangkat tangan kirinya hanya berjari empat dan tangan kanan yang hanya berjari tiga, berkata, “Melihat ilmu jari yang engkau pertunjukkan tadi, latihanku selama berpuluh tahun, boleh dikata sia-sia saja.”
Coh Hen Hong gelengkan kepala, “Engkau mempunyai bakat yang baik, mengapa ilmu jari begitu tak berarti?”
Ilmu Kim-kong-ci merupakan ilmu sakti dari kalangan perguruan agama. Suatu ilmu yang sakti sekali. Sudah berpuluh tahun Jit Ci siansu mempelajari ilmu itu dan sudah mempunyai hasil Kalau ada yang berani mengatakan ilmu kepandaiannya itu masih tak karuan, tentulah Jit Ci marah dan akan turun tangan. Tetapi sekarang dia menyaksikan sendiri bahwa kepandaian nona itu memang lebih tinggi dari dirinya. Lalu bagaimana dia harus membantahnya?
jit Ci siansu hanya menghela napas, “Engkau benar. Mulai saat ini aku takkan membicarakan soal ilmu jari lagi”
“Ah, tak perlu begitu,” Coh Hen Hong tertawa, “aku dapat memberimu pelajaran sedikit tentang ilmu jari. Tetapi engkau harus mengangkat aku sebagai suhu!”
Dari pembicaraan yang semula tak berarti, tiba-tiba berobah menjadi persoalan yang serius dan gawat.
Suatu hal yang tak pernah diduga-duga sekalian orang.
Jit Ci siansu, walaupun bukan terhitung tokoh hebat dari kalangan Hud-bun (agama), tetapi dia juga mempunyai nama besar dalam dunia persilatan.
Mengapa Coh Hen Hong seorang gadis belasan tahun, berani mengatakan sangup menerima Jit Ci siansu sebagai muridnya? Apakah itu bukan suatu hinaan besar bagi Jit Ci siansu?
Tetapi yang lebih mengejutkan sekalian bakal terjadi belakang nanti Ternyata mendengar ucapan Coh Hen Hong, bukannya marah tetapi wajah Jit Ci siansu malah tampil cerah.
“Jangan kira dengan mengangkat aku sebagai suhu, engkau benar-benar menjadi muridku yang sungguh. Paling banyak engkau hanya kuanggap sebagai murid istimewa, namanya saja murid tetapi orangnya bukan. Nanti aku akan tetap memberimu pelajaran ilmu silat.” Jit Ci siansu masih tegak seperti patung. Sikapnya mengundang perhatian orang untuk memandangnya. Beberapa saat kemudian tiba-tiba Jit Ci siansu berlutut menghadap Coh Hen Hong seraya berkata, “Sucun, terimalah hormat murid”
Peristiwa itu bukan hanya sekalian orang, pun Coh Hen Hong tak pernah menyangka. Mengapa gadis itu berkata hendak mengambil Jit Ci sebagai murid, tak lain hanya untuk membikin panas hati orang agar orang marah dan timbul perkelahian lagi.
Coh Hen Hong memang hendak mencari musuh yang sakti kepandaiannya. Melihat Jit Ci siansu hanya mempunyai tujuh buah jari tangan, dia segera tahu kalau paderi itu adalah Jit Ci siansu yang termasyhur di dunia persilatan.
Coh hen hong tidak mengira kalau Jit Ci siansu itu seorang yang paling memuja ilmu silat seperti jiwanya sendiri.
Untuk memiliki ilmu Kim kong ci, dia rela memotong tiga buah jarinya. Pada hal menurut ilmu ketabiban, jari itu merupakan saluran penting dengan hati. Jika dipotong, sakitnya bukan kepalang. Tapi bagi jit Ci, hal itu bukan halangan asal dia dapat menguasai jari- sakti Kim kong ci kang.
Seperti yang terjadi pada saat itu. Dia tahu bahwa baik kedudukan nama dan umurnya, tak mungkin dia sudi menjadi murid Coh Hen Hong.
tetapi dia melihat dengan mata kepala sendiri, betapa sakti ilmu jari nona itu, Dia begitu ngiler dan tergila gila untuk memiliki sehingga akhirnya dia melupakan dan menindas segala perasaan, harus mempelajari ilmu jari yang lebih sakti dari Kim-kong ci itu.
Itulah sebabnya, tanpa malu2 lagi dia terus bertekuk lutut dan memberi hormat, menyebut suhu kepada Coh Hen Hong.
Sejenak tertegun, Coh Hen Hong cepat tenang kembali, serunya, “jit Ci, engkau meninggalkan vihara Leng-in dan hendak menjadi murid dalam perguruanku terserah engkau mau jadi orang biasa lagi atau tetap, sebagai paderi. Tetapi apakah engkau sudah memberi tahu kepada It Wi taysu pimpinan vihara itu
“Tak perlu,” sahut Jit Ci siansu
Guyon2 jadi sungguh. Setelah itu. Sebenarniya hanya hendak berolok-olok saja tetapi ternyata Coh Hen Hong benar-benar mendapat seorang murid.
Walaupun. tampaknya janggal seorang gadis menerima murid seorang paderi tua, namun Coh Hen Hong gembira Juga karena tahu bahwa Jit Ci itu seorang kojiu ternama juga.
“Kalau engkau memang mempunyai keputusan begitu,” kata Coh Hen Hong.
“itu baik sekali Bangun dan berdiri dibelakangku. Kalau It Wi taysu tak mencari kemari, ya tak apa. Tetapi kalau dia berani datang meminta pertanggungan jawab, berarti dia akan cari penyakit sendiri “ Jit Ci menurut. Dia bangun lalu berdiri di belakang Coh Hen Hong. Pada saat itu Thian-san-sam hau sudahb hentikan seluruh tenaga-murninya lalu memangil pengurus rumah tangga keluarga Ho, suruh mereka membawa Ho Tik masuk kedalam setelah itu baru ketiga jago Thian san itu menghampiri Coh Hen Hong. Sebelum tiba di muka Coh Hen Hong mereka berhenti di depan orang yang bertopeng tadi, memberi salam, “Anda sunguh bernyali besar sungguh mengagumkan!” Orang itu tertawa rawan, “Ah, sam wi cianpwe terlalu memuji”. Habis berkata dia terus mengundurkan diri kebawah sebatang pohon. Disitu telah menunggu seorang wanita yang juga memakai kedok kulit Mereka terus hendak pergi.
“Hai Kalau memang berani jangan pergi dulu” seru Coh Hen Hong. Mendengar itu kalau tetap pergi, orang bertopeng itu merasa kehilangan muka. Tetapi rupanya dia tak menghiraukan soal itu. Bersama Si Wanita, dia terus melesat keluar. “ Coh Hen Hong hendak mengejar tetapi pada saat itu berkelebat tiga sosok bayangan. Thian san sam hau sudah muncul di hadadapannya.
Apa boleh buat Coh Hen Hong terpaksa tak dapat mengejar. tetapi dia memandang kedua pria dan wanita yang bertopeng itu seraya tertawa dingin, “Kalau kalian hendak lepas dari tanganku jangan mimpi!”
“Lepaskan orang itu,” seru Thian san sam hau., berhadapan dengan tiga tokoh sakti, mau tak mau hati Coh Hen Hong tegang juga. Ia tak berani memandang rendah. Tetapi bagaimanapun tak sudi dia menurut perintah mereka.
“Tidak bisa,” serunya. “ Wut, wut, wut…. . ketiga jago Thian-san sudah serempak menghantam. Waktu menyahut tadi untung Coh Hen Hong sudah bersiap.
Telah dituturkan di atas, berhadapan dengan siapa sajan ketiga saudara kembar dari Thian san itu tentu selalu maju bertiga. Soal itu Coh Hen Hong tak tahu. Dia mengira lawan tokoh yang ternama dan sudah berusia tua. Sedang dia hanya seorang diri. Kalau bertempur tentulah mereka akan maju satu demi satu. Maka tak heran kalau Coh Hen Hong terkejut ketika ketiga lawan itu menyerangnya serempak.
Untunglah Coh Hen Hong sudah mengerahkan tenaga-murni. Waktu ketiga jago Thian san menghantam, iapun segera mundur. Baru mundur selangkah kaki kanan melangkah kesamping menjurus kelain arah.
Gerak tata-langkah itu adalah yang dimainkan waktu melawan Ho Tik tadi yaitu ilmu ginkang sakti yang disebut Bi-hun-kang.
Memang digunakan terhadap Ho Tik, dapat berhasil. Tetapi berhadapan dengan ketiga jago dari Thian-san ternyata macet. Hal itu bukan disebabkan karena Thian-san sam hau lebih unggul ilmu nya dari Ho Tik. Tetapi disebabkan karena Ho Tik hanya seorang dan ketiga jago Thian-san itu tiga orang.
Dalam berhadapan dengan Ho Tik, Coh Hen Hong memang dapat main kucing-kucingan menyelinap ke belakang Ho Tik. Tetapi dia benar takt berdaya harus menyelinap ke belakang ketiga jago Thian san ini. Baru dia menyelinap salah seorang lawan yang dua serentak menghantamnya dari belakang. Mendengar pungungnya dihantam, terpaksa Coh Hen Hong tak berani melanjutkan serangannya. Tetapi justru karena ia berayal itu, lawan yang berada di mukannya juga cepat berputar tubuh dan mengancamnya. Dengan begitu Coh Hen Hong harus menderita pukulan dari muka dan belakang.
Coh Hen Hong terkejut tetapi malah makin gembira.
Dengan berteriak aneh dia terus melambung keatas. Dia masih memegang tubuh Tan Thian Song namun dia dapat melambung keatas sampai hampir dua tombak tingginya dan tepat melayang turun pada sebuah dahan. Di lepaskan Tan Thian Song sehingga tubuh Tan Thian Song meluncur turun lalu ujung cambuk di pijak pada dahan. Dengan demikian Tan Thian Song tetap digantung dengan kepala menjungkir dibawah.
Pukulannya luput, ketiga jago Thian-san Itu marah sekali. Dan melihat Tan Thian Song digantung pada dahan pohon, mereka makin marah sekali. serentak mereka berteriak kalap lalu mengangkat tangan hendak menghantam ke arah dahan,
Tetapi pada saat itu terdengar dua buah teriakan memuji dan orang yang suaranya bernada Im dan Yang “bagus! Ilmu kepandaian yang bagus! “
Dalam kesibukannya Coh Hen Hong menyempatkan diri untuk memandang ke arah suara orang Itu.
Ternyata yang berteriak itu dua orang, yalah pelajar berbaju biru dan kawannya yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian hitam. Coh Hen Hong tenang. Diam-diam dia merasa paling tidak ada dua orang yang secara moril telah membantunya. Dan andaikata dia tak dapat melawan Thian san sam hau toh dia masih punya sepasang pedang Leng-liong-kiam yang ampuh.
Cengte pernah mengatakan bahwa ilmu pedang Leng liong kiam hwat itu, di dunia persilatan tak ada orang yang mampu menandingi. Hanya dipesan kalau lawan bisa menerima serangan sampai lima jurus, harus dilepas jangan terus didesak saja,
Teringat akan hal itu ketegangan wajah Coh Hen Hong., mereda. Dia berseru dingin, “Kalian menyerang keroyokan, mengapa tak mau bilang Lebih dulu?”
“Kami selalu begitu selamanya, perlu apa harus memberitahu?” bantah ketiga jago Thian san.
Dalam menghindari dua buah serangan mereka, Coh hen Hong harus terpaksa loncat keatas. Suatu hal yang mengejutkan hatinya. Dia menyadari apabila tidak menggunakan pedang pusaka tentu tak mungkin dapat mengalahkan ketiga jago Thian-san itu.
Maka dia segera berseru. “Karena kalian maju bertiga, tentunya kalian tak keberatan kalau aku menggunakan senjata, bukan?‘
“Silahkan,” cepat ketiga jago itu menyahut. Dan serempak mereka membalikkan tangan dan pelahan- lahan didorongkan ke muka. Bum, bum.. telapak tangan mereka meletus keras. Tenaga-dalam yang dipancarkan dari tangan mereka kuasa untuk merobohkan sebatang pohon. Tiba-tiba deru angin dan telapak tangan mereka lenyap. Mengapa?
Tak lain karena saat itu Coh Hen Hong sudah mempersiapkan sepasang pedang Ceng-leng-kiam dan Kim-liong-kiam. sinar yang keluar dari sepasang pedang pusaka itu telah menyilaukan mata sekalian penonton.
Sekalian tetamu yang mengunjungi pesta ulang tahun Ho Tik itu terdiri dari golongan Putih dan Hitam. Mereka kebanyakan tokoh-tokoh yang ternama.
Walaupun belum pernah melihat tetapi mereka pernah mendengar bahwa di dunia ini tidak ada pusaka yang memancarkan cahaya keras menyilaukan mata kecuali sepasang pedang pusaka Leng-liong-kiam milik istana Ceng-te kiong.
Maka melihat pedang itu sekalian orang kuncup nyalinya. Thian san sam hau serempak tertawa getir, “kiranya engkau dari…. Ceng te-kiong. “
“Sudah tentu begitu. Dari mana lagi aku ini jika tidak dari sana,” sahut Coh Hen Hong.
Ketiga jago Thian-san itu saling pandang memandang lalu sama membalikkan pergelangan tangan. Dari kolong lengan bajunya mereka pun megeluarkan tiga macam senjata yang aneh.
Ketiga senjata itu, pedang bukan pedang, panjangnya hampir satu tombak, mempunyai tiga mata yang tajam dan memancarkan sinar dingin. Itulah yang disebut Sam-cay-sin-cek atau Tiga tusuk tiga mata. Sudah bertahun tahun mereka tidak menggunakan senjata itu. Bahwa sekarang tiba-tiba mengeluarkannya., pertanda kalau mereka sudah siap untuk mengadu jiwa dengan Coh Hen Hong
Dan tepat pada saat itu situasi gedung keluarga Ho telah terjadi perobahan. Serta melihat Coh hen hong dan Thian san sam hau mengeluarkan senjata, orang- orang yang berkerumun di pintu terus bubar, berserabutan ke luar.
Pada mulanya memang ada berapa orang yang agak sungkan. Tetapi karena ada lain orang yang sudah mendahului, merekapun tak malu lagi untuk mengambil langkah seribu.
Bermula lebih kurang seratus orang yang berada di pintu untuk meelihat Tetapi dalam beberapa kejab saja mereka sudah lenyap semua dan hanya tinggal bujang keluarga Ho Tik. Mungkin bujang itu tak tahu apa yang dinamakan Ceng te kiong maka mereka masih tetap berada di pintu. Selain itu masih ada tiga tetamu lagi yang tetap berada di situ yaitu Auyang Tiong He, sasterawan baju biru dan si tinggi kurus baju hitam.
“Ha, orang-orang itu memang bernyali kecil,” sasterawan baju biru tertawa, “justeru sekarang kesempatan bagus untuk menambah pengalaman, harus jangan melewatkannya. Mengapa malah terbirit2 pergi, lucu, sungguh lucu sekali!”
Si tinggi kurus baju hitam juga tertawa seram, “Memang dunia ini penuh dengan manusia-sia yang bernyali tikus. Yang seperti engkau dan aku entah hanya ada berapa orang!”
Ucapan Si tinggi kurus itu memang mengejutkan sekali. Dan lagi jelas dia itu berkawan dengan sasterawan baju biru.