Pedang Berbunga Dendam Jilid 06

JILID 6

Kwan Beng Cu bicara panjang lebar menerangkan asal usul dirinya dengan bangga. Coh Hen Hong yang mendengar jelas, diam-diam merasa iri. Kwan Beng Cu mempunyai seorang yang begitu hebat, sebaliknya dia? Jangan lagi engkong, sedang ayah saja dia tak tahu siapakah ayahnya itu.

Tidak demikian dengan Pui Tiok, Wajahnya pucat dan dengan mulut terganga, dia memandang Kwan Beng Cu lalu menuding. Dia hendak berkata tetapi tak keluar suaranya. Rupanya dia dicengkam rasa kejut yang hebat sekali.

Melihat keadaan anak muda itu, Kwan Beng Cu tertawa, “Tuh lihat kalau orang kecele mau membohongi orang. Tentu begitu jadinya… .“

“Bukan begitu, bukan begitu,” Pui Tiok gopoh membantah.

Dia terbata bata bukan karena hendak membohongi dan ketahuan tetapi karena terkejut. Maka setelah membantah, dia masih terengah-engah dan berkata lagi, “Nona Kwan, engkau…. engkau bilang….

Engkongmu itu kepala dari istana Ceng te-kiong?“

Kwan Beng Cu merentang mata lebar-lebar,” Apa itu sih kepala istana Ceng-te-kiong atau bukan Aku tidak tahu.”

Pui Tiok menelan air liurnya. “Tadi engkau sendiri yang bilang. Kalau engkongmu keluar, dunia persilatan tentu gempar karena ada delapan ekor burung garuda yang membuka jalan. Benarkah itu?”

“Itu mama yang bilang,” kata Kwan Beng Cu, “mama sangat sayang kepadaku, masa dia akan membohongi aku seperti engkau itu?‘

Tubuh Pui Tiok gemetar dan mundur beberapa langkah. Untung di belakangnya terdapat segunduk batu besar sehingga dia dapat memegang untuk berdiri tegak. “Kutahu, kutahu,” serunya terengah- engah.

“Ih, Pui toako, engkau ini bagaimana?” seru Kwan Beng Cu terkejut heran.

“Rupanya punya sakit ayan,” tiba-tiba Coh Hen Hong menyela.

Kwan Beng Cu berpaling dan berteriak, “Jangan omong tak karuan!”

Coh Hen Hong berkacak pinggang dan menantang, “Aku mengatakan memang dia sakit ayan. Apa hakmu hendak melarang aku? Uh, tak tahu diri!”

Kwan Beng Cu seorang anak perempuan yang dibesarkan dalam alam kemanjaan. Tak pernah dia mau kalah bicara dengan orang. Mendengar kata-kata Coh Hen Hong, seketika wajahnya berubah tegang2 pucat. Dia tak tahu bagaimana bertengkar mulut dengan orang maka dia hanya menggentak-gentakkan kaki ke tanah dan berseru, “Coba bilang lagi, coba bilang lagi!”

Kebalikannya Coh Hen Hong Itu seorang anak yang dibesarkan di kalangan miskin. Hidupnya mengembara dan tinggal di lorong2 yang kotor, Sudah tentu dia sering ribut-ribut dengan orang. Memaki dan berkelahi, sudah menjadi kehidupannya sehari-hari.

Saat itu dia busungkan dada dan tegakkan kepala, berseru, “Sudah tentu aku akan bicara lagi. Engkau ini mahluk apa sih berani melarang aku tak boleh bicara? Awas, kalau sampai kurobek mulutmu yang busuk itu.” karena marahnya Kwan Beng Cu sampai tak dapat bicara. Sedang Coh Hen Hong dengan santai dan bebas dapat menghamburkan isi hatinya. Entah bagaimana, saat itu Kwan Beng Cu malah tidak marah lagi. Dia terpesona mendengar caci maki yang kotor dari Coh Hen Hong.

Beberapa saat kemudian baru dia berputar tubuh dan berseru, “Pui toako, mengapa engkau diam saja?”

Pui Tiok memang masih terbenam dalam rasa kejut sehingga mulutnya masih mengoceh, “Kutahu.., kutahu . . “

Yang dimaksudkannya adalah bahwa sekarang dia mengerti apa sebab ketika co-poan Siu Peng dari Peh hoa-kau melihat wajah Kwan hujin seketika semangatnya terbang dan pikirannya hilang.

Diapun mengerti mengapa beberapa tokoh Peh- hoa-kau yang hendak membantunya, melihat Kwan hujin terus lari ter kencing-kencing.

Diam-diam dia merasa beruntung karena pengalamannya kurang dan tak tahu siapa Itu Kalau tahu, mungkin dia juga akan linglung.

Karena masih dicengkam ketegangan yang mendebarkan itu setelah Kwan Beng Cu memanggilnya beberapa kali, barulah dia terkejut.

Tetapi Coh Hen Hong juga pintar. Setelah Pui Tiok menjawab seruan Kwan Beng Cu, dia terus tutup mulut tak mau memaki lagi,.

“Pui toako, dengarkanlah,” seru Kwan Beng Cu. 

Pui Tiok gelagapan dan buru-buru menumpahkan perhatian untuk mendengar tetapi dia tidak mendengar apa-apa, “Ada apa?”

Kwan Beng Cu menuding Coh Hen Hong, “Dia memaki-maki aku!“

Pui Tiok yang masih tegang, begitu mendengar keterangan itu, dia serentak mengangkat tangan hendak memukul Coh Hen Hong. Tetapi Coh Hen Hong cepat melengking, “Jangan sewenang-wenang memukul orang! Coba tanya kepadanya, aku memaki apa kepadanya!”

Pui Tiok hentikan tangannya dan berpaling kepada Kwan Beng Cu. karena marah, wajah Kwan Beng Cu berubah-ubah tidak keruan.

Caci maki Coh Hen Hong itu kasar dan kotor bagaimana mungkin dia dapat menirukan?

Rupanya Pui Tiok sudah mempunyai gambaran apa yang terjadi tadi. Buru-buru dia berseru, “Sudahlah, jangan ribut-ribut saja.”

Dia menarik napas lalu berkata pula, “Nona Kwan, aku bukan membohongi engkau. Memang sungguh, ayahbundamu telah meninggal. Mereka tidak meninggal karena bertempur dengan musuh.”

Kwan Beng Cu kerutkan sepasang alis, tanyanya “Engkau berkata apa itu? Masa mereka bunuh diri sendiri?” Pui Tiok gelengkan kepala, “Juga bukan. Mereka, mereka…. karena suatu hal lalu bertengkar dan saling berhantam sendiri sampai akhirnya keduanya menderita luka parah dan meninggal seketika.”

Kwan Beng Cu tetap gelengkan kepala, “Itu lebih ngawur lagi. Ayah selalu menurut pada mama

;Bagaimana mungkin dia berani melawan mama? Sudah, jangan omong tak keruan, lekas antarkan aku pulang!”

Karena penjelasannya tak dipercaya, Pui Tiok tak dapat berbuat apa-apa. Tiba-2 Hen Hong tertawa dan bertepuk tangan, “Aya, kiranya yang saling bunuh itu ayah ibunya?”

Pada saat Kwan Pek Hong dan isterinya ber tempur, yang menyaksikan adalah Pui Tiok dan Coh Hen Hong. Tetapi Coh Hen Hong tak tahu siapakah kedua suami isteri itu. Pun tak tahu kalau Kwan Beng Cu itu ternyata anak mereka. Demi mendengar kedua orangtua Kwan Beng Cu telah menderita kematian yang mengerikan, bukan saja ikut bersedih, kebalikannya Coh Hen Hong malah gembira. Dia tertawa sambil bertepuk tangan.

Dengan muak Pui Tiok memandang gadis kecil itu dan membentak, “Engkau gembira apa?”

Coh Hen Hong tertawa, “Ayah ibunya mati secara begitu menyenangkan. itulah sebagai pembalasan untuk seorang mahluk kecil. Mengapa aku tak harus bergembira?”

Pui Tiok tertawa dingin, “Jangan terlalu pagi bergembira dulu.” 

Sebenarnya Pui Tiok enggan untuk mengatakan apa hubungan Coh Hen Hong dengan Kwan Pek Hong.

Menurut kesan yang disaksikan saat itu. Tetapi dia tak kuat menahan kemuakannya melihat tingkah laku Coh Hen Hong yang begitu gembira atas kematian suami isteri Kwan Pek Hong.

Serentak dia berseru, “Baik, engkau boleh bersuka- ria sepuas-puasmu. Tetapi tahukah engkau bahwa ayahnya itu juga ayahmu?”

Mendengar Itu Kwan Beng Cu dan Coh Hen Hong sama-sama terbeliak. Coh Hen Hong berhenti tertawa.

“Pui toako, engkau bilang apa?” cepat Kwan Beng Cu berseru.

“Tutup mulutmu!” teriak Coh Hen Hong dengan nyaring, “siapapun jangan bicara!”

Napasnya terengah dan dia memandang Pui Tiok,”Siapakah engkau? Lelaki yang mati itu apa benar bernama Kwan Pek Hong?”

“Fui! Apakah ..engkau pantas menyebut nama ayahku?” teriak Kwan Beng Cu.

Pui Tiok memberi isyarat tangan agar gadis kecil itu jangan bicara, kemudian dia baru menjawab pertanyaan Coh Hen Hong, “Benar, lelaki itu memang Kwan Pek Hong. sekarang tertawalah, bergembira karena dia itu sebenarnya juga ayahmu sendiri”

Pui Tiok mengira Coh Hen Hong tentu akan menyesal dan bersedih. Tetapi siapa tahu, setelah tertegun sejenak, tiba-tiba Coh Hen Hong tertawa nyaring.

“Bagus, memang pantas kalau mati. Hanya sayang tidak mati di tanganku serunya.

Pui Tiok bukan seorang kuncu (gentleman) yang berbudi. Dia berhati licik dan kejam. Tetapi orang yang berhati seperti Coh Hen Hong, baru pertama kali itu dia bertemu. Sesaat dia tertegun tak dapat berkata apa-apa.

Bermula Kwan Beng Cu tak percaya kalau ayah ibunya meninggal. Tetapi pada saat itu setelah mendengar pembicaraan Pui Tiok dan Coh Hen Hong, mau tak mau dia mulai percaya. Seketika wajahnva berobah dan cepat ia menarik tangan Pui Tiok.

“Pui toako, engkau…. apakah berkata.. dengan sesungguhnya?” tanyanya dengan nada gemetar.

Pui Tiok menghela napas, “Mengapa aku harus membohongi engkau? Kalau aku sampai bohong, semoga langit dan bumi menumpasku, jangan sampai mati dengan tenang.”

Wajah Kwan Beng Cu makin tak sedap di pandang.

Mulut menganga mau bicara tetap sepatahpun tak keluar. Beberapa saat kemudian baru dia dapat berseru, “Mama . .

Hanya sepatah kata dan diapun terus rubuh tak ingat diri lagi.

Pui Tiok gopoh mengangkat tubuhnya. Sepasang mata gadis kecil itu mengatup rapat, napasnya lemah. Pui Tiok cepat melekatkan telapak tangannya ke punggung Kwan Beng Cu, menyalurkan tenaga murninya untuk menolong.

Coh Hen Hong malah menyengir dan berseru dingin, “Kurasa tidak perlu engkau menolongnya. Walaupun engkau dapat menolongnya tetapi juga percuma karena lambat atau cepat, kelak aku tentu akan membunuhnya.”

“Mengapa engkau berkata begitu?” bentak Pui Tiok, “walaupun lain mama tetapi ayahmu juga ayahnya jadi kalian ini kakak beradik”

Coh Hen Hong mendenguskan hidungnya dan tertawa hina, “Aku ini bersaudara dengan dia? Apa engkau rasa pantas? Hm, dia kan seorang cian-kim siocia (puteri orang terhormat. Punya engkong yang dikawal delapan ekor garuda. Sedang aku? Aku kan anak seorang wanita yang membawa ular. Dan lagi ular itu sekarang sudah dibunuh seorang keparat kecil, apakah aku ini tacinya? Ah, aku tak berani naik derajat sedemikian tingginya!“

Coh Hen Hong memang tajam sekali lidahnya. Sekalipun Pui Tiok lebih tua tetapi kalau adu lidah, jelas tentu kalah,

Pui Tiok dengan geram berkata, “Hm, jangan harap engkau dapat membunuhnya. Tahukah engkau kalau dia bukan keturunan orang sembarangan?“

Coh Hen Hong benar-benar seperti anak kambing yang tak takut harimau. Dia tertawa dingin, “Tahu, tahu, bukankah dia mempunyai engkong delapan garuda? Uh, apanya yang dibanggakan Apakah aku takut?”

Mendengar itu wajah Pui Tiok berobah. Pikirnya, lebih baik tak usah melanjutkan bicara dengan gadis liar itu kalau dilanjutkan, siapa tahu gadis itu akan ngoceh lebih tak keruan lagi.

Kebetulan saat itu Kwan Beng Cu sudah siuman. Pui Tiok tak mau mempedulikan Coh Hen Hong lagi

“Nona Kwan, bagaimana keadaanmu?” tanya nya kepada Kwan Beng Cu.

Sebelum nona kecil itu menyahut, airmatanya membanjir turun dan sambil menangis dia berkata, “Mama telah meninggal, lalu aku bagaimana? Aku bagaimana?”

Sungguh memilukan sekali mendengar ratap tangis gadis kecil itu. Memang sungguh suatu pukulan yang dahsyat dalam batinnya. Dari seorang puteri yang manja, tiba-tiba dia menjadi seorang anak sebatang kara.

Sebelum Pui Tiok dapat menemukan kata-kata untuk menjawab, tiba-tiba terdengar suara seorang nenek tua berkumandang. Jelas orangnya masih jauh tetapi suaranya sudah berkumandang menusuk telinga. Dengan jelas dan tegas suara itu berseru, “Beng Cu, engkau berada di mana?”

Mendengar suara itu seketika Pui Tiok terbelalak, demikian pula Kwan Beng Cu yang serentak berseru tertahan, “Ih pohpoh . . “Dialah yang memasukkan engkau ke dalam karung itu,” kata Pui Tiok.

“Ah,” desah Kwan Beng Cu, “Waktu sedang bicara dengan dia tiba-ciba mataku gelap dan aku terus tidak ingat apa-apa lagi. Kiranya dia telah memasukkan aku kedalam karung.. Dia… mengapa berbuat begitu?”

“Entah, aku juga tak tahu,” kata Pui Tiok Waktu keduanya sedang bicara, kembali suara nenek Ih terdengar lagi, “Engkau di mana Lekas engkau sahut!”

“Engkau akan melayaninya atau tidak?“ tanya Pui Tiok pelahan.

Kwan Beng Cu menangis lagi, katanya, “Aku tak tahu, aku …. tak tahu apa-apa.”

Pui Tiok memegang tangan gadis kecil itu, “Beng Cu, dengarkan. Jangan engkau kebingungan begitu rupa. Sekarang atau besok, akhirnya setiap orang itu akan mati. Dan engkaupun bukan seorang anak kecil lagi. engkau dapat berdiri sendiri, mengambil keputusan sendiri. Lihatlah dia ”

Pui Tiok menepuk si gadis liar Coh Hen Hong lalu melanjutkan berkata. “Bukankah sebaya umurnya dengan engkau? Mengapa dia dapat berdikari dan sedikitpun tak merasa sedih?“

Mendengar itu seketika wajah Coh Hen Hong berobah, serunya, “Engkau ini bicara apa Itu? Apakah mamaku juga meninggal?”

Sebenarnya Pui Tiok enggan bicara dengan Coh Hen Hong Sahutnya jemu, “ tidak, kalau mamamu mati tentu siang2 aku sudah menyingkir jauh2 dari engkau, perlu apa harus membiarkan engkau di sini?”

Coh Hen Hong bercekak pinggang lagi, “Kalau begitu, kalau sekarang engkau membiarkan aku hidup, lain apa perlunya?”

“Agar mamamu datang mencarimu, mengerti?” kata Pui Tiok

“Buat apa?”

“Aku ada urusan penting dengan dia, ya, penting sekali dan harus bertemu dengan dia.”

Coh Hen Hong tak mau melayani dan beralih kata, “Hm, kiranya begitu. Memang kutahu jika engkau juga bukan manusia baik. Ternyata memang tidak mempunyai hati yang baik.”

Merah padam dan pucat lesi muka Pui Tiok ditunjuk hidung oleh Coh Hen Hong. Tetapi dia tak mau menghiraukan lagi dan beralih kepada Kwan Beng Cu, bisiknya, “Beng Cu, menilik nenek itu telah memasukkan engkau ke dalam karung tentulah dia bermaksud tidak baik Rasanya lebih baik menghindarinya saja.”

Pui Tiok tak tahu siapa nenek Ih itu dan tak tahu pula kalau nenek itu adalah utusan dari istana Ceng- te-kiong. Itulah sebabnya maka dia menganjurkan Kwan Beng Cu supaya jangan meng hiraukan nenek itu. Jika saja dia tahu siapa nenek Ih, tentulah dia akan menyambut kedatangan nenek lh itu dengan gembira. Yang diketahui saat itu adalah bahwa Kwan hujin itu anak perempuan dari pemilik istana Ceng te-kiong dan bahwa Beng Cu adalah cucu-luar dari istana Ceng te kiong. Bahwa tanpa disadari dia berada bersama Kwan Beng Cu memang mengandung dua hal yang dahsyat. Mungkin hal itu merupakan suatu keberuntungan besar baginya tetapi juga mungkin akan menjadi malapetaka baginya. Hal itu tergantung bagaimana pemilik Ceng- te-kiong akan menilainya.

Sebenarnya dalam hati kecil, Pui Tiok tak ingin terikat hubungan dengan fihak Ceng- te-kiong. Dia belum tahu apakah bersama Kwan Beng Cu itu akan merupakan keberuntungan atau malapetaka. Tetapi yang jelas, orang tentu tak mau mempertaruhkan jiwa untuk hal – hal yang belum dapat diketahui pasti.

Saat itu perasaan Pui Tiok memang tidak enak. Dia harus melindungi keselamatan Kwan Beng Cu. Dia menyadari apabila sampai terjadi sesuatu pada diri anak itu, uh.. .

Membayangkan hal itu diam-diam mengigillah hati Pui Tiok. Dia tak berani melanjutkan lamunannya lagi. Segera dia memimpin tangan Kwan Beng Cu dengan tangan kanan dan tangan kirinya lain menggapai Coh Hen Hong, “Kemarilah!“

“Aku tidak bisa jalan,” kata Coh Hen Hong.

Kumandang suara nenek Ih walaupun masih melayang-layang kian kemari tetapi pelahan-lahan makin dekat. Sudah tentu karena gugup Pui Tiok marah kepada Coh Hen Hong. “Apabila engkau tidak mau berjalan, akan kututuk jalan darahmu, kutarik kuncirmu dan kuseret!“

Tetapi Coh Hen Hong tidak takut. Dia juga menantang, “Bagus. engkau seret aku “

Sangat kuatir kalau bersuara keras nanti terdengar nenek Ih dan akibatnya tentu celaka maka Pui Tiok tak mau banyak bicara lagi terus melesat maju.

Siapa tahu ternyata Coh Hen Hong memang anak perempuan yang keras kepala sekali Begitu Pui Tiok hendak turun tangan, diapun tundukkan kepala dan terus menyeruduk dada Pui Tiok. Anak itu benar-benar sudah nekad hendak mengadu jiwa.

Pui Tiok marah sekali. Dia mengangkat tangan kanannya dihantamkan kebelakang batok kepala Coh Hen Hong yang tengah menunduk itu. Jika mengenai, jelas Coh Hen Hong tentu melayang jiwanya.

Tetapi rupanya Coh Hen Hong memang belum ditakdirkan mati. Adalah karena dia sangat bernafsu untuk menyeruduk perut Pui Tiok maka dia bergerak dengan cepat, tak tahunya kakinya terpeleset, bluk

…… dia jatuh.

Saat itu kalau Pui Tiok memang mau mencabut jiwanya, memang Semudah orang me balikkan telapak tangan. Tetapi entah bagaimana, saat itu Pui Tiok malah menarik pulang tangannya Diam-diam dia sadar bahwa tindakannya yang terburu oleh emosi tadi, sungguh berbahaya sekali Sebenarnya dia tak bermaksud membunuh gadis kecil itu. Hanya karena marah, dia sampai lupa diri. Waktu Coh Hen Hong terpeleset jatuh. diam-diam Pui Tiok tergetar hatinya. kalau saja tidak terjadi begitu, tentulah dia terlanjur membunuh anak perempuan itu.

Kini kemarahannyapun reda dan dengan suara yang lunak dia berkata, “Sudahlah, jangan ribut, lekas ikut aku”

Sambil berkata dia berjongkok untuk menarik bangun Coh Hen Hong lalu diajak lari.

Lari sampai tiga lima li, kumandang suara nenek lh masih terdengar. Tetapi setelah mencapai jarak 10 li suara nenek itu tak terdengar lagi.

Pui Tiok hentikan larinya dan menghela napas longgar. Pada saat itu Coh Hen Hong meronta melepaskan diri dari cekalan Pui Tiok lalu berdiri tegak di samping. Pui Tiok tak mau mengurusinya dan berkata kepada Kwan Beng Cu, “Nona Kwan, di mana tempat tinggal engkongmu itu, apa engkau tahu?”

Bukankah lucu apabila Pui tiok yang sudah tahu Kwan Beng Cu itu cucu-luar dari pemilik Ceng-te- kong, masih menanyakan alamatnya Tetapi bukan tidak ada alasan mengapa Pui Tiok bertanya begitu.

Setiap orang persilatan apabila menyebut. nama Ceng-te-kiong, tentu Semua tahu. Dan mereka yang mendengar nama itu tentu tergetar hatinya, wajah berobah. hampir dikata, tak ada orang persilatan yang senang mendengar nama Ceng-te-kiong itu. Mengapa? Karena tiada ilmu-silat dan tokoh dalam dunia persilatan yang dapat mengungguli Ceng-te kiong.

Orang dari istana Ceng-te-kiong juga jarang yang keluar ke dunia persilatan. Sekalipun begitu tiap perguruan, baik dari aliran Putih maupun Hitam, pernah menerima surat dari fihak Ceng-te-kiong. Surat itu berisi permintaan agar penerima nya suka melakukan sesuatu menurut apa yang diminta dalam surat itu.

Memang permintaan dari Ceng-te-kiong itu bukan tergolong barang2 yang luar biasa berharganya tetapi barang itu memang sukar diperoleh.

Misalnya, dua pot tanaman bunga seruni hitam, beberapa batang pohon bwe hijau, tiga batang ko-bak (bak atau tinta kuno)

Dan sebagainya tidak berharga besar tetapi aneh dan sukar diperoleh.

Sudah menjadi hukum tak tertulis bahwa Setiap orang yang menerima surat permintaan untuk mencarikan sesuatu, apabila tidak menggubris atau apabila pada waktunya ketua perkumpulan itu tidak mengantarkan barang itu sendiri ketempat yang ditentukan, malapetaka besar pasti akan menimpanya. Tujuh tahun berselang, ketua partai Tiam jong-pay di Hunlam telah menerima surat dari istana Ceng te kiong. Meminta kepadanya dalam waktu satu bulan supaya mencarikan 72 macam bunga teh yang berbeda beda dan disuruh mengantarkan ke suatu tempat didekat telaga Tan-ti.

Ketua Tiam-jong-pay tak begitu menghiraukan.

Dengan membanggakan ilmu pedang Tiam- jong-pay yang merajai dunia perisilatan, dia malah membuat pernyataan kepada umum kalau ingin berhadapan dengan Ceng-te-kiong untuk menentukan siapa yang lebih unggul, 

Entah selama satu bulan itu Tiam jong pay mengadakan persiapan bagaimana, orang tak tahu. Tetapi yang diketahui orang, diperguruan tersebut telah timbul peristiwa yang menggemparkan. 72 murid dari tiga angkatan partai perguruan Tiam-jong-pay yang kepandaiannya tinggi, semua telah menjadi mayat di tepi telaga Tian-ti termasuk ketuanya.

Pada waktu itu sudah tentu timbul kegemparan besar dalam dunia persilatan. Tetapi bagaimana peristiwa itu berlangsung dan siapa yang melakukan tiada seorangpun yang tahu. Tetapi Setiap orang dapat menduga siapakah pelakunya.

Sejak peristiwa itu, setiap orang atau partai persilatan yang menerima surat permintaan dari Ceng te-kiong tentu akan berusaha keras untuk memenuhinya. Memang ada juga orang yang sudah berusaha keras tetapi ternyata gagal untuk mendapatkan apa yang diminta Ceng-te-kiong. Nasib merekapun juga mengenaskan karena harus menjadi mayat yang terlempar di hutan belantara.

Oleh karena itu maka setiap orang mendengar nama Ceng te kiong, kepalanya tentu pusing tujuh keliling.

Walaupun begitu termasyhur tetapi anehnya tak seorangpun yang tahu di mana letak istana Ceng-te- kiong itu.

Beberapa tahun yang lalu, pernah 36 tokoh-tokoh persilatan kelas satu, menerima surat undangan dari Ceng-te-kiong untuk menghadiri Malam Purnama, yakni merayakan keindahan bulan purnama pada pertengahan bulan delapan. Rombongan tokoh yang diundang itu berkumpul di dekat telaga Thay-ou.

Waktu fihak Ceng te kiong mengirim 70 orang utusan untuk menyambut. Setiap dua orang melayani seorang tetamu. Ketigapuluh enam tokoh itu semua ditutup matanya dengan kain lalu mereka dibawa menempuh penjalanan sampai beberapa hari. Dengan begitu mereka tidak tahu di mana letak istana Ceng te-kiong yang sebenarnya itu.

Ketigapuluh enam tokoh itu dengan selamat kembali ke tempat masing-masing. Tetapi tidak seorangpun yang berani menceritakan pengalaman mereka.

Selanjutnya bertahun tahun kemudian, ketua istana Ceng te -kiong itu tidak pernah muncul ke dunia ramai. Tetapi apabila muncul tentu akan didahului oleh delapan ekor garuda hijau sebagai pelopor pembuka jalan.

Itulah sebabnya maka begitu Kwan Beng Cu mengatakan tentang engkongnya, semangat Pui Tiok seperti terbang.

Pui Tiok mengira Kwan Beng Cu tentu tahu dimana letak istana Ceng-te-kiong itu. Kalau dia dapat mengantarkan Kwan Beng Cu ke Ceng-te-kiong dan diterima dengan gembira oleh pemilik Ceng-te-kiong, wah, wah, kiranya hal itu akan lebih berharga daripada mendapatkan kitab pusaka Ih-su-keng.

Tetapi Kwan Beng Cu malah membelalakan mata dan berseru kaget, “Ceng-te-kiong? Dimana letak tempat itu aku juga tak tahu!” 

Pui Tiok terbeliak “Engkongmu tinggal dimana masa. mamamu tak pernah mengatakan kepadamu?“

Mendengar Pui Tiok menyebut tentang mamanya, Kwan Beng Cu sedih lagi. Setelah berdiam diri beberapa saat baru dia berkata, “Tidak. mama tak pernah mengatakan kepadaku. Dia hanya sering bilang, engkong itu. tinggal di suatu tempat yang benar-benar. menyerupai sebuah taman firdaus, alam kedewaan

Tiba-tiba Kwan Beng Cu berhenti dan melanjutkan lagi, “Pernah kutanyakan kepada mama, mengapa tidak membawa aku ke sana bermain-main. Tetapi mama malah menghela napas dan tak menyahut. Aku

…. bagaimana tahu tempat itu?”

Pui Tiok juga tertegun Sambil menggendong, kedua tangannya dia berjalan mondar mandir, lalu berkata pula, “Beng Cu, ayahbundamu sudah meninggal dan engkau masih begitu muda sekali umurmu. Tiada yang lebih baik daripada kalau engkau tinggal bersama engkongmu.”

Kembali Kwan Beng Cu terisak-isak. Setelah puas mencurahkan kesedihan dia berkata lagi, “Tetapi aku tak tahu di mana tempat engkong itu. Aku . . lebih baik pulang dulu….. antarkanlah aku pulang.”

Diam-diam Pui Tiok menimang. Walaupun dengan bersama Kwan Beng Cu itu dia akan memperoleh kesempatan untuk berhubungan dengan Ceng-te kiong, tetapi akibatnya baik atau celaka, dia belum tahu pasti. Kalau mau selamat, memang paling baik mengantarkan gadis kecil itu pulang dan menyerahkan kepada sukonya, Si Ciau.

Tengah dia berpikir, Kwan Beng Cu dengan menangis berkata, “Apalagi kedua Orangtuaku sudah meninggal. Aku tak dapat membiarkan jenasah mereka terlantar di hutan.

Airmatanya mengalir deras seperti hujan. Dalam waktu beberapa jam saja, seorang gadis kecil yang manja seperti Kwan Beng Cu, mendadak telah menjadi dewasa.

Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Pui Tiok mengangguk, “Baiklah. Akan kubawamu menemui Si Ciau. Dia adalah murid pertama dari mendiang ayahmu, tentu dia dapat mengurus segalanya dengan baik. Bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat?“

Dengan berlinang-linang airmata, Kwan Beng Cu mengangguk.

Selama ini Coh Hen Hong yang berdiri di samping tidak mau buka suara. Tetapi saat itu baru dia berkata dengan nada dingin, “Ai, kalau ngomong yang jelas toh. Jangan pakai kata k i t a Siapa yang akan turut kalian? Hm, mamaku kan masih hidup, aku kan tak perlu harus lari kepada Pui toako, Si toako segala!”

Karena marah wajah Kwan Beng Cu sampai pucat, “Apa? Engkau mau pergi semaumu?” seru Pui Tiok

dengan sarat, “kecuali mamamu mau mengembalikan barang yang dicuri oleh pamanmu bungkuk itu, baru engkau boleh bebas pergi menurut sekehendak hatimu!“ 

Selesai berkata cepat Pui Tiok sudah melesat dan menyambar lengan Coh Hen Hong. Saat itu Pui Tiok hanya mengutamakan untuk menangkap gadis liar itu tetapi dia tidak memperhatikan sikap Coh Hen Hong.

Sebenarnya saat itu sikap Coh Hen Hong aneh sekali. Kalau saja Pui Tiok mau menyempatkan diri untuk memperhatikan, tentulah dia akan mengetahui bahwa saat itu hati Coh Hen Hong sedang tegang sekali. Tetapi gadis yang keras kepala itu berusaha keras untuk menekan perasaannya.

Setelah menangkap Coh Hen Hong, Pui Tiok menggapai Kwan Beng Cu, “Hayo, kita berangkat.

Kwan Beng Cu cepat maju ke samping Pui Tiok dan mereka lalu ayunkan, langkah. Pui Tiok membawa Kwan Beng Cu ke tempat jenasah suami isteri Kwan Pek Hong.

Akan tetapi bukan alang kepalang kejut Pui Tiok ketika tiba di tempat itu ternyata kenyap entah kemana.

“Ih, kemana jenasah Kwan tayhiap dan Kwan hujin?

Apakah telah dibawa Ih pohpoh?” serunya.

Sebaliknya timbullah setitik harapan baru dalam hati Kwan Beng Cu, ujarnya, “Pui toako, apa engkau tidak salah lihat, mereka…. mereka tidak mati?” Coh Hen Hong tertawa sinis, “Engkau bermimpi. Soal ini tentulah disebabkan mayat mereka sudah membusuk, mungkin telah diseret kawanan serigala!”

Mendengar itu hati Kwan Beng Cu kembali bersedih dan mendongkol tubuhnya gemetar dan tak dapat bicara apa-apa.

“Ngaco!” bencak Pui Tiok, “kemungkinan ada orang yang mengetahui lalu memberitahu ke gedung keluarga Kwan. Mereka lalu membawa jenasah pulang. Mari kita lihat ke kota Lin-an saja!”

Kwan Beng Cu mengangguk. Pui Tiok pun menyeret Coh Hen Hong lagi untuk diajak menuju kota.

Gedung keluarga Kwan itu terletak di bagian barat.

Maka waktu tiba diluar pintu kota Pui Tiok terpaksa mengambil jalan melingkar. Dia takut kalau nanti dalam tengah kota yang ramai Coh Hen Hong akan berontak dan berteriak-teriak. Hal itu tentu akan menimbulkan kesulitan baginya.

Demikian setelah mengambil jalan mengitari kota dan tiba di pintu Yong kim-bun dia terus hendak masuk. Tetapi belum lagi dia memasuki kota, dilihatnya dari dalam tembok kota telah membubung asap tebal bercampur dengan kobar api yang menjilat- jilat. Dan saat itu berbondong bondong penduduk, tua muda, besar kecil, lari keluar pintu kota.

Tahu tentu terjadi sesuatu yang buruk, Pui Tiok menghadang seorang penduduk, “Paman, ada kejadian apa?” Orang itu seorang lelaki pertengahan umur. Mukanya biru, bibir pucat. setelah memandang beberapa saat pada Pui Tiok baru dia berteriak gugup, “Celaka, seluruh jalan didalam kota telah dimakan api. Api itu berasal dari rumah kediaman Kwan tayhiap, sungguh besar sekali api kebakaran itu!”

Pui Tiok terkesiap, “Sampai bagaimana dahsyatnya kebakaran itu?” Orang itu tertawa pahit, “Rumahku dengan asal kebakaran itu terpisah enam buah jalanan, Juga tetap diganyang. Apakah engkau juga akan ke kota-barat? Ah, kemungkinan juga sudah habis”

Pui Tiok lalu mengajak Kwan Beng Cu dan Coh Hen Hong masuk kedalam kota. Saat itu pintu kota penuh sesak dengan rombongan penduduk yang berdesak- desak hendak menyelamatkan diri.

Setelah berhasil masuk kota, Pui Tiok juga heran. Ternyata pemerintah telah mengerahkan sejumlah besar tentara untuk membantu bujang2 gedung keluarga Kwan yang berusaha untuk memadamkan api. Tetapi api terlalu dahsyat.

Tempo hari Pui Tiok pernah menggali lubang dibawah tanah Untuk menembus masuk kedalam gedung keluarga Kwan. Dia menyewa sebuah rumah didekatnya. Karena itu dia pun agak faham dengan keadaan di sekelilingnya gedung keluarga Kwan.

Tetapi ketika dia memandang kearah tempat itu, dia mengeluh, Tepat seperti yang dikatakan orang tadi, asal mula api terbit dari gedung kediaman keluarga Kwan. Menilik api yang demikian besar, kemungkinan besar gedung keluarga Kwan itu tentu sudah musnah. Pui Tiok terlongong-longong tidak dapat bicara.

“Oi, rumahku, teriak Kwan Beng Cu menangis “mengapa dimakan api?”

Memang bukan hanya Kwan Beng Cu seorang tetapi beratus-ratus orang yang berteriak seperti orang meratap ‘rumahku rumahku”. Dengan begitu tak ada orang mengubris ratap tangis Kwan Beng Cu lagi.

Mendengar itu Coh Hen Hong tertawa sinis “Uh, itulah yang disebut api dari langit, menunjukkan turunnya pembalasan untuk kejahatan dari keluarga kalian.”

“Engkau masih kecil mengapa hatimu begitu ganas?” teriak Pui Tiok marah.

Coh Hen Hong jebikan bibir, “Lucu, api kan bukan aku yang melepas. Kalau kubilang pembalasan datang, apakah aku salah? Kalau bukan karena keluarganya banyak melakukan kejahatan, mengapa kedua orang tuanya mati dan rumahnya habis dimakan api?”

Pui Tiok deliki mata tetapi tak dapat bicara. Kwan Beng Cu lebih menderita lagi. Pui Tiok menganggap kalau nekad menyerbu kedalam api juga tak ada gunanya maka dia menarik ke dua gadis kecil itu mundur dari situ.

Coh Hen Hong memang nyentrik. Tahu kalau sampai membuat Pui Tiok marah bagi dirinya tak ada manfaatnya, maka melihat wajah pemuda itu mengerut gelap, iapun tak mau buka suara lagi. 

Tiga hari kemudian kebakaran besar itu baru padam. Kota bagian barat berobah menjadi tumpukan puing. Suara tangis anak-anak dan wanita yang menggendong anak, mengiang-ngiang tak putus putusnya memekakkan telinga dan menusuk hati.

Pui Tiok membawa kedua anak perempuan itu keluar tembok kota. Setelah api padam baru dia berani masuk kedalam kota. Jalanan yang biasanya menghubung ke arah gedung keluarga Kwan, ternyata sulit ditemukan karena tertimbun runtuhan puing.

Asap masih bergulung gulung memenuhi jalan. Mereka berusaha untuk mencari jalan,

Dimana letak gedung keluarga Kwan, sudah tak dapat dikenali lagi. Hanya ketika tiba di sebuah deretan puing batu merah, mereka menduga tentulah dulunya bekas pagar tembok. Kerangka dan tiang2 gedung sudah musnah semuanya.

Dalam beberapa hari saja telah mengalami perobahan yang begitu besar dan mengenaskan, sudah tentu Kwan Beng Cu tidak dapat menahan kesedihannya Dia menangis keras2.

Pui Tiok merasa kasihan juga atas nasib gadis kecil itu. Beberapa jenak kemudian baru berusaha menghibur, “Beng Cu,jangan menangis. tempat kediamannu sekarang sudah musnah dimakan api, sukomu dan pembantu2 rumah tangga keluargamu entah ke mana perginya. Apa yang harus diberatkan untuk meninggalkan tempat ini? Perlu apa harus bersedih?” “Aku…. bagaimana tidak bersedih. Aku sekarang harus berteduh ke mana?” isak

Kwan Beng Cu.

Pui Tiok mengelus-elus rambut gadis kecil itu dan berkata “Sudah tentu engkau masih punya tempat meneduh. Aku akan mengantarkan engkau mencari tempat tinggal engkongmu. Di sana engkau tentu akan diterima dengan senang hati oleh engkongmu”

“Tetapi…. di manakah tempat tinggal engkong?” seru Kwan Beng Cu.

“Tak perlu kuatir,” kata Pui Tiok, “engkongmu adalah tokoh persilatan yang paling termasyhur. Kalau kita menyelidiki dengan pelahan lahan, mengapa tak dapat menemukannya? Sudahlah, tak perlu gelisah.”

Kwan Beng Cu menunduk dan mengiakan, “Akan tetapi selama ini engkong…. belum pernah bertemu dengan aku . . entah apakah dia mau mengakui aku atau tidak. Ayahbundaku sudah meninggal, mereka…. juga tidak dapat memberi penjelasan tentang diriku.”

Berkata sampai di situ kembali Kwan Beng Cu menangis terisak-isak.

Melihat Kwan Beng Cu terus-menerus menangis seperti bayi, walaupun keadaan dirinya sendiri juga tidak menggembirakan karena sampai saat itu mamanya juga belum dapat diketahui berada di mana, tetapi Coh Hen Hong muak melihat Kwan Beng Cu. Dia malah tertawa gembira untuk mengejeknya. sejak kecil Coh Hen Hong ikut mengembara dalam dunia persilatan bersama mamanya yang tak waras pikirannya. Dan diapun seorang anak perempuan yang keras kepala. Sering dia mengalami hal-hal yang menyakitkan hati. Jika lain2 anak perempuan sama mempunyai barang mainan, dia tak punya. Berangkat dalam alam kehidupan yang sedemikian itu, menyebabkan pikirannya sempit, dengki dan sinis.

Jika orang bersedih dia harus gembira. Hal itu untuk menumpahkan kekecewaan yang diderita dalam kehidupannya selama ini. Sikapnya terhadap Kwan Beng Cu yang belum dkenalnya itu, merupakan adat kebiasaan hidupnya.

Dipandangnya wajah Kwan Beng Cu dengan penuh perhatian. Kata Pui Tiok, dia dan Kwan Beng Cu itu sebenarnya kakak beradik seayah lain ibu. Seketika hatinyapun berdebar keras.

tiba-tiba terkilas dalam benak Coh Hen Hong, Bukankah Kwan Beng Cu Itu belum pernah mengenal engkongnya pemilik Ceng-te-kiong yang termasyhur itu? Kalau saja dia memalsu dan mengaku sebagai Kwan Beng Cu .

Begitu mendapat pikiran itu, serentak dia menegur Kwan Beng Cu, “Hai, tempat tinggal engkongmu itu apa sungguh seperti tempat dewa? Apakah engkongmu itu seorang tokoh persilatan yang paling sakti?‘

Coh Hen Hong mendadak mengajukan pertanyaan begitu sudah tentu Kwan Beng Cu dan Pui Tiok tak tahu apa tujuannya. Karena heran Kwan Beng Cu tidak menyahut melainkan memandang Coh Hen Hong.

Adalah Pui Tiok yang berkata tetapi tidak menjawab pertanyaan Coh Hen Hong melainkan kepada Kwan Beng Cu, “Beng Cu, soal engkongmu belum pernah melihatmu, itu tak jadi apa. engkau masih punya pedang kecil yang engkau pinjamkan kepadaku, Pedang itu tentu pedang pusaka milik engkongmu.

Dengan membawa pedang itu, tentu sudah mengatakan siapa dirimu, masa masih diragukan lagi?

Kwan Beng Cu menganguk. Setelah berdiam beberapa saat baru ia berkata, ‘Pui toako, engkau sungguh baik kepadaku.”

‘Ah. jangan berkata begitu,” kata Pui Tiok, “karena saat ini belum tahu dimana letak tempat tinggal engkongmu, kurasa untuk sementara waktu baiklah engkau ikut aku ke Peh-hoa nia. Nanti setelah ada berita tentang engkongmu, kita terus ke sana.

Andaikata gagal mencari alamat engkongmu, kurasa ayahku tentu akan dapat mengusahakan dimana tempat kediaman engkongmu.”

Kwan Beng Cu menghela napas dalam2 dan tak berkata apa-apa.

Tiba-tiba Coh Hen Hong berseru, “Hai, pedang kecil bagaimana yang engkau katakan tadi, keluarkan supaya aku dapat melihatnya”

Pui Tiok tidak bodoh. Jika Coh Hen Hong sampai mengajukan pertanyaan yang aneh, pertama menanyakan apakah tempat tinggal engkong dari Kwan Beng Cu itu menyerupai tempat dewa. Dan kedua, sekarang hendak melihat pedang kecil milik Kwan Beng Cu. Sudah tentu Pui Tiok curiga.

Tetapi dia tidak sampai memikir sejauh itu bahwa Coh Hen Hong anak perempuan sekecil itu akan mempunyai rencana begitu rupa. Maka diapun tak mau mengubris dan hanya deliki mata dan membentaknya, “jangan usil!“

Coh Hen Hong tak mau menjawab dan saat itu Pui Tiokpun lalu mengajak berangkat lagi. Dia menyambar lengan Coh Hen Hong tetapi kali ini Coh Hen Hong meronta, “Tak perlu ditarik-tarik, aku dapat berjalan sendiri.”

“Hm, engkau kira aku suka menarikmu? Kalau mau jalan sendiri, harus jalan di sebelah muka,” dengus Pui Tiok.

Kali ini tampak Coh Hen Hong mendengar kata. Dia terus melangkah dan berjalan di sebelah muka Pui Tiok dan Kwan Beng Cu.

Pada hari kedua mereka membeli sebuah kereta.

Dalam 7 – 8 hari mereka dapat menempuh perjalanan seribuan li. Selama itu dalam penjalanan, Pui Tiok selalu menggunakan nama ayahnya apabila singgah di rumah tokoh persilatan setempat. Mereka menyambut Pui Tiok bertiga dengan baik dan hormat. Tetapi setiap kali Pui Tiok menanyakan tentang letak kediaman Ceng te-kiong, mereka Tentu akan berobah pucat dan tak mau menanggapi pembicaraan lebih lanjut.

Pui Tiok tak berani mengatakan kepada orang bahwa Kwan Beng Cu itu adalah cucu dari pemilik istana Ceng-te-kiong. 

Nama Ceng te-kiong merupakan momok yang paling ditakuti dan paling dipuja sebagai Bu lim ti cun atau yang dipertuan dalam dunia persilatan. Sudah tentu setiap orang persilatan kepingin sekali dapat berhubungan. Apabila mereka mengetahui asal usul Kwan Beng Cu. mereka akan berebut untuk mendapatkannya sebagai barang persembahan agar mendapat jasa pada Ceng-te-kiong.

Pada hari itu menjelang petang, Coh Hen Hong yang disuruh menjadi kusir, mencambuk kudanya dan melarikan kereta. Karena jalanan sempit dan tidak rata, kuda agak sukar, oleh karena itu maka Coh Hen Hong agak ngotot mencambuk kudanya dan berteriak- teriak memberi semangat,

Hari makin gelap tetapi masih belum tampak sebuah desa juga rumah penduduk. Pada saat cuaca gelap, kereta memasuki hutan.

“Malam ini kita nginap di sini saja,” seru Pui Tiok.

Kwan Beng Cu melongok dari jendela. Melihat di luar gelap gulita, ia tertawa kecut, Pui toako, aku lapar apakah ada makanan”

Selama dalam perjalanan, mereka selalu mendapat sambutan dan hidangan dari tokoh-tokoh setempat.

Oleh karena itu mereka tak memikir untuk membekal ransum. Maka waktu Kwan Beng Cu bertanya begitu, Pui Tiokpun tertegun,.

Coh Hen Hong loncat turun dari kereta, serunya, “Mau makan? Uh, gampang saja. Aku paling ahli menangkap kelinci. Kalau kutangkap dua ekor kelinci nanti kita bikin sate bakar kan malam ini kita akan makan enak?”

Pui Tiok menyahut tawar, “Ya, engkau bisa mendapat kesempatan untuk lari, bukan? Sudahlah, Jangan jual peti kosong dimuka!”

Coh Hen Hong balas tertawa dingin, “Kalau begitu engkau boleh ikut aku.”

Pui Tiok memandang Kwan Beng Cu dan gadis kecil itu cepat menggelengkan kepala. Jelas, gadis Itu takut kalau ditinggal seorang diri.

“Baiklah, engkau boleh pergi sendiri. Tetapi kalau engkau melarikan diri, rasakan saja nanti kalau dapat kutangkap lagi,” seru Pui Tiok

Coh Hen Hong tertawa dingin, “Kalau aku mau melarikan diri, biarlah tubuhku nanti tumbuh, 8i bisul busuk!”

Mendengar gadis liar itu berani bersumpah. diam- diam Pui Tiok heran. Kalau memang tak mau melarikan diri mengapa harus bersumpah begitu rupa? Tetapi mengapa dia tak mau melarikan diri.

Jika saja karena baru memberi pertanggungan jawab kepada ayahnya, tentulah Pui Tiok sudah menggebah pergi gadis liar itu. karena dengan masih menawan Coh Hen Hong tentulah mamanya akan datang mencarinya.

Oleh karena itu terpaksa dia harus menawan anak itu dan membawanya kemana-mana. Padahal benar- benar merupakan beban berat membawa anak perempuan yang liar itu.

“Lekas pergi dan lekas kembali. Tiga empat ekor kelinci sudah cukup, tahu?” serunya.

“tentu saja cukup,” kata Coh Hen Hong, “kalau aku membuat sate-bakar kelinci, uh, lezat sekali asal saja engkau berani makan,!”

“Mengapa tidak berani makan?” Pui Tiok heran.

Coh Hen Hong tertawa, “Apa tidak takut kalau kuberi racun?”

Mendengar itu Pai Tiok tertawa gelak-gelak. Dia tertawa memang ada alasannya. Gunung Poh-hoa itu terletak di daerah Biau yang masih penuh hutan belantara, Didaerah itu banyak sekali binatang yang beracun. Boleh dikata menjadi sumber dari semua jenis binatang beracun di dunia. Dan persediaan racun dalam perkumpulan Peh-hoa kau itu lengkap sekali, oleh karena itu musuh2 Peh hoa-kau sering menjuluki perkumpulan itu sebagai Peh-tok-kau (perkumpulan agama seratus racun).

Pui Tiok adalah putera dari ketua Peh-hoa kau.

Sudah tentu dia faham akan segala racun. Maka itulah sebabnya dia tertawa geli mendengar kata-kata Coh Hen Hong tadi.

Coh Hen Hong juga ikut tertawa lalu lari pergi. Tak berapa lama dia sudah kembali dengan menjinjing empat ekor kelinci hidup, terus dilemparkan ke tanah, serunya, “Aku hendak mencari kulit kayu untuk membakar kelinci itu!” 

Dia terus bergegas pergi lagi.

“Pui toako,” tiba-tiba Kwan Beng Cu berseru. “Hm, apa?” tanya Pui Tiok.

“mendadak sontak dia begitu baik kepada kita, apakah tidak mengandung maksud? Jangan2 dia aka meracuni kita.”

Memang Pui Tiok juga curiga terhadap perobahan sikap Coh Hen Hong tetapi dia tak

percaya kalau Coh Hen Hong berani berbuat yang tak baik untuk meracuni mereka. Bukankah tadi Coh Hen Hong juga sudah mengemukakan kalau Pui Tiok apa berani makan dan tidak curiga.

Kalau sate itu akan diberi racun. kalau Coh Hen Hong akan meracuni, masa lebih dulu dia mau memberi peringatan begitu.

“Memang anak itu kukway,” kata Pui Tiok, “bisa saja kemungkinan dia akan menggunakan kesempatan apabila aku lengah, terus akan melarikan diri. Tetapi kalau dia bertindak meracuni kita, mengapa tadi dia mengatakan begitu?”

“Bisa saja toh,” bantah Kwan Beng Cu,” untuk menghilangkan kecurigaan kita. Aku…. aku tidak mau makan”

Pui Tiok tertawa, “Ai, perlu apa begitu. Lihatlah, kelinci itu masih hidup. Nanti setelah membuat api, kita sendiri yang membunuhnya kelinci itu dan membakarnya. Kita bakar sendiri dan kita makan sendiri, takut apa?” Kwan Beng Cu mengangguk setuju.

Pada saat itu Coh Hen Hong datang dengan membawa ranting pohon, lalu ditumpuk dan disulut dengan api. Waktu dia hendak mengambil kelinci, Pui Tiok mencegahnya, “Sudahlah kita akan membakarnya sendiri.”

Coh Hen Hong terkesiap seperti orang yang kaget karena tak menyangka Pui Tiok akan berkata begitu.

“Mengapa? Apa sungguh takut kalau aku sampai memberi racun?“ tanyanya.

“Sudah, jangan mengurusi aku,” kata Pui Tiok, “coba engkau menyingkir sedikit ke sana.”

Tanpa banyak bicara, Coh Hen Hong pun melakukan perintah. Melihat itu Pui Tiok malah curiga. Tetapi setelah dipikir-pikir. bagaimanapun juga kalau anak perempuan itu hendak bertindak negatief, dia tentu dapat mengatasi.

Dia lalu mengambil dua ekor kelinci, mengajak Kwan Beng Cu ke tempat api unggun. Setelah mencekik mati kelinci itu dan dilumuri dengan tanah liat lalu dibakar. Selama itu, Coh Hen Hong tetap berdiri ditempatnya dengan diam.

Beberapa saat kemudian, Pui Tiok hendak menusuk kelinci itu dengan sebatang ranting kayu. Pada saat ujung ranting menyusup ke tubuh kelinci tiba-tiba terdengar bunyi pletak…..! Sebenarnya memang sudah biasa kalau ranting yang dimasukkan api akan memperdengarkan suara peletekan Pui Tiok dan Kwan Beng Cu pun tidak curiga. Tetapi pada lain saat tiba-tiba mereka mencium bau yang harum sekali. Semacam bunga lan-hoa tetapi bukan bunga lan-hoa.

Serentak Pui Tiok menyadari bahaya. Cepat dia menarik tangan Kwan Beng Cu diajak mundur. Tetapi entah bagaimana kedua kakinya terasa lemah tak bertenaga dan bluk……. diapun jatuh ke tanah.

Menyusul Kwan Beng Cu juga rubuh, menjatuhi Pui Tiok. Bahkan gadis kecil itu terus pingsan.

Untung Pui Tiok masih kuat tidak sampai pingsan.

Hanya kaki tangannya yang serasa tidak dapat digerakkan sama sekali.

Serempak terdengarlah Coh Hen Hong tertawa gembira dia terus menghampiri ke muka Pui Tiok, menuding pucuk hidung pemuda itu. “Biarpun engkau licin seperti belut, akhirnya harus minum air pembasuh kakiku. Sekarang engkau masih mau bilang apa?”

Jangan lagi saat itu Pui Tiok sudah tidak berdaya sama sekali, bahkan bicara saja tidak dapat.

Andaikata dia masih dapat bicara pun juga tak dapat menjawab pertanyaan Coh Hen Hong.

Pui Tiok memang masih dapat berpikir. Dia sekarang menyadari apa yang telah terjadi. Bahwa Coh Hen Hong ternyata seorang gadis kecil yang licin dan banyak akal muslihatnya. Sekalipun sejak tadi dia sudah berjaga-jaga toh akhirnya dia termakan tipunya juga. 

Waktu mencium bau bunga yang harum, Pui Tiok segera tahu bahwa bau harum itu berasal dari semacam bunga yang ditumbuk halus dan di sebut Peh-jit-cui atau Mabuk seratus hari Apabila bubuk racun bius itu dibakar tentu akan mengeluarkan bau yang sangat harum. Orang yang menghisap bau itu tentu akan terkena racun. Dalam waktu seratus hari tak dapat bangun.

Menjaga jangan sampai Coh Hen Hong berbuat jahat, Pui Tiok membakar kelinci itu sendiri. Tetapi bagaimanapun juga tetap terjebak dalam perangkap Coh Hen Hong, yang sebelumnya sudah memasukkan bubuk Peh-hoa-cui ke dalam api.

Pui Tiok menganggap dirinya pintar. Siapa tahu saat Itu dia telah jatuh ke dalam perangkap seorang gadis kecil saja. Ah, bagaimana dia tak marah dan malu?

Coh Hen Hong mengayunkan kaki menendang tubuh Kwan Beng Cu yang masih pingsan hingga gadis kecil itu berguling-guling beberapa meter. Kemudian Coh Hen Hong memburunya, membungkuk dan menggeledah Kwan Beng Cu untuk mengambil pedang pusaka. Setelah berhasil mendapatkannya, dia tegak berdiri dengan agak gemetar karena dilanda oleh rasa gembira yang sukar dilukiskan. Setelah itu dia berbalik tubuh dan menghampiri ke tempat Pui Tiok. Dia tertawa mengejek, “Pui kongcu, Pui toaya, bagaimana aku harus menghadapimu?”

Selain hanya merentang mata dan memangdang gadis kecil itu, Pui Tiok tak dapat berbuat apa-apa lagi.. ‘Hm, engkau selalu deliki mata kepadaku. Kurasa sebaiknya biji matamu itu kukorek saja,” serunya seraya mengacungkan ujung pedang ke arah mata kiri Pui Tiok dan pelahan-lahan maju menghampiri.

Pedang Ceng leng kiam sebuah pusaka kuno yang luar biasa khasiatnya. Sinarnya berkilat menyilaukan mata, tajamnya bukan olah-olah.

Sebelum menusuk, sinarnya yang dingin sudah menimbulkan rasa sakit sehingga airmata Pui Tiok bercucuran.

Coh Hen Hong tertawa gelak-gelak, “Huh, mengapa Pui toaya begitu ketakutan sehingga menangis?”

Pui Tiok benar-benar seperti seekor buaya yang terdampar di atas pasir. Hatinya sakit bukan kepalang tetapi tak dapat mengatakan.

Dia adalah putera ketua Peh-hoa kau. Tokoh-tokoh dalam dunia persilatan, sekalipun kepandaiannya lebih unggul dari dia, tetapi tak berani menghinanya apalagi memperlakukan seperti Coh Hen Hong, seorang gadis liar yang tak kenal takut kepada siapapun juga. Dan celakanya, gadis liar itu amat pendendam atas perlakuannya selama ini. Bukankah selama ini tak henti-hentinya dia membentak, memaki dan menempelengnya?

Saat itu Pui Tiok benar-benar tak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah nasib. Bagaimana marah, kejut dan takutnya dapat terlihat pada wajah dan sinar matanya. Melihat keadaan Pui Tiok, Coh Hen Hong malah tertawa gembira, “Bagaimana, apakah masih tak rela menjadi naga-mata satu?”

Pui Tiok tak dapat menyahut melainkan memejamkan kedua matanya.

“Itu memang sudah watak manusia, maka tak aneh kalau engkau bernyaili sekecil itu. Uh, wajahmu memang cakap, kalau pada wajahmu itu di tambah dengan beberapa guratan, tentu akan lebih bagus lagi, ha, ha, engkau ini putera ketua Peh-hoa-kau, bukan? Kalau begitu wajahmu seharusnya juga berhias seratus bunga baru tepat. biarlah aku yang mengerjakan hal itu untukmu!”

baru habis berkata, Pui Tiok rasakan di Sebelah telinganya membias hawa dingin dan tahu-tahu pedang Ceng-leng kiam di tangan Coh Hen Hong itu sudah menggurat sekuntum bunga pada wajah Pui Tiok.

Walaupun tidak menggunakan tenaga besar tetapi kulit pipi Pui Tiok telah terkelupas sehingga darahnya bercucuran. Kelak kalau luka itu sembuh, tentu tetap akan meningalkan noda bekas luka. Apabila C0h Hen Hong menggunakan huruf h o a (bunga) pada wajahnya ah, kelak bagaimana dia dapat bertemu orang?

Setitikpun Pui Tiok tidak pernah menyangka bahwa Coh Hen Hong ternyata begitu ganas dan kejam, memperlakukannya. Dia tak dapat berbuat apa-apa kecuali deliki mata kepada gadis liar itu” Tetapi Coh Hen Hong tak takut. Dia malah tertawa mengikik sembari masih mengerjai wajah Pui Tiok.

Dalam beberapa saat, entah berapa huruf h o a yang digurat Coh Hen Hong pada wajah pemuda itu.

Separoh pipi Pui Tiok berlumuran darah. Pemuda itu tampak menyeramkan sekali keadaannya.

Coh Hen Hong tertawa gelak-gelak dan mundur selangkah untuk memandang seperti seorang pelukis yang tengah menikmati hasil lukisannya dan mencari kelemahan2 yang harus diperbaiki.

“Benar, sudah ada 7 kuntum bunga. Rasanya kalau harus melukis seratus bunga, tentu tak ada tempat di wajahmu,” serunya.

Pui Tiok menghela napas dalam hati. Kali ini dia turun gunung, sudah beberapa kali dia menghadapi bahaya tetapi dapat selamat. Sungguh tak kukira kalau sekarang dia harus jatuh ke tangan seorang gadis kecil yang luar biasa ganasnya. Diam-diam dia bersumpah dalam hati. Apabila dia masih dapat selamat kelak jika bertemu dengan gadis liar itu, dia tentu akan menagih hutang dengan bunga yang berlipat ganda. Hutang dendam harus dibayar dendam.

“Baik, sekarang pipi yang sebelahnya,” seru Coh Hen Hong.

Pui Tiok bulatkan tekadnya dan pejamkan mata untuk menerima nasib. Coh Hen Hong pun segera mengayunkan pedangnya tetapi tepat pada saat itu dari jauh terdengar suara jeritan ngeri. Coh Hen Hong terkesiap dan tegakkan kepala lalu menjerit, “Mama!”

Kembali suara dari jauh itu berseru nyaring, “Coba saja engkau mau lari ke mana?” lalu terdengar pula suara jeritan aneh yang mengerikan.

Coh Hen Hong yang mendengarkan dengan segenap perhatian segera tahu kalau mamanya sedang dikejar seseorang.

Walaupun berhati kejam tetapi terhadap mamanya, Coh Hen Hong sangat mencintai sekali.

Tanpa menghiraukan Pui Tiok lagi, dia terus melesat lari menuju kearah suara mamanya itu.

Waktu Pui Tiok membuka mata dan tak melihat Coh Hen Hong lagi, diam-diam dia mengeluh. Walaupun saat Itu dia aman tetapi hanya sementara saja karena apabila Coh Hen Hong kembali bukankah dia akan menderita siksa lagi!

Memang racun yang dihisapnya tidak berapa berat tetapi toh untuk beberapa waktu, dia tak dapat berkutik. Bagaimana kalau nanti gadis liar itu kembali? Pui Tiok hanya bingung tanpa dapat berbuat apa-apa.

Sehari semalam itu merupakan saat yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia menggeletak di tanah tak berkutik dan Coh Hen Hong setiap saati akan kembali datang untuk menyiksanya.

Malam itu benar-benar malam jahanam. Dia merasa malam merayap Lambat sekali. Waktu hari terang tanah, barulah dia dapat bernapas lega. Dan pada keesokan harinya barulah dia dapat bergerak. Cepat dia menarik Kwan Bing Cu sampai dua tiga tombak, kemudian dengan napas terengah-engah dia rebah dalam semak.

Setelah dapat menyusup kedalam semak. dia menghembus napas longgar. Saat itu kaki dan tangannya masih lunglai tak bertenaga. Tetapi agak baik daripada tadi ketika dia menggeletak di tanah tak berkutik sama sekali.

Di semak itu dia mendekam sampai dua jam, kembali saat itu malam tiba. Keadaan di sekeliling penjuru sunyi senyap. Semalam itu Pui Tiok berusaha untuk menyalurkan tenaga murni untuk menghembus keluar sisa racun dalam tubuhnya. Dan semangatnyapun mulai membaik. Tetapi Kwan Beng Cu tetap pingsan.

Pui Tiok heran mengapa Coh Hen Hong tak muncul lagi. Sudah tentu dia tak mengharap dara liar itu akan datang lagi tetapi setelah beberapa lama bersama gadis kecil itu diapun tahu akan perangainya. Tak mungkin Coh Hen Hong akan memberi ampun kepadanya. Kalau tiada suara aneh itu kemungkinan besar dia dan Kwan Beng Cu tentu sudah habis riwayatnya.

Dengan tidak muncul lagi itu tentulah Coh Hen Hong mengalami hal-hal yang diluar dugaan.

Walaupun pipi Pui Tiok yang digores tujuh kuntum bunga itu masih sakit tetapi Pui Tiok tak menghiraukan. Yang dipikirnya ialah pedang pusaka Ceng-leng-kiam. Kalau Coh Hen Hong sampai menderita bahaya tentulah pedang pusaka itu akan jatuh ke tangan orang. 

Ceng-leng-kiam adalah pedang pusaka yang jarang terdapat dalam dunia persilatan. Tak peduli pedang itu jatuh ke tangan siapa, asal orang itu mengerti silat apalagi kalau kepandaiannya tinggi, tentulah orarg itu akan seperti ‘burung yang tumbuh sayap”, pasti akan menggegerkan dunia persilatan.

Apalagi sampai terjadi begitu, pastilah fihak Ceng- te-kiong akan tahu dan tentu akan mengirim utusan untuk mengejarnya. Ah, celaka, dunia persilatan tentu akan dilanda oleh banjir darah lagi.

Membayangkan hal itu, Pui Tiok makin gelagapan setengah mati. Ingin dia segera keluar untuk menyelidiki apakah Coh Hen Hong menderita kecelakaan atau tidak. Kalau menderita musibah lalu bagaimana peristiwanya.

Keesokan harinya setelah Sore hari, semangat nya sudah pulih seperti sediakala. Ia memanggul Kwan Beng Cu lalu menyusur kearah yang ditempuh Coh Hen Hong semalam.

Tak berapa Lama dia keluar dari lingkungan hutan.

Dia tak tahu apakah Coh Hen Hong berada di sebelah muka. Tetapi ada atau tidak, karena keadaan di jalan sebelah muka itu sunyi sekali, lebih baik dia berusaha untuk menyadarkan Kwan Beng Cu lebih dulu.

Dia melanjutkan perjalanan. Gunung di sebelah muka itu tampaknya dekat tetapi waktu menuju kesana, ternyata juga belasan li jauhnya. Waktu Pui Tiok tiba di gunung itu ternyata hari sudah menjadi petang.

Pui Tiok melanjutkan mendaki dan pada saat hari gelap dia baru dapat menemukan sebuah gua. Dia segera masuk kedalam gua itu dan meletakkan Kwan Beng Cu diatas segunduk batu.

Pui Tiok lalu duduk, setelah menenangkan napasnya yang terengah-engah, dia mendengar suara gemericik air dari tengah gua. Dia segera mendengarkan desir air itu. Ternyata dalam gua terdapat sebuah sumber air. Dia merangkup air dengan kedua tangannya untuk memeriksa. Ternyata airnya jernih. Dia meminumnya, ah, sedap sekali.

Dia segera keluar dari gua mencari bambu dan kembali masuk lagi untuk mengambil air. Setelah itu dia curahkan air dalam bambu itu ke kepala Kwan Beng Cu.

Setengah jam kemudian, Kwan Beng Cu mulai siuman. Dia membuka mata lebar-lebar dan berseru kaget, “Aku berada di mana ini? Mengapa begini gelap?”

Pui Tiok menyulut korek. Tiba-tiba Kwan Beng Cu menjerit kaget, “Engkau…. siapa engkau?”

Pui Tiok menghela napas, “Beng Cu, aku “ “Oh. kiranya engkau. Wajahmu …. mengapa berlumuran darah?” seru gadis kecil itu.

Pui Tiok tertawa kecut, “Beng Cu, walaupun kita sudah berhati-hati menjaga toh tetap kena termakan muslihat anak perempuan jahat itu. Kalau, saat ini kita masih hidup, itu tentu karena belum takdir kita harus mati.”

Begitu mencium bau wangi, Kwan Beng Cu terus pingsan sehingga dia tak tahu apa yang telah terjadi selama ini. Tetapi setelah mendengar keterangan Pui Tiok, diapun dapat menduga. Sejenak dia tertegun lalu berseru, “Apakah dia ….. dia melukaimu?”

Pui Tok mengangguk. Dia segera menuturkan bagaimana tadi Coh Hen Hong telah menyiksanya. Kwan Beng Cu berangkat besar dalam alam kesayangan dan kemanjaan kedua orang tuanya. Sudah tentu dia heran mengapa di dunia terdapat seorang manusia apalagi gadis kecil yang berhati begitu tak kenal peri-kemanusiaan. Maka waktu selesai mendengar penuturan Pui Tiok, Kwan Beng Cu pun terlongong-longong tak dapat bicara.

Beberapa saat kemudian barulah dia dapat berkata, “Pui toako, engkau…. bilang kalau dia …. dia itu taciku?”

Pui Tiok tertawa hambar, “Memang dia itu tacimu tetapi jauh sekali bedanya dengan engkau. Ah, aku masih kurang hati-hati sehingga wajahku berhias tujuh kuntum noda bunga.”

Kwan Beng Cu memandang wajah pemuda itu. Dari sinar korek api dia masih dapat melihat jelas. Tiba-tiba dia berseru, “Pui toako, tak jadi apa. Walaupun wajahmu terdapat tujuh buah noda tetapi tetap bagus”

Mendengar itu Pui Tiok terkesiap. Buru-buru dia memandang gadis kecil itu. Dilihatnya gadis kecil itu bersikap sungguh-sungguh. Pui Tiok tertawa, serunya, “Benarkah itu? Kalau begitu aku berterima kasih kepadamu.”

Kwan Beng Cu berpaling dan menghela napas lalu bertanya, “Sekarang kita hendak ke mana?”

Dengan kecewa Pui Tiok menjawab, “Kali ini kepergianku dari Peh hoa nia tidak mendapat hasil apa-apa. Lebih baik pulang antuk menerima dampratan.”

Rupanya Kwan Beng Cu kasihan kepada Pui Tiok, buru-buru dia berkata, ‘Atau, bawalah aku ke Peh- hoa-nia, setelah melihat aku, tentulah ayahmu takkan marah kepadamu”

“Kenapa?”

“Engkau kan bisa bilang kalau aku ini cucu dari pemilik Ceng te-kiong. Kalau engkong tahu kalian memperlakukan aku dengan baik, tentulah dia berterima kasih dan akan membalas kebaikan kalian.”

Sebenarnya Kwan Beng Cu hanya berkata dengan tanpa sadar karena dia sendiri belum pernah tahu siapa dan bagaimana engkongnya itu. Dengan membawa Kwan Beng Cu ke Peh hoa nia, kemungkinan akan merupakan keberuntungan besar bagi Peh-hoa-kau tetapi kemungkinan juga akan merupakan malapetaka besar. Adakah suatu rejeki atau matapetaka bagi Peh-hoa-kau, Pui Tiok juga belum tahu pasti. Tetapi hal itu Pui Tiok tak mau mengatakan kepada Kwan Beng Cu. Pui Tiok tahu kalau perangai Kwan Beng Cu itu tinggi hati. Kalau dia mengatakan terus terang, Kwan Beng Cu mungkin akan menganggap kalau dia tak berani bertanggung jawab untuk melindunginya. Dan kalau sampai gadis kecil itu mengambek dan lari, wah, betul-betul tentu akan merupakan malapetaka besar.

Rencana Pui Tiok yalah, lebih dulu dia akan membawa Kwan Beng Cu ke Peh-hoa-nia. Setelah bertemu dengan ayahnya, tanggung jawabnya tentu akan ringan, semuanya tentu akan diambil alih ayahnya.

Pui Tiok tak mau bertindak aneh2 lagi. Setelah malam itu tiada kejadian suatu apa, keesokan harinya dia segera berangkat melanjutkan perjalanan.

Walaupun perjalanan selanjutnya harus melintasi daerah hutan pegunungan yang sunyi senyap, namun karena makin dekat dengan Peh-hoa nia maka perasaan Pui Tiok pun longgar.

Begitulah singkatnya pada hari itu keduanya telah tiba di suatu tempat yang hanya terpaut 100 an li dari Peh-hoa-nia. Hati Pui Tiok makin longgar.

“Sebelum hari gelap, kita tentu sudah sampai” katanya.

Tetapi tampak Kwan Beng Cu tidak gembira, katanya, “Selama dalam perjalanan ini, sedikit pun kita tak dapat mendengar kabar tentang engkongku.”

“Tak apa,” Pui Tiok menghibur,” ayahku tentu dapat mengantarkan engkau ke Ceng-te-kiong. Kwan Beng Cu tak menjawab. Berjalan kira2 sepuluh li lagi, tibalah mereka di mulut sebuah lembah. Dua sisi lembah itu terdiri dari karang yang menjulang tinggi, ditengahnya hanya terbuka lubang selebar tiga tombak. Keadaannya sungguh menggerikan.

Pada mulut lembah didirikan sebuah papan batu yang bertuliskan huruf, berbunyi: Ke Peh hoa-nia 70 li.

Tiba di lembah, Pui Tiok bersuit nyaring. Pada lain saat dari kedua sisi karang tinggi itu terdengar kumandang ratusan suitan. Kemudian sayup sayup dari arah jauh sebelah dalam lembah, terdengar suara suitan dan lalu derap kuda mencongklang deras.

Kumandang lari kuda itu menimbulkan suara yang bergemuruh seperti pasukan kuda menyerbu di medan perang.

“Pui toako, itu …. apa?” seru Kwan Beng Cu terkejut ketakutan.

Pui Tiok tertawa, “Jangan takut, itulah sebagai sambutan dari suitanku tadi, sekarang mereka sudah datang untuk menyambut kita. Beng Cu, daerah lembah ini daerah kekuasaan Peh-hoa kau. Orang persilatan, kecuali yang mempunyai hubungan dengan Peh-hoa-kau, jarang yang berani datang ke lembah ini. Di sini takkan terjadi apa-apa lagi”

Kwan Beng Cu lega dan mengangguk.

Pada saat itu derap kuda makin dekat dan beberapa saat kemudian tampak 7-8 ekor kuda tegar lari mendatangi. Pada jarak beberapa tombak, penunggang kuda sudah menghentikan kudanya. Karena dihentikan dengan mendadak, kuda itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya. Tetapi penunggangnya sudah loncat turun dan lari ke tempat Pui Tiok.

Mereka tegak berdiri dengan sikap menghormat dan berkata, “karena tak tahu sau-kaucu pulang maka kami terlambat menyambut. Harap dimaafkan”

“Ah, harap saudara jangan berkata begitu!” kata Pui Tiok, “apakah kaucu ada?”

Beberapa lelaki tegap itu menyahut dengan hormat, “Kaucu berada di ruang Cong-than.”

“Baik,” kata Pui Tiok, “silakan saudara kembali ke pos saudara masing-masing, aku akan menghadap kaucu sendiri.”

Sambil berkata dia menghampiri ke arah se ekor kuda yang memakai pelana emas, lalu berseru kepada Kwan Beng Cu, “Beng Cu, naiklah dulu.”

Sekali Loncat gadis kecil itupun sudah naik di punggung kuda. Pui Tiok lalu ikut naik. Mereka bersama naik seekor kuda. Kuda tegar itu terus mencongklang dan dalam beberapa kejab saja sudah keluar dari lembah.

“Ah….” Kwan Beng Cu mendesah kaget. Ternyata ujung akhir dari lembah itu jauh bedanya dengan yang sebelah muka tadi. Makin Lama mereka makin memasuki suatu daerah yang tenang dan indah alamnya. Dan tak berapa lama, kembali Kwan Beng Cu terbeliak.

Alam di sebelah muka terdiri dari sederet puncak gunung, di tengah-tengahnya terdapat Sebuah puncak yang paling tinggi. Memang pemandangan semacam itu sudah lumrah terdapat di daerah pegunungan.

Tetapi yang mengherankan, puncak gunung tertinggi itu penuh dengan pohon2 dan bunga warna warni. Hampir seluruh puncak tertutup dengan bunga, bagaikan sebuah taman yang indah.

Dan yang aneh lagi, margasatwa di puncak itu tenang sekali. Mereka tidak kaget melihat orang, tidak takut melihat kuda. Burung2 tetap bersantai

mengibas-ngibaskan sayap. Sesaat lupalah Kwan Beng Cu akan penderitaan hatinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar