Pedang Berbunga Dendam Jilid 02

JILID 2

Memang sudah sepantasnya kalau Kwan Pek Hong terkesiap kaget ketika memandang ke muka. Di muka pintu besar, berhenti sebuah kereta yang mewah sekali. Kemewahan kereta itu terbukti pada gerbong kereta yang dihias dengan berbagai macam zamrud ratna mutu manikam yang mahal harganya.

Kereta itu ditarik empat ekor kuda tegar. Keempat kuda itu berbulu hitam mengkilap tetapi keempat kakinya berbulu putih. Merupakan jenis kuda yang jarang terdapat. Seekor kuda semacam itu sudah sukar didapat, apalagi empat ekor.

Apabila kereta dan kudanya sudah sedemikian istimewa jelas pemiliknya tentu bukan orang

sembarangan.

Kwan Pek Hong segera menghampiri dilihatnya sais atau kusir kereta itu sedang beristirahat. Dia menyurutkan tubuh. Dalam bulan delapan yang hawanya dingin itu, dia hanya mengenakan pakaian tunggal. Kwan Pek Hong tidak memperhatikan wajah sais itu melainkan melihat kedua tangan orang itu berkuku panjang sekali.

Kwan Pek Hong memandang sais dan kereta itu beberapa jenak. Diam-diam dia merasa heran. Tepat pada saat itu dua orang bujang datang kepadanya dan berkata dengan pelahan, “Loya, ada seorang tetamu datang. Siya tengah menemaninya.”

“Ooo,” desah Kwan Pek Hong, “apakah yang datang dengan kereta ini?” bujang mengiakan.

Dengan rasa heran, Kwan Pek Hong segera melangkah masuk. Begitu masuk, dia segera melihat muridnya, Si Ciau, tengah menemani seorang tetamu. Begitu Kwan Pek Hong masuk, tetamu itu segera berbalik tubuh.

Waktu melihat tetamu itu, Kwan Pek Hong tertegun.

Ternyata tetamu itu seorang muda yang berbibir merah dan gigi putih. Wajahnya cakap sekali,

Pemuda itu paling banyak berumur 17- an tahun tetapi tubuhnya tinggi besar. Mengenakan pakaian dari kulit rase putih. Pinggangnya menyelip pedang, membawa penampilan yang mengundang pujian orang.

Sebelumnya Kwan Pek Hong mengira kalau kedatangan tetamu itu ingin mencari permusuhan dengannya. Kini setelah mengetahui tetamunya itu hanya seorang pemuda cakap, diapun tenang kembali.

Melihat Kwan Pek Hong, pemuda itu lalu berdiri.

Waktu Kwan Pek Hong hampir tiba di mukanya, pemuda itu lalu memberi hormat.

“Kwan tayhiap, wanpwe lancang datang menghadap kemari, harap tayhiap suka memberi maaf,” katanya. Kwan Pek Hong tak kenal siapa pemuda itu dan bagaimana asal usulnya. Tetapi dengan ketajaman matanya dia tahu kalau pemuda itu bukan pemuda sembarangan. Walaupun umurnya masih begitu muda tetapi memiliki ilmu kepandaian yang berisi.

Hal ini dapat dibuktikan waktu pemuda itu mengucapkan kata-kata. nadanya bening dan mantap maka memberi kesan kepada Kwan Pek Hong bahwa pemuda itu tentu murid dari seorang tokoh ternama.

Kwan Pek Hong membalas hormat dan memberi isyarat tangan mempersilahkan, “silahkan duduk, anda ini….?“ Sambil berkata Kwan Pek Hong juga mengambil tempat duduk.

Pemuda itupun duduk, katanya, “Wanpwe orang she Pui nama Tiok. Atas perintah ayah wanpwe menghadap Kwan tayhiap.”

Diam-diam Kwan Pek Hong menimang dalam hati, “Orang she Pui? Siapa-apa saja tokoh sakti yang mempunyai she (marga) Pui dalam dunia persilatan?”

Namun untuk sesaat dia tak teringat. Hanya samar- samar dia seperti ingat bahwa ketua dari partai persilatan Tiam jong pay itu orang bermarga Pui, Tetapi apakah ada anak murid Tiam jong pay yang mempunyai kepandaian seperti pemuda ini?

“Nama ayahmu bagaimana menyebutnya? Maaf aku tak ingat lagi,” kata Kwan Pek Hong.

Pui Tiok tertawa, “Memang sedikit sekali orang persilatan yang tahu akan nama ayahku. Tetapi sebutan gelarannya, begitu dikatakan, rasanya tentu ada orang yang kenal.”

Mendengar pemuda Itu, diam-diam merindinglah hati Kwan Pek Hong Dia tahu bahwa tokoh yang jarang dikenal dan selalu menyembunyikan nama aselinya, kebanyakan adalah tokoh-tokoh sakti yang berwatak aneh. Atau mungkin durjana-durjana besar dalam dunia Shia-pay.

Dikuatirkan ayah dari pemuda ini juga termasuk golongan tokoh-tokoh seperti itu. Tetapi karena saat itu batin Kwan Pek Hong sedang resah, mana dia sempat untuk menaruh perhatian kepada pemuda itu.

Dia merasa sebal dan wajahnyapun segera menampakkan rasa kesalnya. Dia tertawa gersang “Kalau begitu, siapakah nama gelaran dari ayah mu itu.? Apakah aku boleh mengetahui?”

Pemuda itu masih mengulum tawa, tampaknya ramah sekali sikapnya sehingga orang sukar untuk marah kepadanya. Sambil tertawa, dia berkata, “Sepanjang hidupnya, ayah paling gemar dengan bunga, wataknya nyentrik oleh karena itu mendapat gelar…..”

Belum lagi pemuda itu menyelesaikan kata katanya, Kwan Pek Hong serentak berbangkit. Karena tenaga dalamnya tinggi maka sewaktu mendadak berdiri itu, bajunya telah menghamburkan getaran angin yang keras. Melihat sikap itu begitu beringas seperti menghadapi musuh tangguh Si Ciau yang berada disampingnya, ikut tegang. Tetapi pemuda itu tenang-tenang saja seperti tak merasa terjadi sesuatu. Sejenak dia berhenti, lalu melanjutkan keterangannya yang belum selesai tadi “Dia mendapat gelar Peh Hoa lo-koay!”

Mendengar itu wajah Si Ciau berubah pucat sekali.

Tetapi Kwan Pek Hong yang sudah dapat menduga sebelumnya silapa gelar ayah dari pemuda itu, tetap tegak tak kaget.

Wajah Kwan Pek Hong membesi dan berkata dengan dingin, “Memang benar, sekali gelar ayahmu disebut memang merupakan sebuah nama besar!”

“Betapapun kumandang nama ayahku bergema, tetapi dia adalah Lo-kay si tua nyentrik. Kalau dibanding dengan kebesaran nama anda, jelas tentu jauh ketinggalan.”

Mendengar itu, Kwan Pek Hong dapat menangkap artinya. Wajahnya agak tenang “Aku dengan ayahmu, selama ini tiada hubungan. Untuk apa dia menitahkan engkau datang kemari?”

Dari kata-katanya tadi pemuda Pui Tiok itu seperti memberi perlambang bahwa kedatangannya itu tak ada lain maksud kecuali hendak memohon sesuatu kepada Kwan Pek Hong.

Tetapi bagaimanakah penilaian Kwan Pek Hong?

Setelah tahu bahwa pemuda itu putera Peh Hoa lokay, diapun menyadari bahwa soal yang akan dihadapinya tentulah tidak sederhana. Dan serentak diapun lalu mengaitkannya dengan kedatangan Li It Beng dalam peristiwa hilangnya kitab Ih-su-keng. Pasti urusan yang akan dihadapinya nanti mempunyai liku-liku yang sulit.

Setelah menetapkan pendirian maka Kwan Pek Hong pun duduk kembali, katanya, “Entah mengenai soal apa saja, harap engkau katakan. Dalam kalangan persilatan, asal mengenai masalah yang layak, aku pasti akan Setuju.”

Pui Tiok tersenyum, “Pernyataan Kwan tayhiap memang bagus sekali. Ayah mempunyai sebuah kitab Ih-su-keng yang merupakan catatan-catatan dari ilmu silat yang sakti. Kabarnya kitab itu sudah jatuh ditangan Kwan tayhiap maka mohon sukalah Kwan tayhiap bermurah hati untuk mengembalikannya!”

Karena sebelumnya sudah dapat menduga apa maksud kedatangan pemuda itu, Kwan Pek Hong tidak kaget. ia menghela napas.

“Entah siapakah yang menyiarkan kabar itu? Kabar itu bohong sama sekali dan hanya merupakan isu saja. Kalau aku sampai tahu dan melihat kitab Ih-su- keng, biarlah Thian mengutuk aku, kelak akan menerima kematian yang mengerikan!”

Dia dapat memaklumi setelah kitab pusaka itu hilang, tentulah Peh Hoa lokoay bingung tak keruan dan berusaha keras untuk mendapatkannya kembali. Dan celakanya, orang persilatan menyiarkan kabar bahwa kitab pusaka itu jatuh ke tangannya. Dengan begitu tak dapat disesalkan kalau Peh hoa lokoay akan meminta kepadanya supaya mengembalikan.

Diapun menyadari sia-sia saja dia berbanyak kata menerangkan kalau dia tak tahu menahu tentang kitab itu maka untuk menyingkat pembicaraan, dia lalu bersumpah berat dihadapan putera Peh Hoa lokoay.

Dan memang sebenarnya Kwan Pek Hong tak tahu menahu dan tak pernah melihat apa yang disebut kitab Ih-su-keng ini. Oleh karena itu dia tak takut untuk mengangkat sumpah yang sedemikian serius. “Ah,” desah Pui Tiok kiranya Itu hanya isyu dunia persilatan saja” -

“Benar” kata Kwan Pek Hong, tadi waktu berada di telaga Se-ou, aku juga bertemu dengan Li tong-cu orang bawahan ayahmu. Aku juga mengatakan kepadanya apa yang terjadi sebenarnya. Percaya atau tidak terserah saja kepada kalian. Tetapi sungguh- sungguh aku tak pernah melihat kitab pusaka Ih-su- keng itu!”

Pui Tiok berdiri dan memberi hormat. Diam-diam Kwan Pek Hong membatin. Siapakah orang persilatan yang tak tahu kalau Peh Hoa lokoay itu tokoh yang nyentrik dan aneh tabiatnya. Tak kira kalau anaknya ternyata seorang pemuda yang sopan dan bijaksana. Pemuda itu dapat menerima keterangannya.

Kwan Pek Hong mengira setelah memberi hormat, tentulah Pui Tiok akan pamitan Tetapi diluar dugaan, ternyata pemuda itu tidak mengucapkan kata-kata mohon diri, malah berkata pula “Kalau begitu, aku hendak mengajukan sebuah permohonan lagi kepada Kwan tayhiap. Sebenarnya hal ini juga atas kehendak ayah, bukan maksudku sendiri.”

Mendengar orang masih mau mengajukan permintaan lagi, Kwan Pek Hong tampak kurang senang. 

“Soal apa lagi?” tanyanya.

Dengan tenang Pui Tiok berkata, “Waktu wanpwe hendak berangkat ayah memberi pesan, apabila Kwan tayhiap bersedia untuk mengembalikan kitab Ih-su- keng beliau akan merasa berterima kasih sekali. Dan atas budi tayhiap, ayah akan membalas di kemudian hari. Tetapi kalau Kwan tayhiap menolak dengan memberi alasan-alasan, mengatakan kalau belum pernah melihat kitab pusaka itu, maka….”

“Maka bagaimana?” tukas Kwan Pek Hong dengan keras.

Pui Tiok tertawa kikuk, “Sebenarnya sukar bagi wanpwe untuk mengatakannya. Tetapi demi memberi pertanggungan jawab kepada ayah, terpaksa wanpwe akan mengatakan juga.”

Kwan Pek Hong tertawa dingin, “Katakan saja, masa aku hendak mempersulit engkau?”

“Ya memang Kwan tayhiap takkan berbuat demikian,” kata Pui Tiok,, “ayah mengatakan bahwa Kwan tayhiap mempunyai seorang puteri kesayangan. ayah pesan kepada wanpwe agar Kwan siocia itu kubawa ke Peh-hoa-nia. Kemudian apabila kelak Kwan tayhiap rindu dan ingin mengambil kembali siocia, agar Kwan tayhiap suka membawa kitab Ih-su-keng Itu.”

Dalam mendengar kata-kata anak muda itu sebenarnya kemarahan Kwan Pek Hong sudah mau meledak tetapi karena peristiwa itu terlalu mendadak sekali datangnya, dia sampai tertegun. Tiba-tiba dia tertawa, bukan tertawa marah melainkan benar benar tertawa geli.

Setelah tertawa beberapa jenak, barulah Pui Tiok bertanya Lagi, “Entah bagaimana pendapat Kwan tayhiap dalam soal tadi?”

Diam-diam Kwan Pek Hong menimang.. Kalau watak penampilan anak muda itu, tak mungkin dia itu seorang tolol. Tetapi diapun menyadari kalau Peh Hoa lokoay itu bukan tokoh sembarangan, tak mungkin dia akan mengutus puteranya yang tolol.

Tetapi jelas anak muda Itu telah mengucapkan kata-kata yang gila maka Kwan Pek Hong menarik kesimpulan, kalau anak muda itu bukan manusia tolol tentulah seorang tunas muda yang amat berbakat.

Kwan Pek Hong hentikan tawanya dan berkata dengan serius, “Aku sih tak keberatan. Tetapi selama ini siauli (anak perempuanku) sudah terlanjur manja dirumah. Kalau dia bisa ikut engkau pesiar ke Peh- hoa-nia untuk menambah pengalaman, itu memang baik juga. Tetapi aku tak tahu dengan cara bagaimana engkau dapat membawanya pergi?”

Pui Tiok kerutkan alis, serunya, “Karena Kwan tayhiap sudah memberi ijin, walaupun sukar tetapi wanpwe tetap akan melaksanakan juga agar jangan sampai mengecewakan pesan ayah. Terima kasih Kwan tayhiap, wanpwe mohon diri sambil berkata dia terus berputar tubuh.

Tepat pada saat anak muda itu berputar tubuh, Kwan Pek Hong cepat memberi isyarat mata kepada Si Ciau. 

Sejak mendengar pembicaraan Pui Tiok tadi, memang Si Cian sudah marah tetapi karena suhunya belum memberi perintah, diapun tak berani bertindak.

Sekarang setelah mendapat isyarat mata darl SuHunya, bangkitlah semangat Si Ciau. Segera dia melintang jalan, menghadang Pui Tiok.

“Tunggu dulu!” serunya. “aku hendak bicara padamu.”

Pui Tiok hentikan langkah dan bertanya, ‘Silakan Si- heng mengatakan.”

‘Engkau hendak membawa pergi sumoayku yang kecil. entah dengan kepandaian apa engkau hendak melakukan hal itu. Sekarang aku hendak minta pelajaran dari engkau!”

Kata-kata Si Ciau Itu jelas merupakan sebuah tantangan. Siapapun kalau mendengar kata-kata semacam itu tentu marah dan akan bertindak, kalau tidak mendamprat tentu akan turun tangan.

Tetapi ternyata Pui Tiok tidak demikian. Dia malah bertanya, “Ya, benar sekari ucapan Si heng itu. Siaute memang tak becus apa-apa dan bingung mencari akal bagaimana agar dapat membawa sumoay Si-heng.

Dalam hal ini, apakah Si-heng dapat memberi petunjuk kepadaku?”

Mendengar jawaban itu mau tak mau Si Ciau terlongong-longong. Gila, pikirnya, masa aku dimintai nasehat bagaimana caranya agar dia dapat membawa lari sumoayku? Tolol sekali pemuda itu tetapi ah, mungkin hanya berpura-pura tolol saja.

Si Ciau juga sudah banyak pengalaman didalam dunia persilatan maka dia tidak marah melainkan tertawa, “0, memang aku punya pendapat yang baik. Cobalah dengarkan”

Sambil berkata dia membawa sikap yang ramah dan bersahabat yaitu lantas menepuk bahu pemuda itu.

Memang sudah umum kalau orang bersahabat itu waktu bicara ada kalanya menepuk bahu kawannya. Tetapi tepukan tangan Si Ciau itu bukan sembarang tepukan melainkan tepuk yang dilambari dengan tujuh bagian tenaganya.

Si Ciau mengira tentulah Pui Tiok akan menghindar oleh karena itu Si Ciau pun sudah siapkan tangan kirinya. Begitu orang menghindar ke samping, dia terus hendak menerkam pinggangnya.

Tetapi kenyataannya benar-benar diluar dugaan Si Ciau. Tepukannya mendarat pada bahu Puil Tiok yang masih tetap berdiri di tempatnya. Plakk………….

terdengar bunyi tamparan yang keras pada bahu Pui Tiok.

Sudah bertahun-tahun Si Ciau berguru pada Kwan Pek Hong. ilmu kepandaiannya cukup tinggi.

Tepukannya itu paling tidak ada 200-an kati beratnya. Tetapi anehnya, waktu menerima tepukan keras Itu Pui Tiok tak merasa apa-apa bahkan malah tertawa, “Si toako, tepukanmu itu berat benar, lho! Untung tulangku cukup kuat, kalau tidak, tentu sudah remuk!” 

Tampak seperti tak terjadi apa-apa dan malah tertawa cerah, menunjukkan bahwa tenaga dalam dari Pui Tiok lebih tinggi dan Si Ciau. Sudah tentu Si Ciau menyadari hal itu. Dengan wajah sebentar gelap sebentar pucat dia terus menyurut mundur.

Pui Tiok tidak mau mengurusi melainkan lanjutkan langkah keluar pintu dan sesaat berputar tubuh memberi hormat kepada Kwan Pek Hong, “Wanpwe mohon pamit dulu. Setelah nanti wanpwe menemukan caranya, barulah wanpwe akan datang lagi untuk membawa Kwan siocia ke Peh-hoa -nia.”

Dengan tenang diayunkan langkah keluar. Kwan Pek Hong hanya mengantar dengan pandang matanya. Diam-diam jago tua itu kagum atas ketenangan sikap anak muda itu.

Ia tak percaya kalau anak yang masih begitu muda belia akan lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya.

Tetapi menilik sikapnya yang begitu tenang dan yakin, memang mengesankan sekali. Kelak tentu dia akan menjadi seorang tokoh yang cemerlang.

Kwan Pek Hong hanya mempunyai seorang puteri tunggal dan tidak punya putera, Diam-diam dia menghela napas dalam hati. “Kalau saja dia mempunyai seorang putera seperti Pui Tiok, betapakah bahagianya…..”

Soal puterinya hendak dibawa Pui Tiok ke Peh-hoa- nia, sudah tentu dengan cara menculik, Kwan Pek Hong malah tidak menghiraukan karena puterinya itu siang malam berada dengan mamanya. Betapa sakti ilmu kepandaian isterinya, mungkin orang luar tidak tahu, tetapi dia tahu dengan pasti. Dalam hal menjaga keselamatan puterinya, dia percaya penuh isterinya tentu dapat menjaganya.

Setelah Pui Tiok pergi, dia mondar mandir sembari memanggul kedua tangan. Tengah dia masih mengenangkan atas peristiwa yang baru saja terjadi tadi, tiba-tiba terdengar suara isterinya berseru, “Pek Hong, apakah wanita itu sudah dapat engkau ketemukan?”

Waktu mengangkat muka, Kwan Pek Horg melihat istrinya muncul dengan menggendong puterinya.

Puterinya Itu sebenarnya sudah berumur 10 tahun tetapi isterinya telah memperlakukannya sebagai anak kecil saja.

Kwan Pek Hong tertawa, “Belum ketemu. Kalau anak kita tak apa-apa, lebih. baik tak perlu soal itu diperpanjang lagi!”

Kwan hujin marah sekali, “Anaknya dihina orang tetapi engkau mandah saja. Percuma saja engkau disanjung orang sebagai pendekar besar!“

Kwan Pek Hong tertawa getir. Dia tak tahu kata- kata apa yang menimbulkan kemarahan isterinya Kemudian teringat akan ucapan Pui Tiok tadi, dia tertawa, “Niocu, ada sebuah hal yang lucu, tentu engkau belum tahu.”

Kwan hujin deliki mata, “Soal apa yang Lucu itu?“ “Peh Hoa Lokoay kehitangan kitab lh-su-keng, dunia

persilatan mengabarkan kalau kitab itu jatuh ke tanganku….. Tadi anak laki dari Peh Hoa lokoay datang kemari untuk menanyakan hal itu”

“Apa?” Kwan hujin menegas “Kukatakan kepadanya kalau kitab itu tidak ada padaku tetapi apa katanya, coba kau terka”

“Kalau mau menceritakan, Lekas katakan saja.

Siapa sih yang tahu dia bicara apa kepadamu,” tukas Kwan hujin.

Kembali Kwan Pek Hong terbentur batu sejenak tertegun, dia tertawa pula. Dia mengatakan kalau mau membawa Beng Cu ke Pek-hoa-nia dan minta aku supaya mengambilnya ke Peh hoa-nia asal membawa kitab itu. Ha, ha, bukankah hal itu lucu sekali. Ha…….”

Dia hendak tertawa lepas tetapi melihat wajah isterinya mengerut gelap, dia tak jadi melanjutkan tawanya.

Bermula Kwan Pek Hong menduga, setelah dia menceritakan peristiwa itu dan kemudian dia tertawa mengejek, tentulah isterinya juga ikut menertawakan. Sungguh tak diduganya bahwa bukannya ikut menyambut tertawa kebalikannya isterinya malah mengerut serius. Sudah tentu Kwan Pek Hong meringis.

“Hm…..” desah Kwan hujin, “apanya yang lucu pada persoalan itu?“

Kwan Pek hong masih berusaha untuk membantah. “Budak laki itu… sungguh tak tahu diri mau membawa puteri kita…… ke Peh hoa-nia. Tidakkah lucu hal itu?’ Wajah Kwan Hujin makin tak sedap dipandang dan kontan tanpa sungkan lagi dia mendamprat suaminya, “Engkau itu makin tua makin tolol! Bukankah hal itu menyangkut keselamatan puteri kita? Mengapa engkau malah tertawa gembira? Dan apakah engkau tak pernah berpikir, tokoh bagaimanakah Pek Hoa lokoay itu? Dibawah pimpinan jendral pandai?, tak ada anak buah yang lemah. Kalau dia sudah sengaja menyuruh puteranya, masakan dia tidak memperhitungkan bagaimana kemampuan puteranya itu. Masa dia akan membiarkan saja puteranya itu akan menjadi buah tertawaan orang?”

Kwan Pek Hong terlonggong. Diam-diam dia mengakui kata-kata isterinya itu benar. Tetapi puterinya kan selalu berada dengan mamanya. Mana Pui Tiok mampu mengganggu anak itu?

Kembali dia tertawa paksa, “Hujin, jangan kuatir.

Aku akan menjaga diluar dan engkau jangan berpisah dengan Beng Cu. Taruh kata lokoay Itu datang sendiri kemari, belum tentu dia mampu merampas putri kita.”

Dalam gendongan mamanya, Beng Cu memang tampak kurus kecil Tetapi sebenarnya dia itu seorang anak perempuan yang sudah berumur 10 tahun.

Sudah tentu dia mendengar apa yang dibicarakan kedua ayah bundanya.

Tiba-tiba dia menangis, “Hu, hu, hu, aku tak mau dibawa ke Pek-Hoa-nia”

Anak itu menangis keras sehingga Kwan hujin menjadi bingung, “Sayang, jangan menangis,” kata nya menghibur,” kan ada mama. Siapapun tak dapat menculik engkau.” 

Kemudian ia mendamprat suaminya, “Engkau ini memang seorang setan gantung yang makin tua makin tak karuan. Mengapa urusan begitu engkau ceritakan didepan anak perempuan? Kalau nanti malam anak itu mengigau dalam tidurnya, awas engkau!”

Kwan Pek Hong kucurkan keringat dingin tetapi dia tak berani berkata sepatahpun juga.

Setelah puas memaki-maki barulah Kwan hujin berhenti dan membentak, “Mengapa masih tegak seperti patung disini dan tak lekas mengatur penjagaan?”

Seperti pesakitan yang menerima vonis bebas, seketika Kwan Pek Hong terus mengiakan, berputar tubuh dia terus melesat keluar. Setelah melalui beberapa lorong barulah dia dapat bernapas longgar.

Tadi dia memang menderita siksa sekali, Tertawa tidak tertawa dan tegak seperti patung menerima dampratan pedas dari isterinya. Kini setelah bernapas longgar dan batuk-batuk sejenak, dia Membusungkan dada dan melangkah lebar.

Dia memang seorang pria yang ganteng dan gagah perkasa. Setiap orang persilatan yang membicarakan namanya tentu akan menaruh rasa mengindahkan.

Dan memang ilmu silatnya lihay sekali.

Selama beberapa tahun ini dia termasuk pendekar yang berkelana di dunia persilatan yang umur nya paling muda. Dalam perjalanan dharma kebaikan, dia tak mau pandang bulu. Siapa salah, tentu akan dihajarnya. Tetapi siapa tahu, kalau berhadapan dengan isterinya, dia benar-benar kehilangan segalanya seperti tikus berhadapan dengan kucing.

Waktu belum berapa lama keluar dari rumah tiba- tiba dia melihat tukang kebun sedang memanggul sebuah pilar besar dan berdiri tegak dihdapannya.

Rupanya orang itu seperti ditutuk jalan darahnya oleh orang.

Tadi waktu mendengar ucapan Pui Tiok, sebenarnya Kwan Pek Hong tak menaruh perhatian. Tetapi setelah didamprat isterinya, barulah dia menyadari kalau persoalan memang gawat.

Maka begitu melihat tukang kebunnya berdiri tak berkutik, diam-diam dia terkejut sekali. Tukang kebun itu membelalakkan mata dan tak dapat bicara apa apa.. Sekali melesat dia sudah berada didepan tukang kebun itu dan ketika memandang dengan seksama

dilihatnya tukang kebun itu tengah membelalakkan mata tanpa berkedip dan mulut ternganga terus menerus tak dapat ditutup. Kwan Pek Hong cepat mengetahui kalau keadaan tukang kebun itu tetapi karena melihat orang itu telah ditutuk jalan darahnya oleh orang.

Sebenarnya Kwan Pek Hong tak begitu faham akan tukang kebun itu tetapi karena melihat orang itu telah ditutuk jalan darahnya, diapun segera menepuk bahu si tukang kebun seraya menghardiknya, “Ada apa engkau ini, lekas bilang!”

Terdengar tukang kebun itu menghela napas longgar tetapi entah bagaimana sekonyong-konyong dia gunakan dua buah jari tangan kanan, menutuk jalan darah Kian-keng-hiat di bahu Kwan Pek Hong.

Sudah tentu Kwan Pek Hong terkejut bukan kepalang. Caranya menutuk dan angin yang timbul dari gerak tutukan jari orang itu menimbulkan desus tenaga yang kuat, jelas tukang kebun itu memiliki tenaga dalam yang hebat.

Kwan Pek Hong berdiri dekat sekali dengan tukang kebun itu dan tukang kebun itu bergerak luar biasa cepatnya. Walaupun Kwan Pek Hong terkejut tetapi dia sudah tak keburu menghindar lagi, cret……! bahunya terkena tutukan dan seketika dia tak dapat bergerak lagi.

“Kwan tayhiap,” tukang kebun itu tertawa, “maafkan sekali atas kekurang ajaranku ini!”

“Kwan tayhiap,” kata tukang kebun itu pula, “bagaimana dengan penyaruanku ini? Walaupun Ilmu kepandaian itu tak layak dibanggakan, tetapi nanti tunggu sebentar lagi kalau aku sudah menyaru menjadi engkau dan mengenakan pakaian anda, tentulah engkau sendiri takkan mengenali siapa sebenarnya diriku ini “

Sambil berkata dia terus menyambar tangan Kwan Pek Hong, pikirnya hendak dibawa ke tempat yang sepi dan dilucuti pakaiannya.

Tetapi sungguh diluar dugaan, baru dia menyentuh tangan Kwan Pek Hong, tiba-tiba telunjuk jari Kwan Pek Hong menebar dan mencengkeram pergelangan tangan anak muda itu. walaupun hanya dengan sebuah jari tetapi karena dapat melilit pergelangan tangan dan mengalirkan tenaga dalam maka pada saat itu juga Pui Tok rasakan separoh tubuhnya mati kesemutan tak dapat digerakkan lagi.

Pui Tiok masih berusaha untuk mengerahkan napas hendak meronta tetapi pada saat itu ke lima Jari Kwan Pek Hong pun sudah serempak mencengkram pergelangan tangannya. Pui Tiok mati kutu tak dapat bergerak lagi.

Perubahan-perubahan itu terjadi dalam waktu hanya sekejab mata dan tak terduga-duga sama sekali Pui Tiok hanya mendelik dan melongo, beberapa Saat kemudian baru dia berkata, “engkau…. engkau, bukankah telah kena kututuk? Mengapa engkau…. seperti tak kena apa?”

Kwan Pek Hong tertawa dingin, “Pui siauheng, memang engkau menutuk tepat dan bergerak cepat sekali, pun siasatmu juga hebat. Tetapi engkau masih belum mengenal suatu ilmu tenaga dalam yang sakti, namanya Ing-hoan-wi (mengisar jalan darah merobah kedudukannya). Setiap saat dapat dilakukan menurut sekehendak hati, bahkan dapat memindahkan letak jalan darah itu kemana saja.”

Mendengar itu Pui Tiok terlonggong, katanya, “Kalau begitu….. jalan darahmu tadi tidak kena kututuk?”

“Benar,” jawab Kwan Pek Hong, “itulah yang dinamakan, siasat dilawan dengan siasat. Sekarang engkau sudah jatuh ke tanganku, apakah engkau masih akan bicara apa lagi?” Semula wajah Pui Tiok sudah tak karuan warnanya, tak sedap di pandang sekali…… Tetapi tiba-tiba saat itu sudah tenang kembali, bahkan malah mengulum senyum.

“Kwan tayhiap, ilmu kepandaiannya benar-benar hebat sekali, sungguh tak mengecewakan dengan ke besaran namamu. Hari ini aku baru benar-benar membuktikan sendiri”

Melihat anak semuda itu memiliki sikap yang begitu tenang, mau tak mau dalam hati Kwan Pek Hong kagum juga.

“Pui siau-heng, tadi kukira kalau engkau hanya bergurau, tak tahunya kalau engkau benar-benar hendak menculik anak perempuanku Rumah kediaman orang she Kwan, walaupun bukan tergolong kubangan naga sarang harimau tetapi engkau ternyata memang tak tau diri!”

Menerima dampratan itu wajah Pui Tiok tetap tak berobah, serunya tertawa, “Ya, kata-kata Kwan tayhiap memang tepat. Lain kali wanpwe akan berhati-hati untuk bertindak.”

“Apakah engkau mengira masih mempunyai kesempatan lain kali lagi!” bentak Kwan Pek Hong.

“Selama gunung masih menghijau, mana takut kalau kehabisan kayu bakar? Mengapa bakal tak punya kesempatan lain kali lagi?” bantah Pui Tiok

Tangan Kwan Fek Hong yang masih mencengkeram pergelangan anak muda itu agak diperkeras lagi. Wajah Pui Tiok seketika pucat lesi, dahinya bercucuran keringat dingin.

Satu hal yang mau tak mau menyebabkan Kwan Pek Hong kagum ialah sekalipun telah menderita hebat, namun wajah anak muda itu masih tetap mengulum senyum.

“Apakah masih ada kesempatan lain kali bagimu?” bentak Kwan Pek Hong.

“Kwan tayhiap,” Pui Tiok tertawa, “engkau sedang memuji wanpwe, mana wanpwe tak tahu”

“Engkau kira aku tak berani mengambil jiwamu,” Kwan Pek Hong makin marah.

Kembali Pui Tiok tertawa, “Kwan tayhiap kalau memang begitu, engkau harus mempertimbangkan masak-masak dulu”

Debgan dicengkeram pergelangan tangannya itu, Pui Tiok sudah tak berdaya sama sekali. Kalau memang Kwan Pek Hong mau membunuhnya adalah ibarat semudah orang membalikkan telapak tangannya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, bukan saja Pui Tiok tidak minta belas kasihan kebalikannya malah menghina Kwan Pek Hong dengan mengatakan kalau Kwan Pek Hong tentu tak berani membunuhnya. Sungguh berbahaya sekali.

Serentak bangkitlah kemarahan Kwan Pek Hong.

Dia segera menambah tekanan tenaga dalamnya lagi. Tetapi memang dalam hati dia tak berani membunuh anak muda itu. Apa yang dikatakan Pui Tiok memang tak salah. Kalau hendak membunuhnya, Kwan Pek Hong harus berpikir duabelas kali dulu.

Pui Tiok itu putera dari Peh Hoa lo-koay. Kalau Kwan Pek Hong membunuhnya, sudah jelas Peh Hoa lokoay tentu akan membuat perhitungan.

Ilmu kepandaian lokoay itu sakti sekali dan perkumpulan Peh hoa kau mempunyai banyak jago- jago sakti. Dan lagi Peh hoa lokoay itu juga mempunyai sahabat-sahabat baik dari kalangan tokoh-tokoh Shia pay. Kalau sampai Kwan Pek Hong membunuh Pui Tiok, tentulah Peh Hoa lokoay dan gerombolannya akan melakukan pembalasan yang hebat.

Setelah melipat gandakan tekanan tenaga dalam, Kwan Pek Hong melihat keringat pada dahi anak muda itu bercucuran makin deras,

“Jangan mengira aku takut kepada ayahmu.

Mengapa saat ini tak membunuhmu karena mengingat usiamu masih muda, kepandaian dan keberanianmu sangat menonjol. Sukar mencari anak muda seperti engkau. Tetapi kalau engkau masih berani mengganggu keluargaku, apabila jatuh ke tanganku lagi, jangan harap engkau kuampuni!”

Sambil berkata tangan kirinya mencengkeram bahu Pui Tiok dan dijinjing keatas lalu dibawa keluar melalui pintu besar.

Dua kereta indah, masih tetap menunggu di jalan.

Kwan Pek Hong tertawa dingin. Kusir yang duduk diataa kereta serentak loncat turun. Gerakannya tangkas dan layangnya seringan daun kering berhamburan ke tanah. Jelas kalau kusir itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Selekas tiba di tanah. kusir itu sudah berseru, “Kwan tayhiap ”

“Tutup mulutmu!” cepat Kwan Pek Hong membentak, “putera dari kaucu kalian, dua kali datang ke rumahku secara tak tahu diri. Tak tahu kekuatan dirinya dan bertindak semaunya sendiri. Sekarang dapat kuringkusnya tetapi aku takkan mengganggu selembar jiwanya. Sekalipun begitu diapun harus menderita sedikit kesakitan. Telah kugunakan ilmu tutuk ciong-jiu-Hwat untuk melukai jantungnya. Lekas larikan keretamu secepat mungkin untuk mencapai Peh-hoa-nia. Kaucu kalian tentu dapat menolongnya. Kalau tetap berayal disini, dalam waktu satu bulan, sekalipun dia mendapat obat dewa, juga tak mungkin dapat menolong jiwanya!”

“Tunggu, harap berlaku….“ baru kusir itu hendak berkata ‘berlaku murah’, Kwan Pek Hong sudah lepaskan cengkeramannya. Begitu merasa cengkeraman orang longgar, cepat Pui Tiok meronta dan terus loncat kemuka.

Melihat putera kaucu sudah bebas, kusir itu pun segera ayunkan cambuknya ke arah Kwan Pek Hong.

Tetapi walau pun Pui Tiok dan kusir itu bertindak cepat, tetap masih kalah cepat dengan tindakan Kwan Pek Hong. Pada saat melepaskan Pui Tiok, dia sudah menyertai dengan sebuah hantaman tangan kanan, bluk….! punggung anak muda itu terkena tepat dan sekali mengerang tertahan, diapun terus rubuh ke tanah. 

Tepat pada saat itu Pui Tiok rubuh, Kwan Pek Hong menarik pulang tangan kanan dan membalikkannya. untuk menangkap ujung cambuk dan terus ditarik Tetapi bukan kepalang kejutnya ketika kusir Itu tetap tegak seperti terpaku. Memang Kwan Pek Hong hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk menarik. sekalipun, karena kusir itu dapat bertahan mau tak mau Kwan Pek Hong kaget juga karena salah menafsir kepandaian orang.

Dalam menimang itu Kwan Pek Hong menambah tenaga dalamnya lagi. Kali ini kusir itu tak dapat bertahan lagi, tubuhnya ikut ketarik ke muka. Dia berputar-putar dan rubuh. Kwan Pek Hong ulurkan tangan kiri, dua kali mengelus-elus kepala kusir itu.

Ternyata kusir itu juga bukan jago sembarangan.

Dia adalah salah satu tangan kanan dari Peh Hoa lokoay dan mempunyai nama besar dalam dunia persilatan. Tetapi waktu Kwan Pek Hong mengelus- elus kepalanya sampai dua kali, ternyata dia diam saja seperti patung. Dan kalau menilik mukanya begitu pucat lesi, jelas dia merasa kalau dirinya tentu menderita bencana besar dari Kwan Pek Hong.

Tetapi bagaimana nyatanya?

Memang untuk mengambil jiwa kusir itu, mudah sekali bagi Kwan Pek Hong. Tetapi ternyata Kwan Pek Hong tak mau turunkan tangan ganas. Dia hanya mengelus elus biasa, sedikitpun tidak menyalurkan tenaga dalam.

“Mengapa engkau tak lekas-lekas membawa pulang saucu?” tiba-tiba Kwan Pek Hong membentak. 

Kusir itu gelagapan seperti orang mati yang hidup kembali Saat itu dia baru menyadari kalau Kwan Pek Hong tidak berbuat apa-apa kepadanya.

Tersipu-sipu dia memberi hormat, “Terima kasih atas kemurahan hati Kwan tayhiap.”

“Lekas berangkat!” dengus Kwan Pek Hong.

Kusir Itu gopoh mengangkat tubuh Pui Tiok. Anak muda itu pucat seperti mayat, sinar matanya suram, menandakan kalau menderita luka dalam yang parah.

Memang Kwan Pek Hong sendiri tahu bagaimana luka yang diderita Pui Tiok maka dia memaksa kusir segera membawa pulang anak itu. Kalau terlambat, jiwanya pasti takkan tertolong lagi.

Peh Hoa lokoay tentu terkejut tetapi juga tentu tahu kalau dia (Kwan Pek Hong) berlaku murah tidak sampai membunuh puteranya. Dengan demikian lokoay tentu takkan menuntut balas.

Sejenak Kwan Pek Hong menghela napas longgar, membersihkan pakaiannya dan terus melangkah masuk. Dan pada saat itu dia mendengar derak roda kereta bergerak cepat. Dia tahu tentulah kusir itu melarikan keretanya kencang-kencang.

Tetapi dia tak mengira, setelah pintu besar ditutup, kereta itupun berhenti disebuah tempat. Kusir loncat turun, membuka jendela kereta dan berseru, “Kongcu Kongcu!” Tiba-tiba Pul Tiok nongol keluar. Wajahnya mengulum tawa, sikapnya seperti orang yang tak menderita suatu apa.

“Kongcu, sungguh berbahaya sekali. Benar-benar seperti orang masuk kedalam pintu neraka!”

Pui Tiok tertawa. “Benar, karena terkejut aku sampai pucat lesi. Kukira dia akan membunuhmu. Tetapi biarlah berlangsung seperti ini, Kwan Pek Hong tentu mengira kalau aku benar-benar terluka parah dan kembali ke Peh-hoa-nia!”

“Baju jwan-thiat-kah (baju baja lemas) milik kaucu, memang benar-benar merupakan pusaka hebat dalam dunia persilatan. kalau tak memakai baju baja itu, kongcu tentu celaka dan aku terpaksa harus mati- matian melarikan kereta pulang ke Peh-hoa-nia!” kata kusir.

“Jangan ngaco tak keruan,” tukas Pui Tiok “baju Jwan- thiat-kah memang hebat, tetapi sekalipun tidak mempunyai baju baja itu, apa engkau kira aku benar- benar begitu lemah berhadapan dengan Kwan Pek Hong? Jangan memandang rendah aku? Engkau tahu apa hukumanmu?”

Kusir itu tertawa, “Kongcu, bicara secara serius, kurasa lebih baik kita pulang melapor pa da kaucu saja dan menerangkan bagaimana kelihayan Kwan Pek Hong!”

Memang kusir Itu tahu kalau sau-kongcu (putera pemimpin) mereka, beradat tinggi tak mau kalah dengan orang. 

Dalam bercakap-cakap itu mereka sudah memasuki halaman gedung keluarga Kwan. Pui Tiok hentikan langkah.

“Co-poan-koan,” katanya kepada kusir itu. Ternyata kusir itu menjabat sebagal Co-poan-koan atau dewan hakim dalam perkumpulan Peh- hoa-kau, “tentunya engkau sudah banyak pengalaman bercampur-baur dengan orang, mengapa engkau masih mengeluarkan kata-kata yang membikin panas hati orang?”

Peh-hoa-kau mempunyai Dewan hakim yang terdiri dan dua orang. Kedua hakim Itu lebih tinggi dari su- tongcu atau empat kepala bagian.

Orang yang menyaru sebagai kusir itu bernama Siu Peng. Bermula dia itu menjadi tianglo (penasehat) dari perkumpulan Pai-kau didaerah telaga Ouse. Tetapi karena melanggar peraturan perkumpulan dia hendak dijatuhi hukuman gantung sampai mati. Tetapi karena dia berkepandaian tinggi maka dia berhasil berontak dan lolos dari kepungan beratus-ratus anak buah perkumpulannya. Kemudian dia melarikan diri dan malang melintang di dunia persilatan selama beberapa tahun. Pada akhirnya dia lalu masuk kedalam perkumpulan Peh-hoa-kau.

Mendengar Pui Tiok masih menyesali dirinya, Siu Peng menghela napas lalu meraba batok kepalanya sendiri dia berkata, “Kongcu, tadi tangan Kwan Pek Hong yang berada diatas batok kepalaku ini hampir membuat semangatku serasa terbang. Terus terang, aku tak berani berhadapan lagi dengan dia. Aku berpendapat, untuk dapat menculik anak perempuan Kwan Pek Hong, harus kaucu sendiri yang turun tangan.”

Pui Tiok gelengkan kepala, “Sudahlah, jangan berkata begitu lagi. Sebelum berhasil, aku tak mau pulang. Perintah untuk membuat galian liang pada dua bulan yang lalu, apakah sudah selesai?”

Siu Peng maju dua Langkah kemuka dan berseru “Sudah datang!”

Memang saat itu muncul dua orang lelaki berpakaian hitam. Siu Peng segera bertanya kepada mereka, “Galian liang yang tembus ke rumah Kwan Pek Hong apa sudah dikerjakan?”

“Sudah dan dapat mendengar derap langkah orang yang berjalan diatas liang itu,” kata kedua lelaki baju hitam itu.

“Apakah arahnya tepat? Apakah tepat dapat tembus kedalam ruang gedung?” tanya Pui Tiok..

“Ya, memang kebetulan dapat menembus ke dalam ruang gedung.” kata mereka.

“Bagus,” kata Pui Tiok, “Co-Poan-koan, Kwan Pek Hong tentu mengira kalau aku benar-benar terluka berat dan sedang bergegas pulang ke Peh- hoa-nia. Tentulah dia takkan mengira kalau kita membuat galian liang yang tembus ke ruang gedung kediamannya.”

Siu Peng gelengkan kepala, “Kongcu, bukan aku hendak menghapus kegembiraan tetapi taruh kata engkau dapat menyusup masuk kesana, tetapi begitu kepergok Kwan Pek Hong, apakah itu tidak……. tidak……. “ rupanya Siu Peng tak berani melanjutkan kata-katanya.

“Tak apa, silahkan bicara lanjut, aku takkan marah,” kata Pui Tiok.

Siu Peng tertawa, “Apakah tidak akan dilempar Kwan Pek Hong seperti orang melempar anak ayam?”

“Bah,” dengus Pui Tiok, “mengapa engkau masih tetap bicara begitu melemahkan semangat orang. Sudahg tentu aku sudah mempersiapkan rencana. Lihat, apakah ini?” dia terus mengeluarkan batang hio (dupa) warna kuning.

Siu Peng terkejut, “Kongcu, apakah itu bukan dupa wangi buatan kita?”

“Benar, aku hendak menggunakannya.”

Mendengar itu berkatalah Siu Peng dengan rada serius, “Kongcu, mana dapat begitu? Itu benda yang sering digunakan tingkat anak buah saja. Kebesaran nama kaucu sudah termasyhur ke seluruh penjuru. Dan engkau sendiri juga masih seorang muda. Kalau menggunakan benda itu, nama Peh-boa akan ditaruh dimana?”

“Ai, engkau ini memang macam-macam saja Setiap ada pemecahan engkau tentu tak setuju. Kata peribahasa tentara tak dibenarkan mengganggu rakyat. Kalau engkau tetap menggunakan benda itu bagaimana pandangan orang terhadap Peh hoa kau kita nanti?” “Ah, engkau berlebih-lebihan,” kata Pui Tiok. Orang mengatakan, menjalankan perang tak boleh menolak akal licik. Aku menggunakan dupa bius, diapun boleh menggunakan cara apa untuk menolak. Tetapi kalau dia tak mengadakan penjagaan, jelas dia tentu akan menderita kerugian.”

“Orang menganggap engkau ini seorang lelaki perwira,” kata Siu Peng, “mana orang akan mengadakan penjagaan tentang perbuatanmu yang tergolong licik itu?”

Pui Tiok tertawa, “Orang mengatakan: hati manusia sukar diduga. Kalau sama sekali dia tak memperhitungkan hal ini, apalagi yang akan dikatakan kecuali dia harus menderita besar karena kehilangan puterinya!”

Siu Peng tertegun sejenak lalu menghela napas, “Biar bagaimanapun, kunasehati lebih baik jangan engkau menggunakan permainan kotor.”

“Baik, kutahu,” kata Pui Tiok, “mari kita memasuki liang rahasia yang tembus kebawah gedungnya dan mendengarkan apa yang terjadi disitu, baru nanti kita bicara lagi!”

Siu Peng mengangguk. Keduanya segera mengikuti kedua lelaki baju hitam itu. Tak lama mereka tiba disebuah lorong. Ditengah-tengah lorong telah digali sebuah liang. Salah seorang lelaki baju hitam memberikan lentera dan berseru, “Silahkan turun dari sini.” 

Pui Tiok berjalan dimuka, Siu Peng dibelakang.

Rupanya penggalian Itu dilakukan dengan cepat-cepat sehingga sempit sekali tetapi cukup untuk dimasuki seorang. Lebih kurang lima enam tombak jauhnya barulah liang itu mulai lebar. Selanjutnya setelah tiba diujung liang, diatasnya merupakan langit-langit dari ubin. Dengan begitu diatas tentulah merupakan ruang gedung.

Sambil tertawa Pui Tiok menunjuk keatas, bisiknya, “Co-poan-koan, yang diatas kita ini entah ruang apa? Kalau kebetulan kamar tidur Kwan Pek Hong sungguh menggembirakan sekali.”

Siu Peng hendak menjawab tetapi saat itu diatas terdengar derap langkah orang. Dan pada lain saat terdengar suara seorang wanita yang seperti gembreng ditabuh, tak sedap didengar.

“Mengapa engkau pulang? Bagaimana dengan keadaan diluar?” seru wanita itu.

“Pui Tiok tertawa gembira dan berbisik, “Co poan- koan, kemungkinan kita keliru arah. Ruang diatas ini kalau bukan dapur tentu kamar bujang. Kalau tidak masa terdengar suara perempuan yang bernada begitu tak sedap?”

”Jangan bicara!” Sui Peng gopoh mencegah.

Pada saat itu terdengar suara seorang pria menjawab pertanyaan wanita tadi, “Harap hujin jangan kuatir, tentu takkan terjadi apa-apa!”

Nada suara lelaki itu jelas adalah suara Kwan Pek Hong. Serentak Pui Tiok leletkan lidah. Menyusul lagi terdengar suara seorang anak perempuan yang merengek-rengek ketakutan, “Yah aku masih ingin naik tandu, bermain-main ke telaga. Si suko tak dapat menjaga aku, sukalah ayah mengantarkan aku ke sana!”

Jelas Itulah suara anak perempuan Kwan Pek Hong yang tengah merengek kepada ayahnya. Kwan Beng Cu, demikian nama anak perempuan itu, adalah anak yang diinginkan Pui Tiok dan Siu Peng untuk dibawa ke Peh-hoa-nia.

Setelah mendengar pembicaraan diatas, barulah Pui Tiok dapat menghela napas longgar. Penggalian yang dilakukan anak buahnya ternyata tepat tembus dibawah ruang tempat tinggal Kwan Pek Hong dan anak isterinya. Asal langit-langit ubin itu di dorong keatas, tentulah Pui Tiok dapat memasuki ruang itu.

Sudah tentu Pui Tiok dan Siu Peng tak dapat pada saat itu juga terus masuk karena Kwan Pek Hong masih ada diatas.

keduanya hanya saling tukar pandang dengan wajah berseri tawa. Mereka mendengarkan lebih lanjut pembicaraan Kwan Pek Hong dengan puteranya.

“Beng Cu,” kata Kwan Pek Hong, “hari ini ayah sedang resah, tak ingin keluar, jangan ributlah!”

“Huaaaa….” serentak pecahlah tangis anak perempuan itu, “aku mau pergi, aku mau pergi, aku ingin ayah membawa aku ke telaga!”

“Bing Cu, besok pagi tentu kubawamu kesana. Tadi engkau kan sudah kesana dan engkau malah ketakutan pulang. Mengapa sekarang mau pergi lagi?” Tetapi anak perempuan yang sudah terlanjur dimanja mamanya itu tak menghiraukan kata-kata ayahnya, melainkan terus merengek-rengek, “Aku mau pergi, aku mau pergi. engkau harus membawaku kesana, yah….. Ma ayah tak mau mengantarkan aku ke sanal”

“Beng Cu, diam,” kata Kwan hujin lalu menegur suaminya, “Pek Hong, apakah engkau benar-benar tak mau menuruti permintaan anakmu?”

“Aku …… aku tak ingin pergi, aku ”

“Coba bilang saja kalau engkau tak mau membawa kesana”

“Ya, aku. . aku mengantarkan kesana Hujin, mengapa begitu saja engkau terus mau marah?” tegur Kwan Pek Hong.

Mendengar percakapan suami isteri itu, Pui Tiok dan Sin Peng segera menutup mulut dengan tangan masing-masing lalu berkisar meninggalkan tempat itu. Setelah keluar mereka baru tertawa gelak-gelak sampai perut terkial-kial.

“Co-poan-koan,” seru Pui Tiok, “sungguh celaka sekali! Pendekar besar yang namanya begitu cemertang seperti Kwan Pek Hong, ternyata seorang lelaki yang takut isteri.”

Siu Peng juga tertawa terpingkal-pingkal, serunya, “Uh, uh, ternyata Kwan hujin itu begitu berwibawa sekali. Kongcu, sebaiknya berhati-hatilah kalau bertindak.. Siapa tahu ilmu kepandaian Kwan hujin itu lebih tinggi dari Kwan Pek hong sendiri. Jika engkau  sembarangan masuk saja, bukankah akan terbentur dengan seorang singa betina, Sebenarnya ucapan Siu Peng itu hanya untuk bersendau-gurau. Tetapi siapa tahu, ternyata keadaan Kwan hujin memang demikian.

Pui Tiok tertawa. beberapa saat kemudian dua orang anak buahnya membawa menghadap seorang lelaki tua.

Paman ini adalah arsitek yang memborong pembangunan gedung-gedung di kedua jalan besar ini. Oleh karena itu dia tahu jelas tentang keadaan gedung Kwan Pek Hong, “kata anak buah itu.

“Bagus, bagus, nih sekeping perak, mungkin beratnya 7-3 kati, boleh engkau pakai untuk pembelian peti mati kelak,” kata Pui Tiok.

Sejak mendirikan bangunan gedung, kehidupan pak tua itu makin merosot dan susah. Melihat uang perak sebanyak itu dia gopoh menyambuti dengan tangan gemetar.

Karena gembiranya, pak tua itu tak menyadari waktu keping emas itu membentur tangannya, tubuhnya tergetar keras.

“Lo-tiang,” seru Pui Tiok, “soal penggalian liang disini, jangan sampai engkau beritahu kepada siapa saja,”

“Baik, tuan, aku si tua ini tahu,” kata pak tua.

Dengan membawa keping emas dia terus melangkah keluar dengan masih, tertawa-tawa. Tetapi sebelum tiba di rumah, sekonyong-konyong kedua lututnya melentuk lunglai dan pandang matanya gelap, bluk… dia terus rubuh dan jiwanyapun melayang..

keping emas yang berada ditangannya, menggelinding sampai jauh dan tepat berhenti dibawah kaki seorang pengemis buta. Pengemis buta itu membungkukkan tubuh, menjemputnya dan berkata seorang diri, “Benda yang bagus sekali, seperti sekeping emas…” – Anehnya walaupun mulut memuji tetapi tangannya berayun melemparkan keping emas itu.

Pak tua yang mati tadi, telah mati dalam rasa kegirangan. Pada saat dia menerima emas, Pui Tiok sengaja pancarkan tenaga dalam untuk membentur pergelangan tangan orang. Tenaga dalam yang digunakan Pui Tiok termasuk jenis Im-lat (tenaga Im), itulah sebabnya pak tua hanya merasakan badannya gemetar saja tetapi tak dihiraukan. Kalau pak tua itu terus rebah tak bergerak, mungkin ia masih dapat bertahan hidup sampai 10-an hari. Tetapi karena dia terus berjalan urat-uratnya putus dan jiwanyapun melayang.

Malampun tiba dan bertanda waktu dibunyikan para petugas. Sejak menjelang tengah malam, Pui Tiok dan Siu peng sudah memasuki terowongan dibawah tanah untuk mendengarkan apa yang terjadi diatas.

Mereka mendengar Kwan hujin tengah meninabobokkan Kwan Beng Cu supaya tidur dan Kwan Pek Hong mengucapkan selamat malam lalu keluar kembali ke kamarnya sendiri. Ternyata Kwan Pek Hong dan isterinya tidur secara terpisah. Suatu hal yang mengejutkan Pui Tiok dan Siu Peng. Sambil mengangkat bun-hio (dupa pelelap) Pui Tiok berkata, “Co-poan-koan karena Kwan Pek Hong tak berada di kamar atas kurasa tak perlu kita gunakan permainan ini.“

Memang Su Peng juga tak setuju menggunakan dupa bun-hio. Hanya jago-jago rendah yang suka menggunakan cara begitu. Kalau Pui Tiok tetap hendak menggunakan, apabila sampai tersiar keluar tentu akan mencemarkan nama baik Peh hoa-kau.

“Kongcu,” Siu Peng mengangguk, “kalau engkau cepat menyadari setiap kesalahan, itu berarti suatu kebahagiaan bagi perkumpulan kita.”

Pui Tiok menunggu sampai beberapa waktu lagi, setelah diatas tak terdengar suara apa-apa, barulah pelahan-lahan dia mengangkat lantai batu, Karena sekeliling lantai batu itu sebelumnya sudah dibersihkan dari tanah-tanah yang melekat maka tanpa banyak menggunakan tenaga, dengan mudah Pui Tiok dapat mengangkat keatas sampai setengah meter lalu dia menongolkan kepala memandang kesekeliling. Tetapi ruang itu gelap sekali sehingga tak dapat melihat sesuatu apa.

“Bagus,” diam-diam Pui Tiok girang. “Asal dia bekerja dengan hati-hati, besok pagi ketika Kwan hujin bangun tentu dia akan terkejut dan heran dengan cara bagaimana puterinya hilang.”

Dia kembali meluncur turun dan memberi isyarat supaya Siu Peng datang. Setelah itu dia lalu mendorong lantai batu ke samping dan diletakkan di lantai. sekali menahan napas, dia terus menerobos keluar. Siu Peng pun dengan gerak yang ringan, menyusul keluar.

Setelah keluar dari terowongan dan berdiri di dalam ruang, keduanya masih dicengkam kegelapan yang pekat. Setelah beberapa saat berdiam diri, barulah mereka dapat melihat apa-apa yang berada dalam ruang gelap Itu.

Ruang itu sebuah ruang tidur yang besar terisi sebuah tempat tidur kayu yang besar dan dl sampingnya terdapat sebuah tempat tidur kayu yang agak kecil. Jelas yang tidur di tempat tidur kecil itu tentulah Kwan Beng Cu, puteri dari Kwan Pek Hong.

Kembali Pui Tiok memberi isyarat tangan kepada Siu Peng untuk menjaga pintu. Apabila sampai membangunkan orang yang tidur dan Kwan Pek Hong bergegas datang maka harus segera saja nyelusup masuk kedalam terowongan rahasia lagi,

Setelah mengatur seperlunya, barulah Pui Tiok mulai bertindak. Dengan langkah yang hati-hati supaya jangan sampai menimbulkan suara, dia terus menghampiri ketempat tidur kecil. Kali ini pasti berhasil, pikirnya. dengan penuh keyakinan.

Tetapi alangkah terkejutnya pada saat dia hanya terpisah satu meter dari tempat tidur kecil sekonyong- konyong lampu yang dipasang diatas ranjang besar menyala terang dan di atas ranjang besar itu tampak seorang wanita berwajah buruk bertubuh tinggi besar tengah duduk dan memandang gerak gerik Pui Tiok dan Siu Peng dengan pandang mata yang tajam berapi. 

Pui Tiok dan Siu Peng benar-benar kaget seperti disambar geledek sehingga sesaat mereka terkesima seperti patung.

Tetapi beberapa jenak kemudian kesadaran pikiran Pui Tiok mulai memancar. Kwan Pek Hong tidak berada disitu isterinya hanya seorang perempuan saja, mengapa mesti takut? Asal dia bertindak tepat, ltu pasti sudah dapat membawa anak perempuan itu sebelum Kwan Pek Hong datang.

Maka Pui Tiok tenangkan diri dan berkata, “Kwan hujin, karena terpaksa aku datang pada tengah malam begini, harap suka memaafkan.”

Pui Tiok bicara dengan tenang seolah tak terjadi sesuatu apa. kebalikannya Siu Peng yang menjaga di pintu tiba-tiba saja mengerang aneh.

Pui Tiok terkejut dan cepat berpaling. Dilihatnya sepasang mata Siu Peng merentang lebar-lebar memandang Kwan hujin. Tangan kanannya diangkat menuding ke arah nyonya itu dan mulut berseru tersendat-sendat, “Engkau….. engkau…. Engkau…… “

Bibirnya gemetar keras sehingga tak dapat berkata terang Kwan hujin juga tengah memandangnya, Wajahnya seperti muak.

Melihat itu Pui Tiok makin heran dan menegur Siu Peng, “Ih Co-poan-koan, mengapa engkau ini?”

Pada saat Pui Tiok berkata, kata-kata dari mulut Siu Peng tadipun terjadi juga, “Engkau……… apa bukan. .

.bukan dia?” 

Dalam berkata-kata Itu tubuh Siu Peng seperti melentuk kebawah dan pada saat selesai berkata, diapun terus rubuh terkapar dilantai.

Sepasang biji matanya mendelik, mulut berbuih dan orangnya pun pingsan.

Menilik keadaannya, Siu Peng pingsan karena melihat sesuatu yang menyeramkan hatinya. Pui Tiok tegak terlonggong-longgong.

Jelas Siu Peng itu bukan jago sembarangan,. Di dalam Peh-hoa-kau, dia mempunyai kedudukan tinggi. Dia membawahi berpuluh jago-jago yang berkepandaian tinggi. Diapun luas pengalamannya.

Andaikata dia mendirikan sebuah partai perkumpulan, tentulah akan mendapat tempat dalam dunia persilatan.

Kalau menilik ucapannya tadi, jelas dia tentu sudah kenal pada Kwan hujin. Tetapi andaikata begitu, mengapa dia begitu ketakutan setengah mati sampai pingsan?

Pui Tiok cepat melesat ke samping Siu Peng dan berseru memanggilnya, “Co-poan-koan Co poan- koan!”

“Jangan bikin ribut disini! Apakah engkau hendak membangunkan anakku Kalau puteriku sampai bangun, awas jiwamu!” tiba-tiba Kwan hujin berseru dengan bengis.

Kembali Pui Tiok tertegun. Dia bangkit. Di Lihatnya wajah Kwan hujin itu memang jelek tetapi tak sampai membuat orang pingsan. Ah siapa tahu, barangkali saja Siu Peng itu mengidap penyakit ayan dan kumat dengan mendadak. Lebih baik dia segera menutuk jalan darah Kwan hujin, lalu membawa Kwan Beng Cu dan Siu Peng tingalkan ruang itu.

Setelah menentukan keputusan, dia segera loncat maju dan hendak menutuk bahu Kwan hujin.

Waktu bertindak itu, Pui Tiok memperhatikan juga bagaimana reaksi wajah Kwan hujin. Dan memang Kwan hujin terkejut. Rupanya dia tak menyangka kalau Pui Tiok berani menyerangnya.

Tetapi bagi Pui Tiok, kejut pada wajah nyonya itu dianggapnya seperti orang ketakutan. ia percaya pasti akan mendapat hasil. Dengan mengerahkan tenaga, dia segera langsungkan tutukan jarinya, cret.

Yang diarah adalah jalan darah Kian-keng- hiat pada bahu Kwan hujin. sekali tutuk, nyonya itu tentu rubuh. Tetapi ketika Jarinya membentur bahu orang ternyata yang dibentur itu adalah bagian atas bahu bukan jalan darah Kian keng hiat.

Bagaimanapun halnya, Pui Tiok juga murid orang tokoh ternama. Cepat dia menyadari kalau bakal celaka, maka dia segera menarik pulang tangannya. Tetapi pada saat itu terdengarlah Kwan hujin mendampratnya dengan pelahan, “Bagus budak kecil, apakah engkau benar-benar hendak mengganggu tidur puteriku?”

Saat itu Pui Tiok hanya dapat tertawa meringis. Diam-diam dia terkejut. Ternyata Kwan hujin tidak marah karena diserang melainkan karena menganggap dia (Pai Tiok) hendak mengganggu Kwan Beng Cu yang sedang tidur nyenyak. Dengan begitu jelas kalau Kwan hujin itu tak memandang mata sama sekali kepadanya. Dia dianggap seperti nyamuk saja.

Berpikir begitu Pui Tiok hendak tertawa keras tetapi baru saja dia mengangakan mulut, ubun-ubun kepalanya sudah tertindih oleh sesuatu tenaga besar. Ternyata telapak tangan Kwan hujin sudah melekat pada ubun-ubun kepalanya.

Pui Tiok makin terkejut ketika merasa bahwa tenaga yang terpancar dari telapak tangan Kwan hujin itu tak dapat ditahannya lagi sehingga kedua kakinya lunglai. Walaupun dia tak ingin bertekuk lutut tetapi mau tak mau kakinya melentuk membawa tubuhnya berlutut.

Pada saat lutut Pui Tiok hendak menyentuh tanah Kwan hujin kebutkan lengan bajunya sebelah kiri.

Setiap tenaga menghambur, pada saat kedua lutut Pui Tiok hendak menyentuh tanah, tidak sampai mengeluarkan suara yang keras sehingga tidak membangunkan Kwan Bing Cu.

Menderita hal itu mau tak mau hati Pui Tiok hanya dapat menghela napas tanpa dapat berbuat seuatu apa,

Kini dia sudah menyadari dan menyaksikan sendiri bagaimana kesaktian Kwan hujin itu. Dia benar-benar tak pernah membayangkan bahwa kepandaian Kwan hujin itu sudah mencapai tataran yang jarang sekali dimiliki oleh tokoh-tokoh persilatan Lain. Timbul pertanyaan dalam hati Pui Tiok Mungkinkah Siu Peng sudah tahu hal itu maka begitu melihat Kwan hujin dia terus lemas dan rubuh? jika benar itu jelas keadaannya saat itu, benar-benar dalam bahaya.

Karena kalau Kwan hujin itu bukan seorang tokoh yang buas dan kejam, tak mungkin begitu melihatnya Siu Peng terus ambruk pingsan Dan bukankah Siu Peng itu juga bukan tokoh sembarangan? Kalau dia saja sudah begitu ketakutan tentu Kwan hujin Itu seorang momok yang mengerikan

Mendengar pertanyaan Kwan hujin yang menyebut nama ayahnya, bukan kepalang kejut Pui Tiok. Waktu hendak meninggalkan Peh-hoa-nia, ayahnya pernah memberi pesan kepadanya bahwa nama Peh Hoa lokoay itu terlalu terkenal sekali di dunia persilatan.

Tetapi yang mengetahui she dan namanya yang aseli, hanya satu dua orang saja. Kalau ada orang yang tahu she dan namanya, jelas orang itu tentu seorang tokoh yang mempunyai riwayat besar. Ayahnya pesan supaya Pui Tiok jangan sembarangan bertempur dengan orang itu.

Pesan ayahnya itu dicatat Pui Tiok dengan sungguh- sungguh dalam hati. Itulah sebabnya mengapa dia begitu kaget sekali ketika Kwan hujin menyebut she dan nama ayahnya.

Pui Tiok tak berani bicara keras karena kuatir kalau sampai membangunkan Kwan Beng Cu, tentulah Kwan hujin akan makin marah kepadanya.

“Ya, ayahku memang Pui Peh sianseng,” sahutnya dengan berbisik. “Hm,” dengus Kwan hujin, “Pui Peh sianseng makin tua makin linglung. Kitab Ih-su-kengnya hilang, seharusnya dia mencari ke lain tempat, mengapa dia menyelidiki kemari Apa dikira aku kepincut dengan kitab yang sudah usang itu?”

Dalam berkata-kata itu tangan Kwan hujin masih tetap diletakkan pada ubun-ubun kepala Pui Tiok sehingga anak itu menggigil. Dia sudah mendengar cerita orang tentang watak Kwan hujin yang berangasan dan tak takut segala apa.

“Mohon tanya. . . siapakah anda ini?” tanya nya dengan baik-baik.

“Ngaco!” bentak Kwan hujin, “engkau sudah berani masuk ke gedung ini masa tak tahu kalau aku Kwan hujin?”

Pui Tiok tertawa getir dalam hati. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri mengapa mengajukan per tanyaan setolol itu. Bukankah setiap orang tahu siapa Kwan hujin ini?

Tetapi bagaimana dan sampai dimana kesaktian Kwan hujin sehingga Siu Peng co-poan koan dari Peh- hoa-kau, begitu melihatnya terus pingsan, memang merupakan suatu kejutan yang tak pernah dipikirkan Pui Tiok.

Pui Tiok memang pemuda yang cerdik. Saat itu dia dapat menarik kesimpulan bahwa Kwan hujin memang tak mau banyak bicara Lagi. Hmm, kalau aku dapat lolos dari sini, tentu akan kutanyakan kepada Siu Peng tentang asal usul nyonya itu. Sekarang yang penting dia harus cari akal cara bagaimana dia dapat lolos dari situ.

“Cianpwe benar,” katanya, “ayah tentu salah duga atau mungkin karena terpengaruh oleh kabar kabar diluar. Nanti akan wanpwe jelaskan mohon cianpwe memberi maaf saja.”

Wajah Kwan hujin agak cerah. “Hm, ternyata engkau pandai bicara lunak. Bangunlah!”

Sambil berkata Kwan hujinpun menjenjang keatas dan tangannya Juga diangkat naik. Dari telapak tangan itu serentak memancar daya sedot yang keras sehingga Pui Tiok mau tak mau ikut berdiri.

Setelah lolos dari bahaya, diam-diam Pui Tiok merasa ngeri dan kucurkan keringat dingin.

“kali ini aku dapat membebaskan kalian ber dua” kata Kwan hujin dengan dingin, “tetapi kalau lain kali kalian masih berani datang lagi jangan harap aku dapat memberi ampun. lekas keluar!“

Sambil mengiakan, Pui Tiok mundur kesamping Siu Peng. Saat itu Siu Peng masih pingsan. Terpaksa Pui Tiok memanggulnya. Setelah menguar tutup lantai, dia lalu turun kedalam terowongan rahasia.

Rupanya nyali Pui Tiok benar-benar pecah. Setiba di luar dia terus naik keretanya dan terus melarikannya keluar dari kota. Tiba di kaki gunung Giok-bong-san baru dia berhenti di dalam hutan.

“Ah….. “dia menghela napas longgar. Siu Peng masih belum siuman. Pui Tiok menepuk jalan darah peh-hwe-hiat diatas kepalanya, barulah orang itu tersadar.

“Co-poan-koan, mengapa engkau tak berguna sama sekali?” tegur Pui Tiok tertawa.

Pui Tiok sengaja bersikap tenang bahkan tertawa untuk menutupi kelemahan dirinya. Tetapi Siu Peng seperti tak mendengar dan hanya memandang hadap ke muka. Sudah tentu Pui Tiok curiga. Dia menarik Siu Peng keluar. Ternyata Siu Peng berdiri tegak dengan sikap yang acuh sekali.

“Co-poan-koan,” Pui Tiok tertawa hambar, apakah arwahmu yang ketakutan itu masih belum kembali?”

Biar waktu siuman nanti Siu Peng jangan sampai mengetahui kalau dia (Pui Tiok) juga gemetar ketakutan maka Pui Tiok sengaja pura-pura tertawa.

Tetapi tiba-tiba dia batal tertawa karena memperhatikan bagaimana keadaan Siu Peng. Walaupun dia bicara panjang lebar ternyata Siu Peng masih tegak seperti patung saja.

Cepat Pui Tiok memegang pergelangan tangan Siu Peng. Kejutnya bukan kepalang. Poh

nadi Siu peng bergolak keras sekali menandakan kalau orang Itu sudah kehilangan kesadarannya menjadi orang tolol.

Pui Tiok benar-benar seperti melihat hantu di siang hari. Siu Peng seorang tokoh yang berkepandaian tinggi, jelas begitu ketakutan setengah mati melihat Kwan hujin sehingga menjadi orang yang hilang ingatan.

Diam-diam Pui Tiok bersyukur dalam hati karena tak mengetahui siapa Kwan hujin itu sehingga tak sampai menderita seperti Siu Peng.

Setelah tercenung beberapa saat, barulah Pui Tiok mengangkat Siu Peng kedalam kereta lagi.

Dia mengambil sebuah tabung bambu lalu dilontarkan sekeras-kerasnya ke tanah.

Darrr! tabung bambu itu meletus, menghamburkan asap hitam yang bergulung-gulung menjulang ke udara.

Begitu asap hitam itu membumbung ke angkasa tiba-tiba meletus lagi dan bertebaran meluas. Asap memancarkan beraneka warna, merah kuning kelabu dan biru.

Saat itu Pui Tiok menunggu disamping kereta. Tak berapa lama tampak enam ekor kuda lari mendatangi. Cepat sekali mereka sudah tiba di hutan situ.

Pemimpinnya adalah Li Ih Beng kepala paseban Thian- siu-tong dari perkumpulan, Peh-hoa-kau. Dia diiringi oleh anak buahnya jago-jago yang tangguh.

Selekas tiba, Li Ih Beng terus loncat turun dan memberi hormat kepada Pui Tiok, “Kongcu….”

“Ah, Janganlah Li tongcu bersikap begitu,” Pui Tiok gopoh mencegah. Li Ih Beng tertawa, “Kongcu sedang melakukan perintah kaucu maka tak ubah seperti kaucu sendiri. Sudah selayaknya kalau kami menjalankan peradatan begitu.”

“Ah, harap tongcu jangan berkata begitu “kata Pui Tiok.

Tepat pada saat itu dari arah selatan terdengar suara orang dan tahu-tahu muncul seorang lelaki berwajah merah, bertubuh tinggi besar, mencekal sebatang tongkat panjang dan melangkah dengan gagah perkasa,

Dia bertubuh tinggi besar, gagah perkasa.

Langkahnya berat dan mantap tetapi cepat sekali jalannya. Hal itu menunjukkan bahwa dalam ilmu tenaga dalam dan tenaga luar, dia telah mencapai tataran yang tinggi.

Begitu tiba dia memberi hormat kepada Pui Tiok, “Tongcu dan paseban Te-Siu-tong datang menghadap.”

Pui Tiok gopoh balas menghormat dan mengangkatnya bangun, “Cin tongcu, kalau engkau begitu menghormat kepadaku, aku malah kikuk.

Apakah engkau memang sengaja hendak menggaris batas tajam diantara kita?”

“Sudah tentu tidak,” sahut orang itu yang bernama Cin Pah, “itu sudah selayaknya menjadi kewajibanku.”

Pui Tiok gelengkan kepala, “Ah, janganlah begitu. Li tongcu dan Cin tongcu, apakah anda mendapatkan berita itu?” 

Li Ih Beng menghela napas, “Aku telah bertemu dengan Kwan tayhiap di tanggul sungai. Sungguh memalukan sekali , aku ”

Berkata sampai disitu wajah Li Ih Beng berobah merah dan sebelum dia melanjutkan perkataannya, Pui Tiok sudah menukas, ‘‘Ya, kutahu. Aku dan Co poan koan juga bertemu Kwan Pek Hong dan kamipun pernah menyusup kedalam gedungnya. Tetapi Co poan koan malah ” 

Pui Tiok tertawa getir lalu melanjutkan, “Begitu melihat Kwan hujin dia malah terus pingsan ”

Peh-hoa kau mempunyai empat tongcu atau kepala paseban. Keempat tongcu itu masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi. Dan kepandaian co-poan koan lebih tinggi dari keempat tongcu itu. Hal itu seluruh anggota Peh-hoa-kau dari pimpinan tinggi sampai bawah, tahu semua.

Mendengar keterangan Pui Tiok begitu melihat Kwan hujin, co-poan-koan terus semaput, benar-benar mereka tak percaya. Li tongcu dan Cin tongcu yang bertubuh tinggi besar itu, tercengang- cengang.

“Walaupun sekarang dia sudah siuman tetapi kesadaran pikirannya sudah hilang. Dia seperti orang longong. Rupanya dia telah menderita shock yang hebat sekali.”

Mendengar itu Li Ih Beng dan Cin Pah makin terkejut, serunya “Benarkah begitu?” “Dia masih berada dalam kereta, kalau tak percaya anda berdua boleh melihatnya sendiri, “kata Pui Tiok.

kedua tongcu terus lari menghampiri kereta. Tiba dimuka kereta mereka terus membuka pintu dan melongok ke dalam. Bukan kepalang kejut mereka karena melihat Siu Peng sedang duduk terlongong- longong seperti orang yang kehilangan kesadaran pikirannya.

Tanpa bicara apa-apa, keduanya lalu keluar dan kembali kepada Pui Tiok.

“Kongcu kalau menilik gelagatnya, suami isteri Kwan Pek Hong itu memang sakti sekali. Bagaimana kalau kita pulang dulu untuk memberi laporan kepada kaucu?” kata Li Ih Beng.

Pui Tiok mondar-mandir sambil menggendong kedua tangannya. Beberapa saat kemudian baru dia berkata, “Kaucu sudah menitahkan aku melakukan tugas. Kalau aku gagal mendapatkan kitab pusaka Ih- su-keng, seharusnya aku dapat membawa puteri Kwan Pek Hong pulang ke Peh-hoa-nia. Tetapi sekarang semuanya gagal,. bagaimana aku ada muka untuk bertemu kaucu? Kalian boleh membawa pulang co- poan-koan dulu, aku tetap akan berada disini untuk melanjutkan usahaku.”

Kedua tokoh itu terkejut, “Kongcu, bagamana mungkin begitu? Kalau kongcu hanya seorang diri disini. ……

Pui Tiok cepat menukas, “Aku banyak adu otak dengan suami isteri Kwan Pek Hong. Aku cukup tahu diri, kalau bertempur jelas kita kalah walaupun jumlah kita lebih banyak Sudahlah, kalian boleh pulang. Aku dapat mengatur diri. Kalau tak dapat berhasil, aku tak mau pulang.

Kata-kata itu diucapkan dengan tegas oleh Pui Tiok.

Walaupun merasa bahwa tindakan putera dari ketua mereka ini memang mencemaskan tetapi karena merasa tak mungkin dapat merubah keputusan anak muda itu, apa boleh buat terpaksa kedua tongcu Itu diam saja.

“Jiwa tongcu,” kata Pui Tiok pula, “aku kan bukan anak berumur tiga tahun. Masa aku menjaga diriku sendiri saja aku tak mampu? Sudahlah harap jiwi pulang dan melapor pada kaucu. Tak usah mengirim bala bantuan lagi. Aku percaya, kalau aku sampai gagal, beliau orangtua itu, pun belum tentu dapat berhasil!”

“Kiranya kongcu tentu tahu,” jawab Li Ih Beng, “kalau kami berdua pulang tentu akan menerima hukuman. Lebih baik salah seorang, tetap tinggal disini untuk menemani kongcu dan yang satu membawa pulang co-poan-koan.”

Namun Pui Tiok gelengkan kepala, keputusanku sudah mantap, mengapa kalian masih banyak omongan lagi? Kalau kaucu sampai menghukum

kalian akulah yang bertanggung jawab!’

Karena tidak dapat membantah lagi kedua tongcu Itu menghela napas. Tiba-tiba Pui Tiok sudah melesat ke muka dan dalam beberapa detik saja sudah lenyap dari pandangan mata. 

Kepandaian Pui Tiok itu lebih tinggi dari Li Ih Beng dan Cin Pah. Karena dia sudah pergi kedua orang itupun tak dapat berbuat apa-apa. Karena walaupun hendak menyusul toh takkan mampu.

Kedua tongcu itu lalu naik kereta dan berangkat pulang ke Peh-hoa-nia.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar