Pedang Berbunga Dendam Jilid 03

JILID 3

Pui Tiok seorang pemuda yang berhati keras. Tetapi dia berotak terang. Walaupun menderita kegagalan yang cukup pahit, namun dia tak gentar.

Kwan Pek Hong dan isterinya, memang lebih sakti dari dirinya. Tetapi dia tak putus asa. Kemenangan itu bukan semata hanya tergantung dari ilmu silat tetapi dari akal dan taktik.

Setelah berlari meninggalkan kedua tongcu lebih kurang 10 li jauhnya tiba-tiba dia mendengar suara genta berbunyi berdentang -dentang. Dia hentikan langkah dan memandang ke empat penjuru.

Rupanya aku harus mencari tenaga bantuan. Untung waktu mau turun gunung, ayah telah. memberi pesan kepadaku,” katanya seorang diri.

Dia mengeluarkan sebuah kantong dari kulit rusa dan mengambil sebiji gulungan malam (lilin). Saat itu hari sudah malam dan cuaca gelap Sekali. Sekali pijat, malam (lilin) itu hancur dan tangannya seperti menggenggam sinar biru. 

Ternyata gulung lilin bundar macam obat yang dijual di rumah obat Tiong-hoa, bukan berisi obat melainkan bahan bubuk phosporus. Waktu bubuk phosporus itu melumuri tangannya, tangannya memancarkan sinar kebiru-biruan, sepintas seperti tangan setan.

Waktu tangan diayun-ayunkan, sinar biru makin memancar jelas, membentuk sebuah lingkaran sinar. Dengan penerangan itu dia lanjutkan larinya.

Beberapa saat kemudian suara genta itu makin jelas dan dari dalam sebuah hutan lebat, sayup-sayup tampak sederet pagar tembok. Pui Tiok menuju ke tempat itu dan tidak berapa lama tiba di pagar tembok itu.

Ternyata bangunan itu sebuah vihara tua. Di atas pintu yang catnya sudah banyak yang rontok, terdapat papan nama dengan tulisan Lam Peng Ko Si atau vihara tua Lam Peng. Tulisannya juga sudah hampir tak terbaca.

Pui Tiok mengetuk pinta dan menunggu dengan hati berdebar-debar. Beberapa saat kemudian baru dia mendengar suara langkah kaki orang berjalan dengan perlahan-lahan.

Cukup lama Pui Tiok menunggu sampai akhirnya baru terdengar langkah kaki itu berhenti di belakang pintu dan terdengarlah suara orang berseru dengan nada yang aneh, “Siapa itu? Mengapa tengah malam begini mengganggu orang tidur?” “Silahkan membuka pintu dulu, nanti anda tentu tahu,” kata Pui Tiok.

Gerakan orang itu sungguh lamban sekali. Beberapa saat kemudian baru terdengar pintu ber derit dan terbuka sebuah lobang. Pui Tiok cepat menyelinap ke samping sambil mengacungkan tangannya yang memancar sinar phosporus itu ke lubang pintu.

“Ih,” orang itu mendesis, “silahkan masuk.” Sejenak meragu, Pui Tiok lalu melangkah masuk.

Dia tak tahu siapa penghuni dalam vihara tua itu.

Hanya ketika hendak berangkat, ayahnya Pesan, kalau menghadapi soal yang sukar, supaya pergi ke vihara Lam Peng di Hang-ciu. Tetapi kalau berada di wilayah Kangpak boleh pergi ke desa An-ke cung. Saat itu Pui Tiok berada di Hang-ciu maka dia pergi ke vihara Lam Peng.

Jika melumuri tangan-tangannya dengan phosporus, tentu akan diterima penghuni vihara itu. Demikian pesan ayahnya.

Tetapi setelah masuk ke vihara Lam Peng lalu harus bertemu dengan siapa, ayahnya tidak memberi tahu. Oleh karena itu hati Pui Tiok pun berdebar-debar ketika masuk kedalam vihara tua itu.

Setelah masuk baru dia mengetahui bahwa yang membuka pintu tadi ternyata seorang bungkuk.

Sebenarnya orang itu bertubuh tinggi besar maka sekalipun bungkuk, dia hanya terpaut beberapa senti dengan Pui Tiok. Si Bungkuk merentang mata memandang Pui Tiok dengan tajam, mulutnya mendesis lalu berkata, ‘Ikut aku.!”

memang lamban sekali si bungkuk bergerak.

Sebenarnya Pui Tiok tak sabar harus mengikuti di belakang Si bungkuk tetapi apa boleh buat.

Dia menggunakan kesempatan untuk memperhatikan keadaan di sekeliling. Di Belakang pintu besar merupakan sebuah halaman thian-keng yang semua ditutup dengan beton tetapi sekarang suduh hancur dan rusak. Dari sela-sela batu beton yang masih ada, banyak ditumbuhi rumput liar. Disana sini tumbuh batang pohon yang daunnya bertebaran menutup jalan. Sepintas menimbulkan pemandangan yang menyeramkan.

Akhirnya setelah melintasi halaman itu, Pui Tiok masuk kedalam ruang besar. Arca-arca yang dipuja disitu banyak yang sudah ngelontok cat dan pradanya, suatu pertanda bahwa sudah entah berapa tahun vihara itu tak pernah dikunjungi orang. Dan si Bungkuk Itu Juga bukan paderi tetapi orang biasa.

Waktu berjalan menyusur lorong. sudah beberapa kali Pui Tiok hendak menyuruh si Bungkuk mempercepat lankahnya tetapi dia sungkan juga.

Bukankah dia itu sebagai tetamu yang hendak minta tolong si Bungkuk untuk mempertemukan dengan kepala vihara Itu?

Hampir setengah jam lamanya, setelah membiluk pada ujung tikungan, barulah dia tiba disebuah ruangan kecil. Dua lembar pintu yang terbuat dari bambu juga sudah remuk sehingga bagian dalam tampak seram tak pantas ditempati orang si bungkuk menunjuk kemuka dan berseru “silahkan masuk”.

“Dimanaa orang yang harus ku temui itu?” tanya Pui Tiok, “apakah berada di dalam’’

Si bungkuk megangguk lalu berputar tubuh dan ngeloyor keluar. Gerak-gerik orang bungkuk yang lamban itu bukan sengaja tetapi memang sudah pembawaannya begitu.

Pada saat orang bungkuk itu berjalan selangkah, Pui Tiok pun sudah mendorong pintu dan masuk kedalam halaman kecil.

Dibawah cahaya remang dari bintang kemintang. dia melihat bahwa di halaman itu hanya terdapat sebuah kamar yang pintunya tertutup. Sekelilingnya sunyi senyap sehingga mau tak mau menggigil juga perasaan Pui Tiok.

Kalau bukan ayahnya yang menyuruhnya kesitu, tentulah dia tak mau datang ke tempat semacam begitu. Tetapi diapun percaya bahwa ayahnya tak mungkin akan mencelakannya.

Dia mengetuk pintu dan dari dalam terdengar sebuah suara yang parau, mempersilakan dia. Suara itu menimbulkan kesan bahwa orangnya tentu seorang tua renta yang sudah hamper mati. Pui Tiok mendorong pintu dan melangkah masuk. Dalam kamar itu hanya terdapat sebuah bale-bale bambu.

Dan diatas bale-bale bambu itu yang tertutup oleh selambu tebal. Selain itu terdapat lagi sebuah kursi bambu. Jelas orang tua tadi tentulah berada dalam selambu. 

Benar juga begitu Pui Tiok masuk, dari dalam selambu itu terdengar suara orang berkata, “Silakan duduk, tempat ini jelek sekali. Anda dari mana?”

“Wanpwe dan Peh-hoa-nia. Ayah wanpwe adalah Peh Hoa kaucu.”

“Ha,” orang tua itu tertawa, “kiranya putera dari Peh Hoa kaucu, Sungguh seorang anak muda yang gagah. Sahabat lama mempunyai seorang putera begini sungguh membuat orang iri.”

“Terima kasih atas pujian cianpwe, “kata Pui Tiok. “Ada persoalan apa harap duduk dan katakan

dengan tenang,” kata orangtua itu.

Sebenarnya saat itu Pui Tiok sudah kecewa. Dia kira orang yang oleh ayahnya disuruh mencari itu tentulah seorang sakti tetapi siapa tahu ternyata hanya seorang tua yang tinggal di kamar yang begitu buruk dan tak menunjukkan perbawa apa-apa. Dapatkah orang tua semacam itu membantu kesulitannya nanti?

Tetapi karena sudah terlanjur datang, apa boleh buat Pui Tiok harus menunjukkan sikap yang sopan, “Wanpwe menerima perintah ayah untuk menemui Kwan Pek Hong tayhiap. Ada suatu hal yang akan meminta persetujuannya.”

“Hal apa?” tanya orang tua itu.

“Untuk meminta sebuah barang kepada Kwan tayhiap,” kata Pui Tiok, “kalau sampai tak diberikan, ayah suruh wanpwe untuk membawa puteri Kwan tayhiap ke gunung Peh-hoa-nia agar Kwan tayhiap nanti mengambil puterinya sendiri dengan membawa barang itu.”

Kembali orang tua itu tertawa, “Ha, ha, itu betul- betul soal yang sukar. Apakah engkau sudah mencobanya?”

Pui Tiok menghela napas, “Sudah, tetapi beberapa kali tak berhasil. Tadi tengah malam, wanpwe sudah berhasil menyelundup masuk kedalam kamarnya tetapi malah berjumpa dengan Kwan hujin.

Kepandaian Kwan hujin itu rasanya lebih hebat dari Kwani tayhiap.”

“Ooo, masa begitu?’ desis orang tua itu, “ah, mungkin tidak.”

“Sungguh, “ memang begitu,” kata Pui Tiok, “co poan koan yang menyertai wanpwe, kemungkinan tentu kenal Kwan hujin. Begitu melihat Kwan hujin, dia begitu ketakutan sampai pingsan. Setelah siuman dia telah seperti orang yang kehilangan kesadaran pikirannya.”

Dari dalam selambu tak terdengar suara apa-apa.

Beberapa saat kemudian waktu Pui Tiok hendak bicara, terdengar orang tua itu bertanya, “Lalu bagaimana maksudmu?”

“Wanpwe tetap hendak melakukan perintah ayah, membawa puteri Kwan taiyhiap ke Peh-hoa- nia.

Entah apakah cianpwe sudi membantu?”

“Ini… ini….. aku akan berusaha sekuat tenagaku,” kata orang tua Itu tersendat-sendat, “tetapi kalau hanya aku seorang kemungkinan sukar berhasil. Aku tak punya pembantu. Bagaimana dengan kepandaianmu sendiri? Coba ulurkan tanganmu kedalam selambu, aku hendak mengujimu….“

Sampai saat itu Pui Tiok, hanya mendengar suara tetapi tidak melihat orangnya. Orang tua itu menyuruhnya mengulurkan tangan kedalam kelambu,. kalau dalam selambu itu sudah disiapkan senjata tajam, bukankah tangannya nanti akan kutung?

Pui Tiok seorang yang pintar dan teliti tetapi entah bagaimana saat itu walaupun sudah menaruh kecurigaan namun dia menurut perintah juga untuk mengulurkan tangannya,

Pikirnya, dia kesitu atas perintah ayahnya dan menilik nada kata-katanya, orang aneh itu seperti bersahabat baik dengan ayahnya, tentu tak mungkin akan mencelakai dirinya, Namun sekalipun begitu, diam-diam dia kerahkan hawa murni untuk menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangan.

Pui Tiok hendak menjaga kemungkinan yang tak diinginkan. Kalau terjadi sesuatu, dia cepat dapat menghadapi. Dan perintah orang itu supaya dia mengulurkan tangan, jelas tentu akan menguji tenaga dalamnya.

Pada saat dia ulurkan tangan serentak dia merasa ada tiga buah jari tangan menyentuh tangannya. Dan tiga jari itu mengalir arus tenaga yang keras dan begitu membentur, tangannya Seperti tersedot. “Coba engkau kerahkan tenagamu untuk meronta, apakah engkau mampu melepaskan tangan mu,” serempak orang tua itu berkata.

Bagaimanapun Pui Tiok itu masih seorang pemuda yang berdarah panas, mendengar perintah semacam itu, diam-diam dia marah.

“Hm. ketiga jarimu itu hanya membentur telapak tanganku dan tak mampu menyedot, mengapa aku tak dapat membebaskan tanganku? Apakah ini tidak berarti menghina aku?“ pikirnya.

Sambil menimang dia terus menarik tangannya tetapi uhh..,. ternyata tangannya itu tak

dapat lepas dari ketiga jari orang. Diam-diam dia menjadi tegang lalu menambahkan tenaga dalam lagi sampai delapan bagian. Setelah itu dia menarik sekuat kuatnya.

Ahh . … ternyata ketiga jari orang tua itu tak ubah seperti besi sembrani (magnit) yang luar biasa kuatnya. Setitikpun dia tak mampu melepaskan tangannya.

Saat itu Pui Tiok benar-benar terkejut sekali. “Cukup,” tiba-tiba orang tua itu berseru, “tingkat kepandaianmu ternyata lebih dari yang kuduga”. Benar-benar seorang angkatan muda yang penuh harapan!“

Dua kali meronta dua kali gagal, sebenarnya Pui Tiok sudah marah sekali. Tetapi karena orang berkata begitu, dia menjadi tersipu-sipu malu sendiri sehingga mukanya merah. 

“Cianpwe sungguh luar biasa” katanya!, baru pertama kali ini wanpwe dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Wanpwe sungguh kagum sekali!”

Orang tua itu tertawa gelak-gelak, “Waktu engkau masuk kemari, tentu engkau memandang rendah kepadaku, bukan?“

Sudah tentu Pui Tiok menyengir tetapi dia seorang pemuda cerdas. Karena orang sudah menuduh begitu percuma saja dia menyangkal.

“Itu karena pengalaman wanpwe masih sempit,” katanya dengan tertawa kikuk, “mohon cianpwe suka memberi maaf.”

Kembali orang tua itu terbahak-bahak, “Ah, tak perlu, tak perlu. Engkau belum tahu rupaku, kalau sudah tahu mungkin engkau makin tak memandang mata lagi!“

“Ah, tak nanti wanpwe berani bersikap begitu,” Pui Tiok gopoh menjawab, “kepandaian cianpwe begitu sakti, bagaimana aku….“

Tiba-tiba dia hentikan kata-kata karena saat itu selambu tersingkap dan dalam selambu itu seorang tua kate melangkah turun, itulah sebabnya Pui Tiok tertegun dan tak melanjutkan kata katanya.

Orang tua itu hanya satu meter tingginya badannya kurus kering, mengenakan pakaian kain kasar yang berwarna abu-abu lusuh. Mukanya penuh dengan kerut, rambut jarang-jarang, sepintas menyerupai seorang desa yang bodoh, sedikitpun tak menampilkan perbawa seorang ko-jiu.

“Cianpwe benar-benar seorang yang luar biasa, orang awam tentu takkan meugetahui, “Pui Tiok paksakan tertawa.

Kembali orang tua kate itu tertawa, “Sungguh seorang anak muda yang baik. Sungguh, beruntung si lo-koay mempunyai anak seperti engkau Kalau tahu punya anak itu merupakan kebahagiaan, dulu-dulu aku tentu sudah mengambil isteri.”

Mendengar itu Pui Tiok terpaksa tertawa, “kalau cianpwe tak menolak, ijinkanlah wanpwe berbahasa dan menjalankan penghormatan sebagai keponakan katang.”

Orang tua kate itu tertawa, “Jangan mengambil keputusan sendiri. Minta ijin dulu kepada ayahmu baru nanti kita bicara lagi.”

“Cianpwe bersahabat baik dengan ayah, sudah tentu ayah takkan berkeberatan,” kata Pui Tiok.

Orang tua kate itu tertawa gelak-gelak, bahkan kali ini dia tertawa terkial-kial sampai tubuhnya berguncang keras. Sudah tentu Pui Tiok tercengang Dia merasa omongannya tadi tak ada yang lucu.

Memang Pui Tiok tak tahu siapakah orang tua kate itu. Dia hanya tahu bahwa yang dihadapannya itu seorang tua yang sakti. Tetapi karena ayahnya memerintahkan dia untuk mencarinya maka dia menganggap orang tua itu tentu seorang sahabat baik ayahnya. 

Setelah tertawa beberapa saat, barulah orang tua kate itu berkata. “Engkau kira dengan ayahmu si lokoay itu bersahabat baik?“

Pui Tiok terlongong, katanya, “Sudah tentu wanpwe menganggap begitu. Beliau memberi pesan kepada wanpwe, kalau ada kesulitan supaya wanpwe menemui cianpwe kemari”

“Benar,” orang tua itu mengangguk, dia suruh engkau datang kepadaku itu hanya suatu pernyataan kalau dia mau menundukkan kepala kepada aku. Dia tahu perangaiku bahwa aku pasti takkan menolak.

Pada hal sebenarnya dengan ayahmu itu aku bermusuhan, musuh bebuyutan!“

Mendengar keterangan itu Pui Tiok terlongong- longong seperti kehilangan faham. Benar-benar hal itu tak pernah diduganya. Walaupun dia cerdik tetapi dalam menghadapi saat seperti saat itu, dia benar- benar kehilangan faham.

Pak tua cebol tertawa, “Tetapi engkau tak perlu kecewa. Walaupun. dengan ayahmu si lokay itu aku tak senang tetapi terhadap sikapmu. aku mempunyai kesan baik. Tadi engkau bilang apa? Mau membawa puteri Kwan Pek Hong pulang ke Peh-hoa-nia?“

Diam-diam Pui Tiok menghela napas longgar.

Memang benar kata orang bahwa orang-orang sakti itu kebanyakan tentu mempunyai watak aneh. Tak peduli ayahnya bermusuhan dengan pak tua itu, tapi karena pak tua cebol itu menyatakan mau membantunya, itu sudah cukup. “Ya,” sahutnya.

Pak tua cebol itu mengambil pipa bambu, setelah menyulut lalu menghisapnya. Dalam sikap seperti itu sepintas dia memang lebih banyak menyerupai seorang desa dari pada seorang tokoh yang sakti.

Beberapa saat kemudian baru dia berkata, “Memang kepandaian Kwan Pek Hong hebat tetapi jangan kuatir. Rasanya aku masih dapat menghadapinya dan memikat dia supaya mau meninggalkan rumah. Nah, pada saat itulah engkau lakukan rencanamu. Tetapi tadi engkau mengatakan kalau Kwan hujin Itu lebih sakti dari suaminya oleh karena itu engkau harus hati-hati. Begini saja, kalau engkau mau, akan kubawamu masuk kedalam gedung keluarga Kwan untuk menyelidiki keadaan disitu.”

Serentak teringatlah Pui Tiok pengalaman pahit yang dideritanya ketika coba-coba menyelundup kedalam gedung keluarga Kwan. Mendengar tawaran pak tua cebol, dia menggigil ketakutan.

Pak tua cebol itu terbahak-bahak, “Pui lotit Taruh kata aku tak dapat membantumu dengan penuh tetapi masa kalau hanya melindungi dirimu saja aku tak mampu? Hm, jangan terlalu memandang hina kepadaku!“

Mendengar orang kurang senang, buru-buru Pui Tiok berkata, “Bukan begitu, wanpwe sudah dua kali dilempar keluar dari gedung keluarga Kwan Kalau pergi lagi ke sana…. sungguh memalukan rasanya.”

“Ngaco!“ damprat pak tua cebol, “karena engkau hendak menculik puterinya masa mereka engkau suruh harus menghormat kepadamu! Hayo apakah engkau tak mau segera berangkat sekarang!”

Habis berkata pak tua cebol itu terus melangkah keluar.

Bagaimanapun yang akan terjadi tetapi rasanya baik kalau aku mengikutinya, pikir Pui Tiok. Dia terus mengikuti melesat keluar. Dalam sekejab saja kedua orang itu sudah keluar dari vihara tua.

Saat itu, hari sudah mulai terang. Pui Tiok melihat pak tua cebol yang berjalan di muka itu tampak pelahan sekali jalannya oleh karena itu diapun lambatkan langkahnya.

Tetapi begitu dia lambatkan langkah, segera dia tahu kalau jaraknya dengan pak tua cebol itu tambah jauh. Dia memandang kemuka, dilihat nya pak tua cebol itu masih tetap berjalan santai seperti tadi. Pui Tiok terkejut Sekali. Buru-buru dia lari mengejar.

Tetapi jarak kelambatan yang terjadi tadi antara dia dengan pak tua cebol, masih tetap tak dapat terkejar. Jaraknya masih tetap dua tombak jauhnya. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk lari cepat, tetap tak dapat menyusul. Dan anehnya, pak tua cebol itu tetap selangkah demi selangkah berjalan dengan santai.

Saat itu Pui Tiok benar-benar kagum sekali. Dia menyadari kalau ilmu ginkang pak tua cebol itu benar- benar sudah mencapai tataran yang sangat tinggi.

Diam-diam besarlah hati Pui Tiok. Dia merasa kepergiannya kali ini dengan pak tua cebol itu tentu akan berhasil. Lebih kurang setengah jam kemudian, keduanya sudah tiba di gedung keluarga Kwan. Pak tua cebol itu langsung melangkah ke arah pintu besar Melihat itu sudah tentu Pui Tiok tertegun dan buru-buru berseru, “Cianpwe, harap berhenti dulu.”

Pak tua cebol itu berhenti “Ada apa?”

“Cianpwe, itu pintu besar keluarga Kwan,” kata Pui Tiok.

“Ya, kutahu,” jawab pak tua cebol, “bukankah kita hendak menemui Kwan Pek Hong? Kalau tidak keluar pintu besar, habis apakah harus jalan pintu samping?’

“Ini…. ini …. apakah cianpwe lupa kalau kita datang kemari hendak merencanakan mengambil puterinya?“

“Uh, ngomong apa engkau ini! Bagaimana aku bisa lupa? Bukankah tadi sudah kukatakan kalau urusan ini aku yang tanggung semua? Mengapa engkau masih ribut-ribut tak keruan? Hm ”

Pui Tiok tertawa meringis, “Cianpwe. kalau mau menangkap puterinya apakah kita harus masuk dan berjalan lenggang lenggok dari pintu besar Apakah itu tidak…. tidak… over-akting?”

Pak tua cebol tertawa, “Sau -lotit, dalam mengerjakan sesuatu, seumur hidup aku tak suka main sembunyi -sembunyi. Jangan harap engkau dapat mengajarkan aku supaya menyaru jadi tukang kebun atau membuat terowongan dibawah tanah yang tembus ke kamarnya” Mendengar itu merahlah muka Pui Tiok. Diam-diam dia mendengus dalam hati, “Hm, aku bermaksud baik memperingatkan engkau mengapa malah menyindir aku. Kalau engkau mau masuk melalui pintu besar sudah tentu nanti akan berhadapan dengan Kwan Pek Hong suami istri. Dan kalau engkau bertempur dengan mereka, aku sih tinggal melihat saja. Kalau melihat engkau bakal kalah, aku akan meloloskan diri lebih dulu….. .

Sebagai seorang pemuda yang cerdik dan licik, cepat sekali di wajah Pui Tiok sudah tenang kembali. Dia tertawa, “ya, karena sudah dua kali terbentur tembok maka aku agak jera sehingga menguatirkan cianpwe.”

Pak tua cebol tertawa meloroh seraya terus melangkah masuk ke pintu besar. Pui Tiok terpaksa mengikutinya, Lebih. kurang 2 meter akan tiba di pintu besar, keempat penjaga pintu segera berseru, “Berhenti “

Pak cebol tertawa, “Kami hendak menghadap Kwan tayhiap, harap anda suka memberitahukan!”

Dua dari keempat penjaga itu balikkan biji mata dan memandang pak tua cebol dengan tak berkelip. Tetapi mereka bersikap menghormat karena melihat Pui Tiok berpakaian bagus seperti seorang kongcu (anak hartawan).

“Harap kongcu suka tunggu dulu,” kedua penjaga itu gopoh berkata,” aku segera masuk melapor pada majikan.” Yang minta menghadap pak tua cebol yang dijawab Pui Tiok. Jelas kedua penjaga itu tak memandang mata kepada pak tua dan menganggapnya tentu budak dari Pui Tiok.

Diam-diam Pui Tiok mengeluh. Dia kira kedua penjaga itu tentu akan mendapat persen pil pahit dari pak tua cebol. Tetapi diluar dugaan ternyata pak tua cebol itu hanya tertawa sedikitpun tak marah.

Sudah tentu legalah hati Pui Tiok dan diam-diam dia malu dalam hati karena menduga

orang salah. Dia mengukur pribadi orang menurut ukuran seorang siau-jin Seorang sakti seperti pak tua cebol tentu akan marah karena tak di pandang mata oleh penjaga pintu. Tetapi ternyata tidak. Hal itu menunjukkan kebesaran peribadi pak tua cebol sebagai seorang sakti sejati.

Tak berapa lama kedua penjaga itupun muncul dari pintu besar segera dibuka lebar-lebar. Seorang pria melangkah keluar. Melihat itu terkesiaplah hati Pui Tiok. Pria yang keluar itu bukan lain adalah Si Ciau.

Waktu berdiri di ambang pintu, Si Ciau juga tak memperhatikan pak tua cebol. Pak tua cebol itu memang tak menunjukkan kewibawaan apa-apa, apalagi dia berdiri disamping Pui Tiok sudah tentu dikira kalau pengiringnya.

“Pui kongcu,” kata Si Ciau, “mengapa engkau datang hendak mengganggu lagi? Apakah itu layak bagi pribadi seperti engkau? Kurasa tak perlu engkau bertemu suhuku, lebih baik segera tinggalkan tempat ini saja.” 

Pui Tiok tersipu-sipu dan tak dapat berkara apa-apa Untung pak tua cebol itu yang menyambut, “Anda salah faham. Bukan dia yang mau bertemu Kwan tayhiap tetapi aku.”

sudah tentu Si Ciau terbeliak. Dia baru menyadari dan memperhatikan bahwa yang berada di samping Pui Tiok seorang pak tua cebol, “Siapakah anda ini? Perlu apa hendak menemui suhuku?”

Tidak langsung menjawab, tetapi pak tua cebol itu mengomel sendiri, “Ah, menemui Kwan tayhiap saja kok begini sukar. Segera dia masuk dan katakan kepada Kwan tayhiap kalau aku hendak bertemu, mengapa perlu tanya apa-apa lagi!”

Si Ciau tak senang hati, “Tetapi anda harus memberi tahu siapa nama anda lebih dulu baru nanti kuberi tahukan kepada suhu.”

tua cebol tertawa, “Namaku engkau tak layak mendengar, hanya Kwan tayhiap yang layak tahu.”

Si Ciau marah, serunya kepada Pui Tiok, “Pui kongcu, sebaiknya engkau datang sendiri saja kalau mau mengganggu. Mengapa harus membawa orang yang tak tahu adat begini? Lekas tinggalkan tempat ini!”

Pak tua cebol menghela napas, “Sau-lotit, tampaknya sahabat ini tak mau melaporkan. Kalau begitu terpaksa kita masuk sendiri saja. Mari, kita masuk. . Dia ulurkan tangan memegang lengan Pui Tiok terus diajak masuk.

“Berhenti…….!” Si Ciau membentak tetapi belum dia menyelesaikan kata-katanya, kedua tetamu sudah tiba di hadapannya dengan diiringi segulung arus tenaga yang melandanya sehingga dia tak dapat bernapas lalu kakinya serasa terangkat dan tahu-tahu tubuhnya terlempar jatuh.

Waktu Si Ciau bangun dia hampir tak tahu apa yang telah terjadi tadi. dia berpaling kedalam. Dilihatnya Pui Tiok dan pak tua cebol itu sudah melintas halaman dan melangkah kedalam ruang besar.

Cepat dia lari menyusul seraya berteriak, “Hai, kalian berdua, mengapa tak diundang berani masuk? Mau apa kalian ini?“

Selekas dia masuk kedalam ruang besar, dilihatnya Pui Tiok dan pak tua cebol itu sudah duduk santai.

“Kami hanya ingin bertemu Kwan tayhiap, karena anda tak mau melaporkan maka terpaksa kami masuk sendiri,” pak tua cebol itu tertawa.

Si Ciau terkejut sekali. Dia marah, serunya, “Dengan tindakan anda ini, jelas anda tidak memandang mata kepada Kwan tayhiap!”

Pak tua itu gerakkan kedua tangan, “Harap anda jangan bicara sembarangan saja. Dari jauh kami perlu berkunjung, mengapa engkau bilang kami tak menghormati Kwan tayhiap.? Sebaliknya engkau sendiri yang tak mau melapor, apa itu bisa dianggap kalau mengindahkan guru?“ 

Si Ciau makin marah. Maju dua langkah ke muka pak tua cebol, dia terus menerkam bahu orang tua itu. cret…

Terkamannya tepat. Si Ciau gembira sekali. dia terus membentak keras, “Berdiri ….!“

Dia mengira sekali angkat tentulah tubuh pak tua yang cebol itu akan terangkat seperti mengangkat seekor ayam saja. Tetapi diluar dugaan, mata Siu Ciau mendelik kaget karena dia tak mampu mengangkatnya. Pak tua cebol itu masih tetap duduk di kursinya, memandangnya dengan santai.

Sudah tentu Si Ciau tersipu-sipu, marah dan kaget. Dia kerahkan tenaga lagi sampai sembilan bagian. dan dengan membentak keras, dia pun mengangkatnya pula.

Si Ciau yakin dengan tenaganya itu dia dapat mengangkat singa batu seberat tiga sampai lima ratus kati beratnya. Tetapi ternyata tubuh pak tua cebol yang paling banyak hanya seberat lima sampai enampuluh kati, sedikitpun tidak bergeming

sama sekali dari tempat duduknya. Malah pak tua cebol itu memandangnya dengan tersenyum.

Wajah Si Ciau merah seperti kepiting direbus. Pada saat dia tercekik dalam kesulitan, sekonyong-konyong dari pintu terdengar angin menderu keras ke arahnya dan menyusul sesosok tubuh melesat masuk dan terus berdiri tegak seperti patung. “Si Ciau, mengapa masih tak lekas mundur?” bentak pendatang itu dengan suara yang berkumandang perkasa. Orang itu bukan lain adalah Kwan Pek Hong.

Mendengar bentak suhunya, Si Ciau cepat lepaskan cengkeramannya dan mundur selangkah.

“Engkau minta maaf kepada ik-jin (orang sakti) ini dan haturkan terima kasih karena dia tak mau turun tangan kepadamu,” seru Kwan Pek Hong pula.

Si Ciau tercengang. Dia penasaran sekali Tetapi waktu berpaling dan melibat wajah suhunya sangat serius memandangnya, terpaksa dia lakukan perintahnya juga.

“Tadi aku telah berlaku kurang adat, harap anda jangan marah,” katanya. Sambil berbicara dia mundur ke samping Kwan Pek Hong. Kwan Pek Hong sekonyong-konyong memegang pergelangan tangan Si Ciau dengan tiga buah jarinya. Sudah tentu Si Ciau terkejut bukan kepalang.

Setelah beberapa saat kemudian, terdengar, Kwan Pek Hong menghela napas longgar.

“Kwan tayhiap,” pak tua cebol tertawa, selamanya aku tak pernah melakukan hal-hal yang gelap. Diam- diam mengerahkan tenaga-da1am untuk melukai orang, tak mungkin aku mau melakukan harap engkau jangan kuatir!“

Kwan Pek Hong tersipu tak enak hati mendengar ucapan pak tua cebol, dia berkata dengan nada dingin, “Ah, hati manusia itu sukar diduga,” 

Saat itu baru Si Ciau tahu mengapa suhunya memegang pergelangan tangannya, ialah karena hendak memeriksa apakah dia terluka dalam. Seketika itu dia mendapat kesimpulan bahwa pak tua cebol itu seorang ko-jin yang berilmu tinggi Teringat apa yang dilakukannya tadi, diam-diam dia kucurkan keringat dingin.

“Hm, sungguh seorang manusia yang sukar diduga hatinya!“ pak tua cebol mengulang kata-kata. Kwan Pek Hong, “aku lancang datang kemari kiranya “Kwan tayhiap tentu tak menyalahkan bukan?“

Dengan tenang Kwan Pek Bong maju dua langkah dan tertawa dingin, “Kalau ada orang yang tanpa ijin terus masuk kedalam rumah anda, anda akan menyalahkan orang itu atau tidak?”

Pak tua cebol menghela napas, “0, kiranya Kwan tayhiap menyalahkan hal itu. Pui lotit, kalau Kwan tayhiap marah, soal yang hendak kita kerjakan tentu sukar. Harus mendapat ijin Kwan tayhiap saja.”

Mendengar itu diam-diam Pui Tiok mendesah. Hm, turun kata tuan rumah tidak marah, apakah dia mau meluluskan permintaanmu yang hendak minta anak perempuannya?

“Ya, ya,” sekalipun dalam hati mengeluh tapi Pui Tiok terpaksa menyahut juga, “cianpwe kalau begitu lebih baik kita pulang saja”

“Salah,” pak tua cebol geleng kepala, “karena sudah terlanjur datang, mengapa tidak mencobanya?“ Mendengar pembicaraan mereka yang tak berkepala dan tak berekor itu, timbullah kecurigaan dalam hati Kwan Pek Hong Dia segera menegur, “Apakah maksud kedatangan kalian ini?‘

“Akulah yang terpaksa menongol,” kata pak tua cebol, “Pui lotit ini tentu Kwan tayhiap sudah kenal, Dia hendak membawa puterimu ke gunung Peh-hoa- nia. Karena dua kali gagal lalu dia minta tolong kepadaku. Kedatangan kami kemari tak lain juga karena hal itu.

Dalam membawakan kata-kata itu sikapnya amat ramah dan tersenyum seolah seperti apa yang dikatakan itu hanya mengenai soal kecil saja.

Begitu mendengar sebenarnya Kwan Pek Hong hendak marah tetapi karena persoalannya begitu tiba- tiba sekali, dia sampai tak sempat marah lagi, kebalikannya malah tertawa gelak-gelak.

“Mengapa Kwan tayhiap tertawa?“ tegur pak tua cebol.

Kwan Pek Hong hentikan tawa dan berseru, “Sungguh susah dipercaya bahwa dalam kehidupan itu hati manusia takkan merasa tua. Tak kira kalau dalam jaman ini masih ada orang seperti anda, mau mengorbankan diri untuk sahabat. Sungguh sukar dicari keduanya!”

Pak tua cebol ikut tertawa, “Ah, jangan kelewat menyanjung. kata pak tua cebol.” kalau begitu, harap segera memberitahu dimana sekarang Kwan siocia berada, agar siau lotit ini dapat mengajaknya ke Peh- hoa-nia.” 

“Baik mari ikut aku,” kata Kwan Pek Hong seraya ulurkan tangannya. Rupanya hendak menerkam lengan pak tua cebol untuk diajak masuk menemui Kwan Beng Cu.

Tetapi sebenarnya waktu mengulurkan tangan itu Kwan Pek Hong telah menyalurkan tenaga- murni ke lengannya. Dia menyadari bahwa karena berani begitu garang masuk ke gedung kediamannya dan secara terus terang hendak minta puterinya, tentulah pak tua cebol itu mempunyai modal kepandaian yang sakti.

Maka begitu ulurkan tangan dia segera menggunakan delapan bagian tenaganya agar pak tua cebol itu mendapat malu.

Tampaknya pak tua cebol itu santai-santai saja seperti tak tahu akan bahaya yang mengancamnya. Dia berbangkit, ulurkan tangan untuk menyambut uluran tangan tuan rumah.

Melihat itu Pui Tiok yang menyaksikan di pinggir menjadi kebat-kebit hatinya. Dia tahu bahwa kedua tokoh yang akan berjabatan tangan Itu sebenarnya hendak saling menguji tenaga- dalam.

“Wah, kalau pak tua itu sampai tak kuat. Kwan Pek Hong tentu akan menangkap aku Lagi,” Pui Tiok menjadi gelisah.

Pada saat kedua orang itu saling berjabat tangan, pak tua cebol tertawa, Orang-orang memuji kalau Kwan tayhiap itu seorang yang lapang dada dan ramah sekali. Apa yang kusaksikan hari ini, memang sesuai dengan kenyataannya. Bahwa saat ini tanpa terduga-duga aku telah menerima sambutan hangat dari Kwan tayhiap, kelak apabila Kwan tayhiap memerlukan sesuatu, aku tentu akan membalas budi.

Tampak pak tua cebol itu tenang-tenang saja seperti tak mengalami apa-apa. Sedang Kwan Pek Hong wajahnya pucat kebiru-biruan. Melihat itu Pui Tiok girang sekali.

Sebagai seorang persilatan, dia tahu bahwa dalam menguji tenaga dalam itu, pak tua cebol lebih unggul. Dan penilaian Pui Tiok itu memang benar.

Waktu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, semula Kwan Pek Hong mengira, pak tua cebol itu tentu tak dapat tertawa lagi. Kalau masih tertawa tentu juga tertawa meringis.

Begitu saling berjabat tangan Kwan Pek Hongpun segera melancarkan gelombang tenaga sakti yang hebat. tetapi dia terkejut sekali karena pancaran tenaga- saktinya itu tidak mengenai pada sasaran melainkan seperti mengalir di laut bebas.

Dalam beberapa jenak, tenaga sakti yang dipancarkan itu entah lenyap kemana saja. Sudah tentu Kwan Pek Hong terkejut bukan kepalang, Sejak beberapa tahun terjun ke dunia persilatan. entah sudah berapa banyak jago-jago sakti yang dihadapinya tetapi selama itu belum pernah dia mengalami hal yang seaneh saat ini.

Dia menghimpun napas lalu melancarkan Lagi segulung ombak tenaga sakti untuk menyerang. tetapi nasibnya juga serupa tadi, tetap seperti mengalir kedalam laut. Dahi Kwan Pek Hong tanpa disadari telah mengucurkan keringat. Hal itu tak Lepas dari perhatian Pui Tiok maka dia menganggap bahwa pak tua cebol berada diatas angin.

Tiba-tiba pak tua cebol tertawa meloroh dan lepaskan tangannya, “Maaf, maaf…”

Sudah tentu muka Kwan Pek Hong merah padam. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, pak tua cebol sudah berkata lagi. “Sebenarnya, pui lotit itu sangat berhati-hati. Dia mengatakan hendak membawa puteri anda ke gunung Peh hoa nia, sudah tentu dia bertanggung jawab penuh atas keselamatannya. Rasanya si lokoay memang mau cari alasan untuk bertemu dengan anda, mengapa anda tak mau meluluskan permintaan Pui lotit saja?“

Merah muka Kwan Pek Hong. Sudah tentu dia tak dapat meluluskan begitu saja permintaan orang.

Tetapi dalam berjabat tangan tadi, dia telah menguji dan mengetahui bahwa pak tua cebol itu memiliki tenaga dalam yang sukar diduga dalamnya,

Sejenak menimang, wajahnyapun tenang kembali, katanya, “Soal itu sudah tentu. aku tak keberatan., Kalau anak perempuanku dapat berkenalan dengan Pui kongcu. memang suatu hal yang baik.”

“Kalau begitu, kita tetapkan saja,” pak tua cebol tertawa.

“Belum bisa dianggap resmi pernyataanku ini,” kata Kwan Pek Hong, “anak perempuanku itu tak dapat berpisah dengan mamanya. Kalau menghendaki anakku pergi ke Peh-hoa-nia, sudah tentu harus mendapat perkenan dulu dari mamanya.

“Bagus, kalau begitu harap silakan Kwan hujin keluar.”

Kwan Pek Hong memberi kicupan mata kepada muridnya. “Si Ciau,.. undanglah subo dan sumoaymu kecil itu keluar kemari.”

Tadi Si Ciau juga memperhatikan bahwa dalam adu tenaga dalam dengan pak tua cebol itu, suhunya telah kalah. Serentak dia teringat bagaimana tadi dia hendak mencengkeram bahu pak tua cebol itu. Kalau pak tua cebol itu bermaksud hendak mencelakainya, uh sungguh berbahaya. Dia mengkirik.

Mendengar perintah suhunya, Si Ciaupun mengiakan dan bergegas masuk kedalam.

“Menurut keterangan Pui lotit, Kwan hu-jin sakti sekali kepandaiannya, benarkah begitu?“ tanya pak tua cebol.

“Ah, tidak.” kata Kwan Pek Hong,” masa wanita dapat menguasai ilmu kepandaian yang tinggi mendiang ayahnya memang hebat.”

Mendengar itu diam-diam Pui Tiok memaki Kwan Pek Hong hendak memutarbalikkan fakta. Sedang begitu melihat Kwan hujin saja, Co-poan-koan sudah ketakutan dan semaput kemudian setelah sadar masih seperti orang berobah pikirannya, mengapa Kwan Pek Hong mengatakan lain. “Ooo, begitu desuh pak tua cebol, memang jarang sekali kaum persilatan yang tahu hal itu.

“Isteriku memang jarang menemui orang,” kata Kwan Pek Hong, “sudah tentu orangpun tak tahu. Semisal dengan anda sendiri yang berkepandaian begitu sakti tetapi rasanya jarang sekali orang persilatan yang kenal akan asal usul anda.”

Pak tua cebol tertawa, “Ah, aku ini apa sih Menang benar-benar tak berharga dikemukakan,

Baru berkata sampai disitu tiba-tiba dia hentikan kata-katanya. Karena pada saat itu dia sudah menangkap ada suara Kwan hujin yang tak Sedap, berteriak marah, “Apa? budak she Pui itu berani datang lagi? Apa dia benar-benar tak takut mati?‘

Pada lain saat tampak nyonya itu dengan wajah bengis sedang berjalan memasuki ruang besar seraya memimpin puterinya.

Mendengar suara nyonya itu, bulu roma Pui Tiok sudah bergidik ngeri. Dan ketika Kwan hujin memasuki ruang, beradu pandang dengan Pui Tiok, anak muda itu sudah seperti duduk di kursi yang penuh jarum.

Pui tiok merasa pandang mata nyonya itu berkilat- kilat setajam sinar pedang berkelebat menyambarnya.

“Pui kongcu’ tegur nyonya itu, “waktu tempo hari engkau masuk kemari secara menggelap aku pernah berkata bagaimana kepadamu? Ketahuilah, bahwa aku juga selalu melakukan apa yang sudah kukatakan. Kali ini engkau memang hendak cari liang kubur sendiri,” 

Bukan saja wajahnya buruk, pun nada suara Kwan hujin itu seramnya bukan main sehingga membuat bulu kuduk mengkirik. Walaupun Pui Tiok bernyali besar dan selalu tenang dalam melakukan sesuatu, tetapi dalam saat seperti itu mau tak mau dia menjadi gugup juga.

Cepat dia berdiri dan berseru, “Kwan hujin kali ini bukan… bukan aku yang bermaksud datang kemari.”

Sambil berkata dia berpaling ke arah pak tua cebol.

Dia terlongong karena saat itu pak tua cebol juga berdiri dengan sikap menghormat. Biasanya tentu selalu mengulum senyum tetapi saat itu Ternyata tampak seperti orang ketakutan menundukkan kepala seperti seorang pesakitan berhadapan dengan hakim…….

Melihat sikap pak tua cebol itu diam-diam Pui Tiok megeluh dalam hati. Jelas pak tua itu tentu kenal pada Kwan hujin dan ketakutan seperti Co-poan-koan tempo hari. Hanya bedanya kalau Co-poan-koan begitu melihat terus pingsan sedang pak tua cebol karena kepandaiannya lebih tinggi, tak sampai rubuh.

Menyadari keadaan saat itu telinga Pui Tiok mendengus keras seperti disambar halilintar.

Tadi dia menyaksikan sendiri bagaimana kepandaian pak tua cebol itu lebih tinggi dari Kwan Pek Hong. Dia gembira sekali. Tetapi Sekarang setelah tahu keadaan pak tua cebol dikala berhadapan dengan Kwan hujin, Pui Tiok sudah putus asa dan menganggap kalau dirinya tentu celaka. “Ho, kiranya engkau!“ tiba-tiba Kwan hujin berseru dingin kepada pak tua cebol.

“Ya, ya, aku,” pak tua cebol gopoh mengiakan. “Apa engkau masih kenal aku?”

Wajah pak tua cebol seketika berobah lesi, “Kenal, sudah tentu kenal.”

“Lalu sekarang engkau mau apa?“

Dengan wajah murung seperti jago kalah, pak tua cebol berkata “Aku segera pergi dan membawa Pui lotit”

“Kentut!” teriak Kwan hujin.

Wajah pak tua cebol itu berubah, serunya, “Ya, aku rela menerima hukuman.”

Kwan hujin berkata dengan nada dingin, “Mengingat baru pertama kali ini engkau datang dapat dianggap tidak mengerti maka tidak dapat dianggap tidak mengetahui maka tidak dapat dipersalahkan. Engkau boleh pergi, tetapi budak she Pui itu, harus tinggal disini!“

Saat itu darah Pui Tiok serasa berhenti. Rasa takutnya sudah penuh menyesakkan hatinya Pak tua cebol yang sakti sekali kepandaiannya tetapi begitu berhadapan dengan Kwan hujin, dia ketakutan setengah mati. Dan waktu mendengar Kwan hujin mengatakan kalau pak tua itu boleh pergi, tentulah segera akan terbirit-birit pergi dan takkan mempedulikan dirinya (Pui Tiok) lagi. 

Tetapi diluar dugaan walaupun dengan wajah terkejut tetapi pak tua cebol itu berani membantah, “Kali ini bukan kemauannya tetapi akulah yang membawanya kemari.”

“Hm, kalau begitu engkau bermaksud hendak memamerkan kegagahan dihadapannya?” seru Kwan hujin.

Pak tua cebol tertawa kecut, “Hamba tak berani, Tetapi memang benar aku yang mengajaknya kemari. Kalau dia disuruh tinggal di sini dan hamba pergi, menurut kelayakan, aku dianggap tidak konsekwen.”

Kwan hujin bercekak pinggang, serunya “Baik, lalu engkau hendak bagaimana?“

“Kuharap…. kuharap agar sudi memberi kelonggaran untuk membebaskan dia, agar perasaan ku longgar.”

Dalam meminta penegasan kepada pak tua cebol tadi, tampaknya Kwan hujin bersikap memberi kelonggararan oleh karena itu maka pak tua berani mengemukakan permintaannya. Tetapi di luar dugaan baru dia ber kata begitu, wajah Kwan hujin berobah gelap seketika. 

“Sudah kukatakan.” katanya dengan bengis. dia harus tinggal disini dan engkau boleh pergi, mengapa engkau masih banyak bicara?“ Wajah pak tua cebol makin tak sedap dipandang.

Melihat itu Pui Tiok makin habis harapannya. Tak mungkin dia dapat lolos lagi.

Walaupun ketakutan terhadap Kwan hujin tetapi pak tua itu bagaimanapun juga. tetap seorang jago sakti. Mengapa tak menolongnya dari kesulitan yang dihadapinya saat itu? Bukankah pada lain hari masih dapat bertemu lagi dengan dia? Demikian Pui Tiok mempertimbangkan situasi yang dihadapinya saat itu.

“Cianpwe,” serunya setelah mengambil keputusan, “atas kehendakku sendiri maka aku bersama-sama cianpwe datang kemari. Karena Kwan hujin menghendaki supaya aku tinggal disini dan minta cianpwe supaya tinggalkan tempat ini sendiri, kuharap cianpwe tak usah menghiraukan diriku dan silakan pergi. Tak perlu cianpwe mencemaskan diriku.”

Pak tua cebol berpaling memandang Pui Tiok mau bicara tetapi tidak jadi.

“Asal cianpwe suka memberitahu kepada ayah ku bahwa aku berada di tempat kediaman Kwan hujin, rasanya sudah cukup.” kata Pui Tiok pula.

Pak tua cebol menghela napas. “Hal ini tentu saja akan kulakukan. Tetapi…. tetapi…. engkau………”

“Harap cianpwe jangan menguatirkan diriku,” cepat Pui Tiok berkata, “kalau cianpwe tak lekas pergi, dikuatirkan Kwan hujin akan marah.”

“Ya, benar,” pak tua cebol gopoh berseri “Aku pergi saja. Pui lotit, aku menasehatimu. Dua kali engkau masuk tanpa ijin, Itu salah. Maka apa saja yang akan dijatuhkan Kwan hujin nanti jangan engkau melawan.”

Saat itu Pui Tiok tidak memikirkan keselamatan dirinya lagi tetapi malah merasa kasihan terhadap Pak tua cebol. Nasehat pak tua itu disambut dengan anggukan kepala.

Pak tua cebol memberi hormat kepada Kwan hujin dan tanpa melihat kepada Kwan Pek Hong lagi, dia terus melangkah keluar. Cepat sekali dia sudah tiba di pintu besar, berhenti sejenak, menggentakkan kaki dan menghela napas dan sekali melesat dia sudah lenyap keluar.

Tinggal Pui Tiok seorang diri duduk di kursi, hatinya kebat-kebit tak karuan. Dia tak tahu hukuman apa saja yang akan diberikan Kwan hujin kepadanya nanti.

Terdengar Kwan hujin tertawa dingin, “Pui kongcu, puteriku berada disampingku. Bawalah dia ke Peh- hoa-nia…..“

Pui Tiok terkejut tetapi terus tertawa rawah “Kwan hujin, mengapa engkau hendak mengolok olok aku?”

Sambil berkata dia melirik ke arah Kwan Beng Cu. Baru pertama kali itu dia melihat Kwan Beng Cu yang saat itu menggelandot di samping mamanya. Tetapi Pui Tiok memperhatikan bahwa gadis cilik Itu memandangnya dengan cerah.

Pui Tiok mendapat kesan bahwa sikap Kwan Beng Cu yang begitu manja seperti anak kecil, bukanlah sikap yang sewajarnya melainkan dibuat- buat. Jelas hal itu akibat dari kedua orangtuanya terutama mamanya yang keliwat memanjakannya.

Pui Tiok iseng. Dia mengerutkan mukanya seperti setan menyeringai. Melihat itu Kwan Beng Cu tertawa. Tetapi di tengah jalan tiba-tiba berhenti, sepasang bola matanya yang bulat hitam, berkeliaran memandang Pui Tiok.

Pada saat isterinya muncul, Kwan Pek Hong tak kedengaran bicara sama sekali. Saat itu baru dia berkata, “Hujin, dia kan putera dari Peh Hoa lokaay, kurasa. ………

“Engkau rasa bagaimana?” tukas Kwan hujin. Kwan Pek Hong terkejut dan gopoh berkata, “Tak apa-apa, tak apa-apa. Terserah enkau saja bagai.. mana baiknya.”

Kwan hujin mendengus dan Kwan Pek Hong segera mundur selangkah. Adegan itu kalau tidak menyaksikan sendiri tentulah Pui Tiok tak percaya.

Dan andaikata dia tidak terancam bahaya tentulah Pui Tiok sudah tertawa geli.

Sepasang mata Kwan hujin yang berkilat kilat tajam memandang pada Pui Tiok sehingga anak muda itu menggigil.

“Gantung dia di kandang kuda selama tiga hari,” tiba-tiba Kwan hujin memberi perintah kepada suaminya.

“Baik baik,“ kata Kwan Pek Hong seraya

menghampiri ke tempat Pui Tiok. Karena merasa percuma saja hendak melawan, Pui Tiok tak mau berbuat apa-apa kecuali tertawa,” Digantung dengan kaki diatas, kepala dibawah atau digantung biasa?“

Kwan hujin tertawa dingin, “karena engkau bertanya begitu, kalau tidak digantung secara jungkir balik, rasanya engkau tentu merasa tidak diindahkan!“

Kwan Pek Hong cepat bertindak. Ditutuknya bahu anak muda itu sehingga tak dapat berkutik, lalu dia bertepuk tangan dan beberapa pelayan serempak muncul. Mereka terus mengikat tubuh Pui Tiok dengan urat kerbau lalu diangkut keluar ke kandang kuda dan digantung pada tiang penglari dengan kaki diatas, kepala dibawah.

Memang menderita sekali pemuda itu tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi dia masih dapat bertahan.

Sampai lama sekali tak ada orang yang datang menjenguk. Ketika malam tiba, dia hanya merasakan kesepian yang senyap, Hanya kadang deru angin yang serasa menyayat nyayat tubuhnya.

Beberapa hari di muka, dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya serta dibantu oleh Li It Beng dan kawan-kawan, dia menganggap mudah sekali untuk menculik seorang anak perempuan. Tetapi akhirnya, bukan saja rencananya bubar, pun dia sendiri malah digantung di kandang kuda,

Dia belum lama terjun ke dunia persilatan dan tahu- tahu sudah harus menerima derita begitu rupa. Sudah tentu dia amat kecewa sekali. Dia meramkan mata dan berusaha untuk menenangkan pikiran. Tetapi sukar benar. 

Pada tengah malam keadaan makin sunyi sekali.

Pada saat itulah tiba-tiba dia mendengar langkah kaki orang berjalan dengan pelahan sekali.

Pui Tiok yakin bahwa tak mungkin Kwan hujin akan memberinya kemurahan, mencabut hukumannya.

Mungkin malah akan menggunakan cara yang lebih keras untuk menyiksanya Oleh karena Itu dia terkejut sekali mendengar derap langkah kaki orang itu.

Tetapi pada waktu langkah itu makin dekat diam- diam pui Tiok heran. sebagai seorang persilatan sudah tentu dia dapat membedakan langkah kaki orang.

Yang datang, itu lincah sekali langkahnya Tadi dia mengira kalau langkah itu terdiri dari beberapa orang tetapi ternyata sekarang tidak benar. Karena ingin tahu, dia paksakan untuk menundukkan kepala dan memandang ke muka.

Tampak seberkas api lilin tengah bergerak gerak kian kemari mendatanginya Jelas pendatang itu tentu membawa sebatang lilin.

Tak berapa lama dapatlah dia melihat siapa pendatang, Itu. Dan dia makin heran karena kalau menilik perawakannya, orang itu bertubuh kecil pendek.

“Uh, apakah pak tua cebol itu datang kembali untuk menolongnya?” pikirnya. Tetapi pada lain saat dia membantah “Ah, kalau benar dia, mengapa langkah kakinya begitu aneh?”

Tengah dia menimang, pendatang itupun sudah tiba dan saat itu Pui Tiok dapat melihatnya jelas. Dan serentak dia tercengang. Hampir dia tak percaya apa yang dilihatnya saat itu.

Pendatang itu ternyata seorang gadis cilik berumur 11 – 12 tahun, mengenakan mantel ruba warna putih dan sepatu dari kulit ruba. Kepala nya juga memakai kopiah juga dari kulit ruba putih yang lebat bulunya. Dalam dandanan seperti itu, wajahnya yang memang cantik jadi semakin tambah cantik. Sepasang biji matanya yang hitam bulat, makin tambah bagus dalam kegelapan malam. Siapa lagi dara cilik itu kalau bukan Kwan Bing Cu.

Pui Tiok pejamkan mata lalu membukanya lagi, ternyata Kwan Beng Cu sudah berada dihadapannya. Kini Pui Tiok tidak sangsi lagi, Ya memang benar, gadis cilik dihadapannya itu memang benar Kwan Beng Cu, puteri kesayangan Kwan Pek Hong. Dara yang hendak diculiknya ke Peh-hoa-nia. Karena dara itulah maka Pui Tiok sampai harus menderita digantung di kandang kuda,

Kwan Beng Cu sudah biasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Siang malam dia tak pernah berpisah dengan mamanya.. Tetapi mengapa saat itu dia menuju ke kandang kuda?

“Mimpikah aku?“ tanya Pui Tiok dalam hati. Tetapi dia merasa kesakitan pada kedua kaki tangannya yang diikat dan digantung. Dengan begitu jelas dia tidak bermimpi.

Setelah gadis cilik itu berdiri dibawahnya barulah Pui Tiok paksakan diri tertawa, tegurnya, “Kwan siocia, mau apa engkau datang kemari?” Kwan Beng Cu hanya rentangkan kedua bola matanya tetapi tidak menjawab.

“Apakah engkau hendak melihat-lihat bagai mana aku menderita siksaan ini? Digantung begitu rupa memang tak enak rasanya,” kata Pui Tiok pula.

Tiba-tiba Kwan Beng Cu tertawa, “Aku bertanya kepadamu. Tempat apakah Peh-hoa-nia itu?“

Pui Tiok terbeliak. Walaupun dia cerdik tetapi saat itu dia benar-benar tak mengerti apa maksud Kwan Beng Cu bertanya begitu. Beberapa saat kemudian baru dia berkata, “0, itu sebuah tempat bermain-main yang indah sekali”

“Betul?“ seru Kwan Beng Cu gembira, “ada apa saja disana itu?”

Serentak timbullah pikiran Pui Tiok, katanya, “Ah, sudah tentu banyak sekali. Dimana banyak sekali bunga-bunga yang indah.”

Kwan Beng Cu cebirkan bibir, “Uh, buat apa?

Dirumahkupun banyak sekali bunga warna warni yang indah.”

“Masih ada kawanan kera bulu perak yang dapat mengerti bahasa orang,” buru-buru Pui Tiok menyusuli, “yang paling kecil dapat berdiri diatas telapak tangan orang, bulunya mengkilap seperti perak. Mereka mengerti omongan manusia.”

“Benarkah itu?“ Melihat dara cilik itu tergerak hatinya, Pui Tiok mulai jual jamu, “0, itu saja belum apa-apa, Disana terdapat sepasang burung bangau besar yang berumur 100 tahun lebih. Kita dapat naik diatas punggungnya dan terbang ke udara. Wah, terbang diudara itu baru benar-benar menyenangkan sekali seperti bangsa dewa!“

Kwan Beng Cu makin tertarik, tanyanya pula, “Engkau hendak membawa aku ke Peh-hoa nia itu, apa perlunya?“

“Supaya engkau dapat bermain-main disana,. Dari pagi sampai malam engkau dikurung dalam rumah saja apa tidak jemu?“

Walaupun masih kecil tetapi saat itu Kwan Beng Cu dapat bersikap seperti orang dewasa. Dia menghela napas, “Benar, memang menjemukan Mama tak mau membiarkan aku pergi walaupun hanya selangkah saja. Aku tak dapat bermain main keluar. Kalau aku merengek-rengek minta keluar, juga disuruh naik tandu yang jendelanya ditutup. Mana aku dapat melihat pemandangan bagus? Hm, sungguh menjemukan!‘

Mendengar itu girang Pui Tiok bukan alang kepalang. Dia hampir tak percaya bahwa dalam keputusasaan seperti saat itu tiba-tiba muncul suatu harapan yang tak terduga-duga.

Sebenarnya, sebagai puteri dari Kwan tayhiap. kalau engkau main-main keluar, Siapa yang berani mengganggumu? Mengapa engkau tak mau keluar bermain main saja “ ‘Tidak mungkin, “teriak Kwan Beng Cu mama tentu tak mengijinkan,”

Pui Tiok seorang yang cercilk. Dia sudah menduga gadis cilik itu tentu akan menjawab begitu. Maka cepat diapun berkata, “Tetapi engkau datang kemari ini apa mamamu sudah mengijinkan?“

Wajah Kwan Beng Cu agak berobah. Lebih dulu dia berpaling ke belakang. Setelah tahu dibelakang tak ada orang lagi baru dia menghela napas longgar dan gelengkan kepala, “Tidak, aku datang kemari secara diam-diam. Mama tak tahu dan tak mengira kalau aku akan datang kemari.”

“0, benar,” seru Pui Tiok, “memang segala apa itu harus memakai keberaniannya sendiri baru dapat berhasil,”

Kwan Beng Cu tertegun beberapa jenak. Sekalipun tidak bicara tetapi dari sikapnya dapatlah diketahui bahwa dia telah kena dipengaruhi omongan Pui Tiok.

Pui Tiok juga tak mau bicara, Beberapa saat kemudian barulah Kwan Beng Cu berkata, “Tetapi aku…. belum pernah…. keluar rumah….“

girang Pui Tiok bukan alang kepalang. Mendengar pernyataan gadis cilik itu Pui Tiok percaya rencananya pasti berhasil.

“Bagaimana kalau kuantar engkau?“ serunya. “Tetapi bagaimana kutahu engkau akan menipu aku atau tidak?“ kata Kwan Beng Cu. Pui Tiok tertawa, “Apakah menurut penglihatanmu aku ini seorang manusia tukang menipu?”

Kwan Beng Cu miringkan kepala dan berpikir sejenak kemudian baru berkata, “Engkau harus bersumpah berat. Segala apa harus menurut aku Kalau tidak mau menurut, biarlah sumpah itu engkau laksanakan!“

Pui Tiok terkesiap. Diam-diam dia berpikir, Kwan Beng Cu itu ternyata bukan dara cilik yang tak tahu apa-apa dan mudah dibohongi. Bersama dia ke Peh- hoa-nia, rasanya juga tidak menyalahi apa-apa

…pikirnya.

Dia lalu mengucapkan sumpah berat, “Tuhan yang diatas langit dan para malaekat yang kebetulan lewat. Aku Pui Tiok, kalau dalam perjalanan ke Peh-hoa-nio sampai tidak menurut perintah nona Kwan, biarlah seluruh tubuhku menjadi busuk dan mati!“

“Bagaimana, apakah engkau sudah puas?” kata Pu Tiok sehabis mengucap sumpah.

Kwan Beng Cu tertawa, “Ya, bolehlah.”

“Kalau begitu lepaskan dulu aku!” seru Pui Tiok. Sring, Kwan Beng Cu balikkan tangan dan tahu-

tahu tangannya sudah memegang pedang yang panjangnya hanya tiga inci tetapi luar biasa tajamnya. Tangkainya juga tiga inci panjangnya diikat dengan rantai yang halus warna hitam. Rantai itu diikat pada pergelangan tangannya. Peh Hoa lokay mempunyai cukup banyak koleksi benda dan senjata pusaka Sebagai puteranya, sudah tentu Pui Tiok juga faham akan pusaka-pusaka.

Melihat pedang kecil dari Kwan Beng Cu. dia terkejut Jelas pedang itu sebuah senjata pusaka yang dapat memapas logam seperti memapas tanah liat.

Sekali telapak tangan Kwan Beng Cu mengebas, pedang kecil itu melayang keatas dan sret…! putuslah tali urat kerbau yang mengikat kaki Pui Tiok. Pedang kecil itu melayang kembali ke tangan Kwan Beng Cu.

Karena pengikatnya putus, Pui Tiok pun jatuh ke tanah. Kwan Beng Cu menghampiri dan memotong tali pengikat kaki dan tangan Pui Tiok. Pemuda itu loncat bangun. Tepat pada saat itu dia mendengar angin mendesing tajam. Ternyata Kwan Beng Cu ayunkan tangan menarik pulang pedangnya yang terus masuk kedalam kerangkanya, Kwan Beng Cu terus menyimpan dalam lengan bajunya lagi.

“Mari kita berangkat!“ serunya terus ayunkan langkah.

“Nona Kwan, pedangmu itu sungguh luar biasa sekali!” Pui Tiok memuji.

“Ah, jangan memuji begitu,” kata Kwan Beng Cu, “mama bilang, pedang kecil ini, pedang yang paling tajam di dunia. Tak ada lain pedang yang dapat menandingi.”

Pui Tiok mendesuh. Dia hendak berkata tetapi tiba- tiba terdengar dari arah jauh ada suara ribut-ribut.

Dalam keributan itu seperti terdengar nada suara Kwan hujin yang tak enak didengar. 

“Mama bangun, celaka!“ Kwan Beng Cu terkejut

Pui Tiok juga ikut kelabakan, ‘Nona Kwan, lekas engkau naik ke punggungku, akan kubawamu keluar!”

Kwan Beng Cu meniup padam lilin dan begitu Pui Tiok berputar tubuh, ia terus mencemplak bahunya. Sekali loncat, Pui Tiok sudah tiba dipagar tembok.

Ketika Pui Tiok naik keatas pagar tembok dilihatnya halaman belakang penuh orang. Mereka dengan membawa obor menuju ke kandang kuda.

Pui tiok tak berani ayal lagi. dia segera melayang turun ke luar pagar tembok dan setelah melewati lorong dan jalanan tak berapa lama tibalah dia di tembok kota.

Disitu dia berhenti dan berkata, “Nona Kwan, apakah engkau tak mengerti ilmu ginkang sedikitpun juga?“

“Siapa bilang aku tak bisa?”

“Bagus, mari kita serempak saja keluar dari kota ini. Mamamu tentu tak dapat mengejar kita lagi,” kata Pui Tiok.

Pui Tiok menurunkan Kwan Beng Cu lalu mereka mulai memanjat tembok kota. Begitu loncat ke atas Pui Tiok hendak menarik tangan gadis cilik itu tetapi tiba-tiba dia merasa setiup angin berkelebat di sampingnya. Ternyata Kwan Beng Cu malah lebih dulu selangkah tiba diatas tembok kota dari Pui Tiok. Sudah tentu Pui Tiok tercengang, Mereka lalu loncat turun.

“Nona Kwan, kukira engkau ini keliwat manja sehingga tak mengerti apa-apa,” kata Pui Tiok.

Kwan Beng Cu kicupkan mata, “Aku sih memang tak mengerti apa-apa. Mama sering bilang, orang yang lihay masih ada yang lebih lihay lagi. Karena tak diperbolehkan keluar. nyaliku jadi kecil. Pernah ada anak-anak yang melempar bola-salju kepadaku aku ketakutan setengah mati dan menangis.”

Pui Tiok tertawa, “Ada orang yang berani melontar bola salju kepadamu? Ah. orang itu tentu sudah bosan hidup!“

“Sudahlah, jangan membicarakan hal itu lagi,” kata Kwan Beng Cu, “sampai sekarang aku masih ngeri.

Waktu anak liar itu melemparkan bola salju kepadaku tiba-tiba dari atas pohon loncat turun seorang wanita gila yang tangannya memegang seekor ular panjang.”

Pui Tok makin geli, “Dia tentu pengemis yang suka main-main dengan ular!“

“Tidak, bukan pengemis yang main ular!“ kata Kwan Beng cu, “sekali mengebaskan ular itu seorang pemikul tandu yang kunaiki terus mati.’

bahkan Si toako juga ketakutan setengah mati dan terus menyeret aku pulang.”

Pui Tiok diam berpikir. Walaupun certa Kwan Beng Cu itu tak genah tetapi dia ingat bahwa tokoh yang menggunakan senjata ular itu tentulah salah seorang tokoh dari perkumpuian Ik-kau,

“Nama ayahmu begitu cemerlang dalam dunia persilatan. Sungguh mengherankan sekali kalau ada orang yang berani cari perkara dengan engkau, kata Pui Tiok sesaat kemudian.

Kwan Beng Cu membelalakkan mata, serunya, “Ayahku bagaimana? Dia mempunyai nama? Apakah dia itu lihay?“

Pui Tiok menuding pucuk hidung gadis cilik itu, “Hi, sungguh tak kira kalau melihat umurmu masih begitu kecil ternyata engkau pandai sekali berpura pura.

Apakah engkau tak tahu kalau ayahmu itu seorang pendekar besar dalam dunia persilatan?“

Kwan Beng Cu menyengir, “aku memang sungguh tak tahu, perlu apa aku harus berpura- pura kepadamu?“

“Tidak tahu?“ Pui Tiok terkejut, “sebenarnya kepandaian mamamu itu lebih tinggi dan asal usulnya juga hebat sekali, seharusnya engkau tahu.”

Kwan Beng Cu gelengkan kepala, “Hal itu aku makin tak tahu. Yang kuketahui, mama itu adalah mamaku. Dia baik sekali kepadaku. Apa yang kuminta selalu dituruti. Apanya yang lihay?

Sebenarnya Pui Tiok tak percaya tetapi melihat sikap gadis cilik itu seperti orang yang hendak mengelabuinya, diapun tak mau mendesak lebih jauh. Demikian setelah beberapa waktu berlari mereka tiba disebuah kota kecil. Saat itu sudah malam.

Keadaan kota sudah sunyi. Tetapi ketika berjalan di sepanjang jalan besar, mereka melihat di sebuah gang ada lampu penerangan yang masih memancar.

Ternyata sebuah kedai makan.

‘Bagus!” teriak Kwan Beng Cu gembira, “aku sudah lapar, kita makan dulu yo!”

“Jangan berhenti disini,” Pui Tiok gopoh mencegah, “ayah ibumu tentu sedang melakukan pengejaran.

Kalau kita berhenti disini, bagaimana kita dapat pergi ke Peh- hoa-nia?“

Kwan Beng Cu sudah biasa manja. Mendengar penolakan Pui Tiok dia tak senang. “Kalau engkau tak mau mengajak aku makan dulu, aku tak mau melanjutkan perjalanan!“ Serunya. “Hm, sekalipun engkau mogok, toh aku dapat menutuk jalan darahmu dan membawamu.” pikirnya.

Diapun sudah hendak bergerak tetapi pada lain saat dia menyadari bahwa Peh-hoa nia Itu jaraknya ribuan li. Kwan Beng Cu menghilang, Kwan Pek Hong dan isterinya tentu menduga kalau puterinya ltu dilarikan olehnya (Pui Tiok). bukan saja mereka akan melakukan pengejaran sendiri, pun tentu akan memberitahu kepada sahabat-sahabat mereka dl dunia persilatan untuk menangkapnya. Kalau dia menempuh jalan lurus, jelas tentu akan tertangkap maka dia memutuskan mengambil jalan melingkar.

“Ah, kalau anak perempuan ini kututuk dan aku sampai tak dapat membuka jalan darahnya lagi, bukankah perjalananku akan bertambah beban kesukaran lagi?” pikirnya lebih jauh. dia memutuskan, tak apalah untuk menuruti permintaan anak itu dulu ‘Baik, mari kita makan,” katanya, “lo engkau, urusan kecil saja sudah mau marah…..”

“Siapa saja tidak mau menurut aku, aku tentu marah,” Kwan Beng Cu cibirkan bibir.

Mendengar itu Pui Tiok terkesiap. Perjalanan ke Peh-hoa-nia itu paling tidak harus makan waktu tiga sampai empat bulan. Kalau setiap kali dia harus menuruti permintaan gadis manja itu tidakkah dia akan tersiksa?

Sebenarnya Pui Tiok merasa kheki tetapi karena sudah terlanjur sampai disitu apa boleh buat.

Bukankah dia takkan memilih untuk mengantar kembali Kwan Beng Cu pulang?

Setelah menghampiri di tempat penjual makanan, keduanya lalu duduk diatas dingklik panjang. Penjual makanan terkejut menerima tetamu dua orang anak muda yang berpakaian indah. Waktu Pui Tiok memesan makanan, saking gugup, penjual itu terus sibuk mengambil nasi. segala macam sayur mayur dituang lalu tak henti-hentinya diberi kecap.

Melihat tingkah laku penjual itu, Kwan Beng Cu tertawa mengikik.

Tiba-tiba dari ujung gang disebelah sana muncul dua orang lelaki. Karena saat itu jalan tertutup salju. Orang berjalan tak terdengar suara langkahnya. Tetapi kedua orang itu berjalan sambil bercakap-cakap. “Ciu-ciu, aku lapar, mau makan bakmi,” seru salah seorang dari mereka yang bernada seperti anak perempuan kecil. Dia menyebut kawannya dengan panggilan ‘ciu-ciu’ atau paman, adik laki dari mamanya.

Terdengar suara seorang lelaki menjawab, “Baiklah, sungguh menarik!“

Dalam pada berkata-kata itu keduanyapun sudah tiba di tempat penjual. Di bawah penerangan lampu pikulan, Pui Tiok melihat bahwa kedua orang yang datang itu, yang satu seorang anak perempuan sebaya dengan Kwan Beng Cu, berwajah cantik sekali tetapi sikapnya liar.

Sedang lelaki yang datang bersamanya itu seorang bungkuk. Wajahnya tak tampak jelas. Begitu tiba dan melihat Pui Tiok dan Kwan Beng Cu duduk di dingklik, lelaki bungkuk itu terkejut lalu cepat menarik si anak perempuan untuk duduk di dingklik lain.

Pui Tiok tidak menghiraukan kedua pendatang itu.

Tetapi Kwan Beng Cu mengawasi bocah perempuan itu beberapa jenak, tiba-tiba dia terkesiap lalu merapat pada Pui Tiok dan berkata, “Kita….. kita pergi saja.”

Pui Tiok tertawa meringis, “Tadi engkau sendiri yang merengek-rengek minta kemari, mengapa sekarang mau pergi?”

Secara sembunyi Twan Beng Cu menunjuk ke arah bocah perempuan itu, katanya, “Anak perempuan itu adalah yang kuceritakan kepadamu tadi….. dialah yang melemparkan bola salju kepadaku.” “Benar?” Pui Tiok melirik ke arah anak perempuan itu. Ternyata anak perempuan itu juga membelalakkan mata memandang kepada Pui Tiok dan Kwan Beng Cu. Sedang si bungkuk tetap menunduk sehingga tak kelihatan wajahnya.

“Takut apa?” kata Pul Tiok.

‘Tetapi aku takut pada perempuan gila yang menggunakan ular itu,” kata Kwan Beng Cu.

Sebenarnya Pui Tok juga tak mau berhenti terlalu lama. Mendengar Kwan Beng Cu minta pergi, dia terus menarik tangan gadis cilik itu setelah melemparkan sebiji uang perak dia terus pergi.

Tetapi baru keluar dari gang tiba-tiba dari belakang terdengar suara anak perempuan tadi berseru, “Hai, kalian berhenti dulu!“

“Siau Bwe, engkau hendak mengapa itu?” serempak terdengar lelaki bungkuk berseru kepada anak perempuan tadi.

‘Ciuciu, jangan pedulikan aku. Kopiah anak perempuan itu bagus sekali aku hendak mengambilnya. hai, engkau dengar tidak!“ seru Si anak perempuan.

Saat itu Kwan Beng Cu dan Pui Tiok sudah berhenti dan berputar diri. Mereka melihat anak perempuan itu tengah bercekak pinggang dan dengan sebelah tangan menuding Kwan Beng Cu.

Kwan Beng Cu memang manja dan suka menang sendiri. Tetapi waktu menghadapi peristiwa seperti saat itu di mana secara terus terang saja kopiah bulu rasenya hendak diminta orang, dia menjadi bingung juga.

Tetapi lain dengan Pui Tiok. Melihat sikap dan tingkah anak perempuan tadi, dia geli dan mendongkol juga.

“Adik kecil,” serunya, “apa maksudmu?” “Bukan urusanmu!“ seru anak perempuan itu.

Pui Tiok gelengkan kepala, menghela napas “Adik kecil, kalau begitu engkau salah. Eng-kau hendak merampas barang, bagaimana aku tidak boleh mempedulikan? Sudah, jangan ribut-ribut, pulang sajalah!“

Anak perempuan itu makin marah dan berseru, “Kentut!“

Tiba-tiba dia ayunkan tangannya, sring! sebatang anak panah kecil segera melayang ke arah Pui Tiok.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar