Pedang Berbunga Dendam Jilid 05

JILID 5

Melihat kedua orang yang hendak dicarinya itu sudah pulang, sudah tentu Pui Tiok girang sekali. Segera dia menjinjing tubuh Coh Hen Hong dan lari menghampiri. Tetapi tepat pada saat dia hendak bergerak, Coh Bwe Nio pun sudah melesat masuk ke dalam dapur dan serentak pada saat itu terdengar jeritan yang ngeri sekali.

Jeritan bernada sedih itu benar-benar membuat orang terkejut sehingga Pui Tiok pun hentikan langkah.

Saat itu si bungkuk juga sudah memasuki dapur dan berseru, “Moay-cu, ada apa, ah…..”

Setelah menenangkan diri, Pui Tiok menyadari apa sebab kedua orang Itu berteriak kaget.

Tentulah karena menyaksikan dua buah peristiwa.

Ular mati menjadi beberapa kutung dan Coh Hen Hong lenyap! Kalau tidak lekas-lekas menggunakan kesempatan saat itu untuk segera menyergap mereka dan memaksa mereka supaya memberitahu dimana beradanya kitab pusaka In-su-keng tentulah akan sia- sia usahaku selama ini, pikir Pui Tiok

Memang bukan tak ada sebabnya mengapa Pui Tiok begitu mati matian mencari jejak kitab Ih-su-keng yang hilang itu. Karena dalam kitab pusaka itu tercantum ajaran ilmusilat sakti yang luar biasa dan tak terdapat dalam dunia persilatan. Kitab pusaka semacam itu, sudah tentu tidak boLeh sampai jatuh ke tangan lain orang.

Sebagai putera dari Peh Hoa lokay, Pui Tiok dihormati dan disegani oleh seluruh anak buah Peh- hoa-kau. Tetapi anak muda yang berotak terang itu menyadari bahwa penghormatan dan Perindahan anak buah Peh-hoa-kau kepadanya itu, hanyalah sebagai basa basi

menuruti tata adat, kalau bapaknya seorang penguasa tentulah anak isteri dan keluarganya juga dihormati dan disegani. Jadi rasa hormat mereka itu bukan setulusnya.

Pui Tiok menyadari pula bahwa kalau dia hendak tanam kaki di Peh-hoa-kau, kalau dirinya tidak mempunyai kepandaian tinggi, tentulah tak kan mempunyai pengaruh. untuk mencapai pengaruh itu, dia harus mendirikan jasa. Mencari dan menemukan kembali kitab Ih su-keng merupakan jasa yang besar pada Peh-hoa-kau. Demikianlah mengapa Pui Tiok begitu bernapsu sekali untuk mencari kitab pusaka itu.

Begitulah dia terus mengempit Coh Hen Hong dan lari ke arah dapur.

“Moaycu, moaycu, engkau kenapa?” terdengar si bungkuk berseru.

Coh Bwe Nio tidak menyahut. Dia hanya memperdengarkan semacam suara yang membuat bulu roma orang berdiri.

Tiba di ruang tempat kayu bakar atau dapur itu, diam-diam Pui Tiok menimang. Begitu mengetahui kalau Coh Hen Hong lenyap, seharusnya wanita she Coh dan si bungkuk itu tentu segera lari keluar untuk mencari tapi mengapa tidak?

Apakah karena kaget, wanita she Coh itu terus pingsan? Karena bersangsi Pui Tiok tidak mau terus masuk.

Dia mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dilihatnya Coh Bwe Nio sedang merangkak di tanah, memunguti kutungan tubuh ular yang dibunuh Pui Tiok tadi.

Wajah wanita itu penuh dengan kerut yang meregang regang, sedang mulutnya tak henti- hentinya berteriak aneh. Coh Bungkuk bingung tak keruan dan terus menerus menanyai adik perempuannya itu namun tak dijawab.

Adegan dalam dapur rumah itu memang tragis sekali,. Bahkan Pui Tiok juga menahan napas. Tetapi pada saat dia hendak berpaling muka karena tidak ingin melihat adegan yang mengenaskan itu., tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan.

Saat itu Coh Bwe Nio memegang lima kutung tubuh ular. Pakaian wanita itu penuh berlumuran darah ular yang anyir tetapi dia tidak menghiraukan dan melanjutkan usahanya memunguti kutungan ular.

Tiba-tiba dia dapat memungut kepala ular. Serentak dia menjerit makin keras dan air matanya mengucur deras, pretek tiba-tiba kepala ular itu pecah. Dan serentak dari kepala itu meluncur keluar sebuah benda putih seperti salju.

Melihat itu kejut dan girang Pui Tiok bukan alang kepalang.

Peh-hoa-nia itu terletak di daerah Biau (Moor). Di daerah itu banyak sekali terdapat binatang yang aneh dan binatang-binatang berbisa yang jarang terdapat di dunia. Pui Tiok dibesarkan di Peh hoa nia, sudah tentu dia tahu bahwa dalam tubuh beberapa jenis binatang yang aneh aneh itu terdapat sebutir nui tan atau sari mustika. Nui tan itu sangat berkasiat sekali bagi pembentukan tenaga dalam dan kekuatan manusia. oleh karena itu orang persilatan sangat mengiler sekali bisa mendapatkan nui-tan dan binatang aneh berbisa.

Melihat dari kelopak otak ular itu meluncur ke luar benda putih, Pui Tiok menduga tentulah nui-tan.

Karena kuatir nui-tan itu akan dimakan oleh Coh bwe Nio atau Si bungkuk maka tanpa mengambil jalan dari pintu lagi, Pui Tiok menggerung keras dan mendorong dinding dengan kedua tangannya.

Pondok tempat penyimpan kayu bakar Itu sudah lama tak dipakai. Dindingnya sudah rapuh. sudah tentu tak kuat menahan dorongan kedua tangan Pui Tiok. Bum… . seketika pondok itupun rubuh. Pui Tiok terus menerobos masuk.

Tetapi begitu masuk, dia segera tertegun Ternyata tadi dia terlalu kuat mendorongnya sehingga pondok itu ambruk, tumpukan rumput kering dan tanah muncrat berhamburan memenuhi ruangan sehingga tak kelihatan apa-apa lagi.

Pui Tiok bingung, mengingat arah mana jatuhnya nui-tan tadi terus coba menerkam tanahnya. Tetapi uh, ternyata yang kena diterkamnya itu hanyalah gumpalan darah anyir dan kutungan tubuh ular.

Pui Tiok cepat lepaskan tangannya dan pada saat itu terdengar si bungkuk berteriak, “Moycu, moycu, engkau di mana”

Tiba tiba Pui Tiok mendapat akal, Menurutkan arah suara si bungkuk itu, dia terus menerkamnya. Selekas dapat menerkam bahu orang lalu segera ditariknya, “Denganlah hai, wanita kalau engkau tidak mau menyerahan nui-tan itu, sibungkuk ini tentu akan kuhancurkan benaknya!”

Pada saat mengeluarkan ancaman kepada Coh Bwe Nio itu Pui Tiok sudah dapat melihat keadaan dalam ruang pondok penyimpan kayu bakar itu. Dilihatnya Cob Bwe Nio sedang duduk di tanah, memandang Pui Tiok seperti orang yang tak menghiraukan apa-apa,

Setelah menenangkan diri, Pui Tiok memandang lekat2 pada wanita itu untuk mencari tahu dimana biji putih tadi. Ternyata biji putih itu tak kelihatan.

Pui Tiok memperkeras cengkeramannya sehingga karena kesakitan, si Bungkuk makin deras keringatnya.

Biji putih dari ular itu apakah engkau simpan?“ bentaknya.

Dengan tersendat-sendat. Coh Thocu berseru, “Apa…. nui-tan….. sama sekali…. aku tak tahu ….. kongcu ….. harap bermurah hati.

Melihat bicara dan sikap si bungkuk. Pui Tiok mendapat kesan kalau dia memang tak tahu tentang biji nui-tan itu.

Dia berpaling kearah Coh Bwe Nio, serunya, “Dan engkau? Apakah biji nui-tan itu telah engkau makan?“ “Aku bertanya nui-tan dari ularmu itu!“ bentak Pui Tiok. Tiba-tiba Coh Bwe Nio menjerit aneh dan terus maju menyerang Pui Tiok dengan gerak terkaman.

Saat itu kesepuluh jari Coh Bwe Nio berlumuran darah ular. Pada saat dia merentangkan jarinya, darah di tangannya masih berketes ketes turun, dengan rambut yang terurai panjang. benar-benar dia mirip tangan seorang iblis.

Betapapun besar nyali Pui Tiok tetapi menghadapi wanita yang kalap itu, diapun tergetar hatinya. dia cepat ayunkan tangan menghantamnya.

Tetapi saat itu Coh Bwe Nio sudah kesetanan. Sekalipun tahu kalau hantaman Pui Tiok cukup dahsyat tetapi dia tak menghraukan sama sekali dan tetap menerkam.

Melihat itu Pui Tiok terkejut. Dia merasa kalau hanya menghantam dengan satu tangan tentu tak dapat membendung Coh Bwe Nio. Maka cepat dia lemparkan si bungkuk ke luar kemudian tangan kanannya itupun segera menyambar pergelangan tangan Coh Bwe Nio.

Coh Bwe Nio menerkam dengan sepenuh tenaganya. Gerakan kesepuluh jarinya sampai menimbulkan desis angin yang tajam. Walaupun Pui Tiok dapat menerkam pergelangan tangan wanita itu tetapi sekali meronta. dapatlah Coh Bwe Nio melepaskan tangannya lagi.

Untung pada saat itu gerak tangan kiri Pui Tiok tadi berhasil mengenai dada Coh Bwe Nio sehingga wanita itu menjerit dan terlempar ke belakang. Andaikata terlambat, tentulah Pui Tiok akan celaka ter terkam jari lawan.

Sekalipun mencelat terkena pukulan Pui Tiok, namun Coh Bwe nio masih dapat menenerkam bahu lawan. walaupun tidak sampai melukai parah tetapi baju Pui Tiok robek dan kulitnya membekas sepuluh jalur guratan darah.

Takut kalau kuku jari wanita itu mengandung racun, Pui Tiok tak mau melanjutkan serangannya lagi. Dia buru-buru mengambil obat dari sakunya dan melumurkan pada luka itu.

Beberapa saat kemudian setelah menenangkan diri, dia baru merasa bahwa setelah dihantam mencelat keluar tadi, rasanya Coh Bwe Nio tidak ada suaranya lagi.

Dia memandang ke sekelilingnya dan menduga bahwa tubuh Coh Bwe Nio tadi tentu mencelat keluar dinding yang ambruk tadi. Dan setelah jauh diluar, tentulah wanita it u terus melarikan diri entah kemana.

Sejenak tertegun. Pui Tiok berpaling lagi kearah si bungkuk. Tampak orang bungkuk itu tengkurap di tanah, kepalanya bercucuran darah merah. Tentulah karena terlalu keras dilempar Pui Tiok, si bungkuk melayang dan kepalanya membentur batu hingga pecah.

Pui Tiok termangu-mangu. Dia tak mengira kalau tindakannya tadi sampai mengakibatkan hilangnya nyawa si bungkuk. Padahal dia masih membutuhkan nya untuk memberi keterangan dimana dia menyembunyikan kitab ih-su-keng. Asal si bungkuk mau menerangkan tempat dia menyembunyikan ih su keng diapun sudah puas.

Akan tetapi manusia itu memang tak kenal puas. Nafsu manusia memang selalu timbul, waktu melihat kepala ular itu mengeluarkan biji nui tan, dia terkejut girang sekali. Tetapi saking bernafsunya dia sampai tak dapat mengendalikan diri. Akibatnya bukan saja biji nui tan itu lenyap entah kemana pun juga si bungkuk, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dari hilangnya kitab ih su keng juga ikut binasa.

Pui Tiok merunduk seperti orang yang di tinggal mati orangtuanya. Setelah termenung beberapa jenak, dia berjongkok dan memeriksa tubuh si bungkuk.

Tetapi tak menemukan suatu apa.

Dia melanjutkan pencarian biji nui-tan ke dalam pondok. Hampir satu jam lamanya dia membongkar tanah dan memeriksa seluruh sudut, tetap dia tak memperoleh hasil suatu apa.

Tibalah dia pada suatu kesimpulan. Jika begitu, jelas biji nui-tan itu tentu telah ditelan Coh Bwe Nio. Memikir sampai di situ serentak dia teringat akan Coj Hen Hong sigadis cilik, setelah si bungkuk mati satu- 2nya orang yang diduga tahu tentang kitab ih su keng, adalah Coh Bwe Nio, apabila dia dapat menangkap Hen Hong, tentulah mamanya akan muncul mencarinya. Ya, kalau kali ini kehilangan gadis itu lagi habislah segala harapanku, pikir Pui Tiok. Dia cepat berputar tubuh dan lari keluar. Dia menuju tempat dimana dia telah meninggalkan Hen Hong. Hatinya berdebar keras ketika hampir tiba. Kalau saja gadis cilik itu juga lenyap ah. akhirnya dia menghela napas longgar

ketika melihat bahwa gadis kecil itu masih tergeletak di tanah karena jalan darahnya dia tutuk. Cepat dia menghampiri.

Sepasang bola mata gadis kecil itu berkeliaran memandangnya. Pui Tiok menimang, kerena Hen Hong masih berada disitu, tentulah mamanya belum mengetahui. Dia akan meminta keterangan kepada gadis kecil itu dimanakah dia dapat bertemu dengan mamanya. Siapa tahu baru saja dia membuka jalan darahnya, sekonyong konyong gadis kecil itu loncat berdiri dan terus lari. Tetapi Pui Tiok sudah menduga kemungkinan itu. Cepat dia menerkam tengkuk Hen Hong, “Jangan lari…. ”

Sebagai seekor anak ayam, Coh Hen Hong tak berdaya ketika tubuhnya diangkat Pui Tiok Menyadari tak dapat melawan, Hen Hong pun diam tak mau meronta. Tetapi wajah dan matanya, memancarkan sikap penuh dendam kesumat.

“Jawablah, biasanya di mana saja mamamu berada?” tanya Pui Tiok.

Tiba-tiba tubuh Coh Hen Hong menggigil, teriaknya, “Perlu apa engkau bertanya begitu? Apakah engkau telah membunuhnya!”

“Tidak,” sahut Pui Tiok. Akan tetapi Coh Hen Hong tetap menuduh, “Bohong! Engkau tentu sudah membunuhnya!“ Coh Hen Hong berkata dengan tegas dan yakin kalau Pui Tiok telah membunuh mamanya! Akan tetapi anehnya, gadis kecil itu tidak mengucurkan airmata, tidak pula tampak bersedih.

karena Coh Hen Hong terus menerus menuduh begitu akhirnya Pui Tiok marah, “Kalau aku bilang tidak ya tidak, mengapa engkau mem babi buta menuduh orang!”

“Engkau,” kata Coh Hen Hong kukuh, “kutahu tentu engkau. Aku hendak mencincang tubuhmu untuk membalas sakit hatinya!”

Mendengar kata-kata itu marahlah Pui Tiok, Plak, dia menampar mulut Hen Hong kalau engkau tetap ngoceh tidak keruan tentu akan kubunuhmu!”

Walaupun tidak mengunakan tenaga besar tetapi Hen Hong itu seorang anak perempuan yang tak pernah menderita perlakuan begitu. Sebelah pipinya bengap, tetapi dia tak menjerit walaupun matanya berlinang linang. Pada saat lain wajahnya menggeram dendam lagi. 

Lekas bilang, biasanya dia suka pergi mana saja, hayo jawab!” bentak Pui Tiok.

Karena menyangka Pui Tiok telah membunuh mamanya maka Coh Hen Hong tak mau menjawab pertanyaan itu. Pui Tiok marah dan menamparnya, beberapa kali tetapi gadis kecil itu tetap membisu. Karena ngotot sampai beberapa waktu tetap tak berhasil, akhirnya Pui Tiok berganti siasat. Dia tak membentak bentak melainkan bertanya dengan pelahan seperti orang meminta bantuan, katanya “Bilanglah, nanti akan kuantarkan engkau kepadanya.”

Setelah diulang sampai beberapa kali baru Hen Hong mau membuka mulut tetap bukan kata-kata jawaban melainkan hanya mendengus saja, “’Hm…. ”

biasanya Pui Tiok itu cerdik dan banyak akal. ‘tetapi saat itu, walaupun sudah rnenggunakan cara kasar dan halus, dia tetap tidak berhasil menundukkan, Hen Hong. Akhirnya dia lepaskan cengkeramannya dan menghalau gadis kecil itu, “Pergilah…. ”….

begitu dilepas, tubuh Coh Hen Hong lunglai jatuh ke tanah. Tetapi gadis itu tak mau berusaha untuk rnerangkak bangun.

“Mengapa engkau tak mau lari?‘ tegur Pui Tiok, “kalau engkau tak mau lari, sewaktu waktu timbul pikiran lain, kemungkinan aku akan membunuhmu!”

Coh Hen Hong mengangkat muka. Kedua Pipinya benggap. Dia memandang Pui Tiok dan tetap tak mau beringsut.

sebenarnya Pui Tiok memang hendak menggunakan siasat. Dia pura-pura melepas Coh Hen Hong supaya pergi tetapi diam-diam dia akan mengikuti dari belakang. Dia tak menyangka kalau gadis itu tak mau beringsut dari tempatnya.

Pui Tiok terkesiap dan memandang Hen Hong, gadis itu menunduk diam. “Hai, mengapa engkau ini? apa tidak mau pergi karena ingin mati disini?” seru Pui Tiok.

Coh Hen Hong tertawa dingin, “aku takut mati? kalau engkau ingin kelak kulitmu tidak aku beset, hayo sekarang saja lekas engkau bunuh aku!” Pui Tiok serentak mengangkat tangan, hawa pembunuhan memenuhi wajahnya. Namun Hen Hong tetap tenang tak gentar sama sekali.

Pada saat tangan Pui Tiok hendak dilayangkan kebawah dia sempat melihat dan menyadari bahwa Hen Hong masih anak perempuan yang baru berumur 8 tahun. Dia hentikan tangannya.

Pui Tiok bukan seorang pemuda yang mempunyai hati welas asih. Dia banyak akal muslihat untuk menyiasati orang. Dan sifat demikian sudah tentu tak lepas dari sifat yang Licik. Tetapi jika bukan manusia yang benar-benar berhati serigala tentulah tak sampai hati untuk menurunkan tangan jahat terhadap seorang anak perempuan.

Pui Tiok menurunkan tangannya dan berkata “Baik, kalau engkau tak mau memberitahu, tak apa. Aku akan pergi.”

Habis berkata dia terus ayunkan langkah, Dia menyempatkan untuk melirik. Ternyata Coh Hen Hong tengah memandangnya dan begitu melihat Pui Tiok meliriknya, buru-buru Ia menundukkan kepala lagi.

Melihat sikap anak perempuan itu diam-diam Pui Tiok gembira. Dia meemang sedang mengatur siasat untuk pura-pura pergi. Apabila Coh Hen Hong tak mengacuhkan sama sekali, berarti siasatnya akan gagal.

Tetapi ternyata anak itu meliriknya. Berarti dalam hatinya menginginlcan supaya dia lekas pergi. Sebagai seorang yang banyak muslihat.

diam-diam Pui Tiok tersenyum dalam hati. Dengan tenang dia lalu ayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Setelah 7 – 8 tombak, tiba-tiba dia menyelinap dibalik sebatang pohon besar. Dari tempat itu dia dapat mengintai gerak gerik Coh Hen Hong.

Teryata Coh Hen Hong masih tetap duduk di tanah.

Berapa waktu kemudian, Pui Tiok mengeluh karena mengira siasatnya tentu gagal lagi. Sekonyong- konyong terdengar Coh Hen Hong berkata, “Akan kuberitahu, kemarilah engkau!”

Sudah tentu Pui Tiok tertegun kaget. Dia hampir mengira kalau tindakannya bersembunyi dibalik pohon itu diketahui Coh Hen Hong Tetapi dia tak mau tergesa-gesa menanggapi dan menahan diri untuk tidak segera muncul.

Coh Hen Hong masih terus berkata begitu kemudian berbangkit. Pada saat itu barulah Pui Tiok mengetahui persoalannya. Kiranya Coh Hen Hong berkata begitu tak Lain hanya untuk mengetahui apakah Pui Tiok benar-benar sudah pergi jauh atau belum. Ah, walaupun masih anak ternyata akal Coh Hen Hong juga tidak kalah dengan orang dewasa.

Setelah berdiri, tampak gadis kecil itu mengusap- usap pipinya yang bengap. kedua matanya memancarkan sinar dendam yang membara, air matanya berderai-derai mengucur deras. Tadi waktu berhadapan dengan Pui Tiok setitik airmatapun tak menitik. Sekarang dia baru menangis untuk menumpahkan rasa sakit pada pipi dan hatinya. Tetapi dia juga tak mau menangis mengerung-gerung atau terisak-isak, melainkan hanya mengucurkan airmata saja.

Pui Tiok tetap mengawasinya. Setelah beberapa waktu kemudian barulah Coh Hen Hong melesat pergi. Pui Tiok pun mengikutinya. Ilmu kepandaian Coh Hen Hong tak berapa tinggi oleh karena itu mudah bagi Pui Tiok untuk mengikutinya

kira2 dua tiga Li jauhnya, tampak Coh Hen Hong bergegas lari memasuki sebuah rumah gubuk, sudah tentu Pui Tiok girang sekali Dengan mengunakan ilmu meringankan tubuh, dia maju menghampiri. Tetapi baru dia tiba di muka rumah gubuk itu, hatinya serentak kecewa.

Saat Itu dia mendengar dalam tangisan Coh Hen Hong berkata “Ma, engkau tak berada disini, tentu orang itu telah membunuhmu. Ma jangan kuatir, aku tentu akan mencabuti urat nadi dan menguliti orang itu untuk membalas sakit hatimu!”

Mendengar itu diam-diam Pui Tiok geli dalam hati.

Tetapi dia tak tertawa karena dia memperhatikan bahwa dalam kata-kata gadis cilik itu ternyata penuh mengandung dendam kesumat yang menyala nyala sehingga mau tak mau dia bergidik juga.

Coh Hen Hong menangis beberapa waktu kemudian terdengar suara orang. Pui Tiok terkesiap dan cepat loncat menyelinap dibalik pohon disebelahnya. Dari situ dia memandang kemuka. Seketika hatinya mendebut keras.

Tampak dari jauh, makin lama makin dekat muncul sosok2 tubuh manusia, tetapi bukan orang yang diharapkan melainkan tiga orang. Orang yang berjalan dimuka, seorang nenek berambut putih perak yang belum pernah dikenalnya. Nenek berambut putih itu memanggul sebuah karung merah. Sedang yang berjalan mengikuti dibelakangnya

tak lain adalah Kwan Pek Hong dengan isterinya.

Melihat Kwan Pek Hong dan isterinya, kejut Pui Tiok bukan kepalang. Serentak dia teringat akan Kwan Beng Cu yang ditinggal di dalam lembah. Gadis kecil itu penakut sekali. Entah bagaimana keadaanya saat itu. Apakah masih berada atau sudah melarikan diri? Apakah telah terjadi sesuatu pada gadis kecil itu atau apakahmasih selamat disitu? Sudah tentu Pui Tiok tak pernah membayangkan bahwa saat itu Kwan Beng Cu telah berada dalam karung Warna yang dipanggul si nenek berambut putih.

Mengapa Kwan Pek Hong dan isterinya mau ikut pada nenek berambut putih atau Ih pohpoh? Untuk mengetahui kejadiannya, baiklah kita mundur dulu sebentar, kembali ke ruang besar gedung keluarga Kwan, dimana sedang berlangsung perundingan antara Kwan hujin dengan Ih pohpoh. Setelah hening beberapa saat, terdengar Ih pohpoh berkata, “Siocia, telah kupikir semasak-masaknya. Kalau aku pulang tanpa membawa engkau, akupun juga akan menerima kematian. Kwan hujin tertawa dingin, ‘Paling tidak engkau kan masih dapat mengulur waktu. Seharusnya engkau tahu, waktu aku pergi dahulu, membawa apa saja aku ini?“

Nenek Ih mengangguk, “Sudah tentu cujin tahu, adalah karena hal itu maka beliau marah besar. Yang siocia bawa pada waktu itu adalah pedang ceng ling kiam, salah satu dari sepasang pedang ling liong song kiam!”

“Itulah,” kata Kwan hujin, “aku memiliki pedang Ceng-Ling-Kiam. Apakah tak mampu menjebolkan karung hit-yan tay yang engkau bawa itu untuk menolong Kwan Beng Cu? Kurasa engkau belumn memikir sampai disitu”

Waktu melancarkan kata-kata itu tampaknya wajah Kwan hujin tak takut, tetapi nenek Ih sudah mempunyai persiapan.

“Sudah tentu aku tahu hal itu,” katanya, “tetapi pedang itu telah berada di tangan puterimu dan lagi ku tunggu setelah dia meminjamkan pedang itu kepada orang, baru akan turun tangan. Siocia, orang telah memberi pelajaran kepadaku Ban-wu-it sip (tak pernah-gagal). Kiranya engkau tak lupa, bukan?”

Wajah Kwan hujin berobah seketika. Karung yang dibawa nenek Ih itu terbuat dari sutera ulat hwat-jan yang berwarna merah. Oleh karena itu disebut Hiat- yan tay atau karung merah darah. Semua senjata di dunia kiranya hanya sepasang pedang Ling-Liong- Song-kiam milik istana Ceng-te-kiong yang dapat memecahkan karung itu. Sebenarnya tadi Kwan hujin hendak mengancam nenek Ih. Tetapi sekarang rencananya itu gagal total

“Baik,” dia tertawa dingin, “aku akan ikut engkau. Coba saja nanti di perjalanan dengan cara bagaimana engkau akan menemui kematianmu!”

Wajah nenek lh mengerut gelap, penuh percaya pada diri sendiri. Tetapi sebenarnya diam-diam nenek itu juga tergetar mendengar ancaman Kwan hujin.

Setelah berkata. Kwan hujin lalu tertawa seram. serunya, “Mengapa tidak lekas berangkat?”

Sekali bergerak nenek Ih sudah melesat ke pintu besar. Tetapi Kwan hujin lebih cepat lagi baru nenek itu melesat keluar tiga tombak, entah bagaimana caranya bergerak, hanya terdengar kesiur angin menyambar dan tahu-tahu Kwan hujin sudah berada di belakangnya.

Diam-diam nenek lh makin terkejut. Serentak ia menggempos semangat dan melesat keluar, Kwan hujin mengikutinya selekat bayangan.

Melihat itu Kwan Pek Hong berpaling kepada muridnya, “Si Ciau, urusan dalam rumah ini kupasrahkan kepadamu. Jangan mengatakan kepada siapapun juga tentang peristiwa yang sudah terjadi disini, mengerti!”

Si Ciau gopoh mengiakan. Saat itu Kwan Pek Hong pun sudah melesat keluar menyusul isterinya. Tak berapa lama Kwan Pek Hong berjalan seiring dengan isteri. Sedang nenek lh terpisah dua tiga meter di muka. Mereka lalu menuju ke utara,

Demikian waktu Pui Tiok melihat kedatangan ketiga orang itu, mereka sudah meninggalkan rumah setengah jam yang lalu.

Pui Tiok tak tahu apa yang terjadi dengan ketiga orang itu. juga tak tahu apa hubungan Kwan Pek Hong berdua dengan nenek berambut putih itu. Diam-diam dia bersyukur dalam hati karena telah cepat-cepat bersembunyi di balik pohon. Kalau berayal sedetik saja dan sampai ketahuan mereka, akibatnya tentu mengerikan sekali.

Brak….. terdengar pintu rumah gubuk itu telah didobrak orang. Dengan airmata masih membasahi kedua matanya. Coh Hen Hong muncul keluar dari gubuk itu. Rupanya anak perempuan itu juga terkejut dan tertarik perhatiannya waktu mendengar suara tawa Kwan hujin yang aneh tadi. Pada saat itu muncul, nenek lhpun tiba disitu.

“Hai, siapakah kalian ini” seru Coh Hen Hong.

Dengan wajah penuh pancaran asih, nenek lh ulurkan tangan menjamah muka Coh Hen Hong lalu melesat lagi beberapa meyer seraya memberi pesan, “Budak perempuan, jangan suka usil dengan urusan orang!”

Sebenarnya Coh Hen Hong hendak menghindari tangan nenek lh. Tetapi ilmu kepandaiannya kalah jauh dengan nenek lh. Dia tak sempat mampu menghindar lagi. Waktu tangan nenek Ih meraba kepalanya. Coh Hen Hong rasakan dirinya seperti didorong oleh setiup angin kuat sehingga dia terdampar ke muka. Pada saat itu Kwan Pek Hong dan isterinya tiba. Coh Hen Hong mengangkat muka dan memandang kedua suami isteri itu lalu tertawa dingin.

Coh Hen Hong tak kenal dengan Kwan Pek Hong dan isterinya. Baru pertama kali itu dia bertemu dengan mereka. Sudah tentu dia tak bersikap bermusuhan kepada mereka. Tetapi karena seja kecil diasuh oleh seorang lbu yang kehilangan ke sadaran pikirannya, watak Coh Hen Hong pun aneh dan dingin terhadap orang.

Dalam alam pikirannya, setiap orang yang tak dikenal apabila bertemu tentu mengandung maksud buruk. Maka waktu memandang Kwan Pek Hong berdua, Coh Hen Hong pun tertawa dingin penuh bernada permusuhan. Dia lalu beralih pandang ke arah nenek lh.

Mendengar suara tawa yang begitu aneh Kwan Pek Hong menunduk memandang anak perempuan kecil itu.

Sebenarnya dia hanya secara iseng saja memandang anak perempuan itu. Tetapi waktu melihat potongan wajah Coh Hen Hong yang kurus dan pipi tirus. sepasang mata memandangnya tajam serta sepasang alis yang lembut dan melengkung panjang, tiba-tiba hati Kwan Pek Hong berdebar keras.

Sedemikian hebat kegoncangan yang menggetar kalbu Kwan Pek Hong hingga kedua kaki nya serasa lunglai dan bluk…. diapun segera jatuh ke tanah.

Sekalipun dengan cepat dia terus melenting bangun tetapi Kwan hujin sudah terlanjur berhenti. Karena dia berhenti, nenek lh yang berjalan di muka pun ikut berhenti.

Kwan hujin berpaling ke belakang. Tampak wajah Kwan Pek Hong sebentar pucat sebentar gelap.

Sikapnya gugup dan ketakutan. bagaimana ilmu kepandaian Kwan Pek Hong, seluruh dunia persilatan sudah tahu semua, Tetapi yang tahu paling jelas tentang kepandaiannya adalah isterinya, Kwan hujin.

Bahwa tidak mungkin seorang tokoh seperti Kwan Pek Hong tiba-tiba akan jatuh kalau tak ada hal yang luar biasa. Kwan hujin segera merasa ada sesuatu yang tak wajar.

Dia tidak mau segera menegur melainkan memandang suaminya dengan dingin. Sudah tentu wajah Kwan Pek Hong makin pucat.

Setelah menenangkan diri beberapa saat barulah dia berkata, “Hu…. hujin, lihatlah anak perempuan itu. Agaknya sedikit aneh?”

Kwan Pek Hong sejenak memandang Coh Hen Hong. Karena dalam hati ada sesuatu maka setelah melihat Coh Hen Hong, tiba-tiba Kwan Pek Hong teringat akan seseorang. Itulah sebabnya dia menderita kegoncangan hebat sampai jatuh.

Tetapi dalam pandangan Kwan hujin, Coh hen hong itu hanva seorang anak perempuan biasa. Apanya yang aneh?.

“Mengapa aneh?” tanya Kwan hujin. Dengan gelagapan Kwan Pek Hong berkata, hi…. hi…. dia seorang diri…. disini, tetapi…. apakah itu tidak aneh?”

Kwan hujin tertawa dingin, “Pek Hong, mengapa engkau hendak mengelabuhi aku? lekas katakan terus terang!“

Mendengar itu wajah Kwan Pek Hong makin tak berdarah.

Saat itu Pui Tiok yang bersembunyi di balik pohon juga heran, Dia juga tak mengerti mengapa begitu melihat Coh Hen Hong, mendadak Kwan Pek Hong seperti kehilangan faham dan ketakutan sekali.

Dengan wajah masih pucat lesi, Kwan Pek Hong berusaha menjawab, “Apanya yang mengelabuhi engkau hujin? Harap hujin jangan curiga, aku belum pernah melihat anak perempuan Itu!“

Memang benar. Kwan Pek Hong belum pernah melihat Coh Hen Hong sama sekali. Tetapi adalah karena dia mengatakan begitu malah menimbulkan kecurigaan isterinya.

Kwan hujin. tertawa dingin, “Engkau belum pernah melihatnya?”

“Ya, belum pernah,” sahut Kwan Pek Hong, “aku bersedia bersumpah.”

“Kalau begitu, apakah engkau pernah melihat orangtuanya?” seru Kwan hujin. Pertanyaan itu seperti halilintar yang menyambar Kwan Pek Hong. Semangatnya serasa terbang seketika. Napasnya terengah-engah dan menjawablah dia dengan perasaan yang tertekan, “Belum pernah, belum pernah.”

Kwan hujin maju selangkah, katanya, “Kalau begitu, engkau tidak mempunyai hubungan sama sekali?”

Kwan Pek Hong rasakan kepalanya berdenyut keras dan lidahnya kaku. Ingin sekali dia dapat menyusup ke dalam bumi andaikata ada lubang. Dia terpaksa tertawa. Tetapi nadanya tidak beda dengan tangis.

“Hujin kata-katamu itu tidak tepat. Mengapa aku mempunyai hubungan dengan dia?” katanya.

“Baik, kalau begitu, akan kubunuh anak itu!” tiba- tiba Kwan hujin berkata dengan dingin.

Ucapan nyonya itu benar-benar di luar dugaan orang. Bahkan Pui Tok yang mendengarnya juga terkejut sekali. Hampir saja dia tergelincir jatuh.

Kwan Pek Hong makin gelap pucat wajahnya, “Hujin, me…. mengapa harus demikian? Mengapa harus membunuhnya?”

Tetapi wajah Kwan hujin tetap membeku dingin. Dia bukan bergurau dan berkata dengan tandas, “Akan kuminta engkau yang membunuh nya, apakah engkau berani menolak? Kalau engkau tak berani turun tangan, jelas anak itu tentu mempunyai hubungan dengan engkau!”  Kwan Pek Hong tertawa kecut “Apa…. ada hubungan…. apa tidak lucu? Mengapa aku mempunyai ikatan apa-apa dengan anak itu?”

Walau dengan tertawa terpaksa, tetapi nadanya bergetar seperti anak kecil yang bersalah. Sungguh kasihan.

“Jangan banyak bicara, engkau mau melakukan atau tidak!’

Kwan Pek Hong melongo tetapi tak bicara. Kwan hujin tertawa dingin, “Kalau engkau tak mau turun tangan, akulah yang akan turun tangan!”

Apa yang dikatakan terus saja dilakukan. Habis berkata wanita galak itu terus mengangkat tangan dan mengayun ke arah kepala Coh Hen Hong.

Coh Hen Hong seorang gadis liar yang keras kepala.

Melihat dia tak bersalah apa-apa hendak dihantam, diapun memaki, “Perempuan hina, engkau…. .“

Tetapi belum sempat Ia menyelesaikan kata katanya, angin pukulan yang bertenaga keras itu telah melandanya sehingga napas sesak dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata

Melihat itu Pui Tiok hendak ke luar mencegah tetapi sebelum dia sempat berseru, sekonyong-konyong Kwan Pek Hong berteriak aneh, “Berhenti!“

Mendengar teriak suaminya, Kwan hujin pun hentikan tangannya. Saat itu tangannya hanya terpisah 5 – 6 dim dari ubun-ubun kepala Coh Hen Hong 

Kwan Pek Hong melesat dan terus menarik tangan Coh Hen Hong, ke luar dari ancaman tangan Kwan hujin.

Wajah Kwan Pek Hong tampak membesi dan tubuhnya menggigil. Untuk yang pertama kali Sejak menjadi suami isteri, baru pertama itulah Kwan Pek Hong berani menentang kemauan isterinya. Sudah tentu dia tegang sekali.

Mengapa Kwan Pek Hong berani menempuh bahaya menyelamatkan anak perempuan itu?

Kiranya waktu melihat wajah dan mata Coh Hen hong, terkenanglah Kwan Pek Hong pada wajah seorang yang pernah melewati hari yang indah bersamanya.

“Jangan membunuh anak ini, jangan membunuhnya,” serunya dengan gemetar.

“Mengapa tidak boleh?” tanya Kwan hujin dengan nada sinis.

“Anak perempuan ini…. anak perempuan ini…. ,“ hampir enam tujuh kali dia mengulangi kata-kata ‘anak perempuan ini’, tetapi tak dapat melanjutkan lagi.

“Anak perempuan ini sebenarnya bagaimana?

Mengapa engkau berkata tersendat-sendat seperti orang ketulangan begitu?” tukas Kwan hujin. Kwan Pek Hong membangkitkan nyalinya, ‘Sekarang aku belum tahu, aku hendak menanya dulu.”

Kwan hujin tertawa dingin, “Begitu melihat wajah anak ini, engkau segera terkenang pada seseorang, bukan?”

“Ya!“ dengan semangat Kwan Pek Hong mengiakan.

Saat itu Pui Tiok baru mengerti. Dia mendapat kesan bahwa antara Kwan Pek Hong dengan Coh Bwe Nio tentu ada hubungannya, hubungan asmara.

Dan anak perempuan yang bernama Coh Hen Hong itu tentulah hasil dari hubungan Kwan Pek Hong dengan Coh Bwe Nio. Adalah karena takut kepada isterinya maka Kwan Pek Hong terpaksa meninggalkan Coh Bwe Nio.

Anak perempuan itu bernama Coh Hen Hong. Huruf Hen dapat berarti benci. Dan huruf Hong itu adalah kependekan dari nama Kwan Pek Hong. Ya, Hen Hong, membenci Pek Hong. Dengan begitu jelas kalau Coh Bwe Nio sengaja memberi nama anaknya begitu karena dia sangat membenci kepada Kwan Pek Hong, lelaki yang telah menghianati cintanya.

Merangkai kesimpulan2 itu. teganglah hati Pui Tiok. Kwan Pek Hong seorang tokoh yang harum namanya dalam dunia persilatan. Siapa tahu ternyata juga seorang hidung belang.

Dan yang paling menarik perhatiannya adalah, bagaimana nanti Kwan Pek Hong akan menyelesaikan masalah itu dengan isterinya yang galak. 

Waktu mendengar Kwan Pek Hong mengatakan dengan nada mantap, berobahlah wajah Kwan hujin, ‘Baik, engkau boleh bertanya. Setelah itu, aku akan membuat perhitungan dengan engkau!‘

Menggigillah tubuh Kwan Pek Hong mendengar ancaman isterinya, serunya dengan gemetar, “Anak perempuan, engkau…. siapakah nama namamu?”

Coh Hen Hong tidak menjawab melainkan berseru, “Siapakah perempuan ini? Mengapa begitu jahat?”

“Jangan banyak bicara,” kata Kwan Pek Hong “kasih tahu padaku, siapa nama mamamu? Apa kah dia selalu membawa ular?“

Waktu Kwan Pek Hong menanyai Coh Hen Hong Kwan hujin diam saja. Hanya wajahnya tampak megerikan, sepasang matanya memancarkan kilat api yang menyeramkan,

Kwan Pek Hong membulatkan semangatnya Walaupun dia merasa bagaimana sepasang mata isterinya bagaikan pedang yang menikam dirinya, namun dia tetap menanyai anak perempuan itu.

Tadi karena ditolong Kwan Pek Hong dari ancaman tangan Kwan hujin, Coh Hen Hong mempunyai kesan baik kepada Kwan Pek Hong. Saat itu Waktu Kwan Pek Hong mengatakan apakah mamanya kemana-mana selalu membawa ular, entah bagaimana tercekatlah hati Coh Hen Hong. Hidungnya mulai berair karena hendak menangis tetapi Coh Hen Hong itu seorang anak yang keras hatinya. Dia menahan jangan sampai menitikkan airmata. Sambil mengangguk-angguk. dia mengiakan, “Ya…. ya…. ”

Tiba-tiba Kwan Pek Hong berseru dengan tegang, “Apakah…. namanya….. namanya….. Coh….. Bwe Nio?” “Ya, apa engkau kenal dengan mamaku?“

Kwan Pek Hong menggigil keras tetapi entah bagaimana dia rentangkan kedua tangan dan memeluk Coh Hen Hong. Saat itu dia sudah tahu siapakah sebenarnya Coh Hen Hong itu.

Terlintas dalam hatinya suatu perasaan yang merawankan. Selama bertahun-tahun dia telah hidup dibawah tekanan dari Kwan hujin. Banyak menderita hinaan dan makian. Adalah karena bayang2 ketakutan itu maka dia terpaksa meninggalkan Coh Bwe Nio yang dicintai dengan setulus hatinya.

Dia merasa seorang lelaki yang hina karena telah menelantarkan seorang wanita yang benar-benar mencintai dan dicintainya. Sesaat timbullah rasa sesal disusul dengan rasa minta maaf terhadap Coh Bwe Nio dan anaknya.

Antara dendam dan cinta, antara benci dan kasihan, antara terhina dan bersalah, telah bercampur aduk dan pada saat itu sama-sama serempak meletus dalam dada Kwan Pek Hong

Saat itu dia merasa seperti menjelma sebagai manusia baru. Manusia yang tahu akan harga diri dan manusia yang sadar akan kesalahannya. Belum pernah sepanjang hidupnya dia mengalami perobahan batin seperti saat itu. Sambil memeluk Coh Hen Hong erat2, air mata Kwan Pek Hong pun berderai derai membasahi kedua pipinya.

Sebenanya Coh Hen Hong tak tahu siapa kah pria yang telah memeluknya dengan penuh rasa kasih itu. Tetapi naluri alam menyalur kedalam perasaannya.

Walaupun dia merasa sesak napasnya karena dipeluk itu, namun entah bagaimana perasaan hatinya sangat tenang dan bahagia. Mungkin kalau Kwan Pek Hong tidak lebih dulu mengucurkan airmata, tentulah Coh Hen Hong yang akan menangis. Tetapi demi melihat Kwan Pek Hong menangis, Coh Hen Hong merasa heran.

“Ih, engkau seorang besar, mengapa menangis?“ tegurnya.

”Engkau ini…. Siapa namamu?“ tanya Kwan Pek Hong.

“Namaku Coh Hen Hong.”

Wajah Kwan Pek Hong mengerenyut tegang lalu menegas, “Hen Hong? Namamu Hen Hong? Engkau memang seharusnya membenci aku, ya, engkau memang wajib membenci aku….. “

Sudah tentu Coh Hen Hong tak mengerti apa maksud Kwan Pek Hong berkata begitu. Ia merentang kedua mata dan bertanya, “Mengapa aku harus membenci engkau?“

Kwan Pek Hong hendak menjawab tetapi sebelum dia sempat membuka mulut. Kwan hujin sudah menukas seperti ujung golok yang tajam. “Cukup. sudah cukup lama engkau memainkan sandiwara itu. Mengapa tidak lekas bubar?

Waktu memeluk puterinya, perasaan Kwan Pek Hong seperti terhanyut dalam alam penyesalan dan kegembiraan. Dia seperti bemimpi Tetapi kemudian waktu Kwan hujin tiba-tiba berteriak, Kwan Pek Hong seperti orang yang dilontarkan dari alam impian, kembali pada kenyataan,

Kwan Pek Hong terlongong. Tak terasa kedua tangannyapun mengendor, melepaskan tubuh Coh Hen Hong. Tetapi pada lain saat dia memeluknya lagi.

Dengan membangkitkan keberanian nya yang paling garang, Kwan Pek Hong berkata, “Hujin, masalah ini aku memang belum me…. mengatakan kepadamu . .”

“Engkau tak bilang, akupun sudah tahu,” cepat Kwan hujin mengerat, “oleh karena itu janganlah engkau membuang-buang waktu lagi. Kalau engkau ingin aku tidak emosi, itu tak mungkin.”

Sesaat rupanya Kwan Pek Hong tidak jelas akan maksud kata-kata isterinya oleh karena itu dia bersangsi.

Kwan hujin tertawa dingin lagi, serunya, “Kalau tak memperbolehkan engkau untuk membalas serangan, itu tidak adil. Engkau boleh melakukan gerak balasan.”

Mendengar itu wajah Kwan Pek Hong berubah seketika, serunya, “Hujin ….. apa artinya itu…. apa yang engkau maksudkan aku boleh membalas?” Kwan hujin tertawa dingin. ‘Engkau memang pintar sekali mengelabuhi aku. Engkau bermain main dengan wanita di luaran dan sampai melahirkan anak, masa engkau tidak mengerti ucapanku? Baiklah, aku akan bicara terus terang saja. Aku hendak mengambil jiwamu. Waktu aku turun tangan engkau boleh melakukan gerakan membalas aku. Mengertikah englcau sekarang?

Tokoh Kwan Pek Hong yang cemerlang dalam dunia persilatan, saat itu sikapnya seperti sesosok mayat yang berada dalam peti mati.

“Engkau…. engkau mau menyerang aku?

Bagaimana mungkin aku dapat melawanmu?” serunya tergetar.

Kwan hujin tertawa aneh, “Waktu engkau bermain- main dengan wanita, apakah engkau tak pernah berpikir tentang hal ini?”

Coh Hen Hong meronta dari tangan Kwan Pek Hong, lalu dengan berkacak pinggang menghadap ke arah Kwan hujin, gadis cilik itu berseru nyaring, “Perempuan busuk, perempuan busuk, engkau mau jual lagak apa? Lihat, aku akan menghajarmu!’

Sambil berkata gadis kecil Itu terus maju menyerang Sudah tentu Kwan Pek Hong berteriak kaget dan cepat menariknya, “Nak, jangan Sekali kali gegabah bergerak!“

habis berkata dia terus berlutut di hadapan isterinya. Melihat Itu Coh Hen Hong tercengang lalu melengking, “Ih, engkau kan seorang pria, mengapa engkau berlutut dihadapan perempuan itu?”

Nak, jangan menghiraukan aku, jangan bicara apa- apa,” kata Kwan Pek Hong dengan tertawa pahit

Wajah Coh Hen Hong mengerut gelap lalu mundur selangkah. Bukannya tak tahu keadaan bahaya pada saat itu tetapi dia memang seorang anak yang keras kepala dan tak mau tunduk pada orang.

Sebenarnya Coh Hen Hong mempunyai kesan baik terhadap Kwan Pek Hong. Tetapi waktu melihat Kwan Pek Hong berlutut dihadapan perem puan yang dibencinya, seketika berkuranglah rasa simpatinya terhadap Kwan Pek Hong.

Sambil berlutut berkatalah Kwan Pek Hong, “Hujin kutahu kalau aku bakal takkan hidup. Tetapi mengingat hubungan kita selama ber-tahun2 sebagai suami isteri, tanpa engkau turun tangan aku akan bunuh diri sendiri. Tetapi aku hanya akan mohon sebuah permintaan kepadamu.”

Kwan hujin tertawa sinis, “Minta supaya aku mengampuni perempuan jalang itu? Ah, hal itu tak mungkin. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi!”

Kwan Pek Hong menghela napas panjang, “Dia…. dia sekarang dimana aku juga tak tahu. Aku hanya minta engkau supaya mengampuni anak itu!”

Kwan hujin tertawa mengekeh. Nadanya tak ubah seperti iblis menangis karena ingin memakan hati Kwan Pek Hong. 

“Hujin…., “kata Kwan Pek Hong dengan gemetar, “engkau…. apa meluluskan?”

Pertanyaan itu penuh dengan harapan yang Besar. Asal Kwan hujin mengangguk, Kwan Pek Hong akan bunuh diri dengan hati yang tenang.

Tetapi Kwan hujin itu seorang wanita yang penuh dengan hati dengki, cemburu dan jahat. Dia mengira kalau selama ini suaminya sangat penurut dan setia kepadanya, tak mungkin berani menghianatinya.

Sungguh tak kira kalau ternyata suaminya itu telah mengelabuhinya, diluar berani main-main dengan lain perempuan.

Saat itu tak terperikan dendam kemarahannya terhadap suaminya. Sekali pun membiarkan Pek Hong mati dengan tenang pun dia tetap tidak rela.

Baru Kwan Pek Hong membuka mulut, Serentak Kwan hujin menukas, “Adakah engkau hendak mengetahui aku meluluskan permintaanmu atau tidak?”

“Ya…. ya….“ Kwan Pek Hong gopoh mengiakan.

Dengan pelahan Kwan hujin berkata, “Dengarlah baik-baik. Lebih dulu akan kubunuh anak perempuan busuk itu kemudian baru membunuhmu!”

Sekonyong…konyong tubuh Kwan Pek Hong bergetar keras dan lalu berteriak, “Tidak bisa, tidak bisa, sekali-kali tak boleh membunuh anak itu.” Dengan sadis Kwan hujin tertawa, “Tidak boleh tidak aku harus membunuhnya Bukan saja membunuhnya, namun juga akan kubunuh dihadapanmu. Coba saja engkau dapat berbuat apa untuk menolongnya, ha, ha, coba saja engkau mampu berbuat apa!“

Sambil tertawa itu Kwan hujin sudah meng angkat tangannya. Saat itu Kwan Pek Hong sedang berlutut di hadapannya. Pada saat Kwan hujin mengangkat tangan, tiba-tiba Kwan Pek Hong memekik seram, sekonyong-konyong tubuhnya melenting kemuka.

Walaupun dihadapan isterinya, Kwan Pek Hong tak ubah seperti anak kecil tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak tak mungkin dia akan mendapat nama yang terhormat dalam dunia persilatan.

Pekikan yang dihamburkan itu hebatnya bukan buatan. Benar-benar menyerupai letusan halilintar sehingga Coh Hen hong yang berada di samping nya jatuh ke tanah. Bahkan Pui Tiok yang bersembunyi di pohon dan agak jauh jaraknya hampir tergelincir jatuh juga.

Pada saat melenting kemuka itu, Kwan Pek Hong menghantam dada isterinya. Tenaga pukulan yang digunakan, bermula tenaga Im kemudian baru tenaga Yang. Itulah sebabnya maka pukulan itu tak mengeluarkan suara sama sekali.

Selama bertahun-tahun ini Kwan Pek Hong selalu tunduk patuh segala perintah isterinya. Belum pernah dia berani membantah. Bahwa kali ini dia berani melancarkan pukulan kepada isterinya, benar-benar tak pernah disangka oleh Kwan hujin.

Sebenarnya tentu kepandaian Kwan hujin Lebih tinggi dari suaminya. Walaupun pukulan yang dilancarkan Kwan Pek Hong secepat kilat menyambar tetapi kalau mau, Kwan hujin sebenarnya masih dapat menghindar. Tetapi karena dia kaget dan terlongong menyaksikan suaminya berani memukulnya dia tertegun dan hanya membentak “Engkau hendak……..

Kwan hujin hanya membentak tetapi tak berusaha untuk menghindar atau menangkis. Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya yang seharusnya ‘engkau hendak memberontak’ pukulan Kwan Pek hong sudah tiba di dadanya.

Begitu pukulan tiba di dada isterinya, tenaga-dalam Yang segera dipancarkan Kwan Pek Hong, bluk..!

Kwan hujin menjerit keras dan terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang.

Mengapa Kwan Pek Hong sampai nekad menyerang isterinya adalah karena dia akan menebus dosanya kepada Coh Bwe Nio. Dia tak mau puterinya buah kasih mereka sampai ikut menderita kematian.

Tetapi tujuan dari serangan Kwan Pek Hong itu bukan hendak mencelakai Kwan hujin, melainkan dengan tujuan supaya Kwan hujin menangkis dan balas menghantamnya agar Ia mati. Kalau dia sudah terbunuh, kemungkinan Kwan hujin akan dapat memberi kemurahan pada Coh Hen Hong.

Oleh karena itu diapun sama sekali tak menyangka kalau pukulannya itu akan berhasil mengenai Kwan hujin. Dia mengira, isterinya akan turun tangan untuk membunuhnya.

Tetapi kenyataan telah terjadi di luar perhitungannya. Pukulan itu benar-benar mengenai dengan telak sekali.

Begitu Kwan hujin terpental, Kwan Pek Hong malah ketakutan. Dia tertegun dan melongo. Dia ingin berkata tetapi mulutnya tak bersuara.

Memang dunia ini penuh dengan hal-hal yang ganjil. Memukul orang kalau kena seharusnya gembira tetapi nyatanya tidak begitu dengan Kwan Pek Hong. Dia malah kaget dan tertegun seperti patung.

Setelah terhuyung huyung tiga empat langkah barulah Kwan hujin dapat berdiri tegak lagi. Wajahnya membesi, serunya, “Kepandaianmu…. ah…. sungguh hebat…..”

Waktu bicara itu suaranya terputus putus menandakan kalau pukulan Kwan Pek Hong itu dahsyat sekali. Kwan hujin harus berusaha keras untuk menenangkan tenaga-murni, baru dapat berkata.

Memang sekalipun dia memaksa diri untuk menenangkan tenaga murninya, waktu habis berkata dia tak kuat menahan darah yang bergolak keras, huak…. mulutnya menghamburkan segumpal darah segar sehingga bajunya berlumur Warna merah.

Nenek Ih yang sejak tadi menyaksikan adegan itu bermula Ia tidak mau campur tangan karena menganggap itu urusan di antara suami isteri. Dan lagi dia takut kesalahan pada Kwan hujin. Tetapi setelah melihat keadaan Kwan hujin barulah dia berseru kaget, ‘Siocia, engkau telah menderita luka dalam!“

Kwan hujin tertawa mengekeh, nadanya sinis, “Uh, engkau juga memikirkan aku?”

Nenek lh menghela napas, “Siocia….

Tetapi sebelum dia sempat melanjutkan kata katanya, dia terpaksa hentikan kata-kata itu. Dia menyadari bagaimana perangai Kwan hujin dan dia pun teringat bagaimana kedudukannya saat itu dengan Kwan hujin.

Nenek lh hanya menghela napas dan Kwan hujinpun tidak menggubrisnya lagi. Tanpa mengusap darah yang berlumuran disudut mulut, ia tertawa aneh, “Sebuah hantaman tidak dapat membunuh aku, mengapa tidak lekas menyusuli hantaman yang kedua lagi?“

Setelah menghantam itu, nyali Kwan Pek Hong berantakan. Dengan geraham bergemerutukan dia berkata, “Aku…. aku…. aku…..“

Tiga kali mengucap kata ‘aku’, dia tetap tak dapat melanjutkan. Tiba-tiba Kwan hujin memekik aneh dan sekali ayunkan tubuh dia melesat di samping Kwan Pek Hong. Melihat isterinya hendak menuju ke tempat Coh Hen Hong, Kwan Pek Hong terkejut. Dia menduga isterinya tentu akan berbuat hal yang tak baik terhadap anak itu. Wut…. tanpa disadari, dia lancarkan pukulan yang kedua Lagi. Tetapi pada saat itu tiba-tiba Kwan hujin berbalik tubuh dan mengayunkan tangannya, plak…. terdengar letupan nyaring ketika kedua pukulan saling beradu keras.

Ilmu kepandaian Kwan Pek Hong itu hampir seluruhnya berasal dari ajaran isterinya. Selama bertahun-tahun ini, Kwan Pek Hong memang sudah mencapai kemajuan sampai tataran enam tujuh bagian. Sebenarnya kalau bertempur, jelas Kwan Pek Hong tentu kalah.

Tetapi keadaan saat itu berlainan. Karena sebelumnya Kwan hujin telah menderita pukulan dahsyat sehingga menderita luka-dalam maka keduanya dapat bentempur dengan berimbang.

Begitu pukulan beradu, keduanya sama-sama mundur selangkah. Melihat suaminya berani beradu pukulan, Kwan hujin makin marah. Dengan menjerit jerit aneh karena menahan luap amarah, kembali mulut Kwan hujin menyemburkan darah.

Melihat itu nenek Ih terus berseru keras, “Berhenti, jangan dilanjutkan!”

Tetapi teriakan itu sudah terlambat. Sambil memekik histeris, kedua tangan Kwan hujin direntang lebar dan sepuluh jarinya yang seruncing kuku harimau telah menerkam Pek Hong.

sebenarnya waktu bertempur itu, karena kalah moril, Kwan Pek Hong sudah pecah nyalinya. Melihat Kwan hujin menerkam, dia makin gugup. Sembari menggerak gerakkan kedua tangannya dia berteriak, “jangan, jangan, ja….. “ belum sempat menyelesaikan kata katanya yang terakhir. kesepuluh jari Kwan hujin sudah menyusup kedalam leher Kwan Pek Hong. Kwan Pek Hong menjerit ngeri dan serentak kedua tangannya menghantam ke muka.

Sebelum mati berpantang ajar. Demikian keadaan Kwan Pek Hong. sebelum dia menghembuskan napas yang terakhir, dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong. Maksudnya supaya Kwan hujin tersiak ke belakang.

Tetapi karena dia mengerahkan sisa tenaga yang masih ada padanya, sudah tentu tenaganya bukan alang kepalang dahsyatnya.

Bum…. Kwan hujin mencelat ke belakang dan terus rubuh. Dengan begitu cengkeramannya pada leher Kwan Pek Hong terdapat sepuluh Lubang kecil, darah segar menyembur keluar dari lubang2 itu. Dia terhuyung-huyung kebelakang dan terus rubuh ke tanah.

Kwan Pek Hong mengangakan mulut seperti hendak bicara tetapi tak dapat mengeluarkan suara sedikitpun juga lalu putus jiwanya. Dia takut setengah mati kepada isterinya tapi toh akhirnya tetap mati dengan sang isteri. Dua buah pukulan yang dilancarkan itu, telah dapat menuntutkan balas untuk kematiannya.

Setelah rubuh kebelakang, Kwan hujin gelundungan kian kemari sampai sepuluh kali, dari ketujuh lubang tubuhnya darah segar mengalir seperti aliran air.

Nerek Ih bingung tak keruan. Dia meletakkan karungnya dan lari menghampiri lalu mengangkat kepala kwan hujin, “Siocia, siocia, eng…. kau bagaimana? Apakah engkau membawa pil ceng-long- tan?“

Kwan hujin deliki mata. Kerongkongannya berkerucukan tetapi tak dapat menjawab lagi.

Melihat peristiwa yang menyedihkan itu. tiba-tiba Pui Tiok mendapat akal. Kalau saat itu dia tidak lekas- lekas melarikan diri, habis mau tunggu kapan lagi?

Cepat dia loncat turun dari pohon, melesat ke muka dan menarik tangan Coh Hen Hong “Lekas lari…. ”

Dia terus menarik anak perempuan itu ke belakang tempat karung.

Waktu Pui Tiok melayang turun dari pohon, kebetulan neneh lh sedang menumpahkan perhatian untuk menolong Kwan hujin. Sama sekali dia tak sempat membagi perhatiannya akan gerak gerik Pui Tiok itu.

Sebenarnya tujuan Pui Tiok hanya hendak membawa lari Coh Hen Hong. Tetapi ketika tiba dekat karung, dia melihat karung itu bergerak gerak seperti ada isinya yang keroncalan. Dia mengira kalau salah lihat dan diapun berhenti.

Benar. Karung itu bergerak-gerak terus. Pui Tiok heran. Dia berpaling kearah nenek Ih. Saat itu nenek Ih sedang melekatkan kedua tangannya untuk memegang punggung dan dada Kwan hujin. Nenek itu lalu duduk bersila untuk menyalurkan tenaga murninya ke tubuh Kwan hujin. Dalam keadaan seperti itu jelas tak mungkin nenek Ih akan menghiraukan segala apa yang terjadi di sekelilingnya lagi. Kalau dia sampai membagi perhatian pada lain2 hal tentu dia akan menderita peristiwa yang mengerikan yaitu yang disebut Coh hwe jip mo. Coh hwe jip mo adalah istilah dalam ilmu silat yang menyatakan karena salah berlatih maka tenaga-dalam tidak berjalan pada saluran yang wajar tetapi tersesat membinal kemana mana. Akibatnya, urat-urat jalandarah putus dan orangnya kalau tidak cacat tentu mati.

Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, sudah tentu Pui Tiok tahu akan keadaan nenek lh. Serentak timbullah keinginan tahu pada karung itu. Dia segera menyambar karung itu, ah…. ternyata tidak berapa beratnya. Tanpa peduli apa isinya, dia terus memangul karung itu, menarik tangan Coh Hen Hong lalu melanjutkan larinya.

Dalam beberapa kejab saja dia sudah mencapai 6-7 li. Sudah tentu Coh Hen Hong tak kuat karena kehabisan napas.

“Aku tak kuat lari, aku tak kuat lari!“ teriaknya karena kakinya melentuk lemas.

Pui Tiok memandang ke sekeliling. Ternyata dia sudah tiba diluar lembah sebuah bukit.

“kita masuk kedalam lembah itu, lekas, kalau tak mau jalan, terpaksa kutendang!“ kata Pui Tiok.

Dengan napas tersengal-sengal, anak itu mendamprat, “Keparat, engkau berani?“ Pui Tiok marah Dia benar-benar melakukan yang dikatakan, Coh Hen Hong berusaha menghindar tetapi sudah tentu kepandaian Pui Tiok lebih tinggi. Dia memang hendak suruh anak itu merasakan sedikit pil pahit. Pok…. tendangannya tepat mengenai pantat Coh Hen Hong. Walaupun gadis kecil itu tidak sampai terlempar ke udara tetapi pun – terlempar jatuh dan bergelundungan ke muka.

Pui Tiok memburu maju dan menyusuli lagi dengan tendangan. Demikian dengan cara memperlakukan Coh Hen Hong seperti bola, akhirnya gadis kecil itu dapat digiring masuk ke dalam lembah.

Waktu berguling-guling itu Coh Hen hong masih tetap memaki-maki. Setelah masuk ke dalam lembah, pakaian anak perempuan itu robek di berapa tempat, wajah lesi mata bengap, tetapi mulutnya tak pernah berhenti memaki. Pui Tiok benar-benar mengkal tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

“Kalau engkau masih tetap memaki maki saja, akan kukuburmu hidup2an,” akhirnya ia mengancam.

Coh Hen Hong tertegun kemudian tertawa mengejek. “O, kiranya engkau seorang keparat yang takut dimaki. Kalau begitu aku tak memaki”

Dada Pui Tiok seperti mau meledak. Setelah deliki mata kepada anak itu beberapa saat, kemarahannyapun mulai reda. Dia menurunkan karung hendak membuka tali pengikatnya.

Ternyata karung itu diikat beberapa kali dengan cara tali pati, Berjam-jam lamanya membuka, Pui Tiok tak berhasil. 

“Uh, membuka tali karung saja tak mampu hm, kecuali hanya mampu menghina seorang anak perempuan, apa sih kepandaianmu itu?” ejek Coh Hen Hong

Tak dapat membuka tali sudah cukup menjengkelkan apalagi masih terus menerus diejek Coh Hen Hong, seketika meluaplah kemarahan Pui Tiok. Sring, dia mencabut pedang kecil.

Melihat Pui Tiok mencabut pedang, Coh Hen Hong yang cerdik, menyadari bahwa kalau dia terus menerus mengejek, tentulah akan menderita akibat yang tak enak. Maka diapun Lalu diam.

Sebenarnya Pui Tiok bukan mau menyembembelih Coh Hen Hong. Tetapi waktu tak mendengar Coh Hen Hong buka suara lagi, diam-diam dia gembira. Dia segera berbalik tubuh menghadap Coh Hen Hong sembari menggerak-gerakan pedang.

Coh Hen Hong berubah wajahnya, “Engkau…. engkau mau apa?”

Pui Tiok hendak menggertaknya, “Aku hendak memotong lidahmu. Akan kulihat apakah engkau masih dapat bicara kurang ajar kepadakul”

Coh Hen Hong makin kaget. Dia diam saja, “Lekas berjanji kalau engkau tak berani memaki maki aku lagi!” gertak Pui Tiok.

“Walaupun mulut tidak memakimu tetapi kalau dalam hati aku tetap memaki engkau, toh sama saja. Engkau bisa berbuat apa kepadaku?” balas Coh Hen Hong.

Pui Tiok mengawasi anak itu beberapa jenak.

Walaupun masih begitu kecil tetapi wataknya begitu keras tak mau tunduk. Kalau melihat air mukanya, anak itu takut mati tetapi toh tetap berkata begitu. Benar-benar bandel dan keras kepala.

Entah bagaimana diam-diam Pui Tiok malah kagum dan tak mau menggertaknya lagi. Sejenak tertawa dia lalu berputar tubuh dan menabas mulut karung.

Pui Tiok tak tahu nama dan asal usul karung merah Itu. Bahwa sekalipun hanya karung tetapi tak ada senjata di dunia ini yang mampu menabas pecah karung itu kecuali dua buah pedang pusaka. Kebetulan salah sebatang pedang Pusaka itu berada di tangan Pui Tiok. Maka sekali tebas, karung itupun berlubang besar. Tiba-tiba terdengar suara orang merintih.

Pui Tiok terkesiap kaget. Memang tadi dilihatnya karung itu bergerak-gerak seperti keroncalan tetapi dia tak pernah menyangka sama sekali kalau karung itu berisi manusia.

Mendengar suara orang merintih, dia terkejut lalu membungkuk untuk memeriksa. Apa yang dilihatnya, makin membuatnya kaget bukan kepalang.

Ternyata yang berada dalam karung itu bukan lain adalah Kwan Beng Cu yang saat itu dalam keadaan setengah pingsan dengan tubuh melingkar.

Pui Tiok cepat menyimpan pedang lalu menolong Kwan Beng Cu keluar. Kemudian Pui Tiok menepuk ubun kepala gadis kecil itu. Kwan Beng Cu baru tersadar.

“Di mana aku ini?” serunya seraya memandang kian ke mari.

“Mengapa engkau dapat dimasukkan ke dalam karung oleh seorang nenek berambut putih?” tanya Pui Tiok.

Saat itu kesadaran pikiran Kwan Beng Cu sudah mulai pulih. Dia lalu menceritakan bagaimana dia sampai dimasukkan ke dalam karung oleh seorang nenek.

“Ya, seorang nenek berambut putih yang namanya Ih pohpoh. Tetapi mengapa aku dapat berada dalam karung?” tanyanya heran.

Memang pada waktu peristiwa itu terjadi, pandang mata Kwan Beng Cu menjadi gelap dan dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya lagi karena pingsan.

“Ya, biarlah. Peritiwa Itu sudah lalu dan engkaupun telah kutolong, “Pui Tiok menghibur.

Tiba-tiba Kwan Beng Cu memandang kepada Coh Hen Hong yang berada di samping. Dia menyeringai, “Pui toako aku tak jadi ke Peh-hoa-nia saja”

Pui Tiok terbeliak, “itu…. itu…. ”

Sebenarnya dia hendak mengatakan ‘itu bagaimana’. Tetapi tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya sehingga dia tak melanjutkan kata-katanya. Sekarang andaikata dia membawa Kwan Beng Cu ke Peh-hoa-nia, pun tak ada artinya lagi. Sebenarnya rencananya membawa gadis kecil itu ke Peh-hoa-nia adalah untuk memikat supaya Kwan Pek Hong menyusul ke Peh hoa-nia. Di sana nanti Kwan Pek Hong dapat ditekan supaya mengembalikan kitab pusaka Ih-su-keng sebagai penukar Kwan Beng Cu. Jelasnya, Kwan Beng Cu akan dijadikan sandera.

Tetapi karena sekarang Kwan Pek Hong suami isteri sudah meninggal, lalu apa gunanya lagi Sejenak kemudian baru dia dapat berkata, “Itu…. tak apalah.”

“Kalau begitu lekaslah antarkan aku pulang,” kata Kwan Beng Cu, “setiba di rumah, ayah bundaku tentu berterima kasih kepadamu.”

Mendengar itu tergetarlah perasaan Pui Tiok. Mengantarkan Kwan Beng Cu pulang? Sekarang dimanakah rumahnya? Memang gedung keluarga Kwan yang megah mewah itu masih berdiri tetapi bukankah Kwan Pek Hong dengan isterinya sudah binasa?

Beberapa saat Pui Tiok terlongong-longong tak dapat bicara.

Kwan Beng Cu tak senang berada bersama Coh Hen Hong. Melihat Pui Tiok berayal tak mau nenjawab, Ia tak sabar lagi dan berseru, “Engkau mau mengantarkan aku pulang atau tidak?”

Pui Tiok menghela napas, “Nona Kwan, ha…. rap engkau jangan…. bersedih.” Kwan Beng Cu terkesiap, “Ih. tak ada apa-apa mengapa aku bersedih? Kalau mau bilang apa, lekas bilang dengan terus terang, jangan mengguguk begitu.”

Sebenarnya Pui Tiok dengan Kwan Beng Cu itu berada di fihak yang bermusuhan. Tetapi Pui Tok merasa berterima kasih karena mendapat pinjaman pedang pusaka dari Kwan Beng Cu.

Pui Tiok merasa sukar untuk memberitahu kepada Kwan Beng Cu tentang musibah yang telah menimpa kedua orang tuanya. Dia tampak bingung dan bersangsi sampai beberapa saat.

rupanya Coh Hen Hong juga tak sabar melihat tingkah laku Pui Tiok. Dia tertawa dingin dan berseru, “Sungguh tak pernah terdapat seorang lelaki dewasa, mau omong saja kok tidak berani”

Pui Tiok deliki mata lalu berkata, “Nona Kwan, ayah dan mamamu, mereka…. mereka sudah meninggal semua….“

Akhirnya Pui Tiok memberitahu juga. Dia duga Kwan Beng Cu tentu akan menangis menggerung- gerung. Tetapi diluar dugaan Kwan Beng Cu hanya tertegun lalu tertawa geli. Sudah tentu Pui Tiok melonjak kaget. Dia mengira karena menderita shock (goncangan batin) mendadak Kwan Beng Cu jadi gila.

“Engkau….. mengapa malah tertawa” serunya.

Kwan Beng Cu menjawab dengan tandas, “Mengapa tidak tertawa? Engkau hendak menipu aku. Melihat gerak gerikmu hendak membohongi itu, aku tak kuat menahan geli.”

Pui Tiok menghela napas longgar, pikirnya, “O, kiranya dia tak percaya pada keteranganku.”

“Aku tidak membohongi engkau. apa yang kukatakan Itu memang sungguh,” katanya.

Kwan Beng Cu menyengir, “Sudahlah, jangan omong lagi. Makin engkau omong, aku makin tak percaya. Dengarkan, jangan lagi ayahku itu seorang tokoh yang berkepandaian tinggi dan jarang ada orang yang dapat menandingi. Pun mamaku juga seorang yang hebat. Dia pernah memberitahu kepadaku, dalam dunia ini yang mampu mengalahkannya hanyalah engkongku saja. Dan engkongku itu apabila ke luar ke dunia persilatan, tentu didahului oleh delapan ekor burung garuda hijau yang membuka jalan. Dia masih berada pada jarak beratus-ratus li, orang-orang sudah tahu. Apakah sekarang engkau pernah mendengar engkong muncul di sekitar tempat ini? Bagaimana kedua orang tuaku sampai mati?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar