Pedang Berbunga Dendam Jilid 08

JILID 8

Ketiga pendekar dari Jwanse tak puas akan tindakan istana Ceng-te kiong yang dianggap terlalu sewenang-wenang, sekehendaknya sendiri memerintah pada orang. Kalau orang tidak mau melaksanakan atau gagal memenuhi seluruh permintaannya, juga dibunuh. Orang harus melakukan perintahnya dengan sempurna, kurang sedikit saja tak boleh. Adalah karena mengandalkan ilmu kepandaiannya yang sakti maka pemilik Ceng-te-kiong memberi perintah seperti raja.

Melawan kelaliman adalah tugas utama dari kaum persilatan. Oleh karena itu maka ketiga pendekar Jwansepun berontak.

Mereka hendak mengundang seluruh kaum persilatan membicarakan peristiwa itu. Mereka akan mengajak seluruh tokoh-tokoh persilatan untuk beramai-ramai ke lembah Lian-hoan-koh dan terang- terangan akan melawan Ceng te-kiong. Mereka tak percaya dengan mengandalkan jumlah besar, masa mereka tak mampu menghadapi Ceng te kiong.

Sebenarnya Ketiga pendekar Jwanse itu mempunyai nama yang cemerlang. Pergaulan mereka dengan orang-orang persilatan luas sekali. Tetapi ketika berita bahwa ketiga pendekar itu akan menentang Ceng-te- kiong maka gemparlah mereka.

Selam setahun itu, ketiga pendekar berkelana dalam dunia persilatan untuk mengajak tokoh persilatan melawan Ceng te kiong tetapi hasilnya nihil.

Reaksi tokoh-tokoh persilatan, ada yang menasehati agar ketiga pendekar Jwanse jangan berbuat begitu. Ada yang menolak dengan macam- macam alasan mereka yang sungkan, cepat-cepat mendahului untuk menyingkir jangan sampai bertemu dengan ketiga pendekar itu.

Dengan begitu hampir setahun telah berlalu, tak ada seorang tokoh pun yang dapat mereka ajak. Perangai ketiga pendekar itu memang keras. Kalau lain orang, tentu akan merobah keputusannya dan melaksanakan perintah Ceng-te kiong. tetapi ternyata ketiga pendekar Itu tetap pada pendiriannya. Tak mau melakukan permintaan Ceng-te-kiong.

Waktu tinggal kurang dua bulan dari waktu yang diminta Ceng-te kiong, mereka tetap tak mau merencanakan untuk mencari mutiara berbentuk hou- lo.

Tindakan yang mereka ambil, pertama lebih dulu membubarkan anak murid masing-masing agar jangan sampai terembet bahaya. kedua dengan membekal perasaan pasti mati, mereka menuju ke lembah Lian- hoan-koh.

Soal itu sudah tentu Coh Hen Hong tak tahu.

Kebalikannya, karena melihat Coh Hen Hong menyelip pedang Ceng leng-kiam yang dikenal sebagai salah satu dari sepasang pedang pusaka Leng liong-song- kiam milik Ceng-te-kiong. Kemudian mendengar jawaban dari Coh Hen Hong yang begitu berani mati mengaku sebagai cucu pemilik Ceng-te-kiong, ketiga pendekar itu pun percaya seratus persen.

Memang sejak bertahun-tahun lamanya, anak buah Ceng-te-kiong itu kejam dan lalim sekali. Maka keberangkatan ketiga pendekar ke lembah Lian-hoan- koh Itu sedikitpun tidak mengharap dapat hidup.

Dengan menemukan Coh Hen Hong di tengah jalan, timbullah lagi harapan mereka.

Mereka mempunyai dua rencana. Pertama dengan mengikat persahabatan dengan Coh Hen hong, mereka mengharap anak buah Ceng-te-kiong yang sudah bersiap menunggu di lembah Lian-hoan-koh itu akan ketakutan dan takkan menindak mereka.

Kedua, apabila keadaan memang sudah berbahaya, mereka dapat menjadikan Coh Hen Hong sebagai sandera untuk menekan anak buah Ceng te-kiong.

Sudah tentu Coh Hen Hong tidak tahu akan rencana ketiga pendekar itu. Anak itu hanya merasa bahwa perbuatannya mengaku sebagai Kwan Beng Cu telah berjalan begitu lancar. Malah ke tiga pendekar Jwan- se yang termasyhurpun memperlakukannya sangat baik. Sudah tentu Coh Hen Hong gembira sekali.

beberapa waktu kemudian, mereka telah menempuh jarak 5O-an li. Tampak disebelah muka gunung yang perkasa dan merekapun terus melaju. begitu memasuki gunung, mereka lambatkan kudanya dan wajah ketiga pendekar itu mulai tampak tegang sekali.

Tak berapa lama setelah melintas ,sebuah jalan panjang mereka tiba di mulut sebuah lembah. Lim In yang berkuda di muka mengacungkan tangan memberi isyarat supaya berhenti.

Jalan masuk ke lembah itu sempit sekali, hanya cukup dimasuki seorang. Itupun harus dengan miringkan tubuh. Sudah tentu kuda tak dapat masuk. Karang di kedua sisi lembah yang begitu menjulang tinggi menambah keseraman keadaan disitu.

Tiba di mulut lembah, Lim In berseru, “Apakah dalam lembah ada orangnya?” Dari dalam lembah terdengar suara parau seorang perempuan tua, berseru, “Apakah para ketu Go-bi, Ceng-shia dan Kiam-bun sudah datang semua? Aku sudah lama menunggu disini.“

Bahwa yang menyambut itu menilik suaranya hanya seorang perempuan tua, ketiga pendekar jwanse sungguh tak mengira sama sekali.

Lim In berputar tubuh dan memberi isyarat mereka turun dari kuda. Ki Sam Nio memegang lengan Coh Hen Hong, sepintas seperti orang yang menjaga jangan sampai anak itu jatuh dari kuda tetapi sebenarnya dia hendak menguasai jangan sampai anak itu dapat melepaskan diri.

Mereka berempat lalu berjalan ke muka Pada saat Lim In masuk kedalam lembah, sikap

mereka amat tegang. Saat itu Coh hen Hong baru menyadari betapa gawat situasi saat itu. Tetapi karena melihat wajah ketiga pendekar begitu tegang la pun tak berani bertanya.

Lim In yang pertama masuk, mendapatkan bahwa lembah itu tak berapa besar, penuh dengan batu2 kerucut yang aneh bentuknya. Disebelah kiri lembah, terdapat lagi sebuah jalan-setapak yang menghubungkan dengan lembah lain. Karena beberapa lembah Itu saling berhubungan satu dengan lain maka dinamakan lembah Lian-hoan-koh.

Waktu tak melihat barang seorangpun dalam lembah, berserulah Lim in dengan nada berat, “Dimana utusan Ceng-te-kiong?” “tentu selama setahun ini anda bertiga susah payah sekali. Mutiara berbentuk houlo itu memang sukar dicari. Kelak pemilik istana Ceng te kiorg pasti akan memberi penghargaan Harap anda letakkan mutiara itu diatas batu besar saja,” demikian kata 2 yang terpantul dari seruan nenek itu.

Mendengar kata-kata itu diam 2 tiga pendekar Jwanse tertawa dingin. Selama hampir satu tahun lamanya, mereka berkeliling ke mana2 untuk mengajak tokoh-tokoh persilatan bangkit melawan Ceng te-kiong. Sudah tentu fihak Ceng-te kiong yang mempunyai banyak anak buah, tentu mendengar hal itu.

Bahwa perempuan tua mengucapkan kata-kata begitu tadi apakah bukan hanya barpura pura tidak tahu saja?

Ketiga pendekar itu saling berpandangan kemudian Lim in yang bersuara, ”Apa apaan itu mutiara. Kami tidak mencari, mana dapat memberikan?”

Terdengar perempuan tua itu mendesah. Memang biasa saja suara desahannya itu. Tetapi secepat gelombang desah itu tiba, secepat itu pula sesosok tubuh sudah melesat,

Sesaat ketiga pendekar terkesiap melihat melesatnya sesosok bayangan, mereka segera melihat munculnya seorang sosok manusia yang bertubuh pendek kecil. Sepintas tak menarik perhatian.

Tetapi yang aneh adalah tongkat yang dibawa orang Itu, panjang sekali hampir tiga meter dan berkeluk- keluk. Warnanya merah gelap. Tak Jelas dari bahan apakah tongkat itu.

Setelah orang itu berdiri tegak di muka ke tiga pendekar, barulah ketiga pendekar itu dapat melihat jelas bahwa pendatang itu tak lain hanya seorang nenek tua yang sudah berusia lanjut. Mukanya penuh keriput, kulitnya berwarna lesi seperti besi, tulang belulangnya kurus kering. Nenek itu menimbulkan pandang yang tak enak.

Yang paling aneh lagi adalah sepasang matanya. Kornea atau biji matanya, bagian hitam sedikit, yang putih banyak. Matanya kecil seperti mata tikus.

Nenek itu mengangkat muka dan memandang kepada ketiga pendekar. Karena tubuhnya pendek kecil, tongkatnya tampak menonjol hampir dua kali tingginya dari orangnya.

Ketiga pendekar jwanse terkesiap. Mereka berusaha untuk mengingat ingat namun tetap tak dapat mengetahui, siapakah perempuan tua itu.

Sebenarnya pergaulan mereka dengan tokoh-tokoh persilatan aliran Putih dan aliran Sesat, cukup luas.

Walaupun belum pernah berhadapan muka, tetapi tentu sudah mendengar namanya. Tetapi selama ini belum pernah mereka mendengar tentang Wanita tua yang aneh itu.

Kalau menilik tongkat itu dibawanya, tentulah merupakan senjatanya. Tetapi dengan tubuh nya yang pendek kecil itu, bagaimana Ia mampu memainkan tongkat sepanjang begitu? Ketiga pendekar diam-diam bersiap-siap. Ki Sam Nio menarik Coh Hen Hong dan bertanya dengan berbisik, “Siapakah dia”

Sudah tentu Coh hen Hong tak kenal maka diapun gelengkan kepala, “Aku juga belum pernah melihatnya.”

Sebenarnya waktu Coh Hen Hong berdiri disisi Ki Sam Nio tadi, nenek itupun tidak menaruh perhatian. Tetapi ketika Ki Sam Nio mengajak bicara pada Coh Hen Hong, nenek itu pun berpaling dan memandang Coh Hen Hong.

Begitu melihat pedang pusaka ceng leng kiam ditangan Coh Hen Hong, mata si nenek kecil tampak berkeliaran dan mulut mendesah.

Tetapi hanya mendesah saja dia tak berkata apa- apa, lalu berseru dingin kepada Lim In, “Kalian telah menentang perintah pemilik istana Ceng te-kiong.

Kenapa?”

Lim In memberi kicupan mata. Ki Sam Nio dan Ho Thian Ing dapat menangkap isyarat itu Mereka memegang senjata masing-masing dan mulai tegang.

Dengan sepatah demi sepatah, berserulah Lim In, “Bertahun-tahun lamanya, Ceng-te-kiong telah mengacau dunia persilatan, menimbulkan rasa takut, membangkitkan kegelisahan dan menaburkan kematian. Setiap orang persilatan sudah muak dan tidak sudi lagi menerima perlakuan yang lalim sewenang wenang Kami memang sengaja tak mau mencari mutiara karena ingin melihat, sampai di manakah sebenarnya kekuatan Ceng te kiong itu!. 

Wanita tua itu mengangukkan kepala. Sikapnya serius dan tampaknya seperti menyetujui kata-kata Lim in.

Setelah Lim In selesai bicara, barulah berkata, “Salah sih memang tidak salah. Tetapi imbalannya agak terlalu berat. Anak buah kalian ketiga perguruan, semua berjumlah 247 orang. Mereka termasuk kalian bertiga, semua akan binasa Sayang, sayang!”

Mendengar itu Lim In, Ho Thian Jing dan Ki Sam Nio terkejut. Karena sering bergaul, mereka tahu jumlah anak murid masing-masing tetapi belum pernah mereka menghitung dan menjumlah anak buah ketiga perguruan itu seluruhnya. Mengapa wanita itu dapat mengetahui persis jumlah anak murid mereka bertiga.

Dalam terkejut itu, diam-diam mereka merasa bersyukur karena sebelumnya telah membubarkan anak murid mereka lebih dulu. Maka sekalipun akan di basmi, toh tak sampai akan merembet jiwa anak murid mereka.

Lim In, Ho Thian Jing dan Ki Sam Nio tak mau banyak bicara dengan wanita tua itu. Tetapi diam 2 mereka heran mengapa Sampai saat itu pihak Ceng te-kiong hanya memunculkan seorang perempuan tua saja untuk menyambut. Apabila sampai bertempur, andaikata menangpun mereka merasa tak enak dalam

hati karena tentu akan ditertawakan orang karena tiga orang harus mengeroyok seorang perempuan tua.

Dengan pertimbangan Itu maka merekapun belum mau bertindak dan melainkan berseru lagi, “Apakah Ceng te-kiong hanya mengutus engkau seorang saja?” 

Dengan dingin nenek itu menjawab, “Ah, itu sudah lebih dari cukup!”

Sikap dan ucapan wanita tua yang begitu tak memandang mata kepada ketiga pendekar Jwanse, sudah tentu menimbulkan kemarahan mereka bertiga. Ho Thlan Jing yang berwatak paling beranggasan segera kibaskan tangannya, tring, Sebuah bo-thau- kau atau kait-berkepala-macan segera siap di tangannya.

Kembali nenek itu berseru dingin, “Apakah sekarang mau turun tangan? Sebelum malam tiba batas waktu pada kalian sebenarnya belum habis Kalian masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan dan berusaha lagi, agar jangan sampai mati penasaran!”

Setelah Ho Thian Jing mengeluarkan senjata nya, tentu saja sudah tak ada kelonggaran lagi Apalagi tujuh butir mutiara berbentuk houlo dalam waktu setahun saja sukar didapat apalagi pada saat itu yang tinggal beberapa jam.

Kata-kata nenek itu benar-benar membangkitkan ke marahan Ho Thian jing. Dia mengendapkan tubuh ke bawah, sepasang tangan dirangkapkan dan ujung kait yang tajam segera mengarah kebawah dan serempak berseru, “Silahkan!”

Begitu mengucap kata terakhir, kedua tangan dibalikan dan sret…. ujung kaitpun sudah mencuat ke atas menyerang kearah nenek itu.

Gin-kau atau kait-perak Ho Thian jing dalam dunia persilatan memang sudah mempunyai nama besar. Kait perak itu bukan terbuat dari bahan perak biasa karena kalau perak biasa tentu sukar dibentuk dan sukar dapat menahan benturan senjata lawan. Gin- kau Itu dibuat dari bahan baja lemas yang berkwalitas tinggi dan dibuat oleh Seorang ahli senjata yang handal.

Gin-kau itu mempunyai dua macam nama, satu, dinamakan hou-thau kau atau kait-kepala macan. Dan lain nama lagi disebut Kau-kiam atau pedang kangkam (pedang bengkok seperti kait). Memang gin kau tidak termasuk 18 jenis senjata yang biasa digunakan dalam dunia persilatan. Jurus permainannya juga pelik dan ruwet, sukar dilatih.

Walaupun hanya sebuah senjata tetapi dapat digunakan dalam fungsi sebagai pedang golok, Kapak dan kaitan. Dalam dunia persilatan jarang sekali orang yang mengunakan senjata itu.

Berpuluh-puluh tahun Ho Thian jing menumpahkan waktu dan perhatiannya untuk berlatih senjata itu.

Hebatnya bukan alang kepalang. Pada saat dia balikkan tangan waktu meluncur ke muka tampaknya gerak kaitan itu hanya biasa-biasa saja.

Tetapi pada saat tubuhnya bergerak berputar, kait itu segera bergerak dalam jurus Liu-seng kan-gwat atau Bintang jatuh mengejar bulan.

Kait-perak itu berputar putar dan tampaknya seperti beratus ratus sinar perak mengelilingi tubuh wanita tua. Yang lebih hebat lagi, hamburan kait- perak Itu semua mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan. Begitu melihat Ho Thian Jing mulai turun tangan, perempuan tua itu tetap tegak tak bergeming. Saat itu dirinya sudah terkepung dalam lingkaran sinar gin kau.

Melihat itu Ho Than Jing memgira tentulah perempuan tua itu tak berdaya dan bingung menghadapi jurus permainan gin-kaunya.

Tetapi diluar dugaan, sekonyong-konyong perempuan tua itu tertawa meringkik dan tahu-tahu tubuhnya melambung ke udara. Waktu melambung itu dia masih tetap memegang tongkat panjangnya dan tongkat itu tetap terpancang di tempat semula

Pada saat perempuan tua mencapai puncak tongkat diatas, terdengarlah bunyi yang keras tring, tring, tring…. tujuh delapan kali terdengar tring senjata beradu. Yang dihajar gin kau adalah tongkat perempuan tua itu.

Tongkat panjang itu terbuat dari bahan baja murni pilihan hajaran gin-kau menimbulkan dering yang nyaring dan letikan bunga api.

Ho Thian Jing seorang jago kelas satu dan ketua perguruan. Walaupun marah tetapi pikirannya masih sadar. begitu gagal, dia cepat mundur. Sementara itu perempuan itu tetap meluncur ke atas dan berdiri diatas puncak tongkatnya.

Ketiga pendekar Jwanse serempak mundur sampal 3 – 4 meter dan tegak berjajar-jajar.

“Apakah anda ini tokoh yang dahulu berasal dari Se gak (Tibet), mendadak muncul dan menggemparkan dunia persilatan tetapi kemudian lenyap tiada beritanya, yaitu yang digelari Sin-ciang Sian-kho (Bidadari tongkat sakti)?”

Perempuan tua yang tegak diatas ujung tongkat tertawa mengekeh, serunya, “Tak kira kalau dahulu baru tiga kali muncul di dunia persilatan, orang masih ingat padaku. Pada hal waktunya sudah lama sekali!“

Ketegangan hati ketiga pendekar itu benar-benar sudah memuncak. Setelah gagal menyerang. Ho Thian Jing tahu kalau kepandaian lawan jauh lebih sakti dari dirinya. Dan kini mereka tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.

Bagaimana asal usul Dewi tongkat sakti itu tiada orang yang tahu. Dunia persilatan hanya tahu bahwa tiba-tiba muncul seorang wanita yang bersenjata tongkat panjang. Dan begitu muncul, dalam waktu beberapa bulan saja, wanita itu sudah mengalahkan beberapa tokoh persilatan ternama.

Peristiwa Itu terjadi ber puluh tahun yang lalu. Sudah tentu ketiga pendekar Jwanse masih kecil Tetapi menurut cerita di dunia persilatan, senjata Dewi tongkat sakti itu sebatang tongkat panjang yang terbuat dari baja hitam, beratnya tak kurang dari 300- an kati. Dan wanita itu sendiri, seorang wanita cantik jelita yang sukar dicari bandingannya.

itulah sebabnya tadi waktu perempuan tua itu muncul dengan membawa tongkat panjang, sebenarnya ketiga pendekar sudah ragu2. Tetapi karena perempuan itu sudah tua dan bertubuh kecil pendek, maka ketiga pendekar itupun tidak menduga kalau yang dihadapinya adalah Dewi tongkat sakti yang tersohor cantik.

Tetapi waktu diserang dan perempuan tua itu terus melambung keatas tongkatnya, suatu hal yang sesuai dengan cerita dunia persilatan tentang gaya permainan Dewi Tongkat sakti, barulah Ki Sam Nio tersadar dan segera bertanya. Ternyata perempuan tua itu memang Dewi Tongkat sakti yang tersohor cantik dan sakti dahulu.

Tetapi kejut pendekar itu bukan karena Dewi tongkat-sakti itu dulu cantik sekarang menjadi seorang perempuan tua yang penuh keriput. Hal itu memang wajar bagi setiap orang yang dimakan usia.

Yang menyebabkan hati ketiga pendekar Itu tergetar adalah karena dulu yang dikalahkan Dewi tongkat sakti itu semua adalah ko jiu atau jago-jago sakti kelas atas. Diantaranya terdapat beberapa ketua perguruan silat. Mereka yang dikalahkan ada yang terluka parah cacat seumur hidup, ada pula yang mengasingkan diri tak mau muncul dalam dunia persilatan lagi

Dari peristiwa itu dapat ditarik kesimpulan betapa sakti kepandaian wanita itu. Dan kalau seorang tokoh sesakti itu sampai mau bernaung dibawah kekuasaan Ceng-te kiong, jelas dapat dibayangkan betapa dahsyat kesaktian dari pemilik istana itu. Sudah tentu dia lebih unggul dari Dewi tongkat sakti,

Timbul seketika bayangan ngeri dalam benak mereka bertiga. kalau mereka hendak melawan Ceng te-kiong tidakkah hal itu seperti …. Merenungkan hal itu wajah ketiga pendekar itu berobah. Sesaat mereka tak tahu bagaimana harus bertindak.

Pada saat itu tubuh si nenek tua melambung lebih tinggi lalu tiba-tiba melayang turun bagai sehelai daun kering yang gugur melayang-layang dari udara.

Selekas turun di bumi, ketiga pendekar itu pun saling bertukar pandang satu sama lain. Mereka tak bicara apa-apa.

Selama hampir setahun berkeliling ke seluruh penjuru dunia persilatan tetapi tak berhasil memperoleh dukungan dari kawan, ketiga pendekar itu sudah menderita keguncangan batin. Tetapi keguncangan itu dapat ditindas oleh keangkuhan dan harga diri mereka. Mereka makin memperteguh keputusannya untuk mengadu jiwa dengan Ceng te kiong.

Namun kini setelah mengetahui betapa hebat kepandaian lawan yang tak mungkin mampu di hadapinya, keangkuhan dan harga diri merekapun berantakan. Mereka tegang seperti patung.

Dewi Tongkat sakti tertawa dingin “Bagaimana, masih ada waktu beberapa lama lagi apakah hendak kalian pergunakan atau tidak?”

Perasaan ketiga pendekar itupun sudah tenggelam. Seperti tenggelam dalam dasar air yang tak diketahui dalamnya. Masih ada beberapa jam lagi yang dapat mereka pergunakan. Oh, ucapan itu sungguh suatu cemoohan yang tajam sekali. Sebelum tengah malam nanti, jika hendak menggunakan sisa beberapa jam, kecuali hanya untuk memperpanjang pernapasan mereka, apa lagi yang dapat dilakukannya? Siapakah yang mampu dalam beberapa jam dapat mencari 7 butir mutiara houlo itu?

Lim In dan Ho Thian Jing, yang satu mencekal kim- to dan yang satu memegang gin-kau. wajah kedua pendekar itu membesi lesi, tegak sepert patung.

Tampaknya mereka seperti tak mendengar kata-kata Dewi Tongkat-sakti.

Sedang tubuh Ki Sam Nio tak henti-hentinya gemetar. Namun dia lebih tenang dari kedua rekannya. Dia menarik Coh Hen Hong yang berada di sisinya, “Siau-moaymoay, dia adalah anak buah engkongmu, mengapa engkau biarkan saja dia unjuk kegarangan dihadapanmu?” 

Semua peristiwa yang terjadi di tempat itu telah dilihat Coh Hen Hong. Dia segera tahu bahwa perempuan tua kecil pendek itu, kepandaian nya jauh lebih tinggi dari ketiga pendekar Jwanse.

Tetapi Coh Hen Hong masih kecil dan wataknya bandel. Jika nama Dewi Tongat sakti itu tentu meruntuhkan setiap orang persilatan yang mendengarnya tetapi tidak mampu membuatnya takut. Karena dia tak tahu siapakah Dewi Tongkat sakti itu.

Menerima teguran Ki Sam Nio, walaupun sebenarnya dalam hati takut, tetapi Coh Hen Hong tetap nekad dan berkata, “Hai, apakah engkau tak tahu kalau aku disini? Apa apaan engkau berteriak teriak begitu?”

Andaikata Dewi Tongkat-sakti saat itu membentak atau menyambut kata-kata Coh Hen Hong dengan tertawa dingin, tentulah dara kecil itu akan mengkeret ketakutan dan tak berani buka suara lagi.

Tetapi saat itu Coh Hen Hong memegang pedang Ceng leng kiam dan sambil menggertak tadi dia menggerak-gerakkan pedang itu. Sudah tentu hal Itu menimbulkan rasa gentar pada Dewi Tongkat sakti.

Memang Dewi Tongkat sakti tak kenal kepada Coh Hen Hong. Tetapi dia tahu bahwa pedang Ceng leng- kiam itu milik Ceng te-kiong. Adalah karena mempertimbangkan soal pedang Ceng leng kiam itu maka tadi dia hanya menghindari serangan Ho Thian Jing dan tak mau balas menyerang.

Sebenarnya Coh Hen Hong hanya nekad saja secara ngawur menegur Dewi Tongkat-sakti Tetapi diluar dugaan Dewi Tongkat sakti benar-benar terkejut dan gentar. Dia berseru seraya tertawa “Siau-kounio, engkau ini….“

Sungguh diluar dugaan Coh hen Hong bahwa Dewi Tongkat-sakti bersikap begitu lunak dan ramah kepadanya. Hal itu makin membesarkan nyali si dara liar. Dia segera membentak, “siapa diriku ini apa engkau tak tahu, Hm, apakah engkau tinggal di Ceng- te-kiong? Mungkin di istana Ceng-te kiong engkau hanya seorang kerucuk saja”

Dewi Tongkat-sakti tersingung dengan hinaan itu. Dia hendak marah tetapi karena diluar dugaan kata Coh Hen Hong itu memang tepat sekali dengan keadaan di istana Ceng te-kiong, walaupun marah tetapi Dewi Tongkat-sakti terkejut juga.

Ternyata istana Ceng-te kiong itu luas sekali Yang dipertuan atau pemilik istana itu sangay misterius gerak geriknya. Walaupun Ceng te-kiong mempunyai sejumlah besar jago-jago ko-jiu tetapi tanpa mendapat perintah tak boleh datang ke tempat kediaman sang raja. Memang setiap tahun Sekali diadakan rapat besar sehingga anak buah Ceng-te- kiong dapat melihat wajah sang raja di kala mereka menghaturkan selamat. Tetapi siapa-apa yang tinggal bersama raja Ceng-te-kiong Itu, tak seorangpun yang tahu,

Melihat Coh Hen Hong membawa pedang Ceng- leng-kiam dan bicaranya berseru lantang kepadanya, diam-diam Dewi Tongkat-sakti terkesiap dan cepat menduga bahwa dara kecil itu tentulah orang yang dekat sekali dengan pemilik Ceng te kiong.

Maka dengan menekan rasa kemarahannya karena di hina tadi, Dewi Tongkat sakti paksakan diri tertawa, “Engkau…. hi, hi…. tentulah dengan cu-jin….”

Melihat Dewi Tongkat sakti begitu menghormat kepadanya, karena girang Coh Hen Hong sampai lupa diri dengan cepat berseru, “Aku Yalah gwa-sun li dari pemilik Ceng te kong, Apakah engkau belum pernah melihat aku?”

Gwa sun-li artinya cucu luar perempuan. Dalam adat istiadat Tionghoa, seorang yang punya anak perempuan dan anak perempuan itu menikah lalu mempunyai anak, maka anak itu adalah cucu-luar. Tetapi kalau anak dari anak lelakinya, disebut cucu- dalam.

Karena Coh Hen Hong mengaku sebagai Kwan Beng Cu dan Kwan Beng Cu itu anak dari Kwan hujin sedang Kwan hujin Itu anak dari pemilik Ceng te-kiong maka Kwan Beng Cu (Cob Hen Hong) adalahh gwa sun li atau cucu-luar perempuan dari pemilik Ceng-te-kiong.

Waktu mengatakan kalau dirinya itu cucu luar dari pemilik Ceng-te kiong, hati Coh hen Hong kebat kebit tak karuan. Dia takut kalau Dewi Tongkat-sakti tak percaya.

Memang kalau Coh Hen Hong begitu saja mengaku sebagai cucu pemilik Ceng te kiong, tentulah Dewi Tongkat sakti tak mau percaya. Tetapi karena anak perempuan itu membawa pedang Ceng leng kiam, sudah tentu Dewi Tongkat sakti tak ragu2 lagi.

“Oh kiranya siau cujin (majikan kecil), kalau begitu apakah cujin juga keluar istana?” gopoh Dewi Tongkat-sakti bertanya.

Coh Hen Hong gelengkan kepala, “Tidak, hanya aku sendiri.”

Diam-diam timbul Suatu pikiran dalam hati Dewi Tongkat sakti, dia menganggap itulah suatu kesempatan bagus. Kebanyakan dara kecil itu tentu diam-diam menyelinap keluar dari istana. Kalau dia dapat membawanya ke istana Ceng-te-kiong, bukankah dia akan mendapat jasa dari pemilik istana. Maka cepat-cepat dia berseru. “Aya, di dunia persilatan penuh dengan bahaya. Engkau masih kecil, mengapa seorang diri berani keluar?”

Coh Hen Hong mendesuh, “Hm, aku seorang diri berkelana di luar, bukan hanya sehari dua hari, takut apa?”

Memang apa yang dikatakan Coh Hen Hong itu sungguh seperti yang dialaminya. Tetapi Dewi Tongkat-sakti benar-benar percaya kalau anak itu cucu luar dari pemilik Ceng te-kiong. Maka waktu mendengar pernyataan Coh Hen Hong, Dewi Tongkat- sakti mempunyai tanggapan lain.

“Tentu saja, tentu saja,” katanya tertawa, “dengan bekal kepandaian yang engkau miliki,

engkau tentu dapat berkelana di dunia persilatan dengan leluasa. Tetapi kalau sudah terlalu lama engkau meninggalkan istana, tentulah cu-jin meng harap-harap. Bagaimana kalau ikut aku pulang ke istana?”

Ucapan Dewi Tongkat-sakti itu benar-benar sesuai sekali dengan yang diharap Coh Hen Hong. girangnya bukan kepalang. Pikirnya, Kwan Beng Cu juga belum pernah bertemu dengan engkongnya. Maka kalau dia mengaku sebagai Kwan Beng Cu tentulah pemilik Ceng-te kiong akan percaya juga. Wah, ternyata rencananya dapat berjalan lancar. Tentang bagaimana nanti, ia dapat menyesuaikan diri apabila sudah berada di istana Ceng-te-kiong.

Sejenak berpikir, Coh Hen Hong terus menyahut, “Baiklah!“ 

Dewi Tongkat-sakti cepat melesat maju memegang tangan Coh Hen Hong. Kalau saja saat itu dia mempunyai keberanian untuk menguji kepandaian Coh Hen Hong, tentulah dia akan tahu bahwa Coh Hen Hong itu jelas bukan cucu dari pemilik Ceng te kiong. Tetapi ternyata dia tak berani melakukan hal Itu.

“Sau moaycu!“ seru Sam Nio.

Coh Hen Hong miringkan kepala dan berkata kepada Dewi Tongkat-sakti, “Mereka bertiga adalah kawanku, kalian jangan bertempur!”

“Ya, sudah tentu,” jawab Dewi Tongkat sakti.

Mendengar ucapan Dewi Tongkat-sakti, barulah ketiga pendekar Jwanse itu menghela napas longgar. Diam-diam mereka merasa malu dalam hati sendiri. Mereka yang selama ini merasa namanya termasyhur di seluruh dunia persilatan, ternyata harus mengandalkan bantuan seorang anak perempuan baru nyawa mereka dapat selamat.

Cepat mereka mengangkat tangan menghaturkan hormat kepada Dewi Tongkat-sakti dan tanpa bicara sepatah kata, mereka berputar tubuh terus melesat ke luar lembah.

Setelah ketiga pendekar itu pergi, hati Coh hen Hong mulai kebat kebit. Tetapi dia berusaha bersikap seperti tak terjadi suatu apa.

“Bagaimana aku harus menyebutmu?“ tanya Dewi Tongkat-sakti. “Aku bernama Kwan Beng Cu,” sahut Coh Hen Hong.

“Nona Beng Cu, kata orang tadi karena mempunyai hubungan maka engkau lepaskan. Nanti dihadapan engkongmu, Harap engkau mengatakan hal itu,” kata Dewi Tongkat-sakti.

“Ah, tak apa, jangan kuatir,” kata Coh Hen Hong.

Dewi Tongkat-sakti gembira sekali. Sambil menarik tangan dara kecil itu, dia terus ayunkan langkah tinggalkan lembah Lian-hoan-koh Beberapa hari lamanya Dewi Tongkat-sakti menempuh perjalanan, propinsi, karesidenan, desa dan gunung telah dilintasi. Mereka menuju ke utara. Selama itu Dewi Tongkat- sakti memperlakukan Coh hen Hong dengan baik sekali. Apa yang diinginkan dara kecil itu selalu diusahakan sampai memenuhi keinginannya.

Bertahun-tahun lamanya Coh Hen Hong hidup mengembara sebagai gelandangan. Tak pernah dia merasakan kehidupan yang enak begitu. Dan selama menikmati bidup seperti seorang puteri ini timbullah keputusannya bahwa dia harus tetap mengaku sebagai Kwan Beng Cu dan bahkan selama-lamanya harus menjadi Kwan Beng Cu. jika dia melepaskan etiket “Kwan Beng Cu tentu dia akan hidup sengsara lagi.

Begitu hampir sebulan lamanya, mereka telah tiba di perbatasan Oupak. Pada hari itu sejak pagi mereka mulai memasuki daerah gunung yang berhutan lebat. Dan setengah hari kemudian, tiba di muka gunduk karang yang menjulang tinggi. Bentuk karang itu seperti pintu anglo. Dari atas karang, mengalir banyak sekali air yang mencurah kebawah. Ditingkah sinar matahari, air itu memancarkan sinar pelangi yang kemilau.

Dibawah tebing karang Itu terbentang sebuah hutan belantara. Begitu hampir tiba di hutan, segera terdengar dari arah hutan, suara seorang perempuan tua menegur, “Siapa?”

“Sin-ciang yang datang,“ sahut Dewi Tongkat sakti.

Coh Hen Hong yang cerdas segera tahu bahwa saat itu dia sudah tiba di istana Ceng te kiong. Tetapi diam- diam dia curiga. Yang dihadapinya hanyalah hutan lebat, pegunungan dan karang2 yang curam. Tak ada lainnya lagi. Masa disitu terdapat Ceng-te kiong yang katanya seperti tempat kadewaan?

Pada saat itu sesosok tubuh melesat keluar dari dalam hutan. Orang itu juga seorang perempuan tua. Tangannya mencekal sebatang tongkat warna hijau. Rambutnya putih keperak-perakan dan wajahnya sangat ramah asih.

Melihat perempuan tua itu seketika jantung Coh Hen Hong berdetak keras. Kalau bisa, ingin sekali dia ambles saja ke dalam tanah. Mengapa? Karena perempuan tua berambut putih itu tak lain adalah Ih pohpoh.

Memalsu sebagai Kwan Beng Cu, ia dapat mengelabuhi seluruh manusia di dunia, bahkan pemilik istana Ceng-te-kiong. Tetapi hanya terhadap tiga orang yang dia tak mampu mengelabuhi. Mereka yalah Kwan Beng Cu, Pui Tiok dan nenek Ih. 

Tiba di hadapan Dewi Tongkat-sakti, nenek Ih memandangnya sejenak lalu beralih memandang Coh Hen Hong dan serentak mulutnya mendesis, “ihhhh”.

Saat itu Coh Hen Hong mati kutu benar-benar. Dia tak tahu bagaimana harus mencari akal. Terpaksa dengan wajah pucat dia menantikan apa yang akan terjadi saja.

Nenek Ih kerutkan sepasang alis dan menegur Dewi Tongkat sakti, “Sin-ciang, perlu apa engkau membawa anak perempuan begitu?”

Dewi Tongkat-sakti tak memperhatikan perobahan airmuka Coh Hen Hong. Dia serempak menyahut gembira, “Ih pohpoh, engkau kira dia itu, orang luar? Dia adalah cucu-luar dari cujin yaitu nona Beng Cu!”

“Huh dia itu siapa?” dengus Ih pohpoh.

Dewi Tongkat sakti cukup banyak makan asam garam dunia. Sudah tentu dia tahu bahwa ucapan Ih pohpoh itu bernada mengejeknya. Dia tertegun.

“Dia adalah nona Beng Cu, cucu luar dari cujin, bagaimana…. engkau ….. Mengenalnya?” serunya sesaat kemudian.

Dewi Tongkat sakti bicara setengah jalan, nenek Ih sudah tertawa, “Apa alasanmu mengatakan dia itu cucu luar dari cujin?”

“Dia membawa pedang pusaka Ceng-leng kiam,.

Apa engkau tak melihatnya?” “Tentu saja melihat,” sahut nenek Ih, sembari maju dua langkah ke muka Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong menyurutkan kepala. lngin sekali dia dapat memasukkan kepalanya kedalam rongga dadanya agar tak kelihatan orang.

Tetapi Itu hanya keinginan. Andaikata dapat terjadi pun sudah terlambat karena saat itu sebelah tangan nenek Ih sudah dijulurkan dan diletakkan pada ubun- ubun kepala Coh Hen Hong.

Dari telapak nenek Ih timbul suatu tenaga penyedot yang menarik kepala Coh Hen Hong dari lehernya.

Seumur hidup belum pernah Coh Hen Hong menderita kelabakan seperti saat itu.

Rupanya Dewi Tongkat-sakti melihat juga tindakan nenek Ih, serentak dia berseru, “Ih pohpoh. mengapa engkau itu?”

Ih pohpoh tak menjawab teguran Dewi Tongkat- sakti melainkan bertanya kepada Coh Hen Hong, “Bagaimana pedang Ceng-leng-kiam bisa jatuh ke tanganmu? Dimana nona Beng Cu sekarang? Lekas bilang!”

perkataan nenek Ih dipancarkan dengan tenaga- dalam. Telinga Coh Hen Hong seperti disambar petir. Sesaat dia tegak telongong longong.

“Dia…. dia bukan nona Beng Cu?” Dewi Tongkat sakti berseru kaget. Nenek Ih dingin2 berkata, “Untung hari ini aku yang menyambut, kalau lain orang, tentulah sama dengan engkau, awur awuran saja menganggap dia nona Bing Cu dan membawa masuk ke istana Ceng-te-kiong!”

Serentak marahlah Dewi Tongkat-sakti. Dia memandang Coh Hen Hong dengan mata berapi api. Saking takutnya Coh Hen Hong mau menangis tetapi karena terlalu takut, dia sampai tak dapat menangis. Dia hanya mendelik seperti orang dicekik setan.

Dewi Tongkat-sakti juga maju menghampiri dan dengan jari tengah menuding pada kening Coh Hen Hong, dia berseru, “Engkau berani menipu aku, hm, hm, engkau setan kecil ini, memang sudah bosan hidup. Heh, kalau engkau tak mau mengatakan dimana nona Beng Cu berada segera akan kuhias kepalamu dengan beberapa lubang angin!”

Coh Hen Hong rasanya kedua kakinya lunglai katanya, “Aku…. aku….

Sampai beberapa jenak dia hanya tetap dapat berkata “aku…. aku….” saja.

“Tak perlu engkau main kayu lagi,” kata nenek Ih, “hari ini engkau ketemu aku, memang sudah nasibmu. Apakah engkau masih tak mau bilang? Lain orang mungkin belum pernah melihat nona Beng Cu tetapi akulah satu satunya orang yang pernah bertemu dengan dia!” 

Mendengar pernyataan itu tampak air muka Dewi Tongkat-sakti berobah. Tetapi karena sedang mencurahkan perhatiannya kepada Coh Hen Hong maka nenek Ih tak sempat mengetahui Wajah Dewi Tongkat sakti.

Karena takutnya wajah Coh Hen Hong berobah pucat dan tubuhnya gemetar keras. Mulutnya tetap mengoceh “aku…. aku….” saja.

Pada saat itu Dewi Tongkat-sakti pelan2 maju selangkah dan julurkan tangan ke leher Coh Hen hong seraya membentaknya, “Setan kecil, ternyata engkau menipu aku. Aku hendak suruh engkau menikmati sesuatu yang bagus!”

Sambil tangan kiri menuding leher Coh Hen hong, tangan kanan dewi Tongkat sakti bergerak melintangkan tongkatnya. Tampaknya seperti hendak mengayunkan tongkat membunuh Coh Hen hong.

Pada saat itu sepasang tangan nenek Ih di angkat keatas untuk menyambut hantaman tongkat Dewi Tongkat sakti seraya mencegahnya, “Jangan buru- buru membunuhnya. Aku masih perlu menanyainya.

Tapi sebelum nenek Ih menyelesaikan kata katanya, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang tak terduga. Tongkat yang diayunkan Dewi Tongkat sakti, walaupun telah dicegah dengan kedua tangan oleh nenek Ih, bukan saja tidak mau berhenti malah dengan kecepatan tinggi terus menghantam.

Tongkat besi dari Dewi Tongkat-sakti itu tak kurang dan 3-5 ratus kati beratnya. Sudah tentu hantamannya bukan kepalang dahsyatnya.

Nenek Ih sedikitpun tak pernah menduga bahwa Dewi Tongkat-sakti akan berbuat begini terhadap dirinya. Sebelum Ia sempat bergerak kedua lengannya telah terhantam tongkat, krek, krek…. tulangnya remuk seketika.

Nenek Ih menjerit kaget, “Engkau……..

Nenek Ih menderita kesakitan yang tak terperikan tetapi karena ilmu kepandaiannya sakti, sambil berteriak, dia loncat mundur.

Tetapi tepat pada saat itu lengan kiri Dewi Tongkat sakti menekuk, semua jarinya yang diarahkan ke kening Coh Hen Hong, sekarang ber putar arah. Sekali jarinya ditekuk dan diselentikkan, wut, wut, wut…. tiga buah sinar perak meluncur kearah nenek Ih.

Nenek itu hanya mundur dua tiga langkah dan luncuran benda bersinar perak itu bukan main Cepatnya, nenek Ih tak berdaya menghindari lagi. Tiga biji piau kecil, tepat menyusup ke dada nenek Ih. Dia tak berkutik tetapi belum rubuh.

Sekali tekankan tongkat ke tanah, tubuh Dewi Tongkat saktipun sudah melayang ke muka dan plakkk…. dihantamnya ubun-ubun kepala nenek Ih.

Sekalipun ilmu kepandaian nenek Ih lebih tinggi lagi tetapi karena kedua lengannya remuk, dada termakan tiga butir senjata rahasia dan sekarang ubun-ubun kepalanya dihantam tetap dia takkan kuat bertahan lagi. Tampak tubuhnya terhuyung huyung tiga kali dan bluk…. akhirnya rubuhlah dia ke tanah.

Pada saat itu Dewi Tongkat sakti sudah melayang kembali ke tempatnya tadi. Peristiwa itu berlangsung secepat mata mengejap. Tetapi apa yang terjadi, benar-benar membuat orang mendelik ternganga.

Coh Hen Hong juga ternganga. Apa yang telah terjadi di depan matanya, ia melihat dengan jelas tetapi dia masih tak percaya kalau peristiwa itu terjadi sungguh-sungguh.

Baru setelah Dewi Tongkat sakti melayang balik dan tertawa dingin, ia tergetar dan mengangkat muka berseru, “ini…. ini……”

Kedua gerahamnya bergemerutuk namun mulutnya hanya dapat mengatakan sepatah kata “ini, ini….” saja.

“ini apa?” seru Dewi Tongkat sakti dingin. “Ih pohpoh mati ditanganku, engkau tahu tidak?”

Saat itu baru Coh Hen Hong agak tenang, sahutnya, “Ya…. aku tahu.”

Dewi Tongkat sakti memandang Coh Hen Hong dengan tatap mata yang tajam penuh arti, kemudian tertawa mengekeh, Heh, heh, sejak saat ini, hanya aku seorang yang tahu kalau engkau memalsu Kwan Beng Cu. Apa engkau mengerti?”

Bagaimanapun Coh Hen Hong itu masih belum cukup umurnya. Dia tak mengerti apa arti di balik kata-kata Dewi Tongkat sakti. Dia hanya mendengar kalau Dewi Tongkat sakti menyatakan kalau dia memalsu sebagai Kwan Beng Cu maka diapun menggigil ketakutan. “heh, heh,” Dewi Tongkat sakti mengekeh pula, “Itu artinya. kalau aku tak mau membuka rahasia maka perbuatanmu memalsu Kwan Beng Cu itu, takkan ada orang yang tahu, mengerti?”

Coh Hen Hong berotak cerdas. Saat itu dia mulai merasakan sesuatu pada ucapan Dewi Tongkat sakti. Sekarang dia tidak ketakutan lagi.

“Engkau maksudkan, engkau…. akan melindungi pemalsuanku itu?” Ia menegas.

“Benar,” sahut Dewi Tongkat sakti, “tetapi kesatu,. engkau harus lebih dahulu menceritakan kisahnya.

Sejelas jelasnya bagaimana asal mula engkau berbuat begitu. Kedua, setelah masuk ke istana Ceng te-kiong, setiap bulan sekali engkau harus menemui aku. Apa yang kusuruh engkau lakukan, engkau harus melakukannya. Apakah engkau sanggup menerima syaratku itu?”

Waktu mendengar kata-kata Dewi Tongkat sakti Itu, girang Coh Hen Hong sukar dilukiskan. Tadi setelah nenek Ih menelanjangi rahasianya, Coh Hen hong mengira dirinya pasti mati. Tetapi ternyata telah terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka. Suatu perobahan yang benar-benar tak pernah diduga sama sekali.

Coh Hen Hong tahu bahwa hanya Dewi Tongkat sakti yang tahu rahasia dirinya. Sejak sekarang dia harus mematuhi petunjuk Dewi itu Walaupun memperkosa batinnya tetapi apa boleh buat. Dari pada mati lebih baik menerima keadaan itu. Dan pula bagaimana nanti yang akan terjadi setelah dia masuk ke istana Ceng-te-kiong, dia masih belum tahu. Oleh karena itu dia lebih baik menerima syarat yang diajukan dewi itu.

“Baik, aku akan menurut perintahmu,”

Dewi Tongkat sakti tertawa girang, “Baik, sekarang lebih dulu kasih tahu padaku bagai mana caramu memalsu sebagai Kwan Beng Cu itu?”

Biji mata Coh hen Hong berkeliaran. Diam-diam dia menilai bahwa nenek tua itu bukan seorang yang baik. Tak seharusnya dia berkata dengan sejujurnya. Lebih baik dia merangkai cerita untuk memenuhi permintaannya.

Memang Coh Hen Hong mempunyai bakat. Cerita yang dikarangnya secara seketika, cukup baik sehingga Dewi Tongkat sakti mau mempercayainya. Masa anak perempuan sekecil itu dapat mengarang cerita yang tak sungguh, pikirnya.

Selesai mendengarkan cerita Coh Hen Hong, Dewi Tongkat sakti puas dan mengangguk gembira.

Coh Hen Hong mengangkat muka, pura-pura seperti minta dikasihani, “Sian-koh, ku…. takut aku tak…. berani ke sana.”

“Tak perlu takut,” cepat Dewi Tongkat sakti menukas “begitu bertemu engkongmu engkau harus mengatakan asal usulmu seperti yang engkau rencanakan itu.”

“Tetapi bagaimana kalau sampai ketahuan….” 

Dewi Tongkat-sakti tertawa dingin, “Sekarang dalam soal ini, kecuali engkau dan aku, hanya langit dan bumi yang tahu. mengapa bisa ketahuan? Asal engkau ingat untuk mematuhi pesanku, kita berdua tentu takkan kekurangan apa-apa lagi.”

Sebenarnya Coh Hen Hong memang tak takut dan Seratus persen mau melakukan. Tetapi dia memang sengaja berpura-pura supaya Dewi Tongkat-sakti berusaha untuk membujuknya. Setelah itu dengan sikap seperti terpaksa, dia lalu menganggukkan kepala.

Berbicara soal kecerdikan dan keganasan, tindakan Dewi Tongkat sakti yang tiba-tiba membunuh nenek Ih, lalu menyuruh Coh Hen Hong supaya tetap memainkan rol sebagai Kwan Beng Cu tetapi harus menurut segala perintahnya, memang Dewi Tongkat sakti harus mendapat nilai paling tinggi.

Tetapi dia sama sekali tak sadar bahwa dia pun dipermainkan oleh Coh Hen Hong yang akan memperalatnya. Dengan demikian menilik umur dan pengalamannya jelas nilai tertinggi dalam hal kelicikan dan keganasan, harus diberikan kepada Coh hen Hong, bukan Dewi Tongkat sakti.

Dewi Tongkat sakti lalu mengubur mayat nenek Ih, setelah itu dia terus mengajak Coh Hen Hong melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama mereka tiba dibawah tebing karang yang menjulang tinggi itu. Dari jauh, tebing karang tinggil itu tampak perkasa sekali. Setelah dekat lebih mengejutkan lagi. Saat Coh Hen Hong memandang keatas, dia merasa tebing karang itu seolah akan rubuh menimpanya sehingga dia mengucurkan keringat dingin.

“Sian-koh, rasanya di muka sudah tidak ada jalannya lagi” katanya.

Dewi Tongkat sakti tertawa, “Rahasia istana Ceng- te-kiong, mana engkau tahu? Engkau lihat! “ Sambil berkata dia gerakkan ujung kaki, Dewi Tongkat sakti dengan menendang tiga biji batu sebesar kepalan tangan. Memang hebat sekali kepandaiannya.

Tampaknya santai saja dia gerakkan kaki tetapi ternyata gerakan itu telah menimbulkan angin yang menderu deru, plak, plak plak…. tiga butir batu itu mencelat membentur dinding tebing karang.

Yang mengherankan, benturan batu pada tebing karang Itu berkumandang keras, seperti karang itu kosong dalamnya.

Pada saat Coh Hen Hong tertegun dari dalam karang terdengar suara orang yang bernada berat, “Siapa?”

Mendengar dalam karang ada suara orang, Coh Hen Hong melonjak kaget.

“Aku Sin-cang lekas buka pintu,” sahut Dewi Tongkat sakti.

Kembali terdengar suara menyahut dan menyusul segunduk batu besar pelahan-lahan mengisar ke dalam. Batu besar yang terletak diatas karang itu, tampaknya hanya batu yang secara alamiah meggunduk disitu. Siapa tahu ternyata merupakan sebuah mulut jalan.

setelah batu mengisar ke dalam, Dewi Tongkat- sakti segera menggandeng tangan Coh Hen Hong memasuki lubang batu itu.

Saat itu Cuh Hen Hong kejut2 heran disamping takut, Sambil memegang tangan Dewi Tongkat sakti, dia tak berani bicara apa-apa. Ternyata didalam lubang batu itu terdapat sebuah gua. Dan batu itu diikat dengan rantai yang bergerak ke belakang.

Selekas mereka masuk maka batu besar itupun menutup kembali.

Tetapi pada saat itu mereka melihat seorang dengan membawa obor muncul keluar dari sekeping pintu besi. Orang itu masih muda, matanya berkilat- kilat tajam memandang kearah Dewi Tongkat sakti dan Coh Hen Hong.

Sebelum orang itu membuka mulut, Dewi Tongkat- sakti sudah mendahului, mengapa hari ini didalam hutan tak ada yang jaga?“

Lelaki pertengahan umur itu terkesiap, sahutnya, “Hari ini yang jaga di hutan adalah Ih pohpoh siapa bilang tidak ada penjaganya?

Dewi Tongkat-sakti sengaja bertanya begitu untuk membuang jejak, agar tidak dicurigai kalau dia yang membunuh Ih pohpoh. Dia gelengkan kepala, “Aneh, mengapa aku tak melihatnya sama sekali!”

Lelaki pertengahan umur itu tidak menjawab tetapi menunjuk pada Coh Hen Hong dan berseru. “Anak perempuan ini….“

“Lekas suruh orang melapor pada cujin kalau aku akan menghadap perlu melaporkan urusan penting,” cepat Dewi Tongkat-sakti menukas.

Lelaki itu tertawa dingin, “Urusan penting apa? Apakah akan membunyikan bedug Lian-hun-kou?“

Lian hun kou merupakan genderang raksasa dari istana Ceng-leng kiong sebagai pertandaan apabila ada urusan penting untuk mengundang pemilik Ceng- te-kiong keluar. Sudah tentu tak boleh sembarangan dibunyikan.

Lelaki itu mengajukan pertanyaan itu bukan dengan maksud sungguh 2 melainkan hanya untuk mengejek saja.

Dewi Tongkat sakti tertawa dingin dan jawabnyapun diluar dugaan lelaki itu.

“Ya, memang demikian,” sahut Dewi Tongkat sakti.

Wajah lelaki itu berobah seketika, “Sian-koh, kalau engkau tidak membawa berita yang penting sekali jangan berani sembarangan membunyikan Lian hun- kou, tahukah engkau bagaimana akibatnya?” Dewi Tongkat-sakti berkata dingin, “Aku sudah tinggal di Ceng te kiong lebih lama dari engkau, mengapa tak tahu hal itu?“

“Kalau begitu, silahkan,” sahut lelaki itu. Sambil berkata dia sudah mendahului mundur selangkah, berputar dan membuka pintu besi lalu melangkah masuk.

Dewi Tongkat sakti menggandeng Coh Hen Hong mengikuti dibelakang orang itu. DidaLam pintu besi itu merupakan sebuah terowongan yang panjang

berbiluk-biluk. Ada kalanya terowongan itu lebar tetapi ada kalanya sempit. Menandakan kalau terowongan alam,

Hampir setengah jam kemudian setelah keluar dari terowongan dan memandang ke muka hampir Coh Hen Hong melongo dan tak percaya apa yang di lihat nya saat itu,

Disebelah muka merupakan sebuah lembah gunung yang besar, penuh dengan pohon-pohonan, banyak sekali bunga dan rumput yang tumbuh rimbun,

Di bagian dalam dari hutan tampak puncak sebuah gedung istana. Puncak itu bertabur macam-macam batu permata yang berkilau-kilauan menyilaukan mata. Benar-benar sebuah puncak gedung yang sangat mewah dan megah.

Sekeliling lembah itu terdapat banyak perumahan yang bersih dan teratur, banyak margasatwa yang berkeliaran bebas. Ada lagi sebuah telaga kecil yang tepinya di tumbuhi perpuluh pohon tinggi yang penuh dengan bunganya yang mekar. Bunga-bunga Itu beraneka warna. Permukaan telaga yang memantulkan langit biru berhias puluhan bunga warna warni yang indah, benar-benar merupakan suatu alam pemandangan yang luar biasa mempersonakan.

Kalau tidak ditarik tangannya oleh Dewi Tongkat- sakti tentulah Coh Hen Hong akan berdiri kesima, tak mau berjalan.

Pada sebuah pohon tua, digantung sebuah bedug (tambur) besar dan bertuliskan kata-kata Siapa tanpa sebab membunyikan bedug ini pasti akan dihukum mati.”

Tetapi begitu tiba di muka bedug. Dewi Tongkat sakti terus memukul tiga kali, dung…. dung dung .

Suaranya benar-benar seperti menembus gumpalan awan dilangit, sehingga Coh Hen Hong sampai melonjak kaget.

Kumandang bedug itu tak henti-hentinya bergema sampai jauh. Seperti gelombang angin puyuh tetapi bukan angin puyuh, karena keadaan di sebelah muka tenang, matahari bersinar, angin mendesis lembut.

Tengah Coh Hen Hong terkejut dan heran akan suara gemuruh seperti angin puyuh itu, tiba tiba dari hutan lebat itu bertebaran delapan gumpal awan hitam.

Sudah tentu Cohb Hen Hong melonjak kaget. Waktu memandang dengan teliti baru dia dapat melihat jelas bahwa yang terbang dari tengah hutan itu bukan awan hitam melainkan delapan ekor elang raksasa yang tengah merentang kedua sayapnya. Kedua sayap dari setiap burung itu tak kurang dari dua tombak lebarnya.

Kedelapan elang raksasa Itu cepat sekali terbangnya. Dan suara menderu seperti angin puyuh itupun berasal dari kedelapan burung raksasa Itu.

Hampir hanya dalam beberapa kejab mata Saja kedelapan elang raksasa yang terbang dengan formasi yang rapi, serempak berhenti dimuka pohon tua tadi.

Saat itu Dewi Tongkat sakti sudah tak memukul bedug lagi.

Coh Hen Hong memandang dengan ngeri kepada kedelapan elang raksasa yang gagah perkasa itu.

Kepalanya seperti manusia paruhnya seperti besi dan bulunya mengkilap seperti tembaga.

Wajah Dewi Tongkat sakti agak berobah dan hatinya tegang. Walaupun dia yakin bahwa rencananya itu sama sekali tak mungkin akan bocor tetapi menghadap kehadiran kedelapan elang raksasa yang berarti kepala istana Ceng-te-kiong akan datang, hati Dewi Tongkat-sakti berdetak keras. Dia berusaha untuk menekan gejolak perasan itu namun tak urung cahaya air mukanya juga masih kentara.

Dipegangnya tangan Coh Hen Hong erat2. Coh Hen Hong dapat merasakan ketegangan hati wanita tua itu dan Ikut berdebar-debar, Setengah jam setelah kedelapan ekor elang raksasa itu datang, terdengarlah suara berdetak-detak macam kaki melangkah. Tampaknya suara itu pelahan-lahan sekali dan berasal dari jauh tetapi entah bagaimana dalam beberapa kejap saja tampak sesosok tubuh melesat dan tahu-tahu munculah seorang.

Begitu orang itu muncul, Dewi Tongkat sakti segera berlutut memberi hormat seraya berseru, “Hamba Sin- ciang Sin-koh, mohon menghadap cujin.”

Karena masih tetap dipegang Dew Tongkat-sakti maka waktu dewi itu berlutut, Coh Hen Hong juga ikut tertarik tetapi anak itu tidak ikut berlutut hanya merentang kedua matanya memandang orang yang datang itu.

Ternyata pendatang itu seorang lelaki yang jangkung kurus, tangannya memegang tongkat warna merah tua. Bunyi berdetak-detak tadi berasal dari tongkat yang dibuat jalan.

Wajahnya serius. sinar matanya berpengaruh sehingga orang yang beradu pandang dengan dia tentu akan menunduk, tak berani memandang.

Waktu Coh Hen Hong memandangnya, orang itu pun tengah memandangnya. Coh Hen Hong seperti kena stroom listrik, berjengit lalu cepat-cepat tundukkan kepala.

Terdengar orang itu berkata, “Tak usah banyak peradatan. Bukankah engkau sudah bertemu dengan ketua dari ketiga perguruan silat di Jwanse itu?

Dewi Tongkat-saktt berbankit dan mengiakan, “Ya.” 

Saat itu Coh Hen Hong segera tahu bahwa lelaki yang dihadapannya itu adalah kepala istana Ceng te kiong sendiri atau “engkongnya”.

Sudah tentu hati Coh Hen Hong makin tegang sekali.

“Ketua dari ketiga perguruan di Jwanse itu apakah sudah melaksanakan pesananku setahun yang lalu?” kata kepala Ceng-te-kiong pula.

“Tidak, mereka tidak melakukan,” sahut Dewi Tongkat-sakti.

Dengan tenang sekali kepala Ceng-te-kiong berkata, “Kalau begini, Go-bi, Ceng-shia dan kiam- bun, apakah seluruh anak buahnya sudah dibasmi semua?”

“Belum,” kembali Dewi Tongkat-sakti menjawab.

Wajah kepala Ceng te kiong berobah, serunya sarat, “Kalau begitu….“

Dewi Tongkat-sakti cepat mendahului, “Mohon cujin suka mengijinkan aku menghaturkan laporan. Karena peristiwa itu berkembang secara tak terduga-duga.

Ketiga pendekar Jwanse itu datang bersama nona Beng Cu. mereka adalah sahabat baik dari nona Beng Cu”

“Siapa nona Beng Cu itu?” seru ketua Ceng te kiong dengan dingin. Sambil menarik Coh Hen Hong, berserulah Dewi Tongkat-sakti dengan nada yang ramah, “Nona Beng Cu, ini adalah engkongmu, mengapa engkau tak lekas memberi hormat?”

Rupanya Coh Hen Hong ketakutan. Walaupun didorong kemuka oleh Dewi Tongkat-sakti tetapi Coh Hen Hong menyurut mundur lagi. Tetapi pada saat itu pemilik Ceng te kiong sudah berpaling dan memandang Coh Hen Hong. Sudah tentu anak perempuan itu makin ketakutan setengah mati.

“Sin-ciang, engkau bilang apa? seru pemilik Ceng-te kiong dengan serius.

Dewi Tongkat-sakti kembali berlutut dan katanya, “Mohon cujin berkenan mendengarkan laporan hamba. kalau bukan karena soal ini tentulah aku tak berani membuat kejut cujin. Nona Beng Cu ini adalah cucu- luar perempuan dari cujin.”

“Bagaimana engkau tahu?” seru pemilik Ceng te- kiong dengan tajam.

“Agar jelasnya, nona Beng Cu dapat memberi keterangan sendiri, dia membawa pedang ceng leng kiam.

Tubuh pemilik Ceng-te kiong tergetar keras, serunya, “Ceng leng kiam, dimana, dimana?”

Kembali Dewi Tongkat sakti mendorong Coh Hen Hong dan anak itu segera menyingkap baju, mengambil pedang Ceng-leng-kiam. Tetapi pada saat Coh Hen Hong mencekal pedang, pemilik istana Ceng te-kiong pun sudah melambaikan tangan nya. seketika itu Coh Hen Hong rasakan suatu gelombang tenaga- penyedot yang kuat, menarik pedangnya sehinga dia tak kuasa memegangnya lagi. Pedang Ceng-leng kiam melayang kepada pemilik Ceng te-kiong.

Selekas mencekal pedang, sejenak memandang pemilik Ceng-te-kiong terus memandang kepada Coh Hen Hong lagi.

Saat itu cahaya wajah pemilik Ceng-te-kiong sukar dilukiskan.

Beberapa saat kemudian baru dia berkata kepada Coh Hen Hong, “Mama….mu?”

Waktu dipandang pemilik Ceng-te-kiong, Coh hen Hong sudah gugup dan ketakutan tak karuan. Kalau saja pemilik Ceng-te kiong menanyakan lain2 soal, kemungkinan tentulah Coh Hen Hong akan ketahuan belangnya. Tetapi justeru pemilik Ceng te kiong itu menanyakan mamanya. Sesaat Coh Hen Hong lupa bagaimana peran yang dia lakukan saat itu. Dia serentak teringat akan mamanya sendiri yang telah mati secara mengenaskan. Maka diapun serentak menjawab, “Sudah meninggal….”

Dan setelah itu karena teringat akan nasib mamanya yang malang, airmatanyapun mengucur deras.

Melihat itu, pemilik Ceng te kiong segera menghela napas dan berseru pelahan, “Jangan menangis sini, kemarilah engkau.” Wajah pemilik Ceng-te kiong keren sekali. Tetapi waktu mengucapkan kata-kata kepada Coh Hen Hong nadanya penuh rasa iba dan ramah.

“Huahhh…. “ pecahlah tangis Coh Hen Hong. lalu serentak lari menghampiri ke tempat pemilik Ceng-te- kiong.

Pemilik Ceng-te-kiong ulurkan kedua tangan nya dan memeluk anak itu erat2.

Saat itu Dewi Tongkat-sakti masih berlutut di tanah.

Sebenarnya dia masih kuatir sekali. Tetapi setelah melihat bagaimana pemilik Ceng-te kiong menyambut mesra Coh Hen Hong hati Dewi tongkat sakti seperti terlepas dari himpitan batu besar.

Setelah memeluk, pemilik Ceng te kiong terus memondong Coh Hen Hong dan berputar tubuh hendak berlalu.

“Cujin,” Dewi Tongkat sakti cepat-cepat berseru.

Pemilik Ceng-te-kiong kebutkan lengan baju dan berseru, “Bangunlah, untuk jasamu membawa Beng Cu pulang kemari aku tentu akan memberi ganjaran.”

Sudah tentu Dewi Tongkat-sakti girang bukan kepalang. Serentak dia berbangkit dan menghaturkan terima kasih.

Hanya dalam beberapa kejap saja, kedelapan elang raksasa itupun sudah terbang melayang lagi dan dengan memondong Coh Hen Hong, pemilik Ceng-te kiong Juga sudah masuk kedalam hutan lebat lagi. Saat itu barulah Dewi Tongkat-sakti dapat menghela napas longgar. Waktu pemilik Ceng-te kiong hadir, sekeliling tempat itu tak tampak seorang manusiapun juga. Tetapi setelah pemilik Ceng te- kiong Itu pergi maka dari empat penjuru segera muncul orang-orang yang menghampiri ke tempat Dewi Tongkat sakti.

dalam beberapa kejap Dewi Tongkat sakti telah dikepung oleh belasan orang yang semuanya memberi selamat. Dewi Tongkat sakti juga gembira sekali menerima pemberian selamat mereka.

Sekarang mari kita ikuti perjalanan Coh Hen Hong yang dibawa “engkong”nya itu. Anak perempuan itu merasa telinganya menderu-deru dilintas angin.

Benda2 yang berada di kedua sampingnya seperti dibabat jatuh ke belakang sehingga dia tak dapat melihat jelas apakah benda2 itu.

Karena takutnya Coh Hen Hong memeluk kencang- kencang pada pemilik Ceng-te-kiong, namun telapak tangannya tetap mengucurkan keringat. Beberapa waktu kemudian, Ia merasa gerak laju dari engkongnya itu mulai mengendor.

Coh Hen Hong menghela napas longgar ketika mendapatkan dirinya berada di muka sebuah gedung istana yang megah. Sebuah bangunan istana yang tak pernah dapat dibayangkan keindahannya.

Saat itu Coh Hen Hong belum berada di muka pintu melainkan masih di bawah tangga titian. Memandang ke atas masih harus meniti tiga sampai empat puluh titian baru tiba di muka pintu. Pada setiap titian terdapat seorang busu (panglima perang) berpakaian baju besi dan memegang tombak, berdiri tegak seperti patung. mereka bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa sekali,

Dengan berbisik Coh Hen Hong bertanya, “Apa…. engkau tinggal di dalam sana?”

Ceng-te atau yang dipertuan dari istana Ceng-te- kiong mengangguk. Digandengnya tangan Coh Hen Hong terus mendaki titian. Tiba di muka pintu gerbang besar yang berwarna kuning emas, kedua daun pintunya pelahan-lahan membuka Ceng-te dan Coh Hen Hong melangkah masuk.

Begitu masuk, pigura, ukir ukiran dan lukisan yang indah dan bermacam macam, memenuhi dinding sehingga pandang mata Coh Hen Hong sampai kabur. Dia merasa seperti berada dalam kepungan sebuah barisan yang gaib.

Entah berapa banyak tempat yang dilalui yang jelas Setiap kali melintas jalan yang terdapat orangnya mereka tentu berdiri dengan kedua tangan menjulai, pertanda menghormat.

Sampai lama baru mereka tiba di sebuah ruang. Ceng-te duduk disebuah kursi dan suruh Coh hen Hong berdiri di sebelahnya. Dipandangnya anak perempuan itu beberapa saat.

Coh Hen Hong tahu bahwa penyamarannya sebagai Kwan Beng Cu mungkin takkan diketahui lagi oleh karena itu diapun tak takut. Sesaat kemudian baru Ceng-te bertanya, “Engkau bernama…. Beng Cu?”

Ceng-te berhenti sejenak tertawa getir, lalu bertanya pula, “Engkau she (marga) apa?”

Diam-diam Coh Hen Hong heran dalam hati.

Pikirnya, apakah orang tua itu sudah pikun? Mengapa anak perempuannya menikah dengan siapa saja tak tahu?

Sekalipun demikian tak berani dia mengutarakan keheranannya dan dengan sikap menghormat menjawab, “Aku marga Kwan, ayahku adalah Kwan Pek Hong.”

“Ooh,” dengus Ceng tee, ”kiranya dia. Dia juga punya nama sedikit di dunia persilatan….“

Ia tertawa getir dan melanjutkan, ”Sudah dapat memperisteri Ah Hong, mengapa dalam dunia persilatan namanya hanya begitu saja. Hitung2 dia itu sungguh tak punya pambek besar. Lalu dia berada di mana?”

“Sudah meninggal,” kata Coh Hen Hong.

Cengte terkesiap, “Ooo…. suami isteri meninggal secara berbareng? Siapa musuh mereka?”

“Mereka saling bunuh sendiri!” sahut Coh Hen Hong.

Cengte serentak berbangkit dari tempat duduk tetapi lalu duduk lagi, katanya, “Saling bunuh sendiri mengapa?” Coh Hen Hong tak dapat menjawab melainkan berkata, “Entah, ku tak tahu, aku hanya tahu kalau…. mama meninggal…. dia sudah meninggal…. “

Teringat akan mamanya kembali Coh Hen Hong menangis lagi. Cengte pelahan lahan membelai kepala anak itu dan menghiburnya “Sudah, jangan menangis. Meskipun mereka sudah meninggal, engkau toh sudah kembali kepadaku, masa engkau masih menangis…. masih menangis?”

Kata-kata dari Cengte itu terdengar sember sekali seketika Coh Hen Hong mengangkat muka memandangnya, dilihatnya airmata Ceng-te berlinang2.

“Engkong, apakah engkau juga akan menangis?“ serunya heran.

Kalau Coh Hen Hong tidak berkata begitu, mungkin Cengte dapat menahan kesedihan hatinya tetapi begitu Coh hen Hong bertanya, tak kuasa Cengte menahan air matanya yang bercucuran ke pipinya.

Sambil bercucuran airmata, Cengte berkata, “Beng Cu, engkau tak tahu. Mamamu Ah Hong itu sangat kusayang sekali. Oleh karena itu aku pun mendidiknya agak keras. Kukira dia tentu merasa bahagia hidup dalam istana Ceng-te-kiong yang serba tak kekurangan segala apa itu. Tak kira kalau dia menganggap Ceng-te-kiong itu sebagai penjara bagi dirinya. Pada waktu dia berusia 20 tahun, dia terus melarikan diri. Selama 20 tahun ini aku telah berusaha untuk mencarinya ke seluruh perjuru dunia tetapi tetap tak dapat menemukan. Kalau sekarang tiba-tiba dia sudah meninggal, bagaimana aku…. aku tak sedih. 

Sambil berkata kata dia masih mengucurkan airmata, hanya tidak menangis seperti Coh Hen Hong. Anak perempuan itu juga ikut menangis.

Setelah kedua engkong dan cucu itu menumpahkan kesedihannya beberapa saat, barulah Cengte berhenti menangis.

“Mamamu tentu mengira kalau aku ini seorang ayah yang jahat sekali. Dan engkau pun jangan menganggap aku ini seorang engkong jahat juga.

Kalau ada apa-2 bilanglah kepadaku, mengerti?”

Kata-kata Ceng-te itu diucapkan dengan kasih sayang. Seumur hidup belum pernah Coh Hen Hong menerima kata-kata sedemikian penuh kasih sayang Seperti itu. Sudah tentu hatinya tergerak sekali.

Sesaat hampir saja dia hendak mengatakan tentang perbuatannya memalsu sebagai Kwan Beng Cu. Tetapi untung pikirannya masih sadar sehingga dia tak sampai berkata begitu. Ia tahu kalau sampai mengungkap rahasia itu, habislah riwayatnya.

Sejenak mengambil napas, Ceng-te berkata pula, “Akan kuajarkan Ilmu kung-fu kepadamu. Engkau suka berlatih boleh berlatih, kalau tidak suka boleh tak usah berlatih. Akan kuberikan sepasang pedang pusaka Ceng-leng-kiam dan Kim liong kiam kepadamu dan akan kuajarkan juga ilmu pedang Leng-Long-kiam yang tiada taranya di dunia. Aku akan menebus kebencian mamamu terhadap diriku….”

Rupanya saat itu Ceng-te seperti kehilangan kontrol atas dirinya. Dia terus menerus bicara menanyakan segala sesuatu tentang Kwan hujin. 

Coh Hen Hong hanya menjawab asal saja. Tetapi karena sejak melarikan diri dari istana Ceng-te kiong, Ceng-te tak tahu sama sekali bagaimana keadaan puterinya (Ah Hong) maka dia menerima saja ocehan Coh Hen Hong itu.

Memang pada waktu itu oleh karena hendak menggembleng puterinya dengan sempurna maka Cengte mengawasinya dengan ketat sekali. Walaupun dalam hati sesungguhnya amat sayang kepada Ah Hong tetapi dia tak mau memanjakan dan selalu menunjukkan sikap yang keras.

Ah Hong atau mama dari Kwan Beng Cu salah duga. Dia mengira ayahnya jahat dan keras maka diam-diam dia nekad melarikan diri. Peristiwa itu telah menghancurkan kesedihan hati Cengte entah sampai berapa tahun. Maka tatkala Coh Hen Hong muncul sebagai Kwan Beng Cu keadaan Ceng-te seperti terhibur.

Oleh karena menganggap bahwa tak mungkin Dewi Tongkat sakti akan menipunya dan anak perempuan sebesar Coh Hen Hong akan berani mengaku sebagai cucunya maka Ceng-tepun tak mau menyelidiki lagi apakah anak perempuan yang mengaku sebagai cucunya Kwan Beng Cu itu benar orangnya atau palsu.

Yang menjadi pemikiran Ceng-te hanyalah bagaimana dia harus memanjakan cucu perempuannya itu dengan sebaik-baiknya untuk menebus perlakuannya yang bengis terhadap mamanya (Ah Hong) dulu. Seperti mendapat durian runtuh, demikian sebuah peribahasa yang mengungkapkan akan seseorang yang mendapatkan keberuntungan besar tanpa disangka-sangkanya.

Demikianlah keadaan nasib Coh Hen Hong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar