Pedang Berbunga Dendam Jilid 07

7

Kuda Pui Tiok mencongklang kencang. Setelah tiba di kaki puncak itu barulah Kwan Beng Cu menghela napas longgar.

“Pui toako, mama sering mengatakan bahwa Ceng te-kiong tempat kediaman engkong itu merupakan sebuah taman indraloka. Tetapi setelah menyaksikan keadaan di sini aku menjadi ragu apakah di dunia ini terdapat tempat yang lebih indah dari tempat ini….”

Pui Tiok tertawa, “Engkau kan belum pernah ke istana Ceng-te kiong, bagaimana engkau tahu kalau Ceng-te-kiong itu kalah indah dengan di sini? Kemungkinan setelah engkau berada di Ceng te kiong engkau tentu akan melupakan Peh hoa-nia!”

“Tidak, Pui Toako, aku tentu takan melupakan tempat ini, “ kata Kwan Beng Cu.

Pui Tiok hanya tertawa dan tak menyahut. Setiba di bawah puncak, rombongan yang menunggu di kedua tepi jalan makin banyak. Pui Tiok melarikan kudanya langsung masuk dan akhirnya berhenti di sebuah mulut lembah.

Memandang ke muka, Kwan Beng Cu melihat di tengah lembah itu didirikan sebuah gedung indah macam istana. Seluruh bangunan dibuat dengan batu marmar dari lima warna.

Begitu tiba di depan istana, dua orang pengawal segera menyambut kuda Pui Tiok. Pui Tiok memimpin Kwan Beng Cu turun dari kuda. Seorang lelaki pertengahan umur menghampiri.

“Kongcu” kata orang itu, “Siu-poan-koan dan rombongannya sudah beberapa hari kembali. Siang malam kaucu memikirkan keadaan kongcu. harap kongcu segera menghadap.”

“Apakah keadaan Siu tongcu sudah agak baik?” tanya Pui Tiok.

“Belum,” sahut orang itu.

Kwan Beng Cu tidak mengerti siapakah Siu tongcu yang mereka bicarakan itu. Dia hanya mengikuti di belakang Pui Tiok. Setelah masuk ke dalam ruang gedung, pandang matanya makin silau. Melihat kian kemari, tak habis-habisnya dia melihat pemandangan yang menakjubkan. Setelah mereka bertiga melintasi sebuah lorong lalu tiba di sebuah ruang bunga. baru terdengar dari ruang itu suara seorang tua berseru, “Tiok-ji, apa engkau yang pulang?”

“Ya, anak sudah pulang,” sahut Pui Tiok. “Masuklah.”

Pui Tiok mendorong pintu, dengan membawa Kwan Beng Cu ia melangkah masuk. Orang lelaki yang mengawalnya tadi mengundurkan diri. Dalam ruang itu tampak seorang lelaki yang tinggi besar tengah duduk di sebuah permadani emas.

Walaupun duduk tetapi lelaki tua itu setinggi orang biasa tengah berdiri. mukanya merah segar, matanya berkilat-kilat tajam seperti manusia dewa. Begitu masuk, pandang mata lelaki tua itu cepat berkilat ke arah Kwan Beng Cu sehingga gadis kecil itu mengkeret nyalinya dan merapat pada Pui Tiok.

Pui Tiok memberi hormat seraya berseru, “‘ya ………”

Kwan Beng Cu juga dengan cemas memberi sapa “Pui lopeh”

Memang lelaki tua tinggi besar itu tak lain adalah kaucu atau ketua dan Peh hoa kau yang bergelar Peh Hoa lokay. Dia adalah tokoh terkemuka dari aliran sesat dunia persilatan.

Peh Hoa lokoay menegur puteranya, “Tiok ji, berita yang kuterima mengatakan bahwa dalam perjalanan engkau sudah mengajak seorang anak perempuan, apakah dia?”

“Ya, memang nona Kwan ini,” Pui Tiok gopoh2 menerangkan.

Sambil berkata itu Peh Hoa lokoy mengawasi Kwan Beng Cu. Sepasang matanya yang bersinar tajam, bergerak kian kemari pada diri Kwan Beng Cu sehingga gadis kecil itu makin tak enak dan makin merapat pada Pui Tiok.

Peh Hoa lokoay kerutkan alis, “Tiok ji, kemarilah” Lebih dulu dengan berbisik Pui Tiok menghibur Kwan Beng Cu, “Beng Cu tak perlu takut Ayah tidak akan mencelakaimu.”

Setelah Kwan Beng Cu mengangguk Pui Tiok pun maju ke hadapan ayahnya.

“Tiok ji,” kata Peh hoa lokoay dengan pelahan,” walaupun cantik tetapi nona itu masih terlalu kecil untuk mengerti persoalan. Mengapa engkau mengajaknya?”

Memang Pui Tiok seorang pemuda yang romantis.

Dalam Peh-hoa-kau dia banyak bergaul dengan gadis2 cantik, Tahu kalau puteranya tidak seperti dirinya maka Peh Hoa Lokoay mengajukan pertanyaan begitu.

Merah muka Pui Tiok, sahutnya, “Yah engkau salah paham. Nona Kwan ini seorang gadis yang hebat sekali asal keturunannya.”

Peh Hoa lokoay seorang manusia yang berhati tinggi dan angkuh. Selamanya dia menganggap dirinya yang paling hebat. Mendengar kata-kata itu, walaupun putranya yang mengatakan tetapi telinganya seperti tertusuk.

“Apa yang enkau maksudkan dengan asal keturunannya hebat itu? Apakah dia itu putri dari raja?” serunya dingin.

Pui Tiok menekan suaranya serendah mungkin, “Ayahnya adalah pendekar termasyhur dari Kanglam, Kwan Pek Hong.”

Peh Hoa lokoay serentak tertawa gelak-gelak. Dia menepuk-nepuk bahu puteranya, “Anakku yang bagus, ternyata memang hebat engkau. Kusuruh memcari kitab Ih su-keng, lha kok pulang membawa anak perempuan Kwan Pek Hong. Tetapi karena engkau sudah membawanya pulang kemari tak mungkin Kwan Pek Hong takkan datang kemari “

“Tetapi Kwan Pek Hong tidak mungkin datang ayah.” “Mengapa?”

“Karena dia sudah meninggal.” “Hah?“ Peh Hoa lokoay terperanjat, “sungguh sebuah peristiwa besar “ “Tetapi hal yang lebih hebat adalah berikutnya ini.

Isteri Kwan tayhiap itu ternyata Puteri dari pemilik Ceng-te-kiong.

Wut, mendengar itu serentak Peh Hoa lokoay melonjak berdiri. Akan tetapi kemudian dia duduk kembali, krek, krek…. terdengar bunyi bereretegan. Rupanya waktu duduk lagi, dia telah menggunakan tenaga dalam yang cukup besar sehingga kursi yang terbuat dari kayu jati, menjadi hancur. Tetapi Peh Hoa lokoay tidak sampai jatuh karena dia segera berdiri lagi. “A…. pa, engkau berkata apa?” serunya tergagap.

Pui Tiok tak menyangka kalau keterangannya itu akan menimbulkan reaksi begitu besar kepada ayahnya yang tampak kaget sekali. Sejenak tertegun, dia berkata pelahan: “Mama dari nona Kwan adalah puteri dari pemilik istana Ceng te-kiong. Dan pemilik istana Ceng-te-kiong itu adalah engkong dari nona Kwan.”

Baru selesai Pui Tiok berkata seketika bahunya terasa mengencang. Lima jari ayahnya telah mencengkeram bahunya dan lalu menarik ke sisinya, “Apakah soal itu lain orang ada yang tahu?”

“Tidak,” sahut Pui Tiok, “selama dalam perjalanan aku tak pernah mengatakan hal itu kepada siapapun juga.”

“Tetapi apakah sungguh tak ada orang yang tahu hal itu?” Peh Hoa lokoay menegas tajam. Diam-diam Pui Tiok berpikir. Apabila mengatakan sama sekali tak ada orang yang tahu, itu tidak betul karena paling tidak seorang gadis liar bernama Coh Hen Hong tahu. Akan tetapi gadis liar itu toh bukan orang yang perlu diperhitungkan. Dan lagi Pui Tiok pun tak suka menceritakan takan tentang Coh Hen Hong berarti harus bercerita lebih panjang lagi, antaranya harus menceritakan tentang asal usul, tentang tipu muslihatnya yang berhasil dapat merubuhkan pui Tiok dan menyiksanya. Sudah tentu Pui Tiok tak mau mengatakan hal itu karena menganggap bahwa hinaan yang diberikan Coh Hen Hong itu merupakan peristiwa besar yang amat memalukan sekali “Tidak ada orang tahu,” akhirnya dia menjawab ayahnya.

Pui Hoa lokoay menghela napas longgar, “Kalau begitu ya sudah.”

Pui Hoa lokoay menutup kata-katanya dengan mengerahkan kedua lengannya dan tahu-tahu Pui Tiok terdorong ke belakang dengan tubuh terhuyung huyung.

secepat kilat Pui Hoa lokoay melesat kemuka Kwan Beng Cu terus mengangkat tangan hendak dihantamkan ke kepala Kwan Beng Cu.

Tindakan Pui Hoa lokoay itu sunguh diluar dugaan sama sekali sehingga dia terkesiap kaget.

Saat itu Kwan Beng Cu juga seperti tertegun seperti orang yang kaget. Walaupun andaikata dia hendak menghindar juga tak mungkn lagi.

Kwan Beng Cu merasa ada setiup tenaga keras menindihnya. dalam gugup dia menjerit nyaring, “Pui toako….

Melihat ayahnya hendak membunuh Kwan Beng Cu, sudah tentu Pui Tiok kaget setengah mati lalu berteriak keras, “berhenti “ dan serempak dia pun

loncat ke muka, dan menghantam pukulan Peh Hoa lokoai. Berbareng itu kaki kiri nya menendang Kwan Beng Cu, plok…. Kwan Beng Cu jatuh ke lantai.

Gerakan Pui Tiok itu pun tak diduga oleh Peh Hoa lokoay. Karena Kwan Beng Cu jatuh, pukulannyapun tetap meluncur turun dan membentur tangan Pui Tiok yang menghantam ke atas, plak………

Ternyata Peh Hoa lokoay menggunakan tenaga besar untuk memukul. Sudah tentu Pui Tiok tak kuat menahan. Biarpun Peh Hoa lokoay berusaha untuk menarik kembali tenaga-dalam nya tetapi pukulannya tetap melancar. Bagaimanapun juga Pui Tiok tetap menderita.

Pemuda itu mengerang tertahan dan huak……….

mulutnya memuntahkan segumpal darah segar. 0rangnya juga mencelat Ke belakang dan jatuh.

Pukulannya tidak berhasil mengenai Kwan Beng Cu tetapi malah melukai puteranya, sudah tentu Peh Hoa lokoay kaget bukan kepalang. Dia tegak terlongong longong.

Saat itu Pui Tiok bergelundungan ke samping Kwan Beng Cu dan melindungi dara kecil itu seraya berseru, “Ya, engkau …. apa sudah gila?”

Dalam berkata-kata itu mulut Pui Tiok tetap mengalirkan darah.

Menurut adat kuno, seorang putera harus menurut kata pada ayahnya. Walaupun Pui Tiok disayang sekali oleh ayahnya tetapi biasanya dia juga tak berani kurang ajar terhadap ayahnya. Adalah karena mengalami peristiwa yang mengejutkan seperti saat itu, emosinya meluap dan terluncurlah kata-kata tadi terhadap sang ayah.

Peh Hoa lokoay memandang Pui Tiok sejenak lalu menjawab, “Engkaulah yang gila. Engkau bersama dia itu sudah gila. Dan engkau membawanya kemari, itu makin gila. Lalu engkau menghalangi aku membunuhnya, itu semakin gila lagi!‘

“Mengapa?” seru Pui Tiok terengah-engah.

Peh Hoa lokoay pelan-pelan ayunkan Langkah maju menghampiri. Melihat itu Kwan Beng Cu gemetar ketakutan, seperti anak domba yang melihat golok tukang jagal. Walaupun ujung mulutnya berdarah, Pui Tiok tetap melindungi dara kecil itu.

Setelah tiba di muka Kwan Beng Cu, Peh Hoa lokoay berseru kepada Pui Tiok, “Engkau biasanya pintar tetapi kali ini keblinger. Apakah engkau tak pernah memikir, pemilik Ceng-te-kiong itu tokoh yang bagaimana, apakah engkau berani menghinanya?”

“Kita tidak bersalah kepadanya, aku malah menolong cucu perempuannya,” seru Pui Tiok.

Peh hoa lokoay tertawa hambar, “Kubilang engkau goblok, ternyata memang goblok. Pikirlah, mama dari anak perempuan ini adalah puteri Ceng-te-kiong.

Mengapa menikah diluaran tak ada orang persilatan yang tahu? Apakah dalam hal itu tiada terjadi apa- apa? Bagaimana engkau dapat memastikan kalau pemilik Ceng-te-kiong ceng te kiong mengakui anak perempuan ini sebagai Cucu nya? Ceng-te-kiong itu kalau gembira atau marah, bukan main.

Taruh kata dia gembira, pun juga tergantung dari nasibmu. Tetapi kalau sampai berhubungan dengan dia selama bertahun-tahun apakah engkau dapat memastikan pada suatu ketika dia takkan marah kepadamu? Sekali dia marah, jelas nyawamu tentu amblas. Apakah engkau sudah memikir sampai disitu?”

Mendengar kata-kata ayahnya yang panjang lebar itu, Pui Tiok terlongong-longong melonggo.

Peh Hoa lokoay menghela napas, “Maka lebih baik engkau menyingkir. Namun sekarang inil tak ada orang yang tahu, biarlah kuhantamnya anak perempuan itu sampai mati dan selesailah urusan ini. Takkan ada yang tahu tentang peristiwa ini. ltulah cara terbaik untuk menghindarkan bahaya di kelak kemudian hari!”

Setelah tertegun beberapa jenak, Pui Tiok berpaling memandang Kwan Beng Cu. Tampak wajah gadis kecil Itu pucat dan berseru dengan gemetar, ‘Pui toakol”

Mau tak mau Pui Tiok menghela napas dalam hati. Memang dia bukan seorang pemuda yang berbudi dan memang dalam setiap hal dia selalu memperhitungkan demi keuntungan diri sendiri. Tetapi dia juga bukan manusia yang berhati ganas sekali.

Selama bersama dalam perjalanannya ke Peh hoa nia itu, dalam perasaannya dia menganggap Kwan Beng Cu itu sudah seperti adiknya sendiri. apalagi mengingat kebaikan Kwan Beng Cu untuk meminjamkan pedang pusaka tempo di kandang kuda dulu, kalau dia hanya berpeluk tangan saja mengawasi Kwan Beng Cu dibunuh di depan matanya, sudah tentu dia tak mau.

Dan ketika mendengar jeritan meratap dari gadis kecil itu, hati Pui Tiok makin lemas. Segera dia memegang erat2 tangan Kwan Beng Cu dan berkata, “Beng Cu, jangan kuatir. Aku. . takkan membiarkan ayah mencelakaimu, jangan kuatir.”

Kwan Beng Cu mengangguk tetapi tubuhnya masih gemetar.

Pui Tiok berpaling, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, Peh Hoa lokoay sudah mendahului, “Tiok-ji, apakah pikiranmu masih limbung?

“Yah, jangan membunuhnya. Kalau engkau tetap hendak membunuhnya, aku…. akan tinggalkan Peh- hoa nia dan takkan kembali selama-lamanya.”

Wajah Peh Hoa lokoay berobah seketika. Dia regangkan kepala dan berseru, “Apakah engkau hendak mengancam aku?”. Pui Tiok bulatkan tekad “Ya, yah, engkau harus inggat bahwa apa yang kukatakan tentu kulakukan. Kalau engkau membunuh Beng Cu aku pun akan pergi dan takkan pulang bertemu dengan engkau lagi!”

Berkata Peh Hoa lokoay dengan dingin kalau begitu, bagimu dia itu lebih penting dari ayahmu, bukan?” Pui Tiok tertawa rawan, “Bukan begitu. Aku hanya minta agar engkau jangan membunuhnya Dan mengapa harus berbuat sekejam itu?” Peh Hoa lokoay tidak menjawab. Dengan mengendong kedua tangan dia berjalan mondar mandir Beberapa waktu kemudian baru dia berkata lagi, “Tidak bisa Kalau tidak membunuhnya kelak banyak sekali bahayanya” Pui Tiok paham akan perangai ayahnya. Dia tahu kalau ayahnya memang hendak membunuh Kwan Beng Cu. Tetapi tadi begitu hantamannya tak mengenai mengapa tidak menyusuli dengan hantaman lagi?

Kalau begitu tentulah masih ada harapan 

“Kuulangi lagi kata-kataku tadi, yah, kalau engkau membunuhnya, aku takkan pulang! serunya Peh Hoa lokoay mondar-mandir Lagi beberapa langkah lalu berhenti, “Kalau minta aku tak membunuhnya, juga boleh. Tetapi ada beberapa syaratnya. Kalian harus patuh.” Pui Tiok menghela napas longgar lalu, berpaling kepada Kwan Beng Cu. Tindakannya itu sebagai isyarat untuk meminta pendapat Kwan Beng Cu. Kwan Beng Cu pun cepat mengangguk.

Pui Tiok berpaling kepada Peh Hoa lokoay, katanya, “Ya, silakan bilang apa syaratmu itu, biar kami mendengarkan.” Dengan suara aneh dan keras berkatalah Peh Hoa lokoay, “Syarat yang kukatakan ini harus dipatuhi. Huh, apa itu mau mendengarkan saja? Kalau tidak, demi kepentingan seluruh warga Peh hoa kau lebih baik aku tak mempunyai anak pembangkang seperti engkau.”

“Baik, kami tentu akan mematuhi,” kata Pui Tiok.

Mendengar itu wajah Peh Hoa lokoay baru agak tenang, ujarnya, “Pertama, di muka maupun di belakang orang, kalian berdua jangan sekali kali mengatakan tentang cucu perempuan pemilik Ceng te kiong, apakah kalian sanggup?”. Tanpa banyak pikir lagi, Pui Tiok dan Beng Cu memberi pernyataan, “ya, sanggup”.

Kata Peh Hoa lokoay lagi, “kedua, tempat tinggal kalian, akan kutentukan sendiri. Sekali kali tak boleh keluar dari tempat itu walaupun hanya setengah langkah saja. Apa kalian sanggup?” Setelah saling tukar pandang, kedua anak muda itu terpaksa mengangguk. Dengan berbisik Kwan Beng Cu berkata, “Pui toako, aku sungguh menyusahkan engkau.” Pui Tiok hanya tertawa pahit tak menjawab “Nona Kwan, berapakah umurmu tahun ini?” tiba-tiba Peh Hoa lokoay bertanya.

“Sebelas tahun,” kata Kwan Beng Cu setelah sejenak terkesiap. Peh Hoa lokoay mondar mandir beberapa langkah lagi lalu berkata “Baik, kalian tinggal di Peh hoa nia selama enam tahun. Setelah enam tahun, kalian harus menikah sebagai suami isteri!”

Mendengar syarat yang ketiga itu sudah tentu Pui Tiok dan Kwan Beng Cu terbeliak. Walaupun masih kecil tetapi sebagai seorang anak perempuan sudah tentu Kwan Beng Cu mempunyai naluri malu.

Wajahnya yang pucat ketakuan seketika berobah merah padam.

Pui Tiok juga gelagapan, serunya, “Yah, mengapa begitu?”

Dengan nada sarat Peh Hoa lokoay berkata, “Itu merupakan suatu rahasia yang menyangkut jiwa. sudah tentu tak dapat kuterangkan. Sekarang hanya kita bertiga yang tahu. Berarti rahasia itu menjadi tanggung jawab kita bertiga agar jangan sampai bocor. Dan hanya dengan cara begitu akan terjalin perhubungan yang paling intiem di antara

kita bertiga. Coba pikirkan, apakah ada lain hubungan yang lebih intiem dari hubungan ayah anak dan suami dengan isteri?” “Tetapi tidak harus tentu….” belum Selesai Pui Tiok bicara, Peh Hoa lokoay sudah membentaknya, ‘Tutup mulutmu! Jika tidak begitu kelak dia tentu akan menikah dengan lain orang dan engkau sendiri juga begitu. Sebagai suami isteri, tentu merundingkan segala apa. Apakah engkau dapat memastikan kalau rahasia itu takkan bocor?”

Sebenarnya bukan karena Pui Tiok tak mau mengambil Kwan Beng Cu sebagai isteri. Tetapi umur Kwan Beng Cu itu masih kecil dan dia anggap hal itu lucu. Maka dia hanya menyanggah jalan pikiran ayahnya yang aneh itu.

“Yah, taruh kata rahasia itu akan bocor, tetapi kita kan belum tahu apakah akan mendapat keberuntungan atau malapetaka?” katanya.

“Benar,” sahut Peh hoa lokoay dengan nada sarat, “beruntung atau celaka, memang sama-sama kemungkinannya. Tetapi bukankah itu suatu pertaruhan jiwa? Engkau mau bertaruh atau tidak?

Engkau mau bertaruh begitu apa tidak?”

Mendengar sampai dua kali ayahnya mengulang pertanyaan itu, mau tak mau tergetar juga hati Pui Tiok. Dia tak dapat bicara lagi.

Peh Hoa lokoay agak tenang, tanyanya, “Bagaimana, kalian apa sanggup mentaati?”

Setelah berpikir sejenak Pui Tiok menjawab, “Bagiku, apa yang jadi persoalan lagi? Tetapi karena hal itu menyangkut peristiwa penting dalam hidup maka lebih baik engkau juga tanyakan pada nona Kwan.” 

“Nona Kwan, bagaimana pendapatmu?” Tanya Peh Hoa lokoay.

Kwan Beng Cu mengangkat kepala. Wajahnya tampak kebingungan. Bagaimanapun dia itu masih kecil, dalam waktu mendadak diharuskan mengambil putusan seberat itu, bagaimana hatinya tidak tegang? Dia memandang Pui Tiok, bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak dapat mengeluarkan kata kata.

Terpaksa Pui Tiok menghiburnya, “Beng Cu, tak perlu takut. Suka atau tidak, bilanglah dengan bebas!”

Tiba-tiba wajah gadis kecil itu merah dan dengan berbisik berkata, “Ya, suka.”

“Dan bagamana engkau sendiri Tiok ji, tiba-tiba Peh Hoa lokoay berseru.

“Sudah tentu mau saja,” Peh Hoa lokoay bertepuk tangan. Serentak dua orang lelaki dan dua orang wanita, melangkah masuk.

Menuding pada Pui Tiok dan Kwan Beng Cu, Peh Hoa lokoay memberi perintah, “Bawalah mereka ke tempat terpisah. Jaga dan layanilah sebaik-baiknya. Selama enam tahun, mereka tidak boleh meninggalkan tempatnya dan tak boleh ada orang yang masuk ke tempat mereka. Dengar tidak?” Dua pasang laki perempuan setengah umur itu gopoh mengiakan dan maju menghampiri. Yang laki menuju kepada Pui Tiok dan yang perempuan menghampiri Kwan Beng Cu. Diam-diam Pui Tiok mengeluh dalam hati. Dia kenal keempat orang itu. Mereka adalah tokoh Peh-hoa-kau yang berkepandaian tinggi, Dengan begitu agaknya ayahnya memang tidak main- main dan benar-benar akan melaksanakan perintahnya. Dengan begitu bukankah berarti dirinya akan seperti dipenjara selama enam tahun?

Pui Tiok membuka mulut tetapi baru mau bicara, kedua lelaki itu terus mengapit di sebelah kanan kiri Pui Tiok terus mengajaknya berjalan keluar. “Yah, lukaku belum sembuh betul!“ teriak Pui Tiok. mengharap agar ayahnya mau merobah dan meringankan keputusannya. Tetapi siapa tahu, ternyata Peh Hoa lokoay berhati keras sekali. Dia hanya berkata dingin, “Kutahu kalau luka dalammu belum sembuh. Setelah berada di tempat tinggalmu, engkau boleh beristirahat dan pelan-pelan berusaha untuk menyembuhkannya.”

Pui Tiok tak dapat bicara lagi. Berpaling ketempat Kwan Beng Cu dilihatnya gadis kecil itu juga sudah dibawa ke luar oleh kedua wanita tadi. Kwan Beng Cu sempat memandang Pui Tiok. Dan ketika pandang mereka beradu, keduanya saling tertawa rawan.

Memang kisah Pui Tiok dengan Kwan Beng Cu itu agak ganjil. Hubungan keduanya memang baik tetapi mereka dipaksa untuk menjadi suami isteri. Pada hal umur mereka terpaut banyak. Dan kini mereka tak boleh saling bertemu selama enam tahun, kelak kalau bertemu mungkin mereka kikuk seperti orang yang tak saling mengenal tetapi pada saat itu akan merupakan hari di mana mereka berdua akan terikat sebagai suami isteri.

Perasaan Pui Tiok saat itu tidak keruan rasanya.

Sebelum dia sempat bicara, kedua lelaki sudah setengah menyeret, membawanya keluar. 

Dia berulang kali berpaling tetapi Kwan Beng Cu yang dibawa oleh kedua wanita tadi sudah cepat menghilang. Hati Pui Tiok tak keruan rasanya. Dia kira dia setelah membawa Beng Cu pulang, ayahnya tentu girang sekali. Walaupun tidak tahu di mana letak Ceng-te-kiong tetapi ayahnya tentu dapat mengirim surat undangan kepada tokoh-tokoh persilatan untuk berkunjung ke Peh hoa nia merundingkan ke putusan bersama untuk menghadapi Ceng-te-kiong.

Kemungkinan hal itu tentu terdengar fihak Ceng-te kiong yang tentunya pemilik Ceng-te-kiong akan datang sendiri ke Peh-hoa-nia. Dan pada saat itu tentulah akan terjadi keramaian besar di Peh-hoa-nia. Tetapi sekarang ternyata perkembangannya jauh berlainan dengan apa yang dibayangkan. Dia sendiri harus dipenjara selama enam tahun. Dan Kwan Beng Cu pun demikian juga.

Dia mengikuti kedua lelaki itu menuju ke sebuah halaman kecil. Di situ terasa dingin2 sejuk dan rawan tidak menyenangkan.

Dia segera jatuhkan diri terus tidur. Karena telah berhari-hari menempuh perjalanan ditambah pula dengan hatinya yang kesal mengkal, dia terus terlena. Pada waktu membuka mata ternyata sudah gelap.

Dia merasa sekelilingnya gelap namun dia merasa bahwa ada orang yang duduk di sebelah ranjangnya.

“Siapa?” cepat dia menegur. Ternyata dari arah kegelapan itu muncul suara orang dan ternyata adalah ayahnya sendiri. “Tiok-ji, aku, tidurmu pulas sekali,” kata Peh Hoa lokoay.

Memang Pui Tiok tak berani bersungut sungut di muka ayahnya tetapi dalam hati dia masih mendongkol, katanya, “Jika tidur lalu suruh apa?

Enam tahun lamanya kalau aku bisa tidur terus, alangkah enaknya!“

Mendengar itu Peh hoa lokoay menghela napas. “Tiok-ji, dalam hati engkau tentu penasaran kepadaku, bukan? Aku berbuat begini karena demi kebaikanmu. Kuharap dalam enam tahun ini engkau mencurahkan semangat dan perhatianmu untuk meyakinkan ilmusilat. Dengan bakat dan kecerdasàn otakmu, engkau tentu akan memperoleh kemajuan pesat sekali. Demi menjaga dan ber hati-hati, selanjutnya aku takkan datang menemui engkau lagi. Tadi, apa yang telah kumiliki telah kutulis semua Walaupun ilmu kepandaianku itu tidak sesakti seperti pelajaran dalam kitab Ih-su keng, tetapi paling tidak mutunya juga mencapai 7 – 8 bagian dari Ih-su-keng. Selama enam tahun ini apabila engkau sungguh- sungguh belajar. kelak engkau tentu dapat mewarisi kepandaianku sampai tujuh bagian ‘

Kata 2 ayahnya itu telah menggetarkan hati Pui Tiok. Dia teringat bagaimana dalam waktu turun gunung kali ini, dia baru tahu sampai di mana tataran kepandaian yang di milikinya. Apabila benar-benar hendak terjun dalam dunia persilatan, apakah dia mampu melakukan apa-apa? Apabila enam tahun kemudian dia dapat mewarisi kepandaian ayahnya sampai 7 – 8 bagian saja, tentulah lain lagi keadaannya. 

Maka setelah tertegun sejenak, dia baru berkata, “Baik, aku akan melakukan perintahmu yah, tetapi kuminta engkau jangan mempersulit nona Kwan lagi.

Tetapi dia tak mendengar suara dari ayahnya lagi.

Dia terkejut, “Yah, mengapa engkau diam saja?”

Tetapi dia seorang yang cerdik. Cepat dihentikan kata-katanya karena dia menyadari kalau ayahnya sudah tak berada di situ.

Dia segera menyalakan lampu, ternyata memang benar. Hanya dia seorang diri yang berada dalam ruangan situ. Dan di atas meja terdapat sebuah kitab yang tebal, berisi tulisan dan gambar.

Pui Tok mengambil kitab itu, dia mengangkat kepala memandang lampu. Dia tahu bahwa selama enam tahun ini kemungkinan besar ayahnya tentu takkan menemuinya.

Apa boleh buat, Pui Tiok pun terpaksa membuka isi kitab itu .

Di sebuah ruangan yang tak jauh dari tempat Pui Tiok, Kwan Beng Cu sedang tengkurap di ranjang dan menangis sedih. Tiba-tiba dari belakang terdengar setiup angin melesat.

Kwan Beng Cu cepat hentikan tangis dan berputar tubuh. Ternyata entah bagaimana datangnya, tahu- tahu Peh Hoa lokoay sudah berdiri di ruang situ. Wajah Kwan Beng Cu berobah tetapi sikap dan suaranya tetap tenang, “Engkau tetap mau membunuh aku, bukan?”

Wajah Peh Hoa lokoay mengerut serius dan memandangnya beberapa jenak lalu berkata, “Ah, tidak. Karena sudah berjanji takkan membunuhmu masa aku akan menjilat ludahku lagi? Nona Kwan, aku hendak bertanya sedikit hal kepadamu.”

Wajah Kwan Beng Cu mulai reda tetapi ia menangis lagi, “Soal apa, apa yang kuketahui tentu akan kuberitahu kepadamu.”

“Waktu mamamu menikah dengan ayahmu, apakah engkongmu tahu? Apakah engkau pernah bertemu dengan engkongmu?”

Kwan Beng Cu gelengkan kepala, “Aku tak tahu. Aku hanya mendengar mama mengatakan tentang engkong, Selamanya aku belum pernah melihat engkong.”

Peh Hoa lokoay mengangguk, “Katau begitu mamamu tentu mengajarkan engkau berbagai ilmu silat yang hebat?”

“kepandaianku hanya biasa-biasa saja.” sahut Kwan Beng Cu, “tetapi mama pernah memaksa aku supaya menghafalkan banyak sekali pelajaran silat. Sampai sekarang aku masih dapat menghafalkan dengan sempurna.”

“0, itu baik sekali, ya baik sekali,”seru Peh Hoa lokoay” kepandaian tidak tinggi bukan karena mamamu kurang mampu memberi pelajaran kepadamu. Tetapi karena engkau belum mampu mengerti. Selama enam tahun ini, engkau tinggal seorang diri disini, engkau boleh merenungkan Pelajaran lisan yang engkau hafalkan diluar kepala itu. Dalam tiga tahun nanti tak perlu engkau ter buru-buru mencapai hasilnya, hanya renungkan dan camkan dengan hati-hati. Nanti tiga tahun berikutnya, engkau baru mempraktekkan dalam latihan. Kuharap dalam enam tahun kemudian, engkau dapat menguasai ilmu silat yang secara lisan telah engkau hafalkan diluar kepala itu. Percayalah, engkau tentu akan hebat.”

“Aku…. aku harus tetap tinggal disini selama enam tahun?” seru Kwan Beng Cu.

Peh Hoa lokoay berjalan mondar mandir sembari menggendong kedua tangannya, kemudian berkata, “Nona Kwan, soal itu memang terpaksa begitu.

Peribahasa mengatakan orang yang tak sayang pada dirinya sendiri, tentu akan dikutuk Thian” . Demi keselamatan kami berdua ayah dan anak, demi keselamatan beratus ratus anak buah Peh-hoa-kau, aku terpaksa bertindak begini. Dan lagi enam tahun kemudian, engkau tentu tak dapat mengatakan asal usul dirimu lagi”

Kwan Beng Cu gelengkan kepala, “Aku…. engkongku, apakah dia benar-benar begitu ganas?”

“Nona Kwan, dalam kenyataan sekarang ini engkau adalah menantuku. Aku hanya punya se orang putera, masa aku akan memperlakukan engkau sebagai orang luar dan menghinamu? Tentu saja tidak”

Merah muka Kwan Beng Cu. Dia tak mau berkata apa-apa lagi. 

“Sebenarnya, selain kita bertiga, apabila ada seorang lain lagi yang tahu tentang soal ini, habislah riwayat kita, “kata Peh Hoa lokoay yang diucapkan begitu serius, mau tak mau jeri juga hati Kwan Beng Cu.

Tiba-2 terlintas dalam pikirannya. Dalam persoalannya itu tidak hanya mereka bertiga saja yang tahu tentang asal usul dirinya, tetapi masih ada seorang lagi yaitu Coh Hen Hong.

Teringat hal itu wajah Kwan Beng Cu tampak berobah, katanya, “Ah…. masih ada seorang lain . yang tahu asal usul diriku.”

Serentak wajah Peh Hoa lokoay berobah pucat. Kedua tangannya memegang bahu Kwan Beng Cu, “Apa? Engkau bilang apa? Masih ada seorang lagi yang tahu? Mengapa Tiok ji tidak bilang? orang itu…. orang itu…. .siapa? lekas bilang!”

Ketegangan Peh Hoa lokoay itu makin membuat Kwan Beng Cu gugup sehingga dalam menberi keterangan tidak dapat tersusun dengan genah, ‘Dia seorang anak perempuan, lebih besar sedikit dari aku. Dulu aku tak pernah bertemu. Dia pernah melempar aku dengan bola salju. Dia anaknya seorang perempuan gila. Tetapi Pui toako mengatakan kalau anak perempuan itu taciku. Sebenarnya dia ikut bersama Pui toako dan aku dalam perjalanan ke Peh hoa nia ini tetapi di tengah jalan dia telah berbalik pikiran dan menggunakan tipu muslihat. Hampir saja kami berdua dibunuhnya, sekarang entah kemana perginya anak perempuan itu!” Peh Hoa lokoay tertegun. Dia tak mengerti apa yang diceritakan Kwan Beng Cu itu. Semula dia merencanakan akan segera pergi dan menemui Pui Tiok untuk menanyakan hal itu.

Tetapi tiba-tiba dia menimang. Kalau semula Pui Tiok tak mau menceritakan peristiwa itu kalau ditanya lagi kemungkinan anak itu tentu tetap tak mau menceritakan dengan sejujurnya. Padahal peristiwa itu penting sekali, dia harus mendapat keterangan yang sebenarnya. Dari pada bertanya pada Puil Tiok lebih baik dia meminta keterangan pada Kwan Beng Cu.

Dia menarik tangan Kwan Beng Cu diajak duduk, katanya, “Nona Kwan, jangan gugup. Ceritakanlah kejadian itu dengan tenang dan jelas.

Kwan Beng Cu mengangguk, “Baiklah, aku akan menceritakan.”

Memang benar, Kwan Beng Cu lalu mulai bercerita dengan teratur. Sejak pada saat dia ikut sukonya (SI Ciau) naik tandu keluar untuk melihat pemandangan alam, lalu bertemu dengan Coh Hen Hong dan mamanya, satu demi satu diceritakan dengan jelas dan terperinci.

Sudah tentu seorang tokoh seperti Peh Hoa lokoay memang tokoh pintar. Segera dia dapat menduga siapakah wanita gila yang membawa ular itu.

Dia segera teringat bahwa wanita gila itu bernama Coh Bwe Nio. Dahulu pernah dia membawa Coh Bwe Nio ke gunung Peh hoa-nia tetapi Coh Bwe Nio melarikan diri. Mengapa sampai melarikan diri adalah karena wanita cantik itu tak mau dijadikan gundiknya. Dan diapun tahu bagaimana hubungan antara Kwan Pek Hong, Kwan hujin dan Coh Bwe Nio. Tetapi sekarang dia tidak mau mempedulikan hal itu tapi yang dipikirkan yalah bahwa ternyata masih ada seorang lain lagi yang tahu akan rahasia diri Kwan Beng Cu.

Diam-diam timbullah keputusan ngeri dalam hati ketua Peh Hoa kau itu. Orang keempat atau Coh Hen Hong, yang tahu tentang rahasia diri Kwan Beng Cu itu, harus dibunuh.

Setelah berbicara beberapa saat dengan Kwan Beng Cu, Peh Hoa lokoay lalu berdiri.

“bagaimana? Apakah tidak jadi persoalan apa-apa?” tanya Kwan Beng Cu. Yang dimaksud yalah tentang Coh hen Hong itu.

Hampir saja Peh Hoa lokoay marah dan hendak mendamprat anak perempuan itu. Itukan urusan penting, urusan yang menyangkut jiwa seluruh anak buah Peh-hoa-kau, mengapa anak perempuan itu masih bertanya lagi?

Seketika meluapkan nafsu kemarahannya. Hampir saja dia hendak menghancurkan Kwan Beng Cu, agar urusan habis sampai disitu dan kelak tidak menimbulkan bahaya lagi.

Tetapi pada lain saat, terbayanglah dia akan sikap dan pernyataan puteranya, Pui Tiok, bahwa kalau Kwan Beng Cu dibunuh, Pui Tiok akan minggat dan tak mau pulang selama-lamanya. Pui Tiok adalah putera tunggal yang amat disayanginya. Putera yang menjadi segala tumpuan harapannya. Kalau anak itu sampai melaksanakan ancamannya lalu bagaimanakah dia? Haruskah dia kehilangan seorang putera yang amat dikasihinya itu?

Dan lagi diapun teringat bahwa dihadapan Pui Tiok dan Kwan Beng Cu, dia berjanji takkan mencelakai Kwan Beng Cu. Dia telah mengemukakan tiga syarat dan kedua anak itupun sudah bersedia menerima. haruskah dia menarik kembali ucapannya?. Baik sebagai seorang ketua dari perkumpulan besar seperti Peh hoa kau, maupun Sebagai seorang ayah, sudah tentu dia tak mau dianggap sebagai seorang manusia yang tidak ber tanggung jawab atas ucapannya.

Andaikata dia membunuh Kwan Beng Cu, rasanya juga takkan dapat menolong keadaan. Malah kalau membiarkan anak perempuan itu di Peh-hoa-nia, kelak apabila fihak Ceng-te kong mengetahui hal itu dan akan bertindak dengan kekerasan, dia masih mempunyai pegangan. Bukankah Kwan Beng Cu dapat dijadikan sandera untuk menekan fihak Ceng-te- kiong?

Cepat sekali pertimbangan2 Itu melintas dalam benak Peh hoa lokoay dan secepat itu pula dia lalu menekan perasaannya dan dengan nada yang tenang dia berkata, “Ah, tak jadi apa. Coh Hen Hong itu kan hanya seorang anak perempuan kecil dan lagi juga menjadi tacimu, takut apa?”

Tetapi…. Pui toako bilang, meskipun dia masih kecil tetapi ganas sekali,” kata Kwan Beng Cu terbata-bata. Peh Hoa lokoay memang belum pernah melihat Coh hen Hong. Sudah tentu dia tak tahu bagaimana sifat dan sikap anak itui. Peh hoa lokoay seorang ketua perkumpulan termasyhur dan seorang tokoh silat yang saktt. Sudah tentu dia tak gentar mendengar ucapan Kwan Beng Cu. Masa dia takut kepada seorang anak perempuan kecil dan liar seperti Coh Hen Hong?

“Ah, tidak soal,” katanya, “jangan kuatir dan tinggallah di sini dengan tenang.”

Habis berkata dia terus melesat pergi.

Kwan Beng Cu yang tinggal seorag diri di ruang itu. kembali merenungkan nasibnya. Enam tahun, ya, enam tahun itu bukan waktu yang sedikit. Enam tahun lamanya dia harus tinggal di situ. Walaupun bukan seorang pesakitan yang dijebloskan dalam penjara tetapi keadaanya tidak jauh berbeda. Enam tahun dia tidak boleh ke luar dari tempat itu, tidakkah sama artinya seperti orang dipenjara?

Memikirkan hal itu, dia kembali menangis tersedu- sedu….

Sementara Peh Hoa lokoay segera menuju ke Cong- than atau paseban besar dari perkumpulan Peh-hoa- kau. Paseban itu merupakan sebuah ruang besar.

Begitu Peh Hoa lokoay muncul maka beberapa ko- jiu (jago silat) yang berada diruang cong-than serempak berdiri selaku penghormatan. Peh hoa lokoay langsung menuju ke kursi besar.

“Bunyikan genta, kumpulkan seluruh anak buah Peh-hoa-kau di sini!” serunya. 

Dua orang lelaki segera mengiakan dan melangkah keluar. Tiba di pintu mereka mengambil dua buah palu besi lalu dipukulkan kepada genta besar yang tergantung di serambi.

Bunyi genta itu mengaum-aum bagaikan guruh yang menggelegar menyusup gumpalan awan.

Bunyinya bergema sampai keluar lembah.

Membunyikan genta raksasa untuk memanggil anak buah, memang hanya dilakukan oleh Peh Hoa kau apabila menghadapi peristiwa genting.

Setiap anak buah Peh-hoa kau yang mendengar kumandang genta itu, serempak berbondong bondong menuju ke paseban besar.

Peh Hoa lokoay duduk di kursinya dengan sikap yang serius. Di sebelah kanannya berdiri Seorang lelaki pertengahan umur berwajah putih bersih. Dia adalah yu-poan-koan. Sedang tempat di sebelah kiri yang biasanya ditempati Siu Peng, tampak kosong karena Siu Peng yang menjabat sebagai Co-poan-koan masih belum sembuh.

Kursi yang tersusun di kedua samping sang ketua, pelahan-lahan makin lama makin penuh terisi orangnya. Para tongcu atau kepala bagian paseban, semua telah hadir lengkap.

Setelah bertalu-talu setengah jam lamanya, barulah genta itu berhenti. Tetapi telinga setiap orang rasanya masih terngiang ngiang dengan kumandangnya sampai beberapa saat. Setelah seturuh anak buah Peh-hoa-kau dari kepala tongcu sampai pada kerucuk, hadir semua, dan tempat duduknya yang berada di tempat ketinggian, Peh Hoa lokoay mengeluarkan pedang. Berpuluh tahun dia mendirikan dan membina perkumpulan Peh hoa- kau. Kini hasilnya telah melahirkan sebuah Peh-hoa kau yang besar, termasybur dan disegani dunia persilatan. Diam-diam terhibur juga hati Peh Hoa lokoay.

Setelah genta berhenti, Peh Hoa lokoay mengangkat tangan dan serentak seluruh hadirinpun diam.

Setelah itu barulah Peh hoa lokoay dengan nada serius berseru “Peh-hoa-nia sedang menghadapi bahaya besar. Kapan bahaya itu akan datang, aku tak dapat mengatakan dengan terus terang. Tetapi kalau kita tak dapat menemukan seseorang maka bahaya itu tentu akan segera datang!”

Beratus-ratus, hadirin yang berada dalam paseban besar itu tak ada yang bersuara. Mereka hanya mencurah pandang kearah ketuanya. Walaupun mulut tak berani bicara tetapi pandang mereka meminta penjelasan kepada sang ketua.

Setelah berhenti sesaat, Peh Hoa lokoay berkata pula, “Setiap tongcu supaya meninggalkan seorang wakil tongcu untuk menjaga paseban besar ini. setiap kelompok ko jiu, setiap 10 orang, yang delapan orang supaya pergi mencari orang yang mungkin akan menyebabkan kehancuran Peh-hoa kau itu. Begitu ketemu harus lekas di bunuh” Sekalian anak buah Peh hoa-kau saling bertukar pandang. suasana paseban tetap sunyi karena tak ada yang bicara. Mengapa?

Mereka memang sudah mendengar jelas ucapan ketuanya tetapi mereka benar-benar tidak mengeriti apa yang dimaksudkan. Mencari orang yang dapat menyebabkan Peh hoa kau hancur? Siapakah orang itu. Kalau dapat menyebabkan Peh-hoa kau hancur, tentulah orang itu sakti sekali kepandaiannya lalu kalau ketemu orang itu, mana mungkin dapat membunuhnya? Peh Hoa lokoay menghela napas untuk melonggarkan ketegangan hatinya. Kemudian dia berkata pula, “Orang itu, seorang anak perempuan berumur 12-13 tahun. Dia pakai she mamanya yaitu dari marga Coh, namanya Hen Hong!” Setiap rapat besar dengan panggilan membunyikan genta, tentu akan mendengarkan soal

yang penting sekali. Dalam rapat itu ketua akan memberi keterangan. Kecuali ketua siapapun yan hadir, tidak boleh buka suara. Tetapi saat itu karena mendengar penjelasan Peh Hoa lokoay yang begitu mengejutkan sekali sudah tentu mereka tanpa disadari mendesuh kaget…. Beratus-ratus orang serempak mendesuh sehingga menimbulkan kumandang suara yang bergemuruh.

Beberapa saat kemudian setelah gema suara itu reda, barulah orang-orang sama menyadari kesalahannya. Mereka merasa telah melanggar peraturan tata tertib sidang. Mereka mengira, Peh Hoa lokoay tentu marah dan akan mendamprat. Siapa tahu diluar dugaan, ternyata tidak. Walaupun sikap dan wajahnya masih serius tetapi ketua itu tidak bicara apa-apa melainkan tertawa pahit. 

Ternyata Peh Hoa lokoay mempunyai pertimbangan lain. Saat itu dia memang memerlukan orang untuk mencari Coh hen Hong, Memaki hanyalah dapat melonggarkan kemarahan tetapi tak dapat menolong keadaan dan melenyapkan ancaman bahaya.

Maka setelah suara gemuruh itu reda, barulah dia berkata lagi, “Peh-hoa kau memang aku yang mendirikan. Selama berpuluh tahun ini telah mencapai kemajuan dan perkembangan yang besar.

Setiap orang tahu akan hal itu, dunia persilatanpun mengakui. Kalau tadi kukatakan bahwa Per-hoa kau bisa hancur di tangan seorang anak perempuan kecil, tentulah tak ada orang yang percaya. Tetapi aku sebagai seorang ketua, masa akan bersendau gurau? Lakukan saja apa yang kuperintahkan tadi!”

Sejenak dia berhenti dan tertawa kecut lagi lalu berkata pula, “Apabila kalian turun dari Peh hoa-nia, sekali kali jangan menggunakan nama Peh-hoi-kau. Dan jangan sekali-kali cari perkara diluaran,.

Sekalipun ada orang yang menghina dan memaki- maki Peh-hoa-kau, jangan kalian layani. lni untuk menjaga jangan sampai tujuan besar menjadi terlantar dikarenakan urusan lain yang tidak penting. Jika ada yang berani menimbulkan onar di luaran, pasti akan menerima hukuman perkumpulan yang paling berat!‘

Seluruh anak buah Peh-hoa-kau menerima amanat sang ketua dengan chidmat. Peh Hoa lokoay memberi isyarat tangan Seraya berseru, ‘Setelah ke luar dari sini, kalian boleh segera mulai berangkat!‘

Walaupun dalam hati masih bingung namun tak ada seorangpun dari anak buah Peh-hoa-kau yang berani bertanya meminta penjelasan lagi. Mereka segera mengundurkan diri dari paseban. Yang masih tinggal di situ hanya yu-poan koan seorang.

Peh Hoa lokoay berbangkit, katanya, “Yu poan- koan, aku juga akan tinggalkan Peh-hoa-nia untuk mencari anak perempuan itu. Sekalian aku hendak mengawasi gerak gerik anak buah kita di luaran, jangan sampai mereka menimbulkan keonaran.”

“Ya,” sahut Yu-poan-koan dengan hormat.

“Yu-poan-koan,” kata Pui Hoa lokoay pula, “Urusan di sini kuserahkan kepadamu, Engkau harus benar- benar melakukan dua pesanku. Pertama, jangan sampai ada orang tahu kalau aku meninggalkan Peh- hoa-nia. Kedua, jangan sekali kali ada orang yang menemui Tiok-ji serta anak perempuan yang datang bersamanya itu. Mengerti?”

“Ya,” sahut yu-poan koan.

Peh Hoa lokoay menepuk-nepuk bahu orang kepercayaantya itu, ‘Setelah peristiwa ini selesai dan Peh-hoa-kau tentu akan makin berkembang besar lagi, sudah tentu harus memerlukan wakil kaucu (ketua). Dalam hal ini engkaulah yang kupandang sebagai calon yang paling tepat.”

‘Ya,” kembali yu-poan koan mengiakan. 

“Sekarang, pergilah,” Peh hoa lokoay memberi perintah. Setelah yu-poan koan pergi, Peh Hoa lokoay mondar-mandir sambil menggendong kedua tangannya. Memang begitulah kebiasaan ketua Peh hoa-kau itu. ApabiLa menghadapi urusan penting yang sukar dipecahkan dia tentu mondar-mandir sambil mengendong kedua tangannya.

Beberapa saat kemudian barulah dia tinggalkan paseban cong-than.

Sekarang kita ikuti Coh Hen Hong.

Dalam perasaannya. pada malam itu yalah pada saat dapat merubuhkan Pui Tiok dan merampas pedang Ceng leng-kiam milik Kwan Beng Cu adalah saat yang paling menggembirakan tetapi juga paling menyedihkan dalam hidupnya.

yang membuat dia gembira sekali yalah karena akhirnya dia dapat merubuhkan Pui Tiok dan Kwan Beng Cu, merampas pedang milik Kwan Beng Cu. Bukan saja telah menghina habis habisan pada Pui Tiok, pun dia telah memberi tanda mata yang takkan terlupakan seumur hidup yalah guratan pedang pada mukanya yang berbentuk tujuh kuntum bunga.

Coh Hen Hong benar-benar telah merasa puas karena dapat menumpahkan penasarannya selama dia diperlakukan kasar oleh Pui Tiok.

Dan yang membuat sedih hatinya yalah karena dia mendengar lengking jeritan mamanya. Dia serentak lari menuju ke tempat itu. Tetapi oh, ma ma…. setelah dua tiga li berlari dia memang mendapatkan mamanya tetapi bukan mamanya yang masih hidup melainkan mamanya yang sudah menggeletak menjadi mayat.

Tak salah lagi bahwa tubuh yang menggeletak di atas segunduk batu besar itu adalah mamanya.

Semula dilihatnya mamanya tak bergerak dan Setelah dia merayap naik ke atas batu dan mendekapnya ternyata mamanya sudah tidak bernapas lagi.

Menilik tubuhnya yang masih hangat, jelas belum lama mamanya itu meninggal. Memang dalam pandangan orang, mamanya itu seorang wanita yang tidak normal pikirannya tetapi dalam hati sanubari Coh Hen Hong, wanita itu adalah satu-satunya ibu yang dicintainya. Ibu yang menjadi sandaran hidup, tempat di mana dia dapat merasakan keteduhan dan kedamaian.

Tetapi sekarang mamanya telah meninggal.

Seketika dia merasa menjadi manusia sebatang kara di dunia ini. Sejak saat itu. tiada tempat lagi baginya untuk membagi suka dan duka, mencurahkan gembira dan sedih. Segala derita, dia sendiri yang akan menanggungnya.

Kejam, sungguh kejam segala manusia di dunia ini. Mengapa satu-satunya orang yang dicintainya, harus dibunuh?

Namun saat itu suasana di sekeliling sunyi senyap.

Coh Hen Hong tidak kuat menahan derita yang menyiksa saat itu. Dia memeluk mayat ibunya dan menangis sedih. Tepat pada saat itu adalah waktu Pui Tiok sedang dicengkam rasa cemas kalau2 Coh Hen Hong akan balik kembali. Ternyata sampai Coh Hen Hong tidak kembali lagi karena sedang menumpahkan seluruh airmatanya.

Entah sudah berapa lama Coh Hen Hong nenumpahkan airmatanya itu sehingga mayat mamanya pelahan-lahan menjadi beku kaku. Pada lain saat dara kecil itu mengangkat mukanya. Tampak sepasang matanya bengap dan pipinya basah kuyup dengan airmata.

“Ma, aku pasti akan membalaskan sakit hatimu!“ tiba-tiba dia berseru nyaring.

Dia hanya melampiaskan dendam penasaran nya tanpa mengetahui siapakah yang telah membunuh mamanya dan bagaimanakah mamanya telah menderita kematiann. Tetapi jelas dia telah menyertakan sumpah hatinya dalam pernyataan yang di lantangkan dengan suara nyaring itu.

Lalu dia membuat liang dengan pedang pusaka Ceng leng-kiam. Setelah menanam jenasah mamanya dengan baik lalu dia menebas sebatang pohon dan ditancapkan pada makam itu sebagai tanda. Kelak setelah dia dapat melaksanakan pembalasan barulah dia akan datang untuk bersembahyang ke situ lagi.

Selesai melakukan penguburan, kembali dia teringat pada Kwan Beng Cu. Akan tetapi dia tidak beminat untuk kembali ke tempat Pui Tiok lagi. Karena dia memperhitungkan, pada saat itu tentulah Pui Tiok sudah dapat bergerak dan tentu sudah membawa pergi Kwan Beng Cu. 

Pada hal sebenarnya, setelah terang tanah barulah Pui Tiok dan Kwan Beng Cu tinggalkan tempat itu.

Mungkin belum takdirnya Pui Tiok dan Kwan Beng Cu harus mati. Coba pada saat it Coh Hen hong kembali, dalam luapan lahar dendam penasaran yang mengempa dalam hati nya, saat itu dia tentu akan menyiksa Pui Tiok dan Kwan Beng Cu lebih ngeri lagi.

Setelah berlutut di hadapan pusara mamanya dan mengucapkan sumpah berat untuk menuntut balas, Coh Hen Hong lalu pelahan-lahan tinggalkan tempat itu.

Karena dilanda kesedihan, pada saat mengubur mamanya, Coh Hen Hong tak memeriksa pakaian mamanya untuk mencari barangkali meninggalkan barang apa-apa. Juga karena usianya masih kecil, diapun tuk tahu apa saja yang dibawa pamannya yang bungkuk ketika melarikan diri dar gunung Peh-hoa- nia.

Dan karena Coh hen hong tidak memeriksa pakaian mamanya maka kitab pusaka Ih su keng yang berisi pelajaran ilmu silat sakti itu pun ikut terkubur bersama Coh Bwe Nio atau mama dan Coh Hen Hong.

Waktu sudah meninggalkan tempat itu, Coh Hen Hong sama sekali tak memikirkan soal itu karena seluruh pikiran dan perhatiannya hanya tertumpah pada satu tujuan: menuntut balas atas kematian mama yang dicintainya itu.

Dia lari dan terus lari ke muka. Setelah hari terang tanah, baru dia terbeliak gelagapan sendiri. Dia berhenti. 

Menuntut balas? Menuntut balas kepada siapa?

Siapakah musuh yang telah membunuh mamanya itu? Di mana tempat tinggalnya? Ah, sama sekali dia tak tahu hal itu.

Sampai lama dia tegak berdiri ditingkah sinar matahari yang pelahan lahan makin panas. Tetapi dia tak merasakannya. Bahkan dalam terik matahari itu dia merasa gemetar kedinginan. Dan kembali pecah tangisnya.

Jika saat itu dia tak mendengar derap kuda lari yang tiba-tiba muncul, tentulah dia masih menangis terus.

Derap kuda ini telah menghentikan tangisnya. Dia memang seorang anak perempuan yang keras kepala. Tidak mau dia menangis dilihat orang. Dia mengangkat muka dan memandang menurut arah suara lari kuda itu.

Tampak tiga ekor kuda bulu merah, mencongklang sekencang angin. Saat itu sinar matahari panas sekali. Coh Hen Hong menutupkan tangannya ke dahi untuk mengaling matanya dari sinar matahari. Tetapi dia tetap tak dapat melihat jelas siapa ketiga penunggang kuda yang datang itu.

Dalam beberapa kejab saja, ketiga kuda tegar bulu merah itupun tiba di depannya dan melintas kencang. Tiba-tiba timbul lagi perangainya yang suka usil!“

“Cis!” dia meludah ke tanah dengan suara muak, “sok garang saja!“ Sebenarnya dia bicara dengan pelahan dan seharusnya ketiga penunggang itu tak mendengar nya. Tetapi entah bagaimana, tiba-tiba kuda yang di belakang sendiri meringkik keras, penunggangnya meregangkan tubuh tegak dan menghentikan kuda itu.

Begitu kuda yang di belakang berhenti, kedua kuda yang di mukapun setelah meluncur dua tombak jauhnya, juga berhenti. Saat itu Coh Hen Hong baru dapat melihat jelas. Ternyata ketiga penunggang kuda itu terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita.

Yang berhenti paling dulu tadi adalah Si penunggang wanita Itu.

Wanita itu berwajah cantik. Sepasang alis seperti lukisan, mengenakan pakaian warna biru, Umurnya sekitar 30 an tahun. Dia berpaling dan berkilat-kilat memandang Coh Hen Hong.

Jika lain orang. tentu akan merasa kikuk kalau dipandang lain orang begitu rupa. Tetapi tidak demikian dengan Coh Hen Hong. Dia malah bercekak pinggang dan menegakkan kepala dengan sikap meremehkan, dia balas menatap wanita itu.

Kedua penunggang lelaki memutar kuda dan serempak berseru, “Sam moay, mengapa engkau itu?”

Wanita itu mengangkat cambuk dan menuding pada Coh Hen Hong, “Toako, jiko, lihatlah pedangnya itu!“

Yang dimaksudkan yalah pedang yang terselip pada pinggang Coh Hen Hong, pedang Ceng leng-kiam yang berkilau-kilauan ditingkah sinar matahari. Walaupun bertahun-tahun dibawa mengembara oleh mamanya, tetapi karena mamanya seperti orang gila maka selama itu tak pernah Coh Hen Hong berhubungan dengan orang persilatan Coh Hen Hong hanya bergaul dengan kawanan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu dia tak tahu sama sekali pengalaman dalam dunia persilatan.

Kalau orang lain, tentulah kuatir dengan membawa pedang pusaka seperti pedang Ceng leng kiam itu.

Setiap saat dan setiap detik, bahaya akan datang dan setiap orang persilatan yang tentu akan berusaha untuk merampas pedang itu.

Tetapi tidak demikian dengan Coh Hen Hong. Dia malah dengan garang menyelipkan begitu Saja di pinggangnya. Dan Itu orangpun tentu tidak akan bersikap seperti dia saat itu. Orang menuding pada pedang di pinggangnya, dia malah merasa bangga dan gembira,

“Hai….” kedua lelaki itupun serempak berseru kaget setelah melihat pedang yang ditunjukkan kawan wanitanya. Serentak mereka loncat turun dan lari menghampiri Coh Hen Hong.

Kedua pria itu mengenakan pakaian yang indah dan berwibawa. Sudah tentu Coh Hen Hong takut. Dia loncat mundur dan berseru, “Hai, kalian mau apa?

Jangan kira kalau aku begitu mudah engkau gertak!“

Sambil berteriak itu dia masih tetap bercekak pinggang seperti gaya seorang anak liar. Kedua lelaki itu setelah tiba di hadapan Coh Hen Hong dan melihat sikap anak perempuan itu, tidak mau mengejar dan berseru, “Adik kecil, jangan takut.”

Coh Hen Hong tegakkan kepala menyahut ketus, “Lucu. siapa yang takut pada kalian?”

kedua lelaki saling bertukar pandang. Waktu mereka hendak bicara, wanita tadi juga turun dari kudanya dan menghampiri.

“Siau-moaymoay, kita ingin berkenalan mau tidak?” serunya dengan ramah.

Siau-moaymoay artinya adik perempuan kecil.

Coh Hen Hong memandang ketiga penunggang kuda itu. Diam-diam dia mendapat kesan jika ketiga orang itu bertubuh kokoh dan berwibawa. Apa salahnya kalau berkenalan dengan mereka, pikirnya

Coh Hen Hong mengangguk, “Baik.”

“Baik!” kata wanita itu,” karena berkenalan maka kita harus saling memperkenalkan diri. Aku dari marga Ki, karena Jatuh pada urutan ketiga maka orang menamakan aku Ki Sam Nio. Dan engkoh yang ini adalah Lim In toako, sedang engkoh yang itu adalah Ho Thian Jing ji-ko.”

Coh Hen Hong tak tahu siapa Ki Sam Nio, Ho Thian Jing. Dia baru pertama kali itu mendengar nama2 mereka maka diapun tak memberi reaksi suatu apa kecuali hanya berkata “Ya, kuingat.” ketiga orang itu saling berpandang. Kembali Ki Sam Nio berkata, “Kami bertiga juga punya sedikit nama.

Orang persilatan memberi gelar Kim to (golok emas), Gin kou (kait perak), Thiat-tong (parang besi) Tiga- pendekar dari Jwan-se.”

Ternyata perkenalan diri dari Kim Sam Nio itu memberi buah.

memang Ki Sam Nio, Lim In dan Ho Thian Jing itu tukoh2 persilatan yang termasyhur.

mereka bertiga sebenarnya bukan saudara seperguruan melainkan berasal dari perguruan yang berbeda yakni dari Go-bi-pay, Ceng-sia-pay dan Kiam- bun-pay.

Namun karena sejak kecil sudah saling mengenal maka hubungan mereka sangat intiem sekali melebihi saudara kandung. Setelah berangkat dewasa, mereka masing-masing mempunyai peruntungan sendiri2.

Mereka mendapat pelajaran ilmu silat dari tiga orang tokoh sakti.

Pada umur 20 tahun dengan sepasang thiat kau (gaetan besi) Ki Sam Nio telah mengemparkan dunia persilatan. Jarang sekali jago silat yang mampu menandinginya. Oleh saudara2 seperguruan, dia diangkat sebagai ketua perguruan Kim bun pay.

Mengenai kisah ketiga orang ini, entah berapa banyak macam cerita yang tersebar dalam dunia persilatan. Begitu luas cerita itu tersebar di dunia persilatan hingga sampai anak kecilpun tahu dan takut mendengar namanya. itulah sebabnya maka Coh Hen Hong juga pernah mendengar cerita tentang nama ketiga orang itu.

Cuh Hen Hong benar-benar seperti bermimpi.

Dia tak menyangka sama sekali bahwa tokoh dalam dongeng yang hidup dalam khayalannya mendadak muncul di hadapannya dan bahkan mau berkawan dengannya.

Sesaat Coh Hen Hong tertegun kesima. Karena kurang pengalaman, dia tak tahu bagaimana harus berbuat.

Ki Sam Nio yang kaya akan pengalaman segera mengetahui bahwa anak perempuan itu kesima karena pernah mendengar namanya. Ia tertawa ujarnya, “Siau-moaymoay, apakah kami berharga menjadi kawanmu?”

“Tentu saja, tentu saja,” Coh Hen Hong gopoh mengangguk. Kemudian dia bertanya, “Kalau aku menjadi kawan kalian dan kita berempat bersama- sama, apakah kelak orang persilatan akan memberi julukan Empat pendekar-Jwanse?”

Jwanse adalah nama sebuah propinsi.

Mendengar pertanyaan Coh Hen Hong sedemikian itu. Ki Sam Nio dan kedua kawannya terbeliak. Selama berkelana dalam dunia persilatan, entah sudah berapa banyak pengalaman mereka menghadapi bermacam- macam bahaya dan pengalaman. Tetapi baru pertama kali itu mereka bertemu dengan seorang anak perempuan yang begitu nyentrik. belum pernah mereka menerima pertanyaan seganjil seperti yang meluncur dari mulut Coh Hen Hong.

Adalah Ki Sam Nio yang cepat dapat menguasai keadaan, segera menjawab, “Ya, kalau hubungan kita sudah erat dan sering bersama-sama, tentulah dunia pesilatan akan memberi julukan begitu.”

Coh Hen Hong juga seorang anak yang cerdas dan tajam perasaannya. Melihat ketiga orang itu saling bertukar pandang dan sikapnya ragu2, kemudian mendengar jawaban Ki Sam Nio begitu rupa, tahulah Coh Hen Hong bahwa Tiga-pendekar Jwanse itu kurang senang.

Cepat Coh Hen Hong mendengus dan tertawa dingin. “Sebenarnya tak ada julukan semacam itupun tak apa. aku juga tak peduli. Aku….aku….”

Tiba-tiba dia tak melanjutkan kata-katanya karena teringat akan keterangan Kwan Beng Cu mengenai engkong yang menjadi pemilik Ceng-te-kiong. Diam- diam Coh Hen Hong memang akan berusaha untuk menuju ke Ceng te kiong dan akan mengaku kalau dirinya itu Kwan Beng Cu.

Menghadapi Tiga pendekar Jwan-se yang di anggapnya begitu congkak dan membanggakan gelarannya, diam-diam Coh Hen Hong memutuskan, apa salahnya kalau sekarang dia mengaku sebagai cucu dari pemilik Ceng-te kiong untuk menggertak ketiga pendekar itu?

Cepat Coh Hen Hong segera berkata, “Aku….uh, engkongku kalau ke luar tentu diiring oleh delapan ekor burung garuda hijau yang menjadi pelopor jalan. Tentunya lebih berwibawa dari kalian. Apakah kalian pernah mendergar tentang engkongku itu?”

Sebenarnya Coh Hen Hong hanya hendak jual kegarangan untuk menggertak. Tetapi ternyata hal itu membuat ketiga pendekar terkejut dan gembira sekali.

“Tentu saja kami tahu siapa engkongmu itu. Siau- moaymoay, kiranya engkau ini dari istana Ceng-te- kiong. Pemilik Ceng-te-kiong itu adalah….. “ Ki Sam Nio hentikan kata-katanya Coh Hen Hong sudah membulatkan tekad dan serentak berseru, “Engkongku!”

Mendengar itu tiba-tiba dari sebelah kanan dan kiri, Lim In dan Ho Thian Sing melesat maju. Tetapi pada saat itu juga, Ki Sam Nio merentangkan kedua lengannya. jelas dia bermaksud mencegah Lam In dan Ho Thian Jing berbuat Sesuatu.

Tetapi tampaknya Coh Hen Hong acuh tak acuh terhadap gerak gerik ketiga orang itu. Dia pura-pura tak tau.

Kim Sam Nio menarik tangan anak perempuan itu, katanya, “0, makanya pinggang-nya menyelip pedang Ceng leng-kiam. Engkau masih kecil dan berjalan seorang diri. Apakah engkau hendak menuju ke lembah Lian-hoan-koh di sebelah muka itu?”

Mendengar pertanyaan itu Coh hen Hong melongo, tanyanya, “Aku hendak ke lembah Lian hoan-koh?

Perlu apa aku harus ke sana?” “Apa engkau tak tahu?” tanya Ki Sam nio, “apakah engkau tak tahu kalau engkongmu suruh kami mengantarkan barang ke lembah Lian hoan koh dan suruh menerimakan barang itu kepada orang suruhannya?”

Coh Hen Hong memang sungguh tidak mengerti persoalan yang gawat itu. Tidak tahu pula dia bagaimana perasaan ketiga orang saat itu

Seolah seperti tak terjadi suatu apa, enak saja Ia menjawab, “Mana aku tahu? Tetapi tak apa, aku akan ke sana juga.”

“Siau-moaymoay” kata Ki Sam Nio pula. “engkau tentu bersama orang dari lembah itu meninggalkan Ceng-te-kiong, bukan?”

“ya,” sahut Coh Hen Hong tanpa banyak pikir,

Cepat Ki Sam Nio bertanya, “Apakah engkau tak keberatan untuk menceritakan tentang beberapa orang yang berada di lembah Lian hoan koh itu?”

Mendengar itu wajah Lim In dan Ho Thian Jing tampak tegang. Rupanya mereka ingin juga mendengar keterangan dari Coh Hen Hong.

Mendapat pertanyaan itu, Coh Hen Hong berpikir. Kalau dia mengatakan tak tahu, tentulah ketiga orang itu akan meragukan dirinya. Tetapi kalau mengatakan tahu, tentulah mereka akan menanyakan tentang nama2 orang di lembah Lian hoan koh. Lalu bagaimana dia harus memberi keterangan? Kalau lain orang menjadi Coh Hen Hong tentulah saat itu akan kelabakan. Tetapi dasar Coh Hen Hong itu setan kecil, cepat sekali terlintas sesuatu dalam benaknya. Dia ter tawa gelak-gelak, serunya, “Apalagi kalau bukan beberapa orang Itu saja, mana aku ingat sekian banyak?”

Dengan jawaban itu dia memperkecil arti orang- orang yang hendak ditanyakan Ki Sam Nio itu. Ki Sam Nio bertiga agak berobah wajahnya. Mereka saling bertukar pandang dan bermain isyarat tangan.

Saat itu Coh Hen Hong mengira kalau dia berhasil menghapus pertanyaan mereka. Dia gembira karena nyatanya Ki Sam Nio tidak mendesak bertanya lagi. Sudah tentu dia tak sempat memperhatikan gerak gerik ketiga orang itu.

Ki Sam Nio tertawa, “Siau moaymoay, sebenarnya kami hendak ke lembah Lian hoan koh. Di sana mungkin nanti akan terjadi sedikit peristiwa yang kemungkinan nanti engkau tentu takut. Maka lebih baik engkau jangan ikut ke sana saja.”

Memang Ki Sam Nio tajam sekati otak nya. Dalam waktu singkat saja dia sudah dapat mengetahui bahwa Coh Hen Hong itu seorang anak perempuan yang keras kepala dan tak mau mengalah pada orang. Maka diapun menggunakan siasat. Kalau di minta supaya Coh Hen Hong ikut ke Lian-hoa-koh, mungkin anak itu akan bersikap jual mahal tak mau. Tetapi kalau dia melarangnya kemungkinan Coh Hen Hong tentu berkeras hendak ikut.

Ternyata siasat Kim Sam Nio, itu berhasil, Serentak Coh Hen Hong membusungkan dada dan berseru garang, “Fui takut apa? Hm aku tak takut segala apa.” “Baiklah!” sahut Ki Sam Nio, “kalau begitu mari ikut kami dan silahkan naik kuda.”

Coh Hen Hong juga cerdik. Saat itu dia menyadari kalau termakan siasat orang yang berhasil membuat panas hatinya. Tetapi karena sudah terlanjur berkata, dia takut untuk menarik kembali Terpaksa dia terus loncat dan segera disambut tangan Ki Sam Nio yang sudah berada diatas kuda. Ketiga ekor kuda pun terus lari melanjutkan perjalanan lagi.

Ketiga pendekar Jwanse dan Coh Hen Hong masing- masing mempunyai rencana sendiri. Tiga pendekar- Jwanse cemas2 gembira atas pertemuan mereka dengan Coh Hen Hong. Tetapi mereka tak tahu bagaimana akibatnya nanti. Adakah hal itu akan merupakan berkah atau malapetaka bagi mereka.

Sebenarnya perjalanan ketiga pendekar itu sudah membawa bekal kematian. Mereka menuju ke Lian hoan koh untuk menyerahkan jiwa.

Pada tahun itu, ketiga partai perguruan Go bi-pay, Ceng-shia-pay dan Kiam-bun-pay tiba tiba menerima surat dari pemilik Ceng-te-kiong yang meminta tolong pada ketiga ketua partai perguruan itu untuk

bersama-sama mencarikan barang, setahun kemudian barang itu supaya diantarkan ke lembah Lian-hoan- koh.

Barang yang dikehendaki pemilik Ceng te kiong Itu adalah mutiara yang berbentuk seperti hou-lo (buli2 arak). Jumlahnya harus tujuh butir. Aduh, mutiara berbentuk hou lo harus dicari di dasar lautan.

Jangankan 7 butir sedang untuk mencari sebutir saja, sukarnya bukan kepalang. 

Surat dari Ceng-te kiong seperti itu, memang sering diterima oleh partay dan perguruan persilatan. Baik partai persilatan maupun perguruan, menganggap surat itu seperti amanat maut. Oleh karena itu sekali menerima surat begitu, mereka tentu ketakutan sekali dan akan berusaha. Mati matian untuk mencarikannya sampai dapat. Kalau tidak mau mencarikan atau gagal mencarikan, pada waktu batas waktunya habis, tentulah seluruh anak buah partai persilatan dan perguruan itu akan dibasmi habis-habisan.

Kali ini yang kejatuhan surat permintaan dari Ceng te-kiong yalah ketiga partai persilatan Go bi-pay, Ceng-shia-pay dan Kiam bun-pay. Ketua dari ketiga partai persilatan itu bukan lain adalah Tiga pendekar Jwan-se.

Ketiga pendekar itu berunding dan menarik kesimpulan bahwa tindakan Ceng te-kiong yang sewenang-wenang itu sungguh menteror dunia persilatan. Jika selalu diladeni, entah sampai kapan hal itu akan berhenti.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar